KERANGKA SISTEM PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN (Payment for Environmental Services, PES)
DAS ASAHAN TOBA PROVINSI SUMATERA UTARA
Cost Sharing
: - BP DAS Asahan Barumun - Private Sector (PT. Inalum, PT. TPL, PT. Aqua Farm, PHRI, dll) - SKPD Wilayah Kabupaten/Kota DAS Asahan Toba Didukung Pendanaan : GEF – UNDP Melalui Project : SCBFWM
Robert Tua Siregar, Ph.D Lokal Consultant Payment for Environmental Services (PES) Development Plan Policy Specialist Pascasarjana Program Perencanaan Wilayah dan Kota Universitas Simalungun, Pematangsiantar E-mail:
[email protected] Project SCBFWM – Regional North Sumatera, 2013
Publikasi ini terlaksana atas dana dari Proyek Strengthening Community Based Forest and Watershed Management (SCBFWM) Regional Sumatera Utara, 2013 Semua dokumentasi dan foto dalam publikasi ini adalah hak penulis kecuali disebutkan sumber lain.
PROJECT SCBFWM REGIONAL SUMATERA UTARA, 2013
KATA PENGANTAR Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa dengan segala rahmatnya sehingga dokumen kerangka Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Asahan Toba khususnya di DAS Asahan Toba Provinsi Sumatera Utara ini dapat dipublikasikan. Dokumen ini memuat kajian tentang rencana pengolahan DAS terpadu dengan dukungan pembiayaan jangka panjang. Kita menyadari banyaknya bencana nasional yang melanda negeri ini sebagai dampak dari terjadinya degradasi lingkungan seperti banjir, kekeringan dan tanah longsor yang mengakibatkan kerugian material bahkan hilangnya nyawa manusia yang kesemuanya diakibatkan oleh kecerobohan dalam mengelola DAS. Tanggung jawab pengelolaan lingkungan hidup bukan semata-mata menjadi tanggungjawab pemerintah melainkan tanggung jawab kita bersama. Pelestarian hutan dan DAS membutuhkan koordinasi dan biaya yang besar. Konsep Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment for Environmental Services = PES) diajukan merupakan solusi yang kreatif untuk jangka panjang. Akhirnya kami mengucapkan terimakasih kepada UNDP, GEF, Departemen Kehutanan dan SCBFWM Regional Sumatera Utara yang menyediakan dana dan memberi kesempatan kepada kami untuk menyusun dokumen ini. Dan secara khusus kepada jajaran Pemerintah Provinsi Sumatera Utara atas penyediaan data, informasi dan masukan konstruktif. Semoga ada manfaatnya. Pematang Siantar,
Juli 2013
Robert Tua Siregar Local Consultant PES
SAMBUTAN SEKRETARIS BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN DAERAH PROVINSI SUMATERA UTARA Kami menyambut baik penerbitan “Dokumen Kerangka Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment for environmental services, PES) di DAS Asahan Toba khususnya DAS Asahan Toba Provinsi Sumatera Utara, sebagai wujud nyata kerjasama Pemerintah Provinsi Sumatera Utara dengan pihak SCBFWM Regional Sumatera Utara. Dokumen ini memiliki nilai penting sebagai refrensi dalam menyusun rencana pembangunan, khususnya menyangkut pengelolaan DAS. Kami yakin analisis berbagai permasalahan yang dibahas dan disajikan dalam dokumen ini dapat mewakili semua permasalahan menyangkut DAS yang terbentang luas di Provinsi Sumatera Utara. Kami menyampaikan apresiasi dan ucapan terimakasih kepada Kepala BPDAS Asahan Barumun dan SCBFWM Regional Sumatera Utara yang telah memberi kepedulian terhadap pengelolaan DAS dan tambahan referensi dalam perencanaan pembangunan daerah. Akhirnya kami berharap publikasi ini bermanfaat bagi semua pihak yang membutuhkannya. Medan,
Juli 2013
Sekretaris BAPPEDA Provinsi Sumatera Utara
Drs. M. Ismael Sinaga, M.Si. NIP:19730824 199203 1 001
SAMBUTAN KEPALA Balai Pengelolaan DAS ASAHAN BARUMUN Kita bersyukur dengan terbitnya buku dokumen Kerangka Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Asahan Toba khususnya di DAS Asahan Toba di wilayah Provinsi Sumatera Utara merupakan sumbangan pemikiran dan gagasan tentang pengelolaan DAS terpadu yang didukung dengan pembiayaan jangka panjang. Perlu disadari bahwa degradasi lingkungan telah membawa dampak yang berat dan meningkat dari tahun ke tahun. Dimana deforestasi hutan dan DAS adalah penyumbang terbesar terhadap degradasi dimaksud. Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan (Payment for environmental services) adalah merupakan solusi alternatif yang telah diterapkan baik pada negara maju maupun negara sedang berkembang, dan telah mulai dilaksanakan pada beberapa DAS di Indonesia, kita berharap pelaksanaan sistem yang relatif baru ini dapat berkembang walaupun pelaksanaannya didasarkan kepada kesadaran masingmasing pihak, namun diyakini dapat menjadi solusi dalam jangka panjang. Akhirnya, saya menyampaikan penghargaan dan ucapan terimakasih kepada pihak SCBFWM beserta timnya dan pihak-pihak lain yang telah berpartisipasi sehingga dokumen kerangka sistem pengembayaran jasa lingkungan ini dapat dipublikasikan. Pematang Siantar,
Juli 2013
KEPALA BALAI
Ir. Rukma Dayadi, M.Si NIP. 19671013 199303 1 003
SEKAPUR SIRIH REGIONAL FASILITATOR SCBFWM REGIONAL SUMATERA UTARA Dokumen kerangka sistem Payment for Environmental Services (PES) di DAS Asahan Toba ini adalah merupakan bagian dari rencana yang dibebankan dalam project SCBFWM Regional Sumatera Utara tahun 2013, memuat analisis terhadap masalah, hingga skema pengelolaan jasa lingkungan di DAS Asahan Toba khususnya dan di DAS Asahan Toba umumnya. Kita menyadari bahwa pengelolaan DAS bukan hanya tanggung jawab pemerintah, melainkan tanggung jawab semua lapisan masyarakat beserta para pemangku kepentingan. Dalam publikasi ini telah dibahas berbagai permasalahan DAS beserta alternatif pengelolaannya dalam jangka panjang dalam bentuk skema pembayaran jasa lingkungan. Akhirnya saya mengucapkan terimakasih kepada konsultan yang telah menyusun dokumen kerangka sistem Payment for Environmental Services (PES) ini, dan kita berharap dapat bermanfaat dalam upaya pelestarian lingkungan hidup khususnya pengelolaan DAS. Pematang Siantar, Juli 2013 SCBFWM Regional Sumatera Utara
Ir. M. KHAIRUL RIZAL, M.Si Regional Fasilitator
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ....................................................................................
i
SAMBUTAN KEPALA BAPPEDA SUMATERA UTARA ..............................
ii
SAMBUTAN KEPALA BP DAS ASAHAN BARUMUN .................................
iii
SEKAPUR SIRIH REGIONAL FASILITATOR SCBFWM REGIONAL SUMATERA UTARA.........................................................................................................
iv
DAFTAR ISI .................................................................................................
v
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
viii
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
ix
DAFTAR SINGKATAN .................................................................................
x
BAB I
PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang ......................................................................
I-1
1.2 Isu Strategis ..........................................................................
I-7
1.3 Tujuan ...................................................................................
I-8
1.4 Sasaran Wilayah ..................................................................
I-8
1.5 Batasan Studi........................................................................
I-8
1.6 Metodologi ............................................................................ I-10 1.6.1 Metode dan Pengambilan Data ................................... I-10 1.6.2 Jenis Data .................................................................... I-10 1.6.3 Kerangka Pendekatan ................................................. I-10 1.6.4 Pengumpulan Data ...................................................... I-12 1.6.5 Metode Observasi........................................................ I-12 1.6.6 Metode Wawancara ..................................................... I-12 1.6.7 Kerangka Pemikiran .................................................... I-12 1.6.8 Teknik Penyusunan ..................................................... I-15 1.7 Kajian Karakteristik Wilayah.................................................. I-13 1.8 Kajian Sumber Pembiayaan.................................................. I-16
BAB II
KONSEP
JASA
LINGKUNGAN
DAN
PEMBAYARAN
JASA
LINGKUNGAN DI INDONESIA 2.1 Jasa Lingkungan Hutan ........................................................
II-1
2.2 Defenisi Penting ....................................................................
II-2
2.3 Sifat Jasa Lingkungan ...........................................................
II-3
2.4 Manfaat Ekonomi ..................................................................
II-5
2.5 Prinsip Pengembangan Pembayaran Jasa Lingkungan........
II-7
2.6 Indikator
Target
Jasa
Lingkungan
dan
Pembayaran
Lingkungan (RPJM Nasional 2010 – 2014)........................... BAB III
PENGENALAN
DAN
CONTOH
KASUS
PAYMENT
Jasa II-7 FOR
ENVIROMETAL SERVICES (PES) DI INDONESIA 3.1 PES Sebagai Instrumen Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Berbasis Pasar ........................................................... III-2 3.2 Struktur Mekanisme PES ...................................................... III-4 3.3 PES sebagai Instrumen yang Pro Environment, Pro Growth, Pro Poor dan Pro Job .................................................................. III-7 3.4 Acuan Umum Pelaksanaan PES .......................................... III-8 3.5 Beberapa Contoh Implementasi PES di Indonesia ............... III-11 3.5.1 PJL Sumber Jaya Lampung ........................................ III-11 3.5.2 PJL Lombok ................................................................. III-15 3.5.3 PJL Kuningan .............................................................. III-18 3.5.4 PJL Lainnya ................................................................. III-19 BAB IV
KEADAAN UMUM DAS ASAHAN TOBA 4.1 Karakteristik Wilayah di DAS Asahan Toba .......................... IV-1 4.1.1 Lokasi DAS Asahan Toba............................................ IV-2 4.1.2 Karakteristik Wilayah DAS ........................................... IV-7 4.1.3 Hidrologi dan Kualitas Air ............................................ IV-15 4.1.4 Drainase Wilayah......................................................... IV-21
4.2 Jumlah dan Perkembangan Penduduk ................................. IV-22 4.2.1 Kependudukan ............................................................ IV-22 4.2.2 Mata Pencaharian........................................................ IV-23 4.2.3 Kelembagaan .............................................................. IV-24 4.2.4 Lembaga Formal.......................................................... IV-24 4.2.5 Lembaga Informal ........................................................ IV-24 4.2.6 Identifikasi Masalah ..................................................... IV-24 4.3 Potensi Tanaman Lokal jenis HHBK ..................................... IV-26 4.4 Aliran Sungai dan Penggunaan Air ....................................... IV-27 4.4.1 Aliran Sungai ............................................................... IV-27 4.4.2 Penggunaan Air ........................................................... IV-27 BAB V
KAJIAN SUMBER PEMBIAYAAN 5.1 Dukungan Pembiayaan ......................................................... V-1 5.2 Dukungan Pemerintah Provinsi ............................................. V-3 5.3 Sumber Pembiayaan Lokal ................................................... V-8
BAB VI SKEMA PES SUB-DAS GOPGOPAN ........................................ VI-1 1.
Kesepakatan yang diatur sendiri ........................................... VI-2
2.
Skema Pembayaran Publik ................................................... VI-2
3.
Skema Pasar Terbuka .......................................................... VI-2
4.
Kebijakan dan Strategi .......................................................... VI-9
BAB VII PENUTUP.................................................................................... VII-1 DAFTAR LITERATUR Lampiran I
RENCANA
ASAHAN TOBA
KEGIATAN
PARTIPASI
MASYARAKAT
DI
DAS
DAFTAR TABEL Tabel 2.1 Klasifikasi Barang ........................................................................
II-4
Tabel 2.2 Karakteristik Jasa Lingkaran ........................................................
II-4
Tabel 3.1 Implementasi PJ di Indonesia ...................................................... III-19 Tabel 4.1 Jumlah Daerah Aliran Sungai (Catchman Area / Danau Toba) ... IV-5 Tabel 4.2 Embung di DAS Asahan Toba ..................................................... IV-6 Tabel 4.3 Luas Administrasi DAS Asahan Toba .......................................... IV-7 Tabel 4.4 Panjang sungai setiap ordo DAS Asahan Toba ........................... IV-12 Tabel 4.5 Perbandingan Tata Guna Lahan DAS Toba-Asahan ................... IV-13 Tabel 4.6 Debit Sunagai DAS Asahan Toba................................................ IV-15 Tabel 4.7 Curah Hujan DAS Asahan Toba .................................................. IV-15 Tabel 4.8 Neraca Air di DAS Asahan Toba Eksisting (m3/dt) ...................... IV-19 Tabel 4.9 Parameter Kinerja DAS .............................................................. IV-22 Tabel 4.10 Jumlah Penduduk di Wilayah DAS Asahan Toba ...................... IV-23 Tabel 4.8 Curah Hujan DAS Asahan Toba .................................................. IV-10 Tabel 4.9 Data Tata Air DAS Asahan Toba ................................................. IV-11 Tabel 4.10
Jumlah Penduduk di Wilayah DAS Asahan Toba ................. IV-13
Tabel 4.11
Curah Hujan DAS Asahan Toba ........................................... IV-10
Tabel 4.12
Data Tata Air DAS Asahan Toba .......................................... IV-11
Tabel 5.1 Pembagian Wilayah Kabupaten Kota di Sumatera Utara Menurut Wilayah Pembangunan ................................................................ V-6 Tabel L.1 Pembagian Wilayah DAS Asahan Toba Menurut Penggunaannya L-15
DAFTAR GAMBAR Gambar 1.1
Tahapan Pengembangan PES .............................................
I-9
Gambar 1.2
Kerangka Pendekatan Pengembangan Skema Pembayaran Jam
Lingkungan (PJL) ...................................................................... I-11 Gambar 1.3
Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian............................ I-14
Gambar 1.4
Kerangka Penyusunan Dokumen PES ................................. I-15
Gambar 3.1
Berbagai Tipe Jasa Lingkungan ............................................ III-3
Gambar 3.2
Struktur Mekanisme PES ...................................................... III-7
Gambar 3.3
Langkah Dalam Pelaksanaan PES ....................................... III-10
Gambar 3.4
Skema PJL di Sumber Jaya Lampung Barat ........................ III-13
Gambar 3.5
Skema PJL Lombok Barat .................................................... III-17
Gambar 3.6
Skema PJL Cirebon – Kuningan ........................................... III-19
Gambar 4.1
Peta Wilayah DAS Toba Asahan ......................................... IV-4
Gambar 4.2
Bentuk DAS Asahan Toba Secara Vertikal ........................... IV-8
Gambar 4.3 Bentuk Wilayah Hulu DAS Asahan Toba Secara Horizontal…… IV8 Gambar 4.4
Ketinggian Rata-rata DAS Asahan Toba...............................
IV-10
Gambar 4.5
Gradien Sungai Utama DAS Asahan Toba ...........................
IV-11
Gambar 4.6
Peta Tata Guna Lahan DAS Toba-Asahan (Tahun 2009).....
IV-14
Gambar 4.7
Peta Tata Guna Lahan DAS Toba-Asahan (Tahun 2009).....
IV-14
Gambar 4.8 Debit Rata-rata Bulanan Sungai Asahandi Stasiun Pulau Raja IV16 Gambar4.9 Debit Rata-rata Bulanan Sungai Silau di Stasiun Buntu Pane Tampungan Air .........................................................................
IV-17
Gambar 4.10 Grafik Ketersediaan Air DAS Asahan Toba Eksisting ...........
IV-17
Gambar 4.11 Neraca Air di DAS Asahan Toba Eksisting (m3/dt) ................
IV-20
Gambar4.12Posisi Wilayah Pemerintahan Otonomi dan Perusahaan / Masyarakat IV-29
Gambar 5.1
Sungai Asahan dari Danau Toba Bermuara di Kabupaten Asahan V-7
Gambar 6.1
Ilustrasi Pembagian Jasa Lingkungan .................................. VII-1
Gambar 6.2
DAS Asahan Toba (Hulu – Hilir) ........................................... VII-4
Gambar 6.3
Skema PES DAS Asahan Toba ............................................ VII-7
Gambar L-1
Pengelolaan DAS Terpadu ...................................................
Gambar L-2
Proses Berulang (Interative Process) Perencanaan Pengelolaan
DAS Terpadu ............................................................................ Gambar L-3
L-2 L-6
Kearifan Lokal ....................................................................... L-11
DAFTAR SINGKATAN APBD
Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah
APBN
Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara
Asita
Assosiation of The Indonesia Tour & Travel Agencies
Bappeda
Badan Perencanaan Pembangunan Daerah
BLU
Badan Layanan Umum
BPDAS
Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai
CBO
Community Based Organization
CD
Community Developmen
CSR
Corporiate Social Responsibilities
DAK
Dana Alokasi Khusus
DAS
Daerah Aliran Sungai
DAU
Dana Alokasi Umum
DPR
Dewan Perwakilan Rakyat
DTA
Daerah Tangkapan Air
EPI
Environmental Pervormance Index
GEF
Global Enviroment Facility
HKm
Hutan Kemasyarakatan
ICRAF
International Council for Agriforestry
IMP
Institusi Multipihak
LLASDF
Lalu Lintas Air Sungai Danau dan Ferry
LSM
Lembaga Swadaya Masyarakat
MEA
Millenium Ecosystem Assessment
Monev
Monitoring dan Evaluasi
MoU
Memorandum of Understanding
NET
Nilai Ekonomi Total
NGO
Non Goverment Organization
PDAM
Perusahaan Daerah Air Minum
PDRB
Pendapatan Domestik Regional Bruto
Perda
Peraturan Daerah
PES
Payment for Environmental Services
PHRI
Persatuan Hotel dan Restauran Indonesia
PJL
Pembayaran Jasa Lingkungan
PLTA
Pembangkit Listrik Tenaga Air
PMA
Penanaman Modal Asing
PMDN
Penanaman Modal Dalam Negeri
PPLH
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup
PSDA
Pelestarian Sumber Daya Alam
PT
Perseroran Terbatas
RPJM
Rencana Pembangunan Jangka Menengah
RUPES
Rewards for Upland Poor Enviromental Services
SCBFWM
Strengthening Community Based Forest and Watershed Management Project
SDH
Sumber Daya Hutan
SKPD
Satuan Kerja Perangkat Daerah
UNDP
United Nations Development Programme
USAID
United States Agency for International Development
WTA
Willingness to Aecept
WTP
Willingnes to Pay
WWF
World Widife Fund
I 1.1.
Latar Belakang Pelaksanaan
pembangunan
selama
ini
secara
umum
telah
berhasil
meningkatkan kesejahteraan masyarakat baik dari segi kualitas maupun kuantitas dalam kondisi jumlah penduduk yang semakin meningkat. Namun sebagian dari pelaksanaan
pembangunan
yang
memanfaatkan potensi sumber
ternyata berdampak pada terjadinya kerusakan atau penurunan
daya alam
kualitas daya
dukung lingkungan karena tidak diiikuti dengan upaya pelestarian lingkungan. Meningkatnya kerusakan
lingkungan
mengakibatkan
terjadinya
bencana lingkungan. Kebutuhan
penduduk
makin meningkat.
