KERANGKA DASAR TEORI ILMU Oleh: Aenudin1 Pendahuluan Filsafat dan ilmu adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis, karena kelahiran ilmu tidak lepas dari peranan filsafat, sebaliknya perkembangan ilmu memperkuat keberadaan filsafat. Filsafat telah berhasil mengubah pola pemikiran bangsa Yunani dan umat manusia dari pandangan mitosentris menjadi logosentris. Awalnya bangsa Yunani dan bangsa lain di dunia beranggapan bahwa semua kejadian di alam ini dipengaruhi oleh para dewa. Karenanya para dewa harus dihormati dan sekaligus ditakuti kemudian disembah. Dengan filsafat, pola pikir yang selalu tergantung pada dewa diubah menjadi pola pikir yang tergantung pada rasio. Kejadian alam, seperti gerhana tidak lagi dianggap sebagai kegiatan dewa yang tertidur, tetapi merupakan kejadian alam yang disebabkan oleh matahari, bulan, dan bumi berada pada garis yang sejajar, sehingga bayang-bayang bulan menimpa sebagian permukaan bumi (Amsal Bakhtiar, 2011: xi). Amsal Bakhtiar (2011:xi- xii) mengemukakan bahwa perubahan dari pola pikir mitosentris ke logosentris membawa implikasi yang tidak kecil. Alam dengan segala gejala-gejalanya, yang selama ini ditakuti kemudian didekati dan bahkan diekploitasi. Perubahan yang mendasar adalah ditemukannya hukumhukum alam dan teori-teori ilmiah yang menjelaskan perubahan yang terjadi, baik di alam jagad raya (makrokosmos) maupun alam manusia (mikrokosmos). Dari penelitian alam jagad raya bermunculan ilmu astronomi, kosmologi, fisika, kimia, dan sebagainya. Sedangkan dari manusia muncul ilmu biologi, psikolo gi, sosiologi, dan sebagainya. Ilmu- ilmu tersebut kemudian menjadi terspesialisasi dalam bentuk yang lebih kecil dan sekaligus semakin aplikatif dan terasa manfaatnya. 1
Penulis adalah Kandidat Doktor Ilmu Pendidikan Ekonomi Islam Sekolah Pascasarjana UIN Syarif Hidayatullah Jakarta; Saat ini men jabat sebagai Ketua dan Dosen Filsafat Ilmu STIES GASANTARA Sukabumi.
1
Dengan perkembangannya yang sangat pesat, ilmu semakin jauh dari induknya.
Bahkan,
telah
mengakibatkan
munculnya
arogansi
dan
kompartementalisasi antara satu bidang ilmu dengan yang lainnya. Ilmu dan teknologi dalam konteks itu kehilangan ruhnya yang fundamental karena ilmu kemudian mengeliminir peran manusia dan bahkan manusia tanpa sadar menjadi budak ilmu dan teknologi. Karena itu, filsafat ilmu berusaha mengembalikan ruh dan tujuan luhur ilmu agar ilmu tidak menjadi bumerang bagi kehidupan umat manusia. Di samping itu, salah satu tujuan filsafat ilmu adalah untuk mempertegas bahwa ilmu dan teknologi adalah instrumen bukan tujuan (Amsal Bakhtiar, 2011:xiii). Dalam konteks yang demikian diperlukan suatu pandangan yang komprehensif tentang ilmu dan nilai- nilai yang berkembang di tengah masyarakat. Di sinilah peranan filsafat, yaitu menyatukan visi keilmuan dari berbagai disiplin ilmu. Dalam konteks ini, ilmu sebagai kajian filsafat sangat krusial untuk dibahas. Terkait dengan hal di atas, agar kajian makalah ini menjadi spesifik dan jelas, maka penulis perlu membatasi dan menentukan permasalahan yang akan menjadi fokus dalam pengkajian ini, yaitu kerangka dasar teori atau ilmu, dengan perumusan masalah sebagai berikut:(1) Siapa sajakah tokoh filsafat yang bergerak dalam filsafat ilmu dalam sejarah perkembangan ilmu?; (2) Bagaimanakah definisi dan jenis pengetahuan manusia ?; (3) Bagaimanakah pengelompokan ilmu dan bangunan ilmu pengetahuan; (4) Bagaimanakah implikasi ragam aliran filsafat yang bergerak dalam filsafat ilmu pada pendidikan dan sistem pendidikan berdasarkan Pancasila. Berdasarkan pada perumusan masalah tersebut di atas, maka tujuan kajian makalah ini adalah: (1) Mejelaskan sejarah tokoh filsafat yang bergerak dalam filsafat ilmu; (2) Menjelaskan definisi dan jenis pengetahuan manusia; (3) Menganalisis pengelompokan ilmu dan bangunan ilmu pengetahuan; (4) Menjelaskan implikasi ragam aliran filsafat yang bergerak dalam filsafat ilmu pada pendidikan dan sistem pendidikan berdasarkan Pancasila. Kajian makalah menggunakan metode kepustakaan, yaitu membaca literatur yang relevan dengan masalah yang menjadi fokus dalam kajian ini.
2
Sejarah Tokoh Filsafat yang Bergerak dalam Filsafat Ilmu Untuk mendapatkan gambaran yang utuh tentang sejarah tokoh filsafat yang bergerak dalam filsafat ilmu, dimulai dari peradaban manusia Yunani Kuno, sampai abad 20 ini. LWH. Hull dalam bukunya History and Philosophy of Science sebagaimana
dijelaskan
A.M.Saefuddin
(1998:25-29)
membagi
sejarah
perkembangan filsafat dan ilmu dalam lima periode, dengan tokoh-tokoh dan karakter mereka masing- masing tercatat dalam buku emas peradaban, dan menjelaskan kepada kita agar dapat meneruskan sejarah peradaban manusia dengan pendekatan yang lebih baik dan reorientasi pola berpikir. Melalui pembahasan sejarah perkembangan filsafat secara periodik ini akan tampak sekaligus sejarah tokoh filsafat yang bergerak dalam filsafat ilmu. 1. Periode Filsafat Yunani (Abad 6 SM – 0 M) Dalam periode ini tercatat, antara lain, Thales, seorang ahli filsafat, astronomi dan geometrika. Ia menggunakan pendekatan deduktif. Phytagoras menggunakan pendekatan mistis dan matematis dalam geometrika dan arimatika. Aristoteles, sebagai tokoh filsafat dan ilmu empiris, menggunakan pendekatan induktif, dan Plato, sebagai ahli filsafat dan ilmu rasional, menggunakan pendekatan deduktif. Dalam periode ini tercatat dengan emas bahwa terdapat dua kutub peradaban ilmu: Athena dengan andalan intelektual metode filosofis deduktif, dan Alexandria dengan andalan empiris metode deduktif,
masing-
masing adalah pengikut Plato dan Aristoteles. 2. Periode Kelahiran Nabi Isa (Abad 0 – 6 M) Pada abad-abad ini, dapat disaksikan adanya pertarungan sengit antara Kristen dan Filsafat. Ilmu pengetahuan menjadi beku dan mundur secara drastis, karena Raja Roma menekan kebebasan berpikir: Raja dan Gereja adalah pemegang otoritas kebenaran dan membekuk ilmu. 3. Periode Kebangkitan Islam (Abad 6 – 13 M) Periode ini dikenal pula sebagai abad kegelapan Kristen Eropa, atau abad Pertengahan. Setelah masa kenabian Muhammad SAW., bermunculan para ahli Muslim dalam bidang filsafat dan ilmu, dengan buku-buku monumental mereka. Hanafi, Maliki, Syafi„i, Hanbali sebagai ahli hukum; Al-Kindi ahli filsafat; Al-
3
Farabi ahli astronomi dan matematika; Al-Khawarizmi ahli penemu aljabar (algoritma); Ibnu Sina, penulis The Canon of Medicine; Anzahel ahli dan penemu teori peredaran planet. Al-Ghazali merupakan penemu puncak sintesis antara iman, intelektual atau filsafat, empirik, mistik atau sufisme, dalam buku monumentalnya Ihya ‘Ulumiddin.
Ibnu Rusyd
ahli filsafat dan ilmu fisika,
kedokteran, dan hukum, dengan pendekatan empiris. Ibnu Khaldun (1332 – 1406 M), ahli filsafat sejarah, sosiologi, politik, ekonomi, sosial, dan kenegaraan. Sampai terjadinya Perang Salib, yang mengakibatkan kekalahan umat Islam, merajalelanya penjajahan oleh bangsa Eropa atas bangsa-bangsa dan negaranegara lain, terjadilah kemunduran umat Islam. 4. Periode Kebangkitan Eropa (Abad 14 – 20 M) Abad ini dikenal pula sebagai Abad Kehancuran Kristen, atau Abad Kemunduran Islam, atau Abad Filsafat Yunani Kedua, atau Abad Pemikiran. Filsafat Yunani andalan empirisme Aristoteles, dan andalan rasionalisme Plato, bangkit kembali mewarnai peradaban Eropa dan dunia dewasa ini. Muncullah Gerard van Cremona yang menyalin buku Ibnu Sina, The Canon of Medicine; Fransiscan Roger Bacon, yang menganut filsafat realisme emipirisme, dan penentang otoritas gereja dan penguasa; Copernicus, dan Galileo menjadi tumbal ilmunya sendiri, sampai menyebabkan pecahnya Kristen menjadi Protestan dan Katolik. Revolusi ilmu pengetahuan berlangsung terus melalui dua jalur: revolusi keteknikan dan revolusi intelektual. Tokoh-tokoh berikutnya adalah Newton, dengan teori gravitasi; John Locke yang menumbuhkan hak-hak asasi: hak hidup, hak merdeka, hak berpikir, dan hak berbicara dan menentang kekuasaan gereja. Rousseau, dalam bukunya Social Contract,
mengecam pedas raja=raja Barat
penginjak hak-hak asasi manusia, sebagai revolusi sosial menentang gereja, sehingga akhirnya ortodoksi gereja dikalahkan oleh kemerdekaan berpikir atau ilmu. Emmanuel Kant ahli filsafat yang mewarnai proses ilmu, pemikiran skeptis, dan filsafat materialisme makin galak menyerang Kristen. Darwin ahli teori evolusi, tak percaya lagi kepada Injil. Ia hanya percaya kepada hukum- hukum alam. Lalu ia menjadi ateis sebagaimana Huxley dan Haeckel. Gerakan anti agama terus berjalan sampai munculnya Karl Marx dan Friedrrich Engels
4
(keduanya penganut filsafat dialektika materialisme sebagaimana tampak dalam bukunya Manifesto Komunis). Dominasi filsafat materialisme melahirkan mazhab liberalisme dan komunisme/sosialisme ilmiah. Sementara, ilmu- ilmu terbagi menurut pola berpikir yang berbeda: empirisme, rasionalisme, realisme, dan idealisme, serta kombinasi-kombinasinya. Periode filsafat Yunani kedua ini terus berkembang dari filsafat empiris Aristoteles, filsafat rasionalis Plato ke teori relativitas Einstein dan prinsip ketidakpastian Heisenberg, yang semuanya merupakan filsafat materialisme. Akhirnya, sejarah memasuki tahap kesadaran baru: keterbatasan akal, krisis teori dan krisis-krisis kehidupan, taklid dan kejumudan ilmuwan yang tak mau membaca dan mencari konsep alternatif dari ilmu. 5. Periode Kebangkitan Islam Kedua (Abad 20 M - ?) Dalam periode ini, kesadaran tentang keterbatasan akal dan filsafat materialisme, yang menghasilkan ilmu yang gersang, merupakan landasan kuat bagi perlunya filsafat Islami tentang ditumbuhkannya ilmu ini, sebagai alternatif dari filsafat-filsafat ilmu yang ada, yang umumnya sekular. Dapat kita catat, bahwa beberapa ilmuwan telah mulai merintis pemikiran filsafat Islami tentang ilmu , misalnya Sayyid Hossein Nasr (filsafat Islami tentang ilmu- ilmu kealaman), Ismail R Faruqi (filsafat Islami tentang ilmu- ilmu sosial), dan Naquib al-Attas (filsafat Islami tentang ilmu- ilmu humaniora). Juga ilmuwan seperti Armahedi Mahzar dari ITB, M.Kamal Hassan dari UKM Malaysia, dan Ahmad Sadali dari ITB, masing- masing mencoba meletakan dasar bagi filsafat Islami tentang ilmuilmu kealaman, ilmu- ilmu sosial, dan ilmu-ilmu humaniora. Dalam periode ini menurut Herman Soewardi seorang guru besar Sosiologi dan Filsafat Ilmu UNPAD sebagaimana diungkapkan Sauri, dkk. (tanpa tahun:198) bahwa abad ke-20 merupakan akhir dari Sains Barat Sekuler (SBS) yang telah melahirkan krisis global dan menghasilkan 3 R (Renggut, Resah, Rusak). Abad ini adalah momentum menuju lahirnya sains tauhidullah atau sains Islami. Sains tauhidullah tiada lain adalah alternatif terhadap SBS yang kini sudah hampir kandas. Islamisasi sains bukanlah mengislamkan sains, akan tetapi
5
mencari kelanjutan SBS yang pada penghujung abad ke-20 samapi pada 3 R. Karakteristik utama sains tauhidullah adalah naqliyah memandu aqliyah atau wahyu yang memandu fitrah atau akal manusia. Kecenderungan akan lahir dan berkembangnya sains tauhidullah tersebut, tentunya harus berimplikasi pada proses transfer of
knowledge
semua disiplin ilmu yang menjadi muatan
kurikulum pada satuan pendidikan, terlebih bagi madrasah yang menjadikan agama Islam sebagai identitas kelembagaan. Dalam konteks pembelajaran ekonomi yang diintegrasikan dengan nilai- nilai ketauhidanlah yang akan menjadi solusi atas terjadinya krisis global akibat perkembangan sains barat sekuler yang sudah melahirkan resah, renggut dan rusak. Senada dengan pandangan Herman Soewardi di atas, Sukron Kamil (2004:1-3) guru besar UIN Syarif Hidayatullah Jakarta menyatakan bahwa sains dan teknologi modern telah berperan dalam membentuk peradaban dunia yang modern. Namun, sains dan teknologi menuntut biaya material, mental, kultural, dan moral, baik secara langsung maupun tidak. Antara lain kolonialisme, rusaknya lingkungan akibat teknologi eksploitasi alam yang berlebihan, sakit mental dan kekerasan, munculnya rasa alienasi diri dari lingkungannya, penyalahgunaan obat terlarang, dan dekadensi moral. Terutama dekadensi moral, penyebabnya antara lain sikap secular trend yang kemudian melahirkan disorganisasi (proses berpudar atau melemahnya norma dan nilai- nilai, karena antara lain rasionalisasi dan penekanan pada kausalitas yang langsung sebagai karakter utama sains. Dari sudut pandang ini, tidak berlebihan bila diasums ikan bahwa ancaman krisis kesadaran etis pada masyarakat yang menjunjung tinggi sains dan teknologi bisa jauh lebih besar, karena sering kali penguasaan sains dan teknologi ini tanpa dibarengi etika. Padahal tanpa etika, penguasaan sains dan teknologi tinggi
akan
menjadikan
manusia
sebagai
frankenstein
yang
menimbulkan petaka. Mulyadhi Kartanegara (2007:15-16) guru besar filsafat Islam UIN Syarif Hidayatullah Jakarta, lulusan doktor (S3) filsafat dari Universitas Chicago USA, menyatakan bahwa ada perbedaan fundamental antara teori ilmu pengetahuan modern dan teori ilmu Islam, khususnya dari sudut lingkup dan metodologi.
6
Harapannya tiada lain adalah agar kaum cendekiawan Muslim modern mulai menyadari bahwa cara pandang ilmu modern bukan satu-satunya cara pandang yang universal, tetapi ada juga cara pandang keilmuan lain yang telah dikembangkan para cendekiawan Muslim klasik yang mungkin dapat dijadikan pendangan keilmuan alternatif yang lebih cocok dengan atmosfir budaya bangsa kita yang religius. Dengan adanya perbedaan fundamental antara kedua sistem ilmu ini, diharapkan pembicaraan tentang islamisasi ataupun naturalisasi ilmu akan lebih feasible (mungkin) dan bermakna. Penjajakan kemungkinan bagi islamisasi ilmu ini diharapkan dapat menjadi fondasi bagi pembicaraan selanjutnya berkenaan dengan naturalisasi ilmu ini. Perbedaan pandangan atau perspektif keilmuan seseorang bisa membawa implikasi yang jauh dalam sebuah teori ilmiah. Pembatasan bidang ilmu kepada objek-objek indrawi dan metodenya hanya pada observasi oleh ilmuwan Barat, terbukti telah menimbulkan berbagai masalah teologis yang serius, yang berakhir dengan penolakan beberapa ilmuwan modern terhadap eksistensi Tuhan dan wahyu ilahi. Dengan demikian, bahwa islamisasi ilmu memang diperlukan agar dampak negatif dari ilmu tersebut bisa dikendalikan dan dihindarkan.
Definisi dan Jenis Pengetahuan Manusia Secara etimologi pengetahuan berasal dari kata Inggris, yaitu knowledge. Paul Edwards (1972:3) dalam Encyclopedia of Philosophy menjelaskan bahwa definisi pengetahuan adalah kepercayaan yang benar (knowledge is justified true belief). Sedangkan secara terminologi akan penulis kemukakan beberapa definisi tentang pengetahuan menurut para ahli. Menurut Sidi Gazalba (1992:4), pengetahuan adalah apa yang diketahui atau hasil pekerjaan tahu. Pekerjaan tahu tersebut adalah hasil dari kenal, sadar, insaf, mengerti, dan pandai.
Dengan
demikian pengetahuan merupakan hasil proses dari usaha manusia untuk tahu. Loren Bagus (1996:803) dalam kamus filsafat menjelaskan bahwa pengetahuan (knowledge) adalah proses kehidupan yang diketahui manusia secara
7
langsung dari kesadarannya sendiri. Dalam peristiwa ini yang mengetahui (subjek) memiliki yang diketahui (objek) di dalam dirinya sendiri sedemikia n aktif sehingga yang mengetahui itu menyusun yang diketahui pada dirinya sendiri dalam kesatuan aktif. Penganut pragmatisme, terutama John Dewey tidak membedakan pengetahuan dengan kebenaran (antara
knowledge
dengan truth).
Jadi
pengetahuan itu harus benar, kalau tidak benar adalah kontradiksi (Amsal Bakhtiar, 2011:86). Ahmad Tafsir (2009:16) menjelaskan bahwa pengetahuan ialah keadaan tahu; pengetahuan ialah semua yang diketahui. Ini bukan definisi pengetahuan, tetapi sekadar menunjukkan apa kira-kira pengetahuan. Manusia ingin tahu, lantas ia mencari dan memperoleh pengetahuan. Yang diperolehnya itulah pengetahuan. Menurut Jujun Suriasumantri (2009:104) bahwa pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek terte ntu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Burhanudin Salam sebagaimana diungkapkan Amsal Bakhtiar (2011:8688) bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yaitu: (1) pengetahuan biasa; (2) pengetahuan ilmu; (3) pengetahuan filsafat; dan (4) pengetahuan agama. Pertama, pengetahuan biasa, yakni pengetahuan yang dalam filsafat dikatakan dengan istilah common sense, dan sering diartikan dengan good sense, karena seseorang memiliki sesuatu di mana ia menerima secara baik. Semua orang menyebutnya sesuatu itu merah karena memang itu merah, benda itu panas karena memang dirasakan panas dan sebagainya. Kedua, pengetahuan ilmu, yaitu ilmu sebagai terjemahan dari science. Dalam pengertian yang sempit science diartikan untuk menunjukkan ilmu pengetahuan alam, yang sifatnya kuantitatif dan objektif. Ilmu dapat merupakan suatu metode berpikir secara objektif (objective thinking), tujuannya untuk menggambarkan dan memberi makna terhadap dunia faktual. Pengetahuan ilmu diperooleh melalui observasi, eksperimen dan klasifikasi. Analisis ilmu itu
8
objektif dan menyampingkan unsur pribadi, pemikiran logika diutamakan, netral, dalam arti tidak dipengaruhi oleh sesuatu yang bersifat kedirian (subjektif), karena dimulai dengan fakta. Ketiga, pengetahuan filsafat, yakni pengetahuan yang diperoleh dari pemikiran yang bersifat kontemplatif dan spekulatif. Pengetahuan filsafat le bih menekankan pada universalitas dan kedalaman kajian tentang sesuatu. Kalau ilmu hanya pada satu bidang pengetahuan yang sempit dan rigid, filsafat membahas hal yang lebih luas dan mendalam. Filsafat biasanya memberikan pengetahuan yang reflektif dan kritis, sehingga ilmu yang tadinya kaku dan cenderung tertutup menjadi longgar kembali. Keempat, pengetahuan agama, yakni pengetahuan yang hanya diperoleh dari Tuhan lewat para utusan-Nya. Pengetahuan agama bersifat mutlak dan wajib diyakini oleh para pemeluk agama. Pengetahuan mengandung beberapa hal yang pokok, yaitu, yaitu ajaran tentang cara berhubungan dengan Tuhan, yang sering juga disebut dengan hubungan vertikal dan cara berhubungan dengan sesama manusia, yang sering disebut hubungan horizontal. Menurut Ahmad Tafsir (2010:4) bahwa jenis pengetahuan manusia ada tiga, yaitu pengetahuan sain (scienctific knowledge), pengetahuan filsafat (philosophical knowledge), dan pengetahuan mistik (mystical knowledge). Sain ialah pengetahuan yang rasional dan didukung bukti empiris. Namun, gejala yang paling menonjol dalam pengetahuan sain ialah adanya bukti empiris itu. Dalam bentuknya yang sudah baku, pengetahuan sain mempunyai paradigma dan metode tertentu. Paradigmanya disebut paradigma sain (scientific paradigm) dan metodenya disebut metode ilmiah (metode sain, scientific methode). Formula utama dalam pengetahuan sain ialah buktikan bahwa itu rasional dan tunjukkan bukti empirisnya (Ahmad Tafsir, 2010:6). Filsafat ialah pengetahuan yang diperoleh melalui proses berpikir radikal, sistematik dan holistik tentang segala masalah yang ada. Louis O. Kattsoff (2004:3-15) mengemukakan bahwa filsafat merupakan hasil perenungan kefilsafatan. Perenungan kefilsafatan ialah percobaan untuk menyusun suatu sistem pengetahuan yang rasional, yang memadai untuk memahami dunia tempat
9
kita hidup, maupun untuk memahami diri kita sendiri. Selanjutnya Louis O. Kattsoff
mengemukakan
bahwa
karakteristik
filsafat
adalah
pemikiran
konsepsional, rasional, koheren, dan komprehensip. Ahmad Tafsir (2010:8-9) menegaskan bahwa pengetahuan filsafat ialah pengetahuan yang hanya dapat dipertanggungjawabkan secara rasional. Bila rasional, benar, bila tidak, salah. Kebenarannya tidak pernah dapat dibuktikan secara empiris. Bila ia rasional dan empiris, maka ia berubah menjadi sain. Objek penelitian filsafat adalah objek-objek yang abstrak, karena objeknya abstrak, maka temuannya juga abstrak. Paradigmanya ialah paradigma rasional (rational paradigm), metodenya metode rasional. Kerlinger menyebutnya method of reason. Mistik ialah pengetahuan yang diperoleh melalui kepercayaan, keyakinan, dan latihan. Pengetahuan jenis ini disebut pengetahuan mistik (mystical knowledge). Objek jenis pengetahuan ini adalah objek abstrak-supra-rasional atau meta-rasional.
Objek
abstrak-supra-rasional
itu
dapat
diketahui dengan
menggunakan rasa, bukan pancaindra dan atau akal rasional. Bergson menyebut alat itu intuisi, Kant menyebutnya moral atau akal praktis, filosof muslim seperti Ibnu Sina menyebutnya akal mustafad, shufi-shufi muslim menyebutnya qalb, dzawq, kadang-kadang dhamir, kadang-kadang sirr. Paradigma pengetahuan mistik disebut paradigma mistik (mystical paradigm), metodenya latihan (riyadhah) dan metode yakin (percaya). Kebenarannya pada umumnya tidak dapat dibuktikan secara empiris, selalu tidak terjangkau pembuktian rasional (Ahmad Tafsir, 2010:10-11). Pengetahuan Manusia Pengetahuan SAIN
Objek Empiris
Paradigma Sain
Metode Metode Ilmiah
FILSAFAT MISTIK
Abstrak-Rasional Abstrak-Suprarasional
Rasional Mistik
Metode Rasional Latihan, Percaya
Kriteria Rasional Empiris Rasional Rasa, Iman, Logis, kadang Empiris
Sumber: Ahmad Tafsir, Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2010:11).
10
Jujun Suriasumantri (2009:2) menjelaskan bahwa pengetahuan merupakan produk kegiatan berpikir manusia yang dijadikan sebagai obor dan semen peradaban di mana manusia menemukan dirinya dan menghayati hidup dengan lebih sempurna. Berbagai masalah memasuki memasuki benak pemikiran manusia dalam menghadapi kenyataan hidup sehari- hari dan beragam buah pemikiran telah dihasilkan sebagai bagian dari sejarah kebudayaannya. Meskipun kelihatannya tampak betapa banyak dan beraneka ragamnya buah pemikiran itu namun pada hakekatnya upaya manusia dalam memperoleh pengetahuan didasarkan pada tiga masalah pokok, yakni: Apakah yang kita ketahui ? Bagaimanakah cara kita memperoleh pengetahuan ? Dan apakah nilai pengetahuan tersebut bagi kita ? Ilmu merupakan salah satu dari buah pemikiran manusia dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan ini. Ilmu merupakan salah satu dari pengetahuan manusia. untuk bisa menghargai ilmu sebagaimana mestinya, sesungguhnya kita harus mengerti apakah hakekat ilmu itu sebenarnya. Pengertian yang mendalam terhadap hakekat ilmu, bukan saja akan mengikatkan apresiasi kita terhadap ilmu, namun juga membuka mata kita terhadap berbagai kekurangannya (Jujun Suriasumantri, 2009:3). Dari penjelasan di atas, tampak bahwa ilmu merupakan salah satu jenis pengetahuan manusia, yang biasa disebut dalam masyarakat ilmiah adalah pengetahuan ilmu atau pengetahuan sain (scienctific knowledge).
Pengelompokan Ilmu Sebagian para ahli mengelompokan ilmu berdasarkan objek bidang kajian dan tujuan pengkajiannya. Hal ini sebagaimana dijelaskan Nata Saputra bahwa secara umum ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Yaitu ilmu pengetahuan yang didasarkan atas objek atau bidang kajian pengetahuan yang didasarkan pada tujuan pengkajiannya.
11
dan ilmu
Ilmu pengatahuan yang didasarkan atas objek atau bidang kajian antara lain, ilmu pengetahuan alam (natural sciences), ilmu pengetahuan sosial (social sciences), dan ilmu pengetahuan budaya (humanistics study). 1. Ilmu Pengetahuan Alam (natural sciences) Ilmu pengetahuan alam (natural sciences) merupakan ilmu yang mempelajari gejala-gejala alam, baik hayati maupun nonhayati. Yang termasuk dalam ilmu ini adalah biologi, fisika, kimia, dan lain-lain. 2. Ilmu Pengetahuan Sosial (social sciences) Ilmu pengetahuan sosial (social sciences) adalah ilmu yang mengkaji kehidupan bersama manusia dengan sesamanya seperti, antropologi, sosiologi, ekonomi, dan lain-lain. 3. Ilmu Pengetahuan Budaya (humanistics study) Ilmu pengetahuan budaya merupakan ilmu yang mempelajari manifestasi atau perwujudan spiritual dari kehidupan bersama manusia. Sedangkan ilmu pengatahuan yang didasarkan pada tujuan pengkajiannya dikelompokkan menjadi ilmu murni (pure sciences) dan ilmu terapan (applied sciences). 1. Ilmu Murni (pure sciences) Ilmu murni (pure science) merupakan suatu ilmu yang bertujuan mendalami teori untuk memajukan atau memperkaya khazanah ilmu tersebut. Contoh, seseorang ingin menguji kebenaran teori konflik yang dikemukakan oleh Ralp Dahrendorf. Menurutnya (sebagaimana dikutip George Ritzer: 2003), setiap perubahan-perubahan yang terjadi dalam masyarakat akan menimbulkan pertentangan yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan masyarakat. Berdasarkan teori itulah seseorang melakukan sejumlah penelitian untuk membuktikan kebenaran teori tersebut.
Hasil dari penelitian itu akan
menghasilkan suatu ilmu yang termasuk ilmu murni atau pure science. 2. Ilmu Terapan (applied sciences) Ilmu terapan (applied science) merupakan ilmu pengetahuan yang digunakan untuk memecahkan masalah- masalah praktis, sehingga dapat dirasakan
12
manfaatnya secara langsung oleh masyarakat. Misalnya, akhir-akhir ini di Indonesia disibukkan dengan bencana gempa dan gelombang tsunami yang melanda di sebagian besar wilayahnya. Mulai Aceh, Lampung, Ciamis, Cilacap, Bantul, Singaraja, bahkan Minahasa. Akibatnya, ketenangan masyarakat menjadi terganggu, rasa ketakutan menyelimuti hampir seluruh warga pesisir pantai. Oleh karena itulah para geolog, ahli demografi, dan pengamat gempa bekerja sama mencari penyebab-penyebab terjadinya gempa. Berdasarkan hasil penelitian tersebut berbagai saran dan solusi disebarluaskan kepada masyarakat luas sebagai upaya antisipasi dan diajukan kepada pemerintah supaya masalah tersebut ditindaklanjuti. Ahmad Tafsir (2010:25-26) menjelaskan bahwa dalam garis besarnya ilmu atau sain dibagi dua, yaitu sain kealaman (natural sciences) dan sain sosial (social sciences). Berikut ini hendak menjelaskan struktur sain dalam bentuk nama-nama ilmu. Nama ilmu banyak sekali, berikut ditulis beberapa saja di antaranya: 1. Sain Kealaman (a). Astronomi (b). Fisika: mekanika, bunyi, cahaya dan optik, fisika nuklir; (c). Kimia: kimia organik, kimia teknik; (d). Ilmu Bumi: paleontologi, ekologi, geofisika, geokimia, mineralogi, geografi; (e). Ilmu Hayat: biofisika, botani, zoologi. 2. Sain Sosial (a). Sosiologi: sosiologi komunikasi, sosiologi politik, sosiologi pendidikan; (b). Antropologi: antropologi budaya, antropologi ekonomi, antropologi politik; (c). Psikologi: psikologi pendidikan, psikologi anak, psikologi abnormal; (d). Ekonomi: ekonomi makro, ekonomi lingkungan, ekonomi pedesaan; (e). Politik: politik dalam negeri, politik hukum, politik internasional. Selanjutnya Ahamd Tafsir (2010:26) menambahkan sain humaniora.
13
3. Humaniora (a). Seni: seni abstrak, seni grafika, seni pahat, seni tari; (b). Hukum: hukum pidana, hukum tata usaha negara, hukum adat (mungkin dapat dimasukkan ke sain sosial); (c). Filsafat: logia, ethika, estetika; (d). Bahasa, sastra; (e). Agama: Islam, Kristen, Confusius; (f). Sejarah: sejarah Indonesia, sejarah dunia (mungkin dapat dimasukkan ke sain sosial); Amsal Bakhtiar (2011:123) menjelaskan bahwa para filosof muslim membedakan ilmu kepada ilmu yang berguna dan yang tak berguna. Ka tegori ilmu yang berguna mereka memasukkan ilmu duniawi, seperti kedokteran, fisika, kimia, geografi, logika, etika, bersama disiplin-disiplin yang khsusus mengenai ilmu keagamaan. Ilmu sihir, alkemi dan numerologi (ilmu nujum dengan menggunakan bilangan) dimasukkan ke dalam golongan cabang-cabang ilmu yang tidak berguna. Klasifikasi ini memberikan makna implisit menolak adanya sekularisme, karena wawasan Yang Kudus tidak menghalang- menghalangi orang yang menekuni ilmu-ilmu pengetahuan duniawi secara teoritis dan praksis. Selanjutnya Amsal Bakhtiar (2011:122) menjelaskan bahwa secara umum ada tiga basis yang sangat mendasar dalam menyusun secara hirarkis ilmu- ilmu metodologis, ontologis, dan etis. Hampir ketiga kriteria ini dipakai dan diterima oleh para ilmuwan muslim sesudahnya membuat klasifikasi ilmu-ilmu. Al-Farabi membuat klasifikasi ilmu secara filosofis ke dalam beberapa wilayah, seperti ilmu- ilmu matematis, ilmu alam, metafisika, ilmu politik, dan terakhir yurisprudensi dan teologi dialektis. Beliau memberi perincian ilmu- ilmu religius (Ilahiyah) dalam bentuk kalam dan fiqih langsung mengikuti perincian ilmu- ilmu filosofis, yakni matematik, ilmu alam, metafisika, dan ilmu politik. Sedangkan Al-Ghazali secara filosofis membagi ilmu ke dalam ilmu syar‘iyyah dan ilmu aqliyyah. Oleh Al-Ghazali ilmu yang terakhir ini disebut juga ilmu ghair syar‘iyyah (Amsal Bakhtiar, 2011:123).
14
Klasifikasi Al-Ghazali tentang ilmu syar‘iyyah dan ilmu aqliyyah: 1. Ilmu Syar‘iyyah a. Ilmu tentang prinsip-prinsip dasar (al-ushul) (1). Ilmu tentang keesaan Tuhan (al-Tauhid) (2). Ilmu tentang kenabian (3). Ilmu tentang akhirat atau eskatologis (4). Ilmu tentang sumber pengetahuan religius, yaitu al-Quran, dan alSunnah (primer), ijma„ dan tradisi para sahabat (sekunder), ilmu ini terbagi menjadi dua kategori, yaitu: (a) ilmu- ilmu pengantar (ilmu alat); (b) ilmu- ilmu pelengkap, terdiri dari: ilmu Quran, ilmu riwayat al-Hadits, ilmu ushul fiqh, dan biografi para tokoh. b. Ilmu tentang cabang-cabang (furu‘) (1). Ilmu tentang kewajiban manusia kepada Tuhan (ibadah); (2). Ilmu tentang kewajiban manusia kepada masyarakat: (a) ilmu tentang transaksi, termasuk qishas; (b) ilmu tentang kewajiban kontraktual (berhubugan dengan hukum keluarga). (3). Ilmu tentang kewajiban manusia kepada jiwanya sendiri (ilmu akhlak). 2. Ilmu Aqliyyah a. Matematika: aritmatika, geometri, astronomi dan astrologi, musik; b. Logika; c. Fisika/ilmu alam: kedokteran, meteorologi, mineralogi, kimia; d. Ilmu tentang wujud di luar alam, atau metafisika: Ontologi (1). Pengetahuan tentang esensi, sifat, dan aktivitas Ilahi. (2). Pengetahuan tentang substansi-substansi sederhana. (3). Pengetahuan tentang dunia halus. (4). Ilmu tentang kenabian dan fenomena kewalian ilmu tentang mimpi. (5). Teurgi (nairanjiyyah). Ilmu ini menggunakan kekuatan-kekuatan bumi yang menghasilkan efek tampak seperti supernatural.
15
Bangunan Ilmu Pengetahuan Pengetahuan yang diproses
menurut
metode
ilmiah
merupakan
pengetahuan yang memenuhi syarat-syarat keilmuan, dan dengan demikian dapat disebut pengetahuan ilmiah atau ilmu. Sebuah hipotesis yang telah teruji secara formal diakui sebagai pernyataan pengetahuan ilmiah yang baru yang memperkaya khazanah ilmu yang telah ada (Jujun Suriasumantri, 2009:141). Adapun elemen-elemen anatomis yang menjadi unsur penentu bangunan ilmu dipaparkan secara deskriptif di dalam makalah ini, di antaranya (1) objek ilmu, (2) bentuk-bentuk pernyataan ilmu, (3) isi pernyataan ilmu, dan (4) ciri pokok ilmu. Pengetahuan ini berguna bagi para peneliti dan para ilmuwan muda sebagai dasar filosofis dalam membangun dan mengembangkan ilmu pengetahuan yang menjadi minatnya. Konsistensi dalam mengikuti pemahaman tentang bangunan ilmu ini akan membantu mereka menghasilkan karya ilmiah yang sistematis, yang mampu menggambarkan eksistensi pengetahuan ilmiah ya ng dipelajari atau dirumuskannya secara benar.
(1). Objek Ilmu Pada dasarnya, setiap ilmu memiliki dua macam objek, yaitu objek material dan objek formal. Objek material adalah fenomena dunia yang ditelaah, dikaji, dan dipelajari oleh ilmu. Objek formal adalah pusat perhatian, focus of interest, sentral masalah yang menjadi sasaran telaah yang dilakukan ilmuwan terhadap fenomena dunia yang menjadi objek material. Pertemuan atau penggabungan antara objek material dan objek formal pada hakikatnya menjadi pokok persoalan yang dikaji dan dibahas ilmuwan sehingga akhirnya menghasilkan pengetahuan ilmiah tertentu. Kaitan dengan objek ilmu, Amsal Bakhtiar (2011:1) mengemukakan bahwa objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Adapun objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif.
16
Klubertanz (1955: 4) menyatakan bahwa objek material menunjuk pada pokok persoalan suatu pengetahuan tertentu, terutama dalam kaitannya dengan proposisi-proposisi yang dapat dibuat mengenai pokok persoalan itu. Kata sifat „material‟ tidak dimaksud untuk menunjukkan adanya materi di dalam susunan suatu pokok persoalan suatu ilmu. Kata „material‟ di gunakan di sini cenderung untuk menunjukkan bahwa ilmu pengetahuan dibentuk berdasarkan bahan-bahan atau materi- materi tertentu, mirip bahan atau materi yang digunakan oleh seniman atau tukang dalam mencipta sesuatu. Jika, seniman atau tukang dalam mencipta karya atau membuat sesuatu menggunakan bahan-bahan atau materi- materi sebagai dasarnya, maka ilmuwan di dalam membuat atau merumuskan pengetahuan ilmiah atau ilmu juga menggunakan bahan-bahan atau materi- materi tertentu sebagai dasarnya. Pada hakikatnya, bahan-bahan atau materi- materi yang digunakan oleh ilmuwan sebagai dasar untuk merumuskan pengetahuan ilmiah atau ilmu pengetahuan adalah fenomena dunia yang tergelar di hadapan kesadarannya. Jadi, objek material adalah suatu sasaran kajian atau telaah ilmu yang berupa fenomena dunia yang dijadikan bahan atau materi untuk menghasilkan pengetahuan ilmu. Jumlah fenomena dunia yang ditelaah oleh berbagai bidang ilmu adalah tak terhingga, sejalan dengan tumbuhnya cabang-cabang dan ranting-ranting ilmu. Namun, sesungguhnya fenomena- fenomena dunia yang tak terhingga banyaknya itu dapat dikelompokkan menjadi enam jenis, yaitu (1) ide- ide abstrak, (2) bendabenda fisik, (3) jasad hidup, (4) gejala-gejala rohani, (5) peristiwa-peristiwa sosial, dan (6) proses tanda. Contoh fenomena yang termasuk dalam kategori ide abstrak adalah konsep bilangan atau konsep tawajuh (dalam komunitas Naqsabandiyah), konsep puasa, konsep pasar, konsep artistik dan seterusnya. Contoh fenomena yang termasuk kategori benda-benda fisik adalah gunung berapi, air bah, tsunami, dan seterusnya. Contoh fenomena yang termasuk kategori jasad hidup adalah manusia, burung, ulat bulu, jamur, berbagai jenis pepohonan, dan seterusnya. Contoh fenomena yang termasuk kategori gejala rohani adalah ingatan, kemunafikan, kejujuran, ketafaquhan, ghiroh, dan lain- lain. Contoh fenomena yang termasuk
17
kategori peristiwa sosial adalah pemerintahan, jual beli di pasar, pergaulan di kampus, di sekolah, di kantor, di masjid, di surau, di kampung dan seterusnya. Adapun contoh fenomena yang termasuk dalam kategori proses tanda adalah bahasa, karya seni, tanda tangan, air mata, dan seterusnya. Perkembangan ilmu terkini menunjukkan bahwa kita banyak menemukan berbagai ilmu pengetahuan yang pokok persoalan atau objek materialnya sama. Kedokteran, psikologi, sosiologi, dan antropologi, misalnya, adalah ilmu- ilmu pengetahuan yang mempunyai pokok persoalan atau objek material yang sama, yaitu manusia. Semua ilmu itu, baik kedokteran, psikologi, sosiologi, maupun antropologi berusaha dan bermaksud menemukan, mengetahui, mengungkap, menjelaskan dan memanfaatkan berbagai hal yang dapat ditemukan, dike tahui, diungkap, dijelaskan, dan dimanfaatkan untuk melakukan tindakan-tindakan praksis tentang manusia. Umumnya, berbagai cabang ilmu yang serumpun memiliki objek material yang sama. Misalnya adalah ilmu politik, salah satu objek yang menjadi sasaran telaahnya adalah partai politik sebagai objek material. Namun partai politik yang menjadi objek material ilmu politik itu juga dipelajari atau ditelaah oleh sosiologi, ilmu menejemen, ilmu komunikasi, ilmu hukum, ilmu agama, filsafat, dan seterusnya. Lantas, apa perbedaan dari ilmu- ilmu itu? Perbedaan ilmu- ilmu itu terletak pada bagaimana cara menemukan, mengetahui, mengungkap, dan menjelaskan hal- hal penting dari pokok persoalan yang menjadi fokus perhatian ilmuwannya. Akibat dari perbedaan cara menemukan, me ngetahui, mengungkap, dan menjelaskan hal-hal penting dari pokok persoalan yang menjadi sentral masalah sasaran telaah yang dilakukan ilmuwan menghasilkan jenis pengetahuan yang berbeda-beda pula. Berarti, hal yang membedakan cabang ilmu satu dengan cabang ilmu yang lain adalah objek formal yang digunakan ilmuwan untuk menelah sasaran atau objek material suatu ilmu. Perbedaan-perbedaan pengetahuan satu dengan pengetahuan yang lain atau ilmu satu dengan ilmu yang lain pada hakikatnya terletak pada (1) bagaimana cara pengetahuan itu ditemukan, (2) bagaimana cara pengetahuan itu dirumuskan, dan (3) bagaimana cara pengetahuan itu dijelaskan oleh ilmuwan. Perbedaan juga
18
disebabkan oleh prinsip-prinsip berfikir, sifat logika, dan jenis argumentasi yang digunakan oleh ilmuwan. Oleh karena itu, perbedaan-perbedaan yang mencakup (1) cara pengetahuan ditemukan, (2) cara pengetahuan dirumuskan, (3) cara pengetahuan dijelaskan, (4) prinsip-prinsip berfikir, (5) karakteristik logika, dan (6) jenis argumentasi yang digunakan oleh ilmuwan juga dipahami sebagai objek. Objek yang berkenaan dengan enam unsur itu merupakan perspektif ilmuwan dalam memahami objek material. Objek
yang
hakikatnya
merupakan
perspektif
ilmuwan
dalam
menghasilkan pengetahuan ilmu yang baru itu adalah objek yang terkait dengan bagaimana pembentukan (to form) pengetahuan ilmu. Oleh karena itu, objek ini disebut dengan objek formal. Objek ini secara konvensional dianggap benar, sepanjang ditandai oleh atau diorganisasikan sesuai dengan konvensi-konvensi berfikir logis dan metodologi yang terorganisir secara tepat dalam pembentukan ilmu. Objek formal sering juga disebut perspektif ilmu, poin of view atau poin of interest, kerangka teoretis, kerangka filosofis atau sebutan lain yang pada hakikatnya adalah paradigma suatu ilmu. Paradigma ilmu pada dasarnya adalah cara pandang ilmuwan terkait dengan (1) apa yang harus di amati dan diteliti, (2) jenis pertanyaan yang dianggap perlu untuk dipertanyakan dan diteliti untuk ditemukan jawabnya terkai dengan objek material tertentu, (3) bagaimana pertanyaan-pertanyaan itu dirumuskan secara terstruktur, (4) bagaimana hasil penelitian ilmiah harus diinterpretasikan. Jadi, paradigma adalah cakupan dan karakteristik pola berfikir dalam berbagai disiplin ilmiah atau cakupan unsur pengembangan ilmu dalam konteks epistemologis yang dilakukan oleh ilmuwan dalam melaksanakan penelitian ilmiah. Paradigma atau objek formal adalah perspektif yang di dalamnya terkandung unsur-unsur yang menjadi cakupannya. Unsur-unsur paradigma dalam natural sciences (ilmu- ilmu kealaman) memerlukan studi dan pendalaman tersendiri, yang dengan sangat terpaksa tidak mungkin di paparkan di dalam kesempatan ini. Untuk itu, dalam kesempatan ini dipaparkan unsur- unsur paradigma untuk ilmu- ilmu sosial-budaya dan humaniora. Unsur-unsur yang
19
membentuk paradigma atau objek formal dalam ilmu- ilmu sosial-budaya dan humaniora adalah (1) asumsi-asumsi dasar, (2) nilai- nilai, (3) model, (4) masalahmasalah yang ingin diselesaikan atau dijawab, (5) konsep-konsep, (6) metode penelitian, (7) metode analisis, (8) hasil analisis, (9) etnografi atau representasi. Untuk menggambarkan secara cermat dan lengkap suatu pengetahuan dalam ilmu tertentu atau dalam penelitian ilmiah tertentu, seorang ilmuwan atau peneliti bidang ilmu tertentu harus dapat menunjukkan objek materialnya dan dapat pula menunjukkan ciri-ciri pengetahuan yang dihasilkan sesuai karakter yang ditampakkan pada objek formalnya.
(2). Bentuk-bentuk Pernyataan Ilmu Jujun Suriasumantri (2009:151) mengemukakan bahwa ilmu teoritis terdiri dari sistem pernyataan. Sistem yang terdiri dari pernyataan-pernyataan agar terpadu secara utuh dan konsisten jelas memerlukan konsep yang mempersatukan dan konsep yang mempersatukan tersebut adalah teori. Selanjutnya Jujun Suriasumantri (2009:142) menegaskan bahwa ilmu pada dasarnya merupakan kumpulan pengetahuan yang bersifat menjelaskan berbagai gejala alam yang memungkinkan manusia melakukan serangkaian tindakan untuk menguasai gejala tersebut berdasarkan penjelasan yang ada. Penjelasan keilmuan memungkinkan kita meramalkan apa yang akan terjadi dan berdasarkan ramalan tersebut kita bisa melakukan upaya untuk mengontrol agar ramalan itu menjadi kenyataan atau tidak. Jadi pengetahuan ilmiah pada hakikatnya mempunyai tiga fungsi, yaitu: menjelaskan, meramalkan dan mengontrol. Secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan, yaitu: (1) Deduktif; (2) Probabilistik; (3) Fungsional atau teleologis; dan (4) Genetik. Penjelasan deduktif mempergunakan cara berpikir deduktif dalam menjelaskan suatu gejala dengan menarik kesimpulan secara logis dari premis-premis yang telah ditetapkan sebelumnya. Penjelasan probabilistik merupakan penjelasan yang ditarik secara induktif dari sejumlah kasus yang dengan demikian tidak memberikan kepastian seperti penjelasan deduktif, melainkan penjelasan yang
20
bersifat peluang seperti “kemungkinan”, “kemungkinan besar” atau “hampir dapat dipastikan”. Penjelasan fungsional atau teleologis merupakan penjelasan yang meletakkan sebuah unsur dalam kaitannya dengan sistem secara keseluruhan yang mempunyai karakteristik atau arah perkembangan tertentu. Penjelasan genetik mempergunakan faktor-faktor yang timbul sebelumnya dalam menjelaskan gejala yang muncul kemudian (Jujun Suriasumantri, 2009:142-142).
(3). Isi Pernyataan Ilmu Sebagaimana telah dikemukakan di muka bahwa ilmu teoritis terdiri dari sistem pernyataan. Sistem yang terdiri dari pernyataan-pernyataan agar terpadu secara utuh dan konsisten jelas memerlukan konsep yang mempersatukan dan konsep yang mempersatukan tersebut adalah teori (Jujun Suriasumantri, 2009:151). Adapun isi pernyataan ilmu terdiri dari: konsep, proposisi, teori, hukum, prinsip, postulat atau aksioma, dan asumsi. Kaitan dengan itu, Jujun Suriasumantri (2009:157-159) menegaskan bahwa dalam pengkajian ilmiah seperti penelitian dituntut untuk menyatakan secara tersurat postulat, asumsi, prinsip serta dasardasar pikiran lainnya yang dipergunakan dalam mengembangkan argumentasinya. Berikut ini adalah penjelasan mengenai isi pernyataan ilmu tersebut.
Konsep Konsep dapat dimaknai sebagai ide atau pengertian yang diabstraksikan dari peristiwa konkret; atau gambaran mental dari objek, proses, atau apa pun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal b udi untuk memahami hal- hal lain (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:588). Ahmad Tafsir (2008:110-111) mengemukakan bahwa konsep ialah definisi. Definisi ialah pengertian atau penyebutan semua ciri esensi suatu objek dengan membuang semua ciri aksidensinya. Ciri esensi ialah ciri yang menyebabkan objek sebagai objek itu sendiri, bukan yang lain. Ciri esensi ialah ciri pokok, sedangkan ciri aksidensi ialah ciri yang tidak pokok. Ciri aksidensi boleh ada boleh tidak, tidak mempengaruhi ada tidaknya objek itu. Konsep
21
biasanya terdiri atas satu kata, seperti kursi, muslim. Kadang-kadang definisi atau konsep terdiri atas dua kata atau lebih (kata majemuk), seperti kursi rotan, muslim mayoritas. Konsep harus berlaku umum, seperti “muslim” tadi. Oleh karena itu Muhammad SAW bukan konsep, bukan definisi, sekalipun ia muslim.
Proposisi Proposisi/hipotesis mengandung pengertian sebagai berikut: (a) suatu pernyataan (statement) yang dianggap berlaku umum dalam kata-kata atau kalimat; (b) menyatakan hubungan antara dua atau lebih gejala (variabel); (c) dikemukakan untuk diterima atau ditolak (Munandar Soelaeman, 2006:14).
Teori Jujun Suriasumantri (2009:143) mengemukakan bahwa teori merupakan pengetahuan ilmiah yang mencakup penjelasan mengenai suatu faktor tertentu dari sebuah disiplin keilmuan. Misalnya dalam ilmu ekonomi dikenal teori ekonomi makro dan mikro, sedangkan dalam fisika dikenal teori mekanik Newton dan teori relativitas Einstein.
Hukum Jujun Suriasumantri (2009:143-145) sebuah teori biasanya terdiri dari hukum- hukum. Misalnya, dalam teori ilmu ekonomi mikro kita mengenal hukum permintaan dan penawaran. “Bila permintaan naik, sedangkan penawaran tetap, maka harga akan naik”. “Bila penawaran naik, sedangkan permintaan tetap, maka harga akan turun”. Hukum pada hakikatnya merupakan pernyataan yang menyatakan hubungan antara dua variabel atau lebih dalam suatu kaitan sebab akibat. Seperti dalam hukum ekonomi tersebut di atas maka dapat dilihat hubungan sebab akibat antara permintaan, penawaran dan pembentukan harga. Pernyataan yang mencakup hubungan sebab akibat atau hubungan kausalitas, memungkinkan kita untuk meramalkan apa yang akan terjadi sebagai akibat dari sebuah sebab.
22
Dengan demikian, menurut Jujun Suriasumantri (2009:147) bahwa teori adalah pengetahuan ilmiah yang memberikan penjelasan tentang “mengapa” suatu gejala- gejala terjadi sedangkan hukum memberikan kemampuan kepada kita untuk meramalkan tentang “apa” yang mungkin terjadi. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini merupakan “alat” yang dapat kita pergunakan untuk mengontrol gejala alam. Pengetahuan ilmiah dalam bentuk teori dan hukum ini harus mempunyai tingkat keumuman yang tinggi, atau secara idealnya, harus bersifat universal.
Prinsip Di samping hukum, teori keilmuan juga mengenal kategori pernyataan yang disebut prinsip. Prinsip dapat diartikan sebagai pernyataan yang berlaku secara umum bagi sekelompok gejala-gejala tertentu, yang mampu menjelaskan kejadian yang terjadi, umpamanya saja hukum sebab akibat sebuah gejala. Dalam ilmu ekonomi kita mengenal prinsip ekonomi dan dalam fisika kita mengenal prinsip kekekalan energi. Dengan prinsip-prinsip ini maka kita mampu menjelaskan kejadian-kejadian yang terjadi dalam ilmu ekonomi dan fisika. Berbagai kejadian ekonomi, yang dapat dirumuskan dalam berbagai hukum atau pernyataan, pada dasarnya dilandasi oleh kegiatan ekonomis yang menerapkan prinsip ekonomi, yakni: “Mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dengan pengorbanan sekecil-kecilnya. Dengan prinsip inilah, maka kita menjelaskan pengertian efisiensi dan mengembangkan berbagai teknik seprti analisis sistem dan riset operasional (operations research) untuk meningkatkan efisiensi. Dengan mengetahui prinsip yang mendasarinya, maka tidak sukar bagi mereka yang mempelajari teknik-teknik tersebut yang bernaung dalam payung konsep sistem, untuk memahami bukan saja penjelasan teknis namun sekaligus pengkajian filsafati (Jujun Suriasumantri, 2009:153-155).
Postulat atau Aksioma Postulat ialah asumsi yang menjadi pangkal dalil yang dianggap benar tanpa perlu membuktikannya; anggapan dasar atau aksioma. (Kamus Besar
23
Bahasa Indonesia, 2005:890). Aksioma ialah pernyataan yang dapat diterima sebagai kebenaran tanpa pembuktian (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:22). Jujun Suriasumantri (2009:155-156) mengemukakan bahwa postulat merupakan asumsi dasar yang kebenarannya kita terima tanpa dituntut pembuktiannya. Kebenaran ilmiah pada hakikatnya harus disahkan lewat sebuah proses yang disebut metode keilmuan. Postulat ilmiah ditetapkan tanpa melalui prosedur ini melainkan ditetapkan secara begitu saja. Seperti kita ingin mengelilingi sebuah lingkaran maka kita harus mulai dari sebuah titik; dan postulat adalah ibarat titik dalam lingkaran yang eksistensinya kita tetapkan secara sembarang. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pada hakikatnya postulat merupakan anggapan yang ditetapkan secara sembarang dengan kebenaran yang tidak dibuktikan. Sebuah postulat dapat diterima sekiranya ramalan yang bertumpu kepada postulat kebenarannya dapat dibuktikan.
Asumsi Asumsi ialah dugaan yang diterima sebagai dasar; landasan berpikir karena dianggap benar (Kamus Besar Bahasa Indonesia, 2005:73). Menurut Jujun Suriasumantri (2009:157) bahwa bila postulat dalam pengajuannya tidak memerlukan bukti tentang kebenarannya, maka hal ini berbeda dengan asumsi yang harus ditetapkan dalam sebuah argumentasi ilmiah. Asumsi harus merupakan pernyataan yang kebenarannya secara empiris dapat diuji.
(4). Ciri Pokok Ilmu Ilmu merupakan pengetahuan yang memiliki karakteristik, ciri khusus, atau keistimewaan yang membuat orang menyadari bahwa pengetahuan itu adalah ilmu. Ciri khusus atau keistimewaan itu merupakan hal penting, karena berguna untuk
membedakan pengetahuan ilmu
itu sendiri dengan pengetahua n-
pengetahuan lainnya. Sifat-sifat yang melekat dan berperan sangat penting itu di sini disebut ciri pokok ilmu. Ciri-ciri pokok ilmu menunjukkan bahwa bentukbentuk pernyataan maupun kandungan-kandungan proposisinya harus memiliki sifat-sifat tertentu.
24
Kaitan dengan karakteristik ilmu menurut para ahli misalnya, Soerjono Soekanto (2009:5-6) mengemukakan bahwa ilmu pengetahuan (science) adalah pengetahuan (knowledge) yang tersusun sistematis dengan menggunakan kekuatan pemikiran, yang selalu dapat diperiksa dan ditelaah (dikontrol) dengan kritis oleh setiap orang lain yang ingin mengetahuinya. Dari pengertian tersebut, unsur-unsur (element) yang merupakan bagian-bagian yang tergabung dalam suatu kebulatan adalah: pengetahuan (knowledge), tersususn secara sistematis, menggunakan peikiran, dapat dikontrol secara kritis oleh orang lain atau umum (objektif). Dengan demikian, menurut Soerjono Soekanto (2009:13) bahwa ciriciri pokok ilmu dapat disimpulkan sebagai berikut, yaitu: empiris, teoritis, kumulatif dan nonetis. Ahmad Tafsir (2010:6) mengemukakan bahwa sain ialah pengetahuan yang rasional dan didukung bukti empiris serta positif. Dengan demikian, ciri pokok ilmu yang mendasar adalah logis, empiris dan positif. Positif diartikan sebagai pasti atau dapat diukur dan diverifikasi dengan cara kalkulatif. Dari beberapa penjelasan para ahli mengenai ciri-ciri pokok ilmu sebagaimana telah dikemukakan di atas, dapat disimpulkan bahwa s ifat-sifat yang harus ada dan menjadi ciri pokok ilmu adalah sifat (a) sistematis, (b) keumuman atau general, (c) rasional, (d) objektif, (e) dapat diverifikasi, dan (f) komunal.
Sistematis Bentuk-bentuk pernyataan dan isi kandungan pernyataan ilmu harus bersifat sistematis, karena syarat pengetahuan dapat berubah menjadi ilmu adalah pengetahuan itu tersusun dalam satu kesatuan sistemik. Pernyataan atau proposisiproposisinya berisi pernyataan-pernyataan yang berhubungan secara fungsional. Pernyataan yang terumuskan berisi uraian-uraian substansi suatu objek, dan tiap uraian substansi berhubungan satu sama lain secara teratur dan logis sehingga membentuk sistem yang “bermakna” secara utuh, menyeluruh, terpadu, dapat berfungsi sebagai sarana untuk menjelaskan rangkaian antar unsur yang menjadi sebab, akibat atau konstruksi secara logis suatu obyek.
25
Setiap ilmu pengetahuan harus mengandung jabaran suatu hubungan inter dan/atau antar unsur, yang satu sama lain saling bertalian secara sistematis dari fakta- fakta yang menjadi objeknya. Ilmu berwujud kumpulan pernyataan atau proposisi sistematik yang di dalamnya berisi kebenaran. Kebenaran dan sifat sistematik adalah ciri pokok ilmu. Namun sifat sistematik bukan satu-satunya ciri pokok ilmu. Sejumlah pernyataan, meskipun benar seperti misalnya peribahasa atau ucapan- ucapan arif dari orang yang bijak, tidak dapat serta merta menjadi ilmu jika tidak dapat disusun menjadi suatu kebulatan pemahaman yang komprehensip, yang di dalamnya terdapat unsur yang saling berkaitan secara sistemik. Namun, fakta- fakta yang disusun oleh seseorang secara sistematik semata-mata juga tidak dapat serta merta disebut ilmu, karena diperlukan ciri pokok yang lain. Sebab, sifat sistematik bukan satu-satunya ciri pokok ilmu. Oleh karena itu, ciri sistematik harus dilengkapi lagi dengan ciri ilmu yang lain yaitu bersifat umum atau general.
Keumumam/General Ilmu mesti bersifat umum atau general, karena hakikat ilmu adalah merangkum berbagai fenomena yang luas. Konsep-konsep yang dirumuskan, yang digunakan untuk menjelaskan suatu objek juga dapat diberlakukan secara luas atau umum, baik dalam pembahasannya maupun dalam penerapannya. Di dalam ilmu manajemen, misalnya, jika di dalamnya berisi penjelasan bagaimana seharusnya seorang manager mengelola (merencanakan, mengorganisasikan, mengarahkan, mengontrol) suatu bisnis, maka penjelasan yang baik harus mengandung konsep-konsep yang berlaku untuk bisnis tertentu maupun bisnis yang lain. Di atas dikatakan bahwa bentuk-bentuk dan isi pernyataan ilmu harus bersifat sistematis, karena pengetahuan ilmu selalu tersusun dalam satu kesatuan sistemik. Namun, tidak semua bentuk dan isi pernyataan yang sistematis dapat serta merta disebut ilmu. Contoh konkrit mengenai hal ini adalah buku petunjuk telepon, yang tersusun secara sistematis. Bentuk dan isi pernyataan yang ada di
26
dalam buku petunjuk telepon tidak dapat dikatakan sebagai pengetahuan ilmu, walaupun salah satu ciri pokok pengetahuan ilmu adalah sistematis. Karena, bentuk dan isi pernyataan yang ada di dalam buku petunjuk telepon sama sekali tidak ada ciri keumumannya. Kumpulan informasi di dalam buku itu hanya menunjuk pada orang-orang tertentu, nomor tertentu, alamat tertentu, dan hal- hal tertentu yang lain.
Rasional Sifat lain yang menjadi ciri pokok ilmu adalah rasional, karena konstruk dan wujud pengetahuan ilmu harus diperoleh dan dirumuskan dengan menggunakan rasio. Perolehan dan perumusan itu dilakukan oleh ilmuwan dalam proses berfikir ketika berusaha memahami suatu objek. Ini berarti, ilmu dirumuskan menggunakan prinsip berfikir yang mematuhi kaidah-kaidah logika. Perolehan dan perumusan yang menggunakan rasio itu mengindikasikan bahwa proses mendapatkan hasil dan hasil pengetahuan yang didapat dan diterangkan oleh ilmuwan harus dapat diterima oleh akal manusia. Mengapa harus dapat diterima akal, sebab akal adalah alat rohaniah manusia yang dapat membedakan benar dan salah, dapat mengingat, dapat menyimpulkan, dapat menganalisis, dan dapat menilai suatu pengalaman. Jadi, ilmu harus rasional, dan ilmu mesti mengandung proses dan konstruksi pengetahuan yang dapat dimengerti sesuai dengan fakta dan realita objeknya. Tuntutan terhadap rasionalitas ilmu mengindikasikan bahwa dalam perolehan dan penyusunannya terdapat tata cara dan prosedur yang harus dipatuhi.
Objektif Ciri pokok ilmu yang lain adalah objektif. Artinya, ilmuwan dalam merumuskan pengetahuan ilmu harus bersikap objektif. Keobjektifan harus terjadi di saat ilmuwan mengkaji objek dan menemukan kebenaran ilmiah. Keobjektifan mengharuskan ilmuwan tidak melibatkan emosi, selera, dan/atau kepentingan pribadi yang subjektif pada saat berproses, berfikir, mengumpulkan data, menentukan data, menganalisis, dan menyimpulkan pengetahuan tentang objek.
27
Objektifitas dalam ilmu mengharuskan ilmuwan dalam menangkap, merumuskan, dan memaparkan sifat alamiah objek yang diteliti/dipelajari tidak boleh berpihak, sehingga penalarannya dapat diterima semua pihak, pernyataan yang dipaparkan juga bukan semata- mata hasil dugaan, hasil prasangka, atau manifestasi nilai- nilai yang dianut oleh subjek tertentu.
Dapat Diverifikasi Ciri pokok ilmu yang lain adalah harus dapat diperiksa, diteliti, atau diuji kembali kebenarannya oleh masyarakat ilmuwan. Oleh karena itu, ilmu harus dapat dibuktikan atau dapat diverifikasi. Verifikasi adalah sarana untuk mengontrol kesesuaian pernyataan-pernyataan ilmu, sarana untuk memeriksa, meneliti, atau menguji kembali eksisten sistematisasinya, keumumannya, rasionalitasnya, dan objektivitasnya. Verifikasi juga dapat berguna untuk memeriksa, meneliti, atau menguji korespondensi, koherensi, dan kesesuaian antara pernyataan ilmiah dengan objeknya.
Komunal Ciri pokok terakhir ilmu adalah komunal. Ilmu pengetahuan yang telah dipublisir dengan sendirinya menjadi milik dan/atau dikuasai publik (menjadi public knowledge), tanpa mengurangi hak atas kekayaan intelektual (intellectul property right) yang melekat pada inventor maupun kreator yang merumuskan ilmu pengetahuan itu. Hasil penelitian yang menjadi khasanah keilmuan tidak mungkin, dan tak elok hanya disimpan atau disembunyikan. Hasil penelitian harus disebarluaskan oleh para penelitinya.
Implikasi pada Pendidikan Filsafat dan pendidikan adalah dua kata yang saling terkait, baik secara substansial maupun historis karena kelahiran ilmu pendidikan tidak lepas dari peranan filsafat, sehingga muncul istilah “Filsafat Pendidikan”. Istilah tersebut mengandung makna bahwa struktur filsafat dan karakteristiknya digunakan untuk menjawab mengenai hakikat pendidikan. Struktur filsafat terdiri dari: ontologi,
28
epistemologi dan aksiologi. Sedangkan karakteristik filsafat ialah bersifat radikal rasional, dan universal tentang berbagai hal, seperti Tuhan, alam dan manusia. Struktur dan karakteristik filsafat inilah yang digunakan dalam mengkaji dan mentelaah mengenai hakikat pendidikan. Filsafat pendidkan sebagai teori dirintis pada masyarakat maju dari masa Yunani Klasik dahulu dan lahir dari penerapan metode filsafat kedalam pendidikan, karena inti masalah pendidikan meliputi masalah hakikat dan tujuan hidup (Waini Rasyidin, 2009:5). Pendidikan merupakan kegiatan yang melekat dengan pemikiran tentang ilmu dan kehidupan. Dalam filsafat pendidikan, topik-topik yang dibahas antara lain: hakikat pendidikan, hakikat ilmu pengetahuan dan kurikulum, hakikat pendidik dan peserta didik, hakikat mengajar dan mendidik; hakikat moral, nilai, dan agama, dan hakikat masyarakat (Sanusi Uwes, 2003, 109). Alwasilah Chaedar (2008:15) menyatakan bahwa filsafat pendidikan sebagai teori yang mendasari alam pikiran ihwal pendidikan atau suatu kegiatan pendidikan. Filsafat pendidikan merupakan jawaban terhadap pertanyaan sebagai berikut: Apa sesungguhnya tujuan pendidikan ? Apa hakikat manusia ? Bagaimana seseorang memperoleh pengetahuan? Apa standar moral yang harus dipegang manusia ? Bagaimana semestinya masyarakat
diorganisir ?. Agar
jawabannya memuaskan, sang filosof harus mengkaji isu- isu mendasar yang bersifat metafisik, epistemologis, moral, dan politik. Berkaitan dengan penjelasan implikasi filsafat terhadap pendidikan, Tilaar (2002:17) mengemukakan bahwa bertanya mengenai hakikat pendidikan adalah bertanya mengenai apakah pendidikan itu? Usaha untuk memberikan jawaban terhadap “apakah pendidikan itu” telah memenuhi khazanah ilmu pengetahuan yang disebut ilmu pendidikan atau pedagogik. Dari bermacam- macam definisi yang muncul mengenai apakah hakikat pendidikan itu, dapat dikategorisasikan dalam dua pendekatan, yaitu pendekatan epistemologis dan pendekatan ontologis atau metafisik. Kedua pendekatan tersebut tentunya dapat melahirkan jawaban yang berbeda-beda mengenai apakah hakikat pendidikan itu.
