sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Oseana, Volume XXX, Nomor 3, 2005 : 9 - 19
ISSN 0216-1877
KELUARGA FORAMINIFERA BERCANGKANG PASIRAN SEBAGAI KELOMPOK OPORTUNIS Oleh Ricky Rositasari
1)
ABSTRACT AGGLUTINANTED FORAMINIFER OPORTUNIST TAXA. Agglutinated form of foraminifera is believed as ancestor of the whole taxa (Foraminifera). Arenaceous is a simplest (form of foraminiferal test structure. The first appereance of this form in geological record is in early Cecambrian (500 - 570 million years ago). Observation on recent specimen shows that arenaceous foraminifera was assumed as one of oportunistic living form.
PENDAHULUAN
laut dalam. Lapisan ini terjadi karena besarnya tekanan air serta rendahnya kandungan oksigen. Dengan meningkatnya tekanan maka perbandingan antara CO2 dan 02 akan bertambah. Nilai perbandingan tersebut bertambah karena pada lingkungan laut dalam algae simbion tidak dapat lagi berfotosintesa di dalam cangkang foraminifera, padahal proses respirasi terus berlangsung. Keadaan tersebut menyebabkan nilai pH bertambah dengan bertambahnya kedalaman air, dari 8,2 sampai lebih rendah dari 7. Pada kisaran itulah kandungan CaCO3 terlarut setara dengan CaC0 3 tersedia (Supply) (BRASSIER, 1980). Disamping kemampuannya yang tinggi dalam menyesuaikan diri dengan lingkungan yang tidak menguntungkan di lingkungan laut dalam, respon yang sama diperlihatkan pada kelompok yang hidup di sepanjang pesisir dalam kurun waktu resen.
Foraminifera bercangkang pasiran (Arenaceous) dipercaya merupakan asal muasal dari semua keluarga foraminifera. Disamping karena kelompok ini ditemukan jauh lebih dahulu dibanding dengan kelompok foraminifera lainnya, dugaan tersebut diperkuat dengan struktur cangkang dan dinding cangkang yang mereka miliki sangatlah sederhana. Kemunculan pertama foraminifera pasiran dalam catatan geologi (Hasil dari telaah paleontologi) adalah pada era Kambrian (500 570 juta tahun yang lalu). Dalam dua dekade terakhir ini, penelitian dan pengamatan mengenai foraminifera pasiran telah menarik banyak perhatian, terutama dikaitkan dengan lapisan redoks (CCD) yang terdapat di perairan dalam. Calcite Compensation Depth (CCD) adalah lapisan air di perairan
1)
Bidang Dinamika Laut, Pusat Penelitian Oseanografi-LIPI, Jakarta
9
Oseana, Volume XXX No. 3, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
CANGKANG PASIRAN
setelah proloculus terbentuk, sel anak akan memilih ukuran butir pasir dengan lebih selektif. Setelah 6 jam perkembangbiakan secara asexual sel induk menjadi lemah dan cangkang akan mudah rusak.
Struktur cangkang pasiran pada foraminifera termasuk jenis cangkang keras tertua setelah cangkang khitin yang lunak. Dengan karakteristik demikian, dalam sejarah geologi foraminifera bercangkang pasiranlah yang terekam sebagai spesimen tertua. Foraminifera pasiran akan merekatkan partikel pada dinding tektin. Tektin adalah campuran antara protein dan polisakarida (BOERSMA, 1984). Jenis perekat yang biasa digunakan adalah Protoplasma ekstralokular, kalsit, silika atau materi yang mengandung besi (feruginous). Perlekatan tersebut menyebabkan kenampakan pasiran, sifat perlekatan tersebut ada yang temporal ada pula yang permanen dalam matriks mineralnya. Jenis partikel yang diambil oleh masing masing jenis berbeda-beda, ada yang berupa partikel pasir, cangkang orgamisma lain, berbagai jenis partikel sedimen seperti oolit, ada pula yang berupa mikrogranula kalsit dari laut dalam. Dalam irisan melintang, dinding foraminifera pasiran yang sederhana terdiri dari lapisan yang terdiri butiran halus di bagian dalam dan bertambah kasar pada lapisan yang lebih luar (Gambar 1). Pada genera yang lebih kompleks, lapisan luar yang berupa mikrogranular halus biasanya menutupi lapisan dalam yang lebih kompleks. Lapisan bagian dalam terlihat seperti busa, dimana bagian dalam terlipat kedalam kamar dan menyebabkan terdapat pembagian pada kamar bagian dalam. Struktur cangkang demikian disebut labirintik (alveolar). Cyclammina adalah contoh jenis foraminifera pasiran yang memiliki struktur cangkang labirintik. Hasil pengamatan terhadap pembiakan jenis Trochammina hadai di laboratorium memperlihatkan setelah satu jam keluar dari cangkang induknya, sel anak akan mengumpulkan pasir secara acak untuk membangun cangkang pertama (proloculus)
KEDUDUKAN DALAM SISTEMATIK Dalam sistematika yang telah disusun oleh Loeblich & Tappan pada tahun 1964 (BOERSMA, 1984) Ordo Foraminifera terbagi menjadi 5 sub ordo. Pembagian tersebut berdasarkan karakteristik dinding cangkang, pembatas antar kamar (septasi), arsitektur kamar serta bentik dan letak apertur (mulut). Kelima sub ordo tersebut adalah: 1. 2. 3. 4. 5.
Dari kelima sub ordo tersebut hanya sub ordo Textulariina yang seluruh jenis-jenisnya memiliki cangkang pasiran. Pada sub ordo Miliolina sebagian kecil jenisnya memiliki cangkang pasiran, sedangkan sebagian lainnya memiliki cangkang gampingan porcelaneous. Gambaran skematis struktur dinding cangkang masing-masing sub ordo dapat dilihat pada Gambar 1. Sub ordo Textulariina Sub ordo ini dicirikan dengan cangkang agglutinat-tak berlaminar (berlapis). Berdasarkan susunan kamarnya sub ordo ini terbagi menjadi 2 superfamili yaitu Ammodiscacea yang memiliki kamar tersusun secara unilokular dan Lituolacea yang tersusun secara multilokular (BRASIER, 1980).
10
Oseana, Volume XXX No. 3, 2005
Allogromiina Textulariina Fusulinina Miliolina Rotaliina
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Superfamili Amodiscacea
ukuran 10 mm. Gambar 2 memperlihatkan beberapa jenis foraminifera bentik pasiran dari superfamili Ammodiscacea. Berikut beberapa marga lain yang termasuk dalam superfamili Ammodiscacea. (Tabel 1)
Masa hidup Ammodiscea dimulai pada masa kambrian sampai saat ini. Seluruh jenis dari superfamili ini termasuk "foraminifera kecil" walaupun marga Astrorhiza bisa mencapai
Tabel 1. Deskripsi umum marga marga dari superfamili Ammodiscacea Marga
Karakteristik
Umur
Saccamina
Berbentuk globular sederhana dengan apertur dibagian terminal
Silurian - resen
Sorosphaera
Susunan kamar tak beraturan
Silurian - resen
Technitella
Berbentuk ‘fusi’ dengan dinding tersusun dari spikula karang lunak yang tersortir dengan baik
Oligosen - resen
Batisiphon
Cangkang tubular, sederhana, tanpa cabang, umumnya mempunyai beberapa apertur.
Ordobvisian - resen
Rhizamina
Cangkang tubular, sederhana, bercabang, umumnya mempunyai beberapa apertur.
Resen
Astrorhiza dan Rhabdamina
Cangkang tubular, sederhana, cabang radial umumnya mempunyai beberapa apertur.
Ordovisian - resen
Ammodiscus
Cangkang berputar secara planispiral
Silurian - resen
Usbekistania
Cangkang terpuntir secara glomospiral (Seperti lilitan benang tenun).
Jurasik - resen
Ammovertella
Cangkang dengan percabangan tak beraturan, berkelok-kelok atau zig-zag di atas substrat
Karboniferus akhir - resen
Tolypamina
s. d. a.
Ordoviasian - resen
11
Oseana, Volume XXX No. 3, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Superfamili Lituolacea
marga. Gambar 2 memperlihatkan beberapa jenis foraminifera bentik pasiran yang termasuk dalam superfamili Lituolacea, karakteristik spesifik dari taxa ini adalah struktur cangkangnya yang lebih rumit dibanding superfamili Ammodiscacea.
Cangkang pada marga-marga superfamili ini lebih kompleks baik dalam struktur dinding nya, susunan kamar maupun arsitertur cangkang secara umum. Pada Tabel 2 dapat dilihat deskripsi umum dari masing-masing
Tabel 2. Deskripsi umum marga-marga dari superfamili Lituolacea (BRASSIER 1980). Marga
Karakteristik
Umur
Rheophax & Hormosina
Cangkang uniserial-lurus
Devonian - resen
Textularia
Susunan kamar biserial
Carboniferous - resen
Bigenerina
Kombinasi antara cangkang uniserial dan biserial.
Carboniferous - resen
Verneilina
Kamar tersusun tiga baris (Triserial)
Jurasik - resen
Miliammina
Kamar tersusun tiga baris (Triserial)
Cretaceous akhir
Cyclammina
Cangkang terpuntir dan berbentuk planispiral.
Cretaceous - resen
Trochammina
Cangkang terpuntir dan berbentuk trochospiral.
Carboniferous akhir - resen
Ammobaculites
Kombinasi antara susunan kamar uniserial dan planispiral
Carboniferous akhir - resen
Sejarah umum foraminifera pasiran
menganggap cangkang paling primitif adalah cangkang dengan susunan kamar unilocular dan berdinding pasiran. Fosil dengan ciri-ciri tersebut ditemukan pada era Paleozaoic awal (+ 570 ribu tahun yang lalu), diduga leluhur fosil ini berasal dari perioda sebelum Cambrian (HEMLEBEN & KAMINSKI, 1990). Tabel 3 akan memperlihatkan skala waktu geologi.
Fosil foraminifera yang pertama kali ditemukan adalah Batisiphon dan Tolypammina yang termasuk dalam superfamili Amodiscacea. Fosil ini ditemukan dari batuan yang berukur kambrian awal (570 ribu tahun yang lalu). Sudah merupakan kesepakatan bersama yang
12
Oseana, Volume XXX No. 3, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Tabel 3. Skala waktu geologi (ALBANI, 1979) ERA
PERIOD
EPOCH
TIME BEFORE PRESENT (m.y.)
DURATION (m.y.)
CAINOZIOIC
QUARTENARY
Recent or Holocene
0 - 0.23
0 - 23
Pleistocene
0.023 - 2
1.77
TERTIARY
Pliocene
2-7
5
Miocene
7 - 26
19
Oligocene
26 - 38
12
Eocene
38 - 54
16
Paleocene
54 - 65
11
MESOZOIC
CRETACEOUS JURASSIC
PALEOZOIC
65 -136
71
136 - 195
59
TRIASSIC
195 -225
30
PERMIAN
225 - 280
55
CARBONIFEROUS
280 - 345
65
DEVONIAN
345 - 395
50
SILURIAN
395 - 440
45
ORDOVICIAN
440 - 500
60
CAMBRIAN PRECAMBRIAN
500 - 570
70
570 - 3,400
2,830
Origin of the Earth’s crust about 5,500 million years ago Based on the “Geological Society Phanerozaoic time-scale 1964” Quart.J.geol. Soc. London.
HABITAT
nated). Stainforthia fusiformis yang ditemukan di lokasi ini memiliki cangkang yang tipis dan mampu beradaptasi pada kandungan oksigen yang lebih rendah dari 2 ml/1 pada sedimen Lumpur.
Habitat utama dari kelompok pasiran ini adalah lingkungan laut dalam dan perairan payau. Namun beberapa penelitian terakhir memperlihatkan potensi kelompok foraminifera ini untuk beradaptasi dengan pesat di lingkungan-lingkungan ekstrim juga tipe lingkungan lain di luar habitat utamanya. ALVE (1991) telah mengamati jenis Stainforthia fusiformis yang berhasil beradaptasi pada lingkungan anoksik di Drammensfjord. Kedalaman lapisan redoks di daerah ini mulai dari kedalaman 35 m sampai 60 meter. Sampel didominasi oleh foraminifera pasiran (aggluti-
Lingkungan payau Lingkungan payau yang biasa terdapat di daerah estuari merupakan daerah yang sangat spesifik karena lingkungan ini sangat dipengaruhi oleh interaksi antara air tawar dan air laut. Lingkungan payau yang biasanya terletak di zona pasang-surut termasuk lingkungan yang tergolong ekstrim, terutama karena terdapatnya fluktuasi yang tajam pada
13
Oseana, Volume XXX No. 3, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
kadar salinitas dan temperatur, baik yang bersifat harian maupun musiman. Menurut MURRAY (1991), di rawa-rawa pasang-surut yang hanya terendam pada saat pasang tinggi, masih dapat ditemukan jenis pasiran Trochammina dan Jadammina dengan keragaman yang rendah. Kedua jenis tersebut merupakan herbivora dan detrivora yang hidup bebas (tidak melekatkan diri pada substrat tertentu). Di areal mangrove di Brazil dapat ditemukan jenis pasiran Arenoparrella (Epifauna, herbivore) dan Miliammina (Infauna, detritivore). MURRAY (1991) juga menemukan Ammobaculites (Infauna, detritivore) di Teluk Chesapeake, USA yang merupakan daerah keruh sedimen yang kaya unsur organik. Pengamatan ROSITASARI & EFFENDI (1996) di muara Sungai Bekasi, Cengkareng, Cilincing dan Dadap memperlihatkan bahwa marga bercangkang pasiran seperti Trochammina, Rheophax dan Cyclammina ditemukan sebagai jenis subsider (Subsidiary) mengikuti kemunculan jenis dominan. Di Muara Bekasi, Muara Cilincing, Muara Dadap, Muara Cengkareng dan Muara Ciawi. Jenis subsider ini biasanya memiliki kelimpahan rendah namun hampir selalu muncul di sebagian besar lokasi pengamatan. Muara-muara sungai tersebut merupakan perairan keruh (Turbid) yang mengandung materi tersuspensi dan senyawa organik tinggi, namun kadar oksigen rendah. Jenis gampingan yang ditemukan sangat dominan di muara-muara sungai ini adalah Ammonia beccarii, namun sebagian cangkang jenis ini tak sempurna (Abnormal). Dari fakta tersebut dapat diasumsikan bahwa perairan estuaria yang diamati tersebut bukan termasuk habitat yang optimal untuk pertumbuhan organisme bentik, hanya jenis-jenis yang mampu beradaptasilah yang dapat bertahan, jenis foraminifera bercangkang pasiran termasuk salah satu diantaranya. KITAZATO & MATSUSITA (1996) menemukan bahwa jenis foraminifera pasiran Trochammina hadai bersama-sama dengan
Ammonia beccarii melimpah di perairan payau Hamana di Jepang. Danau Hamana adalah perairan payau yang sangat dipengaruhi oleh aktivitas musim di sekitarnya. Pada musim dingin temperatur air dapat mencapai 5°C sedangkan pada saat musim panas temperatur mencapai 29°C. Demikian pula dengan salinitas dan kandungan oksigen yang sangat berfluktuasi. Selain musim yang sangat berpengaruh pada perairan ini, limbah aktivitas manusia juga turut memperburuk kondisi perairan. Pada musim panas kandungan oksigen di perairan mencapai tingkat yang sangat rendah karena temperatur dan pengupan yang tinggi. Biasanya pada saat musim semi dan panas lapisan sedimen teratas di perairan berwarna hitam dan berbau busuk, menandakan tingginya kandungan H 2S. Sebagai usaha Trochammina