Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
KESEHATAN SAPI PERAH DALAM RANGKA GERAKAN NASIONAL INDUSTRI PERSUSUAN DI INDONESIA (Health of Dairy Cattle in the Dairy Industry as Nationwide Movement) Yulvian Sani, Eni Martindah dan Bambang N. Utomo Balai Besar Penelitian Veteriner Jl. RE Martadinata No. 30, Bogor 16114 vian
[email protected]
ABSTRACT The dairy cattle is one of important commodities in Indonesia for milk production to provide public requirement for nutritive foods. The dairy industries develops since an increased demands for milk and beef following population growth and improvement of public health and welfare. However, the domestic production of milk is still below the national demands on milk consumption. The development of dairy industry should also consider for animal health and milk quality. Animal health is regarded as an important factor in dairy milk production. Infectious and non-infectious diseases become a major problem in dairy cattle agribusiness in I ndonesia to produce milk optimally. Infectious diseases such as mastitis and brucellosis are commonly noted in Indonesian dairy milk farms. Non-infectious diseases such as metabolic diseases and toxicities are frequently faced by farmers that may reduce productivity and milk quality. Various innovation has been i ntroduced to overcome dairy health through developing veterinary technologies such as diagnostic techniques, veterinary drugs and vaccines. Key words: Dairy cattle, milk, public health ABSTRAK Sapi perah merupakan salah satu komoditas strategis di I ndonesia untuk menghasilkan susu dalam memenuhi kebutuhan 22
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional lndustri
pangan bergizi bagi masyarakat. lndustri persusuan berkembang terus setiap tahun karena meningkatnya permintaan susu dan daging, yang sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk dan kesadaran masyarakat terhadap keseimbangan gizi terhadap protein hewani. Namun produksi susu dalam negeri masih rendah dibandingkan dengan permintaan nasional untuk konsumsi susu dalam negeri. Pembangunan industri persusuan perlu pula memperhatikan kesehatan hewan dan kualitas susu yang dihasilkan. Kesehatan ternak merupakan salah satu faktor penting yang dapat mempengaruhi produksi ternak termasuk produksi susu sapi perah. Penyakit infeksius dan non-infeksius menjadi kendala untuk memproduksi susu secara optimal dalam usaha peternakan sapi perah di Indonesia. Penyakit infeksius, seperti mastitis dan brucellosis, adalah penyakit yang sering dijumpai di I ndonesia, demikian pula dengan penyakit non-infeksius, seperti gangguan metabolisme dan keracunan, sering ditemukan pada peternakan sapi perah yang dapat menurunkan produktivitas dan kualitas air susu yang dihasilkan. Berbagai terobosan telah dilakukan untuk mengatasi masalah kesehatan sapi perah dan produknya (susu) melalui pengembangan berbagai teknologi veteriner seperti teknik diagnosa, obat dan vaksin hewan. Kata kunci: Sapi perah, susu, kesehatan.
PENDAHULUAN Susu merupakan komoditas strategis di Indonesia untuk
memenuhi kebutuhan pangan bergizi bagi masyarakat.
Usaha peternakan sapi perah sebagai salah satu komponen i ndustri
persusuan di Indonesia terus meningkat setiap
tahunnya. Perkembangan industri persusuan ini disebabkan karena meningkatnya permintaan susu dan daging, yang
sejalan dengan meningkatnya jumlah penduduk, kesadaran masyarakat terhadap keseimbangan gizi terhadap protein
hewani. Namun demikian produksi susu dalam negeri masih
23
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
rendah
dibanding
dengan permintaan nasional untuk
konsumsi susu dalam negeri.
Hasil sensus sapi dan kerbau yang dilakukan pada awal
tahun 2011 tercatat sebanyak 16,7 juta ekor (15,4 juta ekor sapi dan 1,3 juta ekor kerbau) tersebar diberbagai wilayah di
I ndonesia. Sebanyak 597.129 ekor diantaranya adalah sapi perah yang memproduksi susu untuk konsumsi dalam negeri (DITJENNAK
dan
KESWAN,
2011a).
Sebanyak 98% dari
populasi sapi perah di Indonesia tersebar di pulau Jawa
yakni 27,2% di Jawa Barat; 36,8% di Jawa Tengah; 0,9% di
DKI Jakarta dan 1,9% di DI Yogyakarta ( DITJENNAK dan KESWAN, 2011a). Rata-rata kepemilikan sapi pada tingkat
peternakan rakyat mencapai 2 - 4 ekor per peternak, yang hanya mampu memproduksi susu nasional sebesar 30%
dari konsumsi nasional. Produksi susu pada peternakan
tradisional rata-rata sekitar 8 - 10 liter/ekor/hari, yang mana
dengan menerapkan manajemen modern dapat mencapai 20 liter/ekor/hari.
Sementara itu, konsumsi susu rata-rata
masyarakat Indonesia relatif masih rendah yakni mencapai 6
- 7 liter/kapita/tahun yang mana konsumsi rata-rata negara
tetangga jauh lebih tinggi seperti 10 liter/kapita/tahun di Vietnam, 20 liter/kapita/tahun di Malaysia, 30 liter/kapita/hari
di Singapura dan 40 liter/kapita/hari di India (DITJENNAK dan KESWAN, 2011 b).
Pemerintah telah menetapkan indeks kinerja utama untuk
konsumsi protein hewani pada tahun 2013 sebesar 6,9 24
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
gram/kapita/hari yang berasal dari daging (4,25%), telur (4,42%) dan susu (9,74%). Indeks kinerja utama ini
menunjukkan bahwa bahwa produksi susu mengalami peningkatan yang sangat nyata mencapai 9,74% pada tahun
mendatang (DITJENNAK dan KESWAN, 2011 b). Lebih dari 95% susu yang dihasilkan di Indonesia berasal dari sapi
perah dan hanya sebagian kecil berasal dari ternak lain
seperti
kerbau
dan kambing perah.Sapi perah yang
dipelihara oleh peternak umumnya jenis Frisien Holstein (FH) dan terdapat sebagian kecil dari jenis Hissar khususnya
di Sumatera Utara. Untuk mencapai indeks kinerja utama konsumsi protein hewani tersebut, maka perlu dilakukan peningkatan populasi dan produksi ternak khususnya sapi perah.
Dalam
pengembangan industri
persusuan
di
I ndonesia perlu pula memperhatikan kesehatan hewan dan kualitas susu yang dihasilkan oleh sapi perah.
Kesehatan ternak merupakan salah satu faktor penting
yang
dapat
mempengaruhi produksi ternak termasuk
produksi susu sapi perah. Penyakit infeksius dan non-
i nfeksius menjadi kendala untuk memproduksi susu secara
optimal dalam usaha peternakan sapi perah di Indonesia. Penyakit infeksius, seperti mastitis dan brucellosis,adalah
penyakit yang sering dijumpai di Indonesia, demikian pula dengan
penyakit
metabolisme
dan
non-infeksius,
keracunan,sering
seperti
gangguan
ditemukan
pada
peternakan sapi perah yang dapat menurunkan produktivitas
25
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
dan kualitas air susu yang dihasilkan. Mastitis merupakan peradangan kelenjar susu yang sangat merugikan akibat penurunan
produksi
dan
kualitas
susu.
Sedangkan
brucellosis dapat menimbulkan abortus, kematian pedet (neonatal
mortality),
kelemahan pedet, infertilitas dan
penurunan produksi susu. Sapi perah sering mengalami gangguan
metabolik
hypocalcemia), asetonemia
grass
seperti
(ketosis),
tetany
milk
dan
fever
(parturient
metabolik
asidosis
(hypomagnesaemia),
(bloat/tympany). Kasus keracunan pada sapi perah yang sering dijumpai adalah keracunan nitrat-nitrit, mineral, logam
berat dan tanaman beracun. Oleh karena itu, kualitas pakan dan
konsentrat
diperhatikan.
yang
Gambar 1. Usaha peternakan sapi perah modern di Lembang, Bandung
26
diberikan
pada ternak perlu
Gambar 2. Usaha peternakan sapi perah tradisional di Bogor
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
Gambar 3. Sistem pemerahan susu menggunakan mesin elektronik minimal risiko pencemaran
Gambar 4. Sistem pemerahan susu secara tradisional, berisiko terjadinya pencemaran
Disamping itu, perlu pula memberikan perhatian terhadap
kontaminasi balk kimiawi maupun mikroba dan residu yang sering dijumpai selama proses pasca panen.
Berbagai terobosan telah dilakukkan untuk mengatasi
masalah kesehatan sapi perah dan produknya (susu) melalui
pengembangan berbagai teknologi veteriner seperti teknik
diagnosa, obat dan vaksin hewan. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi produksi dan kualitas susu dibahas dalam makalah ini.
MASTITIS Mastitis merupakan salah satu penyakit yang berbahaya
dan merugikan, karena dapat menurunkan produksi susu
dan kualitas air susu. Kerugian akibat mastitis relatif cukup besar, karena mastitis merupakan peradangan kelenjar susu
27
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
yang apabila dibiarkan tanpa dilakukan pengobatan dapat menimbulkan pengerasan kelenjar ambing, pengecilan ukuran ambing, penyumbatan saluran ambing, pengeringan
ambing dan ternak menjadi tidak produktif. Kerugian akibat mastitis terdiri dari penurunan produksi, pemendekan masa
l aktasi, penurunan kualitas susu dan biaya pengobatan.
( SUPAR, 1997) melaporkan bahwa penurunan produks susu
akibat mastitis subklinis berkisar antara 14,6 sampai dengan
19,0% per hari atau sekitar 2 liter untuk setiap ekor sapi per
hari (SUPAR, 1997). Jika kasus mastitis subklinis tidak
dikendalikan secara intensif, kerugian ditaksir mencapai Rp. 8,5 Milyar per tahun (HIRST et al., 1985).
Mastitis merupakan peradangan kelenjar ambing yang
disebabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme patogen seperti bakteri dan jamur. Mastitis dikelompokan menjadi
dua bentuk yakni: mastitis klinis dan subklinis. Mastitis subklinis sulit dideteksi karena tanda-tanda peradangan
tidak tampak kecuali penurunan produksi susu. Bagi petugas l apang yang berpengalaman gejala mastitis subklinis dapat
dideteksi dengan ditemukannya pengerasan pada salah satu
kelenjar ambing, kesulitan dalam pemerahan dan perubahan
warna susu. Untuk konfirmasi kasus mastitis subklinis maka diperlukan
perangkat
bewarna seperti
uji
yang
menggunakan reagen
Californian mastitis test ( CMT), teknik
Aulendorfermastitis probe (AMP) atau reagen IPB-1 mastitis test.
28
Pengujian tersebut dilakukan untuk
mengetahui
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
kandungan sel somatik dalam air susu. Sementara itu pads mastitis klinis terdapat 3 tipe patogenitas antara lain: 1.
Perakut-kelenjar susu membengkak, panas, nyeri dan mengeluarkan sekresi abnormal disertai dengan demam dan gejala lain seperti depresi, denyut nadi lemah dan
anoreksia;
2. Akut-perubahan kelenjar ambing seperti pada mastitis perakut tetapi demam dan depresi lebih ringan sampai
sedang; dan
3. Subakut -tidak perubahan
ada
perubahan
secara
sistemik,
pada kelenjar susu dan sekresi yang
dikeluarkan tidak begitu jelas. Etiologi
Mastitis disebabkan oleh berbagai jenis mikroorganisme
patogen seperti bakteri dan jamur yang masuk ke dalam ambing melalui saluran puting susu. Faktor predisposisi yang
perlu
diperhatikan
munculnya
mastitis
adalah:
hygienitas dalam pemerahan susu, manajemen pemerahan,
l uka kulit ambing dan keberadaan mikroba paatogen
disekitar kandang sapi perah.
Penularan agen penyakit terjadi antar puting pada satu
ambing dan antar hewan pada satu kandang. Berbagai jenis kuman yang dapat menimbulkan mastitis pada sapi perah
antara lain Streptococcus sp., Staphylococcus sp., dan
Coliform serta jamur seperti Candida sp. Prevalensi mastitis subklinis di beberapa peternakan sapi perah di Pulau Jawa
29
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
jauh Iebih tinggi dibanding mastitis klinis (akut dan kronis), yaitu 37 - 67% (mastitis subklinis) dan 5 - 30% (mastitis klinis) (SUPAR, 1997).
Gambar 5. Ambing sapi perah mengalami mastitis subklinis. Puting ambing mengecil (panah) sehingga air susu tidak/sulit keluar saat diperah Mastitis subklinis sulit dideteksi secara visual karena
tidak memberikan gejala klinis yang jelas kecuali penurunan
produksi susu. Penetapan diagnosa untuk mastitis subklinis adalah melalui penghitungan jumlah sel somatik (umumnya
neutrofil) dengan menggunakan California Mastitis Test atau I alnnya (KAHAN and LINE, 2010). SUPAR dan ARIYANTI (2008) melaporkan bahwa dalam kajian pengendalian mastitis
subklinis pada sapi perah telah diisolasi penyebab mastitis, yang didominasi oleh bakteri Staphylococcus aureus dan
Streptococcus agalactia,
Staphylococcus epidermidis
(91,5%). Sedangkan SAM etal., (2011) melaporkan kejadian mastitis subklinis pascaerupsi gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah seperti tertera padaTabel 1. 30
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
Tabel 1. Kejadian mastitis subklinis serta isolasi dan identifikasi agen penyebab mastitis subklinis Sampling/ l okasi Sampling I
Yogyakarta Boyolali
Sampling II
Yogyakarta Boyolali
Sampling I II' Yogyakarta Boyolali
n
28
22 6
57
43 14
positip mastitis subklinis n (%)
57,1%
11 (50%) 5(83,3%)
35,1%
16(37,2%)
4(28,6%)
37
62,2%
23
15(65,2%)
14
8(57,1%)
I solasi dan i dentifikasi penyebab mastitis subklinis
TPC tidak diukur
Streptococcus sp.
Staphylococcus sp. Bacillus sp. Leuconostoc sp.
Micrococcus sp. Aerococcus sp.
Streptococcus sp.
Staphylococcus sp. Bacillus sp. Eschericia coli. Klebsiella sp.
1,3x103 s/d 2,1x107 koloni/m I
Pseudomonas sp. Streptococcus sp.
Staphylococcus sp. Bacillus sp.
TPC > BMCM.
Eschericia coli. Klebsiella sp.
Pseudomonas sp.
TPC : Total plate count
BMCM: Batas maksimum cemaran mikroba (5 x 103 koloni/ml) Selain
mastitis
bakterial,
mastitis
mikotik
yang
disebabkan oleh infeksi jamur sering pula ditemukan di beberapa daerah di Indonesia. Gejala klinis mastitis mikotik
sulit dibedakan dari mastitis bakterial karena gejala klinis
yang sama. Diagnosa mastitis mikotik ini dapat dikenal dengan kejadian yang berlangsung secara
31
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
berlangsung secara kronik (dalam waktu lama). Agen
penyebab mastitis mikotik umumnya adalah Cryptococcus
neoformans
(SCHALM
et al.,
1971),
Candida albicans,
Candida spp. l ain dan Geotrichum sp (HASTIONO et al., 1983).
Prevalensi mastitis subklinis di beberapa peternakan sapi
perah di Pulau Jawa jauh lebih tinggi dari yang klinis, dimana mastitis subklinis berkisar antara 37 - 67%, sementara mastitis klinis berkisar antara 5 - 30% (Tabel 2).
Tabel 2. Prevalensi mastitis pada sapi perah di Indonesia. Lokasi (tahun)
Sukabumi, Bandung (1985) Sukabumi, Bandung, Bogor (1994)
Pasuruan, Jawa Timur (1985) Pasuruan, Jawa Timur (1991) Baturaden, Jawa Tengah (1984) Boyolali, Jawa Tengah (1985) Daerah Istimewa Yogyakarta (1985)
Mastitis (%) Subklinis Klinis 63,0 75,2 67,0 38,3 55,8 62,5 36,9
5,0 7,8 5,0 20,0 24,3 30,0 10,7
Diagnosa Mastitis Mastitis subklinis tidak memberikan tanda-tanda yang
jelas dimana sapi terlihat sehat dengan nafsu makan yang
baik, kecuali produksi susu berada dibawah normal, terdapat puting susu yang mengecil dan kesulitan dalam sekresi susu pada kuartir yang terinfeksi. Penetapan diagnosa mastitis
subklinis dilakukan berdasarkan perhitungan sel somatik 32
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
yang terdapat di dalam air susu, baik secara langsung
maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, sel somatik
diukur menggunakan reagen seperti Californian mastitis test, reagen IPB-1 mastitis test atau Aulendorfer mastitis probe. Balai Besar Penelitian Veteriner telah
mengembangkan
teknik deteksi mastitis subklinis secara tidak langsung yang
merupakan modifikasi dari teknik Aulendorfer mastitis probe (AMP) yang disesuaikan dengan kondisi Indonesia ( SUPAR, 1997). Prosedur AMP ini adalah: 1.
Pereaksi
AMP, terdiri dari 40 gram Na-doecyl
hydrogen sulfate 240 gram 80 ng phenolphtalein
dalam aquades 50 ml Harnstoff Urea kemudian 2.
ditambah aquades sampai volume 1000 ml. Prosedur kerja:
a. Masukkan 3 ml sampel susu ke dalam tabung reaksi.
b. Tambahkan pereaksi AMP sebanyak 3 ml, kocok perlahan-lahan sampai rata.
c. Buat garis-garis mendatar sejajar mulai skala 0 sampai 8 setinggi campuran susu tersebut dipakai untuk penilaian reaksi.
3.
d. Didiamkan dalam temperatur kamar selama 24 jam. Pembacaan:
-
Perubahan yang terjadi di dalam tabung adalah
terbentuknya
suspensi
gelatinous
pada dasar
tabung, berwarna agak putih yang naik keatas,
33
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
bagian bawah menjadi agak jernih. Intensitas materi gelatinous tersebut berupa DNA dari sel somatik yang lisis karena pengaruh deterjen pereaksi
atau
senyawa-senyawa protein yang
sangat komplek yang diekresikan dalam susu. Materi
gelatinous tersebut secara proporsional
sebanding dengan intensitas peradangan kelenjar susu.
Reaksi
dibaca
pada garis-garis sejajar yang
masing-masing unit sepanjang 1 cm, sedangkan skala garis-garis
tabung.
sejajar diletakkan
dibelakang
Nilai intensitas sel radang atau sel somatik yang
paling tinggi adalah 8 (hampir seluruh isi tabung
tampak berisi suspensi gelatinous warna putih),
dan yang terendah nilainya 1 (hampir seluruh tabung tampak jernih).
