VALUASI EX-ANTE KELAYAKAN EKONOMI DAN KEBERLANJUTAN USAHATANI JAGUNG TRANSGENIK SERTA ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENENTU ADOPSI BENIH TRANSGENIK DI INDONESIA
EDWIN SANSO SARAGIH
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Catatan persembahan dan terima kasih kepada istriku Herlina Purba, SE. yang penuh pengertian dan perhatian serta mendoakan dan mendukung saya serta anak-anakku Regita, Raymond dan Ricky Saragih yang selalu mendoakan ayahnya selama studi S3 di IPB. Juga ucapan terima kasih kepada orangtuaku Bp. E. Saragih (ayah) dan Ibu K. Purba (ibu) serta Ibu M. Siregar (ibu mertua) atas doa dan dukungannya.
PERNYATAAN MENGENAI DISERTASI DAN SUMBER INFORMASI Dengan ini saya menyatakan bahwa Disertasi yang berjudul “Valuasi exante Kelayakan Ekonomi dan Keberlanjutan Usahatani Jagung Transgenik serta Analisis Faktor-faktor Penentu Adopsi Benih Transgenik di Indonesia” ini adalah karya saya sendiri dan belum diajukan dalam bentuk apa pun kepada perguruan tinggi mana pun. Sumber informasi yang berasal atau dikutip dari karya yang diterbitkan maupun tidak diterbitkan dari penulis lain telah disebutkan dalam teks dan dicantumkan dalam Daftar Pustaka di bagian akhir Disertasi ini. Penulis dengan senang hati sekiranya Disertasi ini dapat dijadikan rujukan untuk topik penelitian/studi sejenis. Sekiranya ada peneliti atau pengamat yang tertarik mendiskusikan sesuatu hal berkaitan dengan topik ini atau bagian-bagian tertentu dalam Disertasi ini, penulis dengan senang hati mempelajari hal-hal baru, berdiskusi dan berbagi informasi melalui surat elektronik dengan alamat:
[email protected].
Bogor, Desember 2008 Edwin Sanso Saragih NRP P062050574
ABSTRACT EDWIN SANSO SARAGIH. Ex-ante Valuation of Transgenic Corn Economic Feasibility and Sustainability at Farm Level and Analysis of Factors to Enable Transgenic Seed Adoption in Indonesia. Under the direction of SANTUN R. P. SITORUS as Chairman of Advisory Committee, HARIANTO and SUGIONO MOELJOPAWIRO as Members of the Advisory Committee. An ex-ante valuation was carried out to determine economic feasibility and sustainability of transgenic corn seeds adoption at farm level. Farm surveys had been conducted in Jawa Timur and Lampung provinces to collect data from existing corn farming. Data were analyzed with several methods namely inputoutput analysis, CVM (contingent valuation method) and MAVT (multi-attribute value theory). Simulated input-output analysis (with vs. without) was conducted using previously available trial data and reference from a neighbouring country. Concerning enabling factors for effective adoption of transgenic crops, experts were requested to weight potential alternatives based on various criteria, subcriteria and indicators using analytical hierarchy process (AHP) technique. Economic valuation showed that transgenic corn seeds would provide higher farm revenue than that of conventional hybrid corn seed. Therefore, transgenic corn seeds adoption also increased corn farming profitability. Without transgenic corn seeds adoption, such economic benefits would not materialize at the farm level. Furthermore, more than 1 million ton grain adding to national corn production would not be possible without adoption. On the other hand, dependence on corn grain import could be reduced and could create reserve saving as much as Rp 3.6 trillions with adoption. Majority of farmers would like to pay higher price for transgenic corn seeds. However, it should not exceed 10% than the price of hybrid corn seeds. Few farmers were willing to pay transgenic corn seeds price 30% more expensive than the hybrid corn seeds price. Sustainability index calculated at farm level showed slightly better agregate index with the transgenic corn seeds adoption compared with that of the existing hybrid corn farming. Institutional aspect was weighted as the most determinant key for a go or no go in the development and application of transgenic seeds in Indonesia. In this regards, regulation and public perception were judged as most critical aspects in ensuring successful adoption of the transgenic crop seeds. Looking more in depth with public perception, pesticide residue was perceived as having more risk than transgenic seed application. Concerning regulatory regime, decision making instrument in managing safe application and release of transgenic seeds has not yet existed despite the fact that capacity for biosafety assessment conduct is undoubtedly more than sufficient. The regulation on biosafety (PP No. 21/2005) opens opportunities for assessing transgenic product safety, however, food safety statement of imported transgenic products have not been in place, despite the fact especially imported transgenic corn and soybean have already been used for domestic use and consumption for years. Key words: transgenic corn, ex-ante valuation, sustainability index, with vs. without analysis
ABSTRAK EDWIN SANSO SARAGIH. Valuasi ex-ante Kelayakan Ekonomi dan Keberlanjutan Usahatani Jagung Transgenik serta Analisis Faktor-faktor Penentu Adopsi Benih Transgenik di Indonesia. Dibawah bimbingan SANTUN R. P. SITORUS sebagai Ketua Komisi, HARIANTO dan SUGIONO MOELJOPAWIRO sebagai Anggota Komisi. Valuasi ex-ante dilakukan untuk menentukan kelayakan ekonomis dan keberlanjutan adopsi jagung transgenik pada tingkat usahatani. Survei usahatani dilaksanakan di propinsi Jawa Timur dan Lampung untuk mengumpulkan data dari kegiatan usahatani jagung saat ini. Data diolah dengan beberapa metode yakni analisis input-output, contingent valuation method (CVM) dan multiattribute value theory (MAVT). Analisis input-output yang disimulasikan (with vs. without) menggunakan data percobaan sebelumnya dan merujuk pada data dari negara tetangga. Terkait dengan faktor-faktor penentu adopsi tanaman transgenik yang efektif, dilakukan wawancara dengan para pakar untuk menimbang alternatif-alternatif potensial berdasarkan berbagai kriteria, sub-kriteria dan indikator dengan menggunakan teknik AHP (analytical hierarchy process). Valuasi kelayakan ekonomi menunjukkan bahwa jagung transgenik memberikan penerimaan usahatani yang lebih tinggi dibandingkan dengan jagung hibrida biasa. Demikian juga halnya keuntungan usahatani jagung lebih tinggi dengan adopsi benih jagung transgenik. Jika tidak terjadi adopsi, maka manfaat ekonomi pada tingkat usahatani tidak dapat dinikmati oleh petani. Secara makro tanpa adopsi, maka potensi kenaikan produksi jagung nasional sebesar lebih dari 1 juta ton tidak terjadi. Sebaliknya, ketergantungan impor jagung dari luar negeri dapat dikurangi sekaligus menghemat devisa minimal Rp 3,6 triliun dengan adopsi. Sebagian besar petani bersedia membayar lebih mahal untuk benih jagung transgenik, namun demikian, harga tersebut sebaiknya tidak melebihi 10% daripada harga benih jagung hibrida. Sebagian kecil petani bersedia membayar benih jagung transgenik dengan harga 30% lebih mahal dari harga benih jagung hibrida. Indeks keberlanjutan yang dihitung pada tingkat usahatani menunjukkan indeks agregat sedikit lebih baik dengan adopsi benih jagung transgenik dibandingkan dengan indeks agregat dengan usahatani jagung hibrida. Faktor kelembagaan paling menentukan untuk jalan (go) atau tidaknya (no go) pengembangan dan aplikasi benih transgenik di Indonesia. Kerangka regulasi dan persepsi publik dinilai sebagai aspek-aspek paling kritikal agar adopsi benih transgenik berhasil. Dari aspek persepsi publik, residu pestisida dianggap lebih berisiko dibandingkan dengan aplikasi benih transgenik. Mengenai rejim regulasi, instrumen pengambil keputusan untuk mengelola aplikasi dan pelepasan benih transgenik secara aman belum terbentuk, walaupun kapasitas pengkajian keamanan hayati lebih dari memadai. Regulasi keamanan hayati (PP No.21/2005) membuka peluang untuk pengkajian produk transgenik. Namun demikian, hingga saat ini pernyataan keamanan pangan untuk produk transgenik (khususnya jagung dan kedelai impor) untuk kebutuhan dan konsumsi domestik belum terlaksana. Kata kunci: jagung transgenik, valuasi ex-ante, indeks keberlanjutan, analisis with vs. without
EXECUTIVE SUMMARY In Indonesia corn is a strategic food crop after rice. With the corn hectarage of 3.5 millions ha and national production in 2007 exceeding 13 metric tons, domestic need still could not be fulfilled. Slower adoption of high-yielding varieties was identified as one amongst various constraints in boosting higher yield. Data from year 2005 showed that average corn yield in Indonesia was 3.42 tons/ha, much lower than corn yield in China, Argentina and US which were 5.06, 7.12 and 9.31 ton/ha, respectively. Indonesia is currently a net importer of corn from several countries including from those 3 countries. In US and Argentina, higher corn yield was partly contributed by insectresistant and herbicide-tolerant corn varieties adopted since 1997. In 2007, globally around 24% or 35.5 million hectares of total corn area (148 million hectares) was planted with transgenic seeds. Many studies in various countries have shown, for instance, farmers benefits provided by Bt corn seeds such as yield increase, pesticide residue reduction, mycotoxin contamination decrease and farm labor efficiency. During more than 1 decade of transgenic seed planting, there has never been found any adverse effect to human health and environment. Based on adopting countries experiences mentioned above, it is expected that similar benefits could also help increasing corn productivity in Indonesia. However, transgenic product is also perceived of having risks to human health and environment. There are also concerns over small-holding farmers dependence on seed supply from multinational corporations. Therefore it is necessary to carry out research works to weight whether transgenic corn seeds adoption is feasible in Indonesia, and to determine factors that would likely enable such adoption being successful. This research aims at analyzing: (1). financial feasibility at farm level for transgenic corn vs. conventional hybrid corn; (2). farmers‟ willingness to pay for transgenic corn seeds; (3). sustainability index with the adoption of transgenic cornseeds; (4). factors that enable successful adoption of transgenic seeds by farmers; and (5). current regulations/laws and institutional framework in order to realize adoption. Farm surveys had been conducted in Jawa Timur and Lampung provinces to collect data from existing corn farming. Given the fact that transgenic cornseeds have not yet been commercialized in Indonesia, an ex-ante valuation was appropriately taken for such technology not yet adopted. Valuing benefits of transgenic corn seed was conducted at farm level to calculate financial feasibility with the adoption vs. that of without the adoption. Productivity of transgenic Bt and RR corn were taken from previous trial data and from neighbour country with similar agro-ecosystem, in this case is the Philippines. Analysis of farmers‟ willingness to pay (WTP) for transgenic corn seeds was conducted with continget valuation method (CVM) using payment card technique. Farm sustainability (social, economic, and ecological dimensions) was calculated with MAVT (multiattribute value theory) where each dimension consisted of several operational indicators. To determine enabling factors for successful adoption, four factors (economic, social, environment, institution) were analyzed deploying AHP during experts interview. In addition to transgenic corn seeds, other transgenic seeds were also incorporated in AHP (analytical hierarchy process). Therefore, there were 7 alternatives to be considered by experts, namely: Bt rice, leaf blight
resistance potato, pod borer resistance soybean, multiple-viral diseases resistance tomato, Bt, RR, and RR+Bt corns. Economic valuation showed that transgenic corn seeds provided higher farm revenue than that of conventional hybrid corn seeds. Farm revenue with transgenic corn seeds ranged Rp 10.7-14.4 millions while that of hybrid corn seeds ranged Rp 10.2-12.4 millions. Transgenic corn seeds adoption increased farm profitability to Rp 5.6-9.4 millions from Rp 4.6-6.4 millions. R/C ratio with transgenic corn seeds ranged 2.1-2.9 higher than that of hybrid cornseeds ranged 1.8-2.1. Transgenic corn seeds improved break event point becoming 2.5-3.1 ton/ha from 3.3 ton/ha. With a simulation of cost saving for insecticide use and labors, it was found that total farm cost ranged Rp 4.4-5.6 millions/ha which was more efficient than those of hybrid corn seeds with total farm cost of Rp 5.6-6.0 millions/ha. Without transgenic corn seeds adoption, those economic benefits would not materialize at the farm level. Furthermore, potential macro impact on national production increase as more than 1 million ton grain would not be possible without adoption. On the other hand, dependence on corn grain import could be reduced and could create reserve saving as of Rp 3.6 trillions with adoption. Farmers were highly interested in adopting transgenic corn seeds. Percentage of farmers willing to plant RR, Bt, and RR+Bt corn seeds were 94%, 87% and 86%, respectively. These interest and willingness were reflected in farmers‟ WTP showing more expensive price for transgenic corn seeds than that of hybrid corn seeds. However, most farmers wanted a price level of transgenic seeds which was not more than 10% of average price for hybrid corn seeds. Few farmers were willing to pay transgenic corn seeds price 30% more expensive than the hybrid corn seeds price. Sustainability aggregate analysis simulated at farm level showed slight change in value of sustainability index (SI) due to transgenic corn seeds adoption i.e. 91 for Bt corn, 89 for RR, 92 for RR+Bt and 88 for hybrid seeds, respectively. Paired T-test comparisons were run to see if the indices change were statistically significant. Test results showed: SI of RR transgenic corn similar to SI of hybrid corn; SI of Bt transgenic corn > SI of hybrid corn; and SI of RR+Bt > SI of hybrid corn. This concluded that sustainability index of corn farming with trasgenic corn seeds adoption remains largely unchanged or even performs better condition if the variant of the transgenic seeds contain Bt component. Institutional aspect was weighed as the most determinant factor for a Go or No go in development and application of transgenic seeds. Institutional factor was given weight of 41%, followed by environmental factor 32%, social factor 18%, and economic factor 9%, respectively. Within institutional factor, regulation matters the most with score of 65% followed by institutional capability with score of 24%, and lastly seed industry with score of 11%. Furthermore, if transgenic seeds application would happen, the most important factor to be considered in enabling successful adoption was public perception with 62% score, followed by end-user profile and product transfer factors which were 24% and 14%, respectively. Looking more in depth with public perception, pesticide residue (68%) was perceived as more concerned than transgenic seed risk (32%). Within end-user profile, education level was an important factor in determining successful adoption of transgenic technology. Within the transfer process of
technology, product maturity and transfer mechanism played an equally important role in ensuring end-user successully adopted the transgenic seeds. Among the 7 alternatives synthesized towards adoption focus in AHP analysis, transgenic corn seeds positioned at higher level priorities (17-18%) compared with others (1114%). This result reflected the fact that majority of corn was used for feed raw materials, while other crops (rice, potato, soybean¸and tomato) were directly consumed by human. In line with the analysis of factors above, decision making by institutional framework for biosafety (environmental, food and feed safety) was key determinant factor in enabling application and release of transgenic seeds in Indonesia. Meanwhile, transgenic Bt (event MON810) and RR (event GA21) corn were assessed in 1999 and both were granted safety statement for environment and biodiversity. Based on the feasibility of transgenic crop seeds (especially corn and other food crops as well: rice, soybean, potato, tomato) assessed on social, economic, ecologic and institutional factors, it is suggested to establish biosafety committee to fully implement government regulation on biosafety (PP No. 21/2005). The next important recommendation to be prioritized is food safety assessment for imported transgenic products. Public education and information dissemination on benefits and risks of the new technology should be planned and programmed by public research and industry sector whose core mandate and bussiness is modern biotechnology research and product development. In line with this, further and in depth studies on benefits and risks of various transgenic crops need to be conducted (after biosafety clearance) such as rice, sugarcane, potato, tomato, and soybean. Focus group discussion concerning social impact and public inclusion is urged to be carried out on potential products. Similar ex-ante valuation for prospect crops such as those mentioned would enrich data and information for supporting sound decision making. It would be more interesting to link such studies with any available small plot trials. A more wide economy impact and chain effects to other economic sector/sub-sector is another interesting field.
RINGKASAN EKSEKUTIF Di Indonesia jagung merupakan salah satu komoditas pangan strategis setelah padi. Dengan luas areal sekitar 3,5 juta ha dan produksi nasional tahun 2007 sekitar 13 juta ton ternyata belum mampu mencukupkan kebutuhan jagung domestik. Berbagai faktor menjadi kendala peningkatan produksi jagung, termasuk adopsi varietas unggul melambat sehingga laju produktifitas cenderung stagnan. Produktifitas jagung di Indonesia pada tahun 2005 adalah 3,42 ton/ha, lebih rendah bila dibandingkan dengan negara lain seperti Argentina, China dan AS berturut-turut sebesar 7,12; 5,06 dan 9,31 ton/ha. Indonesia merupakan net importir jagung dalam jumlah besar termasuk dari ketiga negara tersebut. Di AS dan Argentina tingginya produktifitas jagung antara lain disumbangkan oleh adopsi benih transgenik tahan hama dan tahan herbisida sejak tahun 1997. Saat ini dari luas tanam jagung global 148 juta ha, sebesar 24% atau 35,5 juta ha ditanami dengan benih jagung transgenik. Berbagai studi di negara lain menyimpulkan manfaat jagung Bt bagi petani antara lain peningkatan hasil, pengurangan residu pestisida, penurunan kontaminasi mikotoksin dan penghematan tenaga kerja. Selama lebih 1 dekade penanaman benih transgenik tidak ditemukan pengaruh buruk bagi kesehatan manusia dan lingkungan. Belajar dari pengalaman negara lain, benih jagung transgenik diharapkan dapat membantu peningkatan produksi jagung di Indonesia. Namun demikian, selain memiliki keunggulan, produk transgenik dipersepsikan memiliki resiko keamanan pangan dan lingkungan. Terdapat pula kekhawatiran akan dominasi dan ketergantungan benih pada korporasi multinasional. Dengan latar belakang ini suatu penelitian dilakukan untuk menilai apakah adopsi benih jagung transgenik layak di Indonesia dan faktor apa saja yang menentukan berhasil tidaknya adopsi. Penelitian bertujuan untuk menganalisis: (1). kelayakan finansial usahatani jagung transgenik dibandingkan dengan jagung hibrida; (2). kebersediaan petani membayar benih jagung transgenik; (3). keberlanjutan usahatani dengan adopsi benih transgenik; (4). faktor-faktor penentu agar petani berhasil mengadopsi benih transgenik; dan (5). peraturan perundang-undangan dan kelembagaan yang ada saat ini guna mendukung terjadinya adopsi. Survei usahatani dilaksanakan di propinsi Jawa Timur dan Lampung untuk mengumpulkan data dari kegiatan usahatani jagung saat ini. Mengingat saat ini benih jagung transgenik belum dipasarkan di Indonesia, maka yang dilakukan adalah valuasi ex-ante yakni penilaian sebelum adopsi teknologi terjadi. Penilaian manfaat adopsi benih jagung transgenik dilakukan pada tingkat usahatani yakni menilai kelayakan finansialnya dibandingkan dengan usahatani jagung hibrida saat ini (with vs. without). Tingkat produktifitas jagung transgenik (jenis Bt dan RR) diambil dari percobaan yang pernah dilakukan di Indonesia dan data dari negara lain dengan kondisi agroekosistem yang mirip, dalam hal ini Filipina. Analisis kebersediaan petani untuk membayar (WTP, willingness to pay) benih jagung transgenik dikaji dengan metode continget valuation method (CVM) menggunakan teknik payment card. Keberlanjutan usahatani (dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan) ditentukan dengan metode MAVT (multi-attribute value theory) dimana masing-masing dimensi terdiri dari beberapa indikator operasional. Untuk analisis faktor-faktor (ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan) penentu suksesnya adopsi benih tanaman transgenik dilakukan
melalui wawancara pakar dengan teknik AHP (analytical hierarchy process). Untuk analisis AHP ini selain benih jagung transgenik juga dimasukkan alternatif tanaman transgenik lainnya sehingga seluruhnya ada 7 alternatif yakni: padi Bt, kentang LBR (leaf blight resistance), kedelai tahan hama penggerek polong, tomat tahan penyakit virus, jagung Bt, jagung RR dan jagung RR+Bt. Valuasi kelayakan menunjukkan bahwa jagung transgenik memberikan penerimaan usahatani yang lebih tinggi dibandingkan dengan jagung hibrida konvensional. Penerimaan usahatani rata-rata sebesar Rp 10,7–14,4 juta untuk benih transgenik dibandingkan dengan Rp 10,2–12,4 juta untuk benih hibrida. Keuntungan meningkat dengan adopsi benih jagung transgenik menjadi Rp 5,6 – 9,4 juta per ha dibandingkan dengan Rp 4,6 – 6,4 juta per hekatar. Rasio R/C untuk benih transgenik dengan kisaran 2,1 – 2,9 lebih tinggi dibandingkan dengan benih hibrida dengan kisaran 1,8 – 2,1. Titik impas produksi dengan benih transgenik adalah 2,5 – 3,1 ton/ha dibandingkan dengan benih hibrida adalah 3,3 ton/ha dengan tingkat harga jual jagung yang sama. Dengan simulasi penghematan biaya insektisida dan tenaga kerja namun terjadi penambahan biaya benih, biaya total usahatani masih lebih efisien dengan kisaran Rp 4,4 – 5,6 juta per hektar sedangkan untuk benih hibrida berkisar Rp 5,6 – 6,0 juta per hektar. Jika tidak terjadi adopsi maka diperkirakan manfaat ekonomi pada tingkat usahatani tidak dapat dinikmati oleh petani. Secara makro jika tidak terjadi adopsi, maka potensi kenaikan produksi sebesar > 1 juta ton tidak terjadi. Ketergantungan impor jagung dari luar negeri dapat dikurangi sekaligus menghemat devisa sebesar minimal Rp 3,6 triliun dengan adanya adopsi. Minat petani untuk mengadopsi jagung transgenik tergolong tinggi. Secara keseluruhan, persentase petani yang ingin menerapkan benih jagung RR, Bt, RR+Bt secara berturut-turut adalah sebesar 94, 87, dan 86%. Untuk itu petani mau membeli (WTP, willingness to pay) dengan harga rata-rata lebih tinggi untuk jagung transgenik lebih tinggi dibandingkan dengan benih hibrida. Namun demikian sebagian besar petani menginginkan tingkat harga yang tidak melebihi 10% dari harga rata-rata benih hibrida saat ini. Sebagian kecil petani bersedia membayar benih jagung transgenik dengan harga 30% lebih mahal dari harga benih jagung hibrida. Hasil simulasi agregat keberlanjutan dengan adanya masukan teknologi transgenik memperlihatkan ada perubahan indeks keberlanjutan (IK) usahatani bilamana petani menanam benih jagung transgenik yakni dengan nilai agregat indeks keberlanjutan untuk RR+Bt sebesar 92, sebesar 91 untuk Bt, sebesar 89 untuk RR dibandingkan dengan 88 untuk hibrida biasa. Uji-t berpasangan (paired T-test) rerata IK jagung transgenik dilakukan terhadap nilai IK jagung hibrida. Hasilnya adalah: IK jagung transgenik RR = IK jagung hibrida; IK jagung transgenik Bt > IK jagung hibrida; dan IK jagung transgenik RR+Bt > IK jagung hibrida. Hasil ini menunjukkan bahwa secara agregat keberlanjutan usahatani jagung tetap atau malah lebih baik dengan adanya masukan benih transgenik terutama jika benihnya mengandung komponen Bt. Aspek kelembagaan merupakan aspek paling menentukan untuk jalan (Go) atau tidak (No go) dalam pengembangan dan aplikasi benih transgenik. Faktor kelembagaan ini memiliki bobot sebesar 41% kemudian diikuti oleh faktor Lingkungan sebesar 32%, faktor Sosial sebesar 18% dan faktor Ekonomi sebesar 9%. Untuk faktor kelembagaan aspek regulasi menempati urutan terpenting
dengan bobot 65%, kemudian kapasitas SDM kelembagaan (24%) dan terakhir variabel industri benih (11%). Selanjutnya apabila aplikasi teknologi transgenik terlaksana, dalam menilai kemungkinan berhasilnya adopsi faktor Persepsi publik memiliki bobot paling besar yakni sebesar 62% kemudian diikuti oleh faktor profil pengguna akhir dan proses transfer masing-masing 24 dan 14%. Dari aspek persepsi publik, persepsi terhadap residu pestisida (68%) terlihat lebih dominan dibandingkan dengan persepsi terhadap transgenik (32%). Aspek pendidikan menunjukan pengaruh yang kuat dalam menentukan suksesnya adopsi. Aspek kematangan produk dan mekanisme transfer berperan sama pentingnya dalam proses transfer teknologi hingga diadopsi oleh pengguna. Dari 7 alternatif tanaman transgenik yang disintesis dalam AHP, jenis benih jagung transgenik menempati urutan prioritas lebih tinggi (17-18%) sementara lainnya berkisar 1113%. Hal ini mencerminkan fakta bahwa sebagian besar jagung digunakan untuk bahan baku pakan, sedangkan padi, kentang, kedelai dan tomat umumnya langsung dikonsumsi oleh manusia. Sejalan dengan analisis faktor kelembagaan di atas, faktor kelembagaan pengambilan keputusan untuk keamanan hayati (keamanan lingkungan, pangan dan pakan) merupakan proses penentu untuk aplikasi dan pelepasan benih transgenik di Indonesia. Khusus mengenai jagung transgenik, hasil pengkajian keamanan hayati yang dilakukan pada tahun 1999 menunjukkan jagung Bt (event MON810) dan RR (event GA21) dinyatakan aman terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati. Dengan kelayakan teknologi benih transgenik (terutama jagung dan juga tanaman pangan lainnya: padi, kedelai, kentang, tomat) dari faktor-faktor sosial, ekonomi, lingkungan dan kelembagaan yang diperoleh dalam penelitian ini, disarankan agar kelembagaan KKH (komisi keamanan hayati) untuk implementasi PP No. 21/2005 perlu segera direalisasikan. Rekomendasi penting lainnya adalah: keputusan keamanan pangan bagi produk transgenik impor. Disarankan agar penyebarluasan informasi/edukasi tentang potensi manfaat dan resiko dari teknologi baru ini perlu diprogramkan oleh para pemangku kepentingan khususnya lembaga riset yang berkecimpung dalam litbang bioteknologi dan pihak industri. Dalam kaitan ini, ke depan perlu dilakukan lebih banyak studi manfaat dan risiko untuk berbagai tanaman transgenik lain (setelah dinyatakan aman hayati) seperti padi, tebu, kentang, tomat dan kedelai. Selain itu, perlu dilakukan dengan FGD (focus group discussion) studi menyangkut dampak sosial dan pelibatan publik/sosial (public/social inclusion) mengenai teknologi rekayasa genetika. Penilaian ex-ante yang sama untuk jenis tanaman transgenik tersebut di atas akan memperkaya informasi guna mendukung pengambilan keputusan yang baik. Akan lebih menarik lagi kalau skala ujicoba pada petakan kecil sudah dapat dilakukan di lahan petani (tentu dengan mengikuti protokoler keamanan hayati). Studi dampak ekonomi yang lebih lebar (wide economy impact) dan efek keterkaitan pengembangan produk transgenik dengan sektor/sub-sektor lainnya juga perlu dilakukan.
VALUASI EX-ANTE KELAYAKAN EKONOMI DAN KEBERLANJUTAN USAHATANI JAGUNG TRANSGENIK SERTA ANALISIS FAKTOR-FAKTOR PENENTU ADOPSI BENIH TRANSGENIK DI INDONESIA
EDWIN SANSO SARAGIH
Disertasi sebagai salah satu syarat untuk memperoleh gelar Doktor pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
SEKOLAH PASCASARJANA INSTITUT PERTANIAN BOGOR BOGOR 2008
Ujian Tertutup dilaksanakan pada tanggal 15 Nopember 2008 Penguji Luar Komisi
: Prof. Dr. Hermanto Siregar, M.Ec (Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Manajemen Institut Pertanian Bogor)
Ujian Terbuka dilaksanakan pada tanggal 4 Desember 2008 Penguji Luar Komisi
: 1. Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS (Guru Besar Fakultas Pertanian Institut Pertanian Bogor) 2. Dr. Muhammad Herman (Peneliti Utama Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Departemen Pertanian)
Judul Disertasi
: Valuasi ex-ante Kelayakan Ekonomi dan Keberlanjutan Usahatani Jagung Transgenik serta Analisis Faktor-faktor Penentu Adopsi Benih Transgenik di Indonesia
Nama
: Edwin Sanso Saragih
NRP
: P062050574
Disetujui: Komisi Pembimbing
Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus Ketua
Dr. Ir. Harianto, MS Anggota
Dr. Ir. Sugiono Moeljopawiro, M.Sc Anggota Diketahui:
Ketua Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan
Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS
Tanggal Ujian: 4 Desember 2008
Dekan Sekolah Pascasarjana
Prof. Dr. Ir. Khairil A. Notodiputro, MS
Tanggal Lulus:
PRAKATA Penulis sangat bersyukur kepada Tuhan Yesus Kristus karena berkat dan kekuatan yang daripadaNya sehingga Disertasi ini berhasil diselesaikan. Pengalaman pertama penulis mengenal benih jagung transgenik adalah sejak tahun 2000 ketika berkesempatan melakukan ujicoba terbatas di lapangan bersama-sama dengan Dr. Subandi (salah seorang sesepuh pemulia jagung), dan tahun 2005 mulai merumuskan sinopsis Disertasi. Pada saat itu, penulis bekerja pada perusahaan Monsanto Indonesia. Penulis tertarik pada aspek-aspek penilaian manfaat, kelayakan adopsi teknologi dan analisis kebijakan yang terkait dengan adopsi. Suatu hal yang „mengganggu‟ bagi penulis adalah mengapa hingga saat ini belum ada benih transgenik yang ditanam oleh petani-petani di Indonesia padahal di negara-negara lain sejak lebih 1 dekade lalu sudah terjadi adopsi. Penulis berkesempatan melihat langsung aplikasi benih tanaman transgenik secara komersial di lahan petani di berbagai Negara seperti Amerika Serikat, Afrika Selatan, Cina, India dan Filipina dimana petani mendapatkan manfaat yang tidak sedikit dengan adopsi teknologi baru ini. Pertanyaan itu menjadi „kalau petani di negara lain sudah bisa menanam benih transgenik dengan aman dan menguntungkan mengapa petani Indonesia belum?‟ Terima kasih penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Santun R. P. Sitorus (Guru Besar Fakultas Pertanian IPB), Dr. Ir. Harianto, MS (Dosen Fakultas Ekonomi dan Manajemen IPB) dan Ir. Sugiono Moeljapawiro, M.Sc, PhD (Peneliti Utama Balai Besar Litbang Bioteknologi dan Sumber Daya Genetik Pertanian Departemen Pertanian) selaku Komisi Pembimbing yang memberikan arahan dan saran dalam pelaksanaan penelitian dan penyelesaian Disertasi. Terima kasih juga penulis ucapkan kepada Prof. Dr. Hermanto Siregar, M.Ec sebagai Penguji Luar Komisi pada ujian pra-kualifikasi dan ujian tertutup atas masukan yang berharga mengenai continget valuation dan juga beberapa poin penting tentang tantangan pengembangan bioteknologi di Indonesia. Demikian juga terima kasih diucapkan kepada Prof. Dr. Ir. Surjono H. Sutjahjo, MS dan Dr. Muhammad Herman sebagai Penguji Luar Komisi pada ujian akhir Doktor. Penulis berterima kasih kepada Ir. Dahri Tanjung, MS, Ir. Agit Kriswantriyono, MS, dan Ir. Yeti Lis Purnamadewi, M.Sc yang membantu dalam survei usahatani dan analisis input-output usahatani jagung hibrida di Jawa Timur dan Lampung melalui kerjasama CARE LPPM IPB dengan Monsanto Indonesia. Tidak lupa juga terima kasih kepada rekan-rekan sejawat sewaktu bekerja di Monsanto yakni Ir. Tumpal Silalahi dan dr. Fatmasari Permata, MARS atas dukungannya, serta Ir. Febri Hendrayana, MP dan Ir. Wildi Djulkarnain yang juga membantu pelaksanaan survei usahatani di Lampung dan Jawa Timur. Demikian juga rekan dari negara tetangga Filipina Dr. Victor Alpuerto dan Mr. Jan Samson yang membantu memberikan beberapa data, bahan dan informasi rujukan tentang kinerja benih jagung transgenik di Filipina. Semoga Disertasi ini bermanfaat. Bogor, Desember 2008 Edwin Sanso Saragih NRP P062050574
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 28 Mei 1965 di desa Simpang Dalig Raya, Simalungun, Sumatera Utara, merupakan anak pertama dari empat orang bersaudara, dari Ayah E. Saragih dan Ibu K. br. Purba. Penulis menikah dengan Herlina Purba, SE pada tahun 1995 dan dikarunia 3 orang anak Regita, Raymond dan Ricky Saragih. Penulis tamat dari SD Negeri 3 Sondi Raya (1977), tamat dari SMP Negeri 1 Pematang Raya (1981), dan tamat dari SMA Negeri 2 Pematang Siantar (1984). Pada bulan Mei 1984 penulis diterima menjadi mahasiswa di Institut Pertanian Bogor (IPB) melalui jalur penelusuran minat dan kemampuan (PMDK). Gelar Sarjana Pertanian dalam bidang Ilmu Tanah diperoleh pada tahun 1989. Pada tahun 1993-1996 penulis mengikuti kuliah Program Pascasarjana Strata-2 di IPB dan mendapatkan gelar Magister Sains dalam bidang Ilmu Tanah. Pengalaman kerja antara lain sebagai Kepala Departemen Technology Development pada Monsanto Indonesia (2006 – Juli 2008) memimpin program pengujian benih jagung hibrida dan memfasilitasi pelatihan teknis bagi tim pemasaran dan penjualan benih di lapangan. Tugas lain yang pernah diemban adalah Koordinator Program Bioteknologi pada asosiasi industri CropLife (20052007), karyawan PT Monagro Kimia dengan berbagai peran seperti Manager Government & Public Affairs (2004-2006) dan Manager Pengembangan Produk (2000-2003) di Jakarta, dan Staf Pengembangan Produk (1997-2000) di Palembang. Sebelumnya, penulis pernah menjadi dosen pada Fakultas Pertanian, Universitas HKBP Nommensen, Medan (1989-1997). Selama periode tahun 2000-2007, penulis menulis berbagai makalah yang mengambil topik antara lain tentang olah tanah konservasi (conservation tillage), pengembangan teknologi benih jagung hibrida, dan kajian regulasi dan kebijakan tentang tanaman transgenik. Sejak tahun 2005 mengikuti Program Strata-3 pada Program Studi Pengelolaan Sumberdaya Alam dan Lingkungan, Sekolah Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor. Karya ilmiah berjudul: (1). Valuasi ex-ante kelayakan ekonomi dan keberlanjutan usahatani jagung transgenik Bt dan RR serta analisis faktor-faktor penentu adopsi benih tanaman transgenik di Indonesia, dan (2). Tinjauan regulasi tentang evaluasi keamanan hayati dan pelepasan varietas tanaman transgenik serta peluang terjadinya adopsi di Indonesia, yang ditulis bersama-sama dengan Komisi Pembimbing telah diajukan untuk publikasi ilmiah berturut-turut pada Jurnal Agro Ekonomi (Pusat Analisis Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian) dan Jurnal Agro Biogen (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Bioteknologi dan Sumberdaya Genetik Pertanian). Karya-karya ilmiah tersebut merupakan bagian dari program S3 penulis.
DAFTAR ISI PRAKATA …………………………………………………………...............
xiv
RIWAYAT HIDUP ……………………………………………………….....
xv
DAFTAR TABEL …………………………………………………………....
xix
DAFTAR GAMBAR ………………………………………………………...
xxii
DAFTAR LAMPIRAN ……………………………………………………....
xxv
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang ................................................................................
1
1.2. Kerangka Pemikiran ........................................................................
5
1.3. Perumusan Masalah .........................................................................
8
1.4. Tujuan dan Kegunaan Penelitian .....................................................
12
1.5. Kebaruan dalam Penelitian ..............................................................
13
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertanian Berkelanjutan dan Pengaruh Adopsi Teknologi .............
14
2.2. Teknologi Benih Transgenik dan Jagung Transgenik .....................
19
2.3. Kerangka Regulasi Agrobioteknologi: Internasional dan Nasional
22
2.3.1. Perdebatan Global ………………………………………....
24
2.3.2. Status dan Tantangan Regulasi Bioteknologi ....…………...
26
2.4. Dampak Ekonomi dan Lingkungan dari Adopsi Agrobioteknologi
28
2.4.1. Manfaat dan Risiko Lingkungan …………………………..
35
2.4.2. Kajian Keamanan Hayati Tanaman Transgenik …………...
38
2.5. Penilaian ex-ante Manfaat Ekonomi dan Adopsi Teknologi Baru ..
39
2.6. Sistem Produksi Usahatani Jagung .................................................
51
III. METODE PENELITIAN 3.1. Tempat dan Waktu Penelitian .........................................................
56
3.2. Rancangan Penelitian ......................................................................
56
3.3. Jenis Data dan Peubah yang Diamati ……………………………..
58
3.4. Teknik Pengumpulan Data dan Kerangka Pengambilan Responden .......................................................................................
61
3.5. Teknik Analisis Data .......................................................................
67
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN 4.1. Penilaian Kelayakan Ekonomi Adopsi Benih Jagung Transgenik .
81
4.1.1. Karakterisitik Petani Jagung Hibrida ……............................
81
4.1.2. Keragaan Budidaya Jagung Hibrida …..................................
84
4.1.3. Simulasi Keragaan Usahatani Jagung Transgenik vs. Jagung Hibrida …………………....………………………..
95
4.1.4. Pengaruh Makro Adopsi dan Potensi Kerugian Tanpa Adopsi ............................................………………………...
98
4.2. Kebersediaan Petani Membayar (willingness to pay) Benih Jagung Transgenik .....................................................…………….
102
4.2.1. Penggunaan Benih dan Tingkat Harga Benih Jagung Hibrida saat ini ………….………………………………....
102
4.2.2. Pengetahuan dan Minat Petani tentang Benih Jagung Transgenik ………………………………………………….
105
4.2.3. Kebersediaan Petani Membayar Benih Jagung Transgenik ..
111
4.3. Analisis Indeks Keberlanjutan Usahatani ..……………………….
118
4.3.1. Indeks Keberlanjutan Ushatani Jagung Hibrida Saat ini ......
118
4.3.2. Simulasi Pengaruh Adopsi Benih Transgenik pada Indeks Keberlanjutan ..............................................................…….
123
4.4. Analisis Faktor-faktor Penentu Kelayakan Pengembangan dan Keberhasilan Adopsi Benih Transgenik ……....….......…………...
131
4.4.1. Analisis Kriteria Ekonomi, Sosial, Lingkungan dan Kelembagaan .......................................................…………..
131
4.4.2. Analisis Sukses Adopsi Introduksi Benih Transgenik ……..
138
4.5. Analisis Kebijakan dan Kerangka Regulasi serta Variabel yang Terkait ………………………………………………………….....
142
4.5.1. State of the Art Kerangka Regulasi tentang Produk Rekayasa Genetika …………................................................
142
4.5.2. Faktor-faktor Lain sebagai Variabel yang Mempengaruhi Kelambatan dalam Pengambilan Keputusan …………........
147
4.5.3. Analisis Implikasi Kebijakan dan Kelembagaan Guna Merealisasikan Potensi Manfaat Benih Transgenik ………..
150
4.5.4. Variabel Pendaftaran Varietas dan Hak Perlindungan Varietas Tanaman (PVT) ......................................................
153
4.6. Gabungan Kelayakan Adopsi Benih Jagung Transgenik dari Berbagai Aspek ………...................................................................
154
V. KESIMPULAN DAN SARAN 5.1. Kesimpulan ……………………………………………………….
156
5.2. Saran ………………………………………………………………
159
DAFTAR PUSTAKA ………………………………………………………..
161
LAMPIRAN ………………………………………………………………….
169
DAFTAR TABEL Tabel 1
Teks
Halaman
Tingkat produktifitas jagung di Indonesia, Argentina, China dan AS (2000-06), dan volume serta nilai impor jagung Indonesia (2000-05) ….
2
Pemilihan indikator dengan pertimbangan faktor wilayah dan dimensi waktu (Zhen dan Routray, 2003) ...............................................................
16
3
Tipe benih GMO (Tripp, 1999) …………………………………….........
22
4
Perbandingan nilai potensial ekonomi dari tanaman padi transgenik (transformasi cekaman kekeringan) dan padi transgenik Bt di beberapa negara (Hareau, et al., 2004) .....................................................................
34
Penelitian terdahulu tentang penilaian dampak ekonomi kapas Bt dan metode yang digunakan (Smale, et al., 2006)............................................
45
Pertanyan valuasi kontingen untuk bahan pangan sereal pada situasi hipotetis (Moon dan Balasubramanian, 2003)…………………………...
50
7
Produktifitas jagung (ton/ha) di berbagai negara ………………………..
53
8
Volume dan nilai impor-ekspor jagung Indonesia, 2000-2005 (volume dalam ribu ton dari 2 sumber data, nilai dalam US $ ribu) ……………...
54
Pertumbuhan produksi, areal panen, produktifitas varietas unggul baru (%/tahun), 1976-2003 (Sudaryanto dan Rusastra, 2006) ………………..
55
10 Rancangan penelitian yang dilakukan guna memenuhi tujuan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian …...……………………….
57
11 Data dan informasi yang dikumpulkan pada tingkat usahatani ….............
58
12 Penentuan jumlah/ukuran contoh berdasarkan nilai statistik dari survei sebelumnya dan jumlah responden yang diambil ……………………….
64
13 Teknik payment card untuk mengetahui WTP benih transgenik ………..
65
14 Asumsi penggunaan agroinput pada usahatani jagung hibrida dan jagung transgenik di wilayah penelitian ...................................................
68
15 Keragaan benih jagung transgenik berdasarkan percobaan yang pernah dilakukan di Indonesia dan data yang diperoleh dari Filipina ..................
69
16 Matriks skor alternatif terhadap kriteria/indikator ....................................
75
17 Rumus pemberian nilai skor indikator-indikator ......................................
76
2
5
6
9
Tabel
Teks
Halaman
18 Deskripsi pembandingan keterangan dengan scoring …………………...
77
19 Persentase petani pada tiap kategori karakteristik petani jagung hibrida di wilayah penelitian .................................................................................
81
20 Rata-rata tingkat penggunaan agroinput per hektar dalam usahatani jagung di wilayah penelitian …………………………………………….
85
21 Tahapan budidaya jagung di Jawa Timur dan Lampung ………………..
87
22 Produktifitas rata-rata (kg/ha) per musim dan produktifitas total (kg/ha) per tahun petani jagung hibrida di wilayah penelitian …….. ...................
90
23 Tingkat produktifitas jagung (kg/ha) di wilayah penelitian ……………..
91
24 Penerimaan total, biaya dan keuntungan usahatani jagung hibrida (Rp) di wilayah penelitian ………………………………….............................
92
25 Produktifitas (kg/ha), penerimaan, biaya dan keuntungan usahatani jagung hibrida (Rp/ha) per musim dan per tahun menurut kabupaten ......
94
26 Biaya tenaga kerja dan agroinput usahatani jagung (Rp 000/ha) per musim menurut kabupaten …………………………………………........
95
27 Simulasi peningkatan produktifitas (kg/ha), penerimaan (Rp „000/ha), penghematan biaya serta keuntungan (Rp „000/ha) dengan masukan benih jagung transgenik ……………………………………………........
96
28 Simulasi analisis laba usahatani dengan harga benih transgenik premium (50%) terhadap harga benih hibrida biasa ……………………………….
97
29 Perbandingan harga benih jagung di Jawa Timur dan Lampung (2007) ..
103
30 Kisaran harga benih jagung hibrida per kg di wilayah penelitian …......... 104 31 Jumlah dan persentase minat responden terhadap jenis jagung transgenik setelah mendengarkan penjelasan dan melihat gambar pada alat bantu ………………………………………………………………... 108 32 Korelasi antar variabel minat benih jagung transgenik ……………......... 109 33 Jumlah petani yang berniat akan benih jagung transgenik dan yang secara eksplisit menyatakan WTP menurut kisaran harga ……………… 112 34 Statistik deskriptif nilai WTP premium (lebih mahal) …………………..
113
Tabel
Teks
Halaman
35 Ringkasan hasil sidik ragam WTP terhadap berbagai faktor ……………
117
36 Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut propinsi ………………………………………………………... 120 37 Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida 121 menurut kabupaten ……………………………………………………… 38 Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut intensitas penggunaan herbisida ………………………………. 123 39 Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut tingkat penggunaan insektisida ………………………………... 125 40 Nilai indeks menurut indikator, dimensi dan agregat pada usahatani jagung hibrida dan simulasi adopsi Bt, RR, dan RR+Bt ……………….. 126 41 Nilai indeks keberlanjutan dengan adopsi benih transgenik menurut kabupaten .................................................................................................. 130 42 Daftar nilai indeks inkonsistensi untuk setiap matriks pembandingan berpasangan ……………………………………………………………... 133 43 Nilai skor prioritas alternatif tanaman transgenik secara agregat, ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan ……………………......... 138 44 Daftar nilai indeks inkonsistensi untuk setiap matriks pembandingan berpasangan sukses adopsi ……………………………………………… 140 45 Hirarki regulasi terkait dengan pemanfaatan produk hasil rekayasa genetika dan kelembagaan pemegang wewenang/mandat dalam manajemen implementasinya …………………………………………… 142 46 Gabungan kelayakan pengembangan dan adopsi benih jagung transgenik di Indonesia …………………………………………………. 155
DAFTAR GAMBAR Gambar
Teks
Halaman
1. Kerangka mata pencaharian berkelanjutan dan masukan teknologi baru (modifikasi dari Meinzen-Dick (2001, dalam Falck-Zepeda, et al., 2002) ……………………………………………………………..
7
2. Kerangka perumusan dan pemecahan masalah dalam penelitian ……
11
3. Indikator operasional dalam mengukur keberlanjutan pertanian di negara berkembang (Zhen dan Routray, 2003) ..…………………….
15
4. Analisis strategis lingkungan suatu inovasi …….. …………………..
18
5. Adopsi dan dampak ekonomi dan lingkungan dari teknologi generasi pertama agro-bioteknologi (Kalaitzandonakes, 2003) ……………….
30
6. Tahap-tahapan inovasi baru dalam pertanian (Qaim, et al., 2000) …..
40
7. Kurva adopsi teknologi (Graff, et al., 2000) ………………………...
42
8. Sentra produksi jagung di Indonesia pada tahun 2004 (Swastika, et al., 2004) ………………………………………..................................
52
9. Perkembangan areal panen dan tingkat produktiftas jagung di Indonesia tahun 1990-2004 ………………………………………….
54
10. Struktur hirarki untuk pengembangan benih transgenik …………….
60
11. Struktur hirarki untuk penilaian sukses adopsi teknologi transgenik ..
61
12. Skema tahapan pemilihan sampel …………………………………...
63
13. Ilustrasi cara penyiangan gulma (cara manual dan kimiawi) ………..
71
14. Kurva sigmoid persentase adopsi dari luas pertanaman jagung hibrida ..................................................................................................
72
15. Hirarki kriteria dan indikator-indikatornya yang digunakan dalam metode MAVT untuk penentuan indeks keberlanjutan usahatani …...
74
16. Analisis masalah kebijakan dan sistem peraturan (dimodifikasi dari Weimer dan Vining, 1998) …………………………………………..
79
17. Distribusi (persentase petani) luas pengusahaan jagung di wilayah penelitian Jawa Timur dan Lampung ………………………………..
82
Gambar
Teks
Halaman
18. Rata-rata dan kisaran minimum-maksimum kontribusi usahatani jagung terhadap pendapatan keluarga ………………………………..
84
19. Alasan petani memilih usahatani jagung di Jawa Timur dan Lampung ..............................................................................................
83
20. Kurva jumlah petani terhadap penggunaan benih (kg/ha) ...................
85
21. Pola penggunaan pupuk dan kompos ..................................................
86
22. Pola penggunaan herbisida dan insektisida .........................................
86
23. Penerimaan usahatani dan tingkat keuntungan usahatani jagung (Rp 000/ha) di wilayah penelitian ..............................................................
93
24. Biaya total agroinput, biaya total tenaga kerja (HOK) dan biaya total usahatani jagung di wilayah penelitian ………………………………
93
25. Skenario produksi jagung nasional dengan adopsi vs. tanpa adopsi benih transgenik ................................................................................... 100 26. Persentase petani yang pernah dan tidak pernah mendengar jagung transgenik ............................................................................................ 106 27. Ilustrasi pengendalian gulma pada jagung non-RR dan RR ................ 107 28. Ilustrasi gejala serangan hama pada jagung non-Bt ............................
107
29. Persetase minat responden terhadap jenis jagung transgenik .............. 109 30. Sumber informasi mengenai teknologi atau produk ………………… 110 31. Sumber permodalan petani....................................... ………………..
111
32. Proporsi petani yang mau membayar harga benih transgenik: (1). RR, (2). Bt, dan (3). RR+Bt lebih mahal daripada harga benih hibrida ................................................................................................. 114 33. Kurva jumlah petani peminat vs. WTP premium benih transgenik di Jawa Timur dan Lampung ……………............................................... 115 34. Persentase harapan petani terhadap sifat jagung transgenik ………...
118
35. Rata-rata indeks keberlanjutan usahatani dengan benih jagung hibrida dan transgenik menurut propinsi ............................................. 129
Gambar
Teks
Halaman
36. Agregat indeks keberlanjutan usahatani dengan benih jagung hibrida dan transgenik pada kabupaten dengan penggunaan insektisida intensif ……………………………………………………………..... 130 37. Agregat indeks keberlanjutan usahatani dengan benih jagung hibrida dan transgenik pada kabupaten dengan penggunaan herbisida intensif ……………………………………………………………..... 131 38. Hasil analisis hirarki (AHP) faktor-faktor penentu kelayakan adopsi benih transgenik di Indonesia ………………………. ........................ 132 39. Struktur hirarki untuk penilaian sukses adopsi teknologi benih transgenik …………………………………………………………… 139 40. Diagram hasil analisis peluang sukses adopsi berbagai alternatif produk tanaman transgenik ………………………………………….. 141 41. Analisis posisi stakeholders adopsi benih kapas transgenik Bt (20002003) ………………………………………………………………… 149
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
Teks
Halaman
1
Daftar lembaga tempat responden pakar …………………………….
170
2
Contoh hasil wawancara dengan responden petani jagung ………….
171
3
Penentuan jumlah sampling di Jawa Timur dan Lampung berdasarkan survei produktifitas jagung …………………………… 177
4
Hasil analisis jawaban responden pakar dengan teknik AHP untuk menentukan faktor-faktor penentu adopsi teknologi benih transgenik 179
5
Hasil analisis kuesioner AHP untuk menilai faktor sukses adopsi teknologi benih transgenik ………………………………………….. 192
6
Perbandingan komponen harga-harga dalam usahatani jagung di wilayah penelitian …………………………………………………… 200
7
Perhitungan proyeksi produksi jagung dengan asumsi adopsi konservatif dan progresif ……………………………………………. 201
8
Analisis regresi plot minat terhadap benih transgenik terhadap logaritma berbasis natural harga rata-rata kisaran WTP ……………. 204
9
ANOVA dari WTP terhadap tingkat pendidikan, IP dam skala usaha
206
10 Hasil tabulasi indeks keberlanjutan secara agregat, dimensi dan indikator pada aspek lahan, penggunaan pestisida dan tingkat pendidikan petani ……………………………………………………. 210 11 Uraian detil sistem/hirarki perundang-undangan yang menyebut pemanfaatan produk hasil rekayasa genetika ……………………….. 213
I. PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Setidaknya dalam 10 tahun terakhir ini jagung yang adalah komoditas strategis global berkembang sangat dinamis. Selain untuk pangan dan pakan, jagung juga dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk dikonversi menjadi bahan bakar bioetanol. Dengan istilah yang populer jagung dimanfaatkan untuk food, feed dan fuel (pangan, pakan dan energi/bahan bakar).
