KENDALA DAN KENDALI PENGUASAAN BAHASA ASING DI MADRASAH Sribagus Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan (FKIP) Unram Email:
[email protected] ABSTRACT It is assumed that Arabic is the language mainly used at Madrasah. It turns to be the other way around – hardly any teacher uses Arabic communicatively as the classroom language instruction, and hardly any student actively speaks in it fluently outside the classroom. Teachers teach traditionally, applying “Learning System” which brings about memorization of language codes/rules and vocabulary enrichment. Using language communicatively is beyond the intended target as stated in the curriculum. The alternative solutions are the changing of teaching and learning method from Learning to Acquisition, and providing the language input from the early start of class activity. Key words: Madrasah, arabic, learning system, language input
A. PENDAHULUAN Pada era sekarang ini mungkin sulit bagi kita untuk menemukan orang yang hanya mampu (memahami) satu bahasa atau monolingual. Tidak sama dengan situasi dimana Albert hanya mengerti satu bahasa karena diasingkan di tengah hutan dan dibesarkan oleh binatang, dan Genie, seorang anak berumur tiga belas setengah tahun, yang dikurung cukup lama oleh keluarganya sehingga terisolir dari dunia ramai. Pada saat sekarang ini bisa dikalkulasi merata bahwa orang mengerti minimal dua bahasa – bahasa pertamanya dan bahasa keduanya atau bahasa asing. Tingkat pemahaman bahasa kedua atau asing mungkin saja hanya sebatas pemahaman passip (mengerti tetapi tidak lancar mengungkapkan), tetapi
Edisi ix, April 2013
masih dapat dikatakan sebagai memahami. Tidak tertutup kemungkinan seseorang juga mampu berbahasa dalam tiga bahasa atau bahkan lebih secara aktip yang diistilahkan sebagai multilingual. Kemungkinan untuk menjadi multilingual ini tidak terlepas dari pengarauh tehnologi informasi yang sudah sangat canggih yang diperoleh melalui beberapa media yang merasuk sampai ke sudut-sudut ruangan kantor atau rumah. Di sekolah formal atau non formal, selain bahasa ibu dan bahasa nasional, diajarkan juga bahasa asing seperti bahasa Inggris, Jerman, Prancis, Jepang, Belanda, dan bahasa Arab. Bahasa asing tersebut ada yang sudah dimasukkan sebagai bagian dari kurikulum sekolah di tingkat pendidkan dasar (SLTP) dan menengah. Bahkan dua dari bahasa asing tersebut – bahasa Inggris dan bahasa Arab- sudah diajarkan di Sekolah Dasar walaupun mungkin sebagai muatan lokal atau ekstra kurikulum. Bahasa Inggris, secara pasti mulai diajarkan secara resmi dan terjadwal mulai dari SLTP. Sedangkan Bahasa asing lainnya seperti Jerman, Prancis, Belanda, menurut hemat penulis, tercantum di tingkat lanjutan atas SMU dan yang sederajat. Bahasa Jepang sendiri lebih terfokus pada instansi pendidikan nonformal/kursus. Bahasa asing yang paling khusus adalah bahasa Arab. Bahasa Arab secara formal dicantumkan secara resmi dan diajarkan dengan mendapat porsi mayoritas di lembaga pendidikan bernuansa Arab dan agama Islam yang dikenal sebagai Madrasah – mulai dari Ibtidaiyah, Tsanawiyah, Aliyah, dan sampai perguruan tingginya (IAIN). Di Madrasah, bahasa Arab diperlakukan sebagai bahasa asing pertama dan bahasa Inggris sebagai bahasa asing ke dua. Penempatan bahasa Arab sebagai bahasa asing utama di Madrasah sudah sangat logis mengingat perannya—menurut asumsi penulis—sebagai bahasa instruksional di kelas. Materi ajar di lembaga ini, selain yang sifatnya pelajaran umum, bersentuhan dengan bahasa Arab. Tentu tidak relevan jika materi ajar disampaikan dengan bahasa daerah atau bahasa Indonesia saja. Juga sangat tidak masuk akal sehat, misalnya, kalau Nahwu-Sharf, Tafsir, atau Hadits diajarkan dengan bahasa Inggris. Agama Islam adalah agama yang dikembangkan dengan bahasa Arab. Madrasah identik dengan agama Islam. Jadi di mana agama Islam diajarkan di sana diperkenalkan bahasa Arab secara penuh. Terbersit kesan awal bahwa Madrasah adalah instansi yang menampung para pelajar yang berbahasa Arab setiap hari. Tidak ada orang berbicara dalam bahasa selain bahasa Arab di dalam kelas atau sekitar sekolah. Siapa saja yang berkunjung harus bersiap- siap untuk bingung dan salah tingkah karena dia akan kekurangan kata-kata untuk merespon siswa atau guru yang ada di Madrasah. Papan pelang di depan pintu depan Madrasah bisa menjadi shock terapi pertama bagi siapa saja yang Sribagus
|
51
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi menengok atau mau masuk bertamu. Dan berbagai kesan lainnya yang menambah kharisma Madrasah. Tulisan singkat ini akan mengulas bagaimana situasi di dalam Madrasah terutama yang berkaitan dengan bahasa Arab yang digunakan, kompetensi siswanya, dan strategi atau metode pengajarannya. B. PERMASALAHAN Sudah menjadi kosa kata bahasa Indionesia bahwa Madrasah identik dengan sekolah. Akan tetapi banyak di antara kita melanggar aturan EYD yang sudah ada dan menggunakan istilah yang kontaminatip menjadi “sekolah madrasah”. Madrasah adalah kosa kata bahasa Arab yang berarti sekolah. Madrasah adalah instansi yang bernuansa bahasa Arab dan agama Islam. Kesan angker bahawa Madrasah berisikan personil guru dan siswa yang berbicara dalam bahasa Arab ternyata tidak sesuai dengan namanya. Madrasah sama dengan sekolah yang di dalamnya ada jurusan bahasa Inggris, Jerman dan lain-lain. Bahawa di dalamnya diajarkan bahasa Arab memang benar adanya. Akan tetapi tidak serta merta bahasa lain diabaikan. Justru ironisnya, menurut pengalaman penulis, tidak banyak para siswa dan guru yang berkomunikasi dalam bahasa Arab. Lain kulit lain pula isinya. Silabus boleh rinci, kurikulum boleh abadi, literatur boleh ekslusip, tetapi bahasa pengajaran ternyata bervariasi bebas dan bahasa Arab tidak menjadi media primadona. Dengan kata lain bahasa Arab di Madrasah masih belum bisa dikatakan sebagai identitas terdepan. Para siswa masih merasakan kesulitan mengekspresikan diri dalam bahasa Arab. Tidak ada greget gaung bahasa Arab. Kompetensi komunikatif siswa masih sangat rendah. Permasalah mendasar adalah pertama karena status bahasa Arab itu sendiri di tengah-tengah siswa adalah bahasa asing. Ke dua, system pengajaran yang diterapkan adalah Sistem “Learning” yang titik tekannya adalah mengajarkan siswa untuk mengetahui perihal bahasa Arab, bukan untuk mampu/terampil berkomunikasi dalam bahasa Arab. Permasalahan yang paling dominan adalah keterbatasan atau lebih tepat dikatakan tidak tersedianya input bahasa yang memadai. Terkait erat dengan input bahasa adalah minimnya fasilitas pendukung untuk belajar bahasa Arab. Alhasil para siswa maupun output Madrasah tidak mampu berkomunikasi dalam bahasa Arab. Perbedaan luaran dengan lulusan sekolah umum adalah mereka mengenal kata, bentukan kata, dan membaca kalimat yang tidak menggunakan harakah atau baris. Upaya penanggulangan mungkin ada tetapi masih dalam tarap yang belum memadai.
52
|
Kendala Dan Kendali Penguasaan Bahasa Asing Di Madrasah
Edisi ix, April 2013
C. PEMBAHASAN Ada sebuah ungkapan terkenal dalam bahasa Inggris berbunyi “Don’t judge the book by its cover”. Konteks pemakaian ungkapan ini adalah lebih kepada positive thinking ( tawaduk ) yang mengajarkan kita untuk tidak menilai sesuatu itu aneh/serem karena sisi luarnya tidak bagus. Buah durian, misalnya, sangat tidak bersahabat kesan luarnya - menghawatirkan dan butuh kecermatan ekstra untuk menjamahnya. Tetapi setelah dibelah, setiap orang akan menghampiri dan berhasrat mencicipinya. Perumpamaan atau ungkapan bahasa Inggris di atas berbanding terbalik dengan konteks kesan yang muncul kalau kita melihat atau mendengar Madrasah dimana segala aktivitas di dalamnnya dijalankan dengan media komunikasi bahasa Arab. Terlalu tinggi gaung awal yang kita rasakan terhadap sebuah nama. Lain di luar lain pula di dalam. Lain teori lain pula praktiknya. Di dalam Madrasah ternyata tidak semua personil siswa dan guru berkomunikasi dalam bahasa Arab. Yang mengagetkan adalah bahwa justru bahasa Arab itu sendiri paling minim frekuensi penggunaannya dibandingkan dengan bahasa Indonesia, bahasa daerah, dan bahkan tidak lebih digemari dari bahasa asing lainnya seperti bahasa Inggris. Tidak ada yang mesti dirisaukan dengan glamour merk yang bertatahkan bahasa Arab, misalnya. Paradoks ini menarik perhatian para pengajar dan pemerhati bahasa. Andaikan paradox ini dipertanyakan maka yang paling dulu terkena sorotan adalah gurunya walaupun secara jujur penulis ingin katakan bahwa kesalahan tidak fair ditujukan seratus persen kepada guru. Guru bisa saja berkelit bahwa ada sumber-sumber petaka lainnya yang memiliki andil menjegal siswa untuk memiliki kompetensi/ keterampilan yang memadai dalam bahasa Arab. Kesalahan bisa bersumber dari siswa sendiri. Penulis teringat apa yang disinggung Harmer (1991) bahwa kesusksesan belajar siwa adalah tanggung jawabnya sendiri walaupun peran guru tidak dapat diabaikan. “… much of the teacher’s work in the classroom concerns getting the level of challenge right: this involves the type of tasks set, the speed expected from the students, etc. Ultimately the students’ success or failure is in their own hands, but the teacher can influence the course of event in the students’ favour”. Agar kita tidak terperangkap debat kusir yang berujung pada mencari kambing hitam ada satu kata magis yang mendasar yang menurut penulis perlu dipahami sebelum uraian lebih detail beberapa keganjilan sebagai sumber masalah seperti di Sribagus
|
53
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi atas, dan kemungkinan solusinya. Yang pertama adalah pemahaman istilah bahasa asing. Istilah ini lazim didengar tetapi kadang-kadang masih mengecohkan. Secara sederhana bahasa asing dapat diartikan bahasa yang tidak/belum diketahui. Segala sesuatu yang tidak terditeksi lima indra secara lengkap oleh seseorang bisa dikatakan asing, aneh, ganjil, atau bahkan mungkin tidak ada. Ada benda asing, ada orang asing, ada mahluk asing, dan tak ketinggalan ada bahasa asing. Agus Mustafa (2004) mengistilahkan bahwa sesuatu yang belum dilihat/dialami berarti gaib. “Gaib berarti tidak terditeksi oleh panca indra”. … kita bisa mengambil kesimpulan bahwa yang disebut gaib itu bukanlah sesuatu yang mutlak tidak bisa diditeksi oleh seluruh manusia. Melainkan sesuatu yang tidak bisa diditeksi oleh sebagian orang pada masa tertentu saja. Agus Mustafa memberikan contoh beradasarkan Al Qur’an kisah tentang Maryam. Kejadian yang diceritakan Allah kepada Nabi Muhammad itu (Q.S. 3: 44) benar-benar terjadi pada zaman Maryam. Jadi tidaklah gaib buat orang-orang yang hidup bersama Maryam. Akan tetapi kejadian itu gaib buat Rasulullah dan umat pada zamannya”. Dan begitu pula dengan cerita nabi Nuh. Kembali ke awal permasalahan (asing), bahwa apabila bahasa sudah dikenal dilihat (dibaca), didengar, digunakan (berbicara dan menulis dengannya) sehingga menjadi akrab (familiar) maka ia tidak dikatakan asing lagi bagi pembelajarnya. Tetapi jika belum maka bahasa tersebut akan tetap asing (gaib). Berikutnya, bahasa asing dapat berarti bahasa yang tidak digunakan secara aktif sebagaimana halnya bahasa ibu dalam keperluan komunikasi. Bahasa asing dipelajari di negeri sendiri dengan tujuan untuk memahami teks, dan berkomunikasi dengan pemiliknya. Menurut Richards dkk (1992), definisinya adalah sebagai berikut: “Foreign language is a language which is not a native language in a country. A foreign language is usually studied either for communication with foreigners who speak the language, or for reading printed materials in the language”. Di Amerika bahasa asing identik dengan bahasa kedua (foreign language = second language). Tetapi di Inggris kedua istilah ini dipisahkan dengan penekanan tertentu. Bahasa asing diartikan sebagai berikut: “A foreign language is a language which is taught as a school subject but which is not used as a medium of instruction in schools nor as a language of communication within a country (e.g. in government, business, or industry).
54
|
Kendala Dan Kendali Penguasaan Bahasa Asing Di Madrasah
Edisi ix, April 2013
English is described as a foreign in France, Japan, China, etc”. (Richards, et al, 1992). Dari definisi di atas dapat disimpulkan bahawa bahasa asing adalah bahasa yang bukan bahasa ibu yang dipelajari di sekolah yang tidak digunakan secara formal untuk bahasa sehari hari. Dan siswa mempelajarinya di negeri/daerah sendiri, bukan di negeri asal bahasa asing tersebut. Andaikan bahasa asing tersebut dipelajari dan digunakan untuk berkomunikasi sehari hari dengan pemilik bahasa di negeri pemilik bahasa maka akan lain lagi istilah yang digunakan, dan itu di luar bahasan artikel ini. Ada makna implisit bahwa bukan hanya bahasa Inggris yang dinamakan bahasa asing – seperti yang selama ini dikenal dengan sebutan bahasa bule – tetapi semua bahasa selain bahasa ibu yang dipelajari sekedarnya dan tidak diaplikasikan sebagai bahasa yang aktip sehari hari untuk tujuan komunikasi di semua lokasi dan kondisi. Termasuk di dalamnya adalah bahasa tetangga kita dalam satu provinsi, atau antar pulau di kepulauan Indonesia. Bahasa Sasak bisa dikatakan sebagai bahasa asing untuk mereka yang bukan orang Sasak dan mempelajarinya di daerah mereka sendiri. Bahasa Jawa, Sunda, Bugis, Waropeng, Batak, adalah bahasa asing bagi orang Sasak jika dipelajari di tanah Sasak/Lombok. Bahasa Arab seperti yang dibicarakan dalam tulisan ini jelas berstatus bahasa asing bagi siswa dan kita semua yang berada di negeri di luar jazirah Arab. Penulis akui bahwa banyak di Indonesia orang mengerti bahasa Arab, tata bahasa Arab, bahkan sejarah Arab, hafal Qur’an dan Hadits yang berbahasa Arab. Akan tetapi bahasa Arab sendiri tetap merupakan bahasa asing karena tidak digunakan sebagai bahasa aktif sehari hari. Konsekuensi dari keterasingan pembelajar dengan bahasa yang dipelajari dan sebaliknya, menyebabkan bahasa asing manapun termasuk Arab, menjadi sulit. Karena siswa merasa kesulitan, mereka menjadi passip, malas, dan antipatif. Menurut penulis, prilaku siswa seperti itu tidak dapat disalahkan dan memang tidak fair jika kita hanya mencari-cari kesalahan. Yang perlu dicari adalah penyebab kemalasan/kesulitan, dan alternatif solusinya. Tulisan ini menyegarkan ingatan bahwa sebenarnya banyak solusi yang bisa diterapkan oleh para pengajar. Namun justru karena banyaknya, maka terjadi salah pilih yang berakibat salah pasang antara masalah dengan solusinya. Dalam tulisan ini penulis mengusulkan sebagian saja dari solusi yang banyak tersebut yang kira-kira paling cepat dan tepat. Tidak berarti bahwa yang lain tidak menjajikan hasil yang memadai tetapi penulis hanya menganggapnya terlalu teoritis dan butuh waktu ekstara dan lamban. Sribagus
|
55
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi 1. Alternatif Solusi a. Sinkronisasi Metode dengan Tujuan Penulis berani berspekulasi bahwa ada kalimat atau minimal kata-kata yang sama dalam kurikulum/deskripsi mata pelajaran bahasa asing di semua tingkat pendidikan – sekolah umum, kejuruan, di bawah payung Diknas maupun Depag, bahwa tujuan pengajaran bahasa (asing) adalah agar siswa memiliki keterampilan menggunakan bahasa tersebut secara aktif komunikatif . Tentunya yang namanya target belajar bahasa tidak sama dengan target belajar matematika. Oleh karena perbedaan target tersebut maka cara/metode untuk mencapainya tentu berbeda. Matematika, misalnya, yang terdiri dari rumus-rumus menghitung angka cukup dihafal dan diterapkan tanpa sentuhan bahasa atau kehadiran teman bicara. Analogi menghafal rumus matematika tidak akan bisa diterapkan untuk mempelajari dan memahami bahasa. Rumus matematika bersifat pasti atau eksak, sedangkan rumus bahasa bersifat adaptif atau eksepsional – bisa berubah sesuai fungsi dan kondisi pemakaian. Yang terjadi di Madrasah sampai saat ini adalah penerapan metode yang salah. Harus digarisbawahi sebelumnya bahwa metode tidak pernah salah. Dan sebenarnya tidak ada metode yang paling jelek maupun yang paling bagus. Yang bisa salah sehingga tidak memuaskan adalah penempatannya yang tidak proposional. Siswa di Madrash ditargetkan sampai kepada tujuan berkomunikasi dengan baik dan lancar tetapi mereka dibawa melewati jalur yang sunyi dan kebanyakan tutup mulut (tonguetied learning). Metode pengajaran bahasa asing di semua tingkat pendidikan di Indonesia relatif sama. Metode tersebut adalah metode tradisional. Metode ini adalah metode yang paling lama yang muncul dan tenggelam diterpa gelombang metode yang selama ini sudah bermunculan dengan nama-nama aneh. Inilah yang sebenarnya terjadi Di Madrasah, dimana pengajaran bahasa Arab dilaksanakan dengan metode tradisional berupa hafalan rumus-rumus bahasa yang dikenal dengan NahwuSharf ditambah dengan hafalan kosa kata. Keberhasilan pengajaran di Madrasah ditentukan oleh kemampuan siswa membuat kalimat-kalimat pendek yang gramatikal. Dalam istilah psikolinguistik yang diluncurkan oleh S.D Krashen (1983), cara belajar bahasa seperti ini disebut “Learning”. Learning hanya berhasil dilihat dari segi kompetensi bahasa (language competence), tetapi tidak dapat diandalkan untuk kemampuan pemerolehan bahasa (communicative competence). Tidak ada interaksi sebagai perwujudan sebuah komunikasi yang riil di kelas. Siswa cenderung belajar sendiri-sendiri dan kelas
56
|
Kendala Dan Kendali Penguasaan Bahasa Asing Di Madrasah
Edisi ix, April 2013
sepenuhnya di bawah kendali guru. Jadi, siswa hanya paham rumus bahasa dan tidak mampu mengaplikasikan rumus-rumus tersebut menjadi rangkaian bahasa yang sesuai menurut fungsinya. Dengan kata lain, metodenya sudah benar, tetapi tidak diarahkan untuk sasaran yang semestinya sehingga tujuan seperti yang ada di kurikulum tidak pernah tercapai. Seyogyanya, kelas harus menjadi milik siswa (student-centered) sehingga mereka leluasa berekspresi lebih dari sekedar membuat kalimat-kalimat bahasa Arab yang lepas konteks. “… As EFL teachers we attempt to develop communicative competence in our students by providing them with creative opportunities for meaningful exchange of language. In a communicative, student – centered classroom, students should be provided with authentic language materials and should be engaged in a meaningful interchange of language beyond the word and sentence level” (Naiman, 1994 dalam Sribagus, 2003). Kemampuan seseorang – siswa di Madrasah- berbahasa Arab akan dinilai komunikatif atau diakui bagus bila dilihat dari performansi verbal terutama bahasa lisan karena jati diri yang paling cepat terditeksi adalah kemampuan berbahasa secara nyata. Fakta berapa kitab Nahwu-Sharf yang dihafal siswa tidak akan pernah dipermasalahkan oleh penilai bahasa lisan. (speaking) Tidak juga akan dipertanyakan berapa kalimat dengan fiil mudhareq yang dapat diubahnya menjadi fiil madhi. Tidak juga akan ditanyakan mengapa kata “fiima” di ayat 97 surat Annisa’ dan ayat 43 surat Annazi’at tidak ditulis dengan huruf alif berdiri di akhirnya, atau ayat 35 surat Annaml kata “bima” ditulis biasa saja tanpa alif, dan sebagainya. Seseorang akan dikatakan “hebat” bahasa Inggrisnya kalau sudah didengar menggunakannya. Yang bisa diukur adalah yang nampak atau nyata. Seseorang akan memberikan penilaian hebat berdasarkan apa yang disaksikan atau didengarnya. Sedangkan ilmu seseorang di dalam otak tak pernah dipedulikan. Tidak ada gunanya mengaku sebagai ahli bahasa kalau tidak mampu berbahasa. Tidak ada orang yang akan mengakui seseorang mampu berbahasa jika dia tidak menyaksikan alat ukurnya yaitu bahasa secara nyata didengar atau diperhatikan” (Sribagus, 2009). Demikian juga dengan bahasa Arab. Savignon (1972) yang dikutip Ommagio ( 1986) mengatakan, “Only performance is observable, however, and it is only through performance that competence can be developed, maintained, and evaluated”. Kata “mampu” dalam pembelajaran bahasa dapat berarti sekedar mengutarakan atau menulis kalimat yang tersusun rapi dengan mengikuti kaedah sintaksis lepas konteks. Misalnya: Siswa dapat membuat kalimat Ana azhabu ila almadrasati kulla Sribagus
|
57
shobahin. Atau nahnu nal’abu bil kurrati kulla yaumin. Inilah contoh mampu yang dihasilkan via Learning. Akan tetapi jika siswa ditugaskan untuk memberikan sambutan singkat di sebuah pesta yang dihadiri pak Bupati, dan pada saat itu ada suasana tidak nyaman seperti acara telat dimulai karena kesalahan tehnis, maka siswa tadi akan kebingungan. Rumus-rumus yang sudah dihafal hilang ditelan sendiri, kosa katapun satu persatu terlupakan. Dapat disimpulkan bahwa siswa tadi mampu pada tataran gramatikal tetapi tidak mampu untuk tataran wacana (discourse ) dimana bukan gramatika dan kosa kata saja yang diandalkan tetapi lebih pada fungsi bahasa. Dengan Learning, kemampuan siswa di Madrasah memang tidak perlu diragukan. Mereka hafal istilah-istilah yang diajarkan. Mereka dapat dengan lancar melantunkan perubahan sebuah kata menjadi 14 lebih (tashrif). Juga mereka memiliki kemampuan cukup untuk menulis kalimat bahasa Arab yang gramatikal. Akan tetapi mereka tidak bisa menggunakannya di tempatnya masing-masing secara nyata. Di sini kembali penulis menawarkan bahwa ada perbedaan falsafah antara mengerti dan mampu. Ibarat kita memiliki senjata yang cukup tetapi tidak mampu kita gunakan untuk menghadapi musuh. Wilkins (1972) menegaskan betapa pentingnya kemampuan menggunakan bahasa lebih dari sekedar mengerti saja: “ However fluent one’s mastery of a language – fluent in the sense of the ease with which grammatically acceptable utterances can be constructed and produced – it will serve as nothing if one cannot use it to achieve the desired communication effects. Language teaching, therefore must be concerned with effective communication”. Sinyal lebih tegas juga disampaikan oleh Hymes (1970) dalam Sribagus (2009) sebagai berikut: “… the ability to manipulate the structure of the language correctly is only a part of what is involved in learning a language. There is a “something else” that needs to be learnt and this “something else” involves the ability to be appropriate, to show the right thing to say at the right time. There are rules of use without which the rules of grammar would be useless”. Kemampuan seperti yang dimaksud Hymes di atas tidak dimiliki oleh siswa seperti pada contoh di atas. Bahwa kemampuan menyusun kalimat dengan posisi fiil, fail, maf ’ul, baris huruf di awal, tengah, dan akhir pasti benar, tetapi secara normatif apa yang harus dikatakannya kepada tamu (Bupati), dalam suasana resmi seperti pesta, pemilihan ungkapan yang benar, tidak dimiliki sama sekali.
Mungkin kompetensi komunikatif yang dituntut oleh Hymes di atas masih terlalu jauh walaupun idealnya harus begitu. Sebenarnya tuntutan yang diharapkan selama belajar di Madrasah adalah kemampuan mengekspresikan diri seperti berdebat dengan teman-temannya, mengajukan pendapat, memberikan argument, bercerita apa saja, memberikan sebuah petunjuk jalan bagi seseorang, mendiskripsikan sesuatu secara gamblang, meminta penjelasan/informasi pada seseorang, dan lain sebagainya. Kompetensi ini masih belum dijadikan sasaran keberhasilan berbahasa Arab di Madrasah. Dengan gambaran di atas sudah selayaknya tolok ukur keberhasilan siswa belajar bahasa Arab yang selama ini masih berupa kemampuan menghafal rumus bahasa, mengidentifikasi mana yang benar dan salah dalam perubahan bentukan kata, dan kemampuan merangkai kata menjadi kalimat-kalimat lepas, sudah tidak relevan lagi untuk digunakan. Biarkan pengetahuan kebahasaan itu sebagai koleksi pribadi dan sebagai alat Monitor sebatas keperluan saja. Orang Arab yang datang ke Indonesia, misalnya, tidak akan menghabiskan waktunya untuk menunggu kalimat gramatikal dari kita kalau diajak bicara. Yang dia butuhkan adalah meaning yang komunikatif. Begitu juga kalau kita bertandang ke Arab Saudi, di Airport tidak akan ada penjaga menyodorkan selembar test grammar bahasa Arab atau menanyakan contoh fiil ruba’i mazid, tasrif dari beberapa buah fiil , atau dhamir dan sebagainya. Disamping pengajaran dengan system Learning, yang menambah parahnya perolehan kemampuan berbahasa Arab adalah system pengkaplingan system bahasa menjadi beberapa komponen sehingga tidak terjadi integrasi sebagai satu keutuhan. Setiap komponen ditangani oleh guru yang berbeda-beda. Komponenkomponen tersebut ada yang frekuensi pemberiannya cukup, ada juga yang sangat kurang. Jika sudah begini maka siswa secara tidak sadar digeret pada satu atau dua bagian yang lebih unggul dan menyenangkan. Bagian yang lain yang kurang menyenangkan tidak menjadi milik siswa. Hasil akhir adalah kepincangan dalam berbahasa karena bahasa dimutilasi sedemikian rupa. “… they asserted that language is a whole (hence the name), that any attempt to fragment it into parts – whether these be grammatical patterns, vocabulary lists, or phonics families – destroys it. If language isn’t kept whole, it isn’ t language anymore” (Rigg 1991). Bukan hanya bahasa asing tetapi semua bahasa tidak bisa diajarkan sebagian saja dan beberapa bagian lainnya ditinggalkan. Demikian juga dengan bahasa Arab. Tidak mungkin misalnya, hari ini khusus untuk pembelajaran fiil mudhareq, dan dua hari berikutnya pengenalan huruf nashab dan huruf jar, dan lain lagi untuk minggu mendatang. Bahasa harus disajikan secara terintegrasi dengan penggunaan
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi kalimat-kalimat rasional (authentic) yang berhubungan dengan situasi kondisi yang ada dan bukan kalimat –kalimat mati yang diulang-ulang (drill). Perkenalkan siswa langsung dengan bahasa Arab karena dengan demikian akuisisi bahasa akan tercapai walaupun melalui proses relatif lama. Dengan cara ini lambat laun siswa akan memahami secara induktif rumus bahasa Arab itu sendiri. Keraguan harus dikalahkan, dan sebaliknya usaha mencoba harus digalakkan. Dengan memotivasi siswa untuk mencoba mereka akan tahu kapan mereka benar dan keliru. Dan perlu dicatat bahwa bahasa itu adalah keterampilan. Keterampilan tidak akan pernah dimiliki kalau tidak dipraktikkan. Keterampilan berbahasa tidak bisa diperoleh dengan “simsalabim”. Bahasa harus dicoba, harus dilatih terus menerus sampai mencapai titik sempurna. “Second language learning is not a set of easy steps that can be programmed in a quick do- it- yourself- kit. No one can tell you how to learn a foreign language without really trying” (Brown, 1980). b. Pengadaan Input Bahasa Input bahasa adalah bahasa itu sendiri. Input bahasa Arab adalah bahasa Arab. Sumber input bahasa yang paling dominan harus dimiliki siswa adalah bahasa yang didengar dan yang dibaca. Kedua sumber input ini secara otomatis akan merangsang keterampilan berbahasa yang dua lainnya. Dengan pengayaan input dari sumber yang didengar keterampilan siswa dalam berbicara akan muncul sendiri, dan dengan digalakkannya input membaca, keterampilan menulis siswa akan datang sendiri juga seiring perkembangan waktu dan pelatihan. Dibandingkan dengan bahasa asing seperti bahasa Inggris, bahasa Arab jauh lebih langka di Indonesia terutama di pelosok kepulauan seperti Lombok. Bahasa Inggris, misalnya banyak didengar di film, radio, di pinggir pantai, dan bahkan sangat mungkin di jalan karena banyak pemakai bahasa ini berkunjung ke Indonesia/ Lombok. Jadi secara umum lingkungan belajar dalam arti luas tidak menyediakan input bahasa yang dipelajari (bahasa Arab). Di Madrasah, sudah dipastikan tidak akan ada orang Arab yang berkunjung untuk didengar bahasanya oleh siswa. Guru-guru yang mengajar di Madrasah semuanya orang lokal yang kemampuan bahasa Arabnya diperoleh melalui Learning dan sangat terbatas. Di sisi lain Madrasah juga tidak memiliki sumber bacaan berbahasa Arab yang kontekstual. Kalaupun ada maka sebatas buku teks yang dibuat bukan oleh orang Arab di negeri Arab. Jadi ibarat burung yang sayap kiri kanannya lumpuh sehingga hanya bisa meloncat sejengkal tanpa mampu
60
|
Kendala Dan Kendali Penguasaan Bahasa Asing Di Madrasah
Edisi ix, April 2013
mengudara. Pendek kata, siswa tidak pernah mendengar dan membaca sumber bahasa Arab yang asli dan komunikatif. Usaha mengatasi kepincangan seperti ini tiada lain dengan mengkondisikan kelas dimana guru sebagai sumber input merekayasa sebuah setting berbahasa Arab. Dengan pernyataan yang ekstrim, seorang filosuf sekaligus ilmuan Jerman bernama Alexander Von Humboldt pernah mengatakan yang intinya adalah bahwa guru tidak perlu susah payah mengajarkan bahasa. Yang lebih penting adalah kemampuan menciptakan susasana supaya bahasa itu bisa muncul dengan sendirinya. Artinya kondisi akan membuat siswa termotivasi untuk berbicara. “A language cannot be taught. One can only create conditions for learning to take place” (CelceMurcia, 1991). Guru memainkan berbagai peran bersama dengan siswa. Juga guru mengembangkan permainan sehingga siswa terlibat secara emosional dan harus menggunakan bahasa Arab. Dibutuhkan kesabaran dan pengertian dalam menjalankan peran seperti ini sehingga para siswa terhindar dari rasa tersisihkan, takut, tegang, atau bosan. Sebuah pendekatan untuk menghidup-suburkan input dikenal dengan nama humanism. Para pakar humanism mengatakan bahwa: “the learners feelings are as important as their mental or cognitive abilities. If students feel hostile towards the subject of study, materials, or the teaching methods, they will be unlikely to achieve much success” (Harmer, 2001). Guru di kelas adalah sumber utama penyandang input bahasa. Guru dituntut mampu berperan sebagai teman di satu sisi dan sebagai pengawas (controller) di sisi lain yang memulai menebarkan bahasa Arab -(greeting) dengan bahasa Arab dan membuka kelas dengan bahasa Arab. Tidak perlu menanamkan rumus special untuk dicobakan pada hari tertentu. Suasana kelas bahasa Arab harus dimulai dengan bahasa Arab. Contoh dalam bahasa Inggris berikut yang disarankan Brown (2001) sangat tepat diterapkan dalam bahasa Arab. “… that genuine communication can take place from the very first day of a language class. … On one of the very first days of class, for example, students can be taught (stimulated?) to ask and respond to questions such as: what’s your name?, where do you live?, How old are you?, or what do you do? Komunikasi selanjutnya antara guru dan siswa dapat ditingkatkan. Untuk mengatasi keraguan seandainya siswa tidak menangkap apa yang disampaikan,
Sribagus
|
61
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi guru bisa mengiringi pembicaraannya dengan bahasa isyarat (body language), teacher talk atau kinesik dan paralinguistik, dan alat peraga. Alat peraga untuk mengajarkankan bahasa asing (Arab) idealnya harus yang otentik. Akan tetapi media buatan guru sendiri tidak kalah bermakna daripada yang asli. Tidak ada keharusan untuk menggunakan media yang modern atau mahal dalam mengajar, termasuk mengajarkan bahasa asing. Penulis sepakat dengan pendapat Dugan Laird yang disampaikannya sekitar 19 tahun silam sebelum alatalat canggih mulai merebak dan menggelisahkan para pengajar di sebagian Negara berkembang. Dia mengatakan: The best medium for a specific application is simply the least costly one that works” (Duglan Laird, 1984). Input bahasa selain yang diciptakan dan diperagakan langsung oleh guru atau melalui media kaset atau laboratorium (kalau ada), adalah input yang bersumber dari buku bacaan, majalah, surat kabar, poster dan sebagainya. Lingkungan sekolah/ kelas perlu diberi nuansa Arab seperti mading berbahasa Arab, famplet berbahasa Arab, pengumuman, atau tulisan apa saja di papan atau dinding. Sangat disayangkan bahwa referensi berbahasa Arab, terutama buku paket masih kurang menunjang. Kalaupun ada maka dapat dipastikan jumlah dan kualitasnya tidak mencukupi. Yang tersedia biasanya bukan produk asli Arab alias materi yang sudah dimodifikasi, lokal, dan sangat tergantung kebutuhan produsen dibandingkan kepentingan konsumen. Apa daya, tak ada rotan akarpun berguna. Sayangnya buku-buku seperti itu (komersil) memiliki efek negatif yang sangat potensial seperti yang dikatakan Richards dan Renandya sebagai berikut: “There are potential negative effects of commercial textbooks such as the following. (1) They may contain in authentic language. Textbooks sometimes present inauthentic language since texts, dialogues and other aspects of content tend to be specially written to incorporate teaching points and are often not representative of real language use. (2) They may not reflect students’ need. Since textbooks are often written for global market they often do not reflect the interest and needs of students and hence may require adaptation. (3) They are expensive. Commercial textbooks represent a financial burden (Richards and Renandya, (2005) Jauh sebelumnya perihal senada mengenai kelemahan buku teks yang digunakan sebagai materi atau referensi pengajaran bahasa asing di sekolah pernah disinggung oleh Crooks dan Chaudron. “… we would urge teachers to remember that most textbooks are the product of the pressures of the market, as imperfectly interpreted through the
62
|
Kendala Dan Kendali Penguasaan Bahasa Asing Di Madrasah
Edisi ix, April 2013
interaction and publisher and material writer. …this is why texts (in a given period of time) are often very much alike; market pressures, however, are not the same as educational pressures. What sells may not be what works. What works may not necessarily have a format which book publishing companies can utilize or produce” (Crooks and Chaudron in Murcia, 1991). Belajar dari keluhan seperti di atas guru di Madrasah pasti lebih tertekan lagi karena bahasa Arab adalah bahasa asing ke dua setelah bahasa Inggris. Materi otentik bahasa Arab pasti lebih sulit didapat atau dibuat. Satu satunya terobosan adalah guru membuat sendiri dengan mengambil tema yang relevan dengan kondisi sekitar siswa, berita aktual dari media cetak yang diterjemahkan. Kalau tidak maka akan terjebak lagi dengan buku paket yang sudash usang dan penggandaannya akan menjadi beban siswa. D. KESIMPULAN Bahasa Arab di Madrasah masih dirasakan sulit oleh para siswa dan belum mencerminkan jati diri mereka atau Madrasah. Anggapan bahwa siswa Madrasah adalah mereka yang sudah mampu berkomunikasi dalam bahasa Arab secara lugas ternyata meleset. Mereka lebih menyenangi bahasa asing lainnya seperti bahasa Inggris, dan bahasa pergaulan mereka di sekolah lebih dominan dalam bahasa daerah atau bahasa Indonesia. Penyebab utama yang sulit dihindari adalah system pengajaran yang diterapkan mengikuti cara tradisional. Metode pengajaran dengan tujuan pembelajaran seperti tercantum dalam kurikulum tidak berkesinambungan. Dengan metode Learning, siswa dibentuk menjadi penghafal rumus bahasa sehingga mereka tidak pernah mampu menggunakan bahasa sesuai fungsi bahasa bagi manusia pada umumnya. Usaha yang perlu dicobakan untuk jalan keluar dari kebisuan berbahasa secara komunikatif adalah dengan mengubah cara belajar mengajar, penciptaan input bahasa Arab di lingkungan madrasah (di luar dan di dalam kelas) oleh guru sebagai inisiator, siswa dilibatkan dalam berbagai model aktivitas dimana mereka harus menggunakan bahasa Arab. Pengenalan bahasa Arab diusahakan sedini mungkin tanpa perlu menunggu seberapa banyak kosa kata dan rumus yang telah diajarkan. Dan yang berikutnya adalah pengadaan sumber baca yang berbahasa Arab. Dengan demikian bahasa Arab di Madrasah tidak akan diraskan terlalu sulit oleh para siswa. Bahasa Arab bisa menjadi nyata di tengah –tengah siswa, dan tidak gaib.
Sribagus
|
63
Society, Jurnal Jurusan Pendidikan IPS Ekonomi DAFTAR PUSTAKA Brown, H. D., (1980), Principles of Language Learning and Teaching, London, PrenticeHall. Brown, H.D., (2001), Teaching by Principles, New York, Longman. Celce-Murcia, M., (1991), Teaching English as a Second or Foreign Language, Boston, Heinle and Heile Publishers Harmer, J., (1991), The Practice of Language Teaching, London, Longman. Harmer, J., (2001), English Language Teaching, England, Longman. Krashen, S.D., 91983), The Natural Approach,New York, Pergamon Press. Laird, Dugan, (1984), Approaches to Training and Development,California, AddisonWesley Publishing Company. Mustafa, Agus, (2004), Ternyata Akhirat Tidak Kekal, Siduarjo Indonesia, Padma Yayasan Padang Mahsyar Omaggio, Alice C., (1986), Teaching Language in Context, USA, Heinle and Heinle Publishers. Richards, J. C., et al (1992) Dictionary of Language teaching And Applied Linguistics, England, Longman. Richards, J.C., and W. A. Renandya (2005), Methodology in Language Teaching, New York, Cambridge university Press Rigg, Pat, (1991), “Whiole language in TESOL”, TESOL Quarterly, vol.25, no. 3, pp. 521 - 42 Sribagus, (2003), “Mendekati Kompetensi Komunikatif ”, Jurnal Kependidikan LPPM IKIP Mataram, vol.2 no.1 Sribagus, (2009), “Pembelajaran Bahasa Inggris di Perguruan Tinggi: Kajian masalah dan alternative solusi”, Jurnal Kependidikan LPPM IKIP Mataram, vol. 8, no.1 Wilkins, D. A., (1972), Linguistics in Language Teaching, Great Britain, Edward Arnold.
64
|
Kendala Dan Kendali Penguasaan Bahasa Asing Di Madrasah