BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Dalam suatu perjanjian kredit, pihak kreditor perlu untuk mengantisipasi kemungkinan pihak debitor tidak dapat melunasi utang-utangnya sehingga ada kepastian dari pihak debitor, misalnya bank dalam memberikan kredit atau utang selalu mensyaratkan adanya jaminan. Hal ini diperlukan pihak kreditor untuk mencegah atau mengurangi resiko kerugian yang mungkin akan dialami kreditor.1 Jaminan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata). KUH Perdata merumuskan tentang jaminan secara umum yang diatur dalam Pasal 1131 KUH Perdata, yaitu segala kebendaan seseorang baik yang bergerak maupun yang tidak bergerak, baik yang sudah ada maupun yang baru akan ada di kemudian hari menjadi tanggungan untuk segala perikatan perseorangan. Harta debitor yang sudah ada dan yang akan ada dikemudian hari digunakan sebagai jaminan atas segala jaminan atas pembayaran seluruh utangutangnya.2
1
http:\\ www.hukumonline.com/jurnal akses 10 oktober 2009, 11 : 29 Sultan Remy Sjahdeini, Hukum Kepailitan Memahami Faillsementsverordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, Jakarta, Grafiti, 2002, hlm. 7. 2
Benda-benda yang dijadikan jaminan oleh debitor dijual dan hasilnya digunakan untuk melunasi utang-utang, hasil dari penjualan benda-benda jaminan dibagi sesuai dengan besar keclilnya piutang masing-masing kreditor, kecuali ditentukan lain oleh undang-undang karena memiliki alasan-alasan yang sah untuk didahulukan daripada kreditor-kreditor lainya.3 Kreditor yang jumlahnya lebih dari satu terhadap seorang debitor yang sama, dan untuk utang yang sama, akan menjadi sangat dirugikan jika harta kekayaan yang dimiliki debitor tersebut hanya sedikit jumlahnya dan tidak cukup untuk melunasi seluruh utang-utangnya. Dalam keadaaan tersebut, para kreditor akan saling berbagi atas harta kekayaan debitor yang ada berdasarkan pertimbangan masing-masing jumlah piutangnya, kecuali ada alasan-alasan yang sah untuk didahulukan.4 Jaminan dapat dibedakan menjadi dua, yaitu jaminan kebendaan, dan jaminan perseorangan. Pada jaminan kebendaan, debitor yang berutang memberi jaminan benda kepada kreditor, sebagai jaminan atas utang yang dipinjam debitor.5 Jadi apabila debitor tidak membayar utangnya pada saat jatuh tempo maka pihak kreditor dapat menuntut eksekusi atas benda yang telah dijaminkan
3 4 5
hlm. 315.
Ibid, hlm.8. Ibid M. Yahya Harahap, Segi-Segi Hukum Perjanjian, Bandung, Alumni, 1982,
oleh debitor tersebut untuk melunasi utangnya. Sedangkan dalam jaminan perorangan atau personal guarantee ini jaminan yang diberikan oleh debitor bukan berupa benda melainkan berupa pernyataan oleh seorang pihak ketiga (penanggung atau guarantor) yang tak mempunyai kepentingan apa-apa baik terhadap debitor maupun terhadap kreditor, bahwa debitor dapat dipercaya akan melaksanakan kewajiban yang diperjanjikan dengan syarat bahwa apabila debitor tidak melaksanakan kewajibannya maka pihak ketiga itu bersedia untuk melaksanakan kewajiban debitor tersebut.6 Dengan adanya jaminan perorangan maka pihak kreditor dapat menuntut kepada penanggung utang untuk membayar utang debitor bila debitor lalai atau tidak mampu untuk membayar hutangnya tersebut. Permasalahan yang sering terjadi adalah harta debitor tidak mencukupi untuk
membayar
utang-utang
terhadap
beberapa
kreditor.