hadai untuk beradaptasi dengan lingkungan tersebut, jenis ini memiliki bentuk cangkang dan cara berbiak yang berbeda tergantung pada musim. Pada musim panas dimana dasar perairan mengandung oksigen sangat rendah dan temperatur air lebih tinggi, jenis ini berkembang biak secara asexual dan membentuk individu yang memiliki ukuran cangkang serta kamar yang lebih besar. Pada musim dingin, perkembangbiakan berlangsung secara sexual dan membentuk cangkang yang lebih kecil dengan susunan kamar yang tertata rapi. Lingkungan paralik Lingkungan paralik adalah jenis perairan pesisir semi tertutup yang terletak di daerah beriklim kering seperti di Cape Timiris di Mauritania dan Danau Ebrie di Ivory coast, Afrika Barat. Iklim yang kering di daerah paralik ini menyebabkan kadar salinitas perairan relatif tinggi yakni berkisar antara 38 - 40 ‰ (DEBENAY (1990). Penelitian DEBENAY (1990) di daerah paralik menunjukkan kemampuan adaptasi yang luar biasa pada jenis Ammotium salsum terhadap kadar salinitas yang lebih dari
14
Oseana, Volume XXX No. 3, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
100 ‰. Ammotiun salsum adalah jenis pasiran yang berbentuk planispiral (Susunan kamar beriringan terpuntir). Kamar pertama tumbuh menggulung, namun kamar yang terbentuk kemudian cenderung lurus-planispiral. Aperture (mulut) terletak di terminal (Kamar yang terakhir). Ammotium salsum ditemukan melimpah dengan cepat di lingkungan yang tidak mendapat pengaruh dari aliran sungai. Di lingkungan paralik seperi di Casamance estuary yang menjorok sampai 130 kin ke arah daratan, peningkatan salinitas terjadi dengan sangat cepat karma tidak terdapat sirkulasi. Ammotium salsum ditemukan melimpah hingga mencapai lebih dari 1000 individu per m3 pada lokasi yang bersalinitas lebih dari 100‰ (DEBENAY, 1990).
matahari hampir tidak ada karena tidak tergantung pada keberadaan produsen (Phytoplankton). Kedalaman laut yang sudah mencapai lebih dari 1000 meter di daerah penelitian dapat digolongkan sebagai daerah abisal. Dari fakta tersebut terlihat jelas bahwa foraminifera bercangkang pasiran yang termasuk dalam superfamili Lituolacea dan Ammodiscacea merupakan taxa yang memiliki potensi sebagai penciri lingkungan ekstrim. LEVIN et al. (1991) menemukan jenis foraminifera pasiran yang masuk dalam golongan epibentik, karma berukuran cukup besar yakni dapat mencapai 3 cm. Jenis ini ditemukan di perairan batial Santa Catalina basin, di selatan Kalifornia dengan kedalaman lebih dari 1200 meter. Yang sangat mengejutkan dari penemuan ini adalah dominansinya yang tinggi dan perannya yang penting dalam komunitas gundukan sedimen dasar laut (Mounds). Peranan penting dari foraminifera epibentik ini adalah kemampuannya untuk mengikat sedimen diantara cangkangnya yang berbentuk akar-akar. Mounds ini sangat dibutuhkan oleh organisme bentik laut dalam seperti copedoda, polychaeta, beberapa jenis epizoa dan echiuras. Pelosina cf arborescens, P. cf. cylindrical dan astrorhizinid berdinding lumpur merupakan tiga jenis foraminifera ‘bercabang’ yang ditemukan sangat melimpah. Sedangkan hasil eksperimen dengan menggunakan mounds artificial menunjukkan bahwa dua jenis foraminifera epibentik yang berbentuk membulat (Sperical) dari jenis Oryderma sp dan jenis astrorhizinid berdinding lumpur merupakan jenis oportunis yang mampu berkoloni dan tumbuh dengan cepat dalam sedimen mounds. Eksperimen ini pun menunjukkan bahwa gangguan pada sedimen mounds oleh organisme pembangun mounds merupakan sumber penting bagi heterogenitas spartial pada komunitas foraminifera di laut dalam (LEVIN et al., 1991).
Lingkungan laut dalam Hasil pengamatan terhadap kandungan foraminifera di Selat Makasar pada kedalaman lebih dari 1000 meter memperlihatkan tingginya kekayaan jenis dan jumlah individu dari foraminifera bercangkang pasiran. Taxa ini mencapai 41,86 % dari seluruh individu, dimana foraminifera bentik garnpingan hanya mencapai 1,31 %. Jenis penting dari foraminifera pasiran yang ditemukan hidup di Selat Makassar adalah Ammobaculites americanus, Alveoglobigerina globligeriniformis, Alveophragmium subgranulosum, Rhizamina, Glomosphira, Trochamina dan Involutina ROSITASARI (in press.). Tingginya kandungan foraminifera pasiran yang ditemukan di perairan ini memperlihatkan bahwa pada kedalaman lebih dari 1000 meter, hanya spesimen yang memiliki kapasitas dan karakter tertentu yang mampu untuk beradaptasi. Secara umum jenis-jenis foraminifera pasiran memiliki struktur dinding cangkang yang sederhana sehingga tidak membutuhkan suplai karbonat dari air. Selain itu dengan cara makan sebagai detritivore, ketergantungan kelompok ini terhadap sinar
15
Oseana, Volume XXX No. 3, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
SIFAT OPORTUNIS
KAMINSKI (1985) telah mengamati kecenderungan pada jenis pasiran di daerah Hebble, Nova Scotia. Pengamatan dilakukan pada 2 lokasi yakni Hebble dangkal pada kedalaman 4.185 meter dan Hebble dalam pada kedalaman 4.820 meter. Secara keseluruhan lokasi Hebble ini memiliki arus dasar yang sangat kuat, pada kedalaman lebih dari 4.000 meter kecepatan mencapai 40 cm/detik. Pada lokasi Hebble dangkal ditemukan jenis dengan ukuran halus dalam porsi yang besar seperti Ammobaculites agglutinans, Hormosinella distand dan Rheophax bacillaris. Ketiga jenis ini hanya ditemukan di lokasi ini. Di lokasi yang lebih dalam ditemukan Psamosphaera spp dan Saccammina sebagai jenis dominan. Jenis yang dinilai opotunis adalah Ammobaculiter bilocularis dan Reophax aff dentaliniformis. Karakteristik foraminifera dari kedua lokasi pengamatan memperlihatkan beberapa perbedaan yakni cangkang dari lokasi dangkal memperlihatkan kompleksitas cangkang yang lebih daripada lokasi dalam. Di lokasi dalam lebih banyak ditemukan jenis primitif yang berbentuk tubular dengan kamar tunggal.
Sifat oportunis pada kelompok foraminifera bercangkang pasiran dapat dikatakan sebagai sifat yang diturunkan oleh moyang dari kelompok ini yaitu jenis-jenis dari Superfamili Ammodiscacea. Marga Psamosphaera diduga merupakan marga tertua dibandingkan marga lainnya. Morfologi marga ini sangat sederhana yakni berbentuk globular sederhana tanpa mulut (aperture) yang jelas. Dinding cangkang terdiri dari serpihan batuan dan cangkang tanpa sortasi (serpihan batuan dengan ukuran yang beragam). Kesederhanaan inilah yang mungkin menjadi kunci dari kemampuan bertahan marga ini dari perubahan lingkungan yang terus berlangsung mulai dari 500 juta tahun yang lalu sampai saat ini. Dengan cara makan yang hanya bergantung dari serpihan bangkai, sehingga tidak tergantung sepenuhnya terhadap produsen, atau keberadaan sinar matahari maupun oksigen. Struktur cangkang yang sederhana yang berupa agglutinated (perlekatan) dari sembarang batuan yang ada di sekitarnya membuat organisma ini tidak tergantung pada kandungan CaC03 di dalam air. Sebagaimana diketahui kalsium karbonat merupakan unsur penting bagi organisma pembentuk rangka luar (cangkang) seperti foraminifera gampingan maupun kerang-kerangan. Perairan payau adalah jenis lingkungan lain yang biasa dihuni, foraminifera pasiran. Seperti juga lingkungan laut dalam tipe lingkungan ini memiliki banyak keterbatasan (limiting factor) seperti turbiditas yang relatif lebih tinggi, fluktuasi salinitas dan temperatur air yang cukup tinggi serta terbatasnya sirkulasi di dalam badan air. Dengan sendirinya faktor pembatas tersebut sangat berpengaruh terhadap kemampuan biota untuk beradaptasi. Dengan sifat oportunisnya yang memadai, foraminifera pasiran mampu beradaptasi di lingkungan tersebut. Fakta tentang sifat oportunis taxa ini sangat menarik untuk
PERILAKU Dalam jaring-jaring rantai makanan, kelompok foraminifera pasiran termasuk organisma detritivor yakni organisma pemakan bangkai atau serpihan jaringan tubuh makhluk hidup. Dengan perilaku demikian dapat dimengerti bila kelompok ini dapat bertahan hidup pada habitat yang cukup ekstrim, seperti lingkungan anoksik dan lingkungan laut dalam. Bagi organisme bentik yang hidup di lingkungan laut dalam dan berada jauh dibawah zona fotik seperti di daerah abisal dan batial, plankton bukan lagi merupakan produsen primer. Pemangsaan dan detritivore merupakan cara makan yang umum bagi organisma bentik di perairan ini.
