KENDALA STRUKTURAL PETANI DALAM BERORGANISASI Pembentukan organisasi petani tidak dengan mudah dikemukakan terutama jika dikaitkan dengan karakter petani. Berbagai literatur (Scott: 1994, Popkin: 1986, Shanin: 1971) tentang petani menghasilkan gambaran yang hampir senada. Sebagai satu entitas sosial, petani digambarkan memiliki sifat tertutup dan sulit untuk sampai pada pengorganisasian. Tulisan Scott mengantarkan kajian pada bentuk perlawanan sehari-hari yang tidak terorganisir (Scott,1993). Namun demikian, penting dikaji sebuah fase dimana perubahan orientasi petani dapat terjadi karena dorongan -dorongan tertentu. Worsley (1982) mengemukakan melalui konsep depeasantisasi. Petani menghadapi tekanan yang demikian kuat sehingga mencoba bangkit dan keluar dari ciri moralitas petani-nya Scott. Tekanan tersebut oleh tulisan lain (Smith and Buttel, Johnson, Shanin; 1971) didefinisikan lahir dari sebuah proses modernisasi dan industrialisasi. Kedua proses tersebut mengintegrasikan petani kedalam sistem ekonomi berciri kapitalis. Gejala depeasantisasi mulai tampak ketika pertanian mengarah pada intensifikasi dan diversifikasi tanaman dengan tujuan meningkatkan produksi. Pada masa itu, petani sudah masuk pada lingkaran kekuatan global dan terintegrasi kedalam sistem ekonomi kapitalis. Analisis tentang fenomena tersebut dapat berangkat dari konteks dimensi hubungan agraria sebagai landasan analisis dalam kajian organisasi petani. Lahirnya perlawanan, secara empiris dapat dihubungkan dengan persoalan-persoalan yang dihadapi petani. Persoalan yang tampak dan mengemuka pada petani Salatiga terutama terkait dengan struktur agraria yang timpang, sewa lahan mahal, ketimpangan struktur kerja dan posisi buruh, upah buruh yang tidak adil, dan maraknya tengkulak. Persoalan kesejahteraan dan kemiskinan dapat ditelusuri dari kondisi struktur agraria pada komunitas. Ini tentu saja akan menyangkut tidak hanya persoalan kepemilikan melainkan juga relasi sosial yang terjalin antara stakeholder yang ada. Tampak bahwa pendekatan struktur kepemilikan lahan menjadi penting dan harus mendapat porsi perhatian yang luas dan menjadi sandaran pokok mengurai permasalahan yang dihadapi petani. Hal tersebut terkait dengan struktur kepemilikan lahan di Jawa yang di
46
dalamnya terdapat kepemilikan perhutani maupun swasta dalam bentuk HGU yang meminggirkan kepemilikan masyarakat. Kajian tentang permasalahan petani didasarkan pada dua pijakan besar yaitu permasalahan yang menyangkut aspek kultural dan permasalahan yang menyangkut aspek struktural. Dalam konteks dimensi agraria, dua permasalahan ini kemudian berakibat pada kemiskinan yang berakar dari tekanan yang terjadi atas petani. Pearse (1968) melengkapinya dengan uraian bahwa persoalan yang paling berat menimpa petani adalah persoalan struktural 1 . Soetomo (1997) meninjau implikasi atas permasalahan ini pada bermuaranya kekalahan manusia petani yang selalu terjadi sepanjang sejarah kehidupan petani. Telah dikemukakan di awal bahwa bentuk organisasi memperlihatkan pola gerakan yang dianut embrio organisasi sebelum organisasi SPPQT diformalkan. Penelusuran sejarah terbentuknya organisasi membawa pada upaya menyingkap persoalan-persoalan kontekstual yang dihadapi petani. Paling tidak, ada dua faktor yang terkait erat dalam mengilhami terbentuknya SPPQT. Kondisi ekonomi dan politik yang secara signifikan berpengaruh pada menguatnya keinginan membentuk organisasi di tingkat lokal sekaligus menjadi kendala terbentuknya organisasi.
Konteks Ekonomi dan Politik Sebagai Kendala Berorganisasi Jauh sebelum penelitian ini dilakukan, petani telah dihadapkan pada konteks relasi dengan supra lokal. Sayangnya relasi tersebut menciptakan pola hubungan yang tidak seimbang yang mengakibatkan petani selalu mengalami kekalahan. Hegemoni kekuatan orang luar terhadap petani diungkapkan pula oleh Shanin (1971) sebagai salah satu tipe umum karakteristik petani. Menurut Shanin, posisi petani adalah posisi paling bawah (underdog ) yang selalu di bawah bayangbayang kekuatan yang selalu ada di luar diri petani itu sendiri. Sering dikatakan bahwa petani merupakan “perpanjangan tangan” dari pusat-pusat kekuatan sosio 1
Dikatakan oleh Pearse bahwa: satu, petani kecil merupakan kelompok marjinal karena keikutsertaannya dalam sistem sosial telah meletakkan mereka sebagai elemen yang dibuat bergantung tak berdaya sepenuhnya (a dependent powerless element). Dua, pilihan-pilihan petani ditentukan oleh pihak-pihak di luar petani. Tiga, petani terasing dari jaringan-jaringan informasi aktual mengingat keterbatasan kemampuan kognitif mereka, sistem transportasi yang belum sempurna, dan perbedaan kultur serta posisi inferior dalam pasar.
47
politik. Kekuatan sosio -politik tadi membentuk jaringan bersama dengan kondisi budaya dan ekonomi untuk melakukan subordinasi dan eksploitasi yang menekan masyarakat petani. Melihat demikian, rasanya tidak berlebihan ketika petani beserta pihak yang peduli terhadap petani mencoba melepaskan belenggu ketertindasan. Alternatif kemudian jatuh pada dibangunnya sebuah kekuatan konsolidasi internal dalam bentuk organisasi petani. Menilik perjalanan panjang sejarah kebijakan yang menyangkut petani, tampak bahwa respon terhadap kondisi yang ada dipengaruhi oleh tidak adanya keberpihakan kebijakan terhadap petani. Penelusuran periode kesejarahan paling tidak membuktikan hal tersebut. Tonggak pergerakan atau perlawanan kaum tani dimulai dengan p emberontakan petani di Cianjur Tahun 1845, Banten Tahun 1850, Cilegon Tahun 1888, serta beberapa daerah lain. Pemberontakan pertama di Banten dan Cilegon dipelopori oleh para kyai dan jaringan tarekatnya. Gerakan ini dilatarbelakangi oleh kondisi sosial, ekonomi, politik dan budaya yang telah meminggirkan kepentingan rakyat miskin pada masa itu. Karakter perlawanan masih terkesan sekterian (aliran islam) pemimpinnya adalah para guru atau ustadz. Situasi yang mempengaruhi gerakan petani dalam konteks ini adalah mulai terancamnya tradisi budaya islam. Pada masa ini terjadi pengaruh pola pendidikan barat yang mengancam pesantren atau pondokan pondokan yang mengajarkan ajaran islam. Pasca kolonialisasi, pemerintahan Bung Karno menentukan sikap politik. Pengamanan aset-aset negara pasca perang dingin, ternyata mempengaruhi sikap politik pemimpin nasional untuk melakukan pengamanan harta pampasan perang. Kebijakan menasionalisasi perusahaan asing yang ada di Indonesia dilakukan dengan cara menguasai perusahaan perkebunan, pertambangan dan kilang-kilang minyak (Tauchid, 1952). Pergerakan politik mewarnai gerakan petani, untuk merebut obyek-obyek landreform yang ditetapkan oleh negara. Kelompok petani menjadi kekuatan basis bagi organisasi politik dengan cara gerakan petani sebagai ormas-ormas berafiliasi dengan organ induknya. Keberpihakan Soekarno tidak sampai disitu. Sekitar tahun 1960 lahir UUPA yang merupakan produk kebijakan yang mampu
48
mengakomodir kebutuhan petani. Tanah sebagai obyek landreform dibagikan kepada petani. Stigma PKI muncul sebagai konsekuensi atas aksi sepihak yang dilakukan BTI yang merupakan underbouw PKI. Peristiwa ini memunculkan trauma di kalangan petani. Pembatasan ruang gerak terjadi di setiap organisasi non-bentukan pemerintah. Pada masa itu, gerakan rakyat mengalami kekalahan. Kekuasaan mengatur dan mengelola sumber-sumber agraria berada di tangan pemerintah Orde Baru. Perjalanan Era Politik Soeharto Hingga Neoliberalisme Politik ekonomi negara pada rezim Soekarno berkuasa, lebih bercorak sosialis populis dengan menasionalisasi aset-aset Belanda (perusahaan asing) menjadi milik negara dan produk kebijakan UUPA No. 5/1960 tentang pembagian tanah untuk rakyat miskin. Warisan sistem feodalisme dan kolonialisme melahirkan konsentrasi tanah pertanian pada golongan petani kaya. Benih pertanian, pestisida, dan pupuk kimia diproduksi dengan subsidi sekaligus dimonopoli oleh pemerintah. Pemerintah memberikan paket kredit subsidi keuangan dan kredit ketahanan pangan. Pemerintah mengembangkan dan mengontrol sistem irigasi dengan mengandalkan pinjaman luar negeri. Pemerintah juga menentukan dan mengatur harga sebagai bagian dari alat kontrol politis pemerintah. Jaringan revolusi hijau dan isu ketahanan pangan menerapkan program dengan didasarkan pada asumsi terjadinya kelangkaan bahan pangan. Sebagai akibat dari pola-pola yang bias pemerintah, pola pertanian tradisional berubah menjadi pola pertanian modern yang sangat bias jender dan telah meminggirkan peran perempuan dalam bidang pertanian. Kontrol pemerintah juga terlihat dalam pembatasan organisasi petani. Hanya organisasi petani nasional (resmi) yang didukung oleh pemerintah dan menjadi alat kekuatan politik pemerintah. Demi menjaga kewibawaan kekuasaan pemerintahan orde baru, pemerintah mengatur dan mendominasi pendidikan petani melalui perluasan wilayah kerja buruh dan sistem perusahaan dalam proses produksi maupun distribusinya. Pasar bebas (perusahaan pertanian), yang tidak mengenal batas-batas negara menjadi trend perdagangan internasional. Penguasaan bisnis pertanian
