VOLUME VII | NO. 57 / MEI 2012
Kepentingan Nasional Di Balik Pembelian Saham Newmont ISSN 1907-6320 MEDIAKEUANGAN Saatnya Menata Industri Pertambangan
Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
1
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bersama dengan para pimpinan Lembaga Tinggi Negara menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan Pajak Penghasilan Orang Pribadi tahun 2011 di Aula Djuanda 1, Kementerian Keuangan, Jakarta pada Senin (19/3).
2
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
dari lapangan banteng
Urgensi Pembelian Divestasi Saham PT NNT
M
enteri Keuangan Agus D. W. Martowardojo hadir untuk membacakan secara langsung Keterangan Penutup (Closing Statements) Pemerintah dalam Permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) antara Presiden dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang Pelaksanaan Kekuasaan Pemerintahan Menurut UUD 1945 terkait pembelian divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) di Mahkamah Konstitusi, Jakarta, pada Selasa (8/5). Sidang SKLN telah memasuki tahap akhir. Pemerintah sebagai Pemohon dan DPR serta BPK sebagai Termohon I dan Termohon II telah menyampaikan kesimpulan. Pemerintah tetap pada pandangan bahwa sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945, presiden mempunyai tugas untuk dapat mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana yang diamanatkan dalam UUD 1945. Salah satu bagian dari kewenangan konstitusional presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 adalah kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara yang sebagian kekuasannya dikuasakan kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Dalam kapasitas itulah, Menkeu memiliki kewenangan untuk melakukan investasi antara lain dalam bentuk pembelian 7 persen divestasi saham PT NNT. Pemerintah mendapatkan hak untuk melakukan pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT Tahun 2010 berdasarkan Kontrak Karya dengan PT NNT pada tanggal 2 Desember 1986. Divestasi atas 7 persen saham kepemilikan asing di PT NNT Tahun 2010 merupakan kewajiban terakhir dalam pelaksanaan divestasi yang diatur dalam kontrak karya tersebut. Di luar itu, pembelian saham divestasi PT NNT merupakan implementasi pelaksanaan pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Dengan dibeli oleh Pemerintah Pusat, maka kepemilikan saham nasional dalam PT NNT menjadi 51 persen. Jumlah ini telah mewakili semua unsur kepentingan nasional. Kepemilikan saham oleh beberapa unsur nasional secara bersamasama ini diharapkan bisa menjaga kepentingan nasional dalam pelaksanaan perusahaan ke depan. Dalam keterangan penutupnya, Menkeu menegaskan bahwa 7 persen saham divestasi yang dibeli pemerintah adalah saham penentu (swing shares) bagi tercapainya kepemilikan saham nasional 51 persen. Pemerintah
berhasil mendapatkan keistimewaan dalam bentuk hak menempatkan komisaris, harga saham yang khusus, dan kondisi-kondisi keutamaan yang baik. Pemerintah juga dapat memastikan bahwa pengelolaan PT NNT ke depan akan menjadi contoh pengelolaan perusahaan PMA pertambangan yang baik, benar, taat azas, dan berkinerja prima di Indonesia, serta memenuhi semua kewajiban kepada negara, patuh menjaga lingkungan hidup, dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya pada masyarakat. Pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT ini juga menjadi sangat penting karena ini adalah kali pertama pemerintah menggunakan hak atas kepemilikan saham dalam kontrak karya. Putusan Mahkamah Konstitusi akan sangat berpengaruh pada usaha-usaha pemerintah selanjutnya untuk memperoleh kepemilikan saham kontrak karya untuk kepentingan nasional. Selain menyajikan ulasan seputar pembelian saham divestasi PT NNT oleh pemerintah pusat, kami juga memiliki beberapa menu lain. Pada rubrik wawancara, Anda dapat menyimak perbincangan kami dengan Budi Wiyanto, Pjs. Kepala Kantor Pelayanan Pajak Wajib Pajak Besar Pertambangan. KPP ini merupakan kantor hasil transformasi dari KPP Wajib Pajak Besar Satu yang beroperasi dengan tugas dan fungsi baru mulai 1 April 2012. Staf Ahli Menteri Keuangan Bidang Kebijakan dan Regulasi Jasa Keuangan dan Pasar Modal, Ngalim Sawega, menjadi narasumber kami untuk rubrik Profil. Kegiatan sosialisasi Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang menjadi pengisi kolom Reportase. Sementara dari daerah, kami sajikan profil Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat I. Khusus dalam rangka memperingati Hari Pendidikan Nasional, kami mengangkat profil Ita Hartati, Widyaiswara lulusan University of Colorado at Denver, Amerika Serikat, yang saat ini mengabdikan diri pada Balai Diklat Keuangan Makassar. Masih banyak sajian kami yang dapat Anda nikmati pada edisi ini. Selamat membaca! Redaksi RALAT Sehubungan dengan adanya kesalahan pencantuman tanggal kerjasama Kemenkeu dengan Palang Merah Indonesia, pada rubrik Lintas Peristiwa pada halaman 23, yang seharusnya (11/4) tertulis (20/4) pada Media Keuangan Volume VII Nomor 56/April 2012, Tim Redaksi Media Keuangan menyampaikan permohonan maaf atas kesalahan tersebut. Terima kasih.
Diterbitkan oleh: Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan. Pelindung: Menkeu RI Agus D. W. Martowardojo. Ketua Pengarah: Sekjen Kemenkeu Kiagus Ahmad Badaruddin. Pemimpin Umum/Penanggung Jawab: Kabiro Komunikasi dan Layanan Informasi Kemenkeu Yudi Pramadi. Pemimpin Redaksi: Herry Siswanto. Redaktur Pelaksana: Yeti Wulandari. Dewan Redaksi: Supriyatno, Sasi Atiningsih, Agung Ardhianto, Fery Gunawan, Makmun Syadullah. Tim Redaksi: Rahmat Widiana, Rizwan Pribhakti, Zachrony, Bikner L. Tobing, Nico Aditia, Bagus Wijaya, Langgeng Wahyu P., Iin Kurniati, M. Iqbal Pramadi, Dwinanda Ardhi, Arfindo Briyan. Sekretariat: Eva Lisbeth, Hesti Sulistiowati, Indri Maria, Lili Marini T., Sularno. Desain Grafis dan Layout: Wardah Adina, Dewi Rusmayanti. Alamat Redaksi: Gedung Djuanda (Gedung E) Lantai 12, Jl. Dr. Wahidin No. 1, Jakarta Telp : (021) 3849605, 3449230 pst. 6328. e-mail:
[email protected] website: http://www.depkeu.go.id Redaksi menerima kontribusi tulisan dan artikel yang sesuai dengan misi penerbitan. Redaksi berhak mengubah isi tulisan tanpa mengubah maksud dan substansi. Bagi tulisan atau artikel yang dimuat akan mendapatkan imbalan sepantasnya.
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
3
daftar isi
LAPORAN UTAMA 6 9 12 14
Kepentingan Nasional Di Balik Pembelian Saham Newmont Pembelian Saham Divestasi Newmont: Tegakkan Kedaulatan Negara Saatnya Menata Industri Pertambangan Pemerintah Tak Perlu Meminta Izin DPR
WAWANCARA 16
Meningkatkan Penerimaan Pajak dari Sektor Pertambangan
PROFIL 18
Financial Sector Authority untuk Menyelamatkan Sistem Perbankan
LINTAS PERISTIWA 22 22
4
Seminar Kebijakan Anggaran Responsive Gender Official Launch Asia Bond Monitor
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
23 23
Penggagalan Penyelundupan Terbesar Heroin Penerusan Hibah untuk Pemerintah Aceh
REPORTASE 24 26
Pentingnya Rupiah Bagi NKRI Pelayanan Terbaik, Tepat Waktu, dan Terukur
INFO KEBIJAKAN 28 29 30
Upaya Peningkatan Pelayanan Lelang Memperkuat Ekonomi Nasional melalui Gernas Kakao Ketentuan Down Payment Kendaraan Bermotor
ARTIKEL 33
Menuju Bangsa Inovatif
RIVIU 35
Riviu atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/ PMK.02/2012 Tentang
Tata Cara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran, Dan Pertanggungjawaban Subsidi Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu
ENGLISH CORNER 37
Improving Mining Industry
RENUNGAN 38
Galau
RESENSI 39 39 39
Curcol Kantor : Asal Usil Anak Kantoran KPK in Action Do Investors Forecast Fat Firms? Evidence From The Gold Mining Industry
INPIRASI 40
Memaknai Hari Pendidikan Nasional: Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya
43
BUNG PISKAL
Sambutan Menteri Keuangan
P
uji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia yang diberikan, sehingga sampai dengan saat ini kita diberikan berbagai nikmat untuk dapat terus berkarya demi negara kita tercinta.
Pembaca Media Keuangan yang budiman, sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945, Presiden mempunyai tugas untuk dapat mewujudkan tujuan bernegara sebagaimana diamanatkan dalam UUD 1945. Adapun salah satu bagian dari kewenangan konstitusional Presiden sebagai pemegang kekuasaan pemerintahan menurut UUD 1945 adalah kekuasaan atas pengelolaan keuangan negara. Untuk membantu Presiden dalam menyelenggarakan pengelolaan keuangan negara dimaksud, sebagian dari kekuasaan tersebut dikuasakan kepada Menteri Keuangan, sehingga Menteri Keuangan sebagai pembantu Presiden adalah Pengelola Fiskal yang juga menjalankan fungsi Bendahara Umum Negara (BUN). Selaku BUN, Menteri Keuangan memiliki kewenangan sebagai pengelola keuangan dalam arti seutuhnya, termasuk kewenangan untuk melakukan investasi pemerintah antara lain dalam bentuk pembelian 7% saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) Tahun 2010. Hak Pemerintah untuk melakukan pembelian 7% saham divestasi PT NNT Tahun 2010 didasarkan pada Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dan PT NNT pada tanggal 2 Desember 1986. Divestasi atas 7% saham kepemilikan asing di PT NNT tahun 2010 merupakan kewajiban terakhir dalam pelaksanaan divestasi yang diatur dalam Kontrak Karya dimaksud. Tujuan pelaksanaan divestasi PT NNT itu sendiri merupakan keputusan yang sejatinya ditujukan untuk memberikan manfaat seluas-luasnya bagi rakyat Indonesia untuk mewujudkan tujuan bernegara dalam Pembukaan UUD 1945, yaitu “memajukan kesejahteraan umum”dan dalam rangka melaksanakan amanat Pasal 22 ayat (2) dan ayat (3) UUD 1945 mengenai penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan yang menguasai hajat hidup orang banyak dan mengenai penguasaan bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya oleh negara untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. Dengan melakukan pembelian 7% saham divestasi PT NNT tahun 2010 oleh Pemerintah Pusat maka diharapkan kepemilikan 51% saham PT NNT oleh kepemilikan nasional, telah mewakili semua unsur kepentingan nasional, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan perusahaan swasta nasional, sehingga kepemilikkan saham oleh beberapa unsur nasional secara bersama-sama akan menjaga kepentingan nasional dalam pelaksanaan kegiatan perusahaan ke depan.
Meskipun Pemerintah hanya membeli 7% saham divestasi PT NNT, namun kedudukan Pemerintah sangat strategis, sehingga tidak tepat apabila ada pendapat yang menyatakan kepemilikkan yang hanya 7% tidak dapat mempengaruhi kebijakan Perusahaan. Hal ini disebabkan 7% saham divestasi PT NNT yang dibeli Pemerintah adalah saham penentu (swing shares) bagi tercapainya kepemilikan saham nasional 51%. Oleh karena itu, Pemerintah dapat memastikan bahwa pengelolaan PT NNT ke depan akan menjadi contoh pengelolaan perusahaan PMA pertambangan yang baik, benar, taat azas, dan bekerja prima di Indonesia, serta memenuhi semua kewajiban pada negara, patuh pada lingkungan hidup, dan memberikan manfaat yang sebesar-besarnya pada masyarakat. Strategi ini juga sejalan dengan semakin besarnya peran pemerintah di negara-negara lain dalam industri pertambangan. Terkait sumber dana pembelian 7% saham divestasi PT NNT, dapat disampaikan bahwa sumber pendanaan dimaksud berasal dari Dana Investasi Pemerintah dalam APBN TA 2011 sebesar Rp1 Triliun yang telah disetujui oleh DPR. Sesuai dengan ketentuan Pasal 15 ayat (5) UU Keuangan Negara dan UU APBN-P TA 2011 telah dirinci alokasi dana investasi Pemerintah sebesar Rp1 Triliun dan tidak terdapat catatan apapun terkait pelaksanaannya, sehingga Pemerintah mempunyai kewenangan untuk melaksanakan investasi tanpa persetujuan kembali oleh DPR. Sedangkan kekurangan dana sebesar Rp1,3 triliun untuk membeli 7% saham divestasi PT NNT tahun 2010 akan menggunakan pendapatan dari hasil investasi PIP pada tahun-tahun sebelumnya yang dapat digunakan langsung sesuai Pasal 69 ayat (6) UU Perbendaharaan Negara. Dapat disampaikan bahwa Pemerintah sampai dengan saat ini tetap berkeyakinan bahwa pelaksanaan pembelian 7% saham divestasi PT NNT telah sesuai dengan kewenangan konstitusional yang dimiliki oleh Pemerintah, dan kewenangan dimaksud dilakukan dalam rangka mengedepankan kepentingan nasional. Oleh karena itu, tidak berlebihan kiranya jika Pemerintah berharap agar keyakinan tersebut didukung oleh Mahkamah Konstitusi. Dengan dikabulkannya permohonan dimaksud oleh Mahkamah Konstitusi maka Mahkamah Konstitusi telah meletakkan kembali landasan konstitusional bagi Pemerintah dalam melaksanakan investasi yang merupakan salah satu bentuk pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari wewenang pemerintahan. Semoga keputusan yang diambil oleh Mahkamah Konstitusi adalah yang terbaik bagi bangsa dan negara, sehingga kedepannya penyelenggaraan negara bisa berjalan lebih lancar.
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
5
laporan utama
Kepentingan Nasional Di Balik Pembelian Saham Newmont Teks: Dwinanda Ardhi Foto: Kukuh Perdana
Pada tanggal 6 Mei 2011, Nusa Tenggara Partnership B. V. (pemegang saham Newmont Mining Corporation di PT Newmont Nusa Tenggara bersama-sama dengan Sumitomo Corporation of Japan) menandatangani kesepakatan pelepasan saham dengan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebagai wakil pemerintah untuk pembelian sisa divestasi saham PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) sebesar 7 persen. Proses pembelian saham divestasi ini belum seluruhnya rampung, antara lain karena masih adanya perbedaan pandangan antara Pemerintah dengan DPR dan BPK soal permohonan persetujuan DPR yang mesti dikantongi pemerintah dalam melakukan pembelian saham di atas. Sekretaris Jenderal Kemenkeu, Ki Agus Ahmad Badaruddin, menjelaskan kronologis sekaligus perkembangan terakhir persoalan ini. 6
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
P
embelian 7 persen saham divestasi PT NNT tahun 2010 ini merupakan implementasi Pasal 24 ayat (3) dan (4) Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dan PT NNT yang mewajibkan Pemegang Saham Asing PT NNT untuk mendivestasikan sahamnya kepada Pihak Indonesia. Divestasi saham tahun 2010 merupakan kesempatan terakhir Pemerintah untuk bisa memiliki saham PT NNT. Di samping itu, pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT bertujuan untuk menjalankan amanat konstitusi terkait penguasaan sumber daya alam sebagaimana yang termaktub dalam Pasal 33 ayat (2) dan (3) UUD 1945. Badar—sapaan akrab Ki Agus Ahmad Badaruddin—menegaskan bahwa pelaksanaan pembelian saham divestasi PT NNT dilakukan pemerintah dalam kerangka investasi jangka panjang non permanen. “Pelaksanaan investasi pemerintah telah diatur secara tegas dalam Pasal 41 ayat (1), (2), dan (3) UU Perbendaharaan Negara,” ungkap dia. Sumber dana yang digunakan adalah dana investasi pemerintah yang telah disetujui oleh DPR pada APBN Tahun Anggaran 2011 sebesar Rp1 trilliun dan sebagian hasil keuntungan PIP sebelumnya. Berpegang pada ketentuan peraturan perundang-undangan di atas, pemerintah berpendapat pembelian saham divestasi PT NNT tidak perlu lagi meminta persetujuan DPR. Soal ini, pemerintah berbeda pendapat DPR dan BPK. “Kami berpendapat ada pelaksanaan kewenangan konstitusional presiden yang telah diambil, dikurangi, dihalangi, diabaikan dan/atau dirugikan oleh DPR dan BPK,” kata Badar. Mengingat adanya perbedaan pendapat antara Pemerintah dan DPR serta BPK mengenai pelaksanaan kewenangan konstitusional dalam hal melakukan pembelian saham divestasi dimaksud dan mengingat negara Indonesia adalah negara hukum, maka untuk dapat menyelesaikan perbedaan atas pelaksanaan kewenangan konstitusional dimaksud, presiden menggunakan upaya hukum yang tersedia di dalam Pasal 24C ayat (1) UUD
Harapannya antara lain pemerintah dapat lebih baik dalam upaya mengamankan penerimaan negara dan mengurangi dampak negatif perusakan lingkungan.
1945, yaitu mengajukan permohonan sengketa kewenangan lembaga negara ke Mahkamah Konstitusi sebagai “the sole interpreter of the constitution”. Pemerintah sebagai pemohon berhadapan dengan DPR dan BPK masing-masing sebagai Termohon I dan II.
Memperpanjang perjanjian Dalam rangka menghargai jalannya proses dan menunggu putusan sidang SKLN, pemerintah memperpanjang perjanjian jual-beli 7 persen saham divestasi PT NNT yang berakhir pada 6 Mei 2012 selama 3 bulan hingga Agustus. Badar mengapresiasi langkah Majelis Hakim Mahkamah Konstitusi yang telah memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada para pihak untuk membuktikan dan memperkuat dalil-dalil yang disampaikan dalam permohonan atau keterangan para pihak. Dalam rangka meyakinkan Mahkamah Konstitusi, pemerintah telah menghadirkan 10 orang Ahli dan 1 orang Saksi dalam rangkaian persidangan SKLN. Selain menghadirkan para Ahli dalam persidangan, pemerintah juga memberikan keterangan tertulis para Ahli lain yang tidak sempat dihadirkan dalam persidangan dikarenakan keterbatasan waktu. Dalam beberapa kesempatan, Mahkamah Konstitusi juga berinisiatif untuk mengundang Ahli dan Saksi selain yang diajukan oleh Para Pihak guna mendapatkan pengetahuan serta keterangan yang seluas-luasnya dan berusaha seobjektif mungkin. “Kami menyambut baik inisiatif tersebut, karena
dengan itu, maka Mahkamah Konstitusi dapat mengeluarkan putusan yang seadiladilnya,” kata Badar. Setelah rangkaian persidangan yang berjalan, Badar meyakini bahwa sebagai lembaga yang berperan sebagai “the sole interpreter of the constitution”, Mahkamah Konstitusi akan mengembalikan landasan konsitusional presiden dalam melakukan investasi yang merupakan salah satu bentuk pengelolaan keuangan negara sebagai bagian dari kekuasaan pemerintahan. SKLN dipandang sebagai sarana terbaik untuk menyelesaikan perbedaan pandangan dalam perkara pembelian saham divestasi PT NNT. Namun, sebelum membawa permasalahan ini ke Mahkamah Konstitusi, pemerintah sebenarnya telah mendapatkan dukungan dari 8 universitas negeri terkemuka di Indonesia. Melalui seminar-seminar yang diadakan di 8 Fakultas Hukum universitas-universitas tersebut, dukungan dari sejumlah akademisi di bidang hukum bisnis dan tata negara mengalir deras kepada Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara. Mereka sepakat dengan pemerintah bahwa pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT tanpa memerlukan persetujuan DPR terlebih dahulu.
Benchmark kebijakan Badar menekankan bahwa pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT merepresentasikan upaya untuk mengawal kepentingan negara dalam pemanfaatan sumber daya alam. Dengan penguasaan saham tersebut, ungkap Badar, ”Pemerintah akan memiliki leverage untuk masuk ke dalam proses pengambilan keputusan perusahaan dan mendapatkan informasi vital perusahaan.” Harapannya antara lain pemerintah dapat lebih baik dalam upaya mengamankan penerimaan negara dan mengurangi dampak negatif perusakan lingkungan. Dari situ, akses terhadap kegiatan operasi perusahaan, khususnya yang bergerak di MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
7
bidang sumber daya alam, menjadi sangat penting bagi pengamanan kepentingan publik. Yang tak kalah penting, pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT ini adalah kali pertama pemerintah menggunakan hak atas kepemilikan saham dalam kontrak karya. Keberhasilan pembelian saham divestasi PT NNT akan menjadi benchmark pada usaha-usaha pemerintah memperoleh kepemilikan saham kontrak karya untuk kepentingan nasional.
Komposisi kepemilikan saham Jika proses pembelian 7 persen saham PT NNT oleh PIP selesai, struktur kepemilikan saham di PT NNT menjadi 49 persen milik Nusa Tenggara Partnership, 24 persen PT Multi Daerah Bersaing, 17,8 persen PT Pukuafu Indah, 7 persen PIP, dan 2,2 persen milik PT Indonesia Masbaga Investama. Dengan komposisi kepemilikan saham ini, 51 persen saham PT NNT yang dimiliki oleh pihak nasional diharapkan telah mewakili semua unsur kepentingan, yaitu Pemerintah Pusat, Pemerintah Daerah, dan perusahaan swasta nasional. “Kepemilikan saham oleh beberapa unsur nasional secara 8
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
bersama-sama akan menjaga kepentingan nasional dalam pelaksanaan perusahaan,” tandas Badar. Dalam kesempatan tersebut, Badar memberikan sedikit gambaran tentang pemilihan PIP sebagai sarana pemerintah untuk melakukan pembelian saham divestasi PT NNT. Dalam menjalankan tugas dan fungsinya, PIP antara lain menganut konsep sovereign wealth fund. Konsep ini sebenarnya sudah diperkenalkan pada tahun 1953 oleh Kuwait Investment Authority. Namun, konsep ini baru diimplementasikan di Indonesia setelah berdirinya PIP. “Pada awalnya konsep sovereign wealth fund diperuntukkan untuk menutup selisih kebutuhan pembiayaan pembangunan infrastruktur melalui kerja sama Pemerintah-Swasta maupun masyarakat,” ujar Badar. Seiring berjalannya waktu, investasi yang dilakukan oleh PIP menjadi lebih fleksibel. dan diharapkan dapat menangkap peluang-peluang investasi yang bukan hanya membawa keuntungan secara
Keterangan Foto: Sidang SKLN tentang pembelian saham divestasi PT Newmount di Mahkamah Konstitusi (10/4). Foto: Langgeng W. P.
ekonomi, melainkan juga sosial.“Salah satunya adalah pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT,” sambung dia.
Harapan Di ujung perbincangan, Badar menyampaikan harapannya terkait putusan sidang SKLN. Dia berharap Mahkamah Konstitusi yang mempunyai kewenangan konstitusional untuk melaksanakan prinsip checks and balances menempatkan semua lembaga negara dalam kedudukan setara. Pemerintah mengharapkan adanya putusan terbaik Mahkamah Konstitusi terkait permasalahan ini. Selain bertujuan untuk mendapatkan kepastian hukum, putusan Mahkamah Konstittusi dapat menjadi acuan dalam mewujudkan keseimbangan penyelenggaraan negara dimana masing-masing lembaga negara dapat melaksanakan fungsi sesuai kewenangannya.
Pembelian Saham Divestasi Newmont:
Tegakkan Kedaulatan Negara Teks: Dwinanda Ardhi dan Arfindo Briyan Foto: Langgeng W. P.
Pembelian 7 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) tidak lepas dari berbagai pro dan kontra. Kementerian Keuangan antara lain pernah kedatangan demonstran yang mengatasnamakan Gerakan Pemuda Mahasiswa Kabupaten Sumbawa Barat (KSB). Mereka menuntut pemerintah segera membatalkan rencana pembelian saham divestasi. Dalam salah satu tuntutannya tertulisnya, demonstran menyerukan agar divestasi saham 7 persen PT NNT mutlak diberikan kepada KSB sebagai daerah penghasil dan daerah yang akan langsung terkena dampak akibat dari kegiatan operasional tambang PT NNT.
M
enanggapi penilaian semacam itu, Direktur Jenderal Kekayaan Negara Hadiyanto, mengungkapkan, “Pembelian saham divestasi saham PT NNT tahun 2010 kiranya dapat dipandang sebagai upaya penegakan kedaulatan negara kesatuan RI dan pemerataan kemakmuran bagi seluruh rakyat Indonesia.” Menurut dia, pemberian otonomi kepada daerah seharusnya tidak dimaknai sebagai eksklusivitas daerah untuk menikmati manfaat sumber daya alam di daerahnya. Salah satu polemik dalam pembelian saham divestasi PT NNT adalah apakah divestasi saham PT NNT oleh Menteri Keuangan melalui Pusat Investasi Pemerintah (PIP) sebesar 7 persen memerlukan persetujuan DPR? Menurut Hadiyanto, dari sisi anggaran, pemerintah memandang bahwa persetujuan DPR telah diperoleh dalam persetujuan atas alokasi anggaran Kementerian Keuangan dalam UU APBN.“Sebagai satuan kerja Kementerian Keuangan, maka persetujuan DPR atas investasi PIP diperlukan dalam proses budgeting penyediaan anggaran untuk pelaksanaan
fungsi satuan kerja,” ujar dia. Dengan telah disetujuinya anggaran PIP untuk melaksanakan investasi di bidang infrastruktur dan investasi lainnya, maka pelaksanaan lebih lanjut atas alokasi anggaran tersebut sepenuhnya menjadi kewenangan PIP. Menteri Keuangan telah mengatur governance untuk pelaksanaan investasi oleh PIP. Ditinjau dari aspek hukum, Hadiyanto menegaskan bahwa kewenangan Menteri Keuangan melaksanakan pembelian saham tersebut berpedoman pada kewenangan sebagai Bendahara Umum Negara sesuai ketentuan UU Nomor 1 tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara jo PP Nomor 1 tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah. Pemerintah meyakini bahwa pembelian saham divestasi PT NNT merupakan bentuk investasi jangka panjang yang diatur dalam UU No 1 Tahun 2004 di atas. Sebelum lahirnya UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara, pemerintah hanya melaksanakan investasi jangka panjang permanen dalam bentuk penyertaan modal pemerintah untuk pendirian BUMN atau Perseroan Terbatas dan penambahan PMN pada BUMN atau Perseroan MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
9
Terbatas. Dengan amanat Pasal 41 UU Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara yang selanjutnya dijabarkan dengan PP Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah, diatur lebih lanjut bahwa Menteri Keuangan selaku BUN dapat melakukan investasi jangka panjang dalam bentuk pembelian saham, surat utang, dan investasi langsung. Pembelian saham di atas juga telah sesuai dengan ketentuan Pasal 11 dan Pasal 12 Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum, karena DPR telah memberikan persetujuan atas alokasi anggaran PIP sebagai BLU berdasarkan Pasal 11 dan Pasal 12 PP Nomor 23 Tahun 2005 tentang Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum. Persetujuan tersebut diperoleh dalam bentuk alokasi anggaran untuk dana investasi PIP sebagai satuan kerja Kementerian Keuangan. “Alokasi dana investasi tersebut telah dicantumkan dalam Rencana Bisnis dan Anggaran (RBA) BLU PIP yang merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam RKA-KL (Rencana Kerja dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga) Kementerian Keuangan APBN 2011,” papar Hadiyanto. Hadiyanto menegaskan bahwa terdapat perbedaan antara penyertaan modal Negara (PMN) dengan investasi. Penyertaan modal negara dilakukan kepada BUMN dan Perusahaan Terbatas yang didalamnya terdapat saham milik negara dan sejak awal dimaksudkan untuk dilakukan secara permanen dalam rangka mendirikan BUMN dan atau meningkatkan modal BUMN atau PT yang didalamnya telah terdapat saham negara (Pasal 24 ayat (1) dan ayat (2) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara). Dalam setiap penyertaan modal negara akan diterbitkan saham baru perusahaan karena menambah modal perusahaan. Sedangkan untuk investasi berupa pembelian saham divestasi PT NNT, merupakan pembelian saham yang dimiliki oleh pemegang saham lainnya sehingga tidak ada penerbitan saham baru perusahaan karena tidak ada penambahan modal perusahaan. Pembelian saham ini dilakukan untuk kurun waktu tertentu tidak bersifat permanen. Mengklasifikasikan pelaksanaan investasi ini sebagai PMN sebagaimana diatur dalam 10
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
Pasal 24 ayat (7) UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara bahkan menjadi sangat keliru karena pembelian saham tersebut tidak dilakukan dalam keadaan tertentu untuk penyelamatan perekonomian nasional sebagai prasyarat pemberian PMN pada perusahaan swasta. Pendapat yang menafsirkan “keadaan tertentu” dalam Pasal 24 ayat (7) UU Keuangan Negara sebagai keadaan karena adanya kontrak karya adalah tidak sejalan dengan sejarah penyusunan Pasal 24 ayat (7) UU Keuangan Negara (memori van toelichting) yang secara jelas menyebutkan bahwa keadaan tertentu untuk penyelamatan perekonomian nasional harus dibaca dan dimaknai sebagai satu kesatuan frase kalimat.
Untuk 7 persen saham divestasi tahun 2008, PT NNT berkewajiban untuk mendivestasikan kepada Pemerintah RI, sebagai pemegang first right of refusal (hak utama).
Sejarah pelaksanaan divestasi saham PT NNT sesuai kontrak karya Pada tanggal 2 Desember 1986 pemerintah yang diwakili Menteri Pertambangan dan Energi (sekarang Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral dan PT Newmont Nusa Tenggara) yang diwakili oleh Newmont Indonesia Limited dan PT Pukuafu Indah sebagai pemegang saham PT NNT menandatangani Kontrak Karya. Dalam Pasal 24 ayat (3) Kontrak Karya itu disebutkan bahwa saham-saham yang dimiliki oleh investor asing akan ditawarkan baik untuk dijual atau diterbitkan, pertama, kepada Pemerintah RI dan kedua, (jika Pemerintah RI tidak menerima/menyetujui penawaran itu dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak tanggal penawaran), kepada Warga Negara Indonesia atau Perusahaan Indonesia yang dikendalikan oleh Warga Negara Indonesia dan akan disebut sebagai penawaran kepada “Peserta Indonesia”. Sampai dengan tahun 2008, PT NNT belum melakukan kewajiban divestasi saham yang
seharusnya dilakukan sejak tahun 2006. Atas hal tersebut, Pemerintah Indonesia mengajukan PT NNT ke arbitrase. Berdasarkan putusan arbitrase, PT NNT diperintahkan untuk segera melakukan divestasi 10 persen sahamnya, yang terdiri dari 3 persen saham divestasi tahun 2006 dan 7 persen saham divestasi tahun 2007 kepada Pemerintah Provinsi NTB, Pemda Sumbawa Barat, dan Pemda Sumbawa atau perusahaan yang dinominasikan oleh Pemerintah Daerah, karena Pemerintah Pusat telah menyerahkan haknya kepada Pemerintah Daerah. Sedangkan untuk 7 persen saham divestasi tahun 2008, PT NNT berkewajiban untuk mendivestasikan kepada Pemerintah RI, sebagai pemegang first right of refusal (hak utama). Hadiyanto menjelaskan bahwa divestasi saham tahun 2008 dilakukan bersamaan dengan divestasi saham tahun 2009 sebesar 14 persen karena putusan arbitrase diterbitkan tahun 2009. Untuk divestasi tersebut, Menteri Keuangan sudah melakukan kajian untuk melaksanakan sendiri hak utama tersebut melalui konsorsium PIP dan PT Antam. Namun pembelian saham divestasi pada akhirnya dilaksanakan oleh Pemerintah Daerah. Dengan demikian total divestasi saham sejak tahun 2006 sampai dengan 2009 sebanyak 24 persen akhirnya dibeli oleh PT Multi Daerah Bersaing (PT MDB) (suatu join venture antara Perusahaan Daerah PT Daerah Maju Bersaing dengan swasta PT Multicapital). Dengan kepemilikan Pemda sebesar 25 persen pada PT MDB, maka hanya sebagian kecil dari keuntungan/manfaat hasil pembelian saham divestasi dinikmati oleh masyarakat daerah NTB. Untuk kewajiban divestasi saham tahun 2010, PT NNT kembali menawarkan kepada Pemerintah RI melalui Menteri ESDM. Atas tawaran tersebut, Menteri ESDM meneruskan kepada Menteri Keuangan selaku Bendarahara Umum Negara (BUN) sebagaimana divestasi tahun-tahun sebelumnya.“Menteri Keuangan memutuskan hak utama Pemerintah RI itu dilaksanakan secara langsung oleh negara melalui suatu satuan kerja Pemerintah yang melaksanakan pengelolaan keuangan Badan Layanan Umum (BLU),” jelas Hadiyanto. Dari situ kemudian ditunjuk Pusat Investasi Pemerintah (PIP) yang tugas utamanya
melakukan investasi untuk pemerintah. Pemerintah RI cq. PIP dan Pemegang Saham Asing PT NNT telah menandatangani kontrak jual beli (Sale and Purchase Agreement/SPA) saham divestasi terakhir (tahun 2010) PT NNT sebesar 7 persen saham pada tanggal 6 Mei 2011. Saat ini penyelesaian SPA tersebut terkendala belum adanya persetujuan Menteri ESDM mengenai perubahan kepemilikan saham PT NNT. Kewajiban memperoleh persetujuan Kementerian ESDM cq. Dirjen Mineral dan Batubara merupakan pelaksanaan Peraturan Menteri ESDM Nomor 18 tahun 2009 tentang Tata Cara Perubahan Penanaman Modal Dalam Rangka Pelaksanaan Kontrak Karya dan Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batubara.
Kementerian Keuangan menjadi pemilik saham PT NNT, demikian pula pembayaran dividen setiap tahun meskipun tidak ada pembagian dividen di tahun tersebut, yang akan diperhitungkan pada saat pembagian dividen. Hak ini dipahami oleh NTP BV, mengingat PIP adalah pengelola dana investasi Pemerintah, sehingga perlu diberikan return atas cost of fund yang dikeluarkan negara. Hak tersebut menjadi gugur, ketika Kementerian Keuangan mengalihkan sahamnya kepada pihak lain. Berdasarkan hal-hal tersebut di atas, maka secara yuridis Menteri Keuangan dalam melaksanakan pembelian 7 persen saham
Manfaat bagi negara Hadiyanto mengungkapkan bahwa dengan pertimbangan PT NNT merupakan perusahaan strategis yang mengelola sumber daya alam yang perlu dijaga untuk memberikan manfaat yang sebesar-besarnya bagi negara dan seluruh masyarakat Indonesia, kehadiran Pemerintah Pusat secara langsung sebagai pemilik saham memberi peluang untuk terlibat secara langsung dalam pengelolaan PT NNT. Untuk itu, pembelian saham divestasi terakhir tahun 2010 ini menjadi mutlak diperlukan. PIP sebagai satuan kerja pemerintah yang seluruh kekayaannya masih merupakan kekayaan negara yang tidak dipisahkan, secara khusus melaksanakan fungsi investasi Bendahara Umum Negara, serta secara langsung bertanggung jawab kepada Menteri Keuangan merupakan pilihan yang tepat untuk melaksanakan pembelian saham tersebut guna tercapainya keinginan luhur memberikan manfaat sebesar-besarnya bagi Negara dan masyrakat. Dari sisi investasi, terang Hadiyanto,”PIP sudah mengkaji bahwa pembelian saham ini diyakini akan memberikan keuntungan dengan adanya capital gain yang akan diperoleh PIP cq. Negara selaku eksekutor.” Hadiyanto menambahkan bahwa meskipun hanya membeli 7 persen saham divestasi PT NNT, namun Kementerian Keuangan melalui suatu negosiasi panjang yang ketat berhasil mendapat keistimewaan dari NTP BV selaku penjual saham. NTP BV antara lain bersedia memberikan 1 kursi Komisaris hak NTP BV kepada Kementerian Keuangan sepanjang
Dengan kehadiran negara sebagai salah satu pemilik saham diharapkan akan meningkatkan kepatuhan PT NNT melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada negara (perpajakan, royalti, dan pengelolaan lingkungan) maupun kepada masyarakat (corporate social responsibility dan peningkatan perekonomian daerah).
divestasi PT NNT telah sesuai dengan peraturan perundangan yang berlaku. Apalagi jika ditinjau dari sisi manfaat bagi negara, tutur Hadiyanto, ”Pembelian saham ini akan memberikan dampak positif atas pengelolaan PT NNT dengan adanya hak komisaris yang dialokasikan oleh NTP BV.” Dari sisi return yang diterima negara melalui PIP, terdapat keuntungan yang cukup memadai untuk membantu pelaksanaan fungsi PIP lainnya dan mendorong peningkatan kesejahteraan masyarakat melalui pemberian dana investasi untuk pembangunan infrastruktur, baik di wilayah Nusa Tenggara maupun wilayah lainnya. Dengan kehadiran negara sebagai salah satu pemilik saham diharapkan akan meningkatkan kepatuhan PT NNT melaksanakan kewajiban-kewajibannya kepada negara (perpajakan, royalti, dan pengelolaan lingkungan) maupun kepada
masyarakat (corporate social responsibility dan peningkatan perekonomian daerah). Dari sisi proses pembelian, semua proses telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan kontrak karya termasuk keterlibatan Menteri ESDM sebagai pihak dalam kontrak karya. Dengan demikian, Hadiyanto menegaskan bahwa seluruh rangkaian proses divestasi sampai dengan penandatanganan Sales and Purchase Agreement (SPA) telah dilaksanakan sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Dalam SPA, hak-hak yang optimal bagi Pemerintah RI selaku perwujudan negara sebagai badan hukum yang bertanggung jawab mengoptimalkan sumber daya alam di seluruh wilayah negara kesatuan RI untuk memberikan kesejahteraan juga bagi seluruh rakyat Indonesia juga telah terakomodasi.
Sengketa kewenangan Lembaga Negara Sehubungan dengan perbedaan pendapat antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), niat luhur pemerintah melalui pembelian saham PT NNT belum dapat terlaksana meskipun SPA telah ditandatangani. Untuk mendapatkan kepastian hukum atas pelaksanaan hak dan kewenangan pemerintah atas pembelian saham PT NNT tersebut, pemerintah telah mengajukan permohonan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara (SKLN) ke Mahkamah Konstitusi. Sesuai dengan ketentuan Pasal 24C UUD 1945, Mahkamah Konstitusi berwenang memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UndangUndang Dasar. Persidangan SKLN telah dimulai tanggal 21 Februari 2012 dengan pemeriksaan pendahuluan dan dilanjutkan dengan penyampaian keterangan baik dari pemerintah, DPR, BPK, maupun keterangan ahli. Saat ini proses SKLN sudah pada tahap akhir menunggu putusan Mahkamah Konstitusi. “Semoga Mahkamah Konstitusi sebagai the guardian of constitution akan mengambil putusan yang menegakkan kedaulatan negara serta meletakkan kembali dasar pemerintahan yang sesuai dengan amanat Konstitusi,” demikian Hadiyanto menutup wawancara dengan kami.
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
11
Saatnya Menata Industri Pertambangan Teks: Arfindo Briyan Foto: Langgeng W. P.
Pembelian 7 persen saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara (NNT) adalah upaya untuk mengawal kepentingan Negara dalam pemanfaatan sumber daya alam Indonesia. Bukan sekadar memperbesar kekuatan kelompok nasional dalam pengendalian laporan keuangan.
P
aradigma kebijakan pemerintah di berbagai negara dalam pengelolaan dan pemanfaatan sumber daya alam telah bergeser. Negara melalui pemerintah kini memiliki peran lebih besar dalam industri pertambangan. Tujuannya adalah demi terciptanya pertumbuhan ekonomi yang memakmurkan dan mensejahterakan rakyat, sekaligus terjaganya pelestarian alam. Pengalaman sebelumnya menunjukkan, pemanfaatan sumber daya alam berdasarkan kalkulasi bisnis semata telah mengabaikan kepentingan-kepentingan dasar publik dan negara. Kepentingan itu menyangkut pengamanan penerimaan negara melalui royalti dan pajak, pelestarian lingkungan hidup, serta peningkatan nilai tambah dalam negeri. Inilah yang mendasari keputusan pemerintah untuk membeli 7 persen saham PT NNT. Hak pembelian saham asing milik Nusa Tenggara Partnership B.V. oleh pemerintah tersebut, telah diatur dalam Kontrak Karya antara Pemerintah Republik Indonesia dan PT NNT pada 2 Desember 1986. Berdasarkan kontrak tersebut, PT NNT wajib mendivestasikan hingga 51 persen saham milik asing kepada pihak Indonesia pada 2010. “Divestasi saham 7 persen ini merupakan
12
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
kewajiban terakhir PT NNT dalam pelaksanaan divestasi,” papar Menteri Keuangan Agus D.W. Martowardojo di hadapan majelis hakim Mahkamah Konstitusi, Selasa 8 Mei 2012.
Keputusan Menteri Keuangan Nomor 43/ KMK.06/2011 tanggal 1 Februari 2011.
Manfaat sosial dan ekonomi
Pembelian saham divestasi ini pun sesuai dengan amanat Undang-Undang 1945 pasal 33 ayat 2 mengenai penguasaan negara atas cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup orang banyak, serta ayat 3 tentang penguasaan negara atas bumi, air, kekayaan alam yang terkandung di dalamnya untuk dipergunakan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat.
Pemerintah tak semata menghitung manfaat sosial dalam membeli 7 persen saham PT NNT. Besarnya manfaat ekonomi yang bisa dinikmati rakyat Indonesia, juga menjadi pertimbangan. Itu sebabnya, meski pembelian saham itu sebagai penugasan khusus, PIP tetap melakukan due diligence atau uji tuntas terhadap pembelian saham itu. “Uji tuntas ini baik dari sisi finansial, legal, maupun teknis,”papar Kepala PIP Soritaon Siregar dalam wawancara dengan Media Keuangan, Rabu 9 Mei 2012.
PT NNT sebelumnya telah melepas 20 persen saham milik asing kepada PT Pukuafu Indah, dan 24 persen kepada PT Multi Daerah Bersaing—perusahaan patungan antara PT Daerah Maju Bersaing (25 persen) dan PT Multi Capital (75 persen). Adapun PT Daerah Maju Bersaing adalah Badan Usaha Milik Daerah yang dipunyai Provinsi Nusa Tenggara Barat (40 persen), Kabupaten Sumbawa (20 persen), dan Kabupaten Sumbawa Barat (40 persen).
PIP melibatkan PT Danareksa Sekuritas dan PT Bahana Securities dalam uji tuntas tersebut. Kedua lembaga keuangan ini, menurut Soritaon, sama-sama merekomendasikan agar PIP membeli saham PT NNT tersebut. “Jadi pembelian ini tidak semata tugas dari Menteri Keuangan. Secara perhitungan best practise memang layak beli,” Soritaon menuturkan.
Pemerintah melalui Menteri Keuangan selaku Bendahara Umum Negara menugaskan Pusat Investasi Pemerintah (PIP) untuk merealisasi pembelian 7 persen saham divestasi terakhir PT NNT tersebut. Penugasan ini diperkuat
Berdasarkan hasil uji tuntas, pembagian dividen dari PT NNT sampai dengan 2028 diperkirakan mencapai US$ 6,9 miliar. Dengan kepemilikan 7 persen saham maka pemerintah melalui PIP akan menerima US$ 485,3 juta. “Bandingkan dengan US$ 246,8 juta yang kita bayarkan untuk
membeli 7 persen saham,” kata Soritaon, “benefit and cost ratio-nya mencapai 197 persen.” Tingginya rasio keuntungan terhadap biaya yang dikeluarkan itu, menurut dia, tidaklah berlebihan. Sebab, kata dia, secara historis PT NNT memiliki kinerja keuangan yang baik dengan profitabilitas cukup tinggi, baik dihitung berdasarkan operating profit margin, net profit margin, return on asset maupun return on equity. Tingginya profitabilitas ini menunjukkan kapasitas dan kapabilitas perusahaan dalam menjalankan operasinya. “Pembelian ini juga memiliki potensi peningkatan nilai yang berasal dari capital gain dan penambahan cadangan emas tembaga dari Blok Elang yang saat ini masih dalam tahap eksplorasi awal,”papar Soritaon.
proses pengambilan keputusan, termasuk mendapatkan informasi vital perusahaan. Akses terhadap operasi perusahaan, khususnya yang bergerak di bidang sumber daya alam, sangat penting untuk mengamankan kepentingan publik. Sehingga, pemerintah dapat lebih baik dalam mengamankan penerimaan, atau mengawasi lingkungan dari kerusakan. “Inilah prinsip kebijakan pemerintah melalui PIP membeli 7 persen saham divestasi PT NNT,”kata Soritaon. Kelebihan lainnya, dia menambahkan, pemerintah juga dapat melakukan pengawasan dan pengendalian atas kewajiban perusahaan memenuhi Corporate Social Responsibility. Sehingga, akan muncul suatu multiplier effect dari industri pertambangan tersebut yang dapat lebih dirasakan masyarakat sekitar lokasi penambangan.
Saham penentu Meskipun hanya memiliki 7 persen saham divestasi PT NNT, Menteri Keuangan menegaskan bahwa kedudukan pemerintah sangat strategis. Dengan dikuasai 7 persen oleh pemerintah pusat, kepemilikan nasional atas 51 persen saham PT NNT telah mewakili semua unsur kepentingan nasional yakni pemerintah pusat, pemerintah daerah, dan perusahaan swasta nasional. Sehingga, menurut Menteri Keuangan, tidak tepat jika ada pendapat yang mengatakan, kepemilikan 7 persen tidak dapat mempengaruhi kebijakan perusahaan. “Sebanyak 7 persen saham divestasi PT NNT yang dibeli pemerintah adalah saham penentu atau swing shares bagi tercapainya kepemilikian saham nasional 51 persen,”ujarnya. Tak hanya itu, Menteri Keuangan melanjutkan, dengan memiliki 7 persen saham, pemerintah berhasil mendapatkan keistimewaan dalam bentuk hak menempatkan komisaris, harga saham yang khusus, dan kondisi-kondisi keutamaan yang lain. Dengan begitu, pemerintah bisa memastikan bahwa pengelolaan PT NNT ke depan akan menjadi contoh pengelolaan perusahaan penanaman modal asing pertambangan yang baik, serta memenuhi semua kewajiban kepada Negara. Soritaon menambahkan, kepemilikan 7 persen itu tidak bisa dipandang sebagai kepemilikan as usual. “Sebab yang punya pemerintah pusat,”ujarnya. Pemerintah, kata dia, akan memiliki jaminan untuk masuk ke dalam
“Pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT adalah upaya untuk mengawal kepentingan Negara dalam pemanfaatan sumber daya alam Indonesia. Bukan sekadar memperbesar kekuatan kelompok nasional dalam pengendalian laporan keuangan,” katanya.
Now or never Sayangnya, dalam proses pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT ini, terdapat perbedaan pendapat antara pemerintah dengan Dewan Perwakilan Rakyat dan Badan Pemeriksa Keuangan. DPR dan BPK berpendapat bahwa pemerintah hanya dapat melakukan pembelian saham divestasi PT NNT setelah mendapatkan persetujuan DPR terlebih dulu. Adapun pemerintah berpendapat, persetujuan DPR tidak perlu lagi karena yang akan dilakukan adalah investasi jangka panjang sesuai UndangUndang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara pasal 41 ayat 1, 2, dan 3. Soritaon menerangkan bahwa pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT merupakan investasi jangka panjang non-permanen. Artinya, pembelian saham itu dimaksudkan untuk dimiliki secara tidak berkelanjutan. “Jadi suatu saat bisa saja dijual kembali,”paparnya. Ditambahkan pula, pembelian saham tersebut juga bukan merupakan penyertaan modal pemerintah pada perusahaan swasta dalam rangka penyelamatan perekonomian nasional. “Karena bukan penyertaan modal maka pembelian ini pun tidak akan menambah
modal perusahaan,” Soritaon melanjutkan. Sebaliknya, suatu penyertaan modal tertentu akan menyebabkan perubahan jumlah modal perusahaan. Oleh karena itu, pemerintah berpendapat bahwa untuk membeli 7 persen saham divestasi PT NNT, pemerintah tidak perlu meminta persetujuan DPR. Soritaon menambahkan, ada perbedaan yang jelas antara investasi pemerintah dalam bentuk pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT dengan penyertaan modal pemerintah pada perusahaan swasta. “Peraturan dan tujuannya berbeda,”ucapnya. Dia menerangkan, investasi pemerintah dengan membeli saham tersebut, berdasarkan pada Peraturan Pemerintah Nomor 1 Tahun 2008 tentang Investasi Pemerintah. Adapun penyertaan modal pemerintah mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 44/ 2005 tentang Tata Cara Penyertaanan Penatausahaan Modal Negara pada Badan Usaha Milik Negara dan Perseroan Terbatas. Dilihat dari tujuannya, dia melanjutkan, pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT utamanya adalah untuk memperoleh manfaat ekonomi, sosial, serta meningkatkan pertumbuhan ekonomi demi memajukan kesejahteraan umum. Hal ini berbeda dengan tujuan dari penyertaan modal pemerintah pada perusahaan swasta. Mengacu pada UU Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara pasal 24 maka penyertaan modal dilakukan dalam keadaan tertentu untuk menyelamatkan perekonomian nasional. Silang pendapat antara pemerintah dengan DPR dan BPK membawa pemerintah mengajukan Sengketa Kewenangan Lembaga Negara ke Mahkamah Konstitusi (MK). Menurut Soritaon, keputusan MK kelak menjadi penentu arah kebijakan pemerintah dalam industri pertambangan di tanah air. Kesuksesan pembelian 7 persen saham divestasi PT NNT menjadi pintu masuk pemerintah untuk menata kembali berbagai aspek penting dalam industri pertambangan. “Inilah saatnya kita merapihkan industri pertambangan. Now or never, sekarang atau tidak sama sekali,” tegas Soritaon.
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
13
D
ari perspektif hukum tata negara, Refly melihat mencuatnya kasus ini antara lain disebabkan tidak jelasnya garis demarkasi fungsi anggaran antara pemerintah dan DPR. Sejauh mana sebenarnya fungsi anggaran menjadi wilayah eksekutif dan legislatif rancu. Refly melihat persetujuan DPR sebenarnya hanya diperlukan pada saat mekanisme perumusan APBN. Dia melihat implementasi pelaksanaan program dan kegiatan yang dilakukan setelah APBN disahkan tidak memerlukan persetujuan DPR lagi. ”Karena program dan kegiatan itu lebih teknis dan kadang-kadang penilaiannya sangat situasional,” ungkap Refly.
Pemerintah Tak Perlu Meminta Izin DPR Teks: Dwinanda Ardhi Foto: Arfindo Briyan
Perbedaan pandangan antara Pemerintah dan DPR serta BPK tentang proses pembelian saham divestasi PT Newmont Nusa Tenggara oleh Pemerintah Pusat bermuara di gedung Mahkamah Konstitusi. Pemerintah sebagai pemohon dan DPR serta BPK masing-masing sebagai Termohon I dan II telah menjalani serangkaian sidang sengketa kewenangan lembaga negara selama beberapa waktu terakhir. Pakar Hukum Tata Negara, Refly Harun, menaruh perhatian terhadap proses persidangan yang berjalan. Dia memaparkan pandangan-pandangannya mengenai hal ini kepada Media Keuangan.
14
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
Dalam kasus pembelian saham divestasi PT NNT ini, praktek ketatanegaraan dipandang dia dijalankan secara berbeda dari peraturan yang ada. Refly yakin pembelian saham divestasi PT NNT oleh Pemerintah Pusat sudah masuk dalam area yang tidak memerlukan persetujuan DPR. Persetujuan justru akan membawa dampak fungsi pengawasan DPR terdilusi karena dipandang turut serta menjalankan pemerintahan dalam bentuk pemberian persetujuan suatu kebijakan. Menurut Refly, fungsi pengawasan tersebut seharusnya digunakan untuk melihat, misalnya, apakah dalam proses pembelian itu terdapat penyimpangan dalam perspektif penggunaan keuangan negara. Keharusan meminta izin DPR dirasakan Refly terlalu berlebihan. Sebagai lembaga politik, DPR seharusnya memutuskan hal-hal yang bersifat policy. Menurut Refly, pembelian saham divestasi PT NNT bukan merupakan kebijakan, tapi termasuk dalam kegiatan bisnis untuk menilai cost and benefit.“Tidak perlu lagi (izin DPR) karena ini sudah wilayah eksekutif, sudah wilayah daily business, penghitungan-penghitungan bisnis yang sangat dinamik,” Refly menambahkan. Namun demikian, dia mengapresiasi langkah pemerintah yang membawa kasus ini ke sidang Mahkamah Konstitusi. Langkah ini dipandang penting untuk memperjelas garis demarkasi fungsi anggaran DPR dan pengelolaan anggaran oleh pemerintah. Menurut Refly, langkah penyelesaian masalah ini melalui sidang di Mahkamah Konstitusi harus diikuti juga dengan judicial review
sejumlah ketentuan Undang Undang yang terkait dengan keuangan negara atau dengan pembahasan APBN.
Dinamika persidangan Refly mengaku mengikuti perkembangan sidang SKLN ini lewat sejumlah sarana. Sampai pada tahap penyerahan kesimpulan dari masing-masing pihak yang bersengketa, dia menganggap seharusnya tidak ada alasan bagi Mahkamah Konstitusi untuk tidak mengabulkan permohonan Pemerintah Pusat selaku pemohon. Pertama, menurut Refly, seharusnya pembahasan APBN yang membutuhkan persetujuan APBN hanya menyangkut fungsi, organisasi, dan jenis belanja. Dalam kasus Newmont, ungkap Refly,” Tidak hanya harus disetujui, bahkan harus diizinkan oleh DPR. Kita akan bertanya sesungguhnya yang eksekutif itu siapa?” Menurut dia, tidak boleh lagi ada persetujuan dari DPR terhadap langkah-langkah pemerintah pascapengesahan APBN, kecuali dalam keadaan-keadaan khusus
pihak ingin menguasainya. Sementara itu, Pemerintah Pusat beritikad baik untuk membelinya sesuai kesepakatan Kontrak Karya dengan PT NNT yang mewajibkan Pemegang Saham Asing PT NNT untuk mendivestasikan sahamnya kepada Pihak Indonesia. Di samping menjalankan amanat Kontrak Karya, Pemerintah juga ingin menjalankan amanat konstitusi, yaitu menguasai sumber daya alam yang menguasai hajat hidup orang banyak dalam rangka mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Pembelian saham divestasi PT NNT adalah langkah awal pembenahan sektor pertambangan yang bisa berdampak luas bagi bangsa kita. Kepemilikan saham divestasi oleh pemerintah pusat dipandang Refly dapat mencegah penguasaan oleh pihak nasional yang tidak bertanggung jawab, misalnya menggadaikan saham yang diperoleh kepada pihak asing. “Enggak ada guna berarti. Pihak nasional sebenarnya hanya mencari keuntungan kecil saja, yang
Refly tetap yakin bahwa DPR tidak memiliki kewenangan untuk meminta pemerintah menyampaikan permohonan izin melakukan pembelian saham divestasi PT NNT. Dalam kasus ini, pemerintah hanya mengimplementasikan turunan dari kewenangan konstitusional pemerintah dalam pasal 4 ayat 1 Undang-Undang Dasar 1945. Refly juga berharap putusan Mahkamah Konstitusi dapat memberikan gambaran mengenai garis demarkasi yang jelas mengenai fungsi anggaran DPR dan pengelolaan anggaran oleh pemerintah. Dengan adanya garis demarkasi yang jelas, lembaga-lembaga negara diharapkan memahami kewajibannya untuk tunduk pada pembatasan-pembatasan kewenangan atau constitutional boundary. “Jadi semua lembaga negara itu harus menjalankan kewenangan yang berdasarkan garis atau batas atau acuan konstitusi yang sudah ada,” jelas Refly.
Harapan Serahkan kepada pemerintah untuk melaksanakan fungsi eksekutifnya, termasuk bagaimana dia mengelola dana negara, melakukan investasi, dan lain-lain sebagainya. Refly Harun
atau tertentu. Dalam keadaan normal, kata Refly, ”Serahkan kepada pemerintah untuk melaksanakan fungsi eksekutifnya, termasuk bagaimana dia mengelola dana negara, melakukan investasi, dan lain-lain sebagainya,” Fungsi pengawasan tetap dapat dilakukan DPR jika diduga ada penyimpangan. “Dia bisa panggil menteri, (Kepala) PIP, bisa panggil siapa saja untuk mengklarifikasi temuantemuan yang ada. Lalu dia bisa perintahkan BPK untuk melakukan pemeriksaan apakah ada penyimpangan keuangan negara atau tidak,” papar Refly.
Test case Di luar sidang, lebih jauh Refly mengungkapkan bahwa sengketa kewenangan lembaga negara dalam kasus Newmont dapat menjadi test case tersendiri. Saham divestasi 7 persen dipandang sebagai “sesuatu yang menggiurkan” hingga banyak
artinya tanpa modal, tapi bisa mendapatkan keuntungan,” ujar Refly. Lebih jauh, Refly mendukung langkah Menkeu yang ingin menjadikan pembelian saham divestasi PT NNT sebagai “pintu masuk” untuk menata industri pertambangan. Dia memberikan catatan bahwa upaya ini menuntut keseriusan aparatur-aparatur pemerintah sendiri. Ditinjau dari besarnya dana yang diinvestasikan, misalnya, pemerintah pusat perlu memastikan bahwa akuntabilitas publik benar-benar dapat dipertanggungjawabkan.
Kesimpulan sidang Setelah melalui rangkaian persidangan, Pemerintah selaku Pemohon dan DPR serta BPK selaku Termohon I dan II telah menyampaikan kesimpulan pada awal Mei lalu. Mengikuti dinamika persidangan,
Di ujung perbincangan, Refly menyampaikan sejumlah harapannya. Pertama adalah perubahan paradigma di masyarakat mengenai penyelesaian sengketa antar lembaga negara di Mahkamah Konstitusi. “Artinya, jangan dianggap bahwa ketika pemerintah atau pihak lain membawa masalah ke Mahkamah Konstitusi dianggap sebagai sesuatu yang tabu Justru Mahkamah Konstitusi dihadirkan sebagai ‘wasit’,” jelas Refly. Di samping itu, dia juga berharap pemerintah memahami fungsi umum pemerintahan, antara lain dalam negara melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, dan mencerdaskan kehidupan bangsa. Investasi yang dilakukan pemerintah, termasuk dalam pembelian saham divestasi PT NNT, tidak boleh sematamata hanya untuk mengejar keuntungan. Upaya pemenuhan amanat konstitusi sesuai pasal 33 Undang-Undang Dasar 1945 harus benar-benar dilakukan. Perspektif utamanya adalah memberikan sebesar-besarnya bagi kemakmuran rakyat. “Kalau ada untung, itu dalam rangka memberikan benefit yang lebih baik bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat,” pungkas Refly. MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
15
wawancara
Meningkatkan Penerimaan Pajak dari Sektor Pertambangan Teks: Dwinanda Ardhi Foto: Langgeng W. P.
