KEPEMILIKAN MEDIA MASSA DAN PENYALAHGUNAAN RUANG PUBLIK * Tri Alida Apriliana Abstract The current landscape of mass media ownership in Indonesia has caused concern that many mass media will no longer be able to effectively play its role as a social control. This is especially because of the possible political interventios to the management of mass media owned and controlled by political party leaders. Hary Tanoesoedibyo, the owner of MNC (Media Nusantara Citra) media group, for example, recently joined Hanura (People’s Conscience) Party. He was then appointed as the chairman of the Hanura committee for winning elections. He has been declared also as Hanura’s vice presidential candidate accompanying Wiranto, Hanura General Chairman who is Hanura’s presidential candidate for 2104 election. As we all know MNC Group owns and controls a number of powerful media, such as television station RCTI, MNC TV, Global TV and Sindo Trijaya Radio. Another example is Surya Paloh, the owner Media Group who owns and controls Metro TV, Media Indonesia and Lampung Post. Surya Paloh is the founder and current general chairman of the National Democratic Party. The newly established political party will take part in this year’s parliamentary and next year’s presidential elections. And another infamous example is Aburizal Bakrie, the chairman of Golkar party who also controls a number of top-tier media, namely TV One, Anteve, and vivanews.com. The fact that the owners of mass media are also the leaders of political parties will possibly lead to the abuse of power by interferring the editorial policy of the media. The political interests of the owners tend to hinder the best practice of journalism principles such as objectivity, fairness, impartiality and responsibility to the factual truth. Key Words Mass Media, Hegemony, Ownership, Independency, Public Sphere. Pendahuluan Saat ini kebutuhan terhadap informasi menjadi terasa kian penting. Media massa merupakan bentuk komunikasi massa yang mampu menyediakan kebutuhan itu dengan cepat. Tidak sedetik pun momen kehidupan luput dari sorotan media massa. Tidak secelah pun informasi terabaikan media massa. Hal inilah yang kemudian mendorong industri media massa berkembang pesat dan menjelma menjadi institusi pengeruk keuntungan ekonomi yang menjanjikan keuntungan besar. Selain itu, media massa juga menjadi rentan disalahgunakan pihak-pihak pemilik modal untuk melakukan politisasi informasi. Apalagi saat ini realitas menunjukkan para pemilik modal media massa di Indonesia sebagian besar juga merupakan tokoh-tokoh yang memiliki preferensi dan afiliasi terhadap partai politik tertentu. Hal itu antara lain dapat dilihat dari keterlibatan pemilik Media Nusantara Citra (MNC) Grup Hary 1
Tanoesoedibyo dalam jajaran pengurus Partai Hanura. Sebelumnya, Surya Paloh selaku pemilik Media Grup telah lebih dulu berkecimpung di Partai Nasional Demokrat sebagai salah satu pendiri. Setali tiga uang, Aburizal Bakrie selaku ketua umum Partai Golkar juga menguasai sejumlah media massa papan atas, seperti stasiun televisi TV One dan Anteve. Dalam konteks ini, penting untuk menelaah lebih jauh persoalan kepemilikan media massa di Indonesia dalam perspektif ekonomi politik media. Melalui studi mengenai kepemilikan dan kontrol media massa, ekonomi politik menganalisis hubungan kekuasaan, sistem kelas, dan ketidaksetaraan struktural lain. Pendekatan ekonomi politik meliputi analisis ekonomi dan politik dengan metode yang diambil dari ilmu sejarah, ekonomi, sosiologi, dan politik. Permasalahan kepemilikan media massa oleh tokoh-tokoh politik juga penting untuk dilihat lebih jauh dari teori hegemoni Gramsci. Terkait wacana ekonomi politik media massa, teori hegemoni berguna untuk melihat bagaimana cara kelas elite penguasa
menjalankan
media
massa
untuk
mendapatkan
keuntungan
dan
menyebarluaskan pengaruh mereka di tingkat massa. Kemudian permasalahan kepemilikan media massa oleh tokoh-tokoh politik juga perlu dilihat dari teori ruang publik. Dengan merujuk pada definisi ruang publik sebagai wadah bagi warga negara untuk dapat dengan bebas menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah dan persoalan-persoalan tertentu, maka media massa dapat dikatakan sebagai bagian dari ruang publik karena ia merupakan sarana untuk memperoleh informasi dan menyatakan pendapat mengenai suatu permasalahan. Batasan dan Rumusan Masalah Untuk lebih memudahkan penelitian yang akan dilakukan, maka penulis perlu membatasi permasalahan dalam penelitian ini pada dominasi para pemilik media massa di pentas politik nasional. Batasan permasalahan ini kemudian dirumuskan dalam pertanyaan penelitian berikut: (1) Bagaimana para pemilik memanfaatkan media massa sebagai alat kepentingan politik mereka? dan (2) Bagaimana penggunaan media massa sebagai alat kepentingan politik pemilik dilihat dari perspektif ruang publik?
2
Dengan batasan dan rumusan masalah tersebut, penelitian ini memiliki tujuan sebagai berikut: (1) Mengetahui pemanfaatan media massa oleh para pemilik sebagai alat kepentingan politik mereka dan (2) Mengetahui perspektif ruang publik terhadap penggunaan media massa sebagai alat kepentingan politik para pemilik. Kerangka Teori Ada tiga teori besar yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama, teori ekonomi politik media massa. Untuk dapat memahami pendekatan ekonomi politik dalam studi media dan komunikasi, maka terlebih dahulu harus mengerti fondasi ekonomi politik itu sendiri. Adam Smith mendefinisikan ekonomi politik sebagai studi tentang barang-barang material atau alokasi sumber daya dengan penekanan perhatian pada bagaimana manusia mengatur untuk mengalokasikan sumber daya itu untuk memuaskan kebutuhan hidup. Jadi, secara singkat ekonomi politik memfokuskan diri pada masalah produksi, distribusi, pertukaran, dan konsumsi barang-barang material serta konsekuensi terhadap kesejahteraan individu dan masyarakat. (Smith, 1937: 14). Sementara itu, bagi Vincent Mosco ekonomi politik adalah tentang kelangsungan hidup dan mengendalikan atau bagaimana masyarakat diatur untuk menghasilkan apa yang diperlukan guna bertahan hidup dan bagaimana dipertahankan untuk memenuhi tujuan sosial. Lebih lanjut, Mosco memaparkan empat karakter ekonomi politik kritis: (1) Sejarah dan perubahan sosial, yaitu ekonomi politik melanjutkan tradisi teori klasik mengungkap dinamika kapitalisme, seperti siklus alami, pertumbuhan modal monopoli, aparat negara, dan lain-lain; (2) Totalitas sosial, yaitu ekonomi politik adalah pendekatan holistik mengeksplorasi hubungan antara komoditas, lembaga, hubungan sosial, dan hegemoni; (3) Filosofi moral, yaitu ekonomi politik juga mengikuti penekanan para ahli teori klasik pada masalah filosofi moral, dan (4) Praksis, yaitu ekonomi politik mencoba untuk mengatasi perbedaan antara penelitian dan kebijakan dengan berorientasi pada praktek lapangan menuju perubahan sosial sesungguhnya. (Mosco, 1996: 25) Secara singkat maka dapat disimpulkan bahwa perhatian utama dari ekonomi politik adalah masalah alokasi sumber daya di dalam masyarakat kapitalis. Melalui studi mengenai kepemilikan dan kontrol media massa, ekonomi politik menganalisis hubungan kekuasaan, sistem kelas, dan ketidaksetaraan struktural lain. Selain itu,
3
ekonomi politik juga menganalisis kontradiksi dan memberikan saran strategi bagi perlawanan dan intervensi. Pendekatan ekonomi politik meliputi analisis ekonomi dan politik dengan metode yang diambil dari ilmu sejarah, ekonomi, sosiologi, dan politik. Hal inilah yang kemudian menjadi dasar untuk menerapkan studi ekonomi politik dalam mempelajari media massa dan komunikasi. Kedua, teori hegemoni. Teori hegemoni pertama kali dicetuskan Antonio Gramsci yang merujuk pada upaya pelanggengan kekuasaan yang dilakukan oleh kelompok berkuasa (rulling class). Gramsci mendefinisikan hegemoni sebagai sebuah sistem suatu negara yang didasarkan pada pembentukan konsensus melalui kepemimpinan budaya. Hegemoni merupakan sebentuk praktek kepemimpinan budaya yang dilakukan oleh kelas elite penguasa terhadap massa. Hegemoni itu dilakukan kelas elite penguasa secara terus menerus terhadap massa dan kekuatan oposisi agar bersedia untuk memilih sikap kompromi sehingga memunculkan disiplin diri menyesuaikan dengan norma-norma yang diputuskan oleh kelas elite penguasa tersebut. Apa pun yang telah diputuskan oleh kelas elite penguasa harus diyakini sebagai cara terbaik untuk mencapai tujuan dan kesejahteraan bersama. (Beilharz, 1991: 182) Terkait wacana ekonomi politik media massa, teori Gramsci mengenai hegemoni itu berguna untuk melihat bagaimana cara kelas elite penguasa menjalankan media massa untuk mendapatkan keuntungan dan menyebarluaskan pengaruh mereka di masyarakat. Kelas elite penguasa tidak jarang menggunakan media massa untuk mempertahankan posisi mereka yang dominan di dalam tatanan sosial. (Baran dan Davis, 2010: 250) Dalam arena sosial seperti itu, Gramsci melihat tidak ada celah dan peluang sedikit pun bagi massa untuk berbuat lain di luar kerangka ideologi yang ditanamkan kelas elite penguasa. Hanya ada satu cara bagi massa untuk keluar dari arena sosial itu, yakni dengan cara melakukan counter hegemoni. Pada kondisi inilah dibutuhkan kehadiran counter hegemonic yang memiliki tugas untuk memisahkan massa dari kapitalisme dan membangun pandangan alternatif sesuai perspektif sosialisme. Ketiga, teori ruang publik. Selain Gramsci, intelektual lain yang juga menaruh perhatian besar terhadap wacana mengenai media massa adalah Jurgen Habermas. Pemikiran Habermas mengenai media massa dapat kita telusuri dari pemikirannya
4
mengenai ruang publik (public sphare). Apa sesungguhnya yang dimaksud dengan ruang publik oleh intelektual pendiri mazhab Frankfurt ini? Habermas memandang ruang publik sebagai sebuah wahana di mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhankebutuhan mereka. Ruang publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis warga. Selain itu, ruang publik merupakan wadah yang mana warga negara dengan bebas dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah. Ruang publik bukan hanya sekedar fisik, melainkan adalah komunikasi warga itu sendiri. Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan, dan tidak ada intervensi. Ruang publik itu harus mudah diakses semua orang. (Hardiman, 2010: 185) Jadi, kehadiran ruang publik sangat penting bagi peningkatan kualitas kehidupan demokrasi suatu negara. media massa dapat dikatakan sebagai bagian dari ruang publik karena ia merupakan sarana bagi publik untuk memperoleh informasi dan menyatakan pendapat mengenai suatu permasalahan Metode Penelitian Dalam penelitian ini penulis menggunakan metode kualitatif. Data hasil temuan diolah menggunakan metode deskriptif kualitatif di mana hasil penelitian dan analisa diuraikan dalam suatu tulisan ilmiah berbentuk narasi. Kemudian dari analisis diambil suatu kesimpulan. Sumber data penelitian ini menggunakan data sekunder. Pengumpulan data sekunder pada penelitian ini dilakukan dengan cara mencari data mengenai masalah bersangkutan melalui literatur buku, jurnal ilmiah, dan lain-lain yang memiliki relevansi masalah penelitian. Pembahasan Seperti yang telah diungkapkan di atas, media massa merupakan bisnis yang memiliki karakteristik unik jika dibandingkan dengan jenis bisnis lain. Media massa tidak hanya memproduksi barang, tetapi juga memproduksi jasa. Barang yang ditawarkan oleh media massa berupa tayangan program. Sedangkan jenis jasa yang ditawarkan adalah media massa menjadi medium yang menghubungkan antara pihak pengiklan dengan khalayak publik selaku konsumen.
5
Persaingan ketat dalam bisnis media massa ini kemudian telah mendorong terjadinya kecenderungan konsolidasi media massa yang mengarah kepada kemunculan kelompok-kelompok pemain raksasa media massa sehingga mengakibatkan konsentrasi kepemilikan media massa. Konsentrasi kepemilikan media massa terjadi di sejumlah negara. Di negara maju seperti Amerika Serikat konsenterasi kepemilikan media massa antara lain dapat dilihat dari sosok Rupert Murdoch. Murdoch memiliki News Corporation dengan jaringan ratusan media massa cetak, radio, dan televisi di seluruh dunia. la memiliki mayoritas saham di Fox Channel yang menjadi channel keempat setelah ABC, NBC, dan CBS. Di Indonesia konsentrasi kepemilikan media massa dapat dilihat dari kemunculan Media Nusantara Citra (MNC) milik Harry Tanoesoedibjo yang menjadi induk dari Seputar Indonesia, Sindo Weekly, RCTI, MNC TV, GLOBAL TV, Sindo Radio, dan Okezone.com. Setali tiga uang, konsentrasi kepemilikan media massa juga dapat dilihat dari pengausaan Kelompok Usaha Bakrie terhadap ANTV, TV One, dan Vivanews.com serta penyatuan Media Indonesia, Lampung Post, dan Metro TV di bawah bendera Media Grup milik Surya Paloh Konsentrasi media massa dikenal juga dengan istilah konglomerasi media karena memiliki tujuan untuk mencari keuntungan sebesar-besarnya. Konsentrasi kepemilikan media massa ini dimaksudkan untuk mencapai efisiensi sehingga keuntungan ekonomi maksimal dapat diperoleh. Karena itu, konsentrasi kepemilikan media massa ini dikhawatirkan akan membawa sejumlah dampak negatif. Tidak hanya terhadap perkembangan kelangsungan sistem media massa di Indonesia, tapi juga terhadap isi atau konten yang disampaikan kepada masyarakat. Isi atau konten yang ditampilkan media massa hanya berupa isi atau konten yang secara ekonomi dapat mendatangkan rating tinggi untuk menarik pengiklan sebanyak mungkin. Selain itu, konflik kepentingan juga dapat muncul akibat persaingan ketat dengan kompetitor. Akhirnya, media massa itu terjebak pada dilema antara harus menghadirkan tayangan yang melayani kepentingan publik dengan kemungkinan besar rugi atau menayangkan tayangan yang popular demi meraih untung yang besar untuk mampu bertahan hidup dengan mengorbankan kepentingan publik. Media massa akan selalu menghadapi tekanan-tekanan internal (pemilik modal) dan eksternal (kepentingan politik, ekonomi, dan sosial) sehingga mereka menjadi powerful sekaligus juga
6
powerless. Tekanan-tekanan ini akan mengakibatkan pemberitaan menjadi tidak obyektif. Rivalitas Metro TV dan TV One merupakan contoh terbaik dari hal itu. Pemilik dua stasiun televisi swasta itu, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie (Ical), dikenal sebagai konglongmerat media massa yang seringkali memiliki posisi politik berseberangan. Nuansa politik sangat kental terasa di hampir setiap pemberitaan Metro TV dan TV One. Hal itu tentu tidak dapat dilepaskan dari intervensi masing-masing pemilik demi satu tujuan, yaitu melakukan pemberitaan yang menguntungkan langkah politik mereka. Contoh yang mungkin masih relevan untuk diungkap yang dapat menjelaskan mengenai kentalnya nuansa politik dalam pemberitaan media adalah peristiwa menjelang Musyawarah Nasional (Munas) Partai Golkar pada bulan Oktober 2009 lalu, dimana kedua stasiun televisi tersebut berlomba-lomba menokohkan bos mereka masing-masing sebagai calon ketua umum Partai Golkar. Saat itu, Surya Paloh dan Aburizal Bakrie tampil sebagai dua kandidat kuat calon ketua umum Partai Golkar. Maka dapat dipastikan bahwa tayangan berita yang ditampilkan kedua televisi itu sarat dengan muatan politik. Stasiun televisi TV One yang notabene merupakan milik Aburizal Bakrie mengopinikan bahwa Aburizal Bakrie merupakan sosok kandidat yang didukung oleh mayoritas kader Partai Golkar di seluruh Indonesia. Sebaliknya, stasiun televisi Metro TV sebagai bagian dari Media Group pimpinan Surya Paloh all out mempromosikan sosok tokoh kelahiran bumi Serambi Mekkah tersebut beserta sederet keunggulan yang dimiliki sebagai kandidat terkuat calon ketua umum Partai Golkar. Hal paling mencolok dari kurang independennya pemberitaan kedua stasiun televisi itu adalah ketika mereka mengadakan sebuah acara dialog dengan menampilkan satu calon saja dalam sebuah kemasan eksklusif. Contoh lain dari pemberitaan yang sarat akan kepentingan ini jugadapat dilihat dalam kasus bencana luapan lumpur Lapindo di Sidoarjo, Jawa Timur TV One lebih memilih untuk memberitakan tentang kisah sukses korban luapan lumpur Lapindo yang telah berhasil membangun kembali usahanya setelah ditimpa musibah tersebut ketimbang memberitakan perihal kewajiban PT Lapindo Brantas dalam menyelesaikan bencana sosial tersebut, terutama hak-hak masyarakat sekitar lokasi bencana.
7
Perspektif berbeda mengenai pemberitaan peristiwa bencana luapan lumpur Lapindo kita jumpai tatkala menyaksiskan Metro TV. Stasiun televisi milik Surya Paloh itu lebih memilih untuk memberitakan tentang hak-hak warga sekitar lokasi bencana luapan lumpur Lapindo yang belum terselesaikan secara penuh. Di samping itu, dalam memberitakan peristiwa bencana luapan lumpur Lapindo, TV One tidak pernah mengunakan istilah lumpur Lapindo sebagaimana Metro TV lakukan, melainkan lumpur Sidoardjo. Kemudian dalam pemberitaan mengenai kiprah Partai Nasdem bentukan Surya Paloh, Metro TV juga melakukan hal itu secara massif di setiap program berita mereka. Hal serupa kini terjadi dengan media massa jaringan MNC Grup ketika Hary Tanoesoedibjo bergabung dengan Partai Hanura, dimana iklan mengenai Partai Hanura begitu sering muncul. Hal yang tak jauh berbeda juga dapat dilihat pada sosok Aburizal Bakrie yang begitu getol memunculkan iklan-iklan mengenai diri dan partainya di televisi yang dimilikinya. Jelaslah bahwa konsenterasi kepemilikan media massa akan berakibat pada berubahnya kebijakan dan tujuan media massa itu sendiri. Konsentrasi media massa juga dapat mengakibatkan homogenitas pemberitaan dan informasi akibat dari diversifikasi media massa atau proses penganekaragaman usaha ekonomi sosial yang dilakukan oleh suatu industri atau pelaku produksi media massa. Masyarakat akan sulit untuk mencari referensi lain dan melihat sisi lain dari suatu peristiwa/kasus yang diangkat oleh pemberitaan media massa karena homogenitas akibat kepemilikan terpusat. Sebagai contoh, sajian berita di RCTI, Global TV, MNC TV, Okezone.com, Seputar Indonesia, Sindo Weekly, dan Sindo Radio akan memiliki sudut pandang yang sama terhadap suatu peristiwa/kasus. Masyarakat disuguhkan berita dan informasi mengenai suatu peristiwa /kasus berdasarkan sudut pandang (framing) yang itu-itu saja. Konsentrasi kepemilikan media massa itu mengakibatkan terjadinya hegemoni sebagaimana dikhawatikan Antonio Gramsci. Melalui media massa kelompok dominan secara terus-menerus menggerogoti, melemahkan, dan meniadakan potensi tanding dari pihak-pihak yang mereka kuasai. Media massa akan senantiasa menjadi ajang hegemoni bagi kelompok berkuasa sehingga masyarakat patuh dan secara tidak sadar berpartisipasi dalam rangka kepatuhan itu.
8
Sementara itu, penggunaan media massa sebagai alat politik sebagaimana dilakukan sejumlah pemilik media massa di atas juga tidak dapat dibenarkan dari perspektif ruang publik Habermas. Seperti telah diuraikan di atas, Habermas memandang ruang publik sebagai sebuah wahana di mana warga negara dapat menyatakan opini-opini, kepentingan-kepentingan dan kebutuhan-kebutuhan mereka. Ruang publik adalah tempat warga berkomunikasi mengenai kegelisahan-kegelisahan politis warga. Selain itu, ruang publik merupakan wadah yang mana warga negara dengan bebas dapat menyatakan sikap dan argumen mereka terhadap negara atau pemerintah. Ruang publik bukan hanya sekedar fisik, melainkan adalah ruang komunikasi warga itu sendiri. Ruang publik harus bersifat bebas, terbuka, transparan, dan tidak ada intervensi. Ruang publik itu harus mudah diakses semua orang. (Hardiman, 2010: 185) Dalam pemahaman ini, maka media massa dapat dikatakan sebagai bagian dari ruang publik karena ia merupakan sarana bagi publik untuk memperoleh informasi dan menyatakan pendapat mengenai suatu permasalahan. Media massa memiliki peran penting bagi negara dan publik. Kehadiran media massa di tengah relasi kedua belah pihak tersebut dapat menciptakan keseimbangan informasi. Namun, tidak jarang media massa digunakan sebagai alat kepentingan politik sebagaimana yang terjadi di Indonesia saat ini. Memang, sesungguhnya penggunaan media massa sebagai alat kepentingan politik sudah sejak dulu. Di era demokrasi liberal fenomena penggunaan media massa sebagai alat kepentingan politik dapat dilihat dari kehadiran surat-surat kabar yang memiliki afiliasi terhadap partai-partai politik tertentu. Begitu pun ketika Indonesia memasuki era Orde Baru. Di era reformasi saat ini dimana media diharapkan dapat benar-benar menjadi ruang publik, hal itu pun tidak luput terjadi. Media massa menjadi tempat paling ampuh untuk menggalang kekuatan bagi pemilik media massa bersangkutan yang notabene juga bertindak sebagai aktor di arena politik. Sangat jelas terlihat berbagai tayangan TV One, MNC Group dan Metro TV mengandung kepentingan-kepentingan politik sang pemilik sebagaimana penulis ungkapkan di atas. Alhasil, media massa telah terkooptasi oleh kepentingan para pemilik.
9
Tidak dapat dibantah bahwa media massa dalam bentuk televisi, radio, dan lainlain merupakan ruang publik. Media massa dalam bentuk-bentuk itu menggunakan basis material udara dan frekuensi untuk menjalankan siaran. Sementara itu, udara dan frekuensi berkaitan dengan hajat hidup orang banyak yang diatur negara. Dengan alasan itulah televisi dan radio seharusnya terbebas dari dominasi pihak tertentu dalam penggunaannya sebagai ruang publik. Yang terjadi di Indonesia saat ini justru hal berlawanan. Televisi dan radio didominasi oleh pihak tertentu yang mampu memberi akomodasi materil besar untuk mengambil durasi waktu lebih lama. Hal ini berlangsung secara terus menerus seolah tanpa ada koreksi dan kritik adanya pelanggaran terkait penyimpangan ruang publik. Padahal hal itu jelas telah melanggar kepentingan publik dalam memanfaatkan ruang publik secara adil. Saat ini sudah sangat jarang televisi dan radio menyiarkan siaran-siaran yang memiliki kaitan dengan hak-hak sosial politik warga negara ataupun siaran-siaran yang mampu mengarusutamakan demokrasi (democracy mainstreaming) melalui media massa. Yang justru bermunculan di media massa saat ini justru wacana-wacana yang menjadi keinginan para pemilik media massa bersangkutan. Penyalahgunaan ruang publik itu dapat berlangsung akibat kolaborasi antara kekuatan modal dan kekuatan politik. Hal itu kemudian diperparah dengan keengganan publik melakukan kritik secara massif dan ketiadaan rasa sensitifitas publik dalam menanggapi dinamika politik media. Penutup Pada era keterbukaan seperti saat ini politisasi informasi seakan sudah menjadi rahasia umum. Apalagi tidak ada satu lembaga pun yang dapat melakukan intervensi terhadap sajian berita media massa. Tidak seperti pada masa Orde Baru di mana seluruh media massa dikebiri oleh pemerintah. Ketika itu hegemoni media massa dipraktikan dengan menjadikan Televisi Republik Indonesia (TVRI) sebagai alat propaganda dan pencitraan pemerintah. Tidak ada kritik atau pemberitaan yang menyudutkan pemerintah saat itu demi menjaga stabilitas politik dan keamanan nasional. Dengan isi pemberitaan yang diawasi ketat oleh pemerintah, masyarakat dibuat percaya bahwa keadaan sosial, politik, dan ekonomi bangsa benar-benar stabil.
10
Hegemoni media pada media massa tidak terlepas dari tujuan politik dan kepentingan tertentu. Apabila pada masa Orde Baru media massa digunakan sebagai alat untuk melanggengkan kekuasaan pemerintah, maka pada masa reformasi media massa dikendalikan oleh para pemilik media massa. Seperti halnya pemerintah di masa Orde baru, mereka juga menggunakan media massa sebagai alat politik. Berkaca dari hal itu, maka diperlukan suatu regulasi ketat untuk mengatasi konsentrasi kepemilikan media massa. Regulasi terhadap media massa dapat dipilah menjadi dua, yaitu media massa yang tidak menggunakan ranah publik dan media massa yang menggunakan ranah publik. Media massa yang tidak menggunakan ranah publik seperti majalah dan suratkabar diatur dengan menggunakan prinsip selfregulatory. Untuk konteks Indonesia, di bidang pers dibentuk Dewan Pers untuk mengatur pers dari segi etika jurnalistik baik etika jurnalistik media cetak maupun elektronik. Selain itu, terdapat organisasi wartawan dan jurnalis seperti Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Aliansi Jurnalis Independen (AJI). Sementara itu, regulasi media massa yang menggunakan ranah publik sangat berbeda dengan media massa yang tidak menggunakan ranah publik. Di negara demokrasi manapun jika suatu media massa menggunakan ranah publik, maka akan diberlakukan regulasi ketat. Hal ini dikarenakan ketika seseorang atau suatu badan telah diberi frekuensi secara tidak langsung ia juga turut diberi hak monopoli oleh negara untuk menggunakan frekuensi tersebut dalam kurun waktu tertentu. Dengan demikian, berlaku ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersifat khusus, yaitu peraturan perundang-undangan di bidang penyiaran. Dalam kaitannya dengan aturan itu, maka regulasi terhadap radio dan televisi berlangsung sangat ketat (highly regulated). Di Amerika Serikat, terdapat Federal Communications Commission sebagai regulator. Lalu, di Afrika Selatan ada regulator bernama Independent Communication Authority of South Africa (ICASA). Dalam konteks Indonesia regulator itu bernama Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang berhubungan dengan isi atau konten dan Kementerian Komunikasi dan Informatika yang berhubungan dengan penggunaan frekuensi dan pemberian izin penyiaran.
11
Referensi Beilharz, Peter. (1991). A Guide to Central Thinkers. Australia: Allen and Unwin Pty Budi Hardiman, Fransisco. (2010). Ruang Publik. Yogyakarta: Penerbit Kanisius Mosco, Vincent. (1996). The Political Economy of Communication: Rethinking and Renewal. London: Sage Smith, Adam. (1937). An Inquiry Into the Nature and Causes of the Wealth of Nations. New York: Modern Library
12