Pertambahan jumlah
penduduk dunia khususnya di negara-negara yang memanfaatkan jagung sebagai bahan pangan membutuhkan produksi jagung yang semakin meningkat. Seiring dengan pertumbuhan penduduk dan juga kemajuan ekonomi dengan daya beli yang makin tinggi membuat permintaan akan protein juga meningkat. Kebutuhan akan protein ini dipenuhi dari ketersediaan daging hewani dan telur. Jagung sebagai bahan baku pakan ternak merupakan komponen yang signifikan jumlahnya dalam produksi pakan. Porsi jagung yang dimanfaatkan sebagai bahan baku untuk produksi bioetanol juga meningkat sangat signifikan. Sebagai contoh di AS produsen dan eksportir jagung terbesar dunia, pada tahun 2005 sekitar 13% produksi jagung (setara 38 juta ton) digunakan untuk produksi bioetanol. Pada tahun 2012 diproyeksikan sebesar 140 juta ton (42% dari produksi jagung) akan dikonversi menjadi bioetanol di AS (Cassman, 2007). Oleh karena itu permintaan akan jagung semakin meningkat dan harganya juga mengalami peningkatan karena stok untuk perdagangan global mulai berkurang. Di Indonesia jagung merupakan salah satu komoditas pangan strategis setelah padi. Dengan luas areal pertanaman sebesar sekitar 3,5 juta hektar dan produksi nasional pada tahun 2007 mencapai sekitar 13 juta ton ternyata belum mampu mencukupkan kebutuhan jagung domestik. Indonesia masih mengimpor jagung dari luar negeri sebesar rata-rata sekitar 1 juta ton dalam kurun 5 tahun terakhir. Berbagai faktor sebagai kendala dalam peningkatan produksi jagung antara lain masalah kesuburan tanah, rendahnya kemampuan modal petani, rendahnya adopsi teknologi termasuk benih unggul bersertifikat, infrastruktur transportasi, rantai perdagangan yang tidak kondusif bagi petani, buruknya penanganan pasca panen dan ketidakpastian harga terutama pada saat panen raya.
1
Hasil penelitian Irawan, et al. (2003) mensinyalir terjadinya pelambatan produksi pangan yang disebabkan oleh adopsi varietas unggul melambat sehingga laju produktifitas cenderung stagnan, peningkatan mutu melambat, gejala kelelahan lahan, perlambatan luas panen akibat perubahan pola tanam, konversi lahan, anomali iklim dan pembangunan irigasi yang semakin lambat. Sudaryanto dan Rusastra (2006) mengemukakan bahwa pertumbuhan produksi, areal panen, dan produktifitas varietas unggul baru melambat selama periode 1976-2003. Berkaitan dengan produktifitas jagung, di Indonesia dalam 5 tahun terakhir masih pada kisaran 2,8 – 3,4 ton per hektar, tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain seperti Argentina, China dan AS.
Indonesia mengimpor
jagung dari ketiga negara dalam volume setidak-tidaknya 1 juta ton per tahun selama periode tahun 2000-2005 terakhir seperti disajikan pada Tabel 1.
Tabel 1. Tingkat produktifitas jagung di Indonesia, Argentina, China dan AS (2000-2006) dan volume serta nilai impor jagung Indonesia (2000-2005). Keterangan
Tahun 2003
2004
2005
2006
6,47 4,81 3,24 8,92
6,43 5,12 3,34 10,06
7,12 5,06 3,42 9,31
5,90 5,37 3,47 9,36
Volume impor (juta ton) 1,265 1,036 1,154 1,346 1,089 Nilai impor (juta US $) 158 126 138 169 178 Volume ekspor (ribu ton) 28 91 16 34 33 Nilai ekspor (US $ juta) 4,98 10,50 3,33 5,52 9,07 Sumber: FAOSTAT data, 2006 (http://faostat.fao.org/faostat/)
1,856 309 54 9,05
2000
2001
2002
Produktifitas jagung (ton/ha) beberapa negara Argentina China Indonesia USA
5,43 4,60 2,76 8,59
5,45 4,70 2,84 8,67
6,17 4,93 3,09 8,16
Impor dan ekspor jagung Indonesia
Suatu hal yang menjadi faktor penyumbang tingginya produktifitas jagung khususnya di Argentina dan AS adalah adopsi benih bioteknologi tanaman pangan (benih transgenik) sejak tahun 1997. Menurut laporan USDA (2006), nilai impor produk transgenik dari AS sendiri mencapai US $ 600 juta pada tahun 2005. Benih jagung transgenik yang diadopsi oleh petani di negara tersebut adalah jenis
2
benih tahan hama dan tahan herbisida dan terbukti menaikkan produksi serta ekspornya dalam perdagangan internasional. Aplikasi bioteknologi modern di bidang pertanian mempercepat proses pemuliaan untuk menghasilkan varietas-varietas baru yang unggul termasuk melalui transformasi rekayasa genetika (transgenik).
Pemenang Nobel
Perdamaian tahun 1970, seorang agronomis Norman Borlaug mengatakan bahwa aplikasi bioteknologi bagi penemuan varietas-varietas unggul baru merupakan bentuk baru revolusi pertanian (Borlaug, 2001) karena: (1). memajukan sistem produksi pangan melalui perbaikan tanaman, dan (2). menggantikan secara potensial terhadap teknologi lama dan konvensional. Suatu laporan FAO (2004) mengemukakan peranan bioteknologi pertanian yang berpotensi untuk mengatasi masalah produksi pangan di negara berkembang. Dewasa ini secara global luas areal pertanaman transgenik telah meningkat dari 1,7 juta hektar (ha) tahun 1997 menjadi 114,3 juta ha tahun 2007 di 23 negara (ISAAA, 2008) dengan jenis tanaman seperti kedelai, jagung, kapas, alfalfa, kanola, pepaya, tomat dan squash. Survey yang dilakukan baru-baru ini oleh Brookes dan Barfoot (2007, dalam James, 2007) menunjukkan bahwa selama 1996-2006 diperkirakan manfaat ekonomi bersih bagi petani pada tahun 2006 sebesar US $ 7 miliar.
Pada tahun 2007 dari total luas tanam jagung global 148
juta Ha sebesar 24% atau 35,5 juta ha ditanami dengan benih jagung transgenik (James, 2007). Ini mengalami peningkatan dari 20,1 juta ha pada tahun 2006. Di Argentina, produksi biji-bijian meningkat drastis yakni 26 juta ton pada tahun 1988/89 menjadi lebih 75 juta ton pada tahun 2002/03 yang terutama disebabkan oleh introduksi benih transgenik (Trigo dan Cap, 2003). Huesing dan English (2004) yang mengkaji dampak jagung Bt di 18 negara seluas 67 juta hektar menyimpulkan manfaat yang diperoleh petani meliputi peningkatan hasil tanaman, pengurangan residu pestisida, kontaminasi jamur (mikotoksin) berkurang, dan penghematan tenaga kerja. Hasil penelitian lain di berbagai negara telah menunjukkan sumbangan benih transgenik terhadap peningkatan produktifitas dan efisiensi pada tingkat usahatani, mengurangi penggunaan pestisida, serta juga berdampak positif bagi manfaat ekonomi yang lebih luas, misalnya seperti dikemukakan oleh
3
Kalaitzandonakes (2003), Qaim et al. (2000), Brookes dan Barfoot (2005), dan Hareau, et al. (2006).
Dari aspek ekonomi secara spesifik ditunjukkan
keunggulannya mampu menghasilkan output dengan produktivitas yang tinggi, mutu lebih baik dan biaya produksi relatif rendah dibandingkan dengan non transgenik, sehingga akan berdampak positif terhadap pendapatan petani. Sebelum komersialisasi benih transgenik, pada tahun 1992 Agenda 21 global yang disepakati pada KTT Bumi dalam Bab 16
diuraikan peran
bioteknologi untuk pengembangan ketahanan pangan melalui cara-cara pertanian yang berkelanjutan (UNCED, 1992)1. Pada tahun 1997, Kantor Menteri Lingkungan Hidup telah menyusun dokumen Agenda 21 Indonesia (KMLH, 1997). Dalam salah satu bab dikemukakan potensi peranan bioteknologi dalam: (1). memecahkan masalah pertanian, kesehatan dan lingkungan; dan (2). mempertimbangkan aspek keamanan hayati (biosafety) sehingga dampak negatif bisa dicegah. Jauh sebelumnya Indonesia telah memulai program bioteknologi sejak tahun 1985 sebagai salah satu prioritas pengembangan IPTEK di kantor Menristek dan pendirian pusat antar universitas untuk bioteknologi pertanian. Pada tahun 1989 dibentuk divisi bioteknologi pada Pusat Penelitian Tanaman Pangan (Moeljopawiro, 1999; Witarto, 2006). Dalam konteks pertanian berkelanjutan (sustainable agriculture) yang memiliki dimensi ekonomi, sosial dan lingkungan adopsi input teknologi merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi/terkait dengan ketiga dimensi tersebut. Selain adopsi varietas unggul, faktor penggunaan input produksi yakni applikasi pupuk dan pestisida merupakan indikator yang sering digunakan dalam analisis keberlanjutan (UN-CSD, 2001). Sementara
negara-negara
lain
mulai
mendapatkan
manfaat
dari
pengembangan dan adopsi benih tanaman bioteknologi ini, Indonesia belum sampai pada tahap demikian. Belajar dari pengalaman negara lain, produk benih transgenik diharapkan dapat membantu peningkatan produksi jagung di Indonesia. Selain memiliki keunggulan, produk transgenik dipersepsikan dengan beberapa 1
By itself, biotechnology cannot resolve all the fundamental problems of environment and development, so expectations need to be tempered by realism. Nevertheless, it promises to make a significant contribution in enabling the development of, for example , .... enhanced food security through sustainable agricultural practices,... (UNCED, 1992).
4
isu misalnya dalam aspek keamanan pangan dan risiko lingkungan sehingga menimbulkan kontroversi.
Disamping itu muncul pula kekhawatiran akan
dominasi dan ketergantungan suplai benih pada korporasi multi-nasional. Hal ini tentu berimplikasi pada masalah penerimaan publik dan secara tidak langsung dapat mempengaruhi kebijakan atau keputusan Pemerintah untuk meregulasi pengembangan, introduksi/adopsi benih varietas transgenik. Beranjak dari latar belakang ini perlu dilakukan suatu penelitian ilmiah untuk menilai apakah petani akan diuntungkan bila mengadopsi benih transgenik dan juga dilihat pengaruhnya bagi dampak ekonomi yang lebih luas misalnya peningkatan produksi jagung, apakah pengembangan dan aplikasi benih jagung transgenik di Indonesia layak secara lingkungan, dan apakah dapat diterima secara sosial dan kelembagaan.
1.2. Kerangka Pemikiran Kerangka teoritis dalam menganalisis kelayakan adopsi suatu teknologi baru termasuk benih transgenik dalam penelitian ini merujuk pada Qaim, et al. (2000).
Disebutkan bahwa perlunya penelitian atau introduksi teknologi
semestinya
ditentukan
produksi/efisiensi.
oleh
permintaan
petani
untuk
peningkatan
Petani selalu berupaya untuk meningkatkan kesejahteraan
keluarganya dengan mata pencaharian sebagai petani secara berkelanjutan.
Hal
ini tentu terkait dengan potensi manfaat dari teknologi tersebut apakah akan memberikan manfaat atau tidak. Proses adopsi teknologi baru membutuhkan waktu yang relatif lama dan banyak faktir pendukung yang mempengaruhinya berupa kebijakan penelitian dan pengembangan, ijin sesuai dengan regulasi yang berlaku, rencana produksi, penyiapan pemasaran dan distribusi produk. Secara komprehensif kelayakan suatu teknologi dilihat dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan.
Dengan demikian tujuan atau sasaran
dikembangkan dan diterapkannya teknologi itu dapat tercapai yakni memberikan dampak yang baik dari segi ekonomi, sosial dan lingkungan. Dalam konteks pembangunan berkelanjutan, Munasinghe (1993, dalam Sanim, 2003) menyatakan bahwa 3 tujuan harus dicapai secara simultan yakni tujuan ekonomi, sosial, dan ekologis dengan kombinasi ketiganya sesuai dengan
5
kondisi dan tingkat kemajuan masyarakat.
Dimensi ekonomi diwakili oleh
indikator pertumbuhan, peningkatan output, pembentukan modal, dan peningkatan daya saing. Dimensi sosial umumnya diukur dengan aspek kesejahteraan sosial, pemerataan, kenyamanan dan ketenteraman. Dimensi ekologis meliputi aspek pemeliharaan dan peningkatan kualitas lingkungan, mengurangi dampak eksternalitas negatif dan mendorong dampak eksternalitas positif dalam proses kegiatan pembangunan. Masukan teknologi pertanian yang diadopsi akan mempengaruhi dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan yang terkait dengan usahatani komoditas tertentu yang diusahakan. Seberapa besar pengaruh perubahan yang ditimbulkan oleh adopsi teknologi baru terhadap dimensi keberlanjutan usahatani dapat diukur dengan kriteria ekonomi, sosial dan lingkungan. Indikator ekonomi yang dapat dipakai adalah produksi atau satuan produktifitas yang tinggi dan berkualitas, kelayakan dan efisiensi ekonomi usahatani, dan peningkatan kesejahteraan petani. Peningkatan kesejahteraan juga terkait dengan indikator sosial yang diukur besar kontribusinya pada kesejahteraan masyarakat atau pedesaan.
Indikator sosial
yang lain adalah status atau situasi sosial petani pengadopsi. Dimensi lingkungan pada usahatani didekati dengan mengukur faktor penggunaan input produksi aeperti aplikasi pupuk, kompos dan pestisida serta aspek fisik lahan. Selanjutnya, penilaian manfaat atau dampak/pengaruh suatu teknologi baru dikaji dari berbagai segi ekonomi, sosial, dan ekologis pada level usahatani. Kerangka analisis yang diajukan Meinzen-Dick (2001, dalam Falck-Zepeda, et al., 2002) sebagai kerangka mata pencaharian berkelanjutan (the sustainable livelihoods framework) dijadikan sebagai acuan. Asumsi dalam kerangka ini adalah bahwa rumah tangga petani selalu berusaha untuk mencapai kehidupan yang baik dan berkelanjutan. Petani dalam rangka mencapai tujuannya antara lain meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan akan membuat keputusan apakah mengadopsi suatu teknologi baru. Dari sisi petani, keinginan untuk mengadopsi suatu inovasi teknologi ditentukan oleh potensi manfaat yang dianggap akan dapat meningkatkan pendapatan dan cocok dengan praktek yang dilakukan saat ini (Gambar 1). Selain itu kebersediaan (willingness) petani untuk menerima dan membayar harga dari suatu produk teknologi baru juga merupakan faktor penting.
6
Secara langsung dan tidak langsung, profil dan kegiatan petani dalam usahataninya dapat dikelompokkan ke dalam 3 pilar sosial, ekonomi dan lingkungan/ekologis.
Demikian sebaliknya ketiga pilar tersebut juga dapat
mempengaruhi sikap dan kinerja petani.
Gambar 1. Kerangka mata pencaharian berkelanjutan dan masukan teknologi baru (modifikasi dari Meinzen-Dick (2001, dalam Falck-Zepeda, et al., 2002).
Dari segi kebijakan/regulasi, posisi suatu negara terhadap bioteknologi sangat tergantung dari banyak hal seperti kebijakan, tingkat resiko yang dapat diterima, kapasitas melakukan kajian atau evaluasi resiko dan kelembagaan implementasi yang memadai, persepsi mengenai manfaat ekonomi yang dapat diperoleh dari boteknologi, kaitan dengan perdagangan internasional termasuk ketergantungan akan impor
komoditas pertanian, dan investasi litbang (baik
sektor swasta maupun publik) yang telah dialokasikan ke dalam bidang ini. Peranan sektor kebijakan dan regulasi adalah sebagai pemicu
dalam proses
7
pengembangan produk atau aplikasi teknologi dan realisasi nilai tambah bagi pengguna. Di antara regulasi dan petani, masih terdapat kalangan swasta dan industri yang juga dapat berperan sebagai penyedia teknologi.
Apakah saat ini
faktor regulasi/kebijakan sudah memberikan kepastian prosedur yang jelas dalam pengembangan, penyediaan dan pemanfaatan teknologi/produk hasil rekayasa genetika (transgenik) perlu ditelaah secara mendalam.
1.3. Perumusan Masalah Perumusan masalah penelitian dimulai dengan pertanyaan mengapa setelah 10 tahun litbang dan upaya pengembangan/ introduksi benih bioteknologi (transgenik) ternyata belum ada varietas benih yang dilepas secara nasional dan dapat diadopsi oleh petani di Indonesia.
Sejak tahun 1998 hingga 2002 telah
dilakukan kajian keamanan hayati terhadap beberapa tanaman2 transgenik dan beberapa diantaranya adalah jagung Bt, kedelai RR, jagung RR-GA21, jagung RR-NK603, kapas Bt, kapas Bt+RR, dan ada juga enzim probiotik yang dikaji. Namun sampai sekarang belum ada satupun yang diijinkan oleh Menteri Pertanian untuk ditanam secara komersial oleh petani kecuali kapas Bt yang pernah dilepas secara terbatas di Sulawesi Selatan selama kurun waktu 2000-2003. Penting untuk diingat bahwa hasil dari suatu kegiatan penelitian dan pengembangan (litbang) untuk menemukan varietas unggul baru seyogyanya dapat diaplikasikan pada tingkat pengguna (petani). Komoditas jagung merupakan komoditi penting secara ekonomis, ketergantungan pada impor, budidaya yang intesif, dan peran industri benih yang relatif berkembang.
Dalam konteks ini, faktor pasar global juga mempengaruhi
tingkat harga, permintaan atau kebutuhan komoditas jagung.
Pertanyaan sentral
dalam penelitian ini adalah apakah benih transgenik layak secara ekonomi dan lingkungan serta dapat diterima secara sosial kelembagaan untuk kepentingan pemenuhan kebutuhan nasional dan peningkatan kesejahteraan petani? Adakah kebijakan/regulasi adopsi/introduksi tidak berjalan semestinya, atau masih ada 2
Balai Kliring Keamanan Hayati Indonesia (Biosafety Clearing House) selama periode ini telah mengumumkan hasil pengkajian 7 produk rekayasa genetika aman lingkungan berdasarkan kajian yang dilakukan di rumah kaca dan fasilitas lapangan terbatas oleh Komisi Keamanan Hayati dan Pangan pada periode tahun 1998 – 2002 (http://bchindonesia.org/).
8
kesenjangan implementasi? Merujuk pada pengalaman kapas Bt di Sulawesi Selatan, parameter apa yang agaknya merupakan kegagalan kebijakan (policy failure). Persoalan penerimaan
teknologi merupakan suatu faktor yang
menentukan, baik dari sisi konsumen, produsen, dan kelembagaan. Pada satu sisi, perdebatan pro dan kontra dapat mempengaruhi pembuatan kerangka kebijakan atau memperlambat pengambilan keputusan dalam penyusunan regulasi. Pada sisi lain, informasi kuantitatif dan kualitatif yang terbatas tentang manfaat suatu kandidat hasil penelitian – yang menjadi input bagi pengambilan keputusan – bisa saja memperkecil kemungkinan sukses adopsi. Apakah dengan aplikasi dan adopsi benih transgenik oleh petani maka tingkat kesejahteraan rumah tangga petani makin baik dan indeks keberlanjutan usahatani juga semakin baik?
Dari sisi petani berapa besar tingkat penerimaan
(acceptance) dan nilai yang mau mereka bayar untuk teknologi baru ini. Komoditas jagung dipilih dalam penelitian ini karena merupakan komoditi penting secara ekonomis, adanya ketergantungan pada impor, budidaya yang intensif, peran industri benih yang relatif berkembang, dan berdasarkan tingkat kesiapan produk/teknologi baru untuk memasuki tahap introduksi untuk adopsi. Apakah nantinya introduksi benih jagung transgenik dapat membawa manfaat bagi petani? Komoditas tanaman jagung merupakan contoh tanaman budidaya yang bernilai ekonomi tinggi yang dikelola secara intensif oleh petani serta banyak menggunakan masukan input teknologi untuk meningkatkan produksi termasuk penggunaan masukan input agrokimia berupa pupuk anorganik dan pada keadaan tertentu juga menggunakan pestisida. Apakah adopsi produk agro-bioteknologi dalam bentuk benih transgenik bermanfaat bagi petani Indonesia khususnya petani jagung di sentra produksi utama? Atau apakah sebagai akibat dari adopsi itu terdapat kemungkinan resiko yang tercermin dari indeks keberlanjutan? Disamping itu ingin juga diperoleh jawaban dengan pendekatan kuantitatif apakah ada kerugian/risiko akibat tidak memanfaatkan benih transgenik baik dari segi produksi maupun konsumsi. Pertanyaan-pertanyaan yang diajukan dalam penelitian ini hendak dijawab dengan melakukan pengamatan dan pengukuran pada indikator-indikator operasional dari dimensi sosial, ekonomi dan lingkungan dari usahatani
9
berkelanjutan. Atau dengan kata lain apakah adopsi benih jagung transgenik layak secara ekonomi dan lingkungan serta dapat diterima secara sosial/kelembagaan. Dengan demikian fokus utama perumusan dan pemecahan masalah dalam penelitian ini adalah untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian (research questions) yakni: (1) Apakah adopsi benih jagung transgenik layak secara ekonomi atau secara finansial memberikan keuntungan bagi usahatani jagung? (2) Jika layak secara finansial, bagaimana dengan kebersediaan petani membeli benih jagung transgenik? (3) Setelah diketahui kelayakan finansial/ekonomi, apakah adopsi benih transgenik menjamin tingkat keberlanjutan usahatani? (4) Faktor-faktor apa sajakah yang perlu diperhatikan agar petani sebagai pengguna akhir berhasil mengadopsi teknologi benih jagung transgenik? (5) Apakah faktor kebijakan dan regulasi saat ini mendukung untuk terjadinya proses aplikasi dan adopsi benih jagung transgenik di Indonesia? Secara skematik pada Gambar 2 disajikan proses perumusan dan pemecahan masalah penelitian yang diharapkan menjawab pertanyaan penelitian. Penilaian manfaat ekonomi adopsi benih transgenik dengan alat analisis usahatani ditujukan untuk menilai kelayakan finansial usahatani jagung transgenik dibandingkan dengan usahatani jagung hibrida saat ini. Simulasi dengan atau tanpa adopsi dilakukan pada potensi peningkatan produktifitas dan perubahan biaya tidak tetap. Analisis manfaat makro khususnya potensi dampak terhadap produksi jagung nasioal dilakukan dengan menggunakan kurva adopsi sigmoid. Dalam kaitan ini dianalisis juga potensi kerugian apabila tidak terjadi adopsi. Selanjutnya, apakah petani akan mengadopsi teknologi baru benih transgenik tergantung pada banyak faktor termasuk harga benih itu sendiri. Untuk itu dianalisis kebersediaan petani untuk membayar (WTP, willingness to pay) petani untuk mengadopsi teknologi benih jagung transgenik dengan menggunakan CVM (continget valuation method). Teknik CVM digunakan karena secara langsung dapat diketahui minat petani untuk mengadopsi benih transgenik.
10
Latar belakang masalah
Peningkatan kebutuhan jagung (industri pengguna bahan baku jagung bertumbuh), harga jagung meningkat karena variasi penggunaan untuk food, feed dan fuel, Indonesia masih impor jagung dalam jumlah besar. Benih jagung transgenik sebagai suatu pilihan untuk peningkatan produksi nasional, peningkatan penerimaan petani Namun di sisi lain, ada pro dan kontra mengenai teknologi transgenik Benih jagung transgenik sebagai suatu alternatif solusi bagi peningkatan produksi dan menyumbang peningkatan penerimaan petani
Alternatif solusi
Apakah layak secara ekonomi/ finansial ?
Apakah petani bersedia membeli?
Apakah adopsi menjamin keberlanjutan usahatani?
Apa saja faktor penentu sukses adopsi?
Apakah peraturan yang ada kondusif untuk adopsi?
Tujuan
Analisis finansial usahatani dan dampak adopsi terhadap produksi
Analisis kebersediaan membayar harga suatu teknologi
Analisis keberlanjutan usahatani jagung
Analisis multifaktor yang mempengaruhi adopsi
Analisis kesenjangan peraturan dan kajian kelembagaan
Data yang dibutuhkan
Input-output usahatani, potensi produktifitas jagung transgenik
Harga benih hibrida, minat/ permintaan akan benih transgenik
Indikator dari dimensi ekonomi, ekologi dan sosial
Pendapat/ judgement pakar
Dokumen/ literatur terkait peraturan yang relevan
Teknik analisis
Analisis finansial usahatani dan proyeksi produksi
CVM (contingent valuation method)
MAVT (multiattribute variate theory)
AHP (analytical hierarchy process)
Metode rasionalis dan analisis gap
Pertanyaan penelitian
Sasaran
Menjawab apakah adopsi benih jagung transgenik layak secara ekonomi, lingkungan serta dapat diterima secara sosial Menyarankan bagi pembuat kebijakan dan masukan informasi manajemen bagi stakeholders yang terkait
Gambar 2. Kerangka perumusan dan pemecahan masalah dalam penelitian
11
Analisis terhadap faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan apabila petani dapat diharapkan mengadopsi benih jagung transgenik.
Untuk ini
dilakukan wawancara dengan pakar dengan metode AHP (analytical hierarchy process) untuk menilai dan membuat urutan prioritas benih teknologi transgenik yang ada. Dalam kaitan ini dilakukan juga tinjauan terhadap kebijakan adopsi benih transgenik dengan menggunakan metode rasionalis dan analisis kesenjangan (gap analysis). Tinjauan difokuskan pada aspek implementatif dan prosedural dari kebijakan dan regulasi yang ada (petunjuk pelaksanaan dan petunjuk teknis), mengingat bahwa payung hukum dalam bentuk peraturan pemerintah (PP) sudah ada. Selain itu dikaji juga parameter atau elemen-elemen ada saja yang masih menjadi kendala dalam upaya adopsi dimaksud dapat tercapai, berhasil dan berlanjut. Kajian keberlanjutan usahatani yang diukur pada tingkat rumah tangga petani melalui indikator-indikator sosial, ekonomi dan lingkungan dengan metode MAVT (multi-attribute value theory) sehingga terlihat apakah adopsi benih jagung transgenik memberi pengaruh yang baik pada keberlanjutan usahatani. Dengan demikian, dalam penelitian akan dikembangkan suatu model kerangka penilaian terhadap kelayakan ekonomi, lingkungan dan sosial dari pengembang, introduksi atau adopsi benih jagung transgenik. Mengingat saat ini benih jagung transgenik belum ada yang dipasarkan, maka kerangka penilaian yang diajukan adalah penilaian (valuasi) ex-ante,3 yakni penilaian sebelum adopsi suatu teknologi.
1.4. Tujuan dan Kegunaan Penelitian Secara umum penelitian ini bertujuan menganalisis kelayakan jagung transgenik di Indonesia dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Untuk itu secara rinci penelitian ini ditujukan untuk:
3
Penilaian dampak suatu teknologi dapat dibedakan antara kajian ex-post (untuk teknologi yang sudah digunakan) dan ex-ante (untuk teknologi yang belum diadopsi). Kajian ex-post yang menggunakan survei aktual umumnya lebih andal ketimbang kajian ex-ante yang tergantung pada penilaian atau ekstrapolasi. Namun demikian, dalam kedua kasus ini berhasil tidaknya kajian dampak yang dilakukan tergantung pada judgement peneliti dalam mengumpulkan dan menganalisis data (Masters, et al., 1996).
12
(1) Menganalisis kelayakan finansial dan ekonomi benih jagung transgenik dibandingkan dengan benih jagung hibrida; (2) Menganalisis kebersediaan petani untuk membayar benih jagung transgenik dibandingkan dengan benih jagung hibrida; (3) Menganalisis apakah adopsi benih jagung transgenik menjamin keberlanjutan usahatani jagung; (4) Menganalisis faktor-faktor apa saja yang perlu diperhatikan apabila diharapkan petani dapat berhasil mengadopsi benih jagung transgenik; dan (5) Menganalisis apakah peraturan perundang-undangan dan kelembagaan yang ada saat ini mendukung terjadinya adopsi di Indonesia. Hasil penelitian diharapkan bermanfaat untuk menajamkan program pengembangan produk teknologi bagi pemangku kepentingan (stakeholders) yang terkait, khususnya dalam menetapkan rekomendasi prioritas R & D yang dapat memenuhi kebutuhan petani baik bagi lembaga pemerintah maupun lembaga swasta.
Pada tingkat nasional, informasi dari hasil penelitian ini dapat menjadi
masukan bagi perancangan regulasi dan aspek-aspek penentu agar akses agrobioteknologi terbuka bagi investasi dan adopsinya di tingkat pengguna.
Pada
tingkat usahatani diperoleh informasi tentang faktor-faktor yang mempengaruhi adopsi, khususnya kendala penghambat, disamping aspek kelayakan ekonomis dan lingkungannya serta penerimaan petani terhadap teknologi ini.
1.5. Kebaruan dalam Penelitian Kebaruan yang muncul dalam penelitian ini adalah: (1). pengetahuan dan analisis keberlanjutan usahatani jagung dengan adanya masukan teknologi baru benih transgenik; (2). analisis ex ante efek kesejahteraan bagi petani dari kemungkinan adopsi benih jagung transgenik terutama berdasarkan kelayakan finansial usahatani jagung; dan (3). kajian kebersediaan petani membayar teknologi baru benih transgenik.
13
II. TINJAUAN PUSTAKA 2.1. Pertanian Berkelanjutan dan Pengaruh dari Adopsi Teknologi Munasinghe (1993, dalam Sanim, 2003) menyatakan bahwa 3 tujuan pembangunan berkelanjutan yang harus dicapai secara simultan yakni tujuan ekonomi, tujuan sosial, dan tujuan ekologis dengan kombinasi ketiganya sesuai dengan kondisi dan tingkat kemajuan masyarakat.
Tujuan ekonomi:
pertumbuhan, peningkatan output, pembentukan modal, dan peningkatan daya saing.
Tujuan sosial: kesejahteraan sosial, pemerataan, kenyamanan dan
ketenteraman.
Tujuan ekologis: pemeliharaan dan peningkatan kualitas
lingkungan, mengurangi dampak eksternalitas negatif dan mendorong dampak eksternalitas positif dalam proses kegiatan pembangunan. Menurut Conway (1994, dalam Stevenson dan Lee, 2001), sistem pertanian berkelanjutan harus memiliki ciri produktif, stabil dalam situasi fluktuasi kondisi sosial dan lingkungan, tahan (resilient) terhadap perubahan yang tiba-tiba, serta memberikan akses yang merata bagi cara-cara produksi. Zhen dan Routray (2003) serta Zhen, et al. (2005) mengemukakan konsep pertanian berkelanjutan ditelaah dari tiga dimensi, yakni kelayakan lingkungan dengan penggunaan input eksternal secara rasional guna mencegah degradasi sumberdaya lahan dan air serta mengurangi risiko bagi kesehatan manusia,
kelayakan
ekonomi yang memastikan kegiatan produksi yang stabil dan menguntungkan, serta penerimaan sosial-kelembagaan yang menjamin kecukupan pangan dan adopsi teknologi konservasi. Zhen dan Routray (2003) mengemukakan indikatorindikator operasional guna mengukur keberlanjutan pertanian di negara-negara berkembang (Gambar 3). Pemecahan masalah keberlanjutan memerlukan analisis multi-kriteria yang didasarkan pada asumsi bahwa terdapat keseimbangan di antara ketiga dimensi ekologi, ekonomi, dan sosial yang diukur dengan indikator-indikator (Miranda, 2001). Penelitian Miranda (2001) menekankan pemecahan masalah keberlanjutan pada tingkat lokal dengan sistem usahatani yang ada saat ini.
Jika setiap
masyarakat pedesaan mempraktekkan pertanian berkelanjutan, maka secara menyeluruh akan didapatkan keadaan pertanian berkelanjutan.
Dalam
14
penelitiannya disusun 30 indikator keberlanjutan dengan masing-masing dimensi memiliki 10 indikator. Indikator ekonomi baik yang bersifat on-farm dan off-farm terdiri dari: (1). keadaan irigasi, (2). pendapatan kotor, (3). luas lahan pertanian, (4). jenis kegiatan, (5). pinjaman bank, (6). subsidi, (7). pekerja penuh-waktu, (8). pekerja paruh-waktu, (9). pemakaian mesin, dan (10). alokasi waktu.
• Produktifitas tanaman • Pendapatan usahatani netto
Ekonomis
• Rasio manfaat-biaya produksi • Produksi biji-bijian per kapita • Swasembada pangan • Distribusi pangan dan pendapatan • Akses terhadap sumberdaya
Sosial
dan dukungan pelayanan
• Pengetahuan petani dan kesadaran mengenai konservasi lahan dan air
• Jumlah pupuk yang digunakan per unit luas tanaman
• Jumlah pestisida yang digunakan per unit luas tanaman
• Kandungan unsur hara tanah
Ekologis
• Kedalaman muka air tanah • Kualitas air tanah untuk irigasi • Efisiensi penggunaan air • Kandungan nitrat dalam air dan tanaman
Gambar 3. Indikator operasional dalam mengukur keberlanjutan pertanian di negara berkembang (Zhen dan Routray, 2003).
15
Indikator sosial menekankan pada aspek kualitas hidup dengan indikator: (1). standar hidup, (2). sosiabilitas, (3). hubungan dalam masyarakat, (4). pendidikan formal, (5). pendidikan agronomi, dan (6). sarana pembelajaran; aspek kesadaran ekologis dengan indikator: (7). kesadaran akan faktor-faktor eksternal, (8). alasan pemilihan sistem produksi, (9). alasan preservasi sumberdaya alam, dan (10). penggunaan teknologi. Dimensi ekologi berkaitan dengan aspek biofisik seperti air dan tanah, dan aspek penggunaan energi.
Kesehatan manusia,
walaupun tidak secara langsung dipengaruhi oleh masalah ekologi, dapat mengalami dampak buruk akibat penggunaan pestisida. Tindakan atau praktek agronomi juga berperan penting dalam
dimensi ekologi karena memiliki
konsekuensi bagi konservasi tanah dan produktivitas. Sepuluh indikator ekologis terdiri dari: (1). penggunaan pestisida, (2). penggunaan pupuk kimiawi, (3). masalah tanah, (4). pencemaran air, (5). penggunaan pupuk kandang, (6). masa bera, (7). rotasi tanaman, (8). tanpa olah tanah, (9). penyakit tanaman, dan (10). masalah kesehatan (Miranda, 2001). Selanjutnya Zhen dan Routray (2003) menyatakan bahwa pemilihan indikator yang akan digunakan tergantung pada faktor ruang/wilayah dan dimensi waktu (Tabel 2). Pada skala lokal dengan jangka pendek, prioritas diberikan pada aspek ekonomi yang diikuti dengan aspek sosial dan ekologis, karena manfaat ekonomi merupakan kebutuhan utama. Dalam jangka panjang, ketiga aspek ini memiliki prioritas yang sama bobotnya.
Tabel 2. Pemilihan indikator dengan pertimbangan faktor wilayah dan dimensi waktu (Zhen dan Routray, 2003). Ruang
Jangka pendek Jangka menengah Jangka panjang (1-5 tahun) (5-10 tahun) (10-20 tahun) Nasional 1>2>3 3>1=2 1=2=3 Wilayah (propinsi) 1>2>3 3>1=2 1=2=3 Lokal (disrik/sub-distrik) 1>2>3 1>2=3 1=2=3 1 = aspek ekonomis; 2 = aspek sosial; 3 = aspek ekologis
Dalam perspektif International Seed Federation (ISF, 2004), pertanian berkelanjutan sebagai konsep pengelolaan dan konservasi sumberdaya alam di
16
suatu wilayah memerlukan perubahan teknologi dan kelembagaan untuk menjamin terpenuhinya kebutuhan generasi masa sekarang dan mendatang. Agar penilaian atau pengukuran keberlanjutan menggambarkan realitas yang sesungguhnya, maka yang juga perlu diperhatikan adalah kriteria dalam memilih indikator operasional untuk setiap kriteria.
Menurut Dale dan Beyeles
(2001, dalam Zhen dan Routray, 2003) pemilihan indikator harus dilakukan dengan baik dan hati-hati agar indikator menggambarkan secara jelas mengenai keadaan keberlanjutan. Lebih lanjut dikemukakan delapan kriteria suatu indikator keberlanjutan yang baik yaitu: (1) Dengan mudah dapat diukur; (2) Peka terhadap tekanan dalam sistem; (3) Tanggapan terhadap tekanan dapat diprediksi; (4) Antisipatif terhadap perubahan; (5) Dapat mengukur perubahan sejalan dengan tindakan pengelolaan; (6) Dapat diintegrasikan ke dalam semua himpunan indikator yang ada; (7) Mempunyai sifat tanggap yang diketahui terhadap perubahan akibat tindakan manusia, gangguan alam, dan perubahan menurut waktu; (8) Mempunyai sifat keragaman yang rendah dalam tanggap perubahan. Dalam menyikapi perlunya kajian lingkungan yang komprehensif terhadap suatu teknologi, IFPRI (International Food Policy Research Institute) mengajukan SEA (strategic environment assessment) sebagai suatu alat evaluasi lingkungan yang bersifat strategis untuk suatu inovasi seperti tertera pada Gambar 4 (Linacre, et al. 2005). Metode ini sebenarnya telah banyak dipakai melalui proyek-proyek Bank Dunia khususnya pada level pengkajian inovasi dan penetapan kebijakan teknologi baru pada tahap-tahap awal proses. Pendekatan SEA ini – bila diterapkan untuk kajian inovasi bioteknologi merupakan pendekatan holistik dan sistematis yang melihat alternatif kebijakan yang ada untuk mencapai tujuan peningkatan produksi pertanian. Selain itu, akan terlihat juga dampak atau konsekuensi bila adopsi dari suatu inovasi tidak terjadi. Pertimbangan dan kajian lingkungan dapat dilakukan sedini mungkin mulai dari penetapan kebijakan hingga pengelolaan risiko sehingga dampak lingkungan yang negatif dapat dikurangi. Menurut Linacre et al. (2005), metode SEA terpadu
17
menggunakan kajian kualitatif dan kuantitatif meliputi perpindahan gen (gene flow), paparan dosis-respons, analisis keputusan, dan pendugaan ketidakpastian merupakan masukan untuk pengambilan keputusan bagi nilai tanaman bioteknologi pada umumnya.
K O N S U L T A S I
K O M U N I K A S I
Evaluasi Kualitatif
Evaluasi Kuantitatif
Strategi Pengelolaan
Evaluasi Kualitatif Identifikasi tujuan kebijakan Identifikasi alternatif kebijakan Analisis pembandingan tujuan dengan alternatif Pertimbangan praktis: dapat dilaksanakan Implikasi jangka pendek, menengah, dan panjang: Ekonomi, Lingkungan, dan Sosio-kultural Juga mempertimbangkan kalau tidak mengadopsi (non-adopsi)
Evaluasi Kuantitatif Analisis dampak Karakterisasi risiko, manfaat dan biaya Analisis ketidakpastian
Strategi Pengelolaan, pilihan: Menerima risiko Mengelola risiko Menolak risiko Keputusan untuk menerima atau mengelola risiko menyaratkan perlunya monitoring
Gambar 4. Analisis strategis lingkungan suatu inovasi
Pertanian berkelanjutan adalah konsep yang ambisius namun juga memiliki sifat ambiguitas. Menurut FAO ada 5 (lima) atribut sehingga suatu pola/kegiatan pertanian dikategorikan sebagai berkelanjutan yakni mencakup: (1) Konservasi lahan, air, tumbuhan dan sumberdaya genetika; (2) Tidak mendegradasi lingkungan;
18
(3) Layak secara teknis; (4) Layak secara ekonomis; (5) Dapat diterima secara sosial (Lee, 2005). Lebih lanjut Lee (2005) mengemukakan beberapa faktor yang sering diperhatikan dalam diskusi mengenai pengaruh adopsi teknologi terhadap keberlanjutan usahatani, umumnya adalah: (1) Penggunaan input eksternal (pupuk anorganik, pestisida, alat-alat mekanis) yang lebih sedikit; (2) Aplikasi teknik pengelolaan yang lebih baik; dan (3) Pemanfaatan sumberdaya lokal tersedia dan bersifat komplementer dengan input eksternal (khususnya yang dibeli). Aldy, et al. (1998) menekankan pentingnya kapasitas sektor pertanian dalam pemenuhan kebutuhan pangan dan serat serta juga pelayanan jasa lingkungan (environmental services).
Kapasitas ini sangat tergantung pada
ketersediaan dan adopsi teknologi baru serta dipengaruhi oleh faktor-faktor pasar yang membatasi, seperti: (1) Keterbatasan dana perusahaan-perusahaan dalam pengembangan teknologi; (2) Keberhasilan adopsi ditentukan oleh profil dan variasi usahatani; (3) Keberagaman basis sumberdaya mempengaruhi adopsi; dan (4) Petani sendiri tidak memperoleh jasa lingkungan tersebut. Dengan pertimbangan atas faktor-faktor pembatas ini, Aldy et al. (1998) menyarankan kebijakan pertanian berkelanjutan sebaiknya mendukung penelitian dan pengembangan teknologi berkelanjutan serta memberi insentif yang merangsang adopsi, mengupayakan agar upaya konservasi mencerminkan alokasi aset lingkungan yang efisien dan berkelanjutan, dan memberi legitimasi pasar bagi produk atau hasil produksi dari usahatani berkelanjutan.
2.2. Teknologi Benih Transgenik dan Jagung Transgenik Definisi bioteknologi menurut The Convention on Biological Diversity pada tahun 1992 adalah “any technological application that uses biological systems, living organisms, or derivatives thereof, to make or modify products or
19
processes for specific use”, dan dengan definisi yang lebih sempit bioteknologi mencakup sejumlah teknologi molekular yang berbeda seperti manipulasi gen dan transfer gen, DNA typing dan cloning tanaman dan hewan.
Salah satu hasil
aplikasinya adalah genetically modified organism (GMO) yakni suatu organisme yang telah mengalami transformasi dengan insersi satu atau lebih transgene. Transgene adalah suatu sekuen gen (bisa berasal dari spesies berbeda atau sama) yang diisolasi yang digunakan untuk mentransformasi suatu organisme.
Suatu
individual organisme yang telah mengalami transformasi (suatu transgene telah diintegrasikan ke dalam genome-nya) disebut sebagai transgenik (FAO, 2007). Penerapan teknologi ini ke bidang pertanian khususnya dalam perbaikan tanaman (crop improvement) dengan berbagai sub-bidang: genomik, pemuliaan, analitik, kimia, dan rekayasa genetika telah dapat menghasilkan: (1) Peningkatan hasil/produktifitas berbagai tanaman, (2) Ketahanan terhadap hama dan penyakit, (3) Ketahanan terhadap cekaman lingkungan (environmental stress), misalnya adaptasi pada tanah marjinal, dan (4) Kandungan gizi yang lebih disukai seperti kedelai omega-3 dan kaya asam amino dan protein tertentu. Borlaug (1998) melihat bahwa bioteknologi berperan penting dalam mengembangkan varietas baru yang lebih toleran terhadap cekaman biotik dan abiotik serta yang kandungan nutrisi lebih baik.
Strategi perbaikan tanaman
seperti ini diperlukan untuk mengangkat tingkat produktifitas lebih tinggi lagi dan meningkatkan stabilitas hasil. Lebih lanjut Borlaug mengemukakan bahwa keberhasilan pertanian mencukupi kebutuhan pangan penduduk dunia yang meningkat, antara lain melalui upaya: (1) Bagaimana memperbaiki/mempertahankan kesuburan tanah untuk produksi berkelanjutan bagi generasi berikut; (2) Bagaimana menciptakan tanaman yang lebih efisien dan lebih tahan penyakit; dan (3) Bagaimana memperbaiki praktek budidaya tanaman sehingga lebih baik mengendalikan gulma, hama dan penyakit.
20
Menurut Sharma et al. (2002), rekayasa genetika membuka peluang yang luas bagi pemulia untuk mengakses gen dan sifat (trait) baru dari sumber genetik untuk dimasukkan ke dalam varietas/hibrida unggul. Kemajuan yang pesat telah diperoleh pada dua dekade belakangan dalam memanipulasi gen serta menyisipkannya ke dalam tanaman sehingga tahan hama dan penyakit, toleran terhadap herbisida, kekeringan, salinitas dan keracunan aluminum. Menurut sebuah studi (Runge dan Ryan, 2004), sebanyak 63 negara telah dan sedang melaksanakan litbang tanaman biotek yang meliputi 57 jenis tanaman. Lebih separuh dari jumlah kegiatan litbang tersebut berada di negara berkembang, sekalipun dengan fokus dan prioritas yang berbeda-beda. Pemuliaan tanaman yang makin efisien dan teknik-teknik terbaru dalam bioteknologi telah dan akan menghasilkan tanaman dengan produktifitas lebih tinggi, tahan terhadap hama dan penyakit, atau makin tinggi toleransinya terhadap kondisi cekaman (stress) lingkungan serta ke depan dikembangkan tanaman dengan kandungan nutrisi yang lebih baik. Teknologi rekayasa genetika sebenarnya merupakan cara atau alat yang canggih dalam proses pemuliaan tanaman dimana gen yang dikehendaki dapat ditransfer secara persis. Teknologi benih transgenik (benih GMO) telah mendapatkan investasi yang sangat besar dari perusahaan multi-nasional, namun juga menjadi fokus yang signifikan bagi lembaga penelitian pemerintah (nasional) dan internasional. Para pakar agronomi dan pemulia melihat bahwa teknologi benih transgenik memberikan kesempatan besar bagi pertanian antara lain dengan mengurangi atau mengefisienkan penggunaan herbisida, mendorong aplikasi konservasi tanah dan mengembangkan varietas yang tahan atau toleran terhadap cekaman biotik (Tabel 3) (Tripp, 1999). Untuk jagung transgenik yang dikomersialkan saat ini hampir seluruhnya tergolong ke dalam kategori sifat (trait) toleran herbisida dan tahan hama. Beberapa jenis hibrida jagung telah dikembangkan sehingga tahan terhadap herbisida glifosat. Jagung tahan hama yang sudah dikembangkan antara lain adalah tahan hama penggerek ECB (European Corn Borer), (CRW) corn root worm dan beberapa hama lainnya seperti Helicpoverpa zea (Carpenter, et al., 2000). Disamping itu, sudah mulai banyak juga penelitian dan pengembangan ke arah benih transgenik dengan preferensi kualitas nutrisi dan benih transgenik yang
21
tahan cekaman lingkungan (environmental stress) seperti efisien menggunakan air, tahan kekeringan, efisien menggunakan unsur hara seperti nitrogen sehingga diharapkan dapat menghemat penggunaan pupuk.
Tabel 3. Tipe benih GMO (Tripp, 1999) Karakteristik
Contoh
Manfaat
Kualitas preferensi konsumen atau industri
Tomat tahan disimpan lama Jagung dengan kandungan pati yang tinggi
Pengembangan bahan pangan baru (novel food) atau bahan baku bagi indsutri
Toleran herbisida
Berbagai jenis tanaman tahan herbisida
Lebih efisien dalam penggunaan herbisida dan/atau lebih aman
Tahan penyakit atau hama
Kapas tahan penggerek Tembakau tahan penyakit virus
Pengurangan aplikasi pestisida
Toleran cekaman abiotik
Jagung tahan kekeringan (efisiensi pemakaian air)
Produksi yang lebih baik pada kondisi marjinal (kurang air)
2.3. Kerangka Regulasi Agrobioteknologi: Internasional dan Nasional Dalam KTT Bumi di Rio de Janeiro pada bulan Juni 1992 telah disusun dan disepakati Agenda 21 oleh 178 negara termasuk Indonesia. Dalam Agenda 21 tersebut pada Bab 16 dikemukakan tujuan pemanfaatan bioteknologi, yakni: (1) Meningkatkan ketersediaan pangan, pakan, dan bahan baku yang terbarukan; (2) Memperbaiki kesehatan manusia; (3) Mendorong perlindungan lingkungan; (4) Mendorong keamanan dan mengembangkan mekanisme kerjasama internasional; (5) Membangun mekanisme yang memampukan pengembangan dan aplikasi bioteknologi yang ramah lingkungan; Dalam Agenda 21 Bab 16 juga dinyatakan bahwa bioteknologi dapat berkontribusi signifikan dalam pengembangan keamanan pangan melalui caracara pertanian yang berkelanjutan. Pada WSSD (World Summit on Sustainable
22
Development) tahun 2002 di Johannesburg, Afrika Selatan, 104 Negara menyatakan kembali komitmen mereka terhadap Agenda 21 dan pilar-pilar pembangunan berkelanjutan yang saling mendukung, yakni pembangunan ekonomi, pembangunan sosial, dan perlindungan lingkungan (United Nations, 2002). Konvensi Keanekaragaman Hayati (CBD, Convention on Biodiversity) sendiri disusun pada bulan Mei 1992, serta dibuka untuk penandatangan pada UNCED (United Nations Conference on Environment and Development) di Rio de Janeiro pada Juni 1992, dan mulai berlaku pada tanggal 29 Desember 1993. Saat ini CBD merupakan kerangka internasional yang berkaitan dengan keanekaragaman hayati (biodiversity). Pasal 16 dari CBD menyatakan bahwa baik akses dan transfer teknologi, termasuk bioteknologi, adalah esensial untuk mencapai tujuan-tujuan Konvensi ini. Keamanan hayati adalah suatu isu yang diangkat dalam CBD. Konsep ini merujuk pada kebutuhan untuk perlindungan lingkungan dan kesehatan manusia dari kemungkinan pengaruh buruk akibat penerapan produk bioteknologi modern. Pada sisi lain, bioteknologi modern juga diakui memiliki potensi besar untuk meningkatkan kesejahteraan manusia, khsusnya pemenuhan kebutuhan pangan, pertanian, dan perlindungan kesehatan. Pada pertemuannya yang kedua, para pihak dari CBD ini membentuk kelompok kerja ad-hoc Biosafety untuk menyusun rancangan protokol tentang keamanan hayati. Setelah beberapa tahun akhirnya terbentuklah protokol yang dikenal dengan Protokol Cartagena tentang Biosafety dalam kerangka CBD dan diadopsi di Montreal pada 29 Januari 2000 (Secretariate of the CBD, 2000). Protokol Cartagena merupakan kerangka regulasi internasional yang memadukan kebutuhan akan perlindungan lingkungan dan perdagangan sejalan dengan pertumbuhan industri global bioteknologi. Protokol ini memungkinkan aplikasi bioteknologi yang ramah lingkungan, memaksimalkan potensi manfaat sementara meminimalkan kemungkinan risiko bagi lingkungan dan kesehatan manusia (Secretariat of the CBD, 2000).
Peningkatan kapasitas nasional
merupakan kunci pokok dalam implementasi regulasi dan pengambilan keputusan yang berbasis ilmiah. Saat ini lebih dari 132 Negara telah meratifikasi Protokol
23
Cartagena.
Indonesia meratifikasi protokol ini (UU No. 21 Tahun 2004) setelah
melalui serangkaian pembahasan dan pro dan kontra di dalam negeri. Jauh sebelum ratifikasi Protokol Cartagena ini, Indonesia sendiri telah mengadopsi Agenda 21 global tersebut ke dalam Agenda 21 Indonesia yang disusun pada tahun 1997 dimana penyusunannya dikoordinasi oleh Kantor Kementerian Negara Lingkungan Hidup. Dalam Bab 18 tentang Bioteknologi disebutkan fokus bioteknologi modern diarahkan untuk dapat memecahkan masalah pertanian, kesehatan, dan lingkungan dengan mempertimbangkan aspek keamanan hayati sehingga dampak negatif bisa dicegah. Seperti dikemukakan sebelumnya, pemenang hadiah Nobel
Norman
Borlaug (1998) mengemukakan pencukupan kebutuhan pangan penduduk dunia yang meningkat – antara lain dapat terbantu dengan penerapan bioteknologi modern dalam produksi pertanian. Namun demikian, seringkali akses terhadap teknologi demikian tidak berlaku bagi petani-petani di negara berkembang karena isu IPR (intellectual property rights), penerimaan masyarakat dan pemerintah terhadap teknologi, dan hambatan finansial dan pendidikan bagi petani. Shahi (2004) dalam bukunya “Bio-Business in Asia” menyatakan bahwa (di kawasan Asia-Pasifik) telah tercapai suatu massa kritis (critical-mass) dalam bidang pengembangan ilmu hayati (life sciences) dan bioteknologi.
Jumlah
peneliti dan pusat litbang telah terbangun menyetarai kemampuan yang ada di dunia Barat. Saat ini dan ke depan, untuk mendapatkan hasil yang terbaik dari pengembangan ilmu hayati dan biotek ini, Shahi (2004) melihat perlunya aliansi yang erat melibatkan pemerintah, akademisi, industri dan investor yang bekerja bersama-sama memaksimalkan inovasi dan penciptaan nilai. 2.3.1. Perdebatan Global Perdebatan global seputar bioteknologi, dalam hal ini khususnya produk pangan hasil rekayasa genetika, tidak terlepas dari perselisihan dagang antara Amerika Serikat (AS) dan Uni Eropa (UE) tentang pangan transgenik ini. Perselisihan ini secara resmi ditengahi oleh WTO sejak tahun 2003 setelah AS, Kanada, dan Argentina mengajukan keberatan pada bulan Mei 2003.
24
Seperti diketahui sebelumnya bahwa UE terakhir pada tahun 1998 menyetujui impor 2 produk pangan transgenik. Kemudian pada periode 19962003, UE secara faktual menerapkan aturan moratorium 6 tahun hingga pada Mei 2004, Komisi Eropa mengakhiri moratorium secara de jure, akan tetapi secara de facto negara-negara anggota masih memberlakukan larangan impor produk pangan transgenik dari AS, Kanada dan Argentina. Pada bulan Februari 2006, WTO mendukung komplain yang diajukan ketiga negara tersebut dimana UE harus mematuhi aturan perdagangan global. Mengapa muncul persoalan ini, dimana tampaknya lebih bersifat proteksionisme dagang ketimbang isu kesehatan konsumen dan lingkungan? Menurut Lofstedt (2002) ahli manajemen risiko dari Inggris, hal ini disebabkan oleh 3 faktor utama: (1) Masalah kepercayaan (trust) terhadap Regulator: Orang Amerika lebih yakin pada badan FDA (Food & Drug Administration) di negaranya, berbeda dengan orang Eropa yang tidak begitu percaya pada badan regulator yang ada di Eropa; (2) Isu retaliasi dagang: AS telah menghindari skandal pangan serupa krisis ”sapi gila” yang terjadi di Inggris pada tahun 1990-an, yakni dengan cara melarang impor produk daging sapi dari Inggris selama 1 dekade. Kasus ini bersamaan terjadinya dengan introduksi pertama uji-coba tanaman transgenik. (3) Masalah komunikasi: perusahaan-perusahaan
strategi komunikasi yang tidak tepat dari penghasil
benih
tanaman
transgenik,
khususnya dari Monsanto sebagai pemimpin pasar (market leader). Menurut Lofstedt, Monsanto tidak peka terhadap persepsi masyarakat Eropa yang tidak menyukai cara Amerika mendikte mereka tentang apa yang harus dilakukan mengenai teknologi ini. Menurut laporan FAO berjudul The State of World Food and Agriculture 2004 (SOFA 2004), tanaman pangan hasil rekayasa bioteknologi (bioengineered food crops) memiliki potensial riil dalam upaya mengatasi masalah kelaparan dunia, namun sebegitu jauh potensi tersebut belum banyak dimanfaatkan. Menurut laporan ini perdebatan introduksi teknologi baru sebenarnya sudah
25
terjadi sejak semula, termasuk seputar Revolusi Hijau (Green Revolution) pada era 60-an dan 70-an. Dengan mengintroduksi varietas tanaman, agro-kimia, dan teknik irigasi baru, Revolusi Hijau telah meningkatkan hasil tanaman dan membantu jutaan manusia keluar dari masalah kelaparan dan kemiskinan.
Namun demikian,
dewasa ini masih lebih dari 842 juta penduduk dunia yang hidup tanpa makanan yang cukup. Sementara milyaran penduduk menderita gizi buruk. Dalam masa 30 tahun ke depan, pertambaan penduduk sebanyak 2 milyar memerlukan makanan yang cukup, yang harus dipenuhi dari sumberdaya alam yang terbatas dan cenderung makin rapuh (fragile). Dapatkah Revolusi Gen– yakni penggunaan bioteknologi dalam bidang pertanian – menyumbangkan penyelesaian masalah untuk mengatasi tantangan ini? Para pendukung mengatakan rekayasa genetika merupakan alat esensial dalam mengatasi masalah kekurangan pangan dan gizi buruk di negara-negara berkembang. Para penentang mengatakan bahwa rekayasa genetika akan merusak lingkungan, meningkatkan kemiskinan dan kelaparan, dan mengalihkan penguasaan teknologi pertanian dan penyediaan pangan global ke kendali tangan korporasi. Bioteknologi (rekayasa genetika) dapat meningkatan produktivitas dan mengurangi variasi/fluktuasi musiman dalam penyediaan pangan. Tanaman tahan hama/penyakit dan toleran cekaman lingkungan dapat mengurangi risiko kegagalan panen akibat hama/penyakit dan kekeringan.
Kandungan gizi dan
vitamin dapat dimuliakan ke dalam varietas-varietas unggul baru sehingga dapat digunakan untuk mengatasi masalah defisiensi gizi di negara-negara miskin dan berkembang. Varietas tanaman baru dapat dikembangkan agar tumbuh baik pada tanah-tanah marjinal yang tidak subur sehingga produksi pangan dapat ditingkatkan. Bioteknologi juga dapat mengurangi penggunaan senyawa pestisida dan memperbaiki efisiensi penyerapan hara dan pupuk dari tanah (FAO, 2004). 2.3.2. Status dan Tantangan Regulasi Bioteknologi UU Lingkungan Hidup, UU Budidaya Tanaman, UU Pangan, dan UU Perlindungan Varietas Tanaman merupakan rangkaian undang-undang negara yang menyinggung, menyebut, dan mengatur tentang pemanfaatan produk hasil
26
rekayasa genetika (bioteknologi modern). Bahkan pada tahun 2005, Pemerintah telah menerbitkan PP tentang Keamanan Hayati (PP No. 21 tahun2005), namun PP ini mensyaratkan adanya pembentukan Komisi Nasional Keamanan Hayati dan petunjuk pelaksanaan untuk pengkajian keamanan hayati. Dalam PP No. 21 ini yang dimaksud dengan keamanan hayati meliputi keamanan lingkungan (environmental safety), keamanan pangan (food safety), dan keamanan pakan (feed safety). Hingga saat ini Pemerintah masih terus menggodok pembentukan Komisi Nasional dan finalisasi juklak ini (Saragih, 2006). Antar departemen/lembaga: Pertanian, KLH, Kesehatan, POM, Perikanan, Kelautan, Kehutanan, Ristek, LIPI dengan kewenangan dan kompetensi masingmasing memerlukan koordinasi yang benar-benar terarah dan terpadu agar komisi dan juklak tersebut bisa segera terbentuk. Disadari sepenuhnya bahwa posisi suatu negara terhadap bioteknologi sangat tergantung dari banyak hal, antara lain: kebijakan dan political will Pemerintah,
tingkat risiko yang hendak/dapat
diterima, kapasitas melakukan kajian risiko dan implementasi regulasi yang memadai, persepsi mengenai manfaat ekonomi yang dapat diperoleh dari boteknologi, aras perdagangan internasional termasuk ketergantungan akan impor komoditas pertanian, dan investasi pada program penelitian dan pengembangan. Sebagaimana disebutkan di atas, hingga saat ini Pemerintah sebenarnya telah meletakkan kerangka regulasi yang komprehensif dengan terbitnya Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 Tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika. PP ini dibuat dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (2) huruf b UU Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997, yang berbunyi tentang mengatur penyediaan, peruntukan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumberdaya genetika. Dalam konteks teknis implementasi untuk bioteknologi tanaman, PP No. 21 perlu mengacu pada ketentuan-ketentuan dalam UU Sistem Budidaya Tanaman No. 12 Tahun 1992 khususnya pasal-pasal 8 hingga 12 (antara lain tentang benih unggul dan berkualitas, pengembangan varietas unggul, pelepasan varietas baru, impor, pengawasan distribusi benih dan pelabelan). Diharapkan peraturan yang baru ini dapat memayungi pengembangan, inovasi dan adopsi bioteknologi di Indonesia, karena aspek keamanan hayati dalam PP No. 21/2005 tersebut mencakup keamanan lingkungan, serta keamanan
27
pangan dan pakan. Perangkat peraturan ini dan kelengkapan lembaga yang akan disusun diharapkan dapat berperan efisien dan efektif dan terutama memberi kepastian dalam proses pengkajian dan evaluasi produk rekayasa genetika dari segi keamanan hayatinya sebelum dilepas ke pasar/pengguna. Namun hingga saat ini perangkat kelembagaan dan petunjuk pelaksanaan belum tersedia, sehingga kalangan dunia industri yang berminat untuk pengembangan tanaman unggul transgenik belum dapat melakukan apa-apa, baik dalam rangka introduksi atau persiapan untuk investasi.
Diperkirakan detil prosedur pengembangan dan
pelepasan suatu produk benih bioteknologi hingga akhirnya dapat diadopsi oleh petani akan melewati rangkaian pengkajian/pengujian oleh berbagai departemen dan lembaga Pemerintah yang berkompeten, yakni meliputi: tahap pengujian keamanan lingkungan; tahap pengujian keamanan pangan/pakan; tahap pengujian pelepasan varietas; dan tahap pengujian perlindungan varietas.
2.4. Dampak Ekonomi dan Lingkungan Adopsi Agrobioteknologi Mengapa manusia seharusnya mengambil kesempatan dari suatu teknologi baru seperti tanaman hasil rekayasa genetika? Dalam kurun waktu yang relatif singkat – terutama dalam satu abad terakhir - manusia telah menyeleksi dan menghasilkan varietas baru dengan kualitas tanaman dan hasil yang lebih baik melalui hibridisasi, persilangan dengan jenis-jenis tanaman yang unggul, penggunaan teknik mutasi gen, dan yang terbaru dengan penggunaan teknik rekayasa genetika. Setiap langkah dalam pembudidayaan tanaman tersebut dilakukan untuk memenuhi kebutuhan pangan dan pakan guna menyediakan makanan yang cukup dan berkualitas baik kepada populasi yang terus berkembang.
Kebutuhan terhadap peningkatan produksi sangat diperlukan di
negara-negara berkembang yang diramalkan populasinya tetap berkembang pesat. Tanaman-tanaman yang diperbaiki secara genetik memiliki potensi kenaikan hasil, dengan input perlindungan tanaman yang lebih sedikit dan dengan biaya yang lebih rendah. Tanaman yang toleran terhadap herbisida juga menawarkan potensi adopsi penerimaan yang lebih mudah terhadap sistem olah tanah konservasi (conservation tillage). Penerimaan dan penggunaan tanaman tahan serangga (insect-protected crops) juga mengurangi jumlah insektisida yang
28
digunakan, memberikan keamanan (safety) yang lebih baik bagi para petani, keluarga dan lingkungannya. Bioteknologi adalah pengembangan dari teknik pemuliaan tradisional yang pada dasarnya merupakan transfer informasi genetik untuk memperbaiki kualitas tanaman. Bioteknologi melakukan transfer materi genetik secara lebih tepat, efisien dan tepat waktu, dan tidak tergantung pada reproduksi seksual sehingga kondisi ini memudahkan transfer informasi genetik dari satu spesies kepada spesies yang lain, seperti suatu gen dari bakteri tertentu ke tanaman kapas. Begitu suatu sifat yang diinginkan - yang dibawa oleh materi genetik – dimasukkan ke dalam suatu tanaman, maka pemuliaan tanaman konvensional digunakan untuk memindahkan sifat itu ke dalam varietas atau hibrida lain, misalnya dengan back-crossing terhadap suatu hibrida unggul. Berhubung bioteknologi memungkinkan para ilmuwan menggunakan sifat-sifat dari spesies lain, maka ada kemungkinan untuk memasukkan sejumlah sifat baru yang sangat dikehendaki ke dalam tanaman budidaya. Sifat-sifat atau karakteristik baru tersebut meliputi: toleransi terhadap cekaman lingkungan (kekeringan, panas, salinitas); perbaikan kualitas seperti peningkatan kandungan protein dan kadar asam amino. Para ilmuwan dan pemulia tanaman memiliki sumber-sumber materi genetik dan sifat-sifat baru yang dapat digunakan pada berbagai kombinasi yang berbeda untuk memenuhi kebutuhan yang meningkat akan pangan, papan dan serat dengan kualitas baik (Schumacher, 2001). Sebagai rujukan pada angka global, menurut suatu perkiraan seperti dikutip oleh James (2004), nilai pasar global untuk benih tanaman biotek pada tahun 2004 adalah sebesar US $ 4,7 milyar atau sekitar 15% dari pasar perlindungan tanaman yakni sebesar US $ 32,5 milyar pada tahun 2003. Bila dibandingkan dengan nilai pasar benih komersial global yakni sebesar US $ 30 milyar, maka nilai pasar benih tanaman biotek ini baru 16%.
Sedangkan nilai
total tanaman biotek mencapai US $ 44 milyar pada tahun 2003-04 di lima negara yakni AS, Argentina, Cina, Kanada dan Brazil (Runge dan Ryan, 2004). Aplikasi tanaman transgenik telah mengubah pola industri dan arah pengembangan perbenihan global. Kalaitzandonakes (2003) membahas dampak teknologi generasi pertama (first-generation products) agro-bioteknologi yang dipasarkan setelah melalui
29
hampir 20 tahun tahapan percobaan dan pengembangan di laboratorium dan lapangan. Produk generasi pertama ini umumnya terdiri dari benih tanaman yang direkayasa atau dimodifikasi untuk tahan terhadap herbisida dan hama serangga tertentu. Saat ini secara global di seluruh dunia luas areal pertanaman transgenik telah meningkat dari 1,7 juta hektar tahun 1997 menjadi 114,3 juta hektar tahun 2007 (James, 2007). Faktor apa yang menyebabkan adopsi teknologi yang begitu cepat dan meluas ini?
Menurut Kalaitzandonakes (2003), sebagian besar
potensial dampak dari adopsi produk generasi pertama ini (khususnya tahan insek = insect tolerant IR dan herbisida = herbicide tolerant HT) berasal dari produksi termasuk dari substitusi input dan penghematan biaya produksi (Gambar 5).
Introduksi teknologi HT (herbicide tolerance) dan IR (insect resistance)
Dampak Produksi Potensial
Dampak Lingkungan Potensial
-
-
Substitusi impor Pengurangan risiko Pertumbuhan produktifitas Perubahan agronomis
Erosi tanah Kualitas air Load pestisida Perubahan agronomis
Kondisi Lokal Insentif Lokal
Produser Non-adopter
Adopter Faktor stokastik menentukan dampak
Tidak ada dampak Dampak
Gambar 5.
Adopsi dan dampak ekonomi dan lingkungan dari teknologi generasi pertama (HT dan IR) agro-bioteknologi (Kalaitzandonakes, 2003).
30
Akan tetapi, kelihatannya Kalaitzandonakes tidak membahas secara lebih mendalam dan meluas tentang konsekuensi yang mungkin terjadi jika suatu negara atau wilayah mengadopsi teknologi benih transgenik, dimana sangat tergantung pada kondisi dan perilaku pasar dan konsumen. Ada situasi, kondisi dan mekanisme yang dapat mebuat non-adopter juga mendapatkan dampak langsung/tidak langsung dari adopsi teknologi transgenik. Di suatu pasar dimana terdapat resistensi atau penolakan yang signifikan terhadap benih dan/atau pangan transgenik, adopsi transgenik justru akan dapat mengurangi nilai premium bagi produsen dan penyedia pangan non-transgenik. Moon dan Balasubramanian (2003) menunjukkan bahwa sebanyak 71% responden di Inggris memilih pangan non-transgenik, hanya 2% yang ingin memilih pangan transgenik, selebihnya 23% menjawab tidak ada preferensi antara transgenik dan non-transgenik.
Lebih
lanjut, Moon dan Balasubramanian (2003) – dengan menggunakan metoda penilaian kontingen (CVM) – menemukan bahwa kemungkinan adopsi transgenik di pasar Unie Eropa (UE) konsumen akan memperoleh kesempatan memilih pangan transgenik dengan harga yang lebih murah- khususnya bagi pihak konsumen yang (a). setuju/akseptabel terhadap pangan transgenik, dan (b). peka terhadap harga (price conscious).
Survei yang mereka lakukan menanyakan
keinginan membayar (WTP) para konsumen apakah mau membayar lebih mahal (premium) bagi pangan sereal non-transgenik. Hasilnya menunjukkan responden dengan preferensi pangan non-transgenik menjadi 56%, sementara yang menjawab tidak sebanyak 22%, selebihnya menjawab tidak tahu.
Hal ini
menunjukkan bahwa dampak bagi non-adopter juga dapat terjadi akibat produksi atau suplai komoditas transgenik terbuka atau meningkat dan masuk ke dalam pasar. Di wilayah Asia-Pasifik, Cina, Australia, dan Indonesia telah mengijinkan penanaman kapas yang resisten terhadap serangga golongan Lepidoptera. Pada tahun 2003, pertanaman kapas Bt di Indonesia tidak berlanjut karena satu dan lain hal seperti telah dikemukakan sebelumnya. Australia juga telah menyetujui kapas yang toleran terhadap herbisida. Tanaman-tanaman lain yang saat ini sedang diuji dan dievaluasi di wilayah ini meliputi jagung toleran herbisida, jagung toleran serangga, dan beberapa tanaman serta sifat-sifat yang lain. Percobaan dan
31
pengujian tanaman transgenik terus dilakukan di sejumlah negara di wilayah AsiaPasifik termasuk Australia, Indonesia, Filipina, Thailand, Cina, Jepang dan India. India pada tahun 2003 mulai mengijinkan penanaman hibrida kapas Bt secara meluas di lahan-lahan petani. Bioteknologi pertanian dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap pengurangan kemiskinan, pembangunan desa, penguatan perdagangan dan daya saing ekonomi, keberlanjutan pertanian, keamanan lingkungan, pangan dan pakan. Menurut laporan WSSD tahun 2002, pertanian berkelanjutan esensial dalam rangka implementasi pendekatan terpadu untuk meningkatkan produksi pangan, mendorong ketahanan pangan dan keamanan pangan yang berwawasan lingkungan. Bennett (2003) dalam makalahnya pada World Agricultural Forum 2003 menyampaikan bahwa tujuan pertanian berkelanjutan adalah untuk memenuhi pangan yang cukup, dapat dijangkau, berkualitas dan secara simultan juga memelihara kemampuan produksi untuk masa depan, serta memberikan kelayakan ekonomis bagi usahatani, menyumbangkan kesejahteraan bagi masyarakat lokal dan melindungi lingkungan dan keragaman hayati. Dewasa ini banyak negara di Asia yang sedang mengahadapi masalahmasalah spesifik di bidang kesehatan, ekologi, dan pertanian yang mana tidak dapat dipecahkan sepenuhnya dengan cara-cara standar dalam pemuliaan pertanian yang konvensional.
Benih tanaman hasil bioteknologi modern telah
dapat ditanam di negara-negara tertentu di Asia-Pasifik, maka para petani telah menikmati berbagai keuntungan dan menyadari kapasitasnya dalam berkontribusi terhadap manfaat-manfaat antara lain dalam berbagai bentuk (CropLife, 2005): (1) Peningkatan Produktifitas Tanaman - Para petani yang menanam kapas Bt di India memperoleh kenaikan hasil sebesar 30% pada tahun 2003. Para petani Filipina yang menanam jagung Bt dapat meningkatkan hasil hingga 60% bila dibandingkan dengan varietas konvensional. (2) Re-alokasi Sumberdaya Lahan – Dimungkinkan alokasi penggunaan lahan untuk tujuan lain yang menguntungkan, dan pada saat yang sama memberikan kemungkinan untuk konservasi keanekaragaman hayati. Ini bisa terjadi karena peningkatan produktivitas per satuan luas lahan.
32
(3) Penggunaan Input yang Lebih Efisien – Menetapkan aplikasi sarana produksi (input) secara lebih tepat dan selektif untuk manfaat lingkungan. Misalnya integrasi penggunaan benih tahan hama atau penyakit tertentu ke dalam pengendalian hama terpadu. (4) Stabilitas Produksi – Hasil output yang tidak peka terhadap fluktuasi produktifitas, misalnya karena serangan hama dan/atau penyakit yang mendadak. (5) Peningkatan Pendapatan Usahatani – Para petani yang menanam kapas Bt di India mampu meningkatkan keuntungan pendapatan sebesar hampir 80%. Di Filipina banyak petani telah memperoleh peningkatan pendapatan hingga 34% pada tahun pertama penanaman jagung Bt. Di samping penurunan biaya produksi, penelitian dan hasil petani menunjukkan adanya peningkatan kualitas biji pada jagung tahan hama dibandingkan dengan jagung konvensional. Monkvold, et al. (1997) melaporkan bahwa telah terjadi penurunan sebanyak 90% tingkat mikotoksin pada jagung Bt dibanding jagung non-Bt. Penurunan kandungan mikotoksin menghasilkan biji yang berkualitas lebih tinggi dengan nilai yang tinggi, sangat baik untuk kesehatan hewan, serta memberikan kualitas susu dan produk makanan lebih baik dari hewan tersebut. Perbaikan sifat tanaman dapat dilakukan melalui modifikasi genetik baik dengan persilangan tanaman secara konvensional ataupun dengan bioteknologi modern. Bioteknologi modern memiliki potensi sebagai teknologi yang ramah lingkungan.
Selain ramah lingkungan, bioteknologi modern diharapkan akan
dapat membantu mengatasi masalah pembangunan pertanian yang tidak dapat dipecahkan secara konvensional. Di masa depan, baik petani maupun konsumen, akan dapat menanam benih terbaru hasil penelitian dan pengembangan bioteknologi, antara lain berupa tanaman tahan hama dan penyakit tumbuhan, toleran kekeringan, dan juga pangan yang dirancang lebih banyak mengandung nutrisi yang diinginkan. Disamping itu, air telah menjadi faktor pembatas dalam produksi pertanian di seantero dunia khususnya di Asia, oleh karena itu tanaman hasil bioteknologi modern yang toleran kekeringan akan sangat membantu untuk mengatasi masalah ini.
Kekurangan vitamin A menyebabkan sekitar 250–500
33
ribu anak-anak mengalami kebutaan tiap tahunnya, dan juga memperlemah sistem kekebalan tubuh. Tanaman padi Golden Rice yang telah dikembangkan untuk memproduksi beta-carotene dapat mengatasi masalah kebutaan dan kematian prematur ini (CropLife, 2005). Dalam kaitan dengan penelitian ex-ante tanaman transgenik tahan kekeringan atau lebih efisien menggunakan air, Hareau, et al. (2004) mengemukakan kajian terhadap manfaat potensial secara ekonomi bilamana tanaman padi dimasukkan dalam strategi transformasi tahan kekeringan ini, disamping tanaman padi Bt yang juga memberikan nilai signifikan (Tabel 4). Untuk Indonesia potensi nilai tersebut mencapai 281 juta dollar AS atau sekitar 10% dari total nilai potensial untuk seluruh dunia.
Tabel 4. Perbandingan nilai potensial ekonomi (juta dollar AS) dari tanaman padi transgenik tahan cekaman kekeringan dan padi transgenik Bt di beberapa negara (Hareau et al., 2004). Negara
China India Indonesia Bangladesh Vietnam Thailand Filipina Jepang Negara Asia lainnya Total Dunia
Nilai potensi ekonomi tanaman transgenik padi tahan kekeringan 431 740 285 174 29 59 99 427 618 2862
Nilai potensi ekonomi tanaman transgenik padi Bt 537 520 267 100 26 12 81 411 445 2399
Seperti telah dikemukakan pada bagian pendahuluan, bahwa saat ini 21 negara telah mengadopsi tanaman biotek dengan luasan 90 juta hektar pada tahun 2005 (tahun ke-10 adopsi). Suatu studi tahun 2005 menemukan sejumlah manfaat eknomi selama 9 tahun adopsi tanaman transgenik (1996-2004), yaitu peningkatan pendapatan usahatani secara global: total 27 milyar dollar AS (Brookes dan Barfoot, 2005). Selain itu, Brookes dan Barfoot (2005) juga menunjukkan bahwa dampak global lingkungan selama 9 tahun adopsi tanaman transgenik (19962005), antara lain adalah:
34
(1) Pengurangan aplikasi pestisida : 172,5 juta kg (2) Pengurangan jejak lingkungan (environmental footprint) : 14% (3) Sekuestrasi karbon sejalan dengan aplikasi tanpa olah tanah (notillage) Selanjutnya diungkapkan oleh Brookes dan Barfoot dalam kajian pengaruh bagi lingkungan (baik positif maupun negatif) dilakukan dengan indikator EIQ (environmental impact quotient) yang merupakan hampiran, sehingga diperoleh penurunan jejak lingkungan tersebut sebesar 14%. Pendekatan EIQ ini mengukur dampak melalui data penggunaan input pestisida (jenis varietas/klon yang ditanam, penyemprotan fungisida/insektisida/herbisida, jenis pestisida dan dosis aplikasi termasuk biaya input dan tenaga penyemprotan, informasi tentang sifat bahan aktif). Informasi berkenaan dengan tingkat toksisitas (risiko) untuk mengukur EIQ (di sini dianggap sebagai indikator universal) suatu pestisida tersedia pada jurnal dan literatur ilmiah, misalnya pada Kovach et al. (1992). Di Indonesia sendiri, dalam konteks perkapasan nasional, sebenarnya introduksi kapas Bt di Sulawesi Selatan merupakan salah satu upaya untuk peningkatan produktivitas, pendapatan usahatani, dan aplikasi pestisida yang berkurang.
Disamping itu, introduksi kapas transgenik Bt memiliki peran
strategis untuk mendukung industri TPT (tekstil dan produk tekstil) mengingat struktur kesenjangan antara suplai (produksi) dan kebutuhan serat kapas nasional. Dewasa ini produksi kapas nasional hanya memenuhi kurang dari 10% kebutuhan industri TPT, selebihnya impor dengan nilai devisa bisa mencapai US $ 1 milyar. Namun usahatani kapas Bt berhenti karena berbagai alasan dari perusahaan; walaupun sebenarnya sebagian besar petani (95%) merasakan manfaat dari mengadopsi teknologi kapas Bt. Keuntungan yang diperoleh dengan menanam kapas Bt meningkat 83% yang menandakan tingkat keuntungan signifikan bagi petani kapas (Siregar dan Kolopaking, 2002).
2.4.1. Manfaat dan Risiko Lingkungan Dalam perdebatan publik tentang rekayasa genetika, risiko teknlogi paling sering muncul dalam forum-forum pertemuan. Para kritikus menyatakan bahwa manipulasi genetika terhadap mahluk hidup akan menciptakan dimensi risiko
35
yang baru dan tak dapat diprediksi bagi lingkungan dan kesehatan manusia. Walaupun pengetahuan dan bukti ilmiah untuk topik ini masih sangat terbatas, kajian risiko yang seksama dan luas telah pun dilakukan. Hasilnya menyimpulkan bahwa tidak terdapat risiko berkaitan dengan tanaman transgenik yang spesifik ditimbulkan oleh teknologi transfer gen.
Risiko-risiko tertentu akan muncul,
namun hal yang sama sebenarnya juga ditimbulkan oleh teknologi pemuliaan konvensional (biasa). Tidak ada dimensi risiko yang menyeluruh yang secara umum diterapkan atau terkait dengan teknologi genetika, oleh karena itu analisis risiko seharusnya dilakukan secara kasus per kasus (Qaim, 1999). Konsultasi Pakar FAO pada tahun 2003 juga menyatakan bahwa penanaman tanaman modifikasi genetika (tanaman GM) dengan segala manfaat dan kemungkinan bahayanya bagi lingkungan sebaiknya dipertimbangkan dalam kerangka ekosistem yang lebih luas dan pengaruhnya bagi lingkungan seharusnya dikaji kasus per kasus (FAO, 2003). Carpenter, et al. (2002) mengidentifikasikan ada sembilan dampak lingkungan potensial dari tanaman hasil rekayasa genetika: (1) Perubahan pola penggunaan pestisida: Apakah adopsi tanaman transgenik mengubah pola penggunaan pestisida oleh petani, dan pada gilirannya bagaimana dampaknya terhadap aspek kualitas air, dampak pada tanah, dan residu panen. (2) Pengelolaan lahan dan olah tanah konservasi: Apakah adopsi tanaman transgenik memicu penerapan olah tanah konservasi yang dapat mengurangi erosi tanah, menurunkan aliran permukaan, menjaga kelembaban tanah, kandungan hara, dan menahan karbon di dalam tanah. (3) Sifat kegulmaan tanaman (crop weediness): Apakah tanaman transgenik menimbulkan sifat gulma pada tanaman yang bersangkutan. (4) Aliran gen (gene flow) dan penyerbukan silang (outcrossing): Apakah tanaman transgenik berhibridisasi dengan tanaman lokal sehingga berdampak buruk bagi keanekaragaman hayati di wilayah dimana tanaman tersebut ditanam.
36
(5) Resistensi hama: Apakah sifat/proses munculnya resistensi hama pada tanaman transgenik berbeda dengan hal yang serupa pada tanaman non-transgenik dengan aplikasi pestisida. (6) Pergeseran populasi hama: Apakah introduksi tanaman transgenik menyebabkan pergeseran populasi gulma atau hama sekunder sehingga berdampak pada sistem pertanian atau ekologis yang ada. (7) Pengaruh pada organisme non-target dan organisme menguntungkan: Apakah tanaman transgenik yang diintroduksi memiliki sifat perlindungan hama yang berdampak negatif pada musuh alami atau organisme non-target lainnya. (8) Efisiensi penggunaan dan produktifitas lahan: Apakah adopsi tanaman transgenik memperbaiki efisiensi dan produktifitas lahan sehingga tidak perlu membuka hutan untuk pertanian. (9) Human exposure (pengaruh terpapar pada manusia): Apakah adopsi tanaman transgenik menimbulkan masalah keamanan penggunaan yang berbeda dibandingkan dengan tanaman konvensional. Selanjutnya, Qaim (1999) menyatakan beberapa kategori risiko yang berkaitan dengan tanaman transgenik, dimana aspek keamanan pangan merupakan hal penting: (1) Risiko transfer gen horisontal ke lingkungan. Dalam hal ini harus dilihat apakah tanaman yang bersangkutan merupakan tanaman asli domestik di suatu negara atau wilayah. (2) Tipe hama atau penyakit baru yang mungkin muncul akibat rekombinasi gen.
Dalam banyak kasus, kemungkinan terjadinya
rekombinasi gen dari gen yang ditransformasi jauh lebih kecil dibandingkan dengan rekombinasi alami dari gen penyakit yang menginfeksi tanaman inang. (3) Risiko terjadinya resistensi terhadap hama atau penyakit tanaman. Pada dasarnya efek terhadap kesehatan manusia tidak ada; risiko ini lebih mengena pada faktor ekonomi (keefektifan teknologi) pada periode waktu singkat atau lama.
37
(4) Isu keamanan pangan. Merupakan isu utama yang berkaitan dengan produk pangan dari tanaman rekayasa genetika. Sistem pengkajian keamanan pangan harus ketat dan seksama secara ilmiah dalam menyaring produk-produk yang diuji. Risiko yang inheren dengan teknologi (technology-inherent risks), dengan melihat eksternalitas negatif yang mungkin terjadi juga perlu dikaji misalnya ciri tanaman yang tidak diharapkan/abnormal dan interaksi yang mungkin terjadi dengan lingkungan misalnya mengenai penyerbukan silang (Qaim, 1998). Jemison dan Vayda (2001) dalam penelitiannya yang berjudul Cross pollination from genetically engineered corn: wind transport and seed source menemukan bahwa cross-pollination (penyerbukan silang) lebih kecil dari 2 persen. Pada kondisi tanaman jagung biasa (non-transgenik) berjarak 30 meter dari jagung transgenik RR dan arah angin berasal dari jagung transgenik, ternyata penyerbukan silang yang terjadi berada pada tingkat rendah. Faktor lain yang mempengaruhi penyerbukan silang adalah adanya tanaman pembatas yang lebih tinggi yang dapat mengurangi risiko penyerbukan silang. Hal ini memungkinkan ko-eksistensi antara tanaman transgenik dan non-transgenik ditanam di suatu wilayah sepanjang mengikuti jarak isolasi yang meminimkan kontaminasi satu sama lain.
2.4.2. Kajian Keamanan Hayati Tanaman Transgenik Kerangka regulasi yang berbasis ilmiah (science-based regulation) akan meletakkan pengkajian keamanan produk bioteknologi pada lajur yang tepat dan dapat dipertanggung- jawabkan, sehingga produk yang amanlah yang akan dilepas ke publik sedangkan calon produk yang berisiko tinggi disaring pada tahap-tahap awal proses evaluasi keamanan. Untuk meningkatkan kepastian keamanan
pada produk tanaman
transgenik, biasanya dilakukan tiga fase penilaian keamanan yang dilaksanakan sebelum sebuah produk dimasukkan dalam program percobaan skala besar atau dimasukkan dalam proses pelepasan varietas (Gunawan, et al., 2003): (1) TAHAP I: Tahap pemastian keamanan gen yang akan digunakan pada produk. Fokusnya adalah perhatian pada kepastian tidak menyebabkan
38
alergi atau keracunan dan gen tidak menyebabkan beberapa resiko ekologi atau resiko lainnya.
Sumber gen juga harus betul-betul
diperhatikan kepastian keamanan penggunaanya dan tidak boleh melanggar kode etik. (2) TAHAP II: Tahap ini difokuskan pada pemilihan galur (line selection) setelah tanaman ditransformasikan. Faktor-faktor kunci yang dikaji: tanaman transgenik tersebut paling tidak sama dengan isoline atau isohybrid dalam segala aspek agronomi (fenotip) dan hanya satu kopi gen yang dimasukkan. (3) TAHAP III: Tahap kepastian keamanan pangan, pakan dan lingkungan pada produk tanaman akhir.
Beberapa faktor yang
dipelajari adalah analisis komposisi untuk menetapkan persamaan substansial pada biji dan juga mempelajari efek jangka panjang pakan untuk penetapan keamanan pakan dan daya gunanya.
Keamanan
produk untuk jenis hama non-target juga dipelajari dan ditetapkan. Setelah semua tahap dilalui secara lengkap, kemudian produk dimasukkan dalam proses registrasi untuk mendapatkan persetujuan terakhir dan digunakan oleh petani.
2.5. Penilaian ex-ante Ekonomi terhadap Prospek Adopsi Teknologi Baru Qaim, et al. (2000) mengemukakan bahwa keberhasilan teknologi baru melalui suatu tahapan proses evolusi yang mempengaruhi pengembangan teknologi dan introduksi ke pasar (Gambar 6). Yang menarik diamati disini adalah pemicu perlunya penelitian atau introduksi teknologi terletak pada permintaan petani untuk peningkatan produksi/efisiensi (kebutuhan pengguna akhir).
Prosesnya sendiri membutuhkan waktu yang lama dan sarana serta faktor
pendukung (enabling factors) antara lain berupa kebijakann pengembangan, ijin regulasi dan rencana produksi, penyiapan pemasaran produk dan distribusi sebelum sampai pada tahap adopsi produk/ teknologi oleh petani.
39
Penelitian Pendanaan pemerintah, pajak
IPR Kondisi ekonomi
Infrastruktur Pengetahuan
Pengembangan dan komersialisasi
Produksi Kebijakan, Regulasi dan insentif
Infrastruktur Produksi Pemasaran Teknologi alternatif Adopsi
Penyuluhan Kendala fisik dan kelembagaan Manfaat
Gambar 6. Tahap-tahapan inovasi baru dalam pertanian (Qaim, et al., 2000). Penilaian dampak suatu teknologi dapat dibedakan antara kajian ex-post (untuk teknologi yang sudah digunakan) dan ex-ante
(untuk teknologi yang
belum diadopsi). Untuk kedua hal ini, sejumlah data yang dibutuhkan untuk mengukur dampak dapat diamati secara langsung, dan data lain haruslah diestimasi secara tidak langsung dari kenyataan yang lain. Kajian ex-post yang memakai survei aktual bersifat lebih andal ketimbang kajian ex-ante yang tergantung pada penilaian atau ekstrapolasi dari percobaan penelitian. Namun demikian, dalam kedua kasus ini berhasil tidaknya kajian dampak yang dilakukan tergantung pada judgement peneliti dalam mengumpulkan dan menganalisis data
40
(Masters, et al., 1996). Disamping itu, pemilihan metode atau alat analisis yang tepat merupakan hal kunci sehingga hasil yang diperoleh tidak jauh dari realita. Menurut Baker (2000), analisis dampak ex-post merupakan salah satu komponen dalam paket evaluasi yang komprehensif yang juga meliputi analisis ex-ante, kajian program, evaluasi dan monitoring kinerja, dan evaluasi proses. Dalam kasus penelitian, evaluasi proses terdiri dari beberapa bentuk seperti studi penerimaan awal dan studi adopsi yang berupaya mencari umpan balik bagi penelitian dan lanjutannya. Berbagai istilah dipakai dalam kaitan ini antara lain monitoring dampak, analisis teknologi, monitoring dan evaluasi (monev). Graff, et al. (2000) mengemukakan bahwa keberhasilan teknologi baru melalui suatu tahapan proses evolusi yang mempengaruhi pengembangan teknologi dan introduksi ke pasar.
Tahapan proses ini – untuk suatu benih
varietas hasil bioteknologi- dapat digambarkan dengan diagram berikut di bawah ini. Tahapan siklusnya dimulai dari proyek penelitian yang dipicu oleh suatu kondisi ekonomi, dan secara khusus ditentukan oleh alokasi pendanaan dari pemerintah dan kebijakan insentif pajak yang merangsang perusahaan mau berinvestasi di R & D.
Tahap kedua meliputi pengembangan dan adaptasi
teknologi (produk) di negara/wilayah (pasar), antara lain dalam bentuk percobaan dengan petak kecil, ijin regulasi (regulatory clearance) dan rencana prosedur produksi. Selanjutnya menurut Graff, et al. (2000), tahap ketiga adalah produksi benih skala yang lebih besar untuk nantinya dapat memenuhi kebutuhan pasar, diikuti tahap keempat berupa penyiapan pemasaran produk dan distribusinya kepada pengguna akhir. Tahap kelima adalah berupa adopsi produk/ teknologi oleh petani, dimana adopsi ini dipengaruhi oleh tiga jenis ketidakpastian dalam hal teknologi, strategi komersialisasi, dan ketidakpastian pasar. Adopsi (difusi) teknologi dalam suatu negara/wilayah terjadi secara perlahan; kenyataan menunjukkan bahwa difusi – yang diukur dengan luasan varietas baru dan persentasi petani yang menggunakannya – cenderung berbentuk fungsi huruf-S (Gambar 7) yang sekaligus menggambarkan variasi heterogenitas petani dan dinamisnya proses learning-by-doing (dari sisi penyedia teknologi) dan learningby-using (dari sisi pengadopsi teknologi).
Adopter awal merupakan perorangan
41
yang memiliki akses terhadap teknologi baru yang biasanya terdiri dari bagian kecil populasi.
Dengan berjalannya waktu, harga teknologi baru akan mulai
menurun dan akumulasi pengalaman dan bagian populasi yang lebih besar akan mulai mengadopsi hingga suatu titik jenuh tercapai.
Persentase adopter
Saturated
Takeoff Early adopter s
Waktu
Gambar 7. Kurva sigmoid adopsi teknologi (Graff, et al., 2000).
Mengenai ketidakpastian pasar (market uncertainty), dalam kaitannya dengan bioteknologi Graff, et al. (2000) mengemukakan bahwa walaupun inovator atau penyedia teknologi begitu yakin dengan kelayakan teknis suatu inovasi teknologi, tetap terdapat ketidakpastian berkaitan dengan nasib untuk adopsi teknologi. Adopter potensial menghadapi suatu ketidakpastian apakah produk teknologi yang mereka hasilkan akan diterima oleh konsumen. Antara inventor/inovator dan juga regulator terdapat juga informasi yang tidak seimbang (asymmetric information) tentang proses evolusi adopsi teknologi dan masingmasing memberikan penilaian terhadap teknologi tersebut. Studi ex-ante terhadap faktor-faktor ekonomi antara lain yang mencakup keputusan adopsi oleh petani, permintaan pangan hasil rekayasa genetika, efek kesejahteraan dan dampak langsung atau tidak langsung bagi lingkungan, semuanya merupakan informasi penting bagi pembuatan keputusan.
Dalam kaitan ini Graff, et al. (2000)
42
menekankan lebih pentingnya menelaah secara mendalam perspektif “demandpull” (sisi penerima produk/teknologi) daripada perspektif “technology-push” (sisi penyuplai produk/teknologi). Kunci utama dalam evaluasi manfaat dari adopsi suatu teknologi baru khususnya teknologi varietas adalah respon adopsi disetir oleh keuntungan relatif yang diperoleh. Alston, et al. (2002) dalam analisis ex ante adopsi benih jagung transgenik tahan CRW (corn rootworm) mengasumsikan bahwa petani akan mengadopsi bila keuntungan yang diperoleh lebih tinggi.
Secara aljabar
dinyatakan dengan persamaan:
ait = 1 jika it cit atau
ait = 0 jika it < cit dimana
it = (1- it) (Pit Yit – Yit Pit - VCt - Sit) ait = variabel indikator dikotomus yang bernilai 1 kalau petani pada wilayah i mengadopsi jagung tahan CRW pada tahun ke-t; cit = biaya tetap per satuan luas terkait dengan teknologi jagung transgenik tahan CRW yang memperhitungkan penurunan biaya input pestisida akibat penggunaan teknologi ini, dan juga terkait dengan biaya risiko atau biaya informasi karena sifat teknologi baru;
it = perbedaan keuntungan total per satuan luas antara jagung tahan CRW dan teknologi alternatif terbaik (next- best technology),
it = fraksi atau bagian lahan/wilayah yang harus ditanam dengan teknologi alternatif terbaik (jagung non-transgenik atau tanaman lain) sebagai prasyarat refuge untuk jagung tahan CRW dalam manajemen resistensi, Pit = harga pasar komoditas jagung pada tahun t, dan Pit = harga diskon jagung tahan CRW dibanding jagung konvensional, Yit = produktifitas rata-rata, dan Yit = perbedaan produktifitas jagung tahan CRW dibanding jagung konvensional,
43
VCt = perbedaan biaya tidak tetap (variable cost) antara jagung tahan CRW dengan teknologi alternatif terbaik, Sit = perbedaan harga benih antara jagung tahan CRW dengan teknologi alternatif terbaik.
Selanjutnya Alston, et al. (2002)
merumuskan manfaat total yang
diperoleh petani (FB, farmers benefits) pada wilayah tertentu dari adopsi adalah keuntungan dengan adopsi teknologi per satuan luas dikalikan dengan luas total adopsi dengan rumusan: FBit = it Ait dan manfaat petani agregat nasional pada waktu t adalah : FBt = FBit Sedangkan manfaat kotor yang diperoleh industri benih (GNFB, gross non- farmers benefits) pada waktu t dalam hal ini adalah: GNFBt = Sit Ait
Smale, et al. (2006) melakukan review terhadap berbagai artikel jurnal ilmiah yang menggunakan analisis biaya-manfaat dari adopsi kapas Bt di beberapa negara seperti pada Tabel 5. Selain ditentukan oleh keuntungan ekonomi yang mungkin diperoleh, proses adopsi sangat ditentukan oleh perilaku atau kehendak petani berkaitan dengan masuknya suatu teknologi baru. Seperti yang telah dikemukakan pada Bab Pendahuluan, rumah tangga petani (Meinzen-Dick, 2001 dalam FalckZepeda, et al., 2002) sebagai mata pencaharian berkelanjutan selalu berusaha untuk mencapai kehidupan yang baik dan berkelanjutan. Rumah tangga petani dalam rangka mencapai tujuannya antara lain meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan- akan membuat keputusan pada pilihan apakah mengadopsi suatu teknologi baru.
Oleh karena itu cara yang langsung mendapatkan perspektif dari
adopter potensial merupakan suatu pendekatan tepat dalam menangkap prospek berhasil tidaknya adopsi suatu teknologi baru.
44
Tabel 5. Penelitian terdahulu tentang penilaian dampak ekonomi kapas Bt dan metode yang digunakan (Smale, et al., 2006). Negara
Penulis
Tahun
Tipe data
Argentina
Qaim, M., dan A. de Janvry
2003
Survei
China
Fok, M., W. Liang, G. Wang, and Y. Wu Yang, P.Y., M. Iles, S. Yan, and F. Jolliffe Bennett, R., Y. Ismael, S. Morse, and B. Shankar Qaim, M., and D. Zilberman
2005
Petani 207
2005
Survei, key informant, data pemerintah Survei
2005
Survei
Petani 622
2003
Percobaan on-farm
Petani 157
Mexico
Traxler, G., and S. Godoy-Aliva
2004
Survei, key informant
Petani 152
Afrika Selatan
Gouse, M., J. Kirsten, B. Shankar, and C. Thirtle
2005
Survei, key informant
Petani 100
China
India
India
Unit dan ukuran sampel Usahatani 299
Petani 92
Metode
Analisis survei usahatani, CVM, model adopsi, WTP Analisis survei usahatani, review, analisis kelembagaan Analisis usahatani
Analisis survei usahatani, analisis regresi ganda Analisis data percobaan, fungsi yielddensity, fungsi logistik pengendalian kerusakan (damage control) Analisis usahatani, surplus ekonomi Analisis usahatani, produksi stokastik, fungsi damage control, analisis value of marginal product, analisis kelembagaan
Metode CVM merupakan metode langsung yakni dengan menanyakan sekumpulan orang yang relevan seberapa besar keinginan untuk membayar harga (WTP) guna memperoleh suatu barang dan jasa tertentu yang dihasilkan atau keinginan untuk menerima kompensasi (willingness to accept, WTA) atas suatu
45
perubahan ke arah yang lebih buruk. Disebut langsung karena dilakukan survei kepada responden yang kemudian menyatakan keinginan membayar (expressed WTP) atau WTA. CVM dirancang untuk mengukur perilaku atau kehendak (behavioural intentions). Hal ini terkait dengan fakta bahwa preferensi seseorang akan sesuatu dapat diperoleh melalui suatu wawancara (Kriström, 2002; Perman, et al., 2003; Fauzi, 2004). Kriström (2002) memberikan uraian ringkas mengenai sejarah metode CVM mulai tahun 50-an dan 60-an yang masih jarang digunakan hingga menjadi suatu metode pengukuran kesejahteraan (method for welfare measurement) bagi pasar yang belum muncul atau tidak tersedia. CVM kadang-kadang dirujuk juga sebagai metode preferensi yang diungkapkan (stated preference method); dan disebut sebagai „continget valuation‟ karena valuasi yang dilakukan tergantung pada skenario hipotetis yang disampaikan pada responden dengan tujuan mendapatkan valuasi eksplisit atau implisit terhadap suatu aset lingkungan. Responden diminta untuk menyatakan WTP terhadap perubahan (kuantitas atau kualitas) lingkungan (Shechter, 2000). Perman (2003) juga menegaskan hal yang sama dimana CVM dapat mengukur UV (use value) dan NUV (non-use value). Dalam tahap operasional penerapan pendekatan CVM pada dasarnya terdapat beberapa tahap kegiatan atau proses.
Tahapan tersebut dapat
dikategorikan sebagai berikut (Fauzi, 2004; Perman, et al., 2003): Tahap membuat hipotesis pasar: Pada awal proses kegiatan CVM, seorang peneliti biasanya harus terlebih dahulu menyusun instrumen survei untuk memperoleh WTP/WTA responden. Komponen-komponen yang saling terkait dalam tahap ini adalah membuat hipotesis pasar terhadap sumberdaya yang akan dievaluasi dan menentukan apakah menanyakan WTP atau WTA. Tahap pelaksanaan survei: Instrumen survei yang sudah disiapkan dilakukan pada suatu contoh populasi melalui survei langsung dengan kuesioner (face to face), wawancara melalui telepon, maupun lewat surat atau e-mail. Tujuan survei ini adalah untuk mendapatkan nilai maksimum WTP dari responden terhadap suatu proyek, misalnya perbaikan lingkungan. Nilai ini dapat diperoleh dengan teknik:
46
(1) Pertanyaan format terbuka (open question format): responden diberikan kebebasan untuk menyatakan nilai moneter untuk suatu proyek perbaikan; (2) Prosedur pilihan dikotomi (dichotomous choice procedure) atau model referendum: responden diberi pilihan nilai moneter tertentu, kemudian diminta persetujuan atau tidak; (3) Payment cards: nilai diperoleh dengan cara menanyakan apakah responden mau membayar pada kisaran nilai tertentu dari nilai yang sudah ditentukan sebelumnya; atau (4) Permainan lelang (bidding game): responden diberi pertanyaan berulang-ulang tentang apakah mereka mau membayar sejumlah uang tertentu, kemudian diturunkan atau dinaikkan tergantung respons yang diberikan sebelumnya, pertanyaan dihentikan hingga diperoleh nilai tetap. Tahap menghitung WTP/WTA dan menganalisis respon survei: Setelah survei dilaksanakan, tahap selanjutnya adalah menghitung nilai tengah rataan dan/atau median WTP untuk populasi. Median tidak terlalu terpengaruh dengan adanya pencilan. Sebagian besar CVM menghitung baik nilai tengah rataan dan median, namun median digunakan untuk menghitung WTP total. Analisis juga dilakukan untuk menentukan ketelitian (akurasi) hasil survei ini. Tahap memperkirakan kurva lelang (bid curve):
Kurva lelang
diperoleh dengan, misalnya, meregresikan WTP/WTA sebagai variabel dependen dengan beberapa variabel bebas. W = ƒ ( I, E, A, Q ) dimana I adalah pendapatan, E adalah upaya, A adalah akses informasi, dan Q adalah kualitas sumberdaya. Tahap agregasi data dan analisis sensitivitas: Tahap terakhir dalam CVM adalah agregasi rataan dari statistik sampel ke rataan populasi dimana nilai rataan ini dapat digunakan dalam analis manfaat-biaya. Analisis sensitivitas dapat juga dilakukan pada tahap ini yang bentuknya antara lain: pembahasan fungsi/kurva nilai WTP rataan dipengaruhi variasi dalam aspek demografi, sosialekonomi, dan perilaku responden seperti dirumuskan dalam persamaan di atas.
47
Meskipun CVM diakui sebagai pendekatan yang cukup baik untuk mengukur WTP, namun ada beberap kelemahan yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaannya. Kelemahan yang utama adalah timbulnya bias yang bisa terjadi karena overstate maupun understate secara sistematis dari nilai yang sebenarnya. Sumber-sumber bias terutama ditimbulkan oleh dua hal utama, yakni bias akibat strategi yang keliru (strategic bias) dan bias akibat rancangan penelitian (design bias).
Bias strategis misalnya dapat terjadi saat melakukan wawancara dimana
dari responden akan dipungut biaya atau fee sehingga timbul kecenderungan responden untuk memberi respon understate. Sebaliknya jika dinyatakan bahwa wawancara hanya hipotesis maka ada kecenderungan responden menyatakan nilai yang berlebih. Bias rancangan bisa terjadi jika informasi yang diberikan pada responden mengandung hal-hal yang kontroversial. Misalnya responden ditawari untuk melindungi kawasan wisata alam dari pencemaran limbah oleh pengunjung, karcis masuk harus dinaikkan. Tentu saja responden akan memberikan nilai WTP yang lebih rendah daripada jika alat pembayaran dilakukan dengan cara lain misalnya melalui yayasan, trust fund, dan sebagainya (Fauzi, 2004). Dewasa ini CVM merupakan pendekatan standar untuk mengukur WTP konsumer/pengguna dengan menanyakan pilihan dikotomus melalui wawancara tatap muka, surat, atau telepon (Li, et al., 2002). Li et al. (2002) melakukan survei kepada responden dengan menanyakan WTP untuk suatu harga premium atau WTA untuk suatu harga diskon bagi produk kedelai yang berasal dari bahan GMO atau non-GMO di Beijing, China. Seperti telah disinggung dalam Sub-Bab 2.4. sebelumnya, Moon dan Balasubramanian (2003) juga menggunakan metode valuasi kontingen (CVM) dalam survei untuk menanyakan keinginan membayar (WTP) para konsumen apakah mau membayar lebih mahal (premium) bagi pangan sereal non-transgenik daripada pangan sereal berasal dari bahan baku transgenik. Penelitian mereka didasari pada kepedulian publik – khususnya di Uni Eropa (UE) - tentang risiko potensial organisme modifikasi genetika (GMO) yang mungkin timbul pada kesehatan manusia dan lingkungan yang telah menimbulkan isu penting dalam perdagangan dan rantai suplai output pangan di pasar domestik dan internasional, bahkan moratorium pangan transgenik di UE.
Lebih lanjut Moon dan
48
Balasubramanian
mengemukakan
bahwa
debat
dan
perselisihan
yang
berkepanjangan antara Amerika, Argentina dan Kanada di satu pihak dan Uni Eropa di pihak lainnya telah dibahas di forum WTO, hingga pada tahun 2003 Parlemen Eropa menelorkan legislasi pelabelan pangan transgenik sebagai jalan mengakhiri moratorium tersebut. Adanya pergeseran kebijakan ini memungkinkan konsumen di UE khususnya Inggris tempat fokus penelitian mereka dihadapkan pada pilihan yang tersedia di pasar supermarket antara pangan transgenik dan non-transgenik.
Kemungkinan adopsi transgenik di pasar Unie Eropa (UE)
konsumen akan memperoleh kesempatan memilih pangan transgenik dengan harga yang lebih murah- khususnya bagi pihak konsumen yang (1). setuju/akseptabel terhadap pangan transgenik, dan (2). peka terhadap harga (price conscious). Moon dan Balasubramanian (2003) menggunakan instrumen CVM untuk mengukur keinginan atau perilaku konsumen yang rela dengan WTP premium (lebih mahal) untuk bahan pangan sereal non-GMO daripada bahan pangan sereal dari bahan GMO, disamping itu mereka juga mengukur WTA bagi suatu diskon harga bahan pangan sereal GMO. Dalam hal ini asumsi dasar yang dikemukakan adalah selisih harga pangan non-GMO dan pangan sereal GMO setidak-tidaknya meliputi biaya pengujian bahan, label dan pemasaran. Dalam kaitan ini menarik apa yang dipertanyakan oleh Graff, et al. (2000) seberapa besar nilai premium WTP yang hendak dibayar oleh konsumen terhadap kualitas hedonik berupa sifat kemurnian dan alami suatu bahan pangan; serta bagaimana mengkuantifikasi nilai tersebut kalau dibandingkan dengan alternatif bahan pangan lainnya seperti yang diproduksi dengan penggunaan pestisida. Dalam survei yang dilakukan Moon dan Balasubramanian (2003), skenario yang dijadikan pertimbangan responden adalah suatu keadaaan dimana: “Konsumen mungkin harus membayar harga lebih tinggi bagi pangan nonGMO akibat biaya tambahan dalam segregasi produksi, sistem pemasaran, dan biaya tambahan dalam pengujian, sertifikasi dan pelabelan. Andaikan responden/konsumen masuk ke toko bahan pangan atau supermarket untuk membeli bahan pangan sereal, dan di sana ada pilihan berupa corn flakes, frosted flakes, atau pop corn dalam dua jenis: (1) terbuat dari bahan hasil
49
produksi tanaman GMO, dan (2) terbuat dari bahan konvensional hasil tanaman non-GMO”. Terhadap situasi ini, Moon dan Balasubramanian mengajukan pertanyaan valuasi kontingen WTP sebagai berikut yang menggambarkan siatuasi hipotetis di toko grosir atau supermarket (Tabel 6). CVM yang diajukan mencakup tiga format pertanyaan: (1) close-ended format WTP, (2) payment card format WTP, dan (3) payment card format WTA.
Tabel 6. Pertanyan valuasi kontingen untuk bahan pangan sereal pada situasi hipotetis (Moon dan Balasubramanian, 2003). Format pertanyaan
Pertanyaan CVM
Close-ended WTP
Misalkan harga pangan sereal GMO adalah $4 per kotak dan harga pangan sereal non-GMO adalah $X per kotak. Apakah Anda rela WTP membayar lebih mahal sebesar $Y per kotak bahan non-GMO? (kisaran X adalah $4.10 – 7.00; dalam hal ini kisaran Y (premium) yang ditanyakan bervariasi $0.10 – 3.00 di antara responden). Untuk harga premium yang ditanyakan responden diminta menjawab di antara 3 pilihan: (a) ya, (b) tidak, dan (c) tidak tahu. Misalkan harga pangan sereal GMO adalah $4 per kotak dan harga pangan sereal non-GMO lebih mahal dari $4 namun belum ditentukan. Berapa yang paling tinggi Anda mau WTP lebih dari harga $4 di atas untuk mendapatkan bahan non-GMO? (payment card berkisar $0.00 – 3.00 atau lebih tinggi). Responden diminta melihat semua kisaran nilai premium dan memilih suatu nilai. Misalkan harga pangan sereal baik GMO maupun non-GMO adalah $4 per kotak. Toko/supermarket memberikan diskon untuk mempromosikan bahan pangan GMO. Berapa diskon minimum di bawah harga $4 sehingga Anda mau membeli bahan pangan GMO? (kisaran diskon adalah $0.00 – 3.00 atau lebih tinggi). Responden diminta melihat semua kisaran nilai diskon dan memilih suatu nilai.
Payment card WTP
Payment card WTA
Terhadap pertanyaan valuasi close-ended Moon dan Balasubramanian menemukan bahwa persentase responden di UK untuk membayar lebih mahal semakin menurun dengan meningkatnya nilai premium.
Jika nilai premium
$0.10, sebanyak 13,9% responden menyatakan tidak akan membeli bahan nonGMO; sementara jika nilai premium setinggi $3.00, ternyata 55,9% responden tidak mau membeli bahan pangan non-GMO karena terlalu mahal. Responden yang menjawab „tidak‟ pada pertanyaan close-ended dapat digolongkan pada
50
kategori kelompok yang mungkin: (1). merasa pangan GM dan non-GMO sama saja, (2). menganggap perbedaan harga terlalu tinggi, dan (3) memprotes masuknya bahan pangan GMO karena berpendapat pemerintah seharusnya menyediakan pangan non-GMO dalam jumlah cukup sejak semula.
Sebaran
respon WTP dengan payment card menunjukkan sekitar 17% konsumen mengharapkan tidak ada perbedaan harga; sedangkan respon WTA menunjukkan 16% konsumen memilih pangan GMO walaupun tanpa diskon. Kesimpulan
analisis
CVM
yang
dilakukan
oleh
Moon
dan
Balasubramanian ini menunjukkan bahwa produk pangan berbahan baku GMO mendapatkan tempat yang cukup berarti, atau dengan kata lain terbuka pada pilihan-pilihan yang ada bagi konsumen yang melihat harga sebagai satu pertimbangan penting. Giannakas dan Yiannaka (2004) juga menemukan bahwa efek pasar dan kesejahteraan dari introduksi kedelai dengan kandungan oleat yang tinggi (high-oleic soybean) ditentukan oleh harga relatif produk berbahan baku kedelai oleat tinggi ini, disamping faktor preferensi konsumen dan manfaat yang diperoleh dari produk baru tersebut. Semakin rendah harga produk berbahan baku kedelai oleat tinggi, semakin besar nilai atau preferensi yang diberikan konsumen, semakin tinggi penerimaan pasar untuk mensubstitusi kedelai konvensional, dan semakin tinggi perolehan keuntungan produser kedelai.
2.6. Sistem Produksi Usahatani Jagung Di Indonesia jagung merupakan tanaman pangan terpenting kedua setelah padi dimana permintaan atas komoditas ini terus bertumbuh.
Produksi jagung
nasional bertumbuh sebesar rata-rata 4,07% per tahun selama 3 dekade terakhir terutama akibat adopsi teknologi produksi yang semakin baik, khususnya benih hibrida di sentra produksi jagung utama seperti propinsi Sumut, Lampung, Jateng, dan Jatim (Gambar 8). Namun demikian, tingginya produksi nasional ini belum mampu mengimbangi kebutuhan domestik sehingga mengakibatkan volume impor yang tinggi (Swastika, et al., 2004). Lebih lanjut menurut Swastika, et al. (2004) kendala produksi yang dihadapai petani jagung adalah: harga rendah pada saat panen, harga input yang rendah, jarak yang jauh antara area produksi ke industri pakan dan industri benih,
51
kurangnya promosi hasil litbang pemerintah, dan rendahnya modal petani. Sistem produksi yang dilakukan petani jagung tergantung pada wilayah geografis, pola tanam dan pilihan pengelolaan.
Masalah-masalah yang dihadapi dalam
peningkatan produksi jagung nasional antara lain adalah (Subandi, 1998 dalam Swastika, et al.., 2005) kesuburan tanah yang buruk, petani dengan dukungan sumberdaya yang lemah, rendahnya adopsi teknologi, penanangan pasca-panen yang jelek, dan ketidakpastian harga pada saat-saat tertentu atau musim panen.
Gambar 8. Sentra produksi jagung di Indonesia pada tahun 2004 (Swastika, et al., 2004).
Berbagai upaya telah dilakukan untuk mengatasi kendala-kendala di atas dalam rangka peningkatan produksi jagung nasional dalam 2 dasawarsa belakangan, akan tetapi produktifitas jagung Indonesia masih terbilang rendah bila dibandingkan dengan: potensi hasil benih hibrida yang dilepas sekitar 7-9 ton/ha dan produktifitas di negara lain. Saat ini tingkat produktifitas beberapa tanaman pangan utama di Indonesia masih tergolong rendah, sehingga impor beberapa komoditas harus dilakukan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Sebagai contoh, produktifitas jagung (yield) di Indonesia dalam 5 tahun terakhir masih pada kisaran 2,8 – 3,4 ton per hektar, masih tergolong rendah dibandingkan dengan negara lain seperti Argentina, China, Mesir, dan AS walaupun masih lebih tinggi dibandingkan beberapa negara di Afrika. Produktifitas jagung Indonesia kurang lebih sama dengan Vietnam (FAOSTAT, 2006) (Tabel 7).
52
Tabel 7. Produktifitas jagung (ton/ha) di berbagai negara Produktifitas Jagung
Tahun
(ton/ha)
2000
2001
2002
2003
2004
2005
Argentina
5,43
5,45
6,17
6,47
6,43
7,12
China
4,60
4,70
4,93
4,81
5,12
5,06
Ghana
1,46
1,32
1,49
1,62
1,58
1,58
India
1,82
2,00
1,64
1, 98
2,00
1,96
Indonesia
2,76
2,84
3,09
3,24
3,34
3,42
Kenya
1,44
1,70
1,51
1,62
1,28
1,29
Mexico
2,46
2,58
2,71
2,53
2,75
2,56
Philippines
1,80
1,82
1,80
1,91
2,14
2,08
South Africa
3,00
2,41
2,85
2,66
3,11
3,59
Thailand
3,68
3,73
3,73
3,85
3,87
3,63
US
8,59
8,67
8,16
8,92
10,06
9,31
Viet Nam
2,75
2,96
3,08
3,43
3, 49
3,52
Sumber: FAOSTAT data (2006) (http://faostat.fao.org/faostat/)
Grafik pada Gambar 9 menunjukkan perkembangan areal panen (juta hektar) dan produktifitas (ton/ha) jagung dalam kurun waktu 1990 – 2004 (Badan Litbang Pertanian, 2005).
Tampak bahwa luas areal pertanaman atau panen
jagung di Indonesia dapat dikatakan tidak jauh bergeser dari angka 3,3 – 3,5 juta hektar selama 10-15 tahun terakhir. Sementara itu, laju peningkatan produktifitas terlihat agak cukup menanjak khususnya setelah akhir tahun 90-an. Periode ini ditandai dengan semakin banyanya varietas-varietas hibrida yang dilepas secara komersial ke pasar benih serta didukung oleh sistem produksi dan distribusi benih yang semakin meluas. Dari data yang ada juga menunjukkan bahwa Indonesia merupakan pengimpor kedelai dan bungkil kedelai dari negara-negara utama penghasil kedelai seperti Amerika Serikat, Argentina, dan Brasil.
Sejak tahun 2000
jumlahnya melebihi 2,5 juta jon setiap tahunnya. Sementara itu, Indonesia merupakan pengimpor (net importer) komoditas jagung masih rata-rata di atas 1 juta ton per tahun dengan nilai ratusan juta dollar AS (Tabel 8). Dalam kurun waktu 2000-2004, Indonesia mengimpor jagung dari AS, China, Brasil, Argentina
53
dan Thailand. Angka-angka ini menunjukkan impor jagung yang signifikan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri (FAOSTAT, 2006; CropLife, 2005).
4000
Areal panen
Produktifitas
4.5 4.0
3500
3.5
3000
3.0 2500 2.5 2000
2.0
Areal panen (1000 Ha) Produktifitas (Ton/Ha)
1500
1.5
1000
1.0 90 91 92 93 94 95 96 97 98 99 00 01 02 03 04 05 06 07
Tahun Gambar 9. Perkembangan areal panen dan tingkat produktifitas jagung di Indonesia tahun 1990-2004 (Sumber data: BPS, diolah)
Tabel 8. Volume dan nilai impor-ekspor jagung Indonesia, 2000-2005 (volume dalam ribu ton dari 2 sumber data, nilai dalam US $ ribu). Indonesia Tahun 2000 2001 2002 2003 2004 2005 Volume impor 1.265 1.036 1.154 1.346 1.089 1.856 Nilai impor 157.949 125.512 137.982 168.658 177.675 309.000 Volume ekspor 28,1 90,5 16,3 33,7 32,7 54,0 Nilai ekspor 4.984 10.500 3.334 5.517 9.074 9.050 Volume impor*)
Negara asal
961 AS (23%), China (74%), Argentina (3%)
950 AS (65%), India (35%)
1.320
1.705
AS (4%), China (95%), Thailand (1%)
AS (4%), China (95%), Thailand (1%)
706 AS (25%), Argentina (43%), Thailand (22%), India (10%)
Sumber: FAOSTAT data (2006) (http://faostat.fao.org/faostat/) ; *) CropLife (2005)
54
Sudaryanto dan Rusastra (2006) menemukan pertumbuhan produksi, areal panen, dan produktifitas varietas unggul baru yang melambat selama periode 1976-2003.
Terjadi pelambatan laju pertumbuhan produksi dan areal panen;
serta pertumbuhan produktifitas (yield) yang tidak menunjukkan terobosan yang berarti (Tabel 9). Tabel 9. Pertumbuhan produksi, areal panen, produktifitas varietas unggul baru (%/tahun), 1976-2003 (Sudaryanto dan Rusastra, 2006). Pertumbuhan (dalam %)
Tahun
1976-1986 1986-1990 1990-2000 Produksi 10,2 4,3 1,6 Areal panen 5,4 1,2 -1,1 Produktiftas a) 4,8 3 2,7 (1,3) (2) (2,6) Varietas baru b) 4 5,9 8,8 (3) (5) (26) a ) Angka dalam kurung adalah produktifitas ton/ha b ) Angka dalam kurung adalah jumlah varietas unggul baru
2000-2003 1,7 -1,2 2,9 (3) 8,1 (2)
55
III.
METODE PENELITIAN
3.1. Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilaksanakan selama periode April 2007 – Juni 2008 dengan lokasi penelitian di Jakarta, Bogor, Jawa Timur dan Lampung. Untuk responden pakar, penelitian difokuskan di Jakarta dan Bogor (Lampiran 1). Untuk survei usahatani, dilakukan wawancara dengan petani jagung hibrida di 2 (dua) propinsi utama produsen jagung yakni Jawa Timur dan Lampung.
Dianggap bahwa
dengan mengambil kedua propinsi ini variasi profil dan kondisi petani jagung hibrida di Indonesia dapat terwakili. Propinsi Jawa Timur dan Lampung berturutturut memberikan kontribusi 36% dan 12% terhadap produksi nasional.
3.2. Rancangan Penelitian Berdasarkan kerangka perumusan dan pemecahan masalah yang dikemukakan pada Bab Pendahuluan, penelitian ini dirancang untuk menjawab pertanyaan tentang kelayakan, potensi ekonomi dan indeks keberlanjutan dari adopsi benih jagung transgenik. Dengan demikian diharapkan dapat memenuhi tujuan umum penelitian untuk menganalisis kelayakan jagung transgenik di Indonesia dari aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan.
Tujuan
umum dibagi menjadi 5 tujuan rinci seperti telah diuraikan pada Pendahuluan. Untuk itu rancangan penelitian yang telah dilakukan untuk menjawab tujuan umum dan tujuan rinci penelitian mencakup pengumpulan berbagai jenis data dari berbagai sumber, teknik pengambilan contoh, teknik analisis data, dan keluaran yang diharapkan seperti tertera pada Tabel 10. Penilaian manfaat adopsi benih jagung transgenik dilakukan pada tingkat usahatani yakni menilai kelayakan finansialnya dibandingkan dengan usahatani jagung hibrida saat ini (with vs. without). Analisis input-output usahatani yang dilakukan mengacu pada Hareau (2002) dan Simatupang (2002). Tingkat produktifitas benih jagung transgenik diambil dari percobaan yang pernah dilakukan dan data dari negara lain dengan kondisi agroekosistem yang mirip. Analisis kebersediaan petani untuk membayar (WTP) benih jagung transgenik dikaji dengan CVM menggunakan teknik payment card (Moon dan Balasubramanian, 2003).
56
Tabel 10. Rancangan penelitian yang dilakukan guna memenuhi tujuan dan menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian Tujuan
Jenis dan Sumber Data
Teknik Teknik Pengambilan Analisis Responden Data
Keluaran
(1) Menganalisis kelayakan finansial dan ekonomi benih jagung transgenik dibandingkan dengan benih jagung hibrida
Data usahatani jagung melalui wawancara petani
Penarikan contoh klaster secara acak
Analisis input-output usahatani
Data sekunder
Pencarian data yang relevan
(2) Menganalisis kebersediaan petani untuk membeli benih jagung transgenik (3) Menganalisis keberlanjutan usahatani jagung dengan adopsi benih transgenik
Data usahatani jagung melalui wawancara petani
Penarikan contoh klaster secara acak
Proyeksi produksi dengan kurva sigmoid Metode CVM
Keragaan usahatani saat ini vs. dengan adopsi benih jagung transgenik Skenario produksi jagung dengan adopsi transgenik
Data usahatani jagung melalui wawancara petani
Penarikan contoh klaster secara acak
Teknik MAVT
(4) Menganalisis faktor-faktor penentu agar petani berhasil mengadopsi benih jagung transgenik (5) Menganalisis aspek peraturan dan kelembagaan yang ada mendukung terjadinya adopsi
Survei pendapat pakar tentang adopsi transgenik
Identifikasi kepakaran dan pengetahuan akan teknologi transgenik
Teknik AHP
UndangUndang, peraturan, keputusan Pemerintah
Pencarian subyek UU/peraturan yang relevan
Metode rasionalis dan analisis gap
Kurva dan nilai WTP petani terhadap harga benih jagung transgenik Keragaan indeks keberlanjutan usahatani saat ini vs. dengan adopsi benih jagung transgenik Nilai skor/ urutan prioritas faktor-faktor penentu adopsi benih jagung transgenik Kajian sistem regulasi dan kesenjangan sebagai penghambat adopsi benih transgenik
Keberlanjutan usahatani diukur melalui indikator sosial, ekonomi dan lingkungan
dengan metode MAVT mengacu pada teknik agregasi yang
dikemukakan oleh Azapagic dan Perdan (2005). Analisis terhadap faktor-faktor
57
penentu suksesnya pengembangan benih transgenik dilakukan melalui wawancara pakar dengan teknik AHP terhadap 7 pilihan benih tanaman transgenik yang potensial (Lampiran 1). Pembandingan secara berpasangan dilakukan secara numerik (Marimin, 2004) sesuai tingkat kepentingan atau preferensi antara kriteria, sub-kriteria, indikator dan alternatif. Perangkat lunak yang digunakan adalah
SuperDecision
versi
1.6.0
yang
diperoleh
dari
situs:
http://www.SuperDecision.com (Saaty dan Saaty, 2003). Beberapa peneliti telah menggunakan AHP untuk menilai prioritas alternatif program bioteknologi seperti Braunschweig, et al. (1999) dan Falconi (1999). 3.3. Jenis Data dan Peubah yang Diamati 3.3.1. Jenis Data dan Peubah yang Diamati untuk Tujuan (1): Kelayakan Finansial dan Ekonomi Jagung Transgenik Untuk tujuan ini dibutuhkan peubah atau informasi terkait aspek sosial, ekonomi dan ekologi pada tingkat usahatani seperti disajikan pada Tabel 11.
Tabel 11. Data dan informasi yang dikumpulkan pada tingkat usahatani Aspek
Data dan Informasi yang diamati/dikumpulkan
Ekologis
(1) Jumlah pupuk dan kompos (2) Jumlah dan jenis pestisida (herbisida dan insektisida) (3) Aspek biofisik lahan (irigasi, tadah hujan, pola tanam, kemiringan lahan, tingkat kesuburan tanah) Ekonomi (1) Data I-O untuk analisis usahatani (pendapatan, laba, rasio B/C) (2) Produktifitas jagung (3) Data hasil percobaan yang pernah dilakukan (4) Data sekunder luas areal, produksi, produktivitas, ekspor-impor, konsumsi, harga, dan informasi lain Sosial (1) Penguasaan aset usahatani (luas pertanaman jagung) (2) Persentase kontribusi usahatani jagung bagi penerimaan keluarga (3) Tingkat pendidikan petani (4) Afiliasi kelompok
Dimensi ekologi usahatani terdiri dari data jumlah pupuk dan kompos, jumlah dan jenis herbisida dan insektisida, dan aspek biofisik lahan (irigasi, tadah hujan, pola tanam, kemiringan lahan, tingkat kesuburan tanah). Aspek ekonomi meliputi data input-output: agro-input, tenaga kerja, produktifitas, harga,
58
penerimaan dan laba. Untuk produktifitas jagung transgenik diperoleh dari data hasil percobaan dan referensi dari Filipina. Disamping itu, dikumpulkan data sekunder luas areal, produksi, produktivitas dan volume ekspor-impor. Aspek sosial usahatani yang dikumpulkan adalah penguasaan aset usahatani
(luas
pertanaman), persentase kontribusi usahatani jagung bagi penerimaan keluarga, tingkat pendidikan petani dan afiliasi kelompok. 3.3.2. Jenis Data dan Peubah yang Diamati untuk Tujuan (2): Kebersediaan Petani Membayar Benih Jagung Transgenik Untuk tujuan ini jenis data yang dibutuhkan adalah: tingkat harga yang dibayar petani saat ini untuk memperoleh benih jagung hibrida per satuan unit (kg); dan variabel harga yang bersedia dibayar oleh petani dengan cara menanyakan petani seberapa besar keinginan untuk membayar (WTP) guna memperoleh/mengadopsi benih jagung transgenik.
3.3.3. Jenis Data dan Peubah yang Diamati untuk Tujuan (3): Indeks Keberlanjutan Usahatani Untuk analisis indeks keberlanjutan usahatani dibutuhkan jenis data yang sama dari survei usahatani petani jagung. Untuk aspek ekologis dikumpulkan data berupa jumlah pupuk dan kompos, jumlah dan jenis herbisida dan insektisida, tipe lahan irigasi/tadah hujan, kemiringan lahan, dan tingkat kesuburan tanah. Untuk aspek ekonomi data yang dibutuhkan adalah produktifitas, penerimaan, biaya, keuntungan, dan rasio penerimaan terhadap biaya. Untuk aspek sosial dikumpulkan data penguasaan aset usahatani
(luas pertanaman), kontribusi
jagung bagi penerimaan keluarga, tingkat pendidikan, dan afiliasi kelompok. 3.3.4. Jenis Data dan Peubah yang Diamati untuk Tujuan (4): Faktor-faktor Penentu Adopsi Benih Transgenik Untuk tujuan ini jenis data yang dibutuhkan adalah parameter atau variabel yang diperoleh berdasarkan pendapat/judgement pakar terhadap pilihan benih transgenik yang ada. Alternatif dibatasi pada pilihan teknologi yang saat ini sedang dikembangkan atau direncanakan introduksinya, yakni berbagai jenis tanaman saat ini sedang diteliti di lembaga penelitian milik Pemerintah seperti
59
padi Bt, kentang LBR (leaf blight resistance), kedelai tahan hama (TH) penggerek polong, dan tomat tahan penyakit virus (TV), dan juga pilihan teknologi yang berasal dari pihak perusahaan swasta seperti jagung Bt, jagung RR (roundup ready) dan jagung RR+Bt (Lampiran 1). Adapun susunan dari tujuan, faktor dan indikator sebagai peubah yang digunakan dalam penilaian pakar dibagi dalam 2 hirarki (Gambar 10-11).
Faktor-faktor Penentu Adopsi Tanaman Transgenik Ekonomi - Produktifitas dan laba bersih - Produksi total - Harga dan biaya Sosial - Penerimaan publik - Persepsi risiko kesehatan - Sebaran manfaat Lingkungan - Fisik - Keragaman varietas - Keamanan hayati Kelembagaan - Industri benih - Kapasitas kelembagaan/SDM - Regulasi
Gambar 10. Struktur hirarki untuk pengembangan benih transgenik.
Pada Gambar 10 diuraikan pengembangan benih transgenik berdasarkan 4 aspek ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan, sedangkan pada Gambar 11 digambarkan sukses adopsi benih transgenik berdasarkan proses transfer teknologi, profil penggunan akhir, dan persepsi publik.
Untuk tiap-tiap
kriteria/faktor diperinci lagi dengan indikator atau sub-kriteria untuk menajamkan faktor apa yang penting diperhatikan untuk terjadinya adopsi. Hirarki sukses adopsi ini dilakukan untuk mempertajam analisis berhasil tidaknya adopsi suatu produk. 60
Sukses Adopsi Produk Benih Transgenik Proses Transfer - Sistem - Kematangan produk - Mekanisme transfer Profil Pengguna Akhir - Perilaku adopsi - Permintaan - Pendidikan Persepsi publik - Sikap terhadap transgenik - Sikap terhadap residu pestisida
Gambar 11. Struktur hirarki untuk penilaian sukses adopsi teknologi benih transgenik.
3.3.5. Jenis Data dan Peubah yang Diamati untuk Tujuan (5): Kajian terhadap Regulasi Produk Rekayasa Genetika Untuk tujuan ini dibutuhkan data dokumen dan informasi tentang dan/atau menyinggung kebijakan dan regulasi bioteknologi pertanian di Indonesia dikumpulkan pada tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri, serta aspek kelembagaan.
Aspek yang dikaji dalam analisis kebijakan
ini berkaitan dengan pokok kebijakan pemerintah dan regulasi yang relevan dengan pengembangan produk dan aplikasi bioteknologi pertanian, yakni: (1). kebijakan umum atau posisi pemerintah, (2). kapasitas kelembagaan dan program penelitian bioteknologi, (3). aspek keamanan hayati (keamanan lingkungan, keamanan pangan dan keamanan pakan), (4). perlindungan varietas dan HKI (hak atas kekayaan intelektual), dan (5). pelepasan varietas.
3.4. Teknik Pengumpulan Data dan Pengambilan Responden 3.4.1. Teknik Pengumpulan Data dan Pengambilan Responden untuk Tujuan (1): Kelayakan Finansial dan Ekonomi Jagung Transgenik Teknik pengumpulan data untuk usahatani dilakukan dengan wawancara petani jagung hibrida di propins Jawa Timur dan Lampung. Kuesioner yang 61
dipakai dan contoh jawaban responden sebagai data primer dari petani jagung hibrida ada pada Lampiran 2. Pengambilan
contoh/responden
dilakukan
secara
cluster
random
sampling4 (Brockett dan Levine, 1984; Nazir, 1988) dengan kombinasi pertimbangan: populasi tersebar secara geografis dan mengelompok secara alami pada kelompok wilayah administratif, tidak terdapat daftar unit observasi yang baku dan/atau sulit/mahal untuk membuatnya.
Seperti yang dikemukakan
terdahulu, diambil sebagai propinsi target adalah Jawa Timur dan Lampung. Pertimbangan lain adalah relatif mudah/murah dicapai untuk pelaksanaan wawancara. Disamping itu, adopsi varietas unggul hibrida termasuk menonjol di kedua propinsi ini. Dengan pertimbangan kedekatan lokasi dan operasional wawancara (segi transportasi, waktu, tenaga dan biaya), di 2 propinsi wilayah penelitian dipilih beberapa kabupaten penghasil jagung yang mewakili (Gambar 12). Di tiap kabupaten/gabungan kabupaten kemudian dipilih petani jagung hibrida sebagai responden baik yang berasal dari suatu hamparan atau berdasarkan kelompok. Cara yang dilakukan adalah sedapat mungkin menghindari petani responden dari kelompok yang sama atau yang sehamparan; secara acak dicari hamparan lain atau kelompok lain dalam memilih responden.
Dengan asumsi profil petani
jagung hibrida yang relatif homogen dalam satu kelompok atau hamparan (sikap terhadap teknologi, orientasi produksi/efisiensi dan pemasaran hasil, akses informasi, dan pengetahuan/ketrampilan budidaya tanaman). Dari tiap klaster kemudian dipilih acak sejumlah unit/petani; jumlah unit sampel dilakukan dengan rumusan merujuk pada Cochran (1977) dan Kish (1965). Dalam tiap klaster kemudian dipilih acak responden sebanyak m k unit.
n k 1 mk n
Total ukuran sampel adalah
4
.
Menurut Brockett dan Levine (1984) dalam Statistics and Probability and Their Applications, untuk studi-studi di bidang pertanian, target populasi dan dan cluster yang mungkin (possible clusters) antara lain adalah usahatani (farms), luasan, dan county. Umumnya alasan untuk memilih cluster tergantung pada faktor-faktor seperti: (i). cluster dapat didefiniskan/dibatasi dengan jelas dan jumlah unitnya dapat ditentukan (atau estimasi jumlahnya); (ii). ukuran cluster tidaklah mesti sama, namun setidaknya terdiri dari jumlah unit yang cukup untuk wawancara; dan wilayah geografisnya terjangkau untuk menghemat biaya transportasi; dan menurut Nazir (1988) (iii). cluster sebaiknya heterogen untuk mengurangi ragam contoh.
62
Propinsi penghasil utama jagung: Jawa Timur dan Lampung Kabupaten penghasil utama jagung di Lampung: Lampung Timur, Lampung Selatan, Lampung Tengah, Lampung Utara, Tanggamus
Kabupaten penghasil utama jagung di Jawa Timur: Kediri, Tuban, Lamongan, Blitar, Nganjuk, Malang, Jombang, Mojokerto, Jember, Banyuwangi, Situbondo, Lumajang, Probolinggo, Bondowoso
dipilih 3 kabupaten :
dipilih 6 kabupaten :
Lampung Timur, Lampung Selatan, Lampung Tengah
Kediri, Blitar, Nganjuk, Malang, Jombang, Mojokerto
dipilih acak nK responden di tiap kabupaten
dipilih acak nK responden di tiap kabupaten
Gambar 12. Skema tahapan pemilihan sampel.
Sebagai perkiraan pertama ukuran sampel acak sederhana pada setiap kelompok (propinsi) dihitung dengan persamaan berikut5: 2
t s m'k r Yˆ
2
dimana t = nilai-t dalam hal ini 1,96 untuk selang kepercayaan 95%, r = kesalahan relatif pendugaan rata-rata di antara 10%, C = (koefisien varians)2, S2 penduga ragam populasi, dan Ŷ penduga rata-rata (produktifitas jagung dan/atau pendapatan petani) populasi. Ukuran sampel awal dihitung dengan nilai-nilai statistik yang diperoleh dari hasil survei sebelumnya6. Mengacu pada Cochran (1977), penentuan ukuran contoh dalam penelitian ini menggunakan nilai-nilai 5
6
Menurut Cochran (1977), ada beberapa cara untuk memakai parameter/penduga statistik untuk formula di atas termasuk yang dari penelitian atau survei lain yang dilakukan sebelumnya dapat digunakan untuk menghitung ukuran sampel. Nilai-nilai statistik untuk setiap cluster diperoleh dari data rata-rata produktifitas atau pendapatan usahatani jagung berdasarkan hasil studi pasar (market research) yang dilakukan di tempat penulis pernah bekerja yang melibatkan sekitar 350 kelompok petani jagung hibrida di Propinsi Jawa Timur dan Lampung.
63
statistik dari survei usahatani jagung yang pernah dilakukan sebelumnya (pengalaman sendiri pada tahun 2006); dalam hal ini digunakan dari data produktifitas usahatani jagung berdasarkan hasil studi pasar (market research) yang dilakukan di Jawa Timur dan Lampung pada tahun 2006 yang masingmasing melibatkan sekitar 100 responden/kelompok petani jagung (Lampiran 3). Ukuran contoh untuk masing-masing klaster yang diperoleh dari perhitungan dengan menggunakan statistik survei sebelumnya dan ukuran contoh aktual yang diambil dalam penelitian ini tertera pada Tabel 12.
Tabel 12. Penentuan jumlah/ukuran contoh berdasarkan nilai statistik dari survei sebelumnya dan jumlah contoh responden yang diambil. Keterangan
Jawa Timur
Lampung
Parameter statistik survei sebelumnya: - Produktifitas rata-rata (Ŷ) 7.040 *) 6.197 *) - S2 4.689.281 4.791.198 - t2 3,8416 3,8416 2 - r 0,01 0,01 Ukuran contoh (mk) hitung 36 48 Ukuran contoh aktual - Blitar 14 - Jombang 11 - Kediri 7 - Malang 12 - Mojokerto 15 - Nganjuk 6 - Lampung Selatan 17 - Lampung Tengah 31 - Lampung Timur 12 Ukuran contoh total per propinsi 65 60 *) berdasarkan riset pasar yang pernah dilakukan pada tahun 2006 **) contoh aktual yang diambil dalam penelitian ini lebih besar dari mk hitung
Dari penentuan ukuran contoh untuk Jawa Timur adalah sebesar 36 responden, sedangkan untuk Lampung sebesar 48 responden. Dalam penelitian ini jumlah responden yang diambil dari gabungan kabupaten di Jawa Timur adalah sebesar 65 responden; sedangkan untuk Lampung sebanyak responden 60 responden sehingga total responden adalah 125 orang. Sementara itu, seorang petani dapat melakukan budidaya usahatani jagung 1 -3 kali dalam setahun, 64
dengan kata lain IP (indeks pertanaman) 1 sampai dengan 3 kali musim tanam pada lahan yang sama oleh petani yang sama. Jumlah responden petani dikalikan dengan rata-rata IP sama dengan jumlah data (data point) untuk menilai/analisis keragaan usahatani per musim. Umumnya petani responden dalam penelitian ini melakukan IP berkisar 1 – 2 kali dalam setahun dengan rata-rata IP di Jawa Timur adalah 1,51 sedangkan di Lampung adalah 1,63. Disamping survei usahatani, juga dikumpulkan data sekunder tentang luas areal, produksi, produktivitas, ekspor-impor, konsumsi, tingkat harga, dan informasi lain dari berbagai sumber seperti Deptan, BPS dan FAOSTAT.
3.4.2. Teknik Pengumpulan Data dan Pengambilan Responden untuk Tujuan (2): Kebersediaan Petani Membayar Benih Jagung Transgenik Besar keinginan petani untuk membayar (willingness to pay) WTP guna memperoleh benih jagung transgenik dilakukan dengan pertanyaan langsung. Keragaan benih transgenik dan manfaatnya dijelaskan terlebih dahulu kepada petani secara verbal dan visual menggunakan gambar bantu. Teknik pertanyaan dalam kuesioner yang dipakai adalah payment card (Tabel 13).
Responden
petani sama dengan responden yang ada pada Tujuan 1. Tabel 13. Teknik payment card untuk mengetahui WTP benih transgenik. Payment card Misalkan harga benih jagung hibrida yang biasa Bapak/Ibu tanam adalah WTP Rp 30.000, dan harga benih jagung transgenik lebih mahal dari harga tersebut, namun belum ditentukan karena belum ada di pasar. [Ditunjukkan fitur dan gambar bantu menjelaskan manfaat benih transgenik dimaksud]. Berapa yang paling tinggi Bapak/Ibu mau WTP lebih dari harga di atas untuk mendapatkan benih jagung transgenik? (payment card berkisar Rp 0 – 32.000 dengan kisaran Rp 4000). Responden diminta melihat semua kisaran nilai premium harga benih transgenik dan memilih suatu nilai.
3.4.3. Teknik Pengumpulan Data dan Pengambilan Responden untuk Tujuan (3): Indeks Keberlanjutan Usahatani Kuesioner yang dipakai dan contoh jawaban responden sebagai data primer dari petani jagung hibrida ada pada Lampiran 2 juga mengandung
65
informasi/data yang dibutuhkan untuk analisis keberlanjutan usahatani. Untuk melihat pengaruh atau dampak dari kemungkinan adopsi benih transgenik terhadap keberlanjutan usahatani dilihat dari 3 aspek yakni ekologis/fisik, ekonomi dan sosial. Responden yang dipakai sama dengan responden dalam Tujuan (1). 3.4.4. Teknik Pengumpulan Data dan Pengambilan Responden untuk Tujuan (4): Faktor-faktor Penentu Adopsi Benih Transgenik Pendapat atau judgement pakar terhadap pilihan benih transgenik yang ada diperoleh melalui wawancara langsung dilakukan dengan para pakar di lembaga penelitian serta industri/perusahaan yang berkaitan dengan teknologi transgenik (bioteknologi). Penentuan pakar dilakukan berdasarkan identifikasi kepakaran dan pengetahuan tentang teknologi transgenik. Pakar yang diundang adalah dari kalangan lembaga penelitian pemerintah, perguruan tinggi dan kalangan industri. Jumlah responden pakar yang diwawancara adalah 6 responden yakni 1 pakar dari PPSHB IPB, 2 pakar dari BB BIOGEN, 1 pakar dari PSE-KP, 1 pakar dari asosiasi industri agrokimia dan benih, dan 1 pakar dari perusahaan benih jagung hibrida (Lampiran 1). 3.4.5. Teknik Pengumpulan Data untuk Tujuan (5): Kajian terhadap Regulasi Produk Rekayasa Genetika Teknik pengumpulan data, informasi dan dokumen yang relevan dilakukan dengan survei literatur dan kepustakaan dari berbagai sumber yang memuat dokumen dan informasi tentang dan/atau menyinggung kebijakan dan regulasi bioteknologi pertanian di Indonesia dikumpulkan pada tingkat undang-undang, peraturan pemerintah, keputusan menteri, serta aspek kelembagaan. Selain dari literatur yang tersedia, informasi sistem peraturan juga diperoleh dari beberapa website terkait. Untuk lingkup sistem budidaya dan perlindungan varietas tanaman dikumpulkan dari website Departemen Pertanian. Untuk topik keamanan hayati diperoleh dari website Kantor Menteri Lingkungan Hidup. Untuk topik pangan diperoleh dari website Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Dokumendokumen tersebut dan juga keputusan yang pernah dibuat terkait produk rekayasa genetika terdapat pada situs Balai Kliring Keamanan Hayati.
66
3.5. Teknik Analisis Data 3.5.1. Teknik Analisis Data untuk Tujuan (1): Kelayakan Finansial dan Ekonomi Jagung Transgenik dan Asumsi-asumsi yang Dipakai Analisis usahatani (analisis input-output) untuk menghitung penerimaan, laba usahatani, dan kelayakan finansial dilakukan dengan pembandingan antara with dan without adopsi teknologi benih transgenik. Kelayakan finansial didefinisikan sebagai kemampuan menghasilkan laba atau hasil untuk pengelolaan usahatani minimum sebesar 20 persen dari biaya total (Simatupang, 2002). Laba finansial usahatani dihitung sebagai selisih antara penerimaan dan biaya total dengan rumus sebagai berikut: RMF = TR – TC
(1)
TR
= P.Q
(2)
TC
= CT + CN
(3)
CT
= Σ Ri. Xi
(4)
CN
= Σ Wj. Zj
(5)
R/C
= TR/TC
(6)
QB
= TC/P
(7)
dimana: RMF = laba atau penerimaan manajemen finansial (Rp/ha) TR
= penerimaan usahatani (Rp/ha)
TC
= biaya total (Rp/ha)
P
= harga jagung yang diterima petani (Rp/kg)
Q
= produktifitas jagung (kg/ha)
CT
= biaya input tradeable (Rp/ha)
CN
= biaya input non-tradeable (Rp/ha)
Ri
= harga input tradeable (Rp/unit)
Xi
= kuantitas input tradeable (unit/ha)
Wj
= biaya input non-tradeable (Rp/ha)
Zj
= kuantitas input non-tradeable (unit/ha)
R/C
= rasio penerimaan terhadap biaya
QB
= titik impas produktivitas (kg/ha)
67
Usahatani jagung dikatakan layak secara finansial apabila tingkat labanya setidak-tidaknya 20 persen, yakni rasio penerimaan terhadap biaya R/C = 1,20 atau nilainya setara dengan tingkat upah harian. Waktu yang dicurahkan petani jagung selama satu musim dianggap 90 hari sehingga penerimaan finansial harian minimum sama dengan RMF/90 (Simatupang, 2002). Analisis yang sama dilakukan antara with dan without adopsi benih jagung transgenik mempertimbangkan kinerja dan nilai yang diberikan oleh produk benih melalui analisis simulasi variabel (Hareau, 2002) yakni: (1). penggunaan variabel input per hektar (biaya produksi); (2). harga benih transgenik vs. harga benih konvensional, dan (3). tingkat produktivitas.
Analisis dilakukan untuk setiap
variabel ini dengan kemungkinan perubahan biaya, produktifitas dan harga premium benih transgenik.
Simulasi peningkatan produktifitas atau penurunan
biaya dalam usahatani didasarkan pada asumsi-asumsi yang diuraikan berikut ini. Secara garis budidaya jagung transgenik sama dengan budidaya jagung hibrida mulai dari pengolahan lahan hingga panen dan pascapanen. Namun dalam simulasi ex-ante ini, asumsi-asumsi tentang penggunaan input benih dan harganya serta harga panen tertera pada Tabel 14. Untuk harga benih dibuat simulasi dalam dua tingkat harga yakni tidak berubah dan peningkatan 50% dari harga rata-rata benih hibrida. Tabel 14. Asumsi penggunaan agro-input pada usahatani jagung hibrida dan jagung transgenik di wilayah penelitian Keterangan 1 Harga benih hibrida (Rp/kg) 2 Harga benih transgenik (Rp/kg) - Skenario tidak berubah - Premium 50% 3 Harga output panen (Rp/kg) untuk hibrida sama dengan transgenik 4 Jumlah benih (kg/ha) untuk hibrida sama dengan transgenik
Jawa Timur
Lampung
36.608
31.805
36.608 54.912
31.805
47.708
1834,8
1756,6
23,0
18,8
Disamping angka-angka pada Tabel 14, perubahan-perubahan yang diperkirakan akan terjadi adalah dalam hal penggunaan herbisida meningkat pada adopsi benih RR, penggunaan insektisida menurun pada adopsi benih Bt,
68
penggunaan tenaga kerja penyiangan yang berkurang pada benih RR dan RR+Bt. Karena angka-angka dari tiap-tiap perubahan yang diperkirakan tidak tersedia pada survei 125 responden petani dalam penelitian ini, maka angka-angka yang dimasukkan dalam simulasi merujuk pada hasil percobaan dan
data yang
diperoleh dari Filipina negara terdekat yang sudah mengadopsi jagung transgenik sejak tahun 2002. Subandi et al. (2003) pernah melakukan ujicoba petak kecil untuk jenis jagung transgenik RR di Indonesia. Pada Tabel 15 disajikan keragaan benih jagung transgenik berdasarkan data sekunder yang dikumpulkan. Keragaan dan sifat tersebut akan memberikan manfaat yang dapat dikuantifikasi dalam bentuk rupiah. Walaupun terdapat juga manfaat lain yang tidak dapat dirupiahkan (non-tangible) seperti fleksibilitas dalam penyiangan, mudah dilakukan, dan tidak merusak tanaman, dalam penelitian ini hanya variabel yang dapat dirupiahkan yang dipakai dalam simulasi. Tabel 15. Keragaan benih jagung transgenik berdasarkan percobaan yang pernah dilakukan di Indonesia dan data yang diperoleh dari Filipina. Keragaan jenis benih transgenik vs. non-transgenik Hasil (produktifitas) pada tingkat komersialisasi jagung Bt di Filipina lebih tinggi 21% dibanding non-Bt Efisiensi biaya pada tahap komersialisasi jagung Bt di Filipina lebih tinggi 14-23% dibanding non-Bt, berupa pengurangan penggunaan insektisida Hasil (produktifitas) pada tahap ujicoba di Indonesia - jagung RR lebih tinggi 10-16% dibanding non-RR Efisiensi biaya pda tahap komersialsisasi - jagung RR lebih hemat Rp 938,000 – 1,160,000 per ha dibanding non-RR berupa pengurangan tenaga kerja dalam penyiapan lahan dan penyiangan Hasil (produktifitas) pada tingkat komersialisasi di Filipina jagung RR+Bt lebih tinggi 16% dibanding non-RR+Bt Efisiensi biaya pada tahap komersialisasi jagung RR+Bt lebih tinggi 14-23% dibanding non-RR+Bt, berupa pengurangan penggunaan input insektisida
Sumber Gonzales (2005)
Subandi, et al. (2003)
Samson (2008) Gonzales (2005)
69
Asumsi untuk manfaat dengan penggunaan benih jagung Bt Berdasarkan Tabel 15 untuk simulasi manfaat adopsi benih Bt, kenaikan produktifitas 5% dan penghematan biaya 14% dianggap realistis digunakan dalam simulasi. Peningkatan produktiftas akibat teknologi benih Bt akan nyata bilamana serangan hama penggerek batang dan penggerek tongkol cukup besar. Perbedaan hasil antara Bt dan non-Bt bisa tidak signifikan kalau serangannya sangat kecil. Tingkat serangan hama penggerek sangat tergantung pada dinamika populasi hama yang dipengaruhi banyak faktor seperti musim, lokasi, pola tanam dan cara pengendalian hama yang dilakukan selama ini. Asumsi untuk manfaat dengan penggunaan benih jagung RR Sedangkan untuk benih jagung RR peningkatan produktiftas
diambil
angka 13%. Penghematan biaya penyiangan dengan benih transgenik RR adalah sekitar nominal Rp 500.000/ha, yakni sekitar 50% dari efisiensi biaya yang potensial diberikan oleh teknologi berdasarkan hasil percobaan.
Selebihnya
adalah penghematan pada kegiatan penyiapan lahan sebelum tanam yaitu dengan penerapan tanpa olah tanah. Dalam hal penggunaan tenaga kerja dan input produksi relatif berbeda diantara kedua varietas jagung tersebut. Perbedaannya terletak pada karakteristik jagung transgenik yang tahan herbisida (jagung transgenik RR), sedangkan jagung hibrida biasa tidak tahan herbisida. Memang saat ini banyak petani yang melakukan penyiangan gulma tidak lagi dilakukan secara manual, melainkan dengan menggunakan herbisida sistemik atau kontak secara hati-hati walaupun petani mengetahui bahwa jagung hibrida yang mereka tanam saat ini belum tahan herbisida.
Simulasi penghematan tenaga kerja dengan jagung transgenik RR
digunakan oleh petani terjadi pada kegiatan penyiangan tanaman jagung dari kompetisi gulma seperti tampak pada ilustrasi Gambar 13. Penghematan tenaga kerja yang sangat besar terjadi pada kegiatan penyiangan yakni dapat mencapai penghematan 30-40 HOK dalam satu musim tanam. Akan tetapi ada peningkatan penggunaan herbisida karena penyiangan dilakukan secara kimiawi menggunakan herbisida. Setidaknya ada penambahan sebanyak 3 liter/ha.
70
Gambar 13. Ilustrasi cara penyiangan gulma (cara manual dan kimiawi). Asumsi untuk manfaat dengan penggunaan benih jagung RR+Bt Untuk benih jagung RR+Bt peningkatan produktiftas diambil angka 16% karena merupakan kombinasi dua transgenik Bt dan RR digabung dalam satu produk benih. Penghematan biaya 14% untuk pengendalian hama dianggap realistis. Penghematan biaya penyiangan dianggap sama dengan benih transgenik RR adalah sekitar nominal Rp 500.000/ha. Potensi nilai manfaat suatu prospek atau kandidat pilihan produk teknologi yang tersedia selain dilakukan dengan pendekatan with dan without adopsi pada tingkat usahatani, juga dilakukan analisis manfaat secara makro. Kajian potensi manfaat ekonomi dari pengembangan komoditas jagung transgenik dilakukan dengan asumsi laju adopsi sigmoid secara konservatif dan agresif (Gambar 14). Pengaruh terhadap produksi nasional dilihat dalam kurun 10 tahun ke depan. Disamping itu dihitung potensial substistusi impor dan penghematan devisa negara. Kemudian secara kualitatif dan kuantitatif juga dihitung kemungkinan potensi kerugian bilamana tidak terjadi adopsi. Laju adopsi dari introduksi teknologi pada asumsi 2 tingkat adopsi maksimum dimana adopsi maksimum 85% dari pertanaman jagung hibrida akan tercapai bilamana: lisensi terbuka varietas dari pemilik register varietas ke pihak-
71
pihak lain, sistem distribusi terbuka, pasar komoditas berkembang horisontal & vertikal. Sedangkan adopsi maksimum 36% dari luas pertanaman jagung hirbida bilamana: tidak ada lisensi varietas, sistem distribusi relatif tertutup, pasar komoditas berkembang konvensional. Dalam perhitungan produksi jagung dilakukan asumsi dan faktor-faktor dasar dalam penghitungan skenario produksi. Adopsi varietas jagung transgenik dimulai tahun 2009. Areal pertanaman jagung setelah tahun 2008 dianggap flat pada 3,8 juta hektar karena kecil kemungkinan untuk perluasan areal. Pertumbuhan hibridisasi bertambah 5% per tahun sesudah tahun 2006 dan seterusnya mengingat harga komoditas yang menjanjikan. Asumsi adopsi varietas transgenik dilakukan oleh petani hibrida, sangat kecil kemungkinan areal nonhibrida melompat ke adopsi transgenik dimana petani cenderung mengadopsi varietas dengan hasil yang terbaik.
max adopsi 85%
max adopsi 35%
100% 80%
%adopsi dari luas hibrida
60% 40% 20% 0% 1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
Tahun setelah adopsi Tahun keAsumsi maksimum adopsi 85% areal hibrida Asumsi maksimum adopsi 35% areal hibrida
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
2%
15%
30%
55%
70%
80%
85%
85%
85%
85%
2%
7%
18%
30%
34%
35%
35%
35%
35%
35%
Gambar 14. Kurva sigmoid persentase adopsi dari luas pertanaman jagung hibrida (agresif- max 85%) dan konservatif (max 35%)
72
3.5.2. Teknik Analisis Data untuk Tujuan (2): Kebersediaan Petani Membayar Benih Jagung Transgenik Teknik CVM digunakan karena secara langsung menanyakan petani seberapa besar keinginan untuk membayar (WTP) guna memperoleh benih jagung transgenik. Keragaan benih transgenik dan manfaatnya dijelaskan kepada petani secara verbal dan visual menggunakan gambar bantu. Setelah tabulasi hasil jawaban responden yang mengindikasikan WTP benih transgenik, tahap selanjutnya adalah menghitung nilai tengah rataan dan/atau median serta nilai tengah kisaran WTP yang ditanyakan dalam payment card. Kurva lelang diperoleh dengan terlebih dahulu memplotkan nilai tengah kisaran WTP terhadap frekuensi atau proporsi petani yang memilih kisaran harga tersebut. Langkah berikutnya adalah menemukan hubungan regresi WTP sebagai variabel bebas dan frekuensi/jumlah responden sebagai variabel dependen, dalam hal ini jumlah peminat akan benih transgenik merupakan fungsi dari tingkat harga dengan rumus: D = ƒ ( WTP ) dimana D adalah minat atau indikasi permintaan terhadap benih transgenik dan WTP adalah tingkat harga premium di atas harga rata-rata benih jagung hibrida yang saat ini dibayar oleh petani jagung. Tahap terakhir dalam CVM adalah analisis sensitivitas dengan melakukan pembahasan fungsi/kurva nilai WTP rataan dipengaruhi variasi faktor tingkat pendidikan, indeks pertanaman, dan luas total pertanaman jagung.
3.5.3. Teknik Analisis Data untuk Tujuan (3): Indeks Keberlanjutan Usahatani Analisis keberlanjutan usahatani yang dianalisis dalam penelitian ini dibatasi ruang lingkupnya pada indikator-indikator pragmatis dan operasional pada level usahatani yang kiranya merupakan bagian integral dari upaya mata pencaharian rumah tangga petani.
Fokus pada indikator yang praktis dan
operasional akan memudahkan diambilnya tindakan-tindakan perbaikan pada tingkat usahatani oleh petani itu sendiri. Merujuk pada Miranda (2001), kajian keberlanjutan menekankan pemecahan masalah pada tingkat lokal. Jika petani mempraktekkan cara-cara berkelanjutan pada tingkat usahatani maka secara holistik akan dicapai agregat keberlanjutan pertanian yang diharapkan. Untuk
73
melihat pengaruh atau dampak dari kemungkinan adopsi benih transgenik terhadap keberlanjutan usahatani, terlebih dahulu perlu diketahui keadaan atau kinerja usahatani jagung saat ini. Indikator operasional yang diukur digunakan untuk menilai apakah introduksi transgenik mampu memperbaiki atau setidaktidaknya mempertahankan indeks keberlanjutan, mengingat bahwa adopsi teknologi berpotensi dapat mengurangi penggunaan input pestisida, meningkatkan pendapatan usahatani dan menghemat alokasi tenaga kerja untuk kegiatan usahatani, namun di sisi lain faktor risiko teknologi dan harga premium yang harus dibayar juga mempengaruhi penerimaan petani akan teknologi baru ini. Dalam penelitian ini, kriteria ekologis menggunakan indikator proxy dimana berdasarkan aplikasi jumlah dan jenis penggunaan pupuk dan pestisida akan memberikan dampak lingkungan yang buruk jika digunakan berlebihan, misalnya dalam berupa pencemaran air tanah, residu pestisida, dan pengaruh buruk bagi kesehatan petani. Demikian juga usahatani yang dilakukan pada lahan miring berpotensi besar menimbulkan erosi tanah. Selengkapnya indikator yang dapat diukur dalam penelitian disajikan pada Gambar 15. Metode yang digunakan dalam menganalisis bobot indikator dan kriteria dalam penentuan agregat indeks keberlanjutan adalah MAVT.
Agregat Indeks Keberlanjutan Usahatani Dimensi Ekologis terdiri dari indikator: Pupuk, Kesuburan relatif , Kemiringan lahan, Kompos, Herbisida, dan Insektisida Dimensi Ekonomi terdiri dari indikator: Produktifitas, Biaya total, Rasio B/C dan Keuntungan Dimensi Sosial terdiri dari indikator: Luas panen, Kontribusi jagung, Pendidikan, dan Afiliasi kelompok
Gambar 15. Hirarki kriteria dan indikator-indikatornya yang digunakan dalam metode MAVT untuk penentuan indeks keberlanjutan usahatani
74
Dengan teknik MAVT, langkah-langkah yang dilakukan dalam pemberian nilai skor, pembobotan dan agregasi mengacu pada teknik yang dikemukakan dalam Marimin (2004), Azapagic dan Perdan (2005), dan Zhen dan Routray (2005): (1) Pembandingan intra-kriteria dan pemberian nilai skor. Nilai skor alternatif an atau vk(an) mencerminkan kinerja terhadap indikator Ik yang disajikan dalam matriks seperti tertera pada Tabel 16. Tabel 16. Matriks skor alternatif terhadap kriteria/indikator. Kriteria/ indikator ke-k (Ik) I2 ... v2(a1) ...
Alternatif (a) Benih hibrida a1
I1 v1(a1)
Ik vk(a1)
Benih RR
a2
v1(a2)
v2(a2)
...
vk(a2)
Benih Bt
a3
v1(a3)
v2(a3)
...
vk(a3)
Nilai skor disajikan dalam skala preferensi secara relatif terhadap skala 100.
Kinerja alternatif diberikan skor relatif terhadap masing-masing
kriteria yang ada dengan teknik CPI (composite performance index). Identifikasi kriteria tren positif (semakin tinggi nilainya semakin baik) dan tren negatif (semakin rendah nilainya semakin baik). Indikator tren positif antara lain adalah jumlah kompos, kesuburan relatif tanah, produktifitas, rasio penerimaan/biaya (R/C), keuntungan usahatani, luas lahan, kontribusi usahatani jagung terhadap pendapatan keluarga, tingkat pendidikan dan afiliasi kelompok.
Indikator tren negatif:
jumlah
herbisida, jumlah insektisida, dosis pupuk, kemiringan lahan, biaya total dan harga benih. Nilai minimum ditransformasi ke 100, sedangkan nilai lainnya ditransformasi secara proporsional lebih rendah. Untuk herbisida dan insektisida, petani yang sama sekali tidak menggunakan pestisida diberikan indeks 100. Indikator jumlah pupuk dibuat sebagai indikatortren negatif dengan median dosis 661 kg/ha merupakan nilai 100. Apabila lebih besar dari median maka secara proporsional ditransformasi menjadi <100. Apabila lebih kecil dari median maka secara proporsional ditransformasi menjadi > 100. Selengkapnya cara pemberian nilai skor 75
adalah seperti pada Tabel 17.
Pemberian nilai skor untuk berbagai
indikator ini diharapkan memberi nilai relatif indikator pada tingkat usahatani, kabupaten/propinsi dan antar masukan jenis benih.
Tabel 17. Rumus pemberian nilai skor indikator-indikator Kriteria SOSIAL 1. Tingkat pendidikan, Luas lahan 2. Afiliasi kelompok 3. Kontribusi jagung EKONOMI 1. Produktifitas, Keuntungan, R/C 2. Biaya EKOLOGI 1. Pupuk 2. Kesuburan 3. Kemiringan 4. Kompos 5. Herbisida, insektisida
Sifat indikator
Rumus
1. Tren(+) dengan rerata diberi indeks 100 2. Kategorial sederhana 3. Tren(+) aditif
1. x/mean(x) . 100% 2. Ya = 100, Tidak = 50 3. x + 20%.
1. Tren (+) 2. Tren (-) 1. Tren (-) ideal dosis = indeks 100 2. Tren(+) rerata diberi indeks 100 3. Kategorial sederhana 4. Tren (+) dengan rerata diberi indeks 100 5. Tren(-) dengan dosis 0 = indeks 100
1. Median(x)/x . 100% 2. x/mean(x) . 100% 3. Datar = 100, Miring = 50 4. x/mean(x) . 100% 5. Mean(x)/(x+(mean(x)). 100
(2) Pembandingan antar-kriteria dan pemberian bobot. Pembandingan antarkriteria menetapkan tingkat kepentingan (relative importance) dari kriteria/indikator yang berbeda. Pembobotan dimensi ekologis, ekonomi dan sosial dibuat sama. Dalam jangka panjang prioritas untuk kriteria sosial, ekonomi dan ekologi menempati posisi yang sama (Zhen dan Routray, 2003), sehingga dalam penentuan indeks keberlanjutan dalam penelitian ini masing-masing kriteria memiliki bobot sebesar 0,333. Untuk indikator-indikator di bawah masing-masing kriteria tersebut juga diberikan pembobotan yang sama. (3) Agregasi nilai skor dan bobot untuk penentuan indeks dan pembandingan nilai indeks antar alternatif. Agregasi total nilai dihitung dengan rumus:
V (an ) k 1 wk (vk an ) K
76
dimana V(an) = nilai skor total alternatif an (vk an) = nilai skor performance an pada kriteria Ik wk
= bobot / tingkat kepentingan kriteria Ik
3.5.4. Teknik Analisis Data untuk Tujuan (4): Faktor-faktor Penentu Adopsi Benih Transgenik Dengan menggunakan teknik AHP, bagian penelitian ini menghitung bobot faktor dan melakukan pemeringkatan terhadap bobot faktor penentu pilihan komoditi. Struktur analisis yang dimasukkan ke dalam perangkat lunak adalah seperti pada Gambar 10-11 yang dikemukakan sebelumnya.
Pembandingan
secara berpasangan dilakukan secara verbal atau numerik (Marimin, 2004) sesuai tingkat kepentingan (importance), preferensi, atau kemungkinan (likelihood) antara kriteria,aspek, indikator dan alternatif yang ada. Perangkat lunak yang digunakan adalah SuperDecision versi 1.6.0
yang di-download dari website:
http://www.SuperDecision.com/. Pembandingan secara berpasangan dilakukan secara numerik sesuai dengan Tabel 18 menurut tingkat kepentigan, preferensi, atau likelihood dari kriteria, aspek, indikator, dan alternatif.
Tabel 18. Deskripsi pembandingan keterangan dengan scoring Nilai Skor
Keterangan
1 3 5 7 9 2, 4, 6, 8
Kriteria sama pentingnya (EQUAL) Kriteria yang satu agak penting dibanding yang lainnya (MODERATE) Kriteria yang satu lebih penting (lebih kuat pentingnya) dibanding lainnya (STRONG) Kriteria yang satu sangat penting dibanding yang lainnya (VERY STRONG) Kriteria yang satu ekstrim pentingnya dibanding yang lainnya (EXTREME) Nilai tengah di antara dua penilaian diatas
Dari jawaban 6 responden dihitung rata-rata geometrik. Kemudian angka rata-rata tersebut dimasukkan ke dalam perangkat lunak SuperDecision untuk mendapatkan nilai skor/prioritas dan indeks inkonsistensi pada setiap matriks. Untuk struktur hirarki pengembangan terdapat 17 matriks, sedangkan untuk
77
struktur sukses adopsi terdapat 12 matriks. Nilai indeks yang diharapkan yakni di bawah 0,1. Jika hasil analisis dalam SuperDecision menunjukkan nilai yang lebih besar dari 0,1 maka perlu revisi berdasarkan inconsistency report untuk memperbaiki nilai indeks seperti yang diinginkan yakni lebih kecil dari 0,1. Namun demikian perlu diperhatikan bahwa dalam menyesuaikan nilai matriks dengan catatan tidak memaksakan perubahan angka terlalu jauh bedanya dengan nilai semula. Dengan kata lain tidak mengubah terlalu jauh terhadap kecenderungan prioritas/preferensi yang semula diperoleh. Data matriks dan hasil penilaian prioritas serta nilai indeks inkonsistensi disajikan pada Lampiran 4 dan 5. Angka-angka prioritas masing-masing kriteria, sub-kriteria dan alternatif secara langsung dan tidak langsung menunjukkan posisi derajat kepentingan atau kelayakannya dibandingkan dengan variabel/faktor yang berada dalam satu level.
Dengan menampilkan angka-angka prioritas pada
masing-masing variabel dapat terpetakan baik kriteria/sub-kriteria/alternatif yang selayaknya mendapat perhatian untuk pengembangan lebih lanjut. Dalam rangkaian analisis pengembangan dan sukses adopsi hanya satu matriks yang memiliki nilai indeks inkonsistensi di atas 0,1 yakni ditemukan pada analisis kriteria sosial (nilai inkonsistensi 0,1552). Dengan demikian dilakukan revisi matriks kriteria sosial, secara khusus revisi hubungan antara sub-kriteria sebaran manfaat vs. persepsi risiko kesehatan dari nilai 1.886 menjadi 1.2651 (tetap lebih favorable untuk sebaran manfaat). Dalam hal ini perubahan angka masih berada di antara dua nilai pembandingan berpasangan 1 (equal) – 3 (moderate). Dengan revisi ini indeks inkonsistensi berubah menjadi 0,0685.
3.5.5. Teknik Analisis Data untuk Tujuan (5): Kajian terhadap Regulasi Produk Rekayasa Genetika Pendekatan rasionalis (the rationalist mode) yang dimodifikasi dari Weimer dan Vining (1998) dipakai untuk analisis masalah dan solusi kebijakan bagi adopsi benih transgenik seperti bagan Gambar 16. Metode ini dipadukan dengan gap analysis dan analisis kebutuhan sehingga diperoleh alternatif solusi kebijakan dan regulasi yang dibutuhkan dalam pengembangan dan aplikasi/adopsi benih transgenik.
78
Pengumpulan Informasi •Identifikasi dan kategorisasi subyek/topik sistim undang-undang (UU) dan kelembagaannya (wewenang/mandat) •Pengumpulan data, teori, fakta yang relevan (terkait dengan teknologi rekayasa genetika)
Analisis Masalah •Kajian gejala atau sifat masalah terkait 'kegagalan' kelembagaan dan stakeholders terkait • Analisis variabel kebijakan, penetapan tujuan dibuatnya UU/ peraturan dan kendala yang dihadapi
Analisis Solusi •Penetapan kriteria/baku hirarki sistem UU/peraturan dan mandat implementasi masing-masing sistem (owner dari subyek/pokok UU dimaksud)
Gambar 16. Analisis masalah kebijakan dan sistem (dimodifikasi dari Weimer dan Vining, 1998).
peraturan
Kajian terhadap status kebijakan dan regulasi bioteknologi pertanian di Indonesia (kondisi existing), serta kerangka dan kapasitas kelembagaan yang mendukung operasionalisasi dan implementasi suatu regulasi dilakukan dengan meilihat kesenjangan yang mungkin terdapat antara kondisi existing dengan kerangka kebijakan/regulasi yang diinginkan.
Secara khusus dikaji proses
pengembangan dan pelepasan suatu produk benih biotek sebelum dapat diadopsi oleh petani melalui tahapan-tahapan: pengujian keamanan lingkungan, pengujian keamanan pangan/pakan), pengujian multilokasi varietas dan perlindungan varietas. Untuk memudahkan analisis, tiap-tiap topik ini dibahas menurut payung sistem perundang-undangannya. Analisis kebutuhan (need assessment) adalah cara sistematis untuk mengkaji kondisi saat ini dan kondisi yang seharusnya (Rouda dan Kusy Jr., 1995). Langkah-langkah dalam analisis kebutuhan adalah: (1) Menyusun gap analysis dengan mengidentifikasi kondisi aktual saat ini dan kondisi yang diinginkan. Hasil dari tahap ini berupa daftar kebutuhan dari stakeholders dan peluang-peluang intervensi.
79
(2) Menentukan prioritas dan tingkat kepentingan yang paling menentukan serta dinilai kelayakannya berdasarkan cost effectiveness, peluang pelaksanaannya dari segi aspek hukum, penerimaan dan keterlibatan stakeholders,
dan
pengaruhnya
terhadap
pencapaian
tujuan
keseluruhan. (3) Mengidentifikasi sumber permasalahan berdasarkan prioritas yang telah disusun dan ditelaah peluang intervensi. (4) Mengidentifikasi peluang penyelesaiannya: berdasarkan hasil kajian terhadap sumber
permasalahan secara detil maka peluang
penyelesaian dapat disusun. Selain langkah formal tersebut di atas, dalam penelitian ini juga diidentifikasi lembaga/departemen yang memegang wewenang/mandat dari tiaptiap payung UU yang dikaji. Untuk melengkapi analisis kebutuhan ini, terutama sebagai referensi bagi kondisi yang diinginkan, suatu benchmark analysis dilakukan dengan perbandingan terhadap regulasi di negara lain dengan mengambil contoh negara berkembang.
80
IV.
HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1. Penilaian Kelayakan Ekonomi Adopsi Benih Jagung Transgenik 4.1.1. Karakteristik Petani Jagung Hibrida Karakteristik petani jagung hibrida di wilayah penelitian disajikan pada Tabel 19. Dari sisi umur, baik petani di Jawa Timur maupun Lampung tergolong usia produktif. Sebagian besar responden petani di Jawa Timur, tingkat pendidikannya SLTP dan SLTA bahkan sekitar 11% adalah lulusan perguruan tinggi. Sementara di Lampung, sebagian besar responden petani berpendidikan SD. Indeks pertanaman (IP) jagung yang umum dilakukan petani adalah 1 – 2 kali dalam setahun dengan rata-rata di Jawa Timur dan Lampung masing-masing 1,63 dan 1,51. Di Jawa Timur dan Lampung, berturut-turut 51% dan 63% petani melakukan IP 2 kali/tahun.
Tabel 19. Persentase petani pada tiap kategori karakteristik petani jagung hibrida di wilayah penelitian No Uraian karakteristik/kategori 1. Usia petani (%) a. b. c. 2. Tingkat pendidikan (%) a. b. c. 3. IP jagung (%) a. b. 4. Skala usaha (%) a. b. c. d. e.
17 - 25 tahun 25 - 45 tahun > 45 tahun SD SLTP dan SLTA Perguruan Tinggi IP 1 kali/tahun IP 2 kali/tahun Penggarap 0 – 0,5 ha 0,51 – 1 ha 1,01 – 2 ha > 2 ha
Jawa Timur 0 64 36 21 68 11 49 51 15 48 12 25 0
Lampung 2 65 33 70 30 37 63 8 3 30 42 17
Pola tanam jagung di Jawa Timur dan Lampung berbeda. Hal ini karena umumnya petani di Jawa Timur melakukan budidaya jagung di lahan sawah setelah musim padi, sedangkan umumnya petani di Lampung membudidayakan jagung di lahan kering. Baik petani di Lampung, maupun di Jawa Timur, selain 81
berusahatani jagung juga melakukan budidaya komoditi pertanian lainnya, bahkan banyak petani jagung yang melakukan kegiatan usahatani ternak sebagai usaha sampingan khususnya kambing dan sapi. Komoditi lain yang umumnya ditanam petani jagung adalah padi, sayuran seperti cabe, kacang panjang, tomat dan palawija seperti kacang tanah dan lainnya.
Pilihan jenis tanaman ini
menunjukkan petani sebenarnya merespon kebutuhan pasar dengan menanam komoditas yang menghasilkan uang. Sementara petani jagung di lahan tegal, selain menanam jagung, ada juga yang menanam tebu, sayuran, palawija lainnya dan padi.
Petani Lampung yang menanam jagung dua kali dalam setahun
biasanya dilakukan pada MH (musim hujan) dan MKI (musim kemarau I). Sementara di Jawa Timur, petani umumnya menanam jagung setelah budidaya padi yakni di MK I dan atau di MKII. Dari sisi luas tanam, di Lampung relatif lebih luas dibandingkan dengan Jawa Timur. Sebagian besar petani Lampung (89%) luas tanam jagungnya > 0,5 ha, sementara petani gurem (< 0,5 ha) dan petani penggarap (petani tidak memiliki lahan, menanam jagung dengan menyewa) hanya 11%. Di Jawa Timur justru sebanyak 63% petani memiliki luas tanam rata-rata <0,5 ha dan sebagai petani penggarap, sedangkan jumlah petani dengan luas tanam >0,5 ha sebanyak 37% dan tidak ada petani yang mengusahakan jagung di atas 2 ha (Gambar 17).
> 2 Ha
17%
0%
1.01 - 2.0 Ha
42%
25%
0.51 - 1.0 Ha
12%
48% 8%
Penggarap 0%
Lampung Jawa Timur
3%
0 - 0.50 Ha
30%
15% 50%
Gambar 17. Distribusi (persentase petani) luas pengusahaan jagung di wilayah penelitian Jawa Timur dan Lampung.
82
Perbedaan skala usaha yang lebih luas di Lampung tampaknya membuat kontribusi usahatani jagung terhadap penerimaan keluarga di Lampung rata-rata 59% (dengan kisaran 20-100%) relatif lebih tinggi dibandingkan dengan di Jawa Timur rata-rata 44% (dengan kisaran 10-75%).
Sumbangan usahatani jagung
terhadap pendapatan keluarga cukup signifikan besarnya (Gambar 18). Hal ini terkait dengan uraian sebelumnya dimana 63% petani jagung di Lampung menanam jagung dua kali dalam setahun, sementara di Jawa Timur petani yang menanam jagung dua kali dalam setahun sekitar 51%.
Lampung
59%
Rerata
Jawa Timur
44%
100%
Maksimum
75% 20%
Minimum
10% 0%
25%
50%
75%
100%
Gambar 18. Rata-rata dan kisaran minimum-maksimum usahatani jagung terhadap pendapatan keluarga
kontribusi
Dalam berusahatani, baik petani di lampung maupun Jawa Timur, sudah rasional.
Hal ini dimungkinkan karena semakin berkembangnya teknologi
informasi, pembinaan yang baik dari pihak Pemerintah khususnya Dinas Pertanian maupun pihak swasta dari produsen benih, pupuk atau produsen pestisida. Pilihan terhadap komoditi yang akan dibudidayakan lebih ditentukan oleh alasan ekonomi untuk mendapatkan pendapatan yang baik.
Alasan ekonomi utama memilih
usahatani jagung bagi petani di Jawa Timur adalah menguntungkan/stabil dan alasan ekonomi lainnya adalah biaya atau resiko usaha rendah dan mudah perawatan. Sedangkan alasan kondisi fisik adalah kecocokan dengan lahan dan ketersediaan air yang hanya cukup untuk jagung di MK II (Gambar 19). Sementara di Lampung, alasan ekonomi utama menanam jagung adalah karena mudah perawatan, dan berbagai alasan lainnya seperti umur jagung pendek bila
83
dibandingkan dengan ubi kayu, harga memadai, diajak tetangga, adanya bantuan benih, dan berbagai alasan lain. Menurut petani, perawatan jagung relatif mudah karena tidak terlalu banyak gangguan hama penyakit, tidak seperti usahatani kedelai, padi atau sayuran.
Lainnya
27%
8%
Kemarau, sulit air
Lampung Jawa Timur
17%
Biaya/risiko rendah
8%
Lebih menguntungkan…
8%
Terbiasa/tradisi menanam
38% 13%
4%
17%
Cocok/sesuai dengan lahan Mudah perawatannya
8% 0%
35% 50%
Gambar 19. Alasan petani memilih usahatani jagung di Jawa Timur dan Lampung 4.1.2. Keragaan Budidaya Jagung Hibrida Penggunaan agro-input di wilayah penelitian (Tabel 20) menunjukkan bahwa petani sangat menyadari pentingnya masukan teknologi budidaya yang baik (good agronomic practices) untuk mendapatkan produktifitas yang tinggi. Namun demikian ada sebagian petani yang cenderung menggunakan input dengan dosis yang berlebih seperti pupuk nitrogen. Hal yang mencolok adalah dosis pupuk Urea yang tinggi yakni rata-rata 450 kg/ha, jauh lebih tinggi dari anjuran yang umum untuk budidaya jagung yaitu sekitar 300 kg/ha. Secara umum, petani sudah menggunakan pupuk yang berimbang dalam budidaya jagung, dalam arti jenis pupuk yang digunakan tidak hanya pupuk urea tapi juga digunakan jenis pupuk lainnya seperti pupuk fosfor, KCL dan ZA. Sebagian besar petani, dalam menggunakan pupuk non-urea, lebih menyukai jenis pupuk majemuk khususnya Ponska daripada pupuk non-urea yang terpisah-pisah.
84
Tabel 20. Rata-rata tingkat penggunaan agroinput per hektar dalam usahatani jagung di wilayah penelitian. Komponen 1 Benih (kg) 2 Herbisida paraquat/glifosat (liter) 3 Insektisida - Karbofuran (kg) - Regent & lainnya (ltr) 4 Fungisida b.a. metalaksil (kg) 5 Pupuk - Urea (kg) - Pupuk Majemuk (Phonska/NPK) (kg) - ZA (kg) - KCl (kg) - TSP/SP 36 (kg) - Kompos (kg)+Tetes (ltr)
Jawa Timur 23,03 0,71
Lampung 18,80 4,06
4,32 0,52 0,02
0,24 0,05 -
553,10 171,99 69,09 6,92 33,57 3.034,53
336,77 57,23 56,24 131,48 294,35
Secara keseluruhan, sebagian besar petani menggunakan benih jagung hibrida pada kegiatan usahatani saat ini sejumlah 20 kg/ha (Gambar 20). Namun di Jawa Timur petani menggunakan benih rata-rata sebesar 23 kg/ha, sedangkan di Lampung petani menggunakan benih rata-rata 18,8 kg/ha.
Gambar 20. Pola penggunaan benih (kg/ha) Pola penggunaan pupuk di wilayah penelitian (Jawa Timur dan Lampung) memiliki pola distribusi seperti normal dengan frekuensi terbesar terletak pada dosis sekitar 600 – 700 kg/ha. Pola penggunaan pupuk dan kompos tertera pada Gambar 21 menggambarkan hubungan frekuensi jumlah pengguna vs. dosis yang berbeda. Dari Gambar nampak bahwa pola hubungan yang berbeda antara pupuk anorganik dan kompos dimana sebagian besar petani tidak menerapkan kompos sama sekali pada budidaya jagung.
85
Gambar 21. Pola penggunaan pupuk (kg/ha) dan kompos (kg/ha) Secara keseluruhan, sebanyak 46% petani tidak menggunakan herbisida baik untuk penyiapan lahan maupun untuk penyiangan gulma dalam usahatani jagung hibrida saat ini, sedangkan 68% petani tidak menggunakan insektisida sama sekali seperti terlihat polanya pada Gambar 22.
Gambar 22. Pola penggunaan herbisida (ltr/ha) dan insektisida (ltr/ha) Sistem budidaya jagung di lahan sawah dan lahan tegal relatif sama, dimulai dengan persiapan lahan hingga panen seperti terlihat pada Tabel 21. Di lahan sawah, persiapan lahan untuk usahatani jagung dilakukan dengan cara mengolah tanah yang pada umumnya menggunakan traktor. Khusus untuk MK I, banyak petani yang kondisi lahannya masih cukup gembur setelah musim padi di MH tidak lagi mengolah melainkan cukup dengan membersihkan lahan terutama rumputnya dengan cara disemprot dengan herbisida baik berbahan aktif sistemik atau kontak (tanpa olah tanah). Alasan petani menggunakan cara kimiawi ini umumnya karena sulitnya mendapatkan tenaga kerja untuk pengolahan tanah dan juga dapat menghemat biaya dan waktu.
86
Tabel 21. Tahapan kegiatan budidaya jagung di Jawa Timur dan Lampung No 1.
2. 3. 4.
5.
6.
7.
8.
9.
Tahapan
Jawa Timur
Lampung
Penyiapan lahan a. Olah lahan Traktor/cangkul/sapi, 15-30 Traktor/cangkul/sapi HBT (hari sebelum tanam) b.Tanpa Olah Umumnya dilakukan pada Tanah (TOT) MK I c.Pembersihan Dengan herbisida sistemik Dengan herbisida sistemik atau rumput atau kontak kontak 7-30 HBT Penanaman Jarak tanam 60x20cm/70x20cm Pemupukan 2 – 3 kali: 7-12 HST; 20-25 HST dan 30-35 HST (hari setelah tanam) Penyiangan Secara manual dicabuti atau Secara manual dicabuti atau gulma dicangkul, atau dibantu sapi, atau menggunakan menggunakan herbisida herbisida Mendangir Dicangkul, sekaligus Dicangkul, sekaligus menyiangi dan menyiangi gulma gulma jika tidak secara khusus membumbun melakukan penyiangan Pengendalian HPT a.Herbisida Berbahan aktif/cara kerja Herbisida kontak atau sistemik, sistemik dan/atau kontak; Digunakan sebelum tanam atau Digunakan sebelum tanam menyiangi atau menyiangi b.Fungisida Berbahan aktif metalaksil dan lainnya untuk mengurangi serangan penyakit bulai (downy mildew), Jarang digunakan; hanya jika terjadi serangan c.Insektisida Berbagai bahan aktif/ formulasi hanya jika terjadi serangan Pengairan Irigasi/pompanisasi/tadah Hampir tidak ada hujan pada saat tanam, saat pemupukan, dan selanjutnya sekali per minggu jika tidak hujan Panen Sistem tebasan atau Diborongkan diborongkan 110-120 HST 110-120 HST Pasca Panen Untuk non-tebasan Angkutan diborongkan
Persiapan lahan untuk usahatani jagung di lahan tegal, pengolahan tanahnya lebih bervarisasi, ada yang menggunakan traktor, ada yang dicangkul dan ada yang menggunakan tenaga sapi atau kerbau.
Kegiatan penanaman
dilakukan setelah persiapan lahan selesai dan sekaligus diatur jarak tanam. Jarak tanam yang umum diterapkan adalah 60x20 cm, 70x20 cm atau 75x20 cm. Umumnya petani sudah terbiasa pada
saat
penanaman
benih
jagung
menambahkan insektisida dalam bentuk butiran dengan maksud mencegah serangan hama.
Sedangkan fungisida biasanya sudah termasuk dalam seed
87
treatment sehingga petani sangat jarang menggunakan tambahan fungisida untuk pencegahan. Terdapat beberapa petani menggunakan tambahan fungisida seperti saromil atau starmil (bahan aktif metalaksil) hanya jika terjadi serangan. Apabila sebelum tanam tidak dilakukan pembersihan rumput, biasanya 10 HST sudah tumbuh rumput yang cukup lebat terutama jika jagung ditanam di MH dan MK I, sehingga petani melakukan penyiangan. Pada umumnya kegiatan penyiangan dilakukan secara manual atau dengan cara dicabuti atau bantuan alat cangkul atau kored oleh tenaga kerja upahan atau keluarga di Jawa Timur. Sedangkan di Lampung biasanya penyiangan dibantu ternak sapi.
Sebagian
petani menggunakan herbisida untuk melakukan penyiangan gulma/rumput. Dalam hal petani melakukan penyiangan secara kimiawi, penyemprotan dilakukan dengan hati-hati sehingga tidak mengenai tanaman jagung yang sudah tumbuh. Juga biasanya petani melakukan penyemprotan dengan sangat hati-hati yakni dengan mengarahkan nozel alat semprot dekat ke permukaan tanah untuk sedapat mungkin menghindari terkenanya butiran semprot pada daun tanaman.
Jika
sebelum tanam sudah dilakukan pembersihan rumput, biasanya setelah tanaman tumbuh rumput yang tumbuh tidak terlalu lebat sehingga kegiatan penyiangan tidak dilakukan secara khusus, melainkan sekaligus sambil kegiatan pendangiran dan pembumbunan dengan cangkul.
Pendangiran dan pembumbunan adalah
kegiatan pencangkulan dengan mengikuti larik tanaman dengan tujuan agar irigasi dan drainase lancar serta sekaligus penyiangan gulma/rumput. Kegiatan pemupukan dilakukan dua sampai tiga kali hingga tanaman dipanen.
Dewasa ini sebagian kecil petani tidak hanya menggunakan pupuk
kimia, tetapi juga sudah menambahkan pupuk alami sehingga penggunaan pupuk kimia dapat dikurangi. Hal ini karena mereka sudah mulai menyadari bahwa penggunaan pupuk kimia yang terus menerus dan dalam jumlah yang berlebihan dapat
merusak
kondisi
tanah,
sehingga
mereka
menambahkan
pupuk
kompos/bokasi ke dalam tanah sebelum tanam atau bersamaan dengan pemupukan pertama. Ada juga yang menambahkan tetes tebu sebagai pengganti pupuk buatan urea khususnya, dengan alasan relatif lebih murah sehingga pengggunaan pupuk urea dapat dikurangi bahkan ada yang sama sekali tidak menggunakan pupuk urea, meskipun penggunaan tetes tebu menurut sebagian
88
petani justru akan memperburuk kondisi lahan. Alternatif pupuk nitrogen lainnya yang mulai dicoba petani adalah urine ternak sapi yang telah difermentasi. Pada dasarnya sebagian besar petani belum melakukan pengendalian hama dan penyakit (HPT) secara preventif, namun lebih pada pengobatan. Hal ini dengan pertimbangan bahwa HPT dalam usahatani jagung tidak separah tanaman lain seperti padi, sayuran dan hortikultur lain. Kecuali furadan, insektisida lain digunakan hanya jika terjadi serangan hama. Jenis insektisida yang sering digunakan untuk melakukan pemberantasan hama adalah matador dan regent. Jenis penyakit yang sulit diatasi oleh petani adalah bulai (downy mildew). Tanaman jagung sudah dapat dipanen pada umur sekitar 110 hingga 120 hari tergantung varietas jagung yang ditanam.
Kegiatan panen ada yang
menggunakan sistem tebasan dan ada yang menggunakan sistem borongan. Panen yang dilakukan dengan sistem tebasan adalah kegiatan panen yang sekaligus produk hasil panennya dibeli oleh pedagang pengumpul/tengkulak. Dalam hal ini petani jagung tidak lagi harus melakukan kegiatan pasca panen. Cara pembelian biasanya sekitar seminggu atau sepuluh hari sebelum panen, penebas akan datang kepada petani dan melihat tanaman di lapangan, lalu ditaksirnya kemungkinan hasil panen kemudian ditawarkannya harga pembelian. Dengan sistem tebasan, petani pemilik tanaman tidak mengetahui secara persis produktifitas yang dihasilkan dari lahan yang mereka garap, hanya sekedar taksiran saja. Pada umumnya pilihan panen dan penjualan dengan sistem tebasan dengan alasan bahwa tidak ada lantai jemur, cuaca buruk, sulit tenaga kerja, lebih praktis walaupun sebetulnya menurut perhitugan para petani jagung, akan lebih menguntungkan jika dipanen dan dipipil sendiri. Panen dengan sistem borongan artinya petani mengelola sendiri kegiatan panen dan pasca panennya. Biasanya dengan sistem ini, petani mengupahkan kegiatan panen termasuk pengupasan jagung dari kulitnya, dan petani terima jagung di rumah walaupun pembayaran ongkos angkut tetap tanggung jawab petani, tetapi bongkar muat masih tanggung jawab yang memborong kegiatan panen. Jagung dipanen dalam kondisi setengah kering atau tingkat kelembabannnya sekitar 20-30% dan dalam kondisi ini jagung sudah dapat dipipil.
Kegiatan pemipilan biasanya juga diborongkan kepada
89
pemilik mesin pipil dan setelah selesai dipipil baru kemudian dijemur untuk mencapai kadar air sekitar 12-14 persen. Tingkat produktifitas jagung (Tabel 22) di wilayah penelitian saat ini bervariasi dari 2.500 hingga 11.250 kg/ha dimana produktifitas rata-rata jagung di wilayah penelitian Jawa Timur (6.749 kg/ha) secara nyata lebih tinggi dibandingkan dengan produktifitas di Lampung (5.826 kg/ha). Di dalam penelitian ini dengan 125 orang responden, mengkonfirmasi tingkat produktifitas rata-rata yang lebih tinggi di Jatim dibandingkan dengan di Lampung. Secara statistik, produktifitas/ha rata-rata per musim di Jawa Timur berbeda sangat signifikan dibanding dengan produktifitas/ha rata-rata per musim di Lampung. Produktifitas rata-rata per tahun antara kedua propinsi ini tidak berbeda nyata secara statistik. Tabel 22. Produktifitas rata-rata (kg/ha) per musim dan produktifitas total (kg/ha) per tahun petani jagung hibrida di wilayah penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini Keterangan Per Musim 1. Produktifitas rata-rata 2. Standar deviasi Nilai F Nilai p Per Tahun 1. Produktifitas rata-rata 2. Standar deviasi Nilai F Nilai p Indeks Pertanaman (IP) jagung
Propinsi Jawa Timur
Lampung
6.749 2.017
5.826 1.457 8,47 0,004
9.833 3.686
9.255 2.997 0,92 0,341
1,51
1,63
Keterangan: Nilai p < 0,05 berarti perbedaan nyata antar propinsi dengan tingkat 95%
Berdasarkan tingkat kesuburan tanah terdapat hal yang menarik dan konsisten sehubungan dengan tingkat produktifitas jagung ini, demikian berdasarkan tipe lahan, intensitas penggunaan pestisida dan tingkat pendidikan (Tabel 23). Semakin tinggi tingkat pendidikan petani maka produktifitas jagung di dalam usahatani juga semakin tinggi. Petani lulusan perguruan tinggi (diploma
90
atau sarjana) memberikan tingkat produktifitas tertinggi, hal ini menunjukkan bahwa tampaknya terkait dengan akses informasi terhadap baik permodalan maupun input teknologi usahatani jagung yang mendukung peningkatan hasil. Petani yang mempersepsikan tanahnya sebagai lahan yang subur memang ternyata memberikan produktifitas yang lebih tinggi dibandingkan dengan produktifitas pada lahan yang dipersepsikan tidak subur atau sedang. Tabel 23. Tingkat produktifitas jagung (kg/ha) di wilayah penelitian Keterangan A. Tingkat Pendidikan 1. SD 2. SLTP 3. SLTA 4. Perguruan Tinggi Nilai F Nilai p B. Kesuburan Tanah 1. Subur 2. Sedang 3. Tidak subur Nilai F Nilai p C. Tipe Lahan 1. Sawah 2. Tegalan Nilai F Nilai p
Nilai 6.425 6.352 6.946 8.394 4,23 0,007 7.246 6.269 5.106 16,17 0,000 7.403 6.001 14,59 0,000
Keterangan
Nilai
D. Kemiringan Lahan 1. Datar 2. Miring Nilai F Nilai p
6.564 5.847 4,59 0,034
E. Intensitas Penggunaan Herbisida 1. Rendah 2. Tinggi Nilai F Nilai p
6.846 5.791 11,32 0,001
F. Intensitas Penggunaan Insektisida 1. Rendah 2. Tinggi Nilai F Nilai p
6.020 6.913 6,83 0,010
Keterangan: Nilai p < 0,05 berarti perbedaan nyata antar propinsi dengan tingkat 95%
Tingkat produktifitas jagung pada tanah subur, sedang dan tidak subur (menurut persepsi petani) secara berturut-turut adalah 7,2; 6,3; dan 5,1 ton/ha. Demikian juga terdapat perbedaan tingkat produktifitas rata-rata jagung menurut tipe lahan yakni lahan sawah dan lahan tegal dimana produktifitas di lahan sawah lebih tinggi daripada di lahan tegal.
Kategori lahan datar memberikan
produktifitas lebih tinggi dibandingkan dengan lahan yang dikategorikan miring. Penggunaan insektisida memberikan hasil yang lebih tinggi, sedangkan
91
penggunaan herbisida yang lebih tinggi memberikan produktifitas rata-rata yang lebih rendah. Hal ini menunjukkan bahwa aplikasi insektisida dapat menekan pengaruh merugikan dari serangga hama tanaman. Sebaliknya aplikasi herbisida khususnya pada penyiangan tanaman memberikan pengaruh merugikan terhadap hasil akibat kerusakan daun tanaman jagung terkena pengaruh semprotan herbisida. Penerimaan/ha per musim untuk propinsi pada individual responden petani (Tabel 24) menunjukkan terdapat perbedaan rata-rata pendapatan antara Jawa Timur dan Lampung dan secara visual seperti ditunjukkan pada Gambar 23. Rata-rata penerimaan/ha petani di Jawa Timur dan Lampung berturut-turut adalah sebesar Rp 12,42 juta dan Rp 10,23 juta dimana penerimaan (revenue) di Jawa Timur lebih tinggi secara signifikan. Demikian pula dari aspek keuntungan yang diperoleh petani ada perbedaan nyata antara propinsi Jawa Timur yang lebih tinggi dibandingkan dengan propinsi Lampung.
Tabel 24. Penerimaan total, biaya dan keuntungan usahatani hibrida (Rp 000/ha) di wilayah penelitian. Keterangan Penerimaan total Nilai F Nilai p Biaya total Nilai F Nilai p Biaya tenaga kerja Nilai F Nilai p Biaya agroinput Nilai F Nilai p Keuntungan Nilai F Nilai p Rasio R/C
jagung
Propinsi Jawa Timur 12.416
Lampung 10.229 7,50 0,007
6.031
5.638 0,62 0,434
1.964
2.378 2,26 0,135
4.067
3.259 6,93 0,010
6.385
4.591 10,16 0,002
2,06
1,81
Keterangan: Nilai p < 0,05 berarti perbedaan nyata antar propinsi dengan tingkat 95%
92
Penerimaan dan keuntungan usahatani jagung hibrida saat ini (Rp 000/ha)
13000
Penerimaan 12416
Keuntungan
Rp 000
10229 6385
6500
4591
0 Jawa Timur
Lampung
Gambar 23. Penerimaan usahatani dan tingkat keuntungan usahatani jagung (Rp 000/ha) di wilayah penelitian
Biaya total dan biaya HOK tidak berbeda nyata, sementara biaya agroinput berbeda nyata (Jatim > Lampung) seperti tertera sebelumnya pada Tabel 25, namun terdapat kecenderungan bahwa biaya tenaga kerja di Lampung lebih tinggi dibandingkan dengan Jawa Timur (Gambar 24).
Biaya total, biaya tenaga kerja, biaya agro-input usahatani jagung hibrida saat ini (Rp 000/ha) Biaya total 6500
Biaya tenaga kerja
6031
Biaya agroinput 5638
Rp 000
4067 3260
3250 1964
2378
0 Jawa Timur
Lampung
Gambar 24. Biaya total agroinput, biaya total tenaga kerja dan biaya total usahatani jagung di wilayah penelitian
93
Produktifitas rata-rata jagung, penerimaan, biaya total dan tingkat keuntungan antar kabupaten (Tabel 25) menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat nyata (nilai p < 0,01). Perbedaan yang sangat nyata ini menunjukkan variasi kinerja usahatani jagung yang beragam di dalam propinsi.
Tingkat
produktifitas rata-rata tertinggi di Jawa Timur dijumpai di kabupaten Kediri, Nganjuk dan Blitar sehingga memberikan penerimaan dan keuntungan yang tinggi di ketiga kabupaten tersebut. Di Lampung tingkat produktifitas tertinggi terdapat di Lampung Selatan, tingkat keuntungan tertinggi dijumpai di Lampung Tengah. Tabel 25. Produktifitas (kg/ha), penerimaan, biaya dan keuntungan usahatani jagung hibrida (Rp 000/ha) per musim dan per tahun menurut kabupaten. Kabupaten
Per musim 1. Nganjuk 2. Mojokerto 3. Malang 4. Kediri 5. Jombang 6. Blitar 7. L. Timur 8. L. Tengah 9. L. Selatan Nilai F Nilai p Per tahun 1. Nganjuk 2. Mojokerto 3. Malang 4. Kediri 5. Jombang 6. Blitar 7. L. Timur 8. L. Tengah 9. L. Selatan Nilai F Nilai p
Produktifitas
Penerimaan
Biaya
Keuntungan (%marjin keuntungan)
Rasio R/C
8.172 6.438 5.906 8.134 5.017 7.861 5.895 5.547 6.287
16.406 10.338 8.410 16.867 8.698 15.564 8.193 9.861 12.337
8.081 4.775 4.035 8.906 4.297 8.134 4.060 4.525 8.781
8.325 (51%) 5.563 (54%) 4.375 (52%) 7.961 (47%) 4.311 (50%) 7.430 (48%) 4.133 (50%) 5.337 (54%) 3.556 (29%)
2,06 2,30 2,20 1,94 2,03 2,00 2,19 2,26 1,46
5,85 0,000
10,84 0,000
14,92 0,000
4,83 0,000
3,63 0,001
12.137 9.937 10.813 11.340 8.139 8.469 11.299 9.662 7.069 3,34 0,002
24.651 15.702 14.797 23.396 13.720 16.790 15.454 17.034 13.325 4,16 0,000
11.719 7.469 6.995 12.337 7.100 8.920 7.445 7.672 9.374 3,30 0,002
12.932 8.233 7.802 11.059 6.620 7.870 8.009 9.362 3.951 4,81 0,000
Keterangan: nilai p < 0,01 berarti sangat nyata pada tingkat 95%
94
Biaya tenaga tenaga kerja dan biaya agroinput usahatani jagung menurut kabupaten (Tabel 26) menunjukkan terdapat perbedaan yang sangat nyata (p < 0,01). Seperti telah diuraikan sebelumnya pengeluaran petani untuk agroinput di kabupaten Kediri, Nganjuk dan Blitar di Jawa Timur dan Lampung Selatan di Lampung adalah yang tertinggi dibanding dengan kabupaten-kabupaten lainnya. Penggunaan agroinput yang lebih tinggi ini memberikan kenaikan hasil yang tinggi pula di kabupaten-kabupaten tersebut.
Tabel 26. Biaya tenaga kerja dan agroinput usahatani jagung (Rp 000/ha) per musim menurut kabupaten. Kabupaten 1. Nganjuk 2. Mojokerto 3. Malang 4. Kediri 5. Jombang 6. Blitar 7. Lampung Timur 8. Lampung Tengah 9. Lampung Selatan
Biaya tenaga kerja 2.324 1.684 1.382 3.161 1.154 2.646 1.488 1.590 4.444
Biaya agroinput 5.757 3.091 2.653 5.745 3.143 5.488 2.572 2.935 4.337
Nilai F Nilai p
12,35 0,000
10,67 0,000
Keterangan: Nilai p < 0,05 berarti perbedaan nyata antar propinsi dengan tingkat 95%
4.1.3. Simulasi Keragaan Usahatani Jagung Transgenik vs. Jagung Hibrida Pada bagian sebelumnya sudah dikemukakan mengenai sistem budidaya jagung hibrida oleh petani di masing-masing wilayah studi.
Asumsi-asumsi
tingkat harga benih, pestisida, upah tenaga kerja dan harga output panen yang diterima petani pada usahatani jagung saat ini dan diperkirakan akan terjadi bilamana adopsi benih transgenik, serta asumsi-asumsi untuk manfaat yang diperoleh bila mengadopsi benih jagung trasgenik jenis RR, Bt, dan RR+Bt telah dikemukakan pada Bab Metodologi. Tingkat harga input pupuk, kompos, dan input lainnya secara lengkap disajikan pada Lampiran 6. Simulasi peningkatan hasil, penerimaan dan keuntungan finansil usahatani sekiranya petani melakukan adopsi benih jagung transgenik tertera pada Tabel 27.
95
Tabel 27. Simulasi peningkatan produktifitas (kg/ha), penerimaan (Rp ‘000/ha), penghematan biaya serta keuntungan (Rp ‘000/ha) dengan masukan benih jagung transgenik. Skenario A. Hibrida aktual saat ini 1. Produktifitas 2. Penerimaan 3. Biaya total 4. Keuntungan 5. Rasio R/C B. Dengan benih jagung Bt 1. Produktifitas (asumsi kenaikan 5%) 2. Penerimaan 3. Biaya total (asumsi penghematan 14%) 4. Keuntungan 5. Rasio R/C C. Dengan benih jagung RR 1. Produktifitas (asumsi kenaikan 13%) 2. Penerimaan 3. Biaya total (asumsi penghematan biaya penyiangan Rp 500 ribu/ha) 4. Keuntungan 5. Rasio R/C. D. Dengan benih jagung Bt+RR 1. Produktifitas (asumsi kenaikan 16%) 2. Penerimaan 3. Biaya total (kombinasi penghematan dengan Bt + RR) 4. Keuntungan 5. Rasio R/C
Jawa Timur
Lampung
6.749 12.383 6.031 6.352 2,05
5.826 10.234 5.638 4.596 1,82
7.086 13.002 5.187 7.815 2,51
6.117 10.746 4.848 5.897 2,22
7.626 13.993
6.583 11.564
5.531 8.462 2,53
5.138 6.426 2,25
7.829 14.364 4.687
6.758 11.871 4.348
9.677 3,06
7.523 2,73
Analisis simulasi ini menggunakan harga benih dan output panen yang sama, yang membedakan adalah dari segi potensi peningkatan produktifitas dan penghematan biaya dengan adopsi benih transgenik. Dari analisis ini terlihat bahwa keuntungan per ha yang diterima petani dengan adopsi benih jagung Bt, RR, dan RR+Bt di Jawa Timur berturut-turut adalah Rp 7,8 – 8,4 juta, Rp 8,5 juta dan Rp 9,7 – 10,2 juta lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan jagung hibrida saat ini sebesar Rp 6,3 juta. Untuk Lampung keuntungan adopsi benih jagung Bt, RR, dan RR+Bt berturut-turut adalah Rp 5,9 – 6,4 juta, Rp 6,4 juta dan Rp 7,5 – 8,0 juta lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan jagung hibrida saat ini sebesar Rp 4,6 juta. Rasio penerimaan terhadap biaya (R/C) juga semakin
96
membaik dengan adopsi benih transgenik. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa usahatani jagung hibrida sangat menguntungkan bagi petani, lebih-lebih lagi kalau benih transgenik dapat diadopsi. Selanjutnya disimulasikan pengaruh peningkatan harga benih transgenik karena adalah logis untuk menduga bahwa harga benih transgenik akan lebih tinggi (premium price) daripada harga benih hibrida saat ini. Pada Tabel 28 disajikan simulasi analisis input-output usahatani dengan adanya premium harga benih transgenik sebesar 50% dari harga benih hibrida biasa. Di Jawa Timur petani menggunakan benih rata-rata 23 kg/ha, sedangkan di Lampung rata-rata 18,8 kg/ha. Jumlah yang sama diasumsikan digunakan oleh petani bilamana mengadopsi benih jagung transgenik.
Tabel 28. Simulasi analisis laba usahatani dengan harga benih transgenik premium (50%) terhadap harga benih hibrida biasa Keterangan Produktifitas (kg/ha) Jawa Timur Lampung
Dengan hibrida saat ini
Dengan Benih Bt
Dengan Benih RR
Dengan Benih RR+Bt
6.749 5.826
7.086 6.117
7.626 6.583
7.829 6.758
Penerimaan (Rp 000/ha) 1) Jawa Timur 12.383 13.002 13.993 14.364 Lampung 10.234 10.746 11.564 11.871 Biaya total (Rp 000/ha)2) Jawa Timur 6.031 5.608 5.953 5.108 Lampung 5.638 5.147 5.437 4.647 Laba (Rp 000/ha) Jawa Timur 6.352 7.394 8.039 9.256 Lampung 4.596 5.598 6.127 7.224 Rasio R/C Jawa Timur 2,05 2,32 2,35 2,81 Lampung 1,82 2,09 2,13 2,55 Titik impas (kg/ha) Jawa Timur 3.287 3.057 3.244 2.784 Lampung 3.209 2.930 3.095 2.646 Harga benih (Rp/kg) Jawa Timur 36.608 54.912 54.912 54.912 Lampung 31.805 47.708 47.708 47.708 1) Harga output panen untuk hasil hibrida biasa dan transgenik diasumsikan sama yakni Rp 1.834,8/kg di Jawa Timur dan Rp 1.756,6/kg di Lampung. 2) TC (biaya total) dengan asumsi penghematan pada transgenik seperti pada Tabel 27, tetapi dengan harga benih transgenik premium 50%. Input benih 23,0 kg/ha dengan harga di Jawa Timur (Rp 36.608), di Lampung dosis input benih 18,8 kg/ha dengan harga Rp 31.805.
97
Sekiranya petani akan mengadopsi benih jagung transgenik (khususnya jagung RR dan/atau jagung RR/Bt), penghematan pada biaya tenaga kerja pada usahatani transgenik terjadi pada penyiangan gulma, sedangkan penghematan pada pengolahan lahan dikarenakan usahatani pada transgenik ini menggunakan sistem TOT (tanpa olah tanah). Komponen biaya lainnya seperti benih, pestisida dan herbisida justru mengalami peningkatan.
Biaya input yang menyumbang
biaya menjadi lebih besar pada usahatani transgenik ini. Harga benih transgenik yang cukup tinggi menjadikan biaya penggunaan agroinput lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani hibrida. Dari simulasi peningkatan harga benih terlihat bahwa keuntungan (per hektar) yang diterima petani dengan adopsi benih jagung Bt, RR, dan RR+Bt di Jawa Timur berturut-turut adalah Rp 7,4 juta, Rp 8,7 juta dan Rp 9,4 juta lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan usahatani jagung hibrida saat ini sebesar Rp 6,3 juta. Untuk Lampung keuntungan adopsi benih jagung Bt, RR, dan RR+Bt berturut-turut adalah Rp 5,6 juta, Rp 6,8 juta dan Rp 7,5 juta lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan usahatani jagung hibrida saat ini sebesar Rp 4,6 juta.
Hal yang menarik juga diamati adalah biaya total pengeluaran usahatani
transgenik tetap lebih rendah walaupun ada premium harga benih.
Biaya
usahatani dengan adopsi benih jagung Bt, RR, dan RR+Bt di Jawa Timur berturutturut adalah Rp 5,6 juta, Rp 5,2 juta dan Rp 4,9 juta lebih rendah daripada biaya usahatani jagung hibrida saat ini sebesar Rp 6,3 juta. Untuk Lampung biaya usahatani transgenik Bt, RR, dan RR+Bt berturut-turut adalah Rp 5,1 juta, Rp 4,7 juta dan Rp 4,3 juta lebih tinggi dibandingkan dengan keuntungan usahatani jagung hibrida saat ini sebesar Rp 4,6 juta.
Dengan simulasi ini titik impas
produksi (TIP) usahatani jagung menjadi lebih rendah artinya akan lebih lentur terhadap kemungkinan perubahan produktifitas riil. 4.1.4. Pengaruh Makro Adopsi dan Potensi Kerugian Tanpa Adopsi Berdasarkan data produktifitas jagung nasional selama kurun waktu 1990 – 2005 (Gambar 9 pada Bab Tinjauan Pustaka) terlihat sebenarnya peningkatan produktifitas yang cukup mantap sebagai akibat dari penerapan cara-cara budidaya yang intensif menggunakan benih hibrida, pupuk dan pestisida. Hal ini
98
terjadi pada kondisi perkembangan areal pertanaman jagung yang relatif flat 3 – 3,5 juta ha.
Hal ini juga menunjukkan kontribusi faktor-faktor adopsi benih
unggul baik hibrida maupun komposit, penggunaan pupuk, irigasi, dan teknik budidaya yang lebih baik yang dilakukan petani selama kurun waktu 15 tahun terakhir. Terdapat pertumbuhan produktifitas dan produksi yang inheren. Dalam analisis selanjutnya dibuat asumsi bahwa masukan teknologi benih transgenik merupakan faktor tambahan yang dilihat kontribusinya dalam produksi jagung nasional dengan asumsi-asumsi laju adopsi yang telah dikemukakan. Dengan menggunakan kurva adopsi dengan model sigmoid (lihat Gambar 14 pada Bab Metode Penelitian) suatu skenario pengaruh adopsi benih jagung transgenik dilakukan untuk melihat tingkat produksi jagung nasional (total) dalam kurun 10 tahun setelah mulainya adopsi. Dengan merujuk pada perkembangan atau laju adopsi benih unggul jagung di Indonesia dalam 10-15 tahun terakhir yang menunjukkan terus kecenderungan peningkatan, dimana hasil (produktifitas) yang lebih tinggi merupakan pemicu utama adopsi.
Hal yang sama pun
diasumsikan dapat berlaku untuk adopsi benih transgenik karena menjanjikan hasil yang lebih tinggi dan juga manfaat lainnya yang menguntungkan petani. Adopter benih transgenik adalah petani hibrida yang sudah mengenal dan mengetahui manfaat yang akan diberikan oleh teknologi tersebut. Dengan WTP benih RR+Bt yang lebih tinggi daripada RR dan Bt hal ini sejalan pula dengan tingkat produktifitas dan manfaat lebih yang bisa diberikan oleh RR+Bt. Dengan asumsi yang realistis akan ada peningkatan sebesar 16% produktifitas dan jenis jagung transgenik RR+Bt sebagai pilihan terbaik, serta petani akan memilih opsi terbaik untuk usahatani yang lebih menguntungkan dan kompetitif. Perhitungan proyeksi produksi secara detil disajikan pada Lampiran 7. Proyeksi produksi dengan adopsi dan tanpa adopsi benih jagung transgenik selama 10 tahun ke depan disajikan pada Gambar 25.
Skenario terbaik adalah terjadinya adopsi
maksimum dengan penetrasi benih transgenik mencapai 85% dari luas areal pertanaman hibrida, sedangkan skenario yang moderat dengan penetrasi ke areal hibrida mencapai 35% saja. Angka-angka proyeksi dalam penelitian ini dibandingkan dengan proyeksi produksi yang pernah dilakukan oleh Badan Litbang Pertanian (2005) dengan
99
mengasumsikan pertumbuhan laju produksi sebesar 3,27% per tahun selama kurun 2005-2025.
Terlihat bahwa proyeksi produksi oleh Badan Litbang
Pertanian lebih agresif bahkan bila dibandingkan dengan skenario proyeksi optimis yang dilakukan dalam penelitian ini. Perbedaan ini terutama disebabkan oleh faktor pertumbuhan luas areal pertanaman jagung: dalam penelitian ini luas areal jagung dianggap flat pada 3,8 juta ha setelah tahun 2009 sementara Badan Litbang Pertanian mengasumsikan laju areal peningkatan areal jagung 1%/tahun.
Skenario produksi jagung nasional dengan adopsi vs. tanpa adopsi benih transgenik
Produksi jagung nasional (juta ton)
21 19 18.2 17.7 17.3
17
16.9 16.5 16.1 15.7 15.3
15 13.9
14.2
14.6
14.9
Produksi, tanpa adopsi
13.3
13
Produksi, adopsi max. 85%
12.5 11.6
11
10.9 9.7 9.2
9
Produksi, adopsi max.35%
11.2
9.7 9.2
99 00 01 02 03 04 05 06 07 08 09 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19
Tahun (mulai adopsi thn 2010)
Tahun Pryeksi tanpa adopsi transgenik Proyeksi adopsi transgenik (85%) Proyeksi adopsi transgenik (35%) Proyeksi Badan Litbang Pertanian (2005)
2010
2011
2012
2013
2014
2015
2016
2017
2018
2019
14,58
14,94
15,31
15,68
16,07
16,47
16,87
17,29
17,72
18,16
14,60
15,17
15,82
16,72
17,51
18,26
18,83
19,29
19,77
20,26
14,60
15,05
15,62
16,24
16,77
17,25
17,68
18,11
18,56
19,02
14,57
15,19
15,83
16,50
17,20
17,93
18,69
19,48
20,31
21,19
Gambar 25. Skenario produksi jagung nasional dengan adopsi vs. tanpa adopsi benih transgenik serta dibandingkan dengan proyeksi Badan Litbang Pertanian.
100
Pada tahun ke-10 setelah adopsi akan terjadi peningkatan produksi total jagung nasional sebesar 12% akibat adopsi teknologi benih jagung transgenik (skenario optimis) atau setara 2,1 juta ton, dan hanya sekitar 5% (skenario konservatif) atau setara 0,9 juta ton.
Dengan proyeksi ini maka diharapkan
kebutuhan akan jagung secara nasional dapat terpenuhi dan sekaligus mengurangi ketergantungan yang telah lama berlangsung akan impor. Sebagaimana diketahui impor biji jagung selama ini sebagian besar berasal dari negara-negara penanam benih jagung transgenik seperti Amerika Serikat, Brasil dan Argentina. Terlihat bahwa pada tahun 2013 saja akan diperoleh kenaikan produksi sebesar 1 juta ton lebih bilamana asumsi adopsi 85% tercapai. Hal ini tentu saja akan dapat mengurangi ketergantungan impor jagung dari luar negeri yang sekaligus: - menghemat devisa negara dan – nilai tambah budidaya jagung (kelayakan finansialnya) akan dinikmati oleh petani di dalam negeri. Berbeda dengan impor jagung dari luar, nilai tambah justru dinikmati oleh petani luar negeri asal impor dan juga oleh para pedagang besar internasional. Peningkatan produksi penting untuk ke depan dengan alasan manfaat yang akan diterima petani dengan penanaman benih teknologi baru, dan yang penting juga terkait dengan neraca perdagangan komoditas jagung yang negatif.
Seperti telah
dikemukakan sebelumnya bahwa besarnya jumlah devisa yang digunakan untuk impor biji jagung dari luar negeri setidak-tidaknya berjumlah US $ 600 juta. Yang menarik adalah justru impor jagung dari luar negeri itu berasal dari negara-negara seperti Amerika Serikat, Argentina dan Brazil dimana tanaman transgenik sudah ditanam petani dan dikomersialkan sejak lebih 1 dasawarsa lalu. Dari uraian di atas dapat disimpulkan secara gamblang potensi manfaat ekonomi dengan adopsi benih jagung transgenik (dengan mengambil contoh angka-angka proyeksi pada tahun ke-4 setelah adopsi) vs. perkiraan kerugian (kehilangan kesempatan manfaat) akibat tidak mengadopsi sebagai berikut: (1) Dengan adopsi: Peningkatan produksi sebesar 1 juta ton/tahun senilai Rp 3,6 triliun (asumsi harga pasar saat itu Rp 2.500/kg dengan produksi pada tahun ke-4 dengan adopsi: 16,7 juta ton sedangkan tanpa adopsi 15,7 juta ton). Pada sub-bab analisis usahatani, marjin keuntungan petani jagung berkisar 30 – 55% dari penerimaan total.
101
Dengan mengambil 30% marjin keuntungan usahatani maka petani domestik akan mendapatkan nilai tambah keuntungan total Rp 1,08 triliun. (2) Tanpa adopsi: Setidaknya potensi nilai penerimaan total usahatani jagung yang hilang tanpa adopsi sebesar Rp 3,6 triliun, ini setara dengan penerimaan usahatani jagung sebesar Rp 2,4 juta/ha; atau setara dengan devisa US $ 400 juta yang akan dikeluarkan untuk mengimpor sebanyak 1 juta ton jagung dari luar negeri.
Potensi
penerimaan yang seharusnya dapat dinikmati oleh petani dalam negeri dengan menanam benih transgenik tidak akan terjadi bilamana tanpa adopsi, melainkan nilai yang setara dinikmati oleh petani jagung negara asal impor. 4.2. Kebersediaan Petani Membayar Benih Jagung Transgenik 4.2.1. Penggunaan Benih dan Tingkat Harga Benih Jagung Hibrida Saat ini Pada umumnya petani jagung di hampir seluruh wilayah studi di Jawa Timur (Kediri, Nganjuk, Blitar, Jombang dan Mojokerto) mengetahui seluruh varietas jagung yang diperdagangkan di pasar. Demikian juga dengan petani jagung di Lampung (Lampung Timur, Lampung Tengah, dan Lampung Selatan), umumnya mengetahui berbagai jenis varietas jagung hibrida maupun komposit yang diperdagangkan. Namun demikian jenis benih komposit ini sudah sangat jarang ditemukan di pasar atau kios-kios benih. Saat penelitian ini dilakukan, jenis varietas jagung yang beredar di pasaran adalah varietas jagung hibrida yakni Pioneer-11 (P11), Pioneer-21 (P21) yang dikeluarkan oleh Dupont Pioneer; NK33 dan NK-22 yang dikeluarkan oleh Syngenta; C-7, C-9, DK-3, DK-979, DK9910 yang dikeluarkan oleh Monsanto; dan Bisi-2 dikeluarkan oleh PT Bisi. Semua
perusahaan
tersebut
merupakan
perusahaan
multinasional
yang
menghasilkan benih jagung atau sebagai produsen benih jagung hibrida yang diperkirakan menguasai setidak-tidaknya 75% pangsa pasar benih jagung hibrida di Indonesia. Semuanya memiliki fasilitas pabrik pengolahan dan penangkaran benih hibrida yang umumnya berlokasi di wilayah Jawa Timur dan Jawa Tengah. Belakangan mulai bermunculan juga jenis merek hibrida lain seperti Jaya dan
102
Bioseed. Varietas jagung komposit hampir tidak dijumpai lagi di pasaran. Di daerah Kediri jenis jagung komposit yang masih beredar adalah varietas Arjuna, hanya sekitar satu persen dari total penjualan benih jagung. Ketersediaan jagung komposit ini untuk memenuhi permintaan petani di daerah pegunungan yang melakukan usahatani jagung secara tidak intensif.
Penggunaan benih jagung
komposit di Lampung juga sudah semakin jarang.
Adapun petani yang
menanamnya kebanyakan untuk menambah kekurangan benih jagung hibrida, sehingga penanamannya pun dicampur. Saat studi ini dilakukan, harga benih jagung bervariasi menurut varietas dan tempat yang dapat dilihat pada Tabel 29. Harga benih jagung komposit baik di Jawa Timur maupun Lampung jauh lebih murah dibandingkan dengan benih jagung hibrida. Sementara varietas jagung hibrida yang termurah adalah varietas jagung Bisi-2 dan yang termahal adalah varietas jagung P-11 dan P-21. Ketika menjelang musim tanam, ketersediaan benih jagung umumnya mengalami kelangkaan seperti halnya ketersediaan pupuk dan secara otomatis harga mengalami peningkatan. Harga benih jagung hibrida varietas P-11 dan P-21 bisa mencapai Rp 60 ribu hingga Rp 65 ribu per kilogram, bahkan apabila petani membeli benih tersebut dengan cara membayar setelah panen harganya dapat mencapai Rp 70 ribu hingga Rp 75 ribu.
Tabel 29. Perbandingan Harga Benih Jagung di Jawa Timur dan Lampung, tahun 2007 No. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
Nama Varietas Jagung Komposit Arjuna Hibrida P-21 Hibrida P-11 Hibrida C-7 Hibrida C-9 Hibrida DK3 Hibrida DK979 Hibrida DK9910 Hibrida NK33 Hibrida NK22 Hibrida Bisi2 Harga rerata hibrida
Produsen Benih Tanindo (BISI) Pioneer (DuPont) Pioneer (DuPont) Dekalb (Monsanto) Dekalb (Monsanto) Dekalb (Monsanto) Dekalb (Monsanto) Dekalb (Monsanto) Syngenta Syngenta Tanindo (BISI)
Harga (Rp/Kg) di Jawa Timur 21.000 44.400 45.000 33.111 32.930 34.000 38.333 36.000 39.142 42.000 28.444 37.336
Harga (Rp/Kg) di Lampung 20.000 36.000 45.000 34.000 32.665 35.000 37.000 36.000 36.000 42.000 28.665 36.233
103
Umumnya harga benih hibrida di wilayah penelitian Lampung dan Jawa Timur berada di kisaran Rp 30 – 40 ribu per kg seperti diperjelas dengan plot titik di bawah ini.
Harga rata-rata dan median berada di sekitar Rp 37 ribu untuk
Jawa Timur dan Rp 36 ribu untuk Lampung. Di Lampung, harga benih bervariasi 79 – 124% dari harga rata-rata, sementara di Jawa Timur harga bervariasi 76 – 121% dari harga rata-rata. Hal ini dapat diartikan bahwa plus-minus 25% dari harga rata-rata petani masih terbiasa dengan pembelian benih (Tabel 30).
Tabel 30. Kisaran harga benih jagung hibrida per kg di wilayah penelitian propinsi Lampung dan Jawa Timur. Wilayah
Harga ratarata
Harga median
Harga minimum (% dari harga rata-rata)
Harga maksimum (% dari harga ratarata)
Jawa Timur
37.336
37.170
28.440 (76%)
45.000 (121%)
Lampung
36.233
36.000
28.670 (79%)
45.000 (124%)
Secara umum di Jawa Timur maupun Lampung ditemukan petani yang loyal atau fanatik pada suatu varietas benih jagung hibrida tertentu. Dengan demikian ketika terjadi kelangkaan benih dan harga melambung tinggi, petani akan tetap mencari dan membeli varietas benih jagung yang menjadi favoritnya dan petani berani membayar lebih mahal dari harga yang biasanya diterima. Namun demikian, karena dewasa ini tersedia banyak verietas benih jagung hibrida substitusinya, terdapat batas maksimum harga yang berani dibayar petani, kecuali bagi beberapa petani yang betul-betul sudah fanatik pada varietas tertentu. Sebagai contoh, petani di Jawa Timur yang fanatik terhadap varietas P-21 berani membayar sampai dengan harga Rp 40 ribu hingga Rp 45 ribu per kilogram yang tadinya hanya sekitar Rp 38 ribu per kilogram.
Lebih dari harga tersebut,
sebagian besar petani fanatik benih jagung hibrida P-21 beralih ke varietas benih jagung hibrida lain yang relatif murah. Hal ini karena peningkatan harga yang terlalu tinggi tidak diikuti dengan peningkatan keunggulannnya, sementara varietas lain yang tersedia mempunyai keunggulan yang relatif sama tetapi dengan harga yang relatif murah. Masih terdapat beberapa petani fanatik benih jagung hibrida P-21 yang tetap membeli varietas benih jagung tersebut meskipun
104
harganya mencapai Rp 70 ribu per kilogram. Petani jagung di kawasan lahan tadah hujan tetap membeli varietas benih jagung hibrida P-21 berapapun harganya karena tidak tersedia substitusi dari varietas jagung tersebut menurut petani. Loyalnya petani terhadap suatu merek (brand) benih jagung, sangat tergantung promosi, kedekatan dan adanya pembuktian-pembuktian keunggulan benih di tingkat petani baik melalui demonstrasi maupun melalui penelitian dan pemberian sampel benih gratis untuk dicobakan. Menurut informan di masingmasing wilayah penelitian, apabila suatu varietas benih jagung tertentu melalui demonstrasi di tingkat petani sudah terbukti keunggulannya maka petani tidak perlu disuruh-suruh lagi untuk menggunakan benih jagung tersebut melainkan mereka akan mencari sendiri dan bahkan ketika harganya meningkat sampai dengan batas tertentu mereka akan tetap setia membelinya. Oleh karena itu, varietas yang menjadi pilihan petani saat ini pada suatu wilayah tertentu adalah varietas dari produsen benih padi yang secara gencar melakukan promosi, demonstrasi dan pembinaan terhadap petani di wilayah tersebut. 4.2.2. Pengetahuan dan Minat Petani tentang Benih Jagung Transgenik dan Sumber Informasi tentang Teknologi Baru Dari semua responden petani yang ditanya tentang apakah selama ini pernah mendengar jagung transgenik, di wilayah Lampung jawabannya sebagian besar belum pernah mendengar adanya jagung transgenik tersebut (88%) dan hanya 12% yang pernah mendengar (Gambar 26). Bila dibandingkan, maka porsi petani di Jawa Timur sedikit lebih tinggi yang sudah mendengar tentang teknologi jagung transgenik, yaitu sebanyak 19% petani pernah mendengar, sedangkan yang belum/tidak pernah mendengar sebesar 81%. Hal ini tampaknya sedikit banyak dipengaruhi oleh tingkat pendidikan responden, dimana semakin tinggi tingkat pendidikan petani kemungkinan besar akses informasi terhadap hal-hal baru lebih terbuka atau cepat.
Di Lampung, 70% memiliki tingkat pendidikan SD,
sedangkan selebihnya adalah SLTP dan SLTA masing 15%. Di Jawa Timur, 10% responden memiliki tingkat pendidikan setingkat Diploma dan Sarjana, sementara tingkat SLTP dan SLTA berturut-turut 40 dan 29%, selebihnya hanya 21% dengan tingkat pendidikan SD.
105
12%
Mengetahui
19%
Lampung Jawa Timur
88%
Tidak mengetahui
81%
0%
100%
Gambar 26. Persentase petani yang pernah dan tidak pernah mendengar jagung transgenik.
Selanjutnya, bagi petani yang pernah mendengar adanya jagung transgenik, pengetahuan mereka pun sebenarnya sangat terbatas tentang jagung transgenik tersebut, yaitu hanya mengetahui jagung RR saja (tahan terhadap herbisida Roundup) sedangkan jagung Bt umumnya petani tidak mengetahui. Ketidaktahuan para petani terhadap produk transgenik tersebut menandakan bahwa perangkat lembaga sosialisasi kurang berperan dalam menyebarkan informasi mengenai teknologi baru. Pada penjelasan berikutnya dijelaskan bahwa media-media informasi seperti TV dan koran memberikan pengaruh paling kecil terhadap proses transfer informasi kepada petani. Justru mereka memperoleh informasi akan teknologi baru dari sesama petani atau kios-kios saprotan di wilayah mereka.
Selanjutnya dalam wawancara dijelaskan kepada petani
responden tentang keragaan teknologi benih jagung transgenik RR, Bt dan RR+Bt. Dalam penjelasannya dibantu dengan alat berupa gambar visual yang menggambarkan cara kerja teknologi tersebut berikut dengan potensi manfaatnya (baik manfaat tangible maupun yang intangible) yang nantinya dapat diperoleh oleh petani (Gambar 27 dan 28).
106
Gambar 27. Ilustrasi pengendalian gulma pada jagung non-RR dan RR.
Gambar 28. Ilustrasi gejala serangan hama pada jagung non-Bt.
107
Gambaran visual tersebut membantu petani dalam memahami kinerja dan potensi manfaatnya. Setelah dianggap memahami kinerja teknologi dan manfaatnya kemudian kepada petani ditanyakan pertanyaan seperti contoh ”kalau benih jagung tahan herbisida (contohnya jagung RR) sudah dilepas dan tersedia di pasar (kios benih) dengan manfaat yang sudah diketahui, apakah petani berminat akan menanamnya di lahan sendiri?”. Dengan mendengarkan penjelasan dan melihat gambar bantu tampaknya petani tidak sulit untuk memahami potensi manfaat benih transgenik RR dan Bt. Terutama untuk teknologi RR lebih mudah dipahami karena banyak petani yang menggunakan herbisida untuk penyiangan gulma. Hasilnya ditampilkan pada Tabel 31 dan Gambar 29.
Tabel 31. Jumlah dan persentase minat responden terhadap jenis jagung transgenik setelah mendengarkan penjelasan dan melihat gambar pada alat bantu. Jumlah (persentase) petani
Jagung RR Jatim Lampung
Jagung Bt Jatim Lampung
Minat terhadap benih transgenik
60 (92%)
57 (95%)
56 (86%)
53 (88%)
55 (85%)
52 (87%)
5 (8%) 65
3 (5%) 60
9 (14%) 65
7 (12%) 60
10 (15%) 65
8 (13%) 60
Tidak berminat Jumlah
Jagung RR+Bt Jatim Lampung
Sebagian besar dari responden petani (85% atau lebih) di Lampung maupun di Jawa Timur berminat untuk mencoba menanam jagung transgenik, baik jenis RR, Bt maupun RR+Bt. Minat terhadap jenis jagung RR mencapai 95% dari total responden di Lampung dan 92% untuk responden dari Jawa Timur. Minat responden terhadap jenis jagung Bt di Lampung sebesar 88% dan 86% di Jawa Timur. Minat responden terhadap jagung RR+Bt di Lampung mencapai 87% dan 85% di Jawa Timur. Persentase petani yang berminat adopsi benih RR relatif lebih tinggi (baik di Jawa Timur dan Lampung) karena lebih mudah dipahami secara praktis daripada benih Bt dan RR+Bt. Untuk komponen teknologi Bt petani tampaknya masih memerlukan penjelasan yang lebih praktis tentang pengaruh serangan hama penggerek. Pemahaman tentang keragaan dan kinerja suatu teknologi baru sangat menentukan minat petani untuk menerapkan suatu
108
teknologi atau variannya.
Apakah petani akan secara aktual mengadopsi masih
akan tergantung pada promosi dan hasil demplot yang dilakukan. Sekuen adopsi oleh petani sangat ditentukan oleh prinsip seeing is believing dengan melihat performa tanaman yang sesungguhnya di lapangan.
Tidak berminat 13%
RR+Bt Lampung
85%
12%
Bt Lampung
88%
14%
Bt Jatim
RR Jatim
87%
15%
RR+Bt Jatim
RR Lampung
Berminat
86%
5%
95%
8%
92%
Gambar 29. Persentase minat responden terhadap jenis jagung transgenik Uji korelasi antar variabel minat petani terhadap masing-masing jenis benih transgenik menunjukkan hal yang konsisten (berkorelasi positif 90% atau lebih baik) (Tabel 32).
Hal ini menunjukkan bahwa sebagian besar petani
responden yang berminat akan salah satu jenis benih jagung transgenik diduga juga akan tertarik akan jenis yang lain. Korelasi yang baik antar variabel ini juga sekaligus menunjukkan bahwa efektifnya penjelasan (verbal dan visual) keragaan dan kinerja teknologi yang disampaikan pada responden pada saat wawancara, sehingga para responden dapat memahami dengan jelas mengenai teknologi tersebut. Pemahaman ini tentu diperlukan oleh petani dalam benaknya untuk menjawab pertanyaan berikutnya tentang keinginan petani untuk membayar seberapa besar harganya bagi masing-masing benih jagung transgenik.
Tabel 32. Korelasi antar variabel minat benih jagung transgenik. Korelasi antar variabel Minat terhadap Bt Minat terhadap RR+Bt
Minat terhadap RR 0,913 0,981
Minat terhadap Bt 0,931
109
Apabila diperdalam analisis persepsi petani dengan menggali tentang saluran/sumber informasi mengenai teknologi/produk baru yang biasa sampai kepada para petani, tampak bahwa peranan kelompok tani/teman dan agen perusahaan/kios sangat besar. Sumber informasi tersebut kontak langsung dengan petani dengan komunikasi dua arah, dimana petani dapat bertanya lebih jauh tentang informasi teknologi/produk baru tersebut. Dalam hal ini tampak bahwa agen-agen perusahaan dan kios saprotan sudah lebih banyak memberi informasi kepada petani dibandingkan dengan penyuluh. Jawaban ini juga menunjukkan bahwa sumber informasi satu arah, seperti radio, surat kabar, bahkan tv kurang berperan sebagai sumber informasi yang dominan bagi petani (Gambar 30).
40% 34% Lampung
Jatim
28% 24% 19% 18%
19% 16%
5%
5% 4%
3%
1%
4% 0%
0% Radio
18%
TVRI
TV Swasta Surat Kabar Pertemuan Informal
1%
Buletin
PPL/Petugas Kelompok Perusahaan Tani
Gambar 30. Sumber informasi mengenai teknologi atau produk baru. Kemudian, apabila informasi tentang teknologi baru, baik varietas, pupuk, dan lainnya, mereka tertarik untuk mencobanya. Namun pada awalnya masih dalam skala kecil dan bila terbukti memberi hasil yang baik, maka akan memperbanyak penggunaannya.
Adapun sumber permodalan petani untuk
budidaya jagung sebagian besar modal sendiri. Petani Lampung selain mengandalkan modal sendiri juga relatif banyak yang tergantung kepada pedagang pengumpul dengan meminjam modal dan menjualnya kepada pedagang tersebut (Gambar 31). Hal ini juga sekaligus menjelaskan bahwa dengan adanya
110
peran perantara ini maka tingkat harga yang diterima petani sedikit lebih rendah daripada yang diterima petani di wilayah Jawa Timur.
Dengan modal sendiri
yang menjadi sumber pembiayaan usahatani maka secara logis dapat diduga bahwa situasi perubahan harga input menjadi faktor penting yang membuat petani untuk mengadopsi atau tidak mengadopsi suatu input teknologi baru.
4%
Lainnya
10%
0% 2%
Bantuan/Kredit Industri
0%
Bantuan /Subsidi Pemerintah
Jatim Lampung
7%
0%
Kredit Pdg. Pengumpul
65%
0% 3%
Kredit Bank/Lembaga Modal Sendiri
68%
0%
81%
85%
Gambar 31. Sumber permodalan petani Dari uraian pada Sub-Bab sebelumnya tampak jelas bahwa pemahaman petani akan manfaat suatu input teknologi mempengaruhi minat petani untuk menerapkannya. Oleh karena itu peranan saluran informasi yang efektif dalam penyampaian potensi atau kinerja suatu teknologi baru perlu mendapat perhatian. Lebih lanjut, mengingat sebagian besar petani menggunakan uang kas keluarga untuk melakukan pembiyaan usahatani maka keinginan/kebersediaan untuk membayar terhadap harga suatu input akan ditentukan sendiri dengan rasional yang tentunya terkait dengan potensiu manfaat yang dijanjikan. Khusus untuk Lampung, peranan pedagang pengumpul di tingkat desa juga kelihatannya berperan penting sebagai penyedia biaya (financier) yang dapat mendorong petani untuk menerapkan suatu jenis input.
4.2.3. Kebersediaan Petani Membayar Benih Jagung Transgenik Tahap berikutnya adalah menanyakan kepada petani yang berminat seberapa besar kelebihan harga (lebih mahal) daripada harga benih hibrida biasa (misalkan harga Rp X per kg) yang petani mau bayar untuk benih jagung
111
transgenik tersebut untuk per kg. Teknik yang digunakan adalah dengan payment card, dimana kepada petani ditunjukkan daftar harga sehingga petani yang bersangkutan dapat memilih suatu angka harga yang diinginkan. Tabulasi respon petani terhadap WTP yakni keinginan untuk membayar disajikan dalam bentuk kisaran harga seperti pada Tabel 33. Untuk memudahkan analisis maka indikasi harga WTP yang direspon oleh petani dibuat dalam kisaran 0 – 4.000, 4.000 – 8.000, 8.000 – 12.000, 12.000 - 16.000, 16.000 - 20.000, 20.000 – 24.000, 24.000 – 28.000, dan 28.000 – 32.000 rupiah.
Tabel 33. Jumlah petani yang berminat akan benih jagung transgenik dan yang secara eksplisit menyatakan WTP, dikelompokkan dalam kisaran harga di Jawa Timur (Jatim) dan Lampung Kisaran harga WTP (Rp) 0 – 4.000 4.000 – 8.000 8.000 – 12000 12.000 – 16.000 16.000 – 20.000 20.000 – 24.000 24.000 – 28.000 28.000 – 32.000 Jumlah
Jagung RR Jatim Lampung 18 37 16 17 17 3 7 1 1 60 57
Jagung Bt Jatim Lampung 26 53 16 9 4 0 1 0 56 53
Jagung RR+Bt Jatim Lampung 15 31 8 17 11 4 12 5 0 4 0 55 52
Deskripsi statistik WTP petani terhadap masing-masing jenis benih jagung transgenik, yakni kelebihan harga yang mau dibayarkan oleh petani di atas harga benih hibrida konvensional yang selama ini sudah dibeli, ditampilkan pada Tabel 34. Nilai rata-rata kelebihan WTP yang terbesar dijumpai untuk jagung RR+Bt disusul RR dan yang terkecil adalah untuk jagung Bt. Nilai median WTP untuk RR+Bt dan RR adalah sama yakni Rp 4.000; sedangkan nilai kwartil ke-3 (Q3) untuk RR+Bt adalah Rp 8.000 lebih tinggi daripada RR yakni Rp 7.500. Petani mau memberikan WTP rata-rata lebih tinggi untuk jagung RR+Bt dibandingkan dengan jagung RR dan jagung Bt. Sebagian besar petani menginginkan tingkat harga yang tetap hingga sekitar 10% (yakni Rp 4.000/kg sepersepuluh dari Rp 40.000/kg harga rata-rata benih hibrida yang umum dijumpai di pasar saat ini). Nilai rata-rata WTP premium lebih tinggi di Jawa Timur yakni berkisar Rp 4.511 – 8.947 dibandingkan dengan Lampung yang variasinya yakni Rp 16,7 - 1700.
112
Tabel 34. Statistik deskriptif nilai WTP premium (lebih mahal) Jenis benih jagung trasngenik
Kelebihan WTP premium yakni yang mau dibayar petani lebih mahal untuk benih transgenik dari harga benih hibrida saat ini Rata-rata
Minimum
Median
Q3
Maksimum
RR
7.121
0
5.000
10.000
30.000
Bt
4.511
0
5.000
8.125
20.000
RR+Bt
8.947
0
8.000
15.000
26.000
RR
1.600
0
0
4.000
8.000
Bt
16,7
0
0
0
1.000
RR+Bt
1.700
0
0
4.000
8.000
Jawa Timur
Lampung
Kalau dianalisis lebih lanjut dengan mengelompokkan kisaran harga WTP premium pada 3 kelompok yakni: harga tetap – 10% lebih mahal; 10-30% lebih mahal; dan >30% lebih mahal, terlihat dengan jelas (Gambar 32) kecenderungan para petani yang sebagian terbesar sebenarnya menginginkan harga benih transgenik tidak lebih mahal 30% daripada harga benih jagung hibrida konvensional atau non-transgenik. Sekitar 35-55% petani di Jawa Timur dan Lampung mau membayar pada kisaran 10-30% lebih mahal dari harga hibrida saat ini. Namun demikian terdapat porsi petani yang signifikan dengan WTP yang lebih mahal 30% di Jawa Timur untuk jagung RR, Bt dan RR+Bt berturut-turut 15, 9 dan 38%.
Sedangkan di Lampung tidak dijumpai petani yang rela
membayar lebih mahal 30% untuk ketiga jenis benih transgenik tersebut. Hal ini juga terlihat dari nilai median, Q3 dan maksimum WTP untuk ketiga benih tersebut lebih tinggi di Jawa Timur daripada di Lampung. Apreasiasi petani di Jawa Timur terhadap teknologi baru ternyata lebih tinggi yang sekaligus menunjukkan signifikannya jumlah sekelompok inovator dan early adopter rela membayar lebih mahal untuk teknologi yang menurut petani memberikan manfaat atau memenuhi kebutuhan mereka.
113
(1)
Proporsi petani
100% 75%
RR Jatim RR Lampung
65% 55%
50%
35%
30% 25%
15% 0%
0% < 10% 10 - 30 % > 30% Harga lebih mahal dari benih hibrida
(2)
Proporsi petani
100%
100%
Bt Jatim Bt Lampung
75% 50%
46%
45%
25% 0%
9%
0%
0% < 10% 10 - 30 % > 30% Harga lebih mahal dari benih hibrida
(3)
Proporsi petani
100%
RR+Bt Jatim RR+Bt Lampung
75%
60%
50% 27%
35%
40%
38%
25% 0% 0% < 10% 10 - 30 % > 30% Harga lebih mahal dari benih hibrida
Gambar 32. Proporsi petani yang mau membayar harga benih transgenik: (1). RR, (2). Bt, dan (3). RR+Bt lebih mahal daripada harga benih hibrida Kurva rata-rata WTP premium (sebagai sumbu-X) yang diplot terhadap jumlah petani (sumbu-Y) yang memilih tingkat premium WTP (lebih mahal daripada harga hibrida) ditampilkan pada Gambar 33.
Kurva untuk RR+Bt dan
114
RR baik di Jawa Timur dan Lampung lebih berdekatan satu sama lain dan lebih landai dibandingkan dengan kurva WTP untuk Bt.
Hal ini menunjukkan
kecondongan petani untuk membayar harga yang lebih tinggi bagi jenis RR dan RR+Bt. Terlihat untuk titik-titik harga rata-rata WTP yang lebih tinggi, baik kurva RR+Bt dan kurva RR berada di atas kurva Bt. Artinya relatif lebih banyak petani yang mau membayar lebih tinggi untuk benih jagung transgenik RR dan RR+Bt dibandingkan dengan benih Bt. Kurva minat akan semua jenis benih di Jawa Timur terlihat lebih landai dibandingkan dengan Lampung. Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa para petani di Jawa Timur lebih apresiatif terhadap teknologi baru dengan kecondongan yang lebih tinggi untuk membayar harga teknologi yang lebih mahal. Selanjutnya, Gambar 33 merupakan suatu model kurva yang menjelaskan hubungan jumlah petani yang berminat menerapkan benih transgenik (permintaan) terhadap rata-rata kisaran harga (lebih mahal daripada harga benih hibrida konvensional saat ini). Dengan model kurva ini kemudian diturunkan suatu hubungan persamaan regresi linier.
Kurva peminat benih transgenik di Jatim vs. WTP premium 60
Kurva peminat benih transgenik di Lampung vs. WTP premium 60
40
Jatim Bt Jatim RR+Bt
20
Lampung RR Jumlah Peminat
Jumlah peminat
Jatim RR 40
Lampung Bt Lampung RR+Bt
20
0
0
Harga WTP premium (Rp/kg)
Harga WTP premium (Rp/kg)
Gambar 33. Kurva jumlah petani peminat vs. WTP premium benih transgenik di Jawa Timur dan Lampung. Hasil analisis regresi jumlah responden dan WTP rata-rata diperoleh persamaan dan koefisien determinasi yang semuanya memiliki nilai p untuk sidik
115
ragam regresi < 0,05 sebagai berikut (hasil analisis regresi dan sidik ragam tertera pada Lampiran 8): 2
Jatim-RR = 82.1 – 7,92 ln_WTP
R = 76,3% (p = 0,005)
Jatim-Bt = 105 – 10,4 ln_WTP
R = 96,8% (p = 0,000)
Jatim-RR+Bt = 54,3 – 5,03 ln_WTP
R = 66,7% (p = 0,013)
Lampung-RR = 139 – 14,0 ln_WTP
R = 88,8% (p = 0,000)
Lampung-Bt = 165 – 16,8 ln_WTP
R = 65,9% (p = 0,000)
Lampung-RR+Bt = 121 – 12,1 ln_WTP
R = 90,5% (p = 0,000)
2 2 2 2 2
dimana peminat RR, Bt, dan RR+Bt berturut-turut di Jawa Timur dan Lampung sebagai jumlah peminat benih transgenik untuk harga WTP rata-rata yang lebih tinggi daripada harga benih hibrida konvensional; ln_WTP merupakan logaritma berbasis natural (e) untuk harga rata-rata WTP premium. Persamaan regresi di atas secara indikatif dapat memprediksi seberapa besar jumlah atau proporsi petani responden yang berminat menerapkan benih transgenik dimana jumlah peminat (indikasi permintaan) berbanding lurus terhadap nilai negatif logaritma natural harga rata-rata WTP. Untuk mengetahui tentang faktor-faktor yang mungkin mempengaruhi petani sehingga memberikan respond terhadap WTP yang berbeda-beda, dilakukan rangkaian sidik ragam (satu arah) WTP terhadap beberapa variabel yakni
tingkat
pendidikan,
IP
pertanaman/panen dalam setahun.
(indeks
pertanaman),
dan
total
luas
Hasil sidik ragam lengkap disajikan pada
Lampiran 9. Ringkasan hasil sidik ragam ditampilkan pada Tabel 35. Tampak bahwa secara umum bahwa perbedaan profil petani dalam hal tingkat pendidikan berpengaruh terhadap WTP akan benih jagung transgenik, pengaruh yang tidak nyata hanya dijumpai terhadap WTP jagung RR+Bt. Sementara penguasaan aset berupa total luas pertanaman jagung dalam setahun semuanya berpengaruh terhadap WTP jenis jagung transgenik apa saja. Intensitas pertanaman palawija yang dilakukan petani (1 – 3 kali pertanaman jagung/ tanaman palawija lain) juga berpengaruh nyata terhadap WTP seluruh jenis benih transgenik.
116
Tabel 35. Ringkasan hasil sidik ragam WTP terhadap berbagai faktor Keterangan A. Tingkat pendidikan a. WTP-RR b. WTP-Bt c. WTP-RR+Bt B. Indeks pertanaman a. WTP-RR b. WTP-Bt c. WTP-RR+Bt C. Luas pertanaman a. WTP-RR b. WTP-Bt c. WTP-RR+Bt
Nilai statistik Nilai F
Nilai p
3,37 4,78 0,94
0,021 *) 0,004 *) 0,425 ns)
16,50 32,88 19,04
0,000 **) 0,000 **) 0,000 **)
4,04 3,62 2,39
0,000 **) 0,000 **) 0,001 **)
Keterangan:
*) pengaruh signifikan faktor terhadap WTP pada selang kepercayaan 95% **) pengaruh signifikan faktor terhadap WTP pada selang kepercayaan 99% ns ) tidak ada pengaruh signifikan faktor terhadap WTP
Apabila ditelaah lebih lanjut, pengetahuan petani tentang manfaatnya maupun risiko atau kekurangan/kelemahan dari jagung transgenik tersebut sangat terbatas. Pendapat petani tentang manfaatnya mengarah pada sifat-sifat (trait) yang dapat memenuhi atau membantu mengatasi masalah teknis budidaya yang dihadapi selama ini. Secara umum komentar dan harapan petani selalu muncul dalam wawancara mengenai kemungkinan penerapan benih jagung transgenik ini adalah petani ingin secepatnya benih jagung tersebut untuk dikomersialkan, sehingga petani dapat membelinya di kios-kios. Hal ini setelah diberi penjelasan dan gambar tentang beberapa keunggulan jagung transgenik tersebut. Berkaitan dengan sifat-sifat yang diharapkan petani dari benih jagung transgenik umumnya sangat bervariasi. Namun demikian keinginan terbanyak adalah agar jagung tersebut memberi produktivitas yang lebih tinggi dari hibrida biasa atau tahan terhadap hama penyakit.
Jawaban selengkapnya terhadap
pertanyaan apa saja yang diharapkan dari benih transgenik tersaji pada Gambar 34. Harapan petani terhadap jenis jagung transgenik adalah yang memiliki karakteristik dan kelebihan akan produktivitas yang tinggi baik Lampung dan Jawa Timur dan tahan terhadap hama khusus untuk Jawa Timur. Sedangkan untuk
117
ketahanan terhadap penyakit tinggi harapan petani di kedua propinsi.
Dari
deskripsi ini terlihat bahwa dengan pilihan jagung transgenik RR, RR+Bt dan Bt, setidak-tidaknya kebutuhan petani akan teknologi yang dapat meningkatkan produktifitas, tahan hama dan penyakit dapat terpenuhi atau terjawab.
Hal ini
juga menunjukkan bahwa harapan petani akan adanya jenis teknologi trait (sifat) lain yang dibutuhkan petani selain ketahanan hama/penyakit dan produktifitas tinggi juga mencakup efisiensi pemupukan, tahan kekeringan, bahkan sifat kandungan nutrisi yang lebih baik. Persentase petani di Lampung (dengan lahan kering/tegal yang dominan untuk pertanaman jagung) yang berharap benih transgenik tahan kekeringan lebih tinggi daripada di Jawa Timur. Umumnya sifat yang diapresiasi petani tersebut masih dominan dari kategori agronomis (baik ketahanan terhadap cekaman biotis maupun cekaman abiotis), sedangkan sifat yang terkait dengan kualitas output panen seperti kandungan nutrisi masih belum begitu diapresiasi oleh petani.
Tahan Kering
25%
Efisien pupuk
25% 22% 10%
Tahan Herbisida Kandungan nutrisi
6% 3%
Tahan genangan
7%
43%
Jatim Lampung
22%
13%
Tahan penyakit
55%
Tahan hama
17%
69% 79% 87%
Produktivitas
0%
93%
100%
Gambar 34. Persentase harapan petani terhadap sifat jagung transgenik 4.3. Analisis Keberlanjutan Usahatani 4.3.1. Indeks Keberlanjutan Usahatani Jagung Hibrida saat ini Seperti yang dikemukakan pada Bab Metodologi, penilaian indeks keberlanjutan dilakukan dengan pembobotan dimensi dan indikator yang sama
118
nilainya.
Kriteria ekologi dengan 6 indikator yakni jumlah pupuk, jumlah
herbisida, jumlah insektisida, jumlah kompos, kesuburan relatif tanah, dan kemiringan lahan. jagung
hibrida
Kriteria ekonomi dengan 4 indikator yakni produktivitas dan
transgenik,
biaya
total
dan
penghematan
serta
mempertimbangkan kenaikan harga (premium) benih transgenik yang akan dibayar oleh petani, B/C rasio, dan keuntungan usahatani. Kriteria sosial diukur dengan indikator-indikator berupa luas panen per tahun yang menggambarkan akses untuk faktor produksi utama dimana skala usaha semakin luas tentu memberikan posisi yang mantap bahwa usahatani jagung merupakan sumber penghasilan utama keluarga. Profil petani seperti tingkat pendidikan, afiliasi pada kelompok tani, dan kontribusi penerimaan usahatani jagung bagi keluarga juga digunakan sebagai pengukur kriteria sosial. Dalam aspek sosial ini, mengingat harga benih transgenik akan lebih tinggi daripada harga benih hibrida maka persepsi
petani
untuk
menambah
investasi
dalam
usahataninya
dapat
mempengaruhi penerimaan terlepas dari potensi manfaatnya. Nilai indeks indikator, dimensi dan secara agregat menurut berbagai faktor tipe lahan, penggunaan pestisida dan tingkat pendidikan disajikan secara detil pada Lampiran 10, dengan ringkasan penghitungan indeks keberlanjutan pada tingkat kriteria, indikator, dan secara agregat pada tingkat propinsi disajikan pada Tabel 36. Agregat indeks keberlanjutan usahatani jagung hibrida saat ini di Jawa Timur (93,9) umumnya lebih baik daripada indeks di Lampung (83,7) terutama disumbangkan oleh kriteria ekologi dan ekonomi. Indikator kompos, kesuburan tanah relatif, kondisi lahan yang datar serta penggunaan pupuk di Jawa Timur umumnya lebih baik daripada di Lampung, sedangkan indikator penggunaan pestisida (herbisida dan insektisida) relatif tidak jauh berbeda indeksnya. Selain itu, tingkat produktifitas jagung dan keuntungan usahatani yang diperoleh petani di Jawa Timur lebih baik daripada produktifitas dan keuntungan usahatani di Lampung. Apabila angka indeks ≥ 80 dianggap kategori baik dan kisaran indeks 70 – 80 dianggap kategori sedang, dan indeks < 70 yang perlu mendapat perhatian khusus untuk perbaikan, maka nampak bahwa secara agregat keberlanjutan usahatani jagung saat ini tergolong baik. Akan tetapi, dari Tabel 36 terlihat
119
bahwa ada beberapa indikator yang perlu mendapat perhatian yang indeksnya lebih kecil dari 70. Dalam kaitan ini sungguh menarik untuk diperhatikan bahwa di Jawa Timur indikator yang perlu mendapat perbaikan adalah biaya pengeluaran usahatani yang tinggi, afiliasi kelompok, luas pertanaman (skala usaha) dan kontribusi usahatani jagung bagi penerimaan. Di Lampung indikator yang perlu mendapat perhatian adalah tingkat kesuburan tanah dan penggunaan kompos, penggunaan herbisida, dan biaya pengeluaran usahatani yang tinggi. Ditinjau dari aspek sosial, indikator-indikator sosial di Lampung menunjukkan indeks yang lebih baik dengan skala usaha yang lebih luas, afiliasi kelompok lebih baik dan kontribusi jagung terhadap penerimaan rumahtangga petani, walaupun indeks tingkat pendidikan di Lampung lebih rendah daripada di Jawa Timur. Tabel 36. Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut provinsi Kriteria
Indikator
EKOLOGI Pupuk Kesuburan relatif Kemiringan lahan Kompos Herbisida Insektisida EKONOMI Produktifitas Biaya total B/C ratio Keuntungan SOSIAL Luas panen/ tahun %-Kontribusi jagung Pendidikan Afiliasi kelompok AGREGAT
Jawa Timur
Lampung
104,3 114,9 97,1 118,3 146,4 71,1 77,6 103,5 107,0 45,5 145,9 115,6 70,4 53,9 52,5 115,7 66,9 93,9
74,7 107,2 59,4 94,5 49,8 61,5 76,0 89,5 92,4 48,0 134,4 83,1 89,9 115,8 70,4 85,4 85,0 83,7
Jika ditelaah antar kabupaten di Jawa Timur dan Lampung maka ditemukan juga variasi indeks antara kriteria dan indikator. Di kabupatenkabupaten di wilayah penelitian Jawa Timur dari aspek ekologi jelas terlihat
120
peranan kondisi lahan sawah yang datar/relatif datar, penggunaan pupuk dan kompos lebih baik serta dengan kesuburan tanah relatif lebih baik (Tabel 37). Tabel 37. Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut kabupaten Kriteria/Indikator
Blitar
Jombang
Kediri
L Selatan
L Tengah
L Timur
Malang
Mojokerto
Nganjuk
EKOLOGI Pupuk Kesuburan relatif Kemiringan lahan Kompos Herbisida Insektisida
109,5 95,3 107,1 111,9 181,0 89,5 71,7
133,5 149,6 89,0 126,5 275,0 69,2 91,6
94,9 85,4 104,2 133,3 118,5 84,9 43,3
72,4 94,6 60,1 67,0 73,3 90,8 48,3
73,6 109,7 59,8 97,0 39,5 50,6 85,3
80,9 118,7 57,3 127,1 42,8 48,1 91,2
91,6 131,0 102,4 114,5 78,2 50,9 88,8
96,1 128,7 83,3 108,3 97,5 68,6 86,4
91,7 69,7 104,2 133,3 119,5 62,3 61,0
EKONOMI Produktifitas Biaya total B/C ratio Keuntungan
105,4 124,7 29,1 133,3 134,5
103,9 79,6 55,9 165,9 114,2
107,0 129,0 25,5 129,5 144,1
72,2 99,7 27,7 97,2 64,4
97,5 88,0 54,8 150,5 96,6
93,4 93,5 59,5 145,7 74,8
94,9 93,7 60,4 146,4 79,2
103,5 102,1 57,7 153,6 100,7
111,5 129,6 28,1 137,5 150,7
74,0 44,7 62,6
41,4 16,8 31,1
82,4 71,7 57,2
89,5 127,9 35,3
89,0 107,7 91,0
94,1 119,8 82,0
72,0 40,3 34,8
67,6 60,8 62,3
114,5 132,6 69,0
120,3 71,4
67,7 50,0
160,4 71,4
114,6 79,4
76,4 93,6
63,7 70,8
119,8 75,0
93,1 63,3
181,4 75,0
95,2
92,9
94,9
77,3
85,9
91,2
84,7
90,0
105,9
SOSIAL Luas panen/ tahun %-Kontribusi jagung Pendidikan Afiliasi kelompok AGREGAT
Indeks keberlanjutan di Nganjuk menunjukkan angka tertinggi disusul oleh Blitar dan Kediri, sedangkan yang terendah dijumpai di Lampung Selatan disusul oleh Lampung Tengah dan Malang.
Indikator-indikator yang relatif
menonjol di Nganjuk adalah kesuburan tanah (104), lahan yang datar 133), penggunaan kompos (120), produktifitas dan keuntungan usahatani (130; 138), skala usaha (133), dan tingkat pendidikan (133). Sedangkan di Lampung Selatan rendahnya indeks terutama disumbangkan dari indikator-indikator kemiringan lahan (67), penggunaan kompos (73), penggunaan insektisida (48), biaya total
121
yang dikeluarkan (28), dan keuntungan usahatani (64). Walaupun secara agregat tidak ada indeks keberlanjutan yang lebih kecil dari 70 di semua kabupaten yang diteliti, akan tetapi dijumpai indikator-indikator yang perlu mendapat perhatian khusus untuk perbaikan pengelolaan usahatani yakni: Dimensi Ekologis: -
Penggunaan pupuk di Nganjuk yang cenderung overdosis.
-
Tingkat kesuburan tanah relatif rendah di Lampung.
-
Penggunaan kompos sangat minim di Lampung Tengah dan Timur. Petani di Lampung Selatan tampaknya sudah menyadari perlunya kompos untuk memperbaiki kesuburan tanah.
-
Aspek kemiringan lahan di Lampung Selatan dimana usahatani jagung banyak dilakukan di wilayah perbukitan.
-
Penggunaan herbisida yang tinggi di Jombang, Malang, Mojokerto, Nganjuk dan Lampung Tengah dan Timur.
-
Penggunaan insektisida intensif di Kediri, Nganjuk dan Lampung Selatan.
Dimensi Ekonomi: -
Aspek biaya total pengeluaran usahatani semuanya perlu mendapat perhatian di seluruh kabupaten. Hal ini menunjukkan bahwa ongkos produksi saat ini sangat tinggi bagi petani dan menjadi beban berat dalam usahatani jagung bilamanaa harga panen rendah atau jatuh.
-
Tingkat keuntungan relatif rendah diperoleh petani di Lampung Selatan terutama akibat besarnya biaya pengeluaran usahatani jagung.
Dimensi Sosial: -
Skala usaha yang sangat kecil di Blitar, Jombang, Malang dan Mojokerto.
-
Kontribusi usahatani jagung bagi penerimaan keluarga belum optimal di semua kabupaten kecuali Lampung Tengah, Lampung Timur dan Nganjuk.
-
Tingkat pendidikan yang relatif rendah di Jombang dan Lampung Timur.
-
Afiliasi kelompok yang relatif berjalan baik kecuali yang masih rendah di Jombang dan Mojokerto. Seperti yang telah dikemukakan oleh Miranda (2001), kajian keberlanjutan
sebaiknya menekankan pemecahan masalah pada tingkat lokal dengan sistem usahatani yang ada saat ini. Jika petani mempraktekkan pertanian berkelanjutan
122
pada tataran praktis di level usahatani maka secara menyeluruh akan diperoleh tingkat keberlanjutan yang diharapkan. Kelayakan ekonomi memastikan kegiatan produksi yang stabil, menguntungkan dan efisien, serta aspek sosial yang terkait dengan akses pada penggunaan faktor produksi, akses dukungan dan informasi.
4.3.2. Simulasi Pengaruh Adopsi Keberlanjutan Usahatani
Benih
Transenik
pada
Indeks
Selanjutnya dikaji nilai-nilai indeks pada intensitas penggunaan herbisida dan insektisida karena kedua faktor ini mengalami perubahan penggunaan (bertambah atau berkurang) dengan skenario adopsi benih jagung transgenik. Saat ini pada usahatni jagung hibrida dengan intensitas penggunaan pestisida (herbisida dan insektisida) yang tinggi tampak bahwa indeks agregat keberlanjutan cenderung lebih rendah dibandingkan dengan pada usahatani dengan pengunaan pestisida yang rendah.
Pada Tabel 38 diperlihatkan nilai
indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut intensitas penggunaan herbisida (tinggi atau rendah). Tabel 38. Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut intensitas penggunaan herbisida Kriteria
Indikator
EKOLOGI Pupuk Kesuburan relatif Kemiringan lahan Kompos Herbisida Insektisida EKONOMI Produktifitas Biaya total B/C ratio Keuntungan SOSIAL Luas panen/ tahun %-Kontribusi jagung Pendidikan Afiliasi kelompok AGREGAT
Tinggi
Rendah
77,4 114,4 74,5 109,8 43,3 38,8 88,4 100,4 91,8 58,5 155,5 95,8 86,8 92,1 71,3 93,0 79,7 86,7
102,5 107,8 83,7 103,8 159,5 95,6 64,6 93,0 108,6 34,5 124,6 104,4 75,7 74,7 51,7 107,0 71,3 89,9
123
Indeks agregat keberlanjutan pada intensitas rendah sedikit lebih baik (90) dibandingkan dengan intensitas tinggi (87).
Adanya herbisida sebagai input
eksternal memberikan pengaruh yang signifikan terhadap kriteria ekologis dengan perbedaan indeks yang jauh antara intensitas tinggi dan rendah. Kriteria ekonomi pada intensitas tinggi (100) lebih baik daripada indeks ekonomi pada intensitas rendah (93), demikian juga untuk kriteria sosial pada intensitas tinggi (87) lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas rendah (76). Walaupun petani menggunakan herbisida namun itu tidak memberikan produktifitas dan tingkat keuntungan yang lebih tinggi. Hal ini disebabkan karena herbisida yang digunakan untuk penyiapan lahan (sebelum tanam) tidak langsung berkaitan dengan kinerja tanaman (berbeda dengan penggunaan insektisida yang langsung berpengaruh terhadap hama serangga penekan). Bahkan kalau herbisida digunakan untuk penyiangan gulma malah terdapat potensi kerusakan tanaman akibat pengaruh herbisida (gejala terbakar atau menguning, atau dengan istilah crop injury) yang dapat mengurangi potensi hasil panen. Kondisi ini nantinya dapat diperbaiki bilamana petani sudah dapat menerapkan benih jagung tahan herbisida sehingga injury tersebut dapat dihilangkan. Akan tetapi menarik untuk dicatat dimana efisiensi (B/C rasio) untuk penggunaan intensitas tinggi memberikan angka yang lebih baik daripada intensitas rendah disebabkan oleh tenaga kerja yang digunakan untuk penyiapan lahan lebih sedikit. Adanya input herbisida pada kenyataanya membantu petani dalam penghematan tenaga kerja khususnya untuk kegiatan penyiapan lahan dan penyiangan gulma di antara baris tanaman. Dua kegiatan dalam budidaya jagung ini menempati porsi yang besar dalam penggunaan tenaga kerja. Alasan inilah yang tampaknya digunakan oleh para petani jagung di Lampung yang lebih banyak menggunakan herbisida, baik untuk penyiapan lahan tanpa olah tanah (TOT) maupun untuk penyiangan gulma. Herbisida yang digunakan oleh petani biasanya dapat berupa bahan aktif kontak yakni umumnya paraquat, bahkan ada sebagian petani yang justru menggunakan herbisida berbahan aktif sistemik yakni glifosat. Keduanya dapat memberikan efek kerusakan pada jaringan tanaman yang terkena oleh butiran semprotan pada jagung hibrida (non-transgenik) terutama kalau penyemprotan dilakukan secara tidak hati-hati atau pada saat
124
tanaman masih terlalu pendek. Hal ini sebenarnya kalau diteliti secara seksama akan dapat menurunkan hasil produksi mengingat daun-daun pada bagian bawah tanaman akan layu sehingga dapat mengurangi fotosintesis. Pada Tabel 39 diperlihatkan nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut intensitas penggunaan insektisida (tinggi atau rendah). Indeks agregat keberlanjutan pada intensitas rendah lebih baik daripada indeks pada intensitas tinggi (92 vs. 81) terutama karena perbedaan menonjol dalam indikator-indikator penggunaan pupuk dan kompos, selain indeks penggunaan insektisida itu sendiri. Perbedaan indeks kriteria ekologi juga terlihat berbeda yakni 94 vs. 82. Namun indeks produktifitas dan keuntungan ternyata lebih baik pada penggunaan intensitas insektisida tinggi walaupun petani harus mengeluarkan biaya yang cukup tinggi membeli berbagai jenis input insektisida.
Tabel 39. Nilai indeks indikator dan kriteria pada usahatani jagung hibrida menurut tingkat penggunaan insektisida Kriteria
Indikator
EKOLOGI Pupuk Kesuburan relatif Kemiringan lahan Kompos Herbisida Insektisida EKONOMI Produktifitas Biaya total B/C ratio Keuntungan SOSIAL Luas panen/ tahun %-Kontribusi jagung Pendidikan Afiliasi kelompok AGREGAT
Tinggi 82,2 99,2 80,2 107,0 95,4 79,3 32,2 91,3 109,6 31,7 120,8 103,3 79,7 83,6 50,2 119,8 78,8 80,5
Rendah 93,5 116,9 78,4 106,8 102,2 60,5 97,8 99,4 95,5 53,8 149,7 98,5 84,0 83,7 66,7 91,1 74,1 92,0
Hasil simulasi agregat keberlanjutan dengan adanya masukan teknologi benih transgenik disajikan pada Tabel 40. Terlihat bahwa dalam aspek ekologi faktor yang akan berubah dengan adopsi benih jagung transgenik terkait dengan
125
penggunaan herbisida dan insektisida.
Indeks herbisida akan menurun pada
adopsi benih tahan herbisida disebabkan oleh akan meningkatnya penggunaan herbisida dalam jumlah signifikan yang digunakan petani untuk melakukan penyiangan gulma di antara tanaman. Untuk adopsi benih tahan hama (Bt) akan ada perbaikan indeks karena penurunan jumlah insektisida yang digunakan petani. Untuk benih dengan kombinasi RR+Bt kedua fitur manfaat yang tahan herbisida dan hama penggerek batang/tongkol akan menjadi kinerja utama sehingga diharapkan memberikan manfaat lebih. Hal ini sebenarnya telah terkonfirmasi pada saat analisis WTP dimana petani cenderung mau membayar lebih untuk RR+Bt, kemudian disusul RR dan WTP yang terendah pada Bt.
Tabel 40. Nilai indeks menurut indikator, dimensi dan agregat pada usahatani jagung hibrida dan simulasi adopsi Bt, RR, dan RR+Bt. Kriteria
Indikator
EKOLOGI Pupuk Kesuburan relatif Kemiringan lahan Kompos Herbisida Insektisida EKONOMI Produktifitas Biaya total B/C ratio Keuntungan *)median SOSIAL Luas panen/ tahun %-Kontribusi jagung Pendidikan Afiliasi kelompok AGREGAT
Hibrida
Bt
RR
RR+Bt
89,9 111,2 79,0 106,9 100,0 66,5 76,8 96,8 100,0 46,8 140,4 83,3 81,1 83,6 61,7 100,0 75,6 88,3
95,3 111,2 79,0 106,9 100,0 66,5 109,7 106,7 105,0 47,5 166,2 99,1 77,4 83,6
84,4 111,2 79,0 106,9 100,0 33,9 76,8 109,8 113,0 47,5 178,9 98,4 77,4 83,6 44,9 *) 100,0 75,6 89,0
89,8 111,2 79,0 106,9 100,0 33,9 109,7 111,8 116,0 47,5 183,6 98,1 77,4 83,6
100,0 75,6 91,0
100,0 75,6 91,5
*) faktor koreksi 0,7278 terhadap 61,67 dengan anggapan petani menambah investasi (awal) untuk membeli benih transgenik yang lebih mahal sehingga untuk indeks %-kontribusi menurun; untuk indeks keuntungan pada dimensi ekonomi dihitung berdasarkan nilai median
Pada kriteria ekologi terlihat dengan jelas bahwa indeks dari indikatorindikator selain herbisida dan insektisida adalah tetap, sedangkan indeks
126
keberlanjutan terkait penggunaan herbisida menurun pada adopsi RR dan RR+Bt, dan indeks keberlanjutan terkait penggunaan insektisida meningkat pada Bt dan RR+Bt.
Untuk kriteria ekonomi perubahan yang terutama adalah peningkatan
indeks produktifitas dan rasio B/C, dan keuntungan, sedangkan biaya total relatif tidak mengalami perubahan dengan adanya adopsi benih transgenik.
Indeks
biaya total relatif tetap karena kenaikan biaya untuk pembelian benih dan juga penghematan biaya akibat penghematan tenaga kerja dan pengurangan penggunaan insektisida adalah proporsional.
Untuk kriteria sosial, satu-satunya
indikator yang diperkirakan memberikan pengaruh adalah persentase kontribusi usahatani jagung terhadap penerimaan keluarga petani. Hal ini terkait dengan keinginan atau minat petani untuk mengeluarkan biaya tambahan (cash) untuk membeli benih jagung transgenik. Secara agregat, indeks keberlanjutan menunjukkan ada perubahan pada level usahatani bilamana petani menanam benih jagung transgenik yakni dengan nilai agregat indeks keberlanjutan untuk RR+Bt sebesar 91,5, sebesar 91 untuk Bt, sebesar 89 untuk RR dibandingkan dengan 88 untuk hibrida biasa (konvensional) (Tabel 41). Apakah perubahan indeks keberlanjutan ini secara statistik signifikan atau tidak, maka dilakukan uji-t berpasangan terhadap rerata (mean) nilai indeks untuk masing-masing jenis benih jagung transgenik terhadap benih jagung hibrida.
Hasil uji-t berpasangan (paired T-test) dengan hipotesis nol (H0) yang
diuji adalah indeks keberlanjutan (IK) dengan adopsi benih jagung transgenik sama dengan IK benih hibrida, sedangkan hipotesis alternatif (H1) adalah IK benih transgenik lebih besar (lebih baik) dari IK hibrid disertai dengan batas bawah (lower bound confidence) pada tingkat 95% (α = 0,05), dan diperoleh hasil uji sebagai berikut: Uji-t berpasangan rerata indeks keberlanjutan (IK) RR+Bt vs. hibrida N Rerata SD Galat rerata IK RR+Bt 84 91,50 21,79 2,38 IK hibrida 84 88,30 22,58 2,46 Beda 84 3,196 8,819 0,962 Batas bawah (lower bound) 95% untuk beda rerata : 1.595 Uji-t untuk beda rerata = 0 (vs. > 0): nilai-t = 3.32, nilai-P = 0.001 Dalam hal ini nilai p < 0,05 sehingga hipotesis H0 (beda rerata = 0) ditolak dan H1 diterima, berarti IK dari RR+Bt signifikan lebih baik daripada IK dari hibrida.
127
Uji-t berpasangan rerata indeks keberlanjutan (IK) RR vs. hibrida N Rerata SD Galat rerata IK RR 84 89,02 21,49 2,34 IK hibrida 84 88,30 22,58 2,46 Beda 84 0,714 8,582 0,936 Batas bawah (lower bound) 95% untuk beda rerata: -0.844 Uji-t untuk beda rerata = 0 (vs. > 0): nilai-t = 0.76, nilai-P = 0.224 Dalam hal ini nilai p > 0,05 sehingga hipotesis H0 (beda rerata = 0) diterima dan H1 ditolak , berarti antara IK dari RR sama dengan IK dari hibrida. Uji-t berpasangan rerata indeks keberlanjutan (IK) Bt vs. hibrida N Rerata SD Galat rerata IK Bt 84 91,04 21,75 2,37 IK hibrida 84 88,30 22,58 2,46 Beda 84 2,733 8,525 0,930 Batas bawah (lower bound) 95% untuk beda rerata: 1.186 Uji-t untuk beda rerata = 0 (vs. > 0): nilai-t = 2.94, niali-P = 0.002 Dalam hal ini nilai p < 0,05 sehingga hipotesis H0 (beda rerata = 0) diterima dan H1 diterima, berarti antara IK dari Bt lebih besar daripada IK dari hibrida. Hasil uji tersebut menunjukkan bahwa secara agregat aspek keberlanjutan usahatani jagung pada prinsipnya malah akan lebih baik dengan adanya masukan benih transgenik berdasarkan faktor atau indikator yang dikaji dalam penelitian ini. Pola yang serupa dengan agregat di atas juga dapat diamati pada tingkatan provinsi (Gambar 35). Seperti yang telah dibahas di depan bahwa IK usahatani jagung hibrida pada saat ini di Jawa Timur ternyata lebih baik daripada nilai IK di Lampung. Hal ini terutama dipengaruhi oleh indikator penggunaan pupuk dan kompos yang lebih ideal atau baik di Jawa Timur. Dari segi lahan juga demikian, tipe lahan di Jawa Timur umumnya adalah lahan sawah dan datar dengan kesuburan relatif yang lebih baik. Disamping itu, penggunaan herbisida di Jawa Timur lebih rendah daripada di Lampung, sementara penggunaan insektisida relatif sama. Dari segi ekonomi tingkat produktifitas dan keuntungan usahatani jagung lebih tinggi di Jawa Timur. Dari segi sosial, hanya tingkat pendidikan yang lebih baik di Jawa Timur, sedangkan skala usaha, afiliasi kelompok dan persentase kontribusi jagung terhadap pendapatan keluarga ternyata lebih tinggi di Jawa Timur. Faktor-faktor ini juga secara proprosional memiliki pengaruh yang sama bilamana terjadi adopsi benih jagung transgenik oleh para petani sehingga
128
pola IK pada usahatani jagung Bt, RR, dan RR+Bt baik di Jawa Timur dan Lampung mengikuti nilai IK agregat.
Gambar 35. Rata-rata indeks keberlanjutan usahatani dengan benih jagung hibrida dan transgenik menurut provinsi. Akan tetapi begitu aspek keberlanjutan ini ditelaah lebih mendalam akan terlihat variasi di antara wilayah kabupaten sebagai akibat dari adopsi jenis benih jagung transgenik (Tabel 41). Secara umum adopsi benih Bt dan RR+Bt akan cenderung memberikan indeks yang lebih baik daripada benih hibrida bila dibandingkan dengan benih RR. Terdapat beberapa kabupaten dimana nilai IK (indeks keberlanjutan) dengan adopsi benih transgenik tidak lebih baik daripada usahatani benih hibrida saat ini seperti terlihat untuk kabupaten Lampung Selatan, Blitar, Jombang, Kediri dan Nganjuk.
Hal ini menyiratkan betapa perlunya
memperbaiki indikator-indikator pada usahatani existing seperti yang diuraikan sebelumnya seperti penggunaan pupuk berlebih di Nganjuk, penggunaan pestisida yang intensif antara lain Lampung Selatan, Nganjuk dan Kediri. Sementara di beberapa kabupaten lain seperti Lampung Tengah, Lampung Timur, Malang dan Mojokerto terlihat bahwa dengan adopsi benih jagung transgenik nilai IK menjadi jauh lebih baik. Bahkan di Lampung Timur yang tadinya nilai IK hibrida sekitar 90, namun dengan simulasi adopsi benih transgenik jauh meningkat sehingga menyamai nilai IK tertinggi yang terdapat di Nganjuk.
129
Tabel 41. Nilai indeks keberlanjutan dengan adopsi benih transgenik menurut kabupaten Kediri
L Selatan
L Tengah
L Timur
Malang
Mojokerto
Nganjuk
Bahkan
Jombang
Hibrida saat ini Benih Bt Benih RR Benih RR+Bt
Blitar
Jenis benih
95,2 93,2 91,0 93,2
92,9 92,4 89,9 92,6
94,9 93,2 92,0 93,8
77,3 78,2 76,0 77,8
85,9 89,0 87,2 90,0
91,2 102,9 101,4 104,4
84,7 94,8 92,8 95,8
90,0 95,7 92,7 95,5
105,9 104,9 103,6 105,7
untuk
kabupaten-kabupaten
yang
telah
secara
intensif
menggunakan insektisida seperti Kediri, Nganjuk dan Lampung Selatan, ditemukan nilai agregat indeks keberlanjutan usahatani yang relatif tetap antara jagung hibrida dan transgenik. Hal ini menunjukkan pengaruh indikator insektisida yang buruk bagi indeks keberlanjutan saat ini akibat tingginya aplikasi insektisida oleh petani, sementara pengurangan dosis insektisida dengan adopsi Bt dan Bt+RR tidak sepenuhnya serta merta menghilangkan pengaruh tersebut (Gambar 36).
IK pada kabupaten dengan penggunaan insektisida yang intensif 110
Kediri L Selatan Nganjuk 75 Hibrida
Benih Bt
Benih RR
Benih RR+Bt
Gambar 36. Agregat indeks keberlanjutan (IK) usahatani dengan benih jagung hibrida dan transgenik pada kabupaten dengan penggunaan insektisida yang intensif
130
Dari
kelompok
kabupaten-kabupaten
yang
telah
secara
intensif
menggunakan herbisida yakni Jombang, Nganjuk, dan Lampung Tengah, agregat keberlanjutan antara benih hibrida relatif tidak berubah dan benih RR. Sedangkan di Malang, Mojokerto, dan Lampung Timur agregat keberlanjutan relatif membaik pada benih RR dibandingkan dengan benih hibrida (Gambar 37).
IK pada kabupaten dengan penggunaan herbisida yang intensif 110 Jombang L Tengah L Timur Malang Mojokerto 75
Nganjuk Hibrida
Benih Bt
Benih RR Benih RR+Bt
Gambar 37. Agregat indeks keberlanjutan (IK) usahatani dengan benih jagung hibrida dan transgenik pada kabupaten dengan penggunaan herbisida yang intensif. 4.4. Analisis Faktor-faktor Penentu Kelayakan Keberhasilan Adopsi Benih Transgenik
Pengembangan
dan
4.4.1. Analisis Kriteria Ekonomi, Sosial, Lingkungan dan Kelembagaan Dengan menggunakan teknik AHP, hasil analisis dengan menggunakan perangkat lunak SuperDecision adalah seperti pada Gambar 38, yakni terdiri dari 4 level. Hirarki teratas adalah fokus kelayakan pengembangan benih transgenik di Indonesia sebagai patokan awal bagi pakar dalam memberikan judgement. Level kedua adalah 4 kriteria yakni ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan. Level ke-3 adalah sub-kriteria dan level terakhir adalah alternatif-alternatif teknologi yang tersedia atau potensial memiliki nilai komersialisasi. Data matriks dan hasil penilaian prioritas serta nilai indeks inkonsistensi disajikan pada Lampiran 4. Angka-angka prioritas masing-masing kriteria, subkriteria dan alternatif secara langsung dan tidak langsung menunjukkan posisi
131
derajat kepentingan (importance) atau kelayakannya dibandingkan dengan variabel/faktor yang berada dalam satu level. Dengan menampilkan angka-angka prioritas pada masing-masing variabel dapat terpetakan baik kriteria/subkriteria/alternatif perlu mendapat perhatian untuk pengembangan lebih lanjut.
Fokus
Kriteria
Indikator Produktifitas & net profit 0,1172
Ekonomi 0,0949
Alternatif
Jagung Bt 0,177
Produksi total 0,2731 Harga & Biaya 0,6093
Jagung RR 0,180
Penerimaan publik 0,1173
Sosial 0,1763
Persepsi risiko kesehatan 0,4482 Sebaran manfaat 0,4345
Adopsi benih tanaman transgenik di Indonesia
Jagung RR+Bt 0,168
Padi Bt 0,135
Fisik (tanah, air, irigasi) 0,1261
Lingkungan 0,3228
Keragaman varietas 0,2144 Keamanan hayati 0,6595
Kentang LBR 0,127
Kedelai TH 0,106
Industri benih 0,1083
Kelembagaan 0,4060
Kapasitas SDM 0,2364
Tomat TV 0,108
Regulasi 0,6553
Gambar 38. Hasil analisis hirearki (AHP) faktor-faktor penentu adopsi benih tanaman transgenik.
132
Data hasil kuesioner yang disajikan pada Lampiran 4 merupakan rerata geometrik dari 6 responden pakar, ditampilkan dalam bentuk matriks. Dalam pengolahan data dilakukan pengecekan indeks inkonsistensi. Nilai indeks yang diharapkan adalah lebih kecil dari 0,1. Jika hasil analisis menunjukkan nilai lebih besar dari 0,1 maka perlu revisi berdasarkan inconsistency report sehingga nilainya lebih kecil dari 0,1.
Namun demikian perlu diperhatikan bahwa dalam
menyesuaikan nilai matriks dengan catatan tidak memaksakan perubahan angka terlalu jauh bedanya dengan nilai semula. Dengan kata lain tidak mengubah terlalu jauh terhadap pola atau kecenderungan prioritas/preferensi semula. Langkah-langkah penyesuaian matriks untuk mendapatkan indeks inkonsistensi agar lebih kecil dari 0,1 secara lengkap disajikan pada Lampiran 4.
Dalam
rangkaian analisis sebanyak 17 matriks pembandingan (Tabel 42), hanya satu matriks yang memiliki nilai indeks inkonsistensi di atas 0,1 yakni ditemukan pada analisis sub-kriteria pada kriteria sosial (nilai inkonsistensi 0,1552).
Tabel 42. Daftar nilai indeks inkonsistensi untuk setiap matriks pembandingan berpasangan pada hirarki fokus kelayakan adopsi Matriks Fokus/kriteria/ sub- Indeks in- Matriks Fokus/kriteria/ kekriteria konsistensi kesub-kriteria 1 Fokus kelayakan adopsi 0,0513 10 Persepsi risiko kesehatan 2 Ekonomi 0,0845 11 Sebaran manfaat 3 Sosial 0,0685*) 12 Fisik 4 Lingkungan 0,0103 13 Keragaman varietas 5 Kelembagaan 0,0143 14 Keamanan hayati 6 Produktifitas/laba bersih 0,0203 15 Industri benih 7 Produksi total 0,0259 16 Kapasitas SDM 8 Harga dan biaya 0,0092 17 Regulasi 9 Penerimaan publik 0,0126
Indeks inkonsistensi 0,0057 0,0417 0,0260 0,0391 0,0121 0,0223 0,0066 0,0093
*) Nilai indeks inkonsistensi yang diperoleh setelah dilakukan revisi matriks dalam kriteria sosial. Nilai indeks inkonsistensi pada matriks selebihnya bervariasi dari 0,0057 0,0845. Dengan demikian dilakukan revisi matriks kriteria sosial, secara khusus revisi hubungan Sebaran manfaat vs. Persepsi risiko kesehatan dari nilai 1.886 menjadi 1.2651 (tetap lebih favorable untuk Sebaran manfaat). Dalam hal ini kisaran penilaian masih berada di antara dua nilai pembandingan berpasangan 1 (equal) – 3 (moderate), dengan demikian tidak diperlukan revisi yang signifikan
133
dengan review ulang kepada para pakar. Dengan revisi ini indeks inkonsistensi semula 0,1552 berubah menjadi lebih baik yakni 0,0685. Dengan hasil ini valid melanjutkan analisis faktor-faktor atau kriteria dan sub-kriteria/indikator yang perlu secara kritikal diperhatikan dalam menentukan kelayakan pengembangan dan sukses adopsi teknologi transgenik. Dari tampilan hirarkis pada Gambar 38 diperoleh bahwa faktor kelembagaan memiliki bobot paling besar yakni sebesar 41% kemudian diikuti oleh faktor Lingkungan sebesar 32%, faktor Sosial sebesar 18% dan faktor Ekonomi menempati urutan terakhir yakni sebesar 9%. Jadi menurut para pakar, faktor penentu pilihan transgenik dipengaruhi oleh 2 faktor yang memiliki bobot terbesar yaitu Kelembagaan dan Lingkungan. Hal ini menunjukkan bahwa faktor non-ekonomi lebih penting daripada faktor ekonomi.
Jadi menurut persepsi
pakar, faktor pengembangan transgenik relatif lebih dipengaruhi oleh faktor nonekonomi seperti Kelembagaan, Sosial dan Lingkungan daripada faktor Ekonomi. Untuk faktor kelembagaan apabila dirinci lebih jauh, maka variabel regulasi menempati urutan pertama dengan bobot 65%, kemudian kapasitas SDM kelembagaan (24%) dan terakhir variabel industri benih (11%). Kondisi riil saat ini menunjukkan implementasi regulasi merupakan faktor kunci pembuka pintu agar adopsi terjadi yakni untuk bisa start jalan (Go) atau tidak jalan (No go). Variabel kelembagaan yang mengelola/mengimplementasikan regulasi merupakan kunci
utama
dikembangkan.
yang
harus
dipersiapkan
sebelum
teknologi
transgenik
Misalnya saja, sampai saat ini alasan utama mengapa benih
transgenik belum bisa dikembangkan di Indonesia, karena kelembagaan dan prosedur regulasinya belum lengkap. Setidak-tidaknya hal inilah yang ditangkap oleh kalangan industri penyedia teknologi benih transgenik selama beberapa tahun belakangan ini sehingga keadaan tersebut cenderung dipandang sebagai belum kondusifnya dukungan kebijakan dan kelembagaan untuk aplikasi dan adopsi benih transgenik di Indonesia. Selanjutnya, pada faktor lingkungan, yang sangat menjadi perhatian adalah sub-kriteria keamanan hayati (bobot 66%), kemudian keragaman varietas (21%) dan selanjutnya sub-kriteria fisik (13%). Perhatian terhadap keamanan hayati ini menonjol karena teknologi baru transgenik dikhawatirkan memberi efek negatif
134
kepada lingkungan hayati. Sebagai bottle-neck yang dihadapi saat ini dalam pengembangan benih tanaman transgenik di Indonesia adalah terkait dengan keberadaan Komisi Keamanan Hayati. PP no. 21 tahun 2005 tentang keamanan hayati produk rekayasa genetika mensyaratkan dibentuknya komisi nasional yang bertanggung jawab dalam menerima permohonan ijin keamanan hayati, serta kemudian menelaah, mengevaluasi, dan memutuskan apakah suatu produk atau teknologi dikategorikan aman hayati. Namun demikian, hingga saat ini komisi yang dimaksud belum terbentuk secara formal. Sebenarnya PP 21 menetapkan aturan peralihan dimana prosedur yang diatur dalam SKB 4 Menteri dinyatakan masih berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PP 21 tersebut. Kepedulian responden pakar dalam penelitian ini terhadap aspek keamanan hayati dan keragaman varietas menggambarkan bahwa potensi risiko yang terbesar pada faktor biotik ketimbang pada faktor abiotik (fisik). Hal ini sesuai dengan faktor-faktor risiko yang dikemukakan oleh para peneliti atau pakar yang membahas tentang potensi risiko atau dampak lingkungan tanaman transgenik. Dari 9 dampak lingkungan potensial dari tanaman transgenik yang dikemukakan oleh Carpenter, et al. (2002), 6 dampak di antaranya terkait dengan aspek keamanan hayati dan keragaman varietas, yakni: sifat kegulmaan tanaman, aliran gen, resistensi hama, pergeseran populasi hama, pengaruh pada organisme non-target dan menguntungkan, dan pengaruh terpapar pada manusia. Sedangkan 3 dampak lainnya terkait dengan aspek fisik, yakni: efisiensi/produktifitas lahan, perubahan penggunaan pestisida, dan penggunaan lahan dan olah tanah konservasi.
Kepedulian pakar umumnya mewakili pandangan publik yang
cenderung melihat/mempersepsikan dampak dari sisi negatif saja.
Padahal
dampak lingkungan potensial dari produk/teknologi transgenik juga signfikan potensinya memberikan dampak positif terutama dikaitkan dengan sifat teknologi yang inheren memberikan perlindungan tanaman secara built-in ke dalam benih. Perlindungan tanaman dapat dilakukan secara lebih selektif sehingga organisme non-target dan organisme menguntungkan tidak terkena dampak negatif akibat adopsi benih transgenik, tidak seperti pengaruh yang dapat ditimbulkan oleh aplikasi insektisida yang umumnya memiliki rentang pengendalian yang relatif lebih luas (broad spectrum control). Dampak positif lainnya adalah pada aspek
135
konservasi lahan, penggunaan lahan yang lebih efisien karena peningkatan produktifitas tanaman, dan efisiensi ekonomis dan pengaruh positif pada jejak lingkungan akibat pengurangan aplikasi pestisida secara menyeluruh. Potensi pengaruh terpapar pada manusia terutama ditentukan oleh faktor keamanan pangan. Seperti yang dikemukakan oleh Qaim (1999), aspek keamanan pangan merupakan aspek terpenting dalam evaluasi/pengkajian keamanan produk/teknologi transgenik. Dari uraian di atas, tampaknya menjadi jelas bahwa dengan kelembagaan dan regulasi yang menjamin terlaksananya prosedur evaluasi/penyaringan terhadap berbagai produk/teknologi tanaman transgenik, maka risiko yang potensial mungkin terjadi ditapis/disaring dengan pengkajian yang seksama. Artinya, manajemen risiko sebenarnya telah dimulai sejak dini dimana kelembagaan yang berwenang berhak dan wajib tidak melanjutkan suatu produk/teknologi ke tahap berikutnya jika tidak memenuhi kriteria evaluasi yang digariskan dalam regulasi.
Hal ini sekaligus menunjukkan bahwa kriteria
pengkajian/evaluasi keputusan bagi benih transgenik dilakukan secara lebih ketat bila dibandingkan dengan benih tanaman konvensional atau non-transgenik. Menarik untuk dibahas disini pembandingan antara pestisida dan benih transgenik.
Kedua bentuk teknologi ini dimaksudkan untuk perlindungan
tanaman dari OPT (organisme pengganggu tanaman), hanya bedanya dengan pestisida adalah aplikasi bahan aktif kimiawi sedangkan dengan benih transgenik dilakukan secara genetik melalui transfer sifat ketahanan terhadap OPT yang built-in ke dalam benih.
Pestisida merupakan salah satu terobosan dalam
Revolusi Hijau (selain pupuk, benih unggul HYV, dan bentuk-bentuk teknologi lain). Dengan transgenik yang oleh banyak pihak disebut sebagai revolusi kedua pertanian, ketahanan terhadap OPT yang inheren dalam benih akan signifikan mengurangi jumlah aplikasi pestisida. Benih tanaman transgenik yang diadopsi secara global umumnya masih dominan merupakan produk teknologi generasi pertama seperti yang dikemukakan oleh Kalaitzandonakes (2003). Ke depan teknologi transgenik generasi kedua dan berikutnya memberikan potensi dampak lingkungan yang tampaknya semakin positif. Dewasa ini sedang giat-giatnya dikembangkan benih transgenik yang efisien menggunakan air (tahan kekeringan) dan efisien menggunakan hara atau pupuk. Hal ini tentu memberikan peluang
136
besar untuk mendukung pertanian berkelanjutan dan patut dikembangkan di negara-negara berkembang. Kombinasi teknologi dan produk benih transgenik masa depan tampaknya sangat potensial menggantikan atau mengurangi ketergantungan akan input agrokimia semisal pupuk dan pestisida yang menjadi salah satu tulang punggung peningkatan produksi sejak era tahun 70-an. Apabila hal ini terjadi dan diadopsi secara meluas, maka perubahan pola budidaya atau kultur pertanian diprediksi akan berubah secara signifikan, yang pada gilirannya mempunyai keterkaitan dengan industri-industri baik ke hulu maupun ke hilir. Faktor sosial dengan sub-kriteria persepsi resiko kesehatan dianggap sebagai aspek terpenting dengan bobot 45% kemudian diikuti oleh aspek sebaran manfaat (43%) dan aspek penerimaan publik (12%).
Para responden pakar
melihat bahwa aspek persepsi resiko kesehatan ini paling menonjol termasuk dapat dilihat dengan isu-isu yang sering mengemuka dalam wacana publik misalnya pada media, seminar, dan lokakarya tentang bioteknologi. Sebaran manfaat sebagai aspek yang juga sangat penting. Distribusi surplus manfaat dari komersialisasi teknologi ini menjadi concern karena porsi yang signifikan akan dinikmati oleh perusahaan besar & sistem distribusi agro-input yang ada saat ini. Oleh karena itu, mekanisme transfer teknologi ke petani di luar jalur komersial perlu terus digalakkan. Faktor ekonomi yang terkait dengan aspek harga teknologi dan penghematan biaya yang mungkin disumbangkannya menduduki prioritas tertinggi sebesar 61% kemudian diikuti aspek pengaruhnya terhadap produksi total (27%) dan aspek produktifitas (yield) dan keuntungan bersih yang mungkin didapatkan (12%). Masalah harga dan biaya ini menunjukkan bahwa sifat petani umumnya adalah risk averse oleh karena itu perlu diyakinkan tentang potensi manfaat teknologi baru. Oleh karena itu, penting untuk membantu petani (subsidi input) agar risiko yang khawatirkan petani dipedulikan oleh Pemerintah. Nilai skor atau bobot kelayakan 7 alternatif yang ada menunjukkan bahwa tiga jenis benih jagung transgenik menempati urutan prioritas lebih tinggi (1718%). Sementara ke-4 alternatif lainnya berkisar 11-13% yakni terpaut hanya sekitar 5-7% (Gambar 38 terdahulu).
Analisis kelayakan semua alternatif
berdasarkan kriteria ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan disajikan pada
137
Tabel 43, terlihat urutan prioritas yang sama dimana ketiga jenis benih jagung transgenik menempati urutan prioritas lebih tinggi (16-19%).
Sementara 4
alternatif lainnya berkisar 10-14%. Dapat juga dikatakan bahwa berdasarkan nilai skor tidak ada satu pun alternatif yang cukup menonjol dibandingkan dengan lainnya dalam konteks masing-masing krtiteria ekonomi, sosial, lingkungan dan kelembagaan.
Hasil ini menunjukkan penilaian yang konsisten oleh responden
pakar terhadap alternatif-alternatif teknologi transgenik yang ditawarkan. Dengan demikian dapat dikemukakan bahwa pada kondisi kelembagaan dan/atau regulasi yang belum kondusif atau belum sempurna pada tempatnya maka setiap teknologi transgenik yang prospektif memiliki tingkat kelayakan pengembangan yang relatif sama. Hal ini dapat menjadi justifikasi yang kuat bagi kegiatan (program/proyek penelitian dan pengembangan) berbagai teknologi transgenik dengan komoditas yang bervariasi yang saat ini dilakukan di banyak lembaga dan universitas di Indonesia. Hal yang sama berlaku bagi minat pihak swasta untuk mengintroduksikan teknologi transgenik ke Indonesia dari luar negeri walaupun dengan jenis komoditas yang berbeda dan lebih terbatas jumlahnya yakni dengan nilai komersialisasi yang dianggap tinggi. Tabel 43. Nilai skor prioritas alternatif tanaman transgenik secara agregat, sosial, ekonomi, lingkungan, dan kelembagaan. Alternatif Jagung RR Jagung Bt Jagung RR+Bt Padi Bt Kentang LBR Kedelai TH Tomat TV
Fokus (agregat) 0.180 0.177 0.168 0.135 0.127 0.106 0.108
Ekonomi
Sosial
Lingkungan
Kelembagaan
0.192 0.185 0.167 0.127 0.121 0.104 0.104
0.189 0.174 0.156 0.133 0.123 0.104 0.119
0.185 0.182 0.175 0.142 0.117 0.104 0.095
0.168 0.173 0.167 0.131 0.138 0.109 0.115
4.4.2. Analisis Sukses Adopsi Introduksi Benih Transgenik Selain itu, topik lain yang dianalisis adalah kemungkinan sukses adopsi teknologi dalam bentuk produk benih varietas baru. Hasil analisis peluang sukses adopsi dengan kriteria proses transfer, profil pengguna akhir (end-user), dan penerimaan/persepsi publik disajikan pada Gambar 39. Peluang sukses adopsi
138
masing-masing alternatif baik secara keseluruhan ataupun dalam faktor dapat terlihat dengan jelas (proses transfer, profil pengguna dan persepsi publik, serta masing-masing indikator).
Tujuan
Faktor
Indikator Sistem 0,141
Proses transfer 0,138
Kematangan produk 0,419
Alternatif
Jagung RR 0,179
Jagung Bt 0,162
Mekanisme 0,440
Sukses adopsi produk benih transgenik
Perilaku adopsi 0,174
Jagung RR+Bt 0,163
Padi Bt 0,137
Profil enduser 0,243
Permintaan, minat 0,281
Kentang LBR 0,129
Pendidikan 0,545
Persepsi publik 0,619
Sikap terhadap transgenik 0,315 Sikap terhadap residu pestisida 0,685
Kedelai tahan hama 0,106
Tomat tahan penyakit virus 0,122
Gambar 39. Struktur hirarki untuk penilaian sukses adopsi teknologi benih transgenik. Dalam konteks penelitian ini pengguna akhir yang dimaksud adalah petani sebagai penerima atau pengadopsi suatu teknologi atau varietas benih tertentu. Hirarki teratas adalah berupa sasaran sukses adopsi benih transgenik di Indonesia; level kedua adalah klaster kriteria yang terdiri dari 3 faktor yang dianggap penentu berhasil tidaknya adopsi yakni proses transfer, profil pengguna akhir, dan faktor persepsi publik. Level ke-3 adalah klaster untuk sub-faktor dimana masing-
139
masing kriteria pada level di atasnya diperjelas dengan masing-masing 2 - 3 subkriteria. Level terakhir adalah alternatif-alternatif teknologi yang tersedia atau potensial memiliki nilai komersialisasi. Data hasil kuesioner yang disajikan pada Lampiran 5 merupakan rerata geometrik dari 6 responden pakar. Dalam proses pengolahan data dilakukan pengecekan indeks inkonsistensi. Dalam rangkaian analisis potensi sukses adopsi benih transgenik ini ada sebanyak 12 matriks pembandingan berpasangan, dimana semua matriks memiliki nilai indeks inkonsistensi di bawah 0,1. Nilai indeks inkonsistensi pada matriks selebihnya bervariasi dari 0,0000 - 0,0973 seperti tertera pada Tabel 44.
Tabel 44. Daftar nilai indeks inkonsistensi pembandingan berpasangan Matriks Tujuan/faktor/ kesub-faktor 1 Sukses adopsi 2 Proses transfer 3 Profil end-user 4 Penerimaan publik 5 Sistem 6
Kematangan produk
Indeks inkonsistensi 0,0596 0,0973 0,0231 0,0000 0,0107 0,0069
untuk
setiap
Matriks Tujuan/faktor/ kesub-faktor 7 Mekanisme transfer 8 Perilaku adopter 9 Permintaan, minat 10 Pendidikan 11 Sikap terhadap transgenik 12 Sikap terhadap residu pestisida
matriks
Indeks inkonsistensi 0,0021 0,0105 0,0327 0,0064 0,0052 0,0168
Faktor persepsi publik memiliki bobot paling besar yakni sebesar 61,94% kemudian diikuti oleh faktor profil pengguna akhir dan proses transfer masingmasing 24,3 dan 13,76%.
Hal ini menunjukkan bahwa menurut para pakar
yang diwawancarai dalam penelitian ini persepsi publik memegang peranan sangat dominan sangat dominan menentukan apakah benih transgenik dapat berhasil diadopsi. Untuk faktor persepsi publik, pengaruh sub-faktor persepsi terhadap residu pestisida (68%) terlihat lebih dominan dibandingkan dengan persepsi terhadap transgenik (32%) (Gambar 39). Sementara itu, dalam faktor profil pengguna akhir, aspek pendidikan menunjukan pengaruh yang lebih kuat dibandingkan dari aspek perilaku adopsi dan permintaan atau minat terhadap teknologi transgenik. Aspek kematangan produk dan mekanisme transfer berperan sama pentingnya dalam faktor proses transfer produk atau teknologi hingga diadopsi oleh pengguna.
140
Karaktersitik inovasi baru yang menurut Rogers (2003) ada 5 yakni keunggulan relatif (relative advantage), kecocokan (compatibility), kompleksitas, dapat dicoba (trialability) biasanya secara terbatas terlebih dahulu, dan terlihat atau terbuka untuk yang lain (observability).
Dalam kaitan ini, 2 atribut yg
terakhir akan memegang peranan penting bagi petani. Petani biasanya dengan sifat yang risk averse (umumnya) ingin mencoba pada sebagian kecil petak lahan (tidak langsung 100%) dimana hal ini akan mengurangi resiko dan ketidakpastian adopsi. Selanjutnya observability yang memungkinkan inovasi terlihat bagi orang lain, terjadinya diskusi kelompok (peer discussion) yang menjadi sumber informasi penting dalam pembuatan keputusan akan mempercepat adopsi sehingga tujuan peningkatan produksi dapat tercapai. Peluang sukses adopsi 7 alternatif produk tanaman transgenik secara visual disajikan pada Gambar 40. Tiga jenis benih jagung transgenik menempati urutan sukses adopsi lebih baik (16-18%). Sementara 4 alternatif lainnya yakni padi Bt, kentang, kedelai dan tomat berkisar 11-14%.
Secara keseluruhan,
peluang sukses adopsi benih jagung transgenik sedikit lebih baik. Jenis jagung transgenik menempati urutan kelayakan adopsi lebih tinggi dibandingkan dengan jenis lainnya.
Dari persepsi risiko, hal ini tampaknya logis karena jagung
umumnya digunakan untuk pakan ternak dan bahan baku industri pangan olahan, sedangkan padi, kentang, kedelai dan tomat merupakan bahan pangan yang dikonsumsi langsung oleh masyarakat di Indonesia.
0.12
Tomat TV
0.11
Kedelai TH
0.13
Kentang LBR
0.14
Padi Bt
0.16
Jagung RR+Bt
0.16
Jagung Bt
0.18
Jagung RR 0
0.05
0.1
0.15
0.2
Gambar 40. Diagram peluang sukses adopsi berbagai alternatif produk tanaman transgenik.
141
4.5. Analisis Kebijakan dan Kerangka Regulasi serta Variabel yang Terkait Seperti yang telah dibahas pada Sub-Bab 4.4 dimana faktor penentu terjadinya (Go atau No go) adopsi tanaman transgenik dipengaruhi oleh 2 faktor yang memiliki bobot terbesar yaitu faktor kelembagaan/regulasi dan pertimbangan lingkungan. Hasil ini sejalan dengan kondisi riil yang terjadi, bahwa variabel kelembagaan yang mengelola/mengimplementasi regulasi merupakan kunci utama yang harus dipersiapkan sebelum teknologi transgenik dikembangkan. Asumsi dasar yang dijadikan acuan dalam bagian ini adalah tujuan dari suatu kebijakan/regulasi yang dibuat adalah untuk memenuhi kepentingan nasional atau tujuan pembangunan dalam hal ini terkait dengan ketahanan pangan yang berkelanjutan. adopsi benih
Dalam konteks inilah pembahasan tentang kemungkinan
jagung transgenik ditempatkan.
Analisis rasional juga tidak
terlepas dari identifikasi fakta dan data yang relevan yang terkait dengan masalah yang dihadapi, termasuk yang berkaitan dengan aspek historis dan perkembangan terbaru yang muncul. Identifikasi variabel kebijakan yang utamanya berada di bawah 4 (empat) payung undang-undang: sistem budidaya, perlindungan varietas, pangan, dan pengkajian keamanan.
4.5.1. State of the Art Kerangka Regulasi tentang Produk Rekayasa Genetika Identifikasi variabel kebijakan yang menyebutkan produk rekayasa genetika utamanya berada di bawah 4 (empat) payung undang-undang: sistem budidaya (UU No. 12/1992), perlindungan varietas (UU No. 29/2000), pangan (UU No. 7/1996), dan pengkajian keamanan hayati (UU Lingkungan Hidup No. 23/1997, PP No.21/1005 tentang Keamanan Hayati) (Lampiran 11). Pada Tabel 45 dikemukakan hal-hal pokok yang terkait dengan payung undang-undang dan pemegang mandat dan/atau wewenang juridis UU. Secara rasional dan aspek wewenang pengembangan varietas tanaman berada dalam naungan Undang-undang Sistem Budidaya Tanaman No. 12 Tahun 1992 dengan mandat pada Departemen Pertanian yang bertujuan meningkatkan produksi tanaman untuk kepentingan nasional.
UU Perlindungan
Varietas Tanaman
(PVT) No. 29 Tahun 2000 mendorong upaya terus menerus untuk menemukan/
142
menciptakan varietas unggul yang produktifitasnya lebih tinggi, kuantitas dan kualitas produksi semakin tinggi, dan meningkatkan daya saing komoditi.
Tabel 45. Hirarki regulasi terkait dengan pemanfaatan produk hasil rekayasa genetika dan kelembagaan pemegang wewenang/ mandat dalam manajemen implementasinya. UU Perlindungan UU Sistem Varietas Tanaman Budidaya (No. 29/2000) Tanaman (No. 12/1992) PP Penamaan, PP Perbenihan Pendaftaran dan Tanaman (No. Penggunaan 44/1995) Varietas (No. 13/2004) PROSEDUR PELAKSANAAN: Peraturan Menteri Pertanian (No : 01/Pert/SR.120 /2/2006Tentang Syarat Penamaan dan Tata Cara Pendaftaran Varietas Tanaman
KELEMBAGAAN IMPLEMENTASI: Pusat Perlindungan Varietas Tanaman WEWENANG & MANDAT: Menteri Pertanian
PROSEDUR PELAKSANAAN: Peraturan Menteri Pertanian (No: 37/Permentan/ OT.140/8/2006) Tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan Varietas SKB 4 Menteri tentang Keamanan Hayati dan Pangan KELEMBAGAAN IMPLEMENTASI: Badan Benih Nasional WEWENANG & MANDAT: Menteri Pertanian
UU Pangan (No. 7/1996)
UU Lingkungan Hidup (No. 23/1997)
PP Keamanan, Mutu PP Keamanan Hayati dan Gizi Pangan (No. Produk Rekayasa 28/2004) Genetika (No. 21/2005) PP Label dan Iklan Pangan No.69/1999 PROSEDUR PELAKSANAAN: disyahkan oleh Kepala BPOM pada tahun 2008
PROSEDUR PELAKSANAAN: menunggu terbentuknya Komisi Keamanan Hayati (KKH) yang kedudukan, keanggotaan, tugas pokok dan fungsi serta kewenangannya ditetapkan dengan Peraturan Presiden atas usul Menteri LH.
WEWENANG & WEWENANG & MANDAT: Kepala MANDAT: Menteri Badan POM Lingkungan Hidup KETENTUAN PERALIHAN dalam PP21/2005: proses pendaftaran, pengujian, dan pengkajian tetap berlangsung dengan peraturan yang sudah ada sepanjang tidak bertentangan dengan PP21.
Adanya sistem hak atas kekayaan intelektual (HKI) teknologi merupakan insentif.
Hak PVT melindungi varietas baru melalui pemberian hak komersial
eksklusif bagi penghasil benih selama periode waktu tertentu seperti ditentukan oleh undang-undang untuk memasarkan varietas baru termasuk bahan
143
reproduktifnya.
Pengecualian diberikan pada kegunaan penelitian dan benih
simpan petani untuk ditanam ulang sendiri, sepanjang hal ini tidak dimaksudkan untuk tujuan komersial.
Implementasi pelepasan benih atau bibit tanaman
tertuang dalam Peraturan Menteri Pertanian No:37/Permentan/OT.140/8/2006 tentang Pengujian, Penilaian, Pelepasan dan Penarikan Varietas. Pemerintah menerbitkan Peraturan Pemerintah (PP) No. 21 tahun 2005 tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika sebagai penyempurnaan SKB 4 Menteri.7 Disebutkan bahwa PP ini dibuat dalam rangka melaksanakan ketentuan Pasal 8 ayat (2) huruf b UU Lingkungan Hidup No. 23 Tahun 1997, yakni untuk mengatur penyediaan, peruntukan, pengelolaan, dan pemanfaatan sumberdaya genetika. Penjelasan PP No. 21/2005 pasal 23 menyatakan dengan jelas bahwa ketentuan peredaran produk rekayasa genetika mengikuti peraturan perundang-undangan di bidang komoditi masing-masing yang menjadi tanggung jawab departemen teknis. Keamanan hayati dalam PP No. 21/2005 mencakup keamanan lingkungan, keamanan pangan dan pakan. Menarik untuk dicatat bahwa telah terjadi pergeseran mandat/wewenang yang
sangat
mendasar
perihal
keamanan
hayati
yakni
dari
sifat
koordinatif/kolektif antara empat departemen menjadi wewenang langsung Kementerian Lingkungan Hidup (KLH). Evaluasi keamanan hayati dalam peraturan tersebut bergeser menjadi mandat KLH (setelah ratifikasi Protokol Cartagena dengan UU No. 21/2004). Selain itu, diterapkan mekanisme clearing house termasuk notifikasi publik tentang proses dan keputusan tentang produk transgenik.8 Perubahan signifikan lain adalah bahwa penggerak SKB 4 Menteri 7
8
Keputusan Bersama Menteri Pertanian, Menteri Kehutanan dan Perkebunan, Menteri Kesehatan, dan Menteri Negara Pangan dan Hortikultura; No.: 998.1/Kpts/OT.210/9/99; 790.a/Kpts-IX/1999; 1145A/MENKES/SKB/IX/1999; 015A/NmenegPHOR/09/1999 Tentang Keamanan Hayati dan Keamanan Pangan Produk Pertanian Hasil Rekayasa Genetik. Protokol Cartagena tentang Keamanan Hayati disepakati pada bulan Desember 1999 di Montreal, Canada. Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH, Biosafety Clearing House) merupakan salah satu persyaratan yang harus dipenuhi oleh negara yang telah meratifikasi Protokol Cartagena, sesuai dengan pasal 20 pada protokol. Pembentukan dan pengembangan BKKH merupakan kewajiban bagi negara yang telah meratifikasi Protokol Cartagena. Indonesia telah meratifikasi Protokol tersebut melalui Undang-Undang No. 21/2004. Fungsi BKKH diserahkan pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dengan pelaksana fungsi adalah Puslit Bioteknologi LIPI (www.bchindonesia.org).
144
adalah pejabat eselon-I yang lebih mudah berkoordinasi ketimbang sifat suatu PP (karena hirarkinya yang lebih tinggi) membutuhkan intervensi dari kantor Sekretariat Negara guna memungkinkan terjadinya koordinasi antar menteri. Disamping itu, peraturan yang pernah ada yang mengharuskan dilakukannya analisis mengenai dampak lingkungan (AMDAL) (Kepmen LH No.17/2001) pada setiap kegiatan usaha yang memakai organisme hasil rekayasa genetika karena pengaruhnya yang besar dan penting bagi lingkungan, kesehatan manusia dan keseimbangan lingkungan.
Kepmen ini sama sekali tidak
menyinggung atau merujuk pada aturan pengkajian keamanan hayati yang ada di dalam SKB 4 Menteri pada waktu itu. Hal ini membuat ketidakjelasan mengenai peran pengkajian keamanan hayati untuk menilai aman atau tidaknya suatu jenis transgenik untuk diusulkan pelepasannya. Dalam ranah pengelolaan lingkungan di Indonesia biasanya AMDAL dilakukan untuk kegiatan usaha dengan batasan skala tertentu serta merupakan bagian tidak terpisahkan dari kelayakan teknis dan finansial dari suatu usaha. Dari uraian di atas tampak dengan jelas bahwa terjadi suatu transisi regulasi dan kelembagaan yang berkepanjangan terkait dengan evaluasi keamanan hayati (lingkungan, pangan dan pakan). Disamping itu suatu hal yang menjadi ironis juga mengingat Indonesia sudah mengimpor produk transgenik (khususnya jagung dan kedelai) selama bertahun-tahun untuk konsumsi domestik. Menurut laporan USDA (2006), nilai impor produk transgenik dari AS saja mencapai US $ 600 juta (setara Rp 5,4 triliun dengan 1 dollar AS = Rp 9.000) pada tahun 2005. UU No. 7/1996 mengindikasikan bahwa sebelum dikomersialkan di Indonesia, bahan pangan yang berasal rekayasa genetika harus dikaji dan disetujui terlebih dahulu. Demikian juga PP No. 69/1999 tentang Label dan Iklan Pangan mengharuskan pencantuman label. Akan tetapi saat ini belum dijumpai adanya produk pangan yang dilabel sesuai dengan aturan ini.
Situasi ini tentu saja
membuat bingung konsumen, produsen pangan olahan, dan publik pada umumnya. Perkembangan terakhir yang diamati pada tahun 2008 Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH) mengindikasikan bahwa ketentuan peralihan dalam
145
PP21/2005 mulai dapat diimplementasikan. Di dalam ketentuan peralihan dan penutup pada PP21/2005 disebutkan: ”Semua permohonan pelepasan dan/atau peredaran PRG yang telah diajukan kepada Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang dan sedang diproses pada saat mulai berlakunya PP ini, diproses lebih lanjut berdasarkan ketentuan perundang-undangan yang telah ada” (Pasal 34). Pada saat berlakunya PP ini, semua peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan keamanan lingkungan, keamanan pangan dan/atau keamanan pakan PRG dinyatakan tetap berlaku sepanjang tidak bertentangan dengan PP 21. Oleh BKKH disebutkan bahwa pemasukan benih (untuk tanaman) pertama sekali diajukan ke Badan Litbang Pertanian melalui Pusat Perijinan Investasi, Departemen Pertanian. Bab V dalam PP 21 tentang pengkajian, pelepasan dan peredaran serta pemanfaatan produk rekayasa genetika (PRG) menjelaskan tata cara pengkajian dalam (pasal 14 -15)9 yang jelas dan memiliki tenggat waktu yang sudah ditentukan lamanya.
