KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PENEBANGAN POHON DI PT. MAMBERAMO ALASMANDIRI, PROVINSI PAPUA
ADITA AGUNG PRADATA
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
KERUSAKAN TEGAKAN TINGGAL AKIBAT PENEBANGAN POHON DI PT. MAMBERAMO ALASMANDIRI, PROVINSI PAPUA
ADITA AGUNG PRADATA E14080019
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan pada Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN MANAJEMEN HUTAN FAKULTAS KEHUTANAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2012
RINGKASAN Adita Agung Pradata. E14080019. Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan Pohon di PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua. Di Bawah Bimbingan Dr.Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc.F.Trop. PT. Mamberamo Alasmandiri (PT. MAM) adalah perusahaan pemanfaatan kayu yang berada di wilayah Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua. Perusahaan tersebut melakukan kegiatan pemanenan hutan untuk memanfaatkan hasil hutan kayu. Penebangan merupakan bagian dari kegiatan pemanenan hutan, apabila dilakukan dengan tidak benar akan menyebabkan kerusakan tegakan tinggal. Rusaknya tegakan tinggal ini berpengaruh terhadap menurunya ketersediaan pohon layak tebang pada siklus panen selanjutnya. Penelitian ini bertujuan untuk menghitung tingkat kerusakan tegakan tinggal, mengidentifikasi tipe kerusakan, dan mengukur panjang wilayah yang terkena dampak penebangan pohon. Pengukuran kerusakan tegakan tinggal pada tiang (diameter 10-19 cm) dan pohon (diameter ≥ 20 cm) yang rusak akibat penebangan dilakukan pada plot contoh berbentuk lingkaran dengan luas plot tidak tetap. Tingkat kerusakan tegakan tinggal dihitung dengan cara membandingkan jumlah pohon yang rusak setelah penebangan dengan jumlah pohon sebelum penebangan. Panjang wilayah terkena dampak penebangan diukur dari tunggak pohon yang ditebang sampai pada posisi terluar yang terkena dampak penebangan pohon. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa tingkat kerusakan tegakan tinggal yang terjadi akibat penebangan satu pohon di PT. MAM termasuk dalam kategori ringan, yaitu sebesar 2.33% pada tingkat tiang dan 1.81% pada tingkat pohon. Tipe kerusakan yang terjadi akibat penebangan pohon adalah patah batang, pecah batang, roboh, rusak tajuk, luka batang, rusak banir, dan miring. Tipe kerusakan terbesar adalah patah batang pada tiang (41.59%) dan rusak tajuk pada pohon (26.60%). Sementara itu, tipe kerusakan terkecil adalah pecah batang sebesar 3.54% pada tiang dan rusak banir sebesar 1.06% pada pohon. Rata-rata panjang dampak penebangan satu pohon adalah sejauh 45 meter atau sekitar 1.5 kali tinggi pohon yang ditebang. Kata kunci: tegakan tinggal, panjang dampak, penebangan pohon, tingkat kerusakan
SUMMARY Adita Agung Pradata. E14080019. Residual Stand Damage Caused by Tree Felling in Mamberamo Alasmandiri Forest Company, Papua Province. Surpervised by Dr.Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc.F.Trop. PT. Mamberamo Alasmandiri (PT. MAM) hold forest concession licence, which is located in Mamberamo Raya Regency, Papua Province. This company practice logging operation to utilize timber product. Tree felling is part of logging operation, if it practiced not correctly will produce residual stand damage. Residual stand damage influence the availability of standing stock in the next harvest years. This research aims to quantify residual stand damage, indentify type of residual stand damage, and measure distance of impact caused by felling one tree. Poles (diameter 10-19 cm) and tree (diameter ≥ 20 cm) damage are measured in circular sample plot with variable distance. The percentage of tree damage were calculated through comparing the number of tree damage after logging with the number of tree before logging. Distance of impact area caused by tree felling is measured from stump until the outest border of impact. The result of the study showed that damage degree caused felling one tree 2.33% of poles and 1.18% of tree. Type of damage was broken stem, fallen tree, tree crown damage, stem injury, and buttress damage. The greatest type of damage was broken stem 41.59% of poles and tree crown damage 26.60% of tree. The smallest type of damage was smashed stem (3.54% for poles) and buttress damage (1.06% for tree). Average distance of impact caused felling one tree was 45 meter or 1.5 times of high tree felled.
Keyword: stand damage, distance of impact, tree felling, residual stand.
PERNYATAAN
Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan Pohon di PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua adalah benar-benar hasil karya saya sendiri dengan bimbingan dosen pembimbing dan belum pernah digunakan sebagai karya ilmiah pada perguruan tinggi atau lembaga manapun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini.
Bogor, November 2012 Adita Agung Pradata NRP E14080019
Judul Penelitian
:
Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan Pohon di PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua
Nama
:
Adita Agung Pradata
NIM
:
E14080019
Menyetujui: Dosen Pembimbing,
Dr. Ir. Ahmad Budiaman, M.Sc.F.Trop. NIP : 19651010 199002 1 001
Mengetahui: Ketua Departemen Manajemen Hutan
Dr. Ir. Didik Suharjito, MS NIP : 19630401 199403 1 001
Tanggal Lulus :
KATA PENGANTAR Puji syukur kepada Allah SWT atas rahmat dan hidayah-Nya, sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penyusunan skripsi dengan judul Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan Pohon di PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua. Ucapan terimakasih disampaikan kepada pihak-pihak yang telah banyak membantu penulis selama penelitian di lapangan dan pada saat penulisan skripsi : 1. Kedua orang tua tercinta, Ayahanda Hartanto Sarno Saputro, SH dan Ibunda Fadjar Susilowati, serta kakakku tercinta Radiyan Galaxy, SP dan Sustanti Harumawanita, SPsi yang telah memberikan dukungan moral dan material serta kasih sayang 2. Dr. Ir. Ahmad Budiaman M, Sc. F. Trop selaku dosen pembimbing yang telah memberikan arahan, motivasi, dan bimbingan kepada penulis sehingga penulis dapat menyelesaikan karya ilmiah ini 3. Segenap pimpinan dan staf pegawai PT. Mamberamo Alasmandiri, Bapak Sulatko Ernanto, Bapak Heri Binawan, Bapak Guntur Wibowo, Bapak Maman, Bapak Wuri Sutomo serta seluruh karyawan PT. Mamberamo Alasmandiri 4. Teman-teman yang melaksanakan PKL dan penelitian di PT. Mamberamo Alasmandiri : Pem, Ganis, Dimas, Rinda dan Feby 5. Keluarga besar Fahutan IPB dan teman-teman Manajemen Hutan 45 6. Yanuarinda Efinosa Viriandarhenny atas semangat dan motivasinya selama ini 7. Untuk semua pihak yang telah memberikan bantuan selama penelitian dan penulisan karya ilmiah ini. Penulis menyadari bahwa karya ilmiah ini masih jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun dari pembaca untuk menyempurnakan karya ilmiah ini. Semoga karya ilmiah ini dapat bermanfaat untuk semua pihak yang berkepentingan.
Bogor, November 2012 Penulis
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Bojonegoro pada tanggal 3 Mei 1989 sebagai anak ketiga dari tiga bersaudara pasangan Bapak Hartanto Sarno Saputro, SH dan Ibu Fadjar Susilowati. Pada tahun 1994 penulis memulai pendidikan formal di TK Bustanul Athfal Temanggung dan lulus pada tahun 1996. Selanjutnya pada tahun 1996 penulis melanjutkan jenjang pendidikan ke SDN 1 Kowangan Temanggung kemudian pada tahun 1997 pindah ke SDN 1 Sambeng Bojonegoro dan lulus pada tahun 2002. Pada tahun 2002 penulis melanjutkan pendidikan ke SLTPN 1 Blora dan lulus pada tahun 2005. Selanjutnya pada tahun yang sama penulis melanjutkan pendidikan ke SMAN 1 Blora dan lulus pada tahun 2008. Kemudian pada tahun 2008 penulis diterima di Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dengan mayor Manajemen Hutan, Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor. Pada tahun 2010 penulis melakukan Praktek Pengenalan Ekosistem Hutan (P2EH) di Baturaden dan Cilacap. Pada tahun 2011 penulis melakukan Praktek Pengelolaan Hutan di Hutan Pendidikan Gunung Walat Sukabumi. Pada bulan Februari sampai dengan bulan Juni 2012 penulis melakukan kegiatan Praktek Kerja Lapang (PKL) dan Penelitian di IUPHHK PT. Mamberamo Alasmandiri, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua. Selama menuntut ilmu di IPB, penulis aktif di sejumlah organisasi kemahasiswaan yaitu sebagai staf Departemen Sosial Masyarakat Badan Eksekutif Mahasiswa tahun 2009-2010, ketua panitia Bina Desa Badan Eksekutif Mahasiswa Fakultas Kehutanan IPB taun 2010, panitia Temu Manajer (TM) Departemen Manajemen Hutan tahun 2010. Selain itu penulis pernah menjadi asisten praktikum Inventarisasi Sumberdaya Hutan Tahun Ajaran 2010/2011. Untuk memperoleh gelar Sarjana Kehutanan IPB, penulis menyelesaikan skripsi dengan judul Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan Pohon di PT. Mamberamo Alasmandiri, Provinsi Papua dibimbing oleh Dr. Ir. Ahmad Budiaman M, Sc. F. Trop.
i
DAFTAR ISI Halaman DFTAR ISI .................................................................................................
i
DAFTAR TABEL .......................................................................................
iv
DAFTAR GAMBAR .................................................................................
v
DAFTAR LAMPIRAN ..............................................................................
vi
BAB I
PENDAHULUAN .......................................................................
1
1.1 Latar Belakang .......................................................................
1
1.2 Tujuan....................................................................................
2
1.3 Manfaat Penelitian .................................................................
2
TINJAUAN PUSTAKA .............................................................
3
2.1 Pemanenan Hutan ..................................................................
3
2.2 Penebangan Pohon .................................................................
4
2.3 Tingkat Pertumbuhan Pohon ..................................................
5
2.4 Kerusakan Tegakan Tinggal ...................................................
5
2.5 Bentuk Plot Contoh ................................................................
8
BAB III METODE PENELITIAN ...........................................................
9
3.1 Waktu dan Tempat .................................................................
9
3.2 Alat dan Bahan.......................................................................
9
3.3 Jenis dan Sumber Data ...........................................................
9
BAB II
3.4 Prosedur Pengumpulan Data .................................................. 10 3.4.1 Bentuk dan Ukuran Plot ............................................... 10 3.4.2 Jumlah Plot Contoh ...................................................... 10 3.4.3 Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) ..... 11 3.4.4 Pengukuran Kerusakan Tegakan Tinggal ..................... 11 3.4.5 Batasan Tingkat Kerusakan .......................................... 12 3.4.6 Pengukuran Panjang Dampak Penebangan Satu Pohon .......................................................................... 13 3.5 Pengolahan Data .................................................................... 13 3.5.1 Perhitungan Tingkat Kerusakan ................................... 13 3.5.2 Pengujian Dampak Penebangan ................................... 13
ii
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN .............................. 15 4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan ..................................................... 15 4.2 Letak dan Luas IUPHHK ....................................................... 15 4.3 Topografi dan Kelerengan ...................................................... 16 4.4 Tanah ..................................................................................... 16 4.5 Geologi .................................................................................. 17 4.6 Iklim dan Intensitas Hujan...................................................... 17 4.7 Penutupan Lahan dan Fungsi Hutan ....................................... 17 4.8 Sosial dan Ekonomi Masyarakat ............................................. 18 BAB V
HASIL DAN PEMBAHASAN .................................................... 21 5.1 Penebangan Pohon di PT. MAM ............................................ 21 5.2 Statistik Plot Contoh .............................................................. 21 5.2.1 Luas Plot Contoh ......................................................... 21 5.2.2 Kemiringan Plot Contoh............................................... 22 5.2.3 Jumlah Pohon Berdiameter ≥ 10 cm dalam Plot Contoh ......................................................................... 22 5.2.4 Jumlah Pohon Layak Tebang dalam Plot Contoh.......... 23 5.2.5 Tinggi Pohon dalam Plot Contoh.................................. 24 5.3 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan Satu Pohon .................................................................................. 24 5.3.1 Tingkat Kerusakan Berdasarkan Jumlah Pohon ............ 24 5.3.2 Tipe-tipe Kerusakan Tegakan Tinggal .......................... 26 5.3.3 Tingkat Kerusakan Berdasarkan Besarnya Luka........... 27 5.3.4 Panjang Wilayah Terkena Dampak Penebangan ........... 28 5.4 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Kegiatan Penebangan Konvensional......................................................................... 29 5.4.1 Tingkat Kerusakan Berdasarkan Jumlah Pohon ............ 29 5.4.2 Tipe-tipe Kerusakan Tegakan Tinggal .......................... 32 5.4.3 Tingkat Kerusakan Berdasarkan Besarnya Luka ........... 33
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN.................................................... 35 6.1 Kesimpulan ............................................................................ 35 6.2 Saran ..................................................................................... 35
iii
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................. 36 LAMPIRAN .............................................................................................. 38
iv
DAFTAR TABEL No 1.
Halaman Perbandingan metode pemanenan hutan konvensional dan metode RIL .......................................................................................................
2.
Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan hutan berdasarkan jumlah populasi .....................................................................................
3.
7
Tingkat kerusakan pohon berdasarkan besarnya luka akibat pemanenan hutan .....................................................................................................
4.
6
7
Kerusakan pohon akibat pemanenan hutan pada kelas-kelas diameter pohon di Kalimantan Timur ...................................................................
8
5.
Luas masing-masing fungsi hutan di PT. MAM ..................................... 16
6.
Kelas lereng di IUPHHK-HA PT.MAM .............................................. 16
7.
Penutupan vegetasi pada fungsi hutan PT. MAM .................................. 18
8.
Sebaran kemiringan areal pada plot contoh ............................................ 22
9.
Jumlah tiang dan pohon yang rusak akibat penebangan satu pohon ........ 25
10. Kerusakan tegakan tinggal pada kelompok jenis meranti dan non meranti akibat penebangan satu pohon ................................................... 26 11. Tingkat kerusakan berdasarkan besarnya luka untuk tiang dan pohon akibat penebangan satu pohon ............................................................... 28 12. Kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan berdasarkan intensitas penebangan ............................................................................ 30 13. Kerusakan tegakan tinggal pada kelompok jenis meranti dan non meranti akibat kegiatan penebangan pohon konvensional ...................... 32 14. Tingkat kerusakan tegakan tinggal berdasarkan besarnya luka untuk tiang dan pohon akibat kegiatan penebangan pohon konvensional ........ 34
v
DAFTAR GAMBAR No
Halaman
1. Daerah berbahaya pada kegiatan penebangan pohon ................................. 10 2.
Pembagian kuadran pada inventarisasi tegakan sebelum penebangan ..... 12
3.
Sebaran luas plot contoh ........................................................................ 22
4.
Sebaran jumlah pohon berdiameter ≥ 10 cm dalam plot contoh .............. 23
5.
Sebaran jumlah pohon layak tebang berdiameter > 50 cm dalam plot contoh ............................................................................................ 23
6.
Sebaran tinggi pohon dalam plot contoh ................................................ 24
7.
Kerusakan tiang dan pohon dari setiap tipe kerusakan akibat penebangan satu pohon pada seluruh plot contoh yang diamati ................................. 27
8.
Kerusakan tiang dan pohon dari setiap tipe kerusakan akibat penebangan pohon konvensional pada seluruh plot contoh yang diamati ................................................................................................. 33
vi
DAFTAR LAMPIRAN No
Halaman
1.
Foto-foto kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan pohon .............. 39
2.
Peta areal kerja PT. Mamberamo Alasmandiri ....................................... 40
3.
Peta areal kerja PT. Mamberamo Alasmandiri blok RKT 2012 .............. 41
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Pemanenan hutan merupakan salah satu kegiatan penting pada pemegang Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Alam (IUPHHK-HA) maupun Ijin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu-Hutan Tanaman (IUPHHK-HT). Salah satu indikator keberhasilan pemanenan adalah menghasilkan kayu secara optimal dan meminimalkan kerusakan hutan. Kegiatan pemanenan hutan pasti akan menghasilkan kerusakan yang tidak mungkin untuk dihindari seperti kerusakan pada tanah dan tegakan. Penebangan pohon merupakan salah satu tahapan kegiatan pemanenan hutan yang turut memberikan sumbangan terhadap kerusakan tegakan dan lingkungan. Penebangan suatu pohon minimal akan berdampak pada kerusakan tegakan di sekitar robohnya pohon tersebut, terutama di hutan alam yang letak pohonnya tidak teratur. Pengusahaan hutan alam di provinsi Papua sudah dilakukan dalam waktu yang cukup lama, namun hingga saat ini belum tersedia informasi yang memadai mengenai berapa besar kerusakan hutan yang terjadi akibat penebangan pohon yang dilakukan oleh pemegang IUPHHK-HA. Penelitian kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan pohon telah banyak dilakukan terutama di wilayah Indonesia bagian Barat seperti di pulau Kalimantan dan Sumatera, sedangkan di Papua masih sangat sedikit. Selain itu, teknik pengukuran dampak penebangan pohon terhadap kerusakan tegakan tinggal selama ini menggunakan ukuran plot yang luasnya tetap. Pengukuran dampak penebangan pohon dengan teknik ini memiliki beberapa kelemahan, salah satunya adalah luas areal terkena dampak tidak dapat dikontrol dengan tepat. Pada penelitian ini dicoba teknik pengukuran dampak penebangan pohon terhadap tegakan tunggal dengan menggunakan luas plot yang tidak tetap.
2
1.2 Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah : 1. Mengidentifikasi tipe-tipe kerusakan pada tingkat tiang dan pohon akibat kegiatan penebangan pohon dengan luas plot yang tidak tetap. 2. Menghitung tingkat kerusakan pada tingkat tiang dan pohon akibat kegiatan penebangan pohon. 3. Mengukur panjang wilayah yang terkena dampak akibat penebangan satu pohon.
1.3 Manfaat penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai seberapa besar kerusakan tegakan tinggal yang terjadi akibat aktivitas penebangan pohon. Selain itu, penelitian ini diharapkan dapat memberikan pertimbangan kepada perusahaan untuk menetapkan sistem pemanenan yang dapat meminimalkan kerusakan tegakan tinggal.
BAB II TINJAUAN PUSTAKA 2.1 Pemanenan Hutan Pemanenan hutan adalah suatu rangkaian kegiatan untuk mengubah kayu menjadi sortimen-sortimen kayu dan memindahkannya ketempat tujuan akhir yang diinginkan. Pemanenan hutan terdiri atas beberapa kegiatan seperti: penebangan, pembagian batang, penyaradan, pemuatan dan pengangkutan serta kegiatan pembongkaran (Elias 1994). Nugraha et al. (2007) menyatakan bahwa kegiatan pemanenan sebagai bagian dari sistem silvikultur merupakan salah satu kegiatan terpenting dalam suatu kegiatan pengelolaan hutan. Di satu sisi, pemanenan kayu bertujuan untuk menghasilkan kayu dan produk hutan lainnya untuk diolah menjadi barang-barang yang dibutuhkan konsumen, sedangkan silvikultur diarahkan untuk menjamin keberlangsungan produktivitas hutan dan nilai-nilai non-pasar yang ada di dalamnya. Oleh karena itu, pemanenan harus mampu melindungi tegakan tinggal, mempercepat regenerasi pohon dan tumbuhan lain yang sesuai dengan rencana jangka panjang silvikultur, serta melindungi dari kerusakan tanah, air dan satwa yang ada di dalamnya. Menurut Conway (1976), pemanenan hutan adalah serangkaian kegiatan yang dimaksudkan untuk memindahkan kayu dari hutan ke tempat penggunaan atau pengolahan yang tepat. Kegiatannya dibedakan atas empat komponen utama, yaitu: 1. Penebangan, yaitu mempersiapkan kayu seperti menebang pohon serta memotong kayu sebelum disarad jika dianggap perlu. 2. Penyaradan, yaitu usaha memindahkan kayu dari tempat penebangan ke tepi jalan angkutan. 3. Pemuatan, yaitu usaha untuk memindahkan kayu dari tempat pengumpulan kayu sementara atau tepi jalan angkutan ke alat angkut kayu. 4. Pengangkutan, yaitu usaha mengangkut kayu dari hutan ke tempat penimbunan atau pengolahan
4
Untuk dapat dimanfaatkan kayu harus dipindahkan dari hutan ke tempat lain melalui proses pengangkutan. Pengangkutan adalah segala kegiatan yang memungkinkan pemindahan kayu dari tempat pengumpulan (TPN) ke tempat penimbunan kayu (TPK) termasuk pengadaan prasarananya (Suparto et al. 1976).
2.2 Penebangan Pohon Penebangan pohon merupakan langkah awal dari kegiatan pemanenan kayu, yang meliputi tindakan yang diperlukan untuk memotong batang sampai kayu siap disarad (Elias 1994). Menurut Elias (1999) penebangan yang terkontrol sangat penting dilakukan untuk menuju kearah pengelolaan yang lestari di hutan alam tropis. Penebangan terkontrol tersebut memiliki beberapa keuntungan seperti: 1. Mengurangi limbah kayu 2. Mengurangi kerusakan tegakan tinggal 3. Mengurangi jarak sarad 4. Mengurangi pengeluaran 5. Mengurangi persentase kecelakaan Selanjutnya Elias (1999) menyatakan bahwa kegiatan penebangan harus memperhatikan keselamatan kerja dan efisiensi. Oleh karena itu, secara umum kegiatan penebangan dimulai dari beberapa tahapan sebagai berikut: 1. Periksa kondisi penebangan: arah condong pohon, kondisi tajuk pohon, arah angin, periksa kesehatan batang pohon, periksa liana dan tumbuhan pemanjat pada pohon. 2. Persiapan area kerja: membersihkan permukaan tanah, membuka jalur penyelamatan, membersihkan bagian batang pohon yang akan dibuat takik rebah dan takik balas. 3. Peringatkan semua orang disekitar: memperingatkan semua orang yang tidak terlibat dalam penebangan untuk pergi menjauhi daerah berbahaya penebangan sebelum penebangan dimulai. Daerah berbahaya didefinisikan sebagai lingkaran yang mengelilingi pohon yang akan ditebang dengan radius dua kali tinggi pohon.
5
Langkah awal dalam penebangan pohon pada pohon normal dimulai dengan pembuatan takik rebah. Langkah pertama pembuatan takik rebah dimulai dengan membuat potongan horizontal sedalam 1/4 sampai 1/3 dari diameter pohon. Tahap selanjutnya adalah membuat potongan dengan sudut 450 menuju ke arah ujung dari potongan horizontal. Setelah terbentuk takik rebah kemudian langkah selanjutnya adalah membuat takik balas setinggi 5-20 cm diatas potongan horizontal takik rebah dan meninggalkan engsel dengan tebal 1/10-1/6 dari diameter pohon (Elias 1999).
2.3 Tingkat Pertumbuhan Pohon Hutan adalah masyarakat tetumbuhan yang dikuasai atau didominasi oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan yang berbeda dengan keadaan di luar hutan (Soerianegara dan Indrawan 1982). Menurut Indriyanto (2008), dalam perkembangannya, pohon mengalami tingkat pertumbuhan mulai dari tingkat semai (anakan dengan tinggi ≤ 1.5 meter), pancang (anakan dengan tinggi ˃ 1.5 m dan diameter ˂ 10 cm), tiang (pohon dengan diameter 10-19 cm), dan pohon (diameter ≥ 20 cm).
2.4 Kerusakan Tegakan Tinggal Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan kayu dengan sistem TPTI adalah kerusakan yang terjadi pada tegakan tinggal yang sebenarnya tidak termasuk dalam rencana untuk dipanen hasilnya pada waktu pemanenan kayu. Kerusakan-kerusakan tersebut dapat berupa pohon roboh atau pohon masih berdiri tetapi bagian batang, banir atau tajuk dan diperkirakan tidak dapat tumbuh lagi dengan normal dan keterbukaan areal/tanah akibat penebangan dan penyaradan (Elias 2002). Tegakan tinggal adalah tegakan yang telah ditebang pilih, yang menjadi modal pengusahaan berikutnya, berisi pohon – pohon binaan dan pohon pendamping. Pohon-pohon binaan adalah pohon yang harus dirawat setelah tebang pilih, berupa pohon-pohon komersial ,yang muda dan sehat, sedangkan pohon-pohon pendamping adalah pohon penyusun tegakan selain pohon binaan (Departemen Kehutanan 1990).
6
Idris dan Suhartana (1996a) melaporkan bahwa, rata-rata besarnya kerusakan tegakan tinggal pada tingkatan pohon (diameter ≥ 20 cm) akibat penebangan di Provinsi Riau adalah 11.5%. Metode pemanenan konvensional menghasilkan kerusakan yang lebih besar dibandingkan dengan metode pemanenan hutan berwawasan lingkungan. Jika dilihat berdasarkan jumlah pohon, besarnya ukuran luka, dan keterbukaan areal, metode pemanenan konvensional memiliki persentase kerusakan yang lebih tinggi dibandingkan metode pemanenan berwawasan lingkungan (Elias 2002b). Data mengenai perbandingan metode pemanenan konvensional dan metode Reduce Impact Logging (RIL) disajikan pada Tabel 1. Tabel 1 Perbandingan metode pemanenan hutan konvensional dan metode RIL No. 1
2
3
Jenis
Metode Pemanenan Konvensional RIL (%) (%)
Persen Kerusakan Tegakan Tinggal dari Populasi Vegetasi a. Semai b. Pancang c. Tiang dan pohon Persen Kerusakan Tegakan Tinggal dari Ukuran Kerusakan a. Ringan b. Sedang c. Berat Persen Keterbukaan Areal a. Akibat penebangan b. Akibat penyaradan
33.47 34.93 40.42
17.65 19.59 19.08
7.23 4.65 28.99
4.16 2.93 11.99
11.10 8.73
7.65 5.21
Sumber : Elias (2002)
Penelitian yang dilakukan Elias (1998) di Kalimantan Timur menghasilkan tingkat kerusakan pada pohon berdiameter ≥ 10 cm berkisar antara 9.39% sampai 35.43% dengan rata-rata 21.96%. Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan hutan berdasarkan jumlah populasi disajikan pada Tabel 2.
7
Tabel 2 Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan hutan berdasarkan jumlah populasi
Plot
∑ Pohon Sebelum Pemanenan Kayu (≥ 10 cm)
∑ Pohon Yang Dipanen
∑ Pohon yang Rusak (≥ 10 cm)
620 697 748
2 6 17
58 146 259
I II III
Kerusakan Tingkat Tegakan Kerusakan Tinggal (%) 9.39 21.13 35.43
Ringan Ringan Sedang
Sumber: Elias (1998)
Elias (1994) melaporkan bahwa berdasarkan besarnya luka pada pohon, pohon-pohon yang paling banyak mengalami kerusakan adalah pohon - pohon berdiameter kecil, yaitu pohon berdiameter 10-19 cm sebesar 28.01% -33.47% dan pohon berdiameter 20 - 29 cm sebesar 6.46% - 8.48%. Besarnya tingkat kerusakan berdasarkan besarnya luka pada pohon dan kerusakan pohon pada setiap kelas diameter pohon disajikan pada Tabel 3 dan Tabel 4. Tabel 3 Tingkat kerusakan pohon berdasarkan besarnya luka akibat pemanenan hutan.
No Plot
Tingkat Kerusakan Pohon (%)
1 2 3 Rata-rata
39.14 47.07 46.82 44.34
Tingkat Keparahan Luka (%) Luka Luka Luka Ringan sedang Berat 4.13 2.33 32.68 3.77 3.56 39.75 6.14 2.33 38.55 4.68 2.74 36.93
Sumber: Elias (1994)
Tabel 4 Kerusakan pohon akibat pemanenan hutan pada kelas-kelas diameter pohon di Kalimantan Timur. Kelas diameter (cm) 10-19 20-29 30-39 40-49 50-54 ≥60 Sumber : Elias (1994)
Persen Kerusakan (%) 28.01-33.47 6.46-8.48 1.26-2.97 1.06-1.46 0.54-0.64 0.21-1.80
8
2.5 Bentuk Plot Contoh Simon (1996) menjelaskan bahwa bentuk-bentuk petak ukur yang lazim adalah persegi panjang, bujur sangkar, jalur dan lingkaran. Petak ukur dengan bentuk lingkaran dengan luas 50 m2 (jari-jari ± 4 m) sudah pernah digunakan pada akhir abad 19. Keunggulan dari petak ukur berbentuk lingkaran adalah dalam pelaksanaannya di lapangan pembuatan petak ukur lingkaran sangat mudah dan sederhana. Setelah pusat petak ukur ditetapkan, batas petak ukur dicek dengan tali sepanjang jari-jari lingkaran sesuai dengan luas petak ukur yang dipilih. Dalam prakteknya pengecekan hanya diperlukan bila ada pohon-pohon yang terletak di sekitar batas petak ukur. Salah satu sumber kesalahan (error) yang sangat penting peranannya dalam penggunaan petak ukur adalah apa yang dinamakan pohon batas (borderline trees), yaitu pohon-pohon terletak pada batas petak ukur. Ditinjau dari segi ini, petak berbentuk lingkaran memiliki error yang kecil dibandingkan bentuk plot lainnya. Selanjutnya Simon (1996) menyatakan penggunaan petak ukur lingkaran akan menghadapi kesulitan pada inventarisasi potensi anakan pada hutan alam karena kadang-kadang pertumbuhan anakan tersebut sangat rapat. Dalam hal seperti ini batas petak ukur harus dibuat di lapangan, tidak cukup hanya dengan batas imajiner saja. Untuk membuat batas petak ukur yang nyata ini petak ukur lingkaran justru yang paling sulit.
BAB III METODE PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat Penelitian kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan pohon dilakukan di PT. MAM, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua. Penelitian ini dilaksanakan pada bulan April sampai dengan Mei 2012.
3.2 Alat dan Bahan Alat-alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Pita ukur untuk mengukur panjang pohon dan kayu. 2. Phiband untuk mengukur diameter pohon dan kayu bulat. 3. Hacter tembak untuk menempelkan label pada pohon. 4. Tali tambang untuk menandai petak ukur. 5. Patok untuk menandai batas-batas petak pengamatan 6. Software Microsoft office untuk mengolah data pengukuran. 7. Kamera untuk dokumentasi. 8. Alat-alat bantu lainnya seperti tally sheet serta alat tulis.
Obyek dan bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah: 1. Pohon yang merupakan obyek kajian dalam penelitian ini 2. Cat untuk memberi tanda pohon pusat dan batas plot 3. Label untuk memberi tanda pohon dan penomoran pohon
3.3 Jenis dan Sumber data Jenis data yang dikumpulkan terdiri atas data primer dan data sekunder. Data primer merupakan data yang diperoleh dengan cara melakukan pengukuran langsung maupun observasi di lapangan. Data ini antara lain jumlah pohon, diameter pohon, jenis pohon, dan jenis kerusakan pohon. Untuk data primer, pengambilan data dilakukan pada petak yang telah dilakukan kegiatan penebangan. Pengukuran tinggi total pohon dilakukan dengan mengukur panjang pohon yang telah ditebang sampai ke ujung tajuk dan ditambahkan dengan tinggi
10
tunggak. Data sekunder meliputi data pohon layak tebang dari LHC, data kondisi umum perusahaan, peta kawasan pengusahaan hutan, dan data pengelompokan jenis kayu.
3.4 Prosedur Pengumpulan Data 3.4.1 Bentuk dan Ukuran Plot Bentuk plot yang digunakan dalam penelitian ini adalah lingkaran. Penentuan ukuran plot yang dinamis ini mengadopsi batasan daerah berbahaya pada kegiatan penebangan yang jari-jarinya dua kali tinggi pohon yang ditebang. Daerah berbahaya pada kegiatan penebangan dapat dilihat pada Gambar 1.
Daerah berbahaya penebangan h
2h
Sumber: Elias 1999
Gambar 1 Daerah berbahaya pada kegiatan penebangan pohon.
3.4.2 Jumlah Plot Contoh Jumlah plot contoh yang diperlukan dalam penelitian ini dihitung sesuai dengan sebaran diameter pohon layak tebang di petak tebang 37 QQ blok RKT 2012. Penentuan jumlah pohon contoh dilakukan dengan menggunakan metode penarikan contoh sederhana/simple random sampling (Cochran 1977) : n0=
( / , (
).
.
).
keterangan : t(α/2,dbf)= nilai tabel t-student sy = simpangan baku contoh SE= sampling eror maksimum ( dalam % ) = rata-rata contoh
11
Berdasarkan data LHC tebang 37 QQ diperoleh jumlah pohon layak tebang sebanyak 1060 pohon, diameter rata-rata 55,93 cm, simpangan baku sebesar 0,57. Besarnya sampling error yang digunakan adalah 10% dan nilai t-student adalah 2, maka didapatkan jumlah pohon yang harus diambil adalah sebanyak 29 pohon. Peletakan pohon contoh dilakukan mengikuti kegiatan penebangan yang berjalan di lapangan. Pohon contoh diambil dari pohon yang ditebang sesuai pola kerja dari penebang pohon.
3.4.3 Inventarisasi Tegakan Sebelum Penebangan (ITSP) Langkah awal yang dilakukan sebelum inventarisasi tegakan adalah pembuatan plot berbentuk lingkaran. Pohon yang akan ditebang adalah pusat dari plot. Batas-batas setiap plot ditandai dengan menggunakan cat berwarna merah. Setelah plot terbentuk, kemudian dilakukan inventarisasi tegakan pada tingkat tiang dan pohon. Variabel yang diukur adalah diameter, jenis, dan tinggi pohon. Untuk memudahkan pengamatan selanjutnya, plot dibagi kedalam empat kuadran. Setiap pohon yang diinventarisasi dipasang label untuk menghindari pendataan ganda, serta untuk mengurangi resiko terlewatinya pohon yang akan didata. Pembagian kuadran dalam plot disajikan pada Gambar 2.
IV
I
III
II
Gambar 2 Pembagian kuadran pada inventarisasi tegakan sebelum penebangan. 3.4.4 Pengukuran Kerusakan Tegakan Tinggal Setelah kegiatan penebangan selesai, selanjutnya dilakukan inventarisasi terhadap pohon berdiameter ≥ 10 cm yang rusak akibat kegiatan penebangan. Pengamatan pertama kali dilakukan pada kerusakan yang terjadi akibat penebangan satu pohon (pohon pusat), setelah selesai pengamatan pada satu pohon yang ditebang, dilakukan juga pengamatan kerusakan tegakan tinggal pada plot tersebut, jika terdapat kerusakan akibat penebangan pohon yang lain selain
12
pohon pusat plot tersebut. Variabel yang diukur antara lain adalah tingkat kerusakan tegakan tinggal dan tipe kerusakan tegakan tinggal.
3.4.5 Batasan Tingkat Kerusakan Tingkat kerusakan tegakan tinggal berdasarkan jumlah populasi pohon tersebut, dikelompokkan berdasarkan kategori Elias (2008): 1. Tingkat kerusakan ringan, jika nilai K<25% 2. Tingkat kerusakan sedang, jika nilai K 25-50% 3. Tingkat kerusakan berat, jika nilai K>50% Tipe-tipe kerusakan pohon yang terjadi dikelompokkan ke dalam: 1. Tipe kerusakan tajuk 2. Tipe kerusakan batang dan kulit 3. Tipe kerusakan banir dan akar 4. Tipe kerusakan batang utama patah 5. Tipe kerusakan pohon roboh Tingkat kerusakan tegakan tinggal berdasarkan besarnya luka yang terjadi pada indivudu pohon dikelompokkan sebagai berikut: 1. Tingkat kerusakan berat a. Patah batang. b. Pecah batang. c. Roboh atau tumbang sudut < 45o dengan permukaan tanah. d. Rusak tajuk, jika >50% rusak tajuk, juga didasarkan atas banyaknya cabang pembentuk tajuk patah. e. Luka batang/rusak kulit, jika >1/2 keliling pohon rusak f. Rusak banir/akar, jika >1/2 banir atau perakaran rusak/terpotong 2. Tingkat kerusakan sedang a. Rusak tajuk, jika 30-50% tajuk rusak atau 1/6 bagian tajuk mengalami kerusakan b. Luka batang/rusak kulit, jika 1/4-1/2 keliling pohon rusak c. Rusak banir/akar, jika 1/4-1/2 banir/akar rusak atau terpotong d. Condong atau miring, jika pohon miring membentuk sudut > 45o dengan tanah
13
3. Tingkat kerusakan ringan a. Rusak tajuk, jika <30% tajuk rusak b. Luka batang/rusak kulit, jika 1/4-1/2 keliling dan panjang luka < 1.5 m c. Rusak banir/akar (<1/4 banir rusak atau perakaran terpotong).
3.4.6 Pengukuran Panjang Dampak Penebangan Satu Pohon Panjang dampak penebangan satu pohon diukur pada kondisi pohon rebah. Pengukuran panjang dampak penebangan diukur dari tunggak pohon yang ditebang (pohon pusat) sampai pada posisi terluar area yang terkena dampak penebangan.
3.5 Pengolahan Data 3.5.1 Perhitungan Tingkat Kerusakan Tingkat kerusakan tegakan tinggal berdasarkan jumlah populasi (K) dihitung berdasarkan perbandingan jumlah pohon-pohon yang rusak terhadap jumlah pohon-pohon yang sehat sebelum penebangan. Untuk menghitung tingkat kerusakan tegakan tinggal berdasarkan jumlah populasi akibat penebangan digunakan persamaan berikut:
∑ K=
× 100% ,
∑
Elias (2008)
Keterangan : ∑ ∑
= jumlah pohon berdiameter 10 cm ke atas yang rusak setelah penebangan = jumlah pohon berdiameter 10 cm ke atas yang sehat sebelum penebang
3.5.2 Pengujian Dampak Penebangan Pengujian beda panjang dampak penebangan terhadap panjang wilayah berbahaya penebangan dilakukan menggunakan uji sebaran t-student Walpole (1992) :
=
̅−
,
Walpole (1992)
14
Keterangan : t ̅ x s2 n
= t hitung = beda nilai = nilai uji = ragam = jumlah contoh
Langkah-langkah dalam pengujian hipotesis ini mengacu pada Walpole (1992) : 1. Menyusun pasangan hipotesis (Ho dan H1) berdasarkan permasalahan yang terjadi, di mana Ho merupakan panjang daerah dampak penebangan yang sama dengan panjang wilayah berbahaya penebangan dan H1 merupakan panjang dampak penebangan yang tidak sama dengan panjang wilayah berbahaya penebangan. 2. Taraf nyata yang digunakan dalam pengujian sebesar 5% 3. Berdasarkan taraf nyata 5%, maka wilayah kritik berada pada t < -2.045 dan t > 2.045 4. Nilai t hitung jatuh di luar wilayah kritik sehingga Ho diterima atau tolak H1.
BAB IV KONDISI UMUM LOKASI PENELITIAN
4.1 Sejarah Pemanfaatan Hutan PT. MAM merupakan perusahaan yang tergabung dalam KODECO GROUP. Didirikan pada tanggal 5 Desember tahun 1991, dan memperoleh pengesahaan dari Menteri Kehakiman RI pada tanggal 20 April 1992. Lokasi areal IUPHHK berada di Kabupaten Jayapura dan Yapen Waropen Provinsi Papua. Kegiatan produksi baru dimulai pada tahun 1994 sampai dengan tahun 1997 dilakukan pemenuhan pasokan bahan baku industri PT. Kodeco Batulicin Plywood yang berlokasi di Kalimantan Selatan. Perkembangan selanjutnya atas pertimbangan pengembangan pembangunan daerah serta efisiensi biaya industri maka pada tahun 1998 didirikan industri pengolahan kayu atas nama PT. Kodeco Mamberamo di desa Kerenui, Distrik Waropen Timur Kabupaten Yapen Waropen. Kapasitas ijin industri adalah plywood 100,000 m3/tahun dan sawmill 12,000 m3/tahun. PT MAM pemasok utama industri baru tersebut (PT.MAM 2009). Sebagaimana disebutkan dalam pasal 3 Akte pendirian perusahaan, bidang usaha PT. MAM meliputi: eksploitas hutan, industri pengolahan hasil hutan serta hasil hutan ikutan, reboisasi dan rehabilitasi hutan dan lahan, pembenihan, pembibitan, dan penanaman hutan tanaman industry, jasa bidang kehutanan; serta pemasaran dan perdagangan yang meliputi bidang kegiatan-kegiatan tersebut sebelumnya. Dalam kaitannya dengan kegiatan pengusahaan hutan, PT MAM yang pada tahun-tahun sebelumnya dibagi menjadi 2 unit kelestarian (unit Aja dan unit Gesa) mulai tahun 2012 dilebur/digabung menjadi 1 unit kelestarian yang melakukan kegiatan operasional pengusahaan hutan secara bersama-sama (PT. MAM 2009).
4.2 Letak dan Luas IUPHHK Areal kerja IUPHHK-HA PT MAM termasuk ke dalam kelompok hutan sungai Mamberamo – sungai Gesa. Berdasarkan pembagian wilayah administrasi pemerintahan, areal kerja IUPHHK-HA terletak di dalam wilayah distrik
16
Mamberamo Hulu, Mamberamo Tengah, dan Mamberamo Hilir, serta distrik Waropen Atas, Kabupaten Mamberamo Raya, Provinsi Papua (PT. MAM 2009). Berdasarkan status fungsi hutan, areal kerja IUPHHK PT MAM seluas 677,310 Ha yang ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 910/Kpts-IV/1999 terdiri atas Hutan Produksi (HP), Hutan Prduksi Terbatas (HPT) dan Hutan produksi yang dapat dikonversi (HPK). Luas masing-masing fungsi hutan disajikan pada Tabel 5. Tabel 5 Luas masing – masing fungsi hutan di PT MAM Fungsi Hutan
Luas (Ha)
Persentase (%)
Hutan Produksi (HP)
117,010
17.30
Hutan Produksi Terbatas (HPT)
513,570
75.80
46,730
6.90
677,310
100.00
Hutan Produksi yang dapat dikonversi (HPK) Jumlah Sumber : PT. MAM (2009)
4.3 Topografi dan Kelerengan Menggunakan kelas kelerengan sesuai dengan ketentuan dalam keputusan dalam Keputusan Presiden Nomor 32 Tahun 1990 dan keputusan Menteri Pertanian Nomor 837/Kpts/Um/II/1980 kelas lereng di areal kerja IUPHHK-HA PT. MAM terdiri atas kelas lereng A (<8%) sampai kelas lereng E (>40%), dengan luas masing-masing ditampilkan pada Tabel 6. Tabel 6. Kelas lereng di IUPHHK-HA PT. MAM Kelas lereng
Kemiringan (%)
Keterangan
Luas (Ha)
1
0-8
Datar
202,658
2
9-15
Landai
185,784
3
16-25
Agak curam
215,92
4
26-40
Curam
60,106
5
>40
Sangat curam
12,843
Jumlah Sumber : PT. MAM (2009)
677,310
17
4.4 Tanah Berdasarkan Peta Tanah Provinsi Irian Jaya skala 1 : 1.000.000 (Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, 1993), areal kerja IUPHHK-HA PT. MAM memiliki 5 jenis tanah. Jenis tanah tersebut adalah Aluvial (tidak peka), Latosol (agak peka), Podsolik (peka), Litosol (sangat peka), dan Regosol (sangat peka).
4.5 Geologi Struktur geologi khususnya diareal kerja IUPHHK PT. MAM didominasi oleh sesar (sesar naik dan geser) dan lipatan. Sesar naik utama pada bagian tersebut membatasi Cekungan Wapoga dan Cekungan Mamberamo. Struktur lipatan terdiri dari antikilin dan sinklin. Antikilin penting dikenal sebagai Antiklin Gesa yang memotong aliran S. Gesa yang mengalir ke utara. Perkembangan struktur tersebut adalah dampak kompresi pemekaran lempeng Samudra Pasifik (PT.MAM 2009).
4.6 Iklim dan Intensitas Hujan Berdasarkan klasifikasi iklim menurut Schmidt & Ferguson areal IUPHHK PT. MAM memiliki tipe iklim A, yaitu daerah sangat basah dengan vegetasi hutan hujan tropis dengan curah hujan tanpa bulan kering (<60.00 mm) merata sepanjang tahun. Dari data yang diperoleh dari stasiun Pencatat Curah Hujan Camp Gesa (tahun 1994-2001) diperoleh nilai Q= 0 % dan IH ( Intensitas Hujan) = 17.4 mm/hh, dengan curah hujan rata-rata adalah sebesar 286 mm per bulan dan tingkat minimum yang terjadi pada bulan November (209 mm per bulan) maksimum pada bulan Oktober (354 mm per bulan) (PT.MAM 2009).
4.7 Penutupan Lahan dan Fungsi Hutan Penutupan lahan areal kerja IUPHHK-HA PT. MAM didasarkan pada penafsiran Citra Landsat LS-7 ETM+US, Departement of the Interior, US Geological Survey band 542, Mozaik Path 102 Row 62 liputan pada tanggal 19 November 2005. Sedangkan berdasarkan status fungsi hutan, areal kerja yang mempunyai luas 677,310 Ha ditetapkan dengan Keputusan Menteri Kehutanan
18
dan Perkebunan Nomor 910/Kpts-IV/99 tanggal 14 Oktober 1999 tentang “Perubahan Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 1071/Kpts-II/92 Tanggal 12 November 1992” mengenai Pemberian Hak Pengusahaan Hutan PT. MAM (PT. MAM 2009). Untuk penutupan lahan/vegetasi di areal kerja IUPHHK-HA PT. MAM menurut fungsi hutannya disajikan pada Tabel 7. Tabel 7 . Penutupan vegetasi pada fungsi hutan PT. MAM Penutupan Lahan
Fungsi Hutan (Ha) HPT
HP
HPK
BZ
1.
Hutan Primer
287,203
66,966
6,176
12,230
2.
Hutan Bekas Tebangan
105,825
40,100
30,651
1,948
3.
Non Hutan
6,209
5,169
592
127
4.
Hutan Rawa Primer
-
1,890
10,951
-
5.
Hutan Rawa Bekas Tebangan
8,268
783
-
-
6.
Non Hutan Rawa
-
71
1,111
-
7.
Tubuh Air / Danau
-
636
-
12
8.
Tertutup Awan
74,295
10,511
-
5,586
481,800
126,126
49,481
19,903
Jumlah Sumber
: Pengesahan Citra Landsat Nomor S.35/VII/Pusin-1/2006 tanggal 22 Januari 2007. (PT.MAM, 2009) Keterangan : HPT = Hutan produksi terbatas HP = Hutan produksi HPK = Hutan produksi dapat dikonversi BZ = Buffer zone
4.8 Sosial dan Ekonomi Masyarakat Penduduk asli disekitar kelompok hutan S.Mamberamo – S.Gesa adalah suku Baudi Bira, Kerema, Obogui Dai, Kapso Apawer, Birara Noso, Bodo dan suku Haya. Hubungan suku-suku yang berbeda wilayah masih bersifat tradisional dan masing-masing suku masih memegang kuat adat istiadatnya, hal ini ditunjukkan oleh adanya bahasa yang cukup mencolok diantara suku-suku asli yang ada dan masing-masing suku berkembang sendiri-sendiri tanpa saling mengganggu (PT.MAM 2009). Bahasa yang digunakan sehari-hari oleh penduduk di sekitar kelompok hutan ini adalah bahasa sukunya masing-masing sedangkan bahasa Indonesia
19
hanya dimengerti oleh sebagian kecil saja dari mereka. Agama dan kepercayaan yang dianut adalah Kristen Protestan, Katolik dan Islam. Dalam total 20.494 jiwa penduduk dalam empat distrik sekitar areal kerja IUPHHK-HA PT. MAM tercatat sebanyak 19.449 jiwa (94.90 %) penganut agama resmi dengan rincian 7.795 jiwa (38.03 %) beragama Kristen protestan, 361 jiwa (1.76 %) beragama Islam, dan 11.293 jiwa (55.10 %) beragama Kristen khatolik (PT.MAM 2009). Budaya masyarakat di dalam dan di sekitar areal IUPHHK-HA PT PT. MAM meruapakan gambaran kecil dari budaya Papua. Kebudayaan di Papua menunjukan gejala aneka warna yang ekstrim. Hal ini disebabkan oleh sukusuku/bangsa-bangsa yang berdatangan dari berbagai daerah menduduki pulaupulau yang ada secara terpisah satu dari yang lainnya (karena isolasi geografis) (PT. MAM 2009). Proses sosial yang ada di kawasan areal kerja IUPHHK berupa proses asosiatif (keserasian) dan proses disosiatif (pertentangan). Proses asosiatif dapat dikaji dari proses akomodasi diawali dengan kegiatan kerjasama, gotong royong, dalam kegiatan perkawinan, membangun rumah ibadah, dan lain-lain. Kegiatan akomodasi juga terlihat dalam kegiatan meramu, dimana masyarakat saling membantu dalam mencari sumber sagu dan hewan buruan (PT. MAM 2009). Mata pencaharian penduduk yang berada di sekitar areal kerja IUPHHK PT. MAM dapat diklasifikasikan menurut keadaaan alam dimana mereka menetap. Umumnya penduduk yang tinggal di sepanjang Sungai Mamberamo dan Danau Bira memiliki mata pencaharian sebagai pencari ikan untuk memenuhi kebutuhan protein hewani sehari-hari dan jika ada kelebihan dari hasil tangkapan, dipertukarkan (barter) dengan bahan makanan seperti umbi-umbian, jagung dan talas. Bahan makanan ini dihasilkan oleh penduduk yang tinggal di pedalaman yang umumnya hidup dari ladang berpindah. Sistem barter dilakukan pada setiap kesempatan, karena di kawasan ini belum berkembang sistem pasar dan perekonomian uang. Disamping mencari ikan dan bercocok tanam dengan berladang berpindah, ada sebagian masyarakat yang melakukan kegiatan “meramu” (mencari sagu, umbi dan berburu). Sedangkan masyarakat yang tinggal di pusat-pusat pemerintah (Distrik dan Kabupaten) yang umumnya sebagai pendatang berprofesi sebagai pegawai negeri dan buruh harian (PT.MAM 2009).
20
Pendapatan masyarakat di sekitar areal kerja IUPHHK-HA PT. MAM umumnya tidak menentu. Cara hidup bertani subsisten menunjukkan bahwa pendapatan penduduk hanya dapat memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari. Keadaan ekonomi masyarakat setempat, pola bekerja yang tidak menentu, serta pola konsumsi yang sederhana, juga menunjukkan bahwa pendapatan mereka umumnya masih rendah dan sangat tergantung pada sumber daya alam (PT. MAM 2009).
BAB V HASIL DAN PEMBAHASAN 5.1 Penebangan Pohon di PT. MAM Sistem pemanenan yang dilakukan di PT. MAM adalah sistem pemanenan hutan mekanis. Secara umum, kegiatan pemanenan hutan dimulai dari penebangan, penyaradan, muat bongkar, dan pengangkutan. Kegiatan penebangan pohon dilaksanakan oleh regu tebang menggunakan chainsaw STIHL MS 720 dengan berat 20 kg. Sistem pengupahan yang digunakan adalah sistem borongan murni. Satu regu tebang terdiri atas satu chainsawman dan satu orang helper. Satu regu tebang menebang pada petak tebang yang telah dilakukan belah petak terlebih dahulu. Belah petak dimaksudkan untuk membagi wilayah kerja masingmasing regu berdasarkan potensi tegakan. Sebelum proses penebangan pohon, biasanya operator chainsaw terlebih dahulu melihat kondisi pohon, topografi, dan diameter pohon untuk menentukan layak tidaknya pohon ditebang. Batas diameter pohon yang boleh ditebang pada hutan produksi tetap adalah ˃ 40 cm, sedangkan untuk fungsi hutan produksi terbatas adalah ˃ 50 cm. Selain batasan diameter, topografi juga diperhatikan oleh regu
tebang sebelum melakukan penebangan.
Chainsawman
cenderung
menghindari penebangan pohon yang terletak di daerah dengan topografi sangat curam, hal ini disebabkan adanya potensi terjadinya pecah batang yang parah dan bulldozer kemungkinan tidak akan menarik kayu tersebut, sehingga akan berpengaruh terhadap pendapatan yang akan diperoleh chainsawman.
5.2 Statistik Plot Contoh 5.2.1 Luas Plot Contoh Rata-rata luas plot contoh dalam penelitian ini adalah 1.3 ha dengan luas plot terbesar 1.9 ha dan luas plot terkecil 0.8 ha. Sebaran luas plot contoh disajikan pada Gambar 3.
22
Persentase (%)
60 48.28
50 40 31.03 30 20
13.79
10
3.45
3.45
1.6-1.8
1.8-2
0
0.8-1
1.2-1.4
1.4-1.6 Luas Plot (Ha)
Gambar 3 Sebaran luas plot contoh. 5.2.2 Kemiringan Plot Contoh Rata-rata kemiringan areal pada plot contoh sebesar 33.4% dengan kemiringan terbesar 66% dan kemiringan terkecil 1%. Plot contoh dengan kemiringan sangat curam (> 40%) memiliki jumlah terbesar (44.83%), sedangkan plot dengan kemiringan curam (26-40%) memiliki jumlah terkecil (6.90%). Sebaran kemiringan pada plot contoh disajikan pada Tabel 8. Tabel 8 Sebaran kemiringan areal pada plot contoh. No 1 2 3 4 5 Jumlah
Kelas Kemiringan (%) 0-8 9-15 16-25 26-40 >40
Klasifikasi Datar Landai Agak Curam Curam Sangat Curam
Plot Contoh Jumlah (%) 3 10.34 8 27.59 3 10.34 2 6.90 13 44.83 29 100.00
5.2.3 Jumlah Pohon Berdiameter ≥ 10 cm dalam Plot Contoh Rata-rata jumlah pohon berdiameter ≥ 10 cm tiap plot contoh adalah 347 pohon dengan jumlah terbesar 463 pohon/plot dan jumlah terkecil 234 pohon/plot. Sementara itu, rata-rata kerapatan pohon berdiameter ≥ 10 cm pada plot contoh adalah 284 pohon/ha. Nilai kerapatan pohon ini lebih besar jika dibandingkan dengan penelitian lain di Papua. Kuswandi (2001, 2003) melaporkan kerapatan
23
tegakan di Papua berkisar 240 pohon/ha-321 pohon/ha. Sebaran jumlah pohon pada plot contoh disajikan pada Gambar 4. 35
31.03
31.03
Persentase (%)
30 25 20
17.24
15 10
10.34 6.90 3.45
5 0 234-277
277-320
320-363
363-406
406-449
449-492
Jumlah Pohon berdiameter ≥ 10 cm Gambar 4 Sebaran jumlah pohon berdiameter ≥ 10 cm dalam plot contoh. 5.2.4 Jumlah Pohon Layak Tebang dalam Plot Contoh Pohon-pohon layak tebang adalah pohon jenis komersial yang memiliki diameter ≥ 50 cm, mengingat fungsi hutan yang sedang ditebang adalah hutan produksi terbatas. Rata-rata pohon layak tebang tiap plot contoh adalah 19 pohon dengan jumlah pohon layak tebang terbesar 33 pohon/plot dan jumlah terkecil 13 pohon/plot. Sebaran jumlah pohon layak tebang dalam plot contoh disajikan pada Gambar 5. 37.93
Persentase (%)
40 35
31.03
30 25 20 13.79
15 10
10.34 6.90
5 0 13-17 17-21 21-25 25-29 29-33 Jumlah Pohon Layak Tebang berdiameter ≥ 50 cm
Gambar 5 Sebaran jumlah pohon layak tebang berdiameter ≥ 50 cm dalam plot contoh.
24
5.2.4 Tinggi Pohon dalam Plot Contoh Rata-rata tinggi pohon dalam plot contoh sebesar 32 meter dengan pohon tertinggi 39 meter dan pohon terpendek 25 meter. Sebaran tinggi pohon dalam plot contoh disajikan pada Gambar 6. 40
34.48
Persentase (%)
35 30 25
24.14
24.14
20 15
13.79
10 3.45
5 0 25-28
28-31
31-34 34-37 Tinggi Pohon (meter)
37-40
Gambar 6 Sebaran tinggi pohon dalam plot contoh.
5.3 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Penebangan Satu Pohon 5.3.1 Tingkat Kerusakan Berdasarkan Jumlah Pohon Salah satu penyebab kerusakan tegakan tinggal pada pemanenan hutan adalah kegiatan penebangan pohon. Pohon yang ditebang adalah pohon komersil dengan diameter ≥ 50 cm, sehingga ketika ditebang akan mengakibatkan kerusakan pada tiang dan pohon. Besarnya kerusakan tingkat tiang dan pohon akibat penebangan satu pohon berturut-turut adalah 2.33% dan 1.81%. Tingkat kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan satu pohon pada kedua tingkat pertumbuhan pohon tersebut termasuk dalam kategori kerusakan ringan, karena tingkat kerusakannya masih ˂ 25%. Kerusakan pada tingkat pohon lebih kecil dibandingkan pada tingkat tiang, hal ini dikarenakan penebang lebih memilih mengarahkan pohon ke tempat yang memiliki tegakan tinggal dengan diameter yang relatif kecil. Sementara itu, rata-rata jumlah pohon yang rusak akibat penebangan satu pohon adalah 5.63 pohon/ha, yang terdiri atas 3.07 pohon/ha untuk tiang dan 2.56 pohon/ha untuk pohon. Hasil ini tidak berbeda jauh dengan penelitian Hanafiah dan Muhdi (2007) yang melaporkan bahwa rata-rata jumlah pohon yang rusak
25
akibat penebangan satu pohon adalah 5.95 pohon/ha. Persentase kerusakan pada tiang dan pohon akibat penebangan satu pohon disajikan pada Tabel 9. Tabel 9 Jumlah tiang dan pohon yang rusak akibat penebangan satu pohon. Tingkatan Pohon
Tiang Pohon
Sebelum Penebangan (n) ( ̅) 4845 131.82 5204 141.58
Jumlah Sesudah Penebangan (n) ( ̅) 4732 128.74 5110 139.03
Pohon yang Rusak (n) ( ̅) (%) 113 3.07 2.33 94 2.56 1.81
Keterangan : n = jumlah ̅ = jumlah rata-rata per ha %= persentase kerusakan
Berdasarkan kelompok jenisnya, kelompok jenis meranti memiliki tingkat kerusakan tegakan yang lebih rendah dibandingkan dengan kelompok jenis non meranti. Kerusakan pada kelompok jenis meranti adalah sebesar 1.93%, sedangkan kerusakan pada kelompok jenis non meranti sebesar 2.10%. Perbedaan besarnya kerusakan antara kelompok meranti dan non meranti terjadi karena perbedaan kerapatan pohonnya. Kerapatan pohon kelompok jenis meranti sebesar 62 pohon/ha, sedangkan kelompok jenis non meranti sebesar 211 pohon/ha. Pada kelompok jenis meranti, kerusakan terbesar terjadi pada kelas diameter 10-19 cm (1.01%) dan kerusakan terkecil pada kelas diameter 40-49 cm (0.09%). Sementara pada kelompok jenis non meranti, persentase kerusakan terbesar terjadi pada kelas diameter 10-19 cm dan kerusakan terkecil terjadi pada kelas diameter ≥ 50 cm, yang masing-masing sebesar 1.16% dan 0.01%. Persentase kerusakan dari tiap kelas diameter akibat penebangan satu pohon untuk kelompok jenis meranti dan non meranti disajikan pada Tabel 10.
26
Tabel 10
Kerusakan tegakan tinggal pada kelompok jenis meranti dan non meranti akibat penebangan satu pohon.
Kelompok Jenis (n0)
( ̅) (n1)
( ̅)
Meranti
(nr)
( ̅) (%) (n0)
( ̅) (n1)
Non Meranti
( ̅) (nr)
( ̅) (%) Keterangan : n0
n1 nr
̅ %
10-19 946 25.74 923 25.11 23 0.63 1.01 3899 106.08 3809 103.63 90 2.45 1.16
Jumlah Tegakan Diameter (cm) 20-29 30-39 40-49 695 366 197 18.91 9.96 5.36 688 357 195 18.72 9.71 5.31 7 9 2 0.19 0.24 0.05 0.31 0.39 0.09 2192 1051 369 59.64 28.59 10.04 2144 1030 366 58.33 28.02 9.96 48 21 3 1.31 0.57 0.08 0.62 0.27 0.04
Total 50-up 82 2.23 79 2.15 3 0.08 0.13 252 6.86 251 6.83 1 0.03 0.01
2286 62.20 2242 61.00 44 1.20 1.93 7763 211.21 7600 206.77 163 4.43 2.10
= jumlah pohon sebelum penebangan = jumlah pohon setelah penebangan = jumlah pohon rusak = jumlah rata-rata per ha = persentase kerusakan
5.3.2 Tipe-Tipe Kerusakan Tegakan Tinggal Kerusakan tegakan tinggal adalah kerusakan yang terjadi pada tegakan tinggal yang sebenarnya tidak termasuk dalam rencana untuk dipanen hasilnya pada waktu pemanenan kayu. Kerusakan-kerusakan tersebut dapat berupa pohon roboh atau pohon masih berdiri tetapi bagian batang, banir atau tajuk mengalami kerusakan dan diperkirakan
tidak dapat tumbuh lagi
dengan
normal
(Sastrodimedjo dan Radja 1976). Tipe-tipe kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan satu pohon di petak tebang PT. MAM berupa patah batang, pecah batang, roboh, rusak tajuk, luka batang, rusak banir, dan miring. Pada tingkat tiang, tipe kerusakan yang terjadi adalah patah batang, pecah batang, roboh, rusak tajuk, luka batang, dan miring, yang besarnya secara berturut-turut sebesar 41.59%, 3.54%, 20.35%, 15.04%, 9.73%, dan 9.73%. Kerusakan terbesar adalah patah batang (41.59%) dan tipe kerusakan terkecil adalah pecah batang (3.54%). Sementara untuk tipe kerusakan rusak banir tidak terjadi pada tingkat tiang.
27
Pada pohon berdiameter ≥ 20 cm, tipe kerusakan yang terjadi adalah patah batang, pecah batang, roboh, rusak tajuk, luka batang, rusak banir, dan miring, yang besarnya secara berturut-turut sebesar 24.47%, 10.64%, 25.53%, 26.6%, 9.57%, 1.06%, dan 2.13%. Tipe kerusakan terbesar adalah rusak tajuk (26.60%) dan tipe kerusakan terkecil adalah rusak banir (1.06%). Tipe-tipe kerusakan untuk tiang dan pohon pada seluruh plot contoh yang diamati disajikan pada Gambar 7. 100% 90% 80%
26.6
15.04
70%
Persentase
2.13 1.06 9.57
9.73 0 9.73
60%
20.35
50%
25.53
3.54
40% 30%
10.64
20%
41.59 24.47
10% 0%
Tiang Patah Batang Luka Batang
Pohon Pecah Batang Rusak Banir
Roboh Miring
Rusak Tajuk
Gambar 7 Kerusakan tiang dan pohon dari setiap tipe kerusakan akibat penebangan satu pohon pada seluruh plot contoh yang diamati. 5.3.3 Tingkat Kerusakan Berdasarkan Besarnya Luka Tipe kerusakan tegakan tinggal berdasarkan besarnya luka dikelompokkan ke dalam tingkat kerusakan berat, sedang, dan ringan. Pada tiang, tingkat kerusakan yang terjadi adalah sebagian besar (78.76%) kerusakan berat, kemudian disusul kerusakan sedang 16.81%, dan ringan sebesar 4.42%. Sementara berdasarkan besarnya luka, tingkat kerusakan yang terjadi pada tingkat pohon tidak berbeda jauh dengan tingkat tiang. Kategori tingkat kerusakan yang terjdi pada pohon adalah kategori berat (84.04%), kemudian disusul tingkat ringan (8.51%) dan sedang (7.45%). Tingkat kerusakan berdasarkan besarnya luka untuk tiang dan pohon akibat penebangan satu pohon disajikan pada Tabel 11.
28
Tabel 11 Tingkat kerusakan berdasarkan besarnya luka untuk tiang dan pohon akibat penebangan satu pohon. Tipe Kerusakan
Tingkat Kerusakan
Tiang Berat Sedang Ringan Rusak Tajuk 11 4 2 Luka Batang 5 3 3 Rusak Banir 0 0 0 Miring 0 12 Patah Batang 41 Pecah Batang 3 Roboh 29 Jumlah 89 19 5 Rata-rata (pohon/ha) 2.42 0.52 0.14 Presentase (%) 78.76 16.81 4.42
Pohon Berat Sedang Ringan 17 3 5 5 2 2 0 0 1 0 2 24 10 23 79 7 8 2.15 0.19 0.22 84.04 7.45 8.51
5.3.4 Panjang Wilayah Terkena Dampak Penebangan Plot yang digunakan pada penelitian ini adalah plot berbentuk lingkaran dengan jari-jari sepanjang dua kali tinggi pohon yang ditebang. Bentuk plot lingkaran ini akan memudahkan dalam pengukuran panjang wilayah terkena dampak akibat penebangan pohon. Panjang wilayah terkena dampak merupakan panjang yang diukur mulai dari tunggak pohon yang ditebang sampai ujung dampak terluar yang disebabkan oleh pohon yang ditebang tersebut. Jika pohon yang ditebang menimpa pohon lain dan pohon yang tertimpa tersebut roboh, maka panjang dampak diukur sampai ujung terluar dampak yang disebabkan oleh pohon yang roboh tersebut. Rata-rata panjang terkena dampak penebangan satu pohon sebesar 45 meter, sedangkan rata-rata panjang terkena dampak teoritis sebesar 63.16 meter. Sementara itu, rata-rata selisih antara panjang terkena dampak akibat penebangan satu pohon dan panjang terkena dampak teoritis sebesar 18.19 meter dengan ragam sebesar 57.69. Berdasarkan hasil pengujian beda rata-rata diperoleh bahwa panjang dampak penebangan satu pohon tidak sama dengan jarak dua kali tinggi pohon yang ditebang. Panjang wilayah terkena dampak cenderung kurang dari dua kali tinggi pohon tersebut. Rata-rata panjang dampak penebangan yang terjadi adalah 45 meter atau sepanjang 1.5 kali tinggi pohon yang ditebang. Dengan demikian, kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan pohon terendah akan
29
terjadi jika jarak minimal antar pohon yang ditebang adalah sekitar 45 m. Untuk itu, sebelum dilakukan penebangan pohon perlu diketahui posisi pohon terlebih dahulu. Pada saat inventarisasi tegakan sebelum penebangan, koordinat pohon yang akan ditebang perlu diukur dan dicatat. Pengunaan
plot
lingkaran
pada
penelitian
ini memiliki
kelebihan
dibandingkan dengan menggunakan bentuk plot yang lainnya. Plot berbentuk lingkaran dengan jari-jari dua kali tinggi pohon ini dapat mengukur semua dampak akibat penebangan satu pohon (pohon pusat) yang masuk ke dalam plot contoh, sehingga semua rata-rata pohon yang rusak dapat dikenali dan terkontrol.
5.4 Kerusakan Tegakan Tinggal Akibat Kegiatan Penebangan Konvensional 5.4.1 Tingkat Kerusakan Berdasarkan Jumlah Pohon Tingkat
kerusakan
tegakan
tinggal
merupakan
suatu
indeks
yang
menunjukkan perbandingan jumlah tegakan yang rusak akibat penebangan pohon terhadap jumlah tegakan sebelum kegiatan penebangan. Menurut Rohidayanti (2012), faktor yang mempengaruhi kerusakan tegakan tinggal adalah intensitas penebangan. Semakin tinggi intensitas penebangan, maka semakin tinggi pula kerusakan tegakan tinggal yang terjadi. Penebangan pohon konvensional yang dimaksud disini adalah kegiatan penebangan yang sehari-hari dilaksanakan di PT. MAM yang tidak menerapkan teknik reduce impact logging. Rata-rata intensitas penebangan konvensional yang dipraktekan di lapangan pada plot contoh adalah 13 pohon/plot atau 11 pohon/ha. intensitas penebangan ini lebih tinggi jika dibandingkan dengan penelitian Indriyati (2010) di Sumatera Barat dan Sitanggang (2011) di Kalimantan Timur, yang besarnya berturut-turut 7 pohon/ha dan 5 pohon/ha. Kuswandi (2003) melaporkan bahwa intensitas penebangan di Papua mencapai 14 pohon/ha. Putz et al (2000) menyatakan bahwa intensitas penebangan di hutan hujan tropika Asia dan Pasifik lebih tinggi dibandingkan dengan wilayah lain, untuk intensitas penebangan di Malaysia dapat mencapai 14 pohon/ha. Tingkat kerusakan tegakan tinggal di PT. MAM berdasarkan perbedaan intensitas penebangan disajikan pada Tabel 12.
30
Tabel 12 Kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan berdasarkan intensitas penebangan. Intensitas Tebang (pohon/ha)
1 11
Tingkatan Pohon Sebelum Penebangan (n) ( ̅) 4845 131.82 4845 131.82
Tiang Sesudah Penebangan (n) ( ̅) 4732 128.74 3560 96.86
Keterangan : n = jumlah ̅ = jumlah rata-rata per ha % = persentase kerusakan
(n) 113 1285
Pohon Rusak ( ̅) 3.07 34.96
(%) 2.33 26.52
Sebelum Penebangan (n) ( ̅) 5204 141.58 5204 141.58
Pohon Sesudah Penebangan (n) ( ̅) 5110 139.03 4111 111.85
(n) 94 1093
Pohon Rusak ( ̅) 2.56 29.74
(%) 1.81 21.00
31
Kerusakan tegakan tinggal akibat kegiatan penebangan konvensional pada tiang adalah tingkat kerusakan sedang dengan persentase sebesar 26.52%, sedangkan pada pohon adalah tingkat kerusakan ringan (21%). Penebangan pohon konvensional mengakibatkan tingkat kerusakan tiang sebesar kurang lebih 11 kali lipat dan untuk tingkat pohon sebesar 11.6 kali lipat (Tabel 13). Idris dan Suhartana (1996b) melaporkan bahwa kerusakan tiang di Kalimantan Timur sebesar 11.97%, sedangkan Elias (1994) melaporkan kerusakan tiang yang lebih besar (33.26%). Sementara untuk tingkat pohon, tingkat kerusakan tegakan tinggal yang terjadi di Papua lebih besar dibandingkan dengan hasil penelitian Idris dan Suhartana (1996a) di Riau dengan persentase kerusakan tingkat pohon sebesar 11.5% dan Elias (1994) di Kalimantan dengan persentase kerusakan pohon sebesar 12.62%. Perbedaan tingkat kerusakan tegakan tinggal ini dikarenakan perbedaan intensitas penebangan. Idris dan Suhartana (1996a, 1996b) melaporkan bahwa intensitas penebangannya 7 pohon/ha dan 9 pohon/ha. Berdasarkan kelompok jenisnya, persentase kerusakan tegakan tinggal untuk kelompok jenis meranti sebesar 21.35%, yang terdiri atas 10.94% kerusakan pada kelas diameter 10-19 cm, 4.33% pada kelas diameter 20-29 cm, 3.59% pada kelas diameter 30-39 cm, 1.57% pada kelas diameter 40-49 cm, dan 0.92% pada kelas diameter ≥ 50 cm. Kerusakan terbesar terjadi pada kelas diameter 10-19 cm, yaitu sebesar 10.94%. Hal ini terjadi karena pada kelas diameter 10-19 cm memiliki kerapatan pohon tertinggi. Pada kelompok jenis non meranti persentase kerusakan yang terjadi sebesar 24.35%, terdiri atas persentase kerusakan pada kelas diameter 10-19 cm, 20-29 cm, 30-39 cm, 40-49 cm, dan ≥ 50 cm berturut-turut sebesar 13.33%, 7.07%, 3.34%, 0.43%, dan 0.18%. Kerusakan terbesar terjadi pada kelas diameter 10-19 cm (13.43%), hal ini disebabkan pada kelas diameter 10-19 cm memiliki kerapatan pohon tertinggi. Tingkat kerusakan pada kelompok jenis meranti dan non meranti disajikan pada Tabel 13.
32
Tabel 13 Kerusakan tegakan tinggal untuk kelompok jenis meranti dan non meranti akibat kegiatan penebangan pohon konvensional. Kelompok Jenis (n0 )
( ̅) (n1 )
Meranti
( ̅) (nr)
( ̅) (%) (n0 )
( ̅) (n1 )
Non Meranti
( ̅) (nr)
( ̅) (%) Keterangan : n0
n1 nr
̅ %
10-19 946 25.74 696 18.94 250 6.80 10.94 3899 106.08 2864 77.92 1035 28.16 13.33
Jumlah Tegakan Diameter (cm) 20-29 30-39 40-49 695 366 197 18.91 9.96 5.36 596 284 161 16.22 7.73 4.38 99 82 36 2.69 2.23 0.98 4.33 3.59 1.57 2192 1051 369 59.64 28.59 10.04 1643 792 336 44.70 21.55 9.14 549 259 33 14.94 7.05 0.90 7.07 3.34 0.43
Total 50-up 82 2.23 61 1.66 21 0.57 0.92 252 6.86 238 6.48 14 0.38 0.18
2286 62.20 1798 48.92 488 13.28 21.35 7763 211.21 5873 159.79 1890 51.42 24.35
= jumlah pohon sebelum penebangan = jumlah pohon setelah penebangan = jumlah pohon rusak = jumlah rata-rata per ha = persentase kerusakan
5.4.2 Tipe-Tipe Kerusakan Tegakan Tinggal Pada tingkat tiang, tipe kerusakan akibat penebangan konvensional berupa patah batang, pecah batang, roboh, rusak tajuk, luka batang, rusak banir, dan miring dengan persentase kerusakan masing-masing sebesar 40.7%, 1.87%, 23.5%, 16.34%, 10.89%, 0%, dan 6.69%. Tipe kerusakan terbesar adalah tipe kerusakan patah batang dan roboh. Presentase tipe kerusakan patah batang adalah 40.7% dan roboh sebesar 23.5%. Pada pohon berdiameter ≥ 20 cm, tipe kerusakan yang terjadi adalah patah batang, pecah batang, roboh, rusak tajuk, luka batang, rusak banir, dan miring dengan kerusakan berturut-turut sebesar 22.87%, 12.72%, 28.73%, 25.43%, 8.87%, 0.37%, dan 1.01%. Tipe kerusakan terbesar adalah tipe kerusakan roboh (28.73%) dan rusak tajuk (25.43%). Elias (2002) dan Kuswandi (2001)
33
melaporkan bahwa kerusakan terbesar terjadi pada rusak tajuk dan patah batang. Elias (2002) melaporkan bahwa persentase bentuk kerusakan rusak tajuk sebesar 49.45% dan patah batang sebesar 23.08%, sedangkan Kuswandi (2001) mendapatkan hasil untuk kerusakan rusak tajuk sebesar 38.6% dan patah batang sebesar 33.33%. Perbedaan tersebut dikarenakan adanya perbedaan kerapatan tegakan dan intensitas penebangan yang berbeda. Elias (2002) dan Kuswandi (2001) melaporkan bahwa intensitas penebangannya 8 pohon/ha dan 6 pohon/ha, dan kerapatan tegakan sebesar 688 pohon/ha dan 239 pohon/ha. Kerusakan pohon dari setiap tipe kerusakan pada seluruh plot contoh yang diamati disajikan pada Gambar 8. 0 6.69
100% 90%
0.37 1.01 8.87
10.89
80%
Persentase
25.43
16.34
70% 60%
23.5 50%
28.73 1.87
40% 30%
12.72 40.7
20%
22.87
10% 0%
Tiang
Pohon
Patah Batang
Pecah Batang
Roboh
Luka Batang
Miring
Rusak Banir
Rusak Tajuk
Gambar 8 Kerusakan tiang dan pohon dari setiap tipe kerusakan akibat penebangan pohon konvensional pada seluruh plot contoh yang diamati. 5.4.3 Tingkat Kerusakan Berdasarkan Besarnya Luka Pada penebangan konvensional tingkat kerusakan berdasarkan besarnya luka pada tiang meliputi kerusakan berat (80.47%), sedang (15.02%), dan ringan (4.51%). Tingkat kerusakan terbesar adalah tingkat kerusakan berat, yaitu
34
80.47%, kemudian diikuti oleh tingkat kerusakan sedang dengan persentase sebesar 15.02% dan tingkat kerusakan ringan sebesar 4.51%. Pada pohon berdiameter ≥ 20 cm, tingkat kerusakan yang terjadi berupa kerusakan berat (88.38%), sedang (5.22%), dan ringan (6.40%). Tingkat kerusakan terbesar adalah tingkat kerusakan berat, yaitu 88.38% dari jumlah keseluruhan pohon yang rusak, kemudian diikuti oleh tingkat kerusakan ringan sebesar 6.40% dan tingkat kerusakan sedang sebesar 5.22%. Hasil penelitian di PT. MAM tidak berbeda jauh dengan penelitian Indriyati (2010) yang melaporkan bahwa kerusakan berat mencapai 67.74%, kemudian diikuti kerusakan ringan sebesar 24.73% dan tipe kerusakan sedang sebesar 7.53%. Sementara Sitanggang (2011) melaporkan bahwa kerusakan berat mencapai 66.18%, kemudian diikuti oleh kerusakan sedang sebesar 20.59% dan kerusakan ringan sebesar 13.24%. Perbedaan besarnya kerusakan ini disebabkan perbedaan intensitas penebangan dan kerapatan tegakan. Indriyati (2010) dan Sitanggang (2011) melaporkan bahwa intensitas penebangan yang terjadi adalah 7 pohon/ha dan 5 pohon/ha, dan kerapatan untuk pohon berdiameter ≥ 20 cm sebesar 77 pohon/ha dan 39 pohon/ha. Tingkat kerusakan berdasarkan besarnya luka untuk tiang dan pohon akibat kegiatan penebangan pohon ditampilkan pada Tabel 14. Tabel 14 Tingkat kerusakan tegakan tinggal berdasarkan besarnya luka untuk tiang dan pohon akibat kegiatan penebangan pohon konvensional. Tipe Kerusakan
Tingkat Kerusakan
Tiang Berat Sedang Ringan Rusak Tajuk 127 65 18 Luka Batang 58 42 40 Rusak Banir 0 0 0 Miring 0 86 Patah Batang 523 Pecah Batang 24 Roboh 302 Jumlah 1034 193 58 Rata-rata (pohon/ha) 28.13 5.25 1.58 Presentase (%) 80.47 15.02 4.51
Pohon Berat Sedang Ringan 199 25 54 64 21 12 0 0 4 0 11 250 139 314 966 57 70 26.28 1.55 1.90 88.38 5.22 6.40
BAB VI KESIMPULAN DAN SARAN 6.1 Kesimpulan 1. Tipe kerusakan tegakan tinggal yang terjadi akibat penebangan pohon adalah kerusakan tajuk, kerusakan batang dan kulit, kerusakan banir dan akar, batang patah, dan pohon roboh. Tipe kerusakan terbesar yang terjadi pada tiang akibat kegiatan penebangan adalah patah batang sebesar 41.59% dan pada pohon rusak tajuk sebesar 26.60%. Sementara itu tipe kerusakan terkecil pada tiang adalah pecah batang sebesar 3.54% dan pada pohon rusak banir sebesar 1.06%. 2. Tingkat kerusakan tegakan tinggal pada pohon berdiameter ≥ 10 cm akibat penebangan satu pohon di PT. MAM adalah tingkat kerusakan ringan sebesar 2.33% pada tiang dan sebesar 1.81% pada pohon. 3. Rata-rata panjang dampak penebangan di PT. MAM adalah sejauh 45 meter atau 1.5 kali tinggi pohon. 6.2 Saran 1. Perlu diterapkannya teknik pemanenan berbasis RIL seperti pemberian tanda arah rebah terlebih dahulu sebelum dilakukan penebangan pohon guna meminimalkan kerusakan tegakan tinggal. 2. Perlu dilakukan pemberian jarak minimal penebangan antar pohon sejauh 45 meter dan pembatasan penebangan sebanyak 5 pohon/ha guna meminimalkan kerusakan tegakan tinggal.
DAFTAR PUSTAKA Conway S. 1976. Logging Practices. Miller Freeman Publication, Inc. Washington. Cochran GW. 1977. Teknik Penarikan Sampel. Willey Jhon and sons ; penerjemah. Terjemahan dari : Sampling Technique. Penerbit UI Press. Departemen Kehutanan. 1990. Kamus Kehutanan. Departemen Kehutanan Republik Indonesia. Jakarta. Elias. 1994. Akibat pemanenan kayu terhadap kerusakan mekanis dan biologis tegakan tinggal di hutan alam tropika tanah kering di areal HPH PT. Kiani Lestari, Kalimantan Timur. Pusat Antar Universitas Ilmu Hayat IPB. Bogor. Elias. 1998. Wood harvesting damages, regeneration and growth in the residual stand of diterocarp forest. Tropical Forest Dynamics. Biotrop Special Publication No.60. Elias. 1999. Reduce Impact Timber Harvesting In The Indonesia Selective Cutting and Planting System. IPB PRESS. Bogor. Elias. 2002. Buku 2 : Reduced Impact Logging. IPB Press. Bogor. Elias. 2008. Pembukaan Wilayah Hutan. IPB Press. Bogor. Hanafiah DS, Muhdi. 2007. Dampak pemanenan kayu berdampak rendah terhadap kerusakan tegakan tinggal di hutan. Jurnal Ilmu-Ilmu Pertanian Indonesia. Volume 9 (1): 32-39. Idris MM, Suhartana S. 1996a. Kondisi tegakan tinggal di kawasan dua perusahaan hutan di Riau. Buletin Penelitian Hasil Hutan 14 (4): 129-137. Idris MM, Suhartana S. 1996b. Pembalakan ramah lingkungan untuk minimasi kerusakan tegakan tinggal:Kasus di satu perusahaan hutan di Kalimantan Timur. Buletin Penelitian Hasil Hutan 15 (3): 212-222. Indriyanto. 2008. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta. Indriyati IK. 2010. Kerusakan tegakan tinggal akibat pemanenan hutan di PT. Salaki Summa Sejahtera Pulau Siberut, Sumatera Barat [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. [PT.MAM] PT. Mamberamo Alasmandiri. 2009. RKUPHHK dalam Hutan Alam pada Hutan Produksi Periode 2008 s/d 2017. Papua: PT. MAM. Kuswandi R. 2001. Dampak eksploitasi hutan terhadap tegakan hutan pada pengelolaan hutan dengan sistem TPTI di areal HPH PT. Mamberamo Alasmandiri. Informasi Teknis Matoa No.10.
37
Kuswandi R. 2003. Dampak penurunan diameter tebang terhadap kerusakan tegakan tinggal dan keterbukaan lahan pada areal HPH di Papua. Buletin Penelitian Hutan No. 641: 35-43. Nugraha A, Hari P, Hasbillah, Petrus G, Rahardjo B. 2007. Pembalakan Ramah Lingkungan. Wana Aksara. Tangerang. Putz FE, Pinard MA, Tay J. 2000. Lessons learned from the implementation of reduced impact logging in hilly terrain in Sabah, Malaysia. International Forestry Review 2 (1): 33-39. Rohidayanti T. 2012. Kerusakan tegakan tinggal dan potensi karbon tersimpan akibat pemanenan kayu di IUPHHK-HA PT. Indexim Utama, Kalimantan Tengah [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Sastrodimedjo S, Radja S. 1976. Aspek – Aspek Eksploitasi Hutan di Bidang Potensi Hutan pada Pengusahaan Hutan. Paper pada Lokakarya Intensifikasi Pemungutan Hasil Hutan dan Pemanfaatannya di Surabaya. Surabaya. Simon H. 1996. Metoda Inventore Hutan. Aditya Media. Yogyakarta. Sitanggang MMW. 2011. Perbandingan besarnya kerusakan tegakan tinggal pada pemanenan kayu menggunakan metode reduce impact logging dan conventional logging di IUPHHK PT. Ratah Timber [skripsi]. Bogor: Fakultas Kehutanan. Institut Pertanian Bogor. Soerianegara I, Indrawan A. 1982. Ekologi Hutan Indonesia. Departemen Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor. Bogor Suparto RS, Arifin Z, Muharam EH. 1976. Pemilihan sistim pengangkutan di hutan jati khususnya di KPH Cepu, Randublatung, Bojonegoro dan Jatirogo. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian Departemen Pertanian. Bogor. Walpole RE. 1992. Pengantar Statistika (Terjemahan). PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
LAMPIRAN
39
Lampiran 1 Foto-foto kerusakan tegakan tinggal akibat penebangan pohon.
Rusak tajuk
Luka batang
Patah batang
Pecah batang
Pohon roboh
Rusak banir
40
Lampiran 2 Peta areal kerja PT. Mamberamo Alasmandiri.
41
Lampiran 3 Peta areal kerja PT. Mamberamo Alasmandiri blok RKT 2012.