PROYEK PEMBANGUNAN MASYARAKAT PESISIR (PMP) COASTAL COMMUNITY DEVELOPMENT PROJECT INTERNATIONAL FUND FOR AGRICULTURAL DEVELOPMENT (CCD - IFAD)
LAPORAN AKHIR
INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
2013
KELURAHAN LABUKKANG Kota Parepare
PEMERINTAH KOTA PAREPARE Dinas Pertanian, Kehutanan, Perikanan dan Kelautan, Kota Parepare
CV. GEOMARINE
KELURAHAN LABUKKANG, KOTA PAREPARE
INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT KELURAHAN LABUKKANG KOTA PAREPARE
iii
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
KATA PENGANTAR Laporan inventarisasi Potensi Sumberdaya dan Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Kelurahan Labukkang, Kota Parepare merupakan kerjasama kerjasama antara CV Geomarine dengan Dinas Kehutanan Pertanian Perikanan Kelautan Kota Parepare melalui Proyek Pembangunan Masyarakat Pesisir (Coastal Community Development Project) CCDP-IFAD. Kelurahan Labukkang merupakan salah satu dari sasaran program CCDPIFAD yang diharapkan dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat yang berada dilokasi, dari kondisi yang ada saat ini menjadi kondisi yang lebih baik. Laporan ini berisikan data dasar dari hasil desk studi dan observasi lapangan kemudian dilakukan analisis kuantitatif dan kualitatif serta dideskripsikan berdasarkan karakteristik data. Beberapa aspek yang menjadi fokus kegiatan ini antara lain; aspek biogeofisik lingkungan mencakup karaktersitik wilayah pesisir kelurahan Labukkang, kondisi geologi dan geomorfologi secara umum, kondisi oseanografi dan kualitas perairan, ekosistem wilayah peisir (padang lamun, mangrove dan terumbu karang) serta kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya masyarakat (Mata pencaharian dan sumber-sumber pendapatan masyarakat nelayan, Beberapa hambatan dalam penyusunan dan pelaporan dapat diatasi berkat kerjasama yang kooperatif dari dinas PKPK, BAPPEDA, BPS, Penyuluh, Tokoh Masyarakat dan masyarakat Kelurahan Labukkang.
Parepare,
Desember 2013
CV. Geomarine
iv
KELURAHAN LABUKKANG, KOTA PAREPARE
DAFTAR ISI KATA PENGANTAR ii DAFTAR ISI iii DAFTAR TABEL iv DAFTAR LAMPIRAN v 1. PENDAHULUAN 1 1.1 Latar Belakang 2 1.2 Tujuan Kegiatan 3 1.3 Ruang Lingkup Kegiatan 4 1.4 Sasaran 4 1.5 Keluaran 4 1.6 Hasil 5 2. METODOLOGI 7 2.1 Waktu dan Lokasi 8 2.2 Metode Penelitian 8 3. GAMBARAN UMUM 15 3.1 Letak Geografis dan Administrasi 16 3.2 Kondisi Biogeofisik Lingkungaan Pesisir 16 3.3 Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir 25 4. ARAHAN PENGELOLAAN PEMANFAATAN PESISIR 51 5. PENUTUP 48 DAFTAR PUSTAKA
v
DAFTAR TABEL Tabel 1. Kategori Pengamatan Karang
8
Tabel 2. Kriteria dampak gangguan terhadap ekosistem mangrove
10
Tabel 3. Pengukuran kecepatan arus di perairan Labukkang
16
Tabel 4. Pengukuran suhu di perairan Labukkang
18
Tabel 5. Pengukuran salinitas di perairan Labukkang
18
Tabel 6. Pengukuran Kecerahan perairan di perairan Labukkang
18
Tabel 7. Jenis-jenis Lamun yang Ditemukan pada Setiap Stasiun Penelitian di Perairan Labukkang 21 Tabel 8. Nilai indeks Keanekaragaman, Dominansi, Keseragaman Ekosistem Lamun di perairan Labukkang 21 Tabel 9. Jenis Mangrove di wilayah pesisir Labukkang.
23
Tabel 10. Indeks Keanekaragaman, Keseragaman dan Dominansi Mangrove di perairan Labukkang 23 Tabel 11. Kondisi Substrat dasar perairan di perairan Labukkang
23
Tabel 12. Komposisi penduduk Kelurahan Labukkang menurut pekerjaan 25 Tabel 13. Nilai dan penghasilan tiap produk ikan kering
37
DAFTAR GAMBAR Gambar 1. Diagram alir rencana kegiatan
6
Gambar 2 . Transek kuadrat yang digunakan dilokasi kegiatan
9
Gambar 3. Peta Batas Administrasi Kelurahan Labukkang
13
Gambar 4. Grafik Pasang Surut Perairan Teluk Parepare
15
Gambar 5. Grafik Prediksi Pasang Surut Perairan Teluk Parepare
16
Gambar 6. Kepadatan Lamun di Stasiun 1 Kelurahan Labukkang
19
Gambar 7. Kepadatan Lamun di Stasiun 2 Kelurahan Labukkang
20
Gambar 8. Kepadatan Lamun di Stasiun 3 Kelurahan Labukkang
21
Gambar 9. Kondisi Ekosistem Padang Lamun di Kelurahan Labukkang 21 Gambar 10. Kondisi Hutan Mangrove di Kelurahan Labukkang
22
Gambar 11. Kondisi dasar perairan di Kelurahan Labukkang
24
Gambar 12. Komposisi nelayan menurut pemilahan nelayan tangkap dan budidaya 27 Gambar 13. Wawancara dengan Petugas Penyuluh Lapangan dan salah seorang Nelayan 27
KELURAHAN LABUKKANG, KOTA PAREPARE
Gambar 14. Komposisi nelayan menurut alat tangkap
28
Gambar 15. Mobil-mobil pengangkut ikan di dermaga PPI Cempae yang menjemput ikan pada malam hari 29 Gambar 16. Gerbang PPI Cempae
30
Gambar 16. Situasi dermaga PPI Cempae pada siang hari
30
vii
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
...wilayah pesisir dan laut memiliki potensi sumberdaya alam yang sangat besar di antaranya; sumberdaya perikanan, ekosistem mangrove, terumbu karang, padang lamun, jasa-jasa lingkungan. Potensi sumberdaya manusia, sekitar
60 % penduduk
Indonesia bermukim di wilayah pesisir Kusumastanto Tridoyo,2001
viii
1
PENDAHULUAN
Pendahuluan
1
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
1.1 Latar Belakang Wilayah pesisir dan laut memiliki potensi yang sangat besar, di antaranya potensi sumberdaya perikanan (perikanan tangkap, budidaya) ekosistem (mangrove, terumbu karang, padang lamun), jasa-jasa lingkungan (pariwisata, perhubungan dan kepelabuhanan. Sedangkan potensi dari sisi sumberdaya manusia (SDM) bahwa sekitar 60 % penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir, sehingga menjadi pusat kegiatan perekonomian seperti: Perdagangan, Perikanan tangkap, Perikanan Budidaya, Pertambangan, Transportasi laut, dan Pariwisata bahari. Potensi penduduk yang berada menyebar di pulau-pulau merupakan aset yang strategis untuk peningkatan aktivitas ekonomi antar pulau sekaligus pertahanan keamanan Negara (Kusumastanto, T.,2001). Coastal
Community Development International
Fund for Agricultural Development (CCD-IFAD) atau disebut Proyek Pembangunan Masyarakat Pesisir (PMP) merupakan kerjasama Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan IFAD berdasarkan Financing Agreement antara Pemerintah Republik Indonesia, dalam hal ini diwakili oleh Direktur Jenderal Pengelolaan Utang Kementerian Keuangan dengan President
Masyarakat pesisir didefinisikan sebagai kelompok orang yang tinggal di daerah pesisir dan sumber kehidupan perekonomiannya bergantung secara langsung pada pemanfaatan sumberdaya laut dan pesisir. Dalam bidang non-perikanan, masyarakat pesisir bisa terdiri dari penjual jasa pariwisata, penjual jasa transportasi, serta kelompok masyarakat lainnya yang memanfaatkan sumberdaya. ( Nikijuluw, V., 2001)
2
IFAD yang ditandatangani pada tanggal 23 Oktober 2012. Proyek tersebut sebagai respon langsung terhadap kebijakan dan prakarsa Pemerintah Indonesia, yang mencerminkan kebijakan pemerintah, khususnya KKP untuk pengentasan kemiskinan, penyerapan tenaga kerja, pertumbuhan ekonomi,
PENDAHULUAN
dan pembangunan yang berkelanjutan (pro-poor, pro-job, pro-growth and pro-sustainability) yang sejalan dengan kebijakan dan program IFAD. Kota Parepare secara administratif terbagi ke dalam 4 (empat) kecamatan, 3 (tiga) merupakan wilayah pesisir yaitu Kecamatan Soreang, Kecamatan Ujung dan Kecamatan Bacukiki Barat sedangkan Kecamatan Bacukiki yang terletak di sebelah timur kota Parepare merupakan daerah perbukitan. Kecamatan Soreang khususnya kelurahan Labukkang salah satu dari beberapa kelurahan peisisir yang menjadi sasaran program. Invetarisasi potensi sumberdaya dan kondisi sosial mayarakat kelurahan Labukkang bertujuan mengetahui kondisi dan potensi sumberdaya yang ada saat ini.
1.2 Tujuan Kegiatan Kegiatan ini bertujuan menghasilkan profil kelurahan Labukkang di Kecamatan Soreang yang selanjutnya menjadi bahan Pembuatan Profil Wilayah Pesisir Kota Parepare.
Coastal Community Development atau disebut Proyek Pembangunan Masyarakat Pesisir (PMP) merupakan kerjasama Kementerian Kelautan dan Perikanan dengan IFAD
3
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
1.3. Ruang Lingkup
Lingkup kegiatan ini meliputi: a). Pengumpulan data Pengumpulan
data
dimaksudkan
untuk
mengidentifikasi
potensi
sumberdaya alam laut, pemanfaatan, habitat, aspek pendapatan, pemasaran dan kelembagaan serta isu-isu masyarakat pesisir yang ada. b). Surey lapangan Kegiatan survey lapangan dimaksudkan untuk mengindentifikasi kondisi sumberdaya laut, wawancara dan pengumpulan data lainnya c). Kompilasi data dan Analisis informasi Kegiatan ini dimaksudkan untuk mengolah data dan informasi yang telah diperoleh dari kegiatan pengumpulan data dan survey lapangan di lokasi kegiatan.
1.4 Sasaran Sasaran kegiatan adalah masyarakat yang bermukim di wilayah pesisir Kelurahan Labukkang dan terlibat langsung dalam mendukung program (CCD-IFAD) atau Proyek Pembangunan Masyarakat Pesisir (PMP).
1.5. Keluaran Keluaran yang diharapkan adalah Tersedianya Laporan Profil Wilayah Pesisir Kelurahan Soreang Kota Parepare, berisikan data dan informasi tentang; a. Aspek biofisik pesisir: sumberdaya alam/lingkungan hidup/ekosistem pesisir (khususnya informasi mengenai sumberdaya perikanan pesisir)
4
PENDAHULUAN
b. Aspek sosial ekonomi masyarakat pesisir: informasi mengenai tingkat pendapatan rata-rata dan sumber pendapatan, mata pencaharian masyarakat pesisir; aspek pasar dan pemasaran hasil-hasil produk masyarakat nelayan dan kegiatan perekonomian pesisir lainnya; informasi mengenai industri pengolahan hasil-hasil perikanan yang dilakukan oleh masyarakat nelayan, perempuan pesisir dan kelompok-kelompok usaha bersama masyarakat di kelurahan pesisir; informasi kelembagaan ekonomi dan pendukung sosial ekonomi pesisir lainnya; kondisi infrastruktur termasuk kondisi sarana dan prasarana pendukung perekonomian. c. Aspek sosial budaya masyarakat pesisir.
1.6 Hasil Hasil dari kegiatan ini merupakan data awal potensi sumberdaya yang ada di kelurahan dan dapat dijadikan sebagai pedoman pengelolaan sumberdaya pada tingkat kelurahan, serta sebagai bahan dalam penyusunan rencana pembangunan sektor kelautan dan perikanan.
5
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
...Pendekatan keterwakilan (populasi dan lokasi) dan pendekatan keterpaduan didasarkan pada pemahaman dan pengetahuan karakteristik sumberdaya laut, aspek sosial ekonomi dan budaya masyarkat pesisir serta tujuan pengambilan data.
6
2
METODOLOGI
Metodologi
7
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
2.1 Waktu dan Lokasi
Kegiatan ini belangsung dalam 40 hari kalender, dimulai dari tanggal 4 November 2013 sampai dengan 14 Desember 2013, sedangkan pengambilan data/survei dilaksanakan di Kelurahan Labukkang, Kecamatan Soreang , Kota Parepare.