29
Lebih lanjut Tilaar (2002:17) menjelaskan bahwa dalam pendekatan epistemologis yang menjadi masalah ialah akar atau kerangka ilmu pendidikan sebagai ilmu. Pendekatan tersebut berusaha mencari makna pendidikan sebagai ilmu, yaitu mempunyai objek yang akan merupakan dasar analisis yang akan membangun ilmu pengetahuan yang disebut ilmu pendidikan. Dari sudut pandang ini pendidikan dilihat sebagai suatu proses yang inheren dalam konsep manusia. artinya manusia hanya dapat dimanusiakan melalui proses pendidikan. Pendekatan ontologis atau metafisik
menekankan kepada hakikat
keberadaan, dalam hal ini keberadaan pendidikan itu sendiri. Keberadaan pendidikan tidak terlepas dari keberadaan manusia. oleh sebab itu, hakikat pendidikan adalah berkenaan dengan hakikat manusia (Tilaar (2002:17). Ahmad Tafsir dalam bukunya Filsafat Pendidikan Islami berisi topik-topik sebagai berikut: hakikat manusia, hakikat pendidikan, dasar pendidikan, tujuan pendidikan, kurikulum pendidikan, hakikat murid dan pendidik, lembaga pendidikan, proses pendidikan, dan pengembangan ilmu pendidikan Islami. Howard A. Ozman dan Samuel M. Craver dalam bukunya Philosophical Foundations of Education berisi topik-topik sbb: Idealism and Education Realism and Education Eastern Philosophy, Religion, and Education Prgamatism and Education Reconstructionism and Education Analytic Philosophy and Education Marxism and Education Philosophy, Education, and the Challenge of Postmodernism Behaviorism and Education Existentialism, Phenomenology, and Education Adanya ragam pendirian aliran-aliran besar filsafat, seperti naturalisme, idealisme dan realisme menimbulkan berbagai pandangan aliran tersebut tentang pendidik, maksud dan tujuan pendidikan, peranan pengetahuan dan nilai serta sekolah. Pada bagian ini penulis akan kemukakan berbagai pandangan aliran
30
filsafat tentang pendidikan, antara lain: pandangan filsafat naturalisme, filsafat idealisme, filsafat realisme, filsafat pragmatisme, faham eklektisisme, dan filsafat eksistensialisme. 1. Pandangan Filsafat Naturalisme tentang Pendidikan Aliran Naturalisme adalah mazhab filsafat paling tua dalam sejarah pemikiran di Eropa. tampaknya aliran ini dirintis oleh Thales dan kawan-kawan penduduk Miletos di Asia Minor (pulau-pulau lepas pantai dan pantai Barat Turki). Thales termasuk tokoh yang berani berpikir rasional, melepaskan diri dari takhayul. Dari pengamatan dunia di awal abad keenam sekitar perairan dan pentingnya air bagi kehidupan beliau berkesimpulan bahwa hakikat gejala sesuatu tidak tersembunyi melainkan melekat pada dunia kenyataan, yaitu pastilah air. Aliran ini dipelopori oleh Leukipos dan Demokritos (awal abad ke-5/ sezaman dengan Socrates) yang berkesimpulan bahwa kenyataan alam semesta terbuat dari dua unsur, yaitu ruang kosong dan atom-atom bergerak. Keduanya bersama Epikurus (hidup 1
1/2
abad kemudian. Dan Lukretius (pada abad ke-1 SM)
dipandang sebagai perintis da ahli-ahli filsafat alam. Aliran ini menjadi pudar pudar pengaruhnya selama masa kejayaan Plato dan Aristoteles disusul semaraknya pengarus agama Nasrani dan dunia Islam yang lebih kondusif terhadap pemikiran Aristoteles (Waini Rasyidin, 2009:20-21). Sesudah zaman Renaisance, aliran naturalisme dibentuk menjadi lebih tegas oleh penerapan metode ilmu kealaman dan timbulnya pengaruh J.J. Rousseau (abad 18 dan 19) tentang adanya kecenderungan mengakui berlakunya ketertiban alam yang dapat diketahui kesadaran melalui pengindraan. Pengaruh alam dianggap lebih baik daripada pengaruh masyarakat yang sering amoral terhadap kehidupan anak sebagai manusia muda yang semula murni berasal dari alam. Menurut pandangan kaum naturalis, alam jasmani terdiri dari materi dan itulah kenyataan yang sejati. Manusia dan pengetahuannya serta ciptaan-ciptaan semuanya adalah bagian dari ketertiban alam seperti angin, pasir dan bintangbintang. (Waini Rasyidin, 2009:21). Apabila diterapkan dalam dunia pendidikan,
mazhab
naturalisme
mempunyai konsep bahwa tujuan pendidikan secara radikal ialah pertumbuhan
31
manusia alami ditengah masyarakat yang hidup serasi dengan lingkungan alam dan juga lingkungan sosial. Secara moderat tujuan pendidikan ialah kesehatan jasmani dan rohani dalam arti kesejahteraan batin yang didukung oleh jasmani yang sehat, segar dan bugar. Untuk itu perlu siswa mengalami proses pematangan sesuai dengan hukum- hukum pertumbuhan dan perkembangan. Proses dan hukum- hukum ini dapat diteliti secara ilmiah untuk dipergunakan dalam membina pendidikan dan praktik. Siswa diajar bagaimana mengumpulkan data dan buktibukti untuk memecahkan masalah, dan menerima unsur kebenaran hanya atas dasar-dasar tersebut sesuai dengan peneletian yang bersifat terbuka. Pengajaran diawali berobservasi dan eksperimentasi sebelum menarik menyimpulkan prinsipprinsip umum sesuai dengan pola berpikir induktif (Waini Rasyidin, 2009:21).
2. Pandangan Aliran Filsafat Idealisme tentang Pendidikan Dalam banyak hal aliran filsafat idealisme diturunkan dari filsafat rasionalisme yang berawal di zaman Yunani klasik dan berlanjut ke Eropa di abad Pertengahan. Para filosof Yunani sebelum dan sesudah Aristoteles cenderung sepakat dan berkeyakinan bahwa “kebenaran dan pengetahuan tidak semata- mata tergantung pada pengindraan umum melalui pancaindra, namun diperoleh dalam pengalaman melalui berpikir”, khususnya berpikir deduktif seperti diungkapkan Aristoteles dalam naskah Organon. Aliran idealisme berkeyakinan secara rasional bahwa alam semesta dihasilkan dari karya suatu instansi kecerdasan (intelligence) dan bersifat selaras dengan hakikat
manusia.
Instansi tersebut sering
dipersonifikasikan sebagai “ide- ide, roh, inteligensi dan alam semesta”. Karena itu tujuan pendidikan haruslah perkembangan wujud kepribadian yang mencapai kehidupan sebaik-baiknya melalui penguasaan disiplin diri yang patut diteladani dalam upaya mweujudkan potensi-potensi dirinya yang luhur (paradigmatic self) dan tidak sekedar realisasi semua potensinya. (Waini Rasyidin, 2009:21). Pandangan filsafat idealisme mengenai pendidikan terfokus pada ide dan yang ideal. Siswa perlu dibantu pendidik melakukan refleksi dalam rohani mereka tentang pemahaman abadi atas keberadaan yang ideal. Walaupun setiap orang tertentu (finite) dan terbatas (limited) dia mampu terinspirasi oleh contoh-contoh
32
yang luhur untuk diteladani berdasarkan beberapa standar kesempurnaan. Dalam praktiknya bantuan ini terdiri dari mengajarkan sejumlah nilai- nilai yang banyak dikenal dimana-mana seperti kesehatan jasmani, kendali diri, menghargai orang lain, kreatifitas dan tanggungjawab sosial. Pengajaran dimulai dari bahan ajar prinsip-prinsip umum atau ideal yang selalu diketahui guru terlebih dahulu sebelumnya sampai pada bahan penerapannya yang khusus, artinya menerapkan pola berpikir menurut metode deduktif (Waini Rasyidin, 2009:22).
3. Pandangan Aliran Filsafat Realisme tentang Pendidikan Filsafat realisme sebagai aliran modern di Eropa (khususnya di Inggris sesudah tahun 1600 M) merupakan reaksi terhadap filsafat idealisme dan rasionalisme yang meluas sejak zaman Yunani klasik. Menurut realisme, alam semesta tidak bersifat abstrak dan psikhis. Sebaliknya realisme berasumsi bahwa alam semesta terdiri dari substansi maateriil dan bahwa objek-objek serta peristiwa-peristiwa merupakan hal- hal yang bersifat sejati, tidak kebetulan. Ini adalah ajaran tentang prinsip kemerdekaan tentang manusia dan kenyataan yaitu bahwa pengetahuan manusia adalah pengetahuan tentang dunia nyata yang ada di luar sana, yaitu alam semesta yang ada sebelum sksistensi manusia dan dunia nyata itu berlangsung terus sekalipun manusia sudah mati. Ketika manusia dapat menggunakan fantasi dan berpikir tetang segala sesuatu, namun pikirannya harus berkorespondensi terhadap realitas agar pengetahuan itu tidak bersifat khayal. Hal ini dijelaskan Francis Bacon, 1561-1626, dalam Novum Organum) (Waini Rasyidin, 2009:22). Dalam bidang pendidikan aliran realisme terfokus pada tujuan pendidikan untuk membina kemampuan manusia melakukan interrelasi yang konstruktif dalam hubungan manusia sebagai warga masyarakat dan melakukan penyesuian diri dengan mengelola tanpa terlalu mengekploitasi alam. Pendidikan harus dilakukan dengan cara membantu siswa dan anak untuk memahami daan menrima hukum- hukum alam dan kehidupan apa adanya, karena hukum- hukum itu menekan manusia sebagai hukum alam (Waini Rasyidin, 2009:22).
33
4. Pandangan Aliran Filsafat Pragmatisme tentang Pendidikan Pragmatisme adalah aliran yang menjadi besar pengaruhnya khususnya di USA dengan ahli-ahlinya berasal dari sana dan pada abad ke-20 sampai menyaingi idealisme dan realisme. Sesungguhnya landasan berpikir pragmatik dirintis sejak zaman pra-Socrates di Yunani oleh Herakleitos, dan Protagoras (sejaman dengan Socrates). Kebiasaan rata-rata warga USA yang kurang bersimpati pada teori yang murni membawa tokoh realisme abad ke-19 seperti Charles Peirce dan William jamse cenderung menyelidiki terjadinya proses pengetahuan dan bagaimana hubungan antara teori dan praktik (Waini Rasyidin, 2009:23). Menurut pragmatisme manusia mampu mencapai bentuk ide (pikiran) yang jelas dan efektif khususnya apabila akibat-akibat daripenggunaan suatu ide itu langsung dialamiketika terdapat kesempatan untuk mencobakan baik tidaknya ide itu di dalam praktik keseharian. Justru uji kebenaran dari suatu ide terletak pada kegunaan langsung dalam praktik dan tidak pada teori secara spekulatif. John Dewey di awal abad 20 berhasil merumuskan proses berpikir secara praktis dengan mengidentifikasi lima tahapannya, sampai menghasilkan karya klasiknya Democracy and Education (1916) dan mempromosikan aliran pragmatisme sebagai filsafat hidup yang tidak intelektualistik sifatnya. Dengan menjadikan pragmatisme sebagai filsafat hidup, tujuan pendidikan ialah agar terwujud pertubuhan dan perkembangan pada semua orang, khususnya dengan jalan belajar melalui pengalaman keseharian memecahkan masalah (Waini Rasyidin, 2009:23). Dalam bidang pendidikan, aliran pragmatisme terfokus pada penerapan berpikir reflektif secara mendasar ke dalam kurikulum dan metode mengajar. Seorang guru dari mazhab pragmatik akan menyajikan bahan ajar pelajaran sejarah khususnya sebagai rekaman ragam pengalaman manusia dalam mengukur dan mempertimbangkan pengetahuan dan nilai berdasarkan pemahaman tentang kenyataan yang aktual. Pengetahuan manusia tumbuh semakin akurat sejalan dengan keberhasilan memperlakukan pengalaman dengan cara yang teliti. Karena itu mazhab pragmatisme menekankan pentingnya kita melakukan cara-cara berpikir dengan baik dan berupaya agar pada siswa tumbuh sikap berpikir agar tak
34
mudah dengan begitu saja menerima sesuatu sebelum dianggap benar (Waini Rasyidin, 2009:23).
5. Faham Eklektisisme tentang Pendidikan Mazhab eklektisisme berasal dari keraguan atau skeptisisme terhadap empat aliran besar di atas. Dengan memilih pendirian dan konsep mana saja yang terpakai tanpa menganut aliran tertentu maka semula sekedar timbulnya sikap eklektika. Eklektisisme tidak didasarkan atas suatu sistem berpikir melainkan berusaha mengambil berbagai unsur intisari ide- ide dari berbagai aliran di atass. Ada kemungkinan penganut mazhab eklektik, sebagaimana dikatakan Brubacher tidak tentram menganut satu aliran saja. Mereka lebih nyaman berlindung di bawah payung filsafat pluralistik yang lebih berorientasi lain, khusunya dalam arti demokrasi (Waini Rasyidin, 2009:23-24).
6. Teori Filsafat Eksistensialisme tentang Pendidikan Aliran eksistensialisme menomorsatukan hak kebebasan individu menjadi diri sendiri yang bersifat terbuka terhadap segala kemungkinan yang selalu baru. Aliran ini tampaknya lebih berpengaruh sebagai sistem filsafat daripada penerapannya kedalam filsafat pendidikan, kecuali di Inggris atau dalam pendidikan profesional bidang tertentu pada universitas di Eropa Barat dan Amerika Utara. Inti aliran eksistensialisme ialah filsafat hidup yang lebih menghormati hak hidup manusia sebagai individu daripada kebaikan dan nilainya dirusak dan dijajahh orang lain dalam pergaulan hidup. atas dasar asas individualisme, menurut aliran ini tidak ada unsur hakiki di alam semesta yang bersifat universal. Adapun hakekat kenyataan tergantung pada persepsi individu yang bersangkutan. Setiap orang adalah individu sendiri-sendiri yang tak akan mampu berkomunikasi murni dengan individu yang lain. Karena itu tujuan pendidikan ialah memupuk kemampuan individu menjadi diri sendiri yang sebaik-baiknya walaupun tak mungkin terbina hubungan murni dalam komunikasi sesama manusia. Setiap orang hanya paling mampu mengenali dirinya sendiri secara eksistensial.
35
Sedangkan pribadi orang lain, begitu pula hakekat Tuhan tidak mungkin diketahui. Tetapi, faham ini ditolak oleh cabang eksistensialisme theistik yang mengakui hubungan murni antara manusia dan Tuhan. Manusia dalam relasi internal dengan diri sendiri akan sampai menghayati keberadaan Tuhan. Penganut faham eksistensialisme theistik membuka peluang besar kepada relasi pergaulan interinsani (Waini Rasyidin, 2009:24-25).
7. Pandangan Filsafat Pendidikan dengan pendekatan Substansi SosioBudaya Sejumlah tokoh filsafat pendidikan dalam sejarah perkembangannya merasa tak nyaman dengan orientasi eklektik yang terkadang ekstrim dan mereka lebih suka melakukan pemikiran “eklektisisme terbatas” . mereka merumuskan pandangan-pandangannya menurut orientasi konteks kultural yang lebih luas sehingga relatif sedikit banyak mampu menerapkan pandangan tersebut kedalam berbagai reformasi pendidikan pada masyarakatnya. Dalam sejarah Islam di Timur Tengah hal ini dicontohkan dengan agak gamblang oleh kaum Mu‟tazilah dan secara moderat kemudian di Afrika Utara dan Andalusia, sesudah puncak Perang Salib (abad Pertengahan) oleh Ibn Rushd (Averroes) dan kelompoknya. Di zaman modern dan kontemporer di negara maju (Eropa dan Amerika Utara) terdapat aliran antara moderat dan radikal yang memperjuangkan pembaharuan pendidikan pada mazhab perennialisme, essentialisme, progressivisme dan rekonstruksionisme (Waini Rasyidin, 2009:25-26).
Implikasi pada Sistem Pendidikan Berdasarkan Pancasila Ahmad Tafsir (2008:45-74) mengemukakan bahwa Filsafat Negara dijadikan sebagai dasar pendidikan. Di Indonesia, Pancasila sebagai Filsafat Negara dijadikan sebagai dasar pendidikan nasional. Ada lima nilai dasar dalam Pancasila, yaitu: Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyata n, dan Keadilan Sosial. Nilai pertama (Ketuhanan) mempunyai fungsi ganda, yaitu: (1) Menjadi salah satu nilai dari lima nilai dasar; (2) Menjadi inti (core) yang menjiwai, mewarnai, atau mendasari, serta mengarahkan empat nilai lainnya.
36
Implikasi dari pemikiran tersebut adalah: Pertama, Orang Indonesia harus beriman kepada Tuhan YME menurut agamanya masing- masing. Makna penting dalam nilai ini ialah dalam kebudayaan kita tidak boleh berkembang sekularisme apalagi atheisme. Nilai ini menjiwai empat nilai lainnya. Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab berdasarkan keimanan kepada Tuhan YME. Ketiga, Persatuan Indonesia yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan YME. Keempat, Kerakyatan
yang
dipimpin
oleh
hikmah
kebijaksanaan
dalam
permusyawaratan/perwakilan berdasarkan keimanan kepada Tuhan YME. Kelima, Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia yang berdasarkan keimanan kepada Tuhan YME. Waini Rasyidin (2009:29) mengemukakan bahwa reformasi pendidkan sekurangnya perlu melakukan dua hal, yaitu: (1) Penjabaran seperangkat filsafat pendidikan Pancasila menuju konsensus tentang teori pendidikan di sekolah dan tentang mazhab filsafat pendidikan nasional Indonesia; (2) Menjadikan sistem pendidikan persekolahan nasional sebagai wahana pokok dari pranata sosial untuk investasi nasional jangka panjang memajukan kualitas dan daya saing bangsa pada era globalisasi. Selanjutnya, Waini Rasyidin (2009:5) menegaskan bahwa jajaran pendidikan dan mahasiswa LPTK perlu merevitalisasi filsafat pendidikan dan ilmu pendidikan agar kepribadian kita berkembang supaya pada gilirannya dunia pendidikan kita
berangsur-angsur
mampu bangkit
memulihkan
kualitas
pendidikan. Visi dan misi moral pengembangan pendidikan nasioanl mampu mewujudkan pranata sosial pendidikan jangka panjang yang memerlukan pembaharuan sistem pendidikan berlandaskan ideologi- falsafah pendidikan Pancasila. Filsafat pendidikan menelaah praktik dan teori pendidikan dengan menerapkan suatu pandangan filsafat hidup secara spekulatif-kritis agar praksis pendidikan secara aktual lebih relevan dengan kehidupan, kemanusiaan serta kebijakan negara dan pemerintahan (Waini Rasyidin, 2009:31).
37
Kesimpulan Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa sejarah perkembangan filsafat dan ilmu dalam lima periode, yaitu: (1) periode filsafat Yunani (abad 6 sm – 0 m); (2) periode kelahiran Nabi Isa (abad 0 – 6 m; (3) periode kebangkitan Islam (abad 6 – 13 m); (4) periode kebangkitan Eropa (abad 14 – 20 m); (5) periode kebangkitan Islam kedua (abad 20 m - ?). Menurut Jujun Suriasumantri (2009:104) bahwa pengetahuan pada hakikatnya merupakan segenap apa yang kita ketahui tentang suatu objek tertentu, termasuk ke dalamnya adalah ilmu, jadi ilmu merupakan bagian dari pengetahuan yang diketahui oleh manusia di samping berbagai pengetahuan lainnya seperti seni dan agama. Menurut Burhanudin Salam sebagaimana diungkapkan Amsal Bakhtiar (2011:86-88) bahwa pengetahuan yang dimiliki manusia ada empat, yaitu: (1) pengetahuan biasa; (2) pengetahuan ilmu; (3) pengetahuan filsafat; dan (4) pengetahuan agama. Secara umum ilmu pengetahuan dapat dibedakan menjadi dua kelompok. Yaitu ilmu pengetahuan yang didasarkan atas objek atau bidang kajian dan ilmu pengetahuan yang didasarkan pada tujuan pengkajiannya. Ilmu pengatahuan yang didasarkan atas objek atau bidang kajian antara lain, ilmu pengetahuan alam (natural sciences), ilmu pengetahuan sosial (social sciences), dan ilmu pengetahuan budaya (humanistics study). Sedangkan ilmu pengatahuan yang didasarkan pada tujuan pengkajiannya dikelompokkan menjadi ilmu murni (pure sciences) dan ilmu terapan (applied sciences). Adapun elemen-elemen anatomis yang menjadi unsur penentu bangunan ilmu adalah: (1) objek ilmu, (2) bentuk-bentuk pernyataan ilmu, (3) isi pernyataan ilmu, dan (4) ciri pokok ilmu. Objek ilmu terdiri dari objek material dan objek formal. Objek material adalah sesuatu yang dijadikan sasaran penyelidikan, seperti tubuh manusia adalah objek material ilmu kedokteran. Adap un objek formalnya adalah metode untuk memahami objek material tersebut, seperti pendekatan induktif dan deduktif. Bentuk-bentuk pernyataan ilmu secara garis besar terdapat empat jenis pola penjelasan, yaitu: (1) Deduktif; (2) Probabilistik; (3) Fungsional atau teleologis; dan (4) Genetik. Isi pernyataan ilmu terdiri dari:
38
konsep, proposisi, teori, hukum, prinsip, postulat atau aksioma, dan asumsi. ilmu merupakan salah satu bentuk pengetahuan manusia yang mempunyai karakteristik khusus yang membedakannya dengan pengetahuan lainnya. Ciri-ciri ilmu yang mendasar adalah logis, empiris dan postif. Secara lebih lengkap dapat diungkapkan dengan istilah lain adalah: (a) sistematis, (b) keumuman atau general, (c) rasional, (d) objektif, (e) dapat diverifikasi, dan (f) komunal.
Daftar Pustaka Alwasilah, A. Chaedar, 2008. Filsafat Bahasa dan Pendidikan. Bandung:Remaja Rosdakarya. Bakhtiar, Amsal, 2011. Filsafat Ilmu. Jakarta: Rajawali Pers. Kamil, Sukron, 2004. Sains dalam Islam Konseptual dan Islam Aktual. Jakarta: PBB UIN. Kartanegara, Mulyadhi, 2007. Mengislamkan Nalar: Sebuah Respons Terhadap Modernitas. Jakarta: Erlangga. Kattsoff, Louis O, 2004. Pengantar Filsafat. Penerjemah: Soejono Soemargono, Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya. Klubertanz. G.P. 1955. Introduction to the Philosophy of Being. New York: Appleton-Century-Crofts. Ozmon, Howard, 2003. Philosophical Foundation of Education. New Jersey: Merrill Prentice Hall. Prawironegoro, Darsono, 2010. Filsafat Ilmu. Jakarta: Nusantara Consulting. Rasyidin, Waini, 2009. Filsafat Pendidikan. Dalam Ali, M., Ibrahim, R., Sukmadinata, N.S., Sudjana.,dan Rasyidin, W (Penyunting). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bandung: Imtima. Saefuddin, Ahmad, M, 1998. Desekularisasi Pemikiran: Landasan Islamisasi. Bandung: Mizan. Soekanto, Soerjono, 1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali Pers. Soelaeman, Munandar, 2006. Ilmu Sosial Dasar: Teori dan Konsep Ilmu. Bandung: Refika Aditama. Sauri, Sopyan, dkk. Tanpa Tahun. Filsafat Ilmu Pendidikan Agama. Bandung: Arfino Raya.
39
Suriasumantri S. Jujun, 2010. Filsafat Ilmu: Sebuah Pengantar Populer. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan. Suriasumantri S. Jujun (Penyunting), 2009. Ilmu dalam Perspektif: Sebuah Kumpulan Karangan tentang Hakekat Ilmu. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia. Tafsir, Ahmad, 2010. Filsafat Ilmu: Mengurai Ontologi, Epistemologi dan Aksiologi Pengetahuan. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tafsir, Ahmad, 2008. Filsafat Pendidikan Islam: Integrasi Jasmani, Rohani, dan Kalbu Memanusiakan Manusia. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tafsir, Ahmad, 2008. Metodologi Pengajaran Agama Islam. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tafsir, Ahmad, 2009. Filsafat Umum: Akal dan Hati sejak Thales sampai Capra. Bandung: Remaja Rosdakarya. Tilaar, H.A.R., Pendidikan, Kebudayaan, dan Masyarakat Madani: Strategi Reformasi Pendidikan Nasional. Bandung: Remaja Rosdakarya. Uwes, Sanusi, 2003. Visi dan Pondasi Pendidikan dalam Perspektif Islam. Jakarta: Logos.
40