Berk. Penel. Hayati Edisi Khusus: 5F (39–43), 2011
KERAGAMAN VEGETASI DAN PENGARUHNYA TERHADAP LAJU INFILTRASI DI DAERAH RESEPAN MATA AIR SERUK, DESA PESANGGRAHAN - BATU Titut Yulistyarini UPT Balai Konservasi Tumbuhan Kebun Raya Purwodadi-LIPI, Pasuruan, Jawa Timur E-mail:
[email protected]
ABSTRACT Seruk spring is one of the springs in Batu which has debit less than 1 liter/second. This spring recharge area consists of six Land Use Systems (LUS), they are plantation of pine (Pinus merkusii) and cajuputih (Eucalyptus alba), forest, bamboo, horticulture, and housing. This study aimed to find plant diversity on various LUS in catchment areas of Seruk spring and its influence on soil biophysical and an infiltration rate. Plant diversity analysis of each LUS was done by determining the tree species, height, diameter, and tree density on the plots sized 20 m × 100 m for the species of trees and plots 40 m × 5 m for the type of belta. Besides that, analysis ground cover spesies and thickness of litter layer were observed on 0.5 × 0.5 m plots. Infiltration rate was measured by creating a sub-plots infiltration 1 m × 1 m. The results indicated that the forest and bamboo LUS had the highest litter thickness compared to other SPL, so they had a high infiltration rate. Key words: plant diversity, infiltration, spring, Batu, East Java
PENGANTAR Mata air Seruk merupakan salah satu mata air di Batu berdebit kecil, ± 1 liter/detik. Mata air ini digunakan oleh penduduk di sekitarnya untuk keperluan air bersih, mandi, mencuci, irigasi dan budi daya ikan. Jika ditinjau dari hidrogeologinya, mata air Seruk terbentuk karena pengaruh topografi permukaan yang menyebabkan muka air tanah memotong kemiringan lahan. Berdasarkan data geolistrik diketahui akuifer mata air Seruk berupa pasir merupakan akuifer dangkal. Mata air ini terbentuk karena lapisan lulus air terletak di atas lapisan kedap air (Yulistyarini et al., 2009). Pada umumnya, mata air jenis ini cenderung didukung oleh aliran air tanah lokal (Brown et al., 2007). Pengaruh aliran lokal ini juga dapat dilihat dari kecilnya debit yang dihasilkan dan arah aliran airnya berlawanan dengan arah aliran regional. Sebelum terjadi alih guna hutan, daerah di sekitar mata air Seruk merupakan hutan pegunungan atas dengan berbagai jenis vegetasi dan bambu-bambuan. Pada awal tahun 2000-an, hutan di sini mengalami kerusakan akibat penebangan liar dan kebakaran. Berdasarkan informasi penduduk, debit mata air Seruk mengalami penurunan saat terjadi kerusakan hutan di tahun 2003. Perum Jasa Tirta I melakukan pengukuran debit mata air Seruk sebesar 0,7 liter/detik (Anonymous, 2003). Sedangkan hasil pengamatan debit tahun 2009–2010 menunjukkan debit maksimum mata air Seruk sebesar 1,28 liter/detik dan debit minimum 0,52 liter/detik (Yulistyarini et al., 2009).
Alih guna hutan merubah struktur dan komposisi komunitas vegetasi sehingga menyebabkan degradasi sifat fisik tanah, yang pada akhirnya memengaruhi kontinuitas ketersediaan air. Degradasi tersebut ditunjukkan dengan kestabilan agregat rendah, penurunan tingkat porositas tanah sehingga tanah menjadi mampat. Selain merubah sruktur dan komposisi vegetasi, alih guna hutan mengakibatkan penurunan produksi seresah, aktivitas perakaran dan biota tanah (Widianto et al., 2004). Terjadinya alih guna hutan menjadi tanah pertanian, perkebunan atau perumahan diduga juga akan memengaruhi debit mata air. Debit mata air ditentukan oleh luas daerah resapan, kecepatan dan besarnya groundwater recharge (resapan air tanah) (Todd dan Mays, 2005). Salah satu faktor yang memengaruhi keberadaan air tanah adalah laju infiltrasi. Laju infiltrasi ditentukan oleh land use (Sistem Penggunaan Lahan (SPL)) yang dapat mempercepat maupun memperlambat infiltrasi. SPL berkaitan dengan peran vegetasi dalam memengaruhi hidrologi tanah melalui sistem perakaran dan seresah yang dihasilkannya. Hutan produksi memiliki laju infiltrasi 1260 mm/jam–1 lebih tinggi dibandingkan lahan semak (tanpa pohon) dengan laju infiltrasi sebesar 580 mm/jam–1 di daerah tangkapan air Cibojong, DAS Cicatih, Bogor (Eliasson dan Larsson, 2006). Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui: 1) apakah keragaman vegetasi menyebabkan perbedaan sifat biofisik tanah (porositas, Bahan Organik Tanah (BOT), dan
40
Keragaman Vegetasi dan Pengaruhnya terhadap Laju Infiltrasi
Konduktivitas Hidroulik Jenuh (KHJ)) pada setiap SPL di daerah resapan Mata air Seruk; 2) apakah keragaman vegetasi memengaruhi laju infiltrasi di daerah resapan tersebut, yang mana hal ini dapat berdampak pada debit yang dihasilkan mata air. BAHAN DAN CARA KERJA Waktu dan Tempat Penelitian Penelitian dilaksanakan pada Februari 2010 di daerah resapan mata air Seruk, Dusun Toyomarto, Desa Pesanggrahan, Kota Batu. Catatan Badan Meteorologi dan Geofisika Karangploso menunjukkan rata-rata curah hujan di kawasan ini sebesar 1538,9 mm/tahun. Mata air Seruk terletak pada posisi geografis 07°53’02,7” LS dan 112°30’15,4” BT dan ketinggian 1233 meter di atas permukaan laut.
Mata air Seruk berada pada formasi geologi batuan Gunungapi Panderman (Qvp), satuan ini termasuk ke dalam batuan gunung api kuarter atas yang tersusun atas bahan breksi gunungapi, lava, tuf, breksi tufan, aglomerat dan lahar. Batuan gunung api ini diperkirakan berumur Plistosen Akhir-Holosen. Batuan Gunung api Panderman merupakan parasit pada lereng timur laut dari Gunung Kawi-Butak, berbentuk kerucut (lateral eruption) (Santosa dan Suwarti, 1992). Daerah resapan mata air Seruk diperkirakan berada di kawasan bukit Seruk, yang berada di kaki Gunung Panderman dengan luas 20,04 ha. Berdasar hasil survei di lapangan, daerah resapan ini terdiri dari enam SPL, yaitu SPL hutan tersisa, SPL pinus (Pinus merkusii) dan kayu putih (Eucalyptus alba), SPL bambu, SPL hortikultura dan SPL perumahan (Yulistyarini et al., 2009). SPL pinus mendominasi daerah resapan dengan luasan mencapai 10,27 ha. Diikuti kemudian SPL kayu putih seluas 1,79 ha, SPL hortikultura seluas 1,17 ha dan pemukiman seluas 4,4 ha. Sedangkan SPL hutan tersisa dan bambu, yang merupakan ekosistem asli hanya seluas 2,24 ha (Gambar 1). Pengamatan keragaman vegetasi, sifat fisik tanah dan laju infiltrasi dilakukan di lima SPL daerah resapan Mata air Seruk, yaitu SPL hutan tersisa, SPL kayu putih, SPL bambu, SPL pinus, dan SPL hortikultura. Sedangkan pada SPL perumahan tidak dilakukan pengamatan, karena SPL ini dianggap tidak berpotensi lagi sebagai daerah resapan. Analisis keragaman vegetasi masing-masing SPL dilakukan dengan menentukan jenis pohon, tinggi dan diameter, kerapatan pohon dan Indeks Diversitas (H’) pada plot berukuran 20 m × 100 m untuk jenis pohon dan plot 40 m × 5 m untuk jenis belta. Indeks Diversitas ShannonWiener dihitung dengan persamaan: H’ = – Σ pi. 2 log pi
Gambar 1. Lokasi Mata air Seruk pada peta DAS mikro Kota Batu (atas), hasil delineasi daerah resapan Mata air Seruk (bawah)
pi = ni / N
ni merupakan jumlah individu spesies i dan N adalah jumlah seluruh individu spesies yang dijumpai dalam plot (Ludwig dan Reynold, 1988). Selain itu, dilakukan analisis vegetasi tumbuhan bawah dan pengukuran ketebalan seresah pada plot ukuran 0,5 m × 0,5 m. Sifat biofisik tanah ditentukan dengan pengambilan contoh tanah pada lapisan tanah atas. Pengambilan contoh tanah utuh digunakan untuk penentuan porositas dan Konduktivitas Hidroulik Jenuh (KHJ). Sedangkan contoh tanah terganggu digunakan untuk kandungan Bahan Organik Tanah (BOT). Contoh tanah dianalisis di Laboratorium Fisika dan Kimia Jurusan Tanah, Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya. Laju infiltrasi diukur dengan membuat sub plot infiltrasi 1 m × 1 m pada setiap SPL diulang 3 kali. Metode
41
Yulistyarini
pengukuran laju infiltrasi dengan pendekatan menggunakan curah hujan buatan. Laju infiltrasi tanah diperoleh dengan cara menghitung selisih curah hujan dengan limpasan permukaan yang dinyatakan dalam cm jam-1. Laju infiltrasi yang disajikan adalah laju infiltrasi konstan saat kondisi tanah telah jenuh. Analisis ragam digunakan untuk mengetahui pengaruh vegetasi (SPL) terhadap sifat biofisik dan laju infiltrasi tanah, dilanjutkan dengan uji Beda Nyata Terkecil (BNT) 5% jika pengaruh tersebut nyata. HASIL Keragaman Vegetasi Hasil analisis vegetasi menyebutkan SPL hutan tersisa memiliki jenis pohon dan belta paling banyak dibandingkan SPL lainnya (Tabel 1). Pada SPL ini masih ditemukan jenisjenis vegetasi asli seperti Anggrung (Trema orientalis), Iprik (Ficus virens), Elo (F. racemosa), dan Aren (Arenga pinnata). Sedangkan jenis belta yang banyak ditemukan adalah jenis-jenis tanaman penghijauan seperti mahoni (Swietenia mahagoni), dadap (Erythrina variegata), dan nyampo (Litsea virma). Berdasarkan kerapatan pohon, SPL pinus memiliki kerapatan pohon terbanyak dibanding SPL lainnya. Sedangkan untuk belta, SPL hutan tersisa memiliki kerapatan belta tertinggi. Penutupan jenis tumbuhan bawah yang cukup rapat terdapat di semua SPL, kecuali SPL hortikultura. Jenis rumput gajah (Penisetum purpureum) mendominasi SPL pinus dan SPL kayu putih. Rumput ini dibudidayakan oleh penduduk setempat untuk pakan ternak. Sedangkan pada SPL bambu dan SPL hutan tersisa tertutup rapat oleh Eupatorium spp. dan jenis rumput-rumputan. Tabel 1. Keragaman vegetasi tiap SPL di daerah resapan mata air Seruk SPL Hutan Kayu putih Bambu Pinus
Jumlah jenis P 13 4 0 1
B 24 17 23 0
Kerapatan (pohon/ha) P B 90 1450 48 900 1000 344 0
H P 3,31 1,29 0 0
B 4,15 3,34 3,83 0
Keterangan: P: pohon; B: belta
Sifat Biofisik Tanah Beberapa sifat biofisik tanah yang memengaruhi laju infiltrasi di antaranya adalah BOT, porositas dan KHJ tanah. Dari Uji BNT diketahui keragaman vegetasi dalam SPL berpengaruh nyata terhadap BOT dan porositas, tetapi
tidak berpengaruh nyata terhadap KHJ tanah. SPL bambu memiliki BOT, ketebalan seresah dan porositas lebih tinggi dibandingkan dengan SPL lainnya (Tabel 2). SPL hutan tersisa memiliki BOT sama dengan SPL kayu putih dan hortikultura. Kandungan BOT yang tinggi pada SPL hutan tersisa seiring dengan cukup tebalnya seresah di SPL ini. Sedangkan pada SPL pinus, tingginya BOT tidak diikuti dengan tebalnya seresah. SPL bambu memiliki rata-rata ketebalan seresah paling tinggi dibandingkan dengan SPL lainnya. KHJ merupakan sifat tanah dalam mengalirkan air. Hasil analisis statistik menunjukkan KHJ tanah lapisan permukaan di semua SPL tidak menunjukkan perbedaaan nyata dan semuanya masuk ke dalam kelas KHJ sangat cepat (Landon, 1984). Tabel 2. Sifat biofisik tanah tiap SPL di daerah resapan mata air Seruk SPL
BOT (%)
Hutan tersisa Kayu putih Bambu Pinus Hortikultura BNT 5%
2,92 3,17 8,56 7,09 3,96 2,84
Porositas (%) a a b b a
51,53 55,83 62,47 52,50 49,00 3,57
Ketebalan seresah (cm) a 94,05 3,03 b 126,05 1,53 c 115,25 7,61 ab 124,45 0,65 a 40 0 tn KHJ (cm.jam-1)
Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05), tn = tidak nyata Tabel 3. Laju Infiltrasi pada berbagai SPL SPL Hutan tersisa Kayu putih Bambu Pinus Hortikultura BNT 5%
Laju Infiltrasi (cm.jam-1) 34,44 c 26,51 ab 30,74 bc 19,75 a 25,18 ab 7,12
Keterangan: Huruf yang berbeda menunjukkan perbedaan yang nyata (p < 0,05)
SPL hutan tersisa memiliki laju infiltrasi tertinggi sebesar 34,44 cm/jam–1 dibandingkan dengan SPL lainnya. Akan tetapi, berdasar uji BNT 5% laju infiltrasi SPL tersebut sama dengan laju infiltrasi SPL bambu (30,74 cm/jam–1). SPL kayu putih, pinus, dan hortikultura memiliki laju infiltrasi sama (Tabel 3). PEMBAHASAN SPL hutan tersisa memiliki nilai H paling tinggi dibandingkan SPL lainnya, yaitu sebesar 3,31 (pohon) dan
42
Keragaman Vegetasi dan Pengaruhnya terhadap Laju Infiltrasi
4,15 (belta). Hal ini menunjukkan ekosistem di SPL ini cukup stabil (Barbour et al., 1987). Dengan jumlah jenis dan kerapatan pohon dan belta yang tinggi, SPL hutan tersisa memiliki seresah cukup tebal, yaitu 3,03 cm. Hairiah et al. (2004) menyatakan lapisan seresah yang tebal memberikan perlindungan kepada tanah dari pukulan air hujan, maka struktur tanah tetap utuh yang memungkinkan air hujan masuk. Selain itu, lapisan seresah yang tebal menjaga iklim mikro tanah (kelembaban dan suhu tanah) yang menguntungkan bagi perkembangan makro fauna tanah terutama cacing tanah dan perkembangan akar tanaman. Dengan semakin aktifnya kedua organisma tanah tersebut akan meningkatkan jumlah pori makro tanah, sehingga meningkatkan infiltrasi tanah. Liang cacing tanah dapat memengaruhi laju infiltrasi dan aliran permukaan pada tanah-tanah pertanian, di mana keberadaan cacing tanah dapat meningkatkan laju infiltrasi 2 hingga 10 kali lipat (Chan, 2004). Peran seresah juga dinyatakan oleh Arrijani (2006), di mana faktor yang memberikan andil lebih besar dalam peningkatan laju infiltrasi adalah produksi seresah masing-masing pohon. Jenis rasamala (Altingia excelsa) dan kondang (Ficus variegata) merupakan pohon dengan nilai infiltrasi tinggi di bawah tajuknya. Demikian halnya dengan SPL bambu, di mana SPL ini memiliki seresah paling tebal di antara SPL lainnya, mencapai rata-rata 7,06 cm. Dengan tebalnya seresah dan diikuti tingginya BOT menyebabkan porositas SPL bambu mencapai 62,47%, paling banyak dibandingkan SPL lainnya. Tingginya porositas SPL bambu juga disebabkan melimpahnya akar halus pada lapisan tanah atas (0-25 cm). Hal ini menyebabkan laju infiltrasi SPL ini tinggi, sama dengan laju infiltrasi SPL hutan tersisa. Seperti yang dinyatakan oleh Lu et al. (2007) bahwa kelimpahan akar halus pada makino bamboo tidak hanya merupakan sumber bahan organik yang membantu perkembangan struktur tanah, tetapi juga membentuk saluran (channels) untuk pergerakan air saat akar tersebut melapuk. SPL pinus memiliki laju infiltrasi terendah, meskipun secara statistik sama dengan laju infiltrasi SPL kayu putih dan hortikultura. Hal ini karena SPL pinus, kayu putih dan hortikultura menghasilkan seresah yang tipis, sehingga ketiga SPL ini memiliki porositas lebih sedikit dibandingkan dengan pada SPL hutan tersisa dan bambu. Sedangkan kandungan BOT yang tinggi pada SPL pinus nampaknya belum memengaruhi porositas tanah. Tingginya BOT pada SPL ini dikarenakan adanya pemberian pupuk kandang, sehubungan dengan adanya budidaya rumput gajah di SPL ini. Tingginya infiltrasi pada SPL hutan dan bambu juga ditunjukkan oleh Saputra (2007), di mana hutan terganggu
memiliki laju infiltrasi lebih tinggi (50,2 cm.jam -1 ) dibandingkan dengan SPL kopi multistrata (30,9 cm.jam-1) dan kopi naungan Gliricidia (29,3 cm. jam-1) di kawasan DAS Konto Ngantang. Sedangkan SPL Bambu memiliki laju infiltrasi sebesar 60,8 cm.jam-1. Perbedaan beberapa sifat biofisik tanah (ketebalan seresah, BOT dan porositas) pada kelima SPL di atas belum menyebabkan perbedaan kemampuan tanah dalam meneruskan air (KHJ). Soepardi (1983) menyatakan penggunaan lahan memengaruhi KHJ melalui pengaruhnya terhadap jumlah pori makro dan tingkat kemantapan agregat tanah. Hasil kajian pengaruh keragaman vegetasi dalam SPL terhadap biofisik dan laju infiltrasi tanah di atas dapat dijadikan acuan dalam pengelolaan daerah resapan mata air Seruk. Hasil penelitian ini menunjukkan SPL hutan tersisa dan bambu, yang merupakan ekosistem asli daerah resapan memiliki laju infiltrasi lebih baik dibandingkan SPL kayu putih, pinus, dan hortikultura (ekosistem buatan). Jika diklasifikasikan ke dalam Klas Laju Infiltrasi Tanah (Kohnke, 1968), laju infiltrasi kelima SPL masuk dalam kategori cepat hingga sangat cepat, sehingga saat ini daerah ini masih memenuhi syarat sebagai daerah resapan mata air Seruk. Menurut Waryono (2003) karakteristik daerah resapan di antaranya adalah: (a) kondisi tanahnya poros, (b) kemampuan dalam meresapkan air, (c) memiliki perbedaan tinggi air tanah dangkal, dan (d) berada pada wilayah dengan curah hujan cukup tinggi > 2500 mm/tahun, serta (e) berpenutupan vegetasi dengan sistem perakaran dalam serta memiliki strata (pelapisan) tajuk dan tumbuhan bawah. Akan tetapi, melihat lebih kecilnya luas SPL hutan tersisa dan bambu dibandingkan SPL kayu putih, pinus, dan hortikultura, maka perlu dipikirkan kebijakan dalam pengelolaan kawasan ini sehubungan dengan fungsinya sebagai kawasan resapan. Hal ini karena SPL kayu putih, pinus, dan hortikultura memiliki nilai ekonomi lebih tinggi dibandingkan dengan SPL hutan dan bambu. Di samping itu fungsi-fungsi ekologi hendaknya tetap diutamakan dalam pengelolaan kawasan ini. Hutan pinus yang mendominasi kawasan ini (51,72%) diketahui memiliki evapo-transpirasi tinggi. Sehingga dengan curah hujan tahunan sebesar 1538,9 mm/tahun, jika dilakukan perluasan hutan pinus akan mengurangi persediaan air tanah. Tanaman pinus akan aman untuk ditanam pada daerah yang mempunyai curah hujan > 2000 mm/tahun. Sementara itu pada daerahdaerah yang mempunyai curah hujan 1500–2000 disarankan melakukan pencampuran dengan jenis tanaman lain yang mempunyai evapotranspirasi lebih rendah, misalnya Puspa atau Agatis.
Yulistyarini
Demikian juga dengan hutan kayu putih, yang merupakan jenis tanaman cepat tumbuh dan memiliki perakaran dalam, sehingga akan menyerap air tanah lebih banyak. Kerja sama antara masyarakat di sekitar mata air Seruk dan pihak Perhutani sebagai pengelola sangat dibutuhkan dalam upaya konservasi ekosistem di Bukit Seruk, agar debit mata air dapat terjaga keberlangsungannya. SPL bambu memiliki ketebalan seresah, kandungan BOT dan porositas tanah paling tinggi dibandingkan dengan SPL lainnya. SPL hutan tersisa dan bambu memiliki laju infiltrasi lebih tinggi dibandingkan dengan SPL lainnya. KEPUSTAKAAN Anonymous, 2003. Laporan Hasil Pendataan dan Pengukuran Sumber Air di Wilayah Kota Batu. Perusahaan Umum (Perum) Jasa Tirta I. Divisi Jasa Air dan Sumber Air (DJA I). Malang. (tidak dipublikasikan). Arrijani, 2006. Korelasi Model Arsitektur Pohon dengan Laju Aliran Batang, Curahan Tajuk, Infiltrasi, Aliran Permukaan, dan Erosi. Disertasi Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. IPB, Bogor. Barbour GM, Burk JK, dan Pitts WD, 1987. Terrestrial Plant Ecology. The Benyamin/Cummings Publishing Company Inc., Los Angeles. Brown J, Wyers A, Aldous A, dan Bach L, 2007. Groundwater and Biodiversity Conservation: A Methods Guide for Intergrating Groundwater Needs of Ecosystems and Species into Conservation Plant in the Pacific Northwest. The Nature Conservacy, New Zealand. Chan KY, 2004. Impact of Tillage Practices and Burrows of aNative Australian Anecic Earthworm on Soil Hydrology. Applied Soil Ecology, 27: 89–96. Eliasson S dan Larsson M, 2006. The Influence of Land-use Change, Root Abundance and Macropores on Saturated Infiltration Rate. Department of water resources engineering. Master of science thesis Report no. Tvrl 2006:3 Lund Institute of Technology.
43
Hairiah K, Suprayogo D, Widianto, Berlian, Suhara E, Mardiastuning A, Widodo R, Prayogo C, dan Subekti R, 2004. Alih Guna Lahan Hutan Menjadi Lahan Agroforestri Berbasis Kopi: Ketebalan Seresah, Populasi Cacing Tanah dan Makroporositas Tanah. Agrivita, 26(1): 68–80. Landon JR, 1984. Booker Tropical Soil Manual. Antony Rowe Ltd. Chippenham Wiltshire. Lu SY, Liu CP, Hwang LS, dan Wang CH, 2007. Hydrologycal Characteristics of a Makino Bamboo Woodland in Central Taiwan. Taiwan J For Sci 22 (1): 81–93. Ludwig JA dan Reynolds JF, 1988. Statistical Eology, A Primer on Methods and Computing. John Willey & Sons, New York. Santosa S dan T Suwarti, 1992. Peta Geologi Lembar Malang, Jawa. Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi, Bandung. Saputra DA, 2008. Peran Agroforestri dalam Mempertahankan Laju Infiltrasi Tanah: Pengaruh Pori Makro dan Kemantapan Agregat Tanah terhadap Laju Infiltrasi. Skripsi S-1 Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang. Soepardi G, 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Institut Pertanian Bogor, Bogor. Todd DK and Mays LW, 2005. Groundwater Hydrology. John Willey & Son Inc, Singapore. Waryono T, 2003. Peranan Kawasan Resapan dalam Pengelolaan Sumberdaya Air. Kumpulan Makalah Periode 1987–2008. Diskusi profesi perairan, Persatuan Insinyur Indonesia (PII), Fakultas Teknik Kampus UI Depok, 5th May 2003. Widianto, Noveras H, Suprayogo D, Widodo RH, Purnomosidhi P, dan M van Noordwijk. 2004. Konversi Hutan Menjadi Lahan Pertanian: Apakah Fungsi Hidrologis Hutan Dapat Digantikan Sistem Kopi Monokultur? Agrivita 26(1): 47–52. Yulistyarini T, Solikin, AP Fiqa, dan R Irawanto, 2009. Evaluasi Keterkaitan Kualitas Vegetasi, Biogeofisik Tanah dan Debit Ekotipe Mata Air Topografi di Kawasan Malang Raya, Jawa Timur. Laporan Akhir. Kegiatan Program Insentif bagi Peneliti dan Perekayasa Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia.