KERAGAMAN KANDUNGAN ASAM LEMAK ESENSIAL ASI DAN TINGKAT KECUKUPANNYA PADA BAYI DI INDONESIA
NADIA SVENSKARIN NAHROWI
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
iii
PERNYATAAN MENGENAI TESIS DAN SUMBER INFORMASI SERTA PELIMPAHAN HAK CIPTA* Dengan ini saya menyatakan bahwa tesis berjudul Keragaman Kandungan Asam Lemak Esensial ASI dan Tingkat Kecukupannya pada Bayi di Indonesia adalah benar karya saya dengan arahan dari komisi pembimbing dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir tesis ini. Dengan ini saya melimpahkan hak cipta dari karya tulis saya kepada Institut PertanianBogor. Bogor, November 2015
Nadia Svenskarin Nahrowi NIMI151120181
iv
RINGKASAN NADIA SVENSKARIN NAHROWI. Keragaman Kandungan Asam Lemak Esensial ASI dan Tingkat Kecukupannya pada Bayi di Indonesia. Dibimbing oleh AHMAD SULAEMAN dan IKEU EKAYANTI. Saat ini, defisiensi asam lemak esensial menjadi salah satu masalah yang menjadi perhatian dunia global, terutama di negara-negara berkembang. Dimana asam lemak esensial yang meliputi asam lemak linoleat (omega 6), linolenat (omega 3), ARA dan DHA berperan penting dalam fungsi penglihatan dan perkembangan otak yang normal. Banyak studi telah membuktikan bahwa ada kaitan yang erat antara asupan pangan ibu dengan komposisi asam lemak ASI. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk untuk menganalisis keragaman kandungan dan tingkat konsumsi asam lemak esensial ASI pada berbagai wilayah di Indonesia. Tujuan khusus dari penelitian ini adalah: 1)mengidentifikasi karakteristik ibu, 2)mengidentifikasi pola kebiasaan makan ibu, 3)menganalisis keragaman kandungan asam lemak esensial ASI yang berbeda wilayah, 4)menganalisis tingkat konsumsi asam lemak esensial ASI pada bayi yang berbeda wilayah, 5)menganalisis hubungan antara pola kebiasaan makan dan kandungan asam lemak esensial ASI,6)menganalisis tingkat kecukupan asam lemak esensial ASI pada bayi yang berbeda masa laktasi dan wilayah,dan 7)menganalisis hubungan antara pola makan dan kandungan asam lemak esensial ASI. Penelitian ini dilakukan pada bulan Februari 2014 hingga Juli 2014 dengan menggunakan desain studi cross sectional. Penentuan lokasi dan pengambilan sampel dari setiap provinsi tersebut dilakukan dengan memilih dua desa dengan jumlah penduduk yang paling/relatif padat dan terdapat sejumlah ibu menyusui dengan masa laktasi (3-5 bulan, 6-8 bulan, 9-11 bulan, dan 12-23 bulan) yang memiliki kriteria yakni berusia 25-40 tahun, bersuku bangsa asli wilayah setempat, berstatus gizi normal, tidak melahirkan bayi kembar, menyusui hanya satu bayi, tidak sedang berpuasa, jumlah anak maksimal 3 orang, tidak merokok dan meminum alkohol, dan tidak sedang mengikuti terapi penyakit khusus (hiperlipidemia, diabetes,dan penggunaan obat kortikosteroid), bersedia mendonasikan ASI (minimum 100 ml), dan menandatangani inform consent. Total responden terdapat sebanyak 76 orang yang terdiri atas 19 orang dari masingmasing kelompok masa laktasi 3-5 bulan dan 12-23 bulan, 18 orang dari kelompok masa laktasi 6-8 bulan, dan 20 orang dari kelompok masa laktasi 9-11 bulan. Jenis data yang dikumpulkan meliputi karakteristik individu ibu (usia, paritas, tinggi badan, berat badan, lokasi tempat tinggal, tingkat pendidikan, dan besar pendapatan keluarga), kebiasaan makan (jenis dan frekuensi pangan sumber lemak dan jumlah sumber asam lemak esensial dan sumber laktagogum), dan kandungan asam lemak ASI (kadar lemak dan total asam lemak, komposisi asam lemak, dan kadar asam lemak esensial). Analisis kadar asam lemak dilakukan dengan menggunakan metode gas kromatografi. Pengolahan data primer menggunakan software Microsoft Excel 2007 dan SPSS for Windows versi 16.0. dengan uji korelasi Spearman,Pearson, dan uji ANOVA. Karakteristik usia, paritas, dan status gizi ibu tidak berbeda nyata antar wilayah (p>0.05) dan ketiga variabel tersebut telah memenuhi kriteria inklusi. Pendapatan keluarga dan pendidikan berbeda nyata antar wilayah (p<0.05), dimana pendapatan wilayah Sulawesi Selatan lebih tinggi dibandingkan wilayah lain, sedangkan pendidikan terakhir ibu wilayah Sumatera Barat (SMA/sederajat) lebih tinggi dibandingkan wilayah lain(SD/sederajat). Telur, ikan air tawar, ikan air laut, dan santan lebih banyak
v
dikonsumsi oleh responden dari Sulawesi Selatan dibandingkan wilayah lain (P<0.05), sedangkan daging merah lebih banyak dikonsumsi responden dari Sumatera Barat (P<0.05). Responden Jawa Barat lebih banyak mengkonsumsi kacang-kacangan dan hati, namun hal ini tidak berbeda signifikan (P>0.05). Kadar lemak dalam 100 ml ASI berkisar 2.93 hingga 4.79 gram dan dalam 100 g lemak ASI, kadar total asam lemak ASI berkisar 69.98-79.79 gram. Kandungan lemak ASI tertinggi terdapat pada bayi dengan masa laktasi 3-5 bulan (2.93±1.64 g/100ml), sedangkan kandungan terendah berada pada bayi dengan masa laktasi 9-11 bulan (4.79±5.57g/100ml). Berdasarkan masa laktasi, kadar total asam lemak ASI (P=0.019) dan semua jenis asam lemak esensial berbeda nyata (P<0.05), sedangkan kadar lemak ASI tidak berbeda nyata (P=0.076). Semakin bertambah masa laktasi, maka kadar total asam lemak ASI semakin meningkat (p=0.002;r=0.36), sedangkan kadar lemak tidak. Namun berdasarkan wilayah, hanya kadar total asam lemak ASI(P=0.000), lemak (P=0.041), ARA (p=0.002), DHA(p=0.000), dan asam linoleat (p=0.002) yang berbeda signifikan. Hampir seluruh kadar asam lemak esensial ASI Indonesia memiliki kadar yang lebih rendah jika dibandingkan dengan studi ASI di belahan dunia lain. Presentase contoh yang sering mengkonsumsi jenis pangan ikan laut dan seafood memang lebih tinggi di Sulawesi Selatan (87.5%) dibandingkan Sumatera Barat (53.85%), namun kadar DHA ASI masih lebih tinggi Sumatera Barat. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan kualitas pada jenis ikan yang dikonsumsi, dimana Sumatera Barat lebih banyak mengkonsumsi ikan laut berjenis tongkol dan kembung yang kadar DHAnya lebih kaya dibandingkan ikan bandeng yang banyak dikonsumsi di Sulawesi Selatan. Tingginya kadar ARA ASI pada responden Sumatera Barat tidak berkaitan dengan jenis ikan yang dikonsumsi, namun diduga berkaitan dengan perbedaan metabolisme ibu dalam mensintesis ARA dari prekusor asam linoleat. Adapun tingginya kadar linoleat dan linolenat ASI pada responden Sumatera Barat diduga berkaitan dengan kuantitas konsumsi pada jenis pangan sumber linoleat dan linolenat, juga tingginya kuantitas konsumsi minyak sawit yang dapat menurunkan kadar asam linoleat. Peningkatan kadar ARA, DHA, dan asam linolenat ASI berkaitan dengan tingginya konsumsi ikan laut dan ikan air tawar. Semakin tinggi tingkat masa laktasi, maka semakin menurun produksi ASI (p=0.001*;r=-0.443), sedangkan berdasarkan wilayah tidak berbeda signifikan (p=0.052). Kuantitas ASI harian pada studi ini masih sesuai dengan kisaran, namun cenderung lebih rendah dari kisaran maksimal. Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa hal yakni bias perhitungan kuantitas ASI harian, frekuensi pemberian ASI yang semakin menurun sejalan bertambahnya usia bayi, dan rendahnya konsumsi jenis pangan yang dapat meningkatkan kuantitas ASI. Tingkat konsumsi asam lemak esensial ASI harian berbeda nyata dan berhubungan negative (p<0.05) berdasarkan masa laktasi, terkecuali EPA. Namun berdasarkan wilayah, tingkat konsumsi asam lemak esensial ASI tertinggi terdapat pada bayi Jawa Barat dan hanya tingkat konsumsi asam linoleat yang berbeda nyata (p=0.012). Berdasarkan masa laktasi dan wilayah, tingkat kecukupan asam linolenat (termasuk ARA) belum memenuhi standar tingkat kecukupan harian,sedangkan tingkat kecukupan harian asam linoleat (termasuk EPA dan DHA) dari ASI telah memenuhi standar kecukupan harian terkecuali masa laktasi 12-23 bulan. Kata kunci : Asam lemak esensial, ASI, pola makan, masa laktasi, lokasi, Indonesia
vi
SUMMARY NADIA SVENSKARIN NAHROWI. Diversity of Essential Fatty Acid Content in Breast Milk and its Adequacy Level in Indonesian Infants. Supervised by AHMAD SULAEMAN and IKEU EKAYANTI. Essential fatty acids deficiency has become a global issue of concern in recent times, particularly in developing countries. Essential fatty acids which include linoleic (omega 6), linolenic (omega 3), ARA, and DHA play an important role in visual function and normal brain development. Many studies had proven a strong association between lactating women food consumption and essential fatty acids composition of the breast milk. General objective of this study was to analyze the diversity of the content and intake level of essential fatty acids of breast milk in various regions in Indonesia. Specific objectives of this study were to: 1) identify lactating women characteristics, 2) identify lactating women dietary pattern, 3) identify the diversity of essential fatty acids content of breast milk in different regions, 4) analyze the intake level of essential fatty acids of breast milk in infants in different regions, and 5) analyze the association between dietary pattern and essential fatty acid content of breast milk, 6)analyze adequate levelof essential fatty acids of breast milk in infants in different regions and lactating periode, dan 7)analyze the correlation of dietary pattern and essential fatty acids content of breast milk This study was conducted in February-July 2014 using a cross-sectional study design. Determining the location and sampling were done by choosing one city and one district based on the following criteria: 1) the chosen city was the capital of the province, and 2) the chosen district was the one with the highest population density and relatively easy to access by public transportbased on citizen demography data from each province. One sub-district was then selected from each district/city, the one with the densest/relatively dense population level,had the highest exclusive breastfeeding, and had characteristics the number of lactating womenwhich spread evenly in each group based on lactating periode (3-5 months, 6-8 months, 9-11 months, and 12-23 months). Two villages with the densest/relatively dense population were then chosen. The selected village had to have a number of lactating womenwith these criteria: 25-40 years old, native, have normal nutritional status, do not have twins, breastfeeding for one infant only, not fasting, have three children or less, not smoking or drinking alcoholic beverages, not in therapy of specific disease (hyperlipidemia, diabetes, and use of corticosteroid drugs), willing to donate their breast milk (minimum 100 ml), and signed the informed consent.Total lactating women were 76 people consisting of 19 people from each 3- to 5-month and 12- to 23-month of lactation group, 18 people from the 6to 8-month of lactation group, and 20 people from 9- to 11-month of lactation group. Type of data collected were individual characteristics of the mothers (age, parity, height, weight, residential location, education level, and family income), eating habits (type and frequency of fat-source food consumption and quantity of fat food soucres and lactagogum sources), and essential fatty acid composition of breast milk (fat content, total fatty acid content, fatty acid composition, and essential fatty acidcontent). Analysis of fatty acid content was performed using gas chromatography method. Primary data were analyzed using 2007 Microsoft Excel and SPSS version 16.0 for Windows. The data were analyzed by Spearman, Pearson correlation test and ANOVA test.
vii
Lactating women age, parity and nutritional status were not significantly different in the three regions (p>0.05) and these variables had met the inclusion criteria. Family income and education level were significantly different between regions (p<0.05) wherein the income in South Sulawesi was higher than other regions while lactating women education level in West Sumatra (high school or equivalent) was higher than other regions (primary school or equivalent). Eggs, freshwater fish, marine fish, and coconut milk were widely consumed by lactating women from South Sulawesi compared to other regions (p<0.05) while red meat was widely consumed by lactating women from West Sumatra (p<0.05). Lactating women living in West Java consumed beans and liver more than other regions but this did not differ significantly (p>0.05). Fat content (g/100ml) in breast milk ranged from 2.93 to 4.79 and total fatty acid content (g/100g fat) of breast milkranged from 69.98 to 79.79. The highest fat content of breast milk was found in infants with 3- to 5-month of lactation (2.93±1.64 g/100 ml) while the lowest content was found in infants with 9- to 11-month of lactation (4.79±5.57 g/100 ml). Based on the duration of lactation, total fatty acid content of breast milk (p=0.019) and all types of essential fatty acids were significantly different (p<0.05) while fat content of breast milk was not significantly different (p=0.076). The longer the lactation was, the higher the total content of fatty acids of breast milk was (p=0.002; r=0.36) but this did not apply to the fat content. However, based on the location of study, only the total fatty acids (p=0.000), fat (p=0.041), ARA (p=0.002), DHA (p=0.000), and linoleic acid contents of breast milk were significantly different. Almost all essential fatty acids content in Indonesia were lower than other breast-milk related studies elsewhere in the world. The number of lactating women consuming seafood was higher in South Sulawesi (87.5%) than West Sumatra (53.85%) but the DHA content of breast milk was higher in West Sumatra. It was allegedly caused by the difference in quality on the type of fish consumed, where people in West Sumatra consumed more marine fish (mackerel and tuna) which had higher DHA content than milkfish that was widely consumed in South Sulawesi. Higher content of ARA in breast milk found in lactating women living in West Sumatra was not associated with the type of fish consumed but it was allegedly related to the difference in lactating women fat reserves or lactating women metabolism in the synthesis of ARA from linoleic acid precursors. High content of linoleic and linolenic in breast milk found in lactating women living in West Sumatra mightbe allegedly related to the quantity of linoleic and linolenic source food consumption, as well as the high quantity of palm oil consumption that could reduce linoleic acid content. Increased contents of ARA, DHA, and linolenic acid in breast milk were associated with high consumption of freshwater and marine fish. Higher level of lactation periode would make lower production of breast milk (p=0.001; r=0.443) but there was no significant difference based on region (p=0.052). Daily breast milk quantity in this study was still in accordance with the range but tended to be lower than the maximum range. It was allegedly caused by several things such as bias in the calculation of daily breast milk quantity, breastfeeding frequency declining with age infants, and low consumption of type of food that could increase the quantity of breast milk. Intake level of daily essential fatty acids of breast milk was significantly different and negatively correlated (p<0.05) by duration of lactation, except for EPA. However, based on region, the highest intake level of essential fatty acids of breast milk was found in infants in West Java and only the intake level of linoleic acid was significantly different (p=0.012). Keywords :essential fatty acids, breast milk, dietary pattern, lactation, regions, lactating women, Indonesia
viii
© Hak Cipta Milik IPB, Tahun 2015 Hak Cipta Dilindungi Undang-Undang Dilarang mengutip sebagian atau seluruh karya tulis ini tanpa mencantumkan atau menyebutkan sumbernya. Pengutipan hanya untuk kepentingan pendidikan, penelitian, penulisan karya ilmiah, penyusunan laporan, penulisan kritik, atau tinjauan suatu masalah; dan pengutipan tersebut tidak merugikan kepentingan IPB Dilarang mengumumkan dan memperbanyak sebagian atau seluruh karya tulis ini dalam bentuk apa pun tanpa izin IPB
KERAGAMAN KANDUNGAN ASAM LEMAK ESENSIAL ASI DAN TINGKAT KECUKUPANNYA PADA BAYI DI INDONESIA
NADIA SVENSKARIN NAHROWI
Tesis Sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Magister Sains pada Program Studi Gizi Masyarakat
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2015
Penguji Luar Komisi pada Ujian Tesis : Dr.Katrin Roosita, SP.,MSi
xiii
DAFTAR ISI DAFTAR TABEL
xiv
DAFTAR GAMBAR
xiv
DAFTAR LAMPIRAN
xiv
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Perumusan Masalah Tujuan Manfaat Penelitian Kerangka Pemikiran
1 1 3 3 4 4
2 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Ibu Menyusui Kebutuhan Gizi Ibu Menyusui Air Susu Ibu (ASI) Kuantitas ASI Lemak Asam Lemak Asam Lemak Esensial Manfaat Asam Lemak Omega – 3 dan Omega – 6 Pangan Sumber Asam Lemak Esensial Analisis Asam Lemak ASI
7 7 7 7 8 9 10 12 13 13 15
3 METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Populasi dan Contoh Penelitian Jenis dan Cara Pengumpulan Data Pengambilan Sampel ASI Analisis Asam Lemak ASI Pengolahan dan Analisis Data Definisi Operasional
16 16 16 17 19 19 20 20
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Ibu Pola Makan Ibu Keragaman Kandungan Lemak dan Asam Lemak Esensial ASI Hubungan Pola Makan Ibu dan Kandungan Asam Lemak Esensial ASI Kuantitas ASI Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Asam Lemak Esensial ASI
22 22 22 23 26 27 29
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Saran
32 32 32
DAFTAR PUSTAKA
33
LAMPIRAN
39
RIWAYAT HIDUP
41
14
DAFTAR TABEL 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22
Angka kecukupan asam linoleat dan linolenat Pangan sumber asam lemak esensial Perbandingan kandungan asam lemak esensial aneka ikan dan telur Kategori variabel penelitian Jenis dan cara pengumpulan atau pengukuran data Karakteristik ibu menyusui Presentase ibu menyusui yang mengkonsumsi pangan sumber lemak dengan tingkat frekuensi sering (3-6x/minggu) berdasarkan wilayah Konsumsi pangan sumber lemak berdasarkan wilayah Kandungan total asam lemak, kadar lemak, dan asam lemak esensial berdasarkan masa laktasi Keragaman kandungan asam lemak esensial berdasarkan wilayah Hubungan kandungan asam lemak esensial dan konsumsi pangan sumber lemak Kuantitas ASI harian berdasarkan wilayah Konsumsi kacang-kacangan, sayur, dan buah pada ibu menyusui berdasarkan wilayah Konsumsi harian asam lemak esensial ASI berdasarkan masa laktasi Tingkat kecukupan harian asam lemak esensial ASI pada bayi berdasarkan masa laktasi Konsumsi harian asam lemak esensial ASI berdasarkan wilayah Tingkat kecukupan harian asam lemak esensial ASI pada bayi berdasarkan wilayah Presentase konsumsi pangan hewani (ikan dan non ikan) contoh Konsumsi jenis ikan dan menu pada contoh berdasarkan wilayah Presentase konsumsi sayur contoh berdasarkan wilayah Konsumsi jenis sayur dan menu pada contoh berdasarkan wilayah Kandungan asam lemak esensial berdasarkan masa laktasi
12 14 14 18 19 22 23 23 24 25 27 29 29 29 30 31 31 39 39 40 40 40
DAFTAR GAMBAR 1 2 3 4
Kerangka pemikiran keragaman kandungan asam lemak esensial ASI dan tingkat kecukupannya pada bayi Skema penarikan sampel Kandungan asam lemak esensial berdasarkan masa laktasi Kuantitas ASI harian berdasarkan masa laktasi
6 17 25 28
1
1 PENDAHULUAN Latar Belakang Kualitas sumberdaya manusia yang unggul ditentukan oleh keberhasilan tumbuh kembang pada masa awal kehidupan. Human Development Report UNDP tahun 2014 mengungkapkan bahwa Indonesia menempati urutan 108 dari 287 negara dan termasuk dalam perkembangan sumberdaya manusia tingkat menengah. Berdasarkan hasil itu dapat dinilai bahwa kualitas sumberdaya manusia Indonesia masih jauh tertinggal dari negara-negara lain (UNDP 2014). Bayi merupakan bibit para generasi penerus yang akan menentukan nasib bangsa Indonesia ke depannya. Berdasarkan data SDKI tahun 2012 ditemukan bahwa angka kematian bayi di Indonesia masih relatif tinggi yakni sebanyak 32 kematian per 1000 bayi. WHO dan UNICEF tahun 2003 menyebutkan bahwa 60% kematian balita berkaitan dengan kondisi kurang gizi. Dua per tiga dari kematian tersebut tenyata berhubungan dengan kurang tepatnya praktik pemberian makanan pada bayi dan anak.Kondisi itu sangat mendorong pentingnya penerapan optimal feeding pada bayi dan anak. Upaya terbaik dilakukan sedini mungkin terutama sejak bayi dalam kandungan hingga usia dua tahun setelah kelahiran guna meningkatkan kualitas sehingga diperoleh hasil yang maksimal (Khomsan 2003). Penyelesaian masalah gizi bayi akan sangat berkaitan dengan kejadian masalah gizi pada tahap usia selanjutnya. Berdasarkan Depkes (2009a), upaya mewujudkan bayi yang sehat, kuat, dan cerdas ialah dengan memberikan makanan bergizi. Pemberian ASI secara eksklusif sampai usia 6 bulan merupakan salah satu bentuk optimal feeding yang telah direkomendasikan WHO dan UNICEF. ASI merupakan makanan terbaik untuk bayi, karena semua kandungan zat gizi di dalamnya lengkap dan sempurna.Studi Gibney et al.(2005) menyebutkan bahwa ASI dapat memenuhi kebutuhan gizi bayi selama periode 6 bulan pertama kehidupan. ASI memiliki berbagai manfaat dan peran yakni mengandung zat kekebalan (antibodi), berperan dalam mengoptimalkan pertumbuhan sel otak, meminimalkan kejadian alergi pada bayi (Roesli 2000), mencegah terjadinya diare (Kemenkes RI 2010), menurunkan angka kesakitan balita (Roesli 2000), menekan kematian anak (Balaluka et al. 2012), meningkatkan status gizi bayi (Verawati 2012), dan juga meningkatkan kesehatan ibu. Namun di balik sudah terbuktinya berbagai penelitian ilmiah mengenai ASI, kondisi di Indonesia masih sangat miris. Berdasarkan data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) tahun 2013, hanya terdapat 30.2% bayi yang menyusui eksklusif sampai dengan 6 bulan. Secara umum komposisi ASI terdiri dari karbohidrat, protein, lemak, mineral, vitamin, laktosa, oligosakarida bebas, dan air. Lemak termasuk salah satu dari tiga komponen terbesar ASI yang berperan penting sebagai sumber energi utama bayi dan berdampak pada perkembangan otak bayi (Newburg 2001). Lemak yang tersusun dari berbagai komponen asam lemak memiliki beragam fungsi, salah satunya ialah jenis asam lemak esensial. Asam lemak esensial merupakan bentuk dari asam lemak tidak jenuh jamak yang meliputi asam lemak linoleat (omega 6) dan linolenat (omega 3). Terdapat beragam peranan penting asam lemak dalam pengaturan fungsi tubuh, antara lain tekanan darah, sintesis prostaglandin, pembentukan plak, konsentrasi lipid darah, respons imun, repsons terhadap peradangan dan sebagainya. ARA dan DHA adalah jenis asam lemak
2
turunan dari asam lemak omega-6 dan omega-3 yang memiliki peran fungsional terhadap penglihatan dan perkembangan otak yang normal (Dalzell et al.2010; Mahan & Stump 2008). Konsumsi makanan ibu yang baik, bergizi, serta berimbang akan berpengaruh pada seberapa baik kuantitas dan kualitas kandungan ASI. Faktor yang berpengaruh khusus terhadap kandungan asam lemak ASI diantaranya ialah kebiasaan konsumsi pangan ibu (Riordan 2005; Martin et al.2012), lokasi wilayah tempat tinggal, metabolisme asam lemak ibu, cadangan lemak ibu (Gao et al. 2013), serta intik karbohidrat (Read et al. 1965). Menurut Martin et al.(2012), pola makan akan mempengaruhi komposisi asam lemak ASI baik penyerapan secara langsung maupun cadangan pada tubuh. Hasil studi Hardinsyah (2011) menunjukkan bahwa rata-rata konsumsi lemak jenuh penduduk Indonesia sebesar 38,1 g/kap/hr atau sekitar 61.9% dari total lemak yang dikonsumsi. Adanya asupan lemak jenuh yang berlebih pada ibu menyusui akan dapat menjadi faktor resiko muculnya penyakit degeneratif seperti obesitas dan hipertensi yang ditandai dengan peningkatan persentase lemak tubuh dan peningkatan tekanan darah. Asupan ibu akan berkaitan juga dengan kandungan asam lemak pada ASI. Jika bayi kekurangan asupan asam lemak esensial, maka pertumbuhan dan perkembangan otak pun akan berjalan kurang optimal. Banyak studi telah membuktikan bahwa ada kaitan yang erat antara asupan pangan dengan komposisi asam lemak ASI. Studi Olang et al.(2012) mengungkapkan bahwa ibu yang terbiasa mengkonsumsi pangan yang tinggi asam lemak tidak jenuh seperti ikan atau seafood pada masa menyusui, akan memiliki kadar DHA yang tinggi serta rendah rasio ARA dengan DHA. Hasil lain yang ditemukan pada studi ini ialah wilayah tempat tinggal dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi jenis asupan pangan sumber lemak ibu, dimana ibu yang tinggal di wilayah pinggir pantai memiliki kadar DHA dan omega 3 yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tinggal di daratan. Hal itu disebabkan tingginya tingkat frekuensi konsumsi pangan berjenis ikan laut yang kaya akan asam lemak tidak jenuh. Hasil studi Gao et al.(2013) juga menggambarkan bahwa perbedaan pola konsumsi ikan dan beberapa pangan sumber lemak pada ibu hamil yang tinggal di lokasi berbeda akan menyebabkan perbedaan pada komposisi asam lemak ASI. Dimana konsumsi ikan laut yang tinggi mungkin akan lebih efektif dalam mempengaruhi kadar DHA pada kolostrum. Di Indonesia, terdapat tiga wilayah yang memiliki pola konsumsi yang berbeda diantaranya Provinsi Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Penduduk di Jawa Barat terbiasa mengkonsumsi pangan dengan mengkombinasikan sayur mayur dengan pangan hewani, sedangkan Sumatera Barat merupakan wilayah yang pola makannya cenderung ke arah pangan hewani berjenis daging. Berbeda lagi dengan Sulawesi Selatan, pola makan penduduk pada wilayah ini cenderung mengkonsumsi pangan hewani berjenis ikan atau seafood. Berdasarkan studi yang telah diutarakan sebelumnya, perbedaan pola makan ketiga wilayah ini dapat menjadi salah satu faktor yang diduga akan mempengaruhi keragaman pada kandungan asam lemak esensial ASI. Berdasarkan uraian kondisi yang dipaparkan di atas, perbedaan kandungan asam lemakesensial serta perhitungan konsumsi asam lemak esensial ASI pada bayi dengan berbagai masa laktasi dan wilayah di Indonesia dapat menjadi sebuah
3
kajian yang perlu ditelaah lebih jauh. Semakin luas dan dalamnya wawasan serta pengetahuan terkait ASI, maka akan terciptalah generasi muda Indonesia yang semakin berkualitas. Perumusan Masalah Kualitas sumberdaya manusia suatu bangsa ditentukan oleh baiknya pertumbuhan dan perkembangan terbaik pada masa kanak-kanaknya. Berdasarkan data UNDP tahun 2014, posisi kualitas SDM Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara di Asia lainnya. Selain itu, tingkat kematian ibu dan bayi pun menjadi salah satu permasalahan yang tak kunjung tuntas diselesaikan. Masih tingginya tingkat kematian bayi di Indonesia mendorong pemerintah untuk berupaya menekan permasalahan dengan menggalakan program ASI eksklusif. Banyak studi telah menjelaskan bahwa ASI merupakan makanan terbaik bayi yang kaya akan gizi terlengkap dan sempurna dan hingga saat ini, belum ditemukan bentuk makanan lain yang dapat menandingi keunggulan kandungan dan fungsi ASI. Lemak termasuk salah satu dari tiga komponen terbesar ASI yang berperan penting sebagai sumber energi utama bayi dan berdampak pada perkembangan otak bayi. Kandungan berbagai asam lemak ASI memiliki beragam fungsi, salah satunya ialah jenis asam lemak esensial seperti omega 3 dan omega 6. ARA dan DHA adalah jenis asam lemak turunan dari asam lemak omega-6 dan omega-3 yang memiliki peran fungsional terhadap penglihatan dan perkembangan otak yang normal (Dalzell et al.2010; Mahan & Stump 2008). Pada setiap masa laktasi komposisi gizi ASI akan cenderung bervariasi tergantung kondisi fungsi fisiologis tubuh bayi dan faktor lain. Faktor yang berpengaruh khusus terhadap kandungan asam lemak ASI diantaranya ialah kebiasaan konsumsi pangan sumber lemak, wilayah tempat tinggal, metabolisme asam lemak ibu, cadangan lemak ibu, serta intik karbohidrat. Beberapa masalah penting yang berkaitan dengan analisis kandungan asam lemak esensial ASI adalah : a. Bagaimana keragaman kandungan jenis asam lemak esensial ASI yang berbeda masa laktasi dan wilayah? b. Bagaimana konsumsi asam lemak esensial ASI pada bayi yang berbeda masa laktasi dan wilayah? c. Bagaimana tingkat kecukupan asam lemak esensial ASI pada bayi yang berbeda masa laktasi dan wilayah? d. Apakah ada hubungan antara pola makan tertentu dengan kandungan asam lemak esensial ASI? Tujuan Tujuan Umum Studi ini bertujuan untuk menganalisis keragaman kandungan asam lemak esensial ASI dan kecukupannya pada berbagai masa laktasi dan wilayah di Indonesia Tujuan Khusus Tujuan khusus dalam studi ini antara lain : 1. Mengidentifikasi karakteristik ibu 2. Mengidentifikasi pola makan ibu
4
3. Menganalisis kuantitas harian ASI yang berbeda masa laktasi dan wilayah 4. Menganalisis keragaman kandungan asam lemak esensial ASI yang berbeda masa laktasi dan wilayah 5. Menganalisis konsumsi harian asam lemak esensial ASI pada bayi yang berbeda masa laktasi dan wilayah 6. Menganalisis tingkat kecukupan asam lemak esensial ASI pada bayi yang berbeda masa laktasi dan wilayah 7. Menganalisis hubungan antara pola makan dan kandungan asam lemak esensial ASI Manfaat Penelitian Hasil studi ini diharapkan dapat memberi informasi kepada masyarakat mengenai keragaman kandungan asam lemak esensial yang berbeda masa laktasi dan wilayah di Indonesia. Informasi tersebut dapat membantu orang tua dalam memahami lebih jauh mengenai keunggulan asam lemak esensial sebagai komponen istimewa pada kandungan ASI yang memiliki keunikan akan keragaman pada setiap individu yang berbeda wilayah dan masa laktasi. Selain itu, studi ini pun dapat membuka wawasan kepada setiap ibu apakah perbedaan pola konsumsi akan memberikan berpengaruh pada kualitas serta kuantitas kandungan asam lemak esensial ASI dan mengetahui lebih mendalam tentang jenis pangan apa saja di Indonesia yang sebaiknya dianjurkan dikonsumsi selama menyusui. Lebih jauh lagi, studi ini memberikan manfaat bagi setiap ibu untuk tetap menjadikan ASI sebagai makanan terbaik bayi selama 6 bulan pertama kelahiran karena keunikan kandungannya. Bagi pemerintah dan akademisi, hasil studi ini akan memberikan manfaat pada penambahan informasi dan wawasan terbaru mengenai kandungan ASI di Indonesia, yang dapat dijadikan pijakan awal untuk mengembangkan studi-studi lanjutan lainnya. Kerangka Pemikiran Bayi dan ibu menyusui termasuk salah satu kelompok usia yang seringkali rawan mengalami masalah gizi. Status gizi dan kesehatan bayi dipengaruhi oleh seberapa baik kualitas dan kuantitas asupannya. Salah satu asupan pangan yang paling berperan penting pada masa bayi ialah ASI. ASI merupakan makanan terbaik pertama yang dikonsumsi bayi dengan kandungan gizi terlengkap dan sempurna, serta memiliki peranan penting dalam berbagai fungsi fisiologis tubuh. Terdapat berbagai komponen zat gizi penting penyusun ASI, salah satu diantara komponen terbesarnya adalah lemak. Lemak ASI memiliki berbagai manfaat penting antara lain berperan sebagai sumber energi terbesar dan memilliki dampak terhadap pertumbuhan dan perkembangan otak. Adapun jenis asam lemak penyusun ASI yang memiliki peran fungsional terkait penglihatan serta tumbuh kembang optimal dari otak yaitu asam lemak esensial yang meliputi omega 3 dan omega 6. Kandungan lemak ASI sangat dipengaruhi oleh berbagai faktor, yakni usia ibu, paritas, metabolisme asam lemak ibu, cadangan lemak ibu, dan pola makan ibu (pangan sumber lemak dan intik karbohidrat). Pola makan dipengaruhi oleh faktor eksternal seperti kondisi sosial ekonomi yang meliputi tingkat pendidikan, besar pendapatan keluarga, dan wilayah tempat tinggal. Pola makan yang baik akan dapat menunjang tercapainya kualitas kandungan ASI yang lebih
5
optimal. Selain kualitas ASI, kuantitas ASI pun menjadi faktor yang sangat penting. Kuantitas ASI dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain usia, paritas, kualitas dan kuantitas makanan, hormonal, kondisi psikologis dan sosial, frekuensi menyusui, dan konsumsi pangan sumber laktagogum. Untuk mendukung tercapainya pertumbuhan dan perkembangan otak bayi yang optimal, maka perlu diukur seberapa besar tingkat kecukupan asam lemak esensial ASI pada bayi. Kerangka pemikiran ini digambarkan secara lengkap pada Gambar 1.
6
Karakteristik Ibu Usia Paritas Masa Laktasi Metabolisme asam lemak ibu Cadangan lemak ibu Hormonal Kondisi psikologis dan sosial
Karakteristik Lingkungan Wilayah tempat tinggal Pendapatan keluarga Pendidikan ibu
Pola makan Ibu Jenis dan frekuensi pangan sumber lemak Jumlah pangan sumber lemak Intik karbohidrat Konsumsi sumber laktagogum Kualitas dan kuantitas makan
Kandungan Asam Lemak ASI Kadar lemak dan total asam lemak ASI Komposisi asam lemak Kadar asam lemak esensial
Konsumsi Harian Asam Lemak Esensial ASI
Kuantitas ASI harian bayi
Frekuensi menyusui
Angka kecukupan Asam Lemak Esensial ASI pada bayi
Tingkat kecukupan Asam Lemak Esensial ASI pada bayi
Keterangan : = Variabel yang diteliti
=Variabel yang tidak diteliti
= Hubungan yang diteliti
= Hubungan tidak diteliti
Gambar 1 Kerangka pemikiran keragaman kandungan asam lemak esensial ASI dan tingkat kecukupannya pada bayi
7
2 TINJAUAN PUSTAKA Karakteristik Ibu Menyusui Ibu menyusui harus mengkonsumsi makanan dengan prinsip gizi seimbang agar siap untuk memproduksi ASI dan siap menyusui. Ibu yang menyusui biasanya sering merasa lapar dan haus. Dalam sehari, produksi ASI bisa mencapai 750-900 ml (Mohrbacher 2011; NHMRC 2012), sedangkan pada bayi yang berusia 12-23 bulan produksi ASI harian dapat mencapai 550 ml per hari (Dewey et al. 2001). Jumlah ini akan dihisap bayi sesuai kebutuhannya setiap saat. Keberhasilan produksi ASI sangat tergantung pada intensitas (lama dan frekuensi) bayi menyusu. Makin lama dan makin sering bayi menyusu, maka semakin banyak produksi ASI. Beberapa masalah yang menyebabkan ibu tidak dapat menyusui antara lain : tidak mempraktekkan IMD, menyusui semau ibu, ibu atau bayi sakit, kurangnya rasa percaya diri ibu, permasalahan pada payudara, dan lain sebagainya (Kurniasih et al.2010). Perilaku menyusui pun dapat dipengaruhi oleh faktor budaya yakni etnis/suku. Studi Hamzah et al. (2011) menunjukkan bahwa ada keterkaitan antara kebiasaan suku bugis di Sulawesi Selatan terhadap perilaku menyusui. Kebutuhan Gizi Ibu Menyusui Kebutuhan gizi ibu menyusui meningkat dibandingkan dengan tidak menyusui. Pada waktu menyusui kebutuhan energi dan protein perempuan usia 19-29 tahun meningkat menjadi 2400 Kal dan 67 g per hari pada 6 bulan pertama serta 2450 Kal dan 67 g per hari pada 6 bulan kedua. Kebutuhan lemak ibu menyusui disesuaikan dengan kebutuhan energi, yakni seperlima dari total kebutuhan energi (Kurniasih et al.2010). Air Susu Ibu (ASI) ASI merupakan pangan kompleks yang mengandung zat-zat gizi lengkap dan bahan-bahan bioaktif yang diperlukan untuk tumbuh-kembang dan pemeliharaan kesehatan bayi (Almatsier et al. 2011). ASI adalah emulsi lemak dalam larutan protein, laktosa, dan garam-garam organik yang disekresi oleh kedua belah kelenjar payudara ibu yang berguna sebagai makanan yang utama bagi bayi (Roesli 2000). ASI merupakan makanan yang paling cocok bagi bayi serta mempunyai nilai yang paling tinggi dibandingkan dengan makanan bayi yang dibuat manusia ataupun susu hewan seperti susu sapi, susu kerbau, dan lainlain. ASI sangat menguntungkan ditinjau dari berbagai segi, baik segi gizi, kesehatan, ekonomi maupun sosio-psikologis. Hal ini banyak terlihat di berbagai negara atau wilayah dimana higiene lingkungan belum memadai disamping makanan bayi pengganti ASI tidak tersedia ataupun harganya sangat mahal dan tidak terjangkau oleh daya beli penduduk pada umumnya (Suhardjo 1992). ASI berisi antibodi untuk melawan bakteri dan virus, antibodi IgA sekretori yang relatif tinggi, yang mencegah mikroorganisme melekat pada mukosa usus. Antibodi kolostrum ASI dan ASI yang tertelan ini dapat memberikan kekebalan gastrointestinal lokal pada organisme yang masuk ke tubuh. ASI juga merupakan sumber laktoferin, protein whey yang mengikat besi normalnya sekitar sepertiga terjenuhi dengan besi, yang mempunyai pengaruh menghambat pertumbuhan Escherichia coli dalam usus (Behrman et al. 2000).
8
Lamanya menyusui berhubungan erat dengan tingginya tingkat pertumbuhan anak. Selain itu, hal tersebut juga berkaitan dengan penurunan resiko penyakit kronis pada anak, obesitas, dan perbaikan kognitif (Dewey et al. 2001). Kuantitas ASI Metabolisme produksi ASI dan fisiologisnya Seorang ibu menyusui mempunyai dua refleks, masing-masing berperan dalam pembentukan dan pengeluaran air susu, yakni refleks prolaktin dan refleks oksitosin/letdown(Sulistyoningsih 2011). Prolaktin adalah hormon utama yang mengatur sintesis kasein susu. Menjelang akhir kehamilan, hormon prolaktin memegang peranan penting dalam pembuatan kolostrum,namun jumlahnya terbatas, karena aktivitas prolaktin dihambat oleh estrogen dan progesteron yang kadarnya masih tinggi. Setelah melahirkan, kadar estrogen dan progesteron berkurang serta isapan bayi akan merangsang ujung saraf sensoris yang berfungsi sebagai reseptor mekanik. Rangsangan akan dilanjutkan ke hipotalamus melalui medula spinalis dan mesensephalon. Hipotalamus akan menekan pengeluaran faktor-faktor yang menghambat sekresi prolaktin dan merangsang pengeluaran faktor-faktor yang memacu sekresi prolaktin. Prolaktin akan meningkat dalam keadaan stres atau pengaruh psikis, anestesi, operasi,rangsangan puting susu,hubungan kelamin,serta obat-obat transqulizer hipotalamus, sedangkan keadaan yang menghambat pengeluaran prolaktin adalah gizi ibu yang buruk dan obat-obatan. Faktor-faktor yang dapat meningkatkan refleks let down adalah melihat, mendengarkan suara, mencium, dan memikirkan bayi, sedangkan faktor yang menghambat ialah stres seperti bingung, pikiran kacau, takut, dan cemas (Sulistyoningsih 2011). Kurniasih et al. (2010) mengungkapkan bahwa produksi ASI usia 0-6 bulan berkisar 600 ml hingga 1000 ml, sedangkan ASI pada masa laktasi di atas 6 bulan umumnya tingkat produksinya menurun hingga dapat mencapai 550 ml/hari (WHO2001). Faktor yang Mempengaruhi Kuantitas ASI Kualitas dan kuantitas makanan ibu Ibu dengan asupan makanan sehari-hari yang kurang terutama sejak masa kehamilan akan berpengaruh terhadap berkurangnya produksi asi atau bahkan tidak keluar. Untuk mencukupi kebutuhan bayi dari ASI, maka ibu perlu memperhatikan kualitas dan kuantitas makanannya. Diet yang dilakukan pada masa pemberian ASI eksklusif akan memberikan efek negatif. Asupan kalori ibu menyusui yang kurang dari 1500-1700 Kal akan dapat mengurangi 15% volume ASI (Sulistyoningsih 2011). Hormonal ASI diproduksi sebagai hasil kerja hormon dan refleks. Hormon yang berperan dalam proses menyusui ialah hormon prolaktin (untuk memproduksi ASI) dan oksitosin (menyebabkan ASI dapat keluar), sedangkan refleks yang membantu proses menyusui ialah refleks prolaktin dan let down (Sulistyoningsih 2011). Psikologis dan sosial Kondisi psikologis dan sosial ibu akan berdampak pada banyaknya ASI yang dihasilkan, diantaranya rasa percaya diri ibu dan kontak langsung ibu dengan anak.
9
a. Rasa percaya diri ibu Keberhasilan proses menyusui sangat tergantung pada rasa percaya diri ibu bahwa ia mempu menyusui atau memproduksi ASI yang cukup untuk bayinya. Gangguan emosional ibu seperti cemas, marah, dan kecewa juga akan berpengaruh (Sulistyoningsih 2011). b. Kontak langsung ibu bayi Ikatan kasih sayang ibu dan bayi dapat terbentuk karena beberapa rangsangan seperti sentuhan kulit dan mencium bau yang khas antara ibu dan bayi. Kontak tersebut akan membentuk kepuasan,serta bayi pun merasa aman mendapat kehangatan dari dekapan ibunya. Sikap ibu dalam memberikan ASI dan bagaimana bayi merespon akan dapat menciptakan kasih sayang ibu dan anak yang akan mempengaruhi produksi ASI (Sulistyoningsih 2011). Frekuensi menyusui Menurut studi Keating et al. (2013), kuantitas ASI yang dihasilkan sangat dipengaruhi oleh banyaknya intensitas menyusui. Semakin sering bayi menyusu, maka ASI yang dihasilkan pun semakin banyak. Stimulus pada puting susu oleh hisapan mulut bayi secara teratur yang menyebabkan ereksi nipple. Konsumsi pangan sumber laktagogum Berdasarkan studi sebelumnya, terdapat beberapa pangan yang dinilai dapat mempengaruhi produksi ASI antara lain kacang-kacangan, biji-bijian, bayam, singkong, kacang mede, buncis, jagung muda (Yanti 2011), kacang panjang (Tri 2004), sayur katuk (Wirakusumah 2006;Yanti 2011;Satyaningtyas et al. 2014), dan jantung pisang (Wahyuni et al. 2012). Selain itu, buah-buahan yang mengandung banyak air akan membantu ibu menghasilkan ASI yang berlimpah (Wahyuni et al. 2012). Lemak Lemak sendiri berperan sebagai sumber energi, produksi ASI dan pembawa vitamin larut lemak (vitamin A, D, E, dan K). Kebutuhan minyak dalam PGS dinyatakan 4 porsi, masing-masing 5 gram. Asam lemak yang dibutuhkan ibu menyusui yaitu lemak tak jenuh ganda, seperti omega-3 dan omega-6. Makanan sumber lemak omega-6 yaitu minyak kedelai, minyak jagung dan minyak bunga matahari, sedangkan lemak yang mengandung omega-3 yaitu terdapat pada jenis ikan laut, sepeti tongkol, cakalang, tenggiri, lemuru, sarden dan salmon. Asam lemak omega-3 dan omega-6 penting untuk perkembangan dan fungsi saraf janin (Kurniasih et al.2010). Lemak pada ASI memiliki peran utama sebagai sumber energi. Total kandungan lemak ASI berjumlah sebanyak 30 hingga 50 g/L. Terdapat beberapa komponen lemak ASI yang memiliki beragam fungsi, diantaranya ialah LongChain Polyunsaturated Fatty Acid (LC-PUFA) yang berperan penting pada fungsi penglihatan dan kemampuan kognitif, Free Fatty Acid (FFA) yang berperan sebagai anti infeksi, dan triglyserid yang berperan penting sebagai sumber energi terbesar bayi, memecah asam lemak bebas/FFA dan gliserol dengan enzim lipase. Komponen lemak tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh konsumsi pangan ibu. Total kandungan lemak ASI pada mature milk (setelah 30 hari kelahiran) lebih tinggi dari pada kolostrum, dimana kolostrum ASI mengandung total lemak
10
sebesar 2.9 g pada hari ke-1 hingga ke-5, sedangkan pada mature milk terdapat sebanyak 4.2 g (Riordan 2005). Selain pola makan ibu, kandungan asam lemak ASI dapat dipengaruhi beberapa faktor diantaranya usia ibu, status gizi ibu, paritas, kondisi ibu yang puasa, merokok, mengkonsumsi alkohol, dan mengkonsumsi obat-obatan tertentu. Menurut studi Dewey et al.1986, semakin tua usia ibu maka kadar lemak ASI semakin rendah. Kadar lemak ASI stabil pada usia 21 hingga 37 tahun. Status gizi ibu berpengaruh terhadap komposisi cadangan lemak tubuh ibu. Ibu dengan status gizi lebih akan memiliki kadar lemak ASI yang tinggi pula. Selain itu, jumlah anak yang dilahirkan pun akan mempengaruhi kadar lemak ASI. Ibu yang telah melahirkan anak hingga 4 memiliki kadar lemak ASI yang lebih rendah, jadi kadar lemak ASI lebih stabil dan tinggi pada ibu yang melahirkan satu hingga tiga anak (Prentice 1986). Konsumsi obat-obatan tertentu seperti kortikosteroid, obat penyakit diabetes dan hiperlipidemia dapat mempengaruhi kadar lemak pada ASI. Hal tersebut berkaitan dengan tingginya kandungan toxic di hati yang akan mengganggu metabolisme dari lipid (Ehrenkranz 1986). Kebiasaan mengkonsumsi alkohol harus dihindari oleh setiap ibu menyusui. Alkohol yang dikonsumsi ibu akan dengan cepat masuk ke dalam ASI dan akan berefek secara langsung kepada bayi yang mengkonsumsi ASInya (Mennella 2001, Giglia and Binns 2006). Selain itu konsumsi alkohol akan menurunkan produksi ASI (American Academy of Pediatrics Policy Statement 2005). Kadar oksitosin akan menurun, sehingga akan menghambat kerja dari let down refleks (Mennella et al. 2005). Selain konsumsi alkohol, kebiasaan merokok pada ibu menyusui pun harus dihindari. Menurut studi Amir et al.(2002) dan Ilett et al.(2003), merokok dapat menurunkan kuantitas ASI. Kadar lemak ASI yang dihasilkan juga rendah. Bayi yang mengkonsumsi ASI dari ibu merokok memiliki pertumbuhan yang rendah (Academy of Breastfeeding Medicine 2004). ASI dari ibu perokok mengalami perubahan rasa serta flavor yang mungkin akan berdampak pada konsumsi ASI pada bayi (Academy of Breastfeeding Medicine 2004, Ilett et al. 2003). Terganggunya tidur bayi merupakan dampak lain jika mengkonsumsi ASI dari ibu perokok (Chapman 2008). Asam Lemak Lemak disusun oleh dua jenis molekul kecil yaitu gliserol dan asam lemak. Gliserol yaitu sejenis alkohol yang memiliki tiga rantai karbon dengan masingmasing mengandung sebuah gugus hidroksil. Asam lemak sendiri memiliki kerangka karbon dengan panjang 16 sampai 18 atom karbon. Ujung asam lemak sendiri yaitu “kepala” yang terdiri atas gugus karboksil. Asam lemak memiliki panjang serta jumlah dan lokasi ikatan ganda yang beragam. Asam lemak dapat dibedakan menjadi asam lemak jenuh apabila asam lemak tersebut tidak membentuk ikatan ganda di antara atom-atom karbon yang menyusun ekor sehingga atom hydrogen sebanyak mungkin terikat pada kerangka karbon. Asam lemak tidak jenuh memiliki satu atau lebih ikatan ganda yang terbentuk melalui pengeluaran atom hidrogen dari kerangka karbon. Bentuk asam lemak akan menjadi kaku jika terdapat ikatan ganda (Campbell et al.2002). Asam lemak tidak jenuh jamak rantai panjang atau yang dikenal dengan istilah long-chain polyunsaturated fatty acids (LC-PUFA) terkandung dalam ASI, namun hampir tidak ditemukan dalam susu formula (Horta et al. 2007).
11
Komponen ini memiliki peran penting sebagai komponen struktural membran pada sistem jaringan, termasuk jaringan pembuluh darah. Suplementasi dengan LC-PUFA terbukti dapat menurunkan tekanan darah pada orang yang hipertensi (Engler et al. 1999). Studi lain menyebutkan bahwa anak yang ketika masa kecilnya mengkonsumsi susu formula yang telah disuplementasi LC-PUFA, pada usia 6 tahun memilki tingkat tekanan darah yang lebih rendah dibandingkan dengan anak yang mengkonsumsi susu formula yang tidak disuplementasi (Forsyth et al. 2005). Faktor yang berpengaruh khusus terhadap kandungan asam lemak ASI diantaranya ialah kebiasaan konsumsi ibu (Kelishadi et al. 2012; Riordan 2005; Martin et al. 2012), metabolisme asam lemak ibu (Scopesi Fet al. 2001; Sauerwald et al.2001;Xie and Innis 2008), cadangan lemak ibu (Gao et al. 2013; Much 2013), intik karbohidrat (Read et al. 1965), masa laktasi (Kovacs et al.2005; Szabo et al. 2010). Martin et al. (2012) mengungkapkan pola makan akan mempengaruhi komposisi asam lemak ASI baik penyerapan secara langsung maupun cadangan pada tubuh. Berbagai studi mengungkapkan bahwa tingginya konsumsi ikan laut dapat meningkatkan kadar DHA dan EPA pada ASI (Huang et al. 2013; Gao et al. 2013;Saphier et al. 2013;Makela et al. 2013; Urwin et al. 2013;Martin et al. 2012; Pipop et al. 2008). Studi Olang et al. (2012) mengungkapkan bahwa ibu yang terbiasa mengkonsumsi pangan yang tinggi asam lemak tidak jenuh seperti ikan atau seafood pada masa menyusui, akan memiliki kadar DHA yang tinggi serta rendah rasio ARA dengan DHA. Hasil lain yang ditemukan pada studi ini ialah wilayah tempat tinggal dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi jenis asupan pangan sumber lemak ibu, dimana ibu yang tinggal di wilayah pinggir pantai memiliki kadar DHA dan omega 3 yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tinggal di daratan. Hal itu disebabkan tingginya tingkat frekuensi konsumsi pangan berjenis ikan laut yang kaya akan asam lemak tidak jenuh. Selain itu, ikan laut (Makela et al. 2013; Huang et al. 2013; Lauritzen et al.2002) dan ikan air tawar (Martin et al.2012;Rose 2006) dapat meningkatkan kadar linoleat ASI. Minyak nabati dan pangan olahan pun dapat meningkatkan kadar tersebut (Gao et al. 2013; Martin et al.2012; Brenna &Lapillonne 2009; Nishimura et al. 2014; Wan et al. 2010). Salah satu jenis minyak nabati yang kaya linoleat ialah minyak kelapa sawit dengan kandungan sebesar 9660 mg/100 g pangan, sumber pangan kaya linolenat ialah kelompok kacang-kacangan dan olahannya (Mulyani 2014)Menurut Nishimura et al. (2014), dalam konsumsi pangan sumber linoleat dan linolenat, terdapat rasio asam linoleat dan asam linolenat. Ketika kadar asam linolenat rendah, kadar asam linoleat menjadi tinggi. Studi di Cina mengungkapkan bahwa tingginya konsumsi telur sebagai sumber ARA tidak berkaitan dengan kadar ARA pada ASI, namun diduga berkaitan dengan faktor cadangan lemak pada ibu dan metabolismeibu dalam mensintesis ARA dari prekusor asam linoleat (Gao et al. 2013). Cadangan lemak ibu dibentuk sejak masa kehamilan, sehingga masa kehamilan memiliki peran penting terhadap kadar lemak ASI pada saat menyusui. Jenis asam lemak esensial pada ASI yang dihasilkan dipengaruhi juga oleh distribusi cadangan lemak pada ibu (Much et al.2013;Lauritzen dan Carlson. 2011). Intik karbohidrat yang tinggi akan berpengaruh terhadap tingginya pembentukan lemak pada tubuh,sehingga hal tersebut akan berdampak pada kandungan lemak ASI yang dihasilkan (Read et al. 1965).
12
Asam Lemak Esensial Asam lemak esensial merupakan asam lemak yang ditandai dengan ikatan rangkap/tidak jenuh pada C-7 terakhir (terutama C-6 dan C-7) pada rantai asam lemak ke arah gugus metil ujung. Asam ini dinamai dengan asam lemak linoleik dan memiliki sifat struktur tidak dapat disintesis oleh tubuh manusia.Selain itu, asam lemak jamak tidak jenuh ikatan rangkap C-3 dan C-4 dari gugus metil akhir juga dibutuhkan. Orang dewasa membutuhkan minimal 1%-2% dari kalorinya dalam bentuk asam lemak esensial dan sekitar 12%-14% dari kalori (40% lemak makanan) untuk kesehatan optimum. Asam arakidonik juga dibutuhkan dalam memenuhi kebutuhan asam lemak esensial untuk membentuk prostaglandin, leukotrien dan tromboksan (Linder 1992). ARA (Arachidonic acid) dan DHA (Docosahaexanoic acid) memainkan peranan struktur dan fungsi yang penting di dalam tubuh. Asam lemak tersebut dibutuhkan untuk perkembangan otak yang normal dan fungsi penglihatan. ARA dan DHA merupakan komponen struktur dan jaringan syaraf.DHA juga merupakan komponen membrane fotoreseptor retina. Produksi ARA dan DHA dari asam linoleat dan α-asam linolenat tidak tersedia secara memadai. Bayi harus memenuhi kedua asam lemak ini secara langsung dari sumber eksogen yaitu dari konsumsi makanan (Dalzell et al.2010). ASI mengandung asam lemak yang dapat meningkatkan pertumbuhan otak yaitu DHA (Decosahexaenoic acid), ARA (Arachidonic acid), dan asam lemak omega-3 yang penting bagi pertumbuhan dan perkembangan jaringan saraf. DHA dibutuhkan untuk membangun myelin berupa sarung pembungkus di sekitar masing–masing saraf sehingga membantu rangsangan saraf elektris bergerak dengan cepat menuju tujuan. Berdasarkan penelitian bahwa konsentrasi DHA mencapai posisi tertinggi pada otak bayi yang mendapat ASI. Diantara bayi tersebut, bayi yang mendapat ASI lebih lama memiliki kandungan DHA yang lebih tinggi (Sears & Martha 2003; Innis 2007). Dibandingkan dengan ASI, susu formula yang hanya mengandung sedikit atau tidak ada sama sekali ARA dan DHA. Bayi yang tidak diberikan suplementasi formula telah menunjukkan penurunan tingkat DHA dan ARA di dalam plasma fosfolipid dan korteks otak dibandingkan dengan bayi yang diberi ASI. Telah dilaporkan bahwa bayi yang diberikan ASI memiliki IQ yang lebih tinggi dibandingkan bayi dan menunjukkan uji perkembangan lebih baik dibandingkan dengan bayi yang diberi susu formula. Hal ini menunjuk pada hipotesis bahwa hal tersebut berkaitan dengan ketidakcukupan asupan asam lemak ganda jamak rantai panjang (Dalzell et al.2010). Berdasarkan WHO(2005), angka kecukupan asam lemak esensial (linoleat dan linolenat) pada bayi dibagi berdasarkan kelompok usia, yakni berkisar 0.5-0.7 g/hr (linoleat) dan 4.4-7g/hr (linolenat) (Tabel 1). Tabel 1 Angka kecukupan asam linoleat dan linoleat Masa Laktasi 0-6 bulan 7-12 >12
Angka Kecukupan(g/hr) Linoleat* 0.5 0.5
Linolenat** 4.4 4.6
0.7
7
Sumber : WHO 2005 *sudah termasuk EPA dan DHA; **sudah termasuk ARA
13
Banyak studi telah membuktikan bahwa ada kaitan yang erat antara asupan pangan dengan komposisi asam lemak ASI. Jika dibandingkan dengan kolostrum, mature milk ASI memiliki persentase asam lemak jenuh yang lebih tinggi, asam lemak tak jenuh tunggal yang rendah, asam linoleat dan linolenat yang tinggi, serta LC PUFA yang rendah (Gibson et al. 1981). Studi Olang et al.(2012) mengungkapkan bahwa ibu yang terbiasa mengkonsumsi pangan yang tinggi asam lemak tidak jenuh seperti ikan atau seafood pada masa kehamilan dan menyusui, akan memiliki kadar DHA yang tinggi serta rendah rasio ARA dengan DHA. Hasil lain yang ditemukan pada studi ini ialah wilayah tempat tinggal dapat menjadi salah satu faktor yang mempengaruhi jenis asupan pangan sumber lemak ibu, dimana ibu yang tinggal di wilayah pinggir pantai memiliki kadar DHA dan omega 3 yang lebih tinggi dibandingkan dengan ibu yang tinggal di daratan. Hal itu disebabkan tingginya tingkat frekuensi konsumsi pangan berjenis ikan laut yang kaya akan asam lemak tidak jenuh. Hasil studi Gao et al. (2013) menggambarkan bahwa perbedaan pola konsumsi ikan dan beberapa pangan sumber lemak pada ibu hamil yang tinggal di lokasi berbeda akan menyebabkan perbedaan pada komposisi asam lemak ASI. Dimana konsumsi ikan laut yang tinggi mungkin akan lebih efektif dalam mempengaruhi kadar DHA pada kolostrum. Ibu yang mengkonsumsi pangan yang rendah lemak akan meningkatkan kadar ARA pada ASI selain itu meningkatkan konsumsi produk susu dan olahan pun dapat meningkatkan kadar ARA (Nasser 2010). Menurut Zhang et al. (2009), sumber pangan yang paling kaya akan ARA ialah telur (74 mg/100 g pangan). Manfaat Asam Lemak Omega – 3 dan Omega – 6 Asam lemak omega 3 dibutuhkan untuk perkembangan otak dan mata serta berguna dalam mempertahankan dan menghasilkan kesehatan. Asam lemak omega – 6 berperan penting dalam fungsi otak dan hati serta pertumbuhan dan perkembangan secara normal (Castle & Paula 2010). Manfaat asam lemak omega – 3 dikenal memiliki beragam manfaat kesehatan melawan penyakit kardiovaskular (CVDs) termasuk hipotrigliseridemia dan efek anti peradangan. Selain itu, beragam studi mengidikasikan adanya manfaat asam lemak tersebut sebagi antihipertensi, antikanker, antioksidan, antidepresi, anti penuaan dan efek anti arthritis (Siriwardhana et al.2012). Pangan Sumber Asam Lemak Esensial Makanan yang mengandung asam lemak linoleat (omega-6) terdapat pada minyak jagung, kapas, kacang kedelai, wijen dan bunga matahari. Asam lemak arakidonat terdapat pada minyak biji-bijian dan minyak kacang tanah. Omega-3 atau linolenat terdapat pada minyak kacang kedelai, kecambah dan gandum. Selain itu, minyak nabati, kacang-kacangan, roti gandum utuh, dan ayam dapat menjadi sumber lain dari linolenat (University of Nebraska-Lincoln 2010). Eikosapentanoat/EPA dikandung dalam bahan pangan seperti minyak ikan tertentu atau dapat juga dibuat dari asam linolenat, sedangkan dokosaheksanoat (DHA) terdapat pada minyak ikan tertentu (Almatsier 2006). Selain itu, ikan laut dan air tawar dapat meningkatkan kadar EPA, DHA, asam linoleat dan linolenat pada ASI (Huang et al. 2013; Gao et al. 2013;Saphier 2013; Martin et al. 2012; NDA 2012; Pipop et al.2008; Francois et al. 1998). Tingginya konsumsi minyak
14
sawit dapat menyebabkan rendahnya kadar asam linolenat dan asam linoleat pada ASI (Pipop et al.2008). Tabel 2 Pangan sumber asam lemak esensial Jenis Asam Lemak Esensial ARA EPA DHA LINOLENAT/ OMEGA 6 LINOLEAT/ OMEGA 3
Jenis Pangan (g AL/100 g lemak); (mg AL/100 g pangan) Kelompok pangan telur dan olahannya (164.7 mg/100 g) dari telur bebek asin (356.4 mg/100 g) Kelompok pangan olahan ikan dan udang (89.5 mg/100 g) dari sarden kaleng saos tomat (568.5 mg/100 g) Kelompok pangan olahan ikan dan udang (200.7 mg/100 g) dari ikan tongkol bakar (604.1 mg/100 g). Kelompok kacang kedelai dan olahannya (362.1 mg/100 g) dari tahu (533 mg/100 g). Kelompok lemak dan minyak (6475.2 mg/100 g) dari minyak sawit kemasan (9660 mg /100 g).
Sumber : Mulyani 2014
Berdasarkan Tabel 2, sumber pangan yang kaya akan ARA ialah telur dan olahannya. Ikan dan udang merupakan sumber pangan kaya DHA dan EPA, sedangkan sumber pangan kaya linolenat adalah kelompok kacang kedelai dan olahannya. Lemak dan minyak menjadi pangan kaya linoleat (Mulyani 2014). Tabel 3 menunjukkan perbandingan kandungan asam lemak esensial aneka ikan dan telur. Ikan tongkol memiliki kadar DHA dan EPA lebih tinggi dibandingkan jenis pangan lain. Telur memiliki kadar ARA tertinggi. Kadar linoleat dan linolenat pada ikan tongkol lebih rendah dibandingkan jenis pangan lain. Ikan air tawar seperti ikan mas memiliki kadar asam lemak yang lebih rendah dibandingkan ikan laut. Tabel 3 Perbandingan kandungan asam lemak esensial aneka ikan dan telur* Jenis Pangan Ikan tongkol
Ikan kembung
Ikan mas
Ikan bandeng
Kandungan Asam Lemak (AL) mg AL/100 g pangan ARA : 7.3 EPA : 14.6 DHA : 88.7 Linoleat : 5.5 Linolenat : 1.6 ARA : 2.6 EPA : 4.1 DHA : 21.7 Linoleat : 5.8 Linolenat : 6.2 ARA : 8.4 EPA : 5.4 DHA : 12.1 Linoleat : 447.9 Linolenat : 22.5 ARA : 14.3
15
Tabel 3 Perbandingan kandungan asam lemak esensial aneka ikan dan telur* (lanjutan) Jenis Pangan Ikan bandeng
Telur
Kandungan Asam Lemak (AL) mg AL/100 g pangan EPA : 4.2 DHA : 3.4 Linoleat : 471 Linolenat : 67.3 ARA : 164.7 EPA :0 DHA : 43 Linoleat : 1499.6 Linolenat : 32.4
*Sumber : Mulyani 2014 Analisis Asam Lemak ASI Studi Bertino et al. (2013) mengungkapkan bahwa penyimpanan ASI selama 96 jam dalam lemari pendingin dapat menjaga keseluruhan komposisi lemak pada ASI. Bayi yang menerima ASI dari proses penyimpanan masih memiliki kandungan asam lemak yang sama lengkapnya dengan ASI yang diberi secara langsung. Analisis kadar asam lemak dilakukan dengan menggunakan metode gas kromatografi menurut AOAC (2005). Adapun tahapannya secara umum terdiri atas ekstraksi lipid, metilasi, pemisahan/penentuan GC, dan kalkulasi asam lemak. Total lemak diekstraksi dari 3 gram ASI ditambah 45 ml methanol chloroform dengan perbandingan volume 2 :1. Setelah itu, cairan diemulsi dengan 12 ml NaCl 0,85% dan lapisan terbawah diambil dan dikeringkan pada suhu 400C. Lalu dihitung jumlah lemaknya. Kemudian FAME (Fatty Acid Methyl Esters) dipersiapkan dengan methanol-acetyl chloride dengan perbandingan volume 100:15 pada suhu 700C dalam bak air selama 3 jam dan dihancurkan dengan hexane. Hasil analisis FAME akan keluar pada alat Shimadzu GC 2010 plus dengan kolomberjenis Quadrex 007 cyanopropyl methyl sil. Helium digunakan sebagai pembawa gas dengan tingkat kecepatan aliran sebesar 2 ml/menit. Setelah itu, titik puncak dari FAME diidentifikasi dengan membandingkan waktu retensi sesuai standar yang telah tersertifikasi (Supelco 37 Komponen Campuran FAME). Persentase asam lemak dihitung dengan metode normalisasi. Titik puncak pada area yang kurang dari 0.05% pada total area tidak dijadikan sebagai rujukan hasil.
16
3 METODE PENELITIAN Desain, Lokasi, dan Waktu Penelitian Desain penelitian ini adalah cross sectional study. Penentuan lokasi dan pengambilan sampel dari setiap provinsi tersebut dilakukan dengan prosedur terstandar. Pada setiap provinsi dipilih satu kota dan satu kabupaten dengan kriteria antara lain kota terpilih ialah ibu kota provinsi, sedangkan kabupaten yang dipilih ialah kabupaten dengan tingkat kepadatan penduduk tertinggi yang relatif mudah diakses dengan transportasi umum berdasarkan data demografi penduduk dari BPS provinsi. Setelah itu, dipilih satu kecamatan dari masing-masing kabupaten/kota yang memiliki tingkat penduduk terpadat/relatif padat, memiliki cakupan ASI eksklusif tertinggi, serta memiliki karakteristik dan jumlah ibu menyusui yang tersebar merata di setiap pengelompokan masa laktasi. Kemudian dipilih dua desa dengan jumlah penduduk yang paling/relatif padat dan terdapat sejumlah ibu menyusui sesuai kriteria. Lokasi sampel terpilih ialah Kabupaten Bogor, Kota Bandung, Kabupaten Padang Pariaman, Kota Padang, Kabupaten Gowa, dan Kota Makasar. Penanganan semua sampel ASI dilakukan di ruangan Sekretariat Manajemen Keamanan Pangan (MKP), lantai 3 Departemen Gizi Masyarakat, Fakultas Ekologi Manusia, sedangkan analisis sampel diuji di Laboratorium Terpadu Institut Pertanian Bogor, Baranangsiang. Penelitian ini dilaksanakan selama 6 bulan dimulai dari Februari 2014 hingga Juli 2014. Populasi dan Contoh Penelitian Contoh dalam penelitian ini ialah ibu menyusui berusia 25-40 tahun dengan masa laktasi antara 3-23 bulan (4 kelompok : 3-5 bulan, 6-8 bulan, 9-11 bulan, dan 1223 bulan) yang berada di wilayah provinsi Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Contoh yang dipilih harus memiliki kriteria inklusi sebagai berikut bersuku bangsa asli wilayah setempat, berstatus gizi normal, tidak melahirkan bayi kembar, menyusui hanya satu bayi, tidak sedang berpuasa, jumlah anak maksimal 3 orang, tidak merokok dan meminum alkohol, dan tidak sedang mengikuti terapi penyakit khusus (hiperlipidemia, diabetes,dan penggunaan obat kortikosteroid), bersedia mendonasikan ASI (minimum 100 ml), dan menandatangani inform consent. Berdasarkan perhitungan jumlah sampel minimal (Lemshow 1997), jumlah sampel yang harus terkumpul sebanyak 50 orang. n= z2p (1-p) d2 n= (1.962 ) 0.153 (1-0.153) = 50 orang 0.12 keterangan : p= 15.3 % cakupan ASI eksklusif di Indonesia berdasarkan Riskesdas 2010, d=0.1 Z 1-ᾳ /2 = 1.96
Awalnya total contoh yang diambil sebanyak 80 contoh yang terdiri atas 20 orang untuk setiap masa laktasi, namun terdapat 4 orang yang memiliki status gizi lebih (5% dari total), sehingga total responden yang diperoleh menjadi 76 orang yang terdiri terdiri atas terdiri atas 19 orang dari masing-masing kelompok masa laktasi 3-5 bulan dan 12-23 bulan, 18 orang dari kelompok masa laktasi 6-8 bulan, dan 20 orang dari
17
kelompok masa laktasi 9-11 bulan. Jika berdasarkan wilayah, contoh terdiri atas 36 orang Jawa Barat, 17 orang Sumatera Barat, dan 23 orang Sulawesi Selatan. Dengan demikian, jumlah contoh yang diperoleh telah memenuhi kebutuhan minimal. Bagan teknik pengambilan contoh dapat dilihat dalam Gambar 2. Provinsi X Ibu Kota Provinsi
Kabupaten
Satu Kecamatan
Satu Kecamatan
Desa 1
Desa 2
Desa 1
Desa 2
12 sampel
Sumatera Barat
12 sampel
12 sampel
Sulawesi
12 sampel
16 sampel
Jawa Barat
16 sampel
80 Sampel
20 Sampel (3-5 bulan)
20 Sampel (6-8 bulan)
20 Sampel (9-11 bulan)
20 Sampel (12-23 bulan)
19 Sampel (3-5 bulan)
18 Sampel (6-8 bulan)
20 Sampel (9-11 bulan)
19 Sampel (12-23 bulan)
Drop Out (4
Gambar 2 Skema penarikan sampel Jenis dan Cara Pengumpulan Data Jenis data yang dikumpulkan mencakup data primer dan data sekunder. Data primer meliputi karakteristik individu (usia, paritas, tinggi badan, berat badan, lokasi tempat tinggal, tingkat pendidikan, dan besar pendapatan keluarga), pola makan (jenis dan frekuensi pangan sumber lemak), kandungan asam lemak ASI (kadar lemak dan total asam lemak, komposisi asam lemak, dan kadar asam lemak esensial), kuantitas ASI harian, dan konsumsi asam lemak esensial ASI bayi. Data sekunder berupa gambaran umum wilayah, keadaan sosial ekonomi, dan data sebaran ibu menyusui diperoleh dari data demografi Dinas Kesehatan dan Puskesmas Kecamatan pada tiap wilayah provinsi. Penjelasan pengkategorian variabel penelitian secara rinci dapat dilihat pada Tabel 4.
18
Tabel 4 Kategori variabel penelitian No Variabel Karakteristik Individu 1 Usia ibu 2
Pendidikan terakhir ibu
3
Wilayah
4 5
Pendapatan keluarga Paritas
6
Status gizi (IMT)
Pola makan 7 Jenis pangan sumber lemak 8 Frekuensi konsumsi KandunganAsam Lemak ASI 9 Komposisi asam lemak 10 Kadar lemak dan total asam lemak 11 Kadar asam lemak esensial 12 Kuantitas ASI 13 Konsumsi Asam Lemak Esensial ASI pada Bayi 14 Tingkat kecukupan Asam Lemak Esensial ASI pada Bayi
Kategori Pengukuran 1. 19 – 29 tahun 2. 30 – 49 tahun 1. Tidak tamat SD/Sederajat 2. SD/ Sederajat 3. SMP/Sederajat 4. SMA/Sederajat 5. Diploma/Akademi 6. Sarjana/ Pascasarjana 1. Jawa Barat 2. Sumatera Barat 3. Sulawesi Selatan Sesuai Batas UMR 1. 1 2. 2 3. 3 a. Gizi kurang : <18.5 b. Gizi baik (normal): 18.5 – 24.9 c. Gizi lebih : >25
Sumber WNPG (2004) Riskesdas (2010)
BPS 2014
WHO (2006)
Riskesdas (2010) Cornelia (2010)
Gao et al. 2013
Damanik et al.2006
Data karakteristik individu dan kebiasaan makan diperoleh melalui wawancara terstruktur menggunakan kuesioner, serta pengukuran antropometri langsung pada contoh. Kuisioner terdiri atas karakteristik ibu, karakteristik keluarga, recall konsumsi pangan, Food Frequency Questioner (FFQ) sumber lemak, dan pengukuran kuantitas ASI harian. Data jenis pangan sumber lemak diperoleh melalui data Food Frequency Questioner (FFQ) selama sebulan terakhir dan recall selama 2x24 jam. Data jenis
19
pangan sumber lemak merujuk pada data konsumsi pangan sumber lemak hasil Riskesdas tahun 2010 yang terdiri atas 148 jenis pangan (Riskesdas 2010). Jenis pangan sumber lemak dikompositkan dan dikategorikan kepada kelompok pangan sumber asam lemak esensial seperti ikan (laut dan air tawar), seafood, daging, kacang-kacangan, minyak (sawit dan kelapa), telur, hati, dan santan dengan 2 kategori frekuensi konsumsi yakni sering (>=3x/minggu) dan tidak sering (0-2x/minggu) (Cornelia et al. 2010). Kemudian kategori frekuensi konsumsi dari kelompok jenis pangan tersebut dikaitkan dengan kadar asam lemak esensial dari sampel ASI. Penjelasan jenis dan cara pengumpulan atau pengukuran data secara rinci dapat dilihat pada Tabel 5. Tabel 5 Jenis dan cara pengumpulan atau pengukuran data No
Data
1.
