KESANTUNAN BERBAHASA PADA KELUARGA GOLONGAN TRIWANGSA DI PURI UNDISAN BANGLI: KAJIAN TINDAK TUTUR Ni Putu Evi Wahyu Citrawati 1 I Gusti Ayu Istri Aryani2 Sang Ayu Isnu Maharani3 Universitas Udayana
[email protected],
[email protected],
[email protected] Abstrak Bahasa Bali dibedakan atas dua dialek, yaitu dialek Bali Aga, dan dialek bali Daratan, yang masing-masing memiliki ciri subdialek tersendiri. Berdasarkan dimensi sosial, bahasa Bali mengenal adanya sistem sor singgih yang erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat Bali yang mengenal adanya sistem wangsa yang dibedakan atas golongan triwangsa (Brahmana, Ksatria, dan Weisia), dan golongan Sudra. (Sulaga dkk, 1996:1—2). Tulisan ini menggunakan kajian tindak tutur pada pembicaraan sehari-hari dalam keluarga yang memiliki kasta yang berbeda. Kajian tindak tutur yang dijadikan acuan dalam penulisan artikel ini adalah teori yang dikembangkan oleh Searle (1983), Leech (1993); Levinson (1983); Kempson (1984); Austin (1990); dan Wijana (1996). Paling sedikit ada tiga komponen tindak tutur, yaitu tindak lokusional (locutionary act), tindak ilokusional (illocutionary act), dan tindak perlokusional (perlocutionary act). Selain itu, juga dibahas sekilas tentang fungsi tindak tutur yang dikembangkan oleh Searle (dalam Lavinson, 1983). Ada lima macam fungsi tindak tutur yaitu: (1) Ekspresif, (2) Direktif, (3) Komisif, (4) Reresentatif, dan (5) Deklaratif. Perbedaan tindak tutur dalam percakapan sehari-hari dalam masyarakat Bali, sebenarnya tidak menjadi masalah, sepanjang tidak menimbulkan ketidakadilan. Namun, perbedaan ini dapat mengarah kepada ketidakadilan terutama perlakuan terhadap kaum perempuan. Perbedaan dalam pemilihan bahasa laki-laki dan perempuan berkisar pada polapola intonasi sampai pada leksikal. Penutur perempuan biasanya cenderung berbicara lebih benar, baik dari sudut gramatikalnya, maupun dari aturan sosial kebahasaannya. Kata Kunci: Triwangsa, tindak tutur, kesantunan Abstract Balinese language is divided into two dialects; the Bali Aga and Bali Dataran dialect. Each of which has its own characteristics as well as its own sub-dialect. Based on the social dimension, the Balinese language has the sor singgih system which is closely related to the development of Balinese people and their wangsa system. The wangsa system is divided into two groups, which are the Triwangsa (Brahmins, Kshatriyas, and Weisia) and the Sudra (Sulaga et al, 1996: 1—2). This study analyzed the speech acts in everyday conversation in the family who had different wangsa. Furthermore, in analyzing the problems, the different study of speech acts used as the references, such as the theory developed by Searle (1983); Leech (1993); Levinson (1983); Kempson (1984); Austin (1990); and Wijana (1996). There were at least three components of speech acts, which were locutionary, illocutionary, and perlocutionary act. There were also the functions of speech acts developed by Searle (in Lavinson, 1983), which were (1) Expressive, (2) Directive, (3) Commissive, (4) Reresentatif, and (5) Declarative. Based on the analyzing result, it was found that the differences in speech acts in everyday conversation in Balinese society were not really an issue, as long as it did not cause injustice. Still that it could probably lead to injustice, in related to how women were treated. It was also found that the differences in the choice of language of men and women were ranging in the form of intonation up to lexical. In this case, the female speakers tended to speak more correctly, in terms of both grammatical and social matters. Keywords: Triwangsa, speech act, politeness
73
