Kepadatan dan Keragaman Macrobiofouling pada Dermaga Beton dan Dermaga Kayu di Pulau Balanglompo. Kec. Mattiro Sompe. Kab. Pangkep.
SKRIPSI
Oleh: Ahmad Faisal Ruslan
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
i
ABSTRAK AHMAD FAISAL RUSLAN. Kepadatan dan Keragaman Macrobiofouling Pada Dermaga Beton dan Dermaga Kayu di Pulau Balanglompo. Kec. Mattiro Sompe. Kab. Pangkep.Dibimbing oleh Khairul Amri Dan Mahatma Lanuru. Beberapa di antara biota lingkungan perairan merupakan biota-biota yang hidupnya menempel pada jenis substrat baik yang terendam maupun tegakan di dalam laut seperti bakteri, tumbuhan, dan hewan. Biota biota tersebut menimbulkan pengotoran biologis yang disebut juga dengan Biofouling. Pada tiang pelabuhan sangat banyak ditemui biota yang menempel, biota tersebut adalah teritip (Balanus sp). Penempelan tersebut tidak hanya terjadi pada substrat alami, dapat juga terjadi pada berbagai sarana kepentingan manusia seperti kapal dan bangunan pantai seperti dermaga. Penelitian ini mengkhususkan jenis Biofouling yang makroskopik (macrobiofouling) yang penempelannya bersifat massif pada tiang dermaga. Tujuan dari penelitian ini untuk mengetahui kepadatan macrobiofouling, keragaman macrobiofouling, membandingkan kepadatan macrobiofouling, serta membandingkan keragaman macrobiofouling yang melekat pada dermaga beton dan dermaga kayu di Pulau Balanglompo. Kec. Mattiro Sompe. Kab. Pangkep. Penelitian ini menunjukkan nilai kepadatan macrobioufouling pada tiang dermaga kayu dan beton secara umum didominasi oleh Balanus sp., sedangkan nilai indeks keanekaragaman macrobioufouling pada tiang dermaga kayu dan beton kategori tidak terekspos lebih tinggi pada daerah yang tidak terekspos dibanding terekspos. Perbandingan nilai kepadatan macrobioufouling berdasarkan kategori terekspos dan tidak terekspos terhadap jenis material, yaitu, pada tiang dermaga kayu kategori terekspos dan tidak terekspos tidak berbeda nyata (P>0,05), sedangkan pada dermaga beton untuk kategori terekspos dan tidak terekspos berbeda nyata (P<0,05). Perbandingan nilai kepadatan berdasarkan jenis material terhadap kategori terkespos pada tiang dermaga kayu dan beton berbeda nyata (P< 0,05), sedangkan kategori tidak terkespos pada tiang dermaga kayu dan beton tidak berbeda nyata (P>0,05). Nilai rata-rata keanekaragaman macrobioufouling tiang dermaga beton kategori terekspos dan tiang dermaga yang tidak terekspos lebih besar dibandingkan dengan tiang dermaga kayu terekspos dan tiang dermaga kayu yang tidak terekspos
Kata Kunci: Biofouling, macrobiofouling, tiang dermaga kayu, tiang dermaga beton, penempelan, Balanus sp., Pulau Balanglompo
Kepadatan dan Keragaman Macrobiofouling Pada Dermaga Beton dan Dermaga Kayu di Pulau Balanglompo. Kec. Mattiro Sompe. Kab. Pangkep.
Oleh : Ahmad Faisal Ruslan
Skripsi Sebagai salah satu syarat untuk memeroleh gelar sarjana pada Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan
JURUSAN ILMU KELAUTAN FAKULTAS ILMU KELAUTAN DAN PERIKANAN UNIVERSITAS HASANUDDIN MAKASSAR 2014
HALAMAN PENGESAHAN
Judul Skripsi
: Kepadatan dan Keragaman Macrobiofouling Pada Dermaga Beton dan Dermaga Kayu di Pulau Balanglompo. Kec. Mattiro Sompe. Kab. Pangkep.
Nama Mahasiswa : Ahmad Faisal Ruslan Nomor Pokok
: L 111 08 255
Program Studi
: Ilmu Kelautan
Skripsi telah diperiksa dan disetujui oleh:
Pembimbing Utama,
Pembimbing Anggota,
Dr. Khairul Amri, ST, M,Sc.Stud NIP. 196907061995121002
Dr. Mahatma Lanuru, ST,M.Sc. NIP. 197010291995031001 Mengetahui,
Dekan
Ketua Program Studi
Fakultas Ilmu Kelautan dan Perikanan,
Ilmu Kelautan,
Prof. Dr. Ir. Jamaluddin Jompa, M.Sc NIP. 196703081990031001
Tanggal Lulus:
Dr. Mahatma Lanuru, ST,M.Sc. NIP. 197010291995031001
RIWAYAT HIDUP
Ahmad Faisal Ruslan dilahirkan pada tanggal 21 Juni 1989 di Desa Paria Kec. Duampanua Kab. Pinrang Sulawesi Selatan. Anak kedua dari empat bersaudara, dari pasangan H. Muh. Ruslan dan Hj. Nanting Menyelesaikan pendidikan Taman kanak-kanak di TK Nurul Hidayah pada tahun 1995, Sekolah Dasar di SD Negeri 36 Paria pada tahun 2002, Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama di SLTP Negeri 1 Duampanua pada tahun 2005, dan Sekolah Menengah Atas di SMA Negeri 1 Pinrang pada tahun 2008. Pada tahun yang sama, penulis melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi di Universitas Hasanuddin. Penulis diterima masuk pada Jurusan Ilmu Kelautan melalui jalur Ujian Masuk Bersama (UMB). Selama menggeluti dunia kemahasiswaan, penulis pernah menjadi Wakil Ketua Kerukunan Mahasiswa Pinrang, menjabat sebagai koordinator pengkaderan di Senat Mahasiswa Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Selain itu penulis pernah mengikuti pelatihan selam Basic Diver di ADS-I (Association of Diving School International) dan MSDC (Marine Science Diving Club) Penulis menyelesaikan rangkaian tugas akhir pada tahun 2011, yaitu Praktik Kerja Mandiri (PKM) di Pulau Ballang Lompo dan Kuliah Kerja Nyata Profesi Khusus) di Pulau Ballang Lompo Kecamatan Mattiro Sompe, Kabupaten Pangkep. Ketertarikan dalam bidang Biologi Laut selama menjalani dunia perkuliahan yang akhirnya menginspirasi penulis untuk melakukan penelitian dengan judul “Kepadatan dan Keragaman Macrobiofouling Pada Dermaga Beton dan Dermaga Kayu di Pulau Balanglompo, Kecamatan Mattiro Sompe, Kabupaten Pangkep” pada tahun 2014.
UCAPAN TERIMA KASIH
Alhamdulillahirabbil Alamin.
Tiada kata yang pantas diucapkan selain
mengucapkan syukur kehadirat Allah SWT. Karena atas berkat Rahmat dan Hidayah - Nya yang telah dilimpahkan kepada penulis, sehingga penulis dapat melewati aral dan hambatan yang menghadang, dan akhirnya penelitian dan skripsi ini dapat terselesaikan yang berjudul “ Kepadatan dan Keragaman Makrobiofouling pada Dermaga Beton dan Dermaga Kayu di Pulau Balanglompo. Kec. Mattiro Sompe. Kab. Pangkep sebagai salah satu syarat kelulusan di Jurusan Ilmu Kelautan Universitas Hasanuddin. Dalam penyusunan skripsi ini, penulis banyak mendapatkan hambatan namun berkat usaha, kemauan dan do’a serta dukungan dari berbagai pihak sehingga penulis dapat mengatasinya. Untuk itu penulis ingin menghaturkan rasa terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1.
Kedua orang tua penulis, Bapak H. Muh. Ruslan dan Ibu Hj. Nanting yang telah membesarkan dengan penuh cinta dan kasih sayang, memberikan
dukungan moril maupun materil dan senantiasa
mendoakan penulis. 2.
Keluarga Besar H. Jompa yang telah mensupport penulis selama berkuliah.
3.
Bapak Dr. Khairul Amri, ST, M,Sc.Stud selaku pembimbing utama dan Bapak Dr. Mahatma Lanuru, ST,M.Sc selaku pembimbing anggota, atas dukungan, bantuan dan masukan serta bimbingan yang telah diberikan selama penelitian sampai pada penyusunan skripsi
4.
Para dosen penguji Ibu Dr. Inayah Yasir, M.Sc., Bapak Dr. M. Banda Selamat, S.Pi, MT., dan Bapak Prof. Dr. A. Iqbal Burhanuddin, ST., M. Fish.Sc yang telah meluangkan waktu dalam memberikan perhatian, kritik dan saran terhadap skripsi penulis.
5.
Bapak Prof. Dr. Ir, Ambo Tuwo, DEA selaku penasehat akademik yang selalu memberikan motivasi dalam menjalani masa perkuliahan.
6.
Seluruh staf jurusan, sub bagian pendidikan, tata usaha, dan perpustakaan. Terima kasih atas bantuannya sehingga penulis dapat selesai dalam jenjang studi ini.
7.
Saudara
saudara
seperjuanganku
“MARINE
ZERO
EIGHT”
(MEZEIGHT) Rival, Chalid, Dayat, Sulaiman, Ucok, Ucca, Herman Ashot Bogar, Janset, Baso, Ivan, Kopas, Madi, Ribelion, Andry, Mattewakkang, Pudding, dan seluruh angkatan 2008 yang tidak bisa saya sebutkan namanya satu persatu. Terima kasih telah menjadi bagian dari kehidupanku. Maskipun Kita lahir dari rahim yang berberda namun denyut nadi kita seirama. Persahabatan dan persaudaraan kita ini tidak akan pernah lekang oleh waktu. HEIL MEZEIGHT !!!!!! 8.
Terima kasih untuk Kak Agus, Kak Uya, kak Wawan, Kak Ciwing, Kak Atto, Kak Abdi, Kak Anto dan Kak Nur PPTK yang telah memberikan masukan-masukan selama penulis menjadi mahasiswa kelautan.
9.
Terima kasih banyak untuk Kawan Ringgo, Ria, Iswan, Aksan, Fahri, Rijal, Chudo, Mayang, Wanda dan Iccang kita telah melewati ujian terberat
di
kehidupan
kita
dalam
proses
pembelajaran
yang
mendewasakan diri kita. 10.
Endah Fitrianti SE, terima kasih atas kesabaran dan kesetiaannya selama bersama penulis.
11.
Keluarga
besar
mahasiswa
Senat
Mahasiswa
Universitas Hasanuddin, Marine Science Hasanuddin
Ilmu
Kelautan
Diving Club Universitas
(MSDC), Unit Kegiatan Pers Mahasiswa Universitas
Hasanuddin (UKPM),
anggota Komunitas Pecinta Alam Kelautan
(SETAPAK 22), dan Kerukunan Mahasiswa Pinrang Universitas Hasanuddin (KMP)
yang telah banyak memberikan pelajaran dan
pengalaman yang sangat berharga. 12.
Kantin Dg. Bunga dan Mone sebagai tempat makan, ngopi, sekaligus memberikan uncash makanan bila penulis mengalami kesulitan dalam keuangan.
13.
Pak Lurah Pulau Balanglompo, Ome sekeluarga dan Seluruh warga Pulau Balanglompo yang telah membantu penulis dalam melaksanakan penelitian. Semoga apa yang penulis dapat dari semua pihak yang telah membantu,
mendapat berkah dari Allah SWT lebih dari apa yang mereka berikan. Skripsi ini tak luput dari kesalahan dan kekurangan maka penulis mengharapkan kritik perbaikan dan penyempurnaan akan disambut dengan senang hati. Harapan penulis mengenai karya ini, semoga dapat memberikan manfaat bagi yang membacanya, khususnya bagi penulis sendiri Wassalamualaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
JALESVEVA JAYA MAHE!! DI LAUT KITA JAYA!! Makassar,
Mei 2014
Ahmad Faisal Ruslan
DAFTAR ISI Halaman DAFTAR TABEL .......................................................................................... DAFTAR GAMBAR ...................................................................................... DAFTAR LAMPIRAN..................................................................................... PENDAHULUAN A. Latar Belakang................................................................................ B. Tujuan dan Penelitian .................................................................... C. Ruang Lingkup Penelitian ............................................................... TINJAUAN PUSTAKA A. Biofouling ....................................................................................... 1. Defenisi .................................................................................... 2. Proses penempelan biofouling pada substrat ........................... 3. Permasalahan dan Upaya Penanggulangan Biofouling di Laut 4. Jenis-jenis biofouling ................................................................ a) Moluska ............................................................................ b) Tunicata ............................................................................ c) Hidroid ............................................................................... d) Alga ................................................................................... e) Anthozoa .......................................................................... B. Faktor Lingkungan.......................................................................... 1. Salinitas .................................................................................. 2. Pasang Surut .......................................................................... 3. Suhu ....................................................................................... 4. Arus ........................................................................................ METODOLOGI A. Waktu adan Tempat ....................................................................... B. Alat dan Bahan............................................................................... C. Prosedur Penelitian ........................................................................ 1. Persiapan................................................................................ 2. Penentuan Stasiun .................................................................. 3. Dimensi Transek Kuadran ....................................................... 4. Penagambilan Data................................................................. 5. Prosedur Pengambilan Sampel ............................................... D. Pengukuran Data Oseanografi ....................................................... 1. Suhu (oC) ............................................................................... 2. Salinitas (0/oo) ........................................................................ 3. Arus ........................................................................................ 4. Pasang surut ........................................................................... E. Pengolahan Data ........................................................................... 1. Komposis Jenis ....................................................................... 2. Indeks Keanekaragaman ........................................................ 3. Kepadatan .............................................................................. F. Analisis Data. ..................................................................................
xi xii xiii 1 2 3 4 4 5 6 8 8 9 10 11 11 12 12 12 13 13 14 15 15 15 15 16 16 17 18 18 18 18 19 19 19 19 21 21
HASIL DAN PEMBAHASAN A. Gambaran Umum Lokasi ................................................................. 22 B. Parameter lingkungan............................................................ ........... 23 1. Suhu (oC).............................................................................. ...... 23 2. Salinitas (o/oo)..................................................................... ....... 24 3. Kecepatan Arus................................................... ....................... 24 4. Pasang Surut ............................................................................ 25 C. Komposisi Jenis ............................................................................. 26 D. Kepadatan Makrobiofouling ............................................................ 32 1. Dermaga Kayu .......................................................................... 32 2. Dermaga Beton ......................................................................... 33 E. Perbandingan Indeks Keanekaragaman Macrobiofouling Pada Setiap Tiang-Tiang Pengamatan. ............................................................. 35 1. Tiang Dermaga Kayu ................................................................ 35 2. Tiang Dermaga Beton ............................................................... 37 F. Perbandingan Kepadatan dengan Analisis Independent Samples Test38 1. Perbandingan Kepadatan pada Kayu dan Beton antar Terekspos dan Yang Tidak Terekspos. ................................................. 38 2. Perbandingan Kepadatan antar Material............................... 39 G. Perbandingan Keanekaragaman. .............................................. 41 KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan .......................................................................................... 43 Saran ................................................................................................... 44 DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN
DAFTAR TABEL Nomor 1. Kategori Indeks Keanekaragaman (H1) (Odum, 1971... .......................
Halaman 20
2. Data Parameter Lingkungan Pulau Balanglompo ................................ 23 3. Jenis Macrobiofouling yang ditemukan pada Tiang Dermaga Kayu....
27
4. Jenis Macrobiofouling yang ditemukan pada Tiang Dermaga Beton...
28
5. Perbandingan Indeks Keanekaragaman Tianga Kayu dan Tiang Beton 41
DAFTAR GAMBAR Nomor
Halaman
1.
Struktur waktu penempelan biofouling pada substrat (Abarzua, 1995). ..
5
2.
Peta lokasi penelitian Pulau Balanglompo.............................................
14
3.
Penentuan titik stasiun dan sub stasiun. ................................................
16
4.
Dimensi transek kuadran .......................................................................
16
5.
Jarak antara pasang tertinggi dan surut terendah ..................................
17
6.
Pasang Surut Pulau Balanglompo .........................................................
25
7.
Grafik komposisi jenis Macrobiofouling pada tiang dermaga kayu .........
29
8.
Grafik komposisi jenis Macrobiofouling pada tiang dermaga beton ........
29
9.
Grafik kepadatan rata-rata Macrobiofouling pada tiang dermaga kayu yang terekspos ...............................................................................................
32
10. Grafik kepadatan rata-rata Macrobiofouling pada tiang dermaga kayu yang tidak terekspos.......................................................................................
32
11. Grafik kepadatan rata-rata Macrobiofouling pada tiang dermaga beton yang terekspos ...............................................................................................
33
12. Grafik kepadatan rata-rata Macrobiofouling pada tiang dermaga beton yang tidak terekspos.......................................................................................
34
13. Grafik indeks keanekaragaman Macrobiofouling tiang dermaga kayu ....
35
14. Grafik indeks keanekaragaman Macrobiofouling tiang dermaga beton ..
37
15. Grafik perbandingan kepadatan pada kayu dan beton antar terekspos dan yang tidak terekspos .............................................................................
38
16. Grafik perbandingan kepadatan antar material (kayu dan beton) terekspos dan tidak terekspos ................................................................................
4
0
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Halaman
17. Tabel pasang surut di pulau Balanglompo ...........................................
48
18. Tabel komposisi jenis tiang dermaga kayu ............................................
49
19. Tabel komposisi jenis tiang dermaga beton ...........................................
50
20. Kepadatan tiang dermaga kayu .............................................................
51
21. Kepadatan tiang dermaga beton ............................................................
52
22. Tabel indeks keanekaragaman (h) macrobiofouling pada tiang dermaga kayu ..............................................................................................................
53
23. Tabel indeks keanekaragaman (h) macrobiofouling pada tiang dermaga beton......................................................................................................
54
24. Hasil Analisis Independent Sampel Test nilai kepadatan macrobiofouling kategori terekspos dan tidak terekspos dan yang tidak terekspos terhadapa jenis material..........................................................................................
55
25. Hasil Analisis Independent Sampel Test nilai kepadatan macrobiofouling berdasarkan jenis material terhadap kategori terekspos dan tidak terekspos pada dermaga kayu dan beton...............................................................
55
26. gambar jenis-jenis macrobiofouling yang ditemukan pada tiang dermaga kayu dan tiang dermaga beton di pulau Balanglompo ............................
57
27. Dokumentasi kegiatan lapangan ............................................................
61
28. Dokumentasi analisis sample di laboratorium ekologi laut......................
62
1
I.
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Di dalam laut terdapat berbagai sumberdaya hayati yang menjadi penyusun struktur biota lingkungan perairan. Beberapa diantaranya adalah biota yang hidupnya menempel pada jenis substrat baik yang terendam maupun tegakan di dalam laut. Secara alami kehadirannya adalah peristiwa yang wajar. Biota-biota penempel tersebut berasal dari kelompok bakteri, tumbuhan dan hewan. Rittchof (2001) menyatakan bahwa semua permukaan bawah air di dalam lingkungan laut dipengaruhi oleh penempelan organisme fouling seperti bakteri, alga dan invertebrata khususnya teritip dan remis. Faktor-faktor biologi, fisika, dan kimia juga mempengaruhi semua permukaan di lingkungan laut. Hal tersebut akan menghasilkan suatu lapisan kompleks dari perlekatan mikroorganisme (microfouling) dan makroorganisme (macrofouling) yang lebih dikenal sebagai biofouling. Biofouling adalah penempelan dan akumulasi organisme hidup yang melekat pada permukaan substrat (material yang ditempeli biofouling). Istilah ini biasanya mengacu pada organisme stasioner makroskopik seperti makroalga, teritip, kerang, dan sejenisnya. Namun biofouling juga terjadi sangat cepat pada skala mikroskopis. Sehingga biofouling dapat dibagi menjadi 2, yaitu microfouling yaitu pembentukan biofilm (kolonisasi bakteri dan mikroalga) dan macrofouling yaitu penempelan makroorganisme (kolonisasi avertebrata dan makroalga) yang bersifat merusak (Railkin, 2004). Secara umum biofouling adalah penempelan dan pertumbuhan organisme pada permukaan benda atau material yang terbenam di laut. Organisme ini dapat saja melekat sementara maupun permanen pada permukaan material yang ditempelinya (Budiharta, 2009).
2
Pada tiang pelabuhan sangat banyak ditemui biota yang menempel, biota tersebut adalah teritip (Balanus spp). Penempelan tersebut tidak hanya terjadi pada substrat alami, dapat juga terjadi pada berbagai sarana kepentingan manusia seperti kapal dan bangunan pantai seperti dermaga. Penempelan tersebut menimbulkan pengotoran biologis yang disebut dengan biofouling. Di pulau Balanglompo terdapat dua dermaga yaitu dermaga kayu dan dermaga beton. Dermaga yang ada di pulau tersebut biasanya dijadikan tempat bersandarnya kapal-kapal yang memuat penumpang atau barang-barang dagangan yang nantinya akan dijual di pulau tersebut. Berdasarkan hal tersebut, maka dianggap perlu melakukan penelitian untuk mengetahui kepadatan dan keragaman macrobiofouling pada dermaga beton dan dermaga kayu di Pulau Balanglompo, Kec. Mattiro Sompe. Kab. Pangkep. Selain itu penelitian ini juga bertujuan untuk membandingkan kepadatan dan keragaman macrobiofouling pada dermaga beton dan dermaga kayu di Pulau Balanglompo. Kec. Mattiro Sompe. Kab. Pangkep. B. Tujuan dan Manfaat Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Mengetahui kepadatan macrobiofouling pada dermaga beton dan dermaga kayu di Pulau Balanglompo. Kec. Mattiro Sompe. Kab. Pangkep. 2. Mengetahui keragaman macrobiofouling pada dermaga beton dan dermaga kayu di Pulau Balanglompo. Kec. Mattiro Sompe. Kab. Pangkep. 3. Membandingkan kepadatan macrobiofouling
yang melekat pada pada
dermaga beton dan dermaga kayu di Pulau Balanglompo. Kec. Mattiro Sompe. Kab. Pangkep.
3
4. Membandingkan keragaman macrobiofouling
yang melekat pada dermaga
beton dan dermaga kayu di Pulau Balanglompo. Kec. Mattiro Sompe. Kab. Pangkep. Manfaat yang diperoleh melaui penelitian ini yaitu diharapkan memberikan informasi kepada civitas akademik Ilmu Kelautan tentang kepadatan dan keragaman Macrobiofouling pada dermaga beton dan dermaga kayu di Pulau Balanglompo. Kec. Mattiro Sompe. Kab. Pangkep dan diharapkan untuk para peneliti selanjutnya yang ingin melakukan penelitan yang berkaitan dengan Biofouling dapat menggunakan data atau informasi dari penelitian ini.
4
II.
TINJAUAN PUSTAKA
A. Biofouling 1. Definisi Secara umum biofouling adalah penempelan dan pertumbuhan organisme pada permukaan benda atau material yang terbenam di laut. Organisme ini dapat saja melekat sementara maupun permanen pada permukaan material yang ditempelinya.
Biofouling merupakan kumpulan mikroorganisme khususnya
bakteri yang melekat erat pada permukaan substrat dan diselubungi oleh matriks extracellular polymeric. Biofouling tersebut diketahui merupakan prasyarat bagi penempelan dan metamorphosis dari organisme penempel (Sabdono, 2007; Marhaeni, 2011). Rittchof (2001) menyatakan bahwa semua permukaan bawah air di dalam lingkungan laut dipengaruhi oleh penempelan organisme fouling seperti bakteri, alga dan invertebrata khususnya teritip dan remis. Faktorfaktor biologi, fisika, dan kimia juga mempengaruhi semua permukaan di lingkungan laut. Hal tersebut akan menghasilkan suatu lapisan kompleks dari perlekatan
mikroorganisme
(microfouling)
dan
makroorganisme
(macrofouling) yang lebih dikenal sebagai biofouling. Biofouling adalah penempelan dan akumulasi organisme hidup yang melekat pada permukaan substrat (material yang ditempeli biofouling). Istilah ini biasanya mengacu pada organisme stasioner makroskopik seperti makroalga, teritip, kerang, dan sejenisnya. Namun biofouling juga terjadi sangat cepat pada skala mikroskopis. Sehingga biofouling dapat dibagi menjadi 2, yaitu microfouling yaitu
pembentukan
biofilm
(kolonisasi
bakteri
dan
mikroalga)
dan
5
macrofouling yaitu penempelan makroorganisme (kolonisasi avertebrata dan makroalga) yang bersifat merusak (Railkin, 2004). 2. Proses penempelan biofouling pada substrat. Proses fouling pada permukaan substrat keras diawali dengan penempelan mikroorganisme terutama oleh bakteri dan diatom yang tumbuh berlipat kali secara cepat. Bersama dengan debris dan bahan organik partikulat lainnya, mikroorganisme ini membentuk lapisan tipis pada permukaan benda. Tahap ini merupakan tahap primer dimana mikroorganisme berperan sebagai perintis bagi organisme penempel berikutnya yang umumnya berukuran lebih besar. Hewan dan tumbuhan yang selanjutnya menempel pada substrat tersebut umumnya berasal dari hewan dan tumbuhan yang secara alami hidup menempel (sessil) di sekitar lokasi bangunan pada substrat seperti karang dan lain-lain (Raiklin, 2005).
Gambar 1. Struktur waktu penempelan biofouling pada substrat (Abarzua, 1995).
6
Pembentukan biofilm pada suatu substrat di perairan membutuhkan waktuwaktu tertentu dalam setiap tahapannya. Bakteri planktonik yang berada di perairan mengalami pengendapan yang berubah-ubah dalam hitungan detik. Selanjutnya bakteri melekat pada substrat dalam hitungan menit (pelekatan awal). Bakteri yang melekat membentuk koloni dan melekat secara permanen pada substrat karena terjadi produksi eksopolimer dalam hitungan menit hingga jam. Selanjutnya terjadi proses pematangan biofilm tahap awal (maturasi 1) dalam hitungan 1 jam sampai 24 jam. Pematangan biofilm tahap akhir (maturasi 2) terjadi pada hitungan 24 jam hingga 1 minggu. Pada hitungan 2 minggu hingga 1 bulan terjadi proses disphersi, yaitu sebagian bakteri siap untuk menyebar dan berkolonisasi di tempat lain. 3. Permasalahan dan Upaya Penanggulangan Biofouling di Laut Organisme fouling (biofouling) yang menempel pada kapal dan berbagai struktur buatan manusia di laut memberikan kerugian (ekonomis maupun operasional). Berdasarkan Chambers et al. (2006) keberadaan organisme fouling pada lambung kapal yang telah berlayar selama 6-8 bulan dapat mengakibatkan berkurangnya kecepatan kapal hingga 50%. Hal tersebut mengakibatkan tertundanya waktu berlayar selama 10-15% dari total waktu berlayar serta meningkatkan konsumsi bahan bakar hingga 40%. Biofouling secara komersial dapat menyebabkan dampak besar bagi konsumer, tetapi ahli lingkungan mengatakan bahwa biofouling memiliki beberapa kerugian yang lain juga. Penelitian yang dilakukan Sudaryanto et al. (2001) dan Harder (2004) membuktikan terjadinya akumulasi bahan TBT pada sedimen perairan di Indonesia dan menyebabkan terjadinya imposex pada gastropoda laut betina karena dapat menyebabkan penyumbatan pada saluran pengeluaran telur. Kelainan seksual pada spesies gastropoda yang terekspos
7
TBT tergambar secara luas pada awal tahun 1990 (Soedharma dan Fauzan, 1996). Usaha-usaha
untuk
mencegah
dan
menghilangkan
biofouling
terus
dikembangkan diantaranya dengan metode pengerokan. Namun metode serupa dirasa sangat tidak efektif karena untuk melakukan pengerokan diperlukan teknik khusus
dengan
terlebih
dahulu
melakukan
pendaratan
kapal.
Hal
ini
menyebabkan kerugian besar bagi industri perkapalan karena pada masa itu kapal tidak bisa melakukan aktivitasnya di laut. Oleh karena itu pada pertengahan tahun 1800 dikembangkan cat antifouling yang mengandung tembaga. Namun penggunaan cat ini memiliki masa pakai yang pendek (kurang dari 1,5 tahun). Tahun 1960 digunakan bahan-bahan kimia seperti arsen, organo-mercury, DDT, dan timah sebagai campuran cat antifouling. Berdasarkan hasil penelitian, bahan-bahan kimia tersebut memiliki daya toksik yang berbahaya dan memiliki persisten tinggi di lingkungan. Metode pencegahan selanjutnya adalah penggunaan cat antifouling berbahan dasar tributyltin (TBT). Ine dan Ant (2001) menyatakan hampir seluruh dunia termasuk Indonesia menggunakan cat berbahan baku TBT untuk pengecatan badan kapal. TBT yang merupakan campuran dalam cat antifouling memiliki sifat peluruhan yang tinggi serta membahayakan berbagai organisme laut lainnya. Oleh karena itu, produk alami antifoulant (Natural Product Antifoulant atau NPA) sebagai alternatif antifouling alami pengganti TBT telah dikembangkan. Karang lunak merupakan salah satu avertebrata laut yang telah dikenal memiliki kemampuan antifouling sehingga dapat digunakan sebagai sumber NPA.
8
4. Jenis-jenis biofouling Kelompok biofouling yang umum ditemukan antara lain: Moluska teritip, bryozoa, tunicata, decapoda, krustasea, hidroid dan anthozoa. Tiga kelompok pertama merupakan organisme yang paling banyak dan paling besar jumlahnya, sedangkan selebihnya tidak terlalu signifikan (Dharmaraj, et al.,1987). a)
Moluska Moluska berasal dari bahasa Romawi yaitu molis yang berarti lunak.
Moluska merupakan binatang yang berdaging dan tidak bertulang, ada yang dilindungi cangkang dan ada pula yang tidak dilindungi cangkang. Bentuk cangkang bermacam-macam, ada yang bercangkang tunggal (Gastropoda), bercangkang berganda (Bivalvia), berbentuk tanduk (Scaphoda), berlapis-lapis seperti susunan genting (Polyplacophora) dan yang bercangkang di dalam tubuh, misalnya Loligo sp. (Dharma, 1988). Selanjutnya, Oemarjati dan Wardhana (1990) mengatakan bahwa Moluska adalah hewan simetri bilateral, bertubuh lunak dan tidak bersegmen. Kebanyakan dari anggotanya mempunyai cangkang yang terbuat dari zat kapur dengan bentuk beranekaragam. Menurut Dharma (1988) Filum Moluska dibagi tujuh kelas yaitu Aplacophora, Monoplacophora, Polyplacophora, Scaphopoda, Gastropoda, Pelecypoda dan Cephalopoda. Sementara itu Nontji (1993) mengatakan bahwa Moluska terdiri atas lima kelas yakni Amphineura, Gastropoda, Scaphopoda, Pelecypoda dan cephalopoda. Dari kelima kelas tersebut hanya tiga yang penting karena mempunyai arti ekonomi yaitu Gastropoda (jenis-jenis keong), Pelecypoda (jenisjenis kerang dan Cephalopoda (cumi-cumi, sotong dan gurita). Moluska termasuk hewan yang sangat berhasil menyesuaikan diri untuk hidup di beberapa tempat dan cuaca. Ada yang hidup di hutan bakau, di laut yang
sangat dalam, menempel pada substrat karang, di atas pasir,
9
membenamkan dirinya dalam pasir, di atas tanah berlumpur dan ada yang hidup di darat (Dharma, 1988). Teritip
merupakan
salah
satu
kelompok
hewan
yang
paling
luas
penyebarannya, yang didapati di perairan pasang dan surut atau laut dangkal (McConnaughey dan Zottoli, 1983). Tiga jenis teritip yaitu Balanus amphitrite, Balanus titinabulum, Balanus trigonus merupakan jenis penghuni lautan dangkal (Nyibakken, 1992). Hal ini disebabkan oleh cangkang yang keras dan daya tahannya cukup kuat terhadap perubahan lingkungan yang besar sehingga pertumbuhannya lebih cepat (Rohmimohtarto, 1977). Selanjutnya menurut Hutagalung (1982), Penempelan dan perkembangan teritip sangat dipengaruhi oleh kondisi oseanografis antara lain pasang surut, kecerahan, cahaya, arus dan gelombang. Selain itu, sifat fisik dari substrat, sifat kimia substrat, persediaan makanan dan ruang juga mempengaruhi kehidupan teritip. b) Tunicata Hewan yang termasuk subfilum ini bertempat tinggal di laut. Merupakan hewanyang hidup secara melekat atau sesil. Makanan diperoleh dari aliran air yang masuk melaluimulut ke celah insang. Diberi nama Tunicata karena tubuhnya diselubungi oleh cangkangyang tersusun dari tunika. Tunika tersusun dari selulose. Selulosa biasanya terdapat pada tumbuhan atau protista tertentu. Yang dapat memberi petunjuk hewan ini chordata yaitu adanya celah insang. Pada tingkat dewasa hewan ini tidak mempunyai chorda dorsalis dansistem saraf. Seperti hewan melekat yang lain , tunicata menghasilkan larva yang berenang,sehingga dapat mencari lokasi baru. Ciri kalau larva termasuk chordata yaitu mempunyai chorda dorsalis dan sistem saraf yang terdapat pada bagian dorsal tubuh. Larva akhirnya melekat pada substrat dan berkembang menjadi bentuk dewasa yang kehilangan sifat-sifatchordatanya. (Anonim 2013).
10
c)
Hidroid Hydrozoa ditemukan sekitar 3.000 spesies yang hidup, dan dalam siklus
hidupnya, kelas ini mengalami tahap polip sub-ordo thecate (Leptomedusae) Athecate
(Anthomedussae),
Limnomedusae,
Milleporina,
Stylasterina,
Trachylina, Siphonophora, dan Actinulida. Penyebarannya dari daerah perairan dangkal sampai kedalaman 30-40 m, dan hal ini banyak penelitian dilakukan pada kedalaman 5-15 m. Hewan ini Hidup sebagai hewan yang berenang bebas maupun menempel pada substrat keras seperti batu-batuan, tiang-tiang pelabuhan dan pasir. Hewan ini menyebar dari daerah tropis sampai subtropis (Kozloff, 1990). Penelitian tentang penamaan Hydroid telah dilakukan sejak awal abad ke 19, dimana dalam expedisi Danish tahun 1922 di Kepulauan Kei, Indonesia. Beberapa nama Hydroid dari perairan maluku telah diberika oleh Pieter dan Bedot, 1890 yang telah direvisi ( Schuchert, 2003). Sejak awal abad ke 20, terdapat 15 spesies hidroid tercatat dari perairan Indonesia oleh (Mulder dan Trebilcock, 1909). Aglaophenia cupressina Lamouroux, 1816 (Hydroid, Leptomedusae) adalah salah satu dari sekian banyak spesiae Hydroid yang terdapat di perairan pantai. Perairan pulau Siladen merupakan dalah satu bagian dari wilayah Taman Nasional
Bunaken,
memiliki
beranekaragam
organisme
dari
jenis-jenis
invertebrata terutama ekosistem terumbu karang dan jenis vertebrata seperti ikan, organisme ini (hydoid, Leptomedusa) juga merupakan salah organisme penyusun terumbu karang. d) Alga Tumbuhan laut, alga, ada yang bersifat uniseluler (bersel tunggal) dan ada pula yang multi seluler (bersel banyak). Cara hidupnya bisa sebagai fitoplankton yang mengapung atau melayang dala air atau bisa juga sebagai fitobentos yang
11
hidup menancap atau elekat. Dalam tulisan ini yang dimaksud dengan alga di batasi hanya pada ukuran besar saja (makroalga) yang hidup sebagai fitobentos. Alga yang hidup di dasar laut banyak terdapat di sepanjang pantai mulai dari zone pasang- surut samapai sedalam sinar surya dapat tembus. Di perairan yang jernih beberapa jenis alga bisa hidup sampai kedalaman lebih 150 m. Biasanya alga alga ini sedikit terdapat di perairan yang dasarnya sedikit berlumbur atau berpasir karena sangat terbatas benda keras yang cukup kokoh untuk tempatnya melekat. Di terumbu karang, alga ini umumnya banyak ditemukan, melekat pada batu, potongan karang, cangkang moluska, potongan kayu dan sebagainya. Ada pula yang apabila terlepas dari substrat dasar dapat hidup mengambang di permukaan karena mempunyai gelembung udara sebagai pelampung
sperti
yang terdapat pada Sargassum. Alga yang berukuran besar tergolong dalam tiga kelas yakni Chlorophyceae (alga hijau), Phaeophyceae
(alga coklat), dan
Rhodophyceae (alga merah). Tiap kelas memiliki kandungan jenis pigmen yang tertentu. (Nontji, 2002). e)
Anthozoa Anthozoa berasal dari bahasa yunani, anthos + zooa = zoa (anthos = bunga,
zoa = hewan) hewan yang menyerupai bunga. Semua anggota kelas ini hidup di laut, dari daerah pantai sampai kedalaman 6000 meter, terutama di perairan hangat, tetapi ada juga yang dijumpai di daerah kutub. Mereka merupakan polip yang menetap dengan melekatkan diri pada suatu obyek yang terdapat di dasar laut. Anggota dari pada kelas ini fase medusanya telah tereduksi, sehingga hanya memiliki fase polip saja. Kelas Anthozoa merupakan kelas yang paling besar dalam koelentrata, meliputi 6000 species, dua sub kelas yang masing-masing terdiri atas 6 buah ordo. Jika ditinjau dari sudut kerangka tubuh maka kelas Anthozoa kini dapat
12
dibedakan menjadi dua sub kelas, yaitu (a). Sub Kelas Alcyonaria ( Octocorallia), (b). Sub Kelas Zoantharia (Hexacorallia). Jasin ( 1992). B. Faktor Lingkungan Adapun faktor oseanografi yaitu: 1. Salinitas Salinitas adalah jumlah garam-garam dalam garam yang terlalrut dalam satu liter air, biasanya dalam satuan promil ( biasanya berkisar antara 34
– 35
). Di perairan samudra salinitas
. Di perairan pantai, kerena terjadi
pengenceran, misalnya pengaruh-pengaruh aliran sungai maka salinitasnya rendah. Sebaliknya di daerah dengan penguapan tinggi nilai salinitasnya tinggi (Nontji, 1947), di mana salinitas bisa mencapai 40
seperti di Laut Merah
(King, 1970) Air laut umumnya memiliki salinitas yang seragam kerena mendekati pencampuran yang sempurna oleh sirkulasi. Namun bagaimanapun terdapat beberapa penyimpangan yang siknifikan dan dapat di prediksi dari salinitas noral. Variasi ini terjadi secara geografis dan vertikal di dasar lautan. Kebanyakan air laut memiliki salinitas antara 33 rata sekitar 34,5
dan 37
dengan rata-
Sebagian besar wilayah deviasi yang signifikan dari kisaran
sempit di bagi dua kategori : (1) daerah yang berdekatan dengan daratan utama di mana ada masukan dari aliran muara sungai, (2) derah sirkulasi di mana penguapan menyebabkan peningkatan konsentrasi terlarut (Martin, 1968). 2. Pasang Surut Pasang surut (pasut) adalah proses naik turunnya muka laut secara hampir periodik karena gaya tarik benda-benda angkasa, terutama bulan dan matahari (Dahuri, 1996). Pasut tidak hanya mempengaruhi lapisan di bagian teratas saja,
13
melainkan seluruh massa air. Di perairan-perairan pantai, terutama di teluk-teluk atau selat-selat yang sempit, gerakan naik turunnya muka air akan menimbulkan terjadinya arus pasang surut. Berbeda dengan arus yang disebabkan oleh angin yang hanya terjadi pada air lapisan tipis di permukaan, arus pasut bisa mencapai lapisan yang lebih dalam (Nontji, 2002). 3. Suhu. Suhu di laut adalah salah satu faktor yang amat penting bagi kehidupan organisme
dilautan,
kerena
suhu
dapat
mempengaruhi
baik
aktivitas
metabolisme maupun perkembang biakan dari organisme-organisme tersebut (Hutabarat dan Evans, 1984). 4. Arus Arus merupakan gerakan mengair suatu massa air yang disebabkan oleh tiupan angin atau karena perbedaan densitas air laut atau dapat pula disebabkan oleh gerakan gelombang yang panjang (Nontji, 1987). Selanjutnya Nybakken,( 1992) menyatakan bahwa angin mendorong bergeraknya air permukaan yang menghasilkan suatu gerakan horozontal yang lamban yang mampu mengangkut suatu volume air yang sangat besar melintasi jarak di lautan.
14
III.
METODOLOGI
A. Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan pada bulan Oktober - November 2013 pada dermaga beton dan dermaga kayu di Pulau Balanglompo. Kec. Mattiro Sompe. Kab. Pangkep. Kelurahan Mattiro Sompe secara geografis terletak antara 04053’57.6”-04058’04.7” LS dan 119022’41.8”-119026’07.5” BT.
Gambar 2. Peta lokasi penelitian Pulau Balanglompo.
15
B. Alat dan Bahan Alat yang digunakan dalam penelitian ini yaitu alat selam (SCUBA) untuk mobilitas dalam air, GPS untuk menentukan titik koordinat lokasi penelitian, transek kuadran untuk mengetahui kepadatan biofouling, sabak 1 buah digunakan
untuk
dokumentasi
mencatat
penelitian,
data
tiang
biota
skala
laut, untuk
kamera
underwater
mengukur
pasang
untuk surut,
handrefractometer untuk mengukur salinitas, thermometer untuk mengukur suhu, layang-layang arus untuk mengukur kecepatan arus, dan buku identifikasi untuk mengidentifikasi sampel. Bahan yang digunakan adalah alkohol 70% untuk mengawetkan sampel. C. Prosedur Penelitian 1.
Persiapan Kegiatan yang dilakukan pada tahap persiapan meliputi studi literatur yang
berhubungan dengan penelitian, persiapan alat - alat yang akan digunakan selama kegiatan penelitian dan pengumpulan data sekunder sebagai pelengkap. 2. Penentuan Stasiun Dari hasil observasi lapangan kemudian ditentukan beberapa stasiun dan jumlah tiang dermaga yang dianggap representatif untuk melihat kepadatan dan keragaman macrofouling pada dermaga beton dan dermaga kayu. Posisi stasiun ditentukan berdasarkan keberadaan dermaga beton dan dermaga kayu yang ada di pulau tersebut sehingga stasiun terdiri atas 2 lokasi yaitu stasiun satu pada dermaga beton dan stasiun dua pada dermaga kayu, sedangkan penentuan substasiun ditentukan secara acak pada tiang-tiang pada dua dermaga.
16
Gambar 3. Penentuan titik stasiun dan sub stasiun. 3. Dimensi Transek Kuadran. Dimensi transek kuadran yang digunakan pada pengambilan data macrobiofouling berukuran 15 cm x 90 cm,
Tiang Kayu
Tiang Beton
Gambar 4. Dimensi transek kuadran.
17
4. Pengambilan Data Pengambilan data parameter perairan
dilakukakan sebanyak satu kali.
Sedangkan pengambilan dan pengamatan data macrofouling menggunakan transek kuadran dan dilakukan dua pengambilan data pada tiang dermaga yang terekspos dan tidak terekspos oleh air. Selanjutnya dilakukan pengamatan secara langsung dengan mengamati organisme penempel yang ada dalam transek. Pengambilan data dilakukan pada siang hari pada saat pasang surut terendah air laut. Pengambilan data dimulai dari stasiun 1 dan 2 secara berurutan. Hal yang sama juga dilakukan pada pengambilan data antar substasiun yaitu dimulai dari substasiun 1 hingga Substasiun yang telah ditentukan.
Gambar 5. Jarak antara pasang tertinggi dan surut terendah. 5. Prosedur Pengambilan sampel Dalam pendataan secara langsung di lapangan jenis macrofuling yang tidak diketahui jenisnya akan diambil dan dimasukkan kedalam kantong sampel
18
lalu
diawetkan menggunakan alkohol 70% untuk selanjutnya diidentifikasi di
Laboratorium Biologi Laut Jurusan Ilmu Kelautan. D. Pengukuran data oseanografi Pengukuran data oseanografi dilakukan langsung di lapangan, yang meliputi pengukuran suhu, salinitas, arus dan pasang surut. Data diambil sebanyak satu kali pada setiap stasiunnya 1.
Suhu (˚C) Untuk mengukur suhu digunakan thermometer. Sampel air diambil pada
permukaan perairan dengan menggunakan gelas ukur, kemudian thermometer dicelupkan ke dalam sampel air tadi, selanjutnya baca nilai skala yang tertera pada thermometer lalu dicatat. 2. Salinitas (0/00) Salinitas diukur dengan menggunakan handrefractometer. Sampel air diambil pada permukaan perairan dengan menggunakan botol atau wadah. Dengan menggunakan pipet tetes, sampel air dalam wadah tadi diambil dan selanjutnya diteteskan di atas kaca handrefractometer. Nilai skala yang tertera pada lensa dibaca dan kemudian dicatat. 3. Arus Kecepatan arus diukur dengan menggunakan drift float (layang-layang arus) yang dilengkapi dengan tali berskala 5 meter. Layang-layang arus dilepas ke perairan bersamaan dengan diaktifkannya stopwatch. Ketika tali menegang, stopwatch dimatikan. Jarak tali dan waktu yang dibutuhkan hingga tali menegang kemudian dicatat. Perhitungan kecepatan arus menggunakan rumus : Dengan
V : Kecepatan arus (m/dtk)
19
S : Jarak (m)
V = s/t
T : Waktu (dtk) 4. Pasang surut Menentukan lokasi yang representatif untuk pemasangan rambu pasut dan mencatat posisinya. Memasang rambu pasut pada daerah yang diperkirakan tetap tergenang air apabila surut. Mencatat tinggi muka air dengan interval 1 jam selama 39 jam, yang dimulai pada pukul 17.00 waktu setempat. Adapun rumus untuk menghitung nilai pasang surut yaitu : H=
MSL = Tunggangan pasut = Pasang tertinggi – Surut terendah E. Pengolahan Data Untuk perhitungan komposisi jenis (%), indeks keanekaragaman ( H), indeks keseragaman (E) dan indeks dominansi (D) digunakan rumus sebagai berikut : 1.
Komposisi jenis Komposisi jenis merupakan perbandingan antara jumlah individu suatu jenis
terhadap jumlah individu secara keseluruhan (English et al, 1997). menghitung komposisi jenis biofouling digunakan rumus: Komposisi jenis (%) Ki =
X 100%
Dengan : Ki: Komposisi jenis Ke- i % ni : Jumlah individu setiap jenis yang teramati N : Jumlah total individu
Untuk
20
2. Indeks keanekaragaman (H) Indeks keanekaragaman (H’) adalah penggambaran yang menunjukkan sifat suatu komunitas yang memperlihatkan tingkat keanekaragamannya dalam suatu komunitas. Menurut sifat komunitas, keanekaragaman ditentukan dengan banyaknya jenis serta kemerataan kelimpahan individu tiap jenis yang didapatkan. Semakin besar nilai suatu keanekaragaman berarti semakin banyak jenis yang didapatkan dan nilai ini sangat bergantung kepada nilai total dari individu masing-masing jenis atau genera (Odum, 1971). Tabel 1. Kategori indeks keanekaragaman (H’) (Odum, 1971).
No.
Keanekaragaman (H’)
Kategori
1.
H’ < 2,0
Rendah
2.
2,0 < H’ < 3,0
Sedang
3.
H’ ≥ 3,0
Tinggi
Untuk perhitungan Indeks Keanekaragamanvdi gunakan rumus sebagi berikut: = (Pi)
Dengan : Ln ni
: hasil kali dari jumlah individu jenis yang teramati
N
: jumlah total Individu Pi X Ln Pi
Pi
: hasil penjumlahan dari jumlah individu jenis yang teramati dibagi H = Pi X Ln Pi (dijumlahkan)
dengan total jumlah individu
21
H
: hasil penjumlahan nilai Pi
3. Kepadatan Untuk menghitung kepadatan macrobiofouling
maka digunakan rumus
Krebs (1989). D = ni / A Dengan: D = Kepadatan Spesies (Ind/m2) ni = Jumlah total Ind ividu (individu) A = Luas total transek (m2) F. Analisis Data Data kemudian dianalisis menggunakan uji Statistik Independent Samples Test untuk melihat perbedaan kelimpahan pada kondisi substrat yang berbeda. Selain itu data sekunder berupa kondisi lingkungan juga dianalisis secara deskriptif dalam bentuk grafik dan tabel, digunakan untuk mengkaji secara ekologis pengaruh terhadap komposisi dan kelimpahan jenis di tiap - tiap stasiun pengamatan.
22
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
A. Gambaran Umum Lokasi Pulau Balanglompo merupakan pusat kelurahan, sekaligus sebagai pusat kecamatan, kantor kecamatan dan kantor kelurahan berada di pulau yang sama. Khusus Pulau Langkadea merupakan pulau wisata yang dikelola oleh Pemda Pangkep. Secara geografis Pulau Balanglompo terletak antara 04053’57.6”-04058’04.7” LS dan 119022’41.8”-119026’07.5” BT. Kelurahan Mattiro Sompe berbatasan dengan : Sebelah Timur
: Daratan Pangkep
Sebelah Utara
: Desa Mattiro Dolangeng
Sebelah Barat
: Desa Mattaro Adae
Sebelah Selatan
: Wilayah Makassar
Aksesibilitas ke Kelurahan Mattiro Sompe dapat dicapai dengan transportasi laut dari Kabupaten Pangkep dan Kota Makassar, dari Kabupaten Pangkep dan Makassar dapat dicapai dengan menggunakan kapal penumpang dan alternatif lain dengan menggunakan jolloro. Jarak tempuh kapal penumpang dari Sungai Pangkajene masing-masing sekitar 1,5 jam dan 2 jam dari Makassar. Alternatif lain dapat melalui Dermaga Maccini Baji yang terletak di Kecamatan Labakkang dengan menggunakan jolloro dengan lama perjalanan sekitar 1 jam. Jumlah kapal regular yang tersedia dari Pulau Balanglompo sebanyak 5 buah, masingmasing 3 buah dengan rute Balanglompo – Pangkajene dan 2 buah dengan Balanglompo - Makassar berangkat sekitar pukul 07.00 WITA dan kembali sekitar pukul 11.00 WITA. Sedangkan di Pulau Balang Caddi terdapat 3 buah kapal, 2 buah dengan rute Balang Caddi - Makassar, 1 buah dengan rute Balang
23
Caddi – Pangkajene dengan tarif masing-masing Rp 10.000/orang per rute dari Pangkajene dan Rp 15.000/ orang dari Makassar. Jumlah penduduk Kelurahan Mattiro Sompe pada tahun 2008 (Pulau Balanglompo dan Balang Caddi) sebanyak 4008 jiwa, terdiri dari laki-laki sebanyak 1994 jiwa (49,75%) dan perempuan sebanyak 2104 jiwa (50,25%). Secara umum masyarakat-masyarakat yang ada di pulau adalah nelayan penangkap (pabagang dan pemancing), PNS (guru, tenaga medis), TNI dan Polri, pedagang/ kios, jasa angkutan, dan pertukangan. B. Parameter Lingkungan Adapun parameter oseanografi yang diukur pada setiap stasiun penelitian adalah suhu, salinitas, arus, dan pasang surut. Hasil nilai rata-rata pengukuran parameter oseanografi dapat dilihat pada tabel di bawah. Namun untuk hasil pengukuran pasang surut ditampilkan dalam bentuk grafik. Tabel 2. Data Parameter Lingkungan Pulau Balanglompo Data parameter lingkungan Parameter
Kayu stasiun 1
Beton stasiun 2
Suhu (˚C)
29
30
31 0,072
31 0,063
0
Salinitas ( /00) Arus (m/dtk)
1.
Suhu (˚C) Suhu merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi kehidupan
organisme laut secara langsung maupun tidak langsung. Suhu air mempunyai peranan penting dalam kecepatan laju metabolisme, respirasi biota, air serta proses metabolisme ekosistem perairan (Odum, 1971). Hasil pengukuran yang dilakukan pada lokasi pengamatan menunjukkan bahwa suhu berada pada kisaran 29 – 30o C. Kisaran suhu ini masih dalam
24
batas toleransi organisme yang hidup di laut. Hal ini sesuai yang
dikatakan
Romimohtarto dan Juwana (1999) bahwa suhu alami air laut berkisar antara dibawah 0oC hingga 33oC. 2. Salinitas ( ‰) Salinitas di laut sangat berpengaruh terhadap organisme penempel yang ada di laut karena masing-masing organisme mempunyai kisaran salinitas tertentu bagi kehidupannya. Beberapa jenis organisme ada yang tahan terhadap perubahan salinitas yang besar, tetapi ada pula yang tahan terhadap perubahan salinitas yang kecil. Kisaran salinitas yang didapatkan pada lokasi penelitian berkisar antara 31‰ pada kedua stasiun. Berdasarkan nilai salinitas tersebut, maka perairan Pulau Balanglompo mendukung untuk melekatnya biota penempel pada tiang dermaga. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Nontji (1987), bahwa faktor
lingkungan yang berpengaruh pada perubahan salinitas yaitu, pola sirkulasi air, penguapan, curah hujan, dan aliran sungai. 3. Kecepatan Arus Arus merupakan salah satu parameter yang sangat penting bagi proses penempelan biofouling di laut. Parameter arus yang terukur pada lokasi penelitian berada dalam kisaran kecepatan 0,072 – 0,063 m/det. Kecepatan arus pada masing-masing stasiunnya hampir sama. Hal ini disebabkan lokasi antar stasiun tidak terlalu jauh dan pengambilan data juga dilakukan dalam waktu yang hampir bersamaan. Data yang didapatkan menunjukkan bahwa kecepatan arus di lokasi penelitian merupakan arus yang sangat lemah. Hal ini sesuai dengan pernyataan Mason (1981), bahwa berdasarkan kecepatan arusnya maka perairan dapat dikelompokkan berarus sangat cepat dengan kisaran > 1 m/det,
25
berarus cepat dengan kisaran 0,5 – 1 m/det, berarus sedang dengan kisaran 0,25 – 0,5 m/det, berarus lambat dengan kisaran 0,1 – 0,25 m/det, dan berarus sangat lambat dengan kisaran < 0,1 cm/det. 4. Pasang surut Pasang surut merupakan faktor yang paling penting dalam kehidupan organisme karena tanpa adanya pasang surut, faktor-faktor lain akan kehilangan pengaruhnya. Hal ini disebabkan kisaran yang luas dari banyak faktor fisika akibat hubungan langsung yang bergantian antara keadaan tekanan udara terbuka dan keadaan yang terendam air (Nybakken, 1988). Dari hasil pengukuran pasang surut yang di lakukan dilokasi penelitian didapatkan grafik pasang surut Pulau Balanglompo seperti yang terlihat pada gambar di bawah ini. Tinggi Permukaan Air 160 145147 134133 132 119 115 105 98
140 120 100 80 60 40
98
88 84
77 74 82
87 83 72
66 63,5 45
56 35 33
88 84
77 74 82
87 83 66 63,5 45
43
35 33
56 43
20 00.00 01.00 02.00 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00 09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00 00.00 01.00 02.00 03.00 04.00 05.00 06.00 07.00 08.00 09.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00
0
Tinggi Permukaan Air
Gambar 6. Pasang Surut Pulau Balanglompo Berdasarkan hasil pengukuran pasang surut selama 39 jam, diketahui bahwa tipe pasang surut pada Pulau Balanglompo tergolong pada tipe semi diurnal di mana terjadi dua kali pasang dengan tinggi air yang berbeda. Dari grafik di atas diketahui bahwa tinggi muka air maksimum adalah 147 cm dan tinggi air minimum 33 cm. Dengan demikian, dapat diketahui bahwa nilai muka
26
air rata-rata adalah sebesar 80,2 cm. Grafik Gambar 6 juga menunjukkan bahwa pasang tertinggi pada pukul 20:00 WITA, sedangkan surut terendah berada pada pukul 12:00 WITA. Berdasarkan data
parameter lingkungan yang didapatkan pada lokasi
penelitian diduga bahwa kondisi lingkungan dari hasil pengukuran data suhu, salinitas, kecepatan arus dan pasang surut memungkinkan biota penempel untuk melekat pada substrat. Ini sesuai dengan pernyataan, Chamberlain dan Strawn (1977) dalam Baveridge, (1987), Qian et al., (2000) bahwa biofouling melimpah pada kondisi perairan yang cukup akan suhu, salinitas serta kondisi arus yang lemah. Adapun menurut Odum (1993), kualitas air sangat mempengaruhi daya tahan biota terhadap lingkungan. C. Komposisi Jenis Dari hasil identifikasi sampel yang dilakukan di laboratorium, khusus macrobiofouling yang ada pada dermaga kayu baik itu terekspos maupun tidak terekspos, ditemukan 20 jenis macrobiofouling dari 5 kelompok hewan (Bivalvia, gastropoda, crustacea, tunicata, spongia) dan hanya satu tumbuhan yaitu alga.
dari kelompok
Dari kelompok Bivalvia ditemukan delapan jenis, yaitu
Pinctada sp, Branchidontes sp, Chama sp, Hyotissa sp , Isognomon sp, Saccostrea sp, dan Spondylus sp. Lima jenis dari kelompok gastropoda, yaitu Littorina sp , Acmaea sp , Thais sp , Patelloida sp , dan Fisurella sp. Dua jenis dari kelompok Crustacea, yaitu Balanus sp dan Pagurus sp. Dua jenis dari Tunicata, yaitu Arcidia Sp
dan Polycarpa sp. Dua jenis dari Spongia, yaitu
Callyspongia sp dan Theonella sp. Terakhir, dua jenis dari tumbuhan (alga) yaitu Padina sp dan Sargassum sp. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 3.
27
Tabel 3. Jenis macrobiofouling yang ditemukan pada tiang dermaga kayu.
Kelas Crustacea Bivalvia
Ordo
Family
Sessilia
Balanidae
Balanus sp.
Decapoda Anysomyaria Pterioida Pterioida Mytiloida Veneroida Ostreoida Ostreoida
Paguridae Pteriidae Ostreidae Isognomonidae Mytilidae Chamidae Gryphaeidae Spondylidae Littorinidae Lottiidae Muricidae Fissurellidae Acmaeidae Theonellidae Callyspongiidae Ascidiidae Styelidae Dictyotaceae Sargassaceae
Pagurus sp. Pinctada sp. Saccostrea sp. Isognomon sp. Branchindontes sp Chama sp. Hyotissa sp. Spondylus sp. Littorina sp. Patelloida sp. Thais sp. Fissurella sp. Acmaea sp. Theonella sp. Callyspongia sp. Ascidia sp. Polycarpa sp. Padina sp. Sargassum sp.
Gastropod a
Spongia. Tunicata Alga
Jenis
Patellogastropoda Lithistida Haplosclerida Enterogona Stolidobranchia Dictyotales Fucales
Total
Total Indivi du 659 1 134 123 20 71 9 1 14 122 14 5 2 1 11 4 14 4 10 4 1223
Khusus macrobiofouling yang ada pada dermaga beton, baik itu terekspos maupun yang tidak terekspos, hasil identifikasi sampel yang dilakukan di laboratorium ditemukan 19 jenis macrobiofouling (Bivalvia,
Gastropoda,
Crustacea,
Tunicata,
dari 7 kelompok Spongia,
hewan
Polychaeta,
dan
Echinoidea) dan hanya satu dari kelompok tumbuhan, yaitu alga. Dari kelompok Bivalvia ditemukan tujuh jenis, yaitu Pinctada sp, Branchidontes sp, Chama sp, Hyotissa sp, Isognomon sp, Saccostrea sp, Spondylus sp. Lima jenis dari kelompok Gastropoda, yaitu Littorina sp, Thais sp , Serpulorbis sp, Patelloida sp, dan Fisurella sp. Dua jenis dari kelompok Crustacea yaitu Balanus sp dan kepiting. Dua jenis dari Tunicata yaitu Arcidia Sp dan Polycarpa sp, Dua jenis
28
dari spongia yaitu Callyspongia sp dan Theonella sp. Satu jenis dari Polychaeta, yaitu Sabellastarte sp. Dan terakhir satu jenis dari Echinodea yaitu Diadema sp. Hasil identifikasi sampel yang ditemukan pada tiang dermaga beton lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4. Jenis macrobiofouling yang ditemukan pada tiang dermaga beton. Kelas
Ordo
Bivalvia
Family
Jenis
Anysomyaria Pterioida Veneroida Mytiloida
Pteriidae Ostreidae Chamidae Mytilidae
Ostreoida Pterioida
Spondylidae Isognomonidae
Crustacea
Sessilia
Balanidae
Tunicata
Stolidobranchi a Enterogona
Styelidae
Gastropoda
Spongia. Polychaeta Echinoidea Total
Hasil
Lithistida Haplosclerida Canalipalpata Cidaroidea
perhitungan
Ascidiidae Littorinidae Vermetidae Lottiidae Muricidae Theonellidae Callyspongiidae Diadematidae 1905
komposisi
jenis
pada
Pinctada sp. Saccostrea sp. Chama sp. Branchindontes sp. Tridacna sp. Spondylus sp. Isognomon sp.
Total Individu 400 231 131 17 15 14 11
Balanus sp. Kepiting Polycarpa sp.
762 2 153
Ascidia sp. Littorina sp. Serpulorbis sp. Patelloida sp. Thais sp. Theonella sp. Callyspongia sp. Sabellastarte sp. Diadema sp.
3 65 35 10 4 20 18 8 6 1905
tiang
dermaga
kayu,
macrobiofouling didominasi oleh tiga kelas yaitu kelas yang pertama adalah Crustacea sebesar (48,4%) dengan jenis yang sering di jumpai adalah Balanus sp., Kelas Bivalvia sebesar (29,1%) dengan jenis terbanyak dijumpai adalah Pintada sp. dan kelas yang ke tiga adalah Gastropoda (18,3%) dengan jenis terbanyak dijumpai adalah
Littorina sp..
Sedangkan komposisi jenis paling
sedikit yaitu pada kelas Spongia (1,6%), Tunicata (1,4%), dan Alga (1,3%).
29
Pada dermaga beton komposisi jenis macrobiofouling juga didominasi oleh kelas Bivalvia (42,0%), Crustacea (37,9%) dan Tunicata (10,8 %) dari spesies yang paling sering dijumpai adalah Pintada sp., Balanus sp. dan Polycarpa sp.. Sedangkan komposisi jenis paling sedikit secara berurut, yaitu pada kelas Polychaeta (0,6%) dan Echinoidea (0,4%). Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada Gambar 7 dan Gambar 8.
Crustacea 29,1%
Bivalvia Gastropoda
48,4%
18,3%
Spongia. Tunicata Alga
1,3% 1,4%
1,6%
Gambar 7. Komposisi jenis macrobiofouling pada tiang dermaga kayu
37,9%
42,0%
5,7% 0,4% 0,6%
10,8%
Bivalvia Crustacea Tunicata Gastropoda Spongia. Polychaeta Echinoidea
2,5%
Gambar 8. Komposisi jenis macrobiofouling pada tiang dermaga beton Berdasarkan Gambar 7 dan Gambar 8, menunjukkan bahwa yang memiliki komposisi jenis yang paling tinggi ada tiga kelas yaitu Crustacea, Bivalvia dan Gastropoda. Tingginya komposisi jenis dari ketiga kelas tersebut disebabkan karena kemampuan organisme dari kelas Crustacea, Bivalvia dan Gastropoda yang mampu bertahan dan beradaptasi dengan lingkungan. Bentuk adaptasi yang dimaksud adalah adaptasi struktural dan adaptasi fisiologi.
30
Adaptasi struktural merupakan cara hidup untuk menyesuaikan dirinya dengan mengembangkan struktur tubuh atau alat-alat tubuh ke arah yang lebih sesuai dengan keadaan lingkungan dan keperluan hidup. Adaptasi fisiologi adalah cara makhluk hidup untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara penyesaian proses-proses fisiologis dalam tubuhnya. Organisme intertidal memilki kemampuan untuk beradaptasi dengan kondisi lingkungan yang dapat berubah secara signifikan, pola tersebut meliputi daya tahan terhadap kehilangan air. Organisme laut berpindah dari air ke udara terbuka, mereka mulai kehilangan air. Mekanisme yang sederhana untuk menghindari kehilangan air terlihat pada hewan-hewan yang bergerak seperti kepiting. Organisme intertidal juga mengalami keterbukaan terhadap suhu panas dan dingin yang ekstrim dan memperlihatkan adaptasi tingkah laku dan struktur tubuh untuk menjaga keseimbangan panas internal misalnya pada Bivalvia dan Gastropoda dengan menggunakan cangkangnya untuk melindungi bagian tubuh yang lunak dari suhu panas. Diantara hewan intertidal terdapat kecenderungan organ pernapasan yang mempunyai tonjolan kedalam rongga perlindungan untuk mencegah kekeringan. Hal ini dapat terlihat jelas pada berbagai moluska dimana insang terdapat pada rongga mantel yang dilindungi cangkang. Pada waktu makan, seluruh hewan intertidal harus mengeluarkan bagianbagian berdaging dari tubuhnya. Karena itu seluruh hewan intertidal hanya aktif jika pasang naik dan tubuhnya terendam air. Hal ini berlaku bagi seluruh hewan baik pemakan tumbuhan, pemakan bahan-bahan tersaring, pemakan detritus maupun predator. Zona intertidal juga mendapat limpahan air tawar yang dapat menimbulkan masalah tekanan osmotik bagi organisme intertidal yang hanya dapat
31
menyesuaikan diri dengan air laut. Kebanyakan tidak mempunyai mekanisme untuk mengontrol kadar garam cairan tubuhnya dan disebut osmokonformer. Adaptasi satu-satunya sama dengan adaptasi untuk melindungi dari kekeringan. Kebanyakan organisme intertidal hidup menetap atau bahkan melekat, sehingga dalam penyebarannya, mereka menghasilkan telur atau larva yang terapung bebas sebagai plankton. Hampir semua organisme mempunyai daur perkembangbiakan yang seirama dengan munculnya arus pasang surut tertentu, seperti misalnya pada waktu pasang purnama. Menurut Nybakken, 1988. Di lingkungan laut khususnya di intertidal. Spesies yang berumur panjang cenderung terdiri dari berbagai hewan inverbrata. Hewan-hewan intertidal dominan yang menguasai ruang yang terdapat dalam jumlah banyak di pesisir pasifik adalah teritip Balanus Cariogus dan Balanus glandula. Dua spesies tersebut terdapat melimpah di wilayah intertidal, hal ini menyebabkan pertumbuhan teritip dapat berlangsung dengan baik. Jika di bandingan komposisi jenis macrobiofouling antar substrat yaitu substrat tiang dermaga kayu dan substrat tiang dermaga beton. Gambar 7 menujukkan bahwa komposisi jenis macrobiofouling
yang paling tiggi adalah
Crustacea. Tinggginya komposisi jenis dari kelas Crustacea di sebabkan karena spesies dari kelas crustacea yaitu Balanus sp. dalam proses rekrutmen larva pada substrat telah mengalami bentuk diferensiasi pada organ pelekatannya yang memungkinkan balanus dapat hidup pada berbagai jenis substrat. Organ yang berperan dalam proses perlekatan ini yaitu cement glands yang berkembang siring bertambahanya usia dari larva Balanus sp. Sedangkan pada Gambar 8 terliaht bahwa Bivalvia yang memiliki komposisi jenis yang paling tinggi. Tingginya komposisi jenis macrobiofouling dari kelas Bivalvia pada tiang dermaga beton di sebabkan karena struktur dari tiang dermaga beton yang padat
32
sehingga alat pelekat (bisus ) yang di gunakan oleh kelas Bivalvia sangat kuat untuk melekat pada substrat dan taidak mudah terlepas ketika mendapat tekanan dari golombang dan arus. Namun pada kelas Bivalvia perlekatannya terbatas hanya pada beberapa substrat di karenakan kelas Bivalvia hanya memiliki organ bisus dan tidak memiliki cement glands seperti halnya dengan Balanus sp. dari kelas crustacea. D. Kepadatan Macrobiofouling Dermaga Kayu
Kepadatan ekor/m2
1.
160 140 120 100 80 60 40 20 0
104
30 21 3
17
1
Pinctada Isognomon Saccostrea Littorina sp. sp sp sp.
Thais sp.
1 Fisurella Balanus sp sp.
Spesies Gambar 9. Kepadatan rata-rata macrobiofouling pada tiang dermaga kayu yang terekspos Berdasarkan grafik di atas, Balanus sp. memiliki kepadatan rata-rata macrobiofouling tertinggi yang terdapat di tiang dermaga kayu yang tetekspos dengan nilai kepadatan sebesar 104 ekor/m2. Selanjutnya nilai kepadatan terendah yang di peroleh
terdapat pada dua spesies yaitu Thais sp. dan
Fissurella sp. dengan besaran nilai yang sama yakni 1 ekor/m2.
Kepadatan ekor/m2
33
120 100 80 60 40 20 0
71
19 14
2
2
15
4
2
4
4
1
1
3
3
1
Spesies
Gambar 10. Kepadatan rata-rata macrobiofouling pada tiang dermaga kayu yang tidak terekspos. Khusus untuk dermaga kayu yang tidak terekspos, nilai Balanus sp. juga memiliki kepadatan rata-rata macrobiofouling tertinggi yang terdapat pada tiang dermaga kayu dengan nilai kepadatan sebesar 71 ekor/m2. Selanjutnya nilai kepadatan terendah yang diperoleh terdapat pada 3 spesies yaitu Polycarpa sp. , Callyspongia sp. dan Sargassum sp. dengan besaran nilai yang sama yakni 1 ekor/m2. Grafik 9 dan Gambar 10 menunjukkan bahwa Balanus sp. mendominasi tingkat kepadatan macrobiofouling pada tiang di dermaga kayu dengan tingkat kepadatan yang berbeda. Perbedaan tingkat kepadatan ini diduga karena beberapa hal, seperti karakteristik Balanus sp. yang lebih menyukai habitat yang tidak selalu terendam air dan faktor lingkungan yang mendukung pesatnya perkembangan spesies ini pada tiang dermaga kayu. 2. Dermaga Beton. Berdasararkan grafik kepadatan rata-rata macrobiofouling tiang dermaga beton yang terekspos, Balanus sp. memiliki kepadatan rata-rata macrobiofouling tertinggi yang terdapat di tiang dermaga beton dengan nilai kepadatan sebesar
34
147 ekor/m2. . Selanjutnya nilai kepadatan terendah terdapat pada 5 spesiea yaitu Isognomon sp., Thais sp., Patelloida sp Callyspongia sp. dan Theonella sp.
Kepadatan ekor/m2
200
147
150
101
100 44
50
17
1
3
1
5
1
1
1
0
Spasies
Gambar 11. Kepada rata-rata macrobiofouling pada tiang dermaga beton yang terekspos Sedangkan grafik rata-rata kepadatan macrobiofouling pada tiang dermaga beton yang tidak terekspos, nilai Balanus sp. juga memiliki kepadatan rata-rata tertinggi dengan nilai kepadatan sebesar 54 ekor/m2. Selanjutnya untuk nilai terendah didapatkan 3 spesies yaitu Thais sp., Kepiting dan Ascidian sp dengan
Kepadatan ekor/m2
nilai besaran yang sama yakni 1 ekor/m2. 80 70 60 50 40 30 20 10 0
54
35
35 17 5
4
2
4
4
1
6
2
1
1
4
4
2
2
Spesies
Gambar 12. kepadatan rata-rata macrobiofouling pada tiang dermaga beton tidak terekspos. Secara keseluruhan grafik kepadatan di atas menunjukkan bahwa Balanus sp. mendominasi tingkat kepadatan macrobiofouling pada tiang di dermaga kayu dan dermaga beton dengan tingkat kepadatan yang berbeda. Perbedaan tingkat
35
kepadatan ini mungkin dikarenakan oleh beberapa hal seperti karakteristik. Balanus sp. yang lebih menyukai habitat yang tidak selalu terendam air dan faktor lingkungan yang mendukung pesatnya perkembangan spesies ini pada tiang dermaga kayu dan dan dermaga beton. Ini sesuai dengan McConnaughey dan Zottoli, (1983) menyatakan bahwa Teritip Balanus sp. merupakan salah satu kelompok hewan yang paling luas penyebarannya, yang ditemukan di perairan pasang dan surut atau laut dangkal. Selanjutnya menurut Hutagalung (1982), penempelan dan perkembangan Balanus sp. sangat dipengaruhi oleh kondisi oseanografis antara lain pasang surut, kecerahan, cahaya, arus dan gelombang. Selain itu, sifat fisik dari substrat, sifat kimia substrat, persediaan makanan dan ruang juga memengaruhi kehidupan organisme. Selain itu Menurut Nybakken, (1988). Menyatakan bahwa dilingkungan laut khususnya diintertidal. Spesies yang berumur panjang cenderung terdiri dari berbagai hewan inverbrata.hewanhewan intertidal dominan yang menguasai ruang yang terdapat dalam jumlah banyak di pesisir pasifik adalah teritip Balanus Cariogus dan Balanus glandula. Dua spesies tersebut terdapat melimpah di wilayah intertidal, hal ini menyebabkan pertumbuhan teritip dapat berlangsung dengan baik. E. Perbandingan Indeks Keanekaragaman Macrobiofouling Pada Setiap Tiang-Tiang Pengamatan. 1.
Tiang Dermaga Kayu Indeks
keanekaragaman
(H)
merupakan
keanekaragaman
spesies
macrobiofouling yang menghuni suatu komunitas, dimana nilai keanekaragaman erat kaitannya dengan sedikit banyaknya jumlah spesies yang ada dalam komunitas tersebut.
36
Nilai Kenaekaragaman
2,50 2,00 1,50
1,97
1,46 1,24 1,05
1,20 1,01
1,00
1,18 0,78 0,64
0,90
0,82
0,88
terekspos
0,53
0,50
tidak terekspos
0,22
0,00 1
2
3
4
5
6
7
Tiang Dermaga
Gambar 13. Indeks keanekaragaman macrobiofouling tiang dermaga kayu. Dari
hasil
pengamatan
diperoleh
macrobiofouling pada tiang dermaga tertinggi pada kategori
data
indeks
keanekaragaman
jenis kayu (Gambar 13)
dengan nilai
terekspos sebesar 1,24 (tiang 1) dan kategori tidak
terekspos sebesar 1,97 (tiang 1), sedangkan nilai terendah keanekaragaman macrobiofouling untuk kategori terekspos sebesar 0,53 (tiang 6) dan untuk kategori tidak terekspos sebesar 0,22 (tiang 5). Berdasarkan grafik indeks keanekaragaman pada setiap tiang dermaga kayu yang dijadikan titik pengamatan menunjukkan nilai indeks keanekaragaman lebih tinggi pada daerah yang tidak terekspos dibanding daerah yang terekspos. Hal ini diduga karena tingkat ketahanan organisme penempel tidak mampu bertahan pada daerah yang terekspos. Ini sesuai dengan pernyataan Nybakken (1993), organisme yang hidup di daerah intertidal harus memiliki kemampuan adaptasi terhadap: (a). perubahan suhu yang drastis antara waktu pasang dan surut. Pada waktu air laut pasang maka wilayah intertidal akan terendam air, maka suhu di daerah ini akan sama dengan suhu perairan. Pada saat air laut surut maksimal dan terjadi pada siang hari, daerah ini akan terbuka terhadap sinar matahari dan suhu menjadi tinggi (identik dengan suhu lingkungan terrestrial)
37
dan sebaliknya apabila surut maksimal terjadi pada malam hari maka suhu akan menjadi rendah. Fluktuasi suhu harian seperti ini membutuhkan daya adaptasi yang baik pada semua organisme di daerah intertidal. Apabila indeks keanekaragaman dibedakan menurut tiangnya, grafik di atas menunjukkan bahwa tiang satu memiliki tingkat Keanekaragaman tertinggi di antara tiang-tiang yang lainnya. Keanekaragaman pada tiang satu diduga karena tiang tersebut
berdekatan dengan daratan yang memungkinan organisme
biofouling mendapatkan nutrien lebih banyak dibanding tiang dermaga yang berjauhan dengan daratan. Selanjutnya pada tiang kayu 5 menunjukkan nilai keragaman yang paling rendah karena pada tiang tersebut sering kali dijadikan tempat berlabuhnya kapal-kapal nelayan yang ada di pulau. Selain itu tiang dermaga kayu 5 berdekatan dengan melintasnya kapal-kapal nelayan sehingga memungkinkan menjadikan permukaan air laut bergelombang dan berarus tinggi. Hal ini sesuai dengan
Dharmaraj et al.,(1983)
yang mengatakan bahwa
prinsipnya biofouling didukung oleh kondisi laut yang memiliki perairan yang dangkal, arus lemah, temperatur yang sesuai serta tersedianya nutrien yang cukup di perairan.
Nilai Kenaekaragaman
2. Tiang Dermaga Beton
2,50 2,00
2,16
2,07
1,88 1,69
1,62
1,50
1,34
1,42
1,39
1,13
1,03
1,72
1,88
1,29 1,07
1,00
terekspos
0,50
tidak terekspos
0,00 1
2
3
4 Tiang Dermaga
5
6
7
38
Gambar 14. Indeks keanekaragaman macrobiofouling tiang dermaga beton. Dari
hasil
pengamatan,
diperoleh
macrobiofouling pada tiang dermaga
data
indeks
keanekaragaman
beton (Gambar 14), nilai indeks
keanekaragaman tertinggi yaitu kategori terekspos sebesar 1,42 (tiang 2) dan kategori tidak terekspos sebesar 2,16 (tiang 2), sedangkan nilai terendah keanekaragaman macrobiofouling untuk kategori terekspos sebesar 1,03 (tiang 3) dan untuk kategori tidak terekspos sebesar 1,62 (tiang 3). Berdasarkan grafik indeks keanekaragaman (Gambar 14) pada tiang demaga beton menunjukkan bahwa keanekaragaman tertinggi terdapat pada tiang beton 2 dan nilai terendah pada tiang beton 3. Meskipun ketujuh tiang di atas menunjukkan nilai indeks keanekaragaman yang berbeda, tetapi jarak antara perbedaan nilai tidak terlalu besar. Hal ini kemungkinan
disebabkan
kerena semua tiang dermaga beton yang menjadi titik pengamatan tidak telalu berjauhan dengan daratan, sehingga biota penempel yang ada pada tiang pengamatan mendapatkan nutrien dari daratan. Pada Gambar 14 di atas meperlihatkan bahwa dari ketujuh tiang dermaga beton yang menjadi titik pengamatan, secara keseluruhan menunjukkan bahwa tiang dermaga beton yang tidak terekspos memiliki keanekaragaman yang lebih tinggi daripada daerah yang terekspos. Hal tersebut diduga karena kebanyakan dari jenis macrobiofouling yang ditemukan melekat pada tiang-tiang penyangga dermaga tidak memiliki kemampuan untuk bertahan pada kondisi perairan yang tidak terendam. Seperti yang dikatakan oleh Odum (1993), bahwa kualitas air sangat mempengaruhi daya tahan biota terhadap lingkungan.
39
F. Perbandingan kepadatan dengan Analisis Independent Samples Test 1. Perbandingan Kepadatan pada Kayu dan Beton antar Terekspos dan yang Tidak Terekspos. Kayu
Beton 400
250
350
178 200
323
146
300 183
250
150
200 100
150 100
50
50 0
0 terekspos
tidak terekspos
terekspos
tidak terekspos
Gambar 15. Perbandingan kepadatan macrobiofouling pada kayu dan beton antar terekspos dan yang tidak terekspos Hasil yang diperoleh dari uji Independent Sample T-test pada tiang dermaga kayu yang terekspos dengan tiang dermaga kayu yang tidak terekspos yaitu 0,529 ekor/m2. Dari hasil tersebut menunjukkan bahwa nilai kepadatan tidak berbeda nyata (P>0,05). Dermaga kayu menujukkan hasil yang tidak berbeda nyata antar terekspos dan yang tidak terekspos, hal ini diduga karena pada dermaga kayu luas media kayunya lebih kecil dan Pada bagian yang terendam lebih mudah rapuh sehingga organisme yang melekat mungkin saja terelepas. Analisis uji Independent Sample T-test untuk perbandingan kepadatan tiang dermaga beton terekspos dengan tiang dermaga beton tidak terekspos menunjukkan bahwa hasil yang didapatkan dari analisis yaitu 0,025 ekor/m2 untuk kategori terekspos dan 0,031 ekor/m2 untuk kategori tidak terekspos. Dari hasil tersebut maka dikatakan bahwa perbandingan kepadatan beton terekspos dan beton tidak terekspos berbeda nyata karena nilai yang diperoleh kurang dari (P<0,05). Lain halnya dengan hasil yang ditunjukkan oleh media beton, dimana
40
bentuk dari tiang beton yang silinder dan luasan medianya lebih luas dibanding media tiang kayu sehingga organisme yang melekat pada tiang beton cukup kuat menerima hempasan gelombang dan arus. Pada saat pasang terjadi memungkinkan Macrobiofouling lebih mudah dalam mendapatkan makanan di bawah permukaan air (yang tidak terekspos ) dibandingkan di atas permukaan (Terekspos). Hal ini juga sesuai dengan yang dikatakan Lumban, D. et al. (2012) bahwa biofouling yang hidup di bawah permukaan air lebih mudah mendapatkan makanan dan aktif dalam menyaring makanan yang berarti perkembangbiakan biofouling berjalan dengan lancar. 2. Perbandingan Kepadatan antar Material Hasil
uji
Independent
Sample
T-test
perbandingan
kepadatan
macrobiofouling antar material tiang kayu dan tiang beton pada kategori terkekspos dan tidak terkespos dapat dilihat pada Gambar 15.
Terekspos 400
Tidak Terkespos
323
350
300
235
250
300 250 200
200 178
146
150
150
100
100 50
50 0
0 Kayu Terekspos
Beton Terekspos
kayu Tidak Terekspo
beton Tidak Terekspos
Gambar 15. Perbandingan kepadatan macrobiofouling antar material (kayu dan beton). terekspos dan tidak terekspos
41
Nilai kepadatan macrobiofouling untuk kategori terekspos yaitu 0,029 ekor/m2 pada tiang kayu dan 0,031 ekor/m2 pada tiang beton, berdasarkan hasil yang diperoleh maka dapat dikatakan bahwa perbandingan kepadatan kategori terekspos antara kayu dan beton berbeda nyata (P< 0,05). Perbedaan kepadatan ini diduga karena bentuk dermaga beton yang silinder memungkinkan arus yang melewatinya cenderung lebih tenang dibandingkan jenis dermga kayu yang berbentuk balok, sehingga macrobiofouling yang melekat pada dermaga beton lebih banyak. Nilai kepadatan macrobiofouling untuk kategori tidak terekspos pada tiang kayu dan tiang beton. Hasil yang diperoleh dari hasil uji adalah 0,412 ekor/m2 pada tiang kayu dan 0,415 ekor/m2 pada tiang beton. Berdasarkan hasil tersebut maka dapat dikatakan bahwa perbandingan kepadatan untuk kategori tidak terekspos tidak berbeda nyata karena nilai yang diperoleh kurang dari (P>0,05). G. Perbandingan Keanekaragaman Perbandingan nilai rata-rata keanekaragaman macrobiofouling pada tiang dermaga kayu dan tiang dermaga beton baik itu terekspos maupun tidak terekspos dapat di liahat pada tabel berikut. Tabel 5. Perbandingan indeks keanekaragaman macrobiofouling tiang kayu dan tiang beton. Substrat Tiang TK 1 TK 2 TK 3 Kayu TK 4 TK 5 TK 6 TK 7 Rata-Rata TB 1 Beton TB 2
Terekspos 1,24 1,05 1,01 0,64 0,82 0,53 0,88 0,88 1,34 1,39
Tidak Terekspos 1,97 1,46 1,20 0,78 0,22 0,90 1,18 1,10 1,88 2,16
42
TB 3 TB 4 TB 5 TB 6 TB 7 Rata-Rata
1,03 1,42 1,13 1,29 1,07 1,24
1,62 2,07 1,69 1,72 1,88 1,86
Pada tabel diatas menunjukkan bahwa nilai rata-rata keanekaragaman macrobiofouling pada tiang kayu
yang tidak terekspos (1,10)
lebih besar
dibandingkan dengan tiang kayu yang terekspos (0,88). Sedangkan rata-rata keanekaragaman pada tiang beton tidak terekspos (1,86) lebih besar dibandingkan dengan tiang beton yang terekspos (1,24). Secara umum, hal ini menunjukan bahwa tiang dermaga (kayu dan beton) yang tidak terekspos memiliki nilai rata-rata keanekaragaman yang lebih besar dibandingkan dengan tiang dermaga yang terekspos. Hal tersebut diduga karena kebanyakan dari jenis macrobiofouling yang ditemukan melekat pada tiang-tiang penyangga dermaga tidak memiliki kemampuan untuk
bertahan pada kondisi perairan yang tidak
terendam. Seperti yang dikatakan oleh Odum (1993), bahwa kualitas air sangat mempengaruhi daya tahan biota terhadap lingkungan. Nilai rata-rata keanekaragaman macrobiofouling Untuk jenis dermaga (kayu dan beton), pada tabel 5 menujukkan bahwa dermaga beton yang terekspos (1,24) lebih besar dibandingkan
dermaga kayu yang terekspos (0,88).
Sedangkan nilai rata-rata keanekaragaman dermaga beton yang tidak terekspos (1,86) lebih besar dibandingkan dengan dermaga kayu yang tidak terekspos (1,10). Hal ini menunjukkan bahwa dermaga beton (terekspos dan tidak terekspos)
memiliki
nilai
rata-rata
keanekaragaman
yang
lebih
besar
dibandingkan dengan dermaga kayu. Hal ini diduga karena bentuk dermaga beton yang silinder memungkinkan arus yang melewatinya cenderung lebih
43
tenang di bandingkan jenis dermga kayu yang berbentuk balok, sehingga macrobiofouling yang melekat pada dermaga beton lebih banyak. Secara umun indeks keanekaragaman macrobiofouling Dari tabel 5, terlihat bahwa indeks keanekaragaman kedua jenis dermaga termasuk dalam kategori rendah (H’ < 2,0). Rendahnya indeks keanekaragaman pada lokasi penelitian mungkin di sebabkan karena aktifitas masyarakat Pulau Balanglompo yang sering
membuang sisah bahan bakar Oli
pada saat menyadarkan kapal di
dermaga. Pembuangan sisah-sisah bahan bakar Oli tersebut memungkinkan perairan yang bedekatan dengan dermaga menjadi tercemar. Seperti yang dikatakan oleh Odum (1993), bahwa rendahnya Keanekaragaman di sebabkan karena kondisi perairan mulai tercemar.
V.
A.
Kesimpulan dan Saran
Kesimpulan Berdasarkan hasil yang diperoleh dari penelitian ini, dapat disimpulkan
beberapa hal, yaitu: 1.
Nilai kepadatan macrobioufouling pada tiang dermaga kayu dan tiang dermaga beton secara umum didominasi oleh Balanus sp. Nilai kepadatan Balanus sp. pada dermaga kayu kategori terekspos adalah 104 ekor/m2 dan kategori tidak terekspos adalah 71 ekor/m2. Nilai kepadatan Balanus sp. pada dermaga beton kategori terekspos adalah 147 ekor/m2 dan tidak terekspos adalah 54 ekor/m2.
2.
Nilai indeks keanekaragaman macrobioufouling pada tiang dermaga kayu kategori tidak terekspos lebih tinggi daripada daerah yang terekspos. Nilai
44
indeks keanekaragaman Pada
tiang dermaga beton kategori tidak
terekspos lebih tinggi daripada daerah yang terekspos. 3.
Perbandingan nilai kepadatan macrobioufouling berdasarkan kategori terekspos dan tidak terekspos terhadap jenis material yaitu, pada tiang dermaga kayu kategori terekspos dan tidak terekspos masing-masing adalah 0,529 (tidak berbeda nyata, P>0,05), pada dermaga beton yaitu 0,025 untuk kategori terekspos dan 0,031 untuk kategori tidak terekspos (berbeda nyata, P<0,05). Perbandingan nilai kepadatan berdasarkan jenis material terhadap kategori terkespos dan tidak terkespos yaitu, kategori terekspos pada kayu adalah 0,029 dan 0,031 pada tiang beton (berbeda nyata, P< 0,05). Kategori tidak terekspos pada tiang kayu yaitu 0,412 dan 0,415 pada tiang beton (tidak berbeda nyata, P>0,05).
4.
Nilai rata-rata keanekaragaman macrobioufouling tiang dermaga beton kategori terekspos dan tiang dermaga yang tidak terekspos lebih besar dibandingkan dengan tiang dermaga kayu terekspos dan tiang dermaga kayu yang tidak terekspos.
B. 1.
Saran Perlu dilakukan penelitian lanjut yang khusus membahas mengenai pengaruh luasan media terhadap keanekargaman macrobiofouling.
2.
Perlu dilakukan penelitian lanjut tentang tingkat kerusakan yang diakibatkan oleh biota penempel (macrobiofouling) pada tiang penyangga dermaga kayu dan beton.
45
DAFTAR PUSTAKA Abarzua, S and S. Jakubowski. 1995. Biotechnological Investigation for the Prevention of Biofouling. I. Biological and Biochemical Principles for the Prevention of Biofouling. Marine Ecology Progress Series Vol. 123 ; 301312, 1995. Inter Research. Germany Anonim 2013, http://www.scribd.com/doc/51374972/Tunicata-punya-dika. akses pada tanggal 21-09-2013.
di
Barnes, H and H. T. Powell. 1953. The Growth of Balanus balanoides (L) and Balanus crenatus Brug. Under Varying Condition of Submertion. Journal of The Biology. Association of The United Kingdom 32 (1-3) : 107 -127. Barnes, R. D. 1974. Invertebrate Zoologi. Third Edition. W.B. Saunders Co, London. 870 pp. Budiharta, R. 2009. Studi Penempelan Biofouling dengan Variasi Jenis Material di laut Tropis. Skripsi. Institut Teknologi Sepuluh November. Surabaya Chambers, L.D., K.R. Stokes, F.C. Walsh, dan R.J.K. Wood. 2006. Modern approaches to marine antifouling coating. Surface & Coatings Technology, 201: 3642–3652. Dahuri, R., 1996. Pengelolaan Sumberdaya Wilayah Pesisir dan Lautan Secara Terpadu. PT. Pradnya Paramita, Jakarta. Darmaraj. S, A. Chellam and T.S. Velayudhan. 1987. Biofouling, Boring and Predation of Pearl Oyster. CMFRI bulletin 39. Central Marine Fisheries Research Institute. India Darsono, P. dan Hutomo, M. 1983. Komunitas Biota Penempel di Perairan Suralaya, Selat Malaka. Jurnal Oseanologi di Indonesia 16 : 29 – 41 Dharma, B. 1988. Siput dan Kerang Indonesia. Penerbit PT. Sarana Graha, Jakarta. Ermaitis. 1984. Beberapa Catatan tentang Marga Teritip (Balanus spp). Pewarta Oseana IX (3): 96-101 hal. Hadinoto. 1998. Perencanaan Pembangunan Destinasi Pariwisata. Universitas Indonesia press. Jakarta. Harder, T. 2004. Analytical chemistry of natural product with Marine Biology, Larval Biology, Environmental Microbology and Molecular Biology. Hutabarat, S. S. M. Evans., 1985. Pengantar Oseanografi. Universitas Indonesia. Press. Jakarta. Hutagalung, S. P. 1982. Studi Tentang Kesenangan Teritip (Balanus spp) Terhadap Beberapa Jenis Subtratum pada Tingkatan Suhu dan Kondisi
46
Oseanografis yang Berbeda di Perairan PLTU Muara Karang, Teluk Jakarta. Skripsi Fakultas Perikanan Institut Pertanian Bogor. Bogor. 90 hal (tidak diterbitkan) Ine dan Ant. 2001. RI Tandatangani Konvensi Larangan Penggunaan Cat Kapal. Warta. Ed. Kamis, 11 Oktober 2001. King. A. H 1970. An intrudicsion To Oceanography. Hill Books Company Inc. San Fransisco. Hal 337. Kozloff, E. N., 1990. Invertebrates. Soundes College Publ. Philadelphia. 866 hal. Krebs, T. 1989. Ecology, the Experimental Analysis of Distribution an Abundance. Harper and Row. New York. LPM-ITS, 2004, Detail Engineering Design Dermaga Serbaguna I (Multipurpose I)Pelabuhan Tanjung Buton Kabupaten Siak, Laporan Final Survey, Badan Perencanaan Pembangunan DaerahKabupaten Siak. Lumban, D. et al. (2012). Distribution of Barnacle (Balanus spp) on The Pole of Harbour PT. Persero Indonesia Sibolga North Sumatera. Marhaeni, B. 2011. Potensi bakteri simbion tumbuhan lamun sebagai penghambat terjadinya biofouling di laut. [Tesis]. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Martin, D. F. 1968 Marine Chemistry. New York; Marcel Dekker, Vol 1. Chapters 3, 5 and 6. Maskoeri Jasin., 1992. Zoologi Invertebrat. Sinar Wijaya. Surabaya. Mason, C. F., 1981. Biology of Freshwater Pollution, Lagmas, London McConnaughey, B. H. and Zottoli, R. 1983. Pengantar Biologi Laut. Diterjemahkan oleh H. Z. B. Tafal. The C. V. Mosby Co. London. 410 hal. Mulder, J. F. & R.F. Trebilcock, 1909. Netos on Victorian Hidroida, with descriptions of new species. The Geelong naturalist 4:29-35. Nontji, A., 1987. Laut Nusantara. Djambatan. Jakarta. 386 hal. Nontji, A., 1993. Laut Nusantara. Penerbit Djambatan, Jakarta. Nybakken, J.W. 1993. Marine Biology: An Ecological Approach. Third Edition. HarperCollins College Publishers. Nybakken, J.W., 1992. Biologi Laut Suatu Pendekatan Ekologis. Diterjemahkan oleh. M. Eidiman, Koesbiono, D. G. Bengen. M. Hotomo dan S. Soekardjo. Gramedia. Jakarta. 495 hal. Nybakken,J.W.1988.Biologi Laut . Pt Gramedia . Jakarta.
47
Odum, E. P. 1993. Dasar-dasar Ekologi. Edisi Ketiga (Alih bahasa oleh T. Samingan). Gajah Mada University Press. Yogyakarta. Oemarjati, B.S dan W. Wardhana. 1990. Taksonomi Avertebrata, Pengantar Praktikum Laboratorium. Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta. Raiklin, A. I. 2005. Marine Biofouling Colonization Processes and Defenses. CRC PRESS. Boca Raton London New Work Washington D.C. Railkin, A.I. 2004. Marine Biofouling; Colonization Processes and Defence. CRC Press. Florida. Rittchof, D. 2001. Natural poduct antifoulant and coatings development. In: J.B. Mcclintock, dan B.J. Baker (ed). Marine Chemical Ecology (eds). CRC Press Rohmimotarto, dan Juwana. 1999. Biologi Laut. Ilmu Pengetahuan tentang Biota Laut. Pusat Penelitian dan Pergembangan Oseanologi-LIPI. Jakarta. Romimohtarto, K. 1977. Beberapa Catatan Tentang Teritip (Balanus spp) sebagai Binatang Pengotor di laut. Oseanologi di Indonesia. 7: 25-42 hal. Sabdono, A. 2007. Pengaruh ekstrak antifouling bakteri karang Pelagiobacter variabilis Strain USP3.37 terhadap penempelan bernakel di perairan pantai Teluk Awur, Jepara. J. Coast. Dev, 12(1): 18-23 Soedharma, D. dan A. Fauzan. 1996. Imposex pada Neogastropoda (Thais sp) sebagai akibat kontaminasi Tributyltin (Senyawa Sn) dari cat pelapis Kapal di sekitar Pelabuhan Ratu, Jawa Barat. Jurnal Ilmu-ilmu Perairan dan Perikanan Indonesia, 4(1): 45-53. Sudaryanto, A., M. Muhtar, H. Razak, dan S. Tanabe. 2001. Pencemaran Senyawa Butyltin di sedimen dari perairan Indonesia. Jurnal Sains dan Teknologi, 3(5): 64-69. Triatmodjo., 1999. Teknik Pantai. Beta Offset.Yongyakarta.