2.2 Metode Penelitian 2.2.1. Pendekatan Secara metodologis, pendekatan yang dipakai dalam kegiatan ini adalah (i)Pendekatan Keterwakilan (populasi dan lokasi) dan (ii) Pendekatan Keterpaduan. Kedua pendekatan tersebut didasarkan pada pemahaman dan pengetahuan karakteristik sumberdaya laut, aspek sosial ekonomi dan budaya masyarkat pesisir serta tujuan pengambilan data. Pendekatan keterwakilan populasi dan lokasi - setiap populasi dalam suatu lokasi memiliki wakil dalam data studi, sehingga dapat dipastikan bahwa proses analisis benar telah mewakili keseluruhan populasi pada wilayah kerja. Pendekatan Keterpaduan - memandang bahwa keberadaan sumberdaya laut tidak berdiri sendiri melainkan terkait satu sama lain, demikian halnya dengan sistem sosial masyarakat pesisir dan kelembagaan masyarakat pesisir. Untuk itu, sebelum pengumpulan data dan survey lapangan dilaksanakan terlebih dahulu diperlukan pengenalan awal (exsisting) tentang kondisi lokasi wilayah kerja.
8
METODOLOGI
2.2.2. Tahap Persiapan Tahap ini pada prinsipnya terbagi atas 5 (lima) tahapan/kegiatan:
Persiapan Administrasi; melengkapi administrasi untuk pengumpulan data, penentuan peralatan yang dibutuhkan di lapangan, diskusi internal dengan tim dan diskusi dengan pemberi pekerjaan mengenai rencana kerja dan gambaran awal karaktersitik lokasi kegiatan
Pengambilan data;
Pengolahan data;
mengumpulkan data langsung ke lokasi, melakukan wawancara dengan sample yang telah ditentukan sebelumnya. Untuk pengumplan data sekunder dilakukan penelusuran data pada sumbersumber yang relevan dengan keberadaan data.
Tabulasi data sesuai kriteria data dan pengolahan data dilakukan dengan perangkat lunak komputer.
•Analisa data;
Pelaporan;
dilakukan sesuai karakteristik data.
Data yang telah dihasilkan dinarasikan dalam bentuk laporan, sehingga lebih informatif dan mudah dipahami.
Gambar 2-1
Diagram alir rencana kegiatan
2.2.3 Metode Kerja 2.2.3.1 Pengumpulan data sekunder Data sekunder diperoleh dari instansi terkait seperti Bappeda, Dinas Pertanian Kehutanan Kelautan Perikanan, BPS, data Kelurahan dan lainnya yang relevan. Bentuknya dapat berupa laporan hasil studi, buku referensi dan lain sebagainya.
2.2.3.2 Pengumpulan data primer/Survey lapangan A. Parameter Perairan Suhu Pengukuran suhu perairan dengan menggunakan termometer ataupun depth gauge yang tersedia pada konsul penyelam.
9
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Salinitas Secara insitu pengukuran salinitas dapat dilakukan dengan menggunakan salinometer, pengukuran dilakukan pada stasiun pengamatan yang telah ditetapkan di wilayah observasi. Arus Pengukuran arus laut dilakukan dengan menggunakan layang-layang arus untuk menentukan kecepatan dan arah arus. Pengukuran dilakukan pada titik stasiun yang telah ditetapkan (offshore), penentuan titik pengamatan disesuaikan dengan kondisi oseanografi lokal didaerah observasi. Kecerahan Pengukuran kecerahan perairan dilakukan dengan menggunakan seichi disk.
B. Ekosistem Terumbu Karang Pengambilan data ekosistem terumbu karang dapat dilakukan dengan metode Rapid Reef Resources Assessment dan Point Intercept Transect,. Metode tersebut sangat tergantung pada kondisi ekosistem yang ada. - Rapid Reef Resources
Assessment (RRA), merupakan metode
pengamatan terumbu karang secara cepat untuk mendapatkan gambaran Metode PIT merupakan salah satu metode yang dikembangkan untuk memantau kondisi karang hidup dan biota pendukung lainnya di suatu lokasi terumbu karang dengan cara yang mudah dan dalam waktu yang cepat Hill & Wilkinson 2004 dalam LIPI, 2009
awal dari kondisi terumbu pada suatu lokasi. Prosedur pengamatan dengan RRA dilakukan peneliti/pengamat dengan cara berenang ke lokasi terumbu karang, mencatat gambaran umum terumbu kemudian plot lokasi dengan menggunakan GPS. Untuk pengamatan yang lebih detail kondisi terumbu dilakukan dengan metode PIT. - Point Intercept Transect (PIT). Teknik pengambilan data perkategori dilakukan dengan menentukan posisi dengan menggunakan GPS. Selanjutnya transek dipasang sepanjang 25 meter, dibentangkan sejajar dengan garis pantai /daratan berada di sebelah kiri. Tiap koloni karang, biota maupun substrat yang berada di bawah tali transek dicatat berapa kali jumlah kehadirannya per titik. Dimulai dari titik 1 sampai titik 50 dengan interval jarak 50 cm. Kategori yang harus dicatat dapat dilihat pada Tabel 1-1.
10
METODOLOGI
Kode
Kategori
Keterangan
AC
Acropora
Karang Acropora
NA
Non-Acropora
Karang Non Acropora
DC
Death Coral
Karang mati masih berwarna putih
DCA
Death Coral Algae
Karang mati yang warnanya berubah karena ditumbuhi alga filamen
SC
Soft Coral
Jenis – jenis karang lunak
FS
Fleshy Seaweed
Jenis – jenis makro alga : Sargassum, Turbinaria, Halimeda, dll
R
Rubble
Patahan karang bercabang (mati)
RK
Rock
Substrat dasar yang keras (cadas)
S
Sand
Pasir
Si
Silt
Pasir lumpuran yang halus
Tabel 1-1 Kategori Pengamatan Karang
C. Ekosistem Padang Lamun Metoda yang digunakan untuk mengamati padang lamun adalah Metode Transek Kwadrat linear. Pada tiap kwadran (1 x 1 m atau 10 x 10 cm) dicatat jenis dan jumlah tutupan dari masing-masing jenis. Garis transek ditarik dari pantai menuju ke arah tubir pada ekosistem lamun secara tegak lurus. Pada setiap stasiun dibuat garis transek berurutan dengan jarak satu garis transek dengan garis transek berikutnya kurang lebih 30 m. Tiap garis transek terdiri dari 5 titik. Jarak titik satu dengan yang lain pada satu transek kurang lebih 10 m. Untuk pengamatan kerapatan jenis dan penutupan jenis lamun dilakukan dengan metode pengambilan contoh acak sistematik yaitu pengambilan contoh pada transek-transek yang telah ditetapkan. Pada setiap titik diambil contoh dengan menggunakan bingkai besi (kuadran) ukuran 0,5 x 0,5 m2. Identifikasi lamun berpedoman pada Phillips dan Menez (1988) serta Fortes (1990).
D. Ekosistem Mangrove Pengamatan Ekosistem Mangrove dilakukan dengan metode transek garis dengan plot 10x10 meter persegi, adapun prosedur pengamatan mangrove sebagai berikut: - Pada setiap stasiun pengamatan, tetapkan transek-transek garis dari arah laut kearah darat (tegak lurus dengan garis pantai sepanjang
11
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
kawasan mangrove yang terjadi) di daerah intertidal. -
Pada setiap kawasan hutan mangrove yang berada disepanjang transek garis, letakkan secara acak petak-petak contoh (plot) berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 10 m x 10 m sebanyak paling kurang tiga petak contoh (plot)
- Pengambilan data dilakukan dengan menggunakan metode jalur berpetak atau “nested sampling”, yaitu kombinasi antara cara jalur dan garis berpetak. Untuk tingkat pohon dilakukan dengan cara jalur, sedangkan untuk tingkat semai dan pancang dilakukan dengan garis berpetak, dimana dalam petak yang besar terdapat petak yang kecil. Selain menggunakan metode jalur berpetak, untuk mengetahui kondisi hutan mangrove dapat pula dilakukan inventarisasi dengan cara koleksi bebas di beberapa tempat sesuai kebutuhan data. Mengamati dampak kegiatan manusia (Bengen, 2001). Pengamatan dampak dilakukan untuk bahan analisis interaksi negativ akibat aktifitas manusia sebagai bagian dari ekosistem mangrove. Adapun metode pengamatannya meliputi: - Mengamati secara visual dampak yang terjadi seperti adanya sampah, penebangan, limbah minyak, dan dampak lainnya pada tiap titik pengukuran dilakukan pada setiap transek yang diletakkan pada semua stasiun pengukuran. -
Pengamatan dampak dilakukan dengan pemberian bobot dengan skala 0 sampai 4 untuk masing-masing kondisi dampak yang ada. Kriteria secara visual ini dilakukan dengan pertimbangan tingkat intensitas (keseringan) serta dampak langsung berupa kematian mangrove, terhambatnya pertumbuhan ataupun kerusakan secara fisik pada pohon mangrove misalnya ranting, batang atau daun.
- Pencatatan koordinat posisi menggunakan alat GPS
12
dilakukan pada setiap stasiun dengan
METODOLOGI
E. Kondisi Sosial Ekonomi Masyarakat Metode yang digunakan antara lain: a. Desk Studi (Studi Pendahuluan) Pengambilan/pengumpulan data sekunder yang sudah tersedia, serta dipelajari guna mendapatkan gambaran sementara untuk perencanaan pengambilan dan verifikasi data di lapangan. Data yang dikumpulkan dan dipelajari bersifat khusus ataupun yang bersifat umum. Data sekunder yang ditelusuri meliputi kondisi geografis, kondisi Sosial-Ekonomi masyarakat, serta kondisi Institusi dan Kelembagaan pada lokasi survey. b. Review Dokumen Melalui metode ini ditargetkan dua data: (1) data kuantitatif; Kondisi existing lokasi dan, (2) data mengenai program-program atau kebijakan yang pernah/sedang dijalankan. Jika data dalam dokumen cukup lengkap, yakni memuat data kuantitatif, maka akan dilakukan pula pembacaan terhadap trend kondisi sumberdaya secara kuantitatif. Data tertulis mengenai program-program tersebut dielaborasi dengan keterangan lisan dari para responden. c. Observasi Mengenal rona awal dari wilayah/lokasi (Inventori Sumberdaya Desa Berbasis Masyarakat). Pada kegiatan observasi diharapkan sudah diketahui sumber-sumber informasi, baik sumber informasi secara personal maupun sumber informasi secara institusi/kelompok. hal ini dilakukan agar semua tim bisa langsung melakukan tugas masing-masing dilapangan secara detil dan sistematis. d. FGD dan Indepth Interview Metode yang dipakai adalah Focussed Group Discussion
(FGD)
dan Wawancara Mendalam (in-depth interview). Keduanya samasama bersifat kualitatif, memungkinkan dijalankan bersamaan ataupun dipertukarkan. Untuk efektifitas dan efisiensi proses pengambilan data, maka dijalankan metode kedua, indepth interview. Dalam hal ini in-depth interview dilaksanakan lebih intensif dan ekstensif dengan memperdalam wawancara dan memperluas subjek interview. Dari metode ini dperoleh gambaran kondisi lokasi, peta keadaan sumberdaya menurut persepsi warga/responden, serta harapan warga.
13
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
14
3
GAMBARAN UMUM
Gambaran Umum Lokasi
15
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
3.1 Letak Geografis dan Administratif
Kecamatan Watang
Soreang
secara administrasi terbagi dalam 7
kelurahan dengan luas wilayah 8,33 Km2 atau 8,39% dari luas wilayah Kota Parepare. Kelurahan yang memiliki wilayah terluas di Kecamatan Soreang adalah Kelurahan Bukit Harapan (5,56 Km2) dan terkecil adalah Kelurahan Labukkang (0,12 Km2) atau 0,12% dari luas wilayah Kota Parepare. Batasbatas administrasi Kelurahan Labukkang meliputi; Sebelah utara: Kelurahan Mallusetasi dan Kelurahan Ujung Bulu Sebelah Timur: Kelurahan Kampung Baru Sebelah selatan: Kelurahan Kampung Baru Sebelah Barat: Selat Makassar (teluk Parepare)
Gambar 3-1
Peta Batas Administrasi Kelurahan Labukkang
3.2 Kondisi Biogeofisik Lingkungan Pesisir
Kondisi iklim dan cuaca Kota Parepare berdasarkan catatan Stasiun Klimatologi menunjukkan tipe iklim C2 (Schmidt-Ferguson) yaitu jumlah bulan basah 5 - 6 bulan, jumlah bulan kering 2 - 3 bulan. Wilayah yang termasuk zona iklim tersebut menempati wilayah bagian barat sampai pesisir pantai seluas ± 60% dari luas Kota Parepare. Tipe iklim D2 (Oldeman) yaitu jumlah bulan basah 3 - 4 bulan, jumlah bulan kering 2 - 3 bulan. Zona iklim tersebut menempati wilayah bagian timur Kota Parepare seluas kurang 40% dari luas wilayah Kota Parepare.
16
GAMBARAN UMUM
Curah hujan tertinggi adalah 556 mm/tahun dan yang terendah menunjukan angka 0 mm/tahun pada Bulan Agustus. Rata-rata temperatur Kota Parepare sekitar 28,5 OC dengan suhu minimum 25,6 oC dan suhu maksimum 31,5 oC, rata-rata kecepatan angin berkisar antara 2,5 - 5,8 m/detik yang bertiup dari arah barat ke timur selama bulan November sampai April. Kota Parepare mempunyai dua jenis musim yaitu musim hujan umumnya terjadi pada bulan November - April dan musim kemarau umumnya terjadi pada bulan Mei Oktober setiap tahunnya, dimana kondisi tersebut juga terjadi pada daerah lain di Indonesia.
3.2.1 Kondisi Geologi dan Geomorfologi Pesisir Ditinjau dari aspek topografi wilayah, lebih dari 85% wilayah Kota Parepare merupakan areal yang bergelombang (15-40%) dengan luas keseluruhan 5.621 Ha, berbukit-bukit sampai bergunung (>40%) dengan luas 3.215,04 Ha, sehingga untuk pengembangan fisik kota akan sangat dipengaruhi oleh kondisi topografi ini. Formasi perbukitan ini pada bagian selatan kota mendekat ke arah pantai dengan jarak terdekat 400 meter, sedangkan jarak terjauh berada di pusat kota yaitu sekitar 1,2 km. Dengan kondisi topografi seperti ini, maka wilayah yang rata atau landai terdapat pada bagian barat dengan luas keseluruhan + 1.097, 04 Ha, dimana areal ini merupakan pusat kegiatan penduduk dan kegiatan perkotaan lainnya. Berdasarkan ketinggian dari permukaan laut, Kota Parepare dengan wilayah yang bergelombang sampai bergunung, maka 87% dari luas wilayahnya terletak pada ketinggian diatas 25 meter dpl, bahkan sampai mencapai ketinggian 500 meter dpl. Daerah dengan ketinggian 0 – 25 meter dpl, berada dekat dengan pesisir pantai yang merupakan pusat kegiatan dan pemukiman penduduk.
Pengembangan fisik Kota Parepare akan sangat dipengaruhi oleh kondisi topografinya yang bergelombang, berbukit-bukit sampai bergunung.
Formasi geologi yang terdapat di Kota Parepare sebagai pembentuk struktur batuan di wilayah Kota Parepare antara lain: endapan alluvial dan pantai, kerikil, pasir, lempung dan batu gamping koral, selain itu terdapat juga batu gunung api di Kota Parepare seperti tufu, breksi, konglomerat dan lava. Jenis tanah yang terdapat antara lain: tanah regosol adalah tanah yang memiliki tekstur kasar dengan tanah kadar pasir yang lebih dari 60% dan memiliki solum yang dangkal serta tanah alluvial yaitu tanah endapan yang memiliki horizon yang lengkap karena kerap kali tercuci akibat erosi pada daerah kemiringan.
17
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
3.2.2 Kondisi Oseanografi dan Kualitas Perairan Pesisir 3.22.1 Pasang Surut Secara Umum kondisi pasang surut pada perairan Labukkang diasumsikan mewakili perairan Teluk Pare-pare. Selanjutnya analisis yang dilakukan (sumber)
dengan menggunakan metode Doodson untuk memperoleh
karakteristik pasang surut wilayah tersebut. Adapun hasil yang diperoleh tersaji dalam gambar berikut :
200
Pasut (cm)
180
DTS
160
Elevasi (cm)
140 120 100 80 60 40 20 18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00 00.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00 9.00 10.00 11.00 12.00 13.00 14.00 15.00 16.00 17.00 18.00 19.00 20.00 21.00 22.00 23.00 0.00 1.00 2.00 3.00 4.00 5.00 6.00 7.00 8.00
0
23/12/2007
24/12/2007
25/12/2007
Waktu Pengamatan
Gambar 3-2
Grafik Pasang Surut Perairan Teluk Parepare
Elevasi muka air (cm)
250 200
150
100 50
Waktu (jam) Pasut (cm)
18
Tinggi air maks
Tinggi air min
Mean sea level
5.00
16.00
7.00
18.00
9.00
20.00
22.00
0.00
11.00
2.00
13.00
4.00
15.00
6.00
17.00
8.00
19.00
21.00
10.00
23.00
1.00
12.00
3.00
14.00
5.00
16.00
7.00
18.00
9.00
20.00
22.00
0 0.00
Grafik Prediksi Pasang Surut Perairan Teluk Parepare
11.00
Gambar 3-3
GAMBARAN UMUM
Berdasarkan tabel konstanta harmonik pasang surut, diperoleh nilai formzhal yaitu 0,781 termasuk pada kisaran 0,25 – 1,5 maka pasang surut di lokasi penelitian ini termasuk pada tipe campuran yang condong ke ganda. Mengalami dua kali pasang dan dua kali surut setiap harinya namun terjadi perbedaan tinggi dan periode dalam satu hari siklus, demikian hal dengan kondisi surutnya. Dari hasil perhitungan metoda harmonis Admiralty didapat kedudukan muka air laut rata-rata (mean sea level) sebesar 159,09 cm yang selanjutnya akan digunakan untuk koreksi batimetri.
3.2.2.2 Arus Arus air laut adalah pergerakan massa air secara vertikal dan horisontal sehingga menuju keseimbangannya, atau gerakan air yang sangat luas yang terjadi di seluruh lautan dunia (Hutabarat dan Evans, 1986). Arus juga merupakan gerakan mengalir suatu massa air yang dikarenakan tiupan angin atau perbedaan densitas atau pergerakan gelombang panjang (Nontji,1987). Pergerakan arus dipengaruhi oleh beberapa hal antara lain arah angin, perbedaan tekanan air, perbedaan densitas air, gaya Coriolis dan arus ekman, topografi dasar laut, arus permukaan, upwellng , downwelling. Selain angin, arus dipengaruhi oleh paling tidak tiga faktor, yaitu (Sahala Hutabarat,1986) : 1. Bentuk Topografi dasar lautan dan pulau – pulau yang ada di sekitarnya : Beberapa sistem lautan utama di dunia dibatasi oleh massa daratan dari tiga sisi dan pula oleh arus equatorial counter di sisi yang keempat. Batas – batas ini menghasilkan sistem aliran yang hampir tertutup dan cenderung membuat aliran mengarah dalam suatu bentuk bulatan. 2. Gaya Coriollis dan arus ekman : Gaya Corriolis memengaruhi aliran massa air, di mana gaya ini akan membelokkan arah mereka dari arah yang lurus. Gaya corriolis juga yangmenyebabkan timbulnya perubahan – perubahan arah arus yang kompleks susunannya yang terjadi sesuai dengan semakin dalamnya kedalaman suatu perairan. 3. Perbedaan Densitas serta upwelling dan sinking : Perbedaan densitas menyebabkan timbulnya aliran massa air dari laut yang dalam di daerah kutub selatan dan kutub utara ke arah daerah tropik.
19
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Jenis – jenis arus dibedakan atas: 1. Berdasarkan penyebab terjadinya Arus ekman : Arus yang dipengaruhi oleh angin. Arus termohaline : Arus yang dipengaruhi oleh densitas dan gravitasi. Arus pasut : Arus yang dipengaruhi oleh pasut. Arus geostropik : Arus yang dipengaruhi oleh gradien tekanan mendatar dan gaya coriolis. Wind driven current : Arus yang dipengaruhi oleh pola pergerakan angin dan terjadi pada lapisan permukaan.
2. Berdasarkan Kedalaman Arus permukaan : Terjadi pada beberapa ratus meter dari permukaan, bergerak dengan arah horizontal dan dipengaruhi oleh pola sebaran angin. Arus dalam : Terjadi jauh di dasar kolom perairan, arah pergerakannya tidak dipengaruhi oleh pola sebaran angin dan mambawa massa air dari daerah kutub ke daerah ekuator. Kondisi arus di kelurahan Labukkang dari hasil pengukuran lapangan di 3 stasiun berkisar 0,014-0,113 m/dtk. Kecepatan arus dilokasi pengamatan dapat dikatakan lambat, sehingga akan mempengaruhi proses sedimentasi yang berlangsung cepat pada musim tertentu yang tentunya mengakibatkan kondisi perairan akan menjadi keruh dan banyak mengandung partikelpartikel sedimen serta endapan sedimen pada substra perairan.
Tabel 3-1
Pengukuran kecepatan arus di Perairan Labukkang
Kec. Arus (m/dt) Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
0.014
0.021
0.113
3.2.2.3 Gelombang Gelombang merupakan faktor yang sangat penting memberi pengaruh terjadinya abrasi dan sedimentasi pantai, utamanya tinggi dan panjang gelombang. Semakin tinggi gelombang yang sampai pada suatu pantai maka semakin besar pula pengaruhnya terhadap dinamika pantai tersebut. Secara umum gelombang laut di perairan Labukkang tidak besar, hal ini
20
GAMBARAN UMUM
disebabkan karena wilayah perairan berbentuk teluk sehingga mampu meredam gelombang besar. Triatmodjo (1999), menyatakan bahwa semakin lama dan kuat angin yang berhembus, maka semakin besar gelombang yang terbentuk karena angin yang berhembus diatas permukaan air akan memindahkan energinya ke air. Selain itu, tingginya gelombang juga disebabkan karena tidak adanya penghalang seperti pulau atau pemecah ombak sehingga gelombang laut dalam yang bergerak dengan arah datang gelombang dari barat daya terus menjalar mencapai badan pantai tanpa mengalami refleksi. Kecilnya gelombang yang terjadi pada stasiun ini terjadi karena gelombang yang datang dari laut dalam terlebih dulu telah mengalami refleksi akibat adanya barrier yang berada di depan pantai. Barrier tersebut berfungsi sebagai penghalang gelombang yang datang dari laut dalam. Gelombang yang sampai ke pantai adalah hasil kerja dari proses difraksi. Triatmodjo (1999) menyatakan perairan yang berada di belakang rintangan akan tenang jika penjalaran gelombang tidak mengalami difraksi, karena pengaruh gelombang datang maka transfer energi ke daerah terlindung menyebabkan terjadinya gelombang, meskipun tidak sebesar gelombang di laut dalam.
3.2.2.4 Suhu Permukaan Perairan Suhu sangat penting bagi kehidupan organisme di perairan, karena suhu mempengaruhi baik aktivitas maupun perkembangbiakan dari organisme tersebut. Oleh karena itu, tidak heran jika banyak dijumpai bermacam-macam jenis organisme terdapat di berbagai tempat yang mempunyai toleransi tertentu terhadap suhu.
Berdasarkan hasil pengukuran pada 3 stasiun
disekitar perairan Labukkang didapat suhu air laut permukaan di perairan Labukkang umumnya berkisar antara 29 – 30 0C masuk dalam kategori normal untuk biota maupun ekosistem. Tabel 3-2
Suhu (0C) Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
27
29
29
Pengukuran suhu di perairan Labukkang
3.2.2.5 Salinitas Perairan Permukaan Perairan Hasil pengukuran salinitas pada perairan Labukkang di setiap stasiun diperoleh kisaran 27 o/oo – 29 o/oo. Nilai ini adalah kisaran salinitas normal
21
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
untuk daerah tropis yang masih bisa ditolerir oleh spesies lamun. Sesuai dengan yang dikatakan oleh Dahuri dkk (2004) bahwa lamun sebagian besar memiliki kisaran toleransi yang lebar terhadap salinitas yaitu antara 10 – 40 o/oo . Nilai optimum toleransi terhadap salinitas di air laut adalah 35o/oo, penurunan salinitas akan menurunkan kemampuan fotosintesis spesies.
Tabel 3-3
Pengukuran salinitas di perairan Labukkang
Salinitas(0/00) Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
27
29
31
3.2.2.6 Kecerahan Umumnya kecerahan perairan di Labukkang tergolong kurang baik. Hal ini disebabkan beberapa faktor misalnya tipe perairan yang tertutup, dekat muara sungai, arus, sedimentasi, reklamasi pantai dan sebagainya. Hal ini bisa berdampak terhadap ekosistem yang ada didalamnya.
Berdasarkan
hasil pengukuran kecerahan perairan berkisar antara 2 – 3 meter. Tabel 3-4
Pengukuran Kecerahan perairan di Perairan Labukkang
Kecerahan perairan (meter) Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
3
3
2
3.2.3 Kondisi Ekosistem Pesisir 3.2.3.1 Padang Lamun Beberapa sungai besar dan anak sungai kecil yang bermuara di Kelurahan Peran dan manfaat -
-
-
22
Padang lamun berperan penting bagi produktifitas biologi wilayah estuaria, laguna dan pantai sudah lama diketahui. Beberapa fungsi yang penting bagi ekosistem wilayah pesisir antara lain; mempertahankan stabilitas substrat atau sedimen dengan mengurangi kecepatan arus, mempercepat pertukaran nutrient dan zat kimia lainnya antara sedimen dasar dan badan air.
Labukkang menyebabkan kondisi perairannya relatif keruh dan dangkal. Morfologi perairan pantainya landai, pantai lumpur-berpasir dan pantai muara (estuary). Keberagaman morfologi perairan, topografi wilayah, aliran sungai sebagai sumber material dapat membentuk pola sebaran dan karakteristik habitat pertumbuhan ekosistem yang berbeda beda. Karakteristik sebaran lamun di perairan daratan besar tentu akan berbeda dengan sebaran lamun yang berada di pulau-pulau di lepas pantai (off-shore). Kondisi pertumbuhan lamun di Kelurahan Labukkang berada pada lingkungan perairan dengan kedalaman 0.5 meter sampai 2 meter pada saat air laut pasang. Jumlah jenis yang ditemukan ada 2 jenis yaitu Thalassia hemprichii dan Enhalus acoroides. Padang lamun dijumpai pada hampir seluruh area pasang surut di Kelurahan Labukkang. Kerapatan jenis pada Stasiun 1 untuk jenis Enhalus acoroides sebesar 53 tegakan/m2 dan jenis Thalassia
GAMBARAN UMUM
hemprichii sebesar 5 tegakan/m2. (gambar 3-4).
60
53
Tegakan/m2
Gambar 3-4 Kepadatan Lamun di Stasiun 1
50 40 30 20
5
10 0
Enhallus acoroides
Thallasia hempricii Kelurahan Labukkang
Relatif sedikitnya jenis lamun yang ditemukan di Kelurahan Labukkang secara ekologis dapat diduga karena kondisi lingkungan perairan yang keruh dan banyaknya aktifitas masyarakat di sekitar kelurahan, serta tingginya lalu lalang perahu dapat berdampak negatif terhadap keberadaan padang lamun. Ancaman yang paling besar bagi keberadaan padang lamun yaitu faktor lingkungan seperti limbah berasal dari aktifitas manusia. Sedimentasi dan sedimen terlarut juga merupakan penyebab terjadinya kekeruhan, sehingga berdampak besar terhadap keberadaan padang lamun.
Gambar 3-5
Kondisi Ekosistem Padang Lamun di Kelurahan Labukkang
23
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Tabel 3-5
Jenis-jenis Lamun setiap stasiun di perairan Labukkang
No.
Jenis Lamun
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
1
Enhalus acoroides
+
+
+
2
Thalassia hemprichii
+
+
+
Keterangan: (+) = Ditemukan
(-) = Tidak Ditemukan
Indeks keanekaragaman keseragaman dan dominansi merupakan indeks ekologi yang banyak digunakan dalam melakukan penilaian kondisi suatu lingkungan. Indeks ini sangat dipengaruhi oleh jumlah jenis yang hidup dan kemerataan individu dalam setiap jenis tersebut (Odum, 1983). Nilai indeks keanekaragaman lamun pada stasiun pengamatan pada kelurahan Labukkang termasuk kategori rendah (berada pada kisaran 0.1 – 0.3), hal ini menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis lamun tidak terlalu tinggi dengan kemerataan individu pada setiap jenisnya juga rendah, ditunjukkan dengan nilai indeks keseragaman dan tidak ada jenis yang mendominasi (Tabel 8). Tabel 3-6
Nilai indeks Keanekaragaman, Dominansi, Keseragaman Ekosistem Lamun di perairan Labukkang
Labukkang Indeks
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Keanekaragaman
0.1275
0.2149
0.3000
Dominansi
0.4286
2.2149
0.3000
Keseragaman
0.4237
0.7140
0.9966
3.2.3.2 Terumbu Karang Dari hasil observasi lapangan, tidak ditemukan adanya terumbu karang pada wilayah kelurahan Labukkang. Komposisi penutupan dasar perairan yang terdiri dari 70% substrat pasir dan 30% adalah subsrat berlumpur. Tabel 3-7 Kondisi Substrat dasar perairan di perairan Labukkang
Substrat
Stasiun 1
Stasiun 2
Stasiun 3
Karang (%)
0
0
0
Pasir (%)
70
80
75
Lumpur (%)
30
20
25
Hewan karang yang ditemukan berkoloni sangat sedikit dengan kondisi yang memprihatinkan, jenis karang massive yang biasanya mampu beradaptasi dengan lingkungan yang ekstrim hampir tidak dijumpai. Perairan Teluk Parepare merupakan muara dari beberapa sungai baik yang berada di wilayah Parepare maupun sungai yang berada di wilayah Kabupaten Pinrang, di samping itu perairan teluk cenderung berarus lemah sehingga sirkulasi air yang mengangkut nutrien penting bagi pertumbuhan karang akan mempengaruhi pertumbuhan karang. Faktor lainnya yang mempengaruhi
24
GAMBARAN UMUM
pertumbuhan
karang
adalah
keberadaan
adalah
sedimetasi
yang
mengakibatkan kekeruhan di wilayah perairan. Sedimen dapat menghambat proses fotosintesis dari hewan karang, apabila polip karang tertutup sedimen maka proses ini terhambat sehingga hewan karang akan mati lemas diawali dengan proses bleaching (pemutihan). Kondisi ini memperlihatkan kemungkinan hewan karang untuk tumbuh dan berkembang sangat sulit, di samping itu adanya aktifitas nelayan pada wilayah perairan pesisir yang memberikan tekanan dan dampak akan keberadaan terumbu karang.
Gambar 3-6 (red) Kerusakan karang: dampak tekanan dan dampak akan keberadaan terumbu karang
3.3.1 Demografi : Jumlah, Kepadatan, Komposisi Penduduk dan Rumah Tangga Kelurahan Labukkang merupakan salah satu kelurahan di Kecamatan Ujung,
3.3 Kondisi Sosial Ekonomi dan Budaya Masyarakat Pesisir
yang terdiri dari 8 (delapan) ORW. ORW Labukkang, ORW Mattirotasi, ORW Perpin Lama, ORW Kampung Arab, ORW Labatu, ORW Alluppangnge, ORW Labosang dan ORW Mangga Timur (Profil Kelurahan Labukkang, 2013). Jumlah penduduk Kelurahan Labukkang pada Tahun 2012 (Kota Parepare dalam Angka 2013) adalah 7.398 jiwa dengan penduduk laki-laki sebanyak 3.557 jiwa dan penduduk perempuan sebanyak 3.841 jiwa. Jumlah ini meningkat 679 jiwa dibanding jumlah pada tahun 2010. Dengan luas daerah 0,36 km2, tingkat kepadatan penduduk adalah 20550 jiwa/km2.
25
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Tabel 3-8
Komposisi penduduk Kelurahan Labukkang menurut Kelompok Umur pada tahun 2010
No
Kelompok Umur
01.
0-12 bulan
Jumlah 83
02.
1-5 tahun
521
03.
5-7 tahun
362
04.
7-15 tahun
1.071
05.
15-56 tahun
5.789
06.
>56 tahun:
290
Total
6.719
Sumber: Profil Kelurahan Labukkang 2011
Dari segi pemeluk agama, kelurahan ini termasuk majemuk. Lima agama ada di kelurahan ini. Islam, Protestan, Budha, Hindu dan Katolik. Masingmasing, sesuai urutan tersebut, dianut oleh 6177 orang, 396 orang, 44 orang, 27 orang, dan 70 orang (Profil Kelurahan Labukkang, 2010).
sejahtera III plus
sejahtera III
2%
44%
pra sejahtera III
sejahtera I
4%
46%
Gambar 3-7
Komposisi keluarga menurut tingkat kesejahteraan
4% sejahtera II Pada tahun 2012, jumlah keluarga di kelurahan ini sebanyak 1.680 KK. Berdasar kategori tingkat kesejahteraan, keluarga terbanyak di kelurahan ini adalah keluarga kategori Sejahtera I dengan jumlah 766 KK. Jumlah ini berselisih tipis dengan jumlah Sejahtera III yang sebanyak 734 KK. Untuk kategori Sejahtera II, terdapat 71 keluarga. Sedang untuk kategori keluarga paling sejahtera atau Sejahtera III-plus, terdapat 42 KK (Kota Pare-pare dalam Angka 2013).
26
GAMBARAN UMUM
3.3.2. Mata Pencaharian Masyarakat Pesisir Dari segi jenis mata pencaharian, warga kelurahan ini (di luar ‘kategori Wiraswasta/Karyawan Swasta dll’ yang tidak terpilah lebih rinci) didominasi oleh pedagang. Dari 2922 penduduk produktif (27% dari jumlah penduduk), 597, atau 20%-nya adalah pedagang. Angka ini disusul penduduk yang bekerja sebagai PNS yang berjumlah 268 orang atau 9% dari jumlah penduduk produktif. Tabel 3-9
No.
Jenis Pekerjaan
Jumlah
1
Nelayan
55
2
Pedagang
597
Komposisi penduduk Kelurahan Labukkang menurut pekerjaan
3
PNS
268
Sumber: Diolah dari data hasil survei dan data Profil Kelurahan Labukkang 2011
4.
TNI/Polri
17
5
Buruh
17
6
Wiraswasta/Karyawan Swasta dll
1983
TOTAL
2937
Nelayan di kelurahan ini berjumlah 55 orang, terdiri atas Nelayan Tangkap, Pengumpul, Buruh Nelayan, Penjual Ikan Eceran dan Perempuan Nelayan. Dengan kata lain nelayan di kelurahan ini lebih banyak sebagai ‘nelayan’ yang bergerak di bidang perdagangan dan pengolahan ketimbang nelayan sesungguhnya yang melakukan penangkapan. Pengkategorian Pengumpul, Buruh Nelayan, Penjual Ikan Eceran dan Perempuan Nelayan sebagai termasuk nelayan ini mengikuti pengkategorian data dalam profil kelurahan.
3.3.2.1 Sumber-Sumber Pendapatan dan Mata Pencaharian Aktivitas mata pencaharian pesisir warga Labukkang terdiri atas 5 bidang pekerjaan yakni, (1) nelayan tangkap, (2) pengumpul, (3) buruh nelayan (4) penjual ikan eceran dan (5) perempuan nelayan. Seluruhnya berjumlah 45 orang atau hanya menempati persentase 1,8% dari jumlah penduduk produktif kelurahan. Mengikuti urutan tersebut, jumlah pelaku kegiatan tersebut adalah 10 orang, 5 orang, 20 orang, 10 orang dan 10 orang. Berikut ini masing-masing bidang tersebut diurai lebih rinci.
27
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
a. Nelayan Tangkap
Komoditas tangkapan utama nelayan adalah ikan-ikan pelagis seperti Kakap Merah dan Baronang. Jenis ikan ini dipilih sebab memiliki nilai ekonomi tinggi disamping sesuai dengan kemampuan peralatan yang dimiliki. Nelayan tangkap di kelurahan ini berjumlah 10 orang. Ke-10 orang nelayan ini adalah nelayan pancing. Pancing yang digunakan terdiri atas dua jenis, yakni pancing biasa dan pancing rawai dasar, yang dipakai bergantian. Selain masing-masing memiliki pancing, masing-masing nelayan juga memiliki perahu sendiri. Perahu yang digunakan berukuran panjang antara 7-8 meter dengan lebar 1 meter dan memakai mesin berkekuatan 5.5 sampai 12 PK. Aktifitas penangkapan nelayan memuncak di sepanjang Mei hingga Juni. Pada bulan-bulan tersebut kondisi cuaca cukup mendukung, para nelayan biasa menangkap hingga ke perairan Kabupaten Barru. Sebaliknya, pada Bulan Desember sampai Bulan Maret, sebab cuaca buruk daerah operasi terjauh nelayan biasanya hanya di kawasan Ujung Lero, Kabupaten Pinrang, atau bahkan tidak melaut sama sekali. Pada masa cuaca buruk dalam
(hari)
sebulan nelayan rata-rata hanya melaut 15 kali.
30 25 20 15 10
Gambar 3-8
Ilustrasi intensitas kegiatan tangkap nelayan menurut waktu/ bulan. Sumber: Diolah dari data hasil wawancara
5
Jan
Feb
Mar
Apr
Mei
Jun
Jul
Agt
Sep
Okt
Nov
Des
Jumlah nelayan di Kelurahan Labukkang yang saat ini tinggal 10 orang adalah jumlah ini terus berkurang dari waktu ke waktu. Dalam 10 tahun terakhir, pada saat perahu nelayan Labukkang rusak berat, mereka umumnya memilih mencari pekerjaan lain. Merantau adalah pilihan yang populer di antara nelayan. Terlebih, saat ini faktor penyebab kerusakan kapal nelayan di kelurahan ini bertambah satu. Kontur pantai yang berubah karena reklamasi, menjadi tidak ‘ramah’ terhadap perahu nelayan.
