KERTAS BRIEFING 20 DELIVERABLES APEC INDONESIA 2013
PANITIA NASIONAL BIDANG SUBSTANSI KTT APEC 2013
1
Prioritas 1, Attaining the Bogor Goals 1.
Supporting the Multilateral Trading Systems and WTO 9th Ministerial Conference
Terhambatnya proses negosiasi perdagangan multilateral, terutama terkait agenda pembangunan Doha1 berperan dalam posisi yang diambil oleh negara-negara di dunia untuk memilih preferential trade arrangement/regional trade arrangement. Situasi ini mengakibatkan terciptanya diskriminasi dalam proses perdagangan internasional yang cenderung merugikan bagi negara-negara yang berada di luar PTA/RTAs. Dalam hal ini, dorongan terhadap pencapaian suatu hasil yang substansial terhadap perundingan Putaran Doha, utamanya yang akan dilaksanakan dalam Konferensi Tingkat Menteri ke-9 WTO di Bali, 3-6 Desember 2013. Disepakati bahwa “Bali Package” dapat mencakup kesepakatan fasilitasi perdagangan, beberapa elemen pertanian dan pembangunan, termasuk isu-isu kepentingan LDCs. Dorongan dimaksud akan dibentuk dalam suatu seruan bersama Pemimpin Ekonomi APEC terhadap pencapaian hal tersebut. Sebagai informasi, APEC memiliki peran yang cukup baik dalam proses perdagangan multilateral, salah satu contohnya adalah dorongan positif yang pada akhirnya membantu penyelesaian perundingan Putaran Uruguay (Uruguay Round). Kepentingan Indonesia terkait hal ini adalah untuk menciptakan sistem perdagangan internasional yang tidak diskriminatif dan menjamin akses pasar bagi produk-produk ekspor Indonesia. Selain itu, penyelesaian perundingan DDA akan memastikan peran WTO terhadap pembangunan negara-negara berkembang seperti Indonesia terutama untuk mendapatkan perlakuan khusus ketika berhadapan dengan negara maju.
1 “Agenda Pembangunan Doha” (Doha Development Agenda) di dalamnya memuat isu – isu pembangunan yang menjadi kepentingan negara – negara berkembang terbelakang (leastdeveloped countries/LDCs), seperti pertanian, akses pasar untuk produk non pertanian, jasa dan pembangunan.
2
Prioritas 1, Attaining the Bogor Goals 2.
Improving Trade on Services
Indonesia dalam keketuaannya di APEC tahun 2013 telah melaksanakan Public-Private Dialogue on Services di Surabaya, 17 April 2013. Dialog tersebut melibatkan unsur-unsur sektor swasta di antaranya adalah Asosiasi Pengusaha Indonesia (APINDO) dan APEC Business Advisory Council (ABAC), dan membahas target penguatan sektor jasa yang akan dicapai pada 2020 sesuai dengan Bogor Goals, tantangan SMEs dalam sektor jasa, serta konektivitas dan perubahan di sektor jasa. Beberapa hal utama yang dibahas dalam dialog tersebut adalah utamanya terkait potensi besar yang dapat diraih kawasan Asia Pasifik dalam pengembangan kerja sama dan liberalisasi sektor jasa. Saat ini, pengembangan sektor jasa di kawasan APEC masih tertinggal dibandingkan dengan sektor perdagangan barang yang relatif lebih terbuka. Selain itu, pelatihan dan peningkatan kapasitas (skills upgrading) kepada anggota APEC yang membutuhkan berperan penting guna memaksimalisasi keuntungan yang dapat diambil dari sektor jasa. Bagi Indonesia, manfaat dari inisiatif ini adalah terkait pada upaya memajukan bidang jasa nasional, dimana ektor jasa dapat memberikan nilai tambah (value added) yang cukup besar bagi perekonomian. Penguatan perdagangan sektor jasa akan membuka lapangan kerja bagi para tenaga ahli dan skilled labors, serta membuka peluang terjadinya arus masuk modal luar negeri yang dapat memacu pengembangan teknologi, informasi dan manajemen yang lebih baik. Lebih lanjut, terbukanya sektor jasa akan memberikan keleluasaan bagi konsumen (pengguna jasa) untuk memilih layanan yang tepat sesuai dengan kebutuhan mereka.
3
Prioritas 1, Attaining the Bogor Goals 3.
Promoting a set of principles (RICE – Resilient, Inclusive and Innovative, Connected, and Equitable) in pursuing trade and investment liberalization and facilitation under the Bogor Goals
Visi utama APEC yang terdapat dalam APEC Bogor Goals yang dicapai tahun 1994 menekankan pada target pencapaian suatu kawasan yang memiliki perdagangan dan investasi yang bebas dan terbuka. Juga terkait di dalamnya adalah mengenai upaya agar seluruh lapisan masyarakat dalam Ekonomi APEC dapat menikmati manfaat yang sama dari keterbukaan dan kebebasan perdagangan dan investasi. Untuk mencapai hal ini, para pemimpin APEC juga menyepakati bahwa Ekonomi maju (developed economies) akan membantu dan membuka peluang bagi Ekonomi berkembang (developing economies) untuk turut berkembang dalam sistem perdagangan dan investasi yang terbuka tersebut. Dalam pernyataan para Pemimpin Ekonomi APEC tahun 2010 terkait kajian pencapaian Bogor Goals, disampaikan bahwa meskipun terdapat perkembangan signifikan dalam upaya pencapaian Bogor Goals namun masih terdapat hal-hal yang perlu dicapai (more works need to be done). Selain itu, dalam pernyataan tersebut juga ditekankan mengenai upayaupaya untuk mengurangi kesenjangan pembangunan antara Ekonomi maju dan Ekonomi berkembang demi mencapai Bogor Goals tahun 2020. Terkait hal ini, Indonesia dalam keketuaannya di APEC tahun 2013 melalui sebuah workshop bertajuk ‘Workshops with Aim at Attaining the Bogor Goals that Ensures Equitable Benefits of Liberalization’ yang dilaksanakan di Medan, 30 Juni 2013 menghasilkan sebuah rekomendasi bagi para Pemimpin APEC untuk dapat memastikan pencapaian Bogor Goals membawa manfaat bagi semua pihak dan tidak semata menguntungkan Ekonomi maju. Selain itu, beberapa hal yang direkomendasikan kepada Pemimpin Ekonomi APEC di antaranya : (i) kerja APEC harus difokuskan pada upaya-upaya penguatan ketahanan dan ketangguhan Ekonomi dalam menghadapi krisis; (ii) kerja APEC dalam mencapai Bogor Goals haruslah inklusif dengan mengikutsertakan konstituen yang lebih luas mencakup UMKM, wanita dan pemuda, dan lapisan masyarakat lainnya yang sebelumnya kurang berperan dalam ekonomi; dan, (iii) berfokus pada konektivitas guna menjembatani jurang pembangunan di antara Ekonomi maju dan Ekonomi berkembang melalui peningkatan sektor transportasi dan komunikasi.
4
Prioritas 1, Attaining the Bogor Goals 4. Understanding Current Challenges in Trade Financing
Salah satu agenda utama yang dibahas dalam keketuaan Indonesia di APEC tahun 2013 dalam sektor keuangan (APEC Finance Ministers’ Process) adalah mengenai trade finance. Isu ini menjadi bagian dari pencapaian prioritas pertama “Attaining the Bogor Goals”. Indonesia melalui agenda ini berupaya untuk mendata dan mengeksplorasi kondisi trade finance terkini dikawasan Asia-Pasifik melalui suatu kajian dan survei yang didukung dengan penyelenggaraan suatu workshop mengenai trade finance pada tanggal 1 Juli 2013 di Lombok. Adapun hasil workshop dan study diharapkan dapat membantu Ekonomi anggota APEC, termasuk Indonesia, dalam mengambil kebijakan yang tepat, termasuk dalam membantu Sektor Usaha Kecil dan Menengah (UKM) untuk memperoleh akses trade financing. Lebih lanjut lagi, upaya ini diharapkan dapat turut membantu mewujudkan investasi dan perdagangan yang bebas dan terbuka di kawasan, sesuai amanat Bogor Goals. Hasil dari studi menunjukkan bahwa kondisi trade finance di kawasan Asia Pasifik mengalami penurunan selama krisis keuangan global (2008-2009) dan selama tahun 20112012. Selain karena krisis keuangan global, penurunan juga diakibatkan karena liquidity shortage sebagai akibat berkurangnya pinjaman yang diberikan oleh Bank-Bank Eropa di kawasan Asia-Pasifik. Selain itu, aturan permodalan baru yang diimplementasikan di Eropa membuat Bank-bank tersebut semakin mengurangi pinjamannya di kawasan Asia Pasifik. Trade finance memiliki default rate dan tingkat kerugian yang rendah dibandingkan dengan aktivitas peminjaman korporasi lainnya. Namun demikian, study menemukan bahwa implementasi Basel III akan dapat meningkatkan cost of trade finance dan mengurangi aktivitasnya. Hal ini disebabkan karena Basel III mensyaratkan adanya modal yang lebih tinggi, leverage ratio, liquidity ratio, counterparty credit risk. Oleh karena itu, disarankan bahwa dalam pengimplementasian Basel III, APEC dapat mencontoh Uni Eropa dengan menerapkan pengecualian pada beberapa aturan dalam Basel III sehingga membuat kondisi trade finance di Uni Eropa tetap terjaga. Selain itu, dampak dari regulatory cost tersebut akan lebih dirasakan oleh UMKM yang saat ini masih mengalami kesulitan dalam memperoleh akses trade finance dikarenakan ketersediaan sumber daya yang terbatas serta adanya persepsi resiko (perceived risk) dari pemberi pinjaman. Laporan hasil survei menunjukkan poin-poin yang sama dengan hasil identifikasi masalah di workshop sehingga APEC (melalui forum para Menteri Keuangan) menyepakati untuk mengambil beberapa tindakan dalammengatasi masalah-masalah tersebut, antara lain: pemberian insentif, peningkatan pengetahuan perbankan tentang karakteristik UKM, Bilateral Swap Aggrements (BSA), dan penggunaan local currency yang dapat menurunkan biaya transaksi dan resiko nilai tukar. Selain itu, APEC juga mendorong adanya kerja sama regional dan internasional guna mengurangi resiko terkait dengan trade finance. Melalui hal-hal tersebut di atas, diharapkan kondisi trade finance di kawasan Asia Pasifik semakin kuat yang kemudian dapat mendorong terwujudnya investasi dan perdagangan yang bebas dan terbuka di kawasan, sesuai dengan amanat pencapaian Bogor Goals.
5
Prioritas 1, Attaining the Bogor Goals 5.
Promoting Products which Contribute to Green Growth, Rural Development and Poverty Alleviation
Salah usulan utama Indonesia di bawah prioritas pertama ‘Attaining the Bogor Goals’ pada ketuanrumahan APEC tahun 2013 adalah untuk meningkatkan pemahaman terhadap barang/produk yang kiranya dapat berkontribusi pada pembangunan yang berorientasi pada lingkungan (green growth), pengurangan angka kemiskinan dan pengembangan pedesaan, termasuk di dalamnya adalah crude palm oil (CPO), karet alam (natural rubber), serta produk kehutanan seperti kertas dan bubur kertas. Proposal ini menekankan agar di tahun 2014 dapat dilaksanakan pengkajian (studi) oleh APEC guna mengidentifikasi produk-produk tertentu (di luar barang manufaktur) yang secara signifikan berkontribusi pada tujuan lingkungan, pembangunan pedesaan dan pengentasan kemiskinan. Hasil kajian ini akan berkontribusi terhadap diangkatnya agenda ini untuk dibahas lebih lanjut di APEC. Dengan upaya tersebut, diharapkan akan meningkatkan pemahaman anggota APEC atas produk-produk dimaksud, seperti CPO dan karet alam, yang dalam beberapa kesempatan terkena hambatan (restriction) perdagangan di negara tujuan ekspor karena alasan-alasan lingkungan. Sebagaimana diketahui, kelapa sawit (CPO) telah cukup luas diketahui sebagai komponen bahan bakar alternatif yang bersih, dan dalam penggunaannya telah terbukti dapat menurunkan kadar partikel, karbon monoksida (CO) dan hidrokarbon pada kendaraan bermesin diesel. Selain itu, perkebunan kelapa sawit secara relatif lebih efisien dalam penggunaan lahan dan lebih produktif (per hektar lahan) jika dibandingkan dengan vegetable oil lainnya. Berdasarkan data Oil World, perkebunan kelapa sawit tercatat menggunakan 4.8% dari lahan dunia namun menyumbangkan 34.7% dari keseluruhan output ‘oils and fats’ pada tahun 2010. Karet alam (natural rubber) lebih ramah lingkungan dibandingkan dengan karet sintetis mengingat sifatnya yang jauh lebih mudah di dekomposisi oleh alam dan lebih sedikit menghasilkan limbah buangan serta polusi. Penyadapan karet dapat berlangsung selama 30 tahun, dan ketika pohon karet sudah tidak lagi menghasilkan maka dapat dimanfaatkan sebagai kayu untuk perabotan rumah. Adanya pemahaman yang baik dari para Ekonomi APEC akan semakin mendorong pasar internasional untuk lebih terbuka bagi produk-produk unggulan Indonesia. Perkebunan karet dan kelapa sawit juga berperan dalam pengentasan kemiskinan, diantaranya melalui pemberdayaan petani kecil (smallholder farmer) dalam proses produksinya. Di Indonesia, petani kecil berkontribusi 40% dari total produksi kelapa sawit, sedangkan dalam produksi karet mencapai 80%.
6
Prioritas 2, Achieving Sustainable Growth with Equity 6.