Peningkatan
air
meningkatnya
untuk
itu terjadi
memenuhi bukan
hanya
ancaman aktivitas karena
penduduk yang bertambah, tetapi juga karena aktivitas yang membutuhkan air m eningkat, seperti kawasan industri, perdagangan, pendidikan, pariwisata, dan sebagainya. Peningkatan kebutuhan air yang mencapai 4-8% pertahun perlu diantisipasi secara baik agar tidak terjadi krisis air dimasa mendatang. Untuk menghadapi meningkatnya kebutuhan air dan kompetisi penggunaaan air yang semakin ketat maka diperlukan pengelolaan sumberdaya air yang memadai. Masyarakat miskin dunia banyak yang hidupnya bergantung pada alam, kadangkala mereka mengeksploitasi alam dengan cara yang tidak bijak membuat alam rusak. Kerusakan alam akan membuat mereka menjadi lebih menderita dan pilihan mata pencaharian mereka juga akan terus berkurang. Dalam menanggulangi degradasi lingkungan, salah satunya dapat dilakukan melalui pemanfaatan jasa lingkungan. Pengakuan terhadap jasa lingkungan bermakna ganda yaitu perlindungan lingkungan
dan pemberantasan kemiskinan. Perubahan struktur pemberian insentif akan dapat mewujudkan perubahan perilaku supaya lebih kondusif bagi penyediaan jasa lingkungan yang dimungkinkan dengan adanya penegakan peraturan, pemberian imbalan yang seimbang, dan tekanan moral yang berjalan seiring. Pemanfaatan jasa lingkungan ini melalui pembayaran (imbalan) jasa lingkungan atau Payments for Environmental Services (PES). Pembayaran jasa lingkungan merupakan transaksi sukarela untuk jasa lingkungan yang telah didefinisikan secara jelas (atau penggunaan lahan yang dapat menjamin jasa tersebut), dibeli oleh sedikit-dikitnya seorang pembeli jasa lingkungan dari sedikit-dikitnya seorang penyedia jasa lingkungan, jika dan hanya jika penyedia jasa lingkungan tersebut memenuhi persyaratan dalam perjanjian dan menjamin penyediaan jasa lingkungan. Hal ini sesuai dengan lima kriteria menurut Wunder (2007) yang harus dipenuhi oleh rancangan pembayaran jasa lingkungan, yaitu: 1) Merupakan suatu transaksi sukarela; 2) Jasa lingkungan yang terdefinisikan dengan jelas untuk ditransaksikan; 3) Ada pembeli (minimal satu); 4) Ada penjual (minimal satu); 5) Jika dan hanya jika penjual (penyedia jasa) mengamankan ketentuan-ketentuan jasa secara terus menerus. PJL dapat digambarkan dengan mengambil contoh perusahaan pembangkit listrik tenaga air (PLTA) yang membayar masyarakat di hulu di daerah aliran sungai (DAS)-nya untuk menjaga tutupan hutan. Pembayaran ini dapat membuat pengelolaan DAS lebih baik, sehingga DAS dapat menyediakan jasa lingkungan yang lebih baik dengan mengurangi erosi tanah dan mempertahankan kesinambungan penyediaan air. Dengan cara ini, biaya operasional untuk mengeruk bendungan berkurang, dan kemampuan untuk menghasilkan tenaga listrik pada musim kemarau bertambah.Daerah Aliran Sungai di Indonesia mengalami kerusakan lingkungan dari tahun ke tahun. Kerusakan Lingkungan pada Daerah Aliran Sungai (DAS) meliputi kerusakan pada aspek biofisik atau pun kualitas air. Selain mempunyai fungsi
hidrologi, sungai juga mempunyai peran dalam menjaga Keanekaragaman hayati, nilai ekonomi, budaya, transportasi, pariwisata dan lainnya. Saat ini sebagian Daerah Aliran Sungai mengalami kerusakan akibat dari perubahan tata guna lahan, pertumbuhan jumlah penduduk serta kurangnya kesadaran masyarakat terhadap pelestarian Lingkungan DAS. Gejala kerusakan lingkungan DAS dapat dilihat dari penyusutan luas hutan dan kerusakan lahan terutama di kawasan lindung disekitar Daerah Aliran Sungai. Data dari Kementerian Kehutanan Republik Indonesia menyatakan kerusakan hutan pada periode tahun 1985 – 1997 mencapai 1.6 juta ha/tahun, meningkat menjadi 3.8 juta ha/tahun pada periode tahun 1997-2000. Dan pada periode 20042009, seperti yang diberitakan harian Bisnis Indonesia tanggal 19 Mei 2010, angka deforestasi di Indonesia mencapai 1.17 ha/tahun. Keadaan ini menggambarkan bahwa upaya rehabilitasi hutan tidak sebanding dengan kerusakan hutan yang akan semakin merebak jika tidak segera ditanggulangi. Kerusakan Sumber Daya Alam Hutan sudah berada dalam taraf mengkhawatirkan. Dampak kerusakan DAS mengakibatkan kondisi kwantitas (debit) air sungai menjadi fluktuatif antara musim penghujan dan musim kemarau. Selain itu juga penurunan cadangan air serta tingginya laju sedimentasi dan erosi. Dampak yang dirasakan kemudian adalah banjir dimusim penghujan dan kekeringan dimusim kemarau. Menurunnya kualitas air sungai yang mengalami pencemaran yang diakibatkan oleh erosi dari lahan kritis, limbah rumah tangga, limbah industri, limbah pertanian (perkebunan) dan limbah pertambangan. Pencemaran air telah menjadi masalah tersendiri yang sangat serius. Undang-undang RI nomor 41 tahun 1999 tentang kehutanan menyebutkan bahwa penyelenggaraan kehutanan yang bertujuan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat adalah dengan meningkatkan daya dukung Daerah Aliran Sungai (DAS) dan mempertahankan kecukupan hutan minimal 30% dari luas Daerah Aliran Sungai (DAS) dengan sebaran proporsional. Sedang yang dimaksud dengan Daerah Aliran Sungai (DAS) didefenisikan sebagai suatu wilayah daratan yang merupakan
suatu kesatuan dengan sungai dan anak-anak sungainya, yang berfungsi menampung, menyimpan dan mengalirkan air ke danau atau ke laut secara alami. Berdasarkan pengertian dari defenisi tersebut maka Daerah Aliran Sungai (DAS) merupakan suatu wilayah daratan atau lahan yang mempunyai komponen topografi, batuan, tanah, vegetasi, air, sungai, iklim, hewan, manusia, aktifitasnya yang berada diatas dan dibawah tanah. Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah upaya dalam mengelola hubungan timbal balik antara sumber daya alam terutama vegetasi tanah dan air dengan sumber daya manusia di Daerah Aliran Sungai (DAS) dan segala aktifitasnya untuk mendapat
manfaat
ekonomi
dan
jasa
lingkungan
bagi
kepentingan
pembangunan dan kelestarian ekonomi Daerah Aliran Sungai (DAS). Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) pada prinsipnya adalah pengaturan tata guna lahan atau optimasi penggunaan lahan untuk berbagai kepentingan secara rasional serta praktek lainnya yang ramah lingkungan sehingga dapat dinilai dengan indicator kunci (ultimate indicator) kuantitas, kualitas dan komunitas aliran sampai pada titik pengeluaran (outlet) DAS. Jadi salah satu karakteristik suatu Daerah Aliran Sungai (DAS) adalah adanya keterkaitan biofisik daerah hulu dengan daerah hilir melalui daur hidrologik. Dalam pembangunan/pelestarian Daerah Aliran Sungai (DAS) disamping usaha-usaha konservatif, juga diharapkan mampu meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitar Daerah Aliran Sungai (DAS) melalui kegiatan pengelolaan dan pemanfaatan serta pelestarian hutan. Dengan meningkatkan pendapatan masyarakat sekitar hutan berarti pengentasan kemiskinan (Sudiono, 1995). Sub Daerah Aliran Sungai (Sub DAS) Gopgopan dengan catchman area mencakup areal mulai dari bagian hulu di pinggiran Daerah Tangkapan Air (DTA) Danau Toba, Kabupaten Toba Samosir, sampai di hilir Sungai Asahan sebagai putusan (outlet) DAS. Kegiatan pembangunan di DAS Asahan Toba, baik di hulu maupun di hilir tergolong sangat intensif dan perubahan perlakuan di area sebagai akibat pertambahan penduduk. Kegiatan pembangunan di DAS Asahan Toba cenderung mengarah pada penurunan kemampuan lahan dalam meresapkan air, dan melindungi tanah dari
erosi, yang pada akhirnya menyebabkan tingginya limpasan permukaan dan erosi. Kejadian penurunan kualitas air tinggi, longsor dan kekeringan merupakan indikator kegagalan dalam mengelola sumber daya alam yang memiliki manfaat publik. Respons atas dampak negative pengelolaan sumber daya DAS Asahan Toba, terutama lahan kritis di catchman area telah menghasilkan banyak rekomendasi dan rumusan
program-program
yang
sasarannya
adalah
memecahkan
masalah
pengelolaan Sub DAS. Penggunaan pendekatan konvensional mengenai masalah lingkungan seperti command and control yang dilaksanakan selama ini belum cukup memadai untuk menangani masalah lingkungan yang relative kompleks, memahami akan defisiensi ini, berbagai lembaga kemudian mencari alternatif dan inovatif untuk mengelola dan melestarikan lingkungan tanpa harus mengorbankan kepentingan ekonomi itu sendiri. Salah satu strategi adalah melalui Payment for Environmental Services (PES) atau Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) yang kini banyak diadopsi baik dari negara maju maupun dari negara berkembang. Untuk mewujudkan integrasi program, kegiatan dan pandangan jangka panjang perlu suatu perencanaan pengelolaan sumber daya DAS Asahan Toba yang disusun secara partisipatif, melibatkan pemangku kepentingan (stake holders), baik dari kalangan masyarakat, birokrasi pemerintahan, kalangan pelaku, komunitas bisnis, maupun individu serta kalangan akademisi dan pemerhati untuk merumuskan strategi (kebijakan dan program/kegiatan). Dengan demikian para pihak terkait mempunyai suatu komitmen untuk memprogramkan dan melaksanakan kegiatankegiatan dalam rangka mencapai tujuan yang telah ditetapkan dan disepakati bersama. Pasar global pun telah terdorong menghargai lingkungan ekosistem hutan walaupun masih dalam serba keterbatasan. Pada umumnya di dunia saat ini telah muncul kesediaan pasar untuk membayar jasa lingkungan hutan seperti : pengaturan tata air, keindahan alam, keaneka ragaman hayati dan rosot karbon. Indonesia yang memiliki luas hutan terbesar ketiga dan kekayaan keaneka ragaman hayati kedua di dunia, tentunya memiliki potensi yang sangat besar yang harus dimanfaatkan dengan
sebaik-baiknya untuk peningkatan kehidupan masyarakat dan lingkungan secara berkelanjutan. Dari berbagai laporan kegiatan, di Indonesia sendiri inisiasi untuk menghargai jasa lingkungan ekosistem hutan telah banyak dilakukan, baik melalui kerjasama lembaga-lembaga domestik maupun dengan dorongan dan bantuan lembaga internasional. Dari laporan tersebut diketahui banyaknya masalah dan kendala terutama akibat lemahnya kondisi pemungkin termasuk insentif pemungkin untuk pengembangannya. Skema jasa lingkungan ekosistem hutan pun tidak bisa digeneralisir tetapi harus disesuaikan dengan karakteristik daerah dan DAS nya sendiri. Secara umum dalam mengembangkan skema ini maka perlu diidentifikasi jasa ekosistem yang disediakan terkait dengan air, juga alat ukur yang dapat dipergunakan untuk mengukur jasa tersebut. Selain itu perlu kelembagaan yang mengawal skema tersebut, terutama aspek organisasi, aturan main dan sumber pembiayaan. Penjelasan hal-hal tersebut merupakan inti dari laporan. Studi PES untuk mengembangkan skema PES di DAS Asahan Toba Kabupaten Toba Samosir yang akan dijelaskan dalam buku ini. 1.2.
Isu Strategis Permasalahan mendasar yang dihadapi di DAS Asahan Toba adalah
degradasi lingkungan akibat perilaku yang tidak memperhatikan kaidah lingkungan serta potensi dampak yang ditimbulkannya bisa menyebabkan personalan sosial lebih kompleks serta perlunya koordinasi pengelolaan serta kurangnya manfaat langsung pengelolaan konservasi lingkungan yang dirasakan oleh masyarakat. Apabila digali lebih cermat, beberapa isu strategis yang menyebabkan kompleksitas di DAS Asahan Toba sebagai berikut : 1. Sinkronisasi program setiap multipihak dalam pengelolaan DAS Asahan Toba; 2. Koordinasi
antar
lembaga
dan
setiap
multipihak
pengelolaan DAS Asahan Toba; 3. Appreciation dan reward bagi pengelola jasa lingkungan;
dalam
optimalisasi
4. Kondisi sosial ekonomi memerlukan insentif.
1.3.
Tujuan Tujuan dari penyusun Dokumen Payment for Environmental Services (PES)
/Pembayaran
Jasa
Lingkungan
(PJL)
adalah
untuk
memberikan
alternatif
pelaksanaan pembangunan wilayah DAS terpadu dalam bentuk kerangka kerja yang dapat diimplementasikan dalam jangka panjang tanpa harus mengorbankan kepentingan ekonomi, baik yang bersifat umum untuk seluruh DAS maupun bersifat khusus atas dasar prioritas. Adapun sasaran spesifik adalah : menyusun dokumen kerangka system pembayaran Jasa Lingkungan di DAS Asahan Toba khususnya di DAS Asahan Toba di Kabupaten Toba Samosir. Dalam jangka panjang dan jangka pendek studi ini bertujuan : Tujuan Jangka Panjang (Goal) “Terwujudnya hubungan hulu-hilir untuk mendukung fungsi DAS Asahan Toba melalui Skema PES dan forum pendukungnya”. Tujuan Jangka Pendek (Program) “Tersosialisasinya alternatif skema PES DAS Asahan Toba kepada pihak terkait beserta forumnya”. 1.4.
Sasaran Wilayah Dokumen kerangka Sistem Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) mencakup
keseluruhan DAS Asahan Toba yang terdiri dari empat kecamatan yaitu kecamatan Lumban Julu, kecamatan Bonatua Lunasi, kecamatan Porsea dan kecamatan Uluan yang merupakan wilayah administratif pemerintah kabupaten Samosir. 1.5.
Batasan Studi Pengalaman dari berbagai negara dan inisiasi nasional dibeberapa daerah
menunjukkan
bahwa
pengembangan
Skema
PES
hingga
suplementasinya
dimasyarakat (lapangan) bukanlah persoalan yang sederhana. Paling tidak terdapat 6 (enam) tahapan untuk dapat mengaktualisasikan nilai potensi jasa lingkungan, seperti
dilukiskan pada gambar 1.1 3. Membangun
4. Legal drafting proces, termasuk proses-proses politik
kesepakatan besaran, mekanisme penerapan, dls
1.Perhitungan
5. Penyusunan
6.PENERAPA
& pengesahan peraturan/ perundangan Skema PES
N PES SECARA LUAS
2. Konsep pengembang an skema PES
alternatifalternatif nilai ekonomi jasa air yang rasional
Lawas Studi PES
Sumber : Dokumen PES DAS Deli dan Progo Gambar. 1.1 Tahapan Pengembangan Skema PES Mengingat kompleksitas tahapan pengembangan Skema PES, ketersediaan waktu dan dana maka studi ini difokuskan untuk pelaksanaan tahap 1 dan 2, yaitu : 1. Perhitungan nilai ekonomi jasa lingkungan yang rasional berdasarkan pengalaman pengembangan PES dan transaksi-transaksi semacamnya di Indonesia dan wilayah studi (DAS Asahan Toba) yaitu nilai kesepakatan yang memungkinkan untuk terealisasi. 2. Menyusun konsep/rancangan pengembangan Skema PES yang isinya secara garis besar dapat dijadikan sebagai acuan-acuan umum dalam menjajagi kemungkinan pengembangan PES di DAS Asahan Toba. 1.6.
Metodologi
1.6.1 Metode dan Pengambilan Data Dalam penulisan dokumen kerangka system pembayaran jasa lingkungan di DAS Asahan Toba ini digunakan data primer dan data sekunder. Data primer yang
dikumpulkan merupakan data kualitatif menyangkut sosial ekonomi, budaya dan kearifan lokal yang dikumpul dari hasil wawancara langsung. Data sekunder yang dikumpul antara lain kondisi umum lokasi penelitian atau data umum yang ada pada instansi pemerintah desa, kecamatan dan kabupaten yang didukung dengan hasilhasil penelitian. Dalam pengambilan sampel digunakan metode sensus sampel yang diambil adalah seluruh Community Based Organisation (CBO) yang ada di lokasi DAS Asahan Toba, DAS Asahan Toba Kabupaten Toba Samosir. 1.6.2 Jenis Data Jenis data yang dikumpulkan yaitu data primer meliputi data karakteristik masyarakat disekitar DAS dan data preferensi terhadap bentuk insef hutan rakyat. Data sekunder yang dikumpulkan adalah data dan informasi mengenai kondisi CBO yang berasal dari laporan instansi pemerintahan yang berhubungan dengan tujuan penelitian. 1.6.3 Kerangka Pendekatan Pada penelitian ini dilakukan pendekatan kualitatif untuk pengkajian pola dan bentuk pemanfaatan jasa lingkungan disekitar kawasan DAS Asahan Toba. Pola pemanfaatan mata air yang dikaji termasuk dalam pengelolaan dan pemeliharaan mata air dan ekosisten disekitarnya oleh masyarakat. Selain pengelolaan dan pemeliharaan
fisik,
system
pengelolaan
meliputi
operasional,
pembiayaan,
kelembagaan, peraturan dan pengawasan, peran serta masyarakat merupakan kajian dari penelitian ini. Secara ekonomi jasa ekosistem dapat dinilai menggunakan instrument penilaian jasa lingkungan ekosistem. Sesuai dengan sifat jasa ekosistem tersebut. Berdasarkan
konsepsi
ekonomis
telah
banyak
dikembangkan
mekanisme
pembayaran jasa ekosistem tidak hanya terbatas pada penyediaan (provisional services), namun juga jasa pengaturan dan jasa ekosistem lainnya. Berdasarkan praktek-praktek pembayaran jasa lingkungan baik di Indonesia maupun di negara lainnya dapat diambil pembelajaran dari kisah sukses dan hambatan serta masalah yang dihadapi untuk membangun strategi meningkatkan efektifitas pembayaran jasa
lingkungan hutan dalam mendorong pencapaian tujuan pembangunan lingkungan. Secara skematis alur pendekatan tersebut disajikan dalam gambar 1.2 Skema Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) difokuskan pada jasa perlindungan DAS, sehingga DAS dijadikan unit pengamatan, sedangkan aspek ekonomi banyak terkait dengan batas politik administrasi pemerintahan, sehingga wilayah pemerintahan juga menjadi unit analisis dalam DAS. Jasa Lingkungan Sifat dan Manfaat Ekonomi
Penilaian Jasa Lingkungan
Pembelajaran dari praktek-praktek Pembayaran Jasa Lingkungan
Karakteristik setempat (DAS Asahan Toba) dalam Pembayaran Jasa Lingkungan Air
Skema Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) yang memungkinkan di DAS Asahan Toba Gambar. 1.2 Kerangka Pendekatan Pengembangan Skema Pembayaran Jasa Lingkungan (PES) 1.6.4 Pengumpulan Data Pengumpulan data primer dilakukan dengan teknik wawancara mendalam (Indepth interview). Dilakukan secara terbuka dan terstruktur, supaya dapat memperoleh informasi yang lengkap. Teknik wawancara secara terstruktur menggunakan panduan pertanyaan dan daftar pertanyaan yang dipersiapkan terlebih dahulu sebelum melakukan wawancara. 1.6.5 Metode Observasi Yaitu pengamatan yang disertai dengan keterlibatan diri dalam kehidupan masyarakat. Metode ini digunakan untuk mengamati secara langsung bagaimana keadaan hutan di DAS dan bagaimana jasa lingkungan dimanfaatkan, apa masalah
yang dihadapi, apa respons masyarakat dalam kaitannya dengan pelaksanaan SCBFWM. 1.6.6 Metode Wawancara Metode ini digunakan untuk menjaring informasi mengenai satu gejala yang berkenaan dengan persoalan yang dihadapi masyarakat dalam usahanya untuk memenuhi kebutuhan hidup dan digunakan untuk
memperoleh data mengenai
Pengelolaan Jasa Lingkungan, apabila data yang diperoleh dirasa masih kurang. 1.6.7 Kerangka Pemikiran Pertanyaan-pertanyaan penelitian yang perlu dijawab antara lain : 1. Bagaimana proses berjalannya mekanisme pembayaran jasa lingkungan? 2. Siapa saja pihak yang terkibat dalam mekanis PJL dikawasan tersebut? 3. Apa saja norma dan peraturan yang diakui para pihak selama berlangsungnya mekanisme tersebut? 4. Apakah keterlibatan para pihak tersebut sudah tepat atau masih terdapat pihak lain yang harusnya dilibatkan dalam mekanisme tersebut? 5. Apa peran-peran, hak dan kewajiban masing-masing pihak? 6. Apa output yang diharapkan? Pertanyaan penelitian tersebut tergambar dalam bagan alur kerangka pemikiran penelitian (Gambar 1.3)
DAS Asahan Toba
Daerah Tangkapan Air, mengontrol aliran air, menjaga wilayah hilir dari banjir dan erosi. Sumber Air Danau Toba, Sumber air irigasi. Keragaman hayati penyerab karbon sumber O2.
Nilai manfaat air untuk Danau Toba, PLTA, industry, pertanian, Rumah Tangga, Peternakan, Perikanan, PDAM, Pariwisata.
Banjir, penurunan debit air untuk irigasi, penurunan debit air danau toba, perubahan kualitas dan kuantitas air
Masyarakat desa kecamatan Lumban Julu, Bonatua Lunasi, Porsea,Uluan -
Pemanfaatan air dari DAS Asahan Toba
Membangun kemitraan untuk upaya konservasi DAS Asahan Toba Meningkatkan mata pencaharian masyarakat desa penyangga dengan inkubasi usaha terpadu Melestarikan nilai sosial budaya
PEMBAYARAN JASA LINGKUNGAN (PJL)
Norma yang meliputi : - Peraturan-peratutan terkait - Perjanjian-perjanjian para pihak
YA
Organisasi yang meliputi : - Pihak-pihak yang terkait - Peran para pihak - Penegakan mekanisme
Kinerja mekanisme PJL : - Realita dilapangan - Studi literatur - Dukungan penelitian - Evaluasi - Manfaat bagi kedua belah pihak
TIDAK
Mekanisme Non PJL
Gambar. ambar. 1.3 Bagan Alir Kerangka Pemikiran Penelitian
1.6.8 Teknik Penyusunan Secara sistematis langkah-langkah utama kegiatan penyusunan dokumen kerangka system pembayaran jasa lingkungan di DAS Asahan Toba adalah : 1) Kajian kerangka karakteristik potensi DAS Asahan Toba, 2) Kajian Sumber Pembayaran, 3) Kajian Legalitas, 4) Model Skema Pembayaran Jasa Lingkungan (Gambar 1.4). Kajian Karakteristik Wilayah
Kondisi Fisik Potensi Lokal
Sumber Pembiayaan Lokal Sumber APBN / APB Provinsi
Kajian Sumber Pembiayaan
Kompesali Lingkungan Daerah Hilir PJL Dunia Usaha Donateur Luar Negeri
ANALISIS
Out Put Dokumen Kerangka PES
Undang-undang Peraturan Pemerintah Kajian Legalitas
Peraturan Daerah Peraturan Desa Kearifan Lokal/Hukum Adat
Gbr. 1.4 Kerangka Penyusunan Dokumen PES 1.7
Kajian Karakteristik Wilayah Kajian karakteristik potensi sumber daya DAS Asahan Toba yang meliputi
kajian sumber daya manusia, bio fisik, penggunaan lahan dan sumber daya sosial budaya. Pengkajian bio fisik dan penggunaan lahan dilakukan melalui kajian terhadap peta-peta, citra satelit, dan laporan-laporan serta observasi lapangan. Kajian sumber daya manusia dan sumber sosial budaya dan mata pencaharian, pemilikan dan penguasa lahan, pranata institusi formal/informal masyarakat, struktur dan instrumen kebijakan lembaga-lembaga pemerintah,
dilakukan dengan wawancara dan diskusi kepada kelompok masyarakat dengan pelaku langsung maupun tidak langsung. Keluaran (output) dari kajian ini adalah informasi tentang pola penggunaan lahan optimal dari sudut teknis, potensi pengembangan dan masalah yang dihadapi dalam penggunaan lahan, potensi sumber daya manusia dan potensi pengembangan lembaga masyarakat. 1.8
Kajian Sumber Pembiayaan Pengembangan potensi bio fisik, penggunaan lahan dan peningkatan kualitas
sumber daya manusia membutuhkan kegiatan diarahkan untuk kelestarian sumber daya alam DAS Asahan Toba tanpa harus merusak hutan dan tidak mengorbankan kepentingan ekonomi, dibutuhkan dukungan dana yang relatif besar, konsisten dan berkesinambungan. Diinfentarisasi alternatif-alternatf sumber dana baik dalam bentuk uang tunai maupun dalam bentuk bukan uang. Dengan mempedomani RPJM Pembangunan Nasional, peraturan perundang-undangan yang berlaku. Dilakukan kajian terhadap Alokasi Anggaran yang berpihak kepada pertumbuhan, kemiskinan, lapangan kerja dan kelestarian lingkungan. Keluaran dari kajian ini adalah adanya masukan kepada pemerintah menyangkut kebijakan fiskal dimana karakteristik wilayah DAS disamping luas wilayah; topografi, kontur dan peranannya sebagai provider jasa lingkungan dimasukkan sebagai indeks kemahalan atau entri poin dalam penetapan dana perimbangan.
II 2.1.Jasa Lingkungan Hutan Menurut Millennium Assessment (2003) “Hutan merupakan suatu ekosistem yang dapat berperan dalam merubah dimensi utama dari ‘ill being’ menjadi ‘human being’”. Perobahan tersebut dari powerlessness, bad social relations, material lack, poor helth, dan vulnerability menjadi freedom of choise anaction, good social relation, materially enough for a good life, good health dan security. Dr. Olman Sequre Bonilla dari International Center in Economic Policy for Sustainable Development (CINPE) Costa Rica, mengidentifikasi jasa lingkungan hutan sebagai berikut : 1) Penyedia hasil hutan kayu; 2) Penyedia hasil hutan bukan kayu; 3) Pengatur siklus hidrologi; 4) Perlindungan tanah dan kwalitas air; 5) Pengendalian angin dan kebisingan; 6) Penyedia keindahan bentang alam; 7) Penyediaan rekreasi ekowisata; 8) Penyediaan kebudayaan dan religi; 9) Pengatur iklim
mikro;
10)
Penyeimbang
perubahan
iklim;
dan
11)
Perlindungan
keanekaragaman hayati. Jasa-jasa ekosistem hutan diklasifikasikan menurut fungsinya, sebagai berikut : 1. Fungsi pengadaan meliputi : a. Bahan pangan, b. Air, c. Bahan bakar, d. Bahan serat, e. Bahan ornament, f. Sumberdaya genetic, g. Sumber daya bio kimia, h. Sumber daya obat-obatan alami; 2. Fungsi pengaturan meliputi : a. Kwalitas udara, b. Iklim, c. Air (kwalitas), d. Pengendalian erosi, e. Pengendalian penyakit manusia, f. Kontrol biologi, g. Penyerbukan, h. Perlindungan badai;
3. Fungsi kebudayaan meliputi : a. Keanekaragaman budaya, b. Nilai-nilai keagamaan dan spiritual, c. Sistem pengetahuan (tradisional dan formal), d. inspirasi, e. Nilai-nilai estetika, f. Hubungan social, g. Arti suatu tempat, h. Nilai warisan budaya, i. Rekreasi, j. Ekowisata; dan 4. Fungsi penunjang meliputi : a. Produksi oksigen, b. Formasi dan retensi tanah, c. Siklus nutrisi, d. Siklus air, e. Habitat, dan f. Produksi primer. 2.2.
Defenisi Penting Jasa lingkungan adalah penyediaan, pengaturan, penyokong proses alami dan
pelestarian nilai budaya oleh seksesi alamiah dan manusia yang bermanfaat bagi keberlangsungan kehidupan. Empat jenis jasa lingkungan yang dikenal oleh masyarakat global adalah jasa lingkungan tata air, jasa lingkungan keragaman hayati, jasa lingkungan penyebaran karbon dan jasa lingkungan keindahan lanskap. Penyedia jasa lingkungan adalah (a) Perorangan, (b) Kelompok Masyarakat, (c) Perkumpulan, (d) Badan Usaha, (e) Pemerintahan Daerah, (f) Pemerintah Pusat yang mengelola lahan yang menghasilkan jasa lingkungan serta memiliki izin atau alas hak atas lahan tersebut dari instansi yang berwenang. Pemanfaat jasa lingkungan adalah (a) Perorangan, (b) Kelompok Masyarakat, (c) Perkumpulan, (d) Badan Usaha, (e) Pemerintahan Daerah, (f) Pemerintah Pusat yang memiliki segala bentuk usaha yang memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi pokoknya. Pemanfaatan jasa lingkungan diluar Yurisdiksi Hukum Indonesia tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pembayaran jasa lingkungan yang lazim disebut PES adalah Pemberian imbal jasa berupa pembayaran finansial dan non finansial kepada pengelola lahan atas jasa lingkungan yang dihasilkan. Sistem pembayaran jasa lingkungan adalah mekanisme pembayaran finansial dan non finansial dituangkan dalam bentuk kontrak hukum yang berlaku meliputi aspek-aspek legal, teknis maupun operasional. Komponen system PJL adalah : (a)
Jasa Lingkungan yang dapat diukur, (b) Penyedia, (c) Pemanfaat, (d) Tata Cara Pembayaran. Tujuan pembayaran finansial dan non finansial lingkungan adalah : 1. Sebagai alternatif sistem produksi dan
pengelolaan lahan lebih ramah
lingkungan; 2. Sebagai upaya meningkatkan kesejahteraan pengelola lahan; 3. Sebagai upaya perlindungan lingkungan dan pengelolaan sumber daya alam untuk pembangunan ekonomi social yang lestari 2.3
Sifat Jasa Lingkungan Sebagian besar jasa lingkungan mempunyai sifat “tidak memilah” (non
excludable), yakni tidak ada kwalifikasi yang dapat membedakan konsumen yang memenuhi dan yang tidak memenuhi kwalifikasi. Semua konsumen kwalifiksi dapat menikmati barang dan jasa yang berciri “tidak memilah”. Banyak jenis sumber daya alam yang mempunyai ciri barang publik (public goods) atau cadangan bersama (common public). Barang publik dicirikan oleh sifat “tidak memilah” dan “tidak bersaing” (non rivalry). Sedangkan cadangan bersama dicirikan oleh sifat “tidak memilah” dan “tidak bersaing” (nonrivally). Tabel 2.1 dan 2.2, udara bersih adalah contoh barang publik, sedangkan ikan di sungai adalah contoh barang cadangan bersama.
Tabel 2.1 Klasifikasi Barang Memilah Bersaing
Tidak Bersaing
Tidak Memilah
Barang Privat
Cadangan Umum
(Private Goods)
(Common Pool Goods)
Barang Kelompok
Barang Publik
(Club Goods)
(Public Goods)
Tabel 2.2 Karakteristik Jasa Lingkungan
Jasa Lingkungan
Memilah
Bersaing
Jasa tata air
Ya / tidak
Ya
Jasa biodiversity
Ya / tidak
Ya
Tidak
Tidak
Ya
ya
Jasa penimpaan dan penyerapan karbon Jasa keindahan bentang alam
Tabel 2.2 menunjukkan bahwa beberapa jasa lingkungan bersifat memilah dan beberapa yang lain bersifat tidak memilah. Sebagian jasa tata air bersifat memilah dan sebagian yang lain tidak memilah. Regim air dan kualitas air sungai bersifat tidak memilah, artinya setiap orang dapat menggunakan air sungai tersebut untuk transportasi dan menggunakan airnya untuk kebutuhan domestiknya tanpa harus membayar. Sementara itu air bersih yang keluar dari mata air bersifat memilah. Hanya pihak yang memiliki kualitas tertentu yang dapat memanfaatkan air tersebut. Terhadap regim dan kualitas air sungai, mekanisme pasar tidak dapat digunakan. Sedangkan untuk air bersih dari mata air mekanisme pasar akan bekerja dengan baik. Jasa biodiversity ada yang bersifat memilah ada pula yang bersifat tidak memilah. Sifat kepemilahan ini tergantung terutama pada ukuran hamparan dimana biodiversity yang dimaksud berada semakin lebar ukuran hamparannya semakin rendah tingkat kepemilahannya. Pengenalan atas karakteristik jasa ini sangat penting, khususnya berguna untuk menambahkan mekanisme pembayaran jasa. Terlebih lagi kegiatan produksi kehutanan umumnya menghasilkan produk ganda. Apabila produk utama yang menjadi tujuan kegiatan produksi kehutanan adalah barang atau jasa yang bersifat memilah, maka jasa produk yang lain yang bersifat tidak memilah dapat dimasukkan kedalam harga produk yang bersifat memilah tadi. Sebagai contoh konsumen kayu bukan hanya memperoleh kayu tetapi juga udara yang mengandung C02 rendah yang umumnya belum dibayar. Jasa kualitas udara yang lebih baik ini ditambahkan kepada harga kayu, sehingga harga kayu
harus dibayar konsumen menjadi lebih tinggi. Instrument pasar dalam bentuk kebijakan fiskal dapat digunakan untuk memecahkan problem ini. 2.4
Manfaat Ekonomi Manfaat ekonomi adalah nilai manfaat yang dinikmati oleh masyarakat
(pengguna). Terdapat dua alasan penilaian ekonomi. Pertama, menunjukkan bahwa ekosistem berperan dalam perencanaan pada tingkat ekonomi makro, dan kedua menunjukkan bahwa jasa ekosistem secara keseluruhan berperan dalam pembuatan alokasi keputusan yang efisien pada tingkat mikro ekonomi (Pearce dan warford 1993). Pearce ct al (1989) mengelompokkan nilai sumber daya hutan (SDH) dalam tiga macam, yaitu : Nilai penggunaan langsung, yaitu manfaat yang langsung diambil dari SDH, sebagai barang konsumsi atau infput untuk barang konsumsi. Jasa hutan dalam klasifikasi MEA 2003 yang termasuk nilai penggunaan langsung adalah “jasa penyediaan”. Nilai penggunaan tidak langsung, yaitu yang secara tidak langsung dirasakan manfaatnya, dapat berupa hal yang mendukung nilai langsung. Jasa hutan dalam klasifikasi MEA, 2003 yang termasuk nilai penggunaan tidak langsung adalah “jasa pengaturan” dan “jasa penunjang”. Nilai non penggunaan yaitu semua manfaat yang dihasilkan bukan dari interaksi secara fisik antara hutan dan konsumen jasa hutan dalam MEA 2003 yang termasuk nilai non penggunaan adalah “kebudayaan”. Sedangkan
Barbier
(1991)
dalam
Bishop
(1994)
menguraikan
nilai
penggunaan selain penggunaan langsung dan tidak langsung menambahkan nilai pilihan yaitu nilai penggunaan langsung dan tidak langsung pada masa datang, dan keberadaan hutan sebagai nilai keberadaan.
Nilai Ekonomi Total (NET) merupakan penjumlahan dari nilai guna langsung, nilai guna tidak langsung dan nilai non guna dengan persamaan sebagai berikut (pearce 1992). NET = Nilai Guna Langsung + Nilai Guna Tidak Langsung + Nilai Pilihan + Nilai Keberadaan
Nilai pilihan mengacu kepada nilai penggunaan langsung dan tidak langsung yang berpotensi dihasilkan dimasa yang akan datang. Hal ini meliputi manfaatmanfaat sumber daya alam yang “disimpan atau dipertahankan” untuk kepentingan yang akan datang (sumber daya hutan yang disisihkan untuk pemanenan yang akan datang) contohnya adalah sumber daya genetik dari hutan tropis untuk kepentingan masa depan.
2.5
Prinsip Pengembangan Pembayaran Jasa Lingkungan Pengembangan pembayaran jasa lingkungan perlu dilakukan dengan
berpegang pada prinsip-prinsip : 1) Efisiensi, 2) Keadilan dan 3) Kelestarian. Ketiga prinsip ini tidak selalu bebas satu dari yang lain, tetapi dalam satu situasi proses saling menguatkan mungkin terjadi dan dalam situasi yang lain, proses trade – off mungkin terjadi. 2.6
Indikator Target Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa Lingkungan (RPJM Nasional 2010 – 2014) 1. Adanya kebijakan dan regulasi nasional yang : -
Mendukung kinerja jasa lingkungan secara komprehensif, meliputi jasa lingkungan tata air, penyerapan karbon, keaneka ragaman hayati dan keindahan lanskap.
-
Bersifat umum dan fleksibel tetapi mampu menyelesaikan masalahmasalah (spesifik dan local).
2. Adanya Komisi Jasa Lingkungan Nasional beraanggotakan para wakil pemangku kepentingan dengan jumlah tidak lebih dari tujuh belas (17) orang terdiri dari unsur pemerintah, akademisi atau pakar, lembaga swadaya masyarakat, bisnis, organisasi masyarakat yang berfungsi : -
Mengatur
dan
menetapkan
kebijakan
umum
pengelolaan
jasa
lingkungan di tingkat nasional, -
Menyusun dan menetapkan pedoman penyelenggaraan pengelolaan jasa lingkungan yang meliputi aspek legal, teknis dan operasional,
-
Memberikan suvervisi dan asistensi kepada lembaga pembiayaan jasa lingkungan,
-
Melakukan
pengawasan
terhadap
lembaga
pembiayaan
jasa
lingkungan, -
Memberikan sanksi administrasi kepada jajaran pengurus lembaga baik melanggar tugas pokok dan fungsi dan
-
Membangun jaringan kerja dengan berbagai pihak terkait.
3. Adanya lembaga-lembaga penyelenggara system PJL yaitu : -
Lembaga
Pembayaran
Jasa
Lingkungan
sebagai
Lembaga
Pembiayaan untuk mengelola jasa lingkungan -
Lembaga Sertifikasi Jasa Lingkungan sebagai Lembaga yang dibentuk sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
-
Lembaga akreditasi jasa lingkungan sebagai lembaga yang berfungsi melakukan akreditasi terhadap lembaga sertifikasi jasa lingkungan
4. Uji coba pengembangan sistem PJL sekurang-kurangnya disepuluh DAS di Indonesia. Catatan Penting : Lembaga-lembaga tersebut tidak harus terdiri dari lembaga bentukan pemerintah tetapi pula memberikan ruang bagi lembaga non pemerintah untuk melaksanakan fungsi-fungsi tersebut diatas.
Berbagai kebijakan untuk meningkatkan kualitas lingkungan hidup sudah banyak diterapkan diberbagai negara di dunia, termasuk Indonesia. Kebijakan berbasis command and control, seperti Kebijakan Baku Mutu Pencemaran, Kebijakan Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) bagi limbah B3 dan lain-lain merupakan skema perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang selama ini kita kenal di Indonesia. Disadari bahwa skema-skema tersebut belum dapat sepenuhnya diandalkan untuk menjaga keberlangsungan kualitas dan kuantitas lingkungan hidup, terbukti dengan masih meningkatnya tred kerusakan dan pencemaran lingkungan hidup di Indonesia. Diperlukan berbagai skema lain yang dapat dijadikan komplemen bagi kebijakan yang ada untuk mendorong laju kecepatan perbaikan kualitas lingkungan hidup Indonesia. Pemerintah melalui Undang-undang No. 32 Tahun 2009, memperkenalkan model perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup yang baru, yaitu instrument ekonomi. Instrument ekonomi lingkungan adalah instrument perlindungan dan pengelolaan lingkungan yang berbasis pasar, instrument ekonomi yang merupakan hal relatif baru di Indonesia. Walaupun beberapa insrumen yang dikategorikan sebagai instrument ekonomi seperti Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) telah banyak diterapkan pada berbagai inisiatif baik dalam lingkungan sektoral maupun local. PES merupakan salah satu instrument yang cukup dikenal, dan diharapkan dapat menjadi salah satu instrument berbasis insentif disentif yang dapat diandalkan bagi perlindungan lingkungan hidup yang berkelanjutan. 3.1.
PES Sebagai Instrumen Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup Berbasis Pasar Sumber daya alam dan lingkungan menyediakan jasa yang sangat bervariasi
bagi keberlangsungan hidup manusia, mulai dari air bersih, udara bersih, keindahan alam, tanah yang subur, hutan sebagai penyerap karbon dan lain sebagainya. Individual, industry dan masyarakat sangat tergantung pada jasa lingkungan ini, mulai dari bahan bakunya, proses produksinya sampai fungsinya (Gambar 3-1.) kebutuhan lingkungan tidak secara serta merta membuat orang menghargai nilai dari sumber
daya alam tersebut secara semestinya, bahkan seringkali menilai jasa lingkungan tersebut dibawah nilainya, atau bahkan tidak bernilai sama sekali. Kondisi seperti ini membuat lingkungan hidup menjadi terdegradasi dengan cepat. Data dari Millenium Ecosystem Assessment (2005) menyatakan bahwa 60% dari jasa di lingkungan yang dipelajari mengalami degradasi lebih cepat dari kemampuan memperbaikinya.
Sumber : Danida, 2011 Gambar 3.1 Berbagai Tipe Jasa Lingkungan Salah satu penyebab utama dari degradasi lingkungan adalah karena sifat sumber daya alam lingkungan yang cendeng bersifat barang publik yang kemudian menimbulkan kegagalan pasar. Dalam situasi seperti ini berbagai instrument kebijakan
konvensional
sering
mengalami
kendala
dalam
melindungi
dan
mempertahankan fungsi-fungsi lingkungan yang tidak terpasarkan. Namun demikian, fungsi pasar sebagai pengatur alokasi dan distribusi barang dan jasa masih dapat digunakan sebagai instrument untuk menghasilkan alokasi yang efisien melalui dukungan kelembagaan. Mekanisme ini dalam khasanah ekonomi lingkungan dikenal sebagai mekanisme “Penciptaan Pasar” atau Market Creation. Secara sederhana pasar yang tidak berfungsi (missing market) karena adanya komponen lingkungan
yang tidak diperdagangkan, dibangkitkan melalui mekanisme “Jual – beli” dengan terlebih dahulu memberikan “nilai ekonomi” pada jasa lingkungan dan kemudian didukung oleh kelembagaan. Untuk menghasilkan pasar tersebut. Salah satu mekanisme seperti itu dilakukan untuk pasar jasa lingkungan yang selama ini dianggap sebagai barang bebas yang kemudian cenderung terjadi over eksploitasi dan over konsumsi. 3.2.
Struktur Mekanisme PES Dasar teori ekonomi dari PES secara konseptual sebenarnya sederhana yaitu
“beneficiary pays” atau penerima manfaat membayar (Pagiola, 2004). Mayrand and Paquin (2004) menyatakan bahwa sesungguhnya tidak ada defenisi PES yang disepakati. Pemahaman mengenai PES selama ini lebih kepada klasifikasi yang berdasarkan jasa lingkungan, struktur, tipe pembayaran dan hal-hal lainnya. Ketiadaan defenisi ini pada akhirnya membuat implementasi PES menjadi sangat beragam. PES pada dasarnya merupakan skema yang bertujuan untuk menyediakan jasa lingkungan yang selama ini dianggap semakin mengalami degradasi, akibat kurangnya apresiasi masyarakat terhadap nilai dari jasa lingkungan dan juga kurangnnya mekanisme kompensasi. Skema PES merupakan mekanisme yang membuat penyedia jasa lingkungan menjadi lebih cost efisien dalam jangka waktu yang lama. Rosa et al (2002) menjelaskan pendekatan PES sebagai berikut : Merupakan pendekatan ekonomi yang berbasis optimisasi, mencari biaya serendah mungkin untuk mencapai tujuan pengelolaan lingkungan; Focus pada pengelolaan ekosistem tunggal seperti penyerapan karbon atau carbon
sequestration,
pengelolaan
hidrologi
DAS
atau
konservasi
keragaman hayati. Merupakan preferensi menyederhanakan skala besar ekosistem, untuk dimiliki beberapa orang untuk mengurangin biaya transaksi dan monitoring. Bertujuan melindungi hak property privat dan memberikan penghargaan (reward) pada pemilik lahan.
Jika dilihat dari mekanisme PES miliki struktur dasar yang secara konsep dapat dikatakan sederhana dan fleksibel dalam berbagai kondisi, sehingga aplikasinya pun sangat bervariasi diseluruh dunia. Seperti diuraikan oleh Paqiola (2003), skema PES dapat dilakukan pada berbagai jenis jasa lingkungan, seperti penyeraban karbon, pengelolaan hidrologi DAS, konservasi keragaman hayati, ataupun kelestarian lanskap untuk ekoturisme yang sebelumnya harus didefenisikan, diukur
dan
dikwantifikasikan
untuk
dihasilkan
dalam
skema.
Pemahaman
pengetahuan mengenai hal ini tentu saja diperlukan untuk membuat skema ini menarik partisipasi dari pemanfaat jasa lingkungan. Dengan demikian identifikasi jasa yang dibutuhkan pemanfaatan pada berbagai tingkatan. Jasa lingkungan dapat dihasilkan dan dimanfaatkan oleh berbagai level penyedia dan pemanfaat dari tingkat lokal, nasional sampai internasional dan dari pemerintah, badan usaha, masyarakat lokal, individual, atau campuran semuanya tergantung dari sifat jasa lingkungan itu sendiri. Secara sederhana, skema struktur dasar PES dapat dilihat pada gambar 3.2 penerima manfaat memberikan pembayaran jasa lingkungan kepada pengguna lahan yang aktivitasnya memberikan dampak pada ketersediaan jasa lingkungan secara berkesinambungan dan juga pembayarannya didisain melalui suatu sistem governance tertentu yang disepakati kedua belah pihak. Pengembangan Skala PES mensyaratkan adanya mekanisme pembiayaan untuk mengelola pendanaan dan pembayaran dari penerima manfaat kepada penyedia jasa lingkungan atau dalam hal ini pengguna lahan. Aliran jasa lingkungan yang dihasilkan diharapkan stabil dan terus menerus dan memberi jaminan pada keberlanjutan jangka panjang sistem. Fleksibiltas Skema PES dapat juga dilihat dari skema pembayaran yang bisa berdasarkan besar luas area yang menjadi subjek perubahan pemanfaatan lahan, atau pada praktek pemanfaatan lahan spesifik. Dapat diarahkan pada area, praktek atau atribut spesifik dengan kriteria-kriteria umum. Skema PES juga dapat dalam bentuk manfaat non moneter pada pemanfaatan lahan seperti training, infrastruktur
atau bantuan diversivikasi pendapatan atau pengembangan pasar (Mayrand & Paquin, 2004)
STRUKTUR GOVERNANCE
Penggunaan Lahan
Penerimaan manfaat [
Mekanisme Pendanaan
Penerimaan manfaat
Mekanisme Pembayaran
Penggunaan Lahan
Penerimaan manfaat
Penggunaan Lahan
Penerimaan manfaat
Penggunaan Lahan
Environmental Services Sumber : Paqiola, World Bank, 2003 Gambar 3.2 Struktur Mekanisme PES 3.3.
PES sebagai Instrumen yang Pro Environment, Pro Growth, Pro Poor dan Pro Job Skema PES pada awalnya memang didisain untuk tujuan pengelolaan
lingkungan,
dan
tidak
didisain
untuk kemiskinan.
Namun
demikian
dalam
perjalanannya ternyata instrument PES memberi peluang bagi masyarakat miskin dipedesaan yang hidup dikawasan hutan untuk dapat terlibat dalam skema ini dan memperoleh tambahan pendapatan baik langsung maupun tidak langsung dalam bentuk uang (cash) atas kegiatan mereka merehabilitasi dan mengkonservasi hutan, atau dalam bentuk pembayaran lainnya seperti peningkatan capacity building mereka melalui pelatihan. Dalam perkembangannya, skema PES terutama di negara berkembang kemudian selain digunakan untuk tujuan konservasi, juga ditujukan untuk manfaat bagi masyarakat miskin di pedesaan. Skema ini digunakan untuk mentransfer sumber daya finansial dari pihak yang membutuhkan jasa lingkungan yang konsisten dan terus menerus kepada masyarakat social dan finansial rapuh. Pengentasan
kemiskinan bukanlah tujuan utama dari program ini, namun dalam disain, proses dan keluaran akhir sebaiknya harus berpihak kepada masyarakat miskin, karena menurut Leimona et al (2009), jika hal ini tidak dilakukan, maka baik tujuan konservasi maupun pengentasan kemiskinan tidak akan dapat dicapai. Skema PES juga secara tidak langsung memberikan kesempatan pekerjaan kepada masyarakat pedesaan melalui kegiatan yang ada dalam Skema PES itu sendiri, masyarakat diberi kesempatan untuk mendapatkan pekerjaan alternative, dari kegiatan mereka yang pada awalnya merambah hutan untuk mempertahankan kehidupan mereka. Secara
makro,
PES
memberi
dampak
lebih
luas
lagi
menyangkut
pertumbuhan ekonomi baik skala lokal maupun nasional, karena peningkatan kualitas lingkungan yang baik akibat dari pengembangan PES ini akan diikuti juga dengan peningkatan kehidupan ekonomi masyarakat secara agregat. Dengan demikian pada dasarnya PES ini merupakan skema yang sudah sejalan dengan arah pembangunan Indonesia yang berbasis pada triple track development : pro growth, pro poor dan pro job dan ditambah lagi dengan arah kebijakan pemerintah dalam kebijakan fiscal 2011 yaitu pro environment. 3.4.
Acuan Umum Pelaksanaan PES Skema PES merupakan kerangka besar dari berbagai langkah-langkah
kegiatan yang sifatnya komprehensip. Langkah awal sekali yang merupakan dasar pelaksanaan PES adalah identifikasi jenis jasa lingkungan yang akan dijual belikan. Iedentifikasi lebih detail lagi untuk deskripsi komoditas jasa lingkungan dalam hal sejenis, spesifikasi teknis, baik kualitas maupun kuantitas. Tahapan selanjutnya adalah penghitungan nilai komoditas/jasa lingkungan ini dengan menggunakan metode valuasi ekonomi standard yang sudah banyak dikenal. Kegiatan selanjutnya adalah identifikasi penyedia dan pemanfaat serta fasilitator/pihak ketiga yang mungkin diperlukan dalam PES ini. Selanjutnya dilakukan analisis institusional yang merupakan kumpulan dari berbagai aspek legal dan kebijakan yang menyangkut pemanfaatan dan pengelolaan jasa lingkungan, kesesuaian peraturan perundang-
undangan dalam pemanfaatan dan pengelolaan jasa lingkungan. Setelah tiga aspek diatas diidentifikasi, langkah selanjutnya adalah merancang Skema PES nya sendiri yang terdiri dari skema disain kontrak kerjasama dan skema system pembayaran. Didalam Skema PES ini juga diatur mengenai beberapa hal penting seperti detail perencanaan pengelolaan PES, Verifikasi Penyediaan Jasa dan manfaat, monitoring dan evaluasi dan juga yang tidak kalah pentingnya adalah skema penyelesaian konflik. Selain itu karena Skema PES ini juga mengandung resiko dan ketidak pastian, dengan demikian manajemen resiko merupakan keniscayaan dalam PES. Gambar 3.3 menjelaskan langkah-langkah dalam mengembangkan Skema PES
meliputi
persiapan,
pengembangan
(identifikasi),
perencanaan
dan
implementasi. Setiap tahap meliputi informasi, komponen, aktor yang terlibat dan kegiatan yang harus dilakukan.
Sumber : Danida, 2011 Gambar 3.3. Langkah dalam Pelaksanaan PES
3.5.
Beberapa Contoh Implementasi PJL di Indonesia Beberapa Contoh Implementasi PJL di Indonesia Implementasi PJL di
Indonesia termasuk yang sudah banyak direferensikan pada tingkat internasional. Kebanyakan memang berkaitan dengan PJL DAS, namun demikian beberapa juga terkait dengan komoditas keanekaragaman hayati, scenic beauty dan bahkan sekarang
ini
sudah
mulai
berkembang
skema-skema
PJL
untuk
carbon
sequestration. Diantara beberapa insisiatif tersebut sudah berjalan, walaupun masih berada pada tahap awal, dan belum dapat dikatakan sebagai PJl yang murni (real PJL), namun demikian seluruh inisiatif tersebut patut diapresiasi, mengingat keberadaannya dapat memberikan dampak positif bagi pengelolaan lingkungan hidup di Indonesia. Berikut ini adalah beberapa inisiatif yang dapat dijadikan sebagai role model bagi pengembangan skema PJL di Indonesia. 3.5.1. PJL Sumber Jaya lampung Sumber jaya yang terletak di Lampung Barat, merupakan sebuah Kecamatan yang berada di wilayah pegunungan Bukit Barisan, dengan area seluas 55.000 Ha dan populasi sebanyak lebih kurang 80.000 penduduk. 40% dari wilayah Sumber Jaya merupakan kawasan hutan lindung dan 10% nya adalah taman nasional. Sumber jaya merupakan wilayah yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai daerah transmigrasi bagi penduduk dari Jawa Barat di tahun 1952. Selanjutnya area ini berkembang sebagai kawasan perkebunan kopi yang cukup terkenal di Lampung. Sejak
dikeluarannya
kebijakan
pemerintah
mengenai
Program
Hutan
Kemasyarakatan (Hkm) di tahun 2007, (Kep Menhut No. P.37/Menhut-II/2007), dimana disebutkan bahwa hutan produksi dan hutan lindung dapat dikelola oleh masyarakat, masyarakat diberikan hak individu atas lahan hutan lindung selama mereka melakukan pengelolaan hutan secara multi strata. Pengelolaan hutan multistrata ini adalah penanaman hutan dengan tumbuhan bervariasi ketinggiannya dari tajuk rendah, sedang sampai tinggi. Selain itu masyarakat juga diharuskan melakukan konservasi air dan tanah dan melindungi area kawasan hutan. Kontrak
HKm ini awalnya dilakukan untuk jangka waktu 5 tahun dan dapat diperpanjang hingga 25 tahun lagi. Petani di Hutan lindung Sumber Jaya, dibagi menjadi beberapa kelompok untuk dapat mengikuti perjanjian HKm. DIbandingkan dengan kawasan lainnya di Provinsi Lampung, HKm Sumber Jaya merupakan kelompok yang paling maju. Dengan batuan dari NGO seperti ICRAF, program HKm di wilayah ini berjalan dengan baik. ICRAF dan the International Fund for Agricultural Development juga memperkenalkan konsep PJL melalui proyek RUPJL (Rewarding Upland Poor for Environmental Services they provide) kepada masyarakat di wilayah ini. Proyek RUPJL mempelajari tiga usulan mekanisme imbal jasa. Pertama skema pembayaran jasa lingkungan yang melibatkan Perusahaan Listrik Negara sebagai pemanfaat jasa lingkungan DAS. Kedua Hak pengelolaan tanah sebagai mekanisme rewards bagi proyek perlindungan DAS dan carbon sequestration. Departemen Kehutanan sebagai pemberi imbal jasa untuk jasa lingkungan dengan cara menerbitkan izin pemanfaatan lahan bagi masyarakat. Masyarakat lokal dan pemerintah melakukan negosiasi untuk hak legal pemanfaatan lahan, sebagai imbal jasa bagi pengelolaan hutan yang lebih baik. ICRAF dan LSM lokal membantu masyarakat untuk mengembangakan skema hutan kemasyarakatan. Ketiga, mekanisme dikembangkan untuk meningkatkan kualitas dari air untuk pemanfaatan domestik, dengan cara memperkenalkan kemungkinan pembayaran langsung. Sejak 2004 2004 RUPJL memberikan bantuan pada masyarakat lokal untuk memperoleh akses HKm. Program HKm memberikan bantuan untuk masyarakat setempat memperoleh akses pada program Hkm. Program HKm memberikan petani land tenure pada hutan lindung untuk ditanami. Sebagai imbalan, petani melakukan kegiatan pertanian yang ramah lingkungan dan melindungi hutan alam sisanya, sehingga lahan hutan akan terus memberikan manfaat perlindungan terhadap keberlanjutan supai air. Program HKm meliputi 70% dari hutan lindung di Sumberjaya, meliputi 6.400 petani dan 13.000 ha areal hutan.
Untuk River Care program, RUPJL mengembangkan pilot project pada masyarakat di salah satu sub-catchment area dan PLTA melakukan mekanisme pembayaran untuk mengurangi sedimentasi. Petani membangun dam dan drainase di hulu. RUPJL membantu dalam melakukan monitoring teknis sedimen. prinsip utama dalam skema ini adalah kondisionalitas (hanya dibayar jika jasa lingkungan diterima), artinya jika hasil monitoring sedimentasi bagus, maka pembayaran akan diberikan. Selama periode kesepakatan, kelompok river care menerima 1000 US Dollar untuk penurunan sedimentasi sebesar 30%, 700 US Dollar untuk penurunan 20% sampai 30%. Gambar di bawah ini adalah skema RUPJL di Lampung Barat.
Gambar 3.4. Skema PJL di Sumber Jaya Lampung Barat Beberapa pembelajaran yang dapat ditarik dari implementasi skema PJL di Sumber Jaya Lampung diantaranya adalah: PJL tipe P to C ini dapat diimplementasikan
secara
sederhana
dengan
perjanjian
Memorandum
of
Understanding letter (MOU) antara Perusahaan Listrik Tenaga Air (PLTA). MOU dibuat untuk setiap antivitas pada jasa lingkungan yang akan dibayar, seperti misalnya pembayaran untuk menurunkan sedimen.MOU berlaku selama periode 1 tahun dan dapat diperpanjang untuk tahun berikutnya jika memungkinkan. MOU
ditandatangani oleh perwakilan dari PLTA sebagai pihak pertama dan perwakilan dari ICRAF. MOU diantaranya memuat hal-hal sebagai berikut: a. Tanggal, bulan dan tahun perjanjian. b. Penyedia dan pemanfaat. Penyedia diwakili oleh ketua kelompok dan pemanfaat diwakili oleh manajer perusahaan. c. Validation time. d. Bentuk kerjasama, meliputi kewajiban pemanfaat dan penyedia. e. Biaya operasional, tahapan pembayaran, dan teknik transfer payment. f. Detail perencanaan pembagian tugas, lokasi dan skedul. g. Perencanaan penggunaan anggaran. h. Kompensasi. i. Pelaksanaan Kegiatan, termasuk tanggung jawab, hak dan sanksi. j. Monitoring dan evaluasi, termasuk indikator yang akan dievaluasi. k. Penghentian kegiatan dalam kondisi force major atau wan prestasi salah satu pihak. Skema PJL di Sumber Jaya tidak hanya melibatkan uang tunai (cash), tetapi juga dalam bentuk lain, seperti dana bergulir untuk peternakan kambing dan budidaya ikan, pembangunan instalasi mikro hidro dan benih pohon. Sumber dana PLTA adalah anggaran CSR perusahaan yang relatif kecil yaitu 150 juta rupiah per tahun, dan dari dana pengelolaan lingkungan. Untuk mengembangkan mekanisme monitoring dan evaluasi, kedua pihak dibantu oleh ICRAF, khususnya dalam menyiapkan kriteria indikator river care program. Kriteria terdiri dari dimensi fisik, sosial dan ekonomi. Walaupun kriteria ini masih bersifat kualitatif, namun sudah merupakan langkah maju dalam pengembangan PJL di Indonesia. 3.5.2 PJL Lombok Pembayaran jasa Lingkungan (PJL) Di Lombok Barat dilakukan melalui payung hukum PERDA Kabupaten Lombok Barat No. 4 Tahun 2007 Tentang pengelolaan Jasa Lingkungan. Latar belakang dari aplikasi skema PJL di Kabupaten Lombok Barat adalah bermula dari studi valuasi ekonomi WWF di kawasan Gunung
Rinjani pada tahun 2003 yang menunjukkan adanya degradasi lingkungan di kawasan tersebut akibat pemanfaatan ladang berpindah dan juga penebangan liar terhadap pohon untuk tujuan ekonomi. Kawasan tersebut pada dasarnya merupakan sumber air baku bagi masyarakat di kabupaten Lombok Barat dan sekitarnya. Kondisi degradasi memicu penurunan kualitas dan kuantitas air baku, sehingga muncullah ide untuk menggunakan instrumen PJL untuk memperbaiki kondisi kawasan Gunung Rinjani melalui program konservasi. Inisiator dari PJL di Lombok Barat ini adalah LP3ES, WWF, Pemda Lombok Barat (Bappeda, Dinas Kehutanan, PSDA), dan LSM Jayakarta. Untuk tahap awal dilakukan studi willingness To Pay (WTP) dari masyarakat terhadap nilai untuk mengkonservasi kawasan Gunung Rinjani, dengan sampel sebanyak 1500 dari populasi 60000 penduduk Lombok Barat. Studi menunjukkan nilai WTP antara Rp. 500 sd Rp. 5000. Setelah diajukan ke DPRD, disetujui sebesar Rp. 1000,- per kepala keluarga domestik dan Rp. 1500 pelanggan industri/hotel air bersih PDAM. Sampai saat ini PJL dikelola oleh Institusi Multi Pihak (IMP) yang didirikan berdasarkan Keputusan Bupati Lombok Barat Nomor 1072/207/Dishut/2009 Tentang Pembentukan Institusi Multi Pihak. IMP bertanggung jawab kepada Bupati, dengan anggota terdiri dari Kepala Bappeda, Kepala Dinas Kehutanan, Kepala Dinas Kelautan dan perikanan, kepala dinas Pariwisata, Kabag Ekonomi, Kepala Baan Lingkungan Hidup, Kepala Dinas PU dan Tamben, Kepala Dinas Pertanian, Bagian Hukum, Kepala UPT Dephut (BTNGR, BKSDA), Akademisi, Konsepsi, WWF, PDAM, Wakil masyarakat (Forum Kawasan Hutan Sesaot), Pengusaha (DIrektur PT Narmada Awet Muda), dan unsur ASITA. IMP ini dianggap sebagai super body yang memiliki tugas berat selain memfasilitasi uangnya, juga memungut, dengan verifikasi yang ketat bertugas antara lain: •
Menilai dan menyetujui atas kelayakan usulan penggunan d ana pembayaran jasa lingkungan.
•
Mengawasi mekanisme penggunan dana pembayaran jasa lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar objek jasa lingkungan.
•
Melakukan pembayaran
kerjaama jasa
dengan
lingkungan
pihak dan
lain
kegiatan
untuk
penggalangan
pelestarian,
dana
pemeliharaan
kebersihan lingkungan dan pemberdayaan ekonomi masyarakat di sekitar objek jasa lingkungan. •
Memberikan rekomendasi tentang tata cara dan besaran tarif pembayaran jasa lingkungan, dan
•
Menyelesaikan sengketa yang berkaitan dengan penggunaan pembayaran jasa lingkungan. Pola aliran dana PJL seperti tampak pada Gambar 7 di bawah ini adalah dari
masyarakat dipungut oleh PDAM dan masuk ke kas daerah, selanjutnya melalui dinas Kehutanan dana dialirkan untuk management IMP sebesar 25% dan kepada masyarakat melalui kelompok yang telah disetujui propoalnya untuk kegiatan konservsi di wilayah Gunung Rinjani sebesar 75%. Dana konservasi kelompok ini 85% digunakan untuk program restorasi, pembibitan dan sisanya menyangkut kelembagaan serta keiatan ekonomi alternatif seperti pengolahan kopi untuk pekerjaan lain hasil hutan non timber. Untuk penanaman pohon direkomendasikan yang bernilai ekonomi tinggi seperti durian, sukun dll. Sampai saat ini ada 3 kelompok yang melaksanakan kegiatan konservasi dengan dana PJL di kawasan Gunung Rinjani, yaitu untuk kawasan Desa Batu Mekar untuk hutan kawasan Sesau, seluas 6000 Ha berupa kegiatan restorasi bantaran sungai. selanjutnya kelompok Suranadi/Ranget berupa kebiatan pembibitan, dan kelompok Sedau, dengan kegiatan restorasi, pembibitan dan penanaman untuk kawasan seluas 25 Ha.
Gambar 3.5. Skema PJL Lombok Barat
3.5.3 PES Kuningan Cirebon Skema PJL Kuningan Cirebon adalah tipe PJL G to G (antar pemerintah) yang melibatkan dua pemerintah daerah tingkat II yaitu Kota Cirebon dan Kabupaten Kuningan. Kerjasama menyangkut pengelolaan mata air Paniis yang terletak di Kabupaten Kuningan. Mata air ini merupakan sumber bagi air baku masyarakat Kota Cirebon, yang diolah PDAM Kota Cirebon. Melalui perjanjian kerjasana antara Pemda kabupaten Kuningan dan Pemda Kota Cirebon No. 44 tahun 2004/No.690/PERJ.35EKON/2004 tentang Pemanfaatan sumber mata air paniis, Kecamatan Pasawahan, kabupaten Kuningan, Pemda Kota Cirebon memberikan kompensasi air baku kepada Pemda Kabupaten Kuningan. Selanjutnya melalui perjanjian kerjasama Bupati Kuningan dengan walikota Cirebon No. 10 tahun 2009/No. 690/Perj.I-Adm Perek/2009 tentang kerjasama pengelolaan sumber mata air Desa Paniis, kec. Pasawahan, kabupaten Kuningan, kembali dilakukan skema PJL dengan tujuan melestarikan sumber air melalui kegiatan konservasi. Formula perhitungan pembayaran jasa lingkungan per tahun adalah: 6,5% x Tarif air sebelum air diolah bagi pelanggan kota Cirebon x produksi air x kebocoran 25% X 12. Jangka waktu kerjasama adalah 25 tahun. Pembayaran dilakukan per triwulan melalui kas daerah Kabupaten Kuningan. Secara keseluruhan skema tersebut dapat digambarkan pada Gambar berikut ini.
Gambar 3.6. Skema PJL Cirebon – Kuningan 3.5.4 PES Lainnya Berikut ini adalah tabel yang memetakan implementasi PJL lainnya di Indonesia. Implementasi PJL ini beragam dari mulai pemanfaatan jasa lingkungan DAS, Hutan, Biodiversitas genetika dan juga keindahan alam. Tabel 3.1. Implementasi PJL di Indonesia No.
Lokasi
Jasa Lingkungan yang di transaksikan
Stakeholder yang terlibat
Mekanisme
Perlindungan DAS 1.
Cidanau,
Perlindungan
PT. Krakatau Tirta
Pembayaran di sesuaikan
Banten
DAS, Sumber
Industri (KTI)
dengan syarat yang telah
daya Air
(User); Forum
ditentukan yaitu 500 pohon
Komunikasi DAS
per 1 ha lahan per tahun
Cidanau
sebesar Rp 3,5 jt/ha dan
(mediator);
naik Rp 4jt/ha tahun 2007,
Kelompok Tani
PJL yang diterima
No.
Lokasi
Jasa Lingkungan yang di transaksikan
Stakeholder yang terlibat (Providers)
Mekanisme masyarakat sebesar Rp 1,2 jt/ ha/th (P to C)
2.
S ungai
Perlindungan
Perum Jasa Tirta-I
1) Kurun waktu
Brantas,
DAS, Sumber
(User); Kelompok
kesepakatan antara YPP
Malang
daya air
Tani (Providers);
dengan Petani adalah
YPP (mediator)
selama 6 bulan. Setelah berakhirnya kesepakatan tersebut, petani akan melakukan pemeliharaan tanaman dari bantuan tersebut (Rp 44.000.000) meliputi penyulaman, pemupukan, pendangiran, dan penyiraman secara swadaya sampai tanaman mampu menghasilkan buah atau produk lainnya. Hasil panen dari tanaman tersebut sepenuhnya menjadi hak petani. Meskipun demikian, hasil kayu dari penanaman tersebut diperoleh dengan
No.
Lokasi
Jasa Lingkungan yang di transaksikan
Stakeholder yang terlibat
Mekanisme melakukan tebang pilih untuk menghindari degradasi lahan. 2) Dana untuk masing masing kelompok sebesar; Rp. 25.500.000 untuk Desa Tlekung dan sebesar Rp. 9.500.000 untuk Desa Bondongsari serta Rp. 12.000.000 untuk desa Bendosari pada tahap berikutnya. Dana tersebut dibayarkan secara bertahap (G to C)
3.
Danau
Perlindungan
PLN (PLTA)
Pembagian royalti sebesar
Singkarak
DAS, Sumber
(User); Forum
$40.000 per tahun atau $1
daya air,
danau Sentric
per orang per tahun (P to C)
perlindungan
(Mediator);
sedimentasi
masyarakat (Providers)
4.
Gunung
Perlindungan
Kota Cirebon
Dana kompensasi untuk
Ciremai
Sumber daya air (User); Kabupaten konservasi G. Ciremai dari
Kabupaten
Kuningan
Kota Cirebon yang
Kuningan
(Provider)
disepakati adalah Rp 1,75 milyar/tahun (G to G)
No. 5.
Danau
Jasa Lingkungan yang di transaksikan Sumber daya
Toba
Air dan
Lokasi
Rehabilitasi Lahan Kritis
Stakeholder yang terlibat - PT. Indonesia Asahan Aluminium (INALUM) (User), yang menggunakan sumberdaya air yang berasal dari Danau Toba untuk Asahan Hydropower electricity yang mensuplai kebutuhan energi listrik PT. INALUM. Pemerintah kabupaten (Provider) melakukan konservasi dengan biaya dari pemasukan yang didapat dari PT. INALUM. - PT. Toba Pulp Lestari
Mekanisme Ada empat komponen dana untuk konservasi lingkungan yaitu pajak bumi dan bangunan, iuran jasa air, selisih nilai pertukaran rupiah terhadap dollar dari setiap penjualan produk INALUM dan pajak lainnya, Dana terkumpul sebesar Rp 49 Milliar dari keempat komponen pungutan yang sudah ditetapkan (P to G).
CSR, CD yang dialokasikan setiap tahun tunuk 12 Kabupaten/Kota di Sumatera Utara, penyaluran dan pemanfaatannya difasilitasi
No.
Lokasi
Jasa Lingkungan yang di transaksikan
Stakeholder yang
Mekanisme
terlibat
oleh time independen - PT. Aqua Farm
CSR & CD
- PT. Gunung
CSR & CD
Hijau Megah - PHRI
CSR & CD
Pelestarian Kenaekaragaman Hayati 6.
Taman
Perlindungan
Pemerintah
Kelompok tani medapatkan
Nasional
Sumber
(Perum Perhutani)
hak pengelolaan hutan dari
Meru
daya hutan
(User);
Perhutani untuk menanam
Betiri,
ConsorsiumLATIN
atau mengkonservasi
Jember
dan IPB, KAIL
tanaman obatobatan.
(Lokal NGO),
Kelompok tani
pemerintah daerah
diperbolehkan menanam
(mediator)
tanaman pertanian yang
Kelompok tani
direkomendasikan. (C to G)
(Providers)
7.
Tiga Gili
Keindahan alam
Wisatawan lokal
Trawangan, Gili
Penggalan dana konservasi dari wisatawan asing yang akan menyelam sebesar Rp 20.000 per kali kunjungan. Dana dikumpulkan organisasi pengusaha diving (Ecotrust). Selain itu, Asosiasi Pengusaha Tiga
Lombok
bawah
dan asing (Users);
Barat
laut dan daratan
Aliansi Tiga Gili
untuk
(mediator);
pariwisata
Masyarakat dari
Meno and Gili Air)
Gili juga memungut iuran
tiga Gili (Gili
No.
Lokasi
Jasa Lingkungan yang di transaksikan
Stakeholder yang terlibat (Providers)
Mekanisme bulanan dari para pengusaha/ pedagang/ penyedia jasa yang besarnya bervariasi mulai dari Rp 500 sampai Rp 5000. Dana ini digunakan untuk keperluan pengamanan laut dari kegiatan nelayan yang merusak lingkungan. Selain itu, pengusaha diving melalui Ecotrust memberi kompensasi sebesar Rp 3000.000 per bulan kepada kelompok nelayan sebagai konsekuensi dari larangan menangkap ikan pada kawasan tertentu yang digunakan untuk kegiatan diving. (C to C)
4.1. Karakteristik Wilayah di DAS Asahan Toba Program Pembangunan sumber daya air Provinsi Sumatera Utara secara umum dilaksanakan untuk memenuhi kebutuhan pembangunan yang terus meningkat dan semakin memudahkan rakyat mendapatkan dan memanfaatkan air untuk keperluan hidupnya. Pemanfaatan dan pengaturan air beserta sumbersumbernya meliputi usaha penyediaan dan pengaturan air guna menunjang usaha permukiman, pembangunan pertanian, industri, pariwisata, kehutanan, air minum, pencegahan pencemaran dan pengotoran, pengamanan pantai dan pengembangan daerah rawa dan tambak. Pembangunan pengairan di Provinsi Sumatera Utara dilaksanakan melalui peningkatan, perluasan dan pembaharuan usaha pengembangan sumber daya air dan upaya pelestarian serta distribusinya untuk mendukung pertumbuhan ekonomi dan memenuhi kebutuhan air untuk hajat hidup orang banyak, konservasi dan rehabilitasi lahan kritis. Secara terinci, program pembangunan sumber daya air Provinsi Sumatera Utara sebagai berikut : 1. Program Pengembangan Konservasi sumber daya air untuk meningkatkan produktivitas pemanfaatan sumber daya air melalui peningkatan penyediaan prasarana pengairan dan mendayagunakan sumber daya air bagi sebesarbesarnya kemakmuran rakyat; 2. Program Pengembangan dan Pengelolaan Daerah Rawa; 3. Program Sungai, Danau dan sumber air lainnya untuk melestarikan kondisi dan fungsi air sekaligus menunjang daya dukung serta meningkatkan nilai dan manfaat sumber air sehingga dapat dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan; 4. Program pengembangan dan pengelolaan jaringan irigasi; 5. Program penyediaan dan pengelolaan air baku untuk meningkatkan penyediaan air baku serta prasarananya dalam memenuhi air bagi hajat hidup rakyat, baik di daerah kota maupun desa.
Secara administrative wilayah DAS di wilayah Propinsi Sumatera Utara berdasarkan peraturan Menteri PU. No.39/PRT/1989 penetapan dan pembagian wilayah sungai dimaksudkan untuk lebih menjamin terselengga-ranya usaha-usaha perlindungan, pengembangan dan penggunaan air secara menyeluruh dan terpadu pada suatu DAS atau lebih dengan tujuan untuk memberikan manfaat yang sebesarbesarnya bagi kepentingan masyarakat disegala bidang kehidupan dan penghidupan (Soewarno, 2000). 4.1.1 Lokasi DAS Asahan Toba Wilayah Daerah Aliran Sungai (DAS) Asahan -Toba merupakan salah satu wilayah
sungai strategis
nasional di Provinsi
Keputusan Presiden Republik
Sumatera
Indonesia Nomor 12
Utara
Tahun
berdasarkan
2012
tentang
Penetapan Wilayah Sungai, dengan 1 (satu) kesatuan Daerah Aliran Sungai (DAS), yaitu DAS Toba Asahan dengan luas 7.225,45 km2. Dalam
Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 7 Tahun 2004 tentang Sumber Daya Air Pasal 11 ayat
(1)
sumber
disebutkan daya
air
bahwa yang
untuk
dapat
menjamin terselenggaranya
pengelolaan
memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi
kepentingan masyarakat dalam segala bidang kehidupan disusun pola pengelolaan sumber daya air. Pola pengelolaan sumber daya air merupakan kerangka dasar dalam merenca-nakan, melaksanakan, memantau, dan mengevaluasi kegiatan konservasi sumber daya air, pendayagunaan sumber daya air, dan pengendalian daya rusak air di wilayah sungai dengan prinsip keterpaduan antara air permukaan maupun air tanah, dan disusun secara terkoordinasi antar instansi terkait berdasarkan asas kelestarian, keseimbangan fungsi sosial, lingkungan hidup, ekonomi, kemanfaatan umum, keterpaduan, keserasian, keadilan, kemandi-rian, serta asas transparansi dan akuntabilitas. DAS Asahan-Toba terletak pada 02°08' LU sampai 03°12' LU dan 98°53' BT sampai 99°98' BT. Batas-batas administratif DAS Asahan Toba :
Sebelah Timur
:Selat Malaka
Sebelah Selatan:Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Labuhan Batu Utara
Sebelah Barat
:Kabupaten Dairi, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Samosir
Sebelah Utara
:Kabupaten Asahan,Kabupaten Karo dan Kabupaten Simalungun
Gambaran mengenai DAS Asahan Toba disajikan dalam Peta DAS Asahan Toba pada Gambar 1.1.Wilayah Sungai Toba-Asahan meliputi 8 (delapan) Kabupaten dan 1 (satu) Kota terdiri dari: Kabupaten Samosir, Kabupaten Toba Samosir, Kabupaten Dairi, Kabupaten Karo, Kabupaten Simalungun, Kabupaten Asaha,
Kabupaten
Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara dan Kota Tanjung Balai. Peta wilayah administrasi dalam DAS Asahan Toba disajikan pada Gambar 4.1.
Sumber : Keputusan Presiden Nomor 12 Tahun 2012 tentang Penetapan Wilayah Sungai Gambar 4.1. Peta Wilayah Sungai Toba Asahan Dalam DAS Asahan Toba terdapat Danau Toba dengan luas danau ± 1.112,15 km2. Sungai utama dalam DAS Asahan
Toba
adalah Sungai
Asahan dengan
panjang ± 153,82 Km. Wilayah DAS Asahan Toba merupakan bahagian catchman area dengan air yang
masuk ke Danau Toba berasal dari : (1). Air hujan yang
langung jatuh ke danau; (2) Air yang berasal dari sungai-sungai yang masuk ke danau.
Ada 19 buah sungai besar yang mengalir dan bermuara ke Danau Toba yaitu (1) Sungai Sigumbang, (2). Sungai Bah Bolon, (3) Sungai Guluan, (4) (5) Sungai Arun. (6) Sungai Tomok, (7) Sungai Sibandang, (8) Sungai Halian, (9) Sungai Simare, (10) Sungai Aek Bolon, (11) Sungai Mongu, (12) Sungai Mandosi, (13) Sungai Gopgopan, (14) Sungai Kijang, (15) Sungai Silabung, (16) Sungai Ringo, (17) Sungai Prembakan, (18) Sungai Sipultakhuda dan (19) Sungai Silang. Sedangkan Outlet Danau Toba 1 buah Sungai Asahan. DAS Toba dapat ditunjukkan pada tabel berikut : Tabel 4.1 : Jumlah Daerah Aliran Sungai (Catchment Area) Danau Toba 1. 5. 9. 13. 17. 21. 25.
Aek Sigumbang Tongguran Simare Pulau Kecil Tulas Bah Bolon Simaratuang
2. 6. 10. 14. 18. 22. 26.
Aek Haranggaol Gopgopan Halion Silang Aek Ranggo Silabung Sitiung-tiung
3. 7. 11. 15. 19. 23.
Situnggaling Mandosi Sitobu Boding Simala Guluan
4. 8. 12. 16. 20. 24.
Naborsahon Aek Bolon Siparbul Parembakan B. Sigumbang Arun
Sumber : Dinas Pengairan Provinsi Sumatera Utara, 2011 DAS Asahan Toba berada pada daerah Sumatera Utara dengan titik koordinat 2003’-2040’ LU dan 98056’-99040’ BT dan memiliki luas wilayah 295.52 km2 serta memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut : -
Sebelah Utara berbatasan dengan Kabupaten Simalungun
-
Sebelah Selatan berbatasan dengan Kabupaten Tapanuli Utara
-
Sebelah Timur berbatasan dengan Kabupaten Asahan dan Labuhan Batu
-
Sebelah Barat berbatasan dengan Humbang Hasundutan Kabupaten Asahan, Kabupaten Dairi, Kabupaten Humbang Hasundutan ,
Kabupaten Karo, Kabupaten Samosir , Kabupaten Simalungun, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Toba Samosir, Kota Tanjungbalai. Dengan luas 8.569,05 Km2. Wilayah DAS Asahan Toba berada di Dataran Tinggi Bukit Barisan dengan ketinggian 300-2.200 m dpl.
Selain bendungan-bendungan tersebut, bangunan infrastruktur sum-ber daya air yang ada di DAS Asahan Toba di antaranya adalah Embung Aek Pordam dan Embung Sidihoni di Kabupaten Samosir, disajikan pada Tabel 4.2.
Tabel 4.2: Embung di DAS Asahan Toba
Sumber: BWS Sumatera II, Tahun 2010 Secara geografis DAS Asahan Toba terletak pada posisi 2063’ LU dan 99007’ BT secara administrative DAS Asahan Toba berada di Sumatera Utara meliputi Kabupaten Asahan, Kabupaten Dairi, Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Karo, Kabupaten Samosir, Kabupaten Simalungun , Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten
Toba
Samosir,
dan
Kota
Tanjungbalai.
Adapun
luas
administratifnya adalah total 23.026,66 Km2 sebagaimana pada Tabel 4.3.
wilayah
Tabel 4.3 Luas Administrasi DAS Asahan Toba Kabupaten/Kota No. (Regency/City) Wilayah Hulu 1 Dairi 2 Karo 3 Samosir 4 Humbang Hasundutan Wilayah Tengah 5 Tapanuli Utara 6 Simalungun 7 Toba Samosir Wilayah Hilir 8 Asahan 9 Tanjung Balai Jumlah
Luas (Km2) Luas Persentase (%) 1.927,80 2.127,25 2.433,50 2.297,20
8,37 9,24 10,57 9,98
3.764,65 4.386,60 2.352,35
16,35 19,05 10,22
3.675,79 61,52 1.160.536
15,96 0,27 100.00
Sumber : Sumatera Utara dalam angka 2012 (data diolah).
IV
4.1.2. Karakteristik DAS Sementara bentuk fisik dari DAS Asahan Toba adalah : a. Morfologi 1. Bentuk DAS Berdasarkan perhitungan bilai bentuk DAS adalah sebesar 3.9 dengan demikian maka bentuk DAS Asahan Toba bulat seperti pada gambar 4.2 dan 4.3 berikut :
Sumber: BWS Sumatera II, Tahun 2010 Gambar 4.2. Bentuk DAS Asahan Toba Secara Vertikal
Sumber : Google Map, 2013 (data diolah) Gambar 4.3 Bentuk Wilayah Hulu DAS Asahan Toba Secara Horizontal 2. Bentuk Lahan
Dari peta topografi relief DAS Asahan Toba merupakan Raunded Steep Sidelopes adapun topografinya termasuk Retranguler Dendritic dengan Landform berupa Dendritic Retranguler, sedang halus. 3. Pola Aliran Berdasarkan peta diperoleh bahwa Pola Aliran DAS Asahan Toba adalah Retranguler Dendritic. b. Morfometri 1. Kerapatan Drainase Berdasarkan hasil perhitungan diperoleh Kerapatan Drainase di DAS Asahan Toba seluas 0.806 km/km2 semakin tinggi kerapatan sungai maka semakin tinggi Depresions Strorage nya, yang berarti bahwa ketika hujan turun akan semakin banyak air yang tertampung di badan-badan sungai. Hal ini memberikan konsekwensi semakin tingginya tingkat drainase pada DAS tersebut. 2. Keliling DAS Dari perhitungan yang dilakukan diperoleh nilai kerapatan drainase DAS Asahan Toba maka besaran keliling DAS adalah 66.98 km. 3. Lereng (Sloop) Dengan menggunakan contour length method diperoleh nilai kereng untuk DAS Asahan Toba sebesar 39.74%. 4. Ketinggian (Elevation) Ketinggian
(Elevation)
suatu
DAS
sangat
berpengaruh
terhadap
temperature dan pola hujan, khususnya daerah bergunung. Dari hasil perhitungan diperoleh ketinggian rata-rata DAS Asahan Toba adalah 1300 Mdpl untuk selengkapnya disajikan pada Gambar 4.3 berikut :
Sumber : Updating data, 2011 Gambar 4.4 Ketinggian Rata-rata DAS Asahan Toba 5. Pusat Gravitasi Penentuan pusat gravitasi dilakukan dengan metode centroid, untuk DAS Asahan Toba pusat gravitasi terletak pada koordinat BT 20502 Lu 990060. 6. Gradien Sungai Utama Dengan menghitung gradient sungai rata-rata dengan slofe faktor didapat nilai gradient DAS Asahan Toba adalah 2.86, untuk selengkapnya disajikan pada Gambar 4.5 berikut :
Sumber : Updating data, 2011 Gambar 4.5. Gradien Sungai Utama DAS Asahan Toba 7. Panjang Sungai Utama Dari perhitungan yang dilakukan diperoleh nilai panjang sungai utama di DAS Asahan Toba adalah 13.986 km. 8. Jaringan sungai Parameter jaringan sungai dikuantifikasikan dengan
menentukan ordo
sungai (urutan) dari masing-masing alur sungai bahwa penentuan ordo sungai menggunakan metode Strahler dimana sungai yang paling hulu tidak mempunyai cabang disebut ordo pertama (ordo 1). Pertemuan antara ordo 1 denga ordo 1 disebut ordo ke dua (ordo 2), demikian seterusnya sampai pada sungai utama ditandai dengan nomor ordo paling besar. Dengan menggunakan metode ini kemudian dilakukan analisis ordo sungai di wilayah DAS Asahan Toba seperti yang tersaji pada Tabel 4.4 berikut :
Tabel 4.4 Panjang Sungai setiap Ordo DAS Asahan Toba Ordo
Panjang Sungai Meter
Km
1
48.475.552
48.475
2
26.545.746
26.545
3
21.628.428
21.628
Total
96.649.726
96.649
9. Perbedaan Tinggi Ketinggian DAS Asahan Toba diperoleh dari informasi garis kontur. Dari hasil tersebut maka dapat diperoleh bahwa ketinggian terendah 925 Dpl dan tertinggi 2.200 Dpl. 10. Tata Guna Lahan Analisa perubahan penggunaan lahan di DAS Toba-Asahan dilakukan melalui analisa tata guna lahan dengan menggu-nakan citra satelite aster Tahun 2009 yang dibandingkan dengan data dari Bakosurtanal Tahun 2000. Perbandingan tataguna lahan DAS Toba-Asahan tersebut disajikan pada Tabel 4.5.
Tabel 4.5. Perbandingan Tata Guna Lahan DAS Toba-Asahan Jenis Tata Guna Lahan Sawah Permukiman Perkebunan Tegalan/Tanah Ladang Semak Belukar Rawa Perairan Hutan Total
Luas Tahun 2009 Tahun 2010 6,21 7,10 1,19 1,29 16,98 18,16 17,67 18,06 14,42 19,15 5,50 3,17 16,17 16,37 21,87 16,71 100 100
Perbedaan % 0,89 0,10 1,18 0,39 4,73 -2,33 0,20 -5,16
Sumber: Hasil Analisa, Tahun 2012 Berdasarkan Tabel 4.5, dapat diketahui bahwa terjadi perubahan luasan tiap penggunaan. Perubahan terbesar terjadi pada
penggunaan lahan hutan dimana
pada tahun 2000 seluas 1.579,86 km2, berkurang menjadi 1.207,26 km2 pada tahun 2010, atau berkurang 5,16%. Peta tata guna lahan DAS Toba-Asahan pada Tahun 2000 disajikan pada Gambar 4.6, sedangkan tata guna lahan pada Tahun 2011 disajikan pada Gambar 4.7.
Sumber : Dinas PSDA Provinsi Sumatera Utara, Tahun 2010 Gambar 4.6. Peta Tata Guna Lahan DAS Toba-Asahan (Tahun 2009)
Sumber : Dinas PSDA Provinsi Sumatera Utara, Tahun 2010 Gambar 4.7. Peta Tata Guna Lahan DAS Toba-Asahan (Tahun 2011) 4.1.3.Hidrologi dan Kualitas Air
Hidrologi DAS yang disampaikan adalah debit sungai, dalam hal ini debit sungai di estimasi dari hubungan antara curah hujan dengan debit. Regresi yang digunakan adalah Regresi DAS Asahan Toba karena kedua datanya tersedia pada lokasi ini dari hasil regresi tersebut debit air di DAS Asahan Toba diperlihatkan pada table 4.6. Tabel 4.6 Debit Sungai DAS Asahan Toba Bulan Jan
Feb
Mart April Mei
Juni
Juli
Agust Sep
Okt
Nov
Des
7.9
7.8
8.0
7.8
7.9
8.0
8.1
7.9
8.1
8.0
7.8
8.1
Sumber : Hasil estimasi data curah hujan, 2010 Untuk kondisi iklim dan tata air di wilayah DAS Asahan Toba dapat dilihat sebagai berikut : 1. Iklim/Curah Hujan Berdasarkan klasifikasi iklim Odleman (1972), kondisi iklim pada DAS Asahan Toba Sumatera Utara termasuk pada tipe iklim E2 dengan bulan basah antara 0 s/d 2 bulan dan bulan kering antara 2 s/d 3 bulan. Curah hujan di DAS Asahan Toba berkisar antara 28.96 mm sampai 164.63 mm untuk selengkapnya disajikan pada Tabel 4.7 berikut : Table 4.7. Curah Hujan DAS Asahan Toba Bulan
CH
Jan
Feb
Mart
April
Mei
Juni
Juli
Agust
Sep
Okt
Nov
Des
Tahunan
67
29
113
109
36
32
79
97
165
161
93
134
1115
Sumber : Hasil estimasi data curah hujan Prapat dan Toba Samosir 2.Hidroklimatologi Kondisi iklim di DAS Asahan Toba didominasi oleh iklim tropis dengan tempratur tertinggi pada bulan September, yaitu 33,9°C dan terendah di bulan Pebruari sebesar 17,4ºC, dengan kelembaban 84%. Mendung paling banyak terjadi di bulan Februari dan bulan Desember. Rata-rata lama penyinaran matahari sebesar 45% dengan kecepatan angin rata-rata sebesar 0,6 m/dt.
Debit data debit sungai terbatas keberadaannya jika dibandingkan dengan data curah hujan. Masih banyak data aliran berupa data muka air yang belum diproses menjadi data debit, pada umumnya data kurang memadai dan tidak lengkap. Debit sungai sangat fluktuatif tergantung curah hujan. Perbedaan antara debit tertinggi dengan debit yang terendah dalam satu tahun kadang cukup signifikan.
Debit
rata – rata
bulanan
Sungai Asahan dan Sungai Silau
disajikan pada Gambar 4.8 dan Gambar 4.9.
Sumber : Dinas PSDA Provinsi Sumatera Utara, Tahun 2010 Gambar 4.8. Debit Rata-rata Bulanan Sungai Asahan di Stasiun Pulau Raja
Sumber : Dinas PSDA Provinsi Sumatera Utara, 2011 Gambar 4.9. Debit Rata-rata Bulanan Sungai Silau di Stasiun Buntu Pane Tampungan Air Di DAS Asahan Toba terdapat embung.
Bendungan
Bendungan
Siguragura
tampungan
air
berupa Bendungan dan
Kaskade di DAS Asahan Toba yaitu Bendungan Siruar, dan
Bendungan
Tangga.
Posisi
ketiga bendungan
tersebut di sajikan pada Gambar 4.10.
Sumber : Pengelolaan Sumber Daya Air Wilayah Sungai Toba Asahan, Tahun 2013 Gambar 4.10. Grafik Ketersediaan Air DAS Asahan Toba Eksisting
Kebutuhan Air Sebagian besar pemanfaatan air sungai di DAS Asahan Toba digunakan untuk memenuhi kebutuhan irigasi dan PLTA (PLTA Asahan I dan PLTA Asahan II). Untuk kebutuhan air irigasi, jumlah air yang dimanfaatkan sangat
tergantung
pada pola
tanam dan jenis
tanaman yang dibudidayakan,
sedangkan untuk kebutuhan lainnya mengalami perubahan seiring dengan pertumbuhan penduduk dan perkembangan industri. Bagaimana kebutuhan air tersebut dalam wilayah DAS Asahan Toba dijelaskan berikut ini: 1) Kebutuhan Air Irigasi Kebutuhan air irigasi di DAS Asahan Toba dialokasikan untuk pemenuhan daerah irigasi seluas 36.162 ha yang terdiri dari Daerah Irigasi (DI) Kewenangan Pusat (6.464 Ha), Provinsi (11.556 Ha) dan Kabupaten (18.142 Ha). Kebutuhan air irigasi di Asahan Toba rata-rata tahun 2010 sebesar 21,28 m3/dt atau sekitar 0,67 miliar m3/tahun. Kebutuhan air irigasi yang besar rata-rata terjadi pada bulan April, Agustus dan Desember. 2) Kebutuhan Air Rumah Tangga, Perkotaan dan Industri (RKI) Kebutuhan
air
domestik
tergantung dari jumlah
dan
perkotaan
yang
dipenuhi
oleh
PDAM
penduduk di masing-masing kabupaten/kota di DAS
Asahan Toba. Pemanfaatan air dari PDAM masih belum merata di seluruh DAS Asahan Toba dan masih terkonsentrasi di ibukota kabupaten, sedangkan untuk daerah pedesaan masih mengunakan air danau, sungai, air sumur dan air tanah. Total Kebutuhan air domestik dan perkotaan di DAS Asahan Toba sebesar 1,59 m3/dt. Industri yang memanfaatkan alokasi air di DAS Asahan Toba dalam proses produksi relatif cukup besar, terutama industri kertas (pulp and paper) dan pengolahan kelapa sawit. Total kebutuhan air untuk industri sebesar 2,73 m3/dt atau 86,36 juta m3/tahun, masing-masing untuk industri kertas (14,25 juta m3), pengolahan kelapa sawit (70,62 juta m3) dan lain-lain (1,49 juta m3). c. Neraca Air Ketersediaan air di Wilayah DAS Asahan Toba bervariasi menurut waktunya. Debit aliran sungai pada suatu bulan sangat dipengaruhi oleh tinggi curah
hujan yang terjadi dalam DAS pada waktu yang bersangkutan. Dari bulan Oktober sampai Mei, debit sungai lebih tinggi dibandingkan dengan debit pada bulan-bulan selebihnya. Dalam wilayah sungai, ketersediaan air cukup berlebih jika dibandingkan dengan kebutuhannya. Total kebutuhan untuk domestik, industri dan irigasi dapat dipenuhi dari ketersediaan airnya sepanjang tahun. Neraca air eksisting di DAS Asahan Toba disajikan pada Tabel 4.8 dan Gambar 4.11. Tabel 4.8. Neraca Air di DAS Asahan Toba Eksisting (m3/dt)
Sumber : Dinas PSDA Provinsi Sumatera Utara, Tahun 2010
Sumber: Dinas PSDA Provinsi Sumatera Utara, Tahun 2010 Gambar 4.11. Neraca Air di DAS Asahan Toba Eksisting (m3/dt) 3. Erosi dan Sedimentasi Perhitungan erosi dilakukan dengan menggunakan model USLE (Universal Soil Loss Equation). Besar kecilnya tanah yang terbawa aliran air sangat tergantung pada karakteristik wilayah sungai. Erosi yang terjadi di DAS TobaAsahan tergolong tinggi, yaitu 7,89 juta ton/tahun dengan tingkat sedimentasi sebesar 4,42 juta m3/tahun. Erosi merupakan salah satu permasalahan yang mempengaruhi kelestarian fungsi sumber daya air dan keberlangsungan manfaat yang diperoleh dari upaya pengembangan dan pengelolaan sumber daya air, serta meningkatnya potensi daya rusak air akibat menurunnya kapasitas tampungan sungai (agradasi dasar sungai). Erosi di DAS Asahan Toba sebesar 7.890.732 ton/tahun. Sedimentasi akibat erosi di DAS Asahan Toba adalah sebesar 4.418.809 m3/tahun. 4.1.4 Drainase Wilayah
Keadaan drainase dari suatu tanah pada tempat tertentu didalam satuan wilayah tertentu pula akan mempengaruhi indeks bahaya erosi disuatu wilayah. Adapun untuk mendekati beberapa nilai tingkat drainase pada suatu wilayah dengan menggunakan peta topografi skala 1 : 50.000, photo udara pancromatik hitam putih skala 1 : 50.000. Dari bahan tersebut diinterprestasi atau pengamatan starsoskopi dan delenasi mengenai daerah-daerah yang seragam kerapatan alur pengaturannya. Dari data diatas diharapkan akan diperoleh data mengenai bentuk drainase disuatu wilayah atau tempat. Semua informasi tentang drainase wilayah akan dituangkan dalam suatu peta yang bisa memuat informasi secara lengkap mengenai bentuk percabangan, sungai yang besar, anak-anak sungai dengan sungai yang kecil bahkan sampai dengan alur-alur disuatu tempat sebagai saluran alam yang berfungsi sebagai pembuangan kelebihan air pada saat hujan. Daerah irigasi di DAS Asahan Toba pada saat ini seluas 36.162 ha, dan dapat dikembangkan dengan masih luasnya potensi lahan pertanian yang belum dilayani jaringan irigasi, terutama di Kabupaten Asahan dan Kabupaten Toba Samosir. Kebutuhan air irigasi pada Tahun 2011 adalah sebesar 0,67 milyar m3. Jumlah kebutuhan air irigasi dari tahun
ke
tahun
cenderung mengalami
peningkatan meskipun relatif cukup kecil. Berdasarkan data tahun 2000 - 2011, kecenderungan peningkatan kebutuhan air irigasi hanya sebesar 1,6 % per tahun. Proyeksi pengembangan areal irigasi di DAS Asahan Toba sampai 20 (dua puluh) tahun ke depan disajikan pada Tabel. Berdasarkan hasil pengamatan dilapangan, bentuk muka lahan berbukit, relief berombak dengan kemiringan lereng 30-40% sehingga drainase wilayahnya terbagi dalam drainase aliran lambat dan drainase permukaan cepat. Kinerja DAS ditentukan berdasarkan parameter luas tutupan lahan, erosi dan sedimentasi, sedimentasi sungai dan perbandingan debit dengan debit minimum (Qmin). Paramater yang kinerja DAS disajikan pada Tabel 4.9.
digunakan
maksi-mum (Qmaks) dalam menentukan
Tabel 4.9. Parameter Kinerja DAS No Parameter 1 % Luas tutupan lahan vegetatif permanen terhadap luas DAS 2 Erosi dan Sedimentasi
3
Sedimentasi Sungai
4
Qmax/Qmin
DAS Jelek <30%
Besar SDR > 75% Besar Jml sedimen >10 ton/ha/th Besar KRS > 120
DAS Sedang DAS Baik 30% - 75% > 75%
Sedang Kecil SDR 50 – SDR < 50% 75% Sedang Kecil Jml sedimen Jml Sedimen 5 –10ton/ha/th < 5 ton/ha/th Sedang Kecil KRS 50 – 120 KRS < 50
Sumber: Dinas PSDA Provinsi Sumatera Utara, Tahun 2010 Catatan: SDR = sedimen delivery ratio = rasio sedimentasi/erosi lahan KRS = koefisien rejim sungai = Qmax/Qmin 4.2 . Jumlah dan Perkembangan Penduduk 4.2.1.Kependudukan Berdasarkan data statistik desa-desa pada tahun 2010 yang ada diketahui jumlah penduduk diwilayah DAS Asahan Toba yang merupakan tercatat sebanyak Jumlah
penduduk di seluruh wilayah kabupaten/kota
Toba-Asahan pada tahun 2031 berjumlah
yang
masuk dalam DAS
± 1.684.214 jiwa dengan
jumlah
penduduk terbesar berada di Kabupaten Asahan, yaitu 827.171 jiwa (49,11%), dan terendah di Kabupaten Humbang Hasundutan, yaitu 23.100 jiwa (1,37%). Berdasarkan sensus penduduk tahun 2010, dan tren pertumbuhan penduduk 5 tahun terakhir, maka laju pertumbuhan penduduk diasumsikan 1,22% pertahun. Jumlah penduduk di DAS Toba-Asahan per kabupaten/kota disajikan pada Tabel:
Tabel 4.10 : Jumlah Penduduk di Wilayah DAS Asahan Toba No.
Kabupaten/Kota
Wilayah Hulu 1 Dairi 2 Karo 3 Samosir 4 Humbang Hasundutan Wilayah Tengah 5 Tapanuli Utara 6 Simalungun 7 Toba Samosir Wilayah Hilir 8 Asahan 9 Tanjung Balai Jumlah
Penduduk (Jiwa) Jumlah Persen 36.523 38.990 72.847 41.462
3,15 3,36 6,28 3,57
18.274 92.445 77.817
1,57 7,97 6,71
610.763 171.415 1.160.536
52,63 14,77 100.00
Sumber : Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Sumatera Tahun 2012 (Hasil Analisa Data) Keterangan: Jumlah penduduk pada zona wilayah DAS Asahan Toba. Untuk melihat seberapa besar tingkat kepadatan agraris guna mengetahui banyaknya penduduk dibanding dengan lahan pertanian yang ada terlihat kepadatan penduduk agraris desa-desa di wilayah DAS Asahan Toba mayoritas tingkat kepadatan agraris tertinggi adalah pada lokasi pusat desa. 4.2.2 Mata Pencaharian Mata Pencaharian penduduk adalah pekerjaan pokok yang merupakan sumber baku penghasilan untuk penghidupan sehari-hari. Keadaan kegiatan ekonomi penduduk di DAS Asahan Toba didominasi oleh bidang pertanian dengan jenis pencaharian pertanian dibidang tanaman pangan yaitu 812375,2 orang atau sebesar 69,20 % dari jumlah penduduk. 4.2.3 Kelembagaan Keadaan organisasi kelembagaan yang hidup dan berkembangan di wilayah DAS Asahan Toba yang merupakan lembaga formal dan lembaga informal, baik
bersifat tradisional maupun yang menyesuaikan dengan pembangunan yang dilaksanakan. 4.2.4 Lembaga Formal Lembaga Formal merupakan lembaga masyarakat yang bersifat local dan secara organisasi berdiri sendiri serta merupakan wadah partisipasi masyarakat dalam pembangunan, seperti Pembinaan Kesejahteraan Keluarga (PKK), Lembaga Ketahanan Masyarakat Desa (LKMD), Dharma Wanita, Pramuka, dll. Keadaan kelembagaan formal di wilayah DAS Asahan Toba terutama PKK, LKMD sudah ada disetiap desa maupun kecamatan sedangkan dharma masih terbatas di kota kecamatan. 4.2.5 Lembaga Informal Lembaga informal dimaksudkan adalah lembaga/badan/organisasi yang dibentuk berdasarkan inisiatif kelompok warga masyarakat tertentu dengan dana warga masyarakat yang bersangkutan, seperti Kelompok Tani, KUD, dll. Keadaan kelembagaan informal di wilayah DAS Asahan Toba belum menyeluruh di setiap desa, keadaan kelembagaan ini merupakan bersifat sporadic. 4.2.6 Identifikasi Masalah Masyarakat memandang bahwa air dari sungai di wilayah DAS Asahan Toba adalah barang bebas yang tidak banyak manfaatnya karena terdapat dilembah dan kalaupun digunakan diperlukan biaya yang besar untuk menaikkannya, yang tidak mungkin dilakukan dengan kemampuan masyarakat itu sendiri. Pandangan ini terjadi karena air dari sungai di wilayah DAS Asahan Toba belum dimanfaatkan secara optimal baik untuk keperluan rumah tangga maupun untuk mendukung usaha ekonomi masyarakat. Air dari sungai di wilayah DAS Asahan Toba mengalir walaupun pada musim kemarau. Sumber air terletak di pegunungan dengan beda ketinggian yang memadai untuk pemamfaatannya, sebagai sumber air minum dengan tekanan grafitasi. Masyarakat sekitar DAS Asahan Toba masih mengambil air untuk keperluan rumah tangga dari mata air terdekat, hingga saat ini air dari sungai di wilayah DAS Asahan Toba belum dikelola sebagai
Sumber Air Bersih oleh PDAM Sumatera Utara. PDAM Tirtanadi Cabang Toba Samosir, PDAM Tirta Lihau di Simalungun, PDAM Lau di Dairi, PDAM Tirta pelayanan masih terbatas pada ibukota Kabupaten dan Kota serta beberapa kecamatan. Sarana irigasi yang ada masih sangat terbatas pada jaringan irigasi setengah teknis dan irigasi sederhana/irigasi desa. Air mengalir ke Danau Toba tanpa memberi manfaat bagi masyarakat yang bermukim di wilayah DAS. Daerah irigasi di DAS Asahan Toba pada saat ini seluas 36.162 ha, dan dapat dikembangkan dengan masih luasnya potensi lahan pertanian yang belum dilayani jaringan irigasi, terutama di Kabupaten Asahan dan Kabupaten Toba Samosir. Kebutuhan air irigasi pada Tahun 2010 adalah sebesar 0,67 milyar m3. Jumlah kebutuhan air irigasi dari tahun ke tahun cenderung mengalami peningkatan meskipun relatif cukup kecil. Berdasarkan data tahun 2000 - 2010, kecenderungan peningkatan kebutuhan air irigasi hanya sebesar 1,6 % per tahun. 4.3
Potensi Tanaman Lokal jenis HHBK Secara fisik potensi tanaman yang dapat menghasilkan pendapatan
masyarakat jenis yang di wilayah DAS Asahan Toba. Tanaman potensi lokal ini akan lebih mudah dilakukan pengembangannya dan sesuai dengan kondisi wilayah. Untuk itu tanaman ini dapat dilihat dari segi land used, tofografi, sosial budaya dan kebiasaan dari wilayah tersebut. Tanaman potensi lokal yang ditemukan pada tulisan ini adalah : 1). Nira; 2). Petai; 3). Jengkol; 4). Durian; 5). Kemiri; 6). Kunyit; 7). Jahe. Pohon aren yang ada di wilayah DAS Asahan Toba banyak dijumpai di hutan rakyat. Umumnya aren yang telah ditanam dapat dipanen setelah umur 8 tahun. Walaupun pohon aren bisa tumbuh di dataran rendah, tapi daerah yang mampu memberi hasil yang memuaskan ialah tempat-tempat antara 500-1200 mdpl. Sebab tempat setinggi itu tidak pernah kekurangan air tanah, tapi juga tidak pernah tergenang banjir air permukaan seperti di dataran rendah. Itulah sebabnya kebanyakan pohon aren tumbuh sumbur di tempat-tempat yang landai seperti lereng
gunung, atau tepian lembah sungai. Di tempat yang miring itu, kelebihan air dipermukaan air tanah selalu cepat mengalir ke tempat lain. Namun tanahnya tidak pernah kering karena adanya air tanah yang dangkal dibawah permukaan. Asal ada tempat seperti ini, pohon aren mau tumbuh dengan subur baik di Sumatera, pulau Jawa, Sulawesi maupun pulau-pulau kecil lainnya (Soeseno, 1993). Pohon aren dengan air nira atau “tuak” yang dihasilkan telah
menjadi
bahagian dari adat budaya dan kebiasaan dari masyarakat batak yang dominan di wilayah DAS Asahan Toba. Tuak yang ada hubungannnya dengan adat adalah tuak tangkasang : tuak yang tidak bercampur dengan raru. Karena tuak itu berasal dari mayang bagot, maka perlu diketahui legenda keberadaan batang bagot. 4.4.
Aliran Sungai dan Penggunaan Air
4.4.1 Aliran Sungai Berdasarkan sifat aliran sungai dari posi wilayah pemerintahan di DAS Asahan Toba, aliran permukaan yang berasal dari wilayah hulu DAS yaitu di wilayah SubDAS Gopgopan mengalir melalui wilayah DAS Asahan Toba di Sumatera Utara kemudian secara kolektif menyatu dengan aliran 289 sungai lainnya membentuk Danau Toba. Danau Toba secara administratif dimiliki oleh 7 kabupaten yaitu kabupaten Samosir, kabupaten Toba Samosir, kabupaten Simalungun, kabupaten Tapanuli Utara, kabupaten Humbang Hasundutan, kabupaten Dairi dan kabupaten Karo. Luas permukaan Danau Toba itu 1.130,00 Km2 dan luas daratan DTA 4.311,58 Km2 dan kedalaman maksimum 529 Meter. Kondisi letak geografis sedemikian menyebabkan pengelolaan PES di DAS Asahan Toba tidak terpisahkan dari pengelolaan PES Sub DAS lainnya khususnya dalam lingkungan wilayah DAS Asahan Toba. Air dari Danau Toba dialirkan oleh satu outlet yaitu sungai Asahan yang bermuara di Pantai Timur Sumatera Utara melalui kabupaten Asahan dan kota Tanjung Balai. 4.4.2 Penggunaan Air Penggunaan air di Sumatera Utara yang wilayahnya tercakup dalam DAS Asahan Toba terbatas untuk keperluan domestik, sebagian untuk keperluan air
irigasi, sedikit pertanian tadah hujan (non irigasi). Air yang digunakan adalah air hujan, air permukaan dan air tanah. Penggunaan air Danau Toba selain kebutuhan domestik juga sudah mengarah kepada kebutuhan komersial, yakni dengan semakin berkembangnya budidaya ikan air tawar dan usaha angkutan danau. Danau Toba sebagai ekosistem air berperan mendukung kehidupan biota air dan jasa estetika lainnya yang mendukung pariwisata. Di Danau Toba terdapat satu perusahaan PMA yakni PT. Aqua Farm yang membudidayakan ikan air tawar dengan tujuan eksport, 2 (dua) unit Ferry milik PT. Gunung Hijau Megah; 2 (dua) unit Ferry milik Pemerintah Provinsi Sumatera Utara disamping kapal bermotor milik masyarakat (belum terinventarisasi) melakukan aktifitas sehari-hari. Outlet Danau Toba adalah sungai Asahan mengalirkan air Danau Toba menuju Selat Malaka. Air sungai Asahan selain pemanfaatan domestic degunakan untuk industri oleh PT. TPL Porsea, Pembangkit Listrik Tenaga Air (PLTA) Tangga, Sigura-gura dan PLTA Asahan I dengan kapasitas lebih dari 10.000 Mw. Kabupaten Asahan dan Kota Tanjung Balai merupakan daerah Hilir DAS Asahan Toba. Air sungai Asahan di daerah ini dimanfaatkan lebih optimal yakni untuk irigasi, PT. INALUM, Usaha Industri, PDAM, Agroindustri dan lain-lain. Posisi DAS Asahan Toba hubungannya dengan wilayah pemerintah otonomi dan perusahaan/masyarakat pengguna air dapat dilihat pada gambar 4.5.
Kab. Samosir Kab. Tapanuli Utara Kab. Humbang Kab. Simalungun Kab. Dairi Kab. Karo
Kab. Asahan Kota Tanjung Balai
-
PLTA siguragura, Tangga, Asahan I PT. TPL Masyarakat Pengelola Lahan/Penghasil Kualitas Air
PT. Aqua Farm, PT. Gunung Hijau Megah LLASDF PHRI
Pariwisata PDA
Masyarakat pengguna Air
Masyarakat Pengelola Lahan Penghasil Kualitas Air
PT. INALUM
IRIGASI
INDUSTRI
PDAM
Agroindustri
Masyarakat pengguna Air
Arah aliran sungai dan anak sungai Sumber: Hasil Analisis, 2013 Gambar 4.12 Posisi Wilayah Pemerintahan Otonomi dan Perusahaan/masyarakat Pengguna Air DAS Asahan Toba.
Lembaga Non Pemerintahan
DAS Asahan Toba Kab. Tobasa
P e m e r i n t a h K a b u p a t e n, K o t a, P r o v i n s i
Masyarakat Pengelola Lahan/Penghasil Kualitas Air
V 5.1.
Dukungan Pembiayaan Sudah
menjadi
peran
Pemerintah
sebagai
sektor
publik
untuk
menginternalisasikan dampak eksternal dan menyediakan barang dan jasa publik. Ini adalah alasan pemungutan pajak sehingga ini juga digunakan untuk pengelolaan lingkungan hidup dan kawasan lindung. Sebuah mekanisme PES bagi pemerintah sebagai penyedia tidak diperlukan dan akan menjadi tumpang tindih dari aspek peraturan. Para penyedia PES yang ditargetkan adalah mereka yang tidak memiliki insentif langsung untuk menghasilkan jasa lingkungan hidup tambahan karena biaya mereka tidak diganti dan mereka tidak dapat membebani tetangga mereka. Ini terutama adalah rumah tangga individu, pemilik tanah dan perusahaan sektor swasta. Selain itu, program ini juga didanai dengan sumber lain seperti pajak, biaya wajib, dan inisiatif swasta secara sukarela. Fakta ini tidak hanya membuktikan bahwa layanan restorasi yang dihasilkan bermanfaat, tapi juga membuktikan peluang pasar sukarela untuk layanan jasa ekosistem. Manfaat lain dari program ini yaitu bersifat padat karya sehingga membuka peluang bagi penurunan kemiskinan. Dengan adanya PES dari pengguna jasa lingkungan dan program-program terkait, dan pengaturan mengenai pengendalian sumber daya resapan air, memungkinkan untuk meng-implementasikan sistem ini dengan sedikit inovasi mekanisme atau reformasi kelembagaan.
Tantangan utama yang dihadapi di masa yang akan datang untuk peningkatan pembayaran
sukarela
jasa
hidrologi
adalah
mengidentifi
kasi
mekanisme
pemantauan dan evaluasi. Susilo Bambang Yudoyono (2012), “Ini adalah waktunya dimana kita bisa mematahkan sisa-sisa mitos tentang pembangunan dan lingkungan. Kita dapat mematahkan mitos bahwa pembangunan pasti akan mengarah pada deforestasi. Kita dapat mematahkan mitos bahwa pembangunan otomatis akan meningkatkan emisi. Kita dapat mematahkan mitos bahwa pembangunan akan menyebabkan ketimpangan. Kita dapat mematahkan mitos bahwa kita hanya bisa memilih antara pembangunan dan demokrasi dan kita tidak bisa memiliki keduanya”. RPJM Pembangunan Nasional Kabinet Pembangunan Indonesia bersatu menetapkan 11 (sebelas) prioritas pembangunan yaitu : 1) Reformasi Birokrasi dan Good Govermance; 2) Pendidikan, 3) Kesehatan, 4) Penanggulangan kemiskinan, 5) Ketahanan Pangan, 6) Infrastruktur, 7) Iklim Infertasi dan bisnis, 8) Energi, 9) Lingkungan hidup, 10) Pembangunan Daerah Tertinggal, Terdepan dan Pasca Konflik, 11) Kebudayaan Kreativitas dan Inovasi Teknologi. Sebelas prioritas Pembangunan Nasional bertumpu pada empat pilar yang telah dicanangkan pemerintah yaitu pembangunan yang Pro Growth, Pro Job, Pro Poor dan Pro Environmental (Menteri Keuangan RI). Tingginya
atensi
pemerintah
terhadap
peranan
lingkungan
dalam
pembangunan nasional hendaknya dimanfaatkan sebagai momentum penting oleh jajaran pemerintah disemua lini, diterjemahkan dalam penyusunan program strategis yang didukung dengan pengalokasian anggaran.
5.2.
Dukungan Pemerintah Provinsi Gubernur sebagai wakil pemerintah pusat di daerah sekaligus merupakan
Kepala Daerah untuk wilayah Provinsi juga bertugas melakukan pembinaan, pengawasan
dan
kabupaten kota.
mengkoordinasikan
penyelenggaraan
pemerintah
daerah
Berdasarkan topografi Daerah Sumatera Utara dibagi menjadi 3 (tiga) wilayah yaitu wilayah Pantai Timur yang merupakan Dataran Rendah seluas 24.921,99 km2 (34.77%) dari luas Provinsi Sumatera Utara dan wilayah Dataran Tinggi dan Pantai Barat yang sebagian besar pegunungan dan lahan terjal dengan luas 46.758,69 km2 (65.23%). Wilayah Pantai Timur merupakan daerah subur, kelembaban tinggi, curah hujan tinggi merupakan daerah pusat pertanian, industri dan jasa dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi, mengalami pertumbuhan penduduk yang tinggi akibat migrasi dari daerah Dataran Tinggi dan Pantai Barat untuk peningkatan kualitas hidup (Simamora, Sirojuzilan). Wilayah Pantai Timur terdiri dari 4 (empat) kota dan 9 (sembilan) kabupaten, yaitu : Kotamadya Medan, Binjai, Tebing Tinggi, Tanjung Balai, Deli Serdang, Serdang Bedagai, Langkat, Labuhan Batu, Labuhan Batu Utara, Labuhan Batu Selatan, Asahan, Batu Bara dan Topografi Datar. Wilayah dataran tinggi terdiri dari satu kota dan 8 kabupaten yaitu kota Pematang Siantar, Kabupaten Tapanuli Utara, Toba Samosir, Samosir, Humbang Hasundutan, Dairi, Pakpak Bharat, Simalungun dan Karo, dengan topografi Pegunungan, berbukit. Wilayah Pantai Barat terdiri dari 3 kota dan 9 kabupaten, yaitu : Kota Sibolga, Sidempuan, Gunung Sitoli, Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah, Mandailing Natal, Nias, Nias Barat, Nias Selatan, Nias Utara, Padang Lawas, Padang Lawas Utara. Wilayah Pantai Timur memiliki potensi ekonomi yang tinggi sehingga cenderung semakin padat karena arus migrasi dari wilayah Pantai Barat dan Dataran Tinggi. Banjir juga sering melanda wilayah tersebut akibat berkurangnya pelestarian hutan, erosi dan pendangkalan sungai. Pada musim kemarau terjadi pula kekurangan persediaan air disebabkan kondisi hutan yang kritis. Wilayah Dataran Tinggi dan Pantai Barat sebagian besar merupakan pegunungan, memiliki variasi dalam tingkat kesuburan tanah, iklim, topografi dan kontur serta daerah yang struktur tanahnya labil. Beberapa danau sungai, air terjun
dan gunung berapi dijumpai di wilayah ini serta sebagian wilayahnya tercatat sebagai daerah gempa tektonik dan vulkanik. Terdapat ketimpangan wilayah yang nyata antara Pantai Timur, Dataran Tinggi dan Pantai Barat di Sumatera Utara yang digambarkan dengan pertumbuhan ekonomi, kontribusi PDRB dan PDRB perkapita. Kontribusi PDRB wilayah Pantai Timur terhadap PDRB Provinsi Sumatera Utara sebesar 67.08%, PDRB/kapita Rp. 2.230.310,- sedangkan kontribusi PDRB wilayah dataran tinggi Pantai Barat hanya 14.89% dan PDRB perkapita Rp. 1.336.162 pada tahun 2001 (Tampubolon, 2001). Pengerahan dana pemerintah daerah juga merupakan salah satu faktor utama yang menentukan perekonomian regional. Untuk wilayah pantai timur pengerahan dana pemerintah mengalami peningkatan dari Rp. 2.547,5 milyar tahun 2002 meningkat
menjadi Rp. 3.415,8 milyar pada tahun 2003 (meningkat 34.8%) dan
proporsi wilayah Pantai Timur sebesar 54.3% (Simamora). Struktur ekonomi Dataran Tinggi dan Pantai Barat Sumatera Utara mengalami perobahan dari sektor pertanian ke industri diikuti sedikit sektor jasa seiring dengan pertumbuhan pendapatan perkapita. Wilayah Pantai Timur menunjukkan perobahan yang lebih tegas dari sektor pertanian ke sektor industri dan jaa. Perobahan di wilayah Pantai Barat disebabkan oleh faktor lokalitas di wilayah Pantai Timur disebabkan faktor eksternal. Di wilayah Pantai Barat dan Pantai Timur terjadi pertumbuhan dengan pola tidak seimbang. Gambaran tersebut menunjukkam fenomena yang sesuai mengenai bagaimana proses pembangunan yaitu pembangunan yang terjadi merupakan rangkaian ketidak seimbangan-ketidak seimbanga (a chain of disequlibrium) pertumbuhan (Tampubolon, 2001). Kesenjangan yang terdapat dikawasan Timur – Dataran Tinggi/Barat ini disebabkan oleh ketimpangan aksesibilitas yang mempengaruhi tata niaga dan pola koleksi distribusi yang pada akhirnya menyebabkan tidak efisiennya perekonomian di wilayah Dataran Tinggi/Pantai Barat Sumatera Utara. Kawasan Dataran Tinggi Sumatera Utara yang terletak dibagian Tengah Sumatera Utara merupakan Punggung Bukit Barisan dengan topografi berbukit,
bergelombang dan terjal adalah merupakan DAS dari beberapa sungai yang mengalir ke wilayah Pantai Timur. Wilayah ini adalah merupakan daerah Hulu mempunyai peranan penting sebagai Butfer Zona (penyangga kehidupan) bagi wilayah Pantai Timur yang merupakan daerah hilir. Tabel 5.1 Pembagian Wilayah Kabupaten Kota di Sumatera Utara menurut Wilayah Pembangunan Bagian I
Pantai Barat Nias Nias Selatan Nias Barat Nias Utara Mandailing Natal Padang Lawas Utara Tapanuli Selatan Tapanuli Tengah Sibolga Padang Sidempuan Gunung Sitoli II Dataran Tinggi Tapanuli Utara Toba Samosir Humbang Hasundutan Samosir Dairi Pakpak Bharat Pematang Siantar III Pantai Timur Deli Serdang Serdang Bedagai Langkat Tebing Tinggi Medan Binjai IV Pantai Selatan Labuhan Batu Labuhan Batu Utara Labuhan Batu Selatan
Potensi Daerah Pertanian Perikanan Pariwisata Perkebunan
Luas Wilayah (%) 36.85
Pertanian Perkebunan Industri Pariwisata
28.34
Perkebunan Pertambangan Industri Jasa
15.33
Perkebunan Industri Perdagangan
19.48
Bagian
Potensi Daerah
Luas Wilayah (%)
Asahan Batubara Tanjung Balai Sumber : BPS Provinsi Sumatera Utara (diolah),2013 Wilayah Pantai Selatan merupakan pemisahan dari wilayah Pantai Timur mempunyai karakteristik dan pertumbuhan ekonomi yang relatif sama. Sedangkan wilayah Dataran Tinggi dan wilayah Pantai Barat mempunyai karakteristik topografi dan pertumbuhan ekonomi yang relatif sama. Wilayah Dataran Tinggi mempunyai peran penting sebagai Buffer Zone (penyangga kehidupan) bagi kelangsungan ekosistem bagi Daerah Pantai Timur. Wilayah Dataran Tinggi merupakan Daerah Hulu Sungau (DHS) dan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang bermuara di Pantai Timur. Letak geografis sedemikian, sesuai dengan hukum alam bahwa potensi ekonomi wilayah Pantai Timur seperti Tanah Subur, suplay air dan kelembaban tinggi adalah merupakan sumbangan jasa lingkungan yang dihasilkan dari Daerah Hulu Sungai/Daerah Aliran Sungai (DHS/DAS) wilayah Dataran Tinggi.
Hulu
Hilir
Sumber : Google Map (data diolah), 2012
Gbr.5.1 Sungai Asahan dari Danau Toba Bermuara di Kota Tanjung Balai
Dalam konteks mengurangi kesenjangan pertumbuhan ekonomi sekaligus mendukung upaya pelestarian lingkungan dalam jangka panjang, keserasian antar wilayah hulu dan hilir adalah wajar dengan sangat bijaksana. Jika daerah kabupaten kota yang berada dalam wilayah Pantai Timur member kompensasi dalam bentuk payment for environmental services (Pembayaran Jasa Lingkungan) bagi wilayah Dataran Tinggi hal ini perlu diatur dalam naskah kesepahaman bersama yang didasarkan kepada kesadaran yang di koordinasikan pelaksanaannya olah pemerintah provinsi Sumatera Utara. 5.3.
Sumber Pembiayaan Lokal
Undang-undang No. 33 Tahun 2004, Perimbangan Keuangan antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah adalah suatu system pembagian keuangan yang adil, demokratis, transparan dan efisien. Dalam rangka penyelenggaraan desentralisasi dengan
mempertimbangkan
potensi,
dan
kebutuhan
daerah
serta
besaran
pendanaan Dekonsentrasi dan tugas perbantuan. Penerimaan daerah dalam pelaksanaan desentralisasi terdiri atas pendapatan daerah dalam pembiayaan pendapatan daerah bersumber dari : a. Pendapatan Asli Daerah (PAD) b. Dana Perimbangan c. Lain-lain Pendapatan Pendapatan Asli Daerah (PAD) bersumber dari : a. Pajak Daerah b. Retribusi Daerah c. Hasil Pengelolaan Kekayaan Daerah yang dipisahkan d. Lain-lain PAD yang sah Dana perimbangan adalah dana yang bersumber dari pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah untuk mendanai kebutuhan daerah dalam rangka desentralisasi, terdiri atas : a. Dana Bagi Hasil b. Dana Alokasi Umum
c. Dana Alokasi Khusus Dana bagi hasil bersumber dari pajak dan sumber alam, dana bagi hasil yang bersumber dari pajak terdiri atas : a. Pajak Bumi dan Bangunan b. Bea Perolehan Hak Atas Tanah dan Bangunan (BPHTB) c. Pajak Penghasilan (PPh) Dana bagi hasil yang bersumber dari sumber alam berasal dari : a. Kehutanan b. Pertambangan umum c. Perikanan d. Pertambangan gas bumi, dan e. Pertambangan panas bumi Dana bagi hasil dibagi antara daerah provinsi penghasil daerah/kota penghasil, pemerintah dan sebagian dibagi untuk kabupaten/kota merata se Indonesia. Pembagian dana perimbangan dilaksanakan secara proporsional dengan porsi yang lebih besar kepada daerah/kota penghasilan. Jadi lebih tepat jika dikatakan “adil dan proporsional”. Namun belum memperhitungkan peranan daerah yang bukan penghasil dana akan tetapi berperan sebagai penyedia jasa lingkungan khususnya Daerah Aliran Sungai. Dana Alokasi Umum adalah dana yang bersumber dari Pendapatan APBN yang dialokasikan kepada daerah dengan tujuan pemerataan kemampuan keuangan antar daerah untuk mendamai kebutuhan daerah dalam rangka pelaksanaan desentralisasi. Dana alokasi umum suatu daerah dialokasikan atas dasar celah fiskal dan alokasi dasar. Celah fiskal adalah kebutuhan fiskal dikurangi dengan kapaitas fiskal daerah alokasi dasar dihitung berdasarkan jumlah Pegawai Negeri Sipil Daerah, Kebutuhan
Fiskal
Daerah
merupakan
kebutuhan
pendanaan
daerah
untuk
melaksanakan fungsi layanan dasar umum. Setiap kebutuhan pendanaan yang dibiayai dari Dana Alokasi Umum (DAU) diukur secara berturut-turut dengan jumlah penduduk, luas wilayah, indek kemahalan
konstruksi Produk Domestik Regional Bruto per kapita dan Indeks Pembangunan Manusia. Data untuk menghitung kebutuhan fiskal dan kapasitas fiskal diperoleh dari lembaga statistik pemerintah dan atau lembaga pemerintah yang berwenang menerbitkan data yang dapat dipertanggungjawabkan. Luas wilayah sebagai dasar pengukuran untuk pengalokasian DAU untuk kabupaten kota dan sejauh ini masih belum memperhitungkan karakteristik wilayah sehingga wilayah datar dan wilayah berbukit, lahan terjal, daerah aliran sungai diperlakukan sama berdasarkan luas perhitungan ini belum memperhitungkan faktor kesulitan untuk pengelolaan lingkungan hidup yang harus ditangani oleh Kabupaten / Kota di wilayah pengunungan / DAS. Dalam konteks pembangunan yang pro environmental diharapkan karakteristik wilayah khususnya topografi, kontur dan peranan wilayah seba-gai provider jadi lingkungan dapat diperhitungan sebagai indek kemahalan jasa lingkungan dalam pengalokasian DAU Kabupaten Kota. Dana Alokasi Khusus (DAK), adalah dana yang bersumber dari APBN yang dialokasikan kepada Daerah tertentu dengan tujuan membantu mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah sesuai dengan prioritas nasional. DAK dialokasikan kepada daerah tertentu untuk mendanai kegiatan khusus yang merupakan urusan daerah, kegiatan khusus dimaksud sesuai dengan fungsi yang telah ditetapkan dalam APBN. Pemerintah menerapkan kriteria DAK yang meliputi kriteria umum, kriteria khusus dan kriteria teknis, kriteria umum ditetapkan dengan memper-timbangkan kemampuan keuangan daerah dalam APBD, kriteria khusus ditetapkan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan dan karakteristik daerah, sedangkan kriteria teknis ditetapkan oleh kementerian negara / departemen teknis. Pemerintah Kabupaten Kota difasilitasi oleh kementerian negara / departemen teknis perlu menetapkan kriteria teknis wilayah dalam peranannya sebagai provider
jasa lingkungan untuk dapat digunakan sebagai acuan pengalokasian Dana Alokasi Khusus. Dana Tugas pembantuan adalah nama yang berasal dari APBN yang dilaksanakan oleh Daerah yang mencakup semua penerimaan dan pengeluaran dalam rangka pelaksanaan tugas pembantuan, merupakan bagian anggaran kementerian negara/lembaga yang dialokasikan berda-sarkan rencana kerja dan anggaran kementerian negara / lembaga negara. Tata kerja dan pembiayaan rehabilitasi hutan dan lahan diatur dalam Permenhut Nomor : P.14/Menhut-II/2012 tentang pedoman Penyelenggaraan Rehabilitasi Hutan dan Lahan Tahun 2012 dan Permenhut Nomor : P.15/Menhut-II/2012 tentang Pedoman Umum Pengembangan Perhutanan Masyarakat Pedesaan Berbasis Konservasi.
VI Secara umum PES (Payment for Environmental Services) didefinisikan sebagai mekanisme kompensasi di mana penyedia jasa (Service Provider) dibayar oleh penerima jasa (service User) USAID 2009. Sedangkan definisi dari Wunder (2005) Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) adalah sebuah transaksi suka rela dengan kerangka kerja yang dinegosiasikan dimana terdapat jasa lingkungan yang dapat terukur atau adanya pengguna lahan untuk memelihara jasa lingkungan yang dikandungnya yang kemudian jasa lingkungan tersebut dibeli oleh minimal satu pembeli dari minimal satu penyedia jasa lingkungan, pembelian hanya dilakukan jika pelayanan
benar-benar
diberikan.
Berikut
adalah
ilustrasi
pembagian
jasa
lingkungan.
Waduk, Sungai Danau, Laut.
Gbr. 6.1. Ilustrasi Pembagian Jasa Lingkungan
Berdasarkan definisi di atas suatu pembayaran jasa lingkungan memerlukan sebuah mekanisme untuk mengatur berjalannya kegiatan tersebut. Menakisme pembayaran jasa multi fungsi DAS yang tergolong dalam pembayaran jasa
lingkungan dapat dikelompokkan dalam 3 (tiga) bentuk (Chayono & Purwanto, 2006) yaitu : 1. Kesepakatan yang diatur sendiri. Kesepakatan diatur sendiri antara penyedia jasa dengan penerima jasa, biasanya bersifat terbuka, cakupannya sempit, negosiasi terjadi secara tatap muka, perjanjian cenderung sederhana, dan campur tangan yang rendah dari Pemerintah. Misalnya skema ekolabel, sertifikasi, pembelian hak pengembangan lahan dimana jasa itu berada, pembayaran langsung antara pemanfaatan jasa yang bertanggung jawab atas ketersediaan jasa multi fungsi DAS. 2.
Skema Pembayaran Publik. Pendekatan ini sering digunakan
menyediakan
landasan
kelembagaan
bilamana
untuk
suatu
Pemerintah program
dan
bermaksud sekaligus
menanamkan investasinya. Pemerintah dapat memperoleh dana melalui beberapa jenis iuran dan pajak. Contohnya, kebijakan penetapan harga air, persetujuan penggunaan pajak air untuk melindungi DAS, menciptakan mekanisme pengawasan, pemantauan pelaksanaan regulasi yang bersifat melindungi penyedia jasa dan menerapkan denda bagi yang melanggarnya. 3.
Skema Pasar Terbuka. Skema ini jarang diterapkan dan cenderung diterapkan di negara maju.
Pemerintah dapat mendefenisikan barang atau jasa apa saja dari multifungsi DAS yang dapat diperjual belikan. Selanjutnya dibuat regulasi yang menimbulkan permintaan. Perlu sebuah kerangka regulasi yang kuat dan penegakan hukum tranparansi, perhitungan secara ilmiah yang akurat dan system verifikasi yang terjamin. Menurut USAID (2009), konsep PES relatif baru, sehingga tidak semua skema kontrak PES yang berkembang telah memiliki kesempurnaan dan siap diperbanyak untuk daerah lain. Hingga sekarang skema
PES pada pengelolaan DAS yang
dikembangkan masih sangat beragam dengan tahapan kemajuan yang berbedabeda dan untuk berbagai tujuan mulai dari tingkat mikro dengan fokus yang sangat
spesifik hingga tingkat nasional yang dikontrol oleh negara. Sehingga pengelolaan DAS yang tercermin dalam skema PES berbeda satu sama lain : one river on manajement. Skema PES DAS Asahan Toba akan memberi warna tersendiri karena karateristik DAS nya yang unik. Dimana Air dari DAS Gopgopan berwarna ke Danau Toba, sedangkan Danau Toba merupakan reservoir air raksasa, setelah terakumulasi dengan DAS lainnya pada catchemen area Danau Toba air dari Danau Toba dialirkan oleh satu sungai yang besar yaitu sungai asahan ke Kabupaten Asahan, sehingga Danau Toba adalah hulu DAS bagi Pantai Timur Sumatera Utara, diilustrasikan dalam gambar berikut :
DAS Asahan Toba Sub DAS Gopgopan
Hulu
Hilir (intermaete) PT. Aqua Farm PT. TPL LLASDF
D-Toba
Hilir (advance) Asahan PLTA Siguragura, Tangga dan Asahan I
PT. Inalum Industri Agroindustri Irigasi Air Minum (PDAM)
Gambar. 6.2. DAS Asahan-Toba ( Hulu - Hilir )
Pengembangan kebijakan PES dimulai dari kasus-kasus bersifat local dengan cara melakukan kajian, terutama bila kajian tersebut berdasarkan pada konsep intrumen ekonomi lingkungan sehingga formulasi instrument kebijakan menjadi suatu yang signifikan untuk diaplikasikan dalam masyarakat. Hubungan antara jasa lingkungan dan PES berarti terjadinya pemanfaatan atas sumber dimaksud, dalam hal ini diatur dalam peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 tentang Tata hutan dan penggunaan kawasan hutan, dimana disebut bahwa pemanfaatan jasa lingkungan adalah bentuk usaha untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan tidak mengurangi fungsi potok hutan. Dalam peraturan Pemerintah nomor 6 tahun 2007 dikatakan pula bahwa jasa lingkungan adalah jasa ekonomi system alamiah dan system budaya yang
memanfaatkannya dapat digunakan baik secara langsung maupun tidak langsung dalam rangka membantu memelihara dan meningkatkan kwalitas lingkungan dan kehidupan manusia. Skema PES merupakan kegiatan yang berjangka panjang dan memerlukan pembiyaan terus menerus dan diharapkan dapat berkelanjutan. Oleh karena itu sejak awal kegiatan PES akan dicanangkan, identifikasi dari platform pembiayaan ini haruslah menjadi prioritas utama, karena tanpa pembiayaan yang berkelanjutan, PES ini tidak akan dapat berjalan dengan berdurasi panjang, pembiayaann akan meliputi pengeluaran yang ditentukan mulai awal ide dan desain awal PES bekerja, sampai dengan kegiatan mulai jalan, Platform pembiayaan PES terdiri dari : -
Sumbangan hibah dari organisasi nasional dan internasional.
-
Dana Pemerintah dari APBN, APBD
-
Dana dari penerima manfaat
-
Pengembangan pasar dari barang dan jasa misalnya dari PES itu sendiri dan juga pariwisata berbasiskan pungutan (tourism bases fees ) Sub DAS Gopgopan yang merupakan bagian dari DAS Asahan Toba dalam
upaya pengembangan pengelolaan DAS pada saat ini sedang melakukan kegiatan stregthning Community Based and Watershed Management (SCBFWM) atau penguatan pengelolaan hutan dan Daerah Aliran Sungai (DAS) berbasis masyarakat, berbagai
kegiatan
telah
dilaksanakan
antara
lain
mengembangkan
system
agroforestri dalam pengelolaan lahan dikawasan DAS, meningkatkan usaha ekonomi masyarakat sekitar dan mersiapkan rencana pengembangan ekonomi rakyat disekitar DAS serta mempersiapkan dokumen PES untuk jangka panjang.
Hasil survey menunjukkan kegiatan ini mendapat sambutan dan dukungan dari masyarakat karena upaya ini dinilai sangat partisipastif dan dapat dipahami masyarakat. Masalahnya apakah upaya ini akan dapat dilanjutkan sesuai harapan masyarakat atau terhenti disitu saja? Skema PES DAS Asahan Toba dikembangkan berdasarkan karateristik SubDAS, keterpaduan lintas sektor. Lintas wilayah dengan melibatkan semua stake holder terkait dengan mengedepankan kearifan local yang didukung dengan kajian pembiayaan berkelanjutan
APBN, APBD Provinsi, Donor
Pemerintah Provinsi
Pemerintah Kabupaten/Kota
Badan Usaha : - BUMN - BUMD - Swasta - PMA/PMDN
KAS DAERAH
Daerah Hilir (intermediate)
Kab/Kota Advance
Dep. Kehutanan BP-DAS
Pengelola TK DAS Badan Usaha:
- BUMN - BUMD - Swasta - PMA/PMDN
(Badan Pengelola Keuangan PES)
Pengelola Keuangan TkSUB DAS
Daerah Hilir (Advance)
Institusi Multi Pihak: - Swasta, (PT, CV) - Instansi Pemerintah
-
Dunia Usaha LSM, Assosiasi LH, Tenaga ahli
Unit Usaka Konservatif Pengembangan Kearifan Lokal Jasa Lingkungan
Evaluasi Monitoring AUDIT LH
Gambar 6.3. Skema PES DAS Asahan Toba Keterangan
: = garis komando = garis koordinasi = garis konsultasi program, pembinaan, evaluasi dan monitoring
Bentuk skema PES DAS Asahan Toba adalah skema pembayaran publik, dimana Pemerintah sebagai pemeran penting dalam pembinaan, pembiayaan, koordinasi di evaluasi, Pemerintah Provinsi berperan penting dalam upaya mengokoordinasikan antara Kabupaten/Kota yakni antara Pemerintah Kabupaten Toba Samosir, Dairi, Tanah Karo, Simalungun, Tapanuli Utara,Samosir, Humbang Hasundutan pada Wilayah Hulu dengan Pemerintah Kabupaten Asahan, Kota Tanjung Balai, dan Kabupaten lainnya di wilayah pantai Timur Sumatera Utara pada wilayah hilir sebagai user jasa lingkungan DAS Asahan Toba dan DAS Toba. Institusi multi pihak melibatkan semua pemangku kepentingan, Wakil dari user dan provider jasa lingkungan, Intansi Pemerintah terkait, Perguruan Tinggi, assosiasi pemerhati lingkungandan lain-lain yang dibentuk dengan peraturan Gubernur Provinsi Sumatera Utara dengan Keanggotaan tetap (bukan exsopisio). Beberapa peraturan perundang-undangan yang dapat dirunut sebagai landasan Konstitusional pengelolaan sumber daya alam dan pembayaran jasa lingkungan antara lain : 1. Undang-undang No.05 Tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam Hayati dan ekosistem. 2. Undang-undang No.24 Tahun 1992 tentang tata ruang. 3. Undang-undang No.41 Tahun 1999 tentang kehutanan. 4. Undang-undang No.34 Tahun 2000 tentang pajak dan retribusi Pemerintah Daerah. 5. Undang-undang No.23 Tahun 1997 tentang manajemen lingkungan. 6. Undang-undang No.07 Tahun 2004 tentang sumber daya air. 7. Undang-undang No.215 Tahun 2004 tentang perkebunan. 8. Undang-undang No. 32 dan No. 33 tentang otonomi Daerah dan desentrasi Fisikal. 9. Peraturan Pemerintah No. 37 Tahun 2012 tentang Pengelolaan Daerah Aliran Sungai.
4. Kebijakan dan Strategi Pada saat ini kerusakan hutan dan lingkungan hidup terus terjadi, disisi lain pendanaan pemerintah untuk melaksanakan rehabilitasi hutan dan lingkungan hidup mengalami keterbatasan. PES memiliki posisi strategis yang diharapkan dapat menjadi sumber dana alternatif bagi pelaksanaan rehabilitasi hutan dan lahan. Pelaksanaan PES sejauh ini telah sampai pada transaksi antar penyedia dan pengguna jasa sehingga telah ada dana bagi penyedia jasa untuk melaksanakan rehabilitasi hutan dan lahan. Pelaksanaan PES sejauh ini dapat dikatakan berjalan secara suka rela, lembaga-lembaga pemerintah seperti BPDAS, Dinas Kehutanan, Badan Lingkungan Hidup, PDAM, PLTA, Badan Usaha meski telah ada melaksanakan pembayaran jasa lingkungan dalam bentuk spesifik secara legal belum mempunyai wadah dan program khusus pelaksanaan PES sehingga terkesan berjalan lambat dan tidak berkembang. Kebijakan regulasi merupakan factor yang penting sebagai payung hukum sekaligus sebagai wadah koordinasi yang dinamis yang dapat sebagai landasan berpijak bagi semua pihak yang ingin berpartisipasi di bidang pelestarian sumber daya lingkungan hidup sekaligus mengikat bagi semua pihak untuk menghargai setidak-tidaknya tidak semena-mena merusak hutan dan lahan, lingkungan hidup dalam arti luas. Kebijakan-kebijakan ini ditempuh dengan berbagai strategi sebagai berikut : a. Membentuk peraturan daerah tentang pengelolaan jasa lingkungan. b. Meningkatkan adpokasi/sosialisasi tentang PES terhadap masyarakat umum, dunia usaha dan semua pemangku kepentingan. c. Melanjutkan dan memperluas pilot proyek pemberdayaan masyarakat di wilayah Sub DAS Gopgopan yang telah dirintis oleh proyek SCBFWM d. Memanfaatkan
seoptimal
mungkin
penggunaan
air
untuk
memenuhi
kebutuhan masyarakat baik sebagai air minum maupun air irigasi sehingga masyarakat merasakan manfaat pelestarian sumber daya alam khususnya sumber daya air.
e. Peningkatan pengawasan dan penegakan hukum diwujudkan dengan membangun sistem pengawasan dalam pelaksanaan ketentuan pengelolaan sumber daya alam dengan melibatkan peran serta masyarakat. f. Membentuk forum multi pihak dengan melibatkan unsur-unsur pemerintahan, Dunia Usaha, Tokoh Masyarakat, LSM, Perguruan Tinggi dan pihak lain yang berkepentingan sebagai wadah partisipasi pengelolaan lingkungan. Peraturan PES diperlukan untuk implementasi PES ukuran kecil dan menengah maupun besar (banyak kesepakatan yang lebih kecil) yang melibatkan kelompok masyarakat dan sektor swasta sebagai penyedia. Pengelola daerah memiliki peran dalam memfasilitasi pengaturan PES seperti itu. Tapi ini memerlukan beberapa pedoman untuk pelaksanaan praktis, misalnya dari protokol PES. PES dengan kesepakatan Pemerintah ke masyarakat dan multi pihak lainnya tidak memerlukan peraturan PES untuk pelaksanaan. Peraturan PES mungkin sebuah kerangka untuk praktek yang baik yang dapat memiliki beberapa relevansi untuk implementasinya melalui Peraturan Daerah. Peran pengelola PES adalah sebagai pengembang pasar untuk PES dan fasilitator: 1) Mengembangkan pasokan PES dengan memetakan lokasi dan penyedia yang potensial untuk PES, misalnya: •
Kawasan penyangga di sekitar kawasan lindung (misalnya lanskap, lahan basah dan titik-titik panas keanekaragaman hayati).
•
Penggunaan
lahan
hulu
di
daerah
punggung
sungai
untuk
mengamankan pasokan air ke kota-kota, pertanian, dan tenaga air. Skrining kesepakatan potensial untuk semua kota-kota besar dan tenaga air menengah sampai besar. •
Kesepakatan sukarela UKM untuk mengurangi penggunaan input, emisi dan limbah, dan memperkenalkan teknologi yang lebih bersih.
2) Mengembangkan permintaan PES dengan mendukung informasi untuk sektor swasta dan pembeli utilitas publik yang potensial. 3) Mengidentifikasi pilihan untuk permintaan sektor publik, misalnya di kawasan penyangga untuk taman nasional atau di sepanjang sungai dan lahan basah.
4) Mengembangkan prototipe PES, misalnya kasus-kasus yang potensial dapat direplikasi berulang kali. 5) Mengamankan pendanaan yang berkelanjutan untuk proyek-proyek PES. Misalnya jendela pendanaan PES untuk pembiayaan internasional dan publik dalam dana perwalian lingkungan hidup. 6) Mengurangi biaya transaksi, misalnya dengan mendukung kesepakatan kelompok. 7) Mengurangi pilihan untuk pencarian laba (penunggang gratis). 8) Mengumpulkan dan mensosialisasikan pelajaran dan praktek yang baik untuk PES. Panduan diberikan untuk kajian kelayakan kesepakatan PES yang baru.
VII
Dokumen
kerangka system
pembayaran
jasa
di lingkungan
(Payment
for
Envidonmental Services) PES di wilayah DAS Asahan Toba Provinsi Sumatera Utara disusun berdasarkan krakteristik wilayah, dinamika yang berkembang pada kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat di wilayah DAS dengan memperhatikan nilai-nilai keberlanjutan, keterbukaan, kesadaran, kepekaan, keadilan dan kesejahteraan sesuai dengan tujuan pengelolaan DAS yakni terciptanya kondisi hidrologi
yang
optimal,
terwujudnya
pembangunan
yang
sustainable
serta
berwawasan linkungan. Berdasarkan analisis, bentuk skema yang sesuai untuk Payment for Environmental Services pada DAS Asahan Toba adalah bentuk pembayaran public, dengan melibatkan semua pemangku kepentingan (stakeholders). Dalam hal ini peranan pemerintah lebih dominan dalam pembinaan, fasilitasi, pemberdayaan masyarakat, pendanaan, monitoring, evaluasi dan audit lingkungan. Pengelolaan PES di wilayah DAS Asahan Toba ditujukan untuk upaya-upaya konservasi sumber daya lahan dan air, menggali dan mengembangkan potensi kearifan lokal dalam wujud partisipasi masyarakat baik perorangan maupun kelompok.PES diberikan sebagai insentif berdasarkan kwantitatif dan kwalitatif partisipasi masyarakat terhadap kelestarian sumber daya lahan dan air yang dilaksanakan secara objektif, adil dan terbuka. Dalam rangka upaya mengurangi kesenjangan pertumbuhan ekonomi dan penyebaran penduduk yang rasional antara daerah Hulu dan daerah Hilir serta mempertahankan fungsi DAS di daerah Hulu. Keterpaduan lintas wilayah khususnya
dalam pembayaran jasa lingkungan (sharing pendanaan Hulu dan Hilir) sangat diperlukan, didasarkan atas kesadaran yang difasilitasi/ dikoordinasikan oleh Pemerintah Provinsi Sumatera Utara. Partisipasi dimak-sud tercermin dalam bentuk pengerahan dana Jasa Lingkungan dari wilayah Hilir (Pantai Timur) ke daerah Hulu (daerah Dataran Tinggi) Sumatera Utara yang idealnya dianggarkan dalam APBD Kabupaten/Kota
dan
didukung
APBD
Provinsi
sebagai
leader
koordinator
pelaksanaan PES.. Pengalokasian dana pemerintah kepada pemerintah Kabupaten/Kota yang berasal dari dana bagi hasil, Dana Alokasi Umum (DAU) dan Dana Alokasi Khusus (DAK) pengalokasinya didasarkan pada konstribusi daerah Kabupaten/Kota terhadap pendapatan nasional, jumlah penduduk luas wilayah indeks kemahalan konstruksi, PDRB perkapita dan Indeks Pembangunan Manusia. Karakteristik seperti topografi, kontur dan perannya sebagai DAS sekaligus menjadi providen jasa lingkungan belum mendapat perhatian. Sesuai dengan pilar pembangunan nasional yang pro pertumbuhan, pro lapangan kerja, pro kemiskinan dan pro lingkungan hidup diharapkan selain luas wilayah, krakteristik wilayah sebagai provider jasa lingkungan dapat dimasukkan sebagai entripoin dalam penetapan pengalokasian dan APBN kepada pemerintah Kabupaten/Kota yang berada di wilayah pegunungan. Sistem pembayaran jasa lingkungan (PES) di DAS Asahan Toba adalah mekanisme pembayaran finansial dan non finansial dituangkan dalam kontarak hukum yang berlaku meliputi aspek-aspek legal, teknis maupun operasional yang dilaksanakan oleh lembaga tersendiri meliputi jasa lingkungan yang dapat diukur, penyedia, pemanfaat dan tata cara pembayaran.
DAFTAR LITERATUR
Asdak, Chay, 1995. Hidrologi dan pengelolaan DAS. Gajah Mada University Press. Jogyakarta. Badan Pusat Statistik, 2010. Sumatera Utara Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. Badan Pusat Statistik, 2012. Sumatera Utara dalam Angka. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. Danida, 2001. Protokol Pembayaran Jasa Lingkungan (PJL) (Protokol of payment for environmental services) Laporan E. ESP. Environmental Services Support Program. Danida, 2009. Review of payment for environmental services Indonesia and other country. ESP. Program. Direktur Jenderal Rehabilitasi Lahan dan Perhutanan Sosial, 2009. Rencana Strategis tahun 2010-2014. Dirjen RLPS. Departemen Kehutanan. Departemen Kehutanan, 2003. Strategi Pengelolaan Sosial Forestry. Departemen Kehutanan, Jakarta. EPI, 2008. Environemtal Ferformance Indeks. EFI Irawanto,
2011.
Konsep
Perencanaan
DAS
Terpadu,
Yogyakarta.
http://www.irwantoshut.com Leimona. B, 2008. Konsep Jasa Lingkungan dan Pembayaran Jasa Lingkungan di Indonesia. World Agroforestry Centere – KRAF – SEA
Leimona. B, at al 2009. Can rewards for environmental services benefit the poor? Lesson from Asia International Journal of the comnons. [on line] URL http://www.thecommononsjournal.org/index.pnp/ije/article/view/121. Leimona. B, at al, 2010. The Livelihood Impacts of incentive payment for watershed management in cicadanau watershed, west java Indonesia. Edward Elger Publishing Cheltenhans. Millenium Eosystim Assessment, 2005. Ecosystem and Human will – being. Synthesis island press Washington, DC. Paquin M, mayrand K, 2004. Payment for environmental services : A. Survey and Assessment of curren Schemes. Unisfera International Cetre for the commission of environmental corporation of North America. Pagiala. S, 2003. “Economics Overview” of Forest Area to Drinking Water, Running Pure. Edited by Nigel and Suue Sulton”. World Bank/WWF Aliance for forest conservation anda sustainable use. Wasington DC. Pagiala. S, 2004. Environmental Services Payment in Central Amerika : putting theory into practice presentea at “Environmental Economic for Development policy”. Training Course World Bank Institute. Simamora Marganda, Sirojuzipan, 2008. Determinan Pertumbuhan ekonomi Regional Sumatera Utara (Studi Kasus Wilayah Pantai Timur). USU Intitutional report (USU – IR). Universitas of Sumatera Utara. Suhardi, LP3 ES, 2006. Agroforestry Petani, Kompromi antara Ekonomi dan Konservasi. www.jasalingkungan.org Srimurni
Soenarmo,
2012.
srini.blogspot.com
Pembangunan
Jasa
Lingkungan.
Alam
Lestari.
Tampubolon Tulus, 2011. Industrialisasi di negara berkembang, Penerbit Chalid Indonesia. Jakarta Tampubolon Dahlan, 2011. Pembangunan dan ketimpangan wilayah Pantai Barat dan Pantai Timur. Tesis Perencanaan Pembangunan. PSDAL
–
LPP3ES,
2006.
Program
Pembayaran
Jasa
Lingkungan
DAS
Mengembangkan Mekanisme dan Transaksi Hulu – Hilir untuk Meningkatkan Kehidupan Masyarakat. www.wikipedia.co.id Wunder. S, 2005. Payment for Environmental Services : Sone Nuts and Blots. CIFOR. Occasional Paper No. 42 Centre for International Research Mayor Indonesia.