KELEMAHAN PENGENDALIAN INTERNAL DILIHAT DARI KEMAMPUAN DAN PEMEKARAN PEMERINTAH DAERAH
Septian Bayu Kristanto (Universitas Kristen Krida Wacana)
Abstract Managerial Assessment report for Internal Weaknesses of Financial Statement (entity) almost conducted from privat sector, especially Doyle (2006) and Subramanyam (2006). In this research, Internal Weaknesses will be seen at Indonesia public sector, as sampel from Java/Bali Regency/Town. The variables different from other researchs and its justify to BPK report elements (Local State Revenue and Capital Expenditure), and control variable (age). The results show that capital expenditure has statistic significant to internal weakness and the young local state has good internal control.
LATAR BELAKANG PENELITIAN Risiko terjadinya fraud dapat terjadi pada setiap organisasi tanpa membedakan bentuk, jenis operasi ataupun kegiatannya. Salah satu faktor yang dapat menyebabkan fraud adalah lemahnya pengendalian internal. AICPA (Sahari dan Kurniawan, 2007) menyatakan bahwa fraud umumnya terjadi karena tiga hal yang mendasarinya terjadi bersamaan, yaitu: 1. Insentif atau tekanan untuk melakukan fraud, tekanan ini dapat muncul dari internal/pribadi pelaku (contohnya masalah keuangan) dan juga dapat dari eksternal (seperti tenggat waktu dan target kerja yang tidak realistis; 1
2. Peluang untuk melakukan fraud, hal ini umumnya timbul dari kelemahan dalam pengendalian internal; 3. Sikap atau rasionalisasi, terjadi karena seseorang mencari pembenaran atas aktivitasnya yang mengandung fraud. Pengendalian internal sebuah organisasi merupakan tanggung jawab manajemen organisasi tersebut. Berdasarkan Section 302 Sarbanes-Oxley Act yang menyatakan bahwa direksi perusahaan harus bertanggung jawab secara pribadi terhadap pernyataan prosedur pengendalian, pengendalian internal, dan jaminan atas fraud. Sedangkan dalam Section 404 tercantum ketentuan yang mewajibkan direksi perusahaan untuk menyatakan tanggung jawab manajemen untuk menghasilkan dan memelihara kecukupan bukti-bukti dari struktur pengendalian internal dan prosedur pengendalian internal dalam setiap pelaporan keuangan. Selain itu assessment pada tiap akhir periode harus mencakup mengenai keefektifan struktur pengendalian
internal
(lingkungan
pengendalian,
sistem
akuntansi,
dan
prosedur
pengendalian) dalam pelaporan keuangan perusahaan. Peraturan ini menuntut perusahaan untuk memahami, mendokumentasi, dan menyempurnakan pengendalian internal terkait pelaporan keuangan, dengan terus meningkatkan akurasi proses bisnis dan informasi transaksionalnya, serta memperkecil kemungkinan bagi perusahaan atau organisasi untuk melakukan dan menyembunyikan fraud. Laporan tentang penilaian manajemen (managerial assessment) atas kelemahan pengendalian internal atas pelaporan keuangan entitas yang bersangkutan memungkinkan penelitian archival tentang kelemahan-kelemahan pengendalian internal. Doyle et al. (2006) menganalisis 7 variabel independen yang diduga menjadi faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan pengendalian internal, yaitu: (1) firm size, yang diukur dengan nilai pasar dari ekuitas; (2) firm age, diukur dengan angka tahun yang ada pada data CRSP; (3) financial health, diukur dengan rugi agregate dan proxy untuk risiko kebangkrutan; (4) financial 2
reporting complexity, diukur dengan angka dari laporan tujuan khusus entitas, angka yang diperoleh dari laporan segmen, dan adanya transaksi mata uang asing; (5) rapid growth, diukur dengan pengeluaran merger dan akuisisi serta pertumbuhan penjualan yang ekstrim; (6) restructuring charges; dan (7) corporate governance, diukur dengan governance score yang dikembangkan oleh Brown dan Caylor (2006). Di lain pihak, variabel-variabel yang digunakan Subramanyam et al. (2006) untuk menentukan faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan pengendalian internal meliputi: (1) kompleksitas operasi perusahaan, diukur dengan menggunakan jumlah dari segmen bisnis dan operasi asing; (2) perubahan organisasi, untuk mengidentifikasikannya dipakai variabel yang menyajikan aktivitas akuisisi dan aktivitas rekstrukturisasi; (3) aplikasi pengukuran risiko, diukur dengan menggunakan pertumbuhan penjualan dan persediaan; (4) resources constraints, diukur dengan menggunakan nilai pasar dari ekuitas, kerugian, dan probabilitas kebangkrutan (Zscore). Penelitian-penelitian tersebut dilakukan pada negara maju yakni Amerika Serikat (AS), tempat perusahaan-perusahaan telah diwajibkan untuk melakukan pengungkapan kelemahan pengendalian internal perusahaan pada pelaporan keuangannya. Sedangkan di Indonesia sendiri data empiris tentang tingkat kelemahan pengendalian internal perusahaan go public masih sulit didapatkan karena pelaporan mengenai penilaian atas pengendalian internal untuk perusahaan go public belum diwajibkan. Dalam konteks pelaporan entitas publik di Indonesia, BPK (Badan Pemeriksa Keuangan) sebagai auditor eksternal pemerintah melaporkan laporan evaluasi atas ketaatan entitas yang diaudit atas pengendalian internal. Adanya SPKN (Standar Pemeriksaan Keuangan Negara) mengharuskan BPK untuk merencanakan, mengumpulkan bukti yang cukup dan melaksanakan pemeriksaan agar memperoleh keyakinan yang memadai sebagai dasar untuk memberikan pendapat. Standar tersebut juga mengharuskan BPK untuk mengungkapkan kelemahan dalam pengendalian internal atas pelaporan keuangan. Sehingga, 3
laporan evaluasi BPK bisa menjadi data empiris untuk melakukan penelitian tentang faktorfaktor yang mempengaruhi kelemahan pengendalian internal. Christy
(2008)
melakukan
penelitian
empiris
tentang
faktor-faktor
yang
mempengaruhi kelemahan pengendalian internal pada konteks BUMN yang diaudit BPK. Variabel independen yang dipakai oleh Christy (2008) adalah ukuran perusahaan, umur perusahaan, dan kompleksitas pelaporan keuangan yang diproksi dengan variabel dummy keberadaan transaksi mata uang asing. Bertentangan dengan teori dan temuan empiris di AS, Christy menemukan bahwa BUMN yang besar dan lebih tua justru memiliki kelemahan pengendalian internal yang lebih banyak. Sedangkan Nitasari (2008) menggunakan variabel umur perusahaan, ukuran perusahaan, pertumbuhan perusahaan, dan profitabilitas sebagai variabel independen untuk topik yang sama dengan konteks PDAM yang diaudit oleh BPK. Nitasari menemukan bahwa ukuran perusahaan berpengaruh negatif terhadap tingkat kelemahan pengendalian internal (pada α = 0,1), dan tingkat pertumbuhan berpengaruh positif terhadap tingkat kelemahan pengendalian internal. Nitasari juga menemukan bahwa PDAM di luar Pulau Jawa-Bali cenderung memiliki tingkat kelemahan pengendalian internal yang lebih tinggi dari pada PDAM di Pulau Jawa-Bali. Penelitian Christy (2008) dan Nitasari (2008) memakai BUMD/N yang diaudit oleh BPK sebagai sampelnya. Selain BUMD dan BUMN, BPK juga mengaudit entitas pemerintah daerah (Pemda) serta entitas lainnya yang menggunakan keuangan negara (APBN/D). Penelitian tentang faktor-faktor penentu kelemahan pengendalian internal, baik pada konteks AS maupun Indonesia, belum banyak yang menggunakan obyek entitas pemerintahan. Untuk itu, tujuan dari penelitian ini adalah meneliti faktor-faktor yang mempengaruhi kelemahan pengendalian internal pemerintah Kabupaten/Kota. Beberapa hal yang membedakan Pemda dan perusahaan swasta adalah dalam penggunaan standar akuntansi, aturan-aturan pelaksana,
4
dan penyajian laporan keuangan. Untuk meningkatkan komparabilitas data, sampel yang dipilih adalah pemerintahan Kabupaten/Kota se-Jawa/Bali. Hasil pemeriksaan yang dilakukan BPK terhadap laporan keuangan pemda juga mencakup laporan pemeriksaan atas pengendalian internal. BPK mengungkapkan adanya kelemahan-kelemahan pengendalian internal atas pelaporan keuangan pemda pada laporan tersebut. Penelitian ini ingin mengungkapkan faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kelemahan pengendalian internal tersebut. Faktor-faktor yang diduga mempengaruhi kelemahan pengendalian internal diduga dari Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal. Dari masalah penelitian yang diungkapkan di atas, maka muncul persoalan penelitian yang akan dijawab pada penelitian ini: Bagaimana pengaruh pendapatan asli daerah dan belanja modal terhadap kelemahan pengendalian internal?
KERANGKA TEORI DAN PENGEMBANGAN HIPOTESIS Pengendalian Internal Pengertian pengendalian atau kontrol menurut The Institute of Internal Auditors (Koesmana dkk, 2007) adalah setiap tindakan yang diambil manajemen untuk meningkatkan kemungkinan tercapainya tujuan dan sasaran yang ditetapkan. Pengendalian dapat bersifat preventif (untuk mencegah hal-hal yang tidak diinginkan), detektif (untuk mendeteksi dan memperbaiki hal-hal yang tidak diinginkan yang telah terjadi), dan direktif (untuk mengarahkan terjadinya suatu kondisi/output yang diinginkan). Menurut Committee of Sponsoring Organization of The Tread way Commission (COSO) dalam Boynton dan Kell (2006:373), pengendalian internal adalah suatu proses yang dilaksanakan oleh dewan direksi, manajemen, dan personel lainnya dalam suatu entitas, yang dirancang untuk menyediakan keyakinan yang memadai berkenaan dengan pencapaian tujuan
5
dalam hal: efektifitas dan efisiensi operasi, keandalan informasi keuangan, serta ketaatan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku. Menurut PP RI No.60 Tahun 2008, Sistem Pengendalian Internal adalah proses yang integral pada tindakan dan kegiatan yang dilakukan secara terus menerus oleh pimpinan dan seluruh pegawai untuk memberikan keyakinan memadai atas tercapainya tujuan organisasi melalui kegiatan yang efektif dan efisien, keandalan pelaporan keuangan, pengamanan aset negara, dan ketaatan terhadap peraturan perundang-undangan. Bagi instansi pemerintah, pengendalian internal dirancang untuk memberikan keyakinan yang memadai bahwa tujuan instansi akan tercapai, yakni dalam hal: 1. Meningkatnya ketertiban, keekonomisan, efisiensi dan efektivitas kegiatan, dan beretika 2. Informasi keuangan dan manajemen yang andal, lengkap, dan tepat waktu untuk kebutuhan internal maupun eksternal 3. Pengamanan
sumber
daya
instansi
terhadap
kerugian
akibat
pemborosan,
penyalahgunaan, salah kelola, kekeliruan, dan kecurangan (fraud) 4. Meningkatkan kepatuhan pada peraturan, perundang-undangan, dan arahan pimpinan