Enhancing SMEs Global Competitiveness dan SMEs and Women
APEC Indonesia 2013 telah membahas isu pemberdayaan Usaha Kecil dan Menengah (UKM) dengan tema “Enhancing SMEs Global Competitiveness” dan “SMEs and Women”. Isu ini menjadi bagian dari pencapaian prioritas kedua “Achieving Sustainable Growth with Equity”. Maksud dan tujuan dari isu usulan Indonesia ini adalah untuk (i) mendorong daya saing UKM dan membuka kesempatan bagi UKM untuk berpartisipasi dalam perdagangan global, dan (ii) memastikan perhatian khusus akan kebutuhan UKM di tengah krisis ekonomi, termasuk juga UKM yang dimiliki ataupun dikelola oleh perempuan. Tiga 3 fokus kerja sama untuk mencapai tujuan dimaksud, yaitu (i) pengembangan kewirausahaan untuk memastikan pengelolaan UKM yang baik (ii) perluasan akses ke pembiayaan yang dapat membantu UKM untuk memulai dan menjalankan usaha, dan (iii) pemberdayaan UKM untuk dapat melaksanakan perdagangan di pasar internasional. Bagi Indonesia, tiga fokus kerja sama ini sangat penting mengingat UKM Indonesia merupakan tulang punggung perekonomian Indonesia, mengingat jumlahnya yang mencapai sekitar 52 juta, menyumbang 60% dari PDB dan menampung 97% tenaga kerja di Indonesia (2011). Namun akses ke pembiayaan sangat terbatas, dan baru 25% atau 13 juta pelaku UKM yang mendapat akses ke lembaga keuangan. Dengan usulan Indonesia agar APEC fokus pada pengembangan kewirausahaan, perluasan akses ke pembiayaan dan pemberdayaan dan fasilitasi untuk dapat berdagang di pasar internasional, diharapkan dapat mendukung upaya domestik Indonesia untuk menjalankan fokus dimaksud. Perempuan juga menjadi fokus, mengingat perempuan terlibat pada 60% dari jumlah total UKM. Proses pembahasan dilakukan melalui rangkaian pertemuan antara tanggal 2-7 September 2013 di Bali, yang terdiri dari berbagai workshop/seminar, pameran UKM dari ekonomi anggota APEC, pertemuan tingkat pejabat tinggi dan diakhiri dengan pertemuan tingkat Menteri (PTM) Urusan UKM yaitu “APEC Small and Medium Enterprises Ministerial Meeting”, dan pertemuan bersama Menteri UKM dan Menteri Urusan Perempuan (pertama kali dilaksanakan di APEC) dengan judul “Ministerial Meeting on Small and Medium Enterprise (SME) and Women”. Tindak lanjut dari hasil pertemuan adalah adanya komitmen berbagai ekonomi dalam mencari dan menerapkan solusi inovatif dalam mendorong pemberdayaan UKM, selain itu perlu terus diupayakan kerja sama antar-instusi untuk meningkatkan pembiayaan perdagangan bagi UKM serta penguatan financial inclusion untuk menjangkau UKM yang belum mendapatkan pembiayaan, serta perlunya untuk terus menjalankan kolaborasi antar ekonomi APEC untuk berbagi informasi, pengalaman dan pembelajaran dalam mendorong daya saing UKM.
7
Prioritas 2, Achieving Sustainable Growth with Equity 7.
Women as Economic Drivers
APEC Indonesia 2013 telah membahas isu pemberdayaan Perempuan dalam Ekonomi dengan tema “Women as Economic Drivers”. Isu ini menjadi bagian dari pencapaian prioritas kedua “Achieving Sustainable Growth with Equity”. Maksud dan tujuan dari isu usulan Indonesia ini adalah untuk (i) mendorong dan membuka kesempatan bagi perempuan untuk berpartisipasi dalam perekonomian APEC, dan (ii) memastikan perhatian khusus akan kebutuhan perempuan di tengah krisis ekonomi. Tiga 3 fokus kerja sama untuk mencapai tujuan dimaksud, yaitu (i) reformasi struktural yang mempertimbangkan kebutuhan perempuan, (ii) pengembangan informatika dan teknologi yang dapat membantu perempuan untuk berperan dalam ekonomi dan (iii) pengembangan infrastruktur fisik dan soft-infrastructure (seperti pelatihan dan pendidikan) sebagai penunjang kegiatan perempuan dalam ekonomi. Bagi Indonesia, tiga fokus kerja sama ini sangat penting mengingat potensi dan jumlah perempuan yang mencapai 49.9% dari total populasi Indonesia, di mana sebagian besar belum sepenuhnya mendapatkan kesempatan untuk dapat berkarya dan berkontribusi dalam ekonomi sehingga dukungan fasilitas seperti informatika dan teknologi, dan infrastruktur fisik sangat penting. Selain itu, di tengah krisis ekonomi global yang tengah terjadi, reformasi struktural kerap didengungkan sebagai solusi untuk mengantisipasi keadaan ekonomi yang memburuk dan upaya untuk mencapai pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan. Pembahasan reformasi struktural yang mempertimbangkan gender, diharapkan dapat bermanfaat sebagai pembelajaran bagi Indonesia. Proses pembahasan dilakukan melalui rangkaian pertemuan antara tanggal 5-8 September 2013 di Bali, yang terdiri dari dialog swasta-pemerintah, pertemuan tingkat pejabat tinggi dan diakhiri dengan pertemuan tingkat Menteri (PTM) Urusan Perempuan dengan judul “High Level Dialogue on Women and the Economy”. Tindak lanjut dari hasil pertemuan adalah adanya komitmen berbagai ekonomi dalam mendorong pembentukan jaringan pengaman sosial yang efektif dan berkelanjutan secara fiskal, serta upaya untuk memberikan insentif kepada swasta untuk berinvetasi pada program pemberdayaan perempuan. Untuk informatika dan teknologi, akan didorong kebijakan, program dan reformasi struktural yang akan mengurangi gender technology divide. Demikian juga dengan infrastruktur, baik hard atau soft, akan terus didorong sehingga perempuan dapat berpartisipasi penuh adalam ekonomi.
8
Prioritas 2, Achieving Sustainable Growth with Equity 8.
Aligning Farmers and Fishers into the Global Food Chain dan Promoting Road Map on Food Security 2020
Melalui keketuaan Indonesia, untuk pertama kalinya peran penting petani kecil dan nelayan di dalam pencapaian ketahanan pangan diangkat sebagai tema ketahanan pangan di APEC, yang terfokus pada kemitraan petani dan nelayan dengan pemerintah dan swasta melalui upaya pemberdayaan petani dan nelayan serta keterlibatannya di dalam rantai pasokan pangan dan rantai nilai pangan. Hal ini ditujukan guna perbaikan pendapatan dan kesejahteraan petani dan nelayan kecil, serta meningkatkan daya saing mereka dalam memproduksi pangan, serta untuk menjawab tantangan yang dihadapi, yaitu masalah luas penguasaan lahan per petani di negara berkembang kawasan APEC yang sempit (sekitar 0,22 hektar pada tahun 2012) yang akan menyulitkan upaya peningkatan produksi pangan dan kesejahteraan petani. Petani kecil (small holder farmers) memiliki peran penting di dalam penguatan ketahanan pangan, mengingat sekitar 87% dari total jumlah petani kecil di dunia bermukim di kawasan Asia Pasifik (IFPRI, 2007), dan Indonesia memiliki jumlah terbesar, yaitu 17 juta petani kecil. Di bawah kepemimpinan Indonesia, para Ekonomi APEC juga berhasil menyepakati Road Map on Food Security 2020 yang berisi strategi bersama pemerintah dan swasta di dalam pencapaian ketahanan pangan di kawasan Asia Pasifik. Pencapaian ini merupakan hal yang notable bagi sektor swasta yang berperan besar di dalam mendorong diangkatnya isu ketahanan pangan di APEC sejak tahun 1999. Road Map berisi strategi bersama pemerintah dan swasta, yaitu: i) mengembangkan sektor pertanian dan perikanan secara berkelanjutan; ii) memfasilitasi investasi dan pengembangan infrastruktur, dan iii) meningkatkan peran perdagangan dan pasar. Strategistrategi tersebut akan diterapkan melalui business plan yang menentukan arah kerja sama terkait ketahanan pangan di APEC yang lebih terintegrasi melalui penguatan kemitraan pemerintah dan pihak swasta. Indonesia juga mengusulkan pengembangan teknologi inovatif dan transfer teknologi untuk dapat dimanfaatkan dan menguntungkan petani dan nelayan kecil di kawasan, yang umumnya memiliki keterbatasan modal dan tingkat pendidikan. Teknologi inovatif seperti bioteknologi dalam bidang pertanian dan teknologi adaptif terapan dalam bidang perikanan budidaya akan dapat memberikan langkah terobosan pemecahan masalah dalam produksi pertanian dan perikanan yang tidak dapat dipecahkan oleh teknologi konvensional. Adapun usulan aktivitas di antaranya adalah tukar menukar informasi, penelitian dan pengembangan bersama, dan pelatihan/peningkatan kapasitas.
