BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Penelitian Kepailitan merupakan kondisi dimana debitor yang telah dinyatakan pailit tidak dapat melakukan tindakan-tindakan keperdataan, dalam arti lain, debitor tersebut telah kehilangan hak-hak keperdataannya (volkomen handelings bevoegheid) dalam mengelola dan mengurus segala kekayaan dan aset-asetnya.1 Setelah pernyataan pailit dijatuhkan kepada debitor, maka pada saat itu juga selain kehilangan hak-hak keperdataan terhadap seluruh aset-asetnya. Penguasaan asetaset tersebut akan berpindah kepada kurator untuk dilakukan pengurusan dan pemberesan terhadap aset-aset tersebut.2 Tujuan-tujuan dari hukum kepailitan (bankruptcy law), adalah:3 1.
Menjamin pembagian yang sama terhadap harta kekayaan debitor diantara
2.
para kreditornya;
Mencegah agar debitor tidak melakukan perbuatan-perbuatan yang dapat merugikan kepentingan kreditor;
3.
Memberikan perlindungan kepada debitor yang beritikad baik dari para kreditornya, dengan cara memperoleh pembebasan utang.
1
Lihat Gunawan Widjaja, 2004, Tanggung Jawab Direksi atas Kepailitan Perseroan, Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 83. 2 Lihat Pasal 16 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 3 Sutan Remy Sjahdeini, 2009, Hukum Kepailitan; Memahami Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan, PT. Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, hlm. 28.
2
Kepailitan merupakan suatu langkah akhir yang dilakukan kreditor maupun debitor itu sendiri terhadap ketidakmampuan debitor untuk melunasi seluruh utang-utangnya terhadap kreditor, memang syarat untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor hanya terbatas terhadap debitor yang memiliki kreditor minimal dua atau lebih dimana debitor memiliki utang yang telah jatuh tempo dan dapat ditagih.4 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (UUK PKPU) telah membatasi kewenangan mengenai pengajuan permohonan pailit terhadap debitor sehingga tidak semua kreditor memiliki kewenangan untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor. Pembagian mengenai kewenangan para pihak untuk mengajukan permohonan pailit terhadap debitor merupakan suatu langkah pembeda yang diberlakukan oleh UUK PKPU dikarenakan banyaknya pembagian jenis debitor.5 UUK PKPU membagi jenis-jenis debitor dan kreditor yang berhak mengajukan permohonan pailit terhadapnya didasarkan pada, bahwa tidak semua debitor dapat diajukan permohonan pailit oleh kreditor manapun, karena tidak semua kepailitan debitor hanya berdampak kepada debitor dan kreditor itu sendiri, namun dapat berdampak terhadap stakeholder yang lain, bahkan dapat dimungkinkan terjadinya efek sistemik. Oleh karena itu, UUK PKPU membagi jenis-jenis debitor dan kreditor yang berwenang untuk mengajukan permohonan pailit terhadapnya di dalam Pasal 2 UUK PKPU.
4
Pasal 2 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 5 Sutan Remy Sjahdeini, Op.Cit, hlm. 103.
3
Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang merupakan salah satu wujud nyata Pasal 33 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945 (UUDNRI 1945) memiliki posisi strategis bagi peningkatan kesejahteraan rakyat. Negara menguasai kekayaan alam, tetapi negara tidak dapat berusaha atau melakukan perusahaan dengan cara melaksanakan pemerintahan, karena akan berakibat pemerintahan bersifat komersial.6 BUMN adalah sebuah badan usaha yang mempunyai peranan penting dalam penyelenggaraan perekonomian nasional guna mewujudkan kesejahteraan masyarakat. BUMN merupakan salah satu pelaku kegiatan ekonomi dalam perekonomian nasional. BUMN ikut berperan dalam menyelenggarakan kemanfaatan umum berupa penyediaan barang dan/atau jasa yang bermutu tinggi dan memadai bagi pemenuhan hajat hidup orang banyak.7 Menurut Pasal 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang BUMN (UU BUMN), BUMN adalah badan usaha yang seluruh atau sebagian besar modalnya dimiliki oleh negara melalui penyertaan secara langsung yang berasal dari kekayaan negara yang dipisahkan. Sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 10 dan Pasal 4 Ayat (1) UU BUMN, kekayaan yang dipisahkan adalah pemisahan kekayaan negara dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) untuk dijadikan modal BUMN. Selain itu juga berasal dari kapitalisasi cadangan dan sumber lainnya yang diatur dalam Pasal 4 Ayat (2) dan Ayat (3) UU BUMN, didalam penjelasan Pasal 4 Ayat (1)
6
Andriani Nurdin, 2012, Kepailitan BUMN Persero Berdasarkan Asas Kepastian Hukum, PT. Alumni, Bandung, hlm 1. 7 Abdulkadir Muhammad, 2010, Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, hlm. 171.
4
UU BUMN dijelaskan bahwa pembinaan dan pengelolaaannya tidak lagi didasarkan pada sistem APBN, namun didasarkan pada prinsip-prinsip perusahaan yang sehat. Menurut Pasal 2 huruf g Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara yang menyebutkan bahwa salah satu yang dimaksud dengan keuangan negara adalah kekayaan negara/kekayaan daerah yang dikelola sendiri atau oleh pihak lain berupa uang, surat berharga, piutang, barang, serta hak-hak lain yang dapat dinilai dengan uang, termasuk kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah, namun berdasarkan Fatwa Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor WKMA/Yud/20/VIII/2006 tanggal 16 Agustus 2006 tentang permohonan fatwa hukum yang diajukan oleh Menteri Keuangan Republik Indonesia melalui surat Menteri Keuangan RI Nomor S-324/MK yang menyatakan bahwa dengan adanya UU BUMN maka ketentuan dalam Pasal 2 huruf g khusus mengenai “kekayaan yang dipisahkan pada perusahaan negara/perusahaan daerah” tidak mempunyai kekuatan mengikat secara hukum. Dalam penelitian tesis ini akan dibatasi penelitian terhadap Pasal 2 ayat (5) UUK PKPU mengenai kewenangan Menteri Keuangan dalam mengajukan permohonan pailit terhadap BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. Dalam rentang dua periode UUK PKPU baik Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1998 Tentang Perubahan Atas Undang-Undang Tentang Kepailitan Menjadi Undang-Undang maupun Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang UUK PKPU, pemahaman mengenai BUMN sebagai perusahaan yang
5
dimiliki oleh negara tidak dapat sepenuhnya dipahami secara jelas oleh banyak pihak. Walaupun Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1998 tidak mengatur mengenai pengajuan permohonan pailit terhadap BUMN, namun UUK PKPU telah mengatur secara jelas bahwa hanya Menteri Keuangan yang berhak mengajukan permohonan pailit terhadap BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. Beberapa kasus kepailitan BUMN membuktikan lemahnya pemahaman para hakim dalam memahami eksistensi BUMN sebagai perusahaan milik negara, serta peran negara terhadap BUMN tersebut. Kasus pertama yaitu kasus kepailitan PT. Dirgantara Indonesia (Persero). Berdasarkan Putusan Kasasi Nomor 075 K/Pdt.Sus/2007, Mahkamah Agung membatalkan putusan pailit yang telah dijatuhkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga Jakarta Pusat. Mahkamah Agung menilai bahwa hanya Menteri Keuangan yang berhak mengajukan permohonan pailit terhadap PT. Dirgantara Indonesia (Persero). Mahkamah Agung berpendapat bahwa PT. Dirgantara Indonesia (Persero) merupakan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik, yang mana seluruh modalnya dimiliki oleh negara walaupun terbagi atas saham. Mahkamah Agung menilai bahwa pembagian saham tersebut hanya untuk memenuhi syarat formalitas bahwa suatu perseroan harus didirikan oleh minimal dua pihak sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Selain itu, pembagian saham PT. Dirgantara Indonesia (Persero) diberikan kepada Menteri BUMN dan Menteri Keuangan yang notabene kedua belah pihak tersebut adalah wakil dari negara.
6
Berbeda dengan kasus kepailitan PT. IGLAS (Persero), dalam Putusan Kasasi Nomor 397 K/Pdt.Sus/2009 Mahkamah Agung memutuskan pailit terhadap PT. IGLAS (Persero) walaupun pengajuan permohonan pailit tidak diajukan oleh Menteri Keuangan. Dalam kasus tersebut, Mahkamah Agung menilai bahwa PT. IGLAS (Persero) bukan merupakan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik, dikarenakan terdapat unsur swasta dalam kepemilikan saham PT. IGLAS (Persero). Saham PT. IGLAS (Persero) dimiliki oleh negara secara mayoritas, dalam hal ini diwakili oleh Menteri BUMN, dan sisanya dimiliki oleh PT. BNI, tbk (Persero). Mahkamah Agung pun membedakan antara kasus PT. IGLAS (Persero) dengan kasus kepailitan PT. Dirgantara Indonesia (Persero). Mahkamah Agung menilai bahwa PT. Dirgantara Indonesia (Persero) adalah BUMN yang bergerak dalam bidang kepentingan publik, berdasarkan ketentuan yang terdapat dalam lampiran Peraturan Menteri Perindustrian RI Nomor 03/MIND/PER/4/2005, tanggal 19 April 2005, disebutkan PT. DI (Persero) adalah obyek
vital
industri.
Obyek
vital
industri
adalah
kawasan
lokasi,
bangunan/instalasi dan atau usaha industri yang menyangkut hajat hidup orang banyak, kepentingan negara dan/atau sumber pendapatan negara yang bersifat strategis, sedangkan melihat komposisi pemegang saham PT. IGLAS (Persero), Mahkamah Agung menyatakan bahwa PT. IGLAS (Persero) bukan merupakan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik karena ada unsur swasta masuk, bukan seratus persen dimiliki oleh negara tetapi juga dimiliki oleh swasta/masyarakat (PT. Bank BNI Tbk.) sehingga dapat ditarik kesimpulan
7
bahwa tujuan pendirian PT. IGLAS (Persero) merupakan murni untuk kegiatan bisnis atau mencari untung. Dalam kasus kepailitan PT. Istaka Karya (Persero), Putusan Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 73/PAILIT/2010/PN.JKT.PST menolak permohonan pailit terhadap PT. Istaka Karya (Persero) dengan alasan bahwa PT. Istaka Karya (Persero) merupakan BUMN yang mana hanya Menteri Keuangan yang berhak mengajukan permohonan pailit, sebagaimana diatur dalam Pasal 2 ayat (5) UUK PKPU. Majelis Hakim menilai bahwa PT. Istaka Karya (Persero) adalah BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik, keseluruhan modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham (sebagaimana sesuai dengan Penjelasan Pasal 2 ayat (5) UUK PKPU), namun dalam Putusan Kasasi Nomor 124 K/Pdt.Sus/2011 PT. Istaka Karya (Persero), Mahkamah Agung memutuskan pailit terhadap PT Istaka Karya (Persero). Mahkamah Agung menyimpulkan bahwa PT. Istaka Karya (Persero) bukan merupakan BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik yang mana seluruh modalnya dimiliki oleh negara dan tidak terbagi atas saham oleh karena itu tidak hanya Menteri Keuangan yang berwenang mengajukan permohonan pailit sebagaimana sesuai dengan Pasal 2 ayat (5) UUK PKPU. Berdasarkan putusan-putusan tersebut dapat disimpulkan adanya beberapa ketidakharmonisan dan tumpang tindih pemahaman dalam kasus kepailitan BUMN selama ini mengenai kepemilikan modal negara dalam BUMN, pembagian saham dalam BUMN, serta tujuan pendirian BUMN baik untuk mendapatkan profit maupun untuk kepentingan publik. Oleh karena itu, akan
8
dilakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Yuridis Kewenangan Menteri Keuangan Dalam Mempailitkan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)”.
B. Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, rumusan permasalahan yang akan diteliti dalam penelitian ini adalah: 1. Mengapa hanya Menteri Keuangan yang mempunyai kewenangan mengajukan permohonan pailit BUMN? 2. Apakah semua BUMN dapat dipailitkan dan BUMN jenis mana saja yang dapat dipailitkan oleh Menteri Keuangan?
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan dari rumusan masalah yang telah dikemukakan, maka tujuan dari penelitian ini antara lain: 1. Untuk menganalisis pemberian kewenangan kepada Menteri Keuangan dalam mengajukan permohonan pailit terhadap BUMN dalam UUK PKPU; 2. Untuk menganalisis jenis BUMN yang dapat diajukan permohonan pailit oleh Menteri Keuangan.
D. Manfaat penelitian Manfaat yang dapat diperoleh dari penelitian ini mencakup dua aspek, antara lain :
9
1. Aspek Teoritikal Dilihat dari aspek teoritikal diharapkan dapat memberikan suatu masukan bagi perkembangan ilmu hukum di masa datang, khususnya bidang hukum kepailitan berkaitan dengan kewenangan Menteri Keuangan dalam kepailitan BUMN yang menjadi fokus penelitian hukum ini. 2. Aspek Praktikal Dilihat dari aspek praktikal diharapkan Penelitian ini dapat memberikan sumbangsih pemikiran bagi kalangan praktisi hukum pada umumnya, dan praktisi
hukum
perkembangan
kepailitan mengenai
pada
khususnya
dengan
memberikan
Hukum
Kepailitan
khususnya
dibidang
kewenangan pengajuan permohonan pailit dan dapat digunakan sebagai landasan dan pedoman bagi para pihak khususnya para kreditor Perusahaan BUMN.
E. Keaslian Penelitian Sepengetahuan
peneliti
berdasarkan
hasil
penelusuran
Perpustakaan
Universitas Gajah Mada penelitian hukum atau tesis dengan judul “Tinjauan Yuridis Kewenangan Menteri Keuangan Dalam Mempailitkan BUMN” belum ditulis oleh siapapun dan penelitian ini merupakan hasil karya peneliti, bukan merupakan hasil duplikasi maupun plagiasi dari hasil karya orang lain. Ada dua penelitian hukum atau tesis yang memiliki kemiripan dalam menganalisis mengenai Kepailitan BUMN.
10
Penelitian tesis dengan judul ”Kepailitan Pada BUMN (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung Nomor 124 K/PDT.SUS/2011 Tentang Putusan Pailit PT. Istaka Karya (Persero)” yang diteliti oleh Cherish Shery Desarya pada tahun 2011, rumusan Masalah dalam penelitian ini 1. Apakah putusan pailit PT. Istaka Karya (Persero) sudah sesuai Dengan ketentuan UUK PKPU? 2. Hal-hal apa sajakah yang harus dijadikan pertimbangan dalam mempailitkan suatu BUMN? dan kesimpulannya adalah 1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 124 K/PDT.SUS/2011 Tentang Putusan Pailit PT. Istaka Karya (Persero) sudah sesuai dengan UUK
PKPU, 2. Ada tiga hal yang perlu diperhatikan dalam
mempailitkan suatu BUMN yaitu, kesehatan BUMN, pihak yang berhak mengajukan pailit kepada BUMN dan tidak adanya sinkronisasi peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan penyertaan kekayaan negara dalam BUMN. Penelitian tesis dengan judul “Analisis Terhadap putusan Mahkamah Agung RI
Nomor
075K/PDT.Sus/2007
Mengenai
Kepailitan
PT.
Dirgantara
Indonesia”,yang diteliti oleh Fetty Anggraenidini, pada tahun 2011, rumusan Masalah dalam penelitian ini 1. Apakah kekayaan PT. Dirgantara Indonesia sebagaimana
diputuskan
dalam
Putusan
Mahkamah
Agung
Nomor
075K/PDT.Sus/2007 dapat dikategorikan sebagai kekayaan negara? 2. Apakah pihak selain Menteri Keuangan dapat mengajukan permohonan pernyataan kepailitan terhadap PT. Dirgantara Indonesia?, kesimpulannya adalah 1. Kekayaan PT. DI bukan termasuk kekayaan milik negara lagi karena sudah dipisahkan, dan merupakan kekayaan milik PT. DI sendiri dan PT. DI sebagai BUMN persero
11
harus tunduk kepada UU PT, 2. PT. DI sebagai sebuah BUMN harus tunduk dalam peraturan-peraturan mengenai syarat-syarat kepailitan. Modal PT. DI terbagi atas saham, maka walaupun seluruhnya dimiliki oleh negara, PT. DI tidak termasuk BUMN yang bergerak di bidang kepentingan publik. Rumusan masalah penelitian-penelitian sebelumnya berbeda dengan penelitian ini. Pada penulisan tesis ini lebih mengkhususkan pada Tinjauan mengenai kewenangan Menteri keuangan dalam mengajukan permohonan pailit BUMN, apakah semua BUMN dapat dipailitkan dan BUMN mana saja yang dapat dipailitkan oleh Menteri Keuangan.