BAB II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Diabetes Mellitus Diabetes mellitus (DM) adalah keadaan dimana kadar gula dalam darah meningkat dan di dalam urin/kencing ditemukan gula. Diabetes mellitus (DM) mendapat gelar “The silent killer” karena komplikasi yang dapat ditimbulkannya dan hingga kini masih belum tuntas penangannya. Komplikasi akut yang disebabkan oleh terganggunya proses metabolisme karbohidrat sehingga menyebabkan kadar gula darah tinggi atau sangat rendah dan dapat timbul koma diabetikum. Apabila tidak segera ditolong dapat menyebabkan kematian. Kompliksi kronis disebabkan timbulnya kerusakan pembuluh darah besar dan kecil pada organ tubuh, anafilaksis dan rontoknya bulu rambut (Dalimunthe, 2004). Disebut diabetes mellitus apabila kadar glukosa darah lebih dari 200 mg/dl (Misnadiarly, 2006). Diabetes mellitus atau disebut juga penyakit kencing manis merupakan keadaan patologis yang sering terjadi akibat defisiensi insulin. 2.1.1 Klasifikasi Diabetes Mellitus Secara umum diabetes mellitus dibagi menjadi 3 tipe, yaitu: 1. Diabetes Mellitus Tipe I Diabetes mellitus tipe 1 disebut juga sebagai insulin dependent diabetes mellitus (IDDM). Pada tipe 1, tubuh penderita sama sekali tidak menghasilkan insulin karena pada jenis ini timbul reaksi autoimun yang disebabkan adanya peradangan pada sel beta pankreas sehingga menyebabkan timbulnya antibodi terhadap sel β yang disebut dengan islet cell antibodi (ICA). Reaksi antigen (sel beta) dengan antibodi (ICA) yang ditimbulkannya menyebabkan hancurnya sel β (Soegondo, 2006). Kerusakan sel beta
pankreas juga dapat disebabkan oleh virus tertentu atau toksin lingkungan yang memicu respon antibodi yang tidak normal dan juga merusak sel-sel pankreas (Mealey, 2006). Diabetes tipe 1 merupakan bentuk diabetes parah yang berhubungan dengan terjadinya ketosis apabila tidak dilakukan pengobatan, biasanya terjadi pada anak remaja dan kadang-kadang juga terjadi pada orang dewasa. Gangguan katabolisme yang disebabkan tidak adanya insulin dalam sirkulasi, glukagon plasma meningkat dan sel-sel β pankreas gagal merespon stimulus insulinogenik (Katzung, 2002). 2. Diabetes Mellitus Tipe II Diabetes mellitus tipe II dikenal sebagai non-insulin dependent diabetes mellitus (NIDDM) (Brown, 2002). Pada tipe ini pankreas mempunyai beberapa sel β yang menyebabkan kadar insulin bervariasi, kadar ini cukup untuk memelihara homeostasis glukosa. Diabetes tipe II dihubungkan dengan resistensi organ target yang membatasi respon insulin endogen dan eksogen. Pada beberapa kasus disebabkan oleh penurunan jumlah atau mutasi reseptor insulin (Mycek et al., 2001). Dengan demikian keadaan ini sama dengan diabetes mellitus tipe I. Perbedaannya adalah diabetes mellitus tipe II disamping kadar glukosa tinggi, jumlah kadar insulin tinggi atau normal. Keadaan ini disebut resisten insulin. Faktor-faktor yang menyebabkan resistensi insulin adalah obesitas, diet tinggi dan diet rendah karbohidrat, kurang gerak badan, dan faktor keturunan (Soegondo, 2006). 3. Diabetes Gestasional Diabetes gestasional adalah diabetes yang terjadi pada saat kehamilan, artinya kondisi diabetes atau intoleransi glukosa yang didapat selama kehamilan biasanya pada trismester dua atau tiga (Dharmayudha, 2011). Pada tipe ini berhubungan dengan meningkatnya komplikasi perinatal (di sekitar waktu melahirkan) dan sang ibu memiliki resiko
menderita penyakit diabetes mellitus yang lebih besar dalam jangka waktu 5 sampai 10 tahun setelah melahirkan (Woodley dan Wheland, 1995).
2.2 Streptozotocin (STZ) Streptozotocin (STZ) adalah derivat N-mehyl-N-nitrosoureido D-glucosamine yang bersifat toksik terhadap sel β pankreas dan berfungsi untuk mensekresi insulin, sehingga banyak digunakan untuk menginduksi diabetes pada hewan-hewan percobaan (Pathak et al., 2008). Streptozotocin dapat digunakan untuk menginduksi DM tipe I dan tipe II yang diaplikasikan pada saat hewan percobaan masih pada tahap neonatal. Setelah bermur 8-10 minggu, tikus yang diinjeksi dengan streptozotocin pada saat neonatal tersebut akan menunjukkan gejala hiperglikemia ringan dan hilangnya sensitivitas sel β terhadap glukosa (Szkudelski, 2001). Mekanisme kerja yang diitimbulkan dari streptozotocin bersifat toksik terhadap sel β pankreas, struktur streptozotocin sangat mirip dengan molekul glukosa sehingga akan ditranspor ke dalam sel oleh glucose transporter 2 (GLUT2) (Schnedl et al.,1994). Sedangkan GLUT2 itu sendiri akan memperantarai sel β dalam mengambil glukosa dalam darah, sehingga streptozotocin akan ikut diambil melalui proses pengambilan glukosa tersebut (Szkudelski, 2001). Pada rodensia GLUT2 diekspresikan dalam sel β pankreas, ginjal dan hati, sehingga dengan menurunnya ekspresi dari GLUT2 ini akan mencegah aksi streptozotocin dalam menimbulkan diabetes. Berbeda dengan GLUT2, GLUT1 yang merupakan isoform dari GLUT2, mempunyai afinitas yang rendah bahkan tidak ada sama sekali terhadap streptozotocin (sebagai substansi pentranspor), sehingga GLUT1 yang banyak diekspresikan pada sel β pankreas manusia bersifat resisten terhadap sifat toksik yang ditimbulkan oleh streptozotocin (Thulesen et al., 1997). Mekanisme intraseluler dari streptozotocin menimbulkan fragmentasi DNA pada sel β pankreas melalui pembentukan free alkylatig radicals yang akan menyebabkan turunnya
nukleotida seluler dan komponen-komponennya seperti NAD+ sehingga terjadi nekrosis sel β pankreas (Szkudelski, 2001). Dengan menggunakan terapi insulin, ekspresi GLUT2 dapat berkurang dan kebutuhan akan NAD+ juga akan menurun karena berkurangnya aktivitas sel β (Szkudelski 2001). Tingkat keparahan dan persistensi yang ditimbulkan oleh agen streptozotocin pada tikus (rodensia) sangat tergantung dari dosis dan jalur pemberiannya (Thulesen et al., 1997). Selain itu, strain dari tikus (hewan percobaan) juga mempunyai respon yang berbeda-beda terhadap pemberian streptozotocin dalam dosis tertentu (Abeeleh et al., 2009). Menurut Szkudelski (2001), injeksi streptozotocin secara intravena dengan dosis 40-60 mg/kg berat badan, banyak digunakan untuk menginduksi diabetes mellitus tipe-1, selain itu dapat juga digunakan dosis yang sama atau bahkan lebih secara intraperitoneal untuk menginduksi diabetes tipe 2. Pemberian streptozotocin dengan dosis kurang dari 40 mg/kg BB, tidak efektif untuk menginduksi diabetes. Berdasakan penelitian yang dilakukan oleh Thulesen (1997), dosis injeksi streptozotocin sebanyak 45 mg/kg BB, akan menyebabkan diabetes sementara atau singkat dan dapat kembali normal secara spontan, sedangkan dosis yang tinggi 60 mg/kg BB, akan menginduksi diabetes yang permanen pada hewan percobaan. Faktor lain yang mempengaruhi sensitivitas streptozotocin dalam menginduksi diabetes adalah strain dari tikus atau hewan percoban yang digunakan (Abeeleh et al., 2009). Menurut penelitian yang dilakukan oleh Abeeleh (2009), jenis tikus Sprague Dawley (SD) lebih peka terhadap injeksi streptozotocin secara intraperitoneal, dibandingkan dengan tikus jenis nude (nude rats) dan pada tikus Sprague Dawley (SD) menunjukkan konsentrasi glukosa yang tinggi pasca injeksi serta tingkat mortalitas yang tinggi dalam waktu yang singkat, sedangkan pada nude rats tidak menunjukkan peningkatan glukosa darah yang signifikan pasca injeksi streptozotocin dan membutuhkan dosis injeksi ulang untuk meningkatkan kadar glukosa darahnya jika gejala-gejala diabetes seperti: hiperglikemia, hipoinsulinemia polifagia, poliuria dan polidipsi
yang disertai dengan penurunan berat badan tampak dalam waktu 1 minggu hingga 10 hari, maka hal ini mengindikasikan kerusakan dari pulau langerhans pankreas yang bersifat irreversible. Streptozotocin dapat merusak DNA sel-sel pulau pankreas dan menstimulasi sintesis poli nuklear (ADP-ribosa), NAD, dan NAP yang kemudian akan menghambat atau menghalangi sintesis proinsulin dan akhirnya menyebabkan diabetes. Streptozotocin juga dapat mengaktifkan jenis-jenis oksigen seperti superoksida, hydrogen peroksida, dan radikal bebas. Pemberian injeksi streptozotocin 100 mg/kg secara intraperitonial (IP) kepada penderita DM-2, dapat menyebabkan hiperglikemia. Namun pemberian streptozotocin pada dosis rendah, yaitu 40 mg/kg selama 5 hari mampu menyebabkan hiperglikemia yang signifikan pada mingu ke-1. Hewan-hewan mengalami diabetes pada minggu ke-2 dan tetap dalam keadaan diabetes sampai minggu ke-5. Menurut Zhang (2008), pemberian injeksi 2 kali dengan dosis 30 mg/kg dengan interval mingguan akan memberikan efek diabetes mellitus tipe 2. Injeksi dengan dosis 40 mg/kg menunjukkan hasil terinduksinya mencit diabetes melitus tipe 2, tetapi akan mengalami tipe 1 untuk beberapa minggu. Streptozotocin pada hewan coba dapat menginduksi perkembangan hiperglikemia yang lambat, kemudian diikuti dengan penyusupan lymphocytic pulau pankreas lalu menyebar ke seluruh duktus pankreas. Selanjutnya limfosit akan menghancurkan sel beta dalam islet pankreas dan akhirnya menyempurnakan terjadinya diabetes mellitus (Wilson et al., 1998).
2.3 Buah Pare
Tanaman pare tergolong dalam bangsa Cucurbitaceae, jenis Momordica charantia L. Penyebarannya meliputi Indonesia, India dan Asia Teggara (Williams and Ng, 1971). Berikut adalah klasifikasi dari buah pare : Ordo
: Curcubitales
Kelas
: Magnoliophyta
Famili
: Cucurbitaceae
Genus
: Momordica
Spesies
: Momordica charantia L.
Dalam buah pare yang berguna dalam penurunan gula darah adalah : karantin, momordisin dan polyeptide-P insulin (polipeptida yang mirip insulin) yang memiliki komponen yang menyerupai sulfonylurea (obat antidiabetes paling tua dan banyak dipakai) (Pratama, 2011). Kandungan kimia buah pare yang berkhasiat dalam pengobatan adalah : saponin, flavonoid, polifenol, alkaloid, triterpenoid, momordisin, glikosida, cucurbitacin, charantin, asam butirat, asam palmitat, asam linoleat dan asam stearat. Flavonoid berfungsi sebagai antimikroba dan triterpenoid sebagai insektisida dan mempengaruhi sistem saraf (Subahar, 2004). Pare (Momordica charantia) juga merupakan salah satu jenis bahan nabati yang potensial untuk dikembangkan karena memiliki nilai ekonomi yang tinggi sebagai tanaman pangan dan bahan obat tradisional (Siska, 2007). Fakta ini menjadi alasan mengapa obat tradisional menjadi pilihan favorit yang dapat dijadikan solusi alternatif untuk pengobatan karena harganya murah, mudah terjangkau dan relatif aman (Mambo, 2007).