Karakteristik individu
2.
Konsumsi pangan sumber lemak
3.
Status Gizi Anthropometri - Berat Badan (BB)
4. 5.
Cara Pengukuran atau pengumpulan Wawancara langsung dengan menggunakan kuisioner Wawancara langsung dengan menggunakanFood Frequency Questioner (FFQ)
Penimbangan dengan timbangan berat badan injak analog, dengan ketelitian 0.1 kg
- Tinggi Badan (TB)
Pengukuran TB dengan microtoise, dengan ketelitian 0.1 cm
- Status Gizi (BB/U)
Perhitungan berdasarkan Z-score dengan standar Depkes 2008 Metode gas kromatografi
Profil Asam Lemak ASI Kuantitas ASI
Penimbangan berat badan bayi setiap sebelum dan setelah disusui selama 1x 24 jam
Frekuensi Satu kali pada saat pengambilan ASI Satu kali pada saat pengambilan ASI (Recall sehari sebelumnya) Satu kali pada saat pengambilan ASI
Satu kali analisis Satu hari setelah pengambilan ASI
Pengambilan Sampel ASI Sampel ASI diambil menggunakan pompa manual ataupun elektrik dengan jumlah minimal sebanyak 100 ml. Untuk 10 ml hasil ASI perahan pertama, harus dibuang terlebih dahulu. ASI diambil selama 1-4 hari baik di pagi, siang, maupun sore hari. Hasil perahan ASI kemudian ditampung dalam wadah botol kaca dan segera disimpan dalam freezer bersuhu -400C. Analisis kadar asam lemak dilakukan dengan menggunakan metode gas kromatografi menurut AOAC tahun 2005. Analisis dilakukan di Lab Terpadu IPB Baranangsiang oleh tenaga laboran profesional. Analisis Asam Lemak ASI Analisis kadar asam lemak dilakukan dengan menggunakan metode gas kromatografi menurut AOAC (2005). Adapun tahapannya secara umum terdiri atas ekstraksi lipid, metilasi, pemisahan/penentuan GC, dan kalkulasi asam lemak. Total
20
lemak diekstraksi dari 3 gram ASI ditambah 45 ml methanol chloroform dengan perbandingan volume 2 :1. Setelah itu, cairan diemulsi dengan 12 ml NaCl 0,85% dan lapisan terbawah diambil dan dikeringkan pada suhu 40 0C. Lalu dihitung jumlah lemaknya. Kemudian FAME (Fatty Acid Methyl Esters) dipersiapkan dengan methanolacetyl chloride dengan perbandingan volume 100:15 pada suhu 700C dalam bak air selama 3 jam dan dihancurkan dengan hexane. Hasil analisis FAME akan keluar pada alat Shimadzu GC 2010 plus dengan kolom berjenis Quadrex 007 cyanopropyl methyl sil. Helium digunakan sebagai pembawa gas dengan tingkat kecepatan aliran sebesar 2 ml/menit. Setelah itu, titik puncak dari FAME diidentifikasi dengan membandingkan waktu retensi sesuai standar yang telah tersertifikasi (Supelco 37 Komponen Campuran FAME). Persentase asam lemak dihitung dengan metode normalisasi. Titik puncak pada area yang kurang dari 0.05% pada total area tidak dijadiikan sebagai rujukan hasil. Pengolahan dan Analisis Data Pengolahan data dilakukan melalui beberapa tahapan yaitu verifikasi, coding, entry, cleaning, dan analisis. Verifikasi bertujuan untuk memeriksa konsistensi informasi yang telah terkumpul.Penyusunan coding ialah pemberian kode atau angkat tertentu yang disesuaikan dengan jawaban pertanyaan dalam kuisioner. Coding tersebut akan memudahkan proses pengentrian data. Entry merupakan proses pemasukkan data jawaban kuisioner sesuai kode pada masing-masing variabel. Setelah data dientri, dilakukan cleaning data untuk memastikan tidak ada kesalahan entri data. Selanjutnya data diolah dan dianalisis menggunakan program Microsoft excel 2007 dan Statistical Program for Social Science (SPSS) version 16.0 for Windows. Analisis data dilakukan secara statistik dan deskriptif. Analisis data tersebut antara lain : 1. Deskriptif : a. Karakteristik individu (ibu) meliputi usia, paritas, pendidikan terakhir, pendapatan keluarga, wilayah, berat badan tinggi badan, dan status gizi. b. Pola makan contoh meliputi jenis dan frekuensi pangan sumber lemak dan jumlah pangan sumber asam lemak esensial dan sumber laktagogum. c. Kandungan asam lemak ASI meliputi kadar lemak dan total asam lemak, komposisi asam lemak, dan kadar asam lemak esensial. 2. Uji korelasi Spearman digunakan untuk menganalisa hubungan antara frekuensi konsumsi pangan sumber lemak dengan kandungan asam lemak esensial ASI. 3. Uji korelasi Pearson digunakan untuk menganalisa hubungan antara kuantitas ASI dengan kuantitas pangan sumber laktagogum serta menganalisa hubungan antara kuantitas pangan sumber asam lemak esensial dengan kadar asam lemak esensial ASI. 4. Uji ANOVA untuk menganalisis perbedaan karakteristik individu, frekuensi konsumsi pangan sumber lemak ibu, dan konsumsi asam lemak esensial bayi antar masa laktasi dan wilayah. Definisi Operasional Contoh adalah ibu menyusui berusia 25-40 tahun dengan masa laktasi antara 3 hingga 23 bulan yang berada di wilayah provinsi Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan, dimana contoh bersuku bangsa asli wilayah setempat, berstatus gizi normal,tidak melahirkan bayi kembar, menyusui hanya satu bayi, tidak sedang berpuasa, jumlah anak maksimal 3 orang, tidak merokok dan meminum alkohol, dan tidak sedang mengikuti terapi penyakit khusus, bersedia mendonasikan ASI (minimum 100 ml), dan menandatangani inform consent.
21
Karakteristik individu adalah gambaran kondisi internal contoh yang meliputi usia, pendidikan terakhir, wilayah, suku bangsa, pendapatan keluarga, paritas, badan, tinggi badan, dan status gizi contoh. Usia adalah umur contoh saat penelitian dilakukan berada pada umur 25-40 tahun. Berat badan adalah massa tubuh dalam satuan kilogram yang ditimbang menggunakan timbangan injak detecto dengan ketelitian 0,5 kg. Tinggi badan adalah panjang tubuh dalam satuan centimeter yang diukur menggunakan microtoise dengan ketelitian 0,5 cm. Wilayah adalah lokasi rumah tempat tinggal contoh yang dikategorikan dalam tiga wilayah yakni Jawa Barat, Sumatera Barat, dan Sulawesi Selatan. Suku bangsa adalah suku dominan yang paling banyak dianut kepercayaannya oleh contoh karena genetis atau lamanya bermukim di wilayah tertentu. Pendidikan ibu adalah tingkat pendidikan terakhir yang diemban ibu contoh, baik yang tamat SD/sederajat, tamat SMP/sederajat, tamat SMA/sederajat, tamat Diploma/Akademi (D1/D2/D3), dan tamat Sarjana/Pascasarjana (S1/S2/S3). Pendapatan keluarga adalah jumlah pendapatan per bulan dalam bentuk uang yang diperoleh orang tua dari pekerjaan utama dan pekerjaan tambahan yang dikategorikan berdasarkan standar deviasi sesuai batas UMR wilayah. Paritas adalah jumlah anak yang telah dilahirkan contoh. Pola makan adalah kegiatan konsumsi pangan sumber lemak contoh yang dikonsumsi secara rutin dan berulang, yang digambarkan melalui jenis dan frekuensi pangan sumber lemak selama sebulan terakhir dan recall konsumsi pangan 2x24jam. Frekuensi konsumsi adalah frekuensi contoh dalam mengkonsumsi jenis pangan sumber lemakselama satu bulan terakhir yang terdiri atas dua kategori yakni sering(>=3x/minggu) dan tidak sering(0-2x/minggu). Kuantitas ASI adalah jumlah ASI harian yang dapat dihasilkan oleh ibu yang dipengaruhi oleh usia, paritas, kualitas dan kuantitas makanan, hormonal, kondisi psikologis dan sosial, frekuensi menyusui, dan konsumsi pangan sumber laktagogum. Keragaman asam lemak esensial ASI adalah gambaran asam lemak esensial pada ASI yang meliputi komposisi EPA, DHA, ARA, asam linoleat, dan asam linolenat. Kadar lemak ASI adalah kadar lemak pada ASI dalam satuan gram yang terdapat dalam 100 ml ASI. Total asam lemak ASI adalah total dari asam lemak yang terkandung dalam 100 gram lemak maupun dalam 100 ml ASI Konsumsi Asam Lemak Esensial Bayi adalah perbandingan antara konsumsi asam lemak esensial bayi harian dengan angka kecukupan asam lemak esensial bayi Konsumsi asam lemak esensial bayi adalah jumlah harian konsumsi asam lemak esensial ASI bayi yang dihitung dengan mengalikan kandungan asam lemak esensial ASI bayi dengan kuantitas konsumsi ASI aktual. Kuantitas konsumsi ASI aktual adalah jumlah ASI yang dikonsumsi oleh setiap bayi selama 1x 24 jam, yang diukur dengan menghitung total dari selisih berat badan bayi yang dikoreksi dengan berat popok dan pakaian kering setiap kali menyusui dikonversi dalam gram dan dikalikan dengan massa jenis ASI sebesar 0.983 mL/g..
22
4 HASIL DAN PEMBAHASAN Karakteristik Ibu Tabel 6 menggambarkan karakteristik responden berdasarkan wilayah yang meliputi usia, berat badan, tinggi badan, status gizi, paritas, rata-rata pendapatan keluarga, dan pendidikan terakhir ibu. Berdasarkan Depkes (2009) rataan usia ibu sebesar 29-30 tahun terkategori pada kelompok usia dewasa awal (26-35 tahun) serta status gizi ibu pada ketiga wilayah pun tergolong normal (WHO 2006). Usia, paritas, dan status gizi tidak berbeda nyata antar wilayah (p>0.05) dan ketiga variabel tersebut telah memenuhi kriteria inklusi. Rataan pendapatan keluarga tertinggi terdapat pada sampel yang berasal dari Sulawesi Selatan (Rp 1.889.600±1.336.610) dan semua rataan pendapatan keluarga tergolong di atas UMR (BPS 2014). Pendapatan keluarga dan pendidikan berbeda nyata antar wilayah (p<0.05), dimana pendapatan wilayah Sulawesi Selatan lebih tinggi dibandingkan wilayah lain, sedangkan pendidikan terakhir ibu wilayah Sumatera Barat lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Tabel 6 Karakteristik ibu menyusui Karakteristik Jawa Barat (n=36) 29.14±5.64 2.10±1.14 1.227.100±710559
Wilayah P Sumatera Barat Sulawesi Selatan value (n=17) (n=23) 30.81±4.60 30.25±3.64 0.388 2.57±1.53 2.58±1.02 0.96 1.636.400±707.980 1.889.600±1.336.610 0.012*
Usia Ibu (tahun)a Paritas a Pendapatan Keluarga a(rupiah) Berat Badan Ibu 49.72±5.91 48.76±4.83 (kg) a Tinggi Badan Ibu 150.46±6.27 152.42±3.10 (cm) a Status Gizi Ibu 21.94±1.99 20.99±2.08 2 a (kg/m ) Pendidikan Ibu b SD/sederajat SMA/sederajat a Rata-rata ± standar deviasi; *berbeda nyata pada p<0.05 b Presentase terbanyak
50.01±4.78
0.790
152.17±4.72
0.387
21.57±1.53
0.315
SD/sederajat
0.000*
Pola Makan Ibu Berdasarkan Tabel 7, telur, kacang-kacangan dan minyak sawit merupakan jenis pangan yang paling banyak dikonsumsi responden di ketiga wilayah. Telur, ikan air tawar, ikan air laut, dan santan lebih banyak dikonsumsi oleh responden dari Sulawesi Selatan dibandingkan wilayah lain (P<0.05), sedangkan daging merah lebih banyak dikonsumsi responden dari Sumatera Barat (P<0.05). Data recall pada Tabel 8 menunjukkan bahwa jumlah ikan yang dikonsumsi responden Sulawesi Selatan lebih banyak (112,17±103,4 g/hr) dibandingkan wilayah lain, responden Jawa Barat lebih banyak mengkonsumsi kacang-kacangan (58.33±59.95g/hr), sedangkan Sumatera Barat lebih banyak mengkonsumsi ayam (66,7±79.05g/hr).
23
Tabel 7 Presentase ibu menyusui yang mengkonsumsi pangan sumber lemak dengan tingkat frekuensi sering (3-6x/minggu) berdasarkan wilayah Jenis Pangan
Presentase ibu menyusui(%) Jawa Barat Sumatera Barat Sulawesi Selatan (n=36) (n=17) (n=23)
P Value
Hati
10.26
0.00
8.33
0.258
Telur
61.54
57.69
87.50
0.048*
Ikan air laut
28.21
53.85
87.50
0.000*
Seafood
0.00
15.38
12.50
0.050
Ikan air tawar
12.82
3.85
62.50
0.000*
Minyak sawit
69.23
76.92
75.00
0.768
Minyak kelapa
25.64
15.38
45.83
0.053
Kacang-kacangan
87.18
76.92
83.33
0.560
Daging merah
15.38
42.31
16.67
0.029*
Santan
10.26
53.85
54.17
0.000*
*berbeda nyata pada p<0.05
Berdasarkan studi Mulyani (2014) mengenai sumber pangan asam lemak esensial, responden Sulawesi Selatan banyak mengkonsumsi telur yang kaya akan ARA (0.16 g/100 g pangan) serta kelompok ikan dan udang yang kaya akan EPA (0.0895 g/100 g pangan) dan DHA (0.2 g/100 g pangan), sedangkan responden Jawa Barat lebih banyak kacang kedelai dan olahannya yang kaya akan asam linolenat (0.362 g/100 g pangan). Tabel 8 Konsumsi pangan sumber lemak (g/hr) berdasarkan wilayah Wilayah Jawa Barat Sumatera Barat Sulawesi Selatan P value
Ikan 43.06±65.5 79.44±94.98 112.17±103.4 0.017*
Jumlah konsumsi(g/hari) Ayam Telur Kacang-kacangan 12.6±32.65 29.03±40.60 58.33±59.95 66.7±79.05 23.3±29.15 28.87±34.05 2.82±13.55 23.47±39.38 16.5±33.8 0.000* 0.849 0.027*
Keragaman Kandungan Lemak dan Asam Lemak Esensial ASI Faktor yang berpengaruh khusus terhadap kandungan asam lemak ASI diantaranya ialah kebiasaan konsumsi pangan ibu (Kelishadi et al. 2012;Riordan 2005; Martin et al. 2012), lokasi wilayah tempat tinggal, metabolisme asam lemak ibu, cadangan lemak ibu (Gao et al. 2013), serta intik karbohidrat (Read et al. 1965). ASI diperoleh dari individu ibu yang mengkonsumsi pola makan dengan sumber lemak yang beragam seperti aneka daging dengan olahan santan, aneka ikan, hingga perpaduan antara pangan hewani dan nabati serta aneka sayur. Menurut Martin et al.(2012), pola makan akan mempengaruhi komposisi asam lemak ASI baik penyerapan secara langsung maupun cadangan pada tubuh.
24
Berdasarkan Tabel 9, kadar lemak (g/100ml) berkisar 2.93 hingga 4.79. Hasil tersebut menunjukkan kadar yang lebih tinggi dari hasil studi Kelishadi et al. (2012) yang menyebutkan kadar lemak ASI wanita Irak sebesar 2.17 ± 1.22 g/100 ml dan kadar lemak mature milk pada studi Riordan (2005) sebesar 4.2 g.Kandungan lemak ASI tertinggi terdapat pada bayi dengan masa laktasi 3-5 bulan (2.93±1.64 g/100ml), sedangkan kandungan terendah berada pada bayi dengan masa laktasi 9-11 bulan (4.79±5.57g/100ml). Tabel 9 Kandungan total asam lemak, kadar lemak, dan asam lemak esensial berdasarkan masa laktasi Masa Laktasi
Kandungan 3-5 bln (n=19)
6-8 bln (n=18)
9-11 bln (n=20)
12-23 bln (n=19)
Total Asam Lemak (g/100g Lemak) 70.61±7.63 70.86±10.32 76.09±8.37 77.59±5.98 Total Asam Lemak (g/100 ml ASI) 1.87±1.08 2.24±1.46 4.11±4.48 2.55±0.78 Kadar Lemak 2.93±1.64 3.32±1.91 2.80±1.19 3.58±1.65 (g/100 ml ASI) ARA (C20:4n6) a 0.13±0.14 0.12±0.09 0.11±0.09 0.09±0.10 EPA (C20:5n3) a 0.05±0.04 0.05±0.05 0.04±0.08 0.05±0.14 a DHA (C22:6n3) 0.18±0.17 0.20±0.20 0.21±0.16 0.20±0.17 Asam Linoleat 4.92±3.26 5.09±3.51 5.46±3.20 5.50±3.40 (C18:2n6c) a Asam Linolenat 0.19±0.09 0.18±0.14 0.30±0.42 0.23±0.09 (C18:3n3) a a Rata-rata ± standar deviasi (% dari total asam lemak atau g/100 g lemak) b Uji beda Anova; *signifikan p<0.05 c Uji hubungan Spearman; **signifikan p<0.01
P valueb
P value;r c
0.019*
0.002**;0.36
0.040* 0.076
0.119;0.183
0.747 0.997 0.952 0.933
0.261;-0.135 0.013*;0.293 0.558;-0.071 0.133;-0.180
0.363
0.123;-0.185
Bayi dengan masa laktasi 12-23 bulan memiliki kadar total asam lemak tertinggi (77.59±5.98 g/100g lemak), sedangkan kadar terendah dimiliki pada bayi dengan masa laktasi 3-5 bulan (70.61±7.63 g/100g lemak). Jika dibandingkan dengan studi Saphier (2013), kadar total asam lemak sampel Indonesia lebih tinggi dibandingkan dengan wanita Israel (72%). Lain halnya jika ditelaah dalam 100 ml ASI, kandungan total asam lemak pada ASI berkisar 1.87-4.11 g dan kandungan terendah terdapat pada ASI yang masa laktasinya 3-5 bulan. Hasil uji statistik menunjukkan bahwa berdasarkan masa laktasi, kadar total asam lemak ASI berbeda nyata (p=0.019), sedangkan kadar lemak ASI tidak berbeda nyata (p=0.076). Semakin bertambah masa laktasi, maka kadar total asam lemak ASI semakin meningkat (p=0.002;r=0.36), sedangkan kadar lemak tidak.Hal tersebut sesuai menurut studi Finley et al.(1985) bahwa tingkat masa laktasi berkorelasi positif dengan total kadar asam lemak. Gambar 3 menunjukkan hasil keragaman kandungan asam lemak esensial berdasarkan masa laktasi. Kandungan EPA dan asam linoleat tertinggi terdapat pada ASI dengan masa laktasi 12-23 bulan (EPA (C20:5n3) 0.05±0.14g/100g lemak dan asam linoleat (C18:2n6c) 5.50±3.40g/100g lemak), sedangkan kandungan DHA dan asam linolenat tertinggi terdapat pada ASI dengan masa laktasi 9-11 bulan (DHA (C22:6n3) 0.21±0.16g/100g lemak dan asam linolenat 0.30±0.42g/100g lemak). Berbeda halnya dengan kandungan ARA, kandungan ARA tertinggi terdapat pada ASI dengan masa laktasi 6-8 bulan (ARA (C20:4n6) 0.13±0.14g/100g lemak). Namun hasil
25
uji statistik menunjukkan semua kadar asam lemak esensial berdasarkan masa laktasi (Gambar 3) tidak berbeda signikan (P>0.05).
Kandungan(g/100g Lemak)
10 5,5
4.92
ARA
p=0.747 a;0.261b 1
EPA
3-5 bln
0.1 0,1
6-8 bln
9-11 bln
0.19 0.18 0.09 0.05
12-23 bln 0.23 0.2 0.11 0.05
a p=0.747 p=0.997 ;0.013b*
p=0.997 a p=0.952 p=0.952 ;0.558b Linoleat .933 DHA
a p=363 p= 0.933 ;0.133b
Linolenat
0,01 0.01
p=0.363a;0.123 b
3-5
9-11
6-8
12-23
Masa laktasi (bulan)
Gambar 3 Kandungan asam lemak esensial berdasarkan masa laktasi a Uji Annova ;bUji Spearman; *signifikan P>0.05 Jika ditelaah berdasarkan wilayah, kandungan asam lemak esensial pun semakin beragam (Tabel 10).Kandungan asam lemak esensial lebih tinggi pada sampel ASI yang berasal dari Sumatera Barat dibandingkan dengan Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Kadar asam lemak esensial Jawa Barat memiliki kecenderungan lebih rendah dibandingkan kadar wilayah lainnya. Namun, hasil uji statistik menunjukkan bahwa hanya kadar ARA (p=0.002), DHA(p=0.000),dan asam linoleat (p=0.002) yang berbeda signifikan antar wilayah (P<0.05). Hal ini diduga terkait perbedaan pola makan sumber lemak antar wilayah (Tabel 7). Tabel 10 Keragaman kandungan asam lemak esensial berdasarkan wilayah P value
ARA (C20:4n6)
Jumlah (g/100 g lemak) Jawa Barat Sumatera Sulawesi (n=36) Barat Selatan (n=17) (n=23) 0.08±0.08 0.19±0.07 0.11±0.13
EPA (C20:5n3)
0.05±0.06
0.05±0.15
0.03±0.04
0.597
DHA (C22:6n3)
0.10±0.12
0.31±0.15
0.28±0.17
0.000*
Asam Linoleat (C18:2n6c)
5.04±2.90
7.48±1.27
3.96±4.09
0.002*
Asam Linolenat (C18:3n3)
0.22±0.34
0.28±0.08
0.22±0.07
0.635
Kandungan
0.002*
*berbeda nyata pada p<0.05 Jika dibandingkan dengan studi di belahan dunia lain yang diasumsikan masa laktasi tidak berbeda nyata terhadap kadar asam lemak esensial, maka diperoleh perbandingan yang bervariasi. Berdasarkan hasil studi sebelumnya, kadar ARA ASI pada studi ini (0.09-0.13%) jauh lebih rendah dibandingkan kadar ARA ASI di di
26
Australia, Chili, Jepang, Meksiko, Filipina, Inggris, Israel, Bolivia, Irak, Taiwan, Amerika Serikat, India yang berkisar 0.35-1.82% (Yuhas et al.2006; Ganapathy 2009; Martin et al. 2012; Kelishadi et al. 2012; Ronit et al.2012; Huang et al.2013;Saphier 2013). Kadar EPA ASI pada studi ini (0.04-0.05%) berada pada kisaran yang lebih rendah dari wanita Bolivia yang memiliki kadar sebesar 0.06-0.2%(Martinet al. 2012), sedangkan kadar DHA ASI (0.18-0.21%) berada pada kisaran yang lebih tinggi dari wanita Israel (Saphier 2013). Namun jika dibandingkan dengan studi lain di Irak (Kelishadi et al. 2012), Taiwan (Huang et al.2013), Thailand (Pipop et al.2008),dan Jepang (Yuhas et al. 2006) yang memiliki kadar berkisar 0.3–1.4%, kadar DHA ASI Indonesia tergolong lebih rendah. Kadar asam linolenat (0.18-0.3%) memiliki kisaran yang hampir sama dengan kadar wanita Thailand (Pipop et al. 2008). Namun kadar tersebut jauh lebih rendah dengan wanita Eropa, Australia (Molto et al. 2011), Israel (Saphier 2013), Bolivia (Martin et al. 2012), Taiwan (Huang et al. 2013), Swedia (Yu et al. 1998), dan Brazil (Rose 2006) dengan kisaran kandungan 0.33-2%. Kadar asam linoleat pun (3.96-7.48%) menunjukkan kadar yang jauh lebih rendah dengan studi di Thailand (Pipop et al. 2008), Bolivia (Martin et al. 2012), dan Taiwan (Huang et al. 2013) yang memiliki kadar berkisar 9.31-22.8%. Jika dilihat secara keseluruhan, kadar asam lemak esensial ASI pada sampel di Indonesia memiliki kadar yang lebih rendah jika dibandingkan dengan studi ASI di belahan dunia lain. Hubungan Pola Makan Ibu dan Kandungan Asam Lemak Esensial ASI Berdasarkan Tabel 7, presentase contoh yang sering mengkonsumsi jenis pangan ikan laut dan seafood memang lebih tinggi di Sulawesi Selatan (87.5%) dibandingkan Sumatera Barat (53.85%), namun kadar asam lemak esensial ASI masih lebih tinggi Sumatera Barat. Hal tersebut diduga disebabkan oleh perbedaan kualitas pada jenis ikan yang dikonsumsi, dimana Sumatera Barat lebih banyak mengkonsumsi ikan tongkol dan kembung, sedangkan Sulawesi Selatan lebih banyak mengkonsumsi ikan bandeng (Tabel 19 pada Lampiran 1) Studi Mulyani (2014) mengungkapkan bahwa ikan tongkol (DHA 88.7 mg/100g pangan) dan ikan kembung (DHA 21.7 mg/100g pangan) memiliki kandungan DHA yang lebih tinggi dibandingkan ikan bandeng (DHA 3.4 mg/100g pangan), sehingga kandungan DHA Sumatera Barat lebih tinggi dibandingkan Sulawesi Selatan. Beragam studi pun mengungkapkan bahwa tingginya konsumsi ikan laut dapat meningkatkan kadar DHA dan EPA pada ASI (Huang et al.2013; Gao et al. 2013;Saphier et al. 2013;Makela et al. 2013; Urwin et al.2013;Martin et al.2012; Pipop et al.2008). Berdasarkan uji statistik pada Tabel 11, tingginya kadar DHA ASI memang berkaitan dengan konsumsi ikan laut (p=0.002), namun tidak berkaitan nyata dengan kadar EPA (p>0.05). Menurut Zhang et al. (2009), sumber pangan yang paling kaya akan ARA ialah telur (74 mg/100 g pangan). Tingginya konsumsi telur dan hati dapat meningkatkan kadar ARA ASI. Berdasarkan Tabel 7, presentase contoh yang mengkonsumsi telur di Sumatera Barat tidak jauh berbeda dengan Sulawesi Selatan dan konsumsi telur tidak berhubungan nyata (p=0.321) dengan kadar ARA ASI (Tabel 12). Selain telur, ikan pun dapat menjadi sumber pangan ARA namun kadarnya lebih rendah (Mulyani 2014). Pada studi ini, walaupun kandungan ARA pada jenis ikan yang dikonsumsi Sumatera Barat seperti ikan tongkol (7.3 mg/100 g pangan) dan kembung (2.6 mg/100 g pangan) memiliki kadar yang lebih rendah dibandingkan dengan ikan bandeng (14.3 mg/100g
27
pangan), kandungan ARA ASI Sumatera Barat tetap lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Hal itu diduga berkaitan dengan tingginya kadar asam linoleat ASI Sumatera Barat yang dapat berperan sebagai prekusor, serta perbedaan metabolisme ibu dalam mensintesis ARA dari prekusor asam linoleat (Gao et al.2013; Scopesi Fet al.2001; Sauerwald et al.2001;Xie and Innis 2008). Tabel 11 Hubungan kandungan asam lemak esensial dan konsumsi pangan sumber lemak Kandungan
Jenis Pangan Sumber Lemak (p value) Hati
Telur
Ikan Laut
ARA EPA DHA
0.321 0.205 0.155
0.180 0.935 0.046*
0.024* 0.624 0.002*
Asam Linoleat Asam Linolenat
0.386
0.923
0.050*
0.255
Seafood
Minyak Sawit
Minyak Kelapa
Kacangkacangan
Santan
0.748 0.069 0.774
Ikan Air Tawar 0.283 0.436 .006*
0.521 0.040* 0.155
0.160 0.027* 0.130
0.384 0.249 0.263
0.365 0.570
0.149
0.679
0.849
0.620
0.177
0.233
0.018* 0.739
0.014*
0.994
0.491
0.228
0.259
0.448
0.429
*berbeda nyata pada p<0.05 Berdasarkan studi sebelumnya, ikan laut (Makela et al. 2013; Huang et al. 2013; Lauritzen et al. 2002) dan ikan air tawar (Martin et al.2012;Rose 2006) dapat meningkatkan kadar linoleat ASI. Selain itu, minyak nabati dan pangan olahan pun dapat meningkatkan kadar tersebut (Gao et al. 2013; Martin et al.2012; Brenna & Lapillonne 2009; Nishimura et al. 2014; Wan et al.2010). Minyak kelapa sawit merupakan sumber linoleat dengan kandungan sebesar 9660 mg/100 g pangan (Mulyani 2014). Namun jika dibandingkan dengan data konsumsi, presentase contoh Sumatera Barat yang mengkonsumsi ikan laut (53.85%) lebih rendah dibandingkan Sulawesi Selatan (87.5%). Selain itu, kandungan linoleat dan linolenat pada jenis ikan yang sering dikonsumsi seperti ikan tongkol (l/inoleat 5.5mg/100 g pangan; linolenat 1.6mg/100g pangan) dan kembung (linoleat 5.8mg/100 g pangan; linolenat 1.2mg/100g pangan) memiliki kadar linoleat yang lebih rendah dibandingkan dengan jenis ikan lain. Walaupun presentase konsumsi ikan laut dan kandungan linoleat dan linolenat pada jenis ikan yang dikonsumsi contoh Sumatera Barat lebih rendah dibandingkan Sulawesi Selatan, kandungan linoleat ASI tetap lebih tinggi Sumatera Barat dibandingkan wilayah lain. Hal itu diduga berkaitan dengan tingginya kuantitas konsumsi pangan sumber linoleat (Pipop et al. 2008)dan rendahnya konsumsi sumber pangan linolenat seperti kelompok kacang-kacangan dan olahannya (Mulyani 2014). Menurut Nishimura et al. (2014), dalam konsumsi pangan sumber linoleat dan linolenat, terdapat rasio asam linoleat dan asam linolenat. Ketika kadar asam linolenat rendah, kadar asam linoleat menjadi tinggi. Berdasarkan uji statistik, ikan laut hanya berhubungan nyata dengan kadar asam linolenat (p=0.014), sedangkan kadar asam linoleat tidak berhubungan nyata (p>0.05) dengan konsumsi jenis pangan apapun (Tabel 11). Kuantitas ASI Produksi ASI sangat dipangaruhi oleh pola makan, emosi dan keadaan psikis, penggunaan alat kontrasepsi, perawatan payudara, anatomis payudara, fisiologis,
28
frekuensi menyusui, dan obat-obatan, sehingga kuantitas ASI yang dikeluarkan pun sangat beragam tergantung kondisi setiap individu. Seberapa banyak dan berkualitas ASI yang dihasilkan itu pun akan berdampak dari seberapa cukup konsumsi asam lemak esensial yang diperoleh dari ASI. 700
KUANTITAS ASI (ml)
600
578 ±268
500 372±234
400
345±174 300 200 191± 171
100 0 3-5 bulan
6-8 bulan
9-11 bulan
12-23 bulan
Gambar 4 Kuantitas ASI harian berdasarkan masa laktasi (Anova; P=0.003; Spearman P=0.001; r = -0.443) Berdasarkan Gambar 4, semakin tinggi tingkat laktasi maka semakin sedikit produksi ASI yang dihasilkan. Kuantitas ASI yang dihasilkan pada sampel studi ini masih sesuai dengan kisaran produksi ASI. Kurniasih et al. (2010) mengungkapkan bahwa produksi ASI usia 0-6 bulan berkisar 600 ml hingga 1000 ml, sedangkan ASI pada masa laktasi di atas 6 bulan umumnya tingkat produksinya menurun hingga dapat mencapai 550 ml/hari (WHO 2001). Namun jika dibandingkan dengan kisaran maksimal yang dapat dihasilkan pada masanya, rataan ASI yang dihasilkan pada responden kali ini cenderung lebih rendah dari jumlah optimalnya. Hal ini diduga disebabkan oleh beberapa hal antara lain : pertama, bias perhitungan kuantitas ASI harian karena teknik perhitungan dilakukan berdasarkan penimbangan bayi selama 24 jam yang dilakukan oleh responden sendiri. Walaupun sebelumnya dilakukan tutorial prosedur kepada responden, namun responden dinilai masih memiliki banyak keterbatasan dari segi pengetahuan, keterampilan, dan kepatuhan pada prosedur yang seharusnya dilakukan. Kedua, semakin menurunnya frekuensi pemberian ASI. Frekuensi pemberian ASI akan dipengaruhi oleh frekuensi pola makan tambahan ASI, khususnya pada bayi berusia 6 bulan ke atas. Setiap bayi memiliki pola makan yang beragam, mulai dari frekuensi pemberian dan kuantitas yang diberikan. Hal tersebut diduga akan mempengaruhi pola pemberian ASI yang dikonsumsi oleh bayi. Semakin sedikit frekuensi ASI yang diberikan, maka produksinya pun akan semakin rendah (Keating et al. 2013). Ketiga, rendahnya pola makan sumber laktagogum ibu, sehingga mempengaruhi kuantitas ASI (Yanti 2011;Tri 2004;Wirakusumah 2006;Wahyuni et al. 2012). Berdasarkan hal tersebut, untuk masa laktasi 3-5 bulan perlu upaya peningkatan kuantitas ASI yang dihasilkan dengan cara meningkatkan pola makan sumber laktagogum, meningkatkan frekuensi pemberian ASI
29
pada bayi, mengendalikan kondisi psikologis, dan menciptakan lingkungan sosial yang kondusif. Tabel 12 Kuantitas ASI harian berdasarkan wilayah Wilayah Jabar (n=36) Sumbar (n=17) Sulsel (n=23)
Kuantitas (ml/hari) 412±316 251±154 513±304
P Value 0.052
Jika ditelaah lebih jauh persebaran kuantitas ASI berdasarkan wilayah, Tabel 12 menggambarkan bahwa kuantitas ASI pada responden Sumatera Barat lebih rendah dibandingkan responden Sulawesi Selatan dan Jawa Barat. Kacang-kacangan, sayur dan buah merupakan jenis pangan sumber laktagogum yang dapat meningkatkan produksi ASI(Yanti 2011;Tri 2004;Wirakusumah 2006;Wahyuni et al. 2012). Tabel 13 Konsumsi kacang-kacangan, sayur, dan buah pada ibu menyusui berdasarkan wilayah Wilayah Jawa Barat Sumatera Barat Sulawesi Selatan P value
Jumlah konsumsi(g/hari) Kacang-kacangan Sayur 28.87±34.05 56.67±69.46 58.33±59.95 37.09±41.8 16.5±33.8 82.60±88.67 0.027* 0.052
Buah 38.54±76.41 35.5±44.75 40±97.47 0.990
*berbeda nyata pada p<0.05 Hasil recall pada Tabel 8 menunjukkan bahwa responden Sulawesi Selatan (82.60±88.67g/hr; 40±97.47g/hr) dan Jawa Barat (56.67±69.46 g/hr; 38.54±76.41 g/hr) memang cenderung lebih banyak mengkonsumsi sayur dan buah daripada responden Sumatera Barat (37.09±41.8g/hr; 35.5±44.75g/hr). Jenis pangan yang sering dikonsumsi seperti katuk, bayam, kangkung, wortel, daun singkong, daun pepaya, dan kacang panjang, jeruk, semangka, pepaya, tahu dan tempe (Tabel 21 pada Lampiran 1). Namun berdasarkan uji statistik, kuantitas ASI berdasarkan wilayah tidak berbeda signifikan (p=0.052) dan tidak berhubungan nyata (p>0.05) dengan konsumsi kacang(p=0.623), sayur (p=0.748) dan buah (p=0.066). Dugaan penyebab lain pada rendahnya kuantitas ASI Sumatera Barat ialah rendahnya frekuensi pemberian ASI (Keating et al.2013), kualitas dan kuantitas makanan, hormonal, dan kondisi psikologis dan sosial (Sulistyoningsih 2011). Oleh karena itu, guna meningkatkan kuantitas ASI responden Sumatera Barat disarankan meningkatkan frekuensi pemberian ASI, mengendalikan kondisi psikologis dan sosial, dan meningkatkan kualitas dan kuantitas makanan. Konsumsi dan Tingkat Kecukupan Asam Lemak Esensial ASI pada Bayi Kandungan asam lemak esensial ASI yang sangat bermanfaat bagi tubuh akan semakin baik berfungsi, jika dikonsumsi secara rutin dan dalam jumlah yang mencukupi bagi tubuh. Hal itu berkaitan dengan seberapa sering anak mengkonsumsinya baik dari ASI maupun makanan selain ASI. Konsumsi asam lemak esensial ASI harian dipangaruhi tidak hanya dari kuantitas ASI harian, tetapi juga kualitas kandungan asam lemak esensial ASInya. Konsumsi asam lemak esensial ASI harian pada bayi diperoleh dengan mengalikan kuantitas ASI sehari dengan kandungan asam lemak esensial ASI
30
dari setiap contoh. Konsumsi asam lemak esensial ASI harian pada bayi berdasarkan masa laktasi tercantum dalam Tabel 14. Tabel 14 Konsumsi harian asam lemak esensial ASI pada bayi berdasarkan masa laktasi Kandungan ARA EPA DHA Asam Linoleat
3-5 bln (n=19) 0.029±0.035 0.013±0.017 0.055±0.047 1.497±1.167
Konsumsi (g/hari) 6-8 bln 9-11 bln (n=18) (n=20)
P value 12-23 bln (n=19)
0.021±0.033 0.009±0.011
0.013±0.016 0.006±0.012
0.006±0.007 0.002±0.003
0.000*a/0.057;-0.274b 0.273 a /0.055;-0.270 b
0.041±0.078
0.052±0.077
0.013±0.020
0.001* a /0.049;-0.283* b
0.847±1.031
0.659±0.700
0.370±0.409
0.000* a /0.028;-0.313* b
a
b
0.071±0.047 0.028±0.038 0.110±0.192 0.016±0.013 0.000* /0.004;-0.408* Asam Linolenat a Uji beda Anova; *signifikan p<0.05 b Uji hubungan Spearman (p value;r); *signifikan p<0.05
Berdasarkan Tabel 14, konsumsi ARA berkisar 0.006-0.029 g/hr, EPA sebesar 0.002-0.013 g/hr, DHA sebesar 0.013-0.055 g/hr, asam linoleat berkisar 0.37-1.497g/hr, dan asam linolenat berkisar 0.016-0.110g/hr. Konsumsi asam lemak esensial ASI harian berbeda nyata (p<0.05) berdasarkan masa laktasi, terkecuali EPA dan tingkatnya semakin menurun dengan semakin bertambahnya masa laktasi. Tabel 15 Tingkat kecukupan harian asam lemak esensial ASI pada bayi berdasarkan masa laktasi Kandungan
Tingkat kecukupan(%) 3-5 bln 6-8 bln 9-11 bln (n=19) (n=18) (n=20) Asam Linoleata 313.0 179.4 143.4 Asam Linolenatb 2.3 1.1 2.7 a Termasuk kecukupan EPA dan DHA; b Termasuk kecukupan ARA
12-23 bln (n=19) 55.0 0.3
Berdasarkan masa laktasi, tingkat kecukupan harian asam linoleat (termasuk EPA dan DHA) dari ASI hampir seluruhnya telah memenuhi standar kecukupan harian, terkecuali pada masa laktasi 12-23 bulan (55%), sedangkan tingkat kecukupan asam linolenat (termasuk ARA) belum memenuhi standar tingkat kecukupan harian (Tabel 15). Hal tersebut sejalan dengan tingkat produksi ASI yang kian menurun dengan semakin bertambahnya usia, sehingga pada usia 6 bulan ke atas sangat diperlukan konsumsi makanan tambahan selain ASI guna memenuhi tingkat kecukupan harian asam lemak esensial. Menurut Marangoni et al. (2000) dan Milligan et al. (2008), selama 2 tahun pertama terjadi masa perkembangan otak yang pesat, sehingga asupan ARA dan DHA yang diperlukan otak pun dibutuhkan maksimal.
