KEBENARAN ILMIAH DALAM SISTEM PEMBUKTIAN PIDANA DI INDONESIA Oleh : Rd. Dewi Asri Yustia
Abstrak Pada saat terjadinya tindak pidana, maka hukum acara pidana mulai akan bekerja. Bekerjanya hukum acara pidana tidak akan terlepas dari sistem peradilan yang telah ditetapkan, yaitu mulai dari tahap penyelidikan sampai pada tahap pelaksanaan pidana. Pada mulai tahap penyelidikan sampai pada tahap peradilan maka diperlukan suatu sistem pembuktian untuk membuktikan perbuatan yang dilakukan oleh pelaku. Sistem pembuktian yang berlaku harus ditujukan untuk mencari kebenaran, dan kebenaran yang diharapkan didasarkan pada hasil disiplin ilmu apapun untuk membantu membuktikan perbuatan pidana.
PENDAHULUAN Manusia memiliki kemampuan yang lebih dibandingkan mahluk lain di muka bumi ini, yaitu kemampuan di dalam akal dan kemampuan di dalam rasa. Kemampuan akal atau rasio terletak pada membedakan (atau menyamakan) dan menggolongkan (berdasarkan kesamaan itu). Selain itu menyata-kan secara kuantitatif atau kualitatif, menyatakan hubungan-hubungan, dan mendeduksinya (atau menginduksinya). Semua kemampuan itu berdasarkan ketentuan atau patokan-patokan yang sangat terperinci. Rasio tidak berdusta; dalam keadaan murni ia menyatakan secara tegas ya atau tidak.1 Kemampuan rasa terletak pada kreativitas yang merupakan kegaiban, karena itu langsung berhubungan dengan Tuhan. Kreativitas inilah yang merupakan pemula disegala bidang, nalar, ilmu, etika dan estetika.2 Rasa tidak berpatokan sebagaimana dipunyai rasio. Patokan ini disebut inferensi. Rasa adalah 1
Herman Soewardi, Roda Berputar Bumi Bergulir, Kognisi Baru Tentang Timbul Tenggelamnya Siviliasi, Bandung, Bakti Mandiri, 2001, hlm. 182. 2 ibid
1
media kontak antara manusia dengan Ilahi. Rasa yang terjaga menjadikan manusia berderajat lebih tinggi dari malaikat, sedangkan rasa yang tidak terjaga dari godaan syaitan menjadikan manusia jatuh martabat menjadi lebih rendah dari binatang sekalipun.3 Rasio dan rasa yang telah terjerumus sebagai hasil dari godaan syeitan sering kita temui di masyarakat. Banyak manusia yang melakukan perbuatan yang dilarang oleh agama yang bertentangan dengan rasio dan rasa. Sebetulnya di dalam Al-Qur‟an atau kitab-kitab suci umat lain telah ada petunjuk bagi umat manusia untuk tidak tergoda oleh rayuan syeitan, di dalam AlQur‟an telah banyak petunjuk-petunjuk yang memberi arah bagi rasio dan rasa, tetapi banyak manusia yang mengabaikan atau membiarkan dirinya terjerumus dan tidak mengikuti petunjuk tersebut. Selain itu juga sebagai aplikasi dari petunjuk-petunjuk yang ada di dalam kitab suci Al-Qur‟an atau kitab suci yang lain, maka setiap negara memiliki aturan, kaidah atau norma baik dalam bentuk tertulis ataupun tidak tertulis yang bertujuan memberikan arah atau petunjuk bagi rasio dan rasa manusia untuk berbuat atau tidak berbuat. Di Indonesia, aturan, norma, ataupun kaidah yang berlaku di masyarakat sangat banyak yang mengatur berbagai jenis kehidupan manusia, baik itu dalam bentuk norma (hukum) adat, norma (hukum) kebiasaan, norma (hukum) kesusilaan, norma (hukum) agama, norma (hukum) hukum (yang dibuat oleh negara). Tetapi pada kenyataannya, banyak manusia yang melakukan perbuatan yang bertentangan dengan berbagai norma yang ada di masyarakat tersebut. Hal ini dikarenakan rasio dan rasa manusia telah dikuasai oleh pengaruh syeitan. Perbuatan yang sering ditemukan dimasyarakat adalah perbuatan yang melanggar hak asasi seseorang, baik itu hak hidup, hak kemerdekaan maupun hakhak yang lain. Biasanya pada saat manusia sudah melanggar hak seseorang yang dilarang oleh hukum (norma), khususnya yang berkaitan dengan hukum pidana, itu sering diistilahkan dengan perbuatan kejahatan (tindak pidana).