Mulai 1 April 2012, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) Wajib Pajak Besar Satu yang beralamat di Jl. Medan Merdeka Timur No 16, Jakarta, bertransformasi menjadi KPP Wajib Pajak Besar Pertambangan. Urusan administrasi dan pemantauan pemenuhan kewajiban pajak Wajib Pajak perusahaan tambang besar yang merupakan hasil Perjanjian Karya Pengusahaan Pertambangan Batu Bara (PKP2B) dan kontrak karya diharapkan dapat semakin intensif. Media Keuangan mewawancarai Pjs. Kepala KPP Pertambangan Budi Wiyanto untuk mengetahui lebih banyak informasi seputar KPP dengan 266 Wajib Pajak (WP) yang tersebar di seluruh wilayah Indonesia ini. Bagaimana latar belakang pembentukan KPP Wajib Pajak Besar pertambangan? Latar belakang pembentukan KPP WP Besar Pertambangan pada dasarnya dapat dilihat dari aspek karakteristik industri pertambangan, kontribusinya terhadap penerimaan negara dari sektor pajak, aturan perpajakan yang bersifat khusus, serta banyaknya stakeholders sektor usaha pertambangan. Dari segi karakteristik bidang usaha, industri pertambangan mineral dan batubara merupakan industri yang memiliki kekhususan tersendiri, antara lain padat modal, high technology, dan berisiko tinggi. Pencarian sumber mineral dan batubara bukan hal yang mudah, harus melalui penelitian yang panjang, serta memerlukan teknologi tinggi, khususnya untuk pertambangan mineral. Modal yang diperlukan dalam kegiatan pertambangan mineral dan batubara juga besar. Selain itu, industri ini juga memiliki proses bisnis yang kompleks dan perlu pemahaman komprehensif, memiliki fiscal policy yang berbeda dengan industri lain (misalnya menyangkut sistem kontrak karya dan pengenaan pajak secara khusus), ketentuan perpajakannya diatur secara khusus dan berbeda, dan melibatkan banyak instansi pemerintah (Direktorat Jenderal Pajak, Direktorat Jenderal Anggaran, Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan, dan Kementerian ESDM). Dari segi penerimaan negara, keberadaan 16
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
potensi sumber daya alam tambang yang sangat besar menempatkan Indonesia sebagai negara yang berpengaruh dan memiliki peran penting dalam ketersediaan sumber daya dunia. Potensi tersebut diharapkan memberikan sumbangsih yang signifikan terhadap penerimaan negara, khususnya dari sektor pajak. Tidak hanya di KPP Wajib Pajak Besar Satu, Wajib Pajak di bidang pertambangan dan jasa pertambangan memberikan kontribusi penerimaan pajak yang cukup besar bagi Kantor Pelayanan Pajak tempat Wajib Pajak tersebut terdaftar. Dengan sumbangan yang besar tersebut, apabila tidak dikelola secara khusus oleh sumber daya manusia yang memiliki pemahaman yang memadai, maka akan membahayakan penerimaan pajak secara nasional.
Apakah terdapat aturan perpajakan yang juga menjadi latar belakang pembentukan KPP ini? Aspek perpajakan untuk suatu Kontrak Karya (KK) dan PKP2B pada dasarnya bersifat lex specialis. Hal ini berarti bahwa kewajiban pajaknya dihitung berdasarkan KK atau PKP2B. Namun demikian, dalam hal dalam kontrak tidak disebut secara jelas aspek perpajakannya, berlaku prinsip dasar nail down dan prevailing law. Nail down berarti masalah perpajakan suatu kontrak pertambangan tunduk pada ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan
yang berlaku pada saat kontrak ditandatangani. Sedangkan prevailing law berarti masalah perpajakan suatu kontrak pertambangan tunduk pada ketentuan peraturan perundangundangan perpajakan yang berlaku dari waktu ke waktu. Kondisi peraturan perpajakan di atas mengharuskan tersedianya SDM yang dapat memahami aturan–aturan khusus yang harus diterapkan untuk melakukan pelayanan dan pengawasan kewajiban perpajakan Wajib Pajak Pertambangan. Dalam Undang-Undang Pajak Penghasilan (PPh) terdapat aturan yang berkaitan khusus dengan Wajib Pajak Pertambangan, yaitu pada Pasal 33A ayat 4 dan Pasal 31 D.
Bagaimana dengan aspek skala usahanya? Dilihat dari skala usahanya, perusahaan pertambangan dan jasa pertambangan yang berskala nasional merupakan perusahaan dengan modal yang besar dan teknologi tinggi. Perusahaan besar pada umunya ingin mendapatkan pelayanan yang lebih dibanding perusahaan lainnya. Oleh karena itu diperlukan penanganan secara spesifik dan memadai sehingga mereka akan merasa mendapat perhatian lebih dan mendapat kepuasan maksimal atas pelayanan yang diberikan oleh Kantor Pelayanan Pajak . Harapannya adalah mereka akan meningkatkan kepatuhan atas kewajiban perpajakannya.
Kegiatan pertambangan umum dan jasa pertambangan menjadi domain
pada akhirnya compliance cost yang dikeluarkan WP akan semakin menurun.
Seberapa pengaruh pembentukan KPP Pertambangan untuk memaksimalkan potensi dan memenuhi target penerimaan tersebut?
beberapa institusi. Apakah hal ini juga menjadi salah satu latar belakang berdirinya KPP Pertambangan? Kegiatan pertambangan umum dan jasa pertambangan diawasi oleh beberapa pihak eksternal sesuai dengan bidang dan tugasnya masing-masing. Adanya perbedaan tugas dan fungsi tersebut tersebut akan mengakibatkan perbedaan pendekatan dalam menangani perusahan di bidang pertambangan dan jasa pertambangan. Pihak–pihak eksternal tersebut antara lain Kementerian ESDM sebagai pemegang kuasa pertambangan dan menjalankan pengawasan atas kepatuhan perusahaan terhadap Undang-undang Minerba dan peraturan terkait, Pemda yang mengawasi kegiatan pertambangan dan penerimaan asli daerah, BPKP dan BPK sebagai auditor pemerintah yang memeriksa dan mengawasi pembayaran royalti kepada pemerintah, serta asosiasi yang terdiri atas dari IMA (Indonesian Mining Association) dan APBI (Asosiasi Pertambangan Batubara Indonesia). Agar kepentingan negara secara keseluruhan terlindungi, demikian juga dengan kepentingan pengusaha, maka koordinasi para stakeholders yang mewakili kepentingan negara perlu lebih dipererat dan ditingkatkan. Dengan koordinasi yang baik, maka pengawasan bidang usaha pertambangan akan menjadi lebih baik. Secara ringkas, latar belakang pembentukan KPP WP Besar Pertambangan adalah agar pelayanan dan pengawasan kewajiban perpajakan terhadap bidang usaha
pertambangan menjadi lebih optimal dan pada akhirnya agar penerimaan negara, khususnya penerimaan pajak dari sektor pertambangan menjadi lebih optimal.
Sebelum dibentuknya KPP Pertambangan, apa saja kendala yang dihadapi Direktorat Jenderal Pajak dalam mengumpulkan penerimaan pajak dari sektor ini? Kendala utama dalam penggalian potensi pajak dari sektor pertambangan adalah ketersediaan data pembanding. Mengingat bahwa sistem perpajakan di Indonesia adalah self assessment, untuk menguji kebenaran pajak yang dibayar WP, DJP memerlukan data pembanding. Dengan terbentuknya KPP Pertambangan, diharapkan koordinasi dengan para stakeholders menjadi lebih baik, sehingga data yang diperlukan dapat tersedia dengan lebih baik. Dengan SDM yang lebih memadai, data yang terkumpul tersebut diharapkan dapat diolah dengan lebih baik, sehingga potensi pajak yang tergali meningkat.
Bagaimana tanggapan pelaku dunia usaha, khususnya yang bergerak di sektor pertambangan, terhadap pembentukan KPP ini? Secara umum, pelaku bidang usaha menyambut baik terbentuknya KPP Pertambangan. Dengan pemahaman yang lebih baik atas masalah pertambangan, dispute yang terjadi antara aparat pajak dengan para pelaku usaha akan semakin menurun, sehingga
Perlu diketahui bahwa sektor pertambangan tidak dapat disamakan dengan sektor lainnya. Dalam pertambangan dikenal adanya siklus tambang. Potensi pajak mengikuti siklus tambang tersebut. Namun demikian, dengan terbentuknya KPP Pertambangan, diharapkan tercipta role model dalam penggalian potensi pajak di sektor pertambangan yang diharapkan dapat diduplikasi oleh KPP lain yang juga mengadministrasikan WP tambang, sehingga pencapaian penerimaan negara dari sektor pajak akan semakin meningkat.
Apa saja manfaat yang bisa diperoleh para WP di sektor migas dan pertambangan dari pembentukan KPP ini? Kemudian apa saja manfaatnya bagi Sumber Daya Manusia (SDM) di DJP sendiri? Bagi WP, dengan terbentuknya KPP pertambangan, diharapkan akan memperoleh manfaat dalam bentuk pelayanan yang lebih baik. Dengan ditangani oleh SDM yang memahami pertambangan, maka dispute yang tidak perlu dapat dihindarkan, sehingga compliance cost yang dikeluarkan WP akan semakin menurun. Bagi SDM DJP sendiri, dengan adanya KPP pertambangan ini, maka akan terbentuk SDM yang ahli tambang yang semakin banyak. Ke depan, dengan SDM yang mumpuni, juga akan berpengaruh pada keandalan dalam negosiasi kontrak pertambangan, termasuk didalamnya aspek perpajakannya. Ahhirnya adalah negara akan sangat diuntungkan.
Bagaimana harapan Bapak terhadap KPP ini dalam melaksanakan tugas dan fungsinya dalam jangka panjang? Harapannya yaitu target penerimaan pajak tercapai, para pegawai happy dalam bekerja, dan tercipta integritas, profesionalisme, sinergi, pelayanan dan kesempurnaan dalam menjalankan tugas negara. MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
17
profil
Financial Sector Authority untuk Menyelamatkan Sistem Perbankan Teks: Iin Kurniati Foto: Dwinanda Ardhi
Satu jam lebih berbincang mengenai jasa keuangan dan pasar modal, melukiskan apa yang disebut Ngalim Sawega sebagai “financial sector authority”. Staf Ahli Menteri Keuangan bidang kebijakan dan regulasi jasa keuangan dan pasar modal bersedia menemui Media Keuangan, Kamis (10/5) lalu, di lantai 6 gedung Djuanda I, Jakarta.
N
ada bicaranya yang tegas, lugas nan santun memperlihatkan keoptimisan Ngalim terkait pembentukan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) di Indonesia yang dianggap mampu menjalankan fungsi pengaturan dan pengawasan terhadap kegiatan jasa keuangan di bidang perbankan, pasar modal dan industri keuangan nonbank dengan baik.
Efek domino krisis ekonomi Berangkat dari krisis ekonomi tahun 1998 silam, nilai tukar terhadap dolar yang terpuruk berdampak pada ketidakpercayaan masyarakat pada Rupiah. Krisis ini berimplikasi pula pada kepercayaan terhadap perbankan dimana bank tidak hanya ditinggalkan oleh deposannya tetapi juga ditinggalkan oleh bank lain yang menjadi mitra usaha baik di dalam maupun di luar negeri. Krisis tersebut juga membawa kepanikan kepada nasabah bank akibat semakin tingginya suku bunga kredit di bank. Akibatnya, likuiditas bank anjlok sehingga sektor keuangan langsung berpengaruh negatif terhadap sektor riil seperti kegiatan produksi, perdagangan, investasi hingga sektor konsumsi. Tak pelak, pemerintah dituntut mengeluarkan tenaga ekstra untuk mencari solusi dalam mengatasi permasalahan itu. Ngalim yang kala itu berkutat pada Direktorat Jenderal Lembaga Keuangan (DJLK), khususnya pada bidang perbankan dan usaha jasa pembiayaan terlibat dalam penanganan krisis tersebut. Menurutnya, krisis perbankan yang terjadi saat itu dapat menimbulkan efek domino bila tidak teratasi dengan baik. Misalnya suatu bank collapse, ternyata liabilities atau kewajibannya bukan hanya kepada perorangan tetapi juga kepada bank-bank lain yang menempatkan dananya disitu. Sehingga menyebabkan
18
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
masalah pada tagihan yang dapat terbayar atau tidak dapat terbayar. Jika sudah terjadi efek domino, bank akan collapse, dampak ekstrimnya seluruh sistem pembayaran tidak berjalan. Jika sistem pembayaran tidak berjalan, lanjut Ngalim, maka sistem bayar akan berubah menjadi cash basis. “Betapa tidak efektifnya, betapa tidak efisiennya kemudian betapa bahayanya, kriminalitas akan tinggi, itulah hipotesa sederhananya. Oleh karena itu kita harus mengambil policy mengenai perbankan. Kalau bank itu berdampak sistemik kepada kelompok besar, kita selamatkan, harus diselamatkan,” ungkap Ngalim.
Menyelamatkan sistem perbankan Kemudian dilakukan program rekapitalisasi perbankan dengan syarat memiliki CAR (Capital Adequacy Ratio) kurang dari 4 persen dan tidak lebih rendah dari minus 25 persen. Sehingga pada waktu itu timbul istilah bank yang diambil alih pemerintah (bank take over), bank yang direkapitalisasi pemerintah (bank rekap), dan bank yang ditutup oleh pemerintah. CAR sendiri merupakan rasio kecukupan modal dengan asset tertimbang menurut risiko yang memperhitungkan potensi kerugian dan kemungkinan dihadapi oleh bank. Semakin tinggi CAR maka semakin baik kemampuan bank tersebut untuk menanggung risiko dari setiap kredit atau aktiva produktif yang berisiko. Jika nilai CAR tinggi maka bank tersebut mampu membiayai kegiatan operasional dan memberikan kontribusi yang cukup besar bagi profitabilitas. Ngalim memaparkan bahwa saat itu pemerintah mengeluarkan sejumlah kebijakan, salah satunya program penjaminan penuh atau blanket guarantee
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
19
Koordinasi kerja sama itu akan berjalan dengan baik kalau kita mempunyai persepsi yang sama atas suatu permasalahan, jadi tidak ada kesenjangan informasi. Makanya lebih baik informasi itu ditaruh di meja, silahkan kalau kurang dilengkapin. Jika sudah tau informasinya maka mari kita mengambil kebijakan, mengambil keputusan dan diskusikan bareng musyawarah untuk mufakat. Ngalim Sawega
terhadap para deposan perbankan. Kebijakan ini bertujuan sebagai antisipasi agar pemilik dana di Indonesia tidak mengalihkan simpanannya ke bank-bank di luar negeri yang dapat memicu capital outflow. Selain itu, pemerintah juga mendirikan Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN) dan Indonesia Debt Restructuring Agency (INDRA) untuk melaksanakan upaya penyehatan bank-bank, mengelola aset yang bermasalah dan mengadministrasikan program jaminan pemerintah serta mengusahakan restrukturisasi utang swasta. “Jadi dulu ada exposure risk kurs dilembaga-lembaga keuangan. Kalau nanti ada risiko, inilah yang ditangani oleh INDRA supaya posisi keuangan lembaga-lembaga keuangan tersebut lebih aman,” papar Ngalim. Lalu, pasca dibubarkannya BPPN, pemerintah mendirikan Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) sebagai estafet dari penjaminan yang dilakukan oleh BPPN. Bedanya LPS memberikan pembatasan jumlah simpanan yang sebaiknya dijamin. Kemudian pemerintah juga mendirikan Sarana Multigriya Financial atau yang sebetulnya difungsikan sebagai Secondary Mortgage Facility (SMF). SMF ini memiliki fungsi sebagai penyedia kredit melalui sekuritisasi aset (Kredit Kepemilikan Rumah) seperti Freedi mac atau Fannie Mae yang berada di Amerika. 20
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
Berbicara mengenai berbagai program yang diambil pemerintah pada masa krisis, bagi mantan Direktur Pembiayaan dan Penjaminan Kementerian Keuangan tahun 2006-2007, kebijakan tersebut tidak seperti berdagang ataupun berinvestasi. Menurut Ngalim, hal tersebut merupakan upaya pemerintah me-rescue atau menyelamatkan sistem perbankan nasional. Dengan kata lain, dalam sistem akuntansi tidak akan muncul pada kolom laba-rugi, melainkan ia akan muncul pada kolom biaya. “Saya ingin meluruskan saja kalau ada sebagian orang yang mengatakan itu (rescue sistem perbankan) kerugian negara. Menurut saya itu bukan kerugian negara, itu memang diniati oleh negara untuk memperbaiki sistem perbankan sehingga perlu biaya yang harus dikeluarkan,” tegas Ngalim. Meskipun memiliki potensi recovery relatif kecil, namun bila ekonomi sudah berjalan baik, maka pendapatan negara dari sektor pajak akan otomatis meningkat. Jadi biaya krisis akan kembali bukan langsung dari penjualan aset ex-bank melainkan secara tidak langsung dari sektor pajak.
Kondisi industri jasa keuangan Menilik perjalanan yang bermula pada krisis perbankan, dibentuklah Lembaga Pengawas Jasa Keuangan bertujuan untuk meningkatkan koordinasi antar otoritas perbankan yang selama ini berada pada Bank Indonesia dengan otoritas pasar modal serta otoritas Industri Keuangan non-bank
yang ada di Kementerian Keuangan. Belajar dari kegagalan dalam pengawasan bank, maka diambillah kebijakan untuk memisahkan pengawasan bank dari Bank Indonesia. Selanjutnya, BI lebih dikonsentrasikan untuk mengatur kebijakan moneter. Pengawasan bank akan dilakukan oleh lembaga pengawas jasa keuangan. Sejalan dengan itu, di Kementerian Keuangan dilakukan penggabungan antara Badan Pengawas Pasar Modal (Bapepam) dengan DJLK menjadi Bapepam-LK. Akhirnya, pembentukan Otoritas Jasa Keuangan merupakan gabungan antara otoritas perbankan dengan otoritas pasar modal dan Industri Keuangan non-bank. Ngalim yang mulai menjabat sebagai Sekretaris Bapepam-LK sejak 29 Desember 2006 silam menjelaskan bahwa fungsi pokok dari otoritas ada dua. Pertama untuk mengembangkan market dalam industri perbankan, asuransi, dana pensiun, perusahaan pembiayaan, pegadaian, perusahaan penjaminan dan pasar modal. Kedua, memberikan keamanan kepada masyarakat dan investor, “jadi dua itu harus balance, kita membesarkan (mengembangkan) ke sana tapi jangan sampai merugikan masyarakat. Dua itu harus bisa menjadi perhatian pokok dari kita sebagai otoritas,” jelas mantan Sekretaris Bapepam-LK yang baru resmi lepas 13 Januari lalu. Selanjutnya, ditambahlah
dua fungsi sebagai konsekuensi dari dua fungsi tersebut yaitu fungsi otoritas sebagai regulator dan law enforcement. Ketika ditanya pandangannya mengenai dunia perbankan dan jasa keuangan saat ini, lulusan Master of Science dari Illinois University, USA tahun 1992 lalu ini menegaskan bahwa kondisi sekarang jauh lebih baik. Dengan keempat fungsi tersebut, hubungan antara demand (permintaan) dan supply (penawaran) dalam suatu pasar menjadi lebih dinamis. Sehingga sebetulnya, secara natural masyarakat sudah memahami kapan dana yang mereka miliki dapat ditempatkan sebagai tabungan, sebagai investasi maupun sebagai konsumsi. Ngalim menekankan bahwa pemerintah hanya bertugas memberikan pilihan-pilihan bagi masyarakat dalam menentukan instrumen apa yang digunakan untuk menempatkan dana yang dimiliki oleh masyarakat.
Tantangan terberat Bagi Ngalim, tantangan terberatnya adalah menghadapi perbedaan pandangan antar stakeholder. Sulitnya mengambil keputusan antara legislatif, yudikatif dan eskekutif menjadi perhatian catatan tersendiri yang harus dicarikan solusi. Sebagai contoh, rumitnya pengambilan keputusan untuk menaikkan harga Bahan Bakar Minyak (BBM) beberapa waktu lalu agar kondisi fiskal semakin sehat. Ngalim menyarankan agar faktor utama yang perlu digarisbawahi ke depan adalah perbaikan komunikasi antar pemangku kepentingan. Hal ini supaya berbagai lapisan masyarakat memahami segala permasalahan yang terjadi. “Hanya gara-gara kurang informasi kemudian turun ke jalan. Makanya komunikasi dengan semua pihak perlu ditingkatkan. Itulah kalau kita mengatakan yang paling sulit adalah koordinasi dan kerjasama ya perlu diperbaiki,” saran Ngalim. Disamping itu, Ngalim yang juga menjabat sebagai Dewan Direktur Indonesia Exim Bank memandang saat ini tengah terjadi fenomena penyimpangan culture. Kecenderungan mempercepat pengambilan keputusan melalui voting dinilai kurang
sesuai dengan budaya yang ada di Indonesia. Maka dari itu, Ngalim menginginkan untuk mengedepankan karakter ketimuran yang ada di Indonesia seperti semangat kekeluargaan, serta musyawarah mufakat untuk meminimalisir permasalahan akibat perbedaan yang timbul dimasyarakat. “Koordinasi kerja sama itu akan berjalan dengan baik kalau kita mempunyai persepsi yang sama atas suatu permasalahan, jadi tidak ada kesenjangan informasi. Makanya lebih baik informasi itu ditaruh di meja, silahkan kalau kurang dilengkapin. Jika sudah tau informasinya maka mari kita mengambil kebijakan,mengambil keputusan dan diskusikan bareng musyawarah untuk mufakat,” ujar Ngalim.
Financial sector authority Melihat kondisi otoritas jasa keuangan di beberapa negara lain yang justru mengalami kegagalan, sebaliknya Ngalim tetap optimis dalam pembentukan OJK di Indonesia. Hal ini terutama dilakukan dengan memahami karakter dari otoritas keuangan pada masingmasing negara tersebut. Misalnya suatu bank collapse dan menimbulkan dampak sistemik, akibatnya kepercayaan masyarakat luntur hingga menyebabkan kondisi ekonomi negara tersebut bergejolak. Hal ini dapat diatasi apabila share communication atau share data dengan bank sentral dapat terlaksana dengan baik. Sehingga bank sentral dapat segera memberikan pinjaman kepada bank tersebut. Pembentukan OJK sudah ditujukan untuk mengatasi masalah koordinasi informasi antara Bank Indonesia, Kementerian Keuangan dan Otoritas Jasa Keuangan serta Lembaga Penjamin Simpanan. Sehingga pada akhirnya krisis manjemen protokol dapat diterapkan dengan baik dalam sektor ini. Sebagai staf ahli kebijakan dan regulasi jasa keuangan dan pasar modal, dalam pembentukan OJK bertugas membantu pelaksanaan transformasi kelembagaan dari Bapepam-LK menjadi OJK. Staf ahli secara simultan berperan dalam mempersiapkan
bagaimana bentuk organisasi, sumber daya manusia hingga infrastrukturnya. Sehingga nantinya baik dari hubungan kerja, harmonisasi kebijakan, dan pengaturan sektor jasa keuangan menjadi lebih mudah. Tolok ukurnya, tutur Ngalim, walaupun Bapepam-LK melebur bersama Bank Indonesia menjadi OJK bukan berarti jalan sendiri-sendiri dalam proses persiapannya, melainkan secara bersama-sama mendesain satu lembaga yang terintegrasi. Sehingga nanti di dalam perjalanan ke depan tidak menghadapi hambatan. “Artinya kita harus ikut mendukung karena Undang-Undang itu kita bikin, maka sebagai (pegawai) Kementerian Keuangan kita harus dukung. OJK itu harus betul-betul berdiri dan sesuai dengan yang kita inginkan. Maka (diperlukan) koordinasi antara Kemenkeu dan BI yang berkaitan dengan pengawasan bank dalam OJK di tahun 2014,” tutur Ngalim.
Harapan Melalui pengaturan kebijakan yang prudent, pengembangan jasa keuangan yang lebih baik, kondisi politik yang lebih stabil serta keamanan yang terjamin, Ngalim optimis kondisi perekonomian domestik semakin bagus sehingga peringkat investment grade masih terjaga, artinya meskipun ada gejolak, dampaknya tidak terlalu signifikan. Ngalim berharap indusri jasa keuangan ke depan lebih baik, mulai dari sisi industri, sisi otoritas bahkan dari sisi profesi penunjang di bidang jasa keuangan. Sebagai contoh, seorang penilai harus menilai aset dengan benar. Sebagai contoh, aset senilai Rp100 harus dinilai Rp100, jangan dinilai kurang dari itu atau lebih dari itu. Terakhir dari masyarakat, Ngalim berharap agar masyarakat dapat memberikan kontribusi dengan baik, misalnya tidak melakukan praktik ‘hengki-pengki’ atau berkomplot dengan para pelaku pasar “Harapan saya ke depan saya kira itu bisa diwujudkan dengan OJK yang baik, orangorang yang ada disitu baik, berniat baik, kita jalankan dengan tertib maka semuanya akan jadi baik bagi semua pihak, gitu saya kira itu harapan saya untuk jasa keuangan ke depan,” pungkas Ngalim. MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
21
lintas peristiwa
Seminar Kebijakan Anggaran Responsive Gender
Official Launch Asia Bond Monitor
Teks: Arfindo Briyan Foto: Kukuh Perdana
Teks: Baruno Hartanto Foto: Kukuh Perdana
Wakil Menteri Keuangan Anny Ratnawaty menjadi pembicara dalam seminar bertajuk “Target MDG’s 2015 dalam Kebijakan Anggaran Responsive Gender dan Fungsi Pengawasan Parlemen” pada Sabtu (21/4) di hotel Ritz Carlton, Jakarta.
Direktur Jenderal Pengelolaan Utang (DJPU) Kementerian Keuangan Rahmat Waluyanto, pada Kamis (26/4), menghadiri peluncuran Asia Bond Monitor, terbitan Asian Development Bank (ADB) di Hotel Four Season, Jakarta.
S
eminar ini merupakan rangkaian kegiatan dari Konsolidasi Nasional Jaringan Kaukus Perempuan Parlemen se-Indonesia yang diselenggarakan oleh Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI. Anggaran responsive gender ini, menurut Anny, adalah anggaran yang mengakomodasi keadilan bagi perempuan dan laki-laki dalam memperoleh akses, manfaat dan partisipasi dalam pengambilan keputusan dan mengontrol sumber-sumber daya serta kesetaraan terhadap kesempatan dan peluang dalam menikmati hasil pembangunan.
22
I
a menilai Asia Bond Monitor merupakan sarana dalam pasar obligasi yang dapat bermanfaat bagi negara-negara di kawasan Asia. "Saya meyakini ini (Asia Bond Monitor) merupakan sarana yang dapat memfasilitasi pasar obligasi di kawasan regional, dengan meyediakan informasi teraktual dan relevan, dari tiap-tiap negara di kawasan regional, bagi para pemangku kepentingan," kata Rahmat.
Foto: Kukuh Perdana
Foto: Arfindo Briyan
Sekretariat Pengadilan Pajak bekerja sama dengan Badan Pengawas Mahkamah Agung RI menyelenggarakan sosialisasi Pengawasan Pengadilan Pajak di Aula Gedung R.M. Notohamiprodjo, Jakarta pada Jumat (4/5).
BKF menerima kunjungan dari Mahasiswa Studi Pembangunan Fakultas Ekonomi Universitas Lampung dan Mahasiswa Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Islam Negeri Syarih Hidayatullah pada Kamis (10/5) dan Jumat (11/5).
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
Penggagalan Penyelundupan Penerusan Hibah untuk Terbesar Heroin Pemerintah Aceh Teks: Amelia Safitri Foto: Kukuh Perdana
Teks: Arfindo Briyan Foto: Langgeng Wahyu P.
Kantor Pengawasan dan Pelayanan Bea dan Cukai Tipe Madya Pabean (KPPBC TMP) Medan menggagalkan upaya penyelundupan narkotika golongan I jenis heroin seberat 10.110,1 gram.
Direktur Jenderal Perimbangan Keuangan Marwanto Harjowiryono mewakili Kementerian Keuangan menandatangani perjanjian penerusan hibah “Exploration of Seulewah Geothermal Working Area”, di Jakarta, Senin (07/5).
P
enggagalan yang dilakukan pada Minggu (29/4) merupakan penegahan terbesar yang pernah dilakukan oleh Bea dan Cukai, dengan nilai total lebih dari Rp20 miliar. “Penangkapan ini merupakan penegahan narkotika golongan I jenis heroin terbesar yang pernah ditegah DJBC,” jelas Direktur Jenderal Bea dan Cukai Agung Kuswandono dalam konferensi pers di Jakarta, Selasa (1/5). Dalam hal barang bukti beratnya melebihi 5 gram, pelaku dipidana dengan pidana mati, pidana seumur hidup atau pidana penjara paling lama 20 tahun dan pidana denda maksimum Rp10 miliar ditambah 1/3.
P
royek ini, disampaikan Marwanto, merupakan kegiatan pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi di Seulewah yang dilaksanakan oleh PT Investasi Aceh, sebuah BUMD yang dibentuk melalui pola Public Private Partnership dengan perusahaan swasta yang dipilih melalui proses tender. Marwanto berharap pembangkit listrik ini dapat mendukung kebijakan untuk menciptakan energi yang ramah lingkungan.
Foto: Kukuh Perdana
Foto: Kukuh Perdana
Pusdiklat Bea dan Cukai menyelenggarakan penutupan Diklat Teknis Umum (DTU) Kesamaptaan angkatan III Tahun Anggaran 2012 di lapangan upacara Kantor Pusat DJBC, Jakarta, Rabu (16/5).
Pemerintah mengajukan asumsi makro dalam Kerangka Ekonomi Makro dan Pokok-Pokok Kebijakan Fiskal tahun anggaran 2013, yang disampaikan oleh Menteri Keuangan Agus D. W. Martowardojo saat rapat paripurna di gedung DPR, Rabu (16/5). MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
23
reportase
Pentingnya Rupiah Bagi NKRI Teks: Wardah Adina Foto: Wardah Adina dan Dina Anandita
Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2011 Tentang Mata Uang telah disahkan oleh Presiden Susilo Bambang Yudhoyono dan diberlakukan sejak tanggal 28 Juni 2011. UU ini menjelaskan bahwa Rupiah sebagai Mata Uang Republik Indonesia merupakan simbol kedaulatan negara yang harus dihormati dan dibanggakan oleh seluruh warga Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
S
ecara garis besar, UU Tentang Mata Uang ini meliputi empat pengaturan, yang pertama adalah pengaturan mengenai fisik Rupiah, terkait macam dan harga, ciri, desain, serta bahan bakunya. Kedua, pengaturan mengenai pengelolaan Rupiah. Ketiga, pengaturan mengenai kewajiban penggunaan Rupiah, penukaran Rupiah, larangan, dan pemberantasan Rupiah Palsu. Terakhir, pengaturan mengenai ketentuan pidana terkait masalah penggunaan, peniruan, perusakan, dan pemalsuan Rupiah. Oleh karena itu, dalam rangka melakukan tugas edukasi publik terkait UU Tentang Mata Uang, Sekretariat Jenderal Kementerian Keuangan mengadakan rangkaian sosialisasi di tiga kota besar, yaitu Batam (26/4), Palembang (7/5), dan Denpasar. Dengan mengangkat tema “Rupiah Menjadi Tuan Rumah di Negeri
Sendiri”, acara ini menekankan pada arti pentingnya mata uang bagi sebuah negara. Materi sosialisasi dibawakan oleh perwakilan dari tiga instansi, yakni Direktorat Jenderal Perbendaharaan Kemenkeu, Bank Indonesia, dan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia, dan diikuti oleh para tamu undangan yang terdiri dari pemerintah daerah, para pelaku usaha, kepolisian setempat, dan kejaksaan setempat. Dalam sosialisasi UU Tentang Mata Uang di Batam, Sekretaris Direktorat Jenderal Perbendaharaan Tata Suntara menyatakan dalam sambutannya bahwa UU ini merupakan sebuah tonggak baru dari sejarah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Tata berharap, melalui UU ini harkat dan martabat Rupiah dapat terangkat dan Rupiah sebagai Mata Uang NKRI harus dapat menjadi tuan rumah di negeri sendiri.
Landasan pemikiran Mantan Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM Zafrullah Salim memaparkan tiga landasan pemikiran dibentuknya UU
24
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
Tentang Mata Uang. Pertama, landasan filosofis, yaitu uang memiliki fungsi penting sebagai alat penukar, pembayaran, dan pengukur harga. Kedua, landasan sosiologis, dimana masyarakat masih percaya kepada Rupiah sebagai alat pembayaran yang sah. Zafrullah menyampaikan bahwa kepercayaan ini, baik dari masyarakat Indonesia maupun internasional, perlu dipertahankan agar perekonomian negara tidak terganggu. Terakhir, landasan yuridis, sebagaimana tercantum dalam Pasal 23B Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945 dan UU Nomor 3 Tahun 2004 tentang Perubahan Atas UndangUndang Republik Indonesia Nomor 23 Tahun 1999 Tentang Bank Indonesia yang mendelegasikan agar Mata Uang diatur dengan UU tersendiri.
dan handling, memiliki nilai estetika dan ciri Indonesia, dan memperhatikan biaya yang digunakan. Paparan dilanjutkan kepada pengelolaan Rupiah, baik berupa kertas maupun logam, yang dilakukan oleh Bank Indonesia, dimulai dari tahap perencanaan, pencetakan, pengeluaran, pengedaran, pencabutan dan penarikan, hingga pemusnahan uang.
Pengelolaan oleh BI
Pertama, Rupiah wajib digunakan dalam setiap transaksi yang bertujuan untuk pembayaran, penyelesaian kewajiban lainnya, dan dalam setiap transaksi keuangan lain yang dilakukan di dalam wilayah NKRI termasuk wilayah Free Trade Zone. Kewajiban ini, lanjut Rudi, hanya terbatas pada transaksi uang secara fisik yakni pada penggunaan Rupiah Kertas dan Logam, tidak meliputi penggunaan uang giral.
Direktur Hukum Bank Indonesia (BI) dan Asisten Direktur Hukum BI Teddy Jusuf, dalam sosialisasi ini memberikan paparan mengenai standarisasi elemen dalam desain uang. Termasuk di dalamnya penggunaan tema pahlawan nasional dalam Rupiah Kertas, dan tema flora dan fauna Indonesia dalam Rupiah Logam. Selain tema, juga dipaparkan standarisasi ukuran, unsur pengaman seperti watermark dan security thread, dan bahan baku dari Rupiah. Pada dasarnya, prinsip yang dipegang dalam desain uang adalah melindungi uang dari upaya pemalsuan, kemudahan dikenali
Kewajiban dan larangan Sementara itu, Direktur Pengelolaan Kas Negara Ditjen PBN Rudi Widodo memaparkan bahwa dengan diaturnya penggunaan rupiah sebagai legal tender dalam UU Tentang Mata Uang, maka lahirlah dua prinsip yang harus dipenuhi oleh setiap orang dan badan yang berada dalam NKRI.
Kedua, larangan untuk menolak pembayaran dengan Rupiah bagi penerima pembayaran. Pelanggaran terhadap
kewajiban ini diancam dengan pemberian sanksi, baik sanksi administratif maupun sanksi pidana. “Menolak Rupiah diartikan telah merendahkan Rupiah sebagai simbol kedaulatan negara. Oleh karena itu, pelanggaran terhadap ayat ini diancam dengan sanksi pidana,” tegas Rudi. Pada hakekatnya, ketentuan ini bertujuan untuk meng-encourage masyarakat agar menggunakan Rupiah dalam melakukan setiap transaksi keuangan. Di samping itu, Rudi juga memaparkan ketentuan mengenai pemberantasan Rupiah palsu. Pemalsuan Rupiah sebagai salah satu bentuk kejahatan terhadap Mata Uang yang saat ini semakin merajalela, sangat merisaukan karena dapat mengancam kondisi moneter dan perekonomian nasional. Di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana belum terdapat ketentuan tindak pidana yang mengatur secara komprehensif jenis perbuatan tersebut dan ancaman sanksinya. Sehingga aturan dalam UU Tentang Mata Uang mengenai hal ini menjadi kebutuhan yang mendasar demi menegakkan hukum dan memberikan efek jera bagi pelaku kejahatan. Sosialisasi UU ini mendapatkan atensi yang baik dari para peserta, terlihat dari antusiasme pada sesi tanya jawab dengan para pembawa materi yang juga mengakhiri rangkaian acara tersebut. MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
25
Pelayanan Terbaik, Tepat Waktu, dan Terukur Teks dan foto: Bagus Wijaya
Bandung, Ibu Kota Provinsi Jawa Barat merupakan salah satu kota eksotis di Indonesia sebagai tujuan para pelancong lokal maupun mancanegara. Di wilayah ini sektor pariwisata dan kuliner terus tumbuh dan berkembang. Di wilayah Jawa Barat ini usaha di sektor pariwisata dan kuliner berupa restoran serta perhotelan, home industri, apartemen/real estate, dan tekstil berupa garmen maupun usaha pertenunan industri besar maupun perorangan berkembang pesat.
O
leh karena itu Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak (Kanwil DJP) Jawa Barat I, Adjat Djatnika melihat kondisi ini sebagai asset yang harus dijaga dan dibenahi sehingga mampu menyumbangkan pertumbuhan dan peningkatan perekonomian yang cukup besar bagi negara. Jika kondisi ekonomi terus tumbuh dan mengalami peningkatan maka diharapkan potensi penerimaan pajak yang ada juga mengalami peningkatan. Terkait dengan potensi penerimaan pajak tersebut, Djatnika beserta jajarannya berusaha memberikan pelayanan terbaik, tepat waktu, dapat diukur kinerjanya serta mendorong pertumbuhan dan peningkatan ekonomi. “Dengan begitu wajib pajak merasa nyaman, terlindungi, terlayani, dan tidak sungkan berhubungan dengan aparat perpajakan terutama dengan ujung tombak di Kantor Pelayanan Pajak (KPP) yang berjumlah 16 di wilayah kami,” ujar Djatnika di kantornya, Jalan Asia Afrika nomor 114, Bandung. Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jawa Barat I yang terletak di komplek Gedung Keuangan Negara, Jalan Asia Afrika, Bandung menjadi salah satu penyangga penerimaan negara melalui sektor pajak dalam APBN
26
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
setiap tahunnya. Kanwil DJP Jawa Barat I sebelumnya merupakan Kanwil DJP Jawa Barat yang kemudian karena berdasarkan target penerimaan yang terus naik semakin membesar akhirnya dibagi menjadi 3 (tiga) Kantor Wilayah yaitu Kanwil DJP Jawa Barat I di Bandung (wilayahnya Jawa Barat bagian selatan), Kanwil DJP Jawa Barat II di Bekasi (wilayahnya Jawa Barat bagian utara) dan Kanwil DJP Banten. Secara de jure kantor ini memiliki wilayah penagihan pajak mulai dari Bandung Raya meliputi Madya Bandung, Bandung Cibeunying, Bandung Karees, Bandung Bojanagara, Bandung Tegallega dan Bandung Cicadas. Sedangkan di luar bandung raya membawahi wilayah Cimahi, Soreang, Majalaya, Sukabumi, Cianjur, Purwakarta, Tasikmalaya, Ciamis, Garut serta Sumedang.
Pencapaian target Ketika ditanya target, Djatnika yang menjabat sebagai kepala Kanwil DJP Jawa Barat I sejak bulan Oktober 2011 ini, mengatakan “Alhamdulillah, sampai dengan akhir tahun 2011 target dapat tercapai sebesar 96% dari angka yang ditargetkan sebesar kurang lebih 13 trilyun.” Angka capaian tersebut menurut beliau cukup bagus, mengingat banyaknya
kendala dan tantangan yang dihadapi. Untuk target penerimaan pajak di tahun 2012, kanwil DJP Jawa Barat I ditetapkan sebesar 14,6 trilyun. Dari angka tersebut Kanwil DJP Jawa Barat I yakin akan dapat mencapainya berbekal semangat kerja sesuai dengan pedoman Nilai-Nilai Kementerian Keuangan yang menjiwai jajaran pegawai yang dipimpinnya, yaitu Intregitas, Profesionalisme, Sinergi, Pelayanan, dan Kesempurnaan. Menurut Djatnika, “Jajarannya yakin akan dapat mencapai target tahun ini karena sejak awal kami sudah melakukan langkah-langkah strategis untuk mempermudah kami mencapai target, baik melalui koordinaasi dan pengawasan diantara unit-unit kerja, extra effort, efektifitas pemeriksaan, penyidikan, tindakan penagihan maupun peningkatan kepatuhan Wajib Pajak dan lain-lain.” Hal ini membuahkan hasil yang tercermin dalam peningkatan tingkat kepatuhan wajib pajak sampai dengan akhir Maret 2012 sebesar 45% dari total wajib pajak. Jika dibandingkan tahun lalu angka 45% tersebut tercapai pada akhir tahun. Hal ini merupakan pencapaian yang signifikan mengingat untuk tahun ini masih mempunyai waktu yang cukup lama sampai dengan akhir tahun 2012, dengan target minimal 67,5%.
Layanan Unggulan Layanan unggulan yang dimiliki oleh Kanwil DJP Jawa Barat I, menurut Djatnika yaitu layanan yang berhubungan langsung dengan Wajib Pajak di bidang pengurangan, keberatan, dan banding. Proses penyelesaian keberatan yang ketentuannya adalah selesai dalam waktu 12 bulan, diusahakan dapat selesai dalam waktu 9 bulan. Demikian juga untuk penyelesaian pengurangan, penghapusan, dan pembatalan dapat diselesaikan dalam waktu kurang dari 6 bulan. Disamping itu Djatnika juga menginstruksikan ke Kantor Pelayanan Pajak (KPP) di wilayah Jawa Barat I agar menjalankan 16 layanan unggulan kepada wajib pajak antara lain layanan penyelesaian oemberian NPWP (1 hari kerja), pengukuhan PKP (1 hari kerja), restitusi PPN, Penerbitan SPMKP (3 minggu), SKB PPh Pasal 22 impor (5 hari kerja), pendaftaran OP baru dengan penelitian kantor (3 hari kerja), penyelesaian mutasi seluruh objek dan subjek PBB (5 hari kerja), SKB pemotongan PPh pasal 23 (1 bulan), SKB pemotongan deposito dan bunga tabungan (7 hari kerja), SKB PPh atas penghasilan dari Pengalihan Hak atas Tanah dan Bangunan (3 hari kerja), SKB PPB atas BKP tertentu (5 hari kerja). Selain layanan unggulan di atas, Kanwil DJP Jawa Barat I juga memiliki keunggulan di bidang koordinasi dan konsep kehumasan. Dalam hal koordinasi Kanwil bertindak sebagai koordinator dalam perumusan dan pengimplementasian strategi penerimaan pajak di wilayah Jawa Barat I. “Koordinasi merupakan suatu hal yang katanya sangat mudah untuk diucapkan, tetapi sulit untuk dilaksanakan”, ujar Djatnika. Kanwil senantiasa melakukan bimbingan serta evaluasi terhadap 16 KPP di wilayahnya dengan menyelenggarakan forum group discussion di semua lini, seperti forum Account Representatif, Forum Pemeriksa, Forum Teknologi Informasi dan lain-lain yang sejenis. Dengan adanya forum-forum tersebut banyak permasalahan yang ada menjadi cepat selesai dan memperkecil masalah baru yang akan timbul terkait dengan hal teknis. Hal ini dikarenakan adanya saling tukar pengalaman, maupun pengetahuan diantara para peserta forum, sehingga mudah untuk menemukan solusi jika ada permasalahan.
Dalam hal konsep kehumasan, Djatnika membuat program berupa “Company Visit.” Company Visit merupakan bentuk kerjasama antara Kanwil dengan Perguruan TinggiPerguruan Tinggi di wilayah Jawa Barat I untuk memberikan kesempatan kepada para mahasiswa bisa belajar mengenai perpajakan secara bergilir dengan cara magang di kantor pajak. Dengan konsep seperti ini Djatnika berharap akan timbul mindset positif tentang pajak di kalangan para mahasiswa yang sebenernya bukan suatu “momok” yang menyeramkan. Dengan belajar langsung di kantor pajak, mereka akan melihat, mendengar dan akhirnya akan memahami sendiri bagaimana sebenarnya bussiness prosses perpajakan di negara kita. Mungkin akan berbeda dengan mindset yang berkembang di masyarakat yang kurang sadar pajak. Misalnya, muncul istilah “Hati-hati kalau bayar pajak, nanti duitnya diambil sama orang pajak loh.” “Padahal duit pajak itu disetor ke Kas Negara melalui Bank Persepsi, bukan disetorkan ke kantor pajak,” kata Djatnika. Selain mengubah mindset para mahasiswa, cara seperti ini juga bertujuan mendidik para mahasiswa agar menjadi masyarakat sadar pajak. Mahasiswa merupakan calon wajib pajak di masa yang akan datang, sehingga diharapkan mempunyai bekal pengetahuan yang cukup serta mindset yang baik tentang perpajakan sejak dini.
Kendala dan Solusi Djatnika mengungkapkan kendala dan tantangan yang dihadapi oleh Kanwil DJP Jawa Barat I dalam pelaksanaan tugas pokok dan fungsi selama 2011 berasal dari faktor internal dan eksternal. Dari faktor internal, yaitu kualitas SDM yang kurang merata. “Untuk mengatasi kendala ini, kami terus berusaha agar kualitas SDM dapat terus ditingkatkan baik melalui pertemuan forum-forum maupun diklat yang dapat meningkatkan kemampuan pegawai,” ungkap Djatnika. Dari faktor eksternal, yaitu kurangnya kesadaran masyarakat Wajib Pajak di wilayah Kanwil DJP Jawa Barat I yang sering tidak melaksanakan hak dan kewajiban perpajakannya. Hal ini tercermin dari tingkat kepatuhan Wajib Pajak hanya sebesar 45% pada tahun 2011, melalui self assesment system. Untuk meningkatkan kesadaran Wajib Pajak, Kanwil DJP Jawa Barat I terus melakukan langkah-langkah persuasif kepada Wajib Pajak dengan meningkatkan fungsi kehumasan seefektif dan seefisien
mungkin. Misalnya, dengan membentuk kemitraan yang bersifat kekeluargaan melalui edukasi dan diskusi dengan berbagai asosiasi wajib pajak, membuka counter pajak di mall, membuka pojok pajak, menyelenggarakan talkshow di radio, serta menayangakan iklan layanan perpajakan di media massa. Jika dalam pendekatan persuasif masih terdapat Wajib Pajak yang masuk dalam ketegori “bandel,” Kanwil DJP Jawa Barat I tidak segansegan akan melakukan enforcement, sebagai langkah terakhir jika melalui kemitraan tidak membuahkan hasil yang baik.
Pengembangan SDM Terkait pengembangan SDM, Djatnika menyampaikan “Selaku pimpinan, saya berusaha semaksimal mungkin agar para pegawai dapat bekerja dengan lebih nyaman dan merasa output yang dihasilkan merasa dihargai oleh pimpinannya”. Djatnika juga selalu berusaha agar para pegawai dapat mengaktualisasikan dirinya dengan lebih maksimal dalam bekerja. Terhadap para pegawai yang berprestasi akan diberikan penghargaan sebagai pegawai teladan atau dapat diusulkan untuk promosi menduduki jabatan yang lebih tinggi. Peningkatan kualitas sumber daya manusia (SDM) berusaha terus ditingkatkan baik melalui IHT maupun diklat. Secara periodik kanwil senantiasa melakukan pembinaan terkait dengan pemahaman mengenai aturan-aturan perpajakan maupun peningkatan kapasitas para pegawai, mengembangkan sistem manajemen SDM berbasis kinerja dan kompetensi serta meningkatkan pembinaan dan pengawasan SDM.
Harapan Djatnika berharap, untuk ke depan Kanwil DJP Jawa Barat I dapat selalu mencapai target penerimaan. “Apalagi dalam tahun 2012 ini targetnya cukup besar yaitu 14,6 trilyun, naiknya cukup signifikan dibanding tahun 2011 yang hanya 13 trilyun,” kata Djatnika. Disamping itu Djatnika juga berharap agar tingkat kepuasan dan tingkat kepatuhan Wajib Pajak menjadi tinggi, optimalisasi pelaksanaan ekstensifikasi, pelaksanaan penagihan, pemeriksaan dan penyidikan, pembentukan SDM yang berkompetensi tinggi, penataan organisasi yang adaptif serta penyerapan anggaran yang optimal.
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
27
info kebijakan
Upaya Peningkatan Pelayanan Lelang Teks: Iin Kurniati Foto: Kukuh Perdana
“Dengan Semangat Pembaharuan Lelang, Kita Tingkatkan Kinerja, Akuntabilitas dan Kualitas Pelayanan Lelang”. Demikian tema yang digaungkan oleh Direktorat Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) dalam Sosialisasi Kebijakan Lelang di hotel Aryaduta, Selasa (1/5) lalu. Dalam acara yang dibuka oleh Direktur Lelang DJKN, Purnama T Sianturi ini, diharapkan dapat meningkatkan kompetensi balai lelang, sehingga pelayanan lelang semakin optimal.
D
JKN melakukan sedikitnya sembilan upaya untuk meningkatkan pelayanan lelang, diantaranya yaitu penyempurnaan peraturan, simplifying dan security paper, capacity building SDM, lelang internet, otomatisasi laporan lelang, pembinaan pejabat lelang kelas II, pembinaan balai lelang, peningkatan sosialisasi dan masukan dalam penyelesaian sejumlah masalah di lapangan. Pertama, penyempurnaan peraturan, DJKN melakukan upaya evaluasi dan penyempurnaan pada sejumlah Peraturan Menteri Keuangan (PMK), seperti PMK Nomor 93/PMK.06/2010 tentang Petunjuk Pelaksanaan Lelang, PMK Nomor 174/ PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang Kelas I, PMK Nomor 175/PMK.06/2010 tentang Pejabat Lelang Kelas II, PMK Nomor 176/PMK.06/2010 tentang Balai Lelang dan Peraturan Direktur Jenderal Kekayaan Negara Nomor PER-03/ KN/2010 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Lelang dan Rancangan Undang-Undang (RUU) tentang Lelang setelah harmonisasi yang direncanakan masuk program legislasi nasional (Prolegnas) tahun 2012 Perubahan pada bulan Maret atau Oktober 2012. Kedua, simplifying dan security paper, DJKN melakukan upaya menyederhanakan muatan
28
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
dan penulisan pada kutipan risalah lelang. Selain itu, DJKN juga memberikan pengaman khusus dan fitur-fitur pengaman pada Kutipan Risalah Lelang dengan security paper yang didistribusikan kepada seluruh pejabat lelang Kelas II.
dapat dilaksanakan dengan cepat, real time, dan terintegrasi. Saat ini, aplikasi otomatisasi tengah disiapan oleh tim Direktorat PKNSI dengan menggunakan database oracle dan visual basic yang ditargetkan selesai pada tahun ini.
Ketiga, program capacity building, sosialisasi ini merupakan salah satu kebijakan yang dilaksanakan DJKN untuk meningkatkan kompetensi balai lelang yang saat ini terdiri dari 80 balai lelang serta 88 pejabat lelang kelas II.
Keenam, pembinaan pejabat lelang kelas II, DJKN mempertimbangkan untuk menambah jumlah formasi melalui perubahan KMK Nomor 05/KM.7/2006 tentang formasi pejabat lelang kelas II. Ketujuh, pembinaan 80 balai lelang yang terdiri dari 59 balai lelang aktif dan 21 balai lelang tidak aktif.
Keempat, lelang internet, DJKN telah melakukan proses penawaran dan pembahasan dengan Direktorat Lelang, Direktorat Teknis terkait Pengelolaan Kekayaan Negara dan Sistem Informasi (PKNSI) dan konsultan untuk melaksanakan sejumlah action plan. Diantaranya yaitu penyempuranaan aplikasi lelang internet, simulasi implementasi aplikasi internet dengan menggunakan data riil pelaksanaan lelang, stressed test aplikasi lelang internet terhadap beberapa pilot project atau sampel dan persiapan infrastruktur penunjang. Kelima, otomatisasi laporan lelang, DJKN melakukan penatausahaan laporan lelang melalui sistem otomatisasi agar pelaporan
Kedelapan, peningkatan sosialisasi lelang yang dilakukan melalui website DJKN, website Kemenkeu, media cetak atau pengumuman lelang maupun Media Kekayaan Negara yang menyediakan informasi berupa data lelang di atas Rp300 juta. Disamping itu, DJKN juga melakukan kegiatan auction on clinic dan iklan layanan lelang yang dimunculkan pada LED Kemenkeu. Terakhir, DJKN berupaya juga memberikan penyelesaian masalah di lapangan yang dihadapi oleh Kantor Pelayanan Kekayaan Negara dan Lelang (KPKNL) maupun Kantor wilayah, pejabat lelang kelas II, dan balai lelang.
Memperkuat Ekonomi Nasional melalui Gernas Kakao Teks: Iin Kurniati Foto: Kukuh Perdana
“Dalam rangka peningkatan kualitas sumber daya manusia, perlu pula didorong peningkatan konsumsi kakao bagi masyarakat kita. Oleh karena itu, chocolate consumption education dalam rangka penyerapan hasil olahan kakao juga menjadi hal yang tidak boleh kita kesampingkan begitu saja. Sehingga ke depan Indonesia akan menjadi tuan rumah dinegerinya sendiri.” Demikian diungkapkan Mahendra Siregar, Wakil Menteri Keuangan II dalam workshop dengan tema ‘Memperkuat Ekonomi Kakao Nasional’ yang diadakan di Sari Pan Pasific, Jakarta, Rabu (9/5).
P
elaksanaan workshop ini merupakan upaya dari Kementerian Keuangan untuk memberikan pemahaman yang luas dan mendalam mengenai kebijakan bea keluar khususnya kakao sebagai salah satu instrumen untuk membangkitkan dan menggairahkan kembali sektor industri kakao dalam negeri. Sejak 1 April 2010, pemerintah menetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 67/PMK.011/2010 tentang Penetapan Barang Ekspor yang Dikenakan Bea Keluar dan Tarif Bea Keluar menetapkan pengenaan bea keluar atas ekspor biji kakao. Dengan berlakunya PMK tersebut setiap ekspor biji kakao dikenakan bea keluar sebesar 5 persen, 10 persen, atau 15 persen sesuai tingkatan harga referensi biji kakao dipasaran internasional. Mahendra mengatakan bahwa pada bulan Mei 2012 ini, kebijakan pengenaan bea keluar atas ekspor biji kakao sudah dilaksanakan sekitar dua tahun. “Sudah pada tempatnya apabila pemerintah menegok kembali apakah hasil dari kebijakan ini sudah dapat dirasakan oleh industri dan masyarakat kakao Indonesia”, ujar Wamenkeu. Data dan fakta menunjukkan progress positif dengan berkembangnya industri pengolahan kakao dalam negeri dan masuknya beberapa
investasi baru. Data ekspor kakao juga menunjukkan adanya pergeseran dari dominasi biji kakao pada tahun 2009, kemudian berubah pada tahun 2011 dimana ekspor kakao olahan meningkat pesat. Berdasarkan data dari Badan Pusat Statistik (BPS) pada tahun 2009 volume ekspor kakao olahan naik dari 82 ribu ton menjadi 178 ribu ton pada tahun 2011. Sedangkan ekspor biji kakao turun dari 439 ribu ton pada tahun 2009 menjadi 210 ribu ton pada tahun 2011. Data ini menunjukkan bahwa bea keluar biji kakao mampu mendorong pengembangan industri sehingga nilai tambah dapat dinikmati di dalam negeri. Kemudian, kemajuan sisi industri industri tampak dari peningkatan kapasitas produksi industri domestik dari 130 ribu ton tahun 2009 menjadi 280 ribu ton pada 2011. Tambahan investasi baru yang akan mulai beroperasi pada tahun 2013 diperkirakan dapat meningkatkan kapasitas produksi industri pengolahan kakao hingga mencapai 400 ribu ton pada tahun 2014. Disisi lain, enam perusahaan olahan kakao kembali beroperasi, tiga pabrik menambah kapasitas terpasang, lima pabrik kembali beroperasi secara normal, serta terdapat satu investasi baru dari Malaysia. Selain itu, terdapat beberapa pabrikan kakao olahan internasional
yang mulai membangun pabrik di Indonesia, yakni Barry Callebout dari Swiss yang bekerja sama dengan pabrikan domestik Comextra Majora di Makassar, Archer Daniels Midland Cocoa (ADM Cocoa) dari Singapura, Cargill dari USA, dan JB Cocoa dari Malaysia. Mahendra menegaskan bahwa peningkatan kebutuhan biji kakao menuntut penyediaan bahan baku yang berkualitas dalam jumlah banyak. “Untuk itu, program Gerakan Nasional Peningkatan Produksi dan Kualitas Biji Kakao (Gernas Kakao) yang telah berjalan akan senantiasa disambung dengan programprogram lanjutan untuk meningkatkan produktivitas dan kualitas biji kakao yang dihasilkan oleh petani,”tegas Mahendra. Terakhir, Mahendra menekankan pentingnya peningkatan mutu, kualitas, produktivitas kakao hingga menyentuh sisi industri. Sementara terkait permasalahan fermentasi biji kakao akan diberikan perhatian khusus bagi petani, pihak terkait hingga regulasi pemerintah. Hal ini sejalan dengan arah pembangunan nasional yang menggerakkan sektor agro industri. “Sehingga menghasilkan devisa ekspor yang tinngi dan memberikan tricle down effect bagi masyarakat secara keseluruhan, khususnya di daerah penghasil kakao, penciptaan tenaga kerja, dan pertumbuhan ekonomi nasional,”pungkasnya. MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
29
Ketentuan Down Payment Kendaraan Bermotor Teks: Iin Kurniati Ilustrasi: http://4.bp.blogspot.com/ -54L5TY3fMKM/T2gV6yezrcI/ AAAAAAAABRI/BpBiDaVaU5s/ s1600/1109092620X310.jpg
Adanya persaingan yang tidak sehat dalam penetapan uang muka menimbulkan ketimpangan dalam level of playing field antar perusahaan pembiayaan. Maka pemerintah berinisiatif memberikan filter kepada perusahaan pembiayaan dalam menjaring konsumen. Tujuannya untuk meningkatkan kehatihatian dalam melakukan pembiayaan dan menciptakan persaingan yang sehat di industri perusahaan pembiayaan.
K
ementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai perwakilan pemerintah telah melakukan survey terhadap perusahaan pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor. Kemenkeu juga telah mengadakan sejumlah pertemuan dengan unit terkait untuk membahas permasalahan persaingan perusahaan pembiayaan. Diantaranya yaitu, mengadakan pertemuan dengan Direktorat Penelitian dan Pengaturan Perbankan (DPNP) Bank Indonesia terkait pembahasan uang muka pembiayaan kendaraan bermotor. Selain itu, Kemenkeu juga mengadakan pertemuan dengan Asosiasi Perusahaan Pembiayaan Indonesia (APPI), Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo), Asosiasi Industri Sepeda Motor Indonesia (AISI) dan Perhimpunan Bank-bank Umum Nasional (Perbanas), dalam rangka sosialisasi rencana pengaturan uang muka pembiayaan kendaraan bermotor. Berdasarkan hal di atas, pemerintah mengeluarkan Peraturan Menteri Keuangan
30
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
(PMK) Nomor 43/PMK.010/2012 tentang Uang Muka Pembiayaan Konsumen untuk Kendaraan Bermotor pada Perusahaan Pembiayaan. Adapun pokok-pokok yang diatur pada PMK tersebut ada lima hal penting. Pertama, Perusahaan Pembiayaan yang melakukan kegiatan usaha pembiayaan konsumen untuk kendaraan bermotor wajib menerapkan ketentuan uang muka (down payment) kepada konsumen. Diantaranya yaitu, bagi kendaraan bermotor roda dua dan bagi kendaraan bermotor roda empat yang digunakan untuk tujuan produktif, paling rendah 20 persen dari harga jual kendaraan. Sedangkan bagi kendaraan bermotor roda empat yang digunakan untuk tujuan nonproduktif, paling rendah 25 persen dari harga jual kendaraan. Kedua, kendaraan bermotor roda empat yang digunakan untuk tujuan produktif harus memenuhi sejumlah kriteria, seperti kendaraan tersebut merupakan kendaraan angkutan orang atau barang yang memiliki izin yang diterbitkan oleh pihak berwenang
untuk melakukan kegiatan usaha tertentu. Atau kendaraan tersebut diajukan oleh perorangan atau badan hukum yang memiliki izin usaha tertentu dari pihak berwenang dan digunakan untuk kegiatan usaha yang relevan dengan izin usaha yang dimiliki. Ketiga, Perusahaan Pembiayaan yang melanggar ketentuan akan dikenakan sanksi administratif sesuai dengan ketentuan yang berlaku. Sanksi tersebut akan diberikan secara bertahap berupa peringatan, sanksi pembekuan kegiatan usaha lalu yang terakhir sanksi pencabutan izin usaha. Keempat, Perusahaan Pembiayaan wajib menerapkan ketentuan uang muka dalam perjanjian pembiayaan konsumen dalam jangka waktu paling lama tiga bulan sejak Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku. Terakhir, Peraturan Menteri Keuangan ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan yakni pada tanggal 15 Maret 2012.
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
31
Mau tau Info Lelang?
Lengkap, update, dan terpercaya! Objek lelang dengan nilai limit Rp300.000.000 ke atas, di seluruh Indonesia. Kunjungi sekarang juga: www.djkn.depkeu.go.id/infolelang
32
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
artikel
Menuju Bangsa Inovatif Teks: Peneliti Badan Kebijakan Fiskal Praptono Djunedi Gambar: http://maloneywrites.com/wp-content/ uploads/2012/04/MP900426646.jpg
Beberapa tahun belakangan ini, Indonesia termasuk salah satu dari 20 negara yang memiliki PDB terbesar dunia. Bila dilihat dari jumlah populasi secara keseluruhan, jumlah populasi usia produktif, dan kekayaan sumber daya alam, maka Indonesia punya potensi besar menjadi negara maju baru. Pertanyaannya, mampukah Produk Domestik Bruto (PDB) bangsa ini mencapai level USD4.000-an miliar, menjadi negara ber-PDB terbesar ke-4 dunia setelah Amerika, Jepang dan China? Yes, we can.
S
emangat berinovasi perlu dibudayakan pada lingkungan pemerintahan, akademisi dan pengusaha. Pemerintah telah membentuk Komite Inovasi Nasional (KIN). Secara umum Komite ini bertugas menciptakan budaya inovasi sosial dan perusahaan. Di lingkungan sosial, misalnya, KIN memotivasi masyarakat agar memiliki budaya yang mampu menghargai kreativitas dan inovasi. Sedangkan di lingkungan perusahaan, KIN mendorong perlunya dialokasikan sejumlah dana untuk inovasi Research&Development dan model bisnis. Perusahaan BUMN, BUMD dan swasta perlu didorong untuk mengembangkan R&D untuk menghasilkan riset yang bisa menyediakan produk/jasa yang bernilai tambah tinggi. Grafik 1. 10 Negara PDB Terbesar Dunia (USD miliar) Amerika Serikat
14,119
Jepang
5,069
Cina
4,985
Perancis Inggris Italia Brazil
2,649 2,174 2,112 1,573
Kanada
1,336
India
1,310
Rusia
1,231
Sumber: World Bank
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
33
Di sisi lain, pada pertengahan tahun lalu, pemerintah telah meluncurkan program Masterplan Percepatan Dan Perluasan Pembangunan Ekonomi Indonesia (MP3EI). Rencana induk ini memotivasi dan berupaya menggerakkan seluruh potensi bangsa untuk melakukan sesuatu yang memiliki nilai tambah tinggi. Caranya dengan mengubah paradigma, mindset, cara berpikir dari hanya sekedar bekerja as usual menjadi bekerja yang bersifat breakthrough. Perlu “nafas panjang”, kerja ekstra keras dan komitmen penuh agar implementasi MP3EI sesuai dengan apa yang direncanakan. Komite Percepatan dan Perluasan Pembangunan Ekonomi (KP3EI) yang tugasnya mengawal implementasi dari MP3EI ini menyampaikan bahwa berdasarkan data per 10 Mei 2012 terdapat lonjakan indikasi investasi sebesar Rp922,8 triliun karena ada tambahan proyek yang masuk MP3EI sebanyak 3.368 proyek. Dengan demikian, saat ini ada 4.632 proyek yang diharapkan terealisasi hingga tahun 2014 dengan indikasi investasi sebesar Rp4.934,8 triliun. Dari jumlah tersebut, ada sejumlah proyek infrastruktur dengan investasi sekitar Rp646 triliun yang belum menemukan sumber pembiayaannya. Padahal, tersedianya infrastruktur yang memadai dapat memacu pertumbuhan ekonomi yang lebih tinggi lagi. Terkait dengan hal ini, pemerintah telah memperbaiki 31 regulasi, dan 16 regulasi lainnya segera menyusul. Masih terkait dengan program MP3Ei, kebijakan pengenaan Bea Keluar sebesar 20 persen perlu didukung dunia usaha karena kebijakan ini demi kepentingan rakyat banyak. Kebijakan ini memotivasi dunia usaha agar pekerjaan pengolahan bahan mineral seperti bijih besi, bijih tembaga, bijih nikel, bijih emas dan lainnya dapat dilakukan di dalam negeri. Tentu hal ini berdampak pada dorongan terhadap dunia usaha untuk menguasai teknologi pengolahan bahan mineral, terciptanya penyediaan lapangan kerja baru, mengurangi pengiriman TKI/TKW yang pada akhirnya dapat meningkatkan PDB negara kita.
34
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
Banyak ide inovatif yang akan bermunculan dari anak bangsa yang bila di-manage dengan cerdas akan mempercepat kemajuan bangsa ini yang pada akhirnya bisa menaikkan secara signifikan angka PDB Indonesia.
Tindakan pemerintah lainnya adalah dalam hal pembelian 7 persen saham PT Newmont. Kebijakan ini hendaknya dilihat dalam konteks semangat pemerintah pusat untuk memastikan pengelolaan PT Newmont dapat menjadi contoh pengelolaan perusahaan tambang asing yang taat asas dan berkinerja prima di Indonesia. Toh, dari segi pembiayaannya sudah memperoleh persetujuan DPR tanpa ada catatan apapun. Dari sisi pengelolaan APBN, penulis optimis penggunaan IT yang terkoneksi antar instansi pemerintah bisa dimanfaatkan untuk mempercepat proses penelaahan Rencana Kerja Anggaran K/L sampai dengan memperbaiki pola penyerapan anggaran sehingga penggunaan dana publik tersebut dapat berdampak secara signifikan bagi pertumbuhan ekonomi nasional. Satuan Biaya Umum (SBU) dan Satuan Biaya Khusus (SBK) yang menjadi pedoman penyusunan Petunjuk Operasional (PO) DIPA seharusnya lebih pro R&D. Barangkali bisa dimulai dari hal kecil seperti perbaikan honor penulisan artikel yang selama ini relatif kecil di penerbitan internal instansi, atau perbaikan honor tim penelitian yang “excellent” dimana diusulkan agar salah satu kriterianya harus melalui tim penilai tingkat eselon I atau kementerian. Tujuannya jelas, untuk memotivasi para PNS, yang saat ini rata-rata memiliki level pendidikan yang jauh lebih baik, untuk menghasilkan ide inovatif terbaik mereka demi perbaikan kebijakan pemerintah atau perbaikan pelayanan publik. Dalam jangka panjang, pemerintah perlu mengalokasikan sedikitnya 2 persen dari PDB untuk pengembangan R&D di
Indonesia. Menurut hasil survei Battelle Memorial Institute (AS), negara Amerika Serikat mengalokasikan pengembangan R&D-nya sekitar 2,7 persen dari PDB, Jepang (3,3 persen) dan China (1,4 persen). Sekedar gambaran, besaran yang dialokasikan negara China cukup fantastis, yakni sekitar USD69,79 miliar atau ekuivalen Rp628 triliun (asumsi kurs Rp9.000/USD). Selanjutnya, jangka waktu memulai bisnis di Indonesia sekarang ini dinilai relatif makin cepat, maksimal 17 hari. Pelayanan seperti ini ke depan memang harus selalu di-update agar “kue” investasi dapat terus mengalir ke Indonesia. Penulis (2012) pernah mengingatkan dalam tulisan “Dunia Usaha Dalam Skema MP3EI”, besaran Foreign Direct Investment (FDI) ke Indonesia baru mencapai 14 persen (sekitar USD10,92 miliar) dari total FDI USD78 miliar yang masuk ASEAN. Porsi terbesar atas FDI yang masuk ke ASEAN diperoleh Singapura (40 persen) karena waktu yang diperlukan untuk mulai bisnis cukup tiga hari (Thailand juga 3 hari dan Malaysia 11 hari). Padahal, porsi FDI yang ke ASEAN tersebut baru 10 persen dari total FDI global. Di kalangan masyarakat dan dunia usaha, juga perlu dimotivasi untuk membantu pengembangan R&D. seperti ide mengolah tepung singkong sebagai pengganti terigu dalam rangka mengurangi ketergantungan terhadap impor gandum, atau ide membuat pabrik kelapa sawit “mini” tanpa modal besar sehingga banyak petani sawit bisa melakukan proses pengolahan sawit yang punya nilai tambah daripada dijual hanya berupa Tandan Buah Segar (TBS). Penulis yakin banyak ide inovatif yang akan bermunculan dari anak bangsa yang bila di-manage dengan cerdas akan mempercepat kemajuan bangsa ini yang pada akhirnya bisa menaikkan secara signifikan angka PDB kita. Untuk itu, negara harus memulainya dengan mengalokasikan dana R&D dalam APBN jauh lebih besar daripada yang sudah-sudah. Apabila belum memungkinkan pada level 2 persen PDB, pemerintah bisa bekerjasama dengan para pengusaha besar yang concern dengan pengembangan R&D.
riviu
Riviu atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 65/PMK.02/2012
Tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran, Dan Pertanggungjawaban Subsidi Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu Teks: Zachroni
1. Peraturan Menteri Keuangan Republik Indonesia Nomor 65/PMK.02/2012 (PMK 65/2012) merupakan perubahan atas Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/PMK.02/2011 Tentang Tata Cara Penyediaan Anggaran, Penghitungan, Pembayaran, Dan Pertanggungjawaban Subsidi Jenis Bahan Bakar Minyak Tertentu (PMK 217/2011). 2. Perubahan-perubahan tersebut adalah sebagai berikut: Pasal
Ayat
PMK 217/2011
PMK 65/2012
Subsidi Jenis BBM Tertentu terdiri dari subsidi harga dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas subsidi harga.
Subsidi Jenis BBM Tertentu terdiri dari subsidi harga dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) atas penyerahan Jenis BBM Tertentu oleh Badan Usaha kepada Pemerintah, sebagaimana ditetapkan dalam APBN dan/atau APBNPerubahan.
10
PPN atas subsidi harga sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan besaran subsidi harga dikalikan dengan tarif PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
PPN atas penyerahan Jenis BBM Tertentu oleh Badan Usaha kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dihitung berdasarkan selisih kurang antara harga jual eceran per liter Jenis BBM Tertentu setelah dikurangi PPN dan Pajak Bahan Bakar Kendaraan Bermotor (PBBKB) yang digunakan dalam perhitungan subsidi Jenis BBM Tertentu dalam APBN dan/atau APBN-Perubahan tahun anggaran yang bersangkutan, dengan Harga Patokan per liter Jenis BBM Tertentu dikalikan dengan tarif PPN sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
2
Dalam hal dana subsidi satu atau lebih Jenis BBM Tertentu kurang atau habis digunakan, dapat dilakukan revisi SP RKA-BUN sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
Dalam hal dana subsidi satu atau lebih Jenis BBM Tertentu kurang atau habis digunakan, maka dapat dilakukan revisi SP RKA-BUN dengan merealokasi dana subsidi Jenis BBM Tertentu yang masih tersedia ke subsidi Jenis BBM Tertentu yang kurang atau habis sesuai dengan ketentuan peraturan perundangundangan.
1
Huruf
3
6
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
35
Pasal
Ayat
Huruf
PMK 217/2011
PMK 65/2012
7
3
e
faktur pajak atas subsidi Jenis BBM Tertentu yang ditagihkan kepada KPA;
faktur pajak atas penyerahan Jenis BBM Tertentu oleh Badan Usaha kepada Pemerintah yang ditagihkan kepada KPA;
2a
-
Dalam hal data yang disampaikan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 7 ayat (3) dianggap kurang lengkap atau tidak diyakini kebenarannya, KPA dapat melakukan penelitian langsung ke unit sumber data.
2
Jumlah PPN atas subsidi harga yang dapat dibayar untuk setiap bulannya sebesar 100% (seratus persen) dari hasil perhitungan verifikasi.
Jumlah PPN atas penyerahan Jenis BBM Tertentu oleh Badan Usaha kepada Pemerintah yang dapat dibayar untuk setiap bulannya sebesar 100% (seratus persen) dari hasil perhitungan verifikasi.
2
PPN atas subsidi harga sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (10) dipungut pada saat pembayaran atas subsidi harga dengan cara pemotongan langsung dari tagihan Badan Usaha pada SPM yang berkenaan.
PPN atas penyerahan Jenis BBM Tertentu oleh Badan Usaha kepada Pemerintah sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (10) dipungut pada saat pembayaran atas subsidi harga dengan cara pemotongan langsung dari tagihan Badan Usaha pada SPM yang berkenaan.
1
Dalam hal terdapat selisih kurang pembayaran Dalam hal terdapat selisih kurang pembayaran PPN atas PPN atas subsidi harga yang telah dibayar penyerahan Jenis BBM Tertentu oleh Badan Usaha kepada kepada Direktorat Jenderal Pajak dengan hasil Pemerintah yang telah dibayar kepada Direktorat Jenderal audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal 18, Pajak dengan hasil audit sebagaimana dimaksud dalam selisih kurang pembayaran PPN atas subsidi Pasal 18, selisih kurang pembayaran PPN atas penyerahan harga dibayarkan oleh KPA kepada Direktorat Jenis BBM Tertentu oleh Badan Usaha kepada Pemerintah Jenderal Pajak sesuai ketentuan peraturan dibayarkan oleh KPA kepada Direktorat Jenderal Pajak perundang-undangan sepanjang dana subsidi sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan PPN tersebut telah dianggarkan dalam APBN sepanjang telah dianggarkan dalam APBN dan/atau dan/atau APBN-Perubahan. APBN-Perubahan.
3
Dalam hal terdapat selisih lebih pembayaran Dalam hal terdapat selisih lebih pembayaran PPN atas PPN atas subsidi harga yang telah dibayar penyerahan Jenis BBM Tertentu oleh Badan Usaha kepada Direktorat Jenderal Pajak dengan hasil kepada Pemerintah yang telah dibayar kepada Direktorat audit sebagaimana dimaksud dalam Pasal Jenderal Pajak dengan hasil audit sebagaimana dimaksud 18, kelebihan pembayaran tersebut harus dalam Pasal 18, kelebihan pembayaran tersebut harus dipindahbukukan dari rekening penerimaan dipindahbukukan dari rekening penerimaan pajak ke pajak ke rekening Kas Negara sesuai dengan rekening Kas Negara sesuai dengan ketentuan peraturan ketentuan peraturan perundang-undangan perundang-undangan menggunakan Kode Akun 423913 menggunakan Kode Akun 423913 (Penerimaan (Penerimaan Kembali Belanja Lainnya RM TAYL). Kembali Belanja Lainnya RM TAYL).
8
10
12
20
27
Terhadap PPN atas subsidi harga yang belum dipungut sebelum diundangkannya Peraturan Menteri ini, tata cara penghitungan dan pembayarannya mengikuti mekanisme yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.
Terhadap PPN atas penyerahan Jenis BBM tertentu oleh Badan Usaha kepada Pemerintah yang belum dipungut sebelum diundangkannya Peraturan Menteri ini, tata cara penghitungan dan pembayarannya mengikuti mekanisme yang diatur dalam Peraturan Menteri ini.
-
Pembayaran PPN atas subsidi harga yang telah dibayarkan berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 217/ PMK.02/2011 pada Tahun Anggaran 2011 merupakan PPN atas penyerahan Jenis BBM tertentu oleh Badan Usaha kepada Pemerintah sebagaimana diatur dalam Peraturan Menteri ini.
29a
36
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
english corner
Improving Mining Industry Teks: Arfindo Briyan Alih Bahasa: Haruadi Setiawan Gambar: http://stat.kompasiana.com/ files/2010/08/tambang-newmont.jpg
Many people find the 7 percent divestment share of PT Newmont Nusa Tenggara (PT NNT) bought by the Government as a trivial figure. In fact, the Government is in a strategic position. The notion that with 7 percent share has no influential effect on policy making is incorrect.
T
he 7 percent divestment share of PT NNT is the swing share which makes up the 51 percent of national share ownership. The government managed to get the privilege of placing its person in the board of commissioners, special price of share, and other virtues from this purchase. It means that the Government is able to ensure that the management of PT NNT will be the benchmark for good, legal, with excellent performance, environmentally friendly, and socially beneficial management of foreign investment (PMA) in mining industry. This strategy is a common practice in other countries that the Government is enhancing the control on the mining industry. Considering that the natural resources management based only on business need will eventually disregard public interest. Among others are the environment preservation, domestic need,
domestic value, and state revenue safety via the imposition of tax and royalty as well as its supervision. Therefore, several countries begin to enhance their control over the mining industry to preserve the mentioned interests of the marginal society. This share purchase will bring positive impacts on the management of PT NNT with the rights of having the commissioner position allocated by NTP BV. Form the state revenue side, via PIP, there are sufficient benefit to aid the business process of PIP as well as to support people’s welfare via the investment in infrastructure development in Nusa Tenggara or other regions of Indonesia. From the purchase process side, all stages were executed under and in line with the legal provision of the contract including the engagement of the Minister of Energy and Mineral Resources as a party in the contract.
Studies on the options to improve the welfare of West Nusa Tenggara people, especially West Sumbawa, have been conducted by the Government. First, Central Governments buys the whole shares of the 7% divestment, and the regions are given supports other than the share ownership, such as the infrastructure development and holding the negotiation with Ministry of energy and Mineral Resources to increase the royalty of PT NNT. Other option is to give a quarter of the 7 percent share to the region with dividend scheme. Last, the purchase of PT NNT share in 2012 shall be considered as the effort to equally distribute the welfare to all the people of Indonesia. The enforcement of the sovereignty of the Republic of Indonesia.
MEDIAKEUANGAN MEDIAKEUANGANVol. Vol. VIIVII | No. | No. 5557 / Maret / Mei 2012
37
renungan
Galau Teks: Syafa Kamilah Gambar: http://sidomi.com/ wp-content/uploads/2012/03/ Makanan-anti-galau.jpg
M
enjadi diri kita yang sekarang mungkin sudah sesuai dengan keinginan kita, tapi mungkin banyak juga yang jauh panggang dari api. Banyak hati yang jadi galau karena kenyataan seringkali tidak selalu sama dengan ekspektasi. Kenyataan masih jauh dari harapan. Teman, kegalauan ini bisa baik sekali atau buruk sekali. Galau yang baik sekali tidak akan memperburuk keadaan, ia membantu kita bangun dari jatuh. Kita yang sekarang hakikatnya adalah hasil pilihan-pilihan kita di masa lampau bukan? Maka memilih untuk jadi apa dan bagaimana saat ini dan nanti adalah pilihan kita juga. Maka galau yang baik itu perlu. Ia adalah bukti bahwa kita bukan selembar daun yang terseret kemana pun air menuju. Kita punya prinsip. Kita punya mimpi. Kita merasa galau jika apa yang menjadi mimpi dan prinsip tergores oleh sesuatu. Kita ingin mimpi dan prinsip kita sempurna. Lain waktu saat mimpi sudah kita temukan, ternyata kita tetap galau bukan? Tenanglah, itu juga galau yang baik sekali. Ya, galau karena mimpi yang kita inginkan tak mudah kita raih. Galau karena kita khawatir mimpi itu hanya sekedar angan-angan atau bunga tidur saja. Galau karena kita takut usaha kita gagal. Saat itu, galau adalah bahan bakar kita. Ia membuat kaki-kaki kita terus melaju. Ia membuat diri kita bisa melakukan apa yang kita mau. Terbuktilah bahwa kegalauan kita adalah wujud rasa enggan berputus asa. Kita masih ingin terus bergerak. Kita masih ingin sukses. Saat sedang mengejar mimpi-mimpi, tidak jarang kita temui kerikilkerikil tajam yang merayu kaki untuk menghentikan langkahnya. Kaki kita sakit, tapi ingat, hati kita kuat. Ya, saat hati kita kuat, niscaya kaki kita juga kuat, bahkan tangan, mata dan otak kita, semuanya. Langkah awal yang membuat galau, itu juga galau yang baik. Karena kita akhirnya dipaksa merencanakan semuanya dengan baik. Supaya kita melangkah di jalan yang tepat. Setelah kita melangkahkan kaki pertama kali, akhirnya kita merasa lebih kuat bukan? Ya, melangkahlah, kita tidak akan pernah tau apa yang Tuhan persiapkan di depan jika kita tidak pernah mulai melangkah. Lalu apa itu galau yang buruk sekali? Galau yang overdosis adalah
38
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
galau yang buruk sekali. Rasanya seperti saat minum obat tapi tidak sesuai resep dokter. Bukannya menyembuhkan, obat bisa membunuh. Jadi, galau secukupnya saja. Sebesar rasa yang mengusik kita untuk tidak berada pada zona nyaman. Sebesar rasa yang membuat kita melihat kembali seperti apa kita sekarang dan seperti apa seharusnya. Sebesar energi yang membuat kita mampu melakukan apa yang kita rasa tidak bisa kita lakukan. Percayalah, kegalauan yang bercampur harapan dengan dosis tepat membuat kita dekat dengan Tuhan. Satu lagi, tentu saja kita tidak boleh lupa dengan ikhtiar. Berharap dan menggalau harus dilengkapi dengan ikhtiar. Harapan dan kegalauan tidak akan membuat kita berbeda jika tanpa langkah nyata. Jika daun yang jatuh saja Tuhan tahu, apalagi hambaNya yang sedang berusaha, tentu Tuhan lebih dari sekedar tahu. Tuhan pasti akan membantu. Kepercayaan seperti ini akan menjadikan hati kita lapang. Kita harus percaya bahwa Tuhan akan memberi kita -selalu- hasil yang terbaik. Ajaklah diri kita untuk menepati janji kepada Tuhan, menggunakan hati hanya untuk yang baik-baik. Jangan memaksanya untuk menderita, apalagi membiarkannya kelelahan karena galau yang buruk. Tak ada kesulitan yang tingginya melebihi kemampuan kita. Ingatkan selalu hati kita, pada setiap kesusahan Tuhan pasti memberi kita kemudahan. Maka pada setiap kegalauan, Tuhan pasti memberi kita harapan. Asalkan kita mau mengubah nasib kita sendiri. Semampu kita. Selebihnya, biarkan Tuhan membuat keajaiban. *galau [KAMUS BESAR BAHASA INDONESIA] ga·lau a, ber·ga·lau a. sibuk beramai-ramai; ramai sekali; kacau tidak keruan (pikiran); ke·ga·lau·an n sifat (keadaan hal) galau
resensi
Buku dan jurnal dapat diperoleh di perpustakaan Kementerian Keuangan atau perpustakaan online www. perpustakaan.depkeu.go.id
KILASAN BUKU
Curcol Kantor : Asal Usil Anak Kantoran Anjar Oktaviani
Berawal dari “observasi” iseng tentang kejadian sehari-hari di kantor, Anjar Oktaviani menulis buku yang berjudul “Curcol Kantor: Asal Usil Anak Kantoran”. Buku ini muncul pula karena Oppie—biasa ia disapa—memiliki teman kantor dan bos dengan karakter-karakter yang menurutnya unik. Setelah kumpulan tulisannya jadi dalam bentuk buku, ternyata ada penerbit yang tertarik untuk menerbitkan buku ini. Reaksi beragam didapatnya dari rekan-rekan kantor. Ada yang kaget, surprise, bahkan ada juga yang kesal meskipun namanya sudah disamarkan. Setelah buku Curcol Kantor terbit, Anjar mengaku banyak memiliki teman baru. Baik para pembaca buku, maupun mereka yang memiliki hobi menulis seperti Oppie. “Ini merupakan tonggak awal saya untuk menulis. Sekarang jadi ingin serius untuk menulis,” kata Oppie kepada Media Keuangan beberapa waktu lalu. Bahkan gairah Oppie untuk menulis semakin tinggi. “Kalau sekarang targetnya 1 tahun terbit 1 buku, mungkin kedepan 1 tahun terbit 2 buku,” sambung dia. Profesinya sebagai PNS pada Bapepam-LK menuntut Oppie untuk dapat membagi waktu antara bekerja dan menulis. Selain itu, ia juga mesti pandai-pandai mengelola mood. Sebagai penulis, saat ini Oppie tidak ingin terpaku pada satu genre saja. Dia terus mencoba untuk menghasilkan tulisan dalam berbagai genre terutama yang menginspirasi. Memiliki hobi membaca dan menulis sejak kecil, Oppie mengaku belum pernah mengikuti pelatihan menulis sekalipun. “Proses belajarnya benar-benar otodidak,” ungkap dia. Saat ini buku kedua Oppie yang berjudul (Masih) Curcol Kantor sudah terbit. Penggemar Ayu Utami dan Andrea Hirata ini berharap akan bermunculan penulis-penulis dari Kementerian Keuangan di kemudian hari.
Top 5 Fiction Books of The Month: April 2012 1
KPK in Action
3
Diana Napitupulu, S.H., M.H., M.Kn
Janda-Janda Kosmopolitan
Andrei Aksana
Berbanding lurus dengan maraknya kasus korupsi dan penyimpangan anggaran, kehidupan rakyat Indonesia jauh dari kata sejahtera. Hukum yang seharusnya menjadi acuan justru lemah tak bertenaga, semua aturan hanya indah dalam tataran teori. Korupsi yang sudah menjalar sedemikian hebat tidak mampu melindungi kaum yang lemah. Justru menjadi alat bagi kaum penguasa dan bermodal untuk memukul mereka yang lemah dan tidak berdaya. Ditengah kondisi semacam itu dibutuhkan sebuah pelita yang mampu membangkitkan optimisme masyarakat akan pemberantasan korupsi, dan lahirlah Komisi Pembarantasan Korupsi (KPK). KPK lahir sebagai sebuah institusi yang khusus menangani kejahatan korupsi di Indonesia. Dengan kewenangan luas, KPK diharapkan bisa menerangi jalan, menuntun masyarakat dan aparat membasmi korupsi. Perlahan tapi pasti KPK sudah mulai menunjukkan kinerjanya. Satu per satu tersangka korupsi mulai ditahan dan dijebloskan ke penjara. Koruptor-pun menjadi khawatir. Mereka melakukan perlawanan balik dan menghambat kinerja KPK, istilah kerennya corruptors fight back. Buku ini membahas semuanya secara ringkas, mengupas aturan hukum yang mengatur KPK, hubungan Kepolisian dan Kejaksaan, dan juga cara KPK dalam mengungkap kasus korupsi. Buku ini ditulis oleh Diana Ria Winanti Napitupulu, seorang ahli hukum dan juga pengajar di Fakultas Hukum Universitas Kristen Indonesia.
4
Box Set Harry Potter
5
Totto-Chan: Gadis Cilik di Jendela
JK Rowling
Tetsuko Kuroyanagi
Top 5 Non-Fiction Books of The Month: April 2012 1
2
Auditing & Jasa Assurance Jilid 2/ Edisi 12 By Alvin A. Arens, Randal J. Alder, Mark S. Beasley
Manajemen Sumber Daya Manusia Hollenbeck Noe
3
Computer Networking First-Step Wendell Odom
Do Investors Forecast Fat Firms? Evidence From The Gold Mining Industry Conventional economic theory assumes that firms always minimize costs given the output they produce. News articles and interviews with executives, however, indicate that firms from time to time engage in costcutting exercises. One popular belief is that firms cut costs when they are in economic distress, and grow fat when they are relatively wealthy. We explore this hypothesis by studying the response of the stock market values of gold mining companies to changes in gold prices. The value of a cost-minimizing, profitmaximizing firm is convex in the price of a competitively supplied input or output, but we find that the stock values of many gold mining companies are concave in the price of gold. We show that this is consistent with fat accumulation when a firm grows wealthy. We then address a number of potential alternative explanations and discuss where fat in these companies might reside.
Morning, Noon, and Night Sidney Sheldon
BUKU
Severin Borenstein, Joseph Farrell
Asma Nadia 2
JURNAL
Muhasabah Cinta Seorang Istri
4
Warisan (Daripada) Soeharto Jakob Oetama
5
Bahasa Tubuh Kunci Sukses dalam Karier dan Pergaulan
Allan Pease Jumlah menggambarkan jumlah peminjam buku selama bulan April 2012. @kemenkeulib
Perpustakaan Kementerian Keuangan
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
39
inspirasi
Memaknai Hari Pendidikan Nasional:
Bangunlah Jiwanya Bangunlah Badannya Teks: Iin Kurniati Foto: Dwinanda Ardhi
Tanggal 2 Mei identik dengan Hari Pendidikan Nasional. Pemilihan tanggal ini ditetapkan sebagai penghargaan terhadap tokoh paling berpengaruh pada dunia pendidikan Indonesia yakni Ki Hajar Dewantoro. Berkat jasanya dalam menyuarakan kesetaraan pendidikan bagi rakyat pribumi berdirilah taman siswa pada 3 Juli 1922 untuk sekolah kerakyatan di Yogyakarta kala itu.
B
erbicara mengenai dunia pendidikan tak seorangpun yang tidak mengenal istilah ‘Pahlawan Tanpa Tanda Jasa’. Seperti lagu karya Sartono yang mendeskripsikan bahwa guru laksana pelita dalam kegelapan, laksana embun penyejuk dalam kehausan dan guru sebagai patriot pahlawan bangsa tanpa tanda jasa. Begitupun bagaimana memaknai tugas seorang guru dalam mendidik, mengajar dan melatih muridnya hingga berhasil. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) sebagai salah satu elemen bangsa yang juga berkewajiban mewujudkan tujuan negara untuk mencerdaskan kehidupan masyarakat Indonesia. Maka dari itu, melalui Badan Pendidikan dan Pelatihan Keuangan (BPPK), Kemenkeu menjalankan fungsinya dalam melaksanakan pendidikan dan pelatihan di bidang keuangan negara sesuai dengan kebijakan yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan dan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Sebagai ujung tombak penyelenggaraan diklat di BPPK, tenaga pengajar atau yang lebih familiar dengan istilah widyaiswara memegang peranan penting dalam mendukung keberhasilan program diklat. Media keuangan berkesempatan mewawancarai Ita Hartati, pegawai BPPK yang dilantik menjadi salah satu widyaiswara pertama di Makassar tahun 2005 lalu. Awal mula bergabung di Kemenkeu, lulusan diploma III STAN tahun 1984 ini bekerja sebagai pemeriksa pada Inspektorat Jenderal Kemenkeu. Dengan alasan klasik mengikuti suami, wanita kelahiran Jakarta ini hijrah ke ujung timur Indonesia yakni pulau Sulawesi tepatnya di kota Makassar. Setelah pindah ke kota Makassar, Ita diterima di BPPK, Badan Diklat Keuangan (BDK) kota Makassar. Kemudian, Ita melanjutkan diploma IV STAN hingga lulus tahun 1991 dan berhasil menamatkan
40
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
pendidikan Master of Business Administration dengan major accounting pada Universitas of Collorado at Denver pada tahun 1993.
Amanah besar Penampilannya yang sederhana dan santun sangat jelas mengsyiratkan profesi Ita sebagai seorang widyaiswara. Baginya, tugas ini merupakan suatu amanah besar karena dapat bersentuhan langsung dengan para peserta yang notabene adalah pegawai Kemenkeu. Meskipun secara kepangkatan dalam kepegawaian harus turun, namun Ita tetap tidak acuh, “karena saya istilahnya sudah tekad keinginan. Saya sudah tidak perduli turun pangkatnya berapa, tapi saya bisa jadi Widyaswara. Waktu itu begitu, saya maju teruslah,” tegas Ita. Dalam sebuah diklat, dimungkinkan pula setiap peserta menceritakan permasalahan baik teknis maupun non teknis, lalu mendiskusikan bagaimana solusi untuk mengatasi masalah yang terjadi ditempat mereka bekerja. Dengan mengajar, Ita merasa ajang diklat merupakan tempat yang tepat untuk bertukar pendapat, “bukan (hanya) saya mengajar, kadang itu belajar dari peserta. Banyak hal baru, banyak kasus real di lapangan,” lanjut Ita. Misalnya peserta diberikan materi tentang peraturan nantinya masing-masing peserta akan menceritakan berbagai kendala yang terjadi di lapangan atas penerapan peraturan
tersebut. Jadi sharing knowledge ini menjadi bahan masukan tersendiri tidak hanya bagi para peserta tetapi juga bagi widyaiswara selaku pengajar. Ketika ditanya mata diklat apa yang dipegang Ita selama mengajar diklat, wanita yang ketika duduk dibangku kuliah lebih concern pada akuntansi ini bahwa dirinya mengajar Kewarganegaraan, Pancasila, dan Ilmu Perkantoran. Padahal jauh sebelum itu, Ita mengakui bahwa dirinya kurang minat pada mata kuliah tersebut, “yang dulu saya tidak suka sekarang disuruh ngajar,” kata Ita. Akhirnya, Ita mengaku saat ini justru sangat menyukai mata diklat tersebut. Ita mengatakan bahwa Kemenkeu merupakan satuan kerja yang tersebat diseluruh pelosok nusantara, maka diperlukan satu pemersatu didalamnya. Salah satunya melalui pemaknaan sila dalam Pancasila, ataupun penerapan nasionalisme yang terdapat dalam pembahasan kewarganegaraan. Penerapan ini merupakan bentuk partisipasi untuk menjaga keutuhan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Perjuangan menuntut ilmu Banyak pengalaman menarik yang dirasakan Ita selama mengabdi menjadi widyaiswara. Mulai dari latar belakang, tingkat pendidikan hingga lokasi asal peserta yang heterogen memberi warna tersendiri bagi Ita. Sebagai contoh, kondisi geofrafis asal peserta yang menghadiri diklat menimbulkan kesan tersendiri bagi wanita yang pernah menjabat sebagai Kepala Seksi Penyelenggaraan Balai Diklat Keuangan VI Makassar ini. Perjuangan peserta menempuh beratus-ratus kilometer menjadi pengorbanan tersendiri yang patut diteladani. Tak jarang sejumlah peserta rela menempuh jalur darat dan jalur laut hingga beberapa hari karena tidak ada sarana transportasi penerbangan di daerahnya. Oleh karena itu, sebagai seorang widyaiswara dituntut agar memiliki metode khusus dan semangat. “Kita ini juga berperan sebagai fasilitator, jadi harus punya kompetensi, namun yang pertama kali punya passion dulu. Mungkin secara kurikulum peserta sudah banyak yang tau. Nah ini ibaratnya kita harus punya desain khusus untuk membangkitkan lagi, itu tantangan terbesarnya,” ujar Ita. Menurutnya, tidak ada istilah ‘ala kadarnya’ dalam berbagi
ilmu, yang terpenting adalah ada bekal yang dapat diberikan widyaiswara untuk peserta diklatnya.
jelata untuk bisa memperoleh hak pendidikan seperti halnya para bangsawan maupun warga Belanda.
Kemudian, Ita juga memaparkan metode khusus yang digunakan agar proses belajar menjadi hidup tidak hanya menggunakan buku tetapi juga menggunakan media audiovideo dan internet. Tak ketinggalan dalam pengajarannya Ita menyelipkan games sebagai salah satu metode active learning disamping metode diskusi. Bagi Ita, yang menjadi tolok ukur dalam pengajaran adalah bagaimana delivery process pesan kepada peserta dapat diterima dengan baik.
Ita menganggap bahwa Ki Hajar Dewantara merupakan tokoh inspiratif. Meskipun memiliki peran yang sama dengan dirinya saat ini namun berada dalam suasana berbeda. “Kita ini sebetulnya sudah harus membangun lagi bahwa yang namanya pendidikan itu penting. Buktinya dengan membangun semangat jiwa tadi itu, kita itu akhirnya bisa dibilang merdeka. Ini yang mungkin menjiwai saya untuk mengajar. Mudah-mudahan ruhnya dapat seperti yang dicontohkan beliau,” ungkap Ita.
Namun terkadang tantangannya adalah ketika sudah mempersiapkan metode audio-video ternyata listriknya mati. Maka dari itu, seorang widyaiswara juga dituntut memiliki langkah antisipasi atau back up bahan ajar berupa variasi penyampaian informasi yang atraktif dan tidak tergantung pada satu alat ajar tertentu.
Menilik kondisi pendidikan saat ini, Ita mengungkapkan bahwa terjadi perubahan besar di Kemenkeu, yakni dalam reformasi birokrasi dan kelembagaan. BPPK memiliki peran yang sentral dengan perubahan di Kemenkeu, seperti lirik lagu Indonesia raya ‘bangunlah jiwanya bangunlah badannya’ yang bermakna mendalam tidak hanya sekedar perubahan fisik tetapi juga perubahan dari sisi intelektual dan motivasi.
Memaknai hari pendidikan nasional Tatkala ditanya makna hari pendidikan nasional, tampak kedua mata wanita yang usianya hampir setengah abad ini berkacakaca. Dengan lirih Ita mengungkapkan kekagumannya pada sosok pendidikan nasional. Ita menjelaskan riwayat singkat munculnya Pancasila sebagai dasar negara ini ditarik dari sejarah tahun 1908, saat kebangkitan nasional. Selanjutnya pada tahun 1928 dirasakan perubahan mendasar dalam pendidikan bangsa. Sebelum tahun 1900-an, bangsa Indonesia hanya berjuang secara fisik, namun pasca kebangkitan nasional sudah mulai ada orangorang terdidik yang menyadari bahwa rakyat Indonesia harus menjadi bangsa yang cerdas. Sementara kala itu, hanya kalangan tertentu yang memiliki kesempatan belajar. Jadi bagi para petani dan rakyat miskin tidak ada satupun yang dapat menikmati bangku pendidikan. Lalu, muncullah RM Soewardi Soerjaningrat yang merubah namanya menjadi Ki Hajar Dewantara dengan tujuan agar lebih dekat dengan rakyat kecil. Mulai saat itulah titik balik gerakan pendidikan masyarakat ini dimulai, berkat jasanya maka perguruan taman siswa pun berdiri. Suatu lembaga pendidikan yang memberikan kesempatan bagi para pribumi
Harapan Ita berharap menjadi widyaiswara tidak dianggap sebagai profesi pelarian ataupun kelas dua tetapi ini merupakan pilihan yang diminati untuk mengembangkan potensi diri. “Para widyaiswara yang kompeten dan mumpuni merupakan ujung tombak yang bersentuhan langsung dengan pegawai dalam rangka membuat mereka berubah (ke arah lebih baik),” tutur Ita. Selain itu, Ita juga berharap dalam setiap perumusan kebijakan di Kemenkeu, pendapat dari widyaiswara dapat dijadikan second opinion bagi para pemangku kepentingan publik. Hal ini terkait erat dengan kesempatan yang dimiliki widyaiswara untuk kesempatan bertukar pikiran dan pendapat dengan pegawai Kemenkeu yang berada di daerah. Dalam akhir perbincangan, Ita memberikan sebuah ungkapan ‘Sumur kalau airnya diambil itu jernih, tapi kalau itu didiamkan airnya itu akan berbau’. Jadi ibarat ilmu, jika digunakan setiap hari maka akan semakin bermanfaat namun bila tidak digunakan maka hanya seperti debu yang akan hilang tertiup angin.
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
41
celengan
celebrity keuangan
42
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012
43
44
MEDIAKEUANGAN Vol. VII | No. 57 / Mei 2012