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
PENDAHULUAN Bahasa Bali (BB) merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang dipelihara dengan baik oleh masyarakat penuturnya, yaitu masyarakat Bali. Bahasa Bali sebagai bahasa ibu atau bahasa pertama bagi sebagian besar masyarakat Bali digunakan sebagai sarana komunikasi dalam berbagai aktivitas, baik dalam kehidupan rumah tangga maupun dalam kehidupan sosial masyarakat Bali. Dilihat dari jumlah penuturnya, bahasa Bali didukung oleh lebih kurang tiga juta jiwa (BPS, 2004/2005) dan memiliki tradisi tulis sehingga bahasa Bali termasuk bahasa daerah besar di antara beberapa bahasa daerah di Indonesia. BB sebagai bahasa daerah di Indonesia, kelestariannya dijaga oleh pemerintah sebagai aset nasional. Untuk menjaganya pemerintah telah menggariskan pedoman dalam Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN), khususnya dalam bidang kebudayaan, bagian E (Tap, MPR, 1993: 101). Sejalan dengan pedoman tersebut, Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa, Jakarta telah membiayai penelitian bahasa daerah khususnya BB (Riana, 1995: 8). Bahasa Bali memiliki variasi yang cukup rumit karena adanya sor singgih yang ditentukan oleh pembicara, lawan bicara, dan hal-hal yang dibicarakan. Secara umum, variasi bahasa Bali dapat dibedakan atas variasi temporal, regional, dan sosial. Secara temporal, bahasa Bali dibedakan atas bahasa Bali Kuno atau yang sering disebut bahasa Bali Mula atau bahasa Bali Aga, bahasa Bali Tengahan atau bahasa Kawi Bali, dan bahasa Bali Mula Kepara yang sering disebut bahasa Bali Baru atau bahasa Bali Modern. Secara regional bahasa Bali dibedakan atas dua dialek, yaitu dialek Bali Aga, dan dialek Bali Daratan yang masing-masing memiliki ciri subdialek tersendiri. Berdasarkan dimensi sosial, bahasa Bali mengenal adanya sistem sor singgih yang erat kaitannya dengan perkembangan masyarakat Bali yang mengenal sistem wangsa yang dibedakan atas golingan triwangsa (Brahmana, Ksatria, Weisia) dan golongan Sudra (Sulaga dkk, 1996:1—2). Pengelompokan dua dialek tersebut diikuti pula dengan pembagian masyarakat Bali menjadi dua bagian, yakni Masyarakat Bali Aga dan Masyarakat Bali Majapahit (Wong Majapahit) (Bagus, 1979: 279), sedangkan Bawa (1983: 394) menyatakan bahwa Bali Aga/Bali Mula mengacu pada masyarakat yang mendiami daerah pegunungan dan merupakan penduduk asli, serta sulit ditundukkan oleh Majapahit (Warna, dkk., 1986: 4, Budharta, 1980: 170—171, Riana, 1995: 1—2). Kabupaten Bangli adalah salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Bali. Kabupaten ini adalah satu-satunya kabupaten yang ada di Bali yang tidak memiliki pantai. Bangli berbatasan dengan kabupaten Buleleng di sebelah utara, kabupaten Klungkung dan Karangasem di sebelah timur, sebelah selatan kabupaten Gianyar dan Klungkung, sebelah barat Badung dan Gianyar. Kabupaten Bangli terdiri atas empat kecamatan yaitu Kecamatan Kintamani, Kecamatan Susut, Kecamatan Tembuku, dan Kecamatan Bangli. Salah satu Puri yang ada di Bangli adalah Puri Undisan, Kecamatan Tembuku. Puri Undisan ini merupakan pecahan dari Puri Kawan Tanggu yang ada di Bangli Kota. Di Puri Undisan terdapat empat KK, tetapi sebagian besar tinggal di Denpasar. Hanya ada satu KK yang tinggal di sana. Sebagian besar bahasa yang dipergunakan sehari-hari di lingkungan puri adalah bahasa Bali Halus. Akan tetapi, sejak sebagian besar bekerja di daerah perkotaan, penggunaan bahasa Bali Halus itu sudah bercampur dengan penggunaan bahasa Indonesia, sehingga bahasa Bali Halus itu hanya dipergunakan oleh kaum “lingsir” atau kaum tua. Selain itu, penggunaan bahasa Bali Halus dilakukan pada saat ada acara keluarga besar di lingkungan puri. 74
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Berdasarkan gambaran di atas, maka dapat dilihat bahwa penggunaan bahasa Bali di masyarakat, terutama pada kalangan Triwangsa sangat berbeda dengan kalangan Sudra. Namun, dewasa ini sudah terjadi pergeseran pemakaian bahasa Sor Singgih pada generasi muda, tetapi di kalangan Puri penggunaan bahasa tersebut masih sangat kental terutama pada generasi tua. Hal inilah, yang menarik bagi penulis untuk meneliti sejauh mana kesantunan berbahasa itu dipergunakan terutama pada kehidupan keseharian warga puri, khususnya keluarga puri yang ada di Bangli. Pembahasan ini memiliki arti yang sangat penting untuk mengetahui sejauh mana penggunaan bahasa Bali Sor Singgih. KAJIAN TEORI Teori merupakan acuan di dalam penulisan sebuah karya tulis. Tulisan ini menggunakan teori tindak tutur yang dikembangkan oleh Searle (1983); Leech (1993); Levinson (1983); Kempson (1984); Austin (1990); dan Wijana (1996). Paling sedikit ada tiga komponen tindak tutur, yaitu tindak lokusional (locutionary act), tindak ilokusional (illocutionary act), dan tindak perlokusional (perlocutionary act). Ketiga komponen tersebut akan diuraikan sebagai berikut. (1) Tindak lokusional merupakan tindak tutur yang relatif mudah diidentifikasikan. Kempson (1984: 50) mengatakan bahwa tindak lokusional adalah makna yang muncul dari makna leksikal kata yang sesungguhnya. Contoh: Ikan paus adalah binatang menyusui dan jari tangan jumlahnya lima. Kalimat tersebut di atas diucapkan oleh penuturnya sematamata untuk memberikan informasi tentang sesuatu, tidak ada tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Informasi yang diberikan adalah termasuk hewan apa ikan paus tersebut, serta berapa jumlah jari tangan (Wijana, 1996: 17—18). (2) Tindak ilokusional (illocutionary act), hal yang menjadi prioritas utama dalam teori tindak tutur adalah maksud, pesan, atau tendensi pembicara pada saat melakukan sebuah ujaran. Para ahli menyebut maksud, pesan, tendensi atau makna yang terkandung di balik makna leksikal kata yang sesungguhnya itu dengan istilah tindak ilokusional, daya ilokusional, atau makna ilokusional. Pada dasarnya, para ahli seperti Kempson (1984: 50), Thomas (1995: 49), dan Wijana (1996:18—19) sependapat bahwa makna ilokusional sebuah tindak tutur bisa sama atau berbeda dari makna lokusionalnya. Ilokusi suatu tuturan sangat tergantung dari maksud, niat, dan tujuan penutur yang mengutarakan sebuah tuturan. Contoh: Ujian sudah dekat, apabila diucapkan oleh seorang guru kepada muridnya mungkin berfungsi untuk memberikan peringatan agar muridnya mempersiapkan diri untuk menghadapi ujian, serta mengurangi aktivitas bermain. (3) Tindak perlokusional (perlocutionary act), tuturan yang diutarakan oleh seseorang seringkali mempunyai daya pengaruh (perlocutionary force), atau efek bagi yang mendengarkannya. Efek atau daya/pengaruh ini dapat secara sengaja atau tidak sengaja dikreasikan oleh penuturnya. Tindak tutur yang pengutaraannya dimaksudkan untuk mempengaruhi lawan tutur ini disebut tindak perlokusi (Wijana, 1996:19—21). HASIL DAN PEMBAHASAN Dari data yang diperoleh di lapangan menyangkut percakapan suami-istri terutama dalam bahasa sehari-hari, serta dalam situasi yang tidak formal, mereka lebih banyak menggunakan bahasa Bali Halus atau bahasa Bali Biasa/Kepara. Seperti terlihat pada data berikut ini. 75
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
1. Tuni tiang masak siap sisit ‘Tadi saya masak lauk ayam suir-suir’ 2. Sing nawang engken jani mekejang pada mael ‘Tidak tahu apa sekarang semua sudah pada mahal’ 3. Kanggeang sanganane godoh embon ‘Maklum ya, jajannya hanya pisang goreng dingin’
Kalimat (1)—(3) merupakan tindak tutur lokusi karena dituturkan oleh seorang penutur semata-mata hanya untuk memberikan informasi, tanpa adanya tendensi untuk melakukan sesuatu, apalagi untuk mempengaruhi lawan tuturnya. Kalimat (1), penutur memberikan informasi kepada lawan tutur tentang, tuni tiang masak ayam sisit ‘tadi saya masak ayam suir-suir’; kalimat (2), penutur mengatakan kepada lawan tutur bahwa semua harga barang sudah pada mahal (sing nawang engken jani mekejang pada mael). Tuturan terakhir, penutur memberikan informasi kepada lawan tuturnya bahwa teman minum kopinya hanya pisang goreng yang sudah dingin (kanggeang sanganane godoh embon). Tindak tutur ilokusi, selain menyatakan sesuatu juga menyatakan juga melakukan sesuatu. Oleh karena itu, tindak tutur ini disebut juga The Act of Doing Something (tindakan melakukan sesuatu). Contoh berikutnya adalah sebagai berikut. 4. Jung, tolong jebos tiang, ambilang piring ‘Ajung tolong sebentar saya, ambilkan piring’ 5. Pak tolong ateh tiang ke kantor nggih ‘Pak tolong anter saya ke kantor ya’ 6. Pak, tiang dot jak rujak kuah pindang ‘Pak saya pengen dengan rujak kuah pindang’
Tuturan (4) di atas diucapkan oleh seorang istri kepada suaminya untuk mengambilkan piring, pada tuturan (5) istri meminta tolong untuk diantarkan ke kantor, dan pada tuturan terakhir istri mengatakan kepada suaminya bahwa dia ingin rujak kuah pindang. Oleh karena itu, suami akan menjawab dengan tuturan sebagai berikut. 7. Apa jemakang, piring? ‘Apa yang diambilkan, piring? 8. Kok tumben nagih atehang ke kantor ‘Kok tumben minta diantarkan ke kantor’ 9. Nah binjep meli rujak di warungne Bu Agung ‘Ya sebentar beli rujak kuah pindang di warungnya Bu Agung’
Jika disimak baik-baik, tindak tutur ilokusi selain memberikan informasi tentang sesuatu hal, juga terkandung maksud yang diucapkan oleh penutur kepada lawan tutur. Jadi, maksud tuturan inilah yang lebih penting pada setiap tindak tutur ilokusi. Tindak tutur yang terakhir adalah tindak tutur perlokusi. Perlokusi adalah tindak tutur yang mempunyai efek atau pengaruh terhadap lawan tutur. Tindak tutur ini sering disebut dengan The Act of Affective Someone (tindak tutur yang memberikan efek pada orang lain). Sebagai contoh simak tuturan di bawah ini. 10. Nika napi ring pewaregan mewadah toples merah ‘Itu apa di dapur, yang tempatnya toples merah’ 11. Gung, mani de be medagang, ajung kal mulih ngajanang ‘Gung, besok jangan dah berjualan, ajung besok akan pulang ke kampung’ 12. Bu, yen kal ke peken mani beliang nasi kuning ‘Bu, besok kalau ke pasar belikan nasi kuning’
76
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Tuturan (10—12) bukan hanya memberikan informasi, tetapi juga dapat memberikan efek bagi lawan tutur. Pada tuturan (10), efek yang ditimbulkan adalah lawan tutur akan memberikan jawaban dengan menunjukkan tempat, serta warna dari toples yang ditanyakan. Tuturan (11) dan (12), efek yang ditimbulkan adalah penutur menginginkan agar lawan tuturnya/istri agar tidak berjualan karena suami atau penuturnya akan pulang kampung. Tuturan berikutnya suami/penutur menginginkan lawan tutur agar membelikan nasi kuning kalau ia akan pergi ke pasar besok pagi. Jika dilihat lebih saksama, sangat sulit membedakan tindak tutur ilokusi dan perlokusi. Karena dalam tindak tutur yang menyatakan maksud ujaran terkandung juga akan adanya efek kepada lawan tutur. Gunarwan (1994) mengatakan bahwa kata kerja yang menunjukkan suatu tuturan tersebut suatu tindak tutur ilokusi, seperti kata melaporkan, bertanya, menyarankan dan lain-lain. Kata kerja yang menunjukkan tindak tuturnya adalah perlokusi, seperti kata kerja membujuk, menipu, menjengkelkan dan lainlain. Fungsi tindak tutur yang dikembangkan oleh Searle (dalam Lavinson, 1983) ada lima macam. Secara rinci, akan dipaparkan di bawah ini. (1) Ekspresif. Tindak tutur ekspresif ini menurut Levinson, (1983: 240) memiliki fungsi untuk mengungkapkan perilaku penutur dalam menyikapi suatu persoalan atau menyikapi suatu keadaan seperti ungkapan berterima kasih (thanking), ucapan selamat (congrulating), belasungkawa (sympatizing), mengkritik, menyela, dan permintaan maaf (apologizing). TT ‘happy birthday to you’ misalnya, merupakan ungkapan tuturan tipe ekspresif. 13. Engken seh gung, jeg bengkung sing dadi orin ‘Bagaimana sih gung, kok bandel sekali tidak bisa diberi tahu’ 14. Dong jemakang nake baju, adane gen panak nu cenik ‘Kenapa tidak diambilkan baju, namanya juga anak masih kecil’
Tuturan (13) dan (14) di atas merupakan bentuk tuturan ekspresif karena tuturan ekspresif merupakan tindak tutur yang dilakukan dengan maksud agar tuturannya diartikan sebagai suatu evaluasi mengenai yang diucapkan dalam suatu tuturan. Pada tuturan (13) suami/penutur merasa bahwa apa yang diucapkan tidak diikuti, sehingga penutur mengatakan kepada lawan tutur/istrinya bandel. Pada tuturan (14), penutur merasa kesal ketika melihat semua pakaian berserakan, sehingga dia mengungkapkan kepada lawan tutur/istrinya agar mengambilkan baju buat anak mereka yang masih kecil. (2) Direktif. Fungsi direktif dari TT berorientasi kepada petutur. Penutur (Levinson, 1983: 24) mengharapkan petutur melakukan sesuatu tindakan misalnya, permohonan (begging), perintah (commanding), dan permintaan (requesting). TT ‘would you mind closing the door’ (Levinson, 1983: 264; Leech, 1993: 164) yang dituturkan oleh penutur kepada petutur akan membentuk suatu tindakan direktif. 15. Jung, durus ngerereh tukang, niki di dapur bocor. ‘Jung, jadi mencari tukang, ini di dapur bocor’ 16. Bu, tulungin jep gaenang mie goreng isinin taluh mata sapi ‘Bu, tolong sebentar buatkan mie goreng isi telor mata sapi’
Tuturan (15) dan (16) di atas merupakan bentuk tuturan direktif karena tuturan direktif merupakan tindak tutur yang dilakukan penuturnya dengan maksud agar lawan tutur 77
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
melakukan tindakan yang diinginkan oleh penutur. Pada tuturan (15), istri menanyakan serta menyuruh suami-nya apa jadi mencarikan tukang karena di dapur bocor, sedangkan pada tuturan (16), suami memerintahkan istrinya agar membuatkan mi goreng. Tuturan itu pun mendapatkan tanggapan dari lawan tutur nya dengan melaksanakan apa yang diminta oleh lawan tuturnya. (3) Komisif. Tuturan yang mengacu pada beberapa tindakan akan datang, seperti janji (promising), ancaman (threatening), atau tawaran (offering) adalah ciri khusus tipe tuturan komisif (Levinson, 1983: 240). TT ‘pass me the wrench, if you can’, misalnya, dapat dikategorikan ke dalam kelompok tindakan penawaran atau komisif (Levinson, 1983: 266). 17. Nah mani tahun baru ajake men melali ke Bedugul, ngalih suasana baru ‘Ya nanti tahun baru kita liburan ke Bedugul, sekalian mencari suasana baru’ 18. Haruh kalin je malu kejep, jeg lebian itungan kene sing, keto masi sing ‘Aduh tinggalkan dulu sebentar, kebanyakan perhitungan, begini tidak, begitu juga tidak’
Pada tuturan (17) dan (18) di atas merupakan tindak tutur komisif karena tindak tutur komisif mengikat penuturnya dengan maksud untuk melakukan apa yang disebutkan oleh penuturnya di dalam sebuah tuturan. Pada tuturan (17), suami/penutur berjanji mengajak seluruh anggota keluarganya untuk berlibur ke Bedugul pada saat tahun baru. Kemudian pada data (18), penutur/suami mengancam istri agar meninggalkan sebentar pekerjaanya, karena semua yang dilakukannya salah, serta dianggap terlalu banyak perhitungan padahal pekerjaanya tidak beres-beres juga. (4) Representatif. Tindak tutur representatif (representative) menurut Levinson (1983: 40), yang disebut Coulthard (1978: 25) dengan istilah behabitives dan Hurford & Heasley (1983: 241) menyatakan dengan istilah asertif (assertive), bercirikan bahwa penutur menyampaikan opininya tentang sebuah kebenaran, atau sebuah simpulan (concluding). 19. Jung, benjang tiang jagi tugas ke luar, mewakili Pak Kabid ‘Jung, besok saya akan tugas ke luar, mewakili Pak Kabid’ 20. Nah dadi masi, pedalem nik-nike bakat kalin jak dua nak nu ulangan umum. ‘Ya boleh juga, kasihan anak-anak di tinggal berdua, karena masih ulangan umum’
Pada tuturan (19) dan (20) di atas merupakan fungsi tindak tutur representatif atau juga disebut dengan asertif. Disebut representatif karena dalam sebuah tuturan representatif merupakan tuturan yang mengikat penuturnya kepada suatu kebenaran atas apa yang dikatakannya. Pada tuturan (19), penutur mengatakan bahwa besok dia akan tugas ke luar mewakili atasannya (Pak Kabid). Penutur berusaha menyampaikan tentang informasi kepada suami/lawan tutur. Sedangkan pada tuturan (20), penutur akhirnya memberikan simpulan dan menerima saran dari lawan tutur agar anak-anaknya ada yang menjaga pada saat kedua orang tua bekerja ke luar kota. (5) Deklaratif. Tindak tutur yang menghasilkan hubungan antara muatan proposional keputusan (verdict), dan kenyataan seperti pembaptisan (christening) dan tidak tertutup pada kemungkinan pada agama yang lain, pengucilan (excommunicating), pernyataan perang (declaring war), pernikahan (marrying), dan pemecatan (firing) (Levinson, 1983: 240) merupakan ciri tipe tindak tutur deklaratif. 21. Dadi ngudiang sing, yang penting ye ada ne ngateh ‘Boleh kenapa tidak, yang penting dia ada yang mengantarkan’
78
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
22. Nah to Alit ajak, nak mani ye sing luas. Tamune be tuni cek out ‘Nah itu Alit diajak, dia besok tidak pergi. Tamunya sudah tadi cek out’
Tuturan (21) dan (22) di atas, merupakan bentuk tuturan deklaratif, karena tuturan deklaratif merupakan tuturan yang dilakukan oleh penutur dengan maksud untuk menciptakan sesuatu yang bersifat baru. Misalnya melarang, dan mengizinkan. Pada tuturan (21), penutur/istri mengizinkan anaknya yang masih TK diantarkan tamasya oleh tantenya. Sedangkan, pada tuturan (22), penutur/suami menyarankan agar istrinya diantarkan oleh supir untuk pergi kundangan. Selain itu, ada juga tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tindak tutur langsung adalah tindak tutur yang langsung menyatakan sesuatu, hampir sama dengan tindak tutur lokusi. Sedangkan tindak tutur tidak langsung adalah tindak tutur yang tidak langsung menyatakan apa adanya, tetapi menggunakan bentuk tuturan lain. (Chaer, 2010: 26—31). Seperti di luar panas sekali, hidupkan AC-nya. Dari data yang di dapatkan dalam rekaman percakapan yang ada, maka ada beberapa tuturan yang menyatakan tuturan langsung, dan tuturan tidak langsung. Seperti terlihat pada tuturan berikut ini. 23. Yu, cen kopine ‘Ayu, mana kopinya’ 24. Nah, mani tengai tiang je nyemput Gung Wah ‘Ya, besok siang saya yang menjemput Gung Wah’ 25. Bu Gek ne orin ngateh sing dadi? ‘Bu Gek nya suruh mengantarkan apa tidak boleh? 26. Bu tulungin jep gaenang mi goreng isinin taluh mata sapi ‘Bu tolong buatkan mi goreng diisi telor mata sapi’
Pada tuturan (23)—(26) merupakan beberapa contoh tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Tuturan (23) dan (24) menyatakan tindak tutur langsung, karena penutur menanyakan mana kopi untuknya. Sedangkan pada tuturan (24), penutur mengatakan akan menjemput anaknya besok dari sekolah. Beda halnya dengan tuturan (25) dan (26), penutur secara tidak langsung menanyakan kepada lawan tuturnya bahwa apakah orang lain bisa mengantarkan anaknya yang akan tamasya. Tuturan tidak langsung lainnya adalah ketika penutur meminta dibuatkan mi goreng dengan telor mata sapi. Sebuah tuturan tidak langsung sama dengan tindak tutur ilokusi. Selain itu, sebuah tuturan tuturan langsung, dapat juga menjadi tindak tutur tidak langsung. Umpamanya penutur berkata kepada lawan tutur dengan tuturan (27) Pak tiang dot jak rujak kuah pindang. ‘Pak saya ingin rujak kuah pindang’. Maka tuturan itu bisa sebagai tuturan langsung kalau istrinya cuma memberikan informasi kepada suaminya bahwa ia ingin rujak kuah pindang. Namun, bisa juga sebagai tindak tutur tidak langsung kalau ia bermaksud menyuruh suaminya untuk segera membelikan rujak kuah pindang. SIMPULAN Berdasarkan pembahasan di atas dapat disimpulkan bahwa kesantunan dalam berbahasa pada keluarga golongan Triwangsa yang ada di Puri Undisan Bangli terdapat beberapa tindak tutur. Berdasarkan komponen tindak tutur terdapat tiga jenis tindak tutur yaitu (1) tindak lokusional, (2) tindak tutur ilokusional, dan (3) tindak tutur perlokusional. Sedangkan pada fungsi tindak tutur terdapat lima jenis tindak tutur yaitu: (1) Ekspresif, (2) Direktif, (3) Komisif, (4) Representatif, dan Deklaratif. 79
Vol.2, No.1 Februari 2016
JURNAL TUTUR
ISSN 2442-3475
Terdapat jenis tindak tutur langsung dan tindak tutur tidak langsung. Satu bentuk tuturan dapat mempunyai lebih dari satu fungsi. Sebaliknya, satu fungsi dapat dinyatakan dalam bebagai bentuk ujaran/tuturan. Dari beberapa data di atas kadang-kadang sulit untuk membedakan antara tindak tutur ilokusi dan perlokusi karena dalam sebuah ujaran terkandung juga efek kepada lawan tutur. SARAN Tulisan tentang kesantunan dan tindak tutur sudah banyak dilakukan oleh para ahli bahasa, namun pembahasan tentang kesantunan berbahasa di kalangan Triwangsa terutama di lingkungan puri belum banyak dilakukan. Tulisan ini merupakan penelitian awal, sehingga masih banyak kekurangan dan kelemahannya, baik dari segi pembahasan maupun dari penjaringan data. Disadari atau tidak tulisan ini jauh dari sempurna, sehingga kritik dan saran dari pembaca dibutuhkan demi kesempurnaan tulisan ini. DAFTAR PUSTAKA Bawa, I Wayan. 1983. “Bahasa Bali di Daerah Propinsi Bali: Sebuah Analisis Geografi Dialek”. Disertasi. Jakarta:Universitas Indonesia. Chaer, Abdul. 2010. Kesantunan Berbahasa. Jakarta: PT Rineka Cipta. Dhanawaty, Ni Made. 2002. “Variasi Dialektal Bahasa Bali di Lampung Tengah”. Disertasi: Program Pasca Sarjana UGM Yogyakarta. Dhanawaty, Ni Made. 2005. “Sekilas tentang Lingkup Kajian Dialektologi”. Linguistika, Maret 2005 Vol. 12 Denpasar. Dhanawaty, Ni Made dkk. 2005. “Cerminan Jender Dalam Sistem Sapaan Bahasa Bali. Laporan penelitian. Pusat Studi Wanita. Denpasar. Fakih, Mansour Dr. Analisis Gender dan Transformasi Sosial. Yogyakarta : Pustaka Pelajar. Gunarwan, Asim. 1992. “Persepsi Kesantunan Negatif di Kalangan Dwibahasawan Indonesia-Jawa di Jakarta : Kajian Sosiopragmatik” dalam PELLBA 7:81-111. Kridalaksana, Harimurti. 1993. Kamus Linguistik. Jakarta : Gramedia Pustaka Utama. Sudaryanto. 1982. Metode Linguistik dan Kedudukannya, Aneka Jenisnya dan Faktor Penentu Wujudnya. Yogyakarta: Fakultas Sastra UGM. Sudaryanto. 1992. Metode Linguistik ke Arah Memahami Metode Linguistik. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Wijana, Dewa Putu. 1996. Dasar-dasar Pragmatik. Yogyakarta: Andi Offset.
80