3
ibid
2
Terdapat berbagai jenis kejahatan yang dilakukan oleh manusia, antara lain : 1. Kejahatan yang melanggar kepentingan jiwa manusia (individu), jiwa masyarakat, dan jiwa negara; 2. Kejahatan yang melanggar kepentingan harta benda manusia (individu), harta benda masyarakat, dan harta benda negara; 3. Kejahatan yang melanggar kepentingan tubuh manusia (individu), tubuh masyarakat, dan tubuh negara; 4. Kejahatan yang melanggar kepentingan kehormatan/kesusilaan manusia (individu), kehormatan/kesusilaan masyarakat, dan kehormatan/kesusilaan negara. Dikarenakan manusia walaupun dia telah melakukan perbuatan jahat, dia tetap memiliki rasio dan rasa yang murni, yaitu secara rasio dia akan berusaha membuat alibi atau menyembunyikan perbuatannya seolah-olah bukan dia yang melakukan, dan sebagai hubungan dengan rasio, maka secara rasa dia akan khawatir atau ketakutan terhadap perbuatan yang telah dilakukannya. Tetapi yang juga tidak disadari oleh pelaku pada setiap orang melakukan kejahatan tidak mungkin bagi seseorang yang melakukan tindak pidana tidak meninggalkan bekas di tempat kejadian. Dalam banyak kasus, bekas yang ditinggalkan oleh pelaku di tempat kejadian yang merupakan bekas perbuatan pelaku sering dijadikan bukti, buktilah yang dapat menyeret pelaku tindak pidana untuk dapat mempertanggung jawabkan perbuatannya. Bukti memiliki peranan yang sangat penting dalam hukum acara pidana untuk menentukan apakah pelaku tindak pidana bersalah atau tidak bersalah melakukan tindak pidana. Hanya persoalannya adalah bagaimana cara mencari dan mengungkap bukti yang ditinggalkan oleh pelaku tindak pidana mengingat sering pelaku berusaha menghilangkan dan membuang buktinya. Selain itu seseorang tidak dapat melakukan kejahatan tanpa melakukan serangkaian kegiatan. Apakah kegiatan itu bersifat keras atau lembut, ada kemungkinan bahwa penjahat akan meninggalkan atau mengambil sesuatu di
3
tempat kejadian yang dapat menolong menghubungkan kejahatan. Sebagai contoh bukti fisik yang terkenal adalah sidik jari, yang ditinggalkan seseorang hanya dengan menyentuhnya. Bekas-bekas dari alat, jejak sepatu, bekas ban dan hal-hal lain yang tertinggal yang dijumpai di TKP bisa mengungkap seorang tersangka jika benda yang menimbulkan kesan ternyata kepunyaannya. Sama halnya sepucuk senjata ditemukan kepunyaan seorang tersangka dapat menghubungkan tersangka dengan suatu pembunuhan jika bekas pada peluru yang diambil dari tubuh si korban. Banyak hal yang tidak disadari pelaku kejahatan sama sekali dapat dirubah antara si penjahat, si korban, atau tempat kejadian perkara (TKP). Bukti dalam bentuk bukti hidup seperti kesaksian manusia, atau melalui korban, atau tertangkap tangan, atau karena si pelaku mengaku sendiri perbuatannya mungkin tidak menjadi persoalan, penegak hukum hanya tinggal membuktikan kebenaran dari keterangan yang diperoleh, tetapi akan menjadi persoalan yang sangat berat apabila penegak hukum mendapatkan bukti yang bukan dalam keadaan bukti hidup, seperti alat yang digunakan, hanya tempat kejadian perkara (TKP) yang ditinggalkan pelaku, atau hanya objek tindak pidana yang ada. Tetapi sering juga didapatkan pelaku tidak meninggalkan jejak apapun setelah dia melakukan perbuatannya dengan berusaha menghilangkan barang bukti. Penegak hukum memiliki tugas yang sangat berat untuk dapat mengungkap perkara itu menjadi jelas. Penegak hukum memiliki kewajiban untuk dapat berusaha mengungkap bukti-bukti yang ditinggalkan oleh pelaku walaupun hanya sedikit, yaitu dengan cara menggunakan lebih banyak pembuktian yang bersifat bukti fisik. Bukti fisik, merupakan bukti yang lebih pada keterangan melalui benda daripada orang atau kata-kata.4 Dari bukti fisik ini maka rasio dan rasa penegak hukum dituntut untuk memiliki dan memahami ilmu dan humanitas, dan bertujuan untuk mencari kebenaran, yang menurut Herman Soewardi5 kebenaran yang dicari
4
Frederick Cunliffe, Peter B Piazza, Kriminalistik dan Penyidikan Secara Ilmiah, Jakarta, Pusat Pengembangan ilmu dan teknologi kepolisian Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, 1992, hlm. 1 5 Herman Soewardi, Op Cit hlm. 183.
4
harus diverifikasi yang tidak hanya cukup dengan verifikasi seperti dalam ilmu barat, akan tetapi perlu dibarengi dengan validasi. Dan yang disebut terakhir ini berlandaskan pada firman-firman Allah. Di dalam hukum acara pidana terdapat suatu sistem atau teori pembuktian dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu pengetahuan yang digunakan untuk dapat mengungkap perbuatan pidana. Pembuktian tentang benar tidaknya pelaku melakukan perbuatan yang didakwakan, merupakan bagian yang terpenting dalam hukum acara pidana. Menurut Andi Hamzah, dalam hal pembuktianpun hak asasi manusia dipertaruhkan, yaitu bagaimana akibatnya jika seseorang yang didakwa dinyatakan terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan berdasarkan alat bukti yang ada disertai dengan keyakinan hakim, padahal tidak benar.6 Untuk inilah maka hukum acara pidana bertujuan untuk mencari kebenaran materiel berbeda dengan hukum acara perdata yang cukup puas dengan kebenaran formal.7 Kebenaran materiel yang dianut di Indonesia mendasarkan pada sistem atau teori pembuktian yang berdasarkan pada keyakinan hakim sampai batas tertentu (la conviction raisonnee).8 Menurut teori ini, hakim dapat memutuskan seseorang bersalah melakukan tindak pidana berdasarkan keyakinannya, keyakinan mana didasarkan pada dasar-dasar pembuktian disertai dengan suatu kesimpulan yang berlandaskan pada peraturan-peraturan pembuktian tertentu. Sistem pembuktian yang digunakan di Indonesia tidak didasarkan pada pendapat umum saja (Common Sense), tetapi harus didasarkan pada berbagai disiplin ilmu apapun yang memiliki kegunaan untuk dapat membuktikan perbuatan yang telah dilakukan pelaku secara benar, sehingga pada saat perbuatan itu dilakukan akan dapat dibuktikan dengan kebenaran materiel. Salah satu sistem pembuktian yang digunakan di Indonesia adalah sistem pembuktian dengan menggunakan ilmu kriminalistik, yaitu suatu ilmu
yang
menggunakan metode pengarahan dan analisis ilmiah agar diperoleh dan
6
Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Jakarta, Arikha Media Cipta, 1993, hlm. 295. ibid 8 Ibid, hlm. 299 7
5
terungkap bukti nyata.9 Kriminalistik adalah suatu ilmu yang menggunakan metode pengamatan dan analisis ilmiah untuk memperoleh dan mengungkap bukti fisik. Pembuktian dengan menggunakan metode pengamatan dan ilmiah untuk memperoleh dan mengungkap bukti fisik diharapkan dapat mengungkap tindak pidana yang terjadi, sehingga pada saat hakim akan menjatuhkan sanksi pidana, hakim telah memperoleh bukti kuat tentang perbuatan yang terjadi dan siapa pelakunya, sehingga diharapkan dapat memperoleh kebenaran secara ilmiah dalam menyelesaikan perkara yang ditanganinya. Cara yang dapat digunakan pada saat mengungkap tindak pidana yang terjadi, maka seorang ahli kriminalistik harus dapat melakukan penelitian dalam bentuk olah tempat kejadian perkara (TKP), selanjutnya dari hasil olah TKP tersebut dilakukan analisis dengan menggunakan berbagai disiplin ilmu yang diperlukan sesuai dengan perbuatan yang dilakukan, sehingga membutuhkan berbagai metode penelitian, sehingga diharapkan hasilnya dapat diungkapkan di depan persidangan sebagai salah satu bentuk pembuktian dengan mendasarkan pada tujuan kebenaran. Identifikasi Masalah Kebenaran ilmiah yang diharapkan adalah kebenaran ilmiah yang mengacu pada kebenaran di dalam filsafat ilmu, sehingga berdasarkan latar belakang di atas, maka yang menjadi persoalan dalam makalah ini adalah Bagaimana kebenaran dalam filsafat ilmu hubungannya dengan sistem pembuktian di Indonesia ?
9
Frederick Cunliffe, Peter B Piazza, Loc Cit.
6
Kebenaran Dalam Filsafat Ilmu Hubungannya Dengan Sistem Pembuktian di Indonesia Sistem atau teori pembuktian yang selama ini berlaku di Indonesia menggunakan teori pembuktian dengan didasarkan pada Pasal 183 KUHAP, yaitu : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Hal ini dimaksudkan bahwa pembuktian yang diajukan ke persidangan harus memiliki kekuatan untuk dapat dibuktikan secara benar dan memiliki kebenaran berdasarkan hasil kerja ilmu kriminalistik dengan ditunjang bebagai disiplin ilmu, baik ilmu alamiah maupun ilmu sosial. Hasil kerja ilmu kriminalistik ditujukan untuk dapat mengungkap alat-alat bukti yang diatur oleh Pasal 184 KUHAP, yaitu : 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa. Dari kelima jenis alat bukti tersebut dapat dikelompokan dalam kelompok alat bukti dalam bentuk bukti hidup (keterangan manusia), maupun alat bukti dalam bentuk bukti mati (segala benda atau alat yang dijadikan objek kejahatan, alat kejahatan, maupun sarana atau prasarana kejahatan), berbagai alat bukti di atas akan dijadikan alat untuk membuktikan perbuatan pelaku di persidangan. Kebenaran yang harus dapat diungkap dalam perkara pidana adalah kebenaran yang disandarkan pada kebenara menurut filsafat ilmu. Di dalam filsafat ilmu terdapat beberapa kriteria kebenaran berdasarkan ilmu pengetahuan, yaitu : 10
10
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, Kontemplasi Filosofis Tentang Seluk Beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, Bandung, Pustaka Setia, 2009, hlm. 6.
7
1. Kebenaran absolut, yaitu kebenaran mutlak. Ciri kebenaran mutlak adalah kebenaran yang benar dengan sendirinya, tidak berubah-ubah, dan tidak membutuhkan pengakuan dari siapapun supaya menjadi benar. Manakala ada yang menyatakan bahwa dirinya benar, hal itu bukan berarti dirinya menjadi benar, karena tanpa ada atau tidaknya pernyataan tersebut, kebenaran mutak telah ada. Kebenaran mutlak berlaku bagi Dzat Pencipta Kebenaran, yakni Tuhan. 2. Kebenaran relatif, merupakan kebenaran yang berubah-ubah. Semua hasil pengetahuan dinyatakan benar, apalagi kebenaran tersebut memiliki alasan yang logis. Kebenaran relatif tidak akan pernah satu, melainkan banyak yang tidak akan terbatas, bahkan pernyataan tidak benar atas yang dipandang benar, adalah dua kebenaran yang kemudian terjebak dalam relativitas kebenaran. 3. Kebenaran spekulatif, yaitu kebenaran yang menjadi ciri khas filsafat. Kebenaran ini bersifat “kebetulan” dengan landasan rasional dan logis. 4. Kebenaran korespondensi, yaitu kebenaran yang bertumpu pada realitas objektif. kriteria kebenaran korespondensi dicirikan oleh adanya relevansi antara pernyataan dan kenyataan, antara teori dan praktek. 5. Kebenaran pragmatis, yaitu kebenaran yang diukur oleh adanya manfaat suatu pengetahuan bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok. Jika pengetahuan tidak memberikan manfaat, hal itu merupakan kesalahan. Kebenaran pengetahuan yang didasatkan pada untung rugi suatu perbuatan digolongkan pada kebenaran pragmatisme. Pragmatisme adalah suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima pengalaman pribadi, kebenaran mistis, yang terpenting dari semua itu membawa akibat praktis yang bermanfaat. 6. Kebenaran normatif, yaitu kebenaran yang didasarkan pada sistem sosial yang baku, misalnya kebenaran karena tuntutan adat kebiasaan atau
8
kesepakatan sosial yang telah lama berlaku dalam kehidupan kultural masyarakat bersangkutan. 7. Kebenaran religius, yaitu kebenaran yang didasarkan pada ajaran atau nilai-nilai dalam agama. Kebenaran diperoleh bukan hanya oleh penafsiran ajaran secara rasio, melainkan didasarkan pada keimanan kepada ajaran yang dimaksudkan. 8. Kebenaran filosofis, ialah kebenaran hasil perenungan dan pemikiran refleksi ahli filsafat yang disebut hakikat atau the nature, meskipun subjektif, tampak mendalam karena melalui penghayatan eksistensial bukan hanya pengalaman dan pemikiran intelektual semata. 9. Kebenaran estetis, adalah kebenaran yang didasarkan kepada pandangan tentang keindahan dan keburukan. 10. Kebenaran ilmiah, adalah kebenaran yang ditandai dengan terpenuhinya syarat-syarat ilmiah, menyangkut relevansi antara teori dan kenyataan hasil penelitian di lapangan. 11. Kebenaran teologis, adalah kebenaran yang didasarkan pada firmanfirman Tuhan, sebagai pesan-pesan moral yang filosofis. 12. Kebenaran ideologis, adalah kebenaran karena tidak menyimpang dari cita-cita kehidupan suatu bangsa. Kebenaran yang seiring dengan ideologi yang dianut. 13. Kebenaran konstitusional, yaitu kebenaran atas dasar undang-undang sehingga tindakan yang tidak bertentangan dengan undang-undang dinyatakan sebagai konstitusional, sedangkan yang menentang undangundang disebut sebagai inkonstitusional. 14. Kebenaran logis, yaitu kebenaran karena luhurnya berfikir. Kebenaran ini dicirikan oleh bentuk-bentuk pemberian pengertian dan definisi. Jika premis mayor dan premis minor saling menghubungkan, dan konklusinya tepat dan akurat, pernyataan yang demikian dikategorikan sebagai kebenaran logis.
9
Apabila berbicara tentang kebenaran, maka ini akan berkaitan dengan ilmu yang harus dipelajari dalam rangka membuktikan perbuatan yang telah dilakukan, seperti yang disampaikan oleh Herman Soewardi, bahwa :11 Ilmu sangat erat terkait dengan kebenaran. Kita percaya bahwa kebenaran mutlak diwahyukan Tuhan kepada manusia, sedangkan kebenaran yang dicapai itu sifatnya relatif, dan diantara kebenaran relatif ini dibagi dua, ialah filsafat yang bersifat “spekulatif” dan ilmu atau sains yang bersifat “positif”.
Berdasarkan pada kebenaran relatif, yaitu yang berhubungan dengan ilmu atau sains yang bersifat positif, maka pada saat ilmu itu akan dipelajari, dia akan berhubungan dengan pengertian “mengetahui” yang menuntut hubungan antara subjek dan objek. Oleh karena itu, dasar tersebut dicari pada subjek, objek, ataupun jenis hubungan diantara keduanya.12 Klasifikasi ilmu yang mendasarkan pada subjek menurut Francis Bacon13, yaitu daya manusia untuk mengetahui sesuatu, yang diklasifikasikan dalam ilmu pengetahuan ingatan, ilmu pengetahuan khayal, ilmu pengetahuan akal. Sedangkan ilmu yang diklasifikasikan pada objek material menurut Auguste Comte,14 yang membuat deretan ilmu pengetahuan berdasarkan perbedaan objek material, yaitu : 1. Ilmu pasti/matematika; 2. Ilmu falak/astronomi; 3. Ilmu fisika; 4. Ilmu kimia; 5. Ilmu hayat/biologi; 6. Sosiologi.
11
Herman Soewardi,Op Cit, hlm. 180. Sutardjo A Wiramihardja, Pengantar Filsafat (Sistematika dan Sejarah Filsafat Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi) Metafisika dan Filsafat Manusia Aksiologi, Bandung, Refika Aditama, 2009, hlm. 131. 13 Ibid 14 Ibid, hlm. 133 12
10
Sedangkan
menurut
Aristoteles,15
memberikan
suatu
klasifikasi
berdasarkan objek formal. Ia membedakan antara ilmu teoritis (spekulatif), praktis, dan poietis (produktif), perbedaannya terletak pada tujuan masing-masing. Ilmu teoritis bertujuan untuk pengetahuan itu sendiri, yaitu untuk keperluan perkembangan ilmu tadi, dan ilmu ini mencakup fisika, matematika, dan metafisika. Ilmu praktis ialah ilmu pengetahuan yang bertujuan mencari norma atau ukuran bagi perbuatan kita, yang mencakup etika, ekonomia, dan politika. Sedangkan poietis ialah ilmu pengetahuan yang bertujuan menghasilkan suatu hasil karya, alat, teknologi. Deretan tersebut menunjukkan perbedaan objek dari yang paling sederhana sampai dengan yang paling kompleks. Penelaahan terhadap bukti fisik dalam mengungkap kasus kejahatan yang memerlukan berbagai disiplin ilmu memerlukan klasifikasi tersebut, dan yang yang lebih mendekati pada persoalan di atas adalah ilmu teoritis, dan ilmu praktis. Klasifikasi tersebut memerlukan keahliannya. Pengungkapan bukti fisik berdasarkan ilmu yang dipelajari harus dalam bentuk aktivitas, yaitu sebagai suatu kegiatan yang dilakukan secara sadar oleh manusia. Dimana ilmu bukan hanya merupakan aktivitas tunggal, melainkan suatu rangkaian aktivitas, sehingga dengan demikian merupakan suatu proses. Proses dalam rangkaian aktivitas ini bersifat intelektual, dan mengarah pada tujuantujuan tertentu.16 Masih menurut tim dosen filsafat ilmu Fakultas Filsafat Universitas Gajah Mada (UGM), aktivitas intelektual berarti kegiatan yang memerlukan kemampuan berfikir untuk melakukan penalaran logis atas hasil-hasil pengalaman empiris. Adapun ciri kognitif ilmu pengetahuan ini, menurut seorang filsuf Polandia, yaitu Ladislav Tondl (1973) dijelaskan sebagai berikut :17 “Tujuan-tujuan terpenting ilmu bertalian dengan apa yang telah dicirikan sebagai fungsi pengetahuan atau kognitif dari 15
Ibid. Tim Dosen Filsafat Ilmu Fak Filsafat UGM, Filsafat Ilmu, Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta, Liberti, 2010, hlm. 127. 17 ibid 16
11
ilmu; dengan fungsi itu ilmu memusatkan perhatian terkuat pada pemahaman kaidah-kaidah ilmiah yang baru dan tidak diketahui sebelumnya atau pada penyempurnaan keadaan pengetahuan dewasa ini mengenai kaidah-kaidah semacam itu.” Selanjutnya menurut Paul Freedman (1960), menjelaskan sebagai berikut :18 “Ilmu adalah suatu bentuk aktivitas manusia yang melalui pelaksanaannya umat manusia memperoleh suatu pengetahuan dan pemahaman tentang alam yang senantiasa lebih cermat dan lebih meningkat, pada suatu kemampuan yang meningkat untuk menyesuaikan diri sendiri terhadapnya dan mengubah lingkungannya dan mengubah ciri-cirinya sendiri.” Ilmu yang diteliti dan dikembangkan tersebut akan memerlukan suatu metode yang merupakan prosedur yang mencakup berbagai tindakan