Pengkajian keamanan lingkungan ini menjadi tahapan
pendahulu sebelum maju ke pengujian multilokasi untuk pelepasan varietas. Sebagai contoh prosedur untuk pengkajian keamanan lingkungan (di bawah wewenang KKH) sebagai tahapan pendahulu sebelum maju ke pengujian multilokasi untuk pelepasan varietas (di bawah wewenang BBN = Badan Benih Nasional yang bertanggungjawab kepada Menteri Pertanian). Secara garis besar prosedur ini sama dengan prosedur evaluasi dan pelepasan varietas yang berjalan
9
Pasal 14: ay(1). Pengkajian terhadap PRG wajib dilakukan sebelum pelepasan dan peredaran; ay(2). Pengkajian dilaksanakan berdasarkan permohonan tertulis yang diajukan oleh pemohon kepada Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang; ay(3).Setelah menerima permohonan sebagaimana dimaksud pada ayat (2), Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang dalam jangka waktu paling lambat 14 (empat belas) hari menyampaikan permohonan rekomendasi keamanan hayati PRG kepada Menteri atau Ketua KKH. Pasal 15:ay(1). Dalam rangka pemberian rekomendasi keamanan hayati PRG sebagaimana dimaksud pada Pasal 14 ayat (3) Menteri, Menteri yang berwenang atau Kepala LPND yang berwenang menugaskan KKH untuk melakukan pengkajian; ay(2). Jangka waktu pengkajian sebagaimana dimaksud ayat (1) paling lambat 14 (empat belas) hari sejak diterimanya surat penugasan; ay(3). Dalam hal pengkajian terkait dengan evaluasi teknis, KKH menugaskan TTKH untuk melakukan pengkajian dokumen teknis dan uji lanjutan apabila diperlukan; ay(4). Jangka waktu pengkajian dokumen teknis sebagaimana dimaksud ayat (3) dilaksanakan paling lambat 56 (lima puluh enam) hari sejak diterimanya surat penugasan dari KKH; ay(5). Hasil evaluasi dan kajian teknis keamanan hayati PRG yang dilakukan oleh TTKH disampaikan kepada KKH sebagai bahan penyusunan usul rekomendasi keamanan hayati PRG dalam jangka waktu paling lambat 7 (tujuh) hari setelah penyelesaian evaluasi dan kajian teknis.
146
di negara tetangga Filipina. Kedua prosedur ini memiliki prinsip yang sama dalam hal: (1). Kompetensi/ wewenang pengujian/evaluasi sesuai dengan fungsi lembaga; (2). Kejelasan lamanya (durasi) waktu dalam setiap tahapan prosedur yang akan dilalui oleh pemohon; (3). Kewajiban akan adanya pemberitahuan publik; dan (4). Keputusan akhir berupa persetujuan atau penolakan terhadap proposal dari pemohon. Suatu faktor pemicu dimulainya adopsi benih transgenik di Filipina adalah peranan/pengaruh Presidennya dalam menetapkan keputusan (executive order) sehingga departemen/kelembagaan yang berwenang dapat bekerja efektif. Hal pembuatan keputusan seperti ini menjadi faktor terpenting dalam situasi dimana perdebatan terbuka tentang manfaat dan risiko teknologi baru seperti itu tidak terelakkan.
4.5.2. Faktor-faktor lain Sebagai Variabel yang Mempengaruhi Kelambatan dalam Pengambilan Keputusan Selain faktor transisi regulasi dan kelembagaan keamanan hayati yang diuraikan di atas, tampaknya masih ada faktor-faktor lain yang tidak dapat diabaikan agar pengambilan keputusan yang mendukung adopsi tanaman transgenik berjalan dengan baik. Faktor-faktor lain tersebut sebagai variabel yang sekaligus menjelaskan mengapa selama lebih dari 1 dasawarsa belum ada varietas transgenik khususnya tanaman pangan yang dapat ditanam oleh petani di Indonesia, yang kritikal yakni: Pendaftaran/pelepasan varietas (setelah aman hayati):
Prosedur
evaluasi pelepasan varietas dimulai dengan percobaan multilokasi atau uji observasi pada berbagai lokasi dengan pengujian lebih dari 1 musim.
Hasil
percobaan multilokasi kemudian dilaporkan kepada Badan Benih Nasional (BBN) untuk mendapat persetujuan untuk direkomendasikan kepada Menteri untuk dilepas kalau varietas yang diuji terbukti unggul daripada varietas pembanding. Biasanya rekomendasi BBN ini diputuskan oleh Menteri dalam suatu surat keputusan pelepasan varietas, yang secara gamblang diartikan sebagai lulus persyaratan untuk ditanam oleh petani secara luas; sebaliknya kalau tidak lulus persyaratan berarti ditolak untuk dilepas. Artinya ke depan diharapkan tidak ada lagi terminologi pelepasan terbatas untuk sesuatu varietas.
147
Keamanan pangan, termasuk untuk produk impor:
Terlepas dari
pembahasan mengenai letak dan pemegang mandat keamanan pangan untuk produk segar dan produk olahan, fakta saat ini konsumen di Indonesia secara langsung maupun tidak langsung telah memakan produk pangan transgenik karena: (1). jagung transgenik yang diimpor digunakan sebagai bahan baku pakan ternak unggas, dan (2). kedelai transgenik yang diimpor digunakan sebagai bahan baku pembuat tempe, tahu dan kecap. Hal ini telah berlangsung setidak-tidaknya sejak 7-8 tahun yang lalu. Berdasarkan informasi yang ada (Purwantara, 2008) bahwa peraturan teknis evaluasi keamanan pangan sudah ditandatangani Kepala Badan Pengawasan Obat dan Makanan. Oleh karena itu persetujuan keamanan pangan produk transgenik impor seharusnya menjadi prioritas. Pengalaman tidakberlanjutnya adopsi kapas Bt (2000-03) dan posisi antar pihak stakeholder yang berbeda:
Tidak dapat dipungkiri bahwa
’kegagalan’ adopsi terbatas kapas transgenik Bt di Sulawesi Selatan ternyata di kemudian hari mempengaruhi mood pengambil keputusan. Hal ini tidak terlepasa dari posisi, pendapat atau opini berbagai pihak tentang manfaat, persepsi resiko serta kekhawatiran dominasi swasta untuk suplai benih kalau diamati dapat berlangsung tanpa henti.
Opini kalangan LSM (lembaga swadaya masyarakat)
tentang persepsi resiko dan dominasi korporasi memiliki sisi yang positif untuk diperhatikan dalam pengkajian dan diseminasi informasi sepanjang hal itu dapat dilakukan secara efisien dan efektif. Akan tetapi kalau keberatan yang diajukan LSM lebih mengarah ke ‘moratorium’ aplikasi transgenik di Indonesia, tampaknya wajar untuk mempertanyakan motif apa di balik penentangan terhadap sesuatu yang dianggap akan memberikan manfaat. Menarik untuk dicatat kembali di sini bahwa tuntutan hukum yang pernah dibuat koalisi LSM terhadap Pemerintah (Adiwilaga, 2003; Purwantara, 2008) karena melepas kapas Bt pada tahun 2000 masih memiliki bekas bagi regulator dan pembuat keputusan yang khawatir akan risiko serupa dalam menetapkan keputusan-keputusan baru tentang produk transgenik. Khusus mengenai kapas Bt, analisis histori terhadap adopsi terbatas benih kapas transgenik di Sulawesi Selatan pada kurun waktu tahun 2000 – 2003 mengimplikasikan adanya masalah dalam variabel kebijakan dan penerimaan
148
publik.
Gambaran yang ada menunjukkan adanya disharmoni hubungan dan
komunikasi antar pemangku kepentingan yang bersikukuh pada posisi masingmasing seperti pada Gambar 41. Pengalaman adopsi terbatas kapas transgenik dan ketidakberlanjutannya adalah kompleks. Situasi ini bisa saja terulang kembali untuk masa yang akan datang kalau variabel-variabel kebijakan yang sudah disebutkan di atas tidak mampu memayungi berbagai kepentingan atau interest dari para stakeholders yang terkait maupun publik secara umum.
Petani: pengalaman pertama, adopsi dan anjuran agronomis, kelompok tani
Pemerintah: peran sentral sebagai regulator, koordi nasi antar departemen/ Pemda, kapasitas kelembagaan/ implementasi
LSM: koalisi antitransgenik, kritik terhadap perusahaan besar, organik vs. transgenik atau koeksistensi, persepsi resiko
Swasta penyedia benih: target bisnis agresif, perubahan manajemen, good corporate governance
Pelepasan (adopsi) terbatas kapas transgenik Bt (2000 – 2003)
Media: perimbangan antara fakta dan opini, bad news is good news, persepsi manfaat dan resiko
Swasta/pembeli hasil panen (ginnery): closedloop system, kapasitas produksi, penan ganan fuzzy seeds
Gambar 41. Analisis posisi stakeholders adopsi benih kapas transgenik Bt (2000-2003)
149
4.5.3. Analisis Implikasi Kebijakan dan Kelembagaan Guna Merealisasikan Potensi Manfaat Benih Transgenik Dalam konteks kebijakan dan regulasi, Pemerintah sebagai juri yang adil dan tegas (fasilitator) yang mengatur dan memutuskan yang berkaitan dengan introduksi teknologi yang memiliki ciri pro-kontra. Dengan regulasi yang jelas maka setiap pemangku kepentingan mampu memposisikan diri dalam konteks kepentingan yang lebih luas daripada sekedar perdebatan terbuka. Disamping itu, kerangka kebijakan dan regulasi yang pasti akan memacu kalangan pelaku usaha dan industri untuk selalu menerapkan tata kelola usaha yang baik (good corporate governance). Dalam konteks ini perlu dukungan bagi diseminasi teknologi baik melalui transfer langsung ke petani oleh lembaga riset publik (motif non-profit) atau melalui mekanisme komersialisasi oleh pihak swasta/industri (motif keuntungan) dari hasil-hasil riset transgenik yang memiliki potensi memenuhi kebutuhan petani. Di sisi lain, komunikasi yang jelas tentang manfaat dan resiko suatu teknologi perlu dilakukan oleh penyedia teknologi agar pemahaman dan persepsi tentang manfaat dan risiko dapat dicapai. Analisis
yang dikemukakan
sebelumnya
mengimplikasikan
fokus
implementasi dari sistem regulasi yang ada saat ini yang lebih dari memadai guna memfasilitasi kegiatan pengkajian keamanan hayati (lingkungan, pangan dan pakan) produk rekayasa genetika.
Dalam kaitan ini beberapa implikasi penting
terkait dengan tataran kebijakan dan kelembagaan dapat dikemukakan sebagai berikut: (1) Terkait dengan potensi tanaman transgenik untuk mendukung ketahanan pangan (food security) serta peningkatan pendapatan petani, peranan dari pemimpin tertinggi Pemerintah dalam memberikan dukungan merupakan kunci pembuka. Bercermin dari pengalaman negara-negara lain yang sudah terlebih dahulu mengadopsi benih transgenik,
perintah
keputusan
(executive
order)
dari
kepala
pemerintahan menentukan ya atau tidak terhadap peluang potensi benih transgenik ini. (2) Selain itu peranan atau partisipasi dari pemerintah propinsi dan kabupaten dalam konteks meng-address ketersediaan pangan dengan
150
pengembangan dan aplikasi varietas-varietas baru yang unggul termasuk potensi transgenik ini masih belum digali.
Contoh
pengembangan jagung misalnya di Propinsi Gorontalo – yang membangun kaitan (linkages) antara kegiatan budidaya komoditas jagung dengan sektor-sektor pendukung seperti industri pakan dan pasar ekspor merupakan suatu paradigma baru guna mencapai swasembada tingkat
propinsi dan sekaligus mencapai tujuan
kesejahteraan petani. Peranan pemerintah daerah ini dapat dirancang untuk mendukung/membuka inisiatif pengembangan benih yang spesifik-lokal.
Dengan mengambil contoh di beberapa wilayah
propinsi di Cina dimana, pemerintah propinsi mendirikan joint ventures dalam pemuliaan dan penangkaran benih untuk pertanian di wilayahnya. (3) Mengedepankan peranan lembaga riset pemerintah dan perguruan tinggi guna mempercepat dihasilkannya produk benih/bibit hasil rekayasa genetika yang dapat diadopsi petani. Terkait hal ini, Siregar dan Arifin (2008) misalnya menekankan pentingnya jumlah dana yang mencukupi untuk kegiatan litbang, selain dari anggaran Pemerintah, juga diharapkan berasal dari kolaborasi dengan pihak swasta. Pengembangan kerjasama dibarengi dengan insentif fiskal dan kejelasan hukum kontrak untuk menggunakan invensi dari litbang pemerintah yang kemudian diikuti dengan pengembangan produk dan diseminasinya ke petani tampaknya memerlukan peran swasta. (4) Guna menjamin ketersediaan benih yang lebih baik dan terjangkau bagi petani, pendekatan lisensi terbuka menjadi penting untuk dilakukan. Pemilik teknologi mengharapkan adanya perlindungan hak intelektual dan juga hasil (return) dari investasi yang dibelanjakan mengimplikasikan
perlunya
semacam
lembaga
pengawas
dan
pengelola perlindungan hak atas varietas tanaman. Terkait dengan pengembangan industri perbenihan suatu insentif bagi pemulia dan produsen benih terkait juga dengan HKI
(hak atas kekayaan
intelektual) dimana sejarah pertanian menunjukkan bahwa teknologi
151
pertanian termasuk pemuliaan dan pengembangan varietas baru pada awalnya kebanyakan berasal dari lembaga riset pemerintah (public research). Dewasa ini peran swasta dalam litbang pertanian semakin meningkat, serta ditandai dengan perlunya perlindungan terhadap penemuan-penemuan baru. Adanya sistem HKI atas teknologi baru pertanian (misalnya varietas tanaman, alat dan mesin, dan proses pengolahan) merupakan insentif bagi investasi litbang yang berlanjut sehingga diperoleh suatu gerak inovasi yang dinamis.
Hak
perlindungan varietas tanaman (PVT) melindungi varietas baru melalui pemberian hak komersial eksklusif bagi penghasil benih selama periode waktu tertentu seperti ditentukan oleh undang-undang untuk memasarkan
varietas
baru
termasuk
bahan
reproduktifnya.
Pengecualian diberikan pada kegunaan penelitian dan benih simpan petani untuk ditanam ulang sendiri, sepanjang hal ini tidak dimaksudkan untuk tujuan komersial. Perlindungan seperti ini akan mencegah seseorang untuk memproduksi atau menjual varietas baru tersebut tanpa izin pemilik.
Kalangan industri perbenihan
sangat
mengharapkan undang-undang dan regulasi tentang PVT ini diimplementasikan secara konsisten untuk merangsang investasi. (5) Selain pendekatan industrialis yang dikemukakan pada butir 4 di atas, pendekatan partisipatoris dalam pemuliaan dan penangkaran benih (participatory breeding and seed production) perlu terus semakin digalakkan baik untuk benih dengan nilai komersial tinggi maupun untuk benih tanaman yang nilai komersialnya kurang menarik. Kelompok atau koperasi petani dapat dibina dalam jangka menengah dan jangka panjang untuk membuat benih/bibit untuk keperluan kelompok dan anggota koperasi. Seperti yang diulas sebelumnya dimana distribusi surplus manfaat dari aplikasi atau komersialisasi teknologi transgenik bisa condong porsi terbesar dinikmati oleh industri dan sistem distribusi agro-input yang ada saat ini, maka mekanisme transfer teknologi ke petani di luar jalur komersial perlu terus digalakkan.
Sehingga jalur pemuliaan dan penangkaran
152
partisipatoris ini menjadi suatu saluran yang sebaiknya menjadi prioritas khususnya dalam hal ini peran Pemda dan juga universitas di daerah-daerah sangat penting. 4.5.4. Variabel Pendaftaran Varietas dan Hak Perlindungan Varietas (PVT) Guna Merangsang Litbang yang Berlanjut Faktor pendaftaran varietas adalah hal pokok yang disebut dalam dua UU utama yakni Sistem Budidaya Tanaman dan Perlindungan Varietas Tanaman (benih tetua maupun benih komersial). Tanpa pendaftaran pelepasan varietas suatu benih unggul hasil pemuliaan (termasuk hasil transgenik rekayasa genetika) tidaklah dapat diadopsi atau diperkenalkan kepada pengguna. Dengan semakin berkembangnya kegiatan litbang atau pengembangan produk perbenihan saat ini dan di masa mendatang, maka kepastian waktu antara kegiatan litbang dan pelepasan perlu dibuat sesingkat mungkin. Maksudnya agar para petani dapat dengan cepat mengadopsi varietas-varietas baru yang unggul dalam rangka peningkatan produktifitas.
Pertanyaan mendasar di sini adalah berapa tahun
dibutuhkan agar suatu hasil litbang yang unggul dapat dipasarkan? Bilamana suatu produk telah siap untuk dikomersilkan, berapa lama waktu yang dibutuhkan (time to market) untuk dapat diadopsi pengguna?
Apakah sistem registrasi
varietas baru merangsang kontinuitas kegiatan litbang yang kreatif dan inovatif, sehingga bergerak suatu siklus pengembangan produk yang dinamis dan berkelanjutan?
Kebijakan Pemerintah untuk meregulasi pelepasan varietas
tanaman sangat menentukan minat penyedia teknologi untuk komersialisasi. Bagaimana juklak (petunjuk pelaksanaan) proses pendaftaran varietas dibuat dan dilaksanakan akan menentukan seberapa cepat hasil litbang dapat diterapkan. Proses pelepasan varietas perlu diperbaharui dalam
pengertian dibuat
sedemikian rupa sehingga sebaiknya pasar/penggunalah yang menentukan dan memilih
suatu
produk
baginya.
Prosedur
pendaftaran
produk
yang
disederhanakan memungkinkan produk dapat segera dilepas melalui pengusulan langsung ke Departemen Pertanian atau Badan Benih Nasional.
Aspek
kelembagaan ini perlu juga diperjelas, mengingat baru dibentuknya Pusat Perijinan dan Investasi di Departemen Pertanian. Kejelasan dan penyederhanaan prosedur merupakan insentif tersendiri bagi pelaku industri perbenihan.
153
Penyederhanaan akan dapat menghemat biaya pengembangan dan pendaftaran varietas baru, disamping juga menghemat waktu. Sebaiknya pemohon dapat mengajukan ijin pelepasan berbagai varietas baru berdasarkan basis data yang telah disusun oleh misalnya perusahaan penghasil benih. Sebab pada dasarnya pengujian calon varietas baru pada fase awal uji lapangan telah dilakukan oleh pemulia tanaman dan ahli agronomi (agronomist) yang bekerja di perusahaan swasta melalui bangun data (data generation) yang memenuhi kaidah-kaidah statistik dalam memilih sifat-sifat unggul.
Begitu dilepas dan ternyata varietas
baru tidak diterima oleh pengguna (misalnya karena sifat unggulnya tidak terbukti), maka hal ini menjadi konsekuensi risiko yang ditanggung sendiri penghasil benih. Merujuk pada pemasaran dan penjualan produk benih di negaranegara lain telah menunjukkan hal demikian. Produk yang sukses di pasar merupakan sukses awal untuk mendukung pembiayaan pengembangan produk lebih lanjut. Sementara produk yang tidak sukses di pasar – walaupun dianggap sudah merupakan hasil pengembangan yang sistematis dan terencana – menjadi umpan balik berharga dalam pengembangan selanjutnya. Faktor-faktor lain
yang terkait
dalam menunjang inovasi
yang
berkelanjutan di bidang bioteknologi pertanian ini adalah adanya dukungan positif Pemerintah bagi kegiatan Litbang sektor publik dan swasta, dan mendorong terjadinya kerja sama di antara keduanya melalui regulasi yang kondusif dan implementasi sistem perlindungan terhadap sumberdaya dan HKI bagi pihak baik sektor publik maupun swasta - yang berinvestasi dalam bidang bioteknologi pertanian.
4.6. Gabungan Kelayakan Adopsi Benih Jagung Transgenik dari Berbagai Aspek Pertanyaan sentral dalam penelitian ini adalah apakah benih transgenik layak secara ekonomi dan lingkungan serta dapat diterima secara sosial kelembagaan dengan demikian dapat terjawab. Dari semua analisis yang telah dilakukan, pada bagian ini dibuat gabungan kelayakan pengembangan dan adopsi benih jagung transgenik yang diringkaskan dalam Tabel 46. Terlihat dengan jelas bahwa pengembangan dan adopsi benih jagung transgenik layak untuk
154
peningkatan produksi jagung (kajian kelayakan ekonomis), serta layak secara lingkungan (kajian keberlanjutan).
Dari segi regulasi setidak-tidaknya layak
berdasarkan aturan/regulasi yang berlaku dan kajian evaluasi keamanan hayati yang pernah dilakukan. Sebagian besar petani berminat mengadopsi walaupun harus mengeluarkan tambahan biaya benih yang masih berada pada kisaran WTP rata-rata dan maksimum. Tabel 46. Gabungan kelayakan ekonomi (penerimaan dan keuntungan dalam Rp 000/ha), kelayakan lingkungan, dan aspek keamanan hayati dari adopsi benih jagung transgenik di Indonesia Keterangan 1. Produktifitas (kg/ha) 2. Ekonomi usahatani a. Penerimaan b. Biaya c. Keuntungan d. Rasio R/C
3. Biaya benih (Rp/ha) Tambahan (Rp/ha) Tambahan (Rp/kg) % dari Biaya total
Hibrida saat ini 6.288
Dengan Benih Bt 6.602 Layak
Dengan Benih RR 7.105 Layak
Dengan Benih RR+Bt 7.294 Layak
11.308 5.834 5.474 1,95
11.874 5.378 6.496 2,20 Layak
12.778 4.495 7.793 2,56 Layak
11.874 4.493 7.381 2,81 Layak
715.429 1.073.149 1.073.149 1.073.149 357.720 357.720 357.720 17.103 17.103 17.103 12,3% 19,95% 23,87% 23,89% Pengeluaran untuk benih meningkat sebesar Rp 17.103/kg
4. Minat untuk menanam (% responden)
87,0
93,5
86,0
Sebagian besar petani berminat 5. WTP (Rp/kg) tambahan a. Rata-rata b. Maksimum 6. Dampak makro produksi 7. Indeks keberlanjutan
8. Keputusan regulasi
2.206 4.290 5.231 20.000 30.000 26.000 Biaya ekstra benih (Rp/kg) berada pada kisaran WTP Ada potensi tambahan produksi 1 juta ton pada tahun ke-4 setelah adopsi 88,30
-
91,04 Layak
89,02 Layak
Rekomendasi KKH (1999) untuk jagung Bt dan RR dinyatakan aman terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati
91,50 Layak Untuk jagung Bt+RR belum ada pengujian dan pengkajian
155
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1. Kesimpulan Pengembangan dan adopsi benih jagung transgenik layak dijalankan di
Indonesia karena dapat memberikan keuntungan lebih tinggi bagi petani jagung dan meningkatkan produksi jagung nasional serta layak secara lingkungan karena keberlanjutan usahatani relatif tidak berubah. Dari segi regulasi dan kelembagaan, terbuka peluang aplikasi benih transgenik dimana terdapat prosedur dan kapasitas pengkajian keamanan hayati produk rekayasa genetika. Sejalan dengan tujuan penelitian, diperoleh kesimpulan yang sekaligus menjawab pertanyaan-pertanyaan penelitian sebagai berikut: (1) Kelayakan Finansial dan Ekonomi Benih Jagung Transgenik Hasil analisis menunjukkan bahwa adopsi benih jagung transgenik layak secara finansial bagi petani jagung. Adopsi benih jagung transgenik di tingkat usahatani memberikan manfaat lebih bagi petani bila dibandingkan dengan usahatani jagung hibrida yang diterapkan oleh petani pada saat ini. Manfaat yang dapat diperoleh petani jagung dengan adopsi benih jagung transgenik adalah peningkatan produktifitas, penghematan biaya produksi karena pengurangan dosis insektisida dan jumlah tenaga kerja, dan peningkatan laba usahatani bila dibandingkan dengan usahatani jagung hibrida saat ini. Selain itu, manfaat lain yang dapat dirasakan petani adalah kemudahan dan kepraktisan dalam pengendalian gulma dan hama penggerek pada jagung. Manfaat ekonomi yang lebih luas dengan adopsi benih jagung transgenik adalah potensi peningkatan produksi jagung nasional secara signifikan sehingga diperkirakan dapat mengurangi ketergantungan akan impor jagung. Sebaliknya, jika tanpa adopsi, maka potensi tambahan keuntungan bagi petani dan kenaikan produksi jagung nasional menjadi kesempatan yang hilang. (2) Tingkat Kebersediaan Petani Membayar Benih Jagung Transgenik Sebagian besar petani berminat mengadopsi jagung transgenik walaupun harus mengeluarkan tambahan biaya guna memperoleh benih yang lebih mahal harganya daripada benih hibrida non-transgenik saat ini.
Minat petani untuk
156
mengadopsi benih jagung transgenik tergolong tinggi setelah mendapatkan penjelasan tentang potensi manfaatnya. Sebagian besar petani (> 85%) berminat untuk mengadopsi benih jagung transgenik jenis RR, Bt dan kombinasi RR+Bt. Hal ini menunjukkan bahwa minat petani jagung hibrida di Indonesia tergolong tinggi untuk menerapkan teknologi baru berupa benih unggul yang memberikan manfaat bagi petani. Untuk itu petani mau membayar harga lebih tinggi untuk benih jagung transgenik bila dibandingkan dengan harga yang dibayar saat ini untuk benih jagung hibrida. Sebagian besar petani menginginkan tingkat harga yang tidak melebihi 10% dari harga benih hibrida saat ini. Namun demikian, terdapat proporsi petani yang rela membayar harga yang lebih mahal 30% dari harga benih jagung hibrida saat ini. Para petani yang mau membayar harga lebih mahal ini adalah kelompok inovator dan pengadopsi awal yang umumnya memiliki tingkat pendidikan lebih tinggi. (3) Pengaruh Adopsi Jagung Transgenik pada Keberlanjutan Usahatani Agregat indeks keberlanjutan usahatani jagung hibrida saat ini di Jawa Timur lebih baik daripada indeks keberlanjutan di Lampung.
Indeks
keberlanjutan yang lebih baik di Jawa Timur terutama disumbangkan oleh indikator-indikator yang lebih baik kondisinya dalam dimensi ekologi (lahan yang relatif datar, ketersediaan irigasi, penggunaan pupuk kandang dan kompos) dan ekonomi (produktifitas dan laba usahatani jagung). Indeks keberlanjutan pada tingkat usahatani dengan adopsi benih jagung transgenik relatif tetap hingga cenderung lebih baik terutama jika benihnya mengandung komponen Bt. Hasil simulasi agregat keberlanjutan dengan masukan benih transgenik memperlihatkan ada perubahan agregat indeks keberlanjutan pada tingkat usahatani apabila petani menanam benih jagung transgenik yakni dengan nilai agregat indeks keberlanjutan untuk RR+Bt sebesar 92, untuk Bt sebesar 91, untuk RR sebesar 89 dibandingkan dengan untuk hibrida sebesar 88. (4) Faktor-faktor Penentu agar Adopsi Benih Transgenik Berjalan Faktor yang paling menentukan untuk terjadinya start (Go atau No go) adopsi benih transgenik di Indonesia adalah implementasi regulasi dan kelembagaan yang mengatur evaluasi keamanan hayati.
Kondisi riil saat ini
157
menunjukkan bahwa implementasi regulasi via suatu kelembagaan yang jelas dan pasti merupakan faktor kunci pembuka pintu agar adopsi terjadi. Setelah faktor kelembagaan, faktor lingkungan menempati urutan kedua dalam menentukan adopsi benih transgenik, sedangkan faktor sosial dan ekonomi berturut-turut pada urutan ketiga dan keempat. Tingginya nilai skor faktor lingkungan menyiratkan pentingnya aspek keamanan hayati benih transgenik dievaluasi secara seksama sebelum diadopsi sehingga tidak memberikan efek negatif pada lingkungan. Dari aspek persepsi publik, persepsi terhadap residu pestisida ternyata lebih dominan dibandingkan dengan persepsi terhadap transgenik.
Hal ini
menunjukkan lebih tingginya kepedulian terhadap residu pestisida dalam produk pangan dibandingkan dengan persepsi akan risiko produk pangan transgenik. Dari 7 alternatif yang ada benih jenis benih jagung transgenik menempati urutan kelayakan adopsi lebih tinggi (16-18%) dibanding benih transgenik padi, kentang, kedelai dan tomat yang berkisar 11-14%. Dari segi persepsi risiko hal ini logis karena sebagian besar jagung digunakan untuk bahan baku pakan ternak dan bahan baku pangan olahan, sedangkan keempat jenis tanaman transgenik lainnya umumnya dikonsumsi langsung oleh masyarakat di Indonesia (5) Dukungan Regulasi dan Kelembagaan terhadap Terjadinya Adopsi Kerangka kelembagaan dan regulasi yang ada saat ini memungkinkan terjadinya adopsi tanaman transgenik karena dapat memfasilitasi pengambilan keputusan tentang keamanan lingkungan, keamanan pakan/pangan bagi tanaman transgenik yang berpotensi. Walaupun pembentukan KKH (Komisi Keamanan Hayati) oleh keputusan Presiden belum terbentuk hingga kini (sejak 2005), namun Ketentuan Peralihan dalam PP21/2005 membuka ruang agar proses pendaftaran, pengujian, dan pengkajian tetap berlangsung dengan peraturan yang sudah ada. Hal ini berarti bahwa ketentuan-ketentuan pengujian dan pengkajian yang diatur dalam SKB 4 Menteri tentang Keamanan Hayati Produk Rekayasa Genetika masih berlaku. Dengan demikian, kajian kelayakan keamanan hayati untuk benih jagung transgenik pernah dilakukan pada tahun 1999 di bawah rejim SKB 4 Menteri tersebut dimana untuk jagung Bt (event MON810) dan RR (event GA21) dinyatakan aman terhadap lingkungan dan keanekaragaman hayati masih berlaku.
158
5.2. Saran Berdasarkan hasil dan kesimpulan dalam penelitian ini, diajukan saransaran konkrit agar potensi manfaat benih transgenik dapat terealisasi sebagai berikut: (1) Pembentukan KKH (Komisi Keamanan Hayati) sebagai pelaksana PP No. 21/2005 perlu segera direalisasikan melalui keputusan atau peraturan yang dibuat oleh Presiden. Hal ini diperlukan untuk lebih memantapkan implementasi regulasi keamanan hayati d Indonesia. Kantor Menteri Lingkungan Hidup – sebagai leading department (pemegang mandat) terkait manajemen keamanan hayati perlu menuntaskan hal ini mengingat proses penyusunan komisi tersebut sudah berlangsung sejak 3 tahun lalu. Hal ini perlu untuk memayungi pemanfaatan produk hasil rekayasa genetik (termasuk produk impor yang sudah masuk dan dijadikan bahan baku pangan selama ini berupa tahu, tempe dan lain-lain) dan memberikan arahan tentang risiko yang mungkin terjadi dan manajemennya dengan dasar ilmiah. (2) Dengan telah ditandanganinya pedoman evaluasi keamanan pangan oleh Kepala BPOM baru-baru ini, maka prioritas pertama perlu dilakukan untuk pengkajian keamanan pangan bagi produk transgenik impor.
Hal ini
mendesak dilakukan sehingga konsumen dan pengguna memperoleh kepastian apakah bahan pangan dan bahan baku pakan impor tersebut aman dikonsumsi atau tidak. (3) Saran-saran penelitian lanjutan perlu dilakukan: penilaian ex-ante yang sama untuk jenis tanaman transgenik lainnya yakni padi, tebu, kedelai, tomat, dan lain-lain. Ke depan perlu dilakukan studi manfaat dan risiko untuk berbagai tanaman transgenik lain (setelah dinyatakan aman hayati) pada tingkat usahatani. Akan lebih menarik lagi kalau skala ujicoba pada petakan kecil sudah dapat dilakukan di lahan petani (tentu dengan mengikuti protokol keamanan hayati). Hal ini akan memudahkan petani melihat dan merasakan, serta sekaligus menilai potensi dan/atau kemungkinan resiko dari aplikasi tanaman transgenik secara realistis. Hasil penelitian seperti ini akan berguna dalam rangka penyebarluasan informasi dan edukasi tentang potensi manfaat dan resiko dari teknologi baru.
159
(4) Dalam kaitan dengan butir (3), pendekatan FGD (focus group discussion) di antara pemangku kepentingan yang terkait dapat dilakukan on the spot pada saat tanaman transgenik yang diuji sedang tumbuh di lapangan terbatas atau petakan kecil. Selain itu, mengingat pengembangan industri perbenihan yang menggunakan
hasil-hasil
litbang
transgenik
besar
potensinya
maka
lembaga/balai dan juga industri dapat menajamkan program pengembangan produk yang mengacu pada pemenuhan harapan/ekspektasi petani sebagai pengguna akhir.
Studi dampak ekonomi yang lebih lebar (wide economy
impact) dan efek keterkaitan pengembangan produk transgenik dengan sektor/sub-sektor lainnya juga perlu dilakukan. Selain itu, perlu dilakukan studi menyangkut dampak sosial dan pelibatan publik/sosial (public/social inclusion) mengenai produk rekayasa genetika. (5) Ke depan sekiranya adopsi benih tanaman transgenik sudah berjalan, maka mulai dari sekarang perlu dipikirkan/digalakkan distribusi/transfer benih dengan model pemuliaan dan penangkaran partisipatoris.
Hal ini
dimaksudkan untuk menyeimbangkan jalur distribusi benih komersial yang suda berlangsung baik hingga saat ini. Sistim/mekanisme distribusi benih di jalur non-komersial perlu dilakukan mengingat salah satu kepedulian pakar dalam analisis faktor ekonomi adalah sub-faktor harga dan biaya yang tinggi. Faktor biaya tinggi pada tingkat usahatani akan mempengaruhi
tingkat
keberhasilan atau meluasnya adopsi.
160
DAFTAR PUSTAKA Adiwilaga K. 2003. An Assessment of Agricultural Biotechnology Regulation in Indonesia. In Agriculture Biotechnology in Indonesia. Progress ReportDecember 2003. Aldy, J. E., J. Hrubovcak, and U. Vasavada. 1998. The Role of Technology in Sustaining Agriculture and the Environment. Ecological Economics 26:81-96. Alston, J. M., J. Hyde, M. C. Marra, P. D. Mithcell. 2002. An ex ante analysis of teh benefits from the adoption of corn rootworm resistant transgenic corn technology. AgBioForum 5(3):71-84. Azapagic, A. and S. Perdan. 2005. An integrated sustainability decision-support framework Part II: Problem analysis. Int. Journal of Sustain. & World Ecology 12:112 – 131. Badan Litbang Pertanian. 2005. Prospek dan Arah Pengembangan Agribisnis Jagung. Jakarta. Baker, J. 2000. Evaluating the Impact of development projects on poverty: a handbook for practitioners. Washington, DC: World Bank. Balai Kliring Keamanan Hayati (BKKH). Rangkuman Analisis Resiko. beritadetail.php?id=21. 16 Sept. 2008.
2008. Keputusan Domestik: http://www.indonesiabch.org/
Bennett, A. 2003. New age in agriculture: working together to create the future and dismantle barriers. World Agricultural Forum, 2003 World Congress, St. Louis. http://www.syngenta.com/en/downloads/WORLD AGRICULTURAL_FORUM.pdf. accessed 31 August, 2007. Borlaug, N. E. 1998. Remarks on the Inauguration of the Danforth Plant Science Center. July 20, 1998. St. Louis, Missouri. _____________. 2001. Feeding the World in the 21st Century: The Role of Agricultural Science and Technology. Tuskegee University, April 2001. Braunschweig, T., W. Janssen, C. Muñoz, and P. Rieder. 1999. Setting research priorities for the Chilean Biotechnology Program. In Cohen, J. Managing Agricultural Biotechnology: Addressing Research Program Needs and Policy Implications. ISNAR & CABI Publishing. Brockett, P. and A. Levine. 1984. Statistics and Porbability and Their Applications. Saunders College Publishing, Philadelphia.
161
Brookes, G. and P. Barfoot. 2005. GM Crops: the Global Socio-Economic and Environmental Impact – the First Nine years 1996-2004. PG Economics Ltd, Dorchester, UK. October 2005. Journal of AgroBiotehnology Management and Economics, 8 (2 & 3):187-196. http://www.agbioforum.org/v8n23/v8n23a15-brookes.pdf . Carpenter, J., A. Felsot, T. Goode, M. Hamming, D. Onstad, and S. Sankula. 2002. Comparative environmental impacts of biotechnology-derived and traditional soybean, corn, and cotton crops. Council for Agricultural Science and Technology (CAST). Ames, Iowa. Cassman, K. G. 2007. Ensuring Sustainability of the USA Biofuel Industry. Nebraska Center for Energy Sciences Research. University of Nebraska— Lincoln. www.ncesr.unl.edu, 17 October 2007. Cochran, W. G. 1977. Teknik Penarikan Sampel (terjemahan). Universitas Indonesia (UI-Press)- 1991.
Penerbit
CropLife Asia. 2005. Position paper on Agricultural biotechnology. http://www.croplifeasia.org/publications.html. Falck-Zepeda, J., J. Cohen, R. Meinzen-Dick, and J. Komen. 2002. Biotechnology and sustainable livelihoods: findings and recommendations of an international consultation. International Service for National Agricultural Research (ISNAR) Briefing Paper No. 54. Falconi, C. A. 1999. Methods for Priority Setting in Agricultural Biotechnology Research. In Cohen, J. Managing Agricultural Biotechnology: Addressing Research Program Needs and Policy Implications. ISNAR & CABI Publishing. Fauzi, A. 2004. Ekonomi Sumber daya alam dan lingkungan: teori dan aplikasi. Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Food and Agriculture Organization (FAO). 2003. Report of the FAO Expert Consultation on Environmental Effects of Genetically Modified Crops. 16-18 June, 2003, Rome, Italy. http://www.fao.org/DOCREP/ FIELD/006/AD690E/AD690E01.htm FAO. 2004. The State of World Food and Agriculture. Biotechnology: Meeting the Needs of the Poor? http://www.fao.org/documents/show_cdr. asp?url_file=/docrep/006/Y5160E/Y5160E00.HTM ____. 2006. FAOSTAT data. http://faostat. fao.org/faostat/. ____.
2007. Glossary of biotechnology for food and agriculture. http://www.fao.org/biotech/index.asp?lang=en. August 29, 2007.
162
Giannakas, K. And A. Yiannaka. 2004. The market potential of a new high-oleic soybean: an ex ante analysis. AgBioForum 7(3):101-112. Gonzales, L. A. 2005. Harnessing the benefits of biotechnology: the case of Bt corn in the Philippines. Strive Foundation, Los Banos, Philippines. Graff, G., D. Zilberman, and C. Yarkin. 2000. The Roles of Economic Rsearch in the evolution of international agricultural biotechnology. In M. Qaim, A. F. Krattiger, and J. von Braunn. 2000. Agricultural Biotechnology in Developing Countries: Towards Optimizing the Benefits for the Poor. Kluwer Academic Publishers. pp. 125-154. Gunawan, A., E. Saragih, dan K. Adiwilaga. 2003. Benefit & Safety Assessment Jagung Roundup Ready, serta Proses Registrasi yang Telah Dilalui. Makalah disajikan pada Seminar Nasional Bioteknologi, 5-6 April 2003, Fakultas Biologi, Univ. Jenderal Soedirman, Purwokerto, Jawa Tengah. Hareau, G. G. 2002. The adoption of genetically modified organisms in Uruguay’s agriculture: an ex ante assessment of potential benefits. Thesis, Master of Science. Virginia Polytechnic Institute and State University. Blacksburg, VA. ____________, G. W. Norton, B. F. Mills, and E. Peterson. 2004. Potential benefits of transgenic rice in Asia: a general equilibrium analysis. Paper presented at the Annual meeting of the American Agr. Ec. Assoc, Denver, Colorado, August 1-4, 2004. ____________, B. F. Mills, and G.W. Norton. 2006. The potential benefits of herbicide-resistant transgenic rice in Uruguay: lessons for small developing countries. Food Policy, 31: 162 – 179. http://www. aseanbiotechnology.info/Abstract/21018818.pdf Huesing, J. And L. English. 2004. The impacts of Bt crops on the developing world. AgBioForum 7 (1&2):84-95. International Service for Agro-biotechnology Aplication and Acquisition (ISAAA). 2006. Development of transgenic late-blight resistant (LBR) potato for India, Bangladesh, and Indonesia. http://www.isaaa.org/ ISAAA. 2008. Summary: Global Review of Commercialized Transgenic Crops. http://www.isaaa.org/ International Seed Federation (ISF). 2004. International Seed Federation’ position paper on sustainable agriculture. http://worldseed.org/Position_papers /Pos_sustainable_ agri.htm.
163
Irawan, B., G. S. Hardono, B. Winarso dan I. Sodikin. 2003. Analisis faktor penyebab pelambatan produksi komoditas pangan utama. Laporan Akhir. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Departemen Pertanian. James, C. 2004. Global Review of Commercialized Transgenic Crops. International Service for the Aacquisition of Agri-Biotech Applications. http://www.isaaa.org/kc/bin/briefs34/cbu/index.htm ________. 2007. Global Status of Commercialized Biotech/GM Crops: 2007. ISAAA Brief No.37. ISAAA: Ithaca, NY. Jemison, Jr., J.M. dan M. E. Vayda. 2001. Cross Pollination from Genetically Enginereed Corn: Wind Transport and Seed Source. AgBioForum- 4 (2): 87-92. Kalaitzandonakes, N. (Editor) 2003. The Economic and Environmental Impact of Agbiotech: A Global Perspective. Kluwer Academic/Plenum Publishers. New York. Kantor Menteri Lingkungan Hidup (KMLH). 1997. Agenda 21 Indonesia: Strategi Nasional Untuk Pembangunan Berkelanjutan. Kantor Menteri Lingkungan Hidup. Kish, L. 1965. Survey Sampling. John Wiley & Sons, New York. Kovach, J., C. Petzoldt, J. Degni and J. Tette. 1992. A Method to Measure the Environmental Impact of Pesticides. New York’s Food and Life Sciences Bulletin. NYS Agricul. Exp. Sta. Cornell University, Geneva, NY, 139. http://www.nysipm.cornell.edu/publications/eiq/ Kriström, B. 2000. Continget Valuation. In J. van den Bergh (Ed.). Handbook of Environmental and Resources Economics. Edward Elgar Publ., Northhampton, MA, USA. pp. 777-795. Lee, D. R. 2005. Agricultural Sustainability and Technology Adoption: Issues and Policies for Development Countries. Amer. J. Agr. Econ. 87 (5):1325-1334. Li, Q., K. R. Curtis, J. J. McClsukey, and T. I. Wahl. 2002. Consumer attitudes toward genetically modified foods in Beijing, China. AgBioForum 5(4):145-152. Linacre, N.A., J. Gaskell, M.W. Rosegrant, J. Falck-Zepeda, H. Quemada, M. Halsey, and R. Birner. 2005. Analysis for Biotechnology Innovations Using Strategic Environmental Assessment (SEA). Discussion Paper 140. IFPRI (International Food Policy Research Institute). Washington, DC. http://www.ifpri.org/divs/eptd/dp/eptdp140.htm
164
Lofstedt, R. 2002. The evolving risk management field in Europe: some insights and speculations. King’s Center for Risk Management, King’s College London. http://hdgc.epp.cmu.edu/mailinglists/hdgcctml/ mail/ Marimin. 2006. Teknik dan Aplikasi Pengambilan Keputusan Kriteria Majemuk. Penerbit Grasindo, Jakarta. Masters, W. A., B. Coulibaly, D. Sanogo, M. Sidibe’, A. Williams, J. H. Sanders, and J. L. DeBoer. 1996. The economic impact of agricultural research: A practical guide. Department of Agricultural Economics, Purdue University, West Lafayette. Miranda, J. I. 2001. Multi-criteria analysis applied to the sustainable agriculture program. Int. J. Sustain. Dev. World Ecol. 8: 67-77. Moeljopawiro, S. 1999. Managing biotechnology in AARD, Indonesia: Priorities, Funding and Implementation. In Cohen, J. Managing Agricultural Biotechnology: Addressing Research Program Needs and Policy Implications. ISNAR & CABI Publishing. Monkvold, G.P., Hellmich, R.L.; Showers, . 1997. Reduced Fusarium Ear Rot & Symptomless Infection in Kernals of Maize Genetically Engineeredfor European Com Borer Resistance. Phytopathology 87(10): 1071- 1077. Moon, W. And S. K. Balasubramanian. 2003. Is there a market for genetically modified foods in Europe? Continget valuation of GM and Non-GM breakfast cereals in the United Kingdom. AgBioForum 6(3):128-133. Nazir, M. 1988. Metode Penelitian. Penerbit Univ. Syah Kuala, Banda Aceh. Perman, R., Y. Ma, J. McGilvray, and M. Common. 2003. Natural Resources and Environmental Economics. Pearson-Addison Wesley, London. Purwantara, B. 2008. Socio-economic impacts and social inclusion in public policy process: agro-biotechnology development of corn in Indonesia. Regional Workshop on Socio-economic impacts and social inclusion in public policy processes in five Southeast Asian Countries. Asian Institute of Technology, Bangkok, 27 September 2008. Qaim, M. 1998. Transgenic Virus Resistant Potatoes in Mexico: Potential Socioeconomic Implications of North-South Biotechnology Transfer. Center for Development Research (ZEF), Universität Bonn, Germany. http://www.isaaa.org/kc/Publications/pdfs/isaaabriefs/Briefs%207.pdf
_______. 1999. The Economic Effects of Genetically Modified Orphan Commodities: Projections for Sweetpotato in Kenya. Center for Development Research (ZEF), Universität Bonn, Germany. http://www.isaaa.org/kc/Publications/pdfs/isaaabriefs/Briefs%2013.pdf
165
_______, A. F. Krattiger, and J. von Braunn. 2000. Agricultural Biotechnology in Developing Countries: Towards Optimizing the Benefits for the Poor. Kluwer Academic Publishers. Rogers, E. M. 2003. Diffusion of Innovations. 5th ed.. Free Press, New York. Rouda, R. H. and M. E. Kusy, Jr. 1995. Development of human resources Part 2: Needs assessment- the first step. Tappi Journal, 78 (6): 255-257. Runge, C. F., and B. Ryan. 2004. The Global Diffusion of Plant Biotechnology: International Adoption and Research in 2004. Saaty, R. W. and T. L. Saaty. 2003. Decision Making in Complex Environments: the Analyitical Hierarchy Process (AHP) for Decision Making and the Analyitical Network Process (ANP) for Decision Making with Dependence and Feedback. Creative Decisions Foundation, Pittsburgh, PA. http://www.SuperDecision.com Samson, J. A. 2008. GM corns yield performance in the Philippines. Personal communication. Sanim, B. 2003. Keterkaitan sumberdaya alam dan lingkungan, pembangunan ekonomi dan manajemen lingkungan. Materi Kuliah Ekonomi Sumberdaya Alam dan Lingkungan. Sekolah Pascasarjana IPB. Saragih, E. 2006. Tantangan introduksi benih bioteknologi. Artikel opini pada harian Bisnis Indonesia, 16 Mei 2006, halaman 7. Schumacher, R. W. 2001. Benefits and environmental safety of genetically improved crops. Paper presented at the 15th Conference of Indonesia Weed Sciences Society, UNS, Surakarta, Central Java, July 17-19, 2001. Secretariat of the CBD. 2000. Convention on Biological Diversity. Concluded at Rio de Janeiro, 5 June 1992. http://www.biodiv.org/ default.shtml Shahi, G. S. 2004. Biobusiness in Asia: How Asia can capitalize on the Life Science Revolution. Prentice Hall. Pearson Education South Asia Pte Ltd. Singapore. Sharma, H. C., J. H. Crouch, K. K. Sharma, N. Seetharama, and C. T. Hash. 2002. Applications of Biotechnology for Crop Improvement: Prospects and Constraints. Plant Science 163 (2002): 381-395. Shechter, M. 2000. Valuing the environment. In H. Folmer and H. L. Gabel (Eds.). Principles of environmental and resources economics: a guide for students and decision-makers. 2nd edition. Edward Elgar Publ., Northhampton, MA, UA.
166
Simatupang, P. 2002. Daya Saing dan Efisiensi Usahatani Jagung Hibrida di Indonesia. Makalah dalam Diskusi Nasional Agribisnis Jagung, Bogor, 24 Juni 2002, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian. Siregar, H. dan L. M. Kolopaking. 2002. Telaah Sosial-Ekonomi Usahatani Kapas Bt: Temuan Awal dari Provinsi Sulawesi Selatan. Makalah disajikan pada ‖Seminar Evaluasi Penanganan Kapas Transgenik MT 2002 di Sulawesi Selatan‖, Bogor, 14 November 2002. _________. dan B. Arifin. 2008. Challenges for sustainable agricultural biotechnology development in Indonesia. Paper presented in the session on ―The Roles of Agricultural Biotechnology Policies in Asian Economy‖, The 6th ASAE International Conference: the Asian Economic Renaissance: What is in It for Agriculture, Manila, 28-29 August 2008. Smale, M., P. Zambrano, and M. Cartel. 2006. Bales and Balance: a review of the methods used to assess the economic impact of Bt cotton on farmers in developing economies. AgBioForum 9(3):195-212. Subandi, E. S. Saragih, Desmarwansyah, W. Djulkarnain, Y. K. Leksana dan F. Damanik. 2002. Keragaan jagung hibrida Roundup Ready pada kondisi tanpa olah tanah dan sistem penyiangan gulma secara kimiawi. Makalah pada Seminar Olah Tanah Konservasi. Fak. Pertanian UPN Veteran dan Himpunan Ilmu Gulma Indonesia (HIGI). Yogyakarta, 30 Juli 2002. Sudaryanto, T. dan I W. Rusastra. 2006. Kebijakan strategis usaha pertanian dalam rangka peningkatan produksi dan pengentasan kemiskinan. Jurnal Litbang Pertanian 25(4): 115-122. Swastika, D.K.S., F. Kasim, W. Sudana, R. Hendayana, K. Suhariyanto, R. V. Gerpacio, dan P. L. Pingali. 2004. Maize in Indonesia: production systems, constraints, and research priorities. Mexico, D.F. CIMMYT. Stevenson, M. and H. Lee. 2001. Indicators of sustainability as a tool in agricultural development: partitioning scientific and participatory process. Int. J. Sustain. Dev. World Ecol. 8: 57-65. Trigo, E. J.and E. J. Cap. 2003. The impact of the introduction of transgenic crops in Argentinean agriculture. AgBioForum 6(3): 87-94. Tripp, R. 1999. The Debate on Genetically Modified Organisms: relevance for the South. In Cohen, J. Managing Agricultural Biotechnology: Addressing Research Program Needs and Policy Implications. ISNAR & CABI Publishing. United Nations Conference on Environment and Development (UNCED). 1992. Agenda 21: Sustainable Development. Rio de Janeiro, Brazil, 3-14 June 1992. http://www.un.org/esa/sustdev/documents/agenda21/ index.htm
167
United Nations Commission on Sustainable Development (UN-CSD). 2001. Indicators of Sustainable Development: Guidelines and Methodologies. United Nations. 2002. Report of the World Summit on Sustainable Development. Johannesburg, South Africa, 26 Aug.– 4 Sept. 2002. United States Department of Agriculture (USDA). 2006. Indonesia Agricultural Biotechnology Report 2006. Global Agriculture Information Network. USDA Foreign Agricultural Service. Jakarta. Weimer, D. L. dan A. R. Vining. 1999. Policy Analysis: Concepts and Practice. 3rd Edition. Prentice Hall, New Jersey. Witarto, A. B. 2006. Bioteknologi di Indonesia: Kondisi dan Peluang. Inovasi Online, Edisi Vol.7/XVIII/Juni 2006. http://io.ppi-jepang.org/ article.php?id=174 Zhen, L. and J. K. Routray. 2003. Operational indicators for measuring agricultural sustainability in developing countries. Env. Man.32(1):34-46 _______________________, M. A. Zoebisch, G. Chen, G. Xie, dan S. Cheng. 2005. Three dimensional of sustainability of farming practices in the North China Plain: Agriculture, Ecosystems and Environment 105:507 – 522.
168