31
Tabel 16 Konsumsi harian asam lemak esensial ASI berdasarkan wilayah P Value
Konsumsi (g/hr) Kandungan ARA (C20:4n6) EPA (C20:5n3) DHA (C22:6n3) Asam Linoleat (C18:2n6c) Asam Linolenat (C18:3n3)
Jabar (n=36)
Sumbar (n=17)
Sulsel (n=23)
0.055±0.064
0.058±0.074
0.018±0.020
0.077
0.012±0.018
0.004±0.005
0.007±0.010
0.380
0.086±0.097
0.126±0.209
0.047±0.056
0.170
3.450±3.678
1.922±1.978
0.756±0.835
0.012*
0.156±0.189
0.156±0.189
0.070±0.062
0.149
*berbeda nyata pada p<0.05
Konsumsi asam lemak esensial ASI pada bayi Jawa Barat dan Sumatera Barat lebih tinggi dibandingkan Sulawesi Selatan (Tabel 16). Responden Jawa Barat memiliki kualitas asam lemak esensial ASI lebih rendah, namun kuantitas ASI yang dihasilkan lebih tinggi dibandingkan wilayah lain, sehingga konsumsi harian pun menjadi tinggi. Berbeda dengan responden Sumatera Barat, walaupun kuantitas ASI rendah, kualitas asam lemak esensial ASI lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Namun uji statistik menunjukkan bahwa hanya konsumsi asam linoleat saja yang berbeda nyata (p=0.012) antar ketiga wilayah. Tabel 17 Tingkat kecukupan harian asam lemak esensial ASI pada bayi berdasarkan wilayah
Kandungan Asam Linoleata Asam Linolenatb
Jabar (n=36) 701.8 4.8
Tingkat kecukupan (%) Sumbar (n=17) 410.4 4.9
Sulsel (n=23) 121.3 1.3
a Sudah termasuk kecukupan EPA dan DHA; b Sudah termasuk kecukupan ARA
Berdasarkan wilayah, tingkat kecukupan harian asam linoleat (termasuk EPA dan DHA) dari ASI telah memenuhi standar kecukupan harian, sedangkan tingkat kecukupan asam linolenat (termasuk ARA) belum memenuhi standar tingkat kecukupan harian (Tabel 17). Oleh karena itu, untuk meningkatkan tingkat kecukupan harian asam lemak esensial dari ASI tidak hanya dengan kuantitas ASI yang diperbanyak namun juga kualitas konsumsi pangan sumber lemak esensial ibu pun perlu ditingkatkan. Selain itu, untuk memenuhi tingkat kecukupan harian asam lemak esensial pada masa 6 bulan ke atas, perlu peningkatan konsumsi pangan sumber asam lemak esensial baik kualitas maupun kuantitas.
32
5 SIMPULAN DAN SARAN Simpulan Rataan usia ibu sebesar 29-30 tahun dan status gizi ibu tergolong normal (IMT 18.5-23.5). Usia, paritas, dan status gizi tidak berbeda nyata antar wilayah (p>0.05) dan ketiga variabel tersebut telah memenuhi kriteria inklusi. Pendapatan keluarga dan pendidikan berbeda nyata antar wilayah (p<0.05), dimana pendapatan wilayah Sulawesi Selatan (Rp 1.889.600±1.336.610) lebih tinggi dibandingkan wilayah lain, sedangkan pendidikan terakhir ibu wilayah Sumatera Barat (SMA/sederajat) lebih tinggi dibandingkan wilayah lain. Total asam lemak sampel berkisar 70.3-77.06%, sedangkan kadar lemak ASI berkisar 2.93-4.79 g. Kadar asam lemak esensial ASI berdasarkan masa laktasi tidak berbeda signifikan (p>0.05), namun berdasarkan wilayah berbeda signifikan pada kandungan ARA(p=0.002), DHA(p=0.000), dan asam linoleat ASI (p=0.002). Kadar asam lemak esensial lebih tinggi pada sampel yang berasal dari Sumatera Barat dibandingkan Jawa Barat dan Sulawesi Selatan. Konsumsi ikan laut dan ikan air tawar berkaitan dengan peningkatan kadar ARA, DHA, dan asam linolenat ASI. Kuantitas ASI harian semakin menurun sejalan bertambahnya masa laktasi (p=0.001;r= -0.443) dan kuantitas ASI harian tidak berbeda signifikan berdasarkan wilayah (p=0.052). Konsumsi asam lemak esensial ASI harian berbeda nyata (p<0.05) berdasarkan masa laktasi, terkecuali EPA. Berdasarkan wilayah, konsumsi asam lemak esensial ASI harian berbeda nyata hanya pada asam linoleat (p=0.012). Berdasarkan masa laktasi dan wilayah, tingkat kecukupan asam linolenat (termasuk ARA) belum memenuhi standar tingkat kecukupan harian, sedangkan tingkat kecukupan harian asam linoleat (termasuk EPA dan DHA) dari ASI telah memenuhi standar kecukupan harian terkecuali masa laktasi 12-23 bulan. Saran Rendahnya kadar asam lemak esensial ASI pada hampir sebagian besar contoh diduga disebabkan oleh rendahnya konsumsi serta kurang pemahaman terhadap pemilihan kualitas pangan sumber lemak dari hewani laut dan air tawar dibandingkan jenis pangan lainnya, sehingga perlu adanya penyuluhan tidak hanya kepada ibu hamil dan menyusui, namun sejak dini seorang anak sudah dapat dikenalkan akan pentingnya mengkonsumsi pangan sumber asam lemak esensial khususnya ikan. Dukungan program pemerintah seperti „Gemarikan‟dapat menjadi alternatif program yang dapat digencarkan. Rendahnya tingkat kecukupan asam linoleat (termasuk EPA dan DHA) pada bayi usia 12-23 bulan, maka perlu peningkatkan kuantitas serta kualitas konsumsi makanan pendamping ASI sumber asam linoleat, EPA, dan DHA. Penelitian selanjutnya dapat menelaah lebih jauh tentang kandungan asam lemak esensial ASI pada suku lain yang berbeda, tingkat kecukupan asam lemak esensial harian pada bayi dan baduta, dan meneliti kandungan zat gizi lain seperti kandungan mineral, vitamin, protein, dan asam amino esensial pada ASI serta hubungannya dengan pola makan.
33
DAFTAR PUSTAKA Academy of Breastfeeding Medicine. 2004. Clinical Protocol #9: Use of galactogogues in initiating or augmenting maternal milk supply. www.bfmed.org.[4November 2015] Almatsier S, Soetardjo S, Soekatri M. 2011. Gizi Seimbang Dalam Daur Kehidupan. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Almatsier S. 2006. Penuntun Diet. Jakarta: PT. Gramedia American Academy of Pediatrics Policy Statement. 2005. Breastfeeding and the use of human milk. Pediatrics. 115(5;2):496-506. Balaluka GB,Nabugobe PS, Mitangala PN, Cobohwa NB, Schirvel C, Dramaix MW, Donnen P. 2012. Community volunteers can improve breastfeeding among children under six months of age in The Democratic Republic of Congo crisis. International Breastfeeding Journal. 7:2. Behrman R, Robert MK, Ann MA. 2000. Ilmu Kesehatan Anak: Volume I (A. Samik Wahab, penerjemah). Jakarta: Penerbit Kedokteran EGC. Bertino E, Giribaldi M, Baro C, Giancotti V, Pazzi M, Peila C, Tonetto P, Arslanoglu S, Moro GE, Cavallarin L, Gastaldi D. 2013. Effect of prolonged refrigeration on the lipid profile, lipase activity, and oxidative status of human milk.JPGN. 56(4):390– 396. doi: 10.1097/MPG.0b013e31827af155 [BPS] Biro Pusat Statistik. 2014. Perkembangan Upah Minimum Regional/Propinsi di Seluruh Indonesia (Dalam Ribuan Rupiah). http://www.bps.go.id/tab_sub/view.php?kat=2&tabel=1&daftar=1&id_subyek= 19¬ab=13. [30 Desember 2014]. Direktorat Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja, Kemenakertrans Brenna JT, Salem N Jr, Sinclair AJ, Cunnane SC. 2009. [alpha]-Linolenic acid supplementation and conversion to n-3 long-chain polyunsaturated fatty acids in humans. Prostaglandins, Leukotrienes and Essential Fatty Acids(PLEFA). 80:85– 91 Campbell, Reece, Mitchel. 2002. Biologi Edisi Kelima. Jakarta : Erlangga. Castle, Paula. 2010. Omega – 3 and Omega – 6 Fatty Acid. United States: University of Nebraska – Lincoln. Chapman DJ. 2008. Short-term effects of smoking on breastfed infants. J Hum Lact. 24(1):92-93. Cordain L, Watkins BA, Florant GL, Kelher M, Rogers L, Li Y. 2002. Fatty acid analysis of wild ruminant tissues: evolutionary implications for reducing dietrelated chronic disease. EurJ ClinNutr. 56:181–191. Cornelia, Sumedi E, Anwar I, Ramayulis R, Iwaningsingsih S, Kresnawan T, Nurlita H. 2010. Penuntun Konseling Gizi. Jakarta : Abadi Publishing & Printing. Dalzell J, Rogersen E, Martindale L. 2010. Breastfeeding Contemporary Issues in Practice and Policy. United Kingdom: Radcliffe Publishing Ltd.
34
Damanik R, Wahlqvist ML Wattanapenpaiboon. 2006. Lactagogue effects of Torbangun, a Bataknese traditional cuisine. Asia Pac J Clin Nutr.15(2):267-274. [Depkes RI] Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2009a. Buku Gizi: kapankah masalah ini berakhir?.http://litbang. Depkes.go.id.[3 Juni 2013] ___________.2009b. Profil Kesehatan Indonesia. Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia. ___________. 2011. Riset Kesehatan Dasar (RISKESDAS) Laporan Nasional 2010. Jakarta: Balitbangkes, Depkes RI. http://www.litbang.depkes.go.id.[3 Juni 2013]. Dewey et al. 1986. Human Lactation 2 Maternal and Environmental Factors: Relationship of Maternal Age to Breast Milk Volume and Composition. New York and London:Plenum Press. Diharjo K, Riyadi S, Media Y. 1998. Masalah di seputar perilaku pemberian ASI secara eksklusif.Majalah Kesehatan Masyarakat Indonesia. XXVI(3). [EFSA]European Food Safety Authority . 2012. Scientific opinion on the tolerable upper intake level of eicosapentaenoic acid (EPA), docosahexaenoic acid (DHA) and docosapentaenoic acid (DPA). EFSA J.10(7):2815. Ehrenkranz RA.1986. Human Lactation 2 Maternal and Environmental Factors:The Influence of Maternal factors on Drug Levelsin Human Milk. New York and London:Plenum Press. Engler MM, Engler MB, Kroetz DL, Boswell KD, Neeley E, Krassner SM.1999. The effect of a diet rich in docosahexaenoic acid on organ and vascular fatty acid composition in spontaneously hypertensive rats. Prostaglandin, Leukotrienes, and Essential Fatty Acids (PLEFA). 61 (5):289-295. Finley DA, Lonnerdal B, Dewey KG, Grivetti LE. 1985. Breast milk composition: fat content and fatty acid composition in vegetarians and non-vegetarians. Am J Clin Nutr.41:787–800. Forsyth JS, Willatts P, Agostoni C, Bissenden J, Casaer P, Boehm G. 2005. Long chain polyunsaturated fatty acid supplementation in infant formula and blood pressure in later childhood: follow up a randomised controlled trial. Br Med J. 326 (7396):953. Francois CA, Connor SL, Wander RC, Connor WE. 1998. Acute effects of dietary fatty acids on the fatty acids of human milk.Am J Clin Nutr .67:301–308. Ganapathy S. 2009. Long chain polyunsaturated fatty acids. Indian Pediatrics.46:785790. Gao Y, Zhang J, Wang C, Li L, Man Q, Song P, Meng L, Lie O Froyland L. 2013. The fatty acid composition of colostrum in three geographic regions of China.Asia Pac J Clin Nutr. 22 (2):276-282. Gibney MJ, MM Barrie, MK John, A Leonore.. 2005. Public Health Nutrition. Oxford: Blackwell Publishing Ltd. Gibson RA, Kneebone GM. 1981. Fatty acid composition of human colostrum and mature breast milk.Am J Clin Nutr.34:252-257.
35
Giglia R, Binns C. 2006. Alcohol and lactation: A systematic review. Nutrition and Dietetics. 63:103. Hamzah, Sukri, Hariani. 2011. Perilaku Menyusui Bayi pada Etnik Bugis di Pekkae 2003.http://www.jurnalkesmas.org/berita-157-perilaku-menyusui-bayi-padaetnik-bugis-di-pekkae-2003.html Hardinsyah. 2011. Analisis konsumsi lemak, gula dan garam penduduk Indonesia. Gizi Indon. 34(2): 92-100. Horta BL, Bahl R, Martines JC, Victora CG. 2007. Evidence on The Long-Term Effects of Breastfeeding : Systematic Reviews And Meta Analyses. USA: WHO. Huang HL, Chuang LT, Li HH, Lin C, Glew RH. 2013. Docosahexaenoic acid in lactating women and neonatal plasma phospholipids and milk lipids of Taiwanese women in Kinmen: fatty acid composition of lactating women blood, neonatal blood and breast milk. Lipids in Health and Disease (LIPIDS HEALTH DIS). 12:27. Ilett KF et al. 2003.Use of nicotine patches in breast-feeding mothers:transfer of nicotine and cotinine into human milk. Clin Pharmacol Ther. 74:516-524. Innis. 2007. Dietary (n-3) fatty acids and braindevelopment. J. Nutr. 137: 855–859. Jirapinyo P, Densupsoontorn N, Wiraboonchai D, Vissavavejam U,Tangtrakulvachira T, Chungsomprasong P,Thamonsiri N, Wongarn R. 2008. Fatty acid composition in breast milk from 4 regions of Thailand. J Med Assoc Thai. 91(12): 1833-1838. Keating EM, Curtis BA, Slusher TM. 2013.Handbook of dietary and nutritional aspects of human Breast milk : Lactating women Milk Volume and Breast Milk Expression: Implications for Diet and Nutrition in Infants.Belanda:Wageningen Academic Publishers Kelishadi R, Hadi B, Iranpour R, Khosravi-Darani K, Mirmoghtadaee P, Farajian S, Poursafa P. 2012. A study on lipid content and fatty acid of breast milk and its association with mother‟s diet composition. J Res Med Sci. 17(9):824–827. [Kemenkes RI] Kementrian Kesehatan Republik Indonesia. 2010. Penuntun Hidup Sehat. Jakarta: UNICEF Indonesia. Khomsan. 2003. Pangan dan Gizi untuk Kesehatan. Jakarta: Rajagrafindo Persada. Kovacs A, Funke S, Marosvolgyi T, Burus I, Decsi T. 2005. Fatty acids in earlyhuman milk after preterm and full-term delivery. J Pediatr GastroenterolNutr. 41:454– 459. Kurniasih D, Hilmansyah H, Astuti MP, Imam S. 2010. Sehat dan Bugar berkat Gizi Seimbang. Jakarta: Kompas Gramedia. Lauritzen L, Carlson SE. 2011. Maternal fatty acid status during pregnancy andlactation and relation to newborn and infant status. Matern Child Nutr. 7:41–58. Linder MC. 1992. Biokimia Nutrisi dan Metabolisme.Jakarta: UI Press. Mahan KL, Stump SE. 2008. Krause’s Food and Nutrition Therapy.Canada: Saunders.
36
Makela J, Linderborg K, Niinikoski H, Yang B, Lagstro H .2013. Breast milk fatty acid composition differs between overweight and normal weight women: the STEPS Study. Eur J Clin Nutr. 52:727–735.DOI 10.1007/s00394-012-0378-5. Marangoni F., Agostoni C., Lammard A.M., Giovannini M., Galli C. & Riva E. 2000. Polyunsaturated fatty acid concentrations in human hindmilk are stable throughout 12-months of lactation and provide a sustained intake to the infant during exclusive breastfeeding: an Italian study. Br J Nutr .84:103–109. Martin MA, Lassek WD, Gaulin SJC, Evans R,Woo JG, Geraghty SR, Davidson BS, Morrow AL, Kaplan HS, Gurven MD. 2012.Fatty acid composition in the mature milk of bolivian forager-horticulturalists: controlled comparisons with a us sample.Lactating women and Child Nutrition. 8:404–418. Mennella J. 2001. Alcohol‟s effect on lactation. Alcohol Res Health. 25:230-234. Mennella JA, Pepino MY, Teff KL.2005. Acute alcohol consumption disrupts the hormonal milieu of lactating women. J Clin Endocrinol Metab. 90:1979-1985. Milligan LA, Rapoport SI, Cranfield MR, Dittus W, Glander KE, Oftedal OTet al. 2008. Fatty acid composition of wild anthropoid primate milks.Comp Biochem Phys B.149:74–82. Molto-Puigmarti C, Castellote AI, Carbonell-Estrany X, Lopez-Sabater MC. 2011. Differences in fat content and fatty acid proportions among colostrum, transitional, and mature milk from women delivering very preterm, preterm, and term infants. Clin Nutr.30:116-23 Mohrbacher. 2011. The magic number and long-term milk production.Clinical Lactation, Vol. 2-1, 15-18. United States Lactation Consultant Association Much D et al. 2013. Breast milk fatty acid profile in relation to infant growth and body composition: results from the INFAT study.Pediatr Res74:2. International Pediatric Research Foundation, Inc. doi:10.1038/pr.2013.82 Mulyani RI. 2014. Studi kandungan dan persentase daily value asam lemak esensial makanan Indonesia. [Skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Nasser. 2010.The effect of a controlled manipulation of lactating women dietary fat intake on medium and long chain fatty acids in human breast milk in Saskatoon, Canada. International Breastfeeding Journal.5:3. [NHMRC]National Health and Medical Research Council. 2012. Infant Feeding Guidelines. Australia: Commonwealth of Australia Newburg DS. 2001. Bioactive Components of Human Milk : Milk Lipids and The Milk Fat Globule. New York: Kluwer Academic/Plenum Publishers. __________. 2009. Neonatal protection by an innate immune system of human milk consisting of oligosaccharides and glycans. J Anim Sci. 87(13): 26-34. Nishimura RY, Barbieiri P, de Castro GSF, Jord~ao Jr AA, Perdon G, Sartorelli DS.2014. Dietary polyunsaturated fatty acid intake during late pregnancy affects fatty acid composition of mature breast milk. Nutr. 30: 685–689.
37
Olang B,Hajifaraji M, Ali MA, Hellstrand S, Palesh M, Azadnyia E, Kamali Z, Strandvik B, Yngve A 2012. Docosahexaenoic acid in breastmilk reflects lactating women fish intake in Iranian mothers.Food Sci Nutr.3:441-446. Old. 2000. Maternal Newborn Nursing: A Family and Community Based Approach 6thed. Philadelphia: Prentice Hall. Patin RV, Vítolo MR, Valverde MA, Carvalho PO, Pastore GM, Lopez FA. 2006. The influence of sardine consumption on the omega-3 fatty acid content of mature human milk. J Pediatr (Rio J).82(1):63-69. Prentice A.1986. Human Lactation 2 Maternal and Environmental Factors: The Effect of Maternal Parity on Lactational Performance in A Rural African Community. New York and London:Plenum Press. Read WWC, Lutz PG , Tashjian A. 1965. Human Milk Lipid : The influence of dietary carbohydrates and fat on the fatty acids of mature milk . A study in four ethnic groups. Am J Clin Nutr. 17;180-183. Rejeki S. 2008. Studi fenomenologi: pengalaman menyusui eksklusif ibu bekerja di wilayah Kendal Jawa Tengah. Media Ners. 2(1): 1 – 44. Riordan J. 2005. Breastfeeding and Human Lactation3rd Ed. Canada: Jones and Barlett Publisher Inc. Roesli U. 2000. Mengenal ASI Eksklusif. Jakarta: Trubus Agriwidya. Ronit L, Zaidenberg-Israeli G, Mimouni FB, Dollberg S, Shimoni E, Ungar Y, Mandel D. 2012. Human milk fatty acids profile changes during prolonged lactation: a cross-sectional study.IMAJ. 14;7-10. Saphier O, Blumenfeld J, Silberstein T, Burg T. 2013. Fatty acid composition of breastmilk of Israeli mothers.Indian Pediatrics. 50;1044-1046. Satyaningtyas E, Estiesih T. 2014. Roti tawar laktogenik, perangsang asi, berbasis kearifan lokal daun katuk (sauropus androgynus (l.) merr). Jurnal Pangan dan Agroindustri. 2(1):121-131. Scopesi F, Ciangherotti S, Lantieri PB, Risso D, Bertini I, Campone F, Pedrotti A, Bonacci W, Serra G. 2001. Maternal dietary PUFAs intake and human milk content relationships during the first month of lactation. Clin Nutr. 20:393-7. Sears W, Martha S. 2003. The Baby Book, Everything You Need to Know about Your Baby from Birth to Age Two. New York: Little, Brown and Company. Siriwardhana, Kalupahana NS, Moustaid-Moussa N.2012. Health benefits of n-3 polyunsaturated fatty acids: eicosapentanoic acid and docosahexaenoic acid. Adv Food Nutr Res.65:211-222. Suhardjo.1992. Pemberian Makanan pada Bayi dan Anak.Yogyakarta: Penerbit Kanisius. Sulistyoningsih H.2011. Gizi untuk Kesehatan Ibu dan Anak. Yogyakarta:Graha Ilmu. Szabo E et al.2010. Fatty acid profile comparisons inhuman milk sampled from the same mothers at the sixth week and thesixth month of lactation. J Pediatr Gastroenterol Nutr 2010;50:316–20.
38
Tri KW. 2004. Studi Kualitatif Tentang Peranan Faktor Kebudayaan Dalam Praktik Pemberian Makanan Pendamping Asi (Mp-Asi) Untuk Bayi Usia 0–4 Bulan (Studi Di Desa Jatimulyo Kecamatan Petanahan Kabupaten Kebumen Propinsi Jawa Tengah Tahun 2004. Fakultas Keperawatan, Universitas Diponegoro. Semarang. [UNDP] United Nations Development Programs. 2014. http://hdr.undp.org/en/statistic/ [30 November 2014]. Urwin et al. 2013. Immune factors and fatty acid composition in human milk from river/lake, coastal and inland regions of China. Br J Nutr. 109:1949–1961. doi:10.1017/S0007114512004084. Verawati B. 2012. Praktek pemberian ASI, PHBS, dan Morbiditas Kaitannya dengan Status Gizi Bayi Usia 0-12 Bulan [skripsi]. Departemen Gizi Masyarakat. Fakultas Ekologi Manusia. Institut Pertanian Bogor. Wahyuni E, Sumiati S, Nurliani. 2012. Pengaruh konsumsi jantung pisang batu terhadap peningkatan produksi ASI di wilayah Puskesmas Srikuncoro, Kecamatan Pondok Kelapa, Bengkulu Tengah.Buletin Penelitian Sistem Kesehatan. 15(4):418–424. Wan Z, Wang X, Xu L, Geng Q, Zhang Y.2010. Lipid content and fatty acids composition of mature human milk in rural North China. Br J Nutr. 103:913–916. [WHO] World Health Organization. 2001. Guiding Principles for Complementary Feeding of Breastfed Child. USA: Pan American Health Organization WHO, Division of Health Promotion and Protection Food and Nutrition Program. ______. 2006. Global Database on Body Mass Index. Geneva: WHO. Wirakusumah ES. 2006. Kandungan Gizi, Non Gizi serta Pengolahan Sayuran Indigenous. Makalah Disampaikan pada Pelatihan Promosi Pemanfaatan Sayuran Indigenous untuk Peningkatan Nutrisi Keluarga melalui Kebun Pekarangan.Jakarta 17-19 April 2006.22 hlm. Xie L, Innis SM. 2008. Genetic variants of the FADS1 FADS2 gene cluster areassociated with altered (n-6) and (n-3) essential fatty acids in plasma anderythrocyte phospholipids in women during pregnancy and in breast milkduring lactation. J Nutr.138:2222–22228. Yanti. 2011. Asuhan Kebidanan Masa Nifas. Bandung : Refika Aditama. Yu G, Duchen K, Bjorksten B.1998. Fatty acid composition in colostrum and mature milk from non-atopic and atopic mothers during the first 6 months of lactation. Acta Paediatr.87:729-736. Yuhas R, Pramuk K, Lien EL. 2006. Human milk fatty acid composition from nine countries varies most in DHA. Lipids. 41:851–858. Zhang J, Wang Y, Meng L, Wang C, Zhao W, Chen J,Ghebremeskel K, Crawford MA. 2009. Lactating women and neonatal plasma n-3 and n-6 fatty acids of pregnant women and neonates from three regions of China with contrasting dietary patterns. Asia Pac J Clin Nutr.18:377-88.
39
LAMPIRAN Data Hasil Recall Tabel 18 Presentase konsumsi pangan hewani (ikan dan non ikan) contoh berdasarkan wilayah
Jenis pangan hewani
Jabar n 12 20 32
Ikan Non Ikan Total
% 37.5 62.5 100
n 14 3 17
Wilayah Sumbar % 82.4 17.6 100.0
Sulsel n 20 6 26
% 76.9 23.1 100
Tabel 19 Konsumsi jenis ikan dan menu pada contoh berdasarkan wilayah Jenis Pangan Ikan teri
Wilayah Sulsel Sumbar dan Jabar
Ikan Bandeng
Sulsel
Ikan kembung
Sulsel
Ikan tongkol
Sumbar
Ikan mujair Ikan mas
Jabar Sumbar Jabar Jabar
Menu
URT
Berat
Kandungan (mg/100g pangan) ARA
EPA
DHA
Linoleat
Linolenat
150 75 30
27.8 10.3 6.5
27.8 20.5 13.6
68.1 68.3 49.4
1122.6 1352.0 545.3
32.2 35.9 15.6
Perkedel ikan Sambal ikan teri segar Ikan teri goreng
3 ptg 5 sdm 2 sdm
ikan bandeng bakar ikan bandeng goreng Ikan goreng Ikan layang goreng ikan bumbu kuning Gulai ikan Ikan goreng Ikan bakar
1 ptg 1 ptg 3 ekr kcl 1/2 ptg 1/2 ptg 1 ptg 1 ptg 1 ptg
95 64 75 45 25 75 50 75
59.7 18.4 6.0 3.6 2.0 14.8 57.0 31.0
80.7 42.8 7.3 4.4 2.4 0.0 9.9 106.7
166.5 166.6 43.9 26.3 14.6 215.6 0.0 453.1
200.8 668.9 331.1 198.6 110.4 159.8 508.1 39.6
0.0 94.8 0.8 0.5 0.3 42.0 23.6 14.7
Tongkol pindang goreng Ikan balado Ikan goreng Ikan pindang
1 ptg 1 ptg 1 ekor 1/2 ekor
40 50 60 60
45.6 4.3 5.1 21.1
7.9 3.6 4.3 11.5
0.0 17.4 20.9 34.3
406.5 227.1 272.5 1086.3
18.8 13.2 15.8 49.3
40
Tabel 20 Presentase konsumsi sayur contoh berdasarkan wilayah Wilayah Sumbar n % 12 70.6 5 29.4 17 100
Konsumsi Sayur Jabar n 18 14 32
Ya Tidak Total
% 56.3 43.8 100
Sulsel n 19 7 26
% 73.1 26.9 100
Tabel 21 Konsumsi sayur pada contoh berdasarkan wilayah Wilayah Jabar
Sumbar
Sulsel
Jenis sayur
URT
Berat Presentase konsumsi contoh n % sayur sop 1 mangkuk kecil 100 3 17.6 sayur asem 1 mangkuk kecil 100 4 23.5 sayur bayam 1 mangkuk kecil 50 6 35.3 tumis kangkung 2 sdm 25 2 11.8 buntil singkong 2 bh 200 1 5.9 sayur katuk 2 sdm 40 1 5.9 tumis bayam 0.5 mangkuk 50 5 41.7 tumis kangkung 2 sdm 25 4 33.3 daun singkong 0.5 mangkuk 100 2 16.7 Brokoli 3 bh 30 1 8.3 tumis bayam 3 sdm 100 5 26.3 tumis kangkung 3 sdm 35 3 15.8 tumis kacang panjang 4 sdm 60 5 26.3 sayur jantung pisang 3 sdm 100 1 5.3 sayur sop 1/2 mangkuk 100 3 15.8 daun katuk 1 mangkuk 100 1 5.3 Sayur labu siam 1 mangkuk 120 1 5.3
Tabel 22 Kandungan asam lemak esensial berdasarkan masa laktasi Masa Laktasi
Kandungan 3-5 bln (n=19) 0.09±0.10 0.05±0.04 0.18±0.17 4.92±3.26
6-8 bln (n=18) 0.13±0.14
9-11 bln (n=20) 0.12±0.09
12-23 bln (n=19) 0.11±0.09
ARA (C20:4n6) a EPA (C20:5n3) a 0.05±0.05 0.04±0.08 0.05±0.14 DHA (C22:6n3) a 0.20±0.20 0.21±0.16 0.20±0.17 Asam Linoleat 5.09±3.51 5.46±3.20 5.50±3.40 (C18:2n6c) a Asam Linolenat 0.19±0.09 0.18±0.14 0.30±0.42 0.23±0.09 (C18:3n3) a a Rata-rata ± standar deviasi (% dari total asam lemak atau g/100 g lemak) b Uji beda Anova; *signifikan p<0.05 c Uji hubungan Spearman; **signifikan p<0.01
P valueb
P value;r c
0.747 0.997 0.952 0.933
0.261;-0.135 0.013*;0.293 0.558;-0.071 0.133;-0.180
0.363
0.123;-0.185
41
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan di Stockholm, Swedia pada tanggal 12 Mei 1989 dari pasangan Bapak Nahrowi Ramli dan Ibu Siti Fatimah. Penulis merupakan putri pertama dari empat bersaudara. Penulis telah menikah dengan Maryono dan dikaruniai dua orang anak bernama Tsaqif Arsyad Abdurrahman dan Qonita Khalisa Salsabila. Penulis memulai pendidikannya di Taman Kanak-Kanak Tsunaeri, Jepang pada tahun 1993. Selanjutnya penulis menyelesaikan studi pendidikan dasar tahun 2002 di SDN Polisi 5 Bogor dan pendidikan menengah pertama pada tahun 2005 di SMP Negeri 4 Bogor. Tahun 2007 Penulis berhasil lulus dari SMA Negeri 1 Bogor dan pada tahun yang sama Penulis pun melanjutkan studi ke Institut Pertanian Bogor melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI). Alhamdulillah Penulis diterima di Departemen Gizi Masyarakat yang berada di Fakultas Ekologi Manusia dan menjadi salah satu jurusan terfavorit di IPB. Selama menempuh pendidikan di Departemen Gizi Masyarakat, penulis pernah terlibat aktif dalam anggota dari klub kulinari Himpunan Mahasiswa Gizi (HIMAGIZI) pada tahun 2008-2009, terlibat dalam kepanitiaan Funny Fair dan Nutrition Fair yang diadakan oleh HIMAGIZI, dan pernah menjadi koordinator acara dari Seminar Gizi Nasional (SENZASIONAL) pada tahun 2010. Pada tahun 2011, penulis melanjutkan studi S2 sekaligus menikah. Sambil menjalani kehidupan rumah tangga, penulis menyelesaikan studi dan aktif dalam mengembangkan IMAGO „LSM untuk kalangan pelajar Kota Bogor‟ khususnya kegiatan di bidang kesehatan.