Terhadap
permasalahan ini, penanggung utang memiliki hak istimewa sebagaimana diatur dalam Pasal 1831 KUH Perdata. Pasal tersebut
menyatakan bahwa si
penanggung tidaklah diwajibkan membayar kepada si berpiutang, selain si berutang lalai, sedangkan benda-benda si berutang ini harus terlebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya. Menurt J. Satrio, tanggung jawab borg atau penanggung, pada asasnya bersifat subsidair, yang pokok sebenarnya adalah
6
Ibid., hlm. 8-9.
kewajiban debitor utama terhadap kreditor, sedang borg baru berperan kalau debitor wanprestasi.7
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 dan Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, salah satu syarat untuk dapat dipailitkan adalah adanya seorang debitor. Pertanyaannya adalah adalah apakah seorang penanggung utang adalah debitor, sehingga kepadanya dapat dimohonkan pailit. Hal ini mengingat yang dapat dipailitkan hanyalah debitor, yaitu debitor yang mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih. KUH Perdata memberikan hak-hak istimewa kepada penanggung utang. Salah satu hak tersebut adalah hak kreditor menuntut lebih dahulu agar harta kekayaan debitor (prior exhaustion or remedies againts the debtor) disita dan dilelang terlebih dahulu untuk melunasi utang debitor kepada kreditornya, sebagaimana diatur dalam Pasal 1831 KUHPerdata. Dengan kata lain, hak ini mengatur bahwa apabila debitor wanpresasi maka hasil penjualan atas segala kekayaan debitor merupakan sumber pelunasan bagi utangnya. Namun demikian, Pasal 1832 KUH Perdata mengatur bahwa penanggung utang tidak dapat
7
J. Satrio. Hukum Jaminan, Hak-Hak Jaminan Pribadi Penanggungan (Borgtocht) dan Perikatan Tanggung-Menanggung, ctk. Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung, 2003, hlm. 113.
menggunakan haknya tersebut, apabila penanggung telah
melepaskan hak
istimewanya.8
Berdasarkan uraian tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa syarat utama apabila ingin mengajukan permohonan pernyataan pailit terhadap penanggung utang adalah pemohon harus dapat membuktikan bahwa status penanggung utang telah beralih menjadi debitor, karena hanya debitor yang dapat dipailitkan, setelah itu barulah pemohon harus membuktikan bahwa debitor mempunyai dua atau lebih kreditor dan tidak membayar sedikitnya satu utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih, setelah terbukti barulah debitor dapat dinyatakan pailit.9 Namun demikian, dalam praktek penegakan Undang-Undang Kepailitan, terdapat kasus berkaitan dengan perjanjian penanggungan, dimana antara majelis hakim yang satu dengan majelis hakim yang lain berbeda pendapat dalam melihat apakah penanggung utang dapat langsung dimohonkan pernyataan pailit, ketika debitor telah memenuhi syarat permohonan pernyataan pailit. Putusan
Kasasi Nomer 016 PK/N/2007 dalam permohonan Kasasi
Hendro Tjokrosetio (penanggung utang) pemohon Kasasi melawan PT BANK PAN INDONESIA, Tbk sebagai termohon peninjauan kembali (kreditor), dalam 8
Siti Anisah, “Personal Gurantee dan Corporate Gurantee dalam Putusan Peradilan Niaga”, Jurnal Hukum, Edisi no. 19 Vol. 9, 2002, hlm. 53-54. 9 http://www.disriani latifa’s blogspot.com akses 10 oktober 2009, 11:29
kasus tersebut terdapat kesamaan dasar pertimbangan hukum majelis hakim baik Pengadilan Niaga maupun Majelis Hakim Mahkamah Agung, Majelis Hakim berpendapat bahwa suatu perjanjian penanggungan adalah suatu pelengkap dari suatu perjanjian pokok, dalam hal ini adalah perjanjian kredit. Selain itu Hedro Tjokrosetio bertindak sebagai penanggung utang dari debitor. Oleh karena itu utang kepada PT BANK PAN INDONESIA, Tbk merupakan utang penangung utang, selain itu penanggung utang mempunyai 2 (dua) kreditor. Berdasarkan dalil-dalil itu maka debitor dinyatakan pailit.
Selanjutnya Putusan Nomor 06/K/N/2005 dalam permohonan kasasi yang diajukan oleh Alex Korompis selaku penanggung utang terhadap PT Candra Sakti Utama Leasing. Kasus ini berawal dari adanya perjanjian Perjanjian Leassing antara PT Hutan Domas Raya dengan PT Candra Sakti Utama Leasing. Alex Korompis bertindak sebagai penanggung utang sesuai dengan Perjanjian Penanggungan. Dalam kasus ini terdapat perbedaan pertimbangan hukum majelis hakim antara majelis hakim pengadilan Niaga dengan majelis hakim Mahkamah Agung.
Dalam putusan pada Pengadilan Niaga Majelis Hakim berpendapat bahwa Alex Korompis berkedudukan sebagai penanggung yang telah melepaskan hak-hak istimewanya dan mempunyai lebih satu kreditor, sedangkan pada Mahkamah Agung Majelis Hakim berpendapat karena tidak dapat dibuktikan secara sederhana tentang adanya dua kreditor dari Alex Korompis,
maka gugatan tersebut harus diajukan ke Pengadilan Negeri. Berdasarkan dalildalil tersebut maka putusan pada Pengadilan Niaga harus dibatalkan.
Dari 2 (dua) contoh kasus dapat kita ketahui bahwa syarat untuk mengajukan permohonan pailit terhadap penanggung utang (personal guarantee) manakala penanggung utang telah melepaskan hak istimewanya mengacu pada Pasal 1832 KUH Perdata ayat 2 (dua) yang menyatakan penanggung tidak dapat meminta agar harta debitor dijual terlebih dahulu apabila si penanggung telah melepaskan hak istimewanya dan telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitor secara tanggung menanggung atau tanggung renteng, akan tetapi kita harus melihat apakah dalam perjanjian penanggungan tersebut dibuat terlebih dahulu daripada perjainjian pokoknya. Kalau memang faktanya perjanjian penanggungan mendahului perjanjian pokoknya, akibatnya perjanjian penanggungan menjadi tidak sah, tetapi tidak hanya itu perlu adanya pembuktian yang sederhana terhadap persyaratan permohonan pailit.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah, maka dapat dikemukakan permasalahan sebagai berikut: 1. Apakah pengajuan permohonan pernyataan pailit terhadap penanggung utang harus terlebih dahulu mengajukan pernyataan pailit terhadap debitor utama? 2. Dapatkah seorang penanggung utang dimohonkan pailit apabila ternyata debitor tidak mampu atau hartanya tidak cukup untuk membayar utangnya?
C. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengkaji lebih mendalam apakah penanggung utang dapat dimohonkan pernyataan pailit dan juga apa akibat hukum yang timbul dari pernyataan pailit terhadap penaggung utang.
2. Untuk memahami dapatkah seorang penanggung utang dimohonkan pailit apabila ternyata debitor tidak mampu atau hartanya tidak cukup untuk membayar utangnya.
D. Tinjauan Pustaka Peraturan
mengenai
kepailitan
pada
awalnya
diatur
oleh
Failliessementsverordening, Staatsblad 1905-217 juncto 1906-348, namun peraturan tersebut sudah tidak mampu lagi memenuhi tuntutan perkembangan yang terjadi di bidang perekonomian terutama dalam menyelesikan masalah
utang-piutang, untuk itu perlu dilakukan perubahan dan penyempurnaan terhadap Faillissementsverordening tersebut dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Penganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 tentang Perubahan atas Undang-Undang Kepailitan tanggal 22 April 1998 yang kemudian menjadi Undang-Undang, yaitu Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Kepailitan pada tanggal 9 September 1998 dan dengan berlakunya Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998, Dengan perubahan ini berarti pemerintah telah memenuhi salah satu persyaratan yang diminta oleh kreditor-kreditor luar negeri, agar para kreditor luar negeri memperoleh jaminan kepastian hukum. Kemudian Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang
Kepailitan
disempurnakan menjadi Undang-Undang Nomor 37
Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Penundaan Pembayaran Utang.10 Istilah kepailitan yang digunakan di Indonesia berasal dari kata pailit yang bersumber dari bahasa Belanda yaitu failliet yang berarti kebangkrutan,11 dan faillissement untuk istilah kepailitan yang berarti keadaan bangkrut.12
10
http://www.disriani latifa’s blogspot.com, “Kedudukan Gurantor dalam Kepailitan”, Akses 29 Oktober 2009, 11:24 11 12
Rahayu Hartini, Hukum Kepailitan, Edisi Revisi, Malang, 2008, hlm. 4. Ibid., hlm. 4.
Sedangkan
dalam
Bahasa
Prancis
failite
yang
berarti
kemacetan
pembayaran.13 Menurut Subekti, pailisemen itu adalah suatu usaha bersama untuk mendapatkan pembayaran bagi semua orang berpiutang secara adil.14 Sedangkan pengertian kepailitan menurut Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 adalah sita umum atas semua kekayaan debitor pailit yang pengurusan dan pemberesan dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan hakim pengawas. Berdasarkan Pasal 2 Undang-Undang Kepailitan Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang disebutkan pihak-pihak yang dapat mengajukan pailit terhadap debitor. Pihakpihak tersebut yaitu: 1. Debitor itu sendiri 2. Salah satu atau lebih dari pihak kreditor 3. Pihak kejaksaan jika menyangkut dengan keprntingan umum 4. Pihak Bank Indonesia jika debitornya adalah Bank 5. Permohonan pernyataan pailit oleh Bapepam-LK (Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan). 6. Menteri Keuangan
13 14
http://cms.sip.co.id/hukumonline/detail.asp?id=16321&cl Akses 8 Maret 2010. Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, Jakarta, Intermasa, 1987, hlm. 230.
Penanggungan ialah suatu persetujuan di mana pihak ketiga demi kepentingan kreditor, mengikatkan diri untuk memenuhi perikatan debitor, bila debitor itu tidak memenuhi perikatannya.15 Tiada penanggungan bila tiada perikatan pokok yang sah menurut undang-undang.16 Akan tetapi orang dapat mengadakan penanggungan dalam suatu perikatan, walaupun perikatan itu dapat dibatalkan dengan sanggahan mengenai diri pribadi debitor misalnya dalam hal belum cukup umur. Penanggung utang tidak wajib membayar kepada kreditor kecuali debitor lalai membayar utangnya, dalam hal itu pun barang kepunyaan debitor harus disita dan dijual terlebih dahulu untuk melunasi utangnya. Penanggung utang tidak dapat menuntut supaya barang milik debitor lebih dulu disita dan dijual untuk melunasi utangnya: 1. bila ia telah melepaskan hak istimewanya untuk menuntut barang barang debitur lebih dahulu disita dan dijual; 2. bila ia telah mengikatkan dirinya bersama-sama dengan debitur terutama secara tanggung-menanggung, dalam hal ini, akibat-akibat perikatannya diatur menurut asas-asas yang ditetapkan untuk utang tanggungmenanggung; 3. jika debitor dapat mengajukan suatu tangkisan yang hanya mengenai dirinya sendiri secara pribadi;
15 16
Pasal 1820 Kitab Undang – Undang Hukum Perdata. Pasal 1821 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
4. jika debitor berada dalam keadaan pailit; 5. dalam hal penanggungan yang diperintahkan oleh Hakim. Kreditor tidak wajib menyita dan menjual lebih dahulu barang kepunyaan debitor, kecuali bila pada waktu pertama kalinya dituntut dimuka Hakim, penanggung utang mengajukan permohonan untuk itu. Penanggung utang yang menuntut agar barang kepunyaan debitor disita dan dijual lebih dahulu wajib menunjukkan barang kepunyaan debitor itu kepada kreditor dan membayar lebih dahulu biaya-biaya untuk penyitaan dan penjualan tersebut. Penanggung utang tidak boleh menunjuk barang yang sedang dalam sengketa di hadapan Pengadilan, atau barang yang sudah dijadikan tanggungan hipotek untuk utang yang bersangkutan dan sudah tidak lagi berada di tangan debitor itu, ataupun barang yang berada di luar wilayah Indonesia. Bila penanggung utang sesuai dengan pasal yang lalu telah menunjuk barang-barang debitor dan telah membayar biaya yang diperlukan untuk penyitaan dan penjualan, maka kreditor bertanggung jawab terhadap penanggung utang atas ketidakmampuan debitor yang terjadi kemudian dengan tiadanya tuntutantuntutan, sampai sejumlah harga barang-barang yang ditunjuk itu.17 Jika beberapa orang telah mengikatkan diri sebagai penanggung utang untuk seorang debitor yang sama dan untuk utang yang sama, maka masingmasing penanggung utang terikat untuk seluruh utang itu. Akan tetapi masing17
. Pasal 1822 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
masing dari mereka, bila tidak melepaskan hak istimewanya untuk meminta pemisahan utangnya, pada waktu pertama kali digugat di muka Hakim, dapat menuntut
supaya
kreditor
lebih
dulu
membagi
piutangnya,
dan
menguranginya sebatas bagian masing-masing penanggung utang yang terikat secara sah.18 Jika salah satu penanggung utang menuntut pemisahan utangnya, seorang atau beberapa teman penanggung utang tidak mampu, maka penanggung utang tersebut wajib membayar utang mereka yang tak mampu itu menurut imbangan bagiannya, tetapi ia tidak wajib bertanggung jawab jika ketidakmampuan mereka terjadi setelah pemisahan utangnya. Jika kreditor sendiri secara sukarela telah membagi-bagi tuntutannya, maka ia tidak boleh menarik kembali pemisahan utang itu, biarpun beberapa di antara para penanggung utang berada dalam keadaan tidak mampu sebelum ia membagibagi utang itu. E. Metode Penelitian 1. Fokus Penelitian Adapun fokus penelitian sebagai berikut: a. Ketentuan tentang penanggung utang yang diatur dalam (KUH Perdata) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
18
Pasal 1823 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.
b. Haruskah permohonan pernyataan pailit terhadap penanggung utang terlebih dahulu mengajukan pernyataan pailit terhadap debitor utama c. Permohonan pernyataan pailit terhadap penanggung apabila debitor tidak mampu atau hartanya tidak cukup untuk membayar utangnya. 2. Bahan Hukum Bahan-bahan yang digunakan dalam menyusun skripsi ini berupa : a. Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang sudah mempunyai kekuatan hukum mengikat scara yuridis, yaitu: 1) Kitab Undang-Undang Hukum Perdata 2) Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 3) Putusan Nomor 016/K/N/2005 4) Putusan Nomor 09/Pailit/2005/PN.Niaga/Jkt.Pst 5) Putusan Nomor 06/K/N/2005 3. Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang tidak mempunyai kekuatan mengikat secara yuridis, seperti literatur, jurnal, hasil penelitian terdahulu. 4. Cara Pengumpulan Bahan Hukum Dalam mengumpulkan data yang diperlukan penulis
menggunakan
metode sebagai berikut : a. Studi pustaka dilakukan dengan mencari data yang berhubungan dengan penelitian dalam peraturan-peraturan, literatur, mengkaji
jurnal,
hasil
penelitian
hukum
yang
berhubungan
dengan
permasalahan penelitian. b. Studi dokumen yakni dengan mengkaji berbagai dokumen resmi institusional yang berupa peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, dan lain-lain yang berhubungan dengan permasalahan penelitian. 5. Metode Pendekatan Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis normatif, yakni menelaah Undang-Undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani atau diteliti 6. Teknik Analisis Data Untuk menganalisis data dalam penelitian ini, penulis menggunakan menggunakan pendekatan perundang-undangan, yaitu bahan hukum yang diperoleh disajikan secara diskriptif dan dianalisis secara kualitatif dengan langkah-langkah sebagai berikut: a. Bahan hukum yang diperoleh dari penelitian diklasifikasikan
sesuai
dengan permasalahan dalam penelitian. b. Hasil kualifikasi bahan hukum selanjutnya disistemasikan. c. Bahan hukum yang telah disistemasikan kemudian dianalisis untuk dijadikan dasar pengambilan kesimpulan.
F. Kerangka Penulisan Bab I tentang pendahuluan. Bab ini berisi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, metode penelitian, dan kerangka penulisan. Bab II tinjauan umum kepailitan. Bab ini berisi persyaratan permohonan pernyataan pailit, proses beracara di Pengadilan Niaga, dan akibat hukum pernyataan pailit. Bab III adalah pernyataan pailitan terhadap penanggung utang. Bab ini berisi pembahasan mendalam apakah penanggung utang dapat dimohonkan pernyataan pailit dan juga apa akibat hukum yang timbul dari pernyataan pailit terhadap penaggung utang. Selanjutnya membahas dapatkah seorang penjamin dimohonkan pailit apabila ternyata debitor tidak mampu atau hartanya tidak cukup untuk membayar utangnya. Bab IV adalah penutup, yang berisi kesimpulan dan saran.