KERENTANAN BUDAYA MELAUT MASYARAKAT PESISIR SUKU BAJOE AKIBAT VARIABILITAS IKLIM (Studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan)
NURMUJAHIDAH SYAMSUDDIN
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
PERNYATAAN MENGENAI SKRIPSI DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA Dengan ini saya menyatakan bahwa skripsi berjudul Kerentanan Budaya Melaut Masyarakat Pesisir Suku Bajoe akibat Variabilitas Iklim (Studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan) adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir skripsi ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut Pertanian Bogor. Bogor, Agustus 2014 Nurmujahidah Syamsuddin NIM G24100008
ABSTRAK NURMUJAHIDAH SYAMSUDDIN. Kerentanan Budaya Melaut Masyarakat Pesisir Suku Bajoe akibat Variabilitas Iklim (Studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan). Dibimbing oleh Yon Sugiarto. Kehidupan suku Bajoe yang sepenuhnya bergantung dengan laut sangat rentan terhadap dinamika-dinamika laut yang terjadi akibat dari variabilitas iklim akan membuat kondisi pesisir dan laut semakin parah dan berdampak terhadap aktivitas ekonomi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kerentanan budaya melaut suku Bajoe akibat variabilitas iklim. Metode yang digunakan dalam pengumpulan data ini adalah analisis hubungan unsur iklim dan unsur oseanografi dengan hasil produksi, juga dilakukan analisis kerentanan budaya melaut yang diperoleh dari wawancara langsung dengan 55 responden nelayan. Dari hasil kuisioner yang terdiri dari jarak melaut, lama melaut, dan jumlah tangkapan dibuat kelas kerentanan budaya melaut meliputi kerentanan rendah, kerentanan sedang, dan kerentanan tinggi. Berdasarkan hasil penelitian diketahui bahwa unsur iklim seperti curah hujan, suhu udara, arah dan kecepatan angin serta unsur oseanografi seperti tinggi gelombang dan suhu permukaan laut mempengaruhi aktivitas melaut dan jumlah tangkapan nelayan. Tahun 1996-2002 jarak dan lama melaut nelayan berada pada kerentanan rendah, sedangkan jumlah tangkapan ikan nelayan berada pada kerentanan tinggi. Tahun 2003-2008 jarak dan lama melaut nelayan berada pada kerentanan sedang, sedangkan jumlah tangkapan ikan berada pada kerentanan tinggi. Tahun 2009-2013 jarak dan lama melaut nelayan berada pada kerentanan tinggi, sedangkan jumlah tangkapan ikan berada pada kerentanan rendah. Kata kunci: Variabilitas Iklim, suku Bajoe, kerentanan budaya melaut
ABSTRACT NURMUJAHIDAH SYAMSUDDIN. Shipping tradition vulnerability of Bajoe Tribe coastal area society caused by The Climate Variability (case study Bajoe village, Bone Regency, South Sulawesi). Supervised by Yon Sugiarto Bajoe tribe life is entirely depend on the sea which is particularly vulnerable to ocean dynamics that occur as a result of climate variability will make coastal and ocean conditions getting worse and give impact on economic activity. This study aims to determine the shipping tradition vulnerability of Bajoe due to climate variability. The methods used to collect this data are relationship analysis of climate and oceanographic elements with production, and analysis of shipping tradition vulnerability obtained from interviews with 55 respondents. The result of questionnaire consists of the distance on fishing, the length time of fishing and the number of catches which are made into culture vulnerability classification. Based on the survey showed that the climate element such as precipitation, air temperature, wind direction, wind speed, and oceanographic element such as wave height and sea surface temperature affected the activity of fishing and fishermen catch number. The distance on fishing and the length time of fishing are at low vulnerability, while the number of catch fishing is at high vulnerability in 1996-2002. The distance on fishing and the length time of fishing are at moderate vulnerability, while the number of catch fishing is at moderate vulnerability in 2003-2008. The distance on fishing and the length time of fishing are at high vulnerability, while the number of catch fishing is at low vulnerability in 2009-2013. Keywords: climate variability, Bajoe tribe, shipping tradition vulnerability
KERENTANAN BUDAYA MELAUT MASYARAKAT PESISIR SUKU BAJOE AKIBAT VARIABILITAS IKLIM (Studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan)
NURMUJAHIDAH SYAMSUDDIN
Skipsi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Sains pada Departemen Geofisika dan Meteorologi
DEPARTEMEN GEOFISIKA DAN METEOROLOGI FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2014
Judul Skripsi : Kerentanan Budaya Melaut Masyarakat Pesisir Suku Bajoe akibat Variabilitas Iklim (studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan) Nama : Nurmujahidah Syamsuddin NIM : G24100008
Disetujui oleh
Yon Sugiarto, SSi MSc Dosen Pembimbing
Diketahui oleh
Dr Tania June Ketua Departemen
Tanggal Lulus:
PRAKATA Puji dan syukur penulis panjatkan kepada Allah subhanahu wa ta’ala atas segala karunia-Nya sehingga karya ilmiah ini berhasil diselesaikan. Tema yang dipilih dalam penelitian yang dilaksanakan sejak bulan Februari 2014 ini ialah kerentanan, dengan judul Kerentanan Budaya Melaut Masyarakat Pesisir Suku Bajoe terhadap Variabilitas Iklim (studi kasus Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan) Terima kasih penulis ucapkan kepada Bapak Yon Sugiarto, SSi MSc selaku pembimbing. Di samping itu, penghargaan penulis sampaikan kepada bapak Saharuddin dari sah bandar pelabuhan Bajoe yang membantu selama pengumpulan data. Ungkapan terima kasih juga disampaikan kepada ayah, ibu, dan adik-adik, keluarga cendana, serta teman-teman seperjuangan GFM 47 atas segala doa dan kasih sayangnya. Semoga karya ilmiah ini bermanfaat.
Bogor, Agustus 2014 Nurmujahidah Syamsuddin
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
PENDAHULUAN
1
Latar Belakang
1
Perumusan Masalah
2
Tujuan Penelitian
2
Manfaat Penelitian
2
METODE
3
Tempat dan Waktu
3
Alat dan Bahan
3
Metode Penelitian
3
Prosedur Analisis Data
4
HASIL DAN PEMBAHASAN
5
Keadaan Umum Desa Bajoe
5
Sejarah Kehidupan Suku Bajoe
5
Variabilitas Iklim Desa Bajoe
6
Analisis Kerentanan Ekonomi
9
Tingkat Kerentanan Budaya Melaut
15
Strategi Adaptasi Nelayan Bajoe
17
SIMPULAN DAN SARAN
18
Simpulan
18
Saran
18
DAFTAR PUSTAKA
19
LAMPIRAN
20
RIWAYAT HIDUP
25
DAFTAR TABEL 1 2 3 4
Kelas kisaran nilai kerentanan jarak melaut nelayan Kelas kisaran nilai kerentanan lama melaut nelayan Bajoe Kelas kisaran nilai kerentanan jumlah tangkapan nelayan Bajoe Persentase perubahan jumlah nelayan Bajoe pada tiga kelas kerentanan
3 3 4 16
DAFTAR GAMBAR 1 Diagram tahapan analisis kerentanan budaya melaut masyarakat pesisir suku Bajoe 2 Peta Desa Bajoe dan lokasi perkampungan Bajoe (sumber: www.maps.google.com/) 3 Pembagian wilayah Indonesia berdasarkan pembagian pola hujan (sumber: www.bmkg.go.id/) 4 Curah hujan rata-rata Desa Bajoe tahun 1996-2013 5 Variabilitas curah hujan dan suhu rata-rata tahun 1996-2013 6 Variabilitas curah hujan dan tinggi gelombang tahun 2011-2013 7 Suhu pemukaan laut rata-rata tahun 1996-2013 8 Distribusi frekuensi angin pada musim penangkapan ikan 9 Hubungan kecepatan angin dan produksi ikan di Teluk Bone tahun 2011-2013 10 Hubungan curah hujan dan produksi ikan di perairan Teluk Bone tahun 2011-2013 11 Fluktuasi jumlah produksi ikan nelayan Bajoe pada musim penangkapan ikan tahun 2011-2013 12 Hubungan tinggi gelombang laut dengan jumlah produksi ikan nelayan Bajoe di Teluk Bone tahun 2011-2013 13 Jumlah dan Nilai produksi ikan nelayan Bajoe di perairan Teluk Bone tahun 2002-2013 (tidak terdapat data untuk Tahun 2009-2010) 14 Hubungan suhu permukaan laut dengan jumlah produksi ikan nelayan Bajoe tahun 2011-2013
4 5 6 7 7 8 8 9 10 10 11 12 13 14
DAFTAR LAMPIRAN 1 Hasil wawancara nelayan Bajoe mengenai aktivitas melaut 2 Akumulasi jumlah produksi nelayan Bajoe berdasarkan musim penangkapan ikan tahun 2011-2013 3 Curah hujan bulanan Desa Bajoe tahun 2011-2013 4 Suhu permukaan laut Perairan Teluk Bone tahun 2011-2013 5 Arah dan kecepatan angin perairan Teluk Bone tahun 2011-2013 6 Arah dan tinggi gelombang perairan Teluk Bone tahun 2011-2013 7 Jumlah dan produksi hasil perikanan laut nelayan Bajoe tahun 20022013
20 22 22 22 23 23 24
1
PENDAHULUAN
Latar Belakang Indonesia merupakan negara kepulauan yang memiliki variabilitas iklim yang tinggi. Variabilitas iklim dapat mempengaruhi berbagai aktifitas kehidupan baik sosial, ekonomi, maupun budaya. Variabilitas iklim dapat diidentifikasi melalui penyimpangan atau anomali unsur-unsur iklim seperti curah hujan, suhu udara atau unsur lainnya sebagai akibat pengaruh dari berbagai faktor pengendali iklim dalam skala global, regional maupun lokal. Variabilitas iklim diprediksi akan mempegaruhi kehidupan masyarakat di wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di berbagai belahan dunia (Klein dan Nicholls 1999). Salah satu hal yang akan berubah adalah perubahan proses-proses ekologi di wilayah pesisir. Perubahan yang terjadi pada aspek biologi-fisik ini juga akan berdampak terhadap aspek sosial ekonomi masyarakat di wilayah pesisir seperti hilangnya infrastruktur, penurunan nilai-nilai ekologi, nilai ekonomi sumberdaya pesisir dan terganggunya sistem lingkungan dan ekonomi pesisir (Klein dan Nicholls 1999). Variabilitas iklim ini mempengaruhi aktivitas ekonomi, yaitu aktivitas melaut nelayan. Iklim memiliki pengaruh yang relatif kuat terhadap ekonomi di suatu Negara dalam skala Internasional. Berdasarkan hasil kajian model ekonomi, tanpa intervensi manajemen, resiko iklim akan menyebabkan resiko biaya setara dengan kerugian 5% GDP global setiap tahun. Jika memperhitungkan seluruh resiko dan dampaknya maka total kerusakan diperkirakan bisa mencapai 20% GDP global atau lebih. Sebaliknya, biaya untuk menurunkan pengaruh emisi gas rumah kaca dalam rangka menghindar dari dampak perubahan iklim yang paling buruk setara dengan 1% dari GDP global setiap tahunnya (Harvell et al 2002). Variabilitas iklim juga berdampak terhadap ketahanan pangan termasuk bagi masyarakat pesisir, terutama dikaitkan dengan suplai dan ketersediaan pangan, akses, serta pemanfaatan pangan. Variabilitas iklim berdampak terhadap sistem mata pencaharian masyarakat pesisir khususnya nelayan. Masyarakat pesisir memiliki ketergantungan yang tinggi terhadap sumberdaya pesisir dan perikanan. Dengan terganggunya ekosistem pesisir dan perikanan akan berdampak terhadap sumber mata pencaharian masyarakat pesisir. Sumberdaya pesisir dan lautan Indonesia sementara ini sudah terancam terdegradasi karena dua faktor utama, yaitu pengambilan secara tidak ramah lingkungan (destructive fishing) dan pengambilan secara berlebihan (over fishing). Ancaman dari variabilitas iklim secara bersama akan membuat kondisi pesisir dan laut semakin parah. Mengingat pentingnya pesisir dan laut sebagai sumber mata pencaharian masyarakat. Di wilayah pesisir ini, terdapat berbagai macam aktivitas diantaranya adalah perdagangan, transportasi, nelayan, tambak, rekreasi, dan permukiman. Pada banyak satuan permukiman, perairan laut merupakan ruang yang relatif dominan dengan berbagai pola permukiman perairan. Diantara sekian banyak permukiman perairan di Indonesia salah satu diantaranya adalah permukiman suku Bajoe di wilayah pesisir Desa Bajoe, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan.
2
Secara geografis Bajoe adalah desa pantai yang terletak 6 km dari Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan, dengan tipe iklim tropis basah, dan didominasi oleh penduduk dengan mata pencaharian seperti nelayan. Aktivitas yang homogen ini ditunjang oleh suatu permukiman yang didominasi oleh rumah panggung dan material pendukung lainnya berasal dari alam. Berbeda dengan pemukiman Bajoe daerah lain, rumah di Kampung Bajoe sebagian besar berdiri diatas perairan laut yang permukaan lahannya selalu digenangi air laut pada hampir sepanjang waktu tetapi sebagian rumah pula telah berdiri diatas daratan berpasir yang telah mengalami penimbunan. Penghuni permukiman ini merupakan suatu etnik (suku Bajoe). Suku bangsa pelaut di Indonesia yang telah mengembangkan suatu kebudayaan maritim sejak beberapa abad lamanya. Suku ini terkenal dengan mata pencaharian pokok adalah menangkap ikan dengan perahu-perahu layar namun dalam 10 tahun belakangan ini suku Bajoe telah tersentuh oleh peradaban modern, mereka tidak lagi menangkap ikan menggunakan layar, melainkan menggunakan mesin. Mereka melakukan segala aktivitas dan menghabiskan hidupnya diatas perahu, sehingga dikenal dengan sebutan “manusia perahu”, seiring berjalannya waktu manusia perahu ini menetap dalam suatu hunian yang berkelompok tetapi kehidupannya masih dipengaruhi budaya laut. Kehidupan suku Bajoe yang bergantung dengan laut ini sangat rentan terhadap dinamika-dinamika laut yang terjadi akibat variabilitas iklim (Klein and Nicholls 1999). Kenyataannya masyarakat harus menangkap ikan dengan jarak yang lebih jauh dibanding tahun-tahun sebelumnya, hasil yang nelayan peroleh pun mengalami perubahan jumlah dan jenis tangkapan, selain itu perubahan alat penangkapan yang digunakan nelayan juga mengalami perubahan. Oleh karena itu dilakukan penelitian untuk mengetahui kerentanan budaya melaut masyarakat pesisir suku Bajoe. Perumusan Masalah Berdasarkan gambaran yang telah diuraikan pada latar belakang, permasalahan yang dirumuskan adalah bagaimana pengaruh variabilitas iklim terhadap budaya melaut suku Bajoe Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kerentanan budaya melaut suku Bajoe akibat variabilitas iklim. Manfaat Penelitian 1. 2. 3. 4.
Manfaat dari hasil penelitian ini meliputi Memberikan gambaran perubahan budaya melaut suku Bajoe Memberikan gambaran keadaan ekonomi masyarakat suku Bajoe di Kampung Bajoe Memberikan langkah-langkah adaptasi untuk nelayan Bajoe Membantu pemerintah dalam menentukan kebijakan terhadap nelayan terkait perubahan kondisi cuaca
3
METODE Tempat dan Waktu Penelitian ini dilakukan pada bulan Januari hingga bulan Februari di Kampung Bajoe, Desa Bajoe, Kecamatan Tanete Riattang Timur, Kabupaten Bone, Sulawesi Selatan. Alat dan Bahan Peralatan yang digunakan adalah antara lain perangkat lunak Microsoft Office 2010, WRPLOT View. Data yang digunakan dalam penenlitian ini berupa data unsur iklim Kecamatan Tanete Riattang Timur yang diperoleh dari Stasiun Klimatologi Kelas I Maros, meliputi data curah hujan bulanan untuk tahun 19962013, data suhu udara tahun 1996-2013. Data arah dan kecepatan angin tahun 2011-2013, serta data tinggi gelombang tahun 2011-2013 yang diperoleh di Stasiun Meterologi Maritim Paotere. Data aktivitas melaut nelayan Bajoe. Data jumlah dan nilai produksi ikan Kampung Bajoe tahun 2011-2013 dari Dinas Perikanan dan Kelautan Kabupaten Bone. Data suhu permukaan laut tahun 19962013 yang diperoleh dari http://iridl.Ideo.columbia.edu/ERSST. Metode Penelitian Pengumpulan Data Primer Pengumpulan data primer berupa data budaya melaut nelayan Bajoe yang terdiri dari data jarak melaut, lama melaut, dan jumlah tangkapan dilakukan dengan penyebaran kuisioner secara acak kepada nelayan-nelayan Bajoe, namun pengisian kuisioner dilakukan dengan teknik wawancara terbuka sebanyak 55 responden. Dari hasil wawancara dibuat kelas kerentanan budaya melaut nelayan seperti pada tabel dibawah ini. Tabel 1 Kelas kisaran nilai kerentanan jarak melaut nelayan Kisaran Nilai Nilai 0 - 25 km Kerentanan rendah 26 - 85 km Kerentanan sedang ≥ 86 km Kerentanan tinggi Kelas kerentanan jarak melaut dibuat berdasarkan kondisi perairan dan peluang terjadinya bencana-bancana dilautan pada selang jarak yang tertera pada tabel seperti ketinggian gelombang antara, hujan badai, angin kencang, dan kondisi-kondisi ekstrim yang lain. Tabel 2 Kelas kisaran nilai kerentanan lama melaut nelayan Bajoe Kisaran Nilai Nilai 0 - 20 jam Kerentanan rendah 21 - 3 hari Kerentanan sedang ˃ 3 hari Kerentanan tinggi
4
Kelas kerentanan lama melaut dipengaruhi oleh jarak melaut. Saat nelayan melaut pada jarak yang cukup dekat maka lama melaut berada pada kerentanan rendah, begitupun sebaliknya. Tabel 3 Kelas kisaran nilai kerentanan jumlah tangkapan nelayan Bajoe Kisaran Nilai Nilai ≥ 15 kg/orang/trip Kerentanan rendah ˂ 15-10 kg/orang/trip Kerentanan sedang ˂ 9 kg/orang/trip Kerentanan tinggi Kelas kerentanan jumlah tangkapan nelayan dibuat berdasarkan jumlah tangkapan nelayan dalam sekali melaut (trip) dibagi dengan jumlah orang dalam kapal tersebut. Analisis Data Sekunder Data sekunder terdiri dari data unsur iklim dan oseanografi. Data unsur iklim berupa data arah dan kecepatan angin, data curah hujan, dan data suhu udara. Data unsur oseanografi berupa data gelombang dan suhu permukaan laut. Semua data tersebut dianalisis untuk mengetahui variabiltas iklim yang terjadi di sekitar perairan Teluk Bone, juga untuk mengetahui hubungan antara parameter iklim dan oseanografi tersebut dengan hasil produksi. Prosedur Analisis Data Pengumpulan Data
Download Data Iklim
Kajian pustaka
Pendekatan Analisis
Analisis unsur iklim
Hasil Analisis
Hubungan unsur iklim dan oseanografi dengan hasil produksi
Output penelitian
Kerentanan perekonomian masyarakat
Analisis unsur oseanografi Gambaran umum perekonomian masyarakat
Survey lapangan Analisis aktivitas melaut dan perekonomian masyarakat
Pengkategorian kelas kerentanan budaya melaut
Kategori kelas kerentanan, kerentanan rendah Kerentanan sedang kerentanan tinggi
Persentase jumlah nelayan Bajoe pada tiga kelas kerentanan
Rancangan strategi adaptasi
Gambar 1 Diagram tahapan analisis kerentanan budaya melaut masyarakat pesisir suku Bajoe
5
HASIL DAN PEMBAHASAN Keadaan Umum Desa Bajoe Secara geografis Desa Bajoe terletak pada posisi 4ᵒ33′11.86″ LS dan 120ᵒ23′09.27″ BT dengan batasan wilayah sebelah selatan berbatasan dengan Desa Kading, sebelah barat berbatasan dengan Kelurahan Cellu, sebelah utara berbatasan dengan Kelurahan Lonrae, dan sebelah timur berbatasan dengan Teluk Bone. Jarak Kelurahan Bajoe dari ibukota kecamatan 0.5 km, jarak dari ibukota kabupaten 9 km, sedangkan jarak dari ibukota provinsi 179 km. Topografi kelurahan Bajoe merupakan daratan atau wilayah yang landai (Bone dalam angka 2006).
Gambar 2 Peta Desa Bajoe dan lokasi perkampungan Bajoe (sumber: www.maps.google.com/) Kelurahan Bajoe memiliki luas 5.58 km2. Menurut klafisikasi iklim Koppen Kelurahan Bajoe termasuk daerah beriklim tropik basah (Af), suhu udara harian berkisar antara 26ᵒC-27ᵒC. Suhu tertinggi dapat mencapai 30ᵒC dan suhu terendah 24ᵒC. Kelembaban udara berkisar antara 70%-80% dengan curah hujan rata-rata tahunan 1700 mm-2500 mm (Bone dalam angka 2006). Sejarah Kehidupan Suku Bajoe Dahlan (1986) mencatat bahwa nenek moyang suku Bajoe memasuki pulau Sulawesi sekitar tahun 1898. Penyebaran suku Bajoe yang terdapat diberbagai daerah disebabkan karena kebiasaan mereka menyeberangi lautan lepas. Filosofi hidup suku Bajoe sebagai manusia perahu dikarenakan kebiasaan mereka yang selalu berpindah-pindah. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah satu tokoh masyarakat, suku Bajoe memasuki perairan Teluk Bone sekitar tahun 1950. Hal ini didasarkan potensi laut diperairan Teluk Bone yang melimpah sehingga dapat memenuhi kebutuhan mereka. Suku Bajoe membentuk perkampungan pada pesisir pantai dan menjorok sampai perairan dangkal disepanjang perairan Teluk Bone. Lokasi ini merupakan perkampungan yang merupakan ciri khas suku Bajoe, dengan menggunakan
6
rumah-rumah panggung diatas laut. Mereka dihubungkan dengan jembatan dan perahu-perahu kecil sebagai alat transportasi utama untuk mengakses daratan. Alat ini juga merupakan alat untuk mencari nafkah sebagai nelayan tradisional. Awalnya Suku Bajoe merupakan masyarakat yang hidup secara tradisional, mulai dari bentuk rumah sampai penggunaan alat tangkap. Namun pada tahun 1998 masyarakat mulai menggunakan perahu bermesin namun masih banyak masyarakat yang masih menggunakan perahu layar (Soesangobeng 1977). 1960 masyarakat mulai membangun rumah disepanjang pantai, untuk mengurangi pelapukan kayu yang diakibatkan oleh hantaman air laut, masyarakat memanfaatkan batu karang sebagai fondasi rumah, kesadaran masyakat akan kondisi tersebut timbul tahun 1970. 1985 masyarakat mulai menimbun kolong rumah dengan menggunakan pasir dan batu karang. Tahun 1990 dibangun jalanan menuju daratan untuk mempermudah akses masyarakat Bajoe. Awalnya nelayan melaut secara individual, namun memasuki tahun 2008 mayoritas nelayan Bajoe melaut secara berkelompok. Variabilitas Iklim Desa Bajoe Variabilitas iklim disebabkan oleh faktor pengendali berupa interaksi antara atmosfer, lautan, dan daratan. Karakteristik dan spesifikasi variabilitas iklim dan keragaman curah hujan dapat dimanfaatkan untuk menunjang atau menghambat berbagai kegiatan yang akan ditimbulkan (Harijono 2008). Indonesia memiliki variabilitas iklim yang tinggi. Berdasarkan pola hujan, wilayah Indonesia dibagi dalam tiga klasifikasi pola hujan, yaitu monsunal, ekuatorial, dan lokal.
Gambar 3 Pembagian wilayah Indonesia berdasarkan pembagian pola hujan (sumber: www.bmkg.go.id/)
7
350 300
CH (mm)
250
200 150 100 50 0
CH rata-rata Tahun 1996-2013
Gambar 4 Curah hujan rata-rata Desa Bajoe tahun 1996-2013
4000
27
3500
27
3000
26 26
2500
26
2000
26
1500
26
1000
25
500
25
0
25
CH Rata-rata Tahunan
Suhu Udara (°C)
CH (mm)
Sulawesi Selatan memiliki tipe hujan yang beragam, beberapa daerah memiliki tipe hujan ekuatorial, dan beberapa daerah lainnya memiliki tipe hujan lokal dan monsunal. Berdasarkan gambar curah hujan rata-rata Desa Bajoe, dapat dilihat bahwa Desa Bajoe memiliki tipe hujan lokal. Variabilitas iklim dapat dilihat dari keragaman curah hujan suatu wilayah. Suhu udara, suhu permukaan laut (SPL) dan unsur oseanografi lain seperti ketinggian gelombang merupakan variabel lain yang dapat menyebabkan variabilitas iklim. Suhu udara merupakan energi kinetis rata-rata dari pergerakan molekul udara (Handoko 1994). Suhu udara memiliki hubungan yang berbanding terbalik dengan curah hujan, ketika suhu udara tinggi maka curah hujan akan rendah, dan begitupun sebaliknya. SPL di wilayah tropis memiliki variasi yang tinggi baik dalam skala ruang maupun waktu (As-Syakur 2011).
Suhu Rata-rata
Gambar 5 Variabilitas curah hujan dan suhu rata-rata tahun 1996-2013 Gambar 5 menunjukkan fluktuasi curah hujan dan suhu udara tahun 19962013. Pada gambar tersebut curah hujan di Desa Bajoe dari tahun 1996-2013 berada pada tren normal, namun pada tahun 2008 dan 2010 curah hujan cukup tinggi dari rata-rata curah hujan tahunan, hal ini dikarenakan kejadian La nina juga menyerang wilayah Kabupaten Bone (BMKG 2010). Untuk suhu udara berada pada tren normal, dimana tidak terjadi perubahan suhu yang sangat signifikan dari tahun ketahun.
8
3
600
2.5
CH (mm)
500
2
400
Tinggi gelombang (m)
700
1.5 300 1
200
0.5
100 0
0 Januari
Februari
Maret
April
Mei
Juni
Juli
Agustus September Oktober November Desember
Tinggi Gelombang Tahun 2011
Tinggi Gelombang Tahun 2012
Tinggi Gelombang Tahun 2013
CH 2011
CH 2012
CH 2013
Gambar 6 Variabilitas curah hujan dan tinggi gelombang tahun 2011-2013 Gambar diatas memperlihatkan hubungan curah bulanan dengan ketinggian gelombang di perairan Teluk Bone. Gelombang tinggi terjadi pada bulan JuniSeptember. Tidak terjadi perbedaan yang signifikan pada rata-rata ketinggian gelombang dari tahun 2011-2103 di perairan Teluk Bone. Namun terjadi varibilitas curah hujan yang cukup tinggi pada tahun 2011-2013. Seperti yang terlihat pada grafik, tahun 2013 curah hujan cukup tinggi pada bulan Juli, berbeda pada tahun 2011 dan 2012 dimana curah hujan normal pada bulan tersebut. Hal ini sesuai dengan laporan akhir BMKG yang menyatakan bahwa diindikasikan terjadi La Nina lemah pada tahun 2013, dan Kabupaten Bone merupakan salah satu daerah yang terkena oleh dampak La Nina (BMKG 2013).
30.0
29.5
SPL ( C)
R² = 0.015 29.0
y = -0.003x + 29.22 28.5
28.0
SPL Rata-rata Tahunan
Gambar 7 Suhu pemukaan laut rata-rata tahun 1996-2013 Suhu permukaan laut (SPL) rata-rata tahunan di perairan Teluk Bone berkisar antara 28.5ᵒC-29.5ᵒC. Pada grafik terlihat suhu permukaan laut tertinggi terjadi pada tahun 1998 sebesar 29.5 dan tahun 2010 sebesar 29.3. Dari grafik tersebut diperoleh persamaan garis y=-0.003x + 29.22 dan R2 sebesar 1.5%. Hal ini menunjukkan bahwa pada perairan Teluk Bone untuk tahun 1996-2013 mengalami penurunan suhu permukaan laut namun tidak terlalu signifikan
9
sehingga dapat dikatakan suhu permukaan laut tersebut bersifat konstan. Jika dikaitkan dengan kejadian curah hujan, maka terlihat adanya hubungan antara curah hujan yang tinggi dengan peningkatan suhu permukaan laut. Pengaruh kejadian La Nina ini ditandai dengan terjadinya peningkatan durasi dan intensitas upwelling serta menaikkan lapisan termoklin sehingga produktivitas yang lebih tinggi dibandingkan tahun-tahun normal (Susanto dan Gordon, 2005 dalam Qu et al., 2005) Analisis Kerentanan Ekonomi Analisis kerentanan ini merupakan analisis kerentanan kondisi sosial ekonomi penduduk. Analisis ini dilakukan terhadap kondisi sosial ekonomi yang dikaitkan dengan unsur cuaca dan iklim serta unsur oseanografi yang berpengaruh terhadap kerentanan masyarakat, yang didasarkan pada variabel jumlah produksi hasil melaut, jarak melaut, dan frekuensi melaut. Variabel jumlah produksi hasil melaut, jarak melaut, dan frekuensi melaut ini mempengaruhi tingkat pendapatan masyarakat yang akan mempengaruhi cara pandang masyarakat dalam menyikapi bencana yang akan terjadi. Hubungan Curah Hujan dan Kecepatan Angin dengan Jumlah Produksi Arah dan kecepatan angin merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi aktifitas nelayan saat berada di perairan. Berdasarkan data yang diperoleh, kecenderungan arah mata angin di Teluk Bone tahun 1996-2013 pada bulan Desember hingga bulan Maret arah mata angin cenderung kearah Barat, dan pada bulan April hingga November arah mata angin cenderung kearah tenggara. Musim penangkapan ikan di Indonesia terbagi dalam empat musim yaitu musim barat, musim peralihan awal tahun, musim timur, dan musim peralihan akhir tahun. kedua musim peralihan tersebut sering disebut sebagai musim pancaroba (Nontji 1987).
(Musim Barat) (Peralihan awal) (Musim Timur) (Peralihan akhir) Gambar 8 Distribusi frekuensi angin pada musim penangkapan ikan Pada musim barat, angin berorientasi kearah Barat sedangkan pada musim timur angin berorientasi kearah tenggara. Kedua musim ini dipisahkan oleh bulan Oktober-November sebagai bulan peralihan. Pada bulan Oktober-November arah angin cenderung kearah selatan, berbeda dengan pola umum angin pada umumnya. Begitupun pada musim peralihan awal yaitu antara bulan April-Mei arah angin cenderung acak dan tidak menunjukkan pola umum seperti bulan lainnya (Nontji 1987).
10
1600
10,0
1400
9,0 8,0
1200
7,0
1000
6,0
800
5,0
600
4,0 3,0
400
2,0
200
kecepatanan Angin (knots)
Jumlah Produksi Ikan (kg)
Kecepatan angin disekitar Teluk Bone berkisar antara 4 knot hingga 15 knot, dimana pada bulan Desember hingga April tidak terjadi perubahan kecepatan angin yang signifikan, yaitu berkisar antara 4 knot- 8 knot. Peningkatan kecepatan angin yang cukup signifikan terjadi pada bulan Mei yaitu 7 knot-11 knot sedangkan pada bulan September kecepatan angin mencapai 11 knot-15 knot. Berdasarkan data kecepatan angin yang diperoleh, diketahui bahwa kecepatan angin tertinggi terjadi pada bulan Juli, Agustus, September dimana pada bulan tersebut merupakan angin musim timur.
1,0
0
0,0 Januari
Februari
Maret
April
Mei
Produksi Ikan Tahun 2011 Kecepatan Angin Tahun 2011
Juni
Juli
Agustus
September
Produksi Ikan Tahun 2012 Kecepatan Angin Tahun 2012
Oktober
November Desember
Produksi Ikan Tahun 2013 Kecepatan Angin Tahun 2013
1600
700
1400
600
1200
500
1000 400
800 300
CH (mm)
Jumlah Produksi Ikan (kg)
Gambar 9 Hubungan kecepatan angin dan produksi ikan di Teluk Bone tahun 2011-2013
600 200
400
100
200 0
0 Januari
Februari
Produksi 2011
Maret
April
Mei
Produksi 2012
Juni
Juli
Produksi 2013
Agustus September Oktober November Desember
CH 2011
CH 2012
CH 2013
Gambar 10 Hubungan curah hujan dan produksi ikan di perairan Teluk Bone tahun 2011-2013 Berdasarkan gambar diatas diketahui bahwa pola kecepatan angin dan curah hujan tahun 2011 hingga tahun 2013 berbeda setiap tahunnya. Perbedaan kecepatan angin dan curah hujan menyebabkan keadaan produksi ikan nelayan Bajoe tidak menentu setiap tahun. Tahun 2011, curah hujan dan kecepatan angin rendah pada bulan Januari sehingga jumlah produksi ikan tinggi, tetapi pada bulan Agustus kecepatan angin tinggi sehingga tidak memungkinkan nelayan untuk melaut terlalu jauh walaupun curah hujan rendah pada bulan tersebut, sehingga jumlah produksi tidak terlalu tinggi. Tahun 2012, curah hujan dan kecepatan angin tinggi pada bulan Februari, sehingga jumlah produksi sedikit. Pada bulan Agustus jumlah produksi cukup tinggi dikarenakan curah hujan yang sedikit dan kecepatan angin yang berada
11
Jumlah Produksi Ikan (kg)
dalam batas angin normal bagi nelayan sehingga memungkinkan nelayan untuk tetap melaut dengan jarak yang jauh. Tahun 2013, telihat jumlah produksi tinggi pada bulan Februari, Maret dan Desember. Pada bulan tersebut kecepatan angin dan curah hujan rendah. Sedangkan pada bulan November, curah hujan dan kecepatan angin tinggi, dan sehingga tidak memungkinkan nelayan untuk melaut terlalu jauh, menyebabkan jumlah produksi sedikit. Berdasarkan data curah hujan, kecepatan angin, dan hasil tangkapan di perairan Teluk Bone diketahui bahwa kecepatan angin dan curah hujan sangat mempengaruhi jumlah tangkapan nelayan, karena kecepatan angin dan curah hujan menentukan melaut tidaknya nelayan. 5000
4000 3000 2000 1000 0 Des-Maret Jumlah produksi ikan 2011
Apr-Mei
Jun-Sept
Jumlah produksi ikan 2012
Okt-Nov Jumlah produksi ikan 2013
Gambar 11 Fluktuasi jumlah produksi ikan nelayan Bajoe pada musim penangkapan ikan tahun 2011-2013 Musim penangkapan ikan nelayan terbagi menjadi musim barat, musim peralihan awal, musim timur, dan musim peralihan akhir (Nontji 1987). Bulan Desember hingga bulan Maret merupakan musim barat, bulan April-Mei merupakan musim peralihan awal, bulan Oktober-November merupakan musim peralihan akhir, dan bulan Juni-September merupakan musim timur (nontji 1987). Hasil tangkapan mengalami fluktuasi dari tahun ke tahun. Akumulasi dari jumlah produksi ikan seperti yang terlihat pada gambar diatas menunjukkan bahwa tahun 2011 akumulasi tangkapan nelayan tinggi pada musim timur. Pada musim timur (Juni-September) kedaan perairan biasanya tenang, jarang terjadi hujan dan ombak relatif kecil sehingga memungkinkan nelayan untuk melaut dan biasanya pada musim ini merupakan musim puncak ikan (Nurhayati 2006). Terjadi perbedaan pada tahun 2012, jumlah tangkapan cukup tinggi pada musim peralihan awal dikarenakan curah hujan yang tidak terlalu tinggi dan kecepatan angin yang rendah. Terlihat adanya pola yang berbeda antara jumlah produksi tahun 2012 dengan tahun 2011, 2013 pada bulan Desember-Maret. Hal ini disebabkan curah hujan pada bulan Maret-Desember lebih tinggi jika dibandingkan dengan bulan Maret-Desember pada tahun 2011 dan 2013 yang cukup rendah sehingga menyebabkan jumlah produksi ikan menururn pada musim barat di tahun 2012. Tahun 2013 menunjukkan jumlah tangkapan pada musim barat lebih tinggi dibandingkan musim timur, hal ini dikarenakan curah hujan disertai kecepatan angin yang tinggi pada musim timur.
12
Hubungan Tinggi Gelombang dengan Jumlah Produksi Gelombang merupakan faktor yang sangat penting dalam operasi penangkapan ikan. Keadaan gelombang suatu perairan sangat mempengaruhi lokasi penangkapan nelayan di daerah tersebut (Sastrawidjaya dan Manadiyanto 2002). Berdasarkan data yang diperoleh, arah pergerakan gelombang disekitar Teluk Bone cenderung berubah-ubah. Terjadinya perubahan arah gelombang permukaan tersebut dipengaruhi oleh pola arah angin yaitu peralihan dari angin musim barat menjadi angin musim timur, begitupun sebaliknya (Hutabarat dan Evans 1985). Hal ini dapat dilihat dari rata-rata pola pergerakan arah gelombang permukaan dimana terjadi siklus perubahan arah gelombang dari arah barat daya kearah tenggara dan kembali kearah barat daya. 1600
3
1400
2,5
1000 800
1,5
600
1
Jumlah Produksi (Kg)
Tinggi Gelombang (m)
1200
2
400
0,5
200 0
0 Januari
Februari
Produksi Ikan 2011
Maret
April
Produksi Ikan 2012
Mei
Juni
Produksi Ikan 2013
Juli
Agustus
Tinggi Gelombang 2011
September
Oktober
Tinggi Gelombang 2012
November
Desember
Tinggi Gelombang Tahun 2013
Gambar 12 Hubungan tinggi gelombang laut dengan jumlah produksi ikan nelayan Bajoe di Teluk Bone tahun 2011-2013 Berdasarkan data pengamatan ketinggian gelombang, diketahui bahwa ketinggian gelombang pantai disekitar Teluk Bone berkisar antara 1 meter hingga 2.5 meter dimana gelombang tertinggi cenderung pada bulan Juni, Juli, Agustus, September dimana pada saat tersebut merupakan angin musim timur. Nelayan Bajoe melaut pada kisaran gelombang 0.5 meter-2.5 meter. Pada ketinggian gelombang 3 meter tidak memungkinkan nelayan Bajoe untuk melaut lagi (Hafid et al 1996). Berdasarkan data pengamatan selama tiga tahun, diketahui bahwa antara ketinggian gelombang dengan hasil produksi cenderung terjadi hubungan yang saling berlawanan. Pada tahun 2011, terlihat jumlah produksi ikan tertinggi pada bulan April dan Mei, dengan tinggi gelombang mencapai 1.5 meter-1.7 meter. Hal ini sesuai dengan hasil wawancara dengan beberapa nelayan Bajoe yang menyatakan bahwa, jumlah produksi ikan tertinggi terjadi pada bulan April dan Mei, dimana pada bulan tersebut merupakan musim peralihan menuju musim kemarau. Jumlah produksi terendah terjadi pada bulan Juli, Agustus, September, dimana gelombang tertinggi terjadi pada bulan-bulan tersebut, dan telah memasuki musim kemarau. Namun ketika memasuki musim penghujan, jumlah produksi ikan yang dihasilkan oleh nelayan Bajoe pun tidak terlalu tinggi, Pada bulan-bulan tersebut, jarak yang ditempuh nelayan tidak begitu jauh, hal ini dikarenakan kondisi cuaca yang tidak memungkinkan nelayan untuk melaut dan dengan peralatan yang masih tradisional. Tahun 2012 juga menunjukkan jumlah produksi tertinggi terjadi pada bulan April dan Mei, sedangkan produksi terendah terjadi pada bulan Januari, yang telah
13
memasuki musim penghujan dengan curah hujan yang cukup tinggi. Pada tahun 2013 terlihat jumlah produksi tertinggi terjadi pada bulan Februari, Maret, dan Desember berbeda dengan tahun 2011 dan 2012. Pada bulan Februari, Maret dan Desember, curah hujan dan kecepatan angin di sekitar perairan teluk Bone rendah. Curah hujan bulan Desember 145 mm, bulan Februari curah hujan mencapai 84 mm, dan bulan curah hujan bulan Maret 95 mm, kecepatan angin pada bulan Desember yaitu 2.4 knot, kecepatan angin bulan Februari 1.9 knot, kecepatan angin bulan Maret 1.5 knot, sehingga memungkinkan nelayan untuk melaut walaupun telah memasuki musim penghujan. Namun jumlah produksi ikan cukup rendah pada bulan Januari, hal ini dikarenakan kecepatan angin tinggi pada bulan Januari yaitu 4.6 knot.
30000
50000000
25000
40000000
(Rp)
(Kg)
20000
15000
30000000
20000000
10000
10000000
5000 0
0
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2011 2012 2013
Jumlah Produksi
2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2011 2012 2013 Hasil Produksi
Gambar 13 Jumlah dan nilai produksi ikan nelayan Bajoe di perairan Teluk Bone tahun 2002-2013 (tidak terdapat data untuk tahun 2009-2010) Berdasarkan gambar diatas terlihat sejak tahun 2002 sampai tahun 2013 produksi ikan yang diperoleh nelayan Bajoe mengalami fluktuasi. Jumlah produksi ikan tahun 2002 hingga tahun 2006 terus mengalami peningkatan, namun pada tahun 2007 dan 2008 jumlah produksi ikan nelayan Bajoe mengalami penurunan. Tahun 2011 jumlah produksi ikan mengalami peningkatan, namun produksi ikan menurun tahun 2012 dan 2013. Besarnya jumlah produksi tidak sepenuhnya mempengaruhi besarnya nilai produksi. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan nilai jual atau harga dari masing-masing jenis ikan hasil tangkapan. Jumlah produksi terendah berada pada tahun 2008 yaitu sebesar 17 479 kg dan terbesar pada tahun 2011 yaitu 27 773 kg. Untuk nilai produksi perikanan laut yang terbesar pada tahun 2013 sebesar Rp489 456 000 walaupun untuk jumlah produksinya berada diurutan tertinggi keempat. Hal ini dikarenakan ikan yang tertangkap merupakan ikan yang memiliki nilai jual tinggi atau karena adanya kenaikan harga jual pada tahun tersebut dibandingkan tahun-tahun sebelumnya, sedangkan nilai jual terendah berada pada tahun 2002 sebesar Rp11 4753 000. Secara spesifik jenis ikan yang diperoleh oleh nelayan Bajoe didominasi oleh jenis ikan tuna, ekor kuning, kerapu, cakalang, layang, kakap putih. Berdasarkan data yang diperoleh diketahui bahwa tuna merupakan ikan yang nilai produksi dan nilai jual tinggi. Tahun 2011, 2012 dan 2013 menunjukkan nilai produksi tinggi dibanding tahun-tahun sebelumnya dikarenakan jumlah produksi ikan tuna yang dihasilkan oleh masyarakat cukup tinggi.
14
1600
30,5
1400
30
1200
29,5
1000 29 800 28,5 600
SPL ( C)
Jumlah Produksi Ikan (kg)
Hubungan Suhu Permukaan Laut dengan Jumlah Produksi Suhu permukaan laut dapat digunakan sebagai salah satu cara untuk menduga keberadaan organisme disuatu perairan, khususnya ikan (Nikolsky 1963). Setiap spesies ikan mempunyai toleransi nilai suhu tertentu yang disenangi untuk melangsungkan hidupnya sehingga mempengaruhi keberadaan dan penyebaran ikan di perairan. Setiap spesies memiliki tingkatan suhu optimum dan batas toleransi suhu sekitar 0.1ᵒC (Nikolsky 1963).
28
400
27,5
200 0
27
Januari
Februari
Maret
Produksi ikan 2011
April
Mei
Produksi ikan 2012
Juni
Juli
Agustus September Oktober November Desember
Produksi ikan 2013
SPL 2011
SPL 2012
SPL 2013
Gambar 14 Hubungan suhu permukaan laut dengan jumlah produksi ikan nelayan Bajoe tahun 2011-2013 Kisaran suhu permukaan laut (SPL) di perairan Teluk Bone berkisar antara 28ᵒC-30ᵒC. Distirbusi SPL pada musim barat yaitu bulan November-April berada pada kisaran 28.5ᵒC -29ᵒC. Bulan Mei merupakan musim peralihan awal dengan kisaran SPL 29.5ᵒC-30ᵒC. SPL pada musim timur berkisar antara 28ᵒC-28.5ᵒC. Pada musim peralihan akhir SPL berkisar antara 29.5ᵒC-30ᵒC. Berdasarkan data distribusi SPL tahun 2011-2013 diketahui bahwa distribusi kisaran SPL pada musim timur lebih rendah dibanding pada musim barat. Pada tahun 2011 dan 2012, sebaran nilai SPL berlawanan dengan jumlah produksi ikan di Teluk Bone. Nilai SPL tertinggi pada bulan Maret, April, Mei, November, Desember mencapai 29.5ᵒC dan pada bulan tersebut jumlah produksi ikan cukup rendah di perairan Teluk Bone. Sedangkan kisaran nilai SPL rendah pada bulan Januari, Februari, Juli, Agustus, September mencapai 28.5ᵒC dan pada bulan tersebut jumlah produksi ikan tinggi di perairan Teluk Bone. Kondisi ini berbeda dengan tahun 2013, saat SPL rendah jumlah produksi ikan di perairan Teluk Bone juga mengalami penurunan. Begitupun saat SPL tinggi jumlah produksi ikan mengalami peningkatan. Berdasarkan gambar diatas diketahui tinggi rendahnya SPL di perairan Teluk Bone tidak mempengaruhi jumlah produksi ikan, hal ini disebabkan kisaran SPL diperairan Teluk Bone masih berada dalam kisaran suhu yang disukai oleh ikan pelagis (Purba et al 1994). Nilai SPL mengalami fluktuasi bulanan, demikian pula dengan hasil tangkapan bulanan ikan pelagis sepanjang tahun. Berdasarkan gambar, nampak adanya kecenderungan penurunan SPL akan diikuti oleh peningkatan hasil tangkapan, sebaliknya peningkatan SPL akan diikuti oleh penurunan hasil tangkapan. Namun demikian fluktuasi hasil tangkapan tidak memiliki hubungan yang signifikan dengan SPL dominan.
15
Tingkat Kerentanan Budaya Melaut Variabilitas iklim menyebabkan kondisi nelayan, terutama nelayan kecil seperti nelayan Bajoe menjadi semakin terjepit. Kerusakan ekosistem, perubahan cuaca yang cepat dan tidak menentu menyebabkan nelayan kesulitan melaut dan pendapatannya semakin tidak pasti. UNDP (2007) menyebutkan bahwa variabilitas iklim berdampak luas terhadap jutaan nelayan pesisir. Mereka begantung pada ekosistem yang sangat rentan dengan perubahan kecil saja sudah berdampak besar seperti perubahan suhu air yang dapat merusak terumbu karang. Masyarakat nelayan menurut Pollnack (1988) dalam Satria (2009) mengahadapi sumber daya yang bersifat open access yang menyebabkan nelayan harus bepindah-pindah untuk mendapatkan hasil optimal sehingga resikonya relatif sangat tinggi. Suku Bajoe merupakan nelayan kecil yang menggunakan perahu 1-2 GT, dengan alat pancing yang masih tradisional berupa alat pancing tonda, alat pancing rawi, pukat cincin, panah atau tombak. Menurut undang-undang perikanan tahun 2004 nelayan kecil adalah orang yang mata pencahariannya melakukan penangkapan ikan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Nelayan kecil biasanya belum menggunakan alat tangkap yang maju, umumnya hasil tangkapan nelayan kecil dijual kemudian dialokasikan untuk memenuhi kebutuhan pokok sehari-hari dan bukan untuk diinvestasikan kembali untuk melipatgandakan keuntungan (Satria 2009). Oleh karena itu nelayan jenis ini sering disebut sebagai peasant fisher yakni nelayan yang alokasi hasil tangkapannya digunakan untuk kebutuhan sehari-hari dan bukan diinvestasikan untuk skala usaha (Satria 2001). Hasil wawancara 55 responden ini dibagi kedalam tiga periode waktu, yaitu tahun 1996-2002, tahun 2003-2008, dan tahun 2009-2013. Periodisasi waktu ini didasarkan atas perubahan pola dan kondisi kehidupan nelayan. Tahun 1996-2002 kondisi terumbu karang disekitar pemukiman suku Bajoe masih sangat bagus, namun tahun 2003 kondisi terumbu kurang telah rusak akibat adanya perubahan iklim yang mengakibatkan terjadi pemutihan karang, karena rusaknya terumbu karang maka pola kehidupan melaut nelayan yang sebelum tahun 2007 masih melaut secara individu memasuki tahun 2008 dan 2009 mayoritas nelayan melaut secara kelompok. Hal ini merupakan suatu bentuk strategi adaptasi yang dilakukan nelayan agar tetap dapat mempertahankan kehidupan. Parameter yang dikaji untuk menilai tingkat kerentanan suku Bajoe terdiri dari jarak melaut, lama melaut, dan tingkat pendapatan nelayan. Responden berjumlah 55 orang. Hasil wawancara dengan para nelayan suku Bajoe menunjukkan bahwa pada tahun 1996-2002 jarak melaut nelayan bervariasi. Jarak melaut pada tahun 1996-2002 berkisar 2 km hingga 20 km. 80% nelayan Bajoe melaut pada jarak 2 km- 10 km, dan 20% nelayan yang melaut pada jarak 11 km – 20 km. Tahun 2003-2008, 65% nelayan yang melaut pada jarak 35 km, 15 % nelayan melaut pada jarak 55 km, dan 20 % nelayan yang melaut pada jarak 60km-80 km. Tahun 2009-2013 jarak melaut nelayan semakin jauh berkisar antara 68 km-220 km. Sebanyak 65% responden melaut pada jarak 68 km- 90 km, 35% responden melaut pada jarak 120 km-220 km. Lama melaut nelayan juga mengalami perubahan dari tahun ketahun seiring dengan perubahan jarak melaut. Tahun 1996-2002 lama melaut nelayan Bajoe
16
berkisar 3 jam hingga 10 jam, 80 % nelayan melaut dengan lama 3 jam-6 jam, 20% nelayan melaut dengan lama 8 jam-10 jam. Tahun 2003-2008 lama melaut nelayan mengalami perubahan yang signifikan dibanding tahun sebelumnya. Lama melaut nelayan berkisar 20 jam hingga 3 hari, 60% nelayan melaut dengan waktu 2-3 hari dan 40% nelayan melaut selama 20 jam. Tahun 2009-2013 waktuyang dibuthkan nelayan untuk melaut semakin lama, 80% nelayan yang melaut dengan lama 4 hari - 6 hari dan 20% nelayan melaut dengan lama 3-4 hari. Jenis ikan hasil tangkapan nelayan Bajoe merupakan jenis ikan pelagis seperti ikan tuna, cakalang, kakap putih, tenggiri, layang, ikan merah, ikan bawal, ikan kembung, belanak, dll. Terjadi perubahan jumlah tangkapan nelayan dari tahun ketahun. Tahun 1996-2002 jumlah tangkapan nelayan berkisar antara 6 kg/orang/trip – 10 kg/orang/trip. Tahun 2003-2008 jumlah tangkapan ikan nelayan bervariasi mulai 4 kg/orang/trip - 10 kg/orang/trip. Tahun 2009-2013 jumlah tangkapan nelayan berkisar antara 10 kg/orang/trip-31 kg/orang/trip. Pada tahun 2009-2013 nelayan mayoritas nelayan melaut secara berkelompok. Satu kapal penangkapan ikan terdiri dari 6-7 orang, hal ini dilakukan untuk meminimalisir pengeluaran selama perjalanan. Berikut persentase perubahan jumlah nelayan pada tiga kelas kerentanan. Tabel 4 Persentase perubahan jumlah nelayan Bajoe pada tiga kelas kerentanan Persentase Jumlah Nelayan pada Kategori Kelas Kerentanan Parameter
1996-2002
Jarak Melaut
Rendah 100%
Lama Melaut
100%
Jumlah Tangkapan
Tahun
Sedang
2003-2008 Tinggi Rendah Sedang 100% 40%
25%
Jarak Melaut
75%
2009-2013 Tinggi
Rendah
60% 25%
75%
Lama Melaut
70%
Sedang 20%
Tinggi 80%
20%
80%
30%
Jumlah Tangkapan
1996-2002 2003-2008 2009-2013
Persentasi jumlah nelayan tahun 1996-2002 masih berada pada kerentanan rendah. Pada tahun 2003-2008, jarak melaut nelayan belum terlalu jauh namun telah berada pada kelas kerentanan sedang. Tahun 2009-2013 jarak melaut nelayan telah berada pada kerentanan tinggi. Lama melaut nelayan pada tahun 1996-2002 masih berada pada tingkat kerentanan rendah, sedangkan pada tahun 2003-2008 60% nelayan telah berada pada tingkat kerentanan sedang, dan pada tahun 2009-2013 lama melaut nelayan 80% berada pada kerentanan tinggi.
17
Jumlah tangkapan nelayan pada tahun 1996-2002, 70% berada pada tingkat kerentanan tinggi. Hal ini disebabkan alat tangkap nelayan masih bersifat tradisional. Pada tahun 2003-3008, 75% jumlah tangkapan nelayan Bajoe berada pada kelas kerentanan tinggi, dan 25% berada pada kelas kerentanan sedang. Sedangkan pada tahun 2009-2013, 75% jumlah tangkapan nelayan berada pada kelas kerentanan rendah, dan 30% nelayan berada pada kelas kerentanan sedang. Salah satu faktor yang mempengaruhi tingkat kerentanan jumlah tangkapan nelayan adalah alat penangkapan yang digunakan semakin berkembang dibanding tahun sebelumnya, dimana dengan alat penangkapan yang digunakan nelayan sekarang memungkinkan untuk memperoleh jenis ikan dengan nilai jual tinggi. Perubahan jarak melaut, lama melaut, dan jumlah tangkapan ini disebabkan karena kerusakan terumbu karang yang ada disekitar pemukiman suku Bajoe. Rusaknya terumbu karang disebabkan oleh aktivitas manusia itu sendiri dan karena faktor alam. Salah satu dampak dari perubahan iklim yaitu pada tahun 2003, terjadi pemutihan karang di perairan Teluk Bone, hal ini juga didukung oleh aktivitas masyarakat pesisir yang selalu membuang limbah rumah tangga ke perairan sehingga menambah tingkat keasaman laut, dan kebiasaan nelayannelayan komersil yang menangkap ikan dengan cara pengeboman juga memperparah keadaan terumbu karang diperairan tersebut (Brown 1994). Batu karang yang sudah mati digunakan untuk fondasi rumah, pemanfaatan batu karang semakin meningkat, sehingga potensial untuk merusak ekosistem terumbu karang di sekitarnya. Seiring berjalan waktu kondisi terumbu karang diperairan tersebut semakin rusak, rusaknya terumbu karang berarti ikan karang seperti ikan pelagis juga punah. Hal ini menyebabkan lokasi penangkapan ikan yang lebih jauh sehingga terjadi perubahan jarak dan frekuensi melaut, serta hasil tangkapan nelayan. Strategi Adaptasi Nelayan Bajoe Perubahan lingkungan di Kampung Bajoe akibat adanya perubahan kondisi cuaca yang merupakan faktor dominan yang menyebabkan nelayan harus beradaptasi dan berinteraksi dengan lingkungannya. Perubahan kondisi cuaca ini berdampak pada pola kehidupan dan usaha penangkapan ikan nelayan Bajoe. Ada beberapa pola adaptasi yang dapat dilakukan oleh pemerintah setempat agar nelayan Bajoe dapat tetap mempertahankan budaya melaut yang mereka anut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari yaitu, 1. Mengganti jenis alat tangkap. Dengan penggantian alat tangkap, diharapkan nelayan dapat memperoleh ikan dengan jumlah yang lebih banyak serta lebih bevariasi jenisnya. 2. Mengganti perahu 1-2 GT menjadi perahu dengan mesin yang lebih besar, hal ini memungkinkan nelayan untuk memperluas daerah penangkapan ikan dengan meminimalisir waktu tempuh. 3. Memperbarui alat pendinginan ikan, hal ini dilakukan agar kualitas ikan tetap terjaga saat tiba di daratan, karena selama ini kerugian yang dialami oleh nelayan dikarenakan saat tiba didaratan ikan yang ditangkap telah busuk. 4. Pihak pemerintah harus memperkenalkan dan membimbing masyarakat mengenai teknik budidaya perikanan, hal ini dimaksudkan saat kondisi cuaca
18
5.
ekstrem di perairan Teluk Bone nelayan tetap memperoleh penghasilan walaupun tidak melaut. Membuat terumbu karang buatan (artificial reef) disekitar pemukiman suku Bajoe. Langkah ini merupakan salah satu cara alternatif yang dapat digunakan untuk melestarikan ikan-ikan terumbu sehingga lokasi penangkapan ikan nelayan tidak semakin jauh.
Strategi adaptasi yang dilakukan oleh nelayan Bajoe itu sendiri sampai saat ini adalah dengan membentuk kelompok-kelompok penangkapan ikan. Pengelompokan ini telah berlangsung sejak tahun 2008. Hal ini merupakan suatu upaya untuk mengatasi tingginya pengeluaran yang dikeluarkan nelayan dalam sekali trip penangkapan yang dikarenakan semakin jauhnya jarak tempuh melaut nelayan.
SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Suku Bajoe yang menggantungkan sepenuh hidupnya pada laut untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari berbeda dengan nelayan komersial. Aktivitas melaut nelayan Bajoe telah menjadi suatu budaya dari suku Bajoe itu sendiri. Perubahan cuaca berdampak pada pola kehidupan dan usaha penangkapan ikan nelayan. Kecepatan angin dan curah hujan sangat mempengaruhi jumlah tangkapan nelayan, karena kecepatan angin dan curah hujan menentukan melaut tidaknya nelayan. Tinggi gelombang juga dipengaruhi oleh kecepatan angin. Tinggi gelombang berbanding terbalik dengan jumlah produksi. Saat gelombang tinggi tidak memungkinkan nelayan untuk melaut sehingga jumlah produksi ikan menurun, begitupun sebaliknya. Nelayan Bajoe melaut pada ketinggian gelombang 0.5 m-2.5 m. Musim penangkapan ikan nelayan terbagi menjadi musim barat, musim peralihan awal, musim timur, dan musim peralihan akhir. Dari keempat musim penangkapan ikan ini, dapat dilihat bahwa jumlah tangkapan ikan tertinggi pada musim timur, dan terendah pada musim peralihan timur. Kisaran suhu permukaan laut (SPL) diperairan Teluk Bone masih berada dalam kisaran suhu yang disenangi ikan pelagis oleh karena itu, suhu permukaan laut ini tidak memberikan pengaruh yang besar terhadap jumlah produksi ikan nelayan. Budaya melaut nelayan Bajoe dari tahun ketahun berada pada kategori kerentanan tinggi. Berdasarkan kategori kelas kerentanan budaya melaut, jarak melaut dan lama melaut diketahui 80% nelayan Bajoe berada kategori kerentanan tinggi, dan untuk jumlah tangkapan nelayan dari tahun ketahun berada pada kategori kerentanan rendah. Saran Perlu dilakukan penelitian lanjutan untuk mengetahui kerentanan sosial, fisik dan lingkungan untuk masyarakat suku Bajoe. Perlu adanya analisis tinggi muka laut untuk memproyeksikan kondisi pemukiman suku Bajoe 30 tahun mendatang.
19
DAFTAR PUSTAKA As-syakur AR. 2011. Pola spasial hubungan curah hujan dengan ENSO dan IOD di Indonesia-Observasi menggunakan data TRMM 3B43. J Bunga Rampai Pengindaraan Jauh Indonesia. Center for Remote Sensing and Ocean Science (CReSOS). Bali (ID): Universitas Udayana. [BMKG] Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika. 2008. Curah hujan dan potensi gerakan tanah 2008. (ID) [BPS] Badan Pusat Statistik. 2006. Bone dalam angka. Bone (ID): BPS Kabupaten Bone Sulawesi Selatan. Brown, Chaterine SJ. 1994. Bajau. Jakarta (ID): Yayasan Sejati. Dahlan SA. 1986. Profil masyarakat Bajoe di Desa Bajoe, Kabupaten Bone. Ujung Pandang (ID) : Lembaga Penelitian UNHAS. Dolan AH, Walker IJ. 2003. Understanding vulnerability of coastal communities to climate change related risks. J Coastal Research. Fussel MH. 2007. Vulnerability: A Generally Applicable Conceptual Framework for Climate Change Research. Global Environment Change 17 : 155-167. Hafid M, Yunus. 1996. Pola pemukiman dan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Bajoe di Sulawesi Selatan. Ujung Pandang (ID) : Departemen Pendidikan dan Kebudayan. Handoko. 1994. Klimatologi Dasar. Jakarta (ID): Pustaka Jaya Harvell CD, Mitchell CE, Ward JR, Altizer S, Dobson AP, Ostfeld RS, Samuel MD. 2002. Climate warming and disease risks for terrestrial and marine biota. Science 296:2158-2162. Hutabarat S, Evans SM. 1985. Pengantar Oseanografi. Jakarta (ID) : UI Pr. Klein RJT, Nicholls RJ. 1999. Assesment of coastal vulnerability to climate change. Ambio, 28(2): 182-187 Nikolsky GV. 1963. The ecology of fisheries. London (NY): Academic Press. Nontji A. 1987. Laut Nusantara. Jakarta (ID) :Djambatan. Nontji A. 2005. Laut Nusantara. Jakarta (ID) :Djambatan. Nurhayati Y. 2006. Pengaruh kedalaman terhadap komposisi hasil tangkapan pancing ulur (Handline) pada perikanan layur di perairan Palabuhanratu, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat. [Skripsi]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor Purba M, Saleh A, Natih IM. 1994. Variasi suhu permukaan laut serta sifat oseanografi lainnya dan kemungkinan aplikasinya dalam penentuan lokasi penangkapan ikan diperairan Selatan Jawa. [Laporan]. IPB Sastrawidjaja dan Manadiyanto. 2002. Nelayan Nusantara. Jakarta (ID) : Badan Riset kelautan dan Perikanan. Satria A. 2001. Menuju Desentralisasi Kelautan. Jakarta (ID): Cidesindo Satria A. 2009. Ekologi Politik Nelayan. Yogyakarta (ID): LKis Printing Cemerlang Soesangobeng H. 1997. Perkampungan Bajo di Bajoe. Ujung Pandang (ID): Laporan Penelitian PLPIIS.
20
LAMPIRAN Lampiran 1 Hasil wawancara nelayan Bajoe mengenai aktivitas melaut
21
22
Lampiran 2 Akumulasi jumlah produksi nelayan Bajoe berdasarkan musim penangkapan ikan tahun 2011-2013 Musim Barat Des-Maret 3645 2039 4110
Tahun 2011 2012 2013
Musim Peralihan Awal Apr-Mei 2692 2402 1738
Musim peralihan akhir Okt-Nov 2024 979 1220
Musim Timur Jun-Sept 3758 3133 3253
Lampiran 3 Curah hujan bulanan Desa Bajoe tahun 2011-2013 Tahun 2011 2012 2013
Januari 116 37 95
Februari 108 227 84
Maret 147 216 95
April 180 390 280
Mei 289 309 359
Juni 52 202 336
Juli 157 309 603
Agustus 51 73 140
September 65 32 31
Oktober 81 97 50
November Desember 266 172 141 206 170 145
Juli 28.3 28.58 28.72
Agustus 28.24 28.33 28.22
September 28.25 28.48 28.52
Oktober 28.86 29.18 29.23
November Desember 29.53 29.6 29.77 29.67 29.75 29.54
Lampiran 4 Suhu permukaan laut Perairan Teluk Bone tahun 2011-2013 Tahun 2011 2012 2013
Januari 28.75 29.22 29.2
Februari 28.71 29.17 29.34
Maret 28.91 29.22 29.48
April 29.36 29.7 29.83
Mei 29.49 29.75 29.9
Juni 29.1 29.05 29.39
23
Lampiran 5 Arah dan kecepatan angin perairan Teluk Bone tahun 2011-2013 Tahun
2011
Bulan Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
Arah Angin Kecepatan Angin Tahun Bulan Arah Angin Kecepatan Angin Tahun Bulan Arah Angin Kecepatan Angin 272.6 2.3 Januari 285 2.2 Januari 281.3 4.6 285.4 2.6 Februari 192.3 8.0 Februari 270.6 1.9 272.5 2.4 Maret 267.7 2.0 Maret 230.8 1.5 251.1 1.6 April 134.6 2.2 April 93.87 2.2 121.3 3.1 Mei 130.3 2.5 Mei 118.1 2.1 124 5.2 Juni 121.2 4.9 Juni 113.6 2.0 2012 2013 113.6 5.7 Juli 120.2 5.6 Juli 115.7 4.3 119.8 7.1 Agustus 119.8 6.4 Agustus 117.8 5.8 116.3 5.2 September 129.8 4.7 September 125.6 5.3 121.9 3.1 Oktober 118.6 3.7 Oktober 130.8 3.7 139.7 1.6 November 145.7 2.3 November 147.7 8.7 274.4 2.4 Desember 226 5.2 Desember 265.9 2.4
Lampiran 6 Arah dan tinggi gelombang perairan Teluk Bone tahun 2011-2013 Tahun
Bulan
wave dir
2011
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
208.4 207.6 203.7 154.2 112.5 118.7 112.5 113.1 113.4 128.2 158.3 199.4
Htot(m) 1.15 1.19 1.25 1.75 1.95 2.05 2.25 2.32 1.79 1.58 1.45 1.26
Tahun
Bulan
wave dir
2012
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
213.1 183.7 197.2 130.3 126.2 115.8 114.7 112.8 113.7 118.5 141.9 158.4
Htot(m) 1.17 1.2 1.23 1.48 1.68 2.27 2.34 2.25 1.89 1.78 1.57 1.38
Tahun
Bulan
wave dir
2013
Januari Februari Maret April Mei Juni Juli Agustus September Oktober November Desember
208.8 204.7 202.2 219.7 113.4 113 115.2 113.9 122.6 116.4 158.4 180.9
Htot(m) 1.21 1.19 1.15 1.26 1.85 2.23 2.5 2.21 1.98 1.78 1.67 1.43
24
Lampiran 7 Jumlah dan produksi hasil perikanan laut nelayan Bajoe tahun 2002-2013
Tahun 2002 2003 2004 2005 2006 2007 2008 2011 2012 2013
Pendaratan ikan Jumlah (kg) Nilai (Rp) 19126 114753000 19980 119880000 20855 125127900 21763 163223063 22338 167532188 18364 183635500 17479 174792750 27773 416593275 26271 472878000 22248 489456000
25
RIWAYAT HIDUP Penulis bernama Nurmujahidah Syamsuddin dilahirkan di Ujung Pandang, 28 September 1992. Penulis merupakan anak pertama dari empat bersaudara, anak dari pasangan Drs. H Syamsuddin HS dan Hj. ST Nurliah Y SPd. Penulis telah menempuh pendidikan Taman Kanak-Kanak di TK Dharmawanita (1997-1998), SD Negeri Centre No. 57 Mangadu (1998-2004), SMP Negeri 1 Marbo (20042007), SMA Negeri 1 Takalar (2007-2010). Kemudian pada tahun 2010, penulis melanjutkan pendidikannya di Institut Pertanian Bogor, Departemen Geofisika dan Meteorologi dengan jalur Ujian Seleksi Masuk IPB (USMI). Selama mengikuti pendidikan di IPB, penulis aktif dalam beberapa organisasi kampus diantaranya staff divisi infokom Cybertron tahun 2010-2011. Sekretaris II club fotografi Shutter tahun 2010-2011. Bendahara komisi 2 Dewan Perwakilan Mahasiswa FMIPA IPB tahun 2011-2012 dan 2012-2013. Penulis juga aktif mengikuti berbagai kepanitiaan diantaranya staff divisi Acara MIPA Go GREEN tahun 2011, staff divisi Publikasi dan Dokumentasi Musyawarah Cabang IKAMI SULSEL Cabang Bogor tahun 2011, staff divisi publikasi dan dokumentasi Shutter tahun 2011, staff divisi publikasi dan dokumentasi perayaan Hari Kartini tahun 2011, staff divisi acara Masa Perkenalan Kampus Mahasiswa Baru (IPB) IPB, ketua divisi humas dan acara Sidang Umum LK FMIPA IPB tahun 2012, koordinator divisi acara Gebyar Nusantara IPB OMDA Sulsel tahun 2012 dan 2013, ketua pelaksana sekaligus ketus divisi acara Festival Bunga dan Buah Nusantara (FBBN) tahun 2013. Penulis juga aktif mengikuti berbagai seminar diantaranya Seminar dengan tema “see the world and realize your dream for a better life” di International Scholarship Education Expo (ISEE), Seminar dengan tema “the power of local resources to support food security, food diversification, and food safety di International Association Students in Agricultural and Related Sciences (IAAS) world congress, kuliah umum dan diskusi FEMA TALK dengan tema “Politik Pangan dan Reposisi Bulog Pasca Revisi UU Pangan”, Seminar Meteorologi dan Klimatologi dalam rangka memperingati Hari Meteorologi Dunia yang ke 64, Seminar dan pelatihan pembuatan film dokumenter Eagle awards 2011. Tahun 2013 penulis magang dibagian observasi dan instrumentasi Stasiun Meteorologi Penerbangan Bandara Supadio Pontianak. Tahun 2014 penulis sebagai delegasi Sulawesi Selatan dalam acara Future Leader Summit. Tahun 2014 penulis mengikuti Program Kreativitas Mahasiswa, proposal didanai DIKTI dengan judul “Eureka (Replika Khatulistiwa): Edukasi Jelajah Nusantara sebagai Wujud Pelestarian Warisan Budaya Indonesia, Berdesain Elegan, Edukatif, dan Modern dari Limbah Kayu”.