Sebuah Penyimpangan dan Salah Kaprah
KEMAMPUAN BACA-TULIS SEBAGAI SYARAT MASUK SD KHOLID A. HARRAS
Ibu Diah terpaksa harus berdebat panjang dengan panitia Penerimaan Siswa Baru (PSB) SD. Pasalnya anaknya yang bernama Hanief ditolak oleh panitia PSB SD yang hendak dimasukinya. Penyebabnya bukan karena dia tidak sanggup membayar berbagai jenis sumbangan yang jika ditotal hampir mencapai jumlah satu juta rupiah, tetapi karena saat dites ternyata anaknya yang kedua tersebut masih belum bisa bacatulis. Selain itu saat mendaftar usia Hanief juga belum genap tujuh tahun. Atas dasar kenyataan tersebut, menurut penuturan ibu Diah, panitia PSB SD menyarankan agar tahun ini Hanief masuk ke Taman Kanak-kanak dahulu dan baru tahun depan masuk SD-nya. Dalam sepuluh tahun terakhir ini memang muncul kecenderungan yang kuat dari para pengelola SD, khususnya yang telah berlabelkan “SD pavorit atau unggulan”, menginginkan agar calon peserta didiknya telah memenuhi dua kriteria sebagaimana dikatakan oleh Ibu Diah, yakni sudah memiliki kemampuan baca-tulis dan telah genap berusia tujuh tahun. Untuk itu, mereka secara “diam-diam” mempersyaratkan anak yang mendaftar harus melampirkan tanda lulus dari jenjang pendidikan Taman Kanak-kanak (TK) atau Raudhatul Atfal (RA). Asumsinya jika seorang anak sebelumnya telah lulus dari TK/RA tentunya kedua hal tersebut telah terpenuhi.
Salah Kaprah Sebenarnya semua pengelola SD sudah mengetahui bahwasanya berdasarkan aturan dari Diknas kemampuan baca-tulis dan faktor usia harus genap benar tujuh tahun tidak boleh dijadikan syarat --apalagi sampai menjadi syarat mutlak-- bagi seorang anak untuk memasuki jenjang pendidikan SD. Sebagaimana termaktub dalam UU Sisdiknas yang tempo haru baru saja disahkan, yakni pada Bab VIII Pasal 34 ayat (1) mengenai “Wajib Wajib Belajar” antara lain disebutkan “setiap warga negara yang berusia 6 tahun dapat mengikuti program wajib belajar” . Dan yang disebut program wajib belajar
menurut konsep UU Sisdiknas adalah mengikuti jenjang pendidikan dasar sembilan tahun, yakni enam tahun di SD dan tiga tahun SLTP. Dengan demikian jelaslah menurut UU Sisdiknas tersebut tidak dibenarkan dengan alasan apapun, bagi para pengelola SD menolak setiap anak Indonesia yang telah berusia enam tahun yang mendaftar diri ke sekolahnya. Jika ternyata ada di antara para pengelola SD yang melanggarnya sebagaimana kasus yang dialami oleh ibu Diah di atas, masyarakat sesungguhnya dapat menuntutnya secara hukum. Tapi entah mengapa ternyata semakin tahun
semakin banyak saja pihak pengelola SD yang
melanggarnya, khususnya di daerah perkotaan. Dampak-dampak ikutan apakah yang akan muncul sekiranya praktik yang jelasjelas merupakan sebuah penyimpangan tersebut tidak segera dihentikan?. Pertama, akan muncul persepsi yang salah kaprah pada masyarakat bahwasanya melewati pendidikan formal prasekolah di TK/RA yang sejatinya bersifat manasuka seolah-olah menjadi sebuah keharusan bagi setiap anak. Jika sampai salah kaprah ini melekat kuat, jelas akan sangat memberatkan beban keuangan para orang tua. Seperti semua kita mafhum, biaya yang harus dikeluarkan untuk masuk ke TK/RA, apalagi yang pavorit akan berkali lipat tinimbang masuk SD. Sebagai sebuah gambaran dalam liflet yang pernah penulis baca dari sebuah TK/RA pavorit di kota Bandung, mereka mematok biaya pendaftaran dan biaya untuk berbagai keperluan seperti seragam, ATK dan biaya lain-lainnya, sebesar tiga juta rupiah. Bahkan pada TK yang sangat pavorit
atau menamakan dirinya “TK/RA Unggulan” yang umumnya
menerapkan konsep full day biayanya bisa mencapai di atas lima juta rupiah. Begitu pula biaya harian dan bulanan (SPP) yang harus dikeluarkan oleh para orang tua bagi anaknya yang bersekolah di TK pada
umumnya juga akan jauh lebih besar
dibandingkan dengan biaya anaknya yang bersekolah di SD. Selain itu mengharuskan setiap anak harus sudah lulus TK/RA sebelum mereka masuk SD juga sesungguhnya merupakan hal yang tidak realistis, mengingat jumlahnya yang masih sangat terbatas, khususnya di pedesaan. Sebagai gambaran menurut data Balitbang Depdiknas saat ini, dari sekitar 12,6 juta anak Indonesia yang berusia 4-6 tahun, jumlah yang tertampung di Taman Kanak-kanak (TK) baru sekitar 12,6 persen, dan yang tertampung di Raudhatul Atfal (RA) baru sekitar 3,2 persen. Ini berarti, untuk
tingkat TK/RA pun di Indonesia masih tergolong eksklusif, baru dinikmati oleh sebagian kecil masyarakat saja. Salah kaprah kedua, akan muncul anggapan bahwasanya lembaga pendidikan formal TK/RA dianggap sebagai satu-satunya bentuk satuan pendidikan prasekolah atau yang saat ini dikenal dengan nama PADU (Pendidikan Anak Dini Usia). Jika sampai berkembang persepsi yang semacam ini jelas akan menimbulkan sebuah penyesatan dalam masyarakat. Sebab srbagaimana termaktub pada Bab VI pasal 28 ayat (1) sampai dengan (5) UU Sisdiknas, bahwasanya PADU diselenggarakan sebelum jenjang pendidikan dasar dan penyelenggaraaannya dapat melalui tiga jenis jalur pendidikan, yakni jalur formal, jalur nonformal, dan/atau jalur informal. Pendidikan PADU pada jalur formal dapat berbentuk Taman Kanak-kanak (TK), Raudatul Athfal (RA), atau bentuk lain yang sederajat. Pada jalur nonformal dapat berbentuk Kelompok Bermain (KB), Taman Penitipan Anak (TPA), atau bentuk lain yang sederajat. Sedangkan pada jalur informal dapat berupa pendidikan keluarga atau pendidikan yang diselenggarakan oleh lingkungan. Salah kaprah ketiga –ini yang lebih gawat dan serius— akibat adanya tuntutan agar anak sudah harus bisa baca-tulis akan dan telah menyebabkan terjadinya disorientasi pendidikan di TK/RA, dari yang seharusnya hanya sebagai tempat anak bermain serta untuk mengembangkan sifat sosial dan pengenalan lingkungan, menjadi arena belajar dalam arti yang sebenarnya. Dan jika praktik-praktik semacam itu tidak segera diluruskan maka usia TK yang sejatinya hanya dipergunakan untuk menikmati masa “kekinian” anak-anak akan hilang atau tercerabut. Atau dengan bahasa yang lebih bombastis praktik semacam itu merupakan bentuk lain dari “pemerkosaan” terhadap hak-hak anak. Ini bukan berarti bahwa pendidikan anak dini usia menjadi tidak penting. Justru sebaliknya. Menurut para pakar pendidikan dalam rangka mempersiapkan masa depan anak yang penuh tantangan, seyogyanya
pendidikan terhadap anak-anak harus
dilaksanakan sebaik-baiknya sedini mungkin. Adapun sejumlah alasanya antara lain sebagai berikut. Pertama, menurut hasil penelitian Balitbang Depdiknas (tahun 1999), tingginya angka mengulang di kelas awal (kelas I: 13 persen dan kelas II: 8 persen) diduga disebabkan oleh lemahnya pembinaan anak masa dini usia. Artinya, terdapat
korelasi positif antara pendidikan prasekolah yang diperoleh dengan kesiapan anak memasuki sekolah. Kedua, menurut berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa masa- masa dini usia merupakan periode kritis dalam perkembangan anak sekaligus masa emas (the golden age); masa kejayaan yang hanya datang sekali seumur hidup. Menurut kajian neurologi misalnya, pada saat lahir otak bayi mengandung sekitar 100 milyar neuron yang siap melakukan sambungan antarsel. Selama tahun-tahun pertama, otak bayi berkembang sangat pesat dengan menghasilkan bertrilyuin-trilyun sambungan antarneuron yang banyaknya melebihi kebutuhan. Sambungan tersebut harus diperkuat melalui berbagai rangsangan psikososial, karena sambungan yang tidak diperkuat akan mengalami antrofi (penyusutan) dan akhirnya tidak berfungsi. Inilah yang pada akhirnya akan mempengaruhi tingkat kecerdasan anak-anak. Dalam kajian lain diungkapkan bahwa perkembangan kecerdasan anak terjadi sangat pesat pada tahun-tahun awal kehidupan mereka. Sekitar 50% kapabilitas kecerdasan seorang dewasa sesungguhnya telah terjadi ketika mereka berusia 4 tahun, 80% terjadi pada saat dirinya berusia 8 tahun, dan mencapai titik kulminasi ketika dia berusia 18 tahun. Hal ini berarti bahwa perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 4 tahun pertama sama besarnya dengan perkembangan yang terjadi pada kurun waktu 14 tahun berikutnya, dan selanjutynya perkembangan otak akan mengalami stagnasi. Berdasarkan kenyataan ini maka sesungguhnya penanganan pendidikan anak yang baru dimulai setelah menginjak usia TK pun sudah dinilai terlambat, karena usia empat tahun pertama justru lebih penting dan menentukan. Meskipun demikian yang harus segera dicatat bahwasanya fungsi pendidikan bagi anak dini usia harus diartikan secara luas, yakni mencakup seluruh proses stimulasi psikososial yang tidak terbatas pada proses pembelajaran yang dilakukan secara klasikal. Artinya pendidikan dapat berlangsung di mana saja dan kapan saja, baik yang dilakukan sendiri di lingkungan keluarga maupun oleh lembaga pendidikan di luar lingkungan keluarga. Selain
itu
pelaksanaan
pembelajarannya juga harus
senantiasa
harus
memperhatikan batas-batas “kekinian”, baik faktor usia maupun faktor perkembangan kognitif mereka masing-masing. Sehubungan dengan hal ini maka di sejumlah negara
maju penyelenggaraan PADU terbagi dalam berbagai kelompok, yaitu toddler (0-2 tahun), nursery (2-3 tahun), play group (3-4 tahun), dan kindergarten untuk usia 4-6 tahun. Boleh saja pada usia play group atau kindergarten anak-anak dikenalkan dengan hal-hal yang berhubungan dengan kegiatan baca-tulis juga hitung. Namun yang harus diperhatikan pelaksanaanya baru sebatas proses pengenalan saja. Misalnya mengenal dan menuliskan berbagai jenis abjad atau angka-angka. Sama sekali mereka masih belum boleh diajari membaca sebagaimana yang dilakukan di SD. Dan itu pun harus dilaksanakan dalam kerangka belajar sambil bermain (learning by doing). Kita memang prihatin terhadap kemampuan membaca yang saat ini dicapai oleh anak-anak di negeri ini. Berdasarkan penelitian terakhir yang dilakukan oleh Tim Program of International Student Assessment (PISA) Badan Penelitian dan Pengembangan Depdiknas yang dilansir beberapa waktu lalu, menunjukkan bahwasanya sekira 37,6 persen anak usia 15 tahun Indonesia hanya bisa membaca saja tanpa bisa menangkap maknanya dan 24,8 hanya bisa mengaitkan teks yang dibaca dengan satu informasi pengetahuan. Berdasarkan hasil penelitian yang dikoordinasikan oleh Australian Council for Educational Research tersebut telah menempatkan kemampuan membaca anak- anak Indonesia berada di urutan 39 dari 41 negara. Berdasarkan data tersebut, artinya masih banyak anak-anak SLTP dan SLTA di negeri ini yang sesungguhnya tidak punya bekal hidup untuk bisa belajar mandiri karena kemampuannya untuk menyerap pengetahuan melalui bahan bacaan masih rendah. Meski kemampuan itu seharusnya memang dimiliki oleh anak usia SD tetapi kemampuan membaca dan menulis tidak boleh dijadikan
prasyarat untuk
memasukinya. Alasannya selain melanggar aturan dan hak anak-anak juga dikhawatirkan akan menimbulkan kontraproduktif. Dari berbagai literatur serta hasil penelitian mengenai membaca yang sempat penulis kaji, belum ada bukti bahwasanya anak-anak yang semasa TK-nya sudah bisa membaca akan lebih baik kemampuan membacanya dibandingkan dengan mereka yang baru memulainya saat masuk SD. Sebaliknya kemahiran membaca mereka lebih banyak dikarenakan adanya penerapan metode pengajaran yang tepat dari guru-guru serta dukungan dari pihak keluarga. Penulis adalah pensyarah di Universitas Pendidikan Indonesia (UPI) .Membina matakuliah “Keterampilan Membaca”
Sabtu, 26 Juli 2003
Jangan Paksakan Program kepada Anak Jakarta, Kompas - Dunia anak merupakan dunia tumbuh kembang yang seharusnya menyenangkan bagi anak. Karena itulah, orangtua dan penyelenggara pendidikan anak dini usia jangan memaksakan program pada anak agar anak tidak merasa dipaksa melakukan sesuatu yang tidak menyenangkan. Hal ini disampaikan Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar ketika membuka acara Semarak Anak Dini Usia di Jakarta, Jumat (25/7). Rangkaian peringatan Hari Anak Nasional 2003 ini hasil kerja sama Direktorat Pendidikan Anak Dini Usia dan Ditjen Pendidikan Luar Sekolah dengan Pemuda Depdiknas, Yayasan Kesejahteraan Anak Indonesia, Yayasan Qolbun Saliim, Yayasan Citra Pendidikan, dan Yayasan Permata Bangsaku. "Anak bukanlah miniatur dewasa, baru masuk sekolah sudah diharapkan jadi jenderal. Yang perlu dilakukan adalah memberikan bimbingan agar anak bisa mandiri dengan berbagai kecakapan hidup," ujar Malik Fadjar. Dirjen PLSP Depdiknas Fasli Jalal melihat, orangtua dan masyarakat sering kali berharap terlalu banyak pada anaknya. Mereka sering membelikan berbagai mainan yang terlihat modern, namun sebenarnya tidak disenangi anak. "Kalau anak menelantarkan mainan itu, orangtua akan marah. Padahal, anak memiliki kesenangan sendiri dengan suatu permainan sederhana yang tidak mahal," ujarnya. Anak bukan komputer Menurut Fasli, tidak sedikit masyarakat yang hanya ingin melihat anaknya seperti sebuah komputer yang bisa diprogram seenaknya. Tidak heran jika banyak model pendidikan yang hanya melahirkan anak-anak dengan satu kegiatan saja. "Jangan paksakan program pendidikan tertentu pada anak. Yang terpenting mereka bisa belajar dalam suasana yang menyenangkan dan diterima lingkungan dengan baik," ujarnya. Saat ini, menurut Fasli, tidak sedikit anak yang merasa suasana di persekolahan kurang begitu menyenangkan. Sehingga begitu masa liburan tiba, anak-anak merasa seperti terbebas dari penjara. Padahal, seharusnya anak merasa senang di sekolah. (MAM)