28
GAMBARAN UMUM
Reklamasi di kelurahan ini, yang memakai tanggul beton yang dilengkapi pemecah ombak, mengubah kontur pantai dari landai dan bersubtrat lembut (pasir) menjadi curam 90o dan berpermukaan keras. Aktifitas enambat perahu di sekitar tanggul berisiko menyebabkan perahu pecah karena sewaktu-waktu dapat terbentur ke dinding tanggul saat terdorong ombak. Untuk mengatasi hal ini nelayan terpaksa mengangkat perahunya ke darat atau memarkirnya di sekitar PPI Cempae yang berjarak sekitar 6 km dari Labukkang.
Gambar 3-9 (atas) Dinding tanggul dan pemecah ombak di pantai sekitar Labukkang; (bawah) Beberapa perahu nelayan Labukkang yang sedang diparkir di darat. Foto: Dokumentasi Survei
Jumlah pengumpul di kelurahan ini hanya 5 orang. Meski demikian,
b. Pengumpul
keberadaan para pengumpul memberi kontribusi yang berarti bagi penghidupan masyarakat nelayan kelurahan ini. Kegiatan ini membuka lapangan kerja bagi sekurangnya 20 orang dengan nilai pendapatan yang cukup baik. Ke-5 pedagang pengumpul dapat dikelompokkan ke dalam dua jenis menurut kegiatan yang dilakukan. Jenis pertama adalah pedagang-pengumpul yang sebatas berdagang ikan (pengumpul biasa), Kedua adalah pengumpul yang
29
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
juga merangkap sebagai pengolah atau pembuat ikan kering (pengumpulpengolah). Dua orang pengumpul termasuk pengumpul-pengolah, tiga yang lain adalah pengumpul biasa.
Gambar 3-10
Salah satu kegiatan pembongkaran ikan di Labukkang Foto: Dokumentasi Survei
Selain membeli ikan dari nelayan setempat, pengumpul juga membeli ikan dari luar Labukkang. Kapal dari luar Labukkang rata-rata melakukan transaksi sebanyak 10-20 box ikan dalam satu kali transaksi. Dalam sebulan biasanya terjadi satu atau dua kali transaksi dengan kapal-kapal tersebut. Di antara kedua jenis pengumpul, pengumpul-pengolah memiliki skala usaha yang lebih besar dari pangumpul biasa. Pengumpul-pengolah memasarkan ikan-ikan hasil olahannya ke Kabupaten Enrekang, Tana Toraja, hingga Luwu. Ketiga kabupaten ini berjarak 80 hingga 200 kilometer dari kota Parepare.
Gambar 3-11
Salah satu pekerja sedang mengasinkan ikan Foto: Dokumentasi Survei
30
GAMBARAN UMUM
Tidak hanya lebih besar dari segi volume dagang, skala usaha pengumpulpengolah juga lebih besar dengan biaya operasional-usaha yang harus mereka gerakkan, yakni biaya buruh, biaya material pengolahan (garam, alat penjemuran ikan dan berbagai perlengkapan lain) dan biaya pengangkutan ke luar daerah. Pengumpul biasa, selain volume dagangan yang lebih kecil dan tidak melakukan proses pengolahan, jangkauan pemasarannya hanya dalam Kota Parepare.
Gambar 3-12
Pak Rahmat, salah satu pengumpul-pengolah
Foto: Petugas PPL
31
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
c. Buruh Nelayan Seperti dikemukakan di atas, di Kelurahan Labukkang terdapat pula profesi buruh nelayan. Profesi ini ada berkat adanya usaha pengolahan dan perdagangan ikan oleh para pengumpul. Mereka berjumlah 20 orang sebab setiap pengumpul mempekerjakan 5 orang buruh. Mereka umumnya adalah keluarga dekat dan kerabat para pengumpul.
Gambar 3-13 Buruh nelayan yang bekerja pada salah satu usaha pengolahan ikan di Labukkang
Pengumpul terbagi atas dua jenis, yakni pengumpul-pengolah dan pengumpul biasa, maka buruh juga terbagi dua jenis mengikuti pembagian tersebut, yakni buruh yang bekerja membongkar ikan dari kapal ikan (buruh biasa) dan buruh yang sebagai karyawan usaha pengolahan (buruh pengolah). d. Penjual ikan eceran
Sama halnya dengan jumlah nelayan, jumlah penjual ikan eceran di kelurahan ini berjumlah 10 orang. Sembilan orang di antaranya berjualan di lapak-lapak yang ada di pasar Labukkang dan satu orang berjualan dengan berkeliling ke rumah-rumah warga. Dari wawancara dengan beberapa pedagang di pasar Labukkang diketahui bahwa pasar ini tengah menghadapi masalah besar. Pasar ini sepi pembeli. Kondisi ini dirasakan para pedagang terutama dalam lima tahun terakhir. Para pedagang menduga kehadiran toko-toko retail penyebabnya. Mereka kalah bersaing dari toko-toko retail. Tidak jauh dari pasar ini, di bilangan Jalan Bau Massepe, memang terdapat empat toko retail yang letaknya cukup saling berdekatan. Sebahagian besar pembeli yang dulunya berlangganan di pasar
32
GAMBARAN UMUM
Labukkang, menurut para pedagang, beralih ke toko-toko retail tersebut. Dalam lima tahun terakhir di Kota Parepare, jumlah pasar swalayan meningkat pesat. Data Kota Parepare dalam Angka (2013) menunjukkan bahwa pada tahun 2011 terdapat 10 toko swalayan di Parepare. Dalam dua tahun bertambah menjadi 30.
Gambar 3-14
Suasana Pasar Labukkang yang sepi (Atas: Suasana di blok penjual ikan dan sayuran. Bawah: Suasana di salah satu gerbang pasar). Gambar diambil sekitar pukul 11 WITA, yang biasanya adalah jam sibuk di pasar-pasar.
Foto: Dokumentasi Survei
Selain nelayan-tangkap, pengumpul, buruh, dan penjual ikan eceran, seperti
e. Perempuan nelayan
dikemukakan di atas terdapat satu lagi pekerjaan berdomain pesisir di kelurahan Labukkang, yakni perempuan nelayan. Pekerjaan ini dilakukan oleh istri para nelayan tangkap (dan seterusnya disebut sebagai ‘perempuan-nelayan’) ketika terdapat ikan tangkapan yang tidak terjual. Kegiatannya berupa mengasinkan ikan tangkapan suami yang tidak terjual. Dengan demikian maka dapat diterka bahwa pekerjaan ini bukanlah pekerjaan tetap, tetapi tergantung ada-tidaknya ikan tangkapan suami yang tidak terjual. Dengan nelayan-tangkap yang berjumlah 10 orang, maka pelaku pekerjaan ini juga 10 orang. Kesepuluh nelayan Labukkang (untuk memastikan angka
33
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
tersebut) semuanya telah menikah dan tidak ada di antaranya yang berstatus duda atau berpoligami.
3.3.2.2. Nilai Rata-rata Pendapatan Nelayan “Sudah hampir 40 tahun saya jualan di sini. Dulu tidak pernah begini (sepi pembeli—pen),” Minah (60 tahun), pemilik salah satu kios bahan campuran di pasar ini.
Dari pengumpulan data yang dilakukan, diketahui bahwa rata-rata pendapatan nelayan di kelurahan ini (kecuali pendapatan pengumpul biasa dan nelayan perempuan) adalah sebesar Rp 2.087.500,-. Rataan yang terbilang cukup tinggi untuk ukuran nelayan kecil ini dicapai karena pendapatan pengumpulpengolah termasuk di dalamnya. Pendapatan pengumpul-pengolah ‘mencuat’ di antara nilai pendapatan nelayan yang lain. Mereka rata-rata beroleh keuntungan (diperkirakan) Rp 5.000.000,- per bulan.
Penjual ikan eceran (Rp. 1-1,5 juta) 18%
Nelayan perempuan
18% (
Nelayan tangkap
18% (Rp. 1-1.5 juta)
Diagram 3-15
Pendapatan nelayan Labukkang per bidang kegiatan
Buruh nelayan (Rp. 700 ribu -1,5 juta) 37%
Pengumpul
9% (Rp. 5 juta)
Sumber: Diolah dari data hasil wawancara
Rincian dari nilai-nilai pendapatan tersebut adalah sebagai berikut. a. Nelayan
Kesepuluh orang nelayan di kelurahan ini berpendapatan rata-rata Rp 1 sampai 1,5 juta per bulan. Nilai ini diperoleh dengan perhitungan bahwa dalam sehari atau sekali melaut nelayan memperoleh keuntungan Rp 30 sampai 50 ribu. Nelayan kadang-kadang memperoleh keuntungan Rp 100 ribu dalam satu kali trip, namun kadang pula tidak memperoleh keuntungan sama sekali atau nihil, terutama ketika memasuki musim cuaca buruk. Nilai rataan tersebut dapat diberlakukan ke kesepuluh orang nelayan Labukkang
34
GAMBARAN UMUM
mengingat mereka memakai alat tangkap dan perahu dengan jenis yang sama. Rataan tersebut fluktuatif menurut musim atau kondisi cuaca. Pendapatan nelayan justru biasa pula anjlok pada saat memasuki musim cuaca cerah (Mei hingga Juli; lihat Gambar 1). Hal ini dikarenakan jumlah tangkapan nelayan
melimpah
pada
musim
tersebut.
Melimpahnya
tangkapan
berdampak kelimpahan ikan di pasaran. Kelimpahan ikan berarti —sejalan dengan hukum ‘permintaan-penawaran’— jatuhnya harga ikan (‘banjir ikan’ dalam istilah nelayan setempat). Rataan Rp 1 s.d 1,5 juta diperoleh menurut perhitungan pendapatan di luar musim cuaca cerah dan cuaca buruk.
Nilai pendapatan pengumpul-pengolah diperkirakan sebesar Rp 5.000.000,-
b. Pengumpul
per bulan. Tidak ada keterangan pasti mengenai nilai pendapatan pengumpul sebab para pengumpul bersikap tertutup mengenai hal ini, tidak kecuali kepada petugas penyuluh. Perkiraan ini sendiri dimungkinkan sebab para pengumpul mau memberikan keterangan mengenai nilai komponenkomponen biaya dalam kegiatan pengolahan mereka. Dari keterangan para pengumpul-pengolah, diketahui bahwa ongkos kegiatan produksi mereka dalam satu bulan adalah sekitar 18.260.000,-. Nilai ini dengan asumsi bahwa (dengan mengacu pada informasi yang disebutkan pada bagian b) dalam satu bulan mereka membeli sebanyak 20 box ikan. Nilai Rp 5.000.000,- diperoleh dengan perkiraan bahwa (dengan mengacu pada harga satuan ikan kering di pasaran) untuk setiap box ikan pengumpul menarik keuntungan sebesar Rp 250.000,- setelah pengolahan.
Komponen Biaya
Volume
Nilai satuan (Rp)
Sub-total (Rp)
Ket
Ikan (bahan baku)
20 box
500.000,-
10.000.000,-
Nilai rata-rata
Garam
2 karung
60.000.00,-
120.000,-
-sda-
Gaji Buruh
5 orang
1.200.000,-
6.000.000,-
-sda-
Biaya
2 unit
1.000.000,-
2.000.000,-
-
8 buah
10.000,-
80.000,-
Perkiraan
20 buah
3.000,-
60.000,-
Perkiraan
Total
18.260.000,-
pengiriman/
ekspedisi Nilai
susut
Tabel 3-10
Perkiraan ongkos produksi pengumpul-pengolah per bulan
mobil modal
(alat penjemuran) Nilai susut alat (box ikan)
35
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Untuk pendapatan pengumpul biasa tidak diperoleh data atau acuan untuk dilakukan perhitungan.
Gambar 8 Box-box berisi ikan milik salah seorang pengepul Labukkang yang akan dijemput oleh pembeli dari luar Parepare Foto: Dokumentasi Survei
c. Buruh Nelayan
Nilai pendapatan buruh nelayan berkisar Rp 1-1,5 juta per bulan. Nilai tersebut untuk buruh-pengolah. Untuk buruh biasa berkisar Rp 700 ribu-1 juta.
d. Penjual Ikan eceran
Sama halnya dengan pendapatan nelayan tangkap dan buruh-pengolah, ratarata penjual eceran berpenghasilan Rp 1-1,5 juta per bulan. Dalam sehari mereka rata-rata memperoleh keuntungan Rp 30.000,- hingga 50.000,-
3.3.2.3. Sarana dan Prasarana Pendukung Perekonomian Masyarakat Nelayan Secara umum, tidak ada kendala berarti yang dihadapi oleh para nelayan Labukkang —baik itu nelayan-tangkap, pengumpul, buruh penjual ikan eceran dan nelayan perempuan— terkait sarana dan prasarana pendukung kegiatan mereka. Sarana dan prasarana yang mereka butuhkan dapat dikatakan semuanya tersedia. Nelayan-tangkap misalnya (sebagaimana diuraikan pada bagian a.), masing-masing memiliki sarana (perahu dan alat pancing) sendiri, demikian pula untuk para pengumpul yang notabene membutuhkan dukungan sarana dan prasarana paling banyak dibandingkan yang lain.
36
GAMBARAN UMUM
Gambar 9
Salah satu sudut di Kelurahan Labukkang; Deretan bangunan permanen rumah warga dan jalan raya yang sedang mendapat pengerasan beton
Foto: Dokumentasi Survei
Terletak di tengah-tengah kota Pare-pare, prasarana listrik, akses jalan, air bersih (PDAM) dan jaringan komunikasi dan informasi tersedia dengan baik di kelurahan ini. Toko-toko yang menjual peralatan nelayan juga tersedia di beberapa titik yang tidak jauh dari kelurahan Labukkang. Di kota Parepare terdapat cukup banyak toko yang menyediakan aneka jenis peralatan nelayan, dari mata kail hingga genset dan mesin tempel dalam aneka jenis ukuran. Nelayan-nelayan dari kabupaten Pinrang dan Barru bahkan membeli kebutuhan peralatannya di kota ini. Para nelayan di kelurahan ini hanya mengeluh kekurangan modal untuk mengakses sarana pendukung tersebut. Dengan kata lain, ketersediaan sarana dan prasarana pendukung kegiatan penangkapan dan pengolahan ikan cukup memadai, tetapi ketersediaan syarat (dalam hal ini; modal) untuk dapat mengakses sarana tersebut tidak memadai.
Gambar 10
Mesin yang biasa dipakai nelayan terpajang di salah satu toko alat pertanian Jl. Lasinrang
37
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Para nelayan tangkap misalnya, saat perahu mereka rusak berat dan harus diganti, mereka harus meminjam uang ke pengepul untuk membeli perahu baru (jika bukan memilih meninggalkan pekerjaan mereka dan pergi merantau). Kondisi ini terlebih dirasakan oleh ibu-ibu pembuat abon ikan. Kegiatan usaha mereka tidak dapat berkembang lebih baik karena tidak memiliki modal untuk mengadakan berbagai macam peralatan yang mereka butuhkan. Para nelayan dan ibu-ibu pengolah juga tidak terbiasa memperoleh modal dengan meminjam ke bank. Mereka tidak terbiasa dan tidak yakin bisa memenuhi syarat-syarat dalam proses adminstrasi yang harus dilalui untuk memperoleh kredit di bank. Sementara, tidak jauh dari kelurahan Labukkang, di bilangan jalan Bau Massepe, sekitar 200 meter dari kantor kelurahan, berjejer beberapa kantor bank (dan toko-toko retail). (a)
Gambar 11
(b)
(a): Bank dan pertokoan di Jalan Bau Massepe. (b) Toko Retail Cahaya Ujung di Jl. Bau Massepe. (c) Blok Ikan di Pasar Sumpang Minangae
(c) Foto: Dokumentasi Survei
Untuk kebutuhan BBM, nelayan Labukkang memenuhinya dengan membelinya di kios-kios yang menjual BBM eceran. BBM yang dijual di kioskios dibeli di SPBU milik Pertamina yang berada di kelurahan Lumpue. Letak SPBU ini cukup dekat, yakni hanya sekitar 2 kilometer dari kantor kelurahan Labukkang. Selain membelinya di kios-kios, nelayan biasa pula membeli langsung ke SPBU.
38
GAMBARAN UMUM
Gambar 11 SPBU Lumpue di kelurahan Lumpue Foto: Dokumentasi survei
Sedang untuk kebutuhan pemasaran produk perikanan, untuk nelayantangkap, nelayan-tangkap di kelurahan Labukkang setidaknya memiliki 2 target pasar, yakni pasar dan para pengepul. Untuk pasar, terdapat 4 pasar yang menjadi sasaran pemasaran nelayan yakni pasar Labukkang, Pasar Senggol, Pasar Lakessi dan pasar Sumpang Minangae. Dan untuk target pengepul, sebagaimana telah dikatakan pada bagian-bagian sebelumnya, terdapat 5 orang pengepul ikan di kelurahan ini. Kelima pengepul ini secara rutin membeli ikan-ikan tangkapan nelayan lalu memesarkannya termasuk ke luar kota Pare-pare. Sedang untuk produk kegiatan pengolahan, terdapat setidaknya 3 target pemasaran yakni pasar, kios-kios/toko dan outlet-outlet retail yang tersedia cukup banyak di kelurahan ini. Untuk pasar, seperti halnya target pasar nelayan, terdapat 4 pasar yang (dapat) dijadikan target pemasaran yakni pasar Labukkang, Pasar Senggol, Pasar Lakessi dan Pasar Sumpang Minangae. Sedang untuk kios-kios atau toko, seperti yang tercatat dalam dokumen Profil Kelurahan Labukkang tahun 2012, di kelurahan ini terdapat 152 Toko (termasuk Kios). Dan untuk outlet retail, di bilangan jalan Bau Massepe, yang sebahagiannya masuk wilayah kelurahan Labukkang, terdapat sekurangnya 4 outlet retail di kelurahan ini (lihat gambar 10). Hanya saja, semua sarana pemasaran tersebut, jika melihat kondisi kegiatan pengelohan di kelurahan ini, masih bersifat sebagai “potensi”. Ruang-ruang pemasaran ini belum dimanfaatkan karena kegiatan produksi produk olahan ikan sendiri belum berjalan baik dan belum terlembaga.
39
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Gambar 12
Atas: Suasana Pasar Labukkang pada siang hari. Bawah: (Berutuan) Suasana pasar Sumpang Minangae dan Blok Penjual Ikan di Pasar Senggol
Foto: Dokumentasi survei
40
GAMBARAN UMUM
Selain kendala modal, sebagaimana dipaparkan pada bagian a, para nelayan-tangkap di kelurahan ini menghadapi masalah hilangnya lokasi tambatan perahu. 3.3.2.4. Pengolahan Hasil-hasil Perikanan yang Dilakukan oleh Masyarakat Nelayan, Perempuan Pesisir dan Kelompok-Kelompok Usaha Bersama Ada dua jenis kegiatan pengolahan yang dilakukan di kelurahan ini. Kegiatan pembuatan ikan kering/asin dan kegiatan pembuatan abon ikan. Untuk kegiatan pembuatan ikan kering, sebagaimana telah dipaparkan, kegiatan ini dilakukan oleh dua orang pengumpul (sebagai usaha tetap) dan oleh ibu-ibu istri para nelayan (sebagai pendapatan tambahan rumah tangga). Sedang untuk pembuatan abon ikan, kegiatan ini dilakukan oleh sekitar 10 orang ibu-ibu. Kegiatan pembuatan abon ikan di kelurahan ini belum dilakukan secara tetap. Abon ikan dibuat hanya sewaktu-waktu jika ada pesanan. Abon ikan yang dibuat oleh ibu-ibu di kelurahan ini adalah abon ikan Tuna, yang bahan bakunya harus didatangkan dari sebuah tempat di kabupaten Barru, sekitar 20 kilometer dari Labukkang. Kendala yang dihadapi oleh ibu-ibu pembuat abon ikan di kelurahan ini adalah 2 kendala mendasar yakni bahan baku yang harus didatangkan dari tempat yang cukup jauh dan minimnya peralatan produksi. 3.3.2.5. Aspek Pasar dan Pemasaran Hasil-hasil Produk Masyarakat Nelayan dan Kegiatan Perekonomian Pesisir Lainnya Sama dengan ketersediaan sarana dan prasarana di kelurahan ini, ruang pemasaran untuk produk-produk perikanan di kelurahan ini tersedia dengan baik. Hal ini, juga dikarenakan letak kelurahan Labukkang yang berada di tengah-tengah kota Pare-pare. Sebagaimana dipaparkan pada bagian 3.3.2.3, di kelurahan ini terdapat 152 Toko (termasuk Kios). Selain itu, tersedia setidaknya empat tempat pemasaran ikan untuk nelayan Labukkang, yaitu pasar Lakessi, pasar Senggol, Pasar Sumpang Minangae dan pasar Labukkang. Fakta bahwa Kota Pare-pare adalah kota dengan penduduk 132.048 jiwa (Kota Pare-Pare dalam Angka, 2013) —yang secara etnik didominasi oleh etnik Bugis, yang dikenal menggemari ikan— adalah fakta yang berkorelasi positif bagi kegiatan pemasaran ikan bagi nelayan di kota ini. Kota Pare-pare
41
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
sendiri sudah lama menjadi salah satu pemasok ikan di Sulawesi Selatan. Demikian pula, jika dilihat dari segi rantai pemasaran, pemasaran produk perikanan (dalam hal ini ikan segar tangkapan nelayan) juga terbilang cukup baik. Tidak ada disparitas harga yang begitu mencolok di antara tingkatan pasar. Selisih harga yang yang cukup mencolok hanya terjadi dalam alur pemasaran ‘nelayan tangkap ke pengumpul’, dalam hal ini pengumpulpengolah. Hal ini dikarenakan adanya proses pengolahan yang dilakukan oleh pengumpil-pengolahan terhadap ikan tangkapan nelayan sebelum para pengepul-pengolah menjual ikan-ikan itu kembali.
Nelayan
Pengumpul
Pengecer
Pembeli (luar kota)
Pembeli (dalam kota)
Volume tinggi keuntung sedang Volume sedang keuntungan sedang Volume rendah keuntungan sedang
Gambar 12
Bagan Alur Pemasaran Ikan di Kelurahan Labukkang Sumber: Hasil wawancara
Potensi pasar produk abon ikan relatif baik oleh adanya berbagai ruang pemasaran (sebagaimanai pada bagian 3.3.2.3.), hal ini setidaknya dengan mengacu pada kondisi sebuah usaha pembuatan abon ikan milik pendatang dari Kabupaten Barru, Hj. Muli, yang berada di kelurahan ini; usaha abon ikan “Mekar”. Menempati rumah produksi (sekaligus outlet-nya) yang berada tidak jauh dari gedung kantor kelurahan, usaha ini mulai dirintis pada tahun 2005. Usaha ini termasuk besar dengan mempekerjakan 8 orang karyawan dengan jangkauan pemasaran sudah sampai ke Jakarta, Surabaya, bahkan Malaysia dan Singapura melalui pemesanan teman atau keluarga pemilik usaha.
42
GAMBARAN UMUM
Gambar 13 Usaha abon ikan “Mekar” di Labukkang (Atas: Pajangan Produk Abon. Bawah: Suasana tempat usaha)
Foto: Dokumentasi Survei
3.3.2.6. Kondisi Sosial Budaya Nelayan Secara umum masyarakat Labukkang telah menunjukkan ciri masyarakat perkotaan, atau setidaknya sedang semakin condong ke arah bentuk masyarakat perkotaan. Hal ini lumrah mengingat letaknya berada di tengahtengah Kota Parepare, atau sebaliknya; kelurahan ini adalah salah satu wilayah pusat kota Pare-pare. Masyarakat perkotaan sendiri, menurut Poplin (1972, dalam Nat, 2011) di antaranya ditandai dengan ciri watak individualistis di antara anggota masyarakatnya, diferesensiasi sosial yang jelas, dan mobilitas sosial yang tinggi. Ciri ini cukup mudah ditemui di antara masyarakat kelurahan Labukkang, tidak terkecuali di antara para nelayannya, kendati—sebagaimana masyarakat yang sedang mengalami ‘transisi’— ciri-
43
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
cirimasyarakat lama/tradisional atau pedesaan, juga masih teramati. Sistem organisasi punggawa-sawi yang merupakan sistem organisasi sosial khas masyarakat nelayan etnik Bugis dan Makassar pada umumnya (Mattulada, 1997) , misalnya, sudah tidak ditemukan lagi di kelurahan ini. Ke10 orang nelayan tangkap kelurahan Labukkang (sebagaimana dipaparkan pada bagian 3.3.2.1 huruf a) adalah nelayan mandiri dengan perahu dan alat tangkap masing-masing. Organisasi punggawa-sawi adalah sebuah organisasi tradisional berciri patron-klien. Punggawa adalah patron (pater), dan sawi adalah klien. Dalam bentuk konvensional/tradisional-nya, Punggawa adalah pemikil alat produksi. Dia berkewajiban memenuhi kebutuhan subsisten nelayan selama kapalnya beroperasi. Sebaliknya, Sawi wajib untuk ‘setia’ kepada Punggawa. Sawi tidak boleh berpindah punggawa selama hutangnya belum lunas. Banyak yang menilai sistem ini sebagai sistem yang eksploitatif tetapi tidak sedikit pula yang justru melihatnya sebagai sistem sekuritas-sosial tradisional yang justru menghidupi para nelayan. Praktek tersebut tidak lagi ditemui di antara nelayan Labukkang. Sistem sosial yang kurang lebih mirip dengan sistem tersebut hanyalah relasi pinjammeminjam modal antara nelayan dengan pengepul (dalam hal ini; nelayan meminjam uang ke pengepul). Tetapi, berbeda dengan sistem hutangpiutang dalam sistem punggawa-sawi tradisional, di sini pihak nelayan dapat berpindah ‘punggawa’ (atau dalam istilah nelayan setempat; ‘bos’) dapat berpindah punggawa hampir kapan saja sepanjang ia telah melunasi hutang di punggawa sebelumnya. Di sinilah ciri masyarakat yang cenderung individualistis nampak. Melemahnya sistem punggawa-sawi ini sejalan dengan fakta bahwa ratarata nelayan di Labukkang telah memiliki alat-produksinya sendiri. Dengan memiliki peralatan tangkap sendiri, mengikuti argumen Salman (2005), tingkat ketergantungan nelayan kepada pihak lain dengan sendirinya menjadi rendah. Salman mengungkapkan bahwa ada dua faktor yang sangat mempengaruhi pola organisasi sosial nelayan, yakni peran atau intervesi negara menyediakan jaminan sosial (termasuk di dalamnya penyediaan sumber permodalan) dan ketersediaan sarana produksi. Jika kedua hal ini terepenuhi maka dapat dipastikan bahwa pola organisasi sosial yang berbentuk hubungan ‘irasional’ seperti sistem patron-klien punggawa-sawi akan mengalami perbuhan ke sistem organisasi kerja yang lebih berciri individualistis. Di kalangan Nelayan Labukkang, model patron-klien yang masih relatif
44
GAMBARAN UMUM
kentara berada dalam sistem manajemen atau organisasi usaha pengolahan ikan milik para punggawa. Punggawa—dalam hal ini pengepul—secara tidak langsung berperan sebagai bapak asuh bagi para nelayan. Hal ini terjadi ketika nelayan butuh tambahan modal. Para nelayan memenuhi kebetuhan tersebut dengan meminjam atau berhutang ke para pengepul. Dalam proses inilah jejak-jejak sistem punggawa-sawi itu tampak. Yakni bahwa para nelayan juga memiliki sejenis kewajiban untuk menjual ikan tangkapan kepada pengepul dimana ia meminjam uang.
3.3.3. Pendidikan dan Kesehatan Masyarakat Pesisir Merujuk pada Profil Kelurahan Labukkang, fasilitas layanan kesehatan di kelurahan ini masih terbilang jauh dari cukup. Berjumlah-penduduk 7.398, di kelurahan ini hanya terdapat dua orang dokter. Satu dokter praktek dan satu dokter Puskesmas. Fasilitas kesehatan lain yang tersedia adalah Klinik KB, sebanyak 2 unit, Posyandu 4 unit, Puskesmas 1 unit dan Puskesmas Pembantu 1 unit. Tetapi, cukup berbeda dengan data tersebut, pada kenyataannya di kelurahan ini terdapat satu unit Puskesmas dengan ukuran bangunan yang relatif besar, yakni Puskesmas Pusat Gugus “Madising na Mario”. Bangunan Puskesmas ini terletak persis di sebelah kantor kelurahan Labukkang. Fasilitas di Puskesman ini cukup lengkap, yakni di antaranya memiliki fasilitas klinik Gizi, klinik Sanitas, klinik Kusta dan instalasi Gawat Darurat. Mengenai tingkat pendidikan penduduk di kelurahan ini, tidak diperoleh data pasti. Data yang tersedia di kantor kelurahan dapat dipastikan keliru sebab jumlah total penduduk yang tercatat menurut tingkat pendidikan adalah sebanyak 10.020 jiwa. Sementara, total jumlah penduduk kelurahan ini menurut sumber yang sama (Profil Kelurahan) dan Kota Pare-pare dalam angka (sebagaimana disebutkan pada bagian 3.3.1.) hanya berjumlah 7.398 jiwa. Data tingkat pendidikan tersebut adalah sebagai berikut. No.
Tingkat Pendidikan
Jumlah
01.
TK
714
02.
Tamat SD/Sederajat
3.927
03.
Tamat SMP/Sederajat
2.968
04.
Tamat SMA/Sederajat
1.781
05.
Perguruan Tinggi
630
TOTAL
10.020
Tabel 3-11
Komposisi Penduduk Kelurahan Labukkang menurut Tingkat Pendidikan* Sumber: Profil Kelurahan Labukkang 2010
45
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
3.3.4. Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial Secara umum, Fasilitas Umum (Fasum) dan Fasilitas Sosial (Fasos) tersedia cukup lengkap di kelurahan Labukkang. Untuk Fasilitas Umum (seperti disebutkan pada bagian b.3.), baik prasarana jalan, listrik, air bersih (PDAM) maupun prasarana komunikasi dan informasi tersedia di kelurahan ini. Demikian pula untuk Fasos seperti puskemas, sekolah, tempat ibadah dan tempat perbelanjaan. Fasos yang belum dapat dikatakan memadai adalah fasilitas layanan kesehatan. Dengan jumlah penduduk 7.398, di kelurahan ini hanya terdapat dua orang dokter. Data selengkapnya mengenai Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial di Kelurahan ini adalah sebagaimana tabel berikut. Tabel 3-12 Fasilitas Umum dan Fasilitas Sosial di Kelurahan Labukkang
No
Fasilitas
Unit
1
Sekolah
1 unit taman bermain dan TK
2
Rumah Ibadah
5 unit Mesjid
3
Puskesmas
1 unit (dan 1 Pustu)
4
Jalan
21 ruas jalan
5
Sarana Komunikasi
2 jenis
6
Sarana Olah Raga
1 buah
7
Pasar
1 unit
Sumber: Profil Kelurahan Labukkang 2010
Gambar 14 Bangunan Puskesmas Pusat Gugus “Madising na Mario” di Kelurahan Labukkang Foto: Dokumentasi Survei
3.3.5. Peran Perempuan dalam Masyarakat Pesisir Parepare Secara umum, perempuan di kelurahan ini masih berperan pada posisi sekunder dalam hubungannya dengan peran laki-laki. Pembagian tugas dalam keluarga misalnya, bahwa laki-laki berperan atau bertanggung jawab mencari nafkah dan perempuan bertanggung jawab pada wilayah domestik
46
GAMBARAN UMUM
atau urusan rumah tangga seperti memasak, mencuci dan merawat anak, dapat dikatakan masih berlaku sepenuhnya dan dapat dijumpai dengan mudah. Hal tersebut tergambar pula dalam komposisi pekerjaan di bidang kenelayanan seperti dipaparkan di atas. Selain kecil dari segi jumlah, peran perempuan juga masih terbilang minim jika dilihat secara kualitatif; berdasar peran atau posisinya dalam kegiatan mata pencaharian. Tidak terlibat langsung dalam kegiatan penangkapan ikan, perempuan hanya terlibat sebagai unit pendukung, yakni terlibat dalam aktivitas pasca penangkapan seperti mengeringkan ikan atau mengolah ikan menjadi abon. Mengenai isu peran perempuan lebih jauh, masalah yang diamati dari survei yang dilakukan adalah belum tersedianya data terpilah (memilah Laki-laki dan Perempuan) yang lengkap di kelurahan. Untuk data tentang pekerjaan warga misalnya, belum dibagi atau dipilah menurut jenis kelamin.
3.3.6 Program-program Pemerintahan dan Kegiatan Masyarakat di Bidang Kelautan dan Perikanan Kelurahan ini belum pernah menjadi lokasi target program kelautan/pesisir, baik itu program dari pemerintah maupun dari lembaga non-pemerintah. Ada dua program yang pernah dilaksanakan di kelurahan ini, namun keduanya ditujukan bukan untuk satu komunitas tertentu. Yakni program pembangunan sarana dan prasarana sosial dari Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat (PNPM), dan program MCK-plus dari lembaga USAID (United States Agency for International Development).
47
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
3.3.7 Isu dan Permasalahan Tidak ada isu dan permasalahan khusus selain yang dipaparkan di atas. Karena itu maka bab ini adalah ringkasan dari pemaparan di atas. Poin-poin berikut disusun menurut urutan uraian di atas. 1. Hilangnya lokasi tambatan perahu nelayan karena reklamasi Reklamasi menyebabkan kontur pantai kelurahan Labukkang berubah dari landai menjadi curam 90o. Kondisi ini menyebabkan nelayan tidak dapat lagi memarkir perahunya dengan aman di sekitar garis pantai sebab perahu mereka berisiko pecah karena sewaktu-waktu dapat terbentur ke dinding tanggul. Kondisi ini memaksa nelayan memarkir perahunya di darat atau memarkir perahunya di sekitar PPI Cempae yang berjarak sekitar 6 km dari Kelurahan Labukkang.
2. Pasar Labukkang sepi pembeli Pasar Labukkang sepi dari pembeli disebabkan oleh banyaknya toko retail di sekitar pasar ini. Hal ini berdampak langsung kepada sembilan orang penjual ikan eceran asal kelurahan Labukkang yang berjualan di pasar ini. Meski nilai pendapatan mereka tidak berbeda dengan pendapatan para penjual ikan di pasar Lakessi misalnya, dapat diduga bahwa dari kondisi ini kecil kemungkinan usaha mereka akan berkembang.
48
GAMBARAN UMUM
3. Peran perempuan yang masih minim Pendapatan perempuan masih sangat minim. Padahal, perempuan memiliki potensi yang cukup besar untuk produktif secara ekonomi.
4. Pendapatan nelayan-tangkap yang tidak menentu Pendapatan nelayan tidak menentu sepanjang tahun sebabkan oleh kondisi cuaca. Cuaca cerah dapat berarti berarti baik sekaligus buruk bagi nelayan. Cuaca cerah memungkinkan nelayan untuk melaut lebih lama dan lebih sering dan dengan itu memperoleh jumlah tangkapan yang besar. Tetapi jumlah tangkapan besar juga dapat berarti jatuhnya harga ikan dipasaran sebab ‘besarnya penawaran (demand)’. Fluktuasi nilai pendapatan nelayantangkap berbanding lurus dengan kondisi ekonomi rumah tangga mereka.
5. Akses pasar yang belum optimal dan kurangnya modal usaha Poin ini dimaksudkan bagi usaha pengolahan yang dilakukan oleh perempuan. Satu kelompok, yakni kelompok Masagenae sudah berpoduksi, meski dalam skala kecil. Kendalanya adalah akses atau ruang pemasaran yang belum terbuka lebar. Kelompok yang lain, “Bersahaja,” baru terbentuk dan belum dapat mengembangkan usaha dengan baik oleh kurangnya modal dan peralatan produksi.
49
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
50
4
ARAHAN PENGELOLAAN
Arahan Pengelolaan Pemanfaatan Wilayah Pesisir
51
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
B
erikut ini langkah-langkah yang disarankan untuk mengatasi permasalahan-permasalahan tersebut. Di antara kelima poin
di atas, poin 3, 4 dan 5 dapat digabung atau dilihat sebagai poin yang saling terkait, yang karenanya strategi penyelesaiannya dapat dilakukan sebagai satu kesatuan. Ketiga poin tersebut dapat disederhanakan ke dalam satu poin masalah ‘perempuan dan ekonomi’. Untuk poin yang lain, 1 dan 2, keduanya berdiri sendiri atau berada di luar pengelompokan tersebut.
Kegiatan pertama _“Pembuatan tempat penambatan perahu nelayan” Tidak tersedianya lokasi tambatan perahu untuk nelayan adalah sebuah masalah serius mengingat vitalnya fungsi perahu bagi nelayan. Untuk kasus Labukkang, masalah ini semakin terasa sebab nelayan harus memarkir perahunya di tempat yang jaraknya 6 kilometer dari rumah mereka. Dengan jarak yang jauh, faktor kemanan perahu muncul sebagai masalah baru.
Kegiatan kedua_ “Studi lebih jauh tentang keadaan usaha Penjual Ikan Eceran di Pasar Labukkang Mengenai kondisi pasar Labukkang yang sepi pembeli seperti dikatakan di atas, survei ini hanya dapat menangkap hal tersebut secara umum dan masih melihat isu tersebut lebih secara hipotetis. Karenanya, sejauh program ingin menjangkau persoalan ini, diperlukan studi lebih lanjut untuk memastikan atau meneliti persoalan tersebut. Darinya dapat ditentukan langkah-langkah yang hendak diambil untuk para penjual ikan eceran asal Labukkang yang menjual di pasar ini. Jika dugaan para nelayan benar, salah satu opsi yang dapat ditempuh para penjual ikan eceran adalah menambah tempat penjualan mereka ke misalnya pasar Senggol. Berjualan di dua pasar adalah hal yang biasa dilakukan oleh misalnya para penjual ikan di pasar Lakessi. Sedang untuk poin 3, 4 dan 5 —seperti dikatakan di atas bahwa ketiga poin ini dapat digabung atau disederhanakan ke dalam isu ‘ekonomi dan perempuan’—, disarankan (III) Program pemberdayaan ekonomi bagi perempuan. Dasar pemikirannya adalah bahwa (1) keberdayaan perempuan secara ekonomi akan mendorong keberdayaan perempuan pada aspek-
52
ARAHAN PENGELOLAAN
aspek yang lain; sosial, politik, budaya dan seterusnya, dan (2) bahwa keberdayaan perempuan secara ekonomi akan dapat menjawab atau setidaknya mengurangi persoalan poin 4: fluktuatifnya nilai pendapatan nelayan atau suami mereka. Dengan mengacu pada kondisi terakhir kelompok usaha perempuan yang ada, sebagaimana dibahas pada bagian b. 4. dan b. 5., maka kegiatankegiatan dari program tersebut adalah: 1. Pendampingan perluasan ruang pemasaran (akses pasar) Kegiatan ini didasarkan pada pemikiran bahwa produktivitas sebuah kelompok usaha tidak akan berarti apa jika tidak tersedia ruang pemasaran yang cukup untuk menampung produk tersebut. Atau sebaliknya; adanya ruang pasar atau akses ke ruang pasar dengan sendirinya akan membuat para pelaku usaha mengisi peluang itu. Untuk usaha pengolahan yang dilakukan perempuan Labukkang, maraknya perusahaan-perusahaan retail di Sulawesi Selatan (misal Alfamart atau Indomaret) dalam beberapa tahun terakhir adalah salah satu ruang pasar yang potensial untuk dimanfaatkan sebagai penyerap produk kelompok.
2. Pendampingan manajemen usaha Kegiatan pendampingan adalah sesuatu yang mutlak dilakukan bagi berkembangnya kelompok usaha yang masih dalam tahap perintisan. Langkah ini juga merupakan pasangan dari kegiatan 1 di atas. Untuk kegiatan ini terdapat setidaknya empat sub-kegiatan yang dapat diimplementasikan yakni (1) pelatihan manajemen usaha, (2) peningkatan keterampilan pengolahan produk, dan (3) evaluasi berkala atas perkembangan kelompok.
3. Stimulasi Modal Bantuan modal diperlukan oleh kelompok “Bersahaja”. Bantuan modal berfungsi sebagai stimulan pengembangan usaha.
53
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
4. Mempertimbangkan kemungkinan penggabungan usaha dua kelompok Besaran keuntungan yang diperoleh produsen, terlebih produsen kecil, biasanya lebih kecil dari potensi keuntungan yang mungkin diperoleh karena panjangnya rantai pemasaran. Untuk meningkatkan nilai keuntungan maka rantai pasar perlu dipendekkan. Salah satu syarat untuk memedekkan rantai pasar adalah adanya badan usaha dengan skala relatif besar atau sebanding dengan badan usaha yang berada di tingkatan pasar yang lebih tinggi, selain produktivitas usaha yang besar dan tetap. Terkait hal ini, jika memungkinkan, ide untuk menggabungkan dua kelompok perempuan pengolah di kelurahan Labukkang dirasa relevan, setidaknya dalam manajemen pemasarannya.
54
5
PENUTUP
PENUTUP
55
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
Berdasarkan uraian pada bab sebelumnya, isu dan permasalahan di Kelurahan Labukkang dalam matriks SWOT adalah sebagai berikut.
Tabel 5-1 Matriks SWOT Pengembangan Kegiatan Ekonomi Pesisir Bidang Perikanan Tangkap
BIDANG PERIKANAN TANGKAP FAKTOR
INTERNAL FAKTOR
EKSTERNAL
O
1. Adanya berbagai pihak yang dapat memberikan input keterampilan untuk berbagai bidang keterampilan 2. Adanya berbagai pihak yang dapat memberikan bantuan modal dan peralatan 3. Tersedianya sumbersumber modal yang dapat diakses/ dimanfaatkan 4. Ruang pemasaran masih terbuka lebar untuk dikembangkan 5. Dukungan pemerintah
T 1. Persaingan dengan nelayan dari tempat lain 2. Kenaikan biaya operasional (kenaikan harga-harga) 3. Menurunnya stok ikan di laut
56
S
W
1. Adanya keinginan masyarakat untuk maju 2. Fasilitas penunjang (dalam hal ini: prasarana) kegiatan tersedia lengkap 3. Sistem sosial nelayan yang telah lebih liberal/berciri-modern
1. Keterbatasan skill dan pengetahuan dalam berbagai bidang ([2.1] Skill penangkapan, [2.2] pemetaan spot ikan atau fishing ground, [2.3] pengetahuan mengenai cara akses modal) 2. Pola tangkap sangat terpengaruh musim dan menyebabkan tidak menentunya nilai pendapatan nelayan 3. Jenis ikan target masih seragam dan cenderung homogen 4. Posisi tawar nelayan lemah dalam pasar 5. Sulitnya mengembangkan skala kegiatan oleh minimnya modal
Strategi
S-O
1. Menyelenggarakan berbagai kegiatan pelatihan bagi para nelayan dengan memanfaatkan berbagai pihak yang terkait 2. Mengoptimalkan pemanfaatan berbagai pra-sarana yang ada untuk menodorong peningkatan produktivitas nelayan 3. Memperlebar jangkauan/ruang pemasaran 4. Mengoptimalkan dukungan pemerintah bagi kegitan kenelayanan
Strategi
S-T
1. Melakukan diversifikasi produk dan perluasan ruang pemasaran 2. Menjalankan program tabungan nelayan 3. Pengenalan konsep penangkapan berkelanjutan kepada nelayan 4. Membuka ruang pemasaran yang belum dijangkau oleh nelayan yang lain 5. Melakukan pelatihan mengenai stocking ikan (rantai dingin) dan membangun infrastrukturnya
Strategi
W-O
1. Memanfaatkan berbagai pihak untuk menjadi narasumber dalam kegiatan pelatihan keterampilan dan pengetahuan yang dibutuhkan nelayan (pelatihan mengenai metode penangkapan, pemetaan spot ikan atau fishing ground, pengetahuan mengenai cara mengekases modal) 2. Melakukan pemetaan lokasi fishing ground (menurut waktu dan penemuan lokasi baru) melalui fasilitasi pemerintah/dinas terkait 3. Mengajukan proposal bantuan kepada pemerintah dan pihak-pihak terkait untuk mendapatkan bantuan modal dan peralatan 4. Melakukan diversifikasi ikan tangkapan 5. Memanfaatkan dukungan pemerintah untuk membentuk koperasi nelayan sebagai alternatif jalur pemasaran ikan selain melalui jalur punggawa 6. Pelatihan mengenai cara/prosedur dan pendampingan peng-akses-an modal.
Strategi
W-T
1. Membuka ruang pemasaran yang belum dijangkau oleh nelayan yang lain 2. Melakukan pelatihan mengenai stocking ikan (rantai dingin) dan membangun infrastrukturnya
DAFTAR PUSTAKA
Tabel 5-2 Matriks SWOT Pengembangan Kegiatan Ekonomi Pesisir Bidang Pengolahan/Usaha Perempuan
BIDANG PENGOLAHAN/USAHA PEREMPUAN FAKTOR
INTERNAL
FAKTOR
EKSTERNAL
O 1. Adanya berbagai pihak yang dapat memberikan input keterampilan untuk berbagai bidang keterampilan 2. Adanya berbagai pihak yang dapat memberikan bantuan modal dan peralatan 3. Ruang pemasaran produk terbuka lebar 4. Dukungan pemerintah 5. Ada sumber-sumber modal yang dapat diakses/dimanfaatkan
T 1. Persaingan dengan produk yang sama dari tempat lain 2. Adanya kemungkinan ketidakberlanjutan kegiatan usaha/ produksi 3. Ketidakpastian suplai bahan baku
S
W
1. Sistem Sosial masyarakat yang telah 1. Skill/keterampilan usaha perempuan memposisikan perempuan dalam masih sangat rendah di semua bidang posisi yang lebih setara dengan ([1]pembuatan produk, [2] manajemen laki-laki kelompok, [3] manajemen keuangan, 2. Adanya keinginan untuk maju [4] pelatihan keterampilan pemasaran, 3. Fasilitas penunjang (dalam hal [5] prosedur pengurusan izin produk, [6] ini: pra-sarana) kegiatan tersedia pelatihan mengenai standar higienitas lengkap produk, dan [7] pengemasan produk) 2. Kurang atau tidak-adanya modal dan peralatan 3. Kurangnya pengetahuan untuk mengakses sumber modal atau sumber bantuan 4. Ruang pasar yang ada belum dimanfaatkan (belum ada keterampilan pemasaran) 5. Tidak punya modal Strategi
S-O
Strategi
W-O
1. Pembentukan kelompok usaha 1. Pelatihan menyeluruh mengenai Perempuan keterampilan usaha bagi para perempuan, 2. Pendampingan usaha kelompok yakni meliputi (1) pelatihan keterampilan perempuan, utamanya pembuatan produk, (2) pelatihan pendampingan pemasaran dan manajemen kelompok, (3) manajemen manajemen kelompok keuangan, (4) pelatihan keterampilan 3. Memanfaatkan keberadaan prapemasaran, (5) prosedur pengurusan izin sarana seoptimal mungkin bagi produk, (6) pelatihan mengenai standar pengembangan usaha perempuan higienitas produk, dan (7) pelatihan 4. Memanfaatkan dukungan pemerintah pengemasan produk dan penyadaran bagi pengembangan usaha mengenai pentingnya kemasan yang baik perempuan 2. Mengajukan proposal bantuan kepada 5. Memanfaatkan sumber-sumber pihak-pihak terkait untuk mendapatkan modal yang ada bagi pengembangan bantuan modal dan peralatan. usaha perempuan 3. Pembentukan koperasi usaha perempuan 4. Pelatihan mengenai cara/prosedur dan pendampingan peng-akses-an modal. Strategi
S-T
1. Melakukan diversifikasi produk dan perluasan ruang pemasaran 2. Pendampingan pemasaran untuk memastikan ruang dan jalur pemasaran bagi produk kelompok 3. Melakukan perluasan jaringan suplai bahan baku produk
Strategi
W-T
1. Membuka ruang pemasaran yang belum dijangkau oleh produsen yang lain 2. Menjajaki kemungkinan adanya suplai bahan baku dari sumber lokal 3. Membuat sistem stocking untuk bahan baku
57
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
DAFTAR PUSTAKA
Arief, A.. 2003. Hutan Mangrove Fungsi dan Manfaatnya. Yogyakarta: Kanisus Bengen, D. 2002. Pengenalan dan Pengelolaan Ekosistem Mangrove. IPB: Bogor Ezwardi, I. 2009. Struktur Vegetasi Dan Mintakat Hutan Mangrove Di Kuala Bayeun Kabupaten Aceh Timur Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam. (online) (http://dydear.multiply.com/journal/item/15/Analisa_Vegetasi. diakses 17 Juni 2010). Fachrul, M F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Jakarta: Bumi Aksara Onriza., dan Cecep K. 2006. Komposisin Spesies
Dan Struktur Hutan
Mangrove Di Suaka Margasatwa Di Pulau Rambut, Teluk Jakarta. Peronema Forestry Science Journal (Onlie), Jilid 2 No. 1. (http://usupress.usu.ac.id/files/ Kehutanan%20_Peronema_%20Vol
_%
202%20No_%201%20April%20
2006.pdf. diakses 25 oktober 2013). Pramudji. 20003. Keanekaragaman Flora di Hutan Manggrove Kawasan Teluk Mandar, Polewali, Sulawesi Selatan: Kajian Pendahuluan. (online) (http://cmsdata.iucn.org/downloads/ecological_
mangrove_restoration_
bahasa_indonesia__72_dpi_.pdf. diakses 11 september 2013). Rochana, Erna. 2001. Ekosistem Manggrove dan Pengolahannnya di Indonesia. (online) (http://www.freewebs.com/irwantomangrove/ mangrove_ kelola.pdf. diakses 15 Mei 2010). Setyawan, A.D., Indrowuryatno., Wiryatno. 2005. Tumbuhan Manggrove Di Pesisir Jawa Tengah : 2 Komposisi Dan Struktur Vegetasi. Jurnal Biodiversitas (online),
Jilid 6 No. 3. (http://biologi-fkip.unri.ac.id/karya_ tulis/struktur_
vegetasi.pdf. diakses 18 Mei 2010). Suhardjono dan Rugayah. 2007. Keanekaragaman Tumbuhan Mangrove di Pulau Sepanjang Jawa Timur. Jurnal Biodiversitas (Online), Jilid 8 No. 2. (http://repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/ 5807/1/ 057004020. pdf. dakses 11 Mei 2010). Supriharyono. 2000. Pelestariran dan Pengelolaan Sumberdaya Alam Di Wilayah Pesisir Tropis. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama. Nikijuluw V. 2001. Populasi dan Sosial Ekonomi Masyarakat Pesisir serta Strategi Pemberdayaan Mereka Dalam Konteks Pengelolaan Sumberdaya Pesisir Secara Terpadu.Bogor: IPB Bogor.
58
DAFTAR PUSTAKA
59
LAPORAN AKHIR INVENTARISASI POTENSI SUMBERDAYA ALAM DAN KONDISI SOSIAL EKONOMI MASYARAKAT
60