KEKHASAN PURWAKANTHI DALAM EMPAT KARYA SASTRA KI PADMASUSASTRA SEBAGAI CERMINAN PANDANGAN HIDUP MASYARAKAT JAWA (SUATU TINJAUAN STILISTIKA) Prasetyo Adi Wisnu Wibowo, S.S., M.Hum. Universitas Sebelas Maret
Abstrak Keunikan Pemanfaatan bunyi-bunyi bahasa asonansi atau identik dengan purwakanthi guru swara, aliterasi atau identik dengan purwakanthi guru sastra, dan purwakanthi lumaksita menghiasi empat karya sastra Ki Padmasusastra yang berbentuk prosa. Empat karya sastra Ki Padmasusastra membuktikan bahwa kekhasan pemanfaatan bunyi-bunyi bahasa dalam empat karya Ki Padmasusastra merupakan cerminan pola pikir, pola pandang Ki Padmasusastra sebagai orang Jawa terhadap Tuhan, beserta dunia dengan segala isinya. Di balik ekspresi pemanfaatan bahasa tersebut ada pola pikir, pandangan hidup Ki Padmasusastra terhadap Wujud Tertinggi (Tuhan) dan alam sekitarnya yaitu dunia mikrokosmos maupun makrokosmos. Kata kunci: karya sastra, stilistika, purwakanthi, pandangan hidup PENDAHULUAN Ki Padmasusastra (1843-1926) adalah penulis dan pemerhati bahasa, sastra, dan budaya Jawa setelah era para pujangga Jawa antara lain Yasadipura I, Yasadipura II dan Ranggawarsita. Padmasusastra bukan seorang pujangga keraton, tetapi beliau banyak menghasilkan karya-karya besar seperti para pujangga keraton. Sosok inilah yang mengawali pembentukan novel Jawa modern. Kompetensi sastra Ki Padmasusastra merupakan percampuran konstruktif dan kritis dari akar Jawa dan normanorma sastra Eropa (Mulyanto, 2010: 50). Setiap pengarang dalam membuat karya pasti akan memperlihatkan ciri-ciri tersendiri yang membedakan dengan pengarang lainnya. Wujud pemakaian bahasa dalam karya sastra pasti memperlihatkan pola-pola yang berbeda dengan pengarang lainnya. Setiap pengarang pasti berusaha memperlihatkan ciri-ciri individualisme, originalitas, dan gaya masingmasing (Subroto, et al., 1997: 3).
33
Salah satu kekhasan Ki Padmasusastra dalam penggunaan bunyi bahasa antara lain ditampilkan di dalam membuat karya susastra yang sangat indah dan dikemas dalam cerita yang apik. Empat karya susastranya sering disebut sebagai caturlogi yakni Rangsang Tuban, Prabangkara, Kandha Bumi dan Kabar Angin. Kepandaian Ki Padmasusastra dalam memanfaatkan bunyi-bunyi bahasa ditunjukkan dalam Serat Kabar Angin sebagai berikut. (1) …. sang putri gugup lajêng minggah dhatêng ardi inguwuh botên sumaur, sêkaripun kècèr kocar-kacir tansah tinolèh sarwi ambênakakên kumlèwèring kasêmêkan, sang nata ngantos kamitênggêngên mriksa citranipun sang ayu, gêbyaring pranaja kèsisan dening wudharing poncotipun kasêmêkan, ….(SKA/9) ‘sang putri terkejut lalu naik ke gunung, ditanya tidak menjawab, bunganya jatuh berserakan, ia selalu menoleh sambil membetulkan lepasnya ujung kain penutup dada, sang raja sampai tertegun melihat tingkah laku sang putri, terlihat keindahan dadanya karena lepasnya kain penutup dada, ….’ Dalam teks terdapat penggunaan aliterasi dengan suku tertutup bunyi liquida [r] berwatak bergetar, mengisyaratkan sesuatu yang menyebar, berkembang atau ngambra-ambra ‘meluas tidak karuan’. Purwakanthi sastra suku tertutup [r] dengan kombinasi bunyi [, ] pada tuturan kècèr kocarkacir ‘jatuh bercerai-berai’ menggambarkan sesuatu tidak karuan, kacau, berserakan. Aliterasi suku tertutup bunyi kakofoni [] berciri belakang, relevan untuk perasaan ringan, dan untuk menggambarkan sesuatu yang riang, ringan seperti dalam tuturan kècèr kocar-kacir ‘jatuh bercerai-berai’. Adapun bunyi sengau [] berciri bergema, relevan untuk menggambarkan sesuatu yang panjang, terus, dan beruntun seperti terlihat pada kata kumlèwèring ‘lepas bagian ujungnya’ gêbyaring ‘keindahannya’, wudharing ‘lepasnya’. Bunyi sengau [] sangat sesuai untuk menggambarkan sesuatu yang panjang, berlarut-larut, beruntun, dan berkepanjangan. Dengan adanya bunyi-bunyi [] yang selalu ditekankan silih berganti, mampu menambah kemerduan. Penggunaan bahasa dalam novel memang disiasati, dimanipulasi, diekspolitasi, dan didayagunakan sedemikian rupa oleh pengarang dalam rangka untuk menuangkan ekpresinya. Oleh karena itu bahasa sastra memiliki kekhasan tersendiri yang berbeda dengan karya non sastra (Fowler, 1977: 3). Dalam karya sastra, stilistika dipakai pengarang sebagai sarana retorika dengan mengeksploitasi, memanipulasi dan memanfaatkan potensi bahasa (Altenbernd & Lewis, 1970: 2). Hal ini cukup beralasan jika penulis akhirnya melakukan telaah linguistik dalam rangka menemukan dan memerikan kekhasan pemakaian bunyi-bunyi bahasa atau purwakanthi-purwakanthi terhadap empat karya sastra Ki Padmasusastra. Ilmu yang tepat untuk mengkaji penggunaan bahasa dalam karya sastra dengan pendekatan secara linguistik adalah
34
stilistika. Kajian stilistika mengkaji bagaimana seorang pengarang memanfaatkan semua potensi bahasa untuk mencapai efek-efek tertentu di dalam pengungkapannya (Subroto, et al., 1997: 4). Bidang kajian stilistika yaitu cara-cara penggunaan bahasa yang khas sehingga menimbulkan efek tertentu. Style, stail atau ‘gaya’, yaitu cara yang khas dipergunakan oleh seseorang untuk mengutarakan atau mengungkapkan diri; gaya pribadi (Shipley, 1979: 314, Leech & Short, 1984: 13). Menurut Abrams (1981: 190) gaya bahasa adalah how a speaker or writer says whatever it is that he says atau gaya bahasa merupakan kekhasan dari penulis atau pembicara. Gaya dalam arti luas dapat meliputi sekelompok pengarang, suatu bangsa tertentu, suatu periode tertentu, dan gaya jenis penulisan tertentu (Satoto, 1995: 36). Menurut Leech & Short (1984: 10) style menyaran pada cara pemakaian bahasa dalam konteks tertentu, oleh pengarang tertentu, untuk tujuan tertentu. Fokus kajian stilistika adalah gaya bahasa. Gaya bahasa (style) adalah a particular set of characteristics in the use of language ‘seperangkat ciri-ciri khusus dalam penggunaan bahasa’. Dalam suatu bahasa, Chomsky membedakan istilah deep structure (struktur batin) dan surface structure (struktur lahir) yang identik dengan isi dan bentuk (dalam Fowler, 1977: 6). Struktur lahir adalah wujud kebahasaan yang konkret, dan itulah gaya bahasa. Adapun struktur batin adalah gagasan yang diungkapkan pengarang melalui sarana bahasa tersebut. Abrams (1981: 190-191) mengemukakan gaya bahasa dapat dianalisis melalui diksi (diction) atau pilihan kata, struktur kalimat atau sintaksisnya (its sentence structure and syntax), tipe bahasa kiasan dan pemadatannya (the density and type of its figurative language), pola-pola ritme (the pattern of its rhythm), komponen bunyi, dan ciri-ciri formal lainnya (component sounds and other formal features). Salah satu kekhasan bahasa dalam karya sastra khususnya Jawa adalah pemanfaatan purwakanthi. Ada tiga purwakanthi ‘persajakan’, yaitu asonansi atau purwakanthi swara ‘persamaan bunyi vokal’, aliterasi atau purwakanthi sastra ‘persamaan bunyi konsonan dalam pembentukan kata, kalimat atau frasa’, dan purwakanthi lumaksita atau basa ‘pengulangan suku kata atau kata yang telah digunakan pada bagian sebelumnya’ (Padmosoekotjo, 1960: 119). Purwakanthi atau persajakan dikenal pula dengan istilah rima, yaitu pengulangan bunyi agar menjadi merdu apabila dibaca. Rima memiliki nilai estetik dapat menghasilkan efek-efek yang menyejukkan dan pleasurable ‘menyenangkan’. Bentuk rima yang sering muncul adalah asonansi, aliterasi, rima internal dan rima akhir (Luxemberg, 1984: 196). Dalam tulisan ini penulis juga akan membahas bahwa dibalik ekspresi purwakanthi yang terdapat dalam empat karya sastra Ki Padmasusastra sebenarnya mengandung cerminan pola pikir, pola pandang Ki Padmasusastra sebagai orang Jawa terhadap Tuhan, beserta dunia dengan segala isinya.
35
Adapun rumusan masalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah kekhasan pemanfaatan bunyi-bunyi bahasa atau identik dengan purwakanthi dalam empat karya sastra Ki Padmasusastra? 2. Bagaimanakah ceminan pola pikir masyarakat Jawa dibalik ekspresi pemanfaatan bunyi-bunyi bahasa dalam empat karya Ki Padmasusastra? METODE PENELITIAN Penelitian ini adalah penelitian kualitatif deskriptif dengan mempergunakan pendekatan stilistika. Untuk membahas permasalahan dan mencapai tujuan penelitian, penelitian kualitatif deskriptif ini memakai strategi berpikir fenomenologis yang bersifat lentur dan terbuka serta menekankan analisisnya secara induktif dengan meletakkan data penelitian bukan sebagai alat pembuktian, tetapi sebagai modal dasar untuk memahami fakta-fakta yang ada (Sutopo, 1996: 47). Data dalam penelitian ini adalah berupa data kebahasaan yang berwujud kata-kata yang mengandung bunyi-bunyi tertentu dalam empat karya Ki Padmasusastra. Sumber data berupa pustaka empat karya sastra berbentuk gancaran ‘prosa’ karya Ki Padmasusastra yaitu (1) Serat Rangsang Tuban merupakan naskah Jawa dengan huruf Jawa cetak diterbitkan oleh N.V. Budi Utama di Surakarta (1912) , (2) Serat Prabangkara merupakan naskah Jawa dengan huruf Jawa cetak diterbitkan oleh Tan Khoen Swie, Kediri (1921), (3) Serat Kandha Bumi merupakan naskah Jawa dengan huruf Jawa cetak diterbitkan oleh Tan Khoen Swie, Kediri (1924), serta (4) Serat Kabar Angin (1902) berupa naskah Jawa cetak diterbitkan oleh Vogel van der Heyde & Co, Surakarta. Sehubungan dengan sumber data dalam penelitian ini masih dalam bentuk tulisan Jawa, maka perlu dialihaksarakan terlebih dahulu ke dalam tulisan Latin. Dalam rangka memerikan aspek stilistika terhadap karya-karya Ki Padmasusastra, tidak mungkin semua karya Ki Padmasusastra akan dikaji. Oleh karena itu, penelitian ini hanya memilih empat karya sastra yang dianggap berbobot dan bermutu tinggi yang diharapkan dapat mewakili objek penelitian stilistika terhadap pemakaian bahasa dalam empat karya sastra Ki Padmasusastra. Keempat karya sastra yaitu Serat Rangsang Tuban, Kandha Bumi, Kabar Angin, dan Prabangkara tersebut diambil dengan menggunakan teknik penarikan sampel (cuplikan/sampling). Cuplikan berkaitan dengan pembatasan jumlah dan jenis dari sumber data yang digunakan dalam penelitian. Pengumpulan data dalam penelitian ini ditempuh dengan langkah sebagai berikut. Dalam pengumpulan data, pertama dilakukan dengan pembacaan dan penghayatan sumber data utama yakni karya-karya Ki Padmasusastra khususnya Serat Rangsang Tuban, Serat Prabangkara, Serat
36
Kabar Angin dan Serat Kandha Bumi. Pembacaan berulang-ulang dengan penuh intensitas dalam rangka memperoleh data yang tepat dan teliti. Sehubungan dengan sumber data dalam penelitian ini masih dalam bentuk tulisan Jawa, maka perlu dialihaksarakan terlebih dahulu ke dalam tulisan Latin. Selanjutnya pengumpulan data dilakukan dengan teknik simak dan catat serta teknik pustaka, dan wawancara mendalam. Adapun teknik analisis data menggunakan langkah-langkah reduksi data, sajian data dan penarikan kesimpulan. PEBAHASAN Kekhasan Pemanfaatan Bunyi-bunyi Bahasa atau Identik dengan Purwakanthi dalam Empat Karya Sastra Ki Padmasusastra. Pemanfaatan bunyi asonansi [] dalam Serat Kandha Bumi sebagai berikut. (2) Ing padhukuhan Maétala, pangagêngipun nama Umbul Jaga Mandhala, wêkêl ing damêl, sugih rajakaya maésa…(SKB/3) ‘Di desa Maetala, pemimpinnya bernama Umbul Jaga Mandhala, rajin bekerja, kaya atau memiliki hewan piaraan yang banyak seperti kerbau…’ Asonansi bunyi [O] dalam data (2) di atas dimanfaatkan untuk melukiskan kewibawaan dan kekayaan Umbul Jaga Mandhala. Dalam mengucapkan bunyi [O] mulut akan terbuka lebar dengan bibir atas agak tertarik ke atas dan bibir bawah tertarik ke bawah, jadi saling menjauhi. Wujud yang demikian itulah yang dimanfaatkan oleh pengarang untuk menunjukkan keluasan kekayaan Umbul Jaga Mandhala di padhukuhan Maétala, wêkêl ing damêl, sugih rajakaya maésa…’di desa Maetala, rajin bekerja, memiliki hewan piaraan yang banyak seperti kerbau’. (3) Patihipun sang nata taksih kalêbêt santana, ajêjuluk Radèn Apatih Giripawaka, bijaksana, mêngku bang-bang pangalum-aluming praja, sinuyudan ing wadyabala … (SP, hal. 1). Terjemahan: Wakil sang raja masih termasuk keluarganya dan bergelar Raden Apatih Giripawaka, bijaksana, memegang kedudukan penting di istana, dihormati semua bala tentara… Kutipan di atas tampak kekhasan bahasa yang digunakan Ki Padmasusastra ketika sedang nyandra atau melukiskan kewibawaan seorang patih kerajaan bernama Raden Apatih Giripawaka. Dalam narasi di atas, Ki Padmasusastra menggunakan bunyi [] secara beruntun pada tuturan Patihipun sang nata taksih kalêbêt santana, ajêjuluk Radèn Apatih Giripawaka, bijaksana, mêngku bang-bang pangalum-aluming praja, sinuyudan ing wadyabala ‘wakil sang raja masih termasuk keluarga raja dan
37
bergelar Raden Apatih Giripawaka, bijaksana, memegang kedudukan penting di istana, dihormati semua bala tentara’. Dalam narasi tersebut menunjukkan suasana yang berwibawa, tenang, damai, dan tingkat keformalan penggunaan bahasanya sangat tinggi atau ketat. Bunyi [] ini digunakan secara intensif untuk membangun kepuitisan bahasa prosa agar terdengar lebih indah, membangun suasana adiluhung ’indah dan bernilai tinggi’, wibawa, dan agung dalam rangka nyandra seorang patih. Bunyi [] adalah terbuka, berat, mengasosiasikan berwibawa, gagah, perkasa dan sangat tepat untuk penggambaran kewibawaan seorang patih kerajaan yaitu Raden Patih Giripawaka. Dalam deskripsi tersebut menunjukkan tingkat keformalan penggunaan bahasa yang sangat tinggi atau ketat. Kekhasan pemanfaatan kombinasi aliterasi bunyi [l, t, ŋ] secara bersamaan sebagai berikut. (4) Ing wanci enjing mèh silêming lintang-lintang ing langit. …(SKA/16) ‘Di waktu pagi ketika bintang-bintang di langit mulai tidak terlihat…’ Dalam data di atas aliterasi bunyi [l, t, ŋ] digunakan secara bersamaan yang dimanfaatkan untuk menggambarkan suasana cakrawala menjelang pagi dengan ditandai bintang-bintang di langit mulai tidak terlihat. (5) … nagari Marutamanda ingkang jumênêng nata binathara …sang prabu anêngênakên para brahmana kinèn nganggit-anggit sêrat Wedha anggancarakên pêpakêming praja saha aluraning para nata…(SKA/ 1) ‘… negara Marutamanda yang menjadi raja …sang prabu selalu mengistimewakan para brahmana supaya selalu mengarang Serat Wedha, menguraikan dan menerangkan hukum-hukum negara serta silsilah para raja, …’ Asonansi [] dalam data (5) di atas muncul secara berulang dengan posisi yang bervariatif pada suku kata kedua dari belakang (paenultima) dan suku kata terakhir (ultima). Pemanfaatan purwakanthi swara [] pada data dimanfaatkan untuk melukiskan keagungan, kegagahan Prabu Sindhung Aliwawar di negara Marutamanda. (6) … sampun dumugi mangsanipun ambabar miyos kakung, kasaosan nama dhatêng kyai patih: Radèn Udakawimba, kalawun-lawun agêngipun. …(SRT/20) ‘… ketika sampai waktunya lahir seorang laki-laki dan diberi nama oleh kyai patih; Raden Udakawimba, semakin dewasa dan besar…’ Purwakanthi swara bunyi [o] mampu menciptakan irama ritmik pada kata dengan kata berikutnya dalam larik tersebut. Asonansi bunyi [o] yang ditutup dengan bunyi sengau [n] sebanyak lima kali berciri bergema atau
38
berdengung, relevan untuk menggambarkan suasana yang panjang atau terus menerus sangat sesuai untuk menggambarkan masa-masa remaja Raden Udakawimba. (7) Wanci sidhêm kayon angin kèndêl botên lumampah sarta botên wontên swaraning kutu-kutu walang ataga namung pangêcêking jangkrik upa dumêling kados amêtik karna….(SKA/19) ‘Waktu menjelang pagi angin berhenti berhembus serta tidak ada suara hewan melata, belalang maupun hewan lainnya, akan tetapi jengkrikan jangkrik upa seperti memekakkan telinga…’ Dalam data (7) di atas terdapat kekhasan bahasa yang digunakan Ki Padmasusastra ketika sedang nyandra ‘melukiskan’ keadaan di hutan. Dalam narasi dituturkan kokok ayam hutan yang hinggap di dahan kusambi kados namudana ing tindakipun sang nata ‘seperti memberi senyuman menyapa kepergian sang raja‘. Suara jengkrikan jangkrik upa diibaratkan kados amêtik karna ‘seperti memekakkan telinga’. Dalam rangka nyandra suasana di hutan, Ki Padmasusastra selain mempergunakan gaya bahasa simile atau pepindhan, tetapi juga mengakhiri tuturan dengan asonansi bunyi []. Ceminan Pola Pikir Masyarakat Jawa Dibalik Ekspresi Pemanfaatan Bunyi-bunyi Bahasa dalam Empat Karya Ki Padmasusastra 1. Cerminan Sikap Masyarakat Jawa dalam Menyesuaikan Diri dengan Keselarasan Alam Raya Beserta Segala Isinya Empat karya Ki Padmasusastra tersebut apabila dicermati secara lebih mendalam dengan menghubungkan bahwa ekspresi bahasa Ki Padmasusastra ini mencerminkan sistem pengetahuan lokal, pola-pikir, pandangan dunia, pandangan hidup yang dimiliki oleh Ki Padmasusastra sebagai bagian dari masyarakat Jawa, maka akan sangat menarik. Dalam bahasa ini sebenarnya mencerminkan bagaimana Ki Padmasusastra sebagai masyarakat Jawa harus bersikap untuk tetap dalam keselarasan dengan alam raya beserta segala isinya. Ada kearifan lokal di balik penggunaan keselarasan bunyi dalam empat karya Ki Padmasusastra. Konsep keselarasan merupakan konsep tradisi yang penting dan mendasar. Keselarasan adalah persepsi manusia tentang keteraturan hubungan antara unsur-unsur yang ada di alam. Sejak manusia bergabung dalam suatu masyarakat, maka keselarasan sudah menjadi suatu kebutuhan dalam hidup bermasyarakat. Keselarasan diterima sebagai kebutuhan rohani dan kebutuhan pragmatis. Sebagai kebutuhan rohani, keselarasan dipandang sebagai pegangan utama dalam menjamin ketenteraman batin serta pemahaman seseorang akan tempatnya di tengah jagad atau kosmos. Sebagai kebutuhan pragmatis, keselarasan dipandang sebagai syarat untuk hidup tenang dalam hidup bermasyarakat. Selain itu, keselarasan juga secara keseluruhan dilihat
39
sebagai suatu cara untuk mencegah jagad supaya tidak rusak. Keselarasan di dunia dengan segala isinya sudah seharusnya diusahakan agar keselarasan terus-menerus terjaga. Terhadap sesama anggota masyarakat, usaha menjaga keselarasan itu terjabarkan dalam sistem nilai yang menekankan hubungan untuk sejauh mungkin menghindari konflik, penajaman naluri untuk mau terus berada dalam kebersamaan, dan saling menyangga jagad. Usaha untuk mempertahankan keselarasan itu terjabarkan dalam berbagai hal, di mana ikatan antara manusia, tanah, hasil bumi, dan kekuatan-kekuatan adikrodati dikukuhkan dalam keseimbangan. Ketika keselarasan telah diperoleh, akibat yang ada adalah keindahan, keteraturan, suasana yang menyejukkan. Seperti halnya dalam ekspresi bahasa bahwa bunyi-bunyi yang sama silih berganti ditekankan, bunyi mampu berperan dalam fungsinya masing-masing, maka mampu menimbulkan kemerduan, keselarasan tuturan seperti halnya kehidupan di dunia. 2. Cerminan Sikap Masyarakat Jawa dalam Menyeimbangkan Dunia Makrokosmos dan Mikrokosmos Adanya keteraturan dan keselarasan bunyi-bunyi yang berupa asonansi, aliterasi maupun purwakanthi lumaksita sebenarnya mempunyai fungsi komunikasi. Dengan keselarasan, kehalusan, dan keteraturan, maka kehidupan akan menjadi teratur. Manusia mampu menyelaraskan hidup dan dapat berkomunikasi dengan Wujud Tertinggi dan alam sekitarnya yaitu dunia mikrokosmos maupun makrokosmos mereka. Pola pikir Ki Padmasusastra mengenai konsep keselarasan ini dapat dirasakan dari bentuk-bentuk perulangan bunyi bahasa yang digunakannya. Di dalam kehidupan, ada aturan-aturan yang sama, prinsip-prinsip yang perlu diatur bersama agar terjadi keseimbangan hidup. Wujud keselarasan kehidupan ini ditampakkan dalam bentuk struktur kebahasaan yang diatur sedemikian rupa dalam bingkai susastra untuk menggambarkan kepandaian seorang pemimpin, kemahsyuran suatu negara, keindahan alam, dan sebagainya. Bahasa Ki Padmasusastra sebagai ekspresi kejiwaan tidak pernah mengesampingkan efek penikmat. Ada kreasi untuk kenikmatan diri sendiri dan penikmat atau pendengar. Ada kemerduan atau keselarasan-keselaran bunyi sehingga menjadikan bahasa tersebut indah, misalnya asonansi [O], [ , [u], yang seolah-olah mampu mendekatkan makna yang ada. Bahasa Ki Padmasusastra menampilkan pola-pola khusus. Pola-pola itu berupa rumusan simbol bunyi yang berulang-ulang dipergunakan. Bunyi [O] sesuai untuk menggambarkan keagungan, kebesaran suatu negara. Bunyi [ sesuai untuk menggambarkan sesuatu yang indah, menggambarkan perasaan yang halus dan suci. Bahasa dalam empat karya sastra ini kadang berubah menjadi sebuah kontak estetis dan artistik. Sejumlah bahasa ini, telah berubah dari komunikasi biasa menjadi komunikasi yang bisa dinikmati (indah). Hiasan berupa pola-pola bunyi asonansi, aliterasi, maupun
40
purwakanthi lumaksita dalam empat karya sastra Ki Padmasusastra menjadi sebuah media untuk mengekspresikan gagasan dan kontak sosio-kultural dalam suatu kolektif. Padmasusastra secara sadar mempergunakan aneka simbol yang unik. Kehebatan bahasa Ki Padmasusastra ini mampu menuntun kehidupan masyarakat Jawa menjadi lebih eksis. Pola asonansi, aliterasi dan purwakanthi lumaksita ini merupakan rangkaian kata-kata yang menjadi sebuah tuturan yang menarik. Pernyataan itu diungkapkan melalui ekspresi bahasa menjadi semakin indah. Apabila diamati secara seksama, ada usaha untuk memberi petuah kepada anak cucu dengan membuat penekanan-penekanan makna berupa bunyi-bunyi yang sama dan disalurkan melalui bahasa. Bahasa tidak hanya dijadikan sebagai ‘pengisi senggang’, melainkan mencerminkan sikap dan pandangan, refleksi angan-angan kelompok, alat pengesahan aturan sosial, dan sebagainya. Dengan demikian bahasa Ki Padmasusastra ini sebagai bentuk pancaran pemikiran orang Jawa yang harus dilestarikan oleh generasinya (selalu ngleluri) sebagai bekal hidup. Dengan adanya warisan itu sebenarnya banyak unsur penting dalam bahasa Jawa yang dapat dijadikan pedoman hidup. Dengan demikian wujud perulangan bunyi-bunyi ini merupakan bentuk estetika dan etika masyarakat Jawa. Sebagai estetika, bahasa akan membangun penalaran masyarakatnya agar memikirkan terkaan isinya maupun makna filosofi di balik bentuk fisiknya. Oleh karena itu menuntut penikmat ‘pendengar’ untuk menelusuri makna di balik bentuk fisiknya. Pesan ini menjadi inti bahasa yaitu penekanan pentingnya keharmonian makrokosmos dan mikrokosmos. Manusia dalam hidup harus selalu menyelaraskan dengan raya beserta isinya. Keselarasan, keteraturan jika telah terjadi, maka kehidupan akan menyenangkan. Manusia bisa melaksanakan kewajibannya dengan baik. Hubungan dunia mikrokosmos maupun makrokosmos akan tercapai. 3.Cerminan Sikap Masyarakat Jawa Menuju Forman Keselamatan yang Harmoni Bahasa yang runtut merupakan untaian kata yang menuju pada forman keselamatan. Dalam kondisi mengucapkan bahasa itu ada kedamaian, ketenteraman akibat kemerduan bunyi yang diucapkan. Ada kenikmatan jiwa ketika mendengar bunyi-bunyi yang sama dan indah. Dengan adanya bunyibunyi asonansi, aliterasi, dan purwakanthi lumaksita ini sebagai cerminan sikap Ki Padmasusastra bahwa keselamatan akan mudah dicapai bila ada keteraturan. Harapan dan doa seseorang akan terwujud apabila dilakukan secara berulang-ulang tanpa henti. Ada makna filosofis dibalik penggunaan kata-kata Jawa spesial, baik, halus, indah, beruntun ini. Ada spirit yang mengisyaratkan bahwa keselamatan hidup akan diperoleh jika jalan yang diambil juga lurus, tidak ada aral melintang, dan berusaha secara teratur dan maksimal.
41
Seperti halnya mantra, masyarakat Jawa akan mengucapkan dengan penuh khidmat dengan harapan bisa membawa pada keselamatan. Bahasa ini juga merupakan gambaran kerohanian orang Jawa. Getaran-getaran jiwa akan tergores ketika orang mendengar bahasa ini. Bahasa ini cocok sebagai konsumsi kejiwaan. Permainan kata-kata yang indah seakan-akan menciptakan suasana yang penuh keindahan, ketenteraman, kedamaian, dan harmoni. Konsep hidup harmoni dan menghindari konflik inilah yang sebenarnya tercermin di balik penggunaan asonansi, aliterasi, dan purwakanthi lumaksita. Bahasa di atas juga mengandung permainan-permainan vokal yang menyebabkan semakin menarik, tidak kering untuk didengarkan. Kata-kata arkhais ditunjang bunyi-bunyi vokal dan konsonan yang silih berganti akan menciptakan suasana harmoni. Dengan kata-kata itu isi tampak lebih mengena. Orang yang mