94
III.
KERANGKA TEORI
Bagian ini menjelaskan dasar-dasar yang menjadi acuan teori dari penelitian yang berkaitan dengan penawaran dan permintaan BBM, subsidi harga, mekanisme transmisi subsidi dan harga energi, teori makroekonomi, dan kemiskinan. 3.1.
Dampak Subsidi Input Terhadap Output Dampak perubahan harga input BBM, dalam produksi secara umum, dapat
dipelajari melalui teori efek substitusi input dan output. Menurut grafik, penjelasan teori efek substitusi input dan output disajikan pada Gambar 2 (Ferguson and Gould, 1975 dalam Astana, 2003). Untuk penyederhanaan diasumsikan ada dua jenis input yaitu kapital (garis vertikal) dan BBM (garis horisontal). Keseimbangan awal produksi terjadi di titik P (k1, m1). Tingkat output ditunjukkan oleh kurva isoquant ISQ1 dan tingkat biaya oleh kurva isocost KM1. Tingkat penggunaan input BBM sebesar m1 dan penggunaan kapital sebesar k1. Jika pemerintah mengurangi subsidi BBM, maka harga input BBM akan naik. Pada tingkat biaya yang tersedia, produsen berusaha memaksimumkan output dengan mengurangi input BBM. Pengurangan input BBM ditunjukkan oleh pergeseran kurva isocost dari KM1 ke KM2. Lebih lanjut pengurangan input BBM akan menyebabkan tingkat output juga menurun, yang ditunjukkan oleh bergesernya kurva isoquant dari ISQ1 ke ISQ2. Keseimbangan produksi berubah, yaitu dari titik P ke titik R (k3, m3) dimana tingkat penggunaan BBM sebesar m3 dan kapital sebesar k3.
95
Kapital Kf
K Q
k2 R
k3
P
k1
ISQ1 ISQ2
0
m3
Gambar 2.
m2
M2
m1
Mf
M1
BBM Efek Substitusi Input dan Output Akibat Penurunan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak
Dengan demikian, penurunan subsidi BBM yang menyebabkan kenaikan harga input BBM akan menyebabkan konsumsi BBM menurun dari m1 menjadi m3. Total penurunan input BBM disebabkan oleh pengaruh substitusi input kapital dan penurunan output. Pengaruh substitusi input kapital dijelaskan dengan kurva isocost pembantu, Kf-Mf. Kurva Kf-Mf adalah sejajar KM2 yang menunjukkan harga BBM yang baru dan menyinggung kurva isoquant ISQ1 yang menunjukkan tingkat output yang lama. Pada tingkat harga BBM yang baru, produsen sebenarnya dapat menghasilkan produk pada tingkat output yang sama dengan asumsi adanya penambahan biaya dari k1 ke k2 sedemikian sehingga tingkat keseimbangan produksi tetap bergerak sepanjang kurva isoquant ISQ1 dan titik keseimbangan
96 antara terletak di Q (k2, m2). Namun dalam kenyataannya, penambahan kapital lebih kecil dari yang diharapkan, yaitu k1 ke k3 yang mengakibatkan input BBM bergerak ke kiri dari m1 ke m3 sehingga tercapai keseimbangan baru di R (k3, m3). Pada keseimbangan final ini tingkat output turun dari ISQ1 menjadi ISQ2. 3.2.
Kinerja Perekonomian Selama lebih dari tiga dekade terakhir, teori makroekonomi dan
aplikasinya dalam perekonomian telah berkembang lebih baik, dimana prinsipprinsip teori makroekonomi banyak mendasari kegiatan makroekonomi itu sendiri (Chari and Kehoe, 2006). Menurut Mankiw (2003), ada beberapa variabel yang dapat digunakan untuk mengukur kinerja perekonomian, namun paling tidak terdapat tiga variabel makroekonomi yang penting dan banyak menjadi perhatian para ahli ekonomi yaitu pendapatan nasional atau GDP, kestabilan harga atau inflasi, dan pengangguran. Pohan (2008) menambahkan bahwa keseimbangan neraca pembayaran atau BOP (Balance of Payment) menjadi salah satu target kebijakan makroekonomi selain yang telah disebutkan. Stabilitas ekonomi dapat dilihat dari dampak gejolak variabel makroekonomi lainnya terhadap variabel kunci makroekonomi 3.2.1. Pendapatan Nasional PDB (Produk Domestik Bruto) atau GDP (Gross Domestic Product) dianggap sebagai ukuran terbaik dari kinerja perekonomian. Model ekonomi yang menggambarkan keseimbangan ekonomi nasional sebagaimana disampaikan oleh Mankiw (2003) adalah sebagai berikut: GDP = Y = C + I + G + (X – M) ....................................................... (3.1)
97 Yd
= Y – Tax .................................................................................. (3.2)
Pendapatan nasional dapat dilihat dari dua sisi, yaitu sisi penerimaan dan pengeluaran. Dari sisi pengeluaran pendapatan nasional diartikan sebagai penjumlahan dari konsumsi, investasi, pengeluaran pemerintah, ekspor, dan impor. Persamaan ini adalah persamaan identitas dan seringkali disebut dengan identitas persamaan pos pendapaan nasional (Mankiw, 2003). Pendapatan perorangan adalah jumlah yang tersedia bagi rumahtangga dan perusahaan nonkorporasi untuk melakukan pengeluaran setelah membayar pajak (disposable income). Kinerja perekonomian dapat direpresentasikan melalui indikator makroekonomi yaitu: 1.
Pertumbuhan ekonomi melalui perubahan PDB, investasi, neraca perdagangan, dan neraca pembayaran.
2.
Stabilisasi ekonomi melalui fluktuasi nilai tukar, tingkat inflasi, dan tingkat pengangguran.
3.2.2. Inflasi Inflasi didefinisikan sebagai kenaikan harga umum yang terus-menerus dalam perekonomian (Susanti, et.al, 1995 dan Putong, 2003). Inflasi merupakan kecenderungan harga barang dan jasa termasuk faktor-faktor produksi yang diukur dengan satuan mata uang yang semakin naik terus-menerus. Kaum monetaris mengemukakan bahwa inflasi adalah fenomena moneter yang disebabkan oleh kelebihan jumlah uang yang beredar. Menurut Sukirno (2006b) penyebab terjadinya inflasi dapat dilihat dari berbagai sisi, yaitu sisi permintaan, penawaran, dan campuran antara keduanya. Secara umum penyebab terjadinya inflasi dibagi menjadi tiga, yaitu: (1) tarikan
98 permintaan (demand pull inflation), (2) desakan biaya (cost push inflation), dan (3) karena inflasi negara lain yang tersalur melalui jaringan perdagangan (imported inflation). Inflasi yang disebabkan oleh permintaan agregat disebut demand pull inflation, yang umumnya terjadi karena adanya penambahan permintaan yang besar yang tidak dapat dipenuhi oleh produsen. Inflasi yang disebabkan oleh aspek penawaran agregat sering disebut dengan cost push inflation, yaitu kenaikan harga-harga yang disebabkan oleh kenaikan biaya produksi sebagai dampak kenaikan harga bahan mentah atau upah. Di samping itu terdapat pula inflasi yang diimpor (imported inflation) yang disebabkan oleh kenaikan harga-harga barang impor yang dikonsumsi langsung maupun digunakan sebagai input produksi di dalam negeri. Berdasarkan asalnya inflasi dibagi menjadi dua, yaitu: (1) inflasi yang berasal dari dalam negeri (domestic inflation) yang timbul karena adanya defisit dalam pembiayaan, belanja negara, musim paceklik, dan bencana alam yang berkepanjangan. Dalam rangka mengatasi inflasi, pemerintah dapat mencetak uang baru; dan (2) inflasi yang berasal dari luar negeri (imported inflation). Negara-negara yang menjadi mitra dagang mengalami inflasi yang tinggi, sehingga harga barang- barang dan ongkos produksi di negara tersebut relatif tinggi. Bagi negara pengimpor terpaksa menjual barang impor tersebut di dalam negeri dengan harga yang lebih mahal (Putong, 2003). Kenaikan harga dunia minyak mentah merupakan salah sumber terjadinya imported inflation. Inflasi umumnya memberikan dampak yang kurang menguntungkan dalam perekonomian. Namun dalam jangka pendek, terdapat trade off antara inflasi dan pengangguran. Hal ini menunjukkan bahwa inflasi dapat menurunkan
99 tingkat pengangguran atau menyeimbangkan perekonomian negara. Akibat negatif yang ditimbulkan oleh inflasi adalah: (1) menurunkan pendapatan riil orang-orang yang berpendapatan tetap, (2) mengurangi nilai kekayaan yang berbentuk uang, dan (3) memperburuk pembagian kekayaan, khususnya kekayaan yang bersifat keuangan (Sukirno, 2006b). Selain itu inflasi juga dapat menurunkan nilai riil tabungan dan investasi sehingga dapat membuat perekonomian berjalan tidak efisien, menghambat pertumbuhan ekonomi, dan menurunkan standar hidup (Kahn, 1994). Penurunan standar hidup ini banyak dirasakan oleh masyarakat yang berpenghasilan rendah. Tingkat kemiskinan di Indonesia masih sangat sensitif terhadap perubahan garis kemiskinan, dalam arti jika batas kemiskinan dinaikkan, misalnya karena laju inflasi yang tinggi, akan berdampak pada laju peningkatan kemiskinan yang relatif lebih besar (Ikhsan, 2001 dalam Tambunan, 2003). Dampak positif dari inflasi (Putong, 2003) adalah: (1) bagi pengusaha barang-barang mewah (high end) dimana barangnya menjadi lebih laku pada saat harganya semakin tinggi (masalah prestise), (2) masyarakat semakin selektif dalam mengkonsumsi dan produksi akan diusahakan seefisien mungkin, (3) inflasi yang berkepanjangan dapat menumbuhkan industri kecil dalam negeri yang dipercaya dan tangguh, dan (4) tingkat pengangguran cenderung menurun karena masyarakat terdorong melakukan kegiatan produksi. Menurut Putong (2003) angka inflasi dapat dihitung dari angka IHK (Indeks Harga Konsumen) atau CPI (Consumer Price Index), yang biasanya diterbitkan setiap bulan, 3 bulan atau 1 tahun. Selain IHK, tingkat inflasi juga dapat dihitung dengan menggunakan GNP (Gross National Product) atau PDB
100 deflator, yaitu membandingkan GNP atau PDB yang diukur berdasarkan harga berlaku (GNP atau PDB nominal) terhadap GNP atau PDB harga konstan (GNP atau PDB riil). 3.2.3. Pengangguran Di samping menaikkan tingkat pendapatan masyarakat, tujuan penting lain dari pembangunan adalah untuk menciptakan kesempatan kerja. Tujuan ini hanya akan tercapai apabila penambahan kesempatan kerja berkembang lebih cepat dari penambahan tenaga kerja. Pengangguran adalah keadaan tanpa pekerjaan yang dihadapi oleh segolongan tenaga kerja, yang telah berusaha mencari pekerjaan, tetapi tidak memperolehnya. Individu yang menghadapi masalah tersebut dinamakan penganggur (Putong, 2003 dan Sukirno, 2006b). Berdasarkan penyebabnya pengangguran dapat dibedakan menjadi: (1) pengangguran struktural yaitu pengangguran yang diakibatkan perubahan struktur ekonomi, (2) pengangguran siklikal yaitu pengangguran yang disebabkan perkembangan ekonomi yang sangat lambat atau kemerosotan kegiatan ekonomi, (3) pengangguran normal atau friksional yaitu pengangguran yang terwujud apabila ekonomi telah mencapai kesempatan kerja penuh, dan (4) pengangguran teknologi yaitu pengangguran yang disebabkan perkembangan teknologi (Sukirno, 2006b). Berdasarkan
cirinya,
pengangguran
dapat
dibedakan
atas:
(1)
pengangguran terbuka. Pengangguran ini tercipta sebagai akibat penambahan lowongan pekerjaan yang lebih rendah dari penambahan tenaga kerja. Sebagai akibatnya dalam perekonomian semakin banyak jumlah tenaga kerja yang tidak dapat memperoleh pekerjaan; (2) pengangguran tersembunyi adalah keadaan
101 pengangguran yang tidak secara nyata dapat dilihat dan berlaku pada kegiatan yang jumlah pekerjanya melebihi dari yang diperlukan; (3) pengangguran musiman yaitu pengangguran yang tidak terjadi sepanjang waktu tetapi hanya terjadi ketika kegiatan ekonomi yang dijalankan sedang dalam keadaan tidak sibuk atau sedang tidak melakukan kegiatan. Pengangguran ini terutama terdapat di sektor pertanian dan perikanan; dan (4) setengah pengangguran atau underemployment adalah tenaga kerja yang melakukan kerja dengan jam kerja yang jauh lebih rendah dari jam kerja yang lazim dilakukan dalam sehari atau seminggu (Sukirno, 2006a). Untuk mengetahui seberapa besar jumlah pengangguran di suatu negara atau wilayah dapat digunakan ukuran tingkat pengangguran. Menurut Sukirno (2006b) tingkat pengangguran adalah rasio antara jumlah penganggur dengan jumlah angkatan kerja pada suatu waktu tertentu dan dinyatakan dalam persen. Menurut Dornbusch dan Fisher (1997), tingkat pengangguran adalah bagian dari angkatan kerja yang tidak memperoleh pekerjaan. Mankiw (2003) menunjukkan pengangguran dalam persamaan sebagai berikut: L = E + U .............................................................................................. (3.3) dimana: L = angkatan kerja E = jumlah orang yang bekerja U = jumlah pengangguran Sehingga tingkat pengangguran adalah U/L. Jika tingkat pengangguran tidak naik dan turun atau pasar tenaga kerja berada dalam kondisi stabil, maka
102 jumlah orang yang mendapatkan pekerjaan harus sama dengan jumlah orang yang kehilangan pekerjaan. fU = sE .................................................................................................. (3.4) fU = s(L-U) .......................................................................................... (3.5)
f
U U s1 ..................................................................................... (3.6) L L
U s ............................................................................................. (3.7) L sf dimana: fU = jumlah orang yang memperoleh pekerjaan sE = jumlah orang yang kehilangan pekerjaan Persamaan 3.7 menunjukkan bahwa tingkat pengangguran kondisi stabil U/L bergantung pada tingkat pemutusan hubungan kerja s dan tingkat perolehan kerja f. Semakin tinggi tingkat pemutusan hubungan kerja, maka semakin tinggi tingkat pengangguran. Di lain pihak semakin tinggi tingkat perolehan kerja, maka semakin rendah penganggurannya.
3.2.4. Neraca Pembayaran Neraca perdagangan merupakan catatan penerimaan ekspor dikurangi dengan pengeluaran impor (X - M) dari barang dan jasa. Dengan asumsi ekspor tidak tergantung pada tingkat pendapatan nasional dan tingkat bunga, serta impor merupakan fungsi dari pendapatan, maka semakin tinggi tingkat pendapatan akan menyebabkan semakin kecil surplus neraca perdagangan, BOT (balance of trade). Neraca pembayaran atau BOP (balance of payment) diartikan sebagai semua catatan transaksi yang dilakukan penduduk suatu negara dengan negara lain di dunia, baik neraca barang maupun modal. Oleh sebab itu kurva BOP
103 ditunjukkan dengan kombinasi antara tingkat pendapatan dan harga. BOP berada dalam keadaan keseimbangan bila (X - M) + (net capital flow) = 0. Arus modal netto (net capital flow) atau CF merupakan fungsi positif dari tingkat suku bunga domestik. Jika diasumsikan bahwa tingkat suku bunga luar negeri adalah tetap, maka semakin tinggi tingkat suku bunga domestik akan menyebabkan semakin besar arus modal yang masuk (capital inflow) ke dalam negeri atau semakin kecil arus modal ke luar negeri (capital outflow). Persamaan identitas yang menggambarkan penjelasan di atas disajikan sebagai berikut: 1.