Nilai uji AMP berkisar dari 1 s/d 8 yakni: nilai 1 - 2
(sehat); 3 - 5 (mastitis subklinis sedang); dan 6 - 8 ( mastitis subklinis berat). Hasil
evaluasi mastitis subklinis
menggunakan
metode AMP dapat menentukan apakah sapi perlu
diobati atau tidak, dan secara ekonomis dapat
mengurangi penggunaan obat-obatan pada sapi perah,
sehingga
kerugian
mastitis dapat ditekan. 34
peternak terhadap
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
Sementara itu SAM et al. (2011) menggunakan reagen
IPB-1 mastitis test pada saat mempelajari munculnya gejala
masstitis subklinis pada sapi perah di sekitar kawasan rawan
bencana Merapi. Prosedur kerja mastitis test ini, sebagai
berikut: sebanyak 2 ml sampel air susu diteteskan pada petri
disc, kemudian ditambahkan pereaksi mastitis test IPB-1.
Campuran dikocok perlahan sampai rata dan didiarnkan pada suhu kamar sampai timbulnya koagulasi pada
campuran tersebut (positip = terjadi koagulasi susu; dan negatip = tidak terjadi koagulasi). Hasil evaluasi mastitis subklinis
menggunakan
metoda ini dapat menentukan
apakah sapi perlu diobati atau tidak, sehingga secara
ekonomis dapat mengurangi biaya penggunaan obat-obatan yang relatif mahal. Selain itu, identifikasi dan isolasi agen penyebab
mastitis
subklinis
sampel lapang tersebut.
dapat dilakukan terhadap
Pengendalian dan pengobatan Mastitis Pengendalian mastitis diutamakan dengan meminimal-
kan terjadinya infeksi silang antar puting susu yang terinfeksi
ke puting susu yang sehat pada satu ternak atau antar ternak, diikuti dengan pengobatan sapi yang terinfeksi pada saat kering kandang. Pengobatan mastitis Minis sangat dianjurkan,
dan
pilihan
antibiotik
untuk
kasus
yang
disebabkan oleh Streptococcus sp dan Staphylococcus sp
yang tidak resisten adalah penisilin. Namun,
sebagian
35
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
Gambar 6. Pengambilan sampel susu untuk diuji dengan reagen IPB-1
Gambar 7. Sampel susu yang mengalami perubahan warna merupakan mastitis s: bklinis
Gambar 8. Prosedur pengujian mastitis subklinis
Gambar 9. Hasil uji mastitis subklinis
Gambar 10. Sampel susu yang menunjukkan mastitis subklinis (kanan) dan normal (kiri) 36
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
besar isolat Staphylococcus telah resisten terhadap penisilin, sehingga semi-sintetis penisilin seperti
cloxacillin l ebih
efektif. Pengobatan mastitis akan memberikan hasil terbaik
jika dilakukan saat kering kandang. Hal ini telah dibuktikan
oleh SUPAR dan ARIYANTI (2008), dimana sapi penderita
mastitis subklinis yang diobati dengan cloxacillin pada saat kering kandang memiliki rataan produksi 1.615 liter selama
90 hari/ekor, sementara yang tidak mendapat perlakuan memiliki rataan produksi 1.320 liter dalam 90 hari/ekor. Tergantung dari jenis antibiotika yang digunakan, air susu setelah pemberian antibiotik agar tidak dikonsumsi, untuk itu
rekomendasi withdrawal time harus diperhatikan dengan baik.
Sementara itu,
SAM
et
al.
(2011)
melakukan
pengobatan mastitis subklinis yang teridentifikasi pada sapi perah
di
pemberian
Pengobatan Mastilak
Yogyakarta setelah erupsi gunung preparat mastitis
antibiotika
komersial,
subklinis dilakukan
Merapi
Mastilak.
melalui irigasi
pada setiap kuartir yang menunjukkan gejala
mastitis subklinis. Pemberian preparat Mastilak dilakukan
sebanyak 2 kali dengan interval waktu 3 hari tergantung derajat keparahan mastitis subklinis.
BRUCELLOSIS Brucellosis merupakan penyakit infeksi kronis pada sapi
yang
menyebabkan abortus, pedef lahir lemah atau
kematian pedet, infertilitas dan penurunan produksi susu
37
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
( ENRIGHT, 1990). Sapi pada semua umur peka terhadap
brucellosis dan infeksi ini dapat berlangsung bertahun-tahun. Pada sapi betina abortus merupakan gejala klinis yang
utama, umumnya terjadi pada umur kebuntingan antara 5 dan 7 bulan. Pada hewan jantan brucellosis dapat mengakibatkan infeksi pada testis (YOUNG, 1983). Selain itu
brucellosis pada sapi perah banyak ditemukan di Indonesia
dengan tingkat kejadian yang bervariasi. Brucellosis telah
menyebar ke beberapa provinsi di
I ndonesia dimana prevalensi tinggi ditemui di Indonesia
Bagian Timur dan Sulawesi Selatan dan prevalensi rendah
di Kalimantan dan Sumatera. Brucellosis disebabkan oleh
i nfeksi kuman Brucella abortus.Brucellosis pada sapi saat ini
telah menyebar di 26 provinsi di Indonesia, kecuali Bali dan Lombok yang dinyatakan bebas pada tahun 2002 ( DITJENNAK, 1981). Prevalensi brucellosis pada sapi perah
sangat !)ervariasi dari 1 % hingga 40% (SUDIBYO dan RONOHA, :DJO, 1989; SUDIBYO et al., 1991; SUDIBYO et al., 1997).
Penulara i
BruCE Ilosis
bakterimia
pada sapi bersifat kronis dengan fase
yang subklinis.
Predeleksi
bakteri
tersebut
terutama pada uterus sapi betina. Penularan penyakit biasanya terjadi melalui makanan atau saluran pencernaan,
selaput lendir mata (PLOMET dan PLOMET, 1988), kulit yang l uka, 38
ambing, inseminasi buatan dengan semen yang
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
tercemar dan placenta (BLOOD dan HANDERSON, 1979). Sapi dewasa dan terutama sapi yang sedang bunting sangat peka
terhadap infeksi B. abortus, sedangkan pada dara dan sapi tidak
bunting
banyak yang resisten terhadap infeksi
(EDINGTON dan DONHAM, 1939). Penularan melalui inhalasi
juga dilaporkan terutama ketika ternak sehat dan ternak
yang mengalami abortus ditempatkan dalam satu kandang yang padat dengan sanitasi buruk (ALTON, 1984).
Kuman B. abortus dalam jumlah besar dapat dikeluarkan
oleh sapi perah yang terinfeksi dan mengalami abortus.
Selain itu jugs secara intermiten dapat mengeluarkan kuman
ke dalam colostrum dan susu. Feces, urine dan cairan
hygroma juga berperan sebagai sumber penularan penyakit.
Leleran dari organ genitalia akan terus mengandung kuman
B. abortus dalam jumlah besar dalam beberapa minggu setelah parturisi normal atau setelah mengalami abortus.
Sapi jantan dapat terinfeksi brucellosis jika terjadi abortus
dalam peternakan tersebut. Sekali terinfeksi, maka kuman
akan berlokasi di testis dan akan diekskresikan dalam
jumlah besar melalui semen pada fase akut. Sapi jantan yang terinfeksi juga dapat mengekresikan kuman melalui feces, urin dan cairan
hygroma. Kuman Bruce/la dapat
diekskresikan dalam semen sehingga perkawinan alam dari
sapi jantan yang terinfeksi dapat menularkan penyakit pada betina
pasangannya,
i nseminasi
begitu juga perkawinan dengan
buatan dengan menggunakan semen yang
39
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
terkontaminasi . Brucella. Ternak yang terinfeksi
Brucella
dapat bertindak sebagai karier (reservoir) penularan ke
ternak sehat lainnya melalui plasenta dari janin yang gugur, kotoran
sapi,
air,
pakan dan peralatan kandang yan
terinfeksi. Lalu-Iintas perdagangan sapi juga berperanan dalam penyebaran penyakit tersebut. Gejala klinis
Masa inkubasi kuman setelah infeksi pada sapi bervariasi
dari 15 hari sampai beberapa bulan tergantung pada jalan masuknya infeksi dan banyaknya kuman yang menginfeksi.
Gejala klinis utama brucellosis pada sapi betina adalah
terjadinya abortus pada kebuntingan trimester akhir (5 - 7 bulan). GEERING et al. (1995) melaporkan bahwa 30 - 80% abortus terjadi pada sapi-sapi yang peka dan beberapa
kasus endometritis dan retensi plasenta juga dilaporkan.
Sapi yang terinfeksi dapat melahirkan pedet yang lemah atau
kematian pedet, retensi plasenta dan penurunan
produksi susu. Sapi yang terinfeksi brucellosis dalam waktu
l ama dapat mengakibatkan infertilitas sampai dengan sterilitas, sedangkan pada sapi jantan, brucellosis dapat menyebabkan orchitis dan epididimitis. Diagnosis
Diagnosis
brucellosis
pada
sapi
berdasarkan
pemeriksaan bakteriologi dan serologi. Kuman B. abortus
dapat diisolasi dari plasenta, tetapi untuk mendapatkan 40
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
kultur yang murni
idsola dari lambung dan paru-paru fetus
abortus. Selain itu dapat pula dilakukan kultur dari beberapa sistem reticuloendothelial, khususnya supramammary lymph nodes,
dan dan kelenjar susu. Ketepatan diagnosis
brucellosis secara serologis merupakan faktor yang sangat
penting untuk mencapai keberhasilan program pengendalian dan pemberantasan brucellosis. Serum agglutinasi test
digunakan sebagai metode diagnosis standar. Uji agglutinasi dapat digunakan untuk mendeteksi antibodi dalam susu, semen, dan plasma. Teknik ELISA juga telah dikembangkan
untuk mendeteksi antibodi dalam susu dan serum. Jika
menggunakan uji serum agglutinasi maka agglutinasi serum yang terjadi pada pengenceran 1:100 atau lebih dari sapi
yang tidak divaksinasi dan pengenceran 1:200 pada sapi yang divaksinasi pada umur 4 dan 12 bulan dianggap sebagai positip dan sapi dinyatakan sebagai reaktor.
Pengamatan kasus brucellosis pada kelompok sapi
perah dapat ditentukan dengan cara pengambilan contoh
secara bertingkat. Diagnosis awal dilakukan dengan uji
penyaringan yaitu uji milk ring test (MRT) (Gambar 12) pada contoh air susu (bulk). Uji MRT ini digunakan untuk deteksi awal atau skrening infeksi brucella pada sekelompok sapi perah biasanya dilakukan pada sampel susu bulk.
Apabila hasil uji MRT pada susu positip selanjutnya
diagnosis
diperkuat
pengambilan
contoh
secara darah
serologis
dari
yaitu
i ndividu
sapi
dengan pada 41
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
sekelompok tersangka untuk diuji dengan Rose Bengal Plate
Test (RBPT). Serum yang bereaksi positip RBPT dilanjutkan dengan uji pengikatan komplemen atau
Complement
Fixation Test ( CFT) sebagai uji penentu diagnosis. Pengendalian
Brucellosis pada sapi sulit diobati karena kuman bersifat
i ntraseluler sehingga pengobatan tidak efektif. Beberapa
jenis antibiotik dikembangkan untuk pengobatan brucellosis pada sapi untuk eliminasi kuman Brucella sp dari sapi yang
terinfeksi, yaitu long acting oxytetracyclin dan streptomycin yang diberikan secara intramuskular dan infus secara i ntramamary yang dilakukan dalam waktu 6 minggu ( RADWAN et al., 1993).
Pengendalian
brucellosis
pada
sapi
di
I ndonesia
dilakukan sesuai dengan lokasi dan prevalensi penyakit ini.
Untuk daerah dengan prevalensi tinggi dilakukan melalui
program vaksinasi dan kontrol pergerakan penyakit secara
ketat, sedangkan pada daerah dengan prevalensi rendah dilakukan test and slaughter (potong bersyarat). Pemerintah
saat ini sedang mengimplementasikan program eradikasi brucellosis secara gradual melalui pendekatan pulau ke
pulau. Mulai tahun 2005, program pengendalian brucellosis pada sapi perah diprioritaskan pada sapi perah di Pulau
Jawa melalui program vaksinasi di daerah tertular dan pengujian untuk menentukan reaktor. 42
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
Gambar 12. Susu positif MRT ditandai dengan adanya cincin berwarna biru pada permukaan susu Menurut ALTON et al. (1988), pengendalian brucellosis
pada sapi dapat dilakukan dengan program vaksinasi dan
potong bersyarat. Vaksin yang biasa digunakan adalah
vaksin aktif B. abortus S19 ( NICOLETTI, 1990) hanya saja
vaksin tersebut dilaporkan mempunyai beberapa kelemahan
yaitu keguguran pada sapi bunting yang divaksin (NICOLETTI, 1977), i nfeksi permanen ( CORNER et al., 1987) dan adanya residu
antibodi
yang
berkepanjangan
sehingga
mengacaukan diagnosis pada saat potong bersyarat ( MORGAN,
1977). Vaksin brucellosis yang telah digunakan
dalam pengendalian brucellosis di banyak negara adalah vaksin
aktif
S19
yang dibuat dari strain B. abortus
halus/smooth. Pemakaian vaksin B. abortus S19 dalam pengendalian penyakit adalah banyaknya false positive
(positip palsu) pada sapi yang divaksinasi. Istilah "false
positive" ini adalah secara serologis pada pemeriksaan l aboratorium positif tetapi hewan tidak menunjukkan sakit.
43
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
Sapi yang divaksinasi Brucella strain 19 mungkin akan menunjukkan hasil "false positives" apabila vaksin diberikan
pada sapi setelah dewasa kelamin (biasanya lebih dari 10 bulan), atau karena divaksinasi 2 kali (BUNDLE et al., 1987). Vaksin
B.
abortus
S19, Iipopolisachharida (LPS)
mengandung komponen perosamin rantai 0 (BUNDLE et al., 1987). Perosamine rantai 0 merupakan antigen paling
dominan yang terdeteksi pada hewan maupun manusia yang
terinfeksi. Aglutinasi antibodi yang dideteksi dengan uji serologi
standar
brucellosis
adalah
spesifik
untuk
perosamine O-chain (DiAz et al., 1968). Kuatnya respon kekebalan humoral yang timbul dengan adanya O-chain
i nilah yang mengakibatkan adanya masalah untuk diagnosis serologi
karena
mengakibatkan Fesidu antibodi yang
berkepanjangan sehingga menyulitkan uji serologi antara
sapi yang divaksin dengan sapi yang terinfeksi secara alami. PENYAKIT METABOLIK
Penyakit metabolik (gangguan metabolisme) merupakan
salah satu penyakit yang sering ditemukan pada sapi perah
selama periode awal laktasi terutama pada saat produksi susu tertinggi.
Penyakit ini disebabkan karena proses
metabolisme yang sangat berlebihan sehingga terjadi
ketidakseimbangan antara input (asupan) pakan terhadap
output (sekresi) untuk menjaga proses kebuntingan dan laktasi (BLOWEY, 1988; PAYNE, 1989). Sindroma penyakit ini 44
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
meliputi:
(a) milk fever (parturient -hypocalcaemia), (b)
hypomagnesaemia (grass tetany), (c) ketosis (acetonaemia) dan (d) fatty liver syndrome (sindroma perlemakan hati).
Umumnya, penyakit metabolik didefinisikan sebagai
gangguan
keseimbangan
homeostasis internal
yang
disebabkan karena terjadinya perubahan abnormal dalam proses metabolisme. Oleh karena itu, metabolit utama yang
berperan dalam penyakit ini adalah kalsium, magnesium dan
glukosa yang secara klinis ditandai dengan milk fever, grass tetany,
asetonaemia
dan
ketosis.
Sedangkan sistem
metabolisme lainnya seperti air, mineral dan mikro-mineral, elektrolit, protein dan energi mengalami ketidakseimbangan sehingga
menimbulkan keragaman dalam gejala klinis
penyakit ini.
Milk Fever (Parturient Hypocalcemia) Penyebab penyakit
Milk fever secara teknis disebut sebagai parturient
hypocalcemia atau parturient paresis yang berarti penurunan
kadar kalsium darah pada saat melahirkan. Penyakit ini
biasanya disertai dengan penurunan suhu tubuh menjadi subnormal. Kejadian penyakit berlangsung secara akut yang diikuti
dengan
penurunan
kadar
kalsium
darah
(hipokalsemia) secara cepat dari normal (9,5 mg/dl) menjadi
<_ 5 mg/dl. Gejala paresis muncul seiring dengan penurunan kadar kalsium darah dan diikuti dengan comatose (pingsan).
45
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
Umumnya penyakit ini muncul dalam 3 hari setelah melahirkan.
Kegagalan homeostasis kalsium pada awal laktasi
merupakan penyebab utama milk fever. Kebutuhan yang
mendadak terhadap kalsium untuk sintesis kolostrum di
dalam kelenjar ambing yang berlaktasi merupakan faktor penyebab kegagalan homeostasis kalsium. Perubahan pola
pemberian pakan dan proses pencernaan pada saat
melahirkan akan mengganggu keseimbangan metabolisme mineral di dalam tubuh.
Foetus menyerap kalsium dari plasenta sebesar 0,2
g/jam dan akan berhenti pada saat lahir, tetapi kebutuhan kalsium
tersebut
akan
terus
meningkat
dengan
berlangsungnya proses laktasi sebesar 1 g Ca/jam. Pada
sapi dengan produksi susu yang tinggi dapat mencapai 2 g Ca/jam.
Sapi umumnya akan beradaptasi dengan cara
mengatur kecepatan aliran
masuk (inflow) dan keluar
(outflow) dari kalsium, tetapi proses adaptasi ini berlangsung
tidak sempurna karena adanya hypokalsemia sementara (transient) sebagai penyebab turunnya kalsium normal dari 9,5 mg/dl menjadi 7,0 mg/dl, terutama pada sapi yang lebih
tua pada saat kelahiran ketiga dan berikutnya. Keparahan
hypokalsemia hanya bergantung pada output (keluarnya) kalsium melalui susu pada hari pertarna laktasi. Akan tetapi, hal
terpenting
adalah
beberapa sapi dapat menderita
hypokalsemia yang lebih parah dibanding sapi lainnya 46
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
bahkan dengan tingkat produksi susu yang sama. Tingkat kritis kalsium plasma adalah 6,5 mg/dl, karena kadar kalsium
pada hypokalsemia ini terlihat tidak sabanding dengan motilitas saluran pencernaan. Kondisi stasis pada saluran
pencernaan akan menghambat pasokan kalsium dari pakan dan sapi akan segera mengalami hypokalsemia yang parah,
menurun sekitar 4,5 mg/dl, dimana gejala klinis mulai
terlihat.
Banyak faktor yang dapat mempengaruhi timbulnya
gejala klinis milk fever pada sapi perah, antara lain (PAYNE, 1989):
1. Tingkat produksi susu: Tingkat produksi susu yang sangat tinggi sering mengalami parturient hypocalcaemia.
2. Umur:
Bertambahnya
umur seekor hewan akan
menurunkan tingkat metabolisme umum. Sapi yang lebih tua akan mengalami penurunan pergantian mineral tulang dan begitu pula kapasitas penyerapan kalsium oleh
l ambung. Sapi yang lebih tua menghadapi resiko tinggi terhadap parturient hypcalcaemia.
3. Asupan (intake) diet kalsium sebelum kelahiran: Sapi yang mendapatkan diet kalsium yang berlebihan akan
l ebih peka dibanding yang menerima diet kalsium yang rendah.
4. Stasis saluran pencernaan: Proses laktasi pada sapi perah
bergantung
pada kondisi fungsional saluran
47
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
pencernaan
dan
bila
terjadi
menimbulkan hypocalcaemia klinis.
gangguan
dapat
5. Keseimbangan diet: Keseimbangan diet merupakan faktor predisposisi parturient hypocalcaemia, sebagai contohnya status "asam" atau "basa" (pH) dari total diet.
Gejala klinis
Rendahnya kadar kalsium darah dapat men+mbulkan
hipersensitivitas
pada
membran syaraf serta otot dan
kemudian terjadi hipereksibilitas dan grass tetany. Namun,
pada stadium akhir milk fever akan terjadi paralisis otot bukan tetany.
Sapi perah yang menderita milk fever umumnya melalui 3
stadium yaitu:
1. Stadium pertama mungkin tidak terlihat karena penyakit berlangsung dengan cepat.
2. Stadium kedua ditandai dengan berbaring pada sternal (sternal recumbency).
3. Stadium ketiga melibatkan kolaps dan koma. Pengobatan dan pencegahan Pengobatan
Milk
Fever
diarahkan
kepada
mengembalikan kadar kalsium darah pada kondisi normal
tanpa penundaan serta mencegah terjadinya kerusakan otot dan
syaraf
akibat
hewan
berbaring
terlalu
lama.
Keberhasilan pengobatan tergantung pada serveilan yang dilakukan 48
secara terus
menerus khususnya terhadap
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
stadium awal penyakit. Kalsium boroglukonat adalah obat standar untuk milk fever yang diberikan melalui injeksi
secara intravenous sebanyak 25% larutan.
Strategi pencegahan penyakit bergantung pada kondisi
peternakan (tingkat kejadian penyakit), musim pada saat
calving dan kondisi hijauan pakan ternak. Kasus penyakit milk fever biasanya tinggi pada kelahiran musim hujan
(basah) dan hijauan pakan ternak yang basah. Hal tersebut disebabkan karena (a) rumput mengandung kalsium yang rendah, (b) rumput mengandung magnesium yang rendah,
dan (c) selama kelahiran biasanya terjadi periode stasis l ambung dan hal ini akan menurunkan kemampuan sapi mengabsorbsi kalsium.
Grass Tetany (Hypomagnesemia)
Grass tetany disebut juga
hypomagnesaemia
akut,
hypomagnesaemia tetany, I aktasi tetany dan grass staggers. Penyakit ini bersifat fatal pada ruminansia yang berlangsung
secara cepat tanpa gejala klinis sebelum kematian hewan
pada lokasi dimana ditemukan terjatuh. Grass tetany sering dijumpai pada hewan yang digembalakan di lapang dimana sapi yang sedang laktasi paling peka terhadap penyakit ini. Gambaran
hypomagnesemia
diagnostik dimana
penyakit
terjadi
i ni
penurunan
adalah
kadar
magnesium di dalam darah dari tingkat normal 2,5 mg/dl
menjadi <_ 0,5 mg/dl. Perawatan hewan perlu dilakukan bila mendapatkan hasil analisis darah yang mengindikasikan
49
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
terjadi penurunan kadar magnesium darah. Sapi yang mengalami
hypomagnesemia
umumnya memperlihatkan
gejala klinis dalam waktu bersamaan dengan hypokalsemia, dimana hal ini penting dalam mendiagnosa penyakit karena
munculnya gejala tetany dilaporkan diakibatkan penurunan kadar kalsium dalam darah secara mendadak. Penyebab penyakit
Grass tetany disebabkan karena menurunnya (defisiensi)
kadar magnesium dalam darah sapi yang digembalakan di l apangan. Sapi yang dikandangkan dan diberi ransum
konsentrat serta rumput kering jarang mengalami grass tetany.
Masa laktasi dapat meningkatkan kebutuhan
magnesium sehingga sapi laktasi menjadi beresiko untuk mengalami grass
tetany.
Masalah utama adalah tidak
cukupnya asupan magnesium dari pakan yang disertai dengan
beberapa faktor lainnya dimana terbatasnya
penyerapan magnesium dari usus.
Secara umum, beberapa faktor yang perlu diperhatikan
pada penyakit grass tetany i ni, antara lain:
1. Rumput muda mengandung magnesium yang lebih rendah dibandingkan dengan rumput tua atau kering.
2. Rumput dengan daun tunggal dan ramping mengandung
magnesium lebih rendah daripada rumput dengan daun
j amak (multiple) dan lebar.
3. Pemupukan rumput dengan nitrogen dan kalium dapat menghambat penyerapan magnesium oleh tanaman dan
50
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
juga mencegah penyerapan magnesium oleh mukosa usus.
4. Diet
kalsium
yang
berlebihan
dapat
menghambat
absorbsi magnesium, dan oleh sebab itu pengapuran
l ahan rumput dapat meningkatkan potensi tetany pada
sapi yang digembalakan.
5. Pakan
yang
mengandung
protein
tinggi
penyerapan
magnesium,
yang
meningkatkan kadungan amonia dalam rumen dapat menghambat
dimana
disebabkan terjadinya presipitasi magnesium amonium forsfat.
6. Beberapa jenis pengikat mineral (magnesium) terdapat di dalam
saluran
pencernaan
hewan,
ketobutirat atau asam transakonitat.
seperti
asam
Gejala klinis
Kejadian penyakit ini berlangsung secara akut (sangat
cepat) dimana sapi terlihat menderita sangat parah sekali
atau mati tanpa gejala klinis. Sapi umumnya dijumpai mati di
tempat dimana hewan mengalami kolaps dengan gejala
tetany. Sapi terlihat berlari-lari secara liar dan kemudian j atuh dengan gejala konvulsi. Bila kesembuhan sementara
terjadi dapat diikuti dengan konvulsi yang lebih parah kemudian kematian. Gejala akut Iainnya yang mungkin
terlihat adalah hyperthermia, kontraksi otot yang parah
berkaitan dengan tetany serta detak jantung yang tidak
teratur
dan berbunyi.
Pada kasus kronik, sapi akan 51
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
mengalami hipersensitif. Sapi akan terlihat galak serta sulit untuk dipegang dan gejala ini akan berlangsung untuk beberapa hari sampai memasuki stadium konvulsi. Pengobatan dan pencegahan
Pengobatan sangat diperlukan untuk diberikan segera
pada hewan yang diduga menderita grass tetany Cegah
sapi perah dari timbulnya spasmus dan tetany (kekejangan)
dengan memberikan terapi magnesium. Segera berikan l arutan magnesium sulfat 25% sebanyak 400 ml secara oral.
Larutan ini dapat pula diberikan secara subkutaneus bila
hewan dapat dipegang atau diikat, dan hindari pemberian secara intravenus karena dapat mempercepat timbulnya
serangan jantung yang bersifat fatal. Pada saat yang sama,
terutama bila terlihat gejala spasmus, dapat diberikan sedativa untuk menenangkan hewan dan mengurangi resiko
serangan jantung, kemudian diberikan kombinasi preparat magnesium dan garam kalsium secara perlahan melalui i ntravena.
Pencegahan diarahkan untuk meningkatkan
intake magnesium. Strategi pencegahan penyakit umumnya
dilakukan dengan memberikan suplemen magnesium pada masa-masa
kritis
seperti
pada
musim
penggembalaan pada rumput yang basah.
52
hujan
dan
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
Asetonemia ( Ketosis) Asetonemia juga disebut ketosis atau hypoglisemia
ketosis yang sering ditemukan pada sapi perah pada masa awal Iaktasi. Ketosis disebabkan karena ketidak seimbangan
antara input dan output energi metabolisme. Penyakit ini merupakan gangguan metabolisme yang terjadi pada awal
laktasi dan berkaitan erat dengan hypoglisemia, ketonaemia,
ketonuria, hilang nafsu makan, kehilangan berat badan dan
i nkoordinasi ( BLOWEY, 1988). Gejala neural dapat timbul pada beberapa sapi perah berupa lethargy dan kekejangan. Penyebab penyakit
Mekanisme asetonemia diawali dengan gangguan
metabolisme karbohidrat untuk menghasilkan energi. Pakan
yang mengandung karbohidrat tinggi dipecah oleh mikro-
organisme rumen menjadi asam propionat dan kemudian dibawa ke dalam hati untuk digunakan menghasilkan
glukosa. Sapi pada masa awal laktasi umumnya tidak mampu mengkonsumsi cukup energi dari diet pakannya
untuk mencukupi kebutuhan energi dalam menghasilkan susu, oleh karena itu, tubuh mendapatkan energi dari cadangan lemak. Lemak dipecah menjadi asam lemak kemudian melalui aliran darah dibawa ke jaringan hati. Gejala klinis
Gejala awal dari asetonemia adalah penurunan produksi
susu dan bau aseton dari pernapasan, susu dan urin sapi 53
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
penderita.
Selanjutnya
sapi tidak
mau mengkonsumsi
konsentrat meskipun tetap mengkonsumsi rumput kering
atau silase. Bulu terlihat kusam dan sapi mengalami lethargy yang diikuti dengan berhentinya ruminasi dan penurunan produksi
susu
secara
drastis.
Aseton
dapat
pula
mempengaruhi otak dimana sapi menjadi liar, keluar busa
dari mulut, menjilati berbagai benda disekitarnya dan berdiri dengan menjulurkan kepala ke atas. Pengobatan dan pencegahan
Pengobatan penyakit dapat dilakukan
tahapan pengobatan yaitu:
melalui tiga
1. Penyuntikan obat untuk meningkatkan kadar glukosa darah dan mempercepat metabolisme hati. Obat yang
digunakan umumnya anabolik steroid atau kelompok glukokortikoid.
2. Obat yang diberikan secara oral untuk meningkatkan
kadar gula darah dan memperbaiki metabolisme seperti
sodium propionat dan gliserol.
3. Perawatan individual secara terpisah pada hewan yang sakit dengan memberikan pakan khusus seperti molases.
Pencegahan penyakit diarahkan untuk tetap menjaga
pemberian
diet
pakan
yang
benar.
Ransum harus
mengandung energi yang cukup untuk memenuhi kebutuhan
metabolisme dalam masa produksi. Tahapan pencegahan penyakit yang dapat dilakukan, antara lain: 54
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
1.
Hindari kelebihan lemak pada masa akhir laktasi dan selama periode kering kandang.
2. Tingkatkan intake pakan secara bertahap untuk laktasi.
3. Tingkatkan konsentrat bertahap sesuai tingkat produksi susu.
4. Gunakan rasio konsentrat yang seimbang mengandung tidak lebih dari 16 - 18% protein.
5. Setelah masa puncak laktasi, karbohidrat yang rnudah tercerna dapat diganti secara bertahap dengan pakan yang lebih murah.
6. Jaga palatibilitas hijauan pakan ternak. METABOLIK ASIDOSIS (BLOAT/TYMPANY) Metabolik
asidosis
pada
sapi
perah
umumnya
disebabkan karena intake berlebihan dari karbohidrat mudah
terfermentasi. Fermentasi karbohidrat berlangsung di dalam rumen untuk menghasilkan asam laktat dimana terjadi
perubahan keasaman di dalam rumen secara mendadak
sehingga hewan kehilangan nafsu makan dan indigesti serta
asidosis sistemik. Karbohidrat difermentasi di dalam rumen akan menghasilkan campuran asam lemak terbang, asetat,
propionat dan butirat. Asam laktat juga dapat dihasilkan di
dalam tubuh, tetapi dalam jumlah yang kecil dan sementara (SEAWRIGHT,
1989). Kelebihan asam laktat kadang-kadang
dapat terakumulasi yang menyebabkan korosi pada dinding rumen, nekrosis sel epitel dan menimbulkan asidosis
55
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
metabolik. Asidosis dapat berlangsung secara akut maupun kronik.
Bentuk
akut
terjadi
karena
mengkonsumsi
karbohidrat atau grain dalam jumlah yang berlebihan. Bentuk
kronik sering trjadi pada sapi penggemukan karena diberi
diet yang tidak seimbang mengandung minimal (tidak mudah tercerna) rumput yang diikuti dengan pakan konsentrat tinggi.
Penyebab penyakit
Penyebab asidosis adalah mengkonsumsi karbohidrat
tinggi. Toksisitasnya bergantung pada kecepatan proses
fermentasi, dimana pakan yang digiling halus cenderung
l ebih berbahaya dibanding whole grain. Penyebab utama
asidosis adalah akumulasi asam laktat secara berlebihan di dalam rumen. Gejala klinis
Keparahan penyakit bergantung pada jumlah pakan yang
mudah terfermentasi dikonsumsi oleh hewan. Gejala klinis utama yang terlihat adalah pembesaran rumen dan spasmus
abdominal serta hewan berhenti melakukan ruminasi. Dalam kurun waktu 24 jam, sapi penderita akan mengalami stagger
dan kolaps. Hewan kelihatan mabuk, buta asimetris dengan denyut jantung tinggi, dan selanjutnya hewan mengalami anoreksi, depresi dan dehidrasi.
56
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
Pengobatan dan pencegahan
Pengobatan
asidosis
bergantung
pada
bentuk
asidosisnya apakah asidosis ruminal atau sistemik. Namun
demikian tindakan pertama dalam pengobatan asidosis ini adalah
mengurangi tekanan yang disebabkan akibat
pembentukan gas (bloat) sebelum terjadi kegagalan jantung. Berikan obat-obatan bloat secara intraruminal seperti larutan magnesium oksida untuk mendispersi gas di dalam rumen. Dalam hal ini dapat diberikan cairan minyak seperti minyak kelapa dan minyak sayuran sebanyak 500 ml. Pada kasus
bloat parah, perlu dilakukan trokar untuk mengeluarkan gas rumen. Trokar dan kanula dimasukan ke dalam rumen pada
sisi kiri hewan, 5 cm di belakang tulang iga terakhir dan 15
cm di bawah tulang spinus. Teknik alternatif lain untuk mengeluarkan
gas
rumen
dapat - dilakukan
dengan
menggunakan sonde lambung. Untuk asidosis sistemik dapat diobati dengan menggunakan infusi cairan isotonik (1,3%)
sodium
bikarbonat
yang
diinjeksikan
secara
i ntravena. Bila hewan juga mengalami kelumpuhan akibat paresis atau hypokalsemia,
maka kalsium boroglukonat
dapat diberikan untuk penyembuhannya. Pencegahan
diarahkan
untuk
mencegah
terjadi
pembesaran rumen (bloat). Sapi dapat diberikan diet bijibijian secara bertahap. Kandungan rumput kering dalam
ransum perlu dijaga keseimbangannya dengan baik untuk mencegah
terjadinya
pembesaran
rumen.
Larutan 57
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
penyangga (buffer) dapat dicampurkan ke dalam diet seperti sodium
bikarbonat,
dimana antibiotik dapat
pertumbuhan bakteria penghasil asam laktat.
menekan
KERACUNAN Keracunan pada sapi perah bergantung pada kualitas
pakan dan konsentrat yang diberikan. Seiring dengan pola peternakan sapi di Indonesia yang menerapkan sistem
pengandangan ternak dan cut and carry, hijauan pakan ternak menjadi sumber utama timbulnya keracunan pada sapi
perah.
Umumnya kasus keracunan yang sering
dijumpai pada sapi perah terdiri dari keracunan nitrat-nitrit, mineral, logam berat dan tanaman beracun. Keracunan pada
sapi perah umumnya menimbulkan gejala klinis yang sama
yaitu kekusaman, kehilangan nafsu makan, rasa sakit pada
abdominal dan beberapa diantaranya dapat menimbulkan gejala
syaraf,
dilakukan.
sehingga diagnosa penyakit akan sulit
Konfirmasi
penyebab
keracunan
umumnya
dilakukan dengan uji laboratorium secara kimiawi. Selain itu,
pengobatan untuk keracunan juga mengalami kesulitan
kecuali mengurangi atau menghilangkan gejala klinis yang
ditimbulkan.
Fluorosis Fluorosis
adalah keracunan kronik yang umumnya
disebabkan karena mengkonsumsi sejumlah kecil fluorine 58
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
dari diet pakan atau air minum. Fluorin berasal dari kegiatan i ndustri yang dapat mengkontaminasi rumput di sekitar
pabrik. Secara alamiah fluorin banyak terdapat di dalam batu atau cadas dan sering dikaitkan dengan fosfat sehingga
tanah dan sumber air dapat mengandung fluorin dalam
jumlah yang besar bahkan sampai 8,7 ppm di dalam sumber air ( SEAWRIGHT, 1989). Kontaminasi rumput oleh fluorida dari
proses industri atau pemberian kapur fosfat pada lahan
dilaporkan dapat menimbulkan fluorosis pada sapi bila mengkonsumsi rumput dari lahan tersebut.
Salah satu gejalanya adalah kelumpuhan yang mungkin
disebabkan karena adanya fraktura tulang pada kaki hewan
atau adanya eksostosis (penonjolan) pada persendian tulang kaki.
Abnormalitas pada gigi dapat pula terjadi pada
keracunan fluorin terutama pada hewan muda berupa keretakan dan terkelupasnya email gigi sapi.
Fluorosis pada sapi perah berlangsung secara kronik
akibat mengkonsumsi diet pakan dan air minum yang
terkontaminasi fluorine. Fluorin dapat dijumpai pada batubatuan yang sering dihubungkan dengan fosfat, sehingga tanah
dan
air
disekitarnya
terkontamonasi
fluorin.
Pengapuran lahan tanam untuk rumput dengan kapur fosfat merupak penyebab umum dari fluorosis dan jumlah yang
l ebih besar dapat tertelan oleh sapi bila pakan ternak disuplementasi dengan batuan fosfat yang murah. Polusi
59
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
oleh asap dan debu dari industri dapat mengkontaminasi rumput, lahan dan air disekitar pabrik tersebut. Pengobatan dan pencegahan
Pengobatan
mengeluarkan
hanya
hewan
dapat
dari
dilakukan
padang
rumput
dengan yang
terkontaminasi atau tidak memberikan rumput tercemar,
kemudian dapat diberikan vitamiun A dan D agar fluorin diekskresikan
secara
perlahan.
Garam kalsium dapat
diberikan secara intravena untuk menggantikan kalsium
terpresipitasi di dalam serum. Pemberian kalsium dan fosfat dalam jumlah yang cukup dapat membantu penyimpanan
fluorin di dalam tulang.
Tembaga (Cu)
Senyawa cuprum (Cu) digunakan secara luas dalam
kegiatan
pertanian
dan
veteriner
sebagai
fungisida,
bakterisida, moluskisida dan antelhementika dan menjadi
sumber keracunan pada hewan setiap saat. Tembaga merupakan elemen esensial untuk kesehatan dan keracunan
pada hewan merupakan akibat pengobatan terhadap defisiensi tembaga melalui suplementasi cuprum secara berlebihan (SEAWRIGHT, 1989). Keracunan
tembaga
dapat
disebabkan
karena
mengkonsumsi garam tembaga secara berlebih melalu pakan yang terkontaminasi. Tanaman dapat terkontaminasi 60
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
oleh penyemprotan fungisida dan air mungkin mengandung tembaga akibat parasitisida atau pada saat tindakan eradikasi
siput
berlangsung.
Rumput
dapat
j uga
mengandung tembaga berlebihan setelah pemupukan
dengan garam tembaga untuk memperbaiki defisiensi cuprum.
Pada kawasan industri, polusi oleh cuprum
memungkinkan untuk terjadi. Gejala klinis
Garam tembaga merupakan koagulan protein maka
konsumsi garam tembaga ini secara berlebihan akan
mengakibatkan iritasi pada mukosa saluran pencernaan.
Maka gastroenteritis parah yang diikuti dengan nyeri abdominal dan diare parah merupakan gejala klinis yang
l angsung terlihat. Selanjutnya hewan akan mengalami shock parah diikuti dengan penurunan suhu tubuh dan peningkatan
denyut jantung. Kolaps dan kematian dapat terjadi dalam 24
j am setelah gejala klinis pertama terlihat. Pada anak sapi yang mampu bertahan hidup akan terlihat hemoglobinuria dan hemoragi masif, gangguan fungsi saluran pencernaan, dan jaundice disebabkan
secara
karena
haemoglobinuria.
mendadak.
anemia
Met hemoglobin
akut
Kematian dan
ternak
nephrosis
sering terdeteksi
dan
packed cell volume (PCV) mangalami penurunan dari 40% menjadi 10% dalam 48 jam (SEAWRIGHT, 1989).
61
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
Pengobatan dan pencegahan
Pengobatan pada kasus keracunan akut dianjurkan
untuk memberikan sedativa gastrointestinal dan pengobatan
simptomatik. Ternak yang mengalami keracunan akut dapat diobati
dengan
penyerapan
molybdenum sulfat untuk
cuprum
dari
saluran
membatasi
pencernaan
dan
merangsang mobilisasi dari hati dan ekskresi melalui urin.
Pemberian 50 - 500 mg amonium molybdat dan 0,3 - 1 g
sodium sulfat setiap hari secara oral selama 3 minggu dianjurkan untuk mencegah terjadinya fase akut penyakit ini. Selenium (Se) Keracunan selenium (Se) sering terjadi pada daerah
dengan kadar Se tinggi di dalam tanah, dimana tanaman
yang terdapat di atas tanah tersebut memiliki kemampuan
menyerap (akumulator) Se dari tanah atau terjadi pemberian
Se secara berlebihan (Seawright, 1989). Hewan yang
terintoksikasi mengalami kebutaan dan menunjukkan gejala
syaraf seperti menundukan kepala, emasiasi, lumpuh dan rontok bulu.
Gejala klinis
Kasus keracunan Se akut memperlihatkan gejala sulit
bernapas, diare encer, demam dari tacchycardia. Sering
pula dijumpai gerakan dan postur abnormal dan diikuti dengan kematian 62
mendadak.
Nekropsi
memperlihatkan
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional lndustri
pembendungan dan nekrosis hati serta pembendungan pada medulla ginjal, ulserasi pada rumen dan kerusakan jaringan
yang luas pada hati, paru-paru dan myocardium.
Pada keracunan Se kronik terdapat dua bentuk gejala
keracunan, yaitu: 1) "blind stagger" yang memperlihatkan
gejala syaraf seperti langkah kaku, kebutaan, paralisis dan
mati akibat kegagalan pernapasan dan 2) "ill-thrift" yang
menunjukkan gejala kekusaman bulu, emasiasi, Wit keras
dan rontok bulu serta tidak aktif. Pada kondisi ini sering juga
dijumpai abnormalitas tapak kaki dan kepincangan biasanya bersifat parah. Nekropsi terlihat atrophy dan dilatasi jantung, nekrosis hati dan glomerulonephritis. Pengobatan dan pencegahan
Pengobatan dapat dilakukan dengan pemberian diet
protein tinggi dan pemberian preparat tembaga secara oral. Pencegahan dilakukan dengan menghindari pemberian
hijauan yang mengandung selenium tinggi (akumulator) dan
berhati-hati dalam penyuntikan preparat selenium dalam mengatasi defisiensi selenium pada ternak. Cobalt (CO) Cobalt (Co) adalah komponen penting dari vitamin B12
yang disintesa oleh bakteria di dalam rumen. Vitamin B12 dibutuhkan oleh mikroorganisme untuk mencerna selulosa.
Kelebihan vitamin ini akan diabsorbsi oleh sapi dan berperan 63
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
penting
dalam
metabolisme
energi.
Perubahan
pada
defisiensi cobalt menyebabkan ketidak mampuan hewan
untuk memanfaatkan energi pada diet pakannya sehingga
sindrom penyakit ini disebut juga sebagai "pine". Sapi perah dilaporkan dapat mengalami penurunan produksi susu dan i nfertilitas (SEAWRIGHT, 1989). Penyebab penyakit
Penyakit ini dapat disebabkan karena tanah tempat
tumbuhnya rumput atau hijauan pakan ternak mengalami defisiensi
Co,
sehingga tanaman tersebut juga akan
mengalami defisiensi Co. Gejala klinis
Gejala klinis untuk defisiensi Co tidak begitu nyata seperti
defisiensi mineral lainnya. Gejala yang umum terlihat adalah penurunan nafsu makan, kehilangan bobot badan, pica dan
diare. Hewan penderita sering pula menunjukkan gejala anemia dan hypoglysemia.
Pengobatan dan pencegahan
Pengobatan dan pencegahan defisiensi Co dapat
dilakukan dengan memberikan suplementasi cobalt secara oral kemudian diikuti dengan penyuntikan vitamin B
12
secara
parenteral. Preparat Co direkomendasikan ke dalam diet sapi sebesar 0,07 mg/kg bahan keying.
64
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
Nitrat - Nitrit Nitrat di dalam rumen akan diubah menjadi nitrit.
Senyawa ini diabsorbsi dari saluran pencernaan untuk dialirkan melalui darah dimana akan berikatan dengan hemoglobin Keracunan
sehingga
nitrat-nitrit
mencegah
merupakan
masuknya
masalah
oksigen.
dalam
peternakan ruminansia yang disebabkan karena konsumsi urea secara berlebihan dan mendadak. Kondisi yang sama
juga sering terjadi pada saat ternak mendapatkan pakan
hijauan yang segar dengan kandungan protein terlarut yang
tinggi sehingga dapat difermentasi dengan cepat. Masalah lain yang berkaitan dengan keracunan nitrat adalah bila
ternak digembalakan atau diberi rumput yang diberi pupuk
dengan kandungan nitrat tinggi, terutama pada saat musim kering.
Penyebab penyakit
Biji-bijian umumnya mengandung nitrat dalam jumlah
yang toksik, terutama setelah dilakukan pemupukan lahan dengan
menggunakan senyawa nitrogenus. Beberapa
tanaman tertentu dapat mengandung nitrat dalam jumlah
yang lebih besar terutama tanaman muda, gandum dan j erami. Beberapa tanaman lainnya dapat mengakumulasi nitrat dalam jumlah yang berbahaya bagi kesehatan ternak
seperti rumput Urochloa panicoides. Sementara itu air sumur
65
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
yang dalam dilaporkan dapat mengandung nitrat hingga 1.700 - 3.000 ppm (SEAWRIGHT, 1989). Gejala klinis Gejala
klinis - utama
dari
keracunan
nitrat
adalah
dyspnoea diikuti dengan pernapasan yang cepat akibat anoxia.
Anoxia
disebabkan
karena
pembentukan
methemoglobin pada saat nitrit diabsorbsi. Nitrit juga
bertindak sebagai vasodilatator sehingga
menimbulkan
anoxia pada jaringan. Gejala klinis ini juga diikuti oleh
gangguan sistem syaraf pusat seperti salivasi, tremor, i nkoordinasi dan kematian ternak. Absorbsi nitrit ke dalam
darah mengakibatkan terikatnya nitrit dengan hemoglobin yang dapat menghambat darah untuk membawa oksigen,
sehingga gejala klinis yang ditimbulkan meliputi sesak napas, menggigil, megap-megap dan kolaps. Gejala awal
yang dapat dilihat adalah nyeri perut, diare, muntah dan salivasi.
Kematian
methemoglobin
darah
(SEAWRIGHT, 1989).
sapi
dapat
mencapai
9
terjadi
g/100
bila
ml
kadar
darah
Pengobatan dan pencegahan
Pengobatan dapat dilakukan dengan cara menyuntikan
methylene blue secara intravena sebanyak 20 mg/kg pada sapi. Bila bahan toksik yang dikonsumsi lebih banyak, maka
penyuntikan perlu diulangi kembali dalam kurun waktu 6 - 8
j am kemudian. 66
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
Pencegahan
penyakit
dilakukan
dengan
cara
memberikan diet pakan yang cukup karbohidrat dan hindari
dari pemberian hijauan yang mengandung nitrat tinggi atau tanaman akumulator untuk nitrat. Begitu pula dengan
pemberian jerami dan silase perlu dibatasi karena jenis pakan ini dapat mengandung nitrat yang cukup tinggi. KESIMPULAN DAN SARAN 1. Kasus mastitis khususnya mastitis subklinis masih cukup tinggi di Indonesia yang dapat menimbulkan kerugian
bagi peternak akibat rendahnya produktivitas sapi perah dan kualitas susu yang dihasilkan.
2. Demikian pula penyakit brucellosis sering dijumpai di berbagai sentra peternakan sapi perah. Sapi terinfeksi penyakit
sehingga
brucellosis
produktivitas
mengalami penurunan.
sering
dan
mengalami
keguguran
reproduktivitas
ternak
3. Sementara itu, penyakit non-infeksius yang sering muncul di peternakan sapi perah adalah gangguan metabolisme, defisiensi mineral esensial dan kawin berulang.
4. Berbagai teknologi baik teknik diagnosa, obat dan vaksin
telah dihasilkan untuk pengendalian penyakit pada sapi perah seperti teknik RBT, CFT dan ELISA.
67
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
DAFTAR PUSTAKA ALTON, G.G. 1984. Report on Consultancy in Animal Brucellosis in Indonesia. ALTON, G., L.M. JONES, R.D. ANGUS and J.M. VERGER. 1988. Techniques for the Brucellosis Laboratory. INRA, Paris.
BLOOD, D.C. and J.A. HANDERSON.1979. Veterinary Medicine 5thEd. Bailliere Tindall. London. BLOWEY, R.W. 1988. A Veterinary Book for Dairy Farmers. Farming Press Limited. p: 157 - 179.
BUNDLE, D.R., J.W. CHERWONOGRODSKY, M. CAROLF and M.B. PERRY. 1987. The Lipopolysaccharides of Brucella abortus and B. Militensis. Ann. Inst. Pasteur Microbiol. 138: 92 - 98. CORNER, L.A., G.G. ALTON and H. IYER. 1987. Distribution of Brucella abortus in infected cattle. Aust. Vet.J. 64: 242 244. DIAZ, L.J., D. LEONG and J. WILSON. 1968. Diagnosis of brucellosis by serology. Veterinary Microbiology.
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN. 1981. Penyakit Keluron Menular (Brucellosis). Pedoman Pengendalian Penyakit Menular. Bina Direktorat Kesehatan Hewan. Dirjen Peternakan. Jakarta. Ditjennak, 2006. DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN dan KESEHATAN HEWAN. 2011a. Statistik Peternakan dan Kesehatan Hewan 2011. CV. Karya Cemerlang. him. 79 - 101.
DIREKTORAT JENDERAL PETERNAKAN dan KESEHATAN HEWAN. 2011 b. Rencana Strategis Direktorat Jenderal Peternakan dan Kesehatan Hewan 2010 - 2011. EDINGTON, B.H. and C.R. DONHAM. 1939. Infection and Reinfection experiment with Bang's disease. J. Agric.Res. 59: 609 - 618. ENRIGHT, F.M. 1990. The pathogenesis and pathobiology of Brucella infection in domestic animals, p. 301 - 320. In: K. Nielsen and J. R. Duncan (Ed.), Animal brucellosis. CRC Press, Inc., Boca. Raton, Fla. 68
Kesehatan Sapi Perah dalam Rangka Gerakan Nasional Industri
GEERING WA, J.A. FORMAN and M.J. NUNN. 1995. Exotic Diseases of Animals: A Field Guide for Australian Government Publishing Veterinarians, Australian Service, Canberra.
HASTIONO, S., D. GHOLIB, SUDARISMAN, P. ZAHARI clan L. NATALIA. 1983. Mastitis mikotik pada sapi perah. Pertemuan Il miah Penelitian pendahuluan. Pros. Ruminansia Besar, Cisarua, 6 - 9 Desember 1982. Puslitbang Peternakan, Bogor: 193 - 201.
HIRST, R.G., A. NURHADI, A. ROMPIs, J. EMINS, SUPARTONO and Y. SETIADI. 1985. The detection subclinical mastitis i n the tropic and the assessment of associated milk production losses. Proc. of the third AAAP Animal Science Congress. Seoul, Korea. I: 498 - 500.
KAHAN, C.M. and S. LINE. 2010. The Merck Veterinary Manual.l0th Ed. Merck and Co., USA. pp.1248 -- 1257. MORGAN, W.J.B. 1977. The Diagnosis of Brucella abortus I nfection in Britain. In: R.P. Crawford and R.J. Hidalgo ( Eds), Bovine Brucellosis. An International Symposium. Texas A&M Press. College Station. 21 - 29.
NICOLETTI P. 1977. A preliminary report on the efficacy of adult cattle vaccination using strain 19 in selected dairy herds in Florida. Proc. 80th Annu. Met. US Animal Health Assoc. 91 - 100. NICOLETTI P. 1990. Vaccination. In: K. Nielsen and J. R. Duncan (ed.), Animal brucellosis. CRC Press, Inc., Boca Raton,Fla.p. 283 - 300.
PAYNE, J.M. 1989. Metabolic and Nutritional Diseases of Cattle. Blackwell Scientific Publications. p: 1 - 40.
PLOMET. M. and A.M. PLOMET. 1988. Virulence of Brucella: bacterial growth and decline in mice. Annales de Recherces Veterinaires. 19(1): 65 - 67.
RADWAN, A.I., BEKAIRI, S.I., AL-BOKMY, A.M., PRASAD, P.V., MOHAMMAD, O.M. and HUSSAIN, S.T. 1993. Successful therapeutic regimens for treating Brucella melitensis and Brucella abortus infections in cows. Review Scientific Techniques (OIE) 12(3): 909 - 922. 69
Dukungan Teknologi dan Kebijakan dalam Percepatan Produksi dan Konsumsi Susu
dan M.I. CAHYONO, 2011. Pengendalian Mastitis Dalam Rangka Recovery Produksi Susu Sapi Perah Pascaerupsi Gunung Merapi di Propinsi DIY dan Jawa Tengah. Laporan Akhir Litkajibangrap Merapi.
SANI, Y., INDRANINGSIH, S. MUHARSINI
SCHALM, O.W., E.J. CARROLL and N.C. JAIN. 1971. Bovine
Mastitis. Lea & Febiger, Philadelphia, USA.
SEAWRIGHT, A.A. 1989. Animal Health in Australia. Chemical
and Plant Poisons. 2(2):195 - 232.
SUDIBYO, A DAN P. RONOHARDJO. 1989. Brucellosis pada sapi
perah di Indonesia. Pros. Pertemuan Ilmiah Ruminansia Besar. hlm. 25 - 31.
SUDIBYO, A.,
P. RONOHARDJO, B. PATTEN dan Y. MUKMIN. 1991. Status brucellosis pada sapi potong di Indonesia. Penyakit Hewan. 23 (41): 18 - 22.
SUDIBYO A., E.D. SETIAWAN dan S. BAHRI.
1997. Evaluasi Vaksinasi Brucellosis pada Sapi Potong di Nusa Tenggara Timur. Laporan Penelitian Tahun Anggaran 1996/1997. Balitvet, Bogor.
1997. Mastitis subklinis pada sapi perah di I ndonesia: Masalah dan pendekatannya. Wartazoa 6(2): 48-52.
SUPAR.
SUPAR dan T. ARYANTI. 2008. Kajian pengendalian mastitis
subklinis pada sapi perah. Pros. 'Prospek industri sapi perah menuju perdagangan bebas 2020. Jakarta, 21 April 2008. Pusat Penelitian dan Pengembangan Peternakan.
YOUNG E.J. 1983. Human Brucellosis. Rev. Infect. Dis. 5:
821 -824.
70