9
Prioritas 2, Achieving Sustainable Growth with Equity 9. Enhacing Financial Inclusion by Promoting Financial Access through Innovative Delivery Channels and Financial Eligibility through Innovative Approach” APEC Indonesia 2013 telah membahas dan menggagas pembahasan lebih lanjut mengenai Financial Inclusion. Isu ini menjadi bagian dari pencapaian prioritas kedua “Sustainable Growth with Equity”. Maksud dan tujuannya adalah untuk (i) meningkatkan pemahaman bersama akan upaya peningkatan akses masyarakat pada jasa-jasa keuangan yang disalurkan melalui sarana yang inovatif, dan eligibilitas UKM dan masyarakat miskin (ii) mendorong pertukaran pengetahuan dan pengalaman lebih lanjut mengenai topik inovasi teknologi, termasuk branchless banking dan best practices di yang dilakukan di ekonomi-ekonomi APEC tentang cara meningkatkan eligibilitas UKM dan masyarakat miskin, dan (iii) meningkatkan kesetaraan regional dan memperkuat potensi pertumbuhan melalui pemerataan financial access, mengingat pada saat ini hanya sekitar 19,6% dari masyarakat Indonesia yang memiliki akses ke institusi keuangan formal (World Bank, 2012). Bagi Indonesia, mempertimbangkan luas wilayah Indonesia, wilayah-wilayah pedalaman serta wilayah yang sulit terjangkau (yang menurut kepentingan usaha dipandang kurang menjanjikan keuntungan), pengembangan pendekatan yang inovatif untuk meningkatkan eligibilitas keuangan masyarakat miskin dan usaha kecil menengah sangat penting untuk meningkatkan financial inclusion. Selain itu inovasi teknologi, termasuk branchless banking, perlu terus dikembangkan untuk mendukung innovative delivery channels dalam menjangkau masyarakat yang ‘unbanked’ secara aman. APEC Indonesia 2013 (melalui kolaborasi Kemenkeu dan BI) telah menyelenggarakan dua workshop yaitu: (i) “Promoting Financial Access of SMEs through Innovative Delivery Channel to Enhance Financial Inclusion”, 27–28 Februari 2013 di Jakarta dan (ii) “Promoting Financial Eligibility of Poor Households and SMEs through Innovative Approach to Enhance Financial Inclusion”, 23-24 Mei 2013 di Manado. Selain itu, bekerjasama dengan Kemenkeu RI, ADB, The Foundation for Development Cooperation (FDC) dan ABAC juga menyelenggarakan training bagi para regulator di kawasan terkait regulasi pendukung bagi branchless banking di Batam, 11-12 Juni 2013. Tindak lanjut dari hasil pertemuan-pertemuan tersebut adalah adanya referensi atau prinsip (yang bersifat non-binding) dalam perencanaan dan penerapan inovasi pada distribution channels di berbagai ekonomi anggota APEC, khususnya branchless banking. Referensi tersebut berisi antara lain tentang pentingnya : 1. meningkatkan komitmen institusi keuangan untuk mengurusi kebutuhan masyarakat yang belum dijangkau institusi keuangan atau ‘the unbanked’; 2. pembangunan model bisnis yang berkelanjutan dan produk-produk yang sesuai; 3. infrastruktur yang memadai, termasuk teknologi, serta kerangka hukum yang kuat 4. mengembangkan kerangka peraturan yang komprehensif dan seimbang 5. meningkatkan kerangka pengelolaan resiko dengan identifikasi dan mitigasi resikoresiko tertentu; 6. mengembangkan kerangka perlindungan pelanggan untuk mengamankan kepercayaan dan mendukung permintaan untuk jasa keuangan yang inovatif, dilengkapi dengan program edukasi keuangan yang komprehensif; 7. meningkatkan kerja sama dan koordinasi di antara para pemangku kepentingan; 8. mengembangkan persyaratan yang jelas untuk mengatur ijin operasional yang sesuai dengan standar internasional dan mekanisme dari pemantauan dan pengawasan yang memadai. 10
Prioritas 2, Achieving Sustainable Growth with Equity 10. Recommendation on the Development of Medicinal Plant and Traditional Medicine
Pada APEC 2013, salah satu deliverable yang diusung oleh Indonesia adalah rekomendasi pengembangan tanaman obat dan pengobatan tradisional di APEC. Upaya pembahasan terkait pengembangan pemanfaatan pengobatan tradisional merupakan yang pertama kalinya di APEC dan Indonesia telah menjadi penggerak utama. Indonesia telah memulai upaya pengembangan rekomendasi ini melalui penyelenggaraan Policy Dialogue on the Debelopment of Medicinal Plant and Traditional Medicine di Medan pada tanggal 3 Juli 2013. Dari penyelenggaraan dialog dimaksud, telah dihasilkan beberapa rekomendasi terkait promosi pemanfaatan secara meluas dan investasi pendanaan pengembangan pengobatan tradisional serta upaya mengintegrasikan pengobatan tradisional dan alternatif ke dalam health care system melalui kemitraan pemerintah dengan swasta. Upaya pengembangan pemanfaatan pengobatan tradisional memberikan nilai lebih bagi kekayaan ragam tanaman obat tradisional dan industri pengobatan tradisional/alternatif di Indonesia dan di kawasan Asia Pasifik secara umum. Fokus pembahasan ini di APEC akan dapat mendorong upaya pengakuan ilmiah terhadap pemanfaatan pengobatan tradisional sebagai pelengkap dari pengobatan modern untuk kemudian dapat memasukkan pembiayaan pengobatan tradisional ke dalam sistem kesehatan di ekonomi APEC. Pengakuan semacam ini akan membuka pasar yang lebih besar bagi produk-produk industri pengobatan tradisional Indonesia di kawasan. Pengembangan pemanfaatan pengobatan tradisional di APEC juga akan dapat mendorong akses kesehatan yang lebih inklusif dan terjangkau bagi masyarakat Asia Pasifik, termasuk Indonesia. Lebih lanjut, pengobatan tradisional mengedepankan pemanfaatan bahan-bahan alamiah yang lebih memberi kenyamanan bagi sebagian konsumen di Asia Pasifik. Berbagai penelitian juga telah membuktikan bahwa banyak tanaman dari hutan hujan tropis dapat menyembuhkan berbagai penyakit kritis tidak menular ataupun menular seperti contohnya kanker, malaria, darah tinggi, rematik, diabetes, dan TBC. Di luar permasalaha kesehatan, pengembangan pengobatan tradisional di kawasan akan dapat memberi manfaat bagi kebudayaan, lingkungan, turisme, dan ekonomi. Hal ini khususnya melalui upaya pelestarian warisan budaya Indonesia dan kawasan dalam memanfaatkan pengobatan tradisional, penjagaan terhadap hutan hujan tropis sebagai penghasil tanaman obat tradisional, pengembangan wisata tanaman obat dan pengobatan tradisional, serta penciptaan pasar regional dan internasional, lapangan pekerjaan, dan pendapatan dari pengembangan pengobatan tradisional. Mengingat pembahasan mengenai pemanfataan pengobatan tradisional yang baru dimulai di APEC pada tahun 2013 oleh Indonesia, maka inisiatif ini kemudian perlu terus dikawal dan dikembangkan untuk memberi keuntungan yang maksimal bagi Indonesia dan kawasan.