Neraca Perdagangan BOT = X-M .......................................................................................... (3.8)
2.
Neraca Pembayaran BOP = BOT + Net Capital Flow........................................................... (3.9)
dimana:
3.3.
BOT
= balance of trade
BOP
= balance of payment
X
= ekspor Indonesia
M
= impor Indonesia
Net Capital Flow
= capital inflow - capital outflow
Kemiskinan
3.3.1. Konsep dan Ukuran Kemiskinan Kemiskinan didefinisikan sebagai masalah yang berkaitan dengan multidimensi.
Kemiskinan
sering
dikonsepsikan
sebagai
ketidakcukupan
pendapatan dan harta (lack of income and assets) dalam memenuhi kebutuhan dasar yang meliputi pangan, sandang, papan, pendidikan, dan kesehatan. Pengertian asset disini mencakup human assets, natural assets, physical assets,
104
financial assets, dan social assets. Fenomena kemiskinan tidak hanya berkaitan dengan dimensi ekonomi tetapi juga dimensi non ekonomi (World Bank, 2000). Kemiskinan menurut Chambers (1996) menjadi faktor penentu yang memiliki pengaruh yang kuat terhadap yang lainnya. Kemiskinan khususnya di perdesaan
berhubungan
dengan
masalah
ketidakberdayaan
(powerless),
keterisolasian (isolation), kerentanan (vulnerability), dan kelemahan fisik (physical weakness) dimana masing-masing saling terkait. Produktivitas yang rendah dari tenaga kerja dapat pula dikarenakan kemiskinan karena kemiskinan memberikan kontribusi terhadap kelemahan fisik. Bahkan ketiadaan pendidikan, keterpencilan, dan ketiadaan kontak dengan dunia luar juga ikut memperparah kemiskinan. Chamber (1996) mengatakan bahwa saling keterkaitan di antara berbagai aspek kemiskinan tersebut akan membentuk lingkaran setan kemiskinan (the vicious circle of poverty). Kakwani (2000) menyebutkan ukuran kemiskinan yang baik harus mempertimbangkan antara lain: (1) persentase penduduk miskin, (2) perbedaan kemiskinan agregat, dan (3) distribusi pendapatan antar penduduk miskin. Ada empat ukuran yang sering digunakan para ahli untuk mengukur kemiskinan, yaitu: 1.
Poverty headcount index (P0). P0 adalah ukuran kasar dari kemiskinan yang hanya menunjuk kepada
proporsi dari penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan. Ukuran ini menjumlahkan banyaknya orang miskin, kemudian dibandingkan dengan total jumlah penduduk dalam persen, sedemikian sehingga setiap orang miskin memiliki bobot yang sama besarnya. Kelemahan pengukuran ini hanya menghitung jumlah kepala orang miskin (headcount) namun tidak mampu
105 menangkap tingkat keparahan kemiskinan itu sendiri. Sementara persentase penduduk miskin tidak menggambarkan intensitas dari kemiskinan. 2.
Poverty gap index (P1). P1 mengukur kedalaman kemiskinan di suatu wilayah dan mengestimasi
perbedaan rata-rata pendapatan orang miskin dari garis kemiskinan sebagai suatu proporsi dari garis kemiskinan. Ukuran ini lebih baik daripada ukuran yang pertama sehingga apabila pembuat kebijakan menerapkannya, maka dapat memperkirakan besarnya dana untuk pengentasan kemiskinan. Kelemahan ukuran ini adalah belum memperlihatkan distribusi pendapatan antar penduduk miskin.
Squared poverty gap (P2).
3.
P2 adalah rata-rata dari kuadrat kesenjangan kemiskinan. Kelebihan ukuran ini mempertimbangkan tingkat kepelikan atau keparahan kemiskinan (severity of
poverty) di dalam suatu wilayah dan ketimpangan pendapatan di antara penduduk miskin di wilayah tersebut, sehingga indeks ini sering disebut sebagai indeks keparahan kemiskinan (poverty severity index).
3.3.2. Faktor-Faktor Penentu Kemiskinan Chamber (1996) mengatakan bahwa terdapat dua pandangan yang mengidentifikasi penyebab kemiskinan, terutama di daerah perdesaan. Pertama adalah pandangan ekonomi politik yang melihat kemiskinan sebagai fenomena sosial.
Kemiskinan
muncul
di
perdesaan
sebagai
akibat
dari
proses
pengkonsentrasian kekayaan dan kekuasaan yang terjadi melalui tiga tingkatan, yaitu tingkat global, nasional, dan lokal. Pada tingkat global atau internasional kemiskinan muncul akibat dari hubungan pertukaran yang eksploitatif dan tidak seimbang antara negara kaya dan negara miskin. Pada tingkat nasional,
106 kemiskinan perdesaan muncul sebagai akibat dari ulah berbagai kelompok kepentingan khususnya urban middle class yang berusaha memperoleh keuntungan dengan mengorbankan kepentingan perdesaan melalui investasi pada industri dan jasa di perkotaan. Pada tingkat lokal atau perdesaan, kemiskinan perdesaan muncul sebagai akibat dari ulah para elit lokal seperti tuan tanah, pedagang, pelepas uang (money lenders), dan birokrat yang terus berusaha mengkonsolidasikan kekuasaan dan kekayaannya. Adanya proses pertukaran yang eksploitatif dan tidak seimbang pada tingkat global hingga lokal telah menyebabkan kaum kaya menjadi semakin kaya dan kuat, sementara kelompok miskin secara relatif maupun absolut semakin miskin dan lemah. Kedua adalah kelompok pandangan ekologis fisik, yang melihat kemiskinan sebagai fenomena fisik. Kemiskinan perdesaan muncul sebagai akibat dari pertumbuhan dan tekanan penduduk yang tidak terkendali atas sumberdaya dan lingkungan sehingga lahan menjadi semakin langka. Sebagian tenaga kerja terpaksa bermigrasi ke perkotaan atau ke lingkungan marginal untuk dapat mempertahankan hidup. Selain itu parasit, penyakit, kurang gizi, kondisi lingkungan yang tidak sehat, perumahan yang kurang layak, lingkungan yang kurang nyaman, dan kondisi iklim yang tidak menentu menyebabkan timbulnya kemiskinan di daerah perdesaan.
3.4.
Keseimbangan Perekonomian dalam Kerangka Makroekonomi Berikut ini diuraikan analisis keseimbangan perekonomian dalam kerangka
makroekonomi dengan pendekatan model IS-LM. Kurva IS menyatakan apa yang terjadi pada pasar barang dan jasa, sementara kurva LM menunjukkan apa yang terjadi pada penawaran dan permintaan terhadap uang.
107 Penelitian ini menggunakan pendekatan permintaan agregat (aggregate
demand, AD), sehingga pendapatan nasional (Y atau GDP) ditentukan oleh konsumsi (C), investasi (I), belanja pemerintah (G), dan ekspor bersih (X-M). Perubahan komponen permintaan agregat akan menggeser kurva IS. Karena itu, perubahan belanja subsidi BBM akan mengubah besaran belanja pemerintah dan kurva IS bergeser ke kanan. Pergeseran kurva IS menciptakan keseimbangan baru ketika kurva IS yang baru berpotongan dengan kurva LM. Pendapatan nasional dikurangi pajak pendapatan perusahaan dan individu menghasilkan pendapatan setelah pajak (disposable income) atau Yd=Y-T. Pendapatan setelah pajak digunakan untuk: (1) membeli barang dan jasa buatan dalam negeri atau impor, dan (2) untuk ditabung atau Yd=C+S. Persamaan 3.2 dimasukkan ke persamaan 3.1, sehingga diperoleh keseimbangan pendapatan nasional dalam perekonomian terbuka, yaitu: Y = Y - T - S + I + G + (X-M) ........................................................... (3.10) S + T + M = I + G + X ............................................. ......................... (3.11) Gambar 3 menunjukkan keseimbangan di pasar barang, dimana kurva kiri bawah menunjukkan garis IS yang meringkas hubungan antara tingkat suku bunga dan output nasional. Semakin tinggi suku bunga, maka output nasional semakin rendah. Apabila tingkat suku bunga turun, maka output nasional meningkat. Gambar 4 memperlihatkan keseimbangan di pasar uang, dimana penawaran dan permintaan terhadap uang riil menentukan tingkat suku bunga. Kurva penawaran uang riil (M/P) atau MS (Money Supply) berbentuk vertikal karena penawaran uang riil tidak bergantung pada tingkat suku bunga.
108
S, T, M
S, T, M S+T+M
e
d
f
c
45o 0 r
r2
0 Y2
Y1
I, G, X
Y r
r1
g h
r2
r1 IS 0
Y1
Y2
a b I+G+X
Y
0
I, G, X
Gambar 3. Keseimbangan Pasar Barang
Kurva permintaan uang atau L(r, Y) atau money demand (MD) berbentuk miring ke bawah karena tingkat suku bunga yang lebih tinggi meningkatkan biaya memiliki uang dan menurunkan kuantitas uang yang dimiliki. Pada tingkat suku bunga keseimbangan, maka jumlah uang riil yang diminta sama dengan jumlah penawarannya. Penjelasan ini didasarkan pada teori preferensi likuiditas yang menyatakan bahwa tingkat suku bunga disesuaikan untuk menyeimbangkan penawaran dan permintaan uang (Mankiw, 2003).
109
M/P
r
r
LM b
r2
d
r2
r1
c
r1 a L2(r1, Y2) L1(r1, Y1)
0
M/P
Y
0
Y2
Y1
Y
Y MS=MD
Y2
h
Y1
g
f e
45o 0
M/P
0
Y1
Y2
Gambar 4. Keseimbangan Pasar Uang Berdasarkan Gambar 3 dan 4, diperoleh keseimbangan pasar barang dan uang yang meliputi : Y
= C(Y - T) + I(r) + G + Nx
(Kurva IS) ................... (3.12)
M/P
= L(r, Y)
(Kurva LM) ................ (3.13)
Gambar 5 menunjukkan perpotongan antara kurva IS dan LM yang merepresentasikan keseimbangan pasar barang dan uang riil pada pengeluaran pemerintah, pajak, jumlah uang beredar, dan tingkat harga tertentu. Oleh karena
Y
110 perhitungan output nasional dari sisi permintaan, maka keseimbangan pasar barang dan uang disebut juga dengan permintaan agregat (AD).
r
M/P
r LM
r1
a
r1
b
L1(r, y1) IS1 0
M/P
0
Y1
Y
P
P1
c
AD
0
Y1
Y
Gambar 5. Penurunan Permintaan Agregat Penawaran agregat (AS) diturunkan dari kurva fungsi produksi dan pasar tenaga kerja. Meskipun penelitian ini tidak menggunakan pendekatan penawaran agregat, namun pasar tenaga kerja tetap diperlukan untuk melengkapi kedalaman analisis. Pada Gambar 6, pendapatan nasional diukur dari sisi produksi, dimana dalam jangka pendek fungsi produksi agregat ini diformulasikan yaitu Y = f(N). Apabila diasumsikan bahwa penawaran tenaga kerja elastis tidak berhingga pada upah W dan harga produk perusahaan adalah konstan pada P, maka keuntungan perusahaan adalah π=P.Y - W.N. Memaksimumkan keuntungan
111 terjadi bila turunan pertamanya adalah nol, sehingga dπ/dN=P.dY/dN-W=0. Pada asumsi turunan kedua terpenuhi, maka dY/dN=MPn adalah produk marginal tenaga kerja sehingga W=MPn. Persamaan ini adalah permintaan tenaga kerja yang digambarkan pada kurva permintaan tenaga kerja.
Y
Y Y=f(N)
b
Y2 a
Y1
45O 0
N1
N2
0
N
W
Y
P
AS
SL1 d
W2 W1
P2 P1
c
DL1 0
f
N1 N2 N3
e
DL2 N
0
Y1 Y2
Y
Gambar 6. Penurunan Penawaran Agregat Perubahan harga akan menggeser kurva permintaan tenaga kerja, jika diasumsikan kurva penawaran tenaga kerja bersifat kaku (rigid) terhadap perubahan harga dalam jangka pendek, sesuai asumsi Keynes. Apabila penawaran tenaga kerja berubah, maka upah tenaga kerja dan jumlah produksi juga berubah. Hubungan antara perubahan harga dengan jumlah produksi digambarkan melalui kurva penawaran agregat (AS).
112 Keseimbangan eksternal dicerminkan oleh kurva EB (External Balance) yang merupakan hasil dari kondisi keseimbangan antara ekspor bersih (X - M) dan aliran kapital bersih (K). Oleh sebab itu keseimbangan eksternal terjadi ketika ekspor bersih (net export) sama dengan aliran kapital bersih, seperti yang terlihat pada Gambar 7.
X-M
X-M X-M= K
a
0 K1
45O K2
K
Y1
0
Y2
Y
b
r
r
r2
r2 d
f r1
e
r1
c
K = f(r) K1 0
K2
K
0
Y1
Y2
Y
Gambar 7. Keseimbangan Neraca Pembayaran 3.5.
Hubungan Antar Variabel Makroekonomi Menurut Dornbusch dan Fisher (1997) terdapat hubungan yang sederhana
antar variabel utama makroekonomi yaitu pertumbuhan ekonomi, pengangguran, inflasi, dan neraca pembayaran.
113
3.5.1. Hubungan Antara Pertumbuhan Ekonomi dan Pengangguran Semakin tinggi pendapatan nasional, semakin besar harapan untuk membuka kapasitas produksi baru yang tentu saja akan menyerap tenaga kerja baru. Dengan demikian pertumbuhan ekonomi cenderung memperbesar harapan untuk tidak menganggur, sebaliknya bila pertumbuhan ekonomi mengecil (apalagi negatif), maka tingkat pengangguran cenderung semakin besar. Hubungan
antara
laju
pertumbuhan
riil
dan
perubahan
tingkat
pengangguran dikenal sebagai hukum Okun (Mankiw, 2003). Hukum ini menyatakan ”bila GNP tumbuh sebesar 2.5 persen di atas trend-nya yang dicapai pada tahun tertentu, maka tingkat pengangguran akan turun sebesar 1 persen”. Jadi bila pengangguran ingin diturunkan sebesar 2 persen, maka pertumbuhan ekonomi haruslah dipacu hingga bisa tumbuh sebesar 5 persen di atas rata-rata. Berdasarkan hukum Okun, dapat dibuatkan suatu rumus mengenai tingkat pengangguran sehubungan dengan pertumbuhan ekonomi (Putong, 2003), yaitu: UEn = UEn-1 - 0.4 (AG-ToG)
......................................................... (3.14)
dimana: UEn
= tingkat pengangguran tahun sekarang
UEn-1
= tingkat pengangguran tahun lalu
AG
= actual growth (pertumbuhan aktual)
ToG
= trend of growth (kecenderungan pertumbuhan)
0.4
= konstanta kenaikan pengangguran apabila pertumbuhan ekonomi naik 1 persen di atas rata-rata
Catatan: semua nilai dalam persen.
114
3.5.2. Trade Off Antara Inflasi dan Pengangguran Mankiw (2003) mengemukakan bahwa terdapat trade-off jangka pendek antara inflasi dan pengangguran, yang dapat dijelaskan dengan menggunakan kurva Philips seperti pada Gambar 8. Semakin tinggi tingkat pengangguran, maka laju inflasi semakin rendah (Dornbusch dan Fisher, 1997). Inflasi
0 Tingkat Pengangguran
Sumber: Dornbusch dan Fisher, 1997.
Gambar 8.
Trade-off Jangka Pendek antara Inflasi dan Pengangguran
Kurva Philips dalam bentuk modernnya menyatakan bahwa tingkat inflasi tergantung pada tiga kekuatan yaitu: (1) inflasi yang diharapkan, (2) deviasi pengangguran dari tingkat alamiah yang disebut pengangguran siklis, dan (3) guncangan penawaran (Mankiw, 2003). Tiga kekuatan tersebut dapat ditunjukkan pada persamaan berikut: π
= πe – β(µ - µn) + ν ................................................................ (3.15)
dimana: π
= inflasi
πe
= inflasi yang diharapkan
β
= parameter dari respon inflasi terhadap pengangguran siklis
(µ - µn)= pengangguran siklis ν
= guncangan penawaran
115
3.5.3. Hubungan Antara Nilai Tukar dan Pengeluaran Pemerintah Indonesia adalah pengekspor dan pengimpor, baik untuk minyak mentah maupun produk-produk minyak termasuk BBM. Pada saat ini Indonesia menjadi negara net importer minyak mentah, sehingga ketika harga minyak mentah (dalam US$) meningkat atau nilai tukar rupiah terdepresiasi, maka jumlah subsidi yang harus dibayar oleh pemerintah akan meningkat. Chowdhury and Hossain (1998) mengatakan untuk menggambarkan keterkaitan antara nilai tukar rupiah dengan penyerapan domestik (terdiri dari konsumsi, investasi, dan pengeluaran pemerintah), dapat dijelaskan melalui Diagram Swan, sebagaimana yang diperlihatkan pada Gambar 9. Pada diagram
Swan terdapat 2 kurva yaitu kurva IB dan EB. Kurva IB dari kiri atas ke kanan bawah menggambarkan kesimbangan internal yaitu keseimbangan ketika terjadi penggunaan tenaga kerja penuh (full employment) dan kestabilan harga. Ke arah kanan (kiri) dari kurva IB akan terjadi tekanan inflasi (deflasi) terhadap perekonomian karena pada nilai tukar riil tertentu, penyerapan domestik lebih besar (kecil) dari yang dibutuhkan untuk mencapai keseimbangan tenaga kerja. Kurva EB dari kiri bawah ke kanan atas menggambarkan keseimbangan eksternal yaitu keseimbangan neraca pembayaran. Ke arah kanan (kiri) kurva EB akan terjadi defisit (surplus) neraca pembayaran, karena pada nilai tukar riil tertentu penyerapan domestik lebih besar (kecil) dari yang dibutuhkan untuk menjaga keseimbangan neraca pembayaran. Titik A merupakan titik keseimbangan internal dan eksternal. Melalui titik A juga terdapat garis titik-titik vertikal dan horizontal yang membagi dua setiap zona guna merinci penyebab ketidakseimbangan agar arahan kebijakan lebih akurat.
116 Nilai Tukar Riil
EB
(II) Surplus
Inflasi D
Depresiasi
(III)
(I)
Surplus
Defisit A
B’
Pengangguran Apresiasi
B
C Defisit
Pengangguran
Inflasi IB
(IV) Penyerapan Domestik Sumber: Chowdhury and Hossain, 1998.
Gambar 9.
Diagram Swan
Diasumsikan suatu negara sedang mengalami masalah inflasi dan defisit neraca pembayaran yang ditunjukkan oleh titik B. Titik B terletak di sebelah kanan kurva IB dan dibawah garis titik-titik horizontal, kedua hal ini menunjukkan bahwa terjadi overvalued mata uang domestik dan terjadi tekanan inflasi. Langkah kebijakan yang perlu dilakukan agar perekonomian kembali ke titik A adalah dengan mengurangi penyerapan domestik dan sekaligus melakukan depresiasi mata uang domestik. Kebijakan tunggal berupa pengurangan penyerapan domestik akan berakibat pada seimbangnya neraca pembayaran tetapi mengakibatkan terjadinya pengangguran, sebagaimana yang ditunjukkan oleh titik C. Apabila kebijakan tunggal berupa depresiasi mata uang domestik diterapkan, maka neraca pembayaran seimbang namun terjadi tekanan inflasi sehingga inflasi meningkat di titik D.
117 Kebijakan tunggal dapat membawa perekonomian kembali ke titik A hanya apabila ketidakseimbangan awal terletak pada garis titik-titik. Misalkan ketidakseimbangan awal di titik B’, maka kebijakan tunggal berupa pengurangan penyerapan domestik akan berdampak pada terjadinya keseimbangan intenal dan eksternal, sehingga perekonomian kembali ke titik A. Hal ini mengindikasikan bahwa apabila nilai tukar riil berada dekat dengan nilai keseimbangannya, maka kebijakan tunggal penyerapan domestik dapat membawa perekonomian pada keseimbangan internal dan eksternal sekaligus.
3.5.4. Hubungan Subsidi dengan Keberlanjutan Fiskal Kebijakan fiskal adalah kebijakan makroekonomi yang berhubungan dengan penerimaan dan pengeluaran pemerintah. Instrumen kebijakan fiskal yang menjadi salah satu penggerak perekonomian Indonesia tertuang dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Perubahan yang terjadi pada variabel ekonomi makro dapat mempengaruhi APBN, sementara kebijakan APBN pada akhirnya juga akan mempengaruhi aktivitas ekonomi (Bappenas, 2007). Kebijakan fiskal disebut juga dengan kebijakan anggaran (budgetary policy) yang dilakukan melalui APBN. Fungsi kebijakan fiskal adalah: (1) fungsi alokasi, (2) fungsi distribusi, (3) fungsi stabilisasi, dan (4) fungsi dinamisatif. Fungsi alokasi merupakan fungsi yang berkaitan dalam mengalokasikan sumber-sumber ekonomi dengan penyediaan barang-barang sosial atau proses penggunaan sumberdaya yang dengan menciptakan insentif maupun diinsentif agar kegiatan ekonomi dapat berjalan sesuai dengan tujuan. Sementara fungsi distribusi atau retribusi adalah fungsi kebijakan fiskal yang berkaitan dengan upaya untuk menciptakan pembagian pendapatan dan kekayaan yang lebih adil
118 dan merata di masyarakat. Fungsi stabilisasi adalah fungsi kebijakan fiskal yang berhubungan dengan mempertahankan tingginya tingkat tenaga kerja yang bekerja (high employment), stabilitas harga, dan tingkat pertumbuhan ekonomi, yang dapat berpengaruh pada neraca perdagangan dan pembayaran (Musgrave and Musgrave, 1984). Fungsi dinamisatif merupakan peran kebijakan anggaran dan belanja pemerintah dalam menggerakkan proses pembangunan ekonomi agar lebih cepat tumbuh dan berkembang (Bappenas, 2007). Definisi gap fiskal (fiscal gap) adalah selisih antara penerimaan dalam negeri dengan belanja negara. Konsep gap fiskal seringkali dipakai untuk menunjukkan bahwa defisit anggaran berkaitan erat dengan keberlanjutan fiskal. Keberlanjutan fiskal (fiscal sustainability) seringkali diartikan beragam, namun umumnya dipahami bahwa kebijakan fiskal suatu negara dikatakan berkelanjutan apabila negara tersebut dapat mengatasi masalah keterbatasan anggarannya dengan sumber dana dalam negeri. Oleh sebab itu analisis keberlanjutan fiskal mencerminkan besarnya biaya dan manfaat dari beberapa alternatif mekanisme penyesuaian, baik melalui pajak ataupun pengeluaran (Alvarado, Izquierdo, and Panizza, 2004). Hal ini dijelaskan lebih lanjut oleh Krejdl (2006) dimana kebijakan fiskal dikatakan mempunyai derajat keberlanjutan apabila present value dari future primary surplusses sama dengan tingkat hutang pada saat itu (atau
intertemporal
budget
constraint).
Kondisi
tersebut
dimaksudkan
untuk
menghindarkan pemerintah dari akumulasi hutang yang berlebihan. Selain itu menurut Blanchard (1990) dalam Krejdl (2006), keberlanjutan fiskal dikaitkan dengan utang yang berlebihan dan terus meningkat. Kebijakan fiskal yang berkelanjutan adalah kebijakan fiskal yang mampu menjamin bahwa
119 rasio utang terhadap GDP akan kembali ke posisi semula. Buiter (1985) dalam Krejdl (2006) menyatakan bahwa kebijakan fiskal yang berlanjut adalah apabila rasio utang terhadap GDP dapat dipertahankan pada tingkat yang berlaku saat ini. Definisi ini memiliki kelemahan yaitu: (1) tidak ada teori yang menyatakan bahwa rasio utang terhadap GDP harus kembali ke posisi semula dan bukan posisi stabil yang lain, (2) tidak ada batasan sejauh apa rasio utang terhadap GDP yang disebut sebagai berlebihan.
3.6.
Dampak Subsidi terhadap Kesejahteraan dan Kinerja Perekonomian
3.6.1. Dampak Subsidi terhadap Kesejahteraan Beban pajak (atau manfaat suatu subsidi) sebagian dipikul konsumen dan sebagian lagi oleh produsen, dimana besarnya bagian dari pajak yang dibayar konsumen tergantung dari bentuk kurva penawaran dan permintaan dan khususnya tergantung pada elastisitas relatif dari permintaan dan penawaran. Dalam kenyataannya subsidi dapat dipandang sebagai pajak negatif. Pada umumnya keuntungan dari subsidi dinikmati oleh konsumen (Pindyck and Rubinfeld, 1991). Seperti yang diperkirakan, efek dari subsidi pada jumlah yang diproduksi dan dikonsumsi adalah kebalikan dari pada efek suatu pajak. Subsidi dapat dibedakan atas subsidi output (subsidized consumption) dan subsidi input (subsidized production). Subsidi output adalah subsidi yang diberikan pada pasar output sedemikian sehingga konsumen seolah-olah mengalami peningkatan pendapatan. Karena tingkat pendapatan konsumen meningkat, maka daya beli konsumen juga meningkat. Peningkatan daya beli konsumen ditampilkan sebagai pergeseran kurva permintaan ke kanan atas
120 sehingga harga barang meningkat dan jumlah konsumsi juga meningkat. Contoh subsidi output adalah pengurangan pajak individu atau transfer dana ke konsumen. Subsidi output diilustrasikan pada Gambar 10, dimana keseimbangan awal pada E0 (P0, Q0), dimana surplus produsen sebesar bidang g dan surplus konsumen sebesar a+d. Apabila dilakukan kebijakan subsidi output dalam bentuk cash grant, misalkan BLT (Bantuan Tunai Langsung), maka pendapatan masyarakat akan meningkat, sehingga kurva permintaan bergeser dari D0 ke D1 dan keseimbangan baru berada di E1 (P1, Q1). Jika diasumsikan tidak ada perdagangan, kebijakan subsidi output yang dilakukan oleh pemerintah sebesar bidang a+b+d+e dapat merubah surplus produsen dan konsumen. Surplus produsen menjadi sebesar bidang d+e+f+g dan surplus konsumen sebesar bidang a+b+c serta dead weight
loss sebesar bidang c+f. Pada Tabel 14 disajikan evaluasi sebelum dan sesudah adanya kebijakan subsidi output terhadap kesejahteraan. Subsidi input adalah subsidi yang diberikan pada pasar input sedemikian sehingga produsen seolah-olah mengalami penurunan biaya produksi. Karena biaya produksi berkurang, maka produsen cenderung memproduksi lebih banyak pada tingkat daya beli konsumen konstan. Penurunan biaya produksi produsen ditampilkan sebagai pergeseran kurva penawaran ke kanan bawah sehingga harga barang menurun dan jumlah penawaran meningkat. Contoh subsidi input adalah pengurangan pajak produsen atau transfer dana ke produsen yang dikenal dengan subsidi. Sebagai konsekuensi dari subsidi output atau subsidi input, kesejahteraan mengalami pergeseran yang dicerminkan pada pergeseran surplus konsumen, surplus produsen, dan pembayaran subsidi pemerintah.
121
P S
P2 P1 P0
a
b
d
E1
c e
E0
f h
g
D1 D0 0
Q0
Q1
Q
Gambar 10. Pengaruh Kebijakan Subsidi Output terhadap Kesejahteraan Tabel 14. Evaluasi Kebijakan Subsidi Output terhadap Kesejahteraan Keterangan
Surplus Produsen
Sebelum Subsidi Setelah Subsidi
Surplus Konsumen g a, d
d, e, f, g
a, b, c
Subsidi Pemerintah a, b, d, e
DWL c, f
Keterangan: DWL: Dead Weight Loss.
Subsidi input digambarkan pada Gambar 11 yaitu ketika subsidi diberikan pada produsen, maka harga input akan menjadi lebih rendah, sehingga kurva penawaran bergeser dari S0 ke S1 (Handoko dan Patriadi, 2005). Jika diasumsikan tidak ada perdagangan, maka keseimbangan awal pada titik keseimbangan E0 (P0, Q0), dimana surplus produsen sebesar b+c dan surplus konsumen sebesar a. Apabila subsidi input dilakukan oleh pemerintah, maka keseimbangan baru di titik E1 (P1, Q1) pada kurva permintaan yang sama. Jumlah produksi meningkat dari Q0 menjadi Q1 dan pada akhirnya menurun kembali menjadi Q0 karena harga output menurun menjadi P2. Pada keseimbangan baru, subsidi input sebesar bidang
122 b+c+d+f, surplus produsen sebesar bidang c+f+g, dan surplus konsumen sebesar bidang a+b+d+e, serta dead weight loss sebesar bidang e+g.
P
S0 S1 a
P0
b
P1
c
P2
E0 d e E1 g f
D 0
Q0
Q1
Q
Gambar 11. Pengaruh Kebijakan Subsidi Input terhadap Kesejahteraan Pada Tabel 15 disajikan evaluasi sebelum dan sesudah adanya kebijakan subsidi input terhadap kesejahteraan.
3.6.2. Dampak Subsidi terhadap Kinerja Perekonomian Gambar 12 memberikan ilustrasi grafik dampak dari peningkatan subsidi harga BBM terhadap kinerja perekonomian. Diasumsikan bahwa nilai tukar rupiah yang berlaku adalah flexible exchange rate dengan rezim kapital bebas keluar masuk.
Tabel 15. Evaluasi Kebijakan Subsidi Input terhadap Kesejahteraan
Sebelum Subsidi
Surplus Produsen b, c
Surplus Konsumen a
Subsidi Pemerintah -
-
Setelah Subsidi
c, f, g
a, b, d, e
b, c, d, f
e, g
Keterangan
DWL
Keterangan: DWL: Dead Weight Loss.
Keseimbangan pasar uang (kurva LM) dan pasar barang (kurva IS) berada di titik G (r1 dan y1) sebelum adanya shock ekonomi. Peningkatan subsidi harga
123 BBM akan membebani anggaran negara sehingga selanjutnya dapat meningkatkan pengeluaran pemerintah. Keseimbangan baru pasar uang dan barang dengan adanya peningkatan subsidi harga BBM adalah di titik I (r2, y2). Peningkatan pengeluaran pemerintah berakibat pada bergesernya kurva Investment-Saving (IS) ke kanan atas (IS1 ke IS2), sehingga output nasional meningkat dari y1 ke y3. Peningkatan output dari y1 ke y3 akan mendorong peningkatan suku bunga dari r1 ke r2 pada kurva permintaan uang MS yang sama, sehingga keseimbangan bergeser ke titik F (r1, y2). Peningkatan tingkat suku bunga berdampak pada 2 hal. Pertama, investasi swasta cenderung menurun sehingga output juga menurun dari y3 ke y2. Penurunan output ini akan menaikkan impor sehingga ekspor bersih (net export atau X - M) menurun. Kedua, naiknya suku bunga dalam negeri akan berdampak pada perbedaan suku bunga dalam negeri dengan luar negeri yang mengakibatkan peningkatan capital inflow. Capital inflow mengakibatkan permintaan mata uang domestik meningkat dan terjadi apresiasi nilai tukar rupiah. Di dalam negeri keseimbangan awal aggregat supply dan aggregat
demand berada di titik J (p1, y1). Peningkatan output menggeser kurva AD dari AD1 ke AD2 sehingga keseimbangan baru berada di titik L (p2, y2). Pada titik ini terjadi excess demand, sehingga harga-harga barang naik (inflasi) dari p1 ke p2. Di pasar tenaga kerja, pada (p1), keseimbangan awal di titik O (W1, N1). Ketika terjadi peningkatan harga (p1 ke p2), maka akan mendorong perusahaan meningkatkan produksi, sehingga permintaan terhadap input khususnya tenaga kerja meningkat dari N1 ke N3. Peningkatan permintaan input tenaga kerja ini digambarkan dengan pergeseran kurva permintaan tenaga kerja dari DL1 ke DL2.
124
S, T, M
S, T, M S +T + M
D C
45O 0 Y1 Y2
M/P r
r
Y
0
G, I, X
r LM
F
r2 r1 E
r2
I
r1
H
A B
G
L2(r, y2)
IS2
L1(r, y1)
G+I+X
IS1 0
M/P
0
Y1 Y2 Y3
Y
0
P AS EB L P2 P1
J
K
AD1 0 Y
Y1 Y2 Y3
AD2
Y
Y N
Y=f(N)
Y2 M
Y1
45O 0 N1 N2
N
Y
W SL1 SL2
Q
W2 W1
O
P
DL1
DL2
0 N1 N2 N3
N
Gambar 12. Dampak Subsidi terhadap Kinerja Perekonomian
G, I, X
125
Terhadap permintaan yang meningkat ini, masyarakat memberikan respon dengan meningkatkan penawaran tenaga kerja sehingga kurva penawaran tenaga kerja bergeser dari SL1 ke SL2. Pergeseran ini terjadi ketika upah nominal tenaga kerja masih pada posisi semula di W1. Ketika pekerja mengetahui bahwa terjadi inflasi, maka untuk mempertahankan daya beli riilnya, para pekerja menuntut peningkatan upah nominal yang dituruti oleh pengusaha. Namun karena terjadi informasi yang tidak seimbang, kenaikan upah nominal pekerja (dari W1 ke W2) masih lebih kecil dibandingkan dengan kenaikan inflasi, sehingga sebetulnya upah riil pekerja menurun. Namun demikian, kenaikan upah nominal ini (dari W1 ke W2) membuat pengusaha melakukan rasionalisasi jumlah pekerja dari N3 ke N2 untuk menyesuaikan dengan peningkatan biaya produksi sebagai akibat dari kenaikan upah nominal. Pada akhirnya pekerja mengetahui bahwa meskipun upah nominal meningkat (dari W1 ke W2) namun sebetulnya upah riil relatif tetap. Karena itu pekerja mengurangi penawaran tenaga kerja sehingga kurva penawaran bergerak kembali dari SL2 ke SL1. Keseimbangan final pasar tenaga kerja ada di titik Q (W2, N2). Dari ilustrasi di atas disimpulkan bahwa kenaikan subsidi harga BBM cenderung akan meningkatkan output nasional dari y1 ke y2 atau pertumbuhan ekonomi (growth). Peningkatan output mendorong peningkatan jumlah tenaga kerja dari N1 ke N2 yang berarti penurunan jumlah penganggur. Upah nominal yang diterima pekerja meningkat dari W1 ke W2, walaupun diketahui bahwa upah riil pekerja menurun. Selain itu peningkatan subsidi juga dapat menyebabkan
126 harga-harga dari p1 ke p2, kenaikan tingkat suku bunga dari r1 ke r2, dan terakhir terjadi penurunan investasi yang diakibatkan oleh kenaikan tingkat suku bunga.
3.6.3. Dampak Subsidi Terhadap Kemiskinan Dampak subsidi terhadap kemiskinan dapat ditelusuri dari dua pendekatan. Pertama adalah peningkatan anggaran subsidi akan meningkatkan belanja negara. Menurut Gambar 12, peningkatan belanja negara akan menggeser kurva IS ke kanan sehingga output nasional meningkat dari Y1 ke Y2. Karena produksi nasional meningkat, maka terjadi pergeseran sepanjang kurva produksi Y=f(N) sehingga kebutuhan akan tenaga kerja meningkat. Peningkatan permintaan tenaga kerja akan menggeser kurva permintaan tenaga kerja DL1 ke DL2, pada kondisi penawaran tenaga kerja yang relatif stabil di SL1. Hal ini mengakibatkan penyerapan tenaga kerja meningkat dari N1 ke N2 dan upah juga meningkat dari W1 ke W2. Peningkatan upah dan pengurangan pengangguran mengakibatkan daya beli masyarakat relatif membaik. Apabila peningkatan daya beli masyarakat lebih tinggi dari tingkat inflasi, maka sebagian jumlah penduduk miskin dapat melampaui garis kemiskinan dan mengurangi jumlah penduduk miskin. Sehingga dapat disimpulkan bahwa peningkatan subsidi cenderung akan mengurangi jumlah penduduk miskin. Kedua adalah pendekatan harga. Subsidi BBM membuat harga jual eceran BBM menjadi lebih murah daripada seharusnya. Murahnya harga input energi ini membuat biaya produksi umum menjadi lebih rendah daripada seharusnya sehingga harga-harga umum turun. Penurunan harga-harga umum akan berdampak positif pada peningkatan pendapatan masyarakat. Pada garis kemiskinan yang relatif stabil, maka peningkatan pendapatan relatif masyarakat
127 akan mengakibatkan pengurangan tingkat kemiskinan. Pendekatan ini meyakini bahwa subsidi cenderung mengurangi tingkat kemiskinan. Dari pembahasan ini terdapat hal krusial yang terkait dengan pendekatan pertama, yaitu apakah peningkatan belanja negara sebagai akibat dari peningkatan subsidi dapat mendorong kurva IS ke kanan ? Subsidi adalah bagian dari transfer
payment seperti juga pengurangan pajak, pengurangan biaya bunga perbankan, atau pembagian beras masyarakat miskin. Hal ini biasanya berdampak pada peningkatan relatif daya beli masyarakat pada tingkat pendapatan yang lama atau pengurangan biaya produksi karena adanya subsidi input. Transfer payment langsung ke masyarakat cenderung berdampak pada peningkatan konsumsi. Masalah lain adalah timbulnya biaya kesempatan (opportunity cost) sebagai akibat dari peningkatan alokasi anggaran untuk subsidi BBM yang akan mengurangi alokasi anggaran untuk kegiatan lain. Apakah besaran anggaran subsidi BBM memiliki dampak yang sama besar atau lebih besar terhadap perekonomian nasional apabila jumlah anggaran yang sama dipergunakan untuk kegiatan lain yang lebih penting dan memiliki efek pengganda lebih besar?
3.6.4. Kebijakan Subsidi Besaran subsidi harga BBM dapat berubah-ubah, sebagai respon dari pasar dunia minyak mentah, ketika harga jual eceran konstan. Harga jual eceran yang relatif konstan berdampak pada perubahan subsidi harga BBM sejalan dengan pergerakan harga keekonomian BBM dalam rupiah. Sebagai ilustrasi, pada periode 1986-2006, perbandingan rata-rata harga jual eceran BBM terhadap harga keekonomiannya adalah 95.25 persen untuk premium, 68.33 persen untuk minyak solar, 35.66 persen untuk minyak tanah, dan 110.99 persen untuk elpiji.
128 Sebagai negara importir minyak mentah, harga dunia merupakan harga jual eceran, jika tidak ada subsidi. Selain itu, harga dunia BBM cenderung sangat fluktuatif dengan kenaikan harga tertinggi mencapai 3 kali lipat dalam beberapa bulan, dan kemudian kembali ke harga normal dalam beberapa bulan kemudian. Besaran subsidi BBM adalah : SUBH =
(MOPS x NTKR) - HJEC ...................................... (3.16)
dimana : SUBH =
subsidi harga BBM (Rp./Liter) atau elpiji (Rp./Kg)
MOPS =
harga keekonomian BBM (US$/Liter) atau elpiji (US$/Kg)
NTKR =
nilai tukar riil rupiah (Rp. /US$)
HJEC =
harga jual eceran BBM (Rp./Liter) atau elpiji (Rp./Kg)
Persamaan perilaku kebijakan subsidi bagi setiap jenis BBM adalah : SUBH =
f (MOPS, NTKR, KEBJ, NKEBJ) ............................. (3.17)
Hubungan antara harga dunia dengan harga jual eceran adalah: HJEC =
(MOPS x NTKR) – SUBH ......................................... (3.18)
dimana:
3.7.
KEBJ =
variabel kebijakan terkait dengan produk BBM
NKEBJ=
variabel diluar kebijakan
Kerangka Pemikiran Tahapan kegiatan dari pasar input minyak mentah hingga pasar BBM dan
selanjutnya pasar industri sekunder disajikan pada Gambar 13. Kegiatan eksploitasi minyak mentah merupakan kegiatan penambangan untuk memperoleh minyak mentah, yang kemudian sebagian besar dijual di pasar internasional. Di pasar internasional ini terjadilah pembentukan harga dunia
129 minyak mentah sesuai dengan jenis minyak mentah, yang terkenal adalah Dated
Brent di Eropa, West Texas Intermediate (WTI) di Amerika Serikat, dan Dubai Fateh di Timur Tengah. Selain itu ada pasar berjangka minyak mentah, yang terkenal adalah NYMEX atau New York Merchantile Exchange di New York. Setiap titik sumur pengeboran minyak menghasilkan jenis minyak mentah yang berbeda. Indonesia mengeluarkan daftar harga minyak mentah Indonesia yang dikenal dengan Indonesia Crude Price (ICP). ICP berisikan harga rata-rata minyak mentah Indonesia dari berbagai sumur pengeboran di Indonesia yang menghasilkan jenis minyak mentah yang berbeda dan harga yang berbeda pula. Penggunaan ICP sangat terbatas yaitu hanya digunakan internal oleh pemerintah Indonesia untuk membukukan nilai penjualan minyak mentah Indonesia, penerimaan negara, besaran pajak, dan lainnya yang berkaitan dengan keuangan negara. Penelitian ini menggunakan harga dunia minyak mentah tahunan yang diterbitkan oleh BPMIGAS (Badan Pelaksana Minyak dan Gas Bumi). Kilang dalam negeri mampu memenuhi sekitar 61.74 persen dari kebutuhan BBM dalam negeri pada tahun 2005, sementara sekitar 38.26 persennya dipenuhi dari impor. Penelitian ini memfokuskan diri pada perilaku di pasar BBM dan pasar BBM sekunder. Konsumen BBM di pasar ini membutuhkan BBM sebagai input energi maupun sebagai energi final. Pergerakan harga dan jumlah konsumsi BBM berpengaruh terhadap pasar sekunder BBM. Pasar sekunder BBM berkaitan dengan kondisi perekonomian nasional, seperti penyerapan tenaga kerja, GDP nasional, tingkat harga-harga, dan lainnya. Dengan demikian, perilaku di pasar BBM akan berdampak terhadap perekonomian nasional.
130
Tahap Produksi:
Pasar: Penawaran Output
Pasar Industri Sekunder Industri Sekunder BBM Permintaan Input
Pasar BBM Penawaran Output
Industri Primer BBM
Impor BBM Permintaan Input
Pasar Minyak Mentah Penawaran Output
Eksploitasi Minyak Mentah Permintaan Input
Pasar Input Minyak Mentah
Gambar 13. Tahapan Produksi dan Pasar Bahan Bakar Minyak di Indonesia Gambar 14 menjelaskan bahwa proses penetapan besaran subsidi harga BBM melalui proses panjang dan terjadi proses iterasi yang panjang dengan DPRRI. Pemerintah telah menyadari bahwa dampak negatif dari subsidi BBM sudah perlu disikapi dengan suatu kebijakan. Karena itu pemerintah telah mencanangkan kebijakan umum untuk mengurangi beban subsidi dalam APBN, termasuk subsidi BBM. Namun upaya pengurangan subsidi harus dilakukan dengan hati-hati dan bertahap agar tidak menimbulkan gejolak sosial politik.
131 Fluktuasi Harga Dunia Minyak Mentah
Indonesia Sebagai Net Importer
Monetary Side
Nilai Tukar Rp/US$
Kemampuan APBN (Fiscal Side)
Pengeluaran Pemerintah
Penerimaan Pemerintah
Segi Positif: 1.Optimalisasi Hasil Produksi 2.Meningkatkan Daya Beli Masyarakat 3.Pemerataan Hasil Produksi 4.Stabilitas Harga Produksi Pertimbangan: -Undang-Undang -Politik -Harga Dunia BBM -Nilai Tukar Rp/US$ -APBN -Daya Beli Masyarakat
Kebijakan Subsidi Harga BBM
Pendistorsi
Permintaan BBM
Penetapan Harga Jual Eceran BBM
Segi Negatif: 1.Inefisiensi Ekonomi (Boros) 2.Diinsentif Pengembangan Energi Alternatif Selain Migas 3.Penyelundupan 4.Mengurangi Kemampuan APBN
5.Distorsi Pasar 6.Ketidakadilan
Penawaran BBM
Kinerja Perekonomian Inflasi
Growth
Pengangguran
Balance of Trade
Daya Beli Masyarakat
Kemiskinan
Gambar 14. Kerangka Pemikiran Keterkaitan Subsidi Harga Bahan Bakar Minyak terhadap Kinerja Perekonomian dan Kemiskinan di Indonesia
132
Proses penetapan besaran subsidi harga BBM dan subsidi BBM yang lazim dilakukan adalah: (1) perkiraan harga jual eceran BBM tahun depan, termasuk pertimbangan daya beli masyarakat, (2) perhitungan kemampuan APBN dalam menyediakan subsidi BBM, termasuk subsidi non-BBM, (3) bersama dengan DPR-RI, menetapkan besaran asumsi makro seperti nilai tukar, lifting minyak, tingkat suku bunga, harga dunia minyak mentah, dan termasuk subsidi BBM, (4) penetapan UU APBN, didalamnya tercantum subsidi BBM. Yusgiantoro, 2000 menekankan pentingnya peranan harga dunia minyak mentah dalam penghitungan subsidi harga BBM dan harga jual eceran BBM, karena sekitar 75 persen dari komponen pembentuk harga jual eceran BBM berasal dari harga minyak mentah. Karena itu harga dunia minyak mentah menjadi faktor sangat penting dalam penghitungan subsidi harga dan harga jual eceran BBM. Dalam penetapan besaran subsidi harga dan harga jual eceran BBM, selain harga dunia minyak mentah, pemerintah juga mempertimbangkan nilai tukar rupiah, kemampuan APBN, dan daya beli masyarakat. Perlu diketahui, di antara faktor-faktor ekonomi, volatilitas harga dunia minyak mentah sangat dominan mempengaruhi kebijakan subsidi harga BBM.