KEKUATAN HUKUM TELECONFERENCE DALAM ACARA PEMBUKTIAN PERKARA PIDANA
Oleh : Dewi Rohayati, S.H.,M.H.
ABSTRAK
Berbicara mengenai sistem pembuktian perkara pidana tidak terlepas dari pembicaraan mengenai : macam-macam alat bukti yang boleh dipergunakan, penguraian alat bukti, dan dengan cara bagaimana alat bukti itu dipergunakan; sehingga oleh karenanya dapat membentuk keyakinan hakim guna menemukan kebenaran materiil. Urut-urutan penyebutan alat bukti sebagaimana ditetapkan dalam UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) sangat berhubungan dengan tujuan dari hukum dimana titik berat pembuktian diletakan pada keterangan saksi. Keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah adalah keterangan mengenai suatu peristiwa yang didengar, dilihat, dan dialami sendiri, serta harus dinyatakan di sidang pengadilan. Sehubungan dengan hal diatas, beberapa waktu yang lampau telah terjadi dimana keterangan
saksi
disampaikan
di
pengadilan
melalui
teleconference.
Permasalahannya, bagaimana kekuatan hukum teleconference menurut konsep pembuktian berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981, dan bagaimana eksistensi teleconference bagi sistem hukum acara pidana Indonesia yang akan datang (ius constituendum) sehubungan dengan prinsip penyelenggaraan peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan ?
1
A. Pendahuluan Hal yang pokok dalam hukum acara pidana adalah sistem pembuktian, karena dengan pembuktian dimaksudkan untuk membuat terang suatu perkara pidana siapa tersangkanya. Sistem pembuktian berdasarkan KUHAP harus dilaksanakan dengan menggunakan alat-alat bukti yang sah (minimal dua alat bukti yang sah) serta keyakinan hakim (sistem pembuktian negatif/negatief wettelijk). Oelh karenanya alat-alat bukti yang sah yang dapat dipergunakan, menjadi penting adanya di dalam praktik. Pasal 184 KUHAP menjelaskan mengenai jenis-jenis alat bukti yang sah, sebagai berikut : (1). Keterangan saksi; (2). Keterangan ahli; (3). Surat; (4). Petunjuk; (5). Keterangan Terdakwa. Dikatakan sebagai alat bukti yang sah maka diluar jenis-jenis alat bukti tersebut di atas tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti. Alat bukti “keterangan saksi” dihibungkan dengan Pasal 185 ayat (1) KUHAP, terjelaslah sudah bahwa “keterangan saksi harus dinyatakan di sidang pengadilan”. Pembentukan undangundang menetapkan demikian tentu saja memiliki maksud dan tujuan yang hendak dicapai dalam rangka mewujudkan kebenaran yang sejati atau kebenaran yang selengkap-lengkapnya, sebagai : “ Kebenaran dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat, dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari Pengadilan guna
2
menentukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwa itu dapat dipersalahkan “.1) Ahli hukum menjelaskan bahwa membuktikan berarti “memberikan kepastian yang layak menurut akal (redelijk) tentang apakah hal yang tertentu itu sungguh-sungguh terjadi, dan apa sebabnya demikian halnya” 2) Keharusan keterangan saksi “dinyatakan di sidang pengadilan” kemudian menimbulkan persoalan baru yang kemudian menjadi perdebatan dikalangan para ahli hukum seputar pemahaman tentang apakah keharusan keterangan saksi dinyatakan langsung di sidang pengadilan itu harus secara fisik, atau dapat dinyatakan secara non-fisik melalui berbagai media seperti dalam beberapa kasus besar antara lain kasus Bulog (dengan terdakwanya Rahardi Ramelan) dan kasus Abu Ba’asyir. Dalam kasus Bulog sebagaimana diketahui telah melibatkan kesaksian B.J Habibie (mantan Presiden R.I.) langsung dari Jerman melalui teleconference; sedangkan dalam kasus Ba’asyir telah melibatkan beberapa orang saksi warga negara Singapura dan juga Malayasia yang karena beberapa alasan maka kesaksian disampaikan ke ruang sidang di Indonesia langsung dari Singapura dan juga Malayasia, melalui
teleconference.
Perdebatan
yang
terjadi,
terutama
seputar
permasalahan tentang keabsahan kesaksian yang disampaikan melalui media elektronik tersebut menurut perundang-undangan yang berlaku (KUHAP). Apalagi dalam kasus Ba’asyir, keterangan saksi warga negara Malayasia dan
1
) S. Tanusobroto,Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Armoco, Bandung, 1989, hlm 13. ) Hari Sasangka dan Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2003, hlm 11. 2
3
Singapura (berdomisili di Malayasia dan Singapura) yang disampaikan melalui teleconference itu, pelaksanaannya tidak dilakukan di Kedutaan R.I. sebagai wilayah yang mewakili pemerintah Indonesia di negara-negara tersebut. Selain itu, penggunaan teleconference (audio visual) ini juga dikhawatirkan akan melunturkan prinsip peradilan yang cepat, sederhana, dan biaya ringan; mengingat penyelenggaraannya jika dicermati sangat prosuderal dan memerlukan biaya mahal. Bahkan perhitungan biaya tayangan konon sama dengan menghitung pulsa telepon. Oleh karenanya jangan sampai penggunaannya itu mengorbankan prinsip peradilan yang jujur, terbuka dan objektif. Tidak dapat dipungkiri bahwa penggunaan teleconference sebagai media penyampaian keterangan saksi, telah menunjukkan bahwa komponen penegak hukum pada sistem peradilan pidana berhasil memperlihatkan sikap responsifnya terhadap perkembangan teknologi khususnya teknologi informasi dan telekomunikasi. Ditunjang oleh Pasal 87 PP No. 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, yang dapat membantu dan memberi peluang terhadap penyelenggaraan teleconference; dijelaskan bahwa “jasa telekomunikasi dapat digunakan untuk keperluan proses peradilan pidana dengan merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan”.
4
B. Pembahasan 1.
Kekuatan
Hukum
Teleconference
Menurut
Konsep
Pembuktian
Berdasarkan UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP) Memahami konsep “negara hukum” adalah penting sebagai langkah awal. Menurut Sri Soemantri, suatu negara dikatakan sebagai negara hukum harus memenuhi beberapa unsur, yaitu :3) 1. Pemerintah dalam melaksanakan tugas dan kewajibannya harus berdasar atas hukum atau peraturan perundang-undangan; 2. Adanya jaminan terhadap hak-hak asasi manusia (warga negara); 3. Adanya pembagian kekuasaan dalam negara; 4. Adanya pengawasan dari badan-badan peradilan. Selanjutnya dikatakan oleh Otje Salman 4), bahwa ciri-ciri dalam suatu negara hukum (rechsstaat) adalah : 1. Mengakui Trias Politika, (maksudnya mengakui adanya pemisahan kekuasaan ke dalam kekuasaan legislatif, yudikatif, dan eksekutif);
3
) Sri Soemantri dalam Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Praduga Tidak Bersalah Dan Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada Sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003, hlm 1. Vide : S. Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1973, hlm 8, 22, 23. 4 ) Otje Salman, Penegakan Hukum Yang Memenuhi Rasa Keadilan Masyarakat, Materi Seminar SESPATI, 5 Juni 2003, hlm 1.
5
2. Aspek hukum mengatur aspek politik dan aspek ekonomi, tidak sebaliknya; artinya bahwa hukum dalam negara hukum harus steril dan tidak boleh diintervensi oleh sub-sistem kemasyarakatan lainnya. Unsur-unsur atau ciri-ciri di atas merupakan condicio sine qua non dalam memahami suatu negara hukum. Namun demikian, diketahui bersama bahwa tidak ada suatu difinisi yang bersifat umum tentang negara maupun hukum. Perkembangan hukum di Indonesia khususnya hukum pidana formil yakni dengan dibentuknya UU No. 8 Tahun 1981 (KUHAP), adalah merupakan salah satu sikap progresif yang telah diambil oleh para pakar hukumnya untuk segera menghapuskan
hukum
peninggalan
kolonial
secepat-cepatnya.
Dengan
berlakunya KUHAP, nyata sekali telah menimbulkan perubahan fundamental, baik secara konsepsional maupun secara implemental terhadap tatacara penyelesaian perkara pidana di Indonesia yakni perubahan dalam cara berpikir yang mengakibatkan pada perubahan sikap dan cara bertindak para aparat atau penegak hukum secara keseluruhan. Seperti dikatakan oleh Romli Atmasasmita 5), bahwa “KUHAP dapat juga dikatakan merupakan landasan bagi terselenggaranya proses peradilan pidana yang benar-benar bekerja dengan baik dan berwibawa serta benar-benar memberikan perlindungan hukum terhadap harkat dan martabat tersangka, tertuduh, atau terdakwa sebagai manusia.
5
) Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Putra A. Bardin, Bandung, 1996, hlm 33.