49
dipegang oleh negara dengan kepemilikan modal kuat. Kebijakan pengelolaan tanah oleh pengusaha pertanian (corporate) menyingkirkan petani gurem dari alat produksi mereka. Implikasinya adalah petani menjadi buruh di lahannya sendiri. Pemerintah memotong dan menghentikan semua bentuk subsidi pertanian bagi petani. Hal ini dilakukan untuk melindungi mekanisme pasar bebas dan dikuatkan dengan produk kebijakan dan undan g-undang yang menjamin investasi asing untuk memonopoli bidang pertanian. Privatisasi perusahaan publik (milik negara) dilakukan dengan menggunakan pinjaman dana luar negeri. Periode revolusi hijau (1965 -an sampai 1980-an) Organisasi petani sebagai sebuah fenomena pedesaan membawa kembali pada penelusuran historis tentang program intensifikasi pertanian pada awal Tahun 1980 yang kemudian dikenal sebagai revolusi hijau. Kelompok petani yang dibentuk
pada
masa
itu
merupakan
perpanjangan
pemerintah
dalam
kepentingannya mentransfer teknologi pertanian secara efisien. Sejak masa itulah kelompok petani menjadi rumah tangga dalam lingkaran pembangunan pertanian. Dari penjelasan demikian, tidak mengherankan bila organisasi petani tumbuh sebagai bagian dari program pemerintah dalam konteks pembangunan pertanian pedesaan. Hal ini berarti organisasi petani menjadi tidak mandiri dalam mengembangkan kapasitas dan aktivitasnya. Karakter organisasi demikian biasanya berada di bawah pengawasan salah satu departemen pemerintah. Hal ini berarti organisasi petani menjadi tidak mandiri dalam mengembangkan kapasitas dan aktivitasnya. Sebagai contoh adalah Kelompok Tani Hutan (KTH) yang merupakan inisiatif dan diorganisir oleh Perum Perhutani atau kelompok tani yang merupakan inis iatif dan diorganisir oleh departemen pertanian. Kebijakan massa mengambang pada pemerintah orde baru - pemaksaan terhadap aktivitas politik di aras dusun - mengharuskan organisasi petani tidak keluar dari aktivitas ekonomi semata. Pada masa orde baru yang dicirikan oleh karakter sentralistik, kekuasaan berada di tangan pemerintah. Organisasi-organisasi kemasyarakatan harus mendapat ijin resmi dari pemerintah, termasuk organisasi tani. Bahwa organisasi tani dianggap sebagai organisasi illegal terancam dibubarkan atau dikategorikan sebagai tindakan subversif. Sentralistik juga terjadi dalam hal pertanian. Kontrol
50
atas kestabilan harga dan distribusi hasil produksi pertanian serta penyediaan sarana produksi pertanian menjadi agenda penting pemerintah. Tidak heran karena pada masa itu pemerintah menjadi perpanjangan kaum kapitalis. Proyek atas nama pembangunan dilakukan dengan menggusur tanah rakyat. Pembangunan waduk, irigasi atau dam-dam yang diperoleh dari bantuan luar negeri makin mengukuhkan jebakan kapitalisme. Paket sarana pertanian yang ditawarkan (meliputi bibit, pupuk dan pestisida) seringkali menjadi alat eksploitasi terhadap petani terutama ketika pada tahun 1970/1980-an, pemerintah mencanangkan revolusi hijau. Program inmas bimas merupakan wujud kebijakan dengan capaian peningkatan produksi swasembada
beras.
Dalam
prakteknya,
pemerintah
mewajibkan
petani
menggunakan bibit dan pupuk kimia dari pemerintah. Dampak dari kebijakan yang tidak tepat adalah tingginya tingkat ketergantungan petani kepada pemerintah dalam memenuhi seluruh sarana produksi pertanian. Implikasinya adalah monopoli pemerintah terhadap sektor pertanian, diantaranya harga pupuk pertanian dan distribusi yang ditentukan pemerintah. Dampak lainnya adalah kerusakan lahan pertanian akibat asupan kimia yang cukup tinggi dari pupuk yang digunakan oleh petani. Sawah menjadi rakus pupuk dan penggunaan kebutuhan pupuk terus meningkat. Kepemilikan lahan pertanian rata-rata petani di Indonesia adalah kurang dari 0,25 ha sawah. Hasil produksi luas an lahan tersebut sangat jauh dari mencukupi. Kondisi makin buruk ketika keberadaan pupuk kimia menambah sulitnya peningkatan hasil produksi pertanian. Sejak tradisi pertanian di pedesaan petani terusik oleh desakan relasi kepentingan internasional, berakibat pada porak poranda-nya institusi pertanian. Fenomena ini menciptakan model ketergantungan yang mutlak karena mata rantai ekosistem di pertanian telah rusak oleh kebijakan yang mengacu pada produktifitas semata (swasembada pangan). Akibat lain yang terkait dengan pola relasi internal dalam komunitas adalah terjadinya polarisasi antar kelas sosial. Penguasaan modal dan kapital terakumulasi pada golongan petani kaya sehingga tercipta kesenjangan sosial yang tajam antara petani kaya dan petani miskin. Memudarnya kepercayaan antar elemen dalam komunitas lebih disebabkan program revolusi hijau diintroduksikan
51
melalui golongan elit atau melalui agen pembangunan. Tidak dipergunakannya relung sodality (Tjondronegoro, 1984) sebagai satuan kelembagaan yang berbasis kan hubungan kepentingan menyebabkan program tidak bersifat berkelanjutan. Dampak lain adalah hilangnya kemampuan petani untuk mengolah lahan pertaniannya. Petani tidak lagi memiliki otoritas produksi karena diharuskan merujuk peraturan yang ada. Akibatnya, pengetahuan lokal perlahan hilang. Peran perempuan dalam proses produksi mulai tergilas dengan penggunaan teknologi modern. Teknologi revolusi hijau yang bias jender menyebabkan perempuan kehilangan kemampuan beradaptasi dengan teknologi baru. Disadari ataupun tidak, revolusi hijau telah memulai deretan masalah yang dihadapi petani. Persoalan tidak hanya menyangkut masalah teknis produksi. Persoalan yang dihadapi petani juga diakibatkan oleh instrumen politik, terutama ketika pemerintah menjadi kaki tangan kaum imperialis-kapitalis melalui investasi sekaligus membuka kran bagi kaum investor. Program pembangunan kemudian diarahkan pada industri pemodal, dan bukan pada industri lokal. Jadi sesungguhnya sejak masa Soeharto sampai saat ini, kebijakan pemerintah, terutama karakter ekonomi-politiknya tetap tidak berpihak pada rakyat/petani. Jika ini tetap terjadi, maka persoalan ini harus direspon dengan penataan struktur agraria dengan solusi yang ditawarkan adalah reforma agraria. Pasca 1998 persoalan juga mengarah pada tidak berubahnya persoalan ekonomi dan politik. Program revolusi hijau yang didisain pemerintah berimplikasi pada orientasi tujuan peningkatan produksi melalui intensifikasi pertanian. Strategi yang diterapkan adalah teknologisasi, perkreditan rakyat, koperasi dan rehabilitasi pengairan yang bertujuan untuk peningkatan produksi pangan. Program yang hanya berorientasi produksi di atas dilakukan tanpa terlebih dahulu merubah struktur sosial yang ada. Implikasi dari pilihan tersebut adalah dominasi elit lokal desa dan tersubordinasinya golongan kecil di desa. Banyak literatur menunjukkan bahwa dampak revolusi hijau meluas pada aspek distribusi input produksi, dampak lingkungan, dan persoalan jender mainstream. Segera tampak bahwa revolusi hijau hany a menjadi awal proses peminggiran sektor pertanian. Revolusi hijau menjadi media berjalannya proses
52
ketergantungan secara ekonomi, teknologi, budaya, pengetahuan, sekaligus politik. Modernisasi pertanian melalui tangan revolusi hijau telah mencabut secara paksa formasi sosial non-kapitalis yang selama ini bertahan di masyarakat pedesaan. Selanjutnya, proses ini berkembang kearah ketergantungan petani pada sistem kapitalis global yang diwakilkan pada negara dan pemerintah lokal melalui investasi dan orientas i pertumbuhan. Periode 1980-an sampai neo -liberal Paham globalisasi dimulai dari berkembangnya paham merkantilisme yang menunjukkan gerakan ekspansi negara besar terhadap negara kecil. Paham merkantilisme mengedepankan prinsip “mengekspor sebanyak-banyaknya dan mengimpor sesedikit-sedikitnya”. Dari sinilah dikenal balance of trade dimana negara harus mengejar surplus perdagangan dengan memaksimalkan ekspor ke berbagai negara sehingga mendatangkan keuntungan besar. Kaum merkantilis juga menerapkan pola proteksi atas produk-produk pertanian yang ada di negaranya. Dalam perkembangan selanjutnya, paham merkantilisme melakukan penyesuaian-penyesuaian dengan konteks dunia pada saat itu sehingga jalur politik negara berubah menjadi paham perdagangan bebas (free trade) yang merupakan upaya meningkatkan pasar dalam negeri dengan sasaran negara Dunia Ketiga. Paham free trade membawa implikasi pada terciptanya mekanisme globalisasi di negara maju dengan cara menerapkan model pembangunan berorientasi ekspor. Prinsip utama globalisasi yang diterapkan adalah keinginan untuk mengintegrasikan dan menggabungkan seluruh aktivitas ekonomi dari semua negara ke dalam suatu model tunggal pembangunan yang diseragamkan (sebuah sistem yang tersentralisasi). Prinsip kedua adalah kepentingan utamanya terletak pada pencapaian pertumbuhan ekonomi korporasi yang senantiasa melaju pesat. Negara berkembang sebagai sasaran pasar bagi negara maju untuk kemudian mengikuti berbagai kebijakan politik yang diambil oleh tatanan ekonomi dunia sehingga berpengaruh di tingkat petani. Dalam prinsip globalisasi, kebijakan negara berkembang sebagai refleksi kebijakan negara maju dalam sektor perdagangan dan ekonomi Untuk mempengaruhi kebijakan politik pemerintah negara berkembang, peran aktor sangat signifikan dalam permainan globalisasi, diantaranya adalah:
53
1. TNC’s yakni perusahaan multinasional besar yang membentuk dewan perserikatan perdagangan global yakni WTO 2. WTO (World Trade Organizations) 3. Lembaga keuangan global IMF dan Bank Dunia yang menetapkan aturan seputar investasi Keberadaan tiga aktor di atas sangat berpengaruh terhadap mekanisme globalisasi yang berkembang terutama terkait dengan implikasinya dalam perubahan kebijakan yang memihak kepentingan perusahaan transnasional. Hal tersebut tidak hanya akan memarjinalkan mayoritas rakyat miskin namun juga akan berhadapan dengan kepentingan dan nasib petani kecil, nelayan, pedagang sektor informal, dan masyarakat adat, khususnya dalam hal perebutan sumber daya alam terutama tanah, hutan, dan laut. Segera tampak bahwa paradigma pembangunan pemerintah tidak berpihak pada penataan struktur pemilikan dan penguasaan tanah. Penguasaan tanah sebagai alat produksi oleh petani tidak pernah menjadi prioritas sehingga penguasaan atas tanah garap petani diabaikan dan belum dianggap sebagai faktor utama dalam ketersediaan pangan oleh negara. Sementara konsolidasi lahan yang dilakukan oleh perusahaan besar lebih mengarah pada kepentingan perkebunan (monokultur). Proyek-proyek agribisnis, hak pengelolaan hutan, industri-industri besar, pabrik-pabrik multinasional dan Trans-National Corporations (TNC’s) yang menempatkan rakyat sebagai buruh justru difasilitasi negara. Disisi lain tindak kekerasan yang dilakukan oleh alat negara terhadap petani yang mencoba memperjuangkan hak-hak atas tanah mereka makin mencuat. Beberapa
dampak
kebijakan
pemerintah
yang
merugikan
petani
diantaranya (Setiawan, 2003) adalah: pertama, penghapusan subsidi ekspor. Pemerintah mengurangi subsidi untuk ekspor produk pertanian. Sementara negara maju justru melakukan subsidi ekspor melalui subsidi domestik negaranya. Kedua, penghapusan subsidi domestik bagi petani sehingga harga pupuk mahal. Dilain pihak negara maju justru meningkatkan subsidi untuk petaninya. Ketiga, akses pasar melalui tarif impor. Pajak impor di negara berkembang sangat kecil jika dibandingkan dengan negara maju yang mencapai 300%. Seluruh kesepakatan WTO tidak bisa ditawar oleh negara miskin seperti Indonesia. Apalagi secara
54
beruntun IMF dan World Bank menawarkan hutang dengan syarat pemerintah Indonesia harus menurunkan pajak impor gula, beras, gandum dan bawang putih. Semua dilakukan oleh kartel-kartel perusahaan swasta (BUMN yang sudah diprivatisasi), diposisikan untuk mengisi jalur-jalur perdagangan. Liberalisasi pengadaan pangan menyebabkan produk lokal petani kesulitan bersaing dengan produk impor. Petani yang tidak bisa bertahan akan gulung tikar menjadi buruh di tanahnya sendiri atau menjadi TKI/TKW ke luar negeri. Tekanan WTO mempengaruhi kebijakan politik pemerintahan seh ingga kebijakan yang dihasilkan justru memfasilitasi kepentingan perusahaan perusahaan besar yang berada di negara-negara maju. Pendekatan pada akses pasar internasional merupakan slogan penanaman investasi asing. Kebijakan dalam Konteks Global Sejarah menunjukkan bahwa peta politik sebuah negara akan ditentukan oleh konstelasi politik internasional. Posisi satu negara terhadap negara lain seringkali terkait dengan kemampuan negara yang bersangkutan dalam membuktikan kekuatan negaranya. Implikasinya adalah akan muncul negara dengan tingkat dominasi yang berbeda. Sebab itulah kemudian lahir stratifikasi negara di dunia. Indonesia sebagai salah satu negara di dunia tentu tidak lepas dari percaturan politik internasional. Sayangnya, sebagai negara berkembang Indonesia lebih sering menempati posisi sebagai negara yang terkena imbas politik bangsa lain yang lebih maju. Dalam wacana isu global, Indonesia kemudian hanya menjadi penonton bagi pertarungan kebijakan antar negara maju. Indonesia terseret dalam arus kebijakan yang justru memarjinalkan bangsanya. Perjanjian demi perjanjian hanya menciptakan efek ketergantungan bagi penduduk negeri. Perjanjian tersebut memang diciptakan untuk mendominasi negara berkembang. Proses globalisasi ditandai dengan pesatnya paham kapitalisme dalam konteks imperialisme gaya baru yang ditandai dengan intervensi politik negara maju terhadap negara berkembang untuk memicu pemerintah menyediakan kebutuhan pangan dengan harga murah yang hal tersebut hanya bisa dilakukan melalui mekanis me impor. Didukung oleh konsep ketahanan pangan yang
55
pemahamannya
baru
sampai
pada
tataran
ketersediaan
pangan
tanpa
memperhatikan mutu dan kualitas pangan, kebijakan ini seolah-olah menjadi sebuah pemicu untuk lebih memberi ruang bagi mekanisme pasar bebas karena basis ketahanan pangan hanya dipahami sebagai ketersediaan dan keterjangkauan pangan oleh semua lapisan masyarakat. Konsep dari kedaulatan pangan sendiri tidak dijadikan sebagai mainstreaming untuk menghalangi membanjirnya pangan impor. Praktek liberalisme diilhami oleh sebuah harapan meniadakan peran negara. Ideologi yang dijunjung adalah persaingan bebas dengan paham memperjuangkan hak -hak atas pemilikan dan kebebasan individual. Fakih dalam Khudori (2004) menyatakan bahwa golongan liberal mempercayakan pada mekanisme pasar (power of market) untuk menyelesaikan masalah-masalah sosial ketimbang paket -paket regulasi atau intervensi pasar oleh negara. Ketika negara disetir oleh paham ini baik langsung maupun tidak langsung dapat diprediksikan berakibat bagi keterpurukan petani. Kapitalisme dan globalisasi ekonomi menjadi alat ampuh di kalangan LSM untuk membangkitkan kesadaran petani. Analisis sosial yang menjadi pintu masuk penyadaran petani dibawa kedalam kepentingan menganalisis kebijakan ekonomi global dan persoalan yang dihadapi petani. Nilai-nilai yang ditanamkan pada petani adalah kebijakan ekonomi yang diambil pemerintah merupakan perpanjangan tangan kaum kapitalis yang akan mengeksploitasi rakyat. Relasi sosial yang mengemuka antara negara, modal dan kaum tani diungkapkan oleh Fauzi (1998) terbukti menghegemoni kekuatan petani terlebih ketika Indonesia turut dalam arus kapitalisme global. Sejak tahun 1969 Indonesia turut menyumbang keterpurukan di tingkat petani melalui dibukanya pintu bagi modal asing. Sejak saat itu negara mulai mengokohkan dirinya sebagai alat kapitalis. Terbukti bahwa grand strategy yang diterapkan dalam bidang pertanian (revolusi hijau) justru membawa kehancuran bagi petani kecil dan buruh tani. Kondisi demikian diperparah oleh berbagai kebijakan yang lebih berorientasi pada pemodal. Melalui strategi revolusi hijau petani diperkenalkan dengan teknikteknik pertanian baru untuk menggantikan pertanian tradisional. Lalu lintas
56
ekonomi berorientasi pada pemodal yang kemudian berimplikasi pada hancurnya tata sosial-ekonomi seraya memperkuat kekuatan unsur-unsur ekonomi kapitalis. Kondisi di atas merupakan implikasi dari pilihan paradigma pembangunan pemerintah orde baru yang berorientasi pada modernisasi. Pendekatan yang bersifat topdown direspon dengan lahirnya pendekatan yang berbasis partisipasi dan pemberdayaan masyarakat. Namun, persoalan masih tetap dirasakan petani karena pendekatan yang dilakukan bias pada kepentingan kapitalis. Fokus pendekatan CD kurang dapat melihat akar permasalahan yang dihadapi. Meskipun paradigma yang dikembangkan telah berubah dari production oriented ke people oriented, namun banyak permasalahan yang terlewatkan dari pendekatan ini. Pendekatan CD sebagai turunan dari teori modernisasi hanya menjad i bagian dari proses pengintegrasian petani kedalam struktur ekonomi kapitalis. Permasalahan terus bergulir hingga masa reformasi. Pada masa ini, orientasi pemerintah tetap berpihak pada pemodal besar. Pembangunan dimaknai sebagai pertumbuhan dengan variab el GNP dan GDP. Orientasi ini diwujudkan melalui pendekatan pembangunan yang masih bersifat paternalistik. Negara dengan berbagai cara berusaha menancapkan kukunya dalam komunitas. Meski pada masa ini pemerintahan bergulir kearah otonomi, namun hegemoni pusat masih dirasakan. Bagi petani, hegemoni negara dirasakan terutama dalam bentuk pencabutan subsidi atas kebutuhan yang menampung hajat hidup orang banyak. Petani
sangat
tergantung
pada
keberadaan
sarana
produksi
pertanian.
Meningkatnya harga saprotan pada masa reformasi dapat dilihat sebagai awal keterpurukan petani. Permasalahan demikian jika ditarik pada skala global tidak lepas dari peran negara yang menginduk pada paradigma liberal dan neoliberal. Perusahaan saprotan yang dikuasai perusahaan asing berimplikasi pada ketidakberdayaan pemerintah menolong petani.
Konteks Ekonomi-Politik Sebagai Peluang Berorganisasi Keterpurukan ekonomi Indonesia menjadi tonggak sejarah penting dalam berorganisasi. Menggeliatnya organisasi massa rakyat dapat dihubungkan dengan krisis ekonomi yang melanda Indonesia. Tampak dalam perjalanan sejarah bangsa, persoalan akses atas sumberdaya makin mengemuka ketika rakyat sulit mencari
57
alternatif lain untuk hidup. Perjuangan akses dapat pula ditinjau sebagai kelanjutan perjuangan memperoleh keadilan. Krisis ekonomi yang terjadi diyakini sebagai impak dari pilihan pembangunan yang berorientasi pertumbuhan. Orientasi pemerintah pada proyek berskala besar makin memperburuk kondisi perekonomian bangsa. Dari sisi gerakan, krisis ekonomi pada tahun 1998 berakibat positif. Paling tidak, kondisi masa tersebut memicu tumbuhnya organisasi tani terutama yang berbasis pada pertanian. Krisis ekonomi yang berdampak pada makin mahalnya kebutuhan pokok termasuk harga sarana produksi pertanian memicu petani mencari alternatif cara-cara produksi. Manifestasi dari alasan ini adalah dilaksanakannya kegiatan produksi pupuk organik. Persoalan politik menempati peran yang juga penting dalam kaitannya dengan pembentukan organisasi petani. Gerakan dalam bentuk organisasi petani yang relatif lebih mandiri merupakan fenomena baru. Hal ini dipengaruhi oleh kondisi politik di era reformasi yang membuka pintu kebebasan petani dalam hal ekonomi dan juga ruang politik. Reformasi politik pada tahun 1998 membawa momentum formasi pada banyak organisasi petani di berbagai aras. Era ini juga membawa serta berbagai implikasi struktural dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Pilihan bentuk organisasi Serikat Paguyuban Petani Qoryah Thoyibah (SPPQT) terkait dengan bentuk embrio organisasi sebelum berdiri. Konteks sosial, ekonomi dan politik pada masa itu menyumbang peran penting bagi lahirnya organisasi. Organisasi yang terbentuk merupakan respon atas permasalahan petani dalam hal ekonomi dan politik. Muara dari respon petani adalah menciptakan perlawanan dalam bentuk kemandirian petani di tingkat komunitas. Kemandirian yang dimaksud meliputi berbagai aspek terutama dalam kaitannya dengan upaya mengembangkan potensi yang ada di desa agar terbangun hak pengelolaan potensi desa yang otonom. Kemandirian di tingkat desa dapat dibangun dengan cara mengatur indigenous autonomy melalui kebersamaan. Mekanisme gotong royong misalnya, dapat menghasilkan komitmen yang bersifat tidak eksploitatif. Komitmen dibangun untuk bisa memperoleh akses dan kontrol terhadap sumberdaya alam
58
tanpa harus memiliki. Medianya dapat melalui Peraturan Desa (perdes). Perdes dapat dijadikan sebagai landasan pengaturan dan pengelolaan tanah dalam satu wilayah yang dikuasai oleh desa. Dalam hal ini, yang harus digali adalah: 1. cara pengelolaannya diarahkan pada dukungan terhadap daya dukung alam 2. bagaimana perhitungan bagi hasil antara sektor swasta tingkat desa dengan penduduk desa 3. pengelolaan sumber daya alam diarahkan pada upaya menghindari eksploitasi terhadap sumberdaya alam. Tiga cara tersebut akan bermuara pada keberdayaan desa. Dengan demikian konsep kewilayahan dibangun atas dasar upaya pengelolaan dan kontrol atas sumberdaya. Faktor Religi dan Kemunculan Sikap Progresif Penelusuran latar belakang pendirian SPPQT dan embrio organisasi “memaksa” peneliti menelusuri riwayat hidup aktor yang menjadi inisiator organisasi. Peneliti memandang penting untuk menelusuri latar belakang ideologi individu yang erat dengan proses pembentukan organisasi. Penelusuran tersebut sampai pada melihat keberadaan Nahdlatul Ulama (NU) sebagai sebuah organisasi yang membesarkan aktor yang bersangkutan. Ide-ide progresif yang dimiliki oleh aktor tersebut sebagian besar lahir dari persentuhannya dengan tokoh NU. NU Sebagai Basis Sosial NU telah memiliki basis sosial yang terhimpun dalam wadah organisasi dan gerakan lokal jauh sebelum secara politik NU eksis. Basis sosial NU adalah komunitas ahlussunah wal jama’ah (aswaja), pondok pesantren, kelompok tahlilan, dan kelompok khaul (Irsyam, 1999). Basis sosial yang terbentuk lebih pada upaya mempertahankan identitas sosial kaum NU. Basis sosial yang terbentuk mengembangkan dinamika internalnya berupa gerakan yang ruang lingkupnya masih lokal. Struktur sosial dalam basis sosial ini yang kemudian menjadi dasar menyusun struktur formal organisasi NU. Penyelaman NU tidak dapat dilakukan hanya dengan pendekatan NU sebagai organisasi melainkan harus dilihat NU sebagai gerakan basis sosial. NU sebagai sebuah gerakan melahirkan konsekuensi yang menjadi sebuah paradigma gerakan dimana ulama memainkan peran sentral dalam tiga perspektif yaitu;
59
pertama, dalam kehidupan sosial ulama menjadi acuan, kedua, ulama menjadi satu-satunya kekuatan yang menentukan dalam proses pengambilan keputusan dalam kehidupan berorganisasi, ketiga, dalam gerakan, ulama menjadi imam yang harus dipatuhi dengan taat (Irsyam, 1999). Dengan demikian, visi misi NU sebagai sebuah gerakan menjadi penting untuk memaknai NU dari sisi gerakan. NU memilih jalur kultural dalam upay a melakukan transformasi sosial. Sebagai basis kultural berangkat dari persepsi bahwa sosialisasi dan institusionalisasi ajaran islam dilakukan melalui upayaupaya yang menekankan pada perubahan kesadaran dan tingkah laku umat/masyarakat tanpa keterlibatan negara dan tanpa perubahan sistem nasional menjadi sistem yang islami. Dalam perspektif gerakan, gerakan islam kultural yang menjadi bagian aktivitas NU dilakukan melalui aktivitas non-politik, seperti melalui organisasi massa, aktivitas dakwah, lembaga sosial, dan sebagainya. Pilihan islam kultural dan gerakan kultural dikemudian hari meneguhkan gerakan kerakyatan NU. Peran yang dimainkan kemudian adalah gagasan tentang civil society yang melakukan kontrol terhadap negara (Rumadi, 2004). Tradisi islam kultural yang dibangun melahirkan politik kerakyatan, bukan politik atas nama kekuasaan yang selama ini muncul sebagai akibat NU membuat parpol. Dalam konstelasi kehidupan bernegara NU menggabungkan kekuatan tradisi dengan modernisasi. Kedua elemen tersebut dipergunakan untuk mengiringi proses transformasi sosial. Tradisi yang mengakar kuat dalam tubuh NU adalah pandangan bahwa kyai sebagai simbol kebenaran hakiki. Pandangan ini dikemudian hari melahirkan sikap kurang kritis di kalangan NU. Perkembangan NU selanjutnya banyak diwarnai oleh Gus Dur. Pemikiran progresif banyak muncul dari sosok ini, melalui berbagai forum kajian yang mengangkat tema-tema keagamaan, hukum, demokrasi dan ketatanegaraan, HAM, politik, dan sosial kemasyarakatan. NU dan lahirnya kaum muda progresif Basis gerakan yang dibangun SPPQT adalah basis kultural. Pemikiran Gus Dur sebagai tokoh progresif banyak diadopsi di kalangan kampus dan golongan menengah keatas. Kaum muda NU yang berada di luar jalur struktural NU lebih mudah menyerap ide-ide progresif yang ditawarkan dan banyak melakukan
60
kajian-kajian untuk merespon sikap kolot NU senior. Wujud respon tersebut adalah dibentuknya Jaringan Studi Transformasi Sosial (JSTS) pada Tahun 1989. JSTS ini dibangun oleh seorang kyai yang dikalangan kyai NU merupakan tokoh yang mempunyai pemikiran -pemikiran progresif. Geliat kaum muda NU diilhami oleh pernyataan Gus Dur yang menyatakan bahwa politik ekonomi Indonesia adalah politik kerakyatan dan kebangsaan. Gagasan transformasi Gus Dur direspon NU muda yang berada diluar sistem NU. Mereka memilih berkiprah di luar sistem yang ada karena NU masih terkooptasi oleh senior NU. Kaum muda NU juga mencoba membangun gerakan berangkat dari romantisme NU masa lalu yang memiliki sikap kritis terhadap fenomena sosial yang ada. Pada masa lalu, NU membangun PERTANU sebagai media pengorganisasian ditingkat grassroot. NU juga banyak melakukan kajian dalam bidang perburuhan dan petani. Melihat sejarah demikian, kaum muda NU mempertanyakan NU jaman PKI yang lebih memiliki pandangan terhadap persoalan sosial. Kondisi masa kini dilihat sebagai keterpurukan ideologis karena NU mengalami kemandekkan pemikiran dan perhatian terhadap petani dan kaum marjinal. Menilik kembali pertautan antara NU dengan inisiator organisasi akan segera tampak bahwa latar belakang kegiatan kemahasiswaan membentuk kepribadian inisiator. Dalam perkembangannya, persentuhan inisiator organisasi dengan tokoh NU progresif berhasil membawa inisiator kedalam arus pengorganisasian rakyat di tingkat basis. Bentuk organisasi yang dipilih berbasis ekonomi mengingat permasalahan ekonomi menjadi permasalahan umum di kalangan masyarakat. Era Politik Reformasi Hingga Politik Kerakyatan Seringkali dikatakan bahwa tahun 1998 menjadi titik balik konstelasi politik di Indonesia. Tahun tersebut menjadi pembeda antara politik sebelumnya dan politik di tahun 1998. Tekanan politik pemerintah orde baru menciptakan suasana represif dari rezim pemerintah orde baru sehingga membatasi kekuatan petani. Berbeda dengan politik tahun 1998 dimana peluang masyarakat tingkat grass root makin terbuka dalam menciptakan keberdayaan.
61
Iklim politik Tahun 1998 memberi nuansa yang cukup kondusif bagi terciptanya organisasi petani. Pada masa itu, gerakan LSM mendapat ruang yang cukup besar dalam memobilisasi petani untuk sampai pada gerakan. Beberapa fenomena yang cukup penting pada masa itu adalah: Pertama, LSM mendapat ruang cukup untuk aktif di pedesaan tidak hanya terbatas pada aktivitas pemberdayaan komunitas, tapi juga mendukung perjuangan petani dalam memperjuangkan hak tanah. Keterbukaan politik bagi kemandirian organisasi petani membawa keuntungan dalam hal motivasi berpolitik seperti dalam hal aktivitas ekonomi. Kedua, Fenomena aktivitas petani setelah tahun 1998 tidak hanya tampak dalam hal perjuangan akses petani terhadap lahan, melainkan juga pada beberapa kasus organisasi petani yang tidak terkait dengan konflik tanah. Iklim politik demikian menjadi media bagi komunitas untuk membangun gerakan di tingkat lokal. Kemunculan gerakan di tingkat lokal disambut oleh LSM dengan meleburkan diri kedalam cita-cita komunitas lokal. Bahkan seringkali LSM yang mengambil partisipasi aktif meng -inisiasi kelembagaan di tingkat lokal. Kasus SPPQT menunjukkan bahwa LSM menjadi ujung tombak in isiatif lebih tersistematisasinya sebuah kelembagaan ditingkat petani. Perbedaan orientasi gerakan yang berhaluan produksi dan peningkatan pendapatan dengan organisasi radikal sedikit banyak dipengaruhi oleh latar belakang LSM yang membantu membidani lahirnya organisasi petani. Organisasi petani sebagai sebuah gerakan sosial merupakan media perlawanan yang diarahkan pada rezim negara yang orientasi ekonomi dan politik -nya tidak pernah berpihak pada rakyat. Ketika negara/pemerintah menjadi kaki tangan lembag a-lembaga internasional, maka kendali dipegang oleh lembaga dunia seperti IMF, ADB, dan World Bank. Perlawanan petani diarahkan pada gerak pemerintah dalam menerapkan kebijakan privatisasi dan deregulasi. Sejak tahun 1998, peran pemerintah tetap berlangsung dan tetap memposisikan petani dalam golongan marjinal. Apabila dilihat periodisasi kemunculan yang baru terjadi pada tahun 1998, lebih disebabkan bahwa sebelum tahun 1998 organisasi massa rakyat ditolak oleh pemerintah. Penolakan lebih disebabkan karena pemerintah alergi terhadap bangunan organisasi petani meski organisasi yang ada dilakukan dengan pendekatan yang mengadopsi cara-cara pemerintah.
62
Perjalanan politik kemudian sampai pada gerakan politik kerakyatan. Pada masa ini hak dan kedaulatan petani atas penguasaan sumber-sumber agraria menjadi kekuatan utama dalam gerakan petani. Kepemilikan tanah dibagi untuk petani-petani kecil melalui redistribusi tanah yang penting sebagai alat produksi. Setiap petani berhak memiliki tanah bagi keberlanjutan proses produksi dan kehidupannya. Kelompok perempuan dalam organisasi tani memiliki bagian dalam bidang pertanian dan berperan besar dalam produksi bahan pangan terutama untuk kepentingan
ketersediaan
pangan
bagi
keluarganya.
Kedaulatan
pangan
didasarkan pada asumsi bahwa bahan pangan merupakan salah satu bentuk hak dasar yang mesti dipenuhi oleh manusia. Harga bahan makanan dan produk makanan ditentukan oleh para petani guna menciptakan akses pangan sebagai pemenuhan kebutuhan dasar. Benih lokal dikelola bersama petani dan menjadi milik komunal melalui mekanisme yang demokratis. Petani mengembangkan usaha dan kelompok mandiri bersama. Perlindungan tanaman dan pupuk organik yang diproduksi sendiri oleh petani dilakukan melalui kerjasama antar mereka. Ketersediaan air difasilitasi melalui sistem irigasi yang dikelola secara komunal. Petani membentuk organisasi tani yang demokratis dan mandiri sebagai alat untuk melindungi dan mempertahankan kepentingan bersama. Organisasi petani membuat pelatihan -pelatihan partis ipatoris untuk penguatan kapasitas para kader tani. Terbentuknya serikat-serikat dan organisasi petani yang bersifat komunal akan mampu menjadi basis gerakan tani. Serikat dan organisasi petani menjadi jaringan permanen yang berpotensi mencegah pelanggaran hak asasi manusia terutama yang mengatasnamakan kepentingan perusahaan bermodal besar yang cenderung monopolistik.
Konteks Ekonomi dan Politik Melahirkan Pilihan Bentuk Organisasi Fakta menunjukkan bahwa petani selalu mengalami kondisi tidak menentu terkait dengan pola hubungan dengan lembaga supra lokal. Beberapa kajian menunjukkan bahwa respon yang dibentuk tidak lepas dari peran aktor luar yang telah terlebih dahulu bersentuhan dengan permasalahan yang sama. Aktor luar
63
dapat muncul dalam bentuk petani yang visinya lebih maju ataupun lembaga lain, misalnya LSM. Di awal diperkenalkan bahwa respon struktural menjadi basis perubahan orientasi. Kasus petani di Salatiga menunjukkan fenomena dimana petani yang menjadi anggota SPPQT mengalami tekanan struktural yang menyebabkan mereka dan generasinya tidak cukup akses dalam berbagai bidang. Organisasi yang ada tidak mampu menjawab persoalan yang dihadapi petani. Organisasi bentukan pemerintah kemudian tidak mendapat kedudukan di mata petani. Pertanyaan tentang pemihakan pemerintah terhadap aspek pemberdayaan petani menjadi point penting dalam hal kepercayaan petani terhadap pemerintah. Solusi yang selama ini diberikan pemerintah melalui pendirian organisasi tidak cukup mampu melepaskan belitan petani terhadap heg emoni kekuasaan pemerintah. Organisasi yang ada hanya menjadi syarat bahwa mainstream pembangunan sudah dilaksanakan pada setiap komunitas sampai tingkat desa. Tidak dapat dipungkiri bahwa permasalahan yang dialami petani akan senantiasa terkait dengan konteks sosial ekonomi pada komunitas yang bersangkutan. Masalah yang paling sering dihadapi di tingkat komunitas terkait dengan persoalan teknis produksi yang harus dengan cepat disikapi oleh petani dan organisasinya. Sebagian besar petani anggota serikat tinggal di lahan kering sehingga
mengalami
keterbatasan
sumber-sumber
ekonomi
yang
bisa
meningkatkan tingkat kesejahteraan anggotanya. Persoalan lain yang juga dominan mempengaruhi perkembangan komunitas adalah rendahnya posisi tawar petani terhadap berbagai pihak yang berhubungan dengan petani baik langsung maupun tidak langsung. Distribusi informasi pada komunitas petani belum dikemas dengan baik sehingga seringkali informasi penting tidak tersebarluaskan. Apabila dikaitkan dengan hak petani selaku manusia, maka hakekat kebutuhan manusia adalah memperoleh hak untuk aman ketika mengelola sumber-sumber penghidupannya. Mereka juga harus memiliki kebebasan untuk memperoleh haknya mencapai kesejahteraan sosial-ekonomi, politik dan budaya. Untuk maksud tersebut, manusia petani harus memiliki kebebasan untuk mengekspresikan dirinya, membangun dan terlibat secara aktif dalam bidang sosial, ekonomi, politik, dan budaya. Namun hal tersebut menjadi kontradiktif
64
ketika melihat fenomena yang menimpa petani dimana mereka hanya menjadi bagian kecil dari masyarakat yang bercirikan kelompok yang lemah dan dilemahkan oleh struktur yang ada. Dengan demikian, pengorganisasian menjadi kepentingan bersama untuk menciptakan; 1) kesetaraan hak, akses dan kontrol terhadap kesetaraan distribusi, 2) membangun kesadaran sosial ditingkat petani sehingga petani bisa mengartikulasikan kebutuhannya, 3) berupaya meningkatkan aktivitas produksi untuk memenuhi kebutuhan tanpa merusak alam, dan 4) meningkatkan kemampuan petani untuk dapat mandiri dalam memecahkan masalah di tingkat mereka. Tekanan struktural yang dialami petani tidak hanya terkait persoalan teknik produksi, namun juga menyentuh akar kehidupan petani terutama terkait dengan hak atas tanah. Bagi komunitas di salah satu kelompok anggota SPPQT, persoalan hak tanah menjadi bahasan utama bahkan memunculkan peluang terjadinya konflik. Potensi konflik terbesar yang terjadi antara organisasi petani tersebut menyangkut penetapan kawasan pertanian dan pemukiman rakyat menjadi taman nasional dengan kategori zona inti. Penetapan zona inti di daerah pemukiman berimplikasi pada dipindahkannya permukiman dari lokasi awal menuju lokasi yang berada di luar kawasan taman nasional. Implikasi proses tersebut adalah berkurangnya akses warga terhadap sumberdaya alam. Dalam konteks disain awal organisasi, isu Taman Nasional MerapiMerbabu (TNMM) merupakan warna baru. Pengorganisasian di Kawasan Merbabu secara umum dikategorikan dalam kaitannya dengan pencarian solusi atas persoalan teknis produksi sekaligus pemasaran hasil-hasil komoditas yang dihasilkan oleh petani dikawasan tersebut. Namun demikian petani dan organisasi tidak menafikkan respon tertentu ketika muncul permasalahan baru yang menghantam petani. Dalam hal ini, penataan awal organisasi yang lebih memfokuskan diri pada pertanian secara teknis mengalami penyesuaian ketika muncul konflik dengan pemerintah dalam kaitannya dengan taman nasional. Situasi subordinat yang dialami petani sepanjang sejarah hidupnya menyebabkan petani mengalami kekalahan demi kekalahan. Pandangan modernis memberikan solusi bahwa petani harus dibekali dengan pengetahuan yang cukup. Wujud dari semua itu adalah petani menjadi bagian dari pendidikan non-formal
65
yang berorientasi pada penyadaran. Namun Soetomo (1998) memberikan peringatan bahwa pendidikan pun bukan berarti tidak menjadi masalah bagi petani. Pendidikan yang hanya menghasilkan transfer ilmu pengetahuan tidak akan mencapai hasil yang diharapkan. Bagi petani yang lama tertindas, model pendidikan yang mencerahkan, menggunakan metode dialogis dan menghasilkan pendidikan yang mengungkap penyadaran, Freire (1984) menjadi satu kebutuhan khusus. Sebagai upaya keluar dari bentuk-bentuk pembodohan, petani melakukan respon dengan cara mengorganisir diri. Pilihan berorganisasi muncul untuk mengimbangi kekuatan musuh yang terstruktur. Dengan demikian, melawan harus dilakukan dalam satu ikatan. Sekaligus sebagai pembuktian bahwa petani dapat menciptakan model-model pemberdayaan komunitas yang mencerdaskan. Proses demikian tidak serta merta. Dalam pembentukan SPPQT pun, nuansa politik menentukan tahapan proses pembentukan organisasi dan pilihan strategi perlawanan. Gambar 2. di bawah ini menunjukkan proses tersebut. 1980-an
1995-an
1998-an
1999-an
YDM
Kelompok Progresif
Nadika
SPPQT
CD
Radikal
Kajian
People-center oriented
Gambar 2. Tahapan Proses Pembentukan dan Pilihan Strategi Pendekatan Perkembangan
di
atas
menunjukkan
bahwa
perbedaan
ciri
pengorganisasian komunitas melahirkan strategi pendekatan yang berbeda. Masing-masing strategi merujuk pada tujuan organisasi dan persoalan mendasar yang dihadapi pada tiap fase. Pilihan strategi berkembang dari CD sampai pada pendekatan people-center oriented. Pada masanya, masing-masing strategi tersebut tepat diterapkan.
66
SPPQT Sebagai Organisasi Produksi dengan Ciri Production-Center Development Persoalan praktis yang dihadapi petani membutuhkan respon cepat dari organisasi. Hal ini disadari oleh serikat petani sekaligus direspon dengan mengembangkan Pertimbangan
kegiatan
bahwa
yang
kebutuhan
menjawab petani
kebutuhan
tidak
cukup
jangka
pendek.
hanya
dengan
pengorganisasian menyebabkan serikat mencari cara lain yang lebih menjawab kebutuhan petani. Permasalahan produksi yang banyak dihadapi diantaranya adalah persoalan teknis pertanian, harga input pertanian yang mahal, pemasaran hasil-hasil pertanian yang sulit, jaringan tengkulak yang menghambat, dan sebagainya. Sebagai sebuah organisasi yang memperjuangkan kedaulatan petani, SPPQT memilih mengembangkan usaha-usaha organisasi untuk mencapai tujuan tersebut, diantaranya adalah: melakukan pengorganisasian masyarakat petani, memperkuat dan membangun jaringan organisasi petani, mengembangkan gerakan konservasi kawasan, mengembangkan sistem pertanian berkelanjutan, mengembangkan ekonomi komunitas petani, mengembangkan pendidikan bagi generasi muda petani, membangun sistem perlindungan kesehatan bagi keluarga petani, mengembangkan media dan jaringan komunikasi petani, mengembangkan data dasar komunitas, mengembangkan pembaruan tata ruang desa, serta melakukan advokasi kebijakan pertanahan dan usaha lain yang relevan. Pilihan atas usaha di atas terkait dengan hasil analisis permasalahan yang dihadapi petani yang meliputi dua faktor yakni ekonomi dan politik. Persoalanpersoalan kebijakan yang tidak berpihak pada petani memaksa organisasi mencari bentuk organisasi yang bisa mengakomodir setiap permasalahan. Sebagai organisasi
komunitas,
pengorganisasian
SPPQT
sebelum
tampak
melakukan
memfokuskan
kerja
pada
pengembangan
kegiatan komunitas.
Tampaknya hal inilah yang membedakan SPPQT dengan organisasi lain. SPPQT menerapkan proses pengorganisasian komunitas sebelum mengagendakan kegiatan pengembangan organisasi. Meski demikian ciri sebuah organisasi produksi melekat pada karakter SPPQT karena SPPQT menempatkan persoalan ekonomi dalam prioritas kerja organisasi.
67
Sebagai organisasi yang berciri ekonomi produksi dengan tujuan utama peningkatan kesejahteraan, SPPQT dan anggotanya menerapkan strategi yang lebih mengarah pada pemberdayaan petani dan fokus pada aktivitas ekonomi. Karakter SPPQT secara umum adalah: 1) berupaya memutus ketergantungan pada pemerintah dalam hal penyediaan sarana produksi pertanian dengan cara melakukan kegiatan pertanian organik. Kegiatan tersebut dimaksudkan juga bagi kerja membangun kemandirian petani, 2) struktur organisasi dibentuk secara rapi dan sistematis dimaksudkan untuk memudahkan jalur koordinasi, 3) memperkuat struktur organisasi supaya memiliki posisi tawar dan kekuatan tawar dihadapan pengambil keputusan, dan 4) kemandirian petani yang menjadi tujuan pokok organisasi diwujudkan dalam bentuk melakukan pembinaan berjenjang pada satu tingkat di bawahnya. Merujuk
permasalahan
yang
dihadapi
petani,
organisasi
dengan
pendekatan program dalam prakteknya lebih dapat diterima oleh anggota. Pertimbangan agar organisasi dapat diterima memerlukan strategi tersendiri bagi penggerak organisasi. Petani dan organisasi yang sulit mencari pertautan teoritis menunjukkan bukti dalam hal ini. Pengorganisasian petani harus dapat menunjukkan keuntungan yang dapat diterima oleh petani, tidak sekedar berjuang untuk sesuatu yang abstrak dan tidak dipahami petani. Melihat sejarah pembentukan SPPQT, tidak dapat dipungkiri bahwa bentuk organisasi produksi yang diambil mengacu pada persoalan yang menyangkut pembangunan pertanian. Strategi production-center development dalam hal ini menjadi tepat terkait dengan konteks masalah yang dihadapi. Sebagai sebuah organis asi yang memilih strategi awal production-center development, pada tahap awal SPPQT menerapkan pola yang cenderung berbasis teknologi pertanian. Apa dan Mengapa Organisasi Produksi Dalam konteks pembangunan dan pemberdayaan petani, muncul pilihan bangunan organisasi petani dengan cara yang berbeda. Aktivis NGO yang membidani SPPQT memandang bahwa cara radikal yang selama ini dikembangkan kurang mengena dalam konteks permasalahan petani Salatiga. Petani Salatiga tidak dihadapkan pada permasalahan konflik tanah sehingga lebih
68
memilih pola organisasi yang lebih halus tanpa menghancurkan struktur sosial yang telah mapan 2. Sebagai bentuk baru, perlawanan ini terkait dengan tipe NGO yang berada di balik pembentukan SPPQT. Ideologi aktivis dan NGO akan menyumbang pada bangunan organisasi yang dipilih. Menanggapi kondisi demikian, komunitas petani di Salatiga melakukan pendekatan lain yang lebih berorientasi kebutuhan dan masalah. Upaya yang dibangun adalah membentuk organisasi yang lebih bisa meneropong berbagai persoalan petani baik yang tersembunyi maupun yang tampak. Organisasi yang dikembangkan lebih berbasis kebutuhan dan permasalahan nyata di tingkat petani. Tampak dari model pengorganisasian yang menggunakan pendekatan kawasan. Pilihan ini digunakan karena kepentingan petani akan lebih terakomodir ketika pengorganisasian menggunakan konsep kawasan dengan tujuan mempertimbangkan kesamaan faktor-faktor ekologis. Dari sudut konsolidasi, pendekatan kawasan dipandang lebih efisien dibanding pendekatan administratif. Permasalahan yang dihadapi mudah dicarikan solusi karena komunitas memiliki kesamaan aspek masalah terkait dengan kesamaan faktor geografis dan ekologis. Dalam konteks perlawanan terhadap globalisasi, gerakan rakyat berupaya memberdayakan masyarakat lokal melalui kontrol komunitas yang demokratis atas sumberdaya lokal. Penelusuran mundur menghasilkan gambaran awal terbentuknya SPPQT. Embrio SPPQT berasal dari sebuah yayasan yaitu Yayasan Desaku Maju (YDM). YDM mengembangkan pola CD. Karakter CD yang dikembangkan masih konservatif dengan menerapkan pola CD lama. Pendekatan yang diterapkan berorientasi pada pemberdayaan. Faktor ideologis sebagai latar belakang pilihan strategi melahirkan dua strategi yaitu advokasi dengan saluran gerakan politik, dan pemberdayaan ekonomi. Bentuk organisasi CD yang dipilih sebagai basis karakter organisasi petani di Salatiga lebih banyak merupakan pilihan ideologi di tingkat aktivis disamping konteks masalah yang dihadapi. Pilihan tersebut didasarkan pada latar belakang
2
Meskipun CD petani dimaknai sebagai CD yang melahirkan dekonstruksi sosial, namun dilakukan tanpa merubah struktur sosial yang ada. Dekonstruksi disini diartikan sebagai membangun upaya kemandirian untuk melawan konstruksi berbentuk integrasi pre-kapitalis menuju kapitalis.
69
kegiatan aktivis sebelum terlibat dalam organisasi petani. Aktivitas kelompok aktivis sebelumnya lebih banyak memposisikan pada isu -isu produksi dan upaya peningkatan kesejahteraan masyarakat. Gaya pendekatan ini tampaknya diterapkan pada organisasi baru sehingga ciri organisasi SPPQT lebih merujuk pada CD sebagai jalan mengatasi permasalahan nyata di tingkat petani. Warna gerakan organisasi sedikit banyak juga dipengaruhi sebuah LSM internasional. Salah satu LSM internasional yang berfungsi sebagai lembaga pen yandang dana dari organisasi petani ini memfokuskan kegiatan pada usaha-usaha pertanian organik. Meski isu yang dibangun LSM internasional ini lebih kepada keamanan pangan, namun isu tersebut didefinisikan lebih lanjut oleh petani sebagai jalan menuju kedaulatan pangan. Interpretasi ini merupakan pemahaman lebih lanjut atas kondisi struktur sosial yang merugikan posisi petani. Gerakan ini yang kemudian melahirkan karakter khas organisasi yaitu organisasi produksi dengan orientasi membangun kedaulatan petani. Kegiatan yang dikembangkan oleh organisasi SPPQT bermuara pada membangun kemandirian. Kegiatan dengan ciri ekonomi produksi diawali dengan melepaskan diri dari ketergantungan produksi yang diciptakan orde baru. Upaya ini kemudian muncul melalui kegiatan pertanian organik. Pertanian organik dibangun atas ide menghindarkan diri dari pengaruh kebijakan supra lokal. Pertanian organik merupakan langkah awal untuk mencapai kedaulatan pangan. Ide bahwa ketersediaan pangan anggota komunitas harus bisa dicukupi secara silang merupakan bentuk perwujudan kemandirian tingkat lokal. Sistem pertanian berbasis masyarakat berskala kecil, terdiversifikasi dan mandiri dibangun dalam komunitas ini. Gerakan ini bermuara pada gerakan kedaulatan pangan sebagai lawan terhadap ketahanan pangan yang hanya berorientasi pada pasar tanpa mempertimbangkan siapa produsen. Gerakan ini didukung oleh upaya petani menciptakan jalur pemasaran sendiri atas komoditas pertanian yang dihasilkannya. Sebagai upaya melepas ketergantungan terhadap tengkulak, pilihan ini juga dapat dikategorikan sebagai strategi menuju kemandirian. Jalinan ekonomi internal anggota dipadukan melalui berdirinya gardu tani sebagai wadah/media ekonomi anggota.
70
Implikasi strategi CD tampak dari pilihan kegiatan yang dikembangkan SPPQT. Organisasi ini mengembangkan program Integrated Organic Farming (IOF) yang diharapkan tidak sebatas menjadi program, melainkan menjadi ideologi organisasi. IOF dimaknai sebagai satu pola pertanian yang melihat persoalan petani secara lebih holistik. Dengan demikian, capaiannya adalah pengembangan petani dan menghindari jebakan pengembangan pertanian . IOF diarahkan pada muara akses dan kontrol terhadap SDA yang dilakukan dengan usaha bersama. Hubungan yang dibangun melalui pertanian organik yang terintegrasi adalah aspek keadilan, dan terciptanya hubungan yang sejajar. Tidak ada hubungan buruh-majikan yang merupakan bagian dari cara-cara eksploitasi. Dengan demikian, IOF akan bisa berjalan jika persoalan awal yang disorot adalah struktur kepemilikan tanah. IOF berusaha menjawab persoalan ketimpangan struktur lahan dan nilai tukar yang seringkali menjadi momok yang menakutkan. Indikator keberhasilan pertanian organik adalah jika petani tidak menjual hasil pertaniannya. IOF yang dimaksud jelas untuk menghindari pola-pola pertanian organik murni. Jika pertanian organik dipahami sebagai teknologi organik semata, maka kegiatan menjadi berorientasi pada hasil dan mengejar pada terlaksananya program tanpa mempertimbangkan aspek keterhubungan. Misalnya penyediaan pupuk kandang dipasok dari desa lain. Bukan ini sesungguhnya makna organik yang ingin dibangun. Juga ketika organik hanya difokuskan pada bagaimana program harus terlaksana. Sebidang lahan kemudian disewa oleh petani, dan petani yang bersangkutan menyewa tenaga petani lain. Model ini adalah bentuk kegagalan jiwa organik yang sesungguhnya. Bidang pendidikan menunjukkan fenomena yang tak kalah menarik. Beberapa paguyuban membangun sekolah alternatif di komunitasnya. Sekolah alternatif yang dibangun masih menggunakan kurikulum Depdiknas namun dengan metode pengajaran yang berbeda, lebih mengarahkan pada tujuan pendidikan kritis, humanisasi, dan kebebasan. Pilihan ini didasarkan pada keprihatinan
akan
model
pendidikan
konvensional
yang
menciptakan
dehumanisasi, Freire (1984). Pendidikan yang ada selama ini lebih berorientasi pada birokrasi dan kekuasaan, tanpa memperhatikan esensi dari pendidikan itu
71
sendiri. Kapitalisme pendidikan juga menjadi alasan tersendiri dikembangkannya sekolah alternatif di Salatiga. Pandangan terhadap kesetaraan jender diperlihatkan melalui proses pelatihan jender yang diberikan baik pada perempuan maupun lakilaki. Banyak pelatihan jender yang hanya diperuntukkan bagi perempuan. Padahal, pemahaman akan kesetaraan jender harus dibangun pada komunitas perempuan dan terlebih lagi laki-laki. Perbedaan mendasar dalam merespon kasus agraria diperlihatkan oleh organisasi di Salatiga. Perlawanan dilakukan dengan cara mengajukan draf akademis untuk menolak penetapan Taman Nasional Merapi-Merbabu (TNMM). Serikat dalam hal ini menjadi ujung tombak perjuangan di tingkat nasional. Perlawanan dilakukan dengan cara beradu konsep dengan pembuat kebijakan tentang wilayah konservasi. Dukungan konseptual diperoleh dari hasil PRA yang memperlihatkan kondisi sekitar kawasan Merapi-Merbabu. Aksi yang dilakukan lebih mengarah pada pembentukan opini publik. Pendekatan jaringan dilakukan sebagai upaya mendapatkan akses informasi dari luar. Keterbukaan menjadi ciri khas organisasi tipe ini. Upaya membangun jejaring dengan berbagai pihak dianggap sebagai investasi modal sosial dalam rangka mewujudkan tujuan organisasi. Sebagai organisasi yang memiliki tujuan akhir menciptakan mainstream baru, perlu menggandeng stakeholder lain dalam mencapai agenda besar organisasi. Untuk melancarkan bangunan jaringan, beberapa paguyuban membuat akte yayasan. Status sebagai yayasan memudahkan terbinanya hubungan dengan dunia luar. Aspek formalitas ini secara umum membedakan organisasi ini dengan tipe organisasi yang berangkat dari isu konflik. Peningkatan kapasitas manusia sekaligus upaya akses teknologi salah satunya dilakukan dengan menggandeng satu provider internet. Hasilnya adalah jaringan internet telah menjangkau beberapa wilayah komunitas. Langkah ini sekaligus berguna untuk membuka saluran informasi dan komunikasi antar anggota maupun dengan dunia luar. Keterlibatan anggota organisasi dalam konstelasi politik lokal menunjukkan geliatnya pada tahun-tahun terakhir. Hal ini dibuktikan melalui keterlibatan anggota organisasi menjadi anggota BPD atau
72
DPD. Dalam hal ini tumbuh kesadaran politik yang berangkat dari masalah produksi. Perkembangan selanjutnya mengalami penyesuaian ketika organisasi dihadapkan pada kasus konflik agraria di dua paguyuban anggota. Pendekatan CD kemudian dirasa perlu untuk ditambah dengan strategi lain sebagai upaya akses dan kontrol. Akses dan kontrol sebagai muara tidak cukup diraih dengan pilihan salah satu model melainkan CD maupun advokasi harus dilakukan. Penguatan terhadap organisasi merupakan prasyarat. Implikasinya adalah terbentuknya kelompok tani, paguyuban, jakertani, dan serikat yang semuanya harus dikembangkan.
Dalam
upaya
memperjuangkan
akses
dan
kontrol,
mempertanyakan proses advokasi tanpa terlebih dahulu melakukan penataan organisasi, yang terjadi adalah kooptasi.
Ikhtisar Faktor yang menyebabkan ketertindasan petani adalah ekonomi dan politik. Dua faktor ini dalam sejarahnya menciptakan deretan permasalahan yang harus diselesaikan oleh petani. Disisi lain, keberadaan dua faktor ini ternyata mampu memunculkan
motivasi
mengakumulasikan
petani
energi
untuk
kolektif
membangun melalui
aksi
kolektif
pembentukan
dan
organisasi.
Permasalahan petani yang lebih banyak meliputi ekonomi menuntut bentuk organisasi yang dapat mengakomodir kebutuhan tersebut. Muatan respon atas pola relasi yang eksploitatif harus dikompromikan dengan kebutuhan yang bersifat praktis. Ciri organisasi produksi yang lebih mengarah pada paradigma production center oriented merupakan respon organisasi atas permasalahan nyata petani. Alasan organisasi mengembangkan strategi CD menyangkut pertimbangan karakter petani dan juga karakter musuh. Bacaan awal terhadap bentuk musuh menghasilkan analisis bahwa organisasi petani harus dibangun dalam bentuk yang terorganisir dengan baik. Alasan pilihan tersebut disandarkan pada dua hal, yaitu: pertama, yang paling penting dalam organisasi adalah memperkuat daya resistensi petani, bukan dengan cara-cara seperti reklaiming. Kedua , pilihan radikal lebih rawan perlawanan/resistensi dari pemerintah. Pertimbangan atas dua alasan di atas kemudian menghasilkan organisasi dengan ciri yang terstruktur.
73
Peranan faktor ekonomi dan politik sebagai pendorong gerakan pengorganisasian menarik untuk dipahami terutama dalam hal pengaruhnya terhadap kehidupan petani. Penelusuran periodisasi konteks ekonomi berhasil menunjukkan bahwa pada setiap fase, petani tidak pernah didudukkan dalam tempat yang benar dalam struktur masyarakat. Revolusi hijau merupakan kebijakan pertanian yang dampaknya paling nyata dirasakan petani, terutama bagi petani miskin dan buruh tani. Terciptanya kesenjangan makin menempatkan dua golongan petani ini kedalam struktur paling bawah dalam kelas sosial. Gambaran bahwa revolusi hijau membatasi akses masyarakat miskin makin tampak ketika paket-paket
teknologi
pertanian
yang
ditawarkan
hanya
dimungkinkan
menjangkau golongan petani kaya. Petani menjadi sandaran kebijakan pembangunan sekaligus korban pembangunan yang dikembangkan. Itulah sebabnya mengapa ketika krisis ekonomi muncul pada tahun 1998, petani sebagai golongan masyarakat yang paling marjinal berupaya “menarik keuntungan” dari keterpurukan bangsa. Keterkaitan dengan konteks ekonomi global dapat dilihat dalam kasus pemberlakuan kebijakan pasar bebas dan globalisasi. Pemerintah tanpa perhitungan terseret dalam arus kapitalisme sehingga persaingan global makin menyudutkan langkah petani. Relasi sosial yang mengemuka antara negara, modal dan kaum tani diungkapkan oleh Fauzi (1998) terbukti menghegemoni kekuatan petani terlebih ketika Indonesia turut dalam arus kapitalisme global. Pengalaman pengorganisasian petani juga menunjukkan bahwa konteks politik turut memicu lahirnya organisasi. Reformasi politik pada tahun 1998 membawa momentum formasi pada banyak organisasi petani di berb agai aras. Era ini juga membawa serta berbagai implikasi struktural dalam kancah perpolitikan di Indonesia. Perjalanan politik masa ke masa menunjukkan perjalanan yang hampir senada dengan perjalanan ekonomi. Pada masa Soeharto, pemerintah melakukan tekanan yang sangat kuat terhadap munculnya organisasi rakyat. Tindakan ini menghambat perjuangan tingkat grass root yang seringkali dilakukan dengan organisasi. Banyak organisasi yang dibentuk di tingkat lokal dianggap sebagai bentuk perlawanan terhadap negara. Gerakan yang relatif tidak mendapat hambatan dari pemerintah adalah gerakan yang bersifat kultural. Dalam
74
sejarah organisasi SPPQT, gerakan kultural ini ternyata sampai pada gerakan yang mensikapi persoalan struktural yang dialami petani. Peran organisasi kultural yang dimaksud di atas adalah gerakan NU. NU yang dalam perkembangannya menunjukkan bentuk transformasi gerakan memberi
ruang
yang
cukup
kepada
kadernya
untuk
mengembangkan
pengorganisasian. Hal ini tidak lepas dari peran NU senior dengan pemikiranpemikiran yang progresif. Persentuhan inisiator organisasi dengan tokoh NU progresif melahirkan kelompok tani sebagai embrio SPPQT. Kelanjutan gerakan rakyat mendapat ruang yang lebih luas ketika suasana gerakan kerakyatan mulai menguat. Bisa dikatakan bahwa tahun 1998 merupakan titik balik gerakan rakyat di Indonesia. Perjuangan petani pasca 1998 tidak lagi dilakukan dengan cara sembunyi-sembunyi. Ideologi perlawanan terhadap perangkat
keras
dan
perangkat
lunak
yang
merugikan
petani
mulai
ditransformasikan ke tingkat petani. Maka mulailah ditemukan organisasi rakyat/organisasi komunitas di pelosok pedesaan. Sebagai wadah memenuhi kebutuhan kolektif, organisasi kemudian berkembang dan menjadi multifungsi sesuai kebutuhan anggotanya. Mengingat pentingnya menempatkan kebutuhan anggota sebagai dasar bangunan organisasi, SPPQT memilih kegiatan yang dapat menjawab kebutuhan anggota. Alasan ini mendorong pilihan pola organisasi yang lebih halus tanpa menghancurkan struktur sosial yang telah mapan. Pilihan ini tid ak lepas dari sejarah terbentuknya SPPQT serta embrio kelompok tani. SPPQT hendak memaknai organisasi dalam kerangka pengembangan petani, tidak sekedar pengembangan pertanian. Pemaknaan ini diimplementasikan dalam bentuk organisasi produksi meski dalam perkembangannya, SPPQT juga menempuh cara-cara advokasi untuk merespon persoalan agraria. Keduanya merupakan strategi untuk sampai pada akses dan kontrol atas sumberdaya.