KENDALA DAN PELUANG PENGEMBANGAN TEKNOLOGI PADI TANAM BENIH LANGSUNG Hamdan Pane Balai Penelitian Tanaman Padi, Jalan Raya 9, Sukamandi, Subang 41256
ABSTRAK Tersedianya varietas unggul berumur genjah, harga herbisida yang terjangkau petani, serta buruh tani yang langka dan mahal telah mendorong petani padi pada lahan irigasi di beberapa negara Asia beralih dari tanam pindah (tapin) ke tanam benih langsung (tabela). Di Indonesia, pengembangan padi tabela menghadapi berbagai masalah, antara lain ketersediaan varietas yang adaptif yang mampu berkecambah dalam kondisi anaerob, sistem perakaran dalam sehingga tahan rebah, serta mempunyai anakan terbatas tetapi produktif. Masalah gulma dan cara panen juga merupakan hambatan dalam pengembangan padi tabela. Pada penanaman dengan cara tabur rata (broadcast seeding) atau sistem sonor, petani sangat enggan melakukan panen secara konvensional dengan sabit karena memerlukan tenaga kerja yang banyak. Oleh karena itu, untuk mencapai efisiensi tenaga kerja dan hasil panen tinggi, petani perlu menggunakan herbisida yang efektif dan selektif serta mudah mendapatkan atau menyewa alat/ mesin pemanen. Teknologi spesifik yang direkomendasikan untuk padi tabela perlu dievaluasi dan diperbaiki, selanjutnya diintroduksikan ke petani untuk menunjang usaha intensifikasi dan ekstensifikasi padi tabela di lapang. Kata kunci: Padi, tanam benih langsung, sawah irigasi
ABSTRACT Perspective and constraints of direct seeded rice technology expansion The availability of early maturing improved rice variety, low herbicide price, and labor shortage have motivated rice farmers in irrigated lowland at several Asian countries shifting from transplanting to direct seeding. In Indonesia, the expansion of direct seeding faced many problems, among those are availability of variety which adapted to anaerobic condition/lodging, and had deep root system and low tiller numbers but each panicle has high density of grains. Weed and harvesting methods are also the main problems in expansion of direct seeded rice. In broadcast seeding or "sonor" system, farmers refuse to do manual harvesting using sickle because it is time consuming and intensive labor used. Therefore, to increase labor efficiency and to obtain high yield, farmers should apply an effective and selective herbicide and use combine harvester during harvesting. The specific technology recommended for direct seeded rice must be improved and introduced for supporting intensification and expansion program of direct seeded rice in the fields. Keywords: Rice, direct sowing, irrigated rice fields
U
saha peningkatan produksi padi di Indonesia dilakukan pemerintah melalui program intensifikasi dan ekstensifikasi. Intensifikasi dilakukan dengan memperbaiki teknologi anjuran untuk meningkatkan produktivitas lahan, sedangkan ekstensifikasi ditujukan untuk memperluas areal produksi. Perluasan areal umumnya diarahkan ke lahan baru di luar Jawa serta lahan tidur atau meningkatkan indeks panen (IP) pada lahan yang mempunyai IP rendah. Pada sistem usaha tani padi intensif dengan tenaga kerja banyak tersedia dan murah, sistem tanam pindah (tapin) 172
umum dilakukan petani. Namun, di daerah dengan tenaga kerja sukar dan mahal sementara harga mesin tanam pindah tidak terjangkau petani, sistem tanam benih langsung (tabela) dapat menjadi alternatif bagi petani. Kelangkaan tenaga kerja sering menyebabkan waktu tanam terlambat, sehingga petani terpaksa menanam bibit padi yang sudah tua sehingga hasil panen rendah. Untuk mengatasi masalah tersebut maka budi daya padi tabela diintroduksikan. Tujuannya adalah untuk mengurangi penggunaan tenaga kerja yang terkonsentrasi pada waktu yang bersamaan seperti pengolahan ta-
nah dan tanam, serta untuk menghindari pembuatan dan pemeliharaan persemaian. Efisiensi tenaga kerja tersebut dapat menekan biaya tenaga kerja yang mahal serta mengejar masa tanam yang serempak dengan biaya relatif murah. IRRI (1989) telah mengantisipasi kelangkaan tenaga kerja yang terjadi pada tahun 2000-an serta perkembangan teknologi pengendalian gulma yang semakin maju pada waktu itu. Berdasarkan pemikiran tersebut, maka sistem tabela diharapkan semakin populer di Asia khususnya pada sistem usaha tani padi intensif. Menurut De Datta dan Flinn Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
(1986), Moody (1990), dan Washio (1992), sistem tabela mampu memberikan hasil panen yang sebanding dengan hasil panen padi tapin, bahkan lebih tinggi dengan pengelolaan yang optimum. Di Indonesia, sistem tabela sudah mulai diadopsi oleh petani, terutama di daerah sentra produksi padi dengan tenaga kerja langka dan mahal. Di Sulawesi Selatan, Sumatera Utara, dan Lampung, sistem tabela basah sudah berkembang di kalangan petani karena tenaga kerja yang langka dan mahal. Penaburan benih dalam larikan dapat menggunakan alat yang disebut "atabela" (alat tanam benih langsung). Di daerah transmigrasi pasang surut Sumatera Selatan, tabur benih rata (broadcast seeding) cukup populer dengan sebutan sistem tanam "sonor". Dengan sistem ini, curahan tenaga kerja untuk menanam padi hanya 1−2 orang/ ha. Di lahan sawah tadah hujan Jawa Tengah, tabela kering pada padi gogorancah sudah puluhan tahun dipraktekkan oleh petani. Benih bisa ditugal, "diicir", atau ditanam menggunakan alat yang diintroduksikan dari IRRI. Sistem gogorancah tersebut sekaligus dapat meningkatkan indeks panen karena waktu tanam dan waktu panen bisa lebih awal. Tabela bukanlah sistem tanam baru bagi petani, namun hanya merupakan perbaikan teknologi yang mereka terapkan. Naylor (1996) melaporkan bahwa di Indonesia sistem tabela baru mencakup sekitar 3,50% dari total areal padi, yaitu pada padi gogorancah dan padi gogo pada musim hujan. Di IRRI, De Datta (1985) telah melakukan percobaan sistem tabela secara terus-menerus pada 50 lokasi mulai tahun 1968 sampai 1984, dengan menanam enam varietas unggul baru. Dengan pemupukan N 150 kg/ha pada musim kemarau (MK) dan 90 kg/ha pada musim hujan (MH), hasil rata-rata padi tabela dan tapin masing-masing 4,60 t/ha dan 4,80 t/ha. Hasil ini sebanding, yang berarti sistem tabela maupun tapin mempunyai prospek yang sama untuk diterapkan di lahan irigasi. Pada musim kemarau, IR42 dan IR36 yang ditanam dengan sistem tabela mampu memberikan hasil panen masing-masing 9,90 t/ha dan 7,80 t/ha. Di Taiwan, Chang dan De Datta (1974) melaporkan bahwa dengan pengelolaan yang baik, hasil padi tabela bisa 6−16% lebih tinggi dari padi tapin. Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
Rata-rata curahan tenaga kerja untuk tanam padi tabela dan tapin masingmasing adalah 1,80 dan 25 hari kerja/ha, sedangkan curahan tenaga kerja untuk menyiang padi tabela dan tapin masingmasing 150 dan 450 jam kerja/ha (Naylor 1996). Selanjutnya Lo dan Cheong (1986) menambahkan bahwa sistem sonor memerlukan waktu tanam 4 jam kerja/ha, tanam dengan mesin 13 jam kerja/ha, dan sistem tapin 134 jam kerja/ha. Informasi ini menunjukkan bahwa sistem tabela benar-benar mampu menghemat curahan tenaga kerja dan menekan biaya produksi sehingga memberikan keuntungan bagi petani. Di sentra produksi padi di Indonesia, khususnya di luar Jawa, areal lahan sawah irigasi yang semakin luas serta tersedianya varietas unggul berumur genjah dan teknologi pengendalian gulma mendorong petani untuk menanam padi dua sampai tiga kali setahun. Dalam sistem usaha tani padi intensif seperti itu, apabila tenaga kerja terbatas dan mahal maka teknologi padi tabela lebih sesuai untuk diadopsi oleh petani.
KENDALA PENGEMBANGAN PADI TABELA Pengolahan Tanah Pengolahan tanah pada sistem tapin sama dengan pengolahan tanah pada tabela. Namun, tabela menghendaki kondisi permukaan tanah yang rata agar air irigasi mudah didrainase. Pengolahan tanah dapat dilakukan secara kering maupun basah/melumpur. Pada pengolahan tanah secara kering, penanaman dilakukan dengan sistem tabela kering (dry seeding), sedangkan pada pengolahan tanah melumpur, benih ditanam dengan sistem tabela basah (wet seeding). Pengolahan tanah yang sempurna akan menciptakan suatu kondisi yang kondusif bagi perkecambahan benih padi sehingga pertumbuhannya lebih seragam. Namun, umumnya petani mengolah lahan secara borongan atau terburu-buru, sehingga kualitas pengolahan tanah kurang baik. Tanah masih berbongkah-bongkah dan tidak rata sehingga terdapat genangan air. Selain itu, rimpang dan biji gulma cepat bertunas dan tumbuh kembali untuk bersaing dengan tanaman.
Sistem Drainase Sistem tabela basah sangat sesuai diterapkan pada lahan sawah beririgasi teknis karena pemasukan dan pengeluaran air mudah diatur. Pada 7−10 hari pertama setelah benih ditabur, petakan harus didrainase agar air tidak menggenang (Moorthy dan Dubey 1979) dan benih padi tidak mati/busuk. Karena tidak semua petakan bisa dibuat rata, umumnya petani membuat saluran cacing di dalam petakan untuk mengalirkan air yang tergenang. Sebenarnya genangan air diperlukan untuk mencegah berseraknya benih yang ditabur apabila hujan datang, atau untuk mencegah benih dimakan burung atau tikus. Genangan air juga berfungsi untuk menekan perkecambahan biji-biji gulma. Oleh karena itu, para pemulia diharapkan dapat menciptakan varietas padi yang toleran genangan (submergence) yang mampu berkecambah meskipun kondisi air tergenang (anaerobic condition).
Varietas/Jenis Padi Tabela Hingga kini Indonesia belum mempunyai varietas padi yang khusus untuk tabela. Karakteristik padi tabela adalah mampu berkecambah dalam kondisi anaerob, perakaran dalam sehingga tidak mudah rebah, serta jumlah anakan sedikit tetapi mempunyai malai yang panjang dengan jumlah gabah bernas tinggi. Apabila tipe benih ini tersedia maka beberapa masalah dalam pengembangan usaha tani padi tabela dapat diatasi. Karakteristik lain yang diinginkan adalah dapat memperbaiki seedling anchorage, mengurangi kemampuan bertunas (anakan), umur lebih panjang dengan daun bendera yang lebih luas, serta malai besar dengan kapasitas sink yang lebih tinggi. Hasil simulasi menunjukkan bahwa padi unggul tropis secara teoritis masih dapat diperbaiki dengan menghasilkan padi tipe baru (PTB) yang lebih produktif dan masa panen lebih lama. Peningkatan hasil diperkirakan dapat mencapai 25%, namun masih diperlukan penelitian fisiologis dan analisis terhadap sifat genetik padi yang tersedia (Dingkuhn et al. 1991; Vergara et al. 1991). Untuk sistem tabela, postur tanaman yang dikendalikan adalah tidak terlalu tinggi agar tidak mudah rebah. Gabah juga tidak mudah rontok sehingga kehilangan hasil rendah 173
terutama bila panen dilakukan dengan menggunakan mesin.
Gulma Pengendalian gulma merupakan salah satu kendala dalam pengembangan teknologi padi tabela (Bernasor dan De Datta 1983). Infestasi gulma pada padi tabela lebih padat daripada padi tapin karena genangan air tidak ada pada awal pertumbuhan (Moorthy dan Dubey 1979). Apabila tanaman tidak disiang sampai umur 6 minggu maka kehilangan hasil sangat nyata (Dubey et al. 1977), padahal pada umur tersebut, bibit gulma rumput dan padi sukar dibedakan. Penyiang juga sukar lewat di antara barisan tanpa merusak tanaman padi yang baru tumbuh, apalagi bila benih ditabur rata. Alternatif pengendalian gulma yang paling tepat dan praktis adalah dengan menggunakan herbisida. Masalahnya, herbisida yang banyak dijual di pasaran hanya cocok untuk padi tapin dan kurang sesuai untuk padi tabela karena tingkat selektivitasnya rendah. Herbisida yang bersifat toleran pada padi tapin dapat menimbulkan keracunan pada padi tabela. Selektivitas tersebut muncul karena perbedaan umur bibit. Menurut De Datta dan Bernasor (1971), pada sistem tapin, bibit yang ditanam telah berumur 21 hari sehingga lebih kuat menyaingi gulma dan lebih tahan terhadap keracunan herbisida. Pada tabela, tanaman padi dan gulma, terutama rumput, mempunyai umur dan morfologi yang relatif sama. Tanaman padi yang masih muda lebih peka terhadap keracunan herbisida. Pemakaian herbisida sejenis secara terus menerus juga dapat memberi peluang terjadinya pergeseran spesies gulma dominan atau peledakan populasi spesies gulma yang tahan. Dikhawatirkan gulma baru ini justru lebih kompetitif, berkembang biak lebih cepat sehingga lebih sukar dikendalikan dibanding gulma sebelumnya. Mansor et al. (1997) melaporkan bahwa pada padi tabela, gulma rumput Echinochloa crusgalli, E. oryzicola, Leptochloa chinensis dan Ischaemum rugosum yang sebelumnya hanya gulma minor berubah menjadi gulma dominan. Gulma rumput ini tergolong tumbuhan C4, sedangkan padi C3, meskipun keduanya termasuk famili Poaceae/Gramineae. Tumbuhan C4 lebih efisien dalam menggunakan air maupun 174
berfotosintesis sehingga daya saing tumbuhan C4 lebih tinggi dari tumbuhan C3.
Hama dan Penyakit Penanaman padi dengan sistem tabela memerlukan varietas yang tahan hama/ penyakit seperti sheat blight, busuk batang, tungro, wereng, dan penggerek batang. Ketahanan suatu varietas terhadap serangan hama/penyakit merupakan faktor pendukung keberhasilan usaha tani padi. Selain itu, pengendalian hama terpadu perlu dilakukan untuk menciptakan lingkungan tumbuh yang optimal bagi tanaman padi tabela.
Panen Cara panen padi tabela juga menjadi salah satu masalah bagi petani karena mereka belum terbiasa. Pada sistem sonor misalnya, batang padi tumbuh berserakan, bukan merumpun sehingga sulit dipotong dengan sabit. Petani umumnya lebih menyukai panen padi tapin daripada padi tabela (Tabel 1). Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa apabila sistem tabela akan diintensifkan pengembangannya, khususnya di daerahdaerah yang sukar dan mahal tenaga kerja, maka mesin pemanen perlu tersedia di tingkat petani. Apabila mesin tidak tersedia, biaya panen akan tetap mahal sehingga efisiensi biaya produksi tidak tercapai.
PELUANG PENGEMBANGAN PADI TABELA Budi daya padi tabela merupakan cara budi daya padi masa depan sebagai akibat
tenaga kerja yang mahal dan harga herbisida yang terjangkau oleh petani. Pada budi daya tapin padi misalnya, diperlukan herbisida 2,4 D 1−1,50 l/ha dengan harga Rp 100.000–Rp 150.000/ha. Biaya penyemprotan sekitar Rp 50.000/ ha, sehingga biaya total penyiangan dengan herbisida mencapai Rp 150.000− Rp 200.000. Pada padi tabela, penyiangan dengan tangan memerlukan 20−40 hari kerja dan 15−25 hari kerja masing-masing untuk penyiangan pertama dan kedua. Apabila upah kerja satu hari Rp 10.000 dan pemakaian tenaga kerja hanya 50 orang, maka biaya penyiangan dengan tangan mencapai Rp 500.000. Hal inilah yang menyebabkan penyiangan dengan herbisida menjadi pilihan karena lebih murah dibanding penyiangan dengan tangan. Namun, pengetahuan petani tentang herbisida perlu ditingkatkan sehingga bisa memilih herbisida yang efektif sesuai dengan jenis gulma yang tumbuh di petakannya. De Datta dan Nantasomsaran (1991) melaporkan bahwa padi tabela telah berkembang di Filipina, Malaysia, dan Thailand. Pengembangan tersebut ditunjang oleh tersedianya air irigasi dan varietas unggul berumur pendek, harga herbisida yang relatif murah, serta tenaga kerja yang langka dan mahal. Mansor et al. (1997) melaporkan bahwa sebelum tahun 1980, petani di Malaysia masih banyak yang menanam padi dengan sistem tapin, tetapi pada tahun 1980−1990, ekstensifikasi tabela sistem sonor mulai dilakukan. Sejak tahun 1990 sampai sekarang, pengembangan tabela memasuki periode intensifikasi. Dengan demikian diperlukan waktu 10 tahun untuk mengintroduksikan dan mengembangkan budi daya padi tabela. Di lahan sawah irigasi teknis Jatiluhur, sistem tabela sangat sesuai
Tabel 1. Tanggapan petani terhadap pelaksanaan panen padi yang ditanam dengan sistem sonor, atabela dan tapin, KP Sukamandi MK 1992. Aktivitas panen Pelaksanaan panen Kapasitas panen (perbandingan) Luas panen dengan sabit (100 m2/hari) Upah (Rp/kg gabah) Pilihan panen
Sonor
Atabela
Tapin
Sulit
Agak mudah
Mudah
1 5 30 Tidak suka
2
3
10 25 Agak suka
10 20 Suka
Sumber: Gurning dan Pane (1996).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
untuk dikembangkan karena air pengairan mudah dikontrol. Pada lahan irigasi dengan sistem penggolongan distribusi air, pada tiap-tiap golongan air petani seharusnya menanam padi secara serempak. Namun, masa tanam tersebut sering terlambat karena tenaga kerja kurang tersedia dan mahal. Keterlambatan tanam lebih parah pada persawahan di saluran tersier atau sawah dengan irigasi golongan empat. Masalah tersebut dapat diatasi dengan menanam padi sistem tabela. Masa tanam akan lebih serempak, penggunaan air lebih efisien, serta hama dan penyakit lebih mudah dikendalikan. Karena padi dengan sistem tabela dapat dipanen 7−10 hari lebih awal daripada sistem tapin, waktu yang dapat dihemat dalam satu tahun dengan dua atau tiga kali tanam masing-masing adalah 14−20 dan 21−30 hari. Hal itu berarti bahwa sistem tabela memberi peluang untuk meningkatkan indeks panen setiap tahun atau untuk mengejar masa tanam yang lebih awal untuk menghindari kekeringan pada musim kemarau. Pengembangan sistem tabela secara dilarik dalam barisan mempunyai prospek yang lebih baik daripada sistem sonor, karena hasil panen lebih tinggi dan pemeliharaan tanaman lebih mudah. Namun dari segi efisiensi tenaga kerja, sistem tabela masih lebih rendah dari sistem sonor tetapi lebih tinggi dari sistem tapin.
Pengolahan Tanah Dalam budi daya padi tabela, pelumpuran dan perataan permukaan tanah sangat penting untuk memudahkan pengelolaan air dan meningkatkan perkecambahan
dan pertumbuhan benih. Bagian permukaan tanah yang lekuk akan mudah digenangi air, dan biasanya benih di tempat tersebut akan mati lemas (De Datta 1985). Hasil penelitian menunjukkan bahwa sistem pengolahan tanah tidak mempunyai interaksi dengan cara tanam padi tabela sistem sonor atau sistem larikan dengan atabela (Tabel 2). Namun, hasil padi cenderung lebih tinggi apabila tanah diolah melumpur. Hasil tertinggi (5,78 t/ ha) diperoleh pada padi yang ditanam dengan sistem tabela ditarik dari tanah diolah melumpur. Untuk mendapatkan perkecambahan benih yang rata dan pertumbuhan tanaman yang lebih baik, Washio (1992) menyarankan agar bongkahan tanah dengan diameter 2 cm tidak melebihi 40%. Kualitas pengolahan tanah mempunyai pengaruh besar terhadap pertumbuhan tanaman. Morooka (1992) melaporkan bahwa pengolahan tanah yang tidak sempurna mengakibatkan kedalaman olah maupun pelumpuran tidak rata. Selanjutnya Itoh (1991) dan Washio (1992) menambahkan bahwa pelumpuran tanah yang baik akan menghasilkan perkecambahan benih yang seragam. Itoh (1991) menganjurkan bila lahan sawah mempunyai drainase baik, sebaiknya ditanami dengan sistem tabela kering dengan menggunakan alat/ mesin penabur benih. Benih dapat dibenamkan sampai kedalaman 2−3 cm ke dalam tanah. Kondisi tanah perlu dijaga agar tetap lembap dan setelah benih berkecambah baru petakan digenangi air. Pengairan saat benih sudah berkecambah khususnya pada tabela basah akan memudahkan pengendalian gulma serta pemeliharaan tanaman.
Tabel 2. Pengaruh pengolahan tanah terhadap hasil padi tabela (t/ha), KP Kuningan MK 1992. Cara pengolahan tanah
Sistem tanam Dilarik dalam barisan
Sistem sonor
Rata-rata
5,40 5,78
5,24 5,42
5,32 5,60
5,50 5,56
5,53 5,40
5,51
Diolah kering Diolah melumpur Diolah melumpur dan digenangi selama 5 HBT Rata-rata HBT = hari sebelum tanam. Sumber: Pane dan Fagi (1993a).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
Takaran Benih Pada sistem tabela kering, benih langsung ditanam, tetapi pada sistem tabela basah, benih perlu direndam dulu selama 24 jam dan diperam 48 jam sebelum ditanam. Kebutuhan benih tergantung pada cara tanam. Pada sistem sonor, benih yang diperlukan lebih banyak daripada sistem larik atau tabela. Menurut De Datta (1985), IRRI menganjurkan takaran benih 100 kg /ha pada sistem sonor untuk mendapatkan hasil yang tinggi dan menekan infestasi gulma. Bahkan petani di Filipina menggunakan benih 217−300 kg/ha untuk mengantisipasi benih yang tidak tumbuh dan untuk menekan infestasi gulma. Takaran benih ini dinilai sangat tinggi dibandingkan dengan biaya alternatif pengendalian gulma lainnya. Hasil penelitian di Kuningan menunjukkan bahwa kebutuhan benih pada sistem sonor sekitar 60−80 kg/ha (Tabel 3), sedangkan untuk sistem larik 40−50 kg/ ha (Pane et al. 1991).
Pemupukan Nitrogen Pada budi daya padi tabela, tanaman langsung tumbuh dari benih sedangkan pada sistem tapin, tanaman berasal dari bibit yang berumur 21 hari. Dengan demikian padi tabela berada lebih lama di sawah daripada padi tapin. Oleh karena itu, Bhuiyan (1992) dan Washio (1992) berpendapat bahwa takaran pupuk padi tabela, khususnya N, harus lebih tinggi 20−30% dari pupuk padi tapin. Pemberian pupuk N dikurangi pada separuh pertama pertumbuhannya, tetapi ditingkatkan pada stadia primordia dan pembentukan malai. Penelitian di Kuningan menunjukkan bahwa cara pemberian dan takaran pupuk N berpengaruh nyata terhadap hasil panen (Tabel 4). Bila benih ditanam dengan cara larikan, takaran pupuk N adalah 72 kg/ha (urea tablet) sehingga dapat mengimbangi hasil padi yang ditabur dengan pemupukan 150 kg N/ha (urea butiran). Pada sistem sonor, hasil tertinggi diperoleh dengan pemupukan 30−75−45 kg N/ha (urea butiran), sedangkan pada sistem tapin dengan, pemberian 50−50−50 kg N/ha (urea butiran). Dengan demikian terlihat bahwa peningkatan hasil mempunyai hubungan dengan pemberian N terutama 175
Tabel 3. Pengaruh jumlah benih terhadap hasil padi tabela sistem sonor di KP Pusakanegara dan KP Kuningan, MH 1991/92. Jumlah benih (kg/ha)
Hasil (t/ha) KP Pusakanegara
KP Kuningan
4,41 5,09 4,93 4,73
− 5,40 5,57 5,95
40 60 80 100
Rata-rata 4,41 5,24 5,25 5,34
Sumber: Pane dan Fagi (1992).
Tabel 4. Hasil padi pada berbagai takaran pupuk nitrogen dan sistem tanam KP Kuningan, MK 1992. Takaran pupuk nitrogen (kg/ha)
Sistem tanam Larikan
Sonor
Tapin
50-50-50 30-75-45 90-60-0 1 72-0-0 2 102-0-0 2
6,63 6,76 6,83 6,60 6,15
5,94 7,10 5,80 5,35 5,87
6,61 6,38 6,20 5,69 5,83
Rata-rata
6,59
6,01
6,14
90 kg N (urea butiran) diinkorporasi ke dalam tanah, dan 60 kg N diberikan secara top dressing. 2 Diberikan dalam bentuk urea tablet. Sumber: Pane et al. (1993). 1
karena cara tanamnya berlainan. Respons tanaman terhadap pemberian N berkaitan erat dengan kemampuan tanaman untuk mengambil unsur hara pada berbagai stadia pertumbuhannya. Pada padi tabela kering dan gogorancah, Pane et al. (1983) melaporkan bahwa takaran pupuk yang memberikan hasil tertinggi adalah 20 kg N/ha pada umur 10 hari setelah tugal, 60 kg N/ha pada umur 30 hari, dan 40 kg N/ha pada umur 49 hari. Pupuk diberikan secara tepat waktu dan takaran untuk mengurangi kerebahan tanaman. Untuk kebutuhan unsur P dan K masih perlu dilakukan penelitian lebih lanjut, namun diduga hasilnya tidak jauh berbeda dengan padi tapin.
Pengendalian Gulma Bibit padi dan gulma, khususnya gulma rumput, sukar dibedakan. Bibit gulma rumput juga sering tertanam bersama bibit padi sehingga penyiangan kurang sempurna (Bernasor dan De Datta 1983; Washio 1992). Persaingan gulma dan 176
tanaman padi yang sudah terjadi sejak tumbuh tersebut menyebabkan penurunan hasil panen sampai 53% (Nyarko dan De Datta 1991). Pengendalian gulma yang paling praktis pada padi tabela adalah dengan menggunakan herbisida. Berbagai jenis
herbisida seperti butaklor/propanil, sinosulfuron, metil bensulfuron/metil metsulfuron dan butaklor/2,4 IBE cukup efektif mengendalikan gulma padi tabela dengan hasil panen hampir sama dengan padi yang disiang dua kali (Tabel 5). Menurut Ho (1986), herbisida yang populer untuk padi tabela di Malaysia adalah 2,4 D butyl ester yang diaplikasikan 25−30 hari setelah tabur. Herbisida ini murah dan banyak tersedia di pasaran. Herbisida lain ialah trifluralin, piperofos, pyrazolate, fluazipop-butyl, butaklor, thibencarb, dan oksadiazon. Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan herbisida, IRRI telah menguji beberapa teknik aplikasi yang mudah, cepat, dan murah. Penggunaan sprinkler bottle sangat nyata menurunkan biaya aplikasi dengan efikasi dan hasil panen yang tetap tinggi (Migo dan De Datta 1983). Pemakaian herbisida oleh petani semestinya memperhatikan masalah kelestarian lingkungan dan diaplikasi secara bijaksana. Penyemprotan yang berlebihan dapat menyebabkan polusi pada lingkungan terutama air serta mematikan organisme bukan sasaran. Penggunaan berbagai teknologi pengendalian gulma yang saling mendukung dan terpadu sangat dianjurkan (Bernasor dan De Datta 1983). Penggunaan benih yang murni, pengolahan tanah yang tepat, pengelolaan air irigasi, serta pemakaian herbisida yang benar merupakan teknologi yang saling kompatibel dan sinergis untuk mendukung pengendalian gulma secara efektif.
Tabel 5. Pengaruh cara pengendalian gulma secara mekanis dan kimiawi terhadap hasil padi tabela dalam larikan, KP Pusakanegara, MH 1992/93. Perlakuan Tanpa disiang Disiang tangan dua kali, 21 dan 42 HST Disiang landak dua kali, 21 dan 42 HST Butaklor/propanil 1,50 l prod./ha Sinosulfuron 0,012 kg ba/ha, 6 HST Sinosulfuron 0,012 kg ba/ha, 6 HST Sinosulfuron 0,012 kg ba/ha, 6 HST Metil bensulfuron/metil metsulfuron 200 g prod./ha, 6 HST Butaklor/2,4 IBE, 5 HBT
Hasil (t/ha) 3,68 5,84 5,61 5,43 5,67 5,46 5,76 5,42 5,70
HST = hari setelah tanam; HBT = hari sebelum tanam. Sumber: Pane dan Fagi (1993b).
Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
KESIMPULAN Budi daya padi tabela mempunyai prospek untuk dikembangkan. Teknologi ini merupakan salah satu alternatif pada usaha tani padi intensif di lahan sawah irigasi untuk mengatasi tenaga kerja yang langka dan mahal. Ciri-ciri padi yang adaptif untuk ditanam dengan sistem tabela antara lain adalah benih mampu berkecambah dalam kondisi anaerob,
tahan rebah, jumlah anakan sedikit tetapi bulir panjang dengan jumlah gabah isi yang padat dan tidak mudah rontok, serta postur tanaman tidak terlalu tinggi. Tabela dengan sistem sonor (broadcast seeding) jauh lebih dapat menghemat tenaga kerja dibanding sistem tapin. Namun, penerapan sistem ini perlu diimbangi dengan pemakaian herbisida dan mesin pemanen agar efisiensi tenaga kerja tersebut betul-betul meningkat.
Dalam pengembangan padi tabela, berbagai teknologi yang sudah tersedia perlu segera disosialisasikan kepada petani untuk memecahkan permasalahan yang ada di lapangan. Umpan balik dari hasil penerapan teknologi tersebut dapat digunakan untuk memperbaiki teknologi yang sudah ada atau untuk mencari teknologi alternatif lain yang lebih unggul.
Gurning, T.M. dan H. Pane. 1996. Percobaan padi tanam benih langsung di Balai Penelitian Tanaman Padi. Suatu rujukan hasil penelitian. Prosiding Seminar Apresiasi Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Padi. Buku II. Sukamandi, 23−25 Agustus 1995. Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi. hlm. 25−37.
Moorthy, B.T.S. and A.N. Dubey. 1979. Uptake of nitrogen by puddle seeded rice and the associated weeds under different preemergence herbicides. Oryza 17: 132−134.
DAFTAR PUSTAKA Bernasor, P.C. and S.K De Datta. 1983. Cultivar management and chemical control of weeds in broadcast seeded flooded rice. Paper Presented at the 9 th Asian Pacific Weed Science Society Conference, 28 Nov−2 Dec 1983. Manila, Philippines. Bhuiyan, S.I. 1992. Irrigation management and direct seeded rice. Partners toward a more efficient resource in rice production. Paper Presented on the Seminar of CRIFC, AARD in Bogor, 7 May, 1992. Chang, W.L. and De Datta. 1974. Chemical weed control in direct seeded flooded rice in Taiwan. PANS 20(4): 425−428. De Datta, S.K. 1985. Technology development and spread of direct seeded flooded rice in Southeast Asia. A paper presented at the International Rice Research Conference, 1− 5 June 1985. IRRI, Los Banos, Philippines. 21 pp. De Datta, S.K and P.C. Bernasor. 1971. Selectivity of some new herbicides for direct seeded flooded rice in the tropics. Weed Res. 11: 41−46. De Datta, S.K. and J.C. Flinn. 1986. Technology and economics of weed control in broadcast seeded flooded tropical rice. Asian Pacific Weed Science Society Conference 10: 51− 74. De Datta, S.K. and P. Nantasomsaran. 1991. Status and prospects of direct seeded flooded rice in tropical Asia. Direct seeded flooded rice in the tropics. Rice Research Conference, Seoul, 27−31 August 1990. p. 1−18. Dingkuhn, M., F.W.T. Penning de Vries, S.K. De Datta, and H.H. Van Laar. 1991. Concepts for a new plant type for direct seeded flooded tropical rice. p. 17−38. In Direct Seeded Flooded Rice in the Tropics. IRRI, Los Banos, Philippines. Dubey, A.N., G.B. Manna, and M.V. Rao. 1977. Studies on weed competition, weed control and varietal interaction with propanil and parathion in direct seed rice. Indian J. Weed Sci. 9: 97−81.
Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003
Ho, N.K. 1986. Comparison of weed flora and farmers weed control practices in the transplanted and direct seeded rice in the Muda area of Malaysia. p. 233−234. In The Extended Abstracts. 2 nd International Conference on Plant Protection in the Tropics. Genting Highlands, Malaysia. IRRI. 1989. IRRI Toward 2000 and Beyond. International Rice Research Institute, Los Banos, Philippines. 66 pp. Itoh, K. 1991. Life cycle of rice field weeds and their management in Malaysia. Tropical Agricultural Research Center Tsukuba, Japan. 92 pp. Lo, P. and A.W. Cheong. 1986. Performance of five preemergence herbicides in pre and post seeding application in Muda. Teknologi Padi 2: 7−12. Mansor, M., A. Man, and N.K. Ho. 1997. Integrated weed management in the rice agro-ecosystem: Paradigm shift for research and extension in Malaysia. Satellite Workshop on Rice Weed Management. Sungai Petani, Malaysia, 13−14 September 1997. Migo, T.R. and S.K. De Datta 1983. Improvement in herbicide application technique and application timing in transplanted and broadcast seeded flooded rice. p. 162−175. In Proc. 9 th Conference of Asian Pacific Weed Science Society, 28 November−2 December 1983. Manila, Philippines. Moody, K. 1990. Pest interaction in rice in the Philippines. p. 269−299. In Pest Management in Rice. B.T. Grayson, M.B. Green, and L.G. Copping (Eds.). Society of Chemical Industry and Elsevier Applied Science, New York.
Morooka, Y. 1992. Rice farmers and direct seeding culture in Peninsular Malaysia. Farming Japan 26(1): 27−40. Naylor, R. 1996. Herbicide use in Asian rice production: Perspectives from economics, ecology, and the agricultural sciences. p. 3− 25. In R. Naylor (Ed.). Herbicides in Asian Rice: Transitions in Weed Management Stanford University and IRRI, Los Banos, Philippines. Nyarko, K.A. and S.K. De Datta. 1991. A Handbook for Weed Control in Rice. IRRI, Los Banos, Philippines. 113 pp. Pane, H., E.S. Noor, dan P. Effendi. 1983. Porsi pemberian nitrogen dan sistem pengendalian gulma pada padi gogorancah. Penelitian Pertanian 3(2): 85−88. Pane, H., R. Tejasarwana, P.K. Utami, dan Suprijadi. 1991. Perbaikan teknik budi daya padi pada lahan sawah tadah hujan. Makalah disampaikan pada Lokakarya Hasil-Hasil Penelitian ARMP I 1990/91, Bogor 13−14 Desember 1991. 12 hlm. Pane, H. dan A.M. Fagi. 1992. Integrated weed control to minimize herbicide application in lowland rice paper presented at the 1992 intern. Rice Research Conference IRRI. Los Banos, Philippines, 21−28 April 1992. 22 p. Pane, H., Prayitno, dan A.M. Fagi. 1993. Penelitian pemupukan padi sebar langsung. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi, 1992/93. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi. 15 hlm. Pane, H. dan A.M. Fagi. 1993a. Penelitian teknik penyiapan pertumbuhan awal padi sebar langsung dalam larikan. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi, 1992/93. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi. 16 hlm.
177
Pane, H. dan A.M. Fagi. 1993b. Penelitian pengendalian gulma secara mekanis dan kimiawi pada padi sebar langsung. Laporan Hasil Penelitian Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi, 1992/93. Balai Penelitian Tanaman Pangan Sukamandi. 14 hlm.
178
Vergara, B.S., B. Venkateswarlu, M. Janoria, J.K. Ahn, J.K. Kim, and R.M. Visperas. 1991. Rationale for a low tillering rice plant type with high-density grains. p. 39−53. In Direct Seeded Flooded Rice in the Tropics. IRRI, Los Banos, Philippines.
Washio, O. 1992. Direct seeding rice culture in Japan: Its technical outlook. Farming Japan 26(1): 11−19.
Jurnal Litbang Pertanian, 22(4), 2003