2.4 N-heksana N-heksana adalah sebuah senyawa hidrokarbon alkana dengan rumus kimia C6H14 (isomer utama n-heksana memiliki rumus C3(CH2)4CH3). Awalan heks- merujuk pada enam
karbon atom yang terdapat pada heksana dan akhiran –ana berasal dari alkana yang merujuk pada ikatan tunggal yang menghubungkan atom-atom karbon tersebut. Dalam keadaan standar senyawa ini merupakan cairan tak berwarna yang tidak larut dalam air. N-heksana merupakan jenis pelarut non-polar (Kastianti dan Amalia, 2008). N-heksana merupakan salah satu pelarut yang baik untuk mengekstraksi senyawasenyawa yang bersifat non-polar karena memiliki beberapa keunggulan yang diantaranya adalah bersifat stabil, mudah menguap, selektif, serta menghasilkan jumlah kecil lilin, albumin dan zat warna (Guenther, 1987). Adapun karakteristik dari n-heksana antara lain: Nama lain
: caproly hydride, hexyl hydride
Rumus molekul
: C3(CH2)4CH3
Berat molekul
: 86,17 kg/mol
Warna
: berwarna
Titik leleh
: -94C
Titik didih
: 69 (P = 1 atm)
Densitas
: 0,6548 gr/ml
Kelarutan dalam 100 bagian air
: 0,014 (15C)
N-heksana juga dapat digunakan untuk mengekstrasi minyak nilam yang dapat digunakan sebagai minyak atsiri (Jos, 2004). Selain itu, n-heksana dapat digunakan sebagai solven untuk mengekstrasi karotenoid dari crude palm oil (CPO) (Firdiana et al., 2003). Solven campuran antara n-heksana dan benzene dapat digunakan untuk mengekstraksi minyak dari kopra (Kustanti dan Anjianni, 2000). Sedangkan solven campuran antara nheksana dan isopropanol dapat digunakan dalam penuruan kadar limbah sintetis asam fosfat dengan ekstraksi cair-cair (Mahmudi, 1997).
2.5 Kerangka Konsep Diabetik eksperimental adalah penambahan kadar glukosa darah akibat injeksi obatobatan. Kondisi ini yang memicu kondisi diabetes mellitus (DM) sesungguhnya. Diabetes mellitus (DM) adalah penyakit metabolisme yang ditandai dengan keadaan hiperglikemia (peningkatan kadar glukosa darah). Peningkatan kadar glukosa darah bervariasi terutama setelah makan. Hal ini akibat dari tubuh tidak melepaskan atau menggunakan insulin secara cukup (Suyono, 1996). Peningkatan kadar glukosa darah ini dikarenakan pemberian streptozotocin (STZ) yang merupakan derivat N-mehyl-N-nitrosoureido D-glucosamine yang bersifat toksik terhadap sel β pankreas dan berfungsi untuk mensekresi insulin. Pemindahan gugus metil dari STZ menyebabkan kerusakan DNA. Kerusakan DNA akibat STZ dapat mengaktivasi poly (ADP-ribose) polymerase (PARP) yang kemudian mengakibatkan penekanan NAD+ seluler, selanjutnya menimbulkan penurunan jumlah ATP, dan akhirnya terjadi nekrosis sel β pankreas. Penggunaan obat tradisional secara umum dinilai lebih aman dari pada penggunaan obat modern. Hal ini disebabkan obat tradisional memiliki efek samping yang relatif lebih sedikit dari pada obat modern. Contoh tanaman yang digunakan sebagai tanaman obat adalah buah pare (Momordica charantia). Bagian tumbuhan ini yang digunakan adalah daging buah yang berpotensi dapat menurunkan kadar glukosa darah (Utami, 2004) karena mengandung saponin, flavonoid, triterfenoid (Suartha et al., 2013), polifenol (antioksidan kuat), serta glikosida cucurbitacin, momordicin dan charantin (Dajiyuan, 2007). Penggunaan ekstrak kasar (ekstrak etanol) telah terbukti menurunkan kadar glukosa darah tikus diabetik eksperimental (Suartha et al., 2013). Pemurnian kandung senyawa suatu bahan dapat dilakukan dengan partisi menggunakan pelarut dengan sifat kepolaran yang berbeda yaitu non polar, semi polar, dan polar. Salah satu larutan non polar yang umum digunakan adalah larutan n-heksana.
Diabetik Eksperimental
Injeksi Obat (STZ)
Memicu Kondisi DM
Obat Modern (Mahal, Efek samping)
Obat Tradisional (Aman, Murah)
Buah Pare (Isolasi Bahan Aktif)
Ekstrak Etanol (Kasar)
Potensi Baik
Partisi dengan N-heksana
Partisi sebagai penurun kadar gula darah tikus diabetik eksperimental Gambar 1. Kerangka Konsep
2.6 Hipotesis Penelitian Berdasarkan kerangka konsep diatas, dapat dirumuskan hipotesis bahwa partisi nheksana buah pare berpengaruh terhadap penurunan kadar glukosa darah tikus putih (Rattus norvegicus) jantan diabetik eksperimental.