16
Oseana, Volume XXX No. 3, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
diketahui lebih jauh lagi, yakni dengan melakukan pengamatan-pengamatan yang lebih intensif.
tion. Paleoeco., Biostra., Paleoocea., and Tax. of Aggl. Foram. Kluwer Academic Publshr, Netherlands : 3 - 11 pp KAMINSKI, M.A. Evidence for control of anbyssal agglutinated foraminiferal community strcture by sustrate disturbance: Results from the Hebble area. Mar. Geo., 66: 113 - 131 KITAZATO H and S. MATSUSITA 1996. Laboratory observations of sexual and asexual reproduction of Trochammina hadai Uchio. Traps. Proc. Paleont. Soc. Japan (182): 454 - 466. LEVIN, L.S., S.E. CHILDERS and C.R. SMITH. 1991. Epibenthic, agglutinating foraminiferans in the Santa Catalina Basin and their response to disturbance. Deep-Sea Res. V.38 (4) : 465 - 483 MURRAY, J.W. 1991.Biology of Foraminifera. In: (J.J. Lee & OR. Anderson eds.). Academic Press. Toronto., pp ROSITASARI, R. dan L. EFFENDI 1994. Foraminifera agglutinin dan kemungkinan pengaplikasiannya sebagai indicator lingkungan yang mendapat tekanan dalam PIT IAGI: Back to Basic. Ikatan Ahli Geologi Indonesia: 155 - 161
DAFTAR PUSTAKA ALBANI, A.D. 1979. Recent shallow water foraminiferida from New South Wales. Aust. Mar. Sci. Ass.:54 pp. ALVE, E. 1991. Benthic foraminifera in sediment cores reflecting heavy metal pollution in Sorfjord, Western Norway. Jour. Of Foram. Res. 21 (1), 1 - 19. BOERSMA, A. 1984. Foraminifera In: Introducton to marine micropaleontology (Boerama A & M.A.Kaminski eds.): Elssvier Biomedical, New York. 19 - 78. BRASIER, M.D. 1980. Microfossil. George Allen & Unwin. Sydney: 674 pp. DEBENAY, J.P. 1990. Recent Foraminiferal Assemblages and Their Distribution Relative To Environmental Stress In The Pararic Environments Of West Africa (Cape Timiris To Ebrie Lagoon). Jour. Of Foram. Resc, v.20 (3): 267 - 282. HEMLEBEN, C. and M.A. KAMINSKI 1990. Agglutinated foraminifera: An Introduc-
17
Oseana, Volume XXX No. 3, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Subordo Allogromiina
menempel jarang-jarang fleksibel, tipis dan ‘tectinous’ alveoli (dinding labirintik)
agglutinin
Textulariina
lapisan organik lapisan teratur
}
kristal CaCO3 dalam matriks
Miliolina
‘pseudopunctae’ dinding porcelanous
lapisan mikrogranular
Fusulinina
lapisan berserat dinding mikrogranular (tidak berpori) pori dinding ‘bilamellar’
Rotaliina lapisan organic
}
dinding kriptolamellar
pori lembaran yang bergantian (successive laminae)
}} }
lapisan organic
Gambar 1. Contoh struktur dinding pada 5 subordo berdasarkan pengamatan dengan menggunakan mikroskop electron (BRASIER, 1980).
18
Oseana, Volume XXX No. 3, 2005
sumber:www.oseanografi.lipi.go.id
Psamosphraera fusca(3)
Colonammina verruca(2) Saccammina sphaerica(1)
Astrorhiza arenaria(5)
Rhabdammina abyssorum(4)
Dorothia bradyana(8) Haplophragmoides canariensis(7)
Cyclammina cancallata(6)
Gambar 2. Beberapa bentuk foraminifera dari subfamili Ammodiscacea (1-5) dan subfamili Lituolacea (7-8).
19
Oseana, Volume XXX No. 3, 2005