Pendapatan Asli Daerah Menurut Permendagri 13 Tahun 2006 Pasal 1 (50) Pendapatan Daerah adalah hak pemerintah daerah yang diakui sebagai penambah nilai kekayaan bersih. Sedangkan pada pasal 15 ayat 1 dijelaskan bahwa Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) disusun sesuai dengan kebutuhan penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah. Sehingga dapat disimpulkan bahwa pendapatan daerah adalah expected cash in flow dari suatu daerah. Sedangkan total pendapatan suatu daerah bersumber dari Pendapatan Asli Daerah (PAD), Dana Perimbangan yang terdiri dari Dana Alokasi Umum (DAU), Dana
6
Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) dan lain-lain pendapatan daerah yang sah. Pendapatan asli daerah (PAD) menurut UU No. 33 Tahun 2004 pasal 1 (18) PAD adalah pendapatan yang diperoleh Daerah yang dipungut berdasarkan Peraturan Daerah sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sehingga PAD adalah salah satu pendapatan daerah yang diperoleh dengan mengelola dan memanfaatkan potensi daerahnya. PAD dapat berupa pemungutan pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan kekayaan daerah yang dipisahkan, dan lain-lain PAD yang sah. Secara umum, kinerja keuangan daerah dinilai dari persentase pendapatan asli daerah terhadap total pendapatannya. Semakin tinggi kontribusi pendapatan asli daerah maka semakin tinggi kemampuan daerah untuk membiayai kemampuannya sendiri, sehingga menunjukkan kinerja keuangan daerah yang positif. Kinerja keuangan daerah yang positif dapat diartikan sebagai kemandirian keuangan daerah dalam membiayai kebutuhan daerah dan mendukung pelaksanaan otonomi daerah pada daerah tersebut. Pola hubungan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah harus sesuai dengan kemampuan daerah dalam membiayai pelaksanaan pemerintahan. Oleh karena itu, untuk melihat kemampuan daerah dalam menjalankan otonomi daerah, salah satunya dapat diukur melalui kinerja keuangan daerah.
Belanja Modal Menurut Permendagri No.13 tahun 2006, belanja modal adalah pengeluaran anggaran untuk perolehan aset tetap berwujud yang memberi manfaat lebih dari satu periode akuntansi. Nilai aset tetap dalam belanja modal yaitu sebesar harga beli/bangun aset ditambah seluruh belanja yang terkait dengan pengadaan/pembangunan aset sampai aset tersebut siap digunakan. 7
Menurut Abdullah dan Halim (2006), alokasi belanja modal yang didasarkan pada kebutuhan memiliki arti bahwa tidak semua satuan kerja atau unit organisasi di pemerintahan daerah melaksanakan kegiatan atau proyek pengadaan aset tetap. Sesuai dengan tugas pokok dan fungsi masing-masing satuan kerja, ada satuan kerja yang memberikan pelayanan publik berupa penyediaan sarana dan prasarana fisik, seperti fasilitas pendidikan (gedung sekolah, peralatan laboratorium, mobiler), kesehatan (rumah sakit, peralatan kedokteran, mobil ambulans), jalan raya, dan jembatan, sementara satuan kerja lain hanya memberikan pelayanan jasa langsung berupa pelayanan administrasi (catatan sipil, pembuatan kartu identitas kependudukan), pengamanan, pemberdayaan, pelayanan kesehatan, dan pelayanan pendidikan.
Pengaruh Pendapatan Asli Daerah Terhadap Kelemahan Pengendalian Internal Dalam konteks entitas bisnis, perusahaan yang ukuran operasi normalnya lebih besar cenderung lebih mampu menerapkan pengendalian internal yang memadai karena perusahaan tersebut memiliki sumber daya yang mencukupi. Selain itu manajer perusahaan besar bertanggung jawab atas pengelolaan sumber daya yang lebih banyak sehingga mereka cenderung untuk memiliki komitmen yang lebih tinggi untuk menerapkan pengendalian internal yang memadai (Doyle, et al, 2006). Dalam konteks organisasi pemda, ciri utama yang menunjukkan suatu daerah mampu melaksanakan otonomi daerah adalah sebagai berikut (Nataluddin, 2001:167): 1. Kemampuan keuangan daerah, artinya daerah harus memiliki kewenangan dan kemampuan untuk menggali sumber-sumber keuangan, mengelola dan menggunakan keuangan
sendiri
yang
cukup
memadai
untuk
membiayai
penyelenggaraan
pemerintahannya.
8
2. Ketergantungan kepada bantuan pusat harus seminimal mungkin agar Pendapatan Asli Daerah (PAD) harus menjadi bagian sumber keuangan terbesar, yang didukung oleh kebijakan perimbangan keuangan pusat dan daerah, sehingga peranan pemerintah daerah menjadi lebih besar. Penelitian ini menggunakan proksi PAD untuk mengukur kemampuan pemda dalam memanfatkan sumber daya yang dimilikinya untuk menerapkan tertib administrasi dan pengelolaan keuangan daerah. Kemapuan daerah yang diproksikan dengan PAD juga didasarkan atas sifat PAD mulai dari mendapatkannya (mengumpulkan dari sumber PAD sampai dengan penyetoran ke kas Daerah), pengelolaan dan juga pertanggungjawaban dilakukan oleh pemerintah daerah. Selain itu, tekanan politis yang dialami oleh eksekutif pemerintah daerah yang memiliki nilai pendapatan asli daerah besar (dalam nilai maupun persentasenya terhadap total pendapatan) cenderung lebih tinggi sehingga membuat para birokrat harus lebih transparan dalam pengelolaan dan pelaporan keuangan (Laswad, et al, 2005). Atas dasar argumen tersebut, maka hipotesis pertama penelitian ini adalah: H1 : Pendapatan asli daerah berpengaruh negatif terhadap kelemahan pengendalian internal.
Pengaruh Belanja Modal Terhadap Kelemahan Pengendalian Internal Berdasarkan UU No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara, kekuasaan pengelolaan keuangan negara berada di tangan presiden selaku Kepala Pemerintahan yang kemudian dikuasakan kepada pejabat negara, baik di tingkat pemerintah pusat maupun pemerintah daerah. Menurut Mulyadi (2007) agar keuangan negara dapat digunakan dalam mewujudkan tujuan bernegara, maka idealnya keuangan negara perlu dikelola secara tertib, taat pada peraturan perundang-undangan, efisien, ekonomis, efektif, transparan, dan 9
bertanggung jawab dengan memperhatikan rasa keadilan dan kepatutan. Prinsip-prinsip tersebut sejalan dengan prinsip-prinsip yang selama ini dikenal dengan penyelenggaraan good governance. Kekuasaan dalam pengelolaan keuangan negara selalu mengandung risiko penyimpangan (fraud) yang besar. Salah satu penyebab munculnya fraud, menurut AICPA (Sahari dan Kurniawan, 2007) adalah adanya peluang. Hal ini umumnya timbul dari kelemahan dalam pengendalian internal. Sehingga pengendalian internal secara detektif (untuk mendeteksi dan memperbaiki hal-hal yang tidak diinginkan yang telah terjadi) pada pengeluaran pemerintah sangat diperlukan karena telah banyak perkara tentang ketidakefisienan bahkan korupsi dalam hal pengadaan barang dan jasa, terutama belanja modal. Hal tersebut juga didukung oleh beberapa penelitian, diantaranya penelitian Mauro (1998) berpendapat bahwa korupsi lebih mudah dilakukan pada belanja anggaran yang memudahkan terjadinya suap, markup dan membuat tindakan tersebut tidak terdeteksi. Terkait dengan belanja modal, Tuanakotta (2009:34) merinci delapan belas modus korupsi di daerah, antara lain ditemukan bahwa ada pengusaha yang seringkali mempengaruhi kepala daerah atau pejabat daerah untuk mengintervensi proses pengadaan agar pengusaha tersebut dimenangkan dalam tender atau ditunjuk langsung kemudian harga barang/jasa dinaikkan (markup), yang pada akhirnya selisihnya dibagi-bagikan. Selain itu ditemukan bahwa antara pengusaha, pejabat eksekutif, dan pejabat legislatif bersepakat untuk melakukan markdown atas aset pemda dan markup atas aset penganti dari pengusaha. Para kepala daerah juga seringkali meminta uang jasa (di bayar dimuka) kepada pemenang tender sebelum melakukan proyek. Kondisi ini menunjukkan bahwa belanja modal bisa menjadi obyek korupsi politik dan korupsi administratif oleh pihak legislatif dan eksekutif. Bagi anggota DPR, belanja modal bisa menjadi alat untuk ”kampanye” kepada konstituennya. Sedangkan bagi kepala daerah, belanja modal berarti ”kampanye” kepada 10
masyarakat tentang keberhasilan pembangunan yang dilakukannya dan sebagai sumber pemasukkan finansial bagi saku pribadinya karena adanya bayaran yang diberikan oleh pihak lain (Abdullah, 2008). Berdasarkan landasan teoritis di atas, maka hipotesis kedua dirumuskan sebagai berikut: H2 : Belanja modal berpengaruh positif terhadap kelemahan pengendalian internal.
Model Penelitian Dari rumusan hipotesis diatas, diduga ada pengaruh negatif antara pendapatan asli daerah (PAD) dengan kelemahan pengendalian internal (KPI). Selain itu, hipotesis juga menduga adanya pengaruh positif antara belanja modal (BMOD) dan kelemahan pengendalian internal (KPI). Dalam penelitian ini ditambahkan variabel kontrol mengenai umur (D_PMK), sesuai penelitian Doyle et al (2006) dan Subramanyam et al (2006). Variabel ini merupakan dummy antara daerah pemekaran dan daerah tanpa pemekaran. Model penelitian tersebut dapat dilihat pada gambar 1.
PAD BMOD
+
KPI +
D_PMK
Gambar 1 Model Penelitian (hubungan negatif antara PAD dan KPI, hubungan positif antara BMOD dan KPI, dan hubungan positif antara D_PMK dan KPI)
11
METODOLOGI PENELITIAN Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data kuantitatif mengenai Laporan Keuangan Pemerintah Daerah. Sumber data untuk dianalisis berasal dari data sekunder berupa Laporan Keuangan Pemda Kabupaten/Kota se-Jawa/Bali Tahun Anggaran 2006, yang telah diaudit BPK. Data diperoleh dengan cara download dari situs resmi Badan Pemeriksa Keuangan. Populasi dapat diartikan sebagai keseluruhan elemen yang menjadi perhatian dalam suatu penelitian. Yang menjadi populasi dari penelitian ini adalah seluruh Pemda Kabupaten/Kota Se-Jawa/Bali yang diaudit oleh BPK. Sedangkan yang menjadi sampel dalam penelitian ini dipilih berdasarkan kriteria tertentu. Kriteria yang digunakan adalah: 1. Pemda Kabupaten/Kota se-Jawa/Bali yang mempublikasikan Laporan Keuangannya pada Tahun Anggaran 2006 dan telah diaudit oleh BPK. 2. Memiliki informasi variabel-variabel yang akan diukur, serta di dalamnya memuat satuan pemahaman pengendalian internal termasuk laporan mengenai kepatuhan terhadap undang-undang dan pengendalian internal. Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan alat analisis regresi. Regresi ini digunakan untuk menguji pengaruh antara pendapatan asli daerah (PAD), belanja modal, dan variasi daerah pemekaran terhadap kelemahan pengendalian internal. Berikut persamaan regresi antara variabel dependen dengan variabel independen yang dipakai dalam pengujian hipotesis :
KPI
b0
b1 PAD b2 BMOD b3 D _ PMK e (1)
Terdiri dari:
KPI
= Kelemahan Pengendalian internal
b0
= Konstanta
12
b1 , b2 dan b3 = Koefisien regresi
PAD
= Diukur dengan nilai Pendapatan Asli Daerah
BMOD
= Diukur dengan nilai Belanja Modal
D _ PMK
= Diukur dengan dummy variable daerah Pemekaran
e
= Eror
HASIL PENELITIAN Penelitian ini menggunakan data Laporan Keuangan Pemda Kabupaten/Kota yang dipublikasikan oleh BPK. Sampel yang dipilih adalah Kabupaten/Kota se-Jawa-Bali pada tahun anggaran 2006. Data awal sampel sebanyak 116 Kabupaten/Kota. Data ini kemudian disaring sesuai dengan kriteria, tentang kelengkapan Laporan Keuangan. Sesuai dengan kriteria tersebut, ada data yang tidak lengkap pada Kabupaten Boyolali. Sehingga Kabupaten ini harus dieliminasi. Langkah berikutnya adalah eliminasi outliers, yaitu data yang memiliki nilai ekstrim, baik tinggi maupun rendah. Pengujian ini menggunakan alat uji SPSS, dalam deskriptif statistik, yang menunjukan nilai-nilai yang terlalu tinggi (ekstrim tinggi) dan nilai-nilai yang terlalu rendah (ekstrim rendah). Pengujian outliers ini dilakukan untuk membersihkan datadata pengganggu sehingga variabilitas dan kecukupan model dapat menjadi lebih baik. Dalam pengujian outliers ini terdapat delapan sampel yang memiliki nilai ekstrim, sehingga data yang siap diolah menjadi 107 Kabupaten/Kota. Tabel 1 berikut memberikan rangkuman atas eliminasi sampel-sampel tersebut. Tabel 1 Eliminasi Sampel Penelitian Keterangan
Jumlah
Data awal Kabupaten/Kota se-Jawa/Bali
116 13
Data tidak lengkap
(1)
Data (outliers)
(8)
Data akhir yang siap diolah
107
Sumber: Data diolah 2010
Pembuangan data ekstrim (outliers) dalam penelitian ini dilakukan karena mengganggu variabilitas data dan kecukupan model. Sebelum menguji dengan fit model, peneliti melakukan komparasi dalam nilai koefisien determinasi dan nilai uji F-nya. Hasil dari komparasi tersebut menunjukan model tanpa outliers memiliki nilai R2, adj R2, dan nilai F yang lebih baik dan signifikan. Hasil dari komparasi tersebut dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 Komparabilitas Model Keterangan Data dengan outliers Data tanpa outliers R²
0.039
0.079
Adj R²
0.013
0.053
Nilai F
1.501
2.961
Sign F
0.218
0.036
Sumber: Data diolah 2010
Setelah sampel-sampel yang terpilih tersebut siap diolah, peneliti melakukan uji statistik deskriptif untuk merangkum data. Variabel yang digunakan disini ada empat: Kelemahan Pengendalian Interrnal (KPI), Pendapatan Asli Daerah (PAD), Belanja Modal (BMOD), dan Dummy dari Pemekaran Daerah (D_PMK). Tabel 3 menunjukan hasil dari statistik deskriptif dari data penelitian. Tabel 3 Statistik Deskriptif KPI Min
1
PAD (Rp) 9,413,110,404
BMOD (Rp) 16,973,307,771
D_PMK 0 14
Max
17 538,369,935,680 456,941,979,632
1
Mean
6
65,453,653,226 110,598,400,706
0.084
Standar Deviasi
3
69,632,650,537
0.279
68,854,730,582
Sumber: Data diolah 2010
Dari hasil tersebut menunjukan nilai mean yang cukup jauh dari nilai maksimum. Hal ini menunjukan bahwa rata-rata dari data penelitian memiliki nilai KPI, PAD, dan BMOD pada sebaran data kecil. Hanya beberapa sampel yang memiliki nilai KPI, PAD, dan BMOD yang besar. Keadaan serupa juga terdapat pada D_PMK, yang menunjukan bahwa rata-rata pemekaran daerah kecil, atau sedikit sekali terjadi pemekaran daerah sebelum tahun penelitian. Langkah selanjutnya adalah meregresikan variabel-variabel penelitian, yaitu KPI sebagai variabel dependen dan PAD, BMOD, dan D_PMK sebagai variabel independennya. Regeresi dilakukan terhadap 107 sampel yang siap diolah. Hasil uji regresi tersebut dapat dilihat pada Tabel 4. Tabel 4 Hasil Uji Regresi Keterangan Konstanta PAD BMOD D_PMK
Koefisien
Sign
4.881 0.000 3.75646E-12 0.386 1.0198E-11 0.025 -0.361 0.724
R²
0.079
Adj R²
0.053
Nilai F
2.961
Sign F
0.036
Sumber: Data diolah 2010
15
Hasil diatas menunjukan nilai adj R2 sebesar 0.053, atau 5.3%. Nilai koefisien determinasi yang sudah disesuaikan ini menunjukkan variabilitas dari PAD, BMOD, dan D_PMK dalam menjelaskan KPI hanya sebesar 5.3%. Sehingga masih banyak variabelvariabel lain yang belum bisa menjelaskan KPI dan tidak terangkum dalam penelitian ini, sebesar 94.7%. Nilai Sign F menunjukan angka 0.036, atau 3.6%. Hasil ini menunjukan bahwa secara bersama-sama model ini signifikan sebagai prediktor KPI, karena memiliki nilai F kurang dari alpha penelitian. Secara statistik, model ini bisa dikatakan sebagai fit model karena memiliki nilai F yang signifikan. Analisis selanjutnya adalah merumuskan model regresi. Dari Tabel 4 dapat dirumuskan model sebagai berikut:
KPI
4.881 3.75646 x10
12
( PAD) 1.0198 x10
11
( BMOD) 0.361( D _ PMK ) (2)
Model ini dapat dibaca sebagai berikut: (1) Jika nilai PAD naik satu triliun rupiah, asumsi ceteris paribus, maka akan meningkatkan nilai KPI sebesar 3.756, dan sebaliknya. Kenaikan pada PAD berarti kenaikan juga pada KPI, hal ini diakrenakan hubungan antara PAD dan KPI adalah positif (+). (2) Jika nilai BMOD naik seratus milyar rupiah, asumsi ceteris paribus, maka akan meningkatkan nilai KPI sebesar 1.019, dan sebaliknya. Sama seperti PAD, hubungan yang positif (+) antara BMOD dan KPI memberikan implikasi yang searah, yaitu kenaikan pada BMOD diikuti dengan kenaikan pada KPI. Dan (3) nilai D_PMK menunjukan nilai negatif (-), hasil ini mengindikasikan bahwa nilai dummy nol (0) memberikan hasil yang lebih tinggi dibandingkan nilai dummy satu (1). Dengan kata lain, daerah-daerah pemekaran memiliki pengendalian KPI yang lebih baik, karena memberikan nilai yang lebih kecil pada model. Dalam pengujian hipotesis pertama, yaitu PAD berpengaruh negatif (-) terhadap KPI, tidak terbukti secara statisik. Hasil uji menunjukan bahwa hubungan antara PAD dan KPI 16
adalah positif (+) dan tidak signifikan. H1 dalam penelitian ini ditolak karena signifikansi PAD lebih besar dari alpha penelitian. Hasil yang positif (+) dan tidak signifikan ini diduga disebabkan oleh tiga faktor: 1. Nilai PAD yang relatif kecil secara cross-section. Rata-rata dari sampel masih jauh dari nilai maksimumnya (terlihat di Tabel 3). 2. Penerapan pertama kali SPKN pada tahun 2006. Penerapan ini direspon lambat oleh Pemda Kabupaten/Kota se-Jawa/Bali. 3. Tingkat pengawasan sistem pengelolaan penerimaan daerah yang kurang ketat. Tercermin dalam Laporan Pengendalian Internal dari BPK yang banyak melaporkan temuan dalam sumber daya serta pembuatan peraturan pelaksana dan teknis pada pengelolaan keuangan daerah. Pengujian terhadap hipotesis kedua tidak dapat ditolak (H2 diterima) secara statistik. Hasil ini sesuai dengan dugaan Tuanakotta (2009) dan Abdullah (2008). Hasil yang positif (+) dan signifikan ini juga didukung dengan dua faktor kuat: (1) pengelolaan belanja modal sudah diatur secara detail oleh pemerintah melalui Peraturan Presiden tentang pedoman pelaksana pengadaan barang dan jasa, sehingga bila terjadi kesalahan dalam proses pengadaannya dapat dengan mudah terdeteksi oleh BPK dan dilaporkan dalam Laporan Kelemahan Pengendalian Internal dan (2) belanja modal adalah fokus utama pemeriksaan BPK. Hasil lain dari variabel kontrol (D_PMK) adalah negatif (-) dan tidak signifikan. Hasil ini tidak sesuai dengan dugaan peneliti. Hal ini mengindikasikan bahwa daerah-daerah pemekaran cenderung lebih baik pengendalian internalnya, karena KPInya kecil (dummy untuk daerah pemekaran adalah 1). Keadaan ini mungkin disebabkan karena azas kehatihatian yang lebih tinggi dari daerah pemekaran karena daerah pemekaran umumnya
17
mendapatkan tekanan politis yang lebih tinggi dibandingkan dengan daerah yang bukan pemekaran. Untuk melengkapi fit model yang telah dibuat tersebut, uji asumsi klasik perlu dilakukan untuk mendeteksi bias model dan minimum varians model. Uji ini meliputi uji Normalitas, uji Heteroskedastisitas, dan uji Multikolinearitas. Uji normalitas dilakukan terhadap residual model. Dengan Kolmogorov-Smornov test (K-S), hasil yang didapat adalah residual data terdistribusi secara normal. Tabel 5 menunjukan hasil bahwa sign K-S lebih besar dari alpha penelitian. Tabel 5 Uji Normalitas Keterangan
Nilai
Kolmogorov-Smirnov Z 0.943 Sign (2-tailed)
0.336
Sumber: Data diolah 2010
Uji heteroskedastisitas dilihat dari nilai korelasi antara absolute residual dan variabelvariabel independen model. Tabel 6 menunjukan hasil bahwa koefisien korelasi antara absolute residual dan variabel independen dalam model kurang dari 0.8 dan signifikansi lebih dari alpha penelitian. Dengan kata lain, tidak ada heteroskedastisitas dalam model ini. Tabel 6 Uji Heteroskedastisitas
PAD
BMOD
D_PMK
Keterangan
Absolut Residual
Koef Korelasi Spearman
0.041
Sign (1-tailed)
0.339
Koef Korelasi Spearman
0.043
Sign (1-tailed)
0.331
Koef Korelasi Spearman
0.185
Sign (1-tailed)
0.028 18
Sumber: Data diolah 2010
Pengujian multikolinearitas dilihat dari nilai Tolerance dan VIF terhadap variabelvariabel independen dalam model. Tabel 7 menunjukan hasil bahwa tidak ada multikolinearitas dalam model, dengan bukti nilai tolerance yang lebih dari 0.10 dan VIF kurang dari 10. Tabel 7 Uji Multikolinearitas Variabel Independen Tolerance
VIF
PAD
0.848
1.180
BMOD
0.808
1.238
D_PMK
0.949
1.053
Sumber: Data diolah 2010
Semua uji asumsi klasik ini merupakan pengujian tambahan yang memberi keyakinan bahwa data dan model yang dibuat dalam penelitian ini adalah fit model yang mempunyai minimum varians dan tidak bias. Dengan kata lain, model ini bisa dignakan sebagai prediktor terhadap KPI.
KESIMPULAN, IMPLIKASI, DAN KETERBATASAN PENELITIAN Dari hasil pengujian-pengujian yang sudah dilakukan, dengan alpha penelitian 5%, maka dapat diambil empat kesimpulan sebagai berikut: Secara bersama-sama, Pendapatan Asli Daerah dan Belanja Modal signifikan sebagai prediktor Kelemahan Pengendalian Internal. Variasi dari variabel-variabel independen ini yang masih sangat kecil karena penelitian ini hanya menggunakan data financial dari Laporan Keuangan Pemda Kabupaten/Kota.
19
Kesimpulan yang kedua, Hipotesis pertama penelitian ini bahwa pendapatan asli daerah berpengaruh negatif terhadap kelemahan pengendalian internal, tidak didukung dengan hasil pengujian statistik. Asumsi untuk menjelaskan hal ini dimungkinkan karena: (1) nilai PAD yang relatif kecil secara cross-section; (2) tahun 2006 merupakan tahun pertama penerapan SKPN sehingga ini merupakan masa transisi bagi Pemda dalam penyesuaian pengelolaan penerimaan kas yang dikelola sepenuhnya oleh Pemda (pendapatan asli daerah) yang sesuai dengan SPKN; dan (3) tingkat pengawasan sistem pengelolaan penerimaan daerah yang kurang ketat yang dapat diakibatkan karena tidak optimalnya fungsi kemampuan inspektorat daerah sebagai auditor internal Pemda. Kesimpulan yang ketiga, Hipotesis kedua penelitian ini bahwa belanja modal berpengaruh positif terhadap kelemahan pengendalian internal didukung dengan hasil pengujian statistik. Hal ini karena adanya fakta bahwa: (1) pengelolaan belanja modal sudah diatur secara detail oleh pemerintah melalui Peraturan Presiden tentang pedoman pelaksana pengadaan barang dan jasa, sehingga bila terjadi kesalahan dalam proses pengadaannya dapat dengan mudah terdeteksi oleh BPK dan dilaporkan dalam Laporan Kelemahan Pengendalian Internal dan (2) belanja modal adalah fokus utama pemeriksaan BPK, hal ini disebabkan banyaknya potensi penyimpangan dalam proses pengadaan perolehan aset tetap berwujud (didukung dengan pendapat Ketua sementara KPK, Tumpak Hatorangan Panggabean, dalam Kompas 03 Desember 2009). Kesimpulan terakhir, Hipotesis tentang daerah pemekaran (sebagai variabel kontrol) tidak didukung oleh hasil statistik. Penjelasan akan hasil ini diduga karena tekanan politis yang diterima oleh darah hasil pemekaran baik dari internal maupun eksternal Pemda sehingga mereka lebih berhati-hati dalam implementasi pengelolaan keuangan daerah. Penelitian ini memiliki keterbatasan-keterbatasan, antara lain: penelitian ini hanya menggunakan data finansial hasil audit BPK terhadap laporan keuangan Pemda sebagai 20
variabel independen (penyebab) kelemahan pengendalian internal. Menurut Permendagri No 4 tahun 2008 tentang Pedoman Pelaksanaan Reviu atas Laporan Keuangan Pemerintah Daerah, penilaian terhadap Sistem Pengendalian Intern dilakukan dengan: 1. Memahami sistem dan prosedur pengelolaan keuangan daerah. 2. Melakukan observasi dan/atau wawancara dengan pihak terkait di setiap prosedur yang ada. 3. Melakukan analisis atas resiko yang telah diidentifikasi pada sebuah kesimpulan tentang kemungkinan terjadinya salah saji material dalam laporan keuangan. 4. Melakukan analisis atas resiko yang telah diidentifikasi pada sebuah kesimpulan tentang langkah-langkah pelaksanaan reviu. Keterbatasan yang kedua, perhitungan kelemahan pengendalain internal (KPI) pada penelitian ini menggunakan jumlah poin KPI pada Laporan Kelemahan Pengendalian Internal yang telah disusun oleh BPK. Hasil pengujian yang tidak signifikan dapat juga diakibatkan karena tidak ada standar dalam pelaporan kelemahan pengendalian internal BPK sebagai variabel dependen. Sehingga hasil laporan kelemahan pengendalian internal sarat akan subjektifitas auditor BPK sebagai menyusunnya. Selain itu juga tidak ada batasan materialitas pelaporan. Model penelitian dengan menggunakan data financial nilai pendapatan asli daerah dan belanja modal dalam laporan audit BPK dari laporan keuangan Pemda ini hanya dapat menjelaskan 5.3% dari penyebab kelemahan pengendalian internal. Hal ini dapat disebabkan karena adanya variabel lain yang tidak masuk dalam observasi yang menjadi penyebab kelemahan pengendalian internal seperti yang telah diungkapkan diatas. Selain itu tidak adanya standar dalam penyusunan laporan pengendalian internal oleh BPK dan tidak ada pengukuran materialitas menjadi kurang dapat terukurnya kelemahan pengendalian internal Pemda. 21
Penelitian selanjutnya dapat mempertimbangkan data selain data financial sebagai pengukuran. Selain itu dapat juga dipertimabangkan metode penelitian observasi dan/atau wawancara dengan pihak terkait pengendalian internal di setiap prosedur yang ada (deep interview).
DAFTAR PUSTAKA Abdullah, Syukriy dan Abdul Halim. (2006). Pengalokasian Belanja Fisik dalam Anggaran Pemerintah Daerah: Studi Empiris atas Determinan dan Konsekuensinya Terhadap Belanja Pemeliharaan. Jurnal Akuntansi Pemerintah, Vol. 2 No. 2:17-32. Abdullah, Syukriy dan John Andra Asmara. (2006). Perilaku Oportunistik Legislatif Dalam Penganggaran Daerah: Bukti Empiris atas Aplikasi Agency Theory di Sektor Publik. Simposium Nasional Akuntansi IX, Padang. Brush, Thomas H., Philip Bromiley dan Margaretha Hendrickx. (2000). The Free Cash Flow Hypothesis For Sales Growth and Firm Performance. Strategic Management Journal, 21: 455-472. Christy, Hossana. (2008). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelemahan Pengendalian Internal: Studi Empiris Pada BUMN. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana (tidak dipublikasikan). Darwanto, dan Yulia Yustikasari. (2007). Pengaruh Pertumbuhan Ekonomi, Pendapatan Asli Daerah, dan Dana Alokasi Umum Terhadap Pengalokasian Anggaran Belanja Modal. Simposium Nasional Akuntansi X, Makasar. Doyle, J., Weili Ge dan Sarah McVay. (2006). Determinants of Weaknesses in Internal Control Over Financial Reporting. Journal of Accounting and Economics. www.elsevier.com.
22
Ghozali, Imam. (2005). Aplikasi Analisis Multivariate dengan Program SPSS. Badan Penerbit Universitas Diponegoro, Semarang. Jensen, Michael C. (1996). Agency Costs of Free Cash Flow, Corporate Finance, and Takeovers. American Economic Review, Vol. 76 No. 2: 323-329 Kell, W.G dan W.C. Boynton. (2006). Modern Auditing. 8th edition. John Wilwy & Sons Inc. Koesmana, Dedi S., Humbul Kristiawan, dan Ahmad Rizki. (2007). Peran Auditor Internal dalam mencegah dna mendeteksi terjadinya fraud menurut standar profesi. Jurnal Economic Business & Accounting Review, Volume II, Nomor 1. Potensi Kerugian Negara yang Disebabkan Oleh Pengadaan Barang dan Jasa, (2009 03 Desember) Kompas Halaman 4 Krishnan, G.V., dan G. Visvanathan. (2005). Reporting Internal Control Deficiencies in The Post-Sarbanes-Oxley Era: The Role of Auditors and Corporate Governance. htttp://ssrn.com/abstract694681 Laswad, Fawzi, Richard Fisher dan Peter Oyelere. (2005). Determinants of Voluntary Internet Financial Reporting By Local Government Authorities. www.elsevier.com Lee, Dwight dan James A. Verbrugge. (2000). Free Cash Flow and Public Governance: The Case of Alaska. Journal of Applied Corporate Finance Vol. 13 No. 3: 35-43 Lie, Erik. (2000). Excess Funds and Agency Problems: An Empirical Study of Incremental Cash Disbursements. Review of Financial Studies, Vol. 13 No. 1: 219-247 Mulyadi, Eddy Soepardi (2007), Upaya Pencegahan Fraud dalam Pengelolaan Keuangan Negara, Jurnal Economics Business & Accounting Review Volume II, Nomor 1, 2007 Mauro, Paulo. (1998). Corruption and the Composition of Government Expenditure. Journal of Public Economics Vol. 69: 263-279
23
Nitasari, Benedicta. (2008). Analisis Faktor-faktor yang Mempengaruhi Kelemahan Pengendalian Internal: Studi Empiris Pada PDAM. Skripsi Program S1 Fakultas Ekonomi Universitas Kristen Satya Wacana (tidak dipublikasikan). Republik Indonesia. (2008). Peraturan Pemerintah No. 60 Tahun 2008 Tentang Sistem Pengendalian Intern Pemerintah. Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang No. 1 Tahun 2004 Tentang Perbendaharaan Negara. Republik Indonesia. (2004). Undang-Undang No. 33 Tahun 2004 Tentang Perimbangan Keuangan Antara Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah. Sahari, Haryanto dan Dudi M. Kurniawan (2007), Peranan Akuntan dalam Mendeteksi dan Mencegah Fraud, Jurnal Economics Business & Accounting Review Volume II, Nomor 1, 2007 Santika, Andry A. (2005). Peranan Controller dalam Menunjang Efektivitas Pengendalian Internal
Gaji
pada
PT
Pos
Indonesia
(PERSERO).
http://dspace.widyatama.ac.id/handle/10364/425 Subramanyam et al, K.R., M. Ogneva dan K. Raghunandan. (2006). Internal Control Weakness and Cost of Equity: Evidence from SOX Section 404 Disclosures. http://ssrn.com/abstract694681 Tuanakotta, Theodorus M. (2009). Menghitung Kerugian Keuangan Negara Dalam Tindak Pidana Korupsi. Salemba Empat, Jakarta. Wibowo, Tri dan Makmun. (2005). Potret Kinerja Fiskal Daerah Pada Era Desentralisasi. Kajian Ekonomi dan Keuangan, Volume 9, Nomor, September 2005.
24