Pengembangan Instrumen Pengukuran Sikap Berbahasa sebagai Pendeteksi Salah Satu Parameter Karakter ‘Semangat Kebangsaan’
Artikel Ilmiah
diajukan sebagai karya tulis yang dilombakan pada Simposium Nasional Guru dan Tenaga Kependidikan dalam rangka Hari Guru Nasional Tahun 2016
oleh Imas Mulyati Guru SMA Negeri 1 Ciparay Kabupaten Bandung-Provinsi Jawa Barat
Direktorat Jenderal Guru dan Tenaga Kependidikan
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia
Pengembangan Instrumen Pengukuran Sikap Berbahasa sebagai Pendeteksi Salah Satu Parameter Karakter ‘Semangat Kebangsaan’ A. Pengantar Secara sintaktis, frasa pendidikan karakter terdiri atas dua kata, yaitu pendidikan dan karakter. Pendidikan adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara (UU Sisdiknas, 2003: hlm 2). Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: 445), karakter merupakan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang membedakan seseorang dari yang lain. Berdasarkan kedua istilah tersebut, pendidikan karakter dapat diartikan sebagai upaya sadar dan terencana oleh pendidik untuk menanamkan sifat-sifat kejiwaan, akhlak atau budi pekerti luhur yang dilakukan terhadap peserta didik. Dalam proses perkembangan dan pembentukannya, secara alamiah, karakter seseorang akan dipengaruhi oleh dua faktor, yaitu faktor eksternal, seperti lingkungan (nurture) dan faktor internal sebagai bawaan (nature). Pada era globalisasi sekarang ini, perkembangan zaman dan teknologi dengan berbagai manfaatnya telah memunculkan dampak terhadap melemahnya karakter bangsa. Tidak terkecuali, melemahnya karakter bangsa terjadi pula pada pemakaian bahasa di kalangan remaja. Kondisi melemahnya karakter bangsa telah memicu pemerintah untuk berinisiatif melakukan berbagai upaya membangun karakter bangsa. Salah satu upaya pemerintah dalam hal ini adalah membangun karakter melalui pendidikan, baik pendidikan informal, formal, maupun nonformal. Dalam Desain Induk Pembangunan Karakter, dijelaskan bahwa pembangunan karakter memiliki tiga fungsi, yaitu pembentukan dan pengembangan potensi; perbaikan dan penguatan; dan penyaring. Fungsi pembangunan karakter seperti dijelaskan dalam Desain Induk Pembangunan Karakter ini sejalan dengan fungsi pendidikan nasional di Indonesia. Di dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 1
2
tentang Sistem Pendidikan Nasional Bab II Pasal 3, fungsi pendidikan nasional dijelaskan sebagai berikut. Pendidikan nasional berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab. (hlm. 4). Apakah semua upaya pemerintah telah berhasil secara optimal? Untuk menjawab pertanyaan ini, dibutuhkan sebuah evaluasi dan monitoring terhadap pelaksanaan kebijakan pemerintah tentang pembangunan karakter bangsa. Melaui
penelitian
ini,
penulis
mangajukan
sebuah
alternatif
evaluasi
keberhasilan pembangunan karakter bangsa melalui pengukuran sikap berbahasa. Mengingat kemajemukan parameter untuk mengukur keberhasilan pembangunan karakter, penulis membatasinya pada pengembangan instrumen sikap berbahasa sebagai pendeteksi salah satu parameter karakter semangat kebangsaan. B. Masalah Terdapat banyak masalah berkenaan dengan melemahnya karakter bangsa. Permasalahan karakter bangsa yang kita hadapi bukanlah masalah baru, namun telah terjadi sejak lama. Berbagai makalah dan hasil penelitian telah membahas dan membuktikan adanya masalah-masalah tersebut. Dalam sebuah penelitiannya, Lubis (1997), mengemukakan bahwa bangsa Indonesia sedikitnya telah mewarisi karakter ‘penjajah’. Lubis mengemukakan sembilan ciri negatif manusia Indonesia: 1) munafik, 2) segan dan enggan bertanggung jawab, 3) berjiwa feodal, 4) percaya tahayul, 5) artistik, 6) berwatak lemah (cengeng), 7) tidak hemat, 8) kurang gigih, dan 9) tidak terbiasa bekerja keras. Karakter ‘penjajah’ yang diungkapkan oleh Lubis pada tahun 1997 dapat ditanggapi sebagai sebuah introspeksi. Apakah karakter ‘penjajah’ itu kini masih melekat pada ciri manusia Indonesia pada zaman sekarang? Disadari atau tidak, kondisi itu kini tengah kita hadapi. Penjajahan tidak selamanya berwujud peperangan. Penjajahan yang kita hadapi sekarang adalah penjajahan oleh negara-negara adikuasa melalui teknologi yang mereka ciptakan. Penjajahan
3
tidak selalu berwujud penyerangan fisik. Penjajahan yang kita hadapi sekarag adalah penjajahan yang berwujud penyerangan mental oleh negara-negara adikuasa terhadap kita, manusia Indonesia. Pada dimensi lain tentang melemahnya karakter bangsa Indonesia, Cholisin (2011: hlm. 1) mengungkapkan adanya kasus makro dan kasus mikro. Pada urainnya tentang kasus mikro, Cholisin mengemukakan berbagai peristiwa yang pada umumnya terjadi di sekolah atau peristiwa yang pelakunya peserta didik. Di antara pemasalahan yang terjadi adalah tawuran antarpelajar dan pemalakan. Pada uraiannya tentang kasus makro, Cholisin mengutip pendapat yang tercantum dalam Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010 – 2025 sebagai berikut. Kebijakan nasional pembangunan karakter bangsa didasarkan pada adanya permasalahan yang sedang dihadapi bangsa saat ini, yaitu (1) disorientasi dan belum dihayatinya nilai-nilai Pancasila sebagai filosofi dan ideologi bangsa; (2) keterbatasan perangkat kebijakan terpadu dalam mewujudkan nilai-nilai esensi Pancasila; (3) bergesernya nilai-nilai etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara; (4) memudarnya kesadaran terhadap nilai-nilai budaya bangsa; (5) ancaman disintegrasi bangsa; dan (6) melemahnya kemandirian bangsa. Pemasalahan melemahnya karakter bangsa sebagaimana dikutip Cholisin dari Kebijakan Nasional Pembangunan Karakter Bangsa Tahun 2010 – 2025, di dalamnya terdapat sebuah masalah yang menarik perhatian penulis. Masalah tersebut adalah ancaman disintegrasi bangsa. Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (1995: hlm. 383), integrasi bangsa adalah proses penyatuan berbagai kelompok budaya dan sosial ke dalam kesatuan wilayah dan pembentukan suatu identitas nasional. Dengan demikian, disintegrasi bangsa merupakan kondisi negasi dari integrasi bangsa, yakni proses pemisahan berbagai kelompok dari wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia. Ancaman disintegrasi bangsa dalam hal ini berarti segala sesuatu yang memungkinkan terjadinya pemisahan tersebut. Sebuah peribahasa mengatakan bahwa ‘bahasa menunjukkan bangsa’. Itulah sebuah kebanggaan bagi kita sebagai bangsa Indonesia. Bangsa Indonesia telah memiliki bahasa sendiri sebagai bahasa persatuan, yakni bahasa Indonesia. Bahasa Indonesia adalah salah satu identitas nasional bagi Bangsa dan Negara Indonesia. Dengan demikian, melemahnya kecintaan
4
terhadap
bahasa
Indonesia
sebagai
identitas
nasional
merupakan
permasalahan melemahnya karakter bangsa Indonesia. Seperti peristiwa melemahnya karakter bangsa Indonesia, melemahnya kecintaan terhadap bahasa Indonesia telah menjadi perhatian para peneliti bahasa. Berbagai permasalahan sikap dan fenomena berbahasa menjadi topik pembahasan berbagai makalah dan penelitian bahasa. Dingding Haerudin dalam penelitiannya tentang sikap bahasa mahasiswa, menyimpulkan bahwa “sebagai mahasiswa yang sehari-harinya mempelajari bahasa asing akan turut mewarnai tindak tutur maupun tulis dalam bahasa Indonesia” (Haerudin, 2012: hlm. 10). Hal ini mengandung pengertian bahwa bahasa mahasiswa, baik dalam bertutur maupun dalam menulis, menggunakan bahasa Indonesia yang telah terinterferensi oleh baasa asing yang dipelajarinya. Ini berarti bahwa sikap bahasa mahasiswa berdasarkan hasil penelitian tersebut berada pada kategori kurang baik. Penelitian sejenis dilakukan oleh Bakri, (2016: hlm. 474 s.d. 477). Dalam penelitiannya, Bakri menganalisis penggunaan bahasa Indonesia oleh mahasiswa. Sampel yang dipilih untuk kepentingan penelitiannya adalah mahasiswa Universitas Tadulako, dengan menggunakan sampel sebanyak sepuluh fakultas. Berdasarkan hasil penelitiannya, Bakri menyimpulkan bahwa sikap keilmuan bahasa mahasiswa Universitas Tadulako masih perlu dibenahi. Ini berarti bahwa sikap bahasa mahasiswa Universitas Tadulako masih tergolong rendah. Penelitian lain tentang sikap bahasa dilakukan oleh Saadillah (2016: 436 s.d. 453). Dalam penelitiannya, Saadillah menganalisis alih kode dan campur kode dalam interaksi pembelajaran. Sampel yang diambil adalah pembelajaran pada mata pelajaran Bahasa Indonesia di SMA Negeri 2 Sengkang Kabupaten Wajo, Makassar. Hasil penelitiannya menunjukkan bahwa pada tindak tutur dalam interaksi pembelajaran di SMA Negeri 2 Sengkang terjadi alih kode dan campur kode. Terjadinya alih kode dan campur kode dalam situasi resmi merupakan sebuah indikasi bahwa penggunaan bahasa Indonesia oleh siswa SMA belum memenuhi harapan. Selain kedua penelitian bahasa di atas, penelitian lain telah dilakukan oleh Mulyati (2016: hlm. 326 s.d. 330). Mulyati melakukan penelitian tentang
5
penggunaan bahasa Indonesia siswa SMA pada media sosial. Sampel yang dipilihnya adalah siswa SMA Negeri 1 Ciparay Kabupaten Bandung. Hasil penelitiannya menyimpulkan bahwa penggunaan bahasa Indonesia dalam media sosial masih menunjukkan kondisi yang memprihatinkan. Hal ini terllihat pada hal yang sangat spesifik, seperti penggunaan ejaan, konjungsi, pemilihan kata, dan penggunaan imbuhan. Pada aspek tertentu, para siswa sering melakukan alih kode dan campur kode. Semua kondisi ini menunjukkan sikap berbahasa yang masih rendah. Penelitian serupa juga dilakukan oleh Nurhafni (2016: hlm. 91 s.d. 95). Nurhafni melakukan penelitian tentang kesalahan berbahasa pada media sosial ‘facebook’. Nurhafni berpendapat bahwa keslahan berbahasa pada media sosial ‘facebook’ dapat memengaruhi kebertahanan bahasa Indonesia. Sampel yang dipilih untuk kepentingan penelitiannya adalah pengguna facebook dari berbagai kalangan. Berdasarkan hasil penelitiannya, Nurhafni menyimpulkan bahwa terdapat begitu banyak kesalahan pembentukan leksikon bahasa yang digunakan dalam media sosial ‘facebook’. Hal ini dapat memengaruhi kebertahanan bahasa Indonesia. Berdasarkan beberapa hasil penelitian sebagaimana telah diuraikan di atas, dapatlah diambil beberapa simpulan tentang permasalahan yang dihadapi oleh Bangsa Indonesia terkait dengan pembangunan karakter bangsa. 1. Permasalahan tentang melemahnya karakter bangsa telah terjadi sejak lama, namun belum terselesaikan secara optimal. 2. Permasalahan tentang melemahnya karakter bangsa yang terjadi dapat mencakup segala segi kehidupan. 3. Permasalahan tentang melemahnya karakter bangsa dapat terjadi baik secara makro, dalam lingkup yang sangat luas; dapat pula terjadi secara mikro, dalam lingkup yang kecil. 4. Permasalahan tentang melemahnya karakter bangsa dapat berupa ancaman disintegrasi bangsa. 5. Permasalahan tentang sikap berbahasa merupakan salah satu ancaman disintgrasi bangsa. Mengapa? Bahasa Indonesia adalah bahasa persatuan; bahasa Indonesia adalah pemersatu bangsa
6
Indonesia; bahasa Indonesia adalah identitas nasional Bangsa dan Negara Indonesia. Dari sekian banyak permasalahan di atas, yang menarik bagi penulis adalah permasalahan sikap berbahasa. Permasalahan ini telah menimbulkan beberapa pertanyaan bagi penulis. Apakah sikap berbahasa dapat diukur? Bagaimanakah
cara
mengukur
sikap
berbahasa?
Bagimanakah
kita
mengembangkan instrumen pengukuran sikap berbahasa? Bertolak dari pertanyaan itulah, melalui karya tulis ini, penulis mengembangkan sebuah instrumen pengukuran sikap berbahasa. Karena luasnya cakupan sikap berbahasa, maka dalam karya tulis ini penulis membatasinya pada pengukuran sikap berbahasa dalam tindak tutur, yakni bahasa lisan. C. Pembahasan dan Solusi 1. Pengukuran dan Pengukuran Mental Istilah pengukuran (measurement) sudah tidak asing lagi hampir bagi setiap orang.
Dalam kegiatan sehari-hari, kita sering melakukan kegiatan
pengukuran. Banyak pula kebutuhan dalam kehidupan sehari-hari yang terkait dengan hasil pengukuran. Secara lebih sederhana, pengertian pengukuran dapat diambil dari kegiatan sehari-hari. Pada waktu seseorang melakukan pengukuran, misalnya mengukur panjang sebuah benda (objek), maka yang dilakukannya adalah membandingkan antara panjang benda itu dengan alat ukur tertentu. Untuk megukur ‘panjang’, alat ukur yang digunakan adalah mistar yang berskala sentimeter atau meter. Hasil dari proses membandingkan panjang benda dengan alat ukur itu adalah diperolehnya ukuran dalam bentuk satuan ukur, berapa sentimeter atau berapa meter. Berdasarkan hal ini, istilah pengukuran dapat diartikan sebagai kegiatan membandingkan ukuran suatu benda dengan alat ukur yang bersifat baku dan sesuai sehingga diperoleh gambaran tentang karakteristik benda yang diukur dalam bentuk angka yang menggambarkan ukuran yang berupa satuan ukur tertentu (Ali, 2011: hlm. 138). Dalam arti luas dan ringkas, pengukuran adalah pemberian bilangan kepada atribut dari subjek menurut aturan. Di dalam pengukuran terdapat atribut, subyek, dan aturan pemberian bilangan. Bilangan adalah data. Atribut dari subjek adalah sasaran ukur (Naga, 2013: hlm. 1). Hal ini sejalan dengan
7
pendapat Netemeyer (2003: hlm. 2) yang menjelaskan bahwa pada dasarnya, pengukuran mencakup aturan untuk menandai suatu objek dengan angka yang menggambarkan jumlah atribut. “At its core, measurement consist of rules for assigning symbols to object to numerically represent quantities of attributes.” Berdasarkan ketiga pendapat di atas, pengukuran dapat diartikan sebagai suatu proses pemberian data berupa bilangan atau angka terhadap sasaran ukur dengan menggunakan alat ukur yang tepat dan sesuai. Apakah pengertian ini dapat diterapkan dalam pengukuran bidang perilaku dan sosial? Ini dapat diidentifikasi dari unsur-unsur dalam proses pengukuran: 1) ada objek yang diukur; 2) ada alat ukur yang valid, reliabel, dan sesuai untuk mengukur; 3) ada ada satuan ukur yang digunakan. Objek yang diukur dalam hal ini adalah karakteristik atau atribut orang, seperti kemampuan, sikap, persepsi, dan semacamnya. Alat ukur yang digunakan bermacammacam, seperti tes kemampuan, skala sikap, dan lain-lain. Adapun satuan ukur yang digunakan adalah angka atau skor yang menggambarkan derajat, misalnya derajat kemampuan. Dengan demikian, pengertian pengukuran seperti digambarkan di atas dapat diterapkan pada pengukuran perilaku dan sosial. (Ali, 2011: hlm. 139) Pendapat Ali tersebut sejalan dengan Naga (2003: hlm. 2) yang menegaskan bahwa sasaran ukur dapat berupa besaran fisik, seperti ukuran panjang, ukuran tegangan listrik, atau ukuran gaya. Namun, sasaran ukur dapat juga berupa sasaran nonfisik, seperti hasil belajar, sikap terhadap bacaan, atau intelegensi.
Inilah yang dinamakan dengan pengukuran mental atau
psikometrika. Netemeyer (2003: hlm. 2) memaparkan bahwa pengukuran dapat digunakan dalam dalam ilmu-ilmu sosial. Menurut Netemeyer, dalam ilmu-ilmu sosial, manusia adalah objek, aturan-aturan dinyatakan dengan penetapan angka, dan atribut adalah ciri-ciri utama dari objek yang diukur. Manusia tidak dapat diukur, namun atributnyalah yang dapat diukur. In the social sciences, most of the time the ‘object’ are people, ‘rules’ involve the explicitly stated assignment of numbers, and ‘attributes’ are particular features of the objects being measured. As much, it is important to note that object (e.g., people) are not measured; their attributes are measured. (e.g., self-esteem). Mengacu kepada pendapat-pendapat di atas, sikap berbahasa sebagai salah satu parameter sikap/ karakter semangat kebangsaan dapat diukur. Artinya, seberapa derajat kecintaan seseorang terhadap bahasa Indonesia
8
sebagai lambang identitas nasional dapat diidentifikasi dengan menggunakan instrumen yang tepat dan sesuai. 2. Sikap Berbahasa a. Definisi Chaer (2004) mengemukakan bahwa sikap terhadap suatu bahasa merupakan salah satu variabel yang turut menentukan dalam pemilihan kode. Pada hakikatnya, sikap bahasa adalah kesopanan bereaksi terhadap suatu keadaan. Dengan demikian, sikap bahasa menunjuk pada sikap mental dan perilaku dalam berbahasa. Sikap bahasa sangat berpengaruh terhadap
keberhasilan
siswa
dalam
mempelajari
suatu
bahasa,
sebagaimana dikemukakan oleh Starks & Platridge (1996: hlm. 218) dalam Karahan (2007), “Learning a language is closely related to the attitudes towards the languages.” Sikap bahasa dapat diamati melalui perilaku berbahasa atau perilaku bertutur (Aslinda dan Syafyahya, 2007: hlm. 10). Chaer dan Agustina (2004: hlm. 149) menjelaskan bahwa sikap bahasa merupakan salah satu variabel yang menentukan pemilihan kode yang bergantung pada partisipan, situasi, topik, dan tujuan pembicaraan. Sikap bahasa tidak hanya membahas sikap seseorang terhadap bahasa daerah dan bahasa nasionalnya, tetapi juga membahas sikap seseorang terhadap bahasa-bahasa lain. Hal ini diungkapkan dalam Longman Dictionary of Applied Linguistics (Richard, 1992: hlm. 199). Language attitude is the attitude which speakers of different language varieties have towards each other’s languages or to their own language. Expressions of positive or negative feelings towards a language may reflect impressions of linguistic difficulty or simplicity, ease or difficulty of learning, degree of importance, elegance, social status, etc. Attitudes towards a language may also show what people feel about the speakers of that language. Gardner (1985: hlm.10) dalam jurnal berjudul Language attitudes of Turkish students towards the English language and its use in Turkish context yang ditulis Karahan (2007) memandang sikap bahasa sebagai komponenkomponen motivasi dalam mempelajari suatu bahasa. Menurut Gardner, komponen-komponen motivasi teersebut adalah usaha yang dilakukan,
9
keinginan untuk mencapai tujuan mempelajari suatu bahasa, dan sikap-sikap positif untuk mempelajari bahasa teersebut. ‘Motivation ...refers to the combination of effort plus desire to achieve the goal of learningthe language plus favorable attitudes towards learning the language’. Berdasar pada apa-apa yang telah dikemukakan oleh Gardner, Karahan meyakini bahwa motivasi unttuk mempelajari suatu bahasa ditentukan oleh kecenderungan-kecenderungan yang bersifat dasar dan karakteristik-karakteristik pribadi, seperti sikap pembelajar terhadap penutur asli bahasa asing yang ia pelajari, sikapnya terhadap bahasa asing yang ia pelajari, tujuan-tujuan mempelajari bahasa tersebut, dan sikap-sikap lain yang bersifat umum. Karahan juga mengutip pendapat Wenden (1991) yang berpendapat bahwa sikap bahasa meliputi tiga kompponen, yakni: 1) cognitive component, meliputi keyakinan atau persepsi tentang objekobjek atau situasi-situasi yang berkaitan deng sikap; 2) evaluative component, meliputi rasa suka atau tidak suka (like or dislike); dan 3) behavioral component, meliputi perilaku-perilaku belajar yang muncul dari sikap pembelajar terhadap bahasa yang dipelajarinya. b. Ciri-Ciri Sikap Berbahasa Garvin dan Mathiot (1968) dalam Chaer dan Agustina (2004) merumuskan tiga ciri sikap bahasa, sebagai berikut. 1) Kesetiaan bahasa (language loyalty) yang mendorong masyarakat suatu bahasa mempertahankan bahasanya, dan apabila perlu mencegah adanya pengaruh bahasa lain. Kesetiaan terhadap bahasa (loyalitas bahasa) muncul pada msyarakat yang mendukung dan merasa bangga terhadap bahasa yang dimilikinya serta ingin mengangkat derajat bahasa tersebut pada statuus yang lebih tinggi. Loyalitas bahasa diartikan oleh Weinreich (1985) dalam Aslinda dan Syafyahya (2007:103) sebagai kegiatan orang untuk mengajak orang lain dalam memperjuangkan bahasanya agar diangkat menjadi bahasa resmi dalam suatu masyarakat bahasa.
10
2) Kebanggaan
bahasa
(language
pride),
yang
mendorong
orang
mengembangkan bahasanya dan menggunakannya sebagai lambang identitas dan kesatuan masyarakat. 3) Kesadaran adanya norma bahasa (awareness of the norm), yang mendorong orang menggunakan bahasanya dengan cermat dan santun; dan merupakan faktor yang sangat besar pengaruhnya terhadap perbuatan yaitu kegiatan menggunakan bahasa (language use). 3. Berbicara sebagai Keterampilan Berbahasa Berbicara berarti berkata, bercakap, berbahasa (KBBI, 1995: hlm. 130). Berbicara merupakan proses perubahan bentuk pikiran/ angan-angan/ perasaan, dan sebagainya menjadi wujud bunyi bahasa yang bermakna (Tarigan, 1985: hlm. 48). Penggunaan suatu bahasa dalam sebuah peristiwa (berbicara) bergantung pada partisipan, situasi, topik, dan tujuan pembicaraan. Untuk partisipan yang status dan kedudukannya berbeda diperlukan kode yang berbeda; untuk situasi resmi atau tidak resmi juga diperlukan kode/ bahasa yang berlainan. Begitu juga ada topik-topik yang harus menggunakan ragam baku, ada pula topik-topik yang harus menggunakan ragam nonbaku. Pembicaraan akan memperhitungkan dengan siapa dia berbicara, tentang apa yang akan dibicarakan, situasi berbicara, dan lain-lain yang akan memberi warna terhadap pembicaraan itu. Keseluruhan peristiwa inilah yang dinamakan peristiwa tutur ‘speech event’. Berbicara speaking adalah suatu proses keterampilan berbahasa. Dell Hymes (1968) dalam Lubis (1991) mengemukakan adanya faktor-faktor yang menandai terjadinya suatu proses/ peristiwa tutur dengan singkatan SPEAKING, yang mengandung maksud dalam setiap fonemnya. S P E A K I N G
: : : : : : : :
Setting and scene ‘latar’ ; Participant ‘partisipan’ ; Ends ‘hasil’ ; Act sequence ‘pesan’ ; Keys ‘cara’ ; Instrumentalities ‘sarana’ ; Norms ‘norma’, ‘aturan’ ; dan Genre ‘jenis’.
11
Berdasarkan ragam bahasa, peristiwa berbicara dapat terjadi pada ragam formal dan ragam santai. Ragam formal terdiri atas berbagai situasi berbicara yang dilaksanakan di dalam kelas, yakni berpidato, berdiskusi, dan bermain peran. Sedangkan ragam santai adalah situasi berbicara di luar kelas, yakni peristiwa berbicara dalam obrolan bebas. 4. Pengembangan Instrumen Pengukuran Sikap Berbahasa a. Tujuan Pengembangan Instrumen Pengembangan instrumen pengukuran sikap berbahasa dilakukan dengan beberapa tujuan berikut ini. 1) Memberikan penguatan terhadap pembangunan karakter bangsa melalui bidang pendidikan, khususnya karakter semangat kebangsaan. 2) Memberikan sebuah alternatif tentang cara mengukur karakter semangat kebangsaan melalui salah satu parameternya, yakni kecintaan terhadap bahasa Indonesia sebagai lambang identitas nasional. 3) Menciptakan sebuah alat ukur baku yang dapat digunakan, baik dalam lingkup sekolah maupun dalam lingkup yang lebih luas, bahkan dalam lingkup nasional. b. Langkah Pengembangan Instrumen Langkah yang dikembangkan dalam penelitian ini mengacu pada metode pengembangan instrumen yang dikemukakan oleh Ali (2011: hlm.170). Menurut Ali, dalam pengembangan instrumen skala, prosedur pengembangan alat ukur ditempuh dengan langkah-langkah sebagai berikut. 1. Menyusun kisi-kisi Penyusunan kisi-kisi terlebih dahulu diawali dengan analisis variabel, yakni variabel yang terkait dengan sikap berbahasa. Dari beberapa konsep tentang sikap bahasa, pada penelitian ini, penulis memilih konsep yang disampaikan oleh Wenden dalam Karahan tentang tiga komponen sikap bahasa. a. Cognitive component, meliputi keyakinan atau persepsi tentang objekobjek atau situasi-situasi yang berkaitan dengan sikap; b. Evaluative component, meliputi rasa suka atau tidak suka (like or dislike); dan
12
c. Behavioral component, meliputi perilaku-perilaku belajar yang muncul dari sikap pembelajar terhadap bahasa yang dipelajarinya. 2. Menyusun butir pertanyaan 3. Uji coba keterpahaman draft awal 4. Uji empirik nilai skala 5. Menata kembali butir-butir instrumen setelah direvisi 6. Uji daya pembeda setiap butir pernyataan 7. Menata kembali pernyataan-pernyataan yang terpilih menjadi perangkat skala dalam bentuk draft akhir 8. Menguji kevalidan skala 9. Menguji kereliabelan skala Berdasarkan langkah-langkah tersebut, instrumen pengukuran sikap berbahasa dikembangkan. Instrumen pengukuran hasil pengembangan dapat dibaca pada bagian lampiran makalah ini. c. Penetapan Kriteria Sikap Berbahasa Penskoran dilakukan dengan mengacu pada dan mengadaptasi Personality Test yang dinamakan Edwards Personal Preference Schedule (EPPS). EPPS adalah instrumen pengukur kepribadian yang mengacu pada pola pikir, perasaan, dan perilaku unik yang dimiliki seorang individu, dan membedakannya dari orang lain. Tes ini terdiri atas pilihan-pilihan jawaban yang paling mencerminkan individu (responden). Penskoran dilakukan sebagai berikut. 1. Berilah skor 3 untuk setiap jawaban A; 2. Berilah skor 2 untuk setiap jawaban B; dan 3. Berilah skor 1 untuk setiap jawaban C. Skor tertinggi yang akan diperoleh adalah 28 x 3, yaitu 84, sedangkan skor terendah adalah 28. Berdasarkan hal ini, diperoleh rentang skor sebagai dasar penentuan kriteria. a. 28 s.d. 38: sikap berbahasa sangat tidak baik b. 39 s.d. 50: sikap berbahasa tidak baik c. 51 s.d. 61: sikap berbahasa cukup baik d. 62 s.d. 73: sikap berbahasa baik e. 74 s.d. 84: sikap berbahasa sangat baik
13
D. Simpulan dan Harapan 1. Simpulan Pembangunan karakter bangsa harus senantiasa diiringi dengan penguatan rasa semangat kebangsaan. Dengan semangat kebangsaan yang kuat, cerminan karakter Indonesia akan muncul dalam segala aktivitas yang ditujukan bagi peningkatan kualitas bangsa. Dalam upaya memberikan penguatan terhadap pembangunan karakter bangsa, jalur pendidikan mengambil peran penting untuk mencapai tujuan ini. Terdapat beberapa parameter yang menjadi indikator ketercapaian pembangunan karakter bangsa. Salah satu di antara berbagai parameter tersebut adalah bahasa. Bahasa merupakan lambang integrasi bangsa. Bahasa adalah identitas bangsa. Kedudukannya sama dengan bendera, lambang negara, dan lagu kebangsaan. Sebagaimana diamanatkan dalam Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 dan dipertegas dengan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang “Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan”, bahasa Indonesia memiliki kedudukan ‘martabat’ yang sangat kuat.
Sebagai alat ekspresi diri pribadi, alat ekspresi diri
makhluk sosial, alat ekspresi diri warga negara, dan alat ekspresi diri profesional, bahasa menjadi kebutuhan dasar dalam dunia pendidikan. Bahasa memiliki peran penting dalam pembentukan karakter seseorang. Berdasarkan undang-undang tersebut, bahasa Indonesia tumbuh dan berkembang di tanah air Indonesia ini sesuai dengan dinamika peradaban bangsa. Hal ini mengandung pengertian bahwa bangsa Indonesia sebagai pengguna
bahasa
Indonesia
harus
senantiasa
mengikuti
arus
perkembangan zaman dan teknologi. Namun, meskipun demikian, tidak berarti bahwa bangsa Indonesia dapat dengan bebas merusak tatanan yang telah diatur dalam Tata Bahasa Indonesia. Hingga saat ini, penelitian tentang sikap berbahasa hanya berupa penelitian kualitatif. Beberapa hasil penelitian hanya berupa deskripsi tentang perilaku berbahasa siswa atau pun mahasiswa. Hasil penelitian berupa deskripsi boleh saja dilakukan untuk sebuah peneltian kualitatif.
14
Namun untuk keperluan tertentu, hasil penelitian berupa angka atau bilangan juga sangat dibutuhkan. Instrumen pengukuran baku dalam bidang bahasa, terutama bahasa Inggris, telah banyak digunakan, seperti TOEFL, TOEIC, dan sebagainya. Akhir-akhir ini, di Indonesia digunakan pula sebuah instrumen baku untuk mengukur kemahiran berbahasa Indonesia, yaitu instrumen tes yang bernama Uji Kemahiran Berbahasa Indonesia (UKBI). UKBI digunakan untuk mengukur kemahiran berbahasa bagi orangorang Indonesia atau orang asing yang berdomisili di Indonesia. UKBI berisi pertanyaan-pertanyaan yang menuntut jawaban dengan jajmen berupa keputusan ‘benar’ atau ‘salah’. Berbeda dengan UKBI, instrumen yang dikembangkan dalam karya tulis ini tidak menuntut jawaban dengan jajmen berupa keputusan ‘benar’ atau ‘salah’. Instrumen yang dikembangkan dalam penelitian melalui karya tulis ini ditujukan untuk mengukur sikap, yakni sikap berbahasa. Dengan demikian, instrumen yang dihasilkan tergolong pengukuran mental. Di dalam instrumen Pengukuran Sikap Berbahasa Indonesia (PSBI) ini disajikan sejumlah pertanyaan yang menuntut jawaban sesuai dengan kondisi ‘peserta tes’, misalnya peserta didik. Setiap peserta didik cukup memilih satu di antara tiga alternatif jawaban. Setiap alternatif jawaban memiliki bobot tertentu yang hanya diketahui oleh pelaksana tes, guru. Pada akhir tes, peserta didik yang telah megikuti tes akan diberi tahu tentang hasil PSBI, sementara pelaksana tes tetap merahasiakan bobot untuk setiap alternatif jawaban. Setiap peserta tes akan mengetahui kriteria sikap berbahasanya masing-masing; sangat baik, baik, cukup baik, tidak baik, atau sangat tidak baik. Berdasarkan kategori itulah kita akan mengetahui derajat semangat kebangsaan peserta didik melalui PSBI ini. 2. Harapan Manusia adalah makhluk unik yang memiliki kemampuan dalam berbagai bidang. Ada kemungkinan terjadi keragaman antara perbedaan individu yang satu dengan individu lainnya. Kondisi tersebut akan membentuk karakter berbeda pula pada setiap individu. Karakter merupakan
15
kemampuan laten yang terdapat dalam diri seorang individu. Karena sifat laten inilah, sikap berbahasa dapat diukur dengan menggunakan instrumen khusus. PSBI hanyalah sebuah alternatif untuk mengukur seberapa baik sikap berbahasa yang dimiliki oleh generasi muda saat ini. Hasil pengukuran terhadap sikap berbahasa akan menjadi tolok ukur bagi sala satu parameter karakter semangat kebangsaan. Sebagai akhir dari karya tulis ini, penulis menyampaikan beberapa harapan, baik secara umum bagi pembangunan karakter bangsa, maupun secara khusus bagi PSBI yang telah dikembangkan melalui karya tulis ini. Secara umum, penulis berharap agar pembangunan karakter bangsa seperti dicanangkan oleh pemerintah melalui berbagai aspek kehidupan, dapat terlaksana secara optimal. Demikian pula upaya yang dilakukan melalui jalur pendidikan. Mengapa? Karena jalur pendidikan adalah lintasan utama para generasi muda. Pada jalur pendidikanlah, generasi muda Indonesia saat ini berada. Generasi muda sekarang adalah penentu nasib bangsa pada masa yang akan datang. Secara khusus, penulis berharap agar tercipta berbagai kondisi positif berkenaan dengan pembangunan karakter bangsa. a. PSBI yang merupakan produk penelitian melalui karya tulis ini dapat bermanfaat, baik untuk lingkup yang sempit, khususnya di sekolah tempat penulis mengabdikan diri, maupun dalam lingkup yang luas. Bahkan, penulis berharap PSBI ini dapat digunakan dalam skala nasional. b. Mengingat masih sangat banyak kekurangan pada PSBI ini, penulis sangat menunggu munculnya berbagai karya berupa instrumen pengukuran sikap untuk mendeteksi berbagai parameter karakter bangsa. Tentu, bukan hanya dalam bidang bahasa. c. Mengingat PSBI ini hanya ditujukan untuk mengukur parameter ‘berbicara’ atau tindak tutur berbahasa Indonesia, penulis sangat mengharapkan karya berupa instrumen pengukuran sikap untuk mendeteksi kemampuan ‘menulis’ berbahasa Indonesia. d. Mengingat masih sangat banyak kekurangan pada PSBI ini, penulis sangat mengharapkan kritik dan saran bagi penulis demi perbaikan PSBI sebagai produk yang dihasilkan melalui karya tulis ini.
16
E. Daftar Pustaka Ali, Mohammad. 2011. Memahami Riset Prilaku dan Sosial. Bandung: Pustaka Cendekia Utama. Aslinda dan Lenny Syafyahya. 2007. Pengantar Sosiolinguistik. Bandung: Refika Aditama. Bakri, Taqyuddin. 2016. Prosiding Forum Ilmiah XII FPBS UPI: Permasalahan Penggunaan Bahasa Indonesia Mahasiswa Universitas Tadulako; Hlm 474 s.d. 477. Bandung: UPI Press. Chaer, Abdul dan Leonie Agustina. 2004. Sosiolinguistik: Perkenalan Awal. Jakarta: Rineka Cipta. Cholisin. 2011. Analisis Kasus Terkait dengan Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa. Makalah disampaikan pada Bimtek Pendidikan Budaya dan Karakter Bangsa bagi MKKS SMA-MA Kabupaten Bantul. Diunduh pada
hari
Senin
tanggal
7
November
2016,
tersedia
pada
http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/MAKALAH%20ANALISIS%20KASUS%20%20 PENDIDIKAN%20KARAKTER%20%2012%20NOP%202011.pdf
Edwards, Allen L. 1957. Techniques of Attitude Scale Construction. New York: Appleton-Century-Crofts, Inc. Haerudin, Dingding. 2012. Sikap Bahasa Mahasiswa. Makalah, dimuat dalam Jurnal Bahasa dan Seni FPBS UPI. Diunduh
pada
Selasa,
8
November
2016;
tersesia
pada
http://file.upi.edu/Direktori/FPBS/JUR._PEND._BAHASA_DAERAH/1964082219890 31-DINGDING_HAERUDIN/SIKAP_BAHASA_MAHASISWA.pdf
Karahan, Firdevs. 2007. Languange Attitudes of Turkish Students towards the English Language and Its Use in Turkish Contecxt. Journal of Arts and Sciences Say: çankaya Ȕnivercity Fen-Edebiyat Fakȕltesi. Diunduh pada Sabtu, 5 November 2016.Tersedia: http://jas.cankaya.edu.tr/jas7/07FIRDEVSKARAHAN.pdf
Lubis, A. Hamid Hasan. 1991. Analisis Wacana Pragmatik. Bandung: PT Angkasa. Lubis, Mochtar. 1997. Manusia Indonesia: Sebuah Pertangungjawaban. Jakarta: Idayu Press. Mulyati, Imas. 2016. Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya Keempat Belas (Kolita 14): Analisis Penggunaan Bahasa Indonesia
17
Siswa SMA dalam Media Sosial.; hlm. 326 s.d. 330. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Universitas Atma Jaya. Naga, Dali Santun. 2013. Teori Sekor pada Pengukuran Mental. Jakarta: PT Nagarani Citrayasa. Netemeyer, Richard G. 2003. Scaling Procedures Issues and Applications. London/New Delhi: Sage Publications (International Educational and Professional Publisher. Nurhafni, dkk. 2016. Prosiding Konferensi Linguistik Tahunan Atma Jaya Keempat Belas (Kolita 14): Analisis Kesalahan Berbahasa di Media Sosial “Facebook” yang Dapat Memengaruhi Kebertahanan Bahasa Indonesia: Sebuah Kajian Morfolofi; hlm. 91 s.d. 95. Jakarta: Pusat Kajian Bahasa dan Budaya Universitas Atma Jaya. Richards, Jack. 1987. Longman Dictionary of Applied Linguistics. Essex: Longman Group UK Limited. Saadillah, Andi. 2016. Prosiding Forum Ilmiah XII FPBS UPI: Alih Kode dan Campur Kode dalam Interaksi Belajar Mengajar pada Mata Pelajaran Bahasa Indonesia; hlm. 436 s.d. 453. Bandung: UPI Press. Tarigan, Henry Guntur. 1985. Pengajaran Sintaksis. Bandung: Angkasa. Tim Penyusun Balai Pembinaan dan Pengambangan Bahasa. 1995. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka. Dokumen Negara 1. Salinan Desain Induk Pembangunan Karakter, Kementerian Pendidikan
Nasional Tahun 2010. Diunduh pada tanggal 8 November 2016, tersedia: http://fisip.ilearn.unand.ac.id/pluginfile.php/879/mod_resource/content/1/DesainInduk-Pendidikan-Karakter-Kemdiknas.pdf
2. Salinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, diunduh pada tanggal 12 Desember 2013, tersedia: http://sindikker.dikti.go.id/dok/UU/UU20-2003-Sisdiknas.pdf 3. Salinan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 2009 tentang
Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan. Diunduh pada
hari
Rabu,
9
November
2016.
Tersedia
pada
http://badanbahasa.kemdikbud.go.id/lamanbahasa/sites/default/files/UU_2009_24. pdf
18
LAMPIRAN 1:
Instrumen Pengukuran Sikap Berbahasa Indonesia (PSBI) Petunjuk: Isilah pertanyaan-pertanyaan berikut ini dengan cara memilih salah satu opsi yang sesuai dengan kondisi Anda! Kejujuran Anda akan menggambarkan karakteristik diri Anda yang sesungguhnya.
No
Pernyataan/ Pertanyaan
1
Bagaimanakah pendapat Anda tentang penggunaan bahasa dalam berpidato? A. Dalam berpidato, kita harus menggunakan bahasa Indonesia baku. B. Dalam berpidato, kita diperbolehkan menggunakan bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia dan bahasa daerah. C. Dalam berpidato, kita bebas menggunakan bahasa tidak baku, yang penting komunikatif dan dipahami audien. Apakah Anda suka dengan pidato yang menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten? A. Suka, karena pidato akan lebih mudah dipahami.
2
B. Kurang suka, karena pidato akan terasa monoton. 3
4
5
6
C. Tidak suka. Apakah Anda setuju jika pidato disampaikan dengan bahasa Indonesia yang diselingi dengan campuran bahasa gaul, sesuai dengan usia audien? A. Tidak setuju, karena akan merusak bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. B. Boleh saja pidato diselingi bahasa gaul, karena pidato akan lebih variatif. C. Setuju, karena pidato akan lebih mudah dipahami dan tidak monoton. Menurut penilaian Anda, apakah baik berpidato dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar? A. Baik, karena mencerminkan kecintaan terhadap bahasa Indonesia. B. Kurang baik, karena pidato akan terasa kaku meskipun bahasanya bagus. C. Tidak baik, karena pidato akan terasa tidak bermakna bila tidak dipahami oleh audien. Jika Anda mendapatkan kesempatan berpidato, apakah selalu menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten? A. Ya, saya selalu menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten. B. Meskipun tidak selalu, saya berupaya untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. C. Kadang-kadang saya mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa daerah. Apakah Anda merasa malu menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten dalam berpidato?
19
7
8
9
10
11
12
A. Sama sekali saya tidak merasa malu berpidato dengan konsisten menggunakan bahasa Indonesia B. Kadang-kadang saya merasa malu karena zaman sekarang orangorang lebih terlihat hebat jika mampu berpidato dengan menggunakan istilah-istilah berbahasa Inggris. C. Saya merasa malu menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten dalam berpidato. Ketika berpidato, apakah Anda menggunakan bahasa Indonesia dengan memperhatikan kaidah tatabahasa? A. Ya, saya selalu menggunakan bahasa Indonesia dengan memperhatikan kaidah tatabahasa B. Kadang-kadang saya melanggar kaidah tatabahasa Indonesia karena terbiasa dengan bahasa gaul. C. Saya selalu menggunakan bahasa Indonesia gaul, tanpa memperhatikan kaidah tatabahasa. Bagaimanakah pendapat Anda tentang penggunaan bahasa dalam berdiskusi? A. Dalam berdiskusi, kita harus menggunakan bahasa Indonesia baku. B. Dalam berdiskusi, kita diperbolehkan menggunakan bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia dan bahasa daerah. C. Dalam berdiskusi, kita bebas menggunakan bahasa tidak baku, yang penting komunikatif dan mudah dipahami. Apakah Anda suka terhadap kegiatan diskusi yang menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten? A. Suka, karena materi diskusi akan lebih mudah dipahami. B. Kurang suka, karena proses diskusi akan terasa monoton. C. Tidak suka. Apakah Anda setuju jika bahasa yang digunakan dalam berdiskusi adalah bahasa Indonesia popular/ tidak baku? A. Tidak setuju, karena akan merusak bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. B. Boleh saja diskusi diselingi bahasa gaul, karena suasana diskusi akan terasa lebih hidup. C. Setuju, karena materi diskusi akan lebih mudah dipahami dan tidak monoton. Menurut penilaian Anda, apakah baik berdiskusi dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar? A. Baik, karena mencerminkan kecintaan terhadap bahasa Indonesia. B. Kurang baik, karena proses diskusi akan terasa kaku. C. Tidak baik, karena diskusi akan terasa tidak bermakna bila tidak dipahami oleh audien. Ketika Anda berdiskusi, apakah selalu menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten? A. Ya, saya selalu menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten. B. Meskipun tidak selalu, tetapi saya berupaya untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. C. Kadang-kadang saya mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa daerah.
20
13
14
15
16
17
18
19
Apakah Anda merasa malu menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten dalam berdiskusi? A. Sama sekali saya tidak merasa malu berdiskusi dengan menggunakan bahasa Indonesia secara konsiten B. Kadang-kadang saya merasa malu karena zaman sekarang orangorang lebih dianggap hebat jika mampu berdiskusi dengan menggunakan istilah-istilah berbahasa Inggris. C. Saya merasa malu menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten dalam berdiskusi. Ketika berdiskusi, apakah Anda menggunakan bahasa Indonesia dengan memperhatikan kaidah tatabahasa? A. Ya, saya selalu menggunakan bahasa Indonesia dengan memperhatikan kaidah tatabahasa B. Kadang-kadang saya melanggar kaidah tatabahasa Indonesia karena terbiasa dengan bahasa gaul. C. Saya selalu menggunakan bahasa Indonesia gaul, tanpa memperhatikan kaidah tatabahasa. Bagaimanakah pendapat Anda tentang penggunaan bahasa dalam bermain peran? A. Dalam bermain peran, kita harus menggunakan bahasa Indonesia baku. B. Dalam bermain peran, kita diperbolehkan menggunakan bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia dan bahasa daerah. C. Dalam bermain peran, kita bebas menggunakan bahasa tidak baku, yang penting komunikatif dan dipahami lawan main dan penonton. Apakah Anda suka terhadap kegiatan bermain peran yang menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten? A. Suka, karena bermain peran dengan menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten tidak mengurangi nilai sastra dalam peran itu. B. Kurang suka, karena proses bermain peran akan terasa monoton. C. Tidak suka. Apakah Anda setuju jika bahasa yang digunakan dalam bermain peran adalah bahasa Indonesia popular/ tidak baku? A. Tidak setuju, karena akan merusak bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. B. Boleh saja diskusi diselingi bahasa gaul, karena suasana bermain peran akan terasa lebih hidup. C. Setuju, karena materi peran akan lebih mudah dipahami dan tidak monoton. Menurut penilaian Anda, apakah baik bermain peran dilaksanakan dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar? A. Baik, karena mencerminkan kecintaan terhadap bahasa Indonesia. B. Kurang baik, karena proses bermain peran akan terasa kaku. C. Tidak baik, karena materi bermain peran akan terasa tidak bermakna bila tidak dipahami oleh penonton. Ketika Anda bermain peran, apakah selalu menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten? A. Ya, saya selalu menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten.
21
20
21
22
23
24
25
B. Meskipun tidak selalu, tetapi saya berupaya untuk menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. C. Kadang-kadang saya mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa daerah. Apakah Anda merasa malu menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten dalam bermain peran? A. Sama sekali saya tidak merasa malu bermain peran dengan menggunakan bahasa Indonesia secara konsiten B. Kadang-kadang saya merasa malu karena zaman sekarang orangorang lebih dianggap hebat jika mampu bermain peran dengan menggunakan sedikit tambahan bahasa Inggris. C. Saya merasa malu menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten dalam bermain peran. Ketika bermain peran, apakah Anda menggunakan bahasa Indonesia dengan memperhatikan kaidah tatabahasa? A. Ya, saya selalu menggunakan bahasa Indonesia dengan memperhatikan kaidah tatabahasa B. Kadang-kadang saya melanggar kaidah tatabahasa Indonesia karena terbiasa dengan bahasa gaul. C. Saya selalu menggunakan bahasa Indonesia gaul, tanpa memperhatikan kaidah tatabahasa. Bagaimanakah pendapat Anda tentang penggunaan bahasa dalam obrolan bebas? A. Dalam obrolan bebas, kita harus menggunakan bahasa Indonesia baku. B. Dalam obrolan bebas, kita diperbolehkan menggunakan bahasa campuran, yakni bahasa Indonesia dan bahasa daerah. C. Dalam obrolan bebas, kita bebas menggunakan bahasa tidak baku, yang penting komunikatif. Apakah Anda suka terhadap aktivitas mengobrol bebas yang menggunakan bahasa Indonesia atau bahasa daerah secara konsisten? A. Suka, karena mengobrol bebas dengan menggunakan bahasa secara konsisten mencerminkan kecintaan terhadap bahasa Indonesia atau bahasa daerah. B. Kurang suka, karena obrolan akan terasa monoton dan kaku. C. Tidak suka, karena mencerminkan kurangnya pergaulan. Apakah Anda setuju jika bahasa yang digunakan dalam obrolan bebas adalah bahasa Indonesia popular/ tidak baku? A. Tidak setuju, karena akan merusak bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional. B. Boleh saja obrolan menggunakan bahasa gaul, karena situasinya tidak resmi. C. Setuju. Menurut penilaian Anda, apakah baik mengobrol bebas dilakukan dengan menggunakan bahasa Indonesia yang baik dan benar? A. Baik, karena mencerminkan kecintaan terhadap bahasa baik bahasa Indonesia sebagai bahasa nasional maupun bahasa daerah. B. Kurang baik, karena prosesnya akan terasa kaku.
22
26
27
28
C. Tidak baik, karena materi obrolan akan terasa tidak bermakna bila tidak dipahami oleh penonton. Ketika Anda mengobrol bebas, apakah selalu menggunakan bahasa secara konsisten, naik bahasa Indonesia maupun bahasa daerah? A. Ya, saya selalu menggunakan bahasa secara konsisten. B. Meskipun tidak selalu, tetapi saya berupaya untuk menggunakan bahasa sebaik mungkin. C. Kadang-kadang saya mencampur bahasa Indonesia dengan bahasa daerah. Apakah Anda merasa malu menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten dalam mengobrol bebas? A. Sama sekali saya tidak merasa malu mengobrol dengan menggunakan bahasa Indonesia secara konsiten B. Kadang-kadang saya merasa malu karena zaman sekarang orangorang lebih dianggap hebat jika mampu mengobrol bebas dengan menggunakan sedikit tambahan bahasa Inggris. C. Saya merasa malu menggunakan bahasa Indonesia secara konsisten dalam mengobrol bebas. Ketika mengobrol bebas, apakah Anda menggunakan bahasa dengan memperhatikan kaidah tatabahasa? A. Ya, saya selalu menggunakan bahasa dengan memperhatikan kaidah tatabahasa B. Kadang-kadang saya melanggar kaidah tatabahasa karena terbiasa dengan bahasa gaul. C. Saya selalu menggunakan bahasa gaul, tanpa memperhatikan kaidah tatabahasa.
F. Surat Pernyataan Keaslian Karya
23