6
Dalam konteks inilah kita berbicara tentang mekanisme peradilan pidana sebagai suatu proses, atau disebut “criminal justice process” yang dimulai dengan proses penangkapan, penggeledahan, penahanan, penuntutan, dan pemeriksaan di muka sidang pengadilan; serta diakhiri dengan pelaksanaan pidana di lembaga pemasyarakatan”. Berdasarkan pernyataan di atas, nampak bahwa hal pokok yang memegang peranan dalam proses pemeriksaan perkara pidana adalah pembuktian melalui alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Setiap alat bukti yang disebutkan dalam pasal tersebut mempunyai nilai dan kekuatan pembuktian yang mengikat. Mempunyai nilai artinya mempunyai patokan-patokan yang memberi dasar bagi hukum untuk mengeluarkan petunjuk-petunjuk sehingga tidak bersifat semenamena tentang apa yang seharusnya terjadi dan dilakukan. Sedangkan mengenai kekuatan pembuktian, harus melihat Pasal 184 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 183 KUHAP yang berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya”. Dalam upaya mengetahui kesalahan terdakwa dimaksud, muncul suatu fakta seperti dalam contoh-contoh kasus yang disebutkan diatas, dimana dalam proses pembuktiannya keterangan saksi disamapaikan melalui teleconference (kesaksian
7
jarak jauh) berbentuk audio visual, baik melalui “by live television link” atau melalui “rekaman yang berbentuk “videotape record”.6) Secara normatif dan dari segi kepastian hukum; penerapan teleconference sebagai upaya penyampaian keterangan saksi di persidangan, terkesan membingungkan terutama perihal persoalan antara hukum yang seharusnya (das solen) dengan hukum dalam kenyataannya (das sein); sehingga perlu segera diluruskan dan diselaraskan. Apabila Pasal 3 KUHAP dihubungkan dengan Pasal 284 ayat (2) KUHAP, nyata sekali bahwa “peradilan harus dilakukan menurut cara yang diatur dalam undangundang ini (KUHAP)”. Namun demikian hukum acara pidana itu tidak hanya diatur di dalam KUHAP tetapi juga terdapat di luar KUHAP sebagai ketentuan khusus acara pidana yang terdapat pada undang-undang tertentu. Kontroversi yang terjadi tentang penggunaan teleconference ini, sebenarnya disebabkan
terdapatnya dua kubu pendapat dikalangan para ahli itu sendiri,
dimana disatu sisi terdapat pendapat yang masih tetap berpedoman kepada paradigma formalisme; sedangkan disisi lain terdapat pandangan dari para ahli/penegak hukum tersebut tentang pencarian kebenaran materiil yang menyatakan bahwa “dalam penegakan hukum pidana jangan hanya didasarkan pada paradigma formalisme saja tetapi juga harus didasarkan pada substansial justice yaitu dengan menggali, menemukan, dan memahami nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat”. 6
) M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP – Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2001, hlm 200.
8
Masuknya teleconference dalam persidangan perkara pidana di Indonesia, menunjukan
bahwa
hukum
tidak
diam
melainkan
berkembang
sesuai
perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pernyataan ini dikuatkan oleh pernyataan Sunaryati Hartono 7), bahwa pembangunan dalam bidang hukum akan meliputi : 1.
Menyempurnakan (membuat sesuatu yang lebih baik),
2.
Mengubah agar menjadi lebih baik dan modern,
3.
Mengadakan sesuatu yang sebelumnya belum ada, atau
4.
Meniadakan sesuatu yang terdapat dalam sistem lama, karena tidak diperlukan dan tidak cocok dengan sistem baru.
Namun demikian penggunaan teleconference dalam persidangan, sebagai suatu terobosan hendaknya tidak menimbulkan kesan diskriminatif ditinjau dari segi kemanfaatan secara normatif maupun secara sosiologis. Apabila fakta ini mencerminkan kekurangan-kekurangan dari KUHAP dalam mengakomodasikan harapan para pencari keadilan (justiabelen), diperlukan suatu pengkajian kembali terhadap KUHAP dalam rangka mewujudkan
Jus
Constituendum sebagaimana yang diharapkan. Di dalam kerangka mewujudkan substansial justice tersebut, memang Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman telah menjelaskan
7
) C.F.G Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Binacipta, Bandung, 1982, hlm 8.
9
bahwa : “Hakim wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat”. Namun demikian perlu dimengerti dan difahami bahwa penjelasan di atas hanya menggambarkan tentang kewajiban, yang tidak sama dengan wewenang Pemerintah (Presiden) dan DPR sebagaimana diamanatkan oleh Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) UUD’45 dalam kerangka tugas regulasinya sesuai asas lagalitas yang memiliki perluasan pengertian sebagai lex scripta, lex certa, dan lex stricta. Artinya kemampuan hakim di sini hanya sebatas kemampuan menyelami perasaan hukum yang hidup dalam masyarakat, sehingga diharapkan hakim dapat memberikan putusan yang sesuai dengan hukum tersebut guna memenuhi keinginan para pencari keadilan. Dan jika Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 ini dilaksanakan oleh hakim dalam praktik peradilan maka akan menghasilkan suatu yurisprudensi (sebagai sumber hukum). Perlu diakui bahwa sejak lahirnya KUHAP sampai munculnya penggunaan teleconference dalam persidangan perkara pidana, menunjukkan bahwa terdapat beberapa hal yang dianggap inovasi dalam prespektif hukum acara terutama menyangkut sistem pembuktian dimana perkembangan teknologi informasi dan telekomunikasi dewasa ini telah turut mewarnai perkembangan dunia hukum dan peradilan itu sendiri. Dan terhadap kelemahan-kelemahan yang terjadi di dalam KUHAP perlu segera diatasi dan dicarikan solusinya. Apabila jika melihat kepada peraturan lain yang terkait yaitu Pasal 87 PP No. 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi, hanya merupakan pasal yang menjembatani
10
saja yang menjelaskan bahwa jasa telekomunikasi untuk keperluan persidangan dapat diselenggarakan atas : a.
permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Republik Indonesia untuk tindak pidana tertentu;
b.
permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
Berdasarkan pendekatan normatif, tidak dapat disangkal lagi bahwa untuk menciptakan kepastian hukum dan rasa keadilan melalui proses pembuktian perkara pidana, diperlukan adanya keserempakan dan keselarasan di dalam menggunakan undang-undang positif. Mengenai kekuatan teleconference dalam proses pembuktian perkara pidana menurut KUHAP, ditegaskan sekali lagi bahwa KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah dan tata cara penggunaan alat bukti tersebut sehingga memiliki kekuatan hukum pembuktiannya. Yang dimaksud dengan kekuatan alat bukti tiada lain adalah “seberapa jauh nilai alat bukti itu masing-masing dalam hukum pembuktian”; yang meliputi : a.
Kekuatan alat bukti keterangan saksi.
b.
Kekuatan alat bukti keterangan ahli.
c.
Kekuatan alat bukti surat.
d.
Kekuatan alat bukti petunjuk.
11
e.
Kekuatan alat bukti keterangan terdakwa.
Keterangan saksi nampak ditetapkan sebagai alat bukti yang paling utama, karena hampir tidak ada perkara pidana yang luput dari keterangan saksi. Dan untuk mengukur kekuatan keterangan saksi yang disampaikan melalui teleconference menurut hukum pembuktian berdasarkan KUHAP, perlu diketahui tentang arti dari istilah teleconference dimaksud. Secara harafiah, istilah teleconference dapat diartikan sebagai “konperensi atau pertemuan jarak jauh”; atau dapat juga diartikan sebagai “siaran langsung tatap muka jarak jauh”, yang penyelenggaraannya tidak terlepas dari penggunaan sistem telekomunikasi sebagai dampak dari globalisasi dan perkembangan teknologi komunikasi dewasa ini. Adapun jenis-jenis teleconference yang pernah digunakan dalam persidangan perkara pidana, adalah jenis teleconference dengan menggunakan sistem kawat atau telephon (hanya didengar suaranya saja, seperti dalam kasus pelanggaran HAM di Tim-Tim), dan teleconference dengan menggunakan sistem optik (audio visual, seperti dalam kasus Rahardi Ramelan dan Abu Bakar Ba’asyir). Di beberapa negara maju khususnya di Inggris, peradilan sistem konvensional senantiasa diterapkan berdampingan dengan tata cara pemeriksaan persidangan bentuk baru (modern). Bentuk-bentuk baru dimaksud, sebagaimana dijelaskan oleh M. Yahya Harahap 8) adalah teleconference, yang bentuknya dapat berupa :
8
) M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan................,Loc.cit.
12
(a). Behind a screen atau disebut To give evidence from behind a screen; saksi memberi keterangan (diperiksa dibelakang layar), sehingga : i. saksi berhadapan langsung dengan terdakwa pada saat saksi memberikan keterangan, ii. dengan syarat, terdakwa harus mendengar sepenuhnya keterangan saksi. Tata cara behind a screen, terutama diterapkan dalam pemeriksaan perkara “perkosaan” (rape) dan “penyalahgunaan seksual” (sexual abuse) terhadap “anak kecil”. Tujuannya untuk menghindari saksi atau anak kecil dari “trauma”, serta untuk menghindari “siksaan berat” bagi saksi jika berhadapan langsung dengan terdakwa di persidangan. (b). By live television link : keterangan saksi diberikan melalui “tayangan langsung” yang disambungkan ke ruang sidang : i. saksi tidak langsung in person hadir dan berhadapan dengan terdakwa di ruang sidang, ii. saksi berada di tempat lain, tetapi pada saat memberi keterangan dilakukan dengan sistem dan teknik by live television link di ruang sidang, iii. dengan demikian wajah dan suara saksi pada saat memberi keterangan dapat dilihat dan didengar terdakwa “di layar monitor”.
13
(c). Videotape record atau “kamera” : keterangan saksi direkam dalam videotape record atau kamera (the hearing may be held in videotape record or camera), dan rekaman itulah yang dipertunjukan di ruang sidang. Sehubungan dengan penggunaan teleconference tersebut, ketentuan yang dapat dijadikan sebagai dasar guna mengukur kekuatan dan penilaian alat bukti, antara lain dengan memperhatikan dan mengkaji ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam Pasal 183 sampai dengan Pasal 189 KUHAP jis Pasal 3 KUHAP dan Pasal 284 ayat (2) KUHAP; Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Berbicara mengenai pengaturan teleconference, maka yang dimaksud dengan pengaturan disini adalah menunjuk kepada suatu pengaturan yang dibuat secara tertulis, jelas, dan tegas (lex scripta, lex certa, lex stricta); sehingga secara legitimate (sah), undang-undang dalam konteks hukum sebagai suatu sistem 9) baik secara horizontal maupun vertikal harus merupakan produk legislatif. Artinya perkataan hukum tertulis atau undang-undang di sini Hnya undang-undang dalam arti formil atau undang-undang yang dibuat oleh Pemerintah dan atau DPR dengan tanpa mengabaikan principles of legality.
9
) Hukum sebagai suatu sistem menunjukkan adanya suatu ikatan secara sistematik. Pengertianpengertian dasar yang terkandung di dalam pengertian “sistem” (Satjipti Rahardjo, Ilmu Hukum, hlm 48-49) : 1). Sistem itu berorientasi kepada tujuan 2). Keseluruhan adalah lebih dari sekedar jumlah dari bagian-bagiannya (Wholism) 3). Suatu sistem berinteraksi dengan sistem yang lebih besar yaitu lingkungannya (keterbukaan sistem) 4). Bekerjanya bagian-bagian dari sistem itu menciptakan sesuatu yang berharga (Transformasi) 5). Masing-masing bagian harus cocok satu sama lain (Keterhubungan) 6). Ada kekuatan pemersatu yang mengikat sistem itu (Mekanisme kontrol)
14
Tentang pengaturan teleconference, ipso facto seperti dalam pasal-pasal KUHAP di atas, tidak ada atau tidak diketemukan satu pasal-pun yang mengatur model teleconference yang dapat digunakan sebagai sarana penyampaian keterangan saksi dalam sistem pembuktiannya. Yang ada, yakni dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP menjelaskan bahwa “keterangan saksi sebagai alat bukti ialah apa yang saksi nyatakan di sidang pengadilan”. Demikian juga dalam peraturan lainnya yang terkait khususnya UU No. 36 Tahun 1999 jo PP No. 52 Tahun 2000; tidak mengatur secara tersurat tentang teleconference; melainkan hanya mengatur teknis operasional penggunaan jaringan telekomunikasi, yang diantaranya dapat digunakan untuk penyelenggaraan teleconference dalam berbagai keperluan. Sedangkan dalam UU tertentu yang mengatur ketentuan khusus acara pidana sehubungan dengan contoh kasus yang diangkat dalam tulisan ini, seperti UU No. 15 Tahun 2003 Tentang Terorisme, dan atau UU No. 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sesuai penerapan asas lex specialis de rogat lex generalis, ternyata juga tidak mengatur ketentuan tentang keterangan saksi yang dapat disampaikan melalui teleconference. Yang ada bahwa dalam undang-undang tersebut mengatur ketentuan tentang perluasan alat bukti yang sudah diatur di dalam KUHAP. Pasal 26 A UU No. 20 Tahun 2001 mengatur alat bukti elektronik sebagai perluasan dari alat bukti petunjuk sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP; bahwa : “alat bukti petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP, juga dapat diperoleh melalui alat
15
bukti elektronik”.10) Demikian juga di dalam Pasal 27 UU No. 15 Tahun 2003 mengakui adanya alat bukti elektronik selain alat bukti yang telah diatur di dalam KUHAP. Jelaslah, bahwa teleconference yang digunakan untuk mendengarkan keterangan saksi B.J Habibie dari Hamburg-Jerman terkait dengan kasus korupsi (kasus Bulog) adalah bukan sebagai alat bukti elektronik sebagaimana dimaksudkan dalam Pasal 26 A UU No. 20 Tahun 2001. Demikian juga penggunaan teleconference dalam kasus Abu Bakar Ba’asyir (melalui perkara Nomor : 547/Pid.B/2003/P.N.Jkt.Pst) yang proses acaranya akhirnya murni berdasarkan KUHAP tidak berdasarkan UU No. 15 Tahun 2003, berarti pembuktiannya harus berpedoman kepada Pasal 184 KUHAP jo Pasal 183 KUHAP dan Pasal 185 ayat (1) KUHAP. Untuk mengukur nilai dan kekuatan pembuktian (the degree of evidence) keterangan saksi sebagai alat bukti yang sah berdasarkan KUHAP, adalah : - Saksi harus mengucapkan sumpah atau janji - Keterangan saksi adalah apa yang saksi lihat sendiri, dengar sendiri, dan alami sendiri (bukan testimonium de auditu). 10
) Sehubungan dengan alat bukti petunjuk, Pasal 26 A UU No.20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; menjelaskan : “alat bukti yang sah dalam bentuk petunjuk sebagaimana dimaksud dalam Pasal 188 ayat (2) KUHAP (Petunjuk dapat diperoleh dari : keterangan saksi, surat, keterangan terdakwa), khusus untuk tindak pidana korupsi juga dapat diperoleh dari : a. alat bukti lain yang berupa informasi yang diucapkan, dikirim, diterima, atau disimpan secara elektronik dengan alat optik atau yang serupa dengan itu; dan b. dokumen, yakni setiap rekaman data atau informasi yang dapat dilihat, dibaca, dan atau didengar yang dapat dikeluarkan dengan atau tanpa bantuan suatu sarana, baik yang tertuang di atas kertas, benda fisik apapun selain kertas, maupun yang terekam secara elektronik, yang berupa tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, huruf, tanda, angka, atau perforasi yang memiliki makna. Demikian juga halnya dengan tindak pidana terorisme, sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 27 UU No. 15 Tahun 2003; bahwa alat bukti lainnya sebagai alat bukti elektronik.
16
- Keterangan saksi harus diberikan disidang pengadilan - Keterangan seorang saksi saja tidak cukup (satu saksi bukan saksi/unus testis nullus testis). UU tentang kekuasaan kehakiman juga memperingatkan, bahwa apa yang hakim pertimbangkan di dalam praktik peradilan, tidak boleh menyimpang dari asas dan kaidah hukum pidana (baik materiil maupun formil) 11). Akhirnya dapat diketahui bahwa model atau cara teleconference sebagai sarana untuk menyampaikan keterangan saksi jo. Pasal 185 ayat (1) KUHAP adalah keterangan saksi yang harus disampaikan secara fisik (in person) di sidang pengadilan. Secara rasional hal ini perlu dimaknai sebagai upaya dari pembentuk undang-undang agar supaya situasi ruang sidang yang khidmat dapat membentuk aspek psikologis dari saksi tersebut dalam memberikan keterangan yang benar dan jujur sehingga hakim memperoleh keyakinan guna mewujudkan kebenaran materiil. Selain itu cara teleconference dimaksud terkesan bertentangan dengan asas yang berlaku dalam hukum acara pidana khususnya asas
“peradilan yang harus
dilakukan dengan cepat tapi sederhana dan biaya ringan; serta bebas, jujur, dan tidak memihak (diskriminatif) yang dalam praktek harus diterapkan secara konsekwen dalam seluruh tingkat peradilan. 11
) H. Pontang Moerad B.M.,Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung, hlm 53. Sehubungan dengan kekuasaan kehakiman, dijelaskan : “.....bahwa para hakim sendiri harus tetap bebas dari pengaruh, kecuali atas perintah hukum, konstitusi, keputusan yang mempertimbangkan pemikiran sehat, preseden hukum, dan perintah hati nurani para hakim sendiri”.
17
Sebagai solusinya, guna melengkapi dan menyempurnakan maksud dari Pasal 185 ayat (1) KUHAP berdasarkan Pasal 3 KUHAP jo.Pasal 284 ayat (2) KUHAP, perlu segera diatur tentang penggunaan teleconference dimaksud. Adapun dasar pertimbangan yang umum, bahwa negara Indonesia adalah negara hukum dimana secara ipso facto dan ipso jure bahwa : (1)
Sistem hukum di negara Indonesia mengutamakan hukum tertulis.
(2)
Asas dan kaidah hukum (pidana khususnya pidana formil) yang berlaku itu penting dan harus diterapkan secara konsekwen, sebab asas dan kaidah itu merupakan ruh hidupnya hukum.
(3)
Pilar-pilar utama hukum (kepastian, keadilan, dan kemanfaatan) harus dihormati untuk mencegah runtuhnya wibawa hukum.
(4)
Asas-asas yang terdapat dalam principles of legality12) merupakan asas penting dan utama bagi kepastian hukum dan kepastian keadilan.
(5)
Tujuan dari hukum acara pidana itu sendiri yakni melaksanakan proses hukum yang adil atau due process of law (yang unsur-unsurnya antara lain pembuktian, dan melaksanakan pengadilan yang adil atau equal justice) untuk mencari dan mewujudkan kebenaran materiil.
12
) Terdapat delapan (8) asas yang disebut principles of legality yang diletakkan sebagai ukuran adanya sistem hukum. Dari ke delapan asas dimaksud, untuk memperkuat penjelasan di atas dikhususkan kepada asas kesatu, keempat, kelima, dan kedelapan; sebagai berikut : - suatu sistem hukum tidak boleh hanya mengandung keputusan-keputusan yang bersifat ad hoc. – peraturan-peraturan harus disusun dalam rumusan yang bisa dimengerti. – suatu sistem tidak boleh mengandung peraturan-peraturan yang bertentangan satu sama lain, dan – harus ada kecocokan antara peraturan yang diundangkan dengan pelaksanaan sehari-hari.
18
Adanya “penetapan” hakim tentang penggunaan teleconference terhadap contohcontoh kasus di atas, semata-mata harus dianggap sebagai upaya yang dapat dilakukan oleh hakim berdasarkan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman yakni sebagai terobosan dalam sistem pembuktian perkara pidana. Oleh karenanya hal ini harus dianggap sebagai konstruksi hukum yang dilakukan oleh quasi legislator yang disebabkan oleh kekosongan hukum yang mengatur teknologi tersebut. Dan untuk memperkokoh pilar-pilar hukum dalam rangka law enforcement, hendaknya produk quasi lagislator ini dapat menjadi input bagi pembentuk (legislator) undang-undang dimasa yang akan datang (jus constituendum). Artinya langkah-langkah dalam hukum acara itu tidak hanya menyangkut masalah prosedural saja, akan tetapi perlu pengaturan yang tegas dan jelas untuk menghindari diskriminasi hukum serta salah tafsir. Apalagi pemanfaatan teknologi teleconference ini memerlukan biaya yang besar sehingga harus dipertimbangkan dengan hasil yang akan diperoleh dari penggunaan atau pemanfaatan teknologi teleconference tersebut. Nampaknya upaya mengharmonikan antara asas legalitas (baik
dalam
pemahamannya dari aspek hukum pidana materiil maupun formil) dengan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, perlu direalisasikan tidak hanya sekedar retoriks; sehingga keterangan saksi yang dilaksanakan atau dilakukan melalui media teleconference memiliki kekuatan hukum menurut sistem pembuktian perkara pidana. Sebab
19
pada dasarnya tidak baik jika suatu hukum hanya mengandung keputusankeputusan yang bersifat ad hoc. 2.
Eksistensi Teleconference Bagi Sistem Hukum Acara Pidana Indonesia Yang akan Datang (Jus Constituendum) Tidak terlepas dari apa yang telah diuraikan di atas, pemanfaatan
teknologi teleconference di masa mendatang akan sangat diperlukan dalam sistem hukum (pidana) di Indonesia, sebab dengan teknologi tersebut dapat mempermudah proses persidangan. Suatu fakta telah menggambarkan bahwa antara manusia, masyarakat, dan hukum adalah merupakan pengertian yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Pameo Romawi mengatakan “ubi societas ibi ius”. Digambarkan pula oleh R. Pound sebagai “law as atool of social engineering”,
yang diartikan oleh Mochtar
Kusumaatmadja bahwa “hukum sebagai atau merupakan sarana pembaharuan masyarakat”. Secara normatif, penggunaan teleconference membutuhkan pengaturan yang tegas untuk kepastian hukum dilihat dari aspek sosiologis terutama berkaitan dengan kemanfaatan, dan aspek filosofis khususnya berkaitan dengan rasa keadilan (tidak menimbulkan sikap diskriminatif). Keberanian majelis hakim melakukan terobosan mengijinkan penggunaan teleconference sebagai sarana penyampaian keterangan saksi di persidangan, tidak menutup
kemungkinan
sebagai
langkah
mengadopsi
ketentuan
hukum
internasional dalam prosedur berencana. Dan seiring dengan itu maka sudah 20
saatnya sistem hukum acara pidana Indonesia khususnya sistem pembuktian dan atau
hukum
pembuktiannya
direvisi
untuk
mengantisipasi
penggunaan
teleconference guna memiliki kepastian dan kekuatan hukum tanpa mengabaikan asas-asas penting yang berlaku di dalamnya. Teknologi teleconference sebagai sebuah terobosan, penggunaannya di masa depan memang sudah dianggap sebagai kebutuhan hukum dalam sistem hukum acara pidana Indonesia di masa yang akan datang (Jus Constituendum). C. Penutup 1.
Kesimpulan : a.
Kontroversi dikalangan para ahli dan praktisi tentang penggunaan teleconference
sebagai
memeriksa/menyampaikan
media keterangan
atau
sebuah
sarana
saksi,
disebabkan
karena
eksistensinya belum diakui legalitasnya di dalam hukum positif Indonesia. Maksudnya secara legalitas formalistik, teleconference belum diatur di dalam KUHAP dan atau undang-undang tertentu sehingga teleconference belum memiliki kedudukan hukum tetap yang dapat digunakan dalam sistem atau proses pembuktian perkara pidana. Dalam sistem hukum di Indonesia dimana hukum memiliki peranan yang sangat significant
dalam
segala
aspek
kehidupan,
maka
penggunaan
teleconference sebagai sarana memeriksa dan atau menyampaikan keterangan saksi (in person), tidak memiliki kekuatan menurut hukum pembuktian yang berlaku (menurut KUHAP).
21
b.
Sebagai sebuah terobosan, penggunaan teknologi teleconference di masa depan dihubungkan dengan Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 28 ayat (1) UU No. 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman, maka eksistensi teleconference dapat menjadi sumber bagi pembaharuan sistem hukum acara pidana Indonesia di masa datang (Jus Constituendum). Condicio sine qua non bahwa pembaharuan hukum pada dasarnya tidak hanya dilakukan terhadap hukum pidana materiil saja tetapi juga terhadap hukum pidana formilnya sesuai dengan dinamisasi masyarakat.
2.
Saran a.
Pengaruh perkembangan teknologi komunikasi terhadap penggunaan teleconference sebagai sebuah sarana memeriksa keterangan saksi, harus atau perlu segera dikuatkan dan atau diatur di dalam KUHAP atau dalam undang-undang tersendiri. Upaya ini untuk menghindari terjadinya ketidakadilan, diskriminasi
hukum,
ataupun salah tafsir karena
penggunaan teknologi tersebut di dalam praktek tidak hanya sebagai sarana prosedural semata. Hal ini tidak terlepas dari tujuan utama hukum, yakni : keadilan (justice), kemanfaatan (utility), dan kepastian (certainty). Dan selama terjadi kekosongan hukum serta legitimasi terhadap penggunaan
teknologi
tersebut,
hendaknya
dilakukan
melalui
“penetapan” majelis hakim atau ketua pengadilan sebagai hasil musyawarah
yang didukung oleh semua pihak (baik para penegak
hukumnya maupun para pencari keadilan/justiabelen).
22
b.
Rekomendasi untuk melakukan kajian atau penggalian hukum yang hidup dalam masyarakat (maupun internasional), bukan merupakan suatu hal yang luar biasa dan sudah tidak dapat diabaikan lagi. Seiring dengan perkembangan mutakhir, konsep pembaharuan hukum tidak hanya merupakan ide atau hasil kajian komparatif tanpa mengabaikan priciples of
legality, moral, serta kultur bangsa. Dengan demikian, teknologi
teleconference dapat digunakan sebagai acuan dan atau sebagai pendorong bagi pembaharuan hukum pidana Indonesia, khususnya terhadap sistem hukum acara pidana dalam konteks jus constituendum.
23
DAFTAR PUSTAKA A. BUKU-BUKU C.F.G. Sunaryati Hartono, Hukum Ekonomi Pembangunan Indonesia, Binacipta, Bandung, 1982. H.R. Sri Soemantri, Undang-Undang Dasar 1945 Kedudukan Dan Aspek-Aspek Prubahannya, UNPAD Press, Bandung, 2002. Hari Sasangka & Lily Rosita, Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2003. H. Pontang Moerad B.M.,Pembentukan Hukum Melalui Putusan Pengadilan Dalam Perkara Pidana, Alumni, Bandung, 2005. Moechtar Kusumaatmadja, Hukum, Masyarakat, Dan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, 1976. Moeljatno, Hukum Acara Pidana, Rineka Cipta, Jakarta, 1977. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan
KUHAP –
Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi Dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika, Jakarta, 2001. Mien Rukmini, Perlindungan HAM Melalui Asas Persamaan Kedudukan Dalam Hukum Pada sistem Peradilan Pidana Indonesia, Alumni, Bandung, 2003. Romli Atmasasmita, Sistem Peradilan Pidana, Putra A Bardin, Bandung, 1996. __________, Perbandingan Hukum Pidana, Mandar Maju, Bandung, 2000. Sudargo Gautama, Pengertian Tentang Negara Hukum, Alumni, Bandung, 1973. S. Tanusubroto, Dasar-Dasar Hukum Acara Pidana, Armico, Bandung, 1989.
24
Solly Lubis, Landasan Dan Teknik Perundang-Undangan, Mandar Maju, Bandung, 1995. Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 2000. Sidik Sunaryo, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, UMM Press, Malang, 2004. B. MAKALAH Jur A Hamzah, Asas-Asas Penting Dalam Hukum Acara Pidana, Disampaikan pada Penataran Nasional “Hukum Pidana dan Kriminologi ke XI” 13-16 Maret 2005. H.R. Otje Salman, Penegakan Hukum Yang Memenuhi Rasa Keadilan Masyarakat, Disampaikan pada Seminar SESPATI, Bandung, 5 Juni 2003. C. PERUNDANG-UNDANGAN Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (UU No. 8 Tahun 1981). Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 jo. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 Tentang Telekomunikasi. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Peraturan Pemerintah Nomor 52 Tahun 2000 Tentang Penyelenggaraan Telekomunikasi. Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 Tentang Pelaksanaan KUHAP. D. KAMUS – ENSIKLOPEDI
25
Algra NE dan Gokkel H.R.W., Kamus Istilah Hukum, Fockema Andreae, Belanda Indonesia
(Fockema
Andreae’s-Rechtsgeleerd
Handwoordenboek)
Terjemahan Saleh Andiwinata A. Teloeki, dan Boerhanuddin St. Batoeah, Jakarta, Binacipta, Bandung, 1983. Gokkel H.R.W. dan Van der Wal, Istilah Hukum Latin-Indonesia, Alih Bahasa S.Adiwinata, PT. Intermasa, Jakarta, 1977.
26
27