11
Prioritas 2, Achieving Sustainable Growth with Equity 11. Mainstreaming Ocean-related Issues Through Cross-sectoral Cooperation in APEC
Peran penting kelautan dan sumber daya laut telah mulai diangkat oleh Indonesia di APEC sejak tahun 2005 di antaranya melalui pertemuan tingkat Menteri Kelautan di Bali, dan menjadi ketua kelompok kerja yang menangani isu-isu kelautan selama beberapa periode. Indonesia menyadari bahwa sebagai negara kepulauan terbesar di dunia yang memiliki potensi kelautan dan sumber daya laut yang besar di berbagai bidang, seperti misalnya ketahanan pangan, energi terbarukan, transportasi dan pariwisata, Indonesia harus memanfaatkan kerja sama APEC guna mendukung pembangunan di sektor tersebut. Saat ini, kontribusi sektor kelautan hanya sekitar 22% dari PDB, sangat kecil jika dibandingkan dengan ekonomi APEC lainnya, seperti Vietnam, Korea dan Jepang. Di tahun 2013, Indonesia telah menggagas upaya pengarusutamaan isu-isu kelautan di APEC perlu dikembangkan melalui pendekatan yang holistik dan pemanfaatannya juga perlu memperhatikan keseimbangan pengelolaan laut dan hasil-hasil laut. Oleh karena itu, isu-isu kelautan yang bersifat lintas batas, seperti misalnya manajemen dan perdagangan sektor perikanan yang berkelanjutan, ketahanan pangan (perikanan tangkap dan budidaya), transportasi, energi, marine tourism, konektivitas serta riset dan teknologi dalam mengatasi perubahan iklim, dapat dikembangkan di dalam kerangka kerja sama lintas fora/kelompok kerja di APEC. Kerja sama dimaksud dibangun di dalam 3 pilar kerja sama, yaitu a) penguatan ketahanan dan keamanan pangan; konservasi kelautan dan pengembangan konektivitas kelautan. Inisiatif pengarusutamaan isu-isu kelautan di APEC 2013 merupakan salah satu kontribusi penting Indonesia terhadap upaya membangun pengertian bersama atas pengembangan kerja sama di APEC dalam membangun ekonomi berbasis laut yang meliputi seluruh elemen terkait pembangunan sektor kelautan berkelanjutan, serta ditujukan bagi peningkatan pembangunan yang berkelanjutan dan inklusif (sustainable and inclusive growth).
12
Prioritas 2, Achieving Sustainable Growth with Equity 12. Outcome of Chief Science Advisers Meeting and Equivalent (CSA) APEC Chief Science Adviser (CSA) Meeting adalah sebuah inisiatif bersama antara Selandia Baru dan Indonesia yang telah di endorse oleh Leaders pada APEC 2012. Pertemuan ini merupakan sebuah pertemuan informal bagi para pejabat tinggi atau senior scientist yang memiliki pengaruh besar dalam memberikan masukan terhadap kebijakan pengembangan inovasi teknologi di seluruh Ekonomi APEC. Pertemuan APEC CSA telah diselenggarakan di dalam rangkaian pertemuan SOM3 tanggal 29-30 Juni 2013 di Medan dan dihadiri oleh 17 Ekonomi yang terdiri atas para peneliti senior yang memiliki kapasitas dan kewenangan dalam memberikan rekomendasi terhadap kebijakan IPTEK dan inovasi di masing-masing ekonomi anggota APEC. Indonesia dan Selandia baru menjadi Co-Chairs dalam pertemuan dimaksud. Pertemuan pertama CSA secara umum telah mengidentifikasi area pengembangan kerja sama dalam bidang inovasi teknologi dan tantangan yang dihadapi di kawasan saat ini. Selain itu pertemuan juga mengedepankan pentingnya untuk mentranslasikan hasil penelitian menjadi sebuah kesempatan investasi dalam memajukan perekonomian. Di era ekonomi berbasis pengetahuan, bagi Indonesia inovasi memegang peranan penting dalam meningkatkan daya saing dan memperkuat kohesi sosial suatu bangsa. Indonesia yang pada tahun 2012-2013 berada di urutan ke-50 dari 142 negara berdasarkan Global Competitiveness Index yang dikeluarkan oleh WEF (World Economic Forum), baru ditempatkan ke dalam kelompok negara dengan perekonomian yang didorong oleh efisiensi (efficiency-driven economy) dan masih beberapa tahap lagi menuju innovation driven di mana kelompok ekonomi maju berada. Terkait hal ini, pertemuan CSA diharapkan dapat menjadi salah satu upaya bagi Indonesia dalam menjembatani gap antara efficiency-driven economy dengan innovation driven economy melalui transfer teknologi dan pengetahun di kawasan serta dapat menciptakan kondisi inovasi yang bersifat inklusif yang dapat di akses oleh seluruh perkonomian termasuk Indonesia guna.
13
Prioritas 2, Achieving Sustainable Growth with Equity 13. Promoting Clean, Renewable, and Sustainable Use of Energy in the APEC Region
Indonesia menyelenggarakan Conference on Clean, Renewable, and Sustainable Use of Energy in the APEC Region pada 30 September – 2 Oktober 2013 di Bali. Konferensi tersebut merupakan sebuah pertemuan tingkat Pejabat Tinggi yang memfokuskan pembahasan pada upaya untuk mempercepat investasi di sektor energi baru terbarukan dan konservasi energi; berbagi pengalaman, ilmu pengetahuan dan teknologi baru dalam pengembangan kebijakan dan best-practices dalam pengembangan dan pengaplikasian energi yang bersih, energi terbarukan dan teknologi energi yang efisien; mengeksplorasi langkah-langkah efektif dalam mengurangi ketergantungan kepada energi fosil guna mendapatkan keamanan energi nasional dan regional; dan meningkatkan kolaborasi regional dalam isu energi terbarukan di kawasan APEC. Dalam banyak hal, masyarakat Indonesia menghadapi situasi dan kondisi yang serupa dengan masyarakat global, seperti peningkatan jumlah konsumsi energi yang sebagian besar masih dipenuhi dengan penggunaan energi fosil. Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia mencatat bahwa konsumsi energi pada tahun 2011 masih didominasi oleh energi fosil, yaitu minyak bumi sebesar 594 juta SBM atau sebesar 39% dari total konsumsi energi nasional, diikuti batu bara sebesar 334 juta SBM atau sebanyak 22%, biomassa sebesar 280 juta SBM atau 18%, gas alam sebesar 261 juta SBM atau 17%, tenaga air 31 juta SBM atau 2%, dan panas bumi sebesar 15 juta SBM atau 1%. Di lain pihak, Indonesia yang merupakan salah satu ekonomi APEC, memiliki potensi energi baru terbarukan yang besar. Sebagai negara tropis, Indonesia mempunyai potensi energi surya yang cukup tinggi. Selanjutnya, berdasarkan studi diperkirakan bahwa potensi energi air mencapai 75 GW, dan Indonesia sebagai negara yang terletak di kawasan gunung berapi, mempunyai potensi panas bumi kira-kira sebesar 29 GW. Potensi energi terbarukan lainnya yang tinggi yaitu bioenergi, diperkirakan mencapai 49 GW. Selain energi terbarukan, Indonesia juga memiliki potensi energi yang baru dikembangkan seperti shale gas dan Coal Bed Methane (CBM). Potensi CBM telah teridentifikasi sebesar 453 TCF, dan shale gas sebesar 574 TCF. Untuk mengurangi ketergantungan Indonesia akan energi fosil, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan dua kebijakan utama di bidang energi, yaitu kebijakan konservasi energi dan kebijakan diversifikasi energi. Berbagai upaya telah dilakukan Pemerintah Indonesia dalam mengembangkan energi baru terbarukan dan teknologi energi yang efisien, di antaranya dengan melakukan penyempurnaan kebijakan dan peraturan, seperti dikeluarkannya peraturan feed-in-tariff dan kebijakan insentif untuk pemanfaatan energi baru terbarukan dan teknologi energi yang efisien. Lebih jauh lagi, Pemerintah mendorong penciptaan iklim investasi yang kondusif dan berpartisipasi aktif pada organisasi internasional baik di tingkat regional maupun global. Pertemuan APEC 2013 merupakan suatu upaya strategis untuk mewujudkan pertumbuhan ekonomi yang stabil melalui peningkatan kerja sama di sektor energi terbarukan dan konservasi energi demi mewujudkan ketahanan energi baik nasional, maupun regional. Pertemuan tersebut juga merupakan suatu kesempatan bagi Indonesia untuk lebih berkontribusi terhadap pertumbuhan ekonomi yang hijau baik di tingkat regional Asia dan Pasifik, maupun di tingkat global, dengan memaksimalkan pemanfaatan potensi energi baru terbarukan dan peningkatan implementasi teknologi energi yang efisien.
14
Prioritas 2, Achieving Sustainable Growth with Equity 14. Model of Sustainable Healthcare System
Pada APEC 2013, Indonesia telah mendorong pengembangan model of sustainable healthcare system sebagai salah satu deliverable di bawah prioritas Achieving Sustainable Growth with Equity. Pengembangan agenda ini dengan didasari pemahaman bahwa kesehatan merupakan salah satu modal dasar dalam pengembangan ekonomi. Oleh karena itu, investasi dalam pengembangan sistem kesehatan yang solid, berkelanjutan, dan efisien akan dapat mendorong keuntungan bagi pertumbuhan ekonomi berkelanjutan yang lebih besar. Peningkatan kerja sama bagi perwujudan model of sustainable healthcare system di APEC mencakup upaya memperkuat komitmen penganggaran bagi sektor kesehatan publik, pengontrolan HIV/AIDS, etika dalam bidang kesehatan, penanganan Non-Communicable Diseases (NCDs), penanganan Healthcare-Associated Infections (HAI), dan dukungan terhadap pengembangan Complementary Healthcare System, termasuk pemanfaatan obatobat tradisional. Agenda ini akan menjadi pembahasan para Menteri Kesehatan APEC dalam pertemuan ketiga APEC High Level Meeting (HLM) on Health and the Economy yang diselenggarakan di Bali pada tanggal 24-25 September 2013 untuk melengkapi pembahasan terkait di beberapa pertemuan APEC selama tahun 2013. Pengembangan agenda model of sustainable healthcare system akan mencakup pembahasan mengenai universal health care coverage di kawasan yang akan dapat mendukung pengembangan sistem jaminan kesehatan nasional Indonesia. Diharapkan melalui kerja sama di kawasan, Indonesia akan dapat mengatasi tingginya beban ekonomi dalam mengatasi berbagai masalah kesehatan dan dapat menyediakan perawatan kesehatan yang berkualitas dan terjangkau bagi masyarakat.
15
Prioritas 2, Achieving Sustainable Growth with Equity 15. Promoting Cooperation in the APEC Region in Combating Corruption
Bagi anggota ekonomi APEC, korupsi bukan saja kendala dalam upaya menerapkan pembangunan sosial dan ekonomi tetapi juga merupakan faktor penyebab turunnya kepercayaan publik dan investor. Selain itu, korupsi juga merusak daya saing pasar yang sehat (market distortion), mengancam keselamatan konsumen (consumer safety) dan meningkatkan biaya usaha (cost of doing business), pelayanan publik dan proyek infrastruktur. Isu korupsi dan transparansi merupakan salah satu agenda penting dalam proses kerja APEC secara keseluruhan. Pada tahun 2004, Pemimpin Ekonomi APEC sepakat untuk meningkatkan implementasi pemerintahan yang baik (good governance), pembangunan dan kesejahteraan ekonomi melalui kerja sama dalam memerangi korupsi dan meningkatkan transparansi. Sebagai tindak lanjut, APEC pada tahun 2005 mendirikan Anti-Corruption and Transparency Experts’ Task Force (ACT) yang kemudian berubah menjadi Anti-Corruption and Transparency Working Group (ACTWG) pada tahun 2011, sebagai forum untuk saling bertukar pengalaman dan praktek terbaik terkait upaya anti-korupsi. Pada tahun 2013, Indonesia terpilih menjadi Ketua ACTWG. Dimasa keketuaannya, Indonesia mengusulkan inisiatif pembentukan APEC Anti-Corruption and Transparency Network (ACT-NET) sebagai jaringan kerjasama antar penegak hukum dibawah naungan ACTWG, yang terdiri dari para penegak hukum, badan/lembaga anti-korupsi, penyidik dan jaksa penuntut kasus korupsi serta otoritas yang berwenang atas bantuan timbal balik hukum (mutual legal assistance,) dan ekstradisi dari seluruh ekonomi APEC. ACT-NET akan membantu seluruh anggota ekonomi APEC untuk membahas dan bekerjasama dalam penegakan hukum kasus korupsi, penyuapan, pencucian uang dan kejahatan ekonomi lainnya.. Adapun tujuan dari dibentuknya ACT-NET adalah: (1) memperkuat dan mendorong jaringan kerjasama antara lembaga anti korupsi dan penegak hukum ekonomi APEC sehingga dapat saling membantu proses penyidikan dan penuntutan kasus korupsi, penyuapan dalam dan luar negeri, pencucian uang, dan kejahatan ekonomi; (2) memfasilitasi pertemuan bilateral maupun multilateral untuk membahas hal-hal terkait korupsi, penyuapan dalam dan luar negeri, pencucian uang, dan kasus kejahatan ekonomi; (3) memfasilitasi tukar menukar pengalaman dalam investigasi dan penuntutan korupsi, penyuapan dalam dan luar negeri, pencucian uang, dan kasus kejahatan ekonomi. Gagasan Indonesia untuk membentuk ACT-NET selain sejalan dengan kebijakan Pemerintah RI untuk mencegah dan memberantas tindak pidana korupsi pada tingkat nasional, juga akan memperkuat komitmen Pemerintah RI untuk bekerjasama dengan otoritas penegak hukum dari seluruh anggota ekonomi APEC. Jaringan kerjasama ini akan difokuskan pada otoritas atau pejabat yang bertanggung jawab dalam menangani kasus korupsi di seluruh anggota ekonomi APEC. Dengan demikian, ACT-NET dapat turut membantu upaya Pemerintah RI dalam mengusut kasus-kasus korupsi diluar wilayah Indonesia melalui jalur kerja sama informal dan formal diantara ekonomi APEC.
16
Prioritas 3, Promoting Connectivity 16. Developing APEC Framework on Connectivity as a Long Term Vision in the Asia Pacific Region
Pada APEC 2013, Indonesia mengusulkan suatu APEC Framework on Connectivity yang dirancang sebagai sebuah dokumen strategis dan visioner yang berisi komitmen para Pemimpin Ekonomi APEC untuk memajukan, memperdalam dan memperluas konektivitas fisik, institusional dan perorangan lintas dan lingkar pasifik di APEC, dengan target tahun 2030. Pada konektivitas fisik, Indonesia mengusulkan pengintegrasian dan penghubungan infrastruktur logistik, transportasi, energi, dan telekomunikasi di kawasan APEC. Pada konektivitas institusional, Indonesia mengusulkan peningkatkan koherensi, interoperabilitas dan harmonisasi antar institusi, mekanisme, dan proses di Ekonomi APEC. Sementara itu, pada konektivitas perorangan, Indonesia mengusulkan penguatan interaksi, mobilitas dan kegiatan bersama antarmasyakat di APEC. Dengan meningkatkan konektivitas fisik, institusional, dan perorangan antara pusat-pusat pertumbuhan di Ekonomi maju dan berkembang di APEC, diharapkan dapat meningkatkan integrasi ekonomi, memperbaiki kualitas pembangunan, serta memperkuat ketahanan ekonomi kawasan. Dari perspektif ekonomi nasional, konsep APEC Framework on Connectivity utamanya diajukan guna mendukung program konektivitas nasional dalam Master Plan Percepatan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI) dan konektivitas kawasan dalam Master Plan on ASEAN Connectivity (MPAC), serta memperluas cakupannya hingga wilayah Asia Pasifik. Peningkatan konektivitas di Indonesia akan memperkuat konektivitas di sepertiga wilayah Asia Timur. Agenda konektivitas APEC juga akan sejalan dengan upaya pencapaian Visi Indonesia 2025, yang dirumuskan dalam tiga strategi dasar, yaitu pengembangan potensi ekonomi melalui 6 koridor ekonomi (Sumatera, Jawa, Kalimantan, Sulawesi, Bali-Nusa Tenggara, serta Papua–Kepulauan Maluku); penguatan konektivitas nasional; dan penguatan kemampuan SDM dan Iptek Nasional. Indonesia juga diharapkan dapat memaksimalkan agenda konektivitas di APEC tersebut untuk meningkatkan daya saing nasional. Seperti yang tercermin dalam Global Competitiveness Report’s 2013-2014, yang menempatkan Indonesia pada peringkat pada peringkat 38 dari 138 negara (meningkat 12 tingkat dari periode sebelumnya), peningkatan kualitas infrastruktur dan konektivitas nasional merupakan salah satu elemen penting bagi peningkatan daya saing nasional di tingkat global. Kebutuhan untuk memperkuat konektivitas nasional Indonesia dengan kawasan Asia Tenggara dan Asia Pasifik semakin mendesak untuk dilakukan mengingat di tahun 2030, Indonesia diproyeksikan akan menjadi negara dengan perekonomian terbesar ke-7 di dunia yang membutuhkan sumber-sumber dan jejaring produksi dan pasar domestik dan regional yang lebih luas dan terintegrasi di masa depan. 2
2
Oberman et.al. (2012) “The Archipelago Economy: Unleashing Indonesia’s Potential” (McKinsey Global Institute).
17
Prioritas 3, Promoting Connectivity 17. Multi-Year Plan on Infrastructure Development and Investment
APEC Indonesia 2013 telah membahas dan menggagas APEC Multi-Year Plan on Infrastructure Development and Investment (MYPIDI) yaitu rencana tahun jamak (multi-year) untuk meningkatkan kapasitas pemerintah dalam menyusun dan membangun proyek infrastruktur. Isu ini menjadi bagian dari pencapaian prioritas ketiga “Promoting Connectivity”. Maksud dan tujuannya adalah untuk (i) mengatasi tantangan utama pembangunan infrastruktur yaitu kurangnya proyek di kawasan dengan memperkuat kemampuan suatu Ekonomi untuk menyusun perencanaan dan pelaksanaan proyek infrastruktur besar sehingga menarik pembiayaan dan kerja sama swasta, dan (ii) menerjemahkan gagasan Indonesia untuk menghubungkan konektivitas fisik nasional/MP3EI, ASEAN, dengan kawasan Asia-Pasifik, sebagaimana tertuang dalam dokumen akhir “APEC Framework on Connectivity”. Bagi Indonesia inisiatif ini diharapkan dapat memaksimalkan laju pembangunan ekonomi, mengingat konektivitas berdampak pada penguatan daya saing suatu Ekonomi, pengurangan biaya dan waktu, serta peningkatan laju perdagangan, lalu lintas jasa dan manusia. Mengingat kebutuhan dana infrastruktur tidak dapat sepenuhnya dipenuhi dengan dana pemerintah, Indonesia memandang penting pengembangan Public Private Partnership (PPP) atau Kerja sama Pemerintah Swasta (KPS) sebagai salah satu cara untuk mengatasi permasalahan infrastructure gap melalui peran serta private sector untuk mendukung pemerintah dalam membangun infrastruktur. Dalam perumusan MYPIDI, APEC Indonesia 2013 telah menyelenggarakan berbagai joint meeting, workshop dan seminar internasional infrastruktur. Tindak lanjut MYPIDI antara lain adalah pelaksanaan komitmen bersama untuk menjalankan proyek-proyek kerja sama peningkatan kapasitas dalam 4 fokus kerja yaitu: (i) a supportive climate, including a strong regulatory framework, (ii) integrated planning system mechanisms (iii) development of government capacity to generate a pipeline of bankable infrastructure projects dan (iv) development of a financing environment that is supportive to long term investor. Sebagai langkah pertama pelaksanaan MYPIDI dalam bentuk deliverable konkrit, akan dibentuk APEC PPP Experts Advisory Panel yang memiliki tujuan jangka pendek untuk memberikan peran advisory dan mentorship dalam menghasilkan pipeline of quality bankable project bagi PPP Centre di suatu ekonomi. Sementara sasaran jangka panjang adalah untuk menciptakan jaringan PPP Centre di kawasan guna mendukung pasar infrastruktur di Asia-Pasifik.Terkait dengan pembentukan APEC PPP Experts Advisory Panel, PPP Centre yang dibawah Kementerian Keuangan Republik Indonesia akan menjadi pilot percontohan panel ini pada masa kerjanya mulai tahun depan.
18
Prioritas 3, Promoting Connectivity 18. Emergency Response Travel Facilitation (ERTF)
Dilandasi pemahaman bahwa wilayah Asia Pasifik merupakan wilayah yang sangat rawan bencana alam, maka Indonesia mengusulkan agar dibentuk suatu mekanisme untuk memberikan kemudahan mobilitas/fasilitasi pergerakan bagi para petugas tanggap bencana (emergency response personnel) dan alat penanggulangan bencana. Pada APEC 2013, Indonesia menggagas dibentuknya suatu “Emergency Response Travel Facilitation” (ERTF). Sebagai langkah awal dari inisiatif ini, Indonesia bekerja sama dengan Unit Pelatihan dan Dukungan Teknis APEC, untuk pertama kalinya telah melakukan suatu kajian dan survei kepada 21 ekonomi anggota APEC terkait kebijakan dan prosedur dalam menerima dan mengirimkan bantuan internasional yang berjudul “Emergency Response Travel Facilitation for Personnel, Goods and Equipment in Times of Crisis”. Dalam penyusunan dokumen ini, survei dari Indonesia dilakukan oleh BNPB, Ditjen Imigrasi, dan Ditjen Bea dan Cukai selaku focal point pada masing-masing isu terkait penanganan bencana, keimigrasian, dan kepabeanan. Hasil dari kajian ini akan dijadikan dasar dalam menyusun mekanisme dan skema fasilitasi pergerakan para petugas tanggap bencana. Ditinjau dari sisi nasional, tidak dapat dipungkuri bahwa Indonesia merupakan ekonomi APEC yang rawan bencana, mulai dari gempa bumi, tsunami, banjir, kebakaran hutan dan lain-lain. Dalam penyelenggaraan penanggulangan bencana, Pemerintah Indonesia tidak hanya memandang penting pemberian bantuan pada saat tanggap darurat (disaster relief), tetapi juga memperhatikan perencanaan penanggulangan bencana yang lebih komprehensif meliputi mitigasi, contingency, dan rehabilitasi yang pengaturannya telah ditetapkan dalam Peraturan Presiden No.8 tahun 2008. Sejalan dengan upaya yang telah dilakukan Indonesia terkait penanggulangan bencana alam hingga saat ini, diharapkan inisiatif ini dapat membentuk suatu mekanisme dalam mengurangi bottleneck dari sisi keimigrasian dan kepabeanan. Diharapkan pula mekanisme dimaksud dapat dikembangkan dengan meningkatkan peran sektor swasta dalam memulihkan perekonomian pascabencanadan secara khusus memperkuat ketahanan sumberdaya lokal di Indonesia dalam menghadapi bencana dan mengatasi dampak bencana, termasuk dengan: o mendorong pengembangan desa-desa tahan bencana untuk memperkuat ketahanan lokal. o partisipasi multistakeholders di APEC terhadap peningkatan kapasitas lokal. o pengembangan kapasitas sumber daya manusia lokal. o pendanaan untuk mendukung kapasitas lokal. o koherensi antara kapasitas lokal, nasional, dan regional. o integrasi inisiatif terkait penanggulangan bencana dalam agenda pembangunan lokal, khususnya terkait pembangunan infrastruktur, air, kesehatan, dan pendidikan.
19
Prioritas 3, Promoting Connectivity 19. Work Plan on Promoting Cross-Border Education Cooperation
Para Pemimpin Ekonomi APEC dalam Annex D dari Deklarasi Pemimpin APEC tahun 2012 telah menyepakati upaya Promoting Cross-Border Education Cooperation di kawasan Asia Pasifik. Kerja sama pendidikan lintas batas di kawasan tersebut khususnya ditujukan pada peningkatan mobilitas murid, peneliti, dan penyedia jasa pendidikan, serta peningkatan jejaring kerja sama bilateral yang telah tersedia sebelumnya. Sebagai tindak lanjut kesepakatan para Pemimpin Ekonomi APEC tersebut di atas dan sebagai bagian dari prioritas APEC 2013 Promoting Connectivity, Indonesia pada tahun keketuaan APEC 2013 telah mengajukan sebuah inisiatif untuk mengembangkan APEC Work Plan on Promoting Cross-Border Education Cooperation. Work Plan dimaksud akan diisi oleh ekonomi APEC dengan berbagai kegiatan dan proyek yang ditujukan untuk mendorong promosi kerja sama pendidikan lintas batas di kawasan Asia Pasifik. APEC juga telah menyepakati dibentuknya Ad Hoc Coordinating Committee for the Work Plan on Promoting Cross-Border Education Cooperation untuk membantu dalam mengkoordinasikan berbagai masukan kegiatan dari Ekonomi APEC melalui berbagai forafora APEC terkait untuk menjadi bagian dari work plan tersebut. Dalam work plan, Indonesia telah mengajukan usulan beberapa kegiatan, di antaranya yaitu upaya pengembangan panduan mobilitas siswa di kawasan, pembangunan kapasitas untuk penerapan National Qualifications Frameworks, pemetaan peraturan yang mendukung good regulatory practices untuk pendidikan lintas batas yang berkualitas, dan kolaborasi penelitian dan publikasi di antara para peneliti APEC. Bagi Indonesia, pengembangan kerja sama pendidikan lintas batas di APEC akan dapat memberi kemudahan pergerakan dan pertukaran pelajar, peneliti, dan penyedia jasa pendidikan Indonesia di wilayah Asia Pasifik dan sebaliknya. Pengembangan kerja sama ini juga akan membuka kesempatan masuknya pendidikan atau mata pelajaran bermutu internasional yang lebih terjangkau bagi pelajar Indonesia di dalam negeri, tanpa pelajar Indonesia meninggalkan tanah air. Sebaliknya, kolaborasi penyelenggaraan jasa pendidikan di antara ekonomi APEC akan dapat membuka kesempatan bagi penyedia jasa pendidikan Indonesia untuk meningkatkan, menunjukkan, dan mendapatkan pengakuan kualitas jasa pendidikan Indonesia yang sejajar dengan jasa pendidikan di ekonomi APEC lainnya. Pada masa mendatang diharapkan pengembangan inisiatif ini akan dapat membuka pasar yang lebih luas di kawasan bagi industri pendidikan tanah air serta mendorong konektivitas dan interaksi institusi dan perorangan di kawasan Asia Pasifik.
20
Prioritas 3, Promoting Connectivity 20. The Travel Facilitation Initiative to Enhance Cooperation in Tourism Sector and Support People-to-PeopleConnectivity
Sektor pariwisata memegang peran penting di dalam pertumbuhan ekonomi Indonesia, dimana sektor pariwisata memberikan devisa sebesar 8.5 juta dollar dan menempati posisi ke-5 dari 10 komoditas utama penyumbang devisa terbesar bagi Indonesia. Terdapatnya peningkatan jumlah wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Indonesia setiap tahunnya (2012-8 juta wisman)3 serta adanya peningkatan wisatawan domestik yang tumbuh sebesar 5% tiap tahunnya, turut menyumbang pada pengembangan sektor pariwisata di Indonesia. Terkait ini, tampaknya target sebesar 9 juta wisatawan yang ingin dicapai oleh pemerintah di tahun 2013 dapat terlampaui. Oleh karena itu, momentum keketuaan Indonesia di APEC 2013 juga dimanfaatkan oleh Indonesia untuk mendorong pencapaian target dimaksud melalui inisiatif penyelenggaraan High-Level Policy Dialogue on Travel Facilitation di Bali, 12 Oktober 2013. Di dalam pertemuan dimaksud, Indonesia akan mengangkat agenda terkait inisiatif fasilitasi perjalanan (travel facilitation initiative) yang tengah dikembangkan di APEC, seperti misalnya fasilitasi pemberian visa bagi wisatawan, trusted traveler program, advanced passenger information dan tourists friendly airport program. Pertemuan melibatkan partisipasi para menteri/pejabat tinggi yang bertanggung jawab atas elemen-elemen fasilitasi perjalanan, seperti misalnya kebijakan bea cukai, imigrasi, perhubungan dan pariwisata. Hasil dari pertemuan dimaksud juga ditujukan guna mendukung komitmen kerja sama ekonomi APEC dalam memperkuat konektivitas perorangan (people-to-people connectivity), sebagaimana yang diangkat Indonesia di APEC 2013 melalui prioritas Promoting Connectivity. Peningkatan jumlah wisatawan yang signifikan akan turut mendorong peningkatan investasi di sektor pariwisata. Oleh karena itu, Indonesia juga berupaya agar pertemuan tersebut dapat memperkuat komitmen para Ekonomi APEC untuk mendorong kerja sama investasi di sektor pariwisata di APEC, mengingat kawasan Asia Pasifik memiliki pertumbuhan industri pariwisata tertinggi di tahun 2012 (+6%) (UN World Tourism Barometer).
---oo0oo---
3
Website Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif, www.budpar.go.id
21