pikiran, pola kerja, cara teknis, dan tata langkah untuk memperoleh pengetahuan baru atau mengembangkan pengetahuan yang telah ada. Terdapat beberapa metode yang dapat digunakan untuk mempelajari ilmu yang akan dikembangkan. Menurut beberapa pendapat mengatakan bahwa setiap jenis objek menuntut metode tertentu, sehingga ada yang mengembangkan metode ilmu aprioris, metode ilmu pengetahuan alam, dan metode ilmu pengetahuan rohani, tetapi pengembangan metode ini tidak mutlak berlaku, dikarenakan suatu ilmu mungkin saja membutuhkan lebih dari satu metode ataupun dapat diselesaikan dengan berbagai metode. Adapula pendapat lain bahwa suatu objek memiliki berbagai segi yang menuntut penggunaan berbagai metode, tetapi metode tersebut menolak istilah metode ilmu empiris, metode ilmu pengetahuan alam, dan metode ilmu pengetahuan rohani. Selanjutnya berkembang beberapa metode lain, yaitu : 19 1. Metode aksiomatis atau deduktif; dasar metode ini telah dikenal dalam silogisme. Jumlah bentuk silogisme yang dipandang tepat ada 19 buah. Kebenaran suatu silogisme bergantung pada kebenaran premis-premisnya,
18 19
ibid Sutardjo A Wiramihardja, Op Cit, hlm. 141
12
yakni pendapat-pendapat yang menimbulkan kesimpulan. Terdapat tiga unsur yang dapat dipersoalkan dalam hubungannya dengan silogisme ini. Pertama, tiap pengertian yang digunakan dalam perdalilan hendaknya ditegakkan dengan batasan atau definisi. Sebuah batasan dimaksudkan untuk menerangkan sebuah pengertian secara eksplisit. Unsur kedua, ialah aksioma. Perdalilan berpangkal pada aksioma, yaitu pendapat yang kebenarannya bersifat eviden serta tidak dapat dibuktikan. Unsur ketiga, ialah postulat yang merupakan pangkal perdalilan. Adapun postulat itu sendiri merupakan pendapat yang kebenarannya tidak bersifat eviden serta tidak dapat dibuktikan. 2. Metode reduktif, terdiri atas : 2.1. Metode reduktif yang induktif; metode ini merupakan kesimpulan umum berdasarkan data-data khusus yang terdiri atas langkah-langkah sebagai berikut : a. Perumusan hipotesis; Sebuah hipotesis merupakan sebuah jawaban sementara terhadap masalah yang diselidiki. Kebenaran hipotesis itulah yang harus diuji dalam penelitian. Hendaknya hipotesis ini berdasarkan perumusan anggapan dasar, yaitu pendapat yang mendasari hipotesis itu dipandang benar tanpa pembuktian. b. Pengumpulan data; Data dikumpulkan atas dasar hipotesis. Hasil penyelidikan bergantung pada ketertiban pengumpulan data ini. Pengumpulan data dilakukan berdasarkan observasi dan eksperimen. c. Klasifikasi data; Data harus diklasifikasikan untuk memungkinkan ditariknya kesimpulan. d. Generalisasi; Inilah yang dimaksud dengan kesimpulan, yaitu suatu pendapat yang bersifat umum, kerap disebut hukum atau kaidah. Metode ini oleh Windelband disebut nomothetis.
13
2.2. Metode reduktif yang tidak induktif; metode ini tidak tertuju pada generalisasi, tetapi pada individualisasi. Dalam metode ini tidak dikumpulkan data yang serupa yang memungkinkan kesimpulan dalam bentuk generalisasi, tetapi bermacam-macam data sekitar sesuatu hal yang individual. Metode ini oleh Widelband disebut metode ideografis. 3. Metode fenomenologis. Metode ini buka suatu metode disamping metodemetode lain, melainkan suatu persiapan bagi metode lain dalam penyelidikan ilmu empiris. Pada garis besarnya metode ini menuntut langkah-langkah sebagai berikut : a. Reduksi fenomenologis; Menurut Husserl, fenomena (gejala) yang kita hadapi itu bukanlah fenomena itu sendiri atau fenomena yang murni, melainkan dihinggapi data-data
yang
bersifat
aksidental.
Reduksi
fenomenologis
dimaksudkan mencapai fenomena murni dengan jalan mengurung (einklammeren) data aksidental itu. Adapun data tersebut terutama terletak pada tiga bidang, yaitu sebagai berikut : 1) Subjektifitas, yaitu mengurung segala sesuatu yang bersifat subjektif; 2) Teori, yaitu mengurung hipotesis, anggapan dasar, antara lain asumsi dan postulat; 3) Tradisi, yaitu mengurung segala sesuatu berdasarkan tradisi, adat, kebiasaan, dan pendapat orang lain. b. Reduksi eiditis; Reduksi yang bertujuan mencapai hakikat fenomena murni. Hal ini dilakukan pada dua taraf, yaitu : 1) Taraf pertama tidak akan dipersoalkan apakah fenomena itu benar „ada‟ atau „tidak‟ (dengan maksud meniadakan masalah idealisme dan realisme), tetapi hanya mempersoalkan apakah dan bagaimanakah fenomena itu. 2) Taraf kedua dilakukan reduksi terhadap ciri-ciri yang tidak hakiki pada fenomena murni sehingga tercapailah hakikat fenomena murni itu.
14
Melakukan penelitian dengan menggunakan berbagai metode yang sesuai dengan objek yang diteliti, maka diharapkan orang (seorang peneliti) akan terikat pada peraturan-peraturan dalam usaha mencapai suatu kebenaran. Dengan keterikatan ini orang tidak dapat bertindak semau-maunya, tidak tenggelam dalam situasi kebetulan saja, tetapi segala sesuatu selalu diarahkan pada tujuannya. Jadi terdapat pilihan waktu, dan keadaan yang tepat, bekerja dengan efektif dan efisien. Cara kerja yang umum bagi semua metode adalah analisis dan sintesis. Hal ini menunjukan dua buah pekerjaan budi yang pokok dalam rangka menyelami objeknya, yaitu mengurai dan menyatukan kembali. Mengurai (menganalisis) berarti membagi bagi sesuatu (objek) yang kompleks ke dalam bagian-bagian yang simpleks.20 Pembagian dapat dilakukan secara :21 a. Experimental, barangnya yang utuh itu dapat dibagi-bagi sungguhsungguh dalam realitasnya; b. Rasional, bila pembagian itu hanya dilakukan di dalam budi saja (secara teoritis). Budi dikatakan menganalisis kalau budi itu berjalan dari akibat ke sebabsebabnya, dari faktum-faktum ke hukum-hukumnya, dari hal-hal yang khusus ke hal-hal yang lebih umum. Budi dikatakan mensintesis apabila proses pemikirannya berjalan dari barang-barang yang „tunggal‟ (individual) ke barangbarang yang „susun‟ (kompleks) dari „bagian-bagian‟ ke „keutuhan-keutuhannya‟, dari „sebab-sebab‟ ke „akibat-akibat‟. Adapun analisis ini harus dilakukan menurut „hukum-hukum pembagian‟, yaitu : a.
Adekuat/lengkap, jika semua bagian-bagian dikumpulkan kembali, sedang jumlahnya tidak kurang, tidak lebih dari keutuhannya;
b. Memecah dalam bagian-bagian yang tidak saling mengandung, artinya bagian-bagian itu saling bertentangan; 20 21
H.A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta, Rineka Cipta, 2010, hlm. 101. Ibid.
15
c. Berdasarkan satu garis artinya berdasarkan fundamen atau dasar yang sama. Menurut Soekarto, analisis dan sintesis dapat dilakukan sebagai kontrol antara yang satu dengan yang lain.22 Setelah berbagai tahapan penelitian dilalui, maka sebagai tujuan akhir dilakukannya penelitian tersebut akan dicari kebenaran sebagai salah satu bukti untuk dapat menentukan di persidangan apakah pelaku tindak pidana tersebut benar melakukan perbuatannya atau tidak. Untuk menentukan kebenaran tersebut, maka terdapat beberapa kriteria yang harus dipenuhi. Pertama-tama yang harus kita kaji terlebih dahulu adalah, apakah benar itu ? benar menurut Randall and Bucher dalam buku Mundiri, pada dasarnya adalah persesuaian antara pikiran dan kenyataan. Sedangkan benar menurut jujun, adalah pernyataan tanpa ragu. Selain itu juga kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan, artinya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun. Apabila menentukan kebenaran suatu pengetahuan, terdapat tiga teori yang dapat dijadikan kriteria, yaitu :23 1. Teori koherensi (teori kebenaran saling berhubungan), yaitu suatu teori kebenaran yang didasarkan pada suatu proposisi (pernyataan) dianggap benar bilamana pernyataan tersebut bersifat koheren atau konsisten atau saling berhubungan dengan pernyataan-pernyataan sebelumnya yang dianggap benar; 2. Teori korespondensi (teori kebenaran saling bersesuaian), yaitu suatu teori kebenaran yang mendasarkan pada suatu pernyataan dianggap benar bila materi
pengetahuan
yang
dikandung
pernyataan
tersebut
saling
bersesuaian dengan objek yang dituju oleh pernyataan tersebut; 3. Teori pragmatisme (teori kebenaran konsekuensi kegunaan), yaitu suatu teori kebenaran dengan mendasarkan pada pernyataan bahwa kebenaran 22 23
Ibid, hlm. 102 Ibid, hlm. 133.
16
suatu pernyataan diukur dengan kriteria apakah pernyataan tersebut bersifat fungsional dalam kehidupan praktis, artinya, suatu pernyataan dikatakan benar, jika pernyataan tersebut atau konsekuensi dari pernyataan tersebut mempunyai kegunaan praktis dalam kehidupan manusia. Teori kebenaran baik koherensi maupun karespondensi keduanya dipergunakan untuk membangun pola berfikir secara ilmiah. Teori koherensi dipergunakan pada proses penalaran teoritis yang didasarkan pada logika deduktif, sedangkan teori korespondensi dipergunakan untuk proses pembuktian secara empiris dalam bentuk pengumpulan data-data yang mendukung suatu pernyataan tertentu yang telah dibuat sebelumnya. Selain ketiga kriteria kebenaran yang diungkap di atas, terdapat pendapat lain tentang kriteria kebenaran yang didasarkan pada epistemologi, yaitu sebagai berikut :24 1. Kebenaran absolut, yaitu kebenaran mutlak. Ciri kebenaran mutlak adalah kebenaran yang benar dengan sendirinya, tidak berubah-ubah, dan tidak membutuhkan pengakuan dari siapapun supaya menjadi benar. 2. Kebenaran relatif, merupakan kebenaran yang berubah-ubah. Semua hasil pengetahuan dinyatakan benar, apabila kebenaran tersebut memiliki alasan yang logis. Kebenaran relatif tidak akan pernah satu, melainkan banyak yang tidak akan terbatas, bahkan pernyataan tidak benar atas yang dipandang benar, adalah dua kebenaran yang kemudian terjebak dalam relativitas kebenaran. 3. Kebenaran spekulatif, yaitu kebenaran yang menjadi ciri khas filsafat. Kebenaran ini bersifat “kebetulan” dengan landasan rasional dan logis.
24
Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu Kontemplasi Filosofis tentang Seluk Beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, Bandung, Pustaka Setia, 2009, hlm. 136. Pragmatisme merupakan suatu aliran yang mengajarkan bahwa yang benar ialah apa yang membuktikan dirinya sebagai benar dengan perantaraan akibat-akibatnya yang bermanfaat secara praktis. Pegangan pragmatis adalah logika pengamatan. Aliran ini bersedia menerima pengalaman pribadi, kebenaran mistis, yang terpenting dari semua itu membawa akibat praktis yang bermanfaat (lihat Juhaya S Pradja, 1997:115).
17
4. Kebenaran korespondensi, kebenaran yang bertumpu pada realitas objektif. Kriteria kebenaran korespondensi dicirikan oleh adanya relevansi pernyataan dan kenyataan, antara teori dan praktik. 5. Kebenaran pragmatis, kebenaran yang diukur oleh adanya manfaat suatu pengetahuan bagi kehidupan manusia, baik sebagai individu maupun kelompok, jika pengetahuan tidak memberikan manfaat, hal itu merupakan kesalahan. 6. Kebenaran normatif, yaitu kebenaran yang didasarkan pada sistem sosial yang sudah baku. 7. Kebenaran religius, yaitu suatu kebenaran yang didasarkan pada ajaran atau nilai-nilai dalam agama. Kebenaran diperoleh bukan hanya oleh penafsiran ajaran secara rasio, melainkan didasarkan pada keimanan kepada ajaran yang dimaksudkan. 8. Kebenaran filosofis, ialah kebenaran hasil perenungan dan pemikiran refleksi ahli filsafat yang disebut hakikat atau the nature, meskipun subjektif, tampak mendalam karena melalui penghayatan eksistensial bukan hanya pengalaman dan pemikran intelektual semata. 9. Kebenaran estetis, adalah kebenaran yang didasarkan kepada pandangan tentang keindahan dan keburukan. 10. Kebenaran ilmiah, adalah kebenaran yang ditandai oleh terpenuhinya syarat-syarat ilmiah, menyangkut relevansi antara teori dan kenyataan hasil penelitian di lapangan. 11. Kebenaran teologis, adalah kebenaran yang didasarkan kepada firmanfirman Tuhan, sebagai pesan-pesan moral yang filosofis. 12. Kebenaran idealogis, adalah kebenaran karena tidak menyimpang dari cita-cita kehidupan suatu bangsa. Kebenaran yang seiring dengan ideologi yang dianut. 13. Kebenaran konstitusinal, yaitu kebenaran atas dasar undang-undang, sehingga tindakan yang tidak bertentangan dengan undang-undang dinyatakan sebagai konstitusional, sedangkan yang menentang undangundang disebut sebagai inkonstitusional.
18
14. Kebenaran logis, yaitu kebenaran karena lurusnya berfikir. Kebenaran ini dicirikan oleh bentuk pemberian pengertian atau definisi. Jika premis mayor dan premis minor saling menghubungkan, dan konklusinya tepat dan akurat, pernyataan yang demikian dikategorikan sebagai kebenaran logis. Apabila melihat pada kriteria kebenaran di atas, maka tugas sistem pembuktian di Indonesia mencari kebenaran berdasarkan metode yang telah diterapkan dengan ilmu yang sesuai dengan objek yang diteliti. Kebenaran yang diterapkan pada sistem pembuktian adalah kebenaran ilmiah, dikarenakan kebenaran ini ditandai oleh terpenuhinya syarat-syarat ilmiah menyangkut relevansi antara teori dan kenyataan hasil penelitian di lapangan. Tetapi dalam prakteknya kebenaran ilmiah yang dibuat ini juga mendapat pengaruh kualitas subjek yang melakukan penelitian tersebut, yaitu apabila subjek menyatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan, dan nilai. Hal yang demikian ini karena kebenaran tidak dapat begitu saja terlepas dari kualitas, sifat, hubungan, dan nilai itu sendiri.25 Adanya pelbagai macam kategori sebagaimana tersebut di atas, maka tidaklah berlebihan jika pada saatnya setiap subjek yang memiliki pengetahuan akan memiliki persepsi dan pengertian yang amat berbeda satu dengan lainnya.26 Sehingga tidak menutup kemungkinan dalam sistem pembuktian hukum pidana di Indonesia memberikan peluang bagi peneliti yang lain dalam ilmu kriminalistik untuk melakukan penelitian yang sama sebagai pembanding dari hasil penelitian sebelumnya sesuai dengan kitab undang-undang hukum acara pidana (KUHAP). Terdapat beberapa kriteria kebenaran berdasarkan kualitas subjek penelitian, yaitu :27 1. Kebenaran berkaitan dengan kualitas pengetahuan, artinya ialah bahwa setiap pengetahuan yang dimiliki oleh seseorang yang mengetahui sesuatu objek ditilik dari jenis pengetahuan yang dibangun, maksudnya adalah 25
Tim Dosen Filsafat Ilmu UGM, Op Cit, hlm. 135. Ibid. 27 Ibid, hlm. 136. 26
19
apakah pengetahuan itu berupa pengetahuan biasa (knowledge of the man in the street atau ordinary knowledge atau juga common sense knowledge). Pengetahuan yang kedua adalah pengetahuan ilmiah. Pengetahuan jenis ketiga adalah pengetahuan filsafati, pengetahuan yang ke empat adalah kebenaran pengetahuan yang terkandung dalam pengetahuan agama. 2. Kebenaran yang berkaitan dengan sifat atau karakteristik dari bagaimana cara atau dengan alat apakah seseorang membangun pengetahuannya itu. Apakah membangun dengan penginderaan (sense experience), atau akal pikir atau rasio, intuisi, atau keyakinan. 3. Nilai kebenaran pengetahuan yang dikaitkan atas ketergantungan terjadinya pengetahuan itu. Artinya bagaimana relasi atau hubungan antara subjek dan objek, manakah yang dominan untuk membangun pengetahuan itu, subjekah atau objek. Jika subjek yang berperan maka jenis pengetahuan itu mengandung nilai kebenaran yang sifatnya subjektif, artinya nilai kebenaran dari pengetahuan yang dikandungnya itu amat tergantung pada subjek yang memiliki pengetahuan itu. Atau jika objek amat berperan, maka sifatnya objektif, seperti pengetahuan tentang alam atau ilmu-ilmu alam. Kebenaran ilmiah muncul dari hasil penelitian ilmiah, artinya suatu kebenaran tidak mungkin muncul tanpa adanya prosedur baku yang harus dilaluinya. Prosedur baku yang harus dilalui itu adalah tahap-tahap untuk memperoleh pengetahuan ilmiah yang pada hakikatnya berupa teori, melalui metodologi ilmiah yang telah baku sesuai dengan sifat dasar ilmu.28 Kebenaran dalam ilmu adalah kebenaran yang sifatnya objektif, maksudnya ialah bahwa kebenaran dari suatu teori atau lebih tinggi lagi aksioma atau paradigma, harus didukung oleh fakta-fakta yang berupa kenyataan dalam keadaan objektivanya. Tidak kalah penting dari kebenaran ilmiah dan juga memiliki dan mendapatkan perhatian dalam hal kebenaran ini adalah bahwa kebenaran dalam ilmu harus selalu merupakan hasil persetujuan atau konvensi dari para ilmuwan pada bidangnya. 28
Ibid, hlm. 144.
20
Para ilmuwan atau ahli yang melakukan penelitian terhadap bukti yang dihadapkan kepadanya harus memiliki moral dan tanggung jawab terhadap hasil penelitian yang dilakukannya. Moral pada dasarnya adalah petunjuk tentang apa yang seharusnya dilakukan manusia,29 sehingga dengan moral yang baik peneliti akan memiliki tanggung jawab terhadap profesinya, baik tanggung jawab secara formal yang berkaitan dengan profesi formal, maupun tanggung jawab secara sosial yang cakupannya lebih luas dari profesi formalnya. Di Indonesia profesi para peneliti yang berkaitan dengan ilmu kriminalistik termasuk ke dalam profesi kepolisian dalam bagian reserse kriminal. Berkaitan dengan profesi kepolisian tersebut, maka terdapat etika profesi yang harus dijunjung tinggi oleh anggota kepolisian termasuk anggota kepolisian yang berada di bidang ilmu kriminalistik, sehingga diharapkan hasil penelitian yang dilakukan dalam bidang kriminalistik dapat dipertanggungjawabkan. PENUTUP Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa dalam mengungkap tindak pidana diperlukan teori pembuktian. Di dalam teori pembuktian diperlukan berbagai disiplin ilmu bantu untuk dapat mengungkap tindak pidana yang terjadi. Pada saat menggunakan berbagai disiplin ilmu tersebut, maka diperlukan metode ilmiah untuk mencari kebenaran ilmiah. Apabila melihat pada kriteria kebenaran, maka tugas sistem pembuktian di Indonesia mencari kebenaran berdasarkan metode yang telah diterapkan dengan ilmu yang sesuai dengan objek yang diteliti. Kebenaran yang diterapkan pada sistem pembuktian adalah kebenaran ilmiah, dikarenakan kebenaran ini ditandai oleh terpenuhinya syaratsyarat ilmiah menyangkut relevansi antara teori dan kenyataan hasil penelitian di lapangan. Tetapi dalam prakteknya kebenaran ilmiah yang dibuat ini juga mendapat pengaruh kualitas subjek yang melakukan penelitian tersebut, yaitu apabila subjek menyatakan kebenaran bahwa proposisi yang diuji itu pasti memiliki kualitas, sifat atau karakteristik, hubungan, dan nilai 29
H.A. Fuad Ihsan, Op Cit, hlm. 276.
21
DAFTAR PUSTAKA
Achmad Ali, Mengembara di Belantara Hukum, Makasar, Lembaga Penerbitan Universitas Hasanudin, 1990 Ahmad Tafsir, Filsafat Umum, Akal dan Hati Sejak Thales Sampai James, Bandung, Remaja Rosdakarya, 1993 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia (Untuk Fakultas Hukum), Jakarta, Arikha Medika Cipta, 1993 B. Arief Sidharta, Pengantar Logika, Bandung, Laboratorium Fakultas Hukum UNPAR, 2003 Beni Ahmad Saebani, Filsafat Ilmu, Kontemplasi Filosofis tentang Seluk Beluk Sumber dan Tujuan Ilmu Pengetahuan, Bandung, Pustaka Setia, 2009 Frederick Cunliffe, Petter B Piazza, Kriminalistik dan Penyidikan Secara Ilmiah, Jakarta, Pusat Pengembangan Ilmu dan Teknologi Kepolisian Perguruan Tinggi Ilmu Kepolisian, 1992 H. A. Fuad Ihsan, Filsafat Ilmu, Jakarta, Rineka Cipta, 2010 Herman Soewardi, Roda Berputar Dunia Bergulir, Kognisi Baru Tentang Timbul Tenggelamnya Sivilisasi, Bandung, Bakti Mandiri, 2001 Jujun S Suriasumantri, Filsafat Ilmu : Sebuah Pengantar Populer, Jakarta, Sinar Harapan, 2009 Madan Sarup, Post-Structuralism and Postmodernism (Sebuah Pengantar Kritis), Yogyakarta, Jendela, 2003 Muladi, Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana, Semarang, Badan Penerbit Universitas Dipenogoro, 2002 Rizal Mustansyir, Misnal Munir, Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Pustaka Pelajar, 2010
22
Sutardjo A Wiramihardja, Pengantar Filsafat Sistematika dan Sejarah Filsafat Logika dan Filsafat Ilmu (Epistemologi) Metafisika dan Filsafat Manusia Aksiologi, Bandung, Refika Aditama, 2010 The Liang Gie, Pengantar Filsafat Ilmu, Yogyakarta, Liberty, 2010 Tim Dosen Filsafat Ilmu Fakultas Filsafat UGM, Filsafat Ilmu Sebagai Dasar Pengembangan Ilmu Pengetahuan, Yogyakarta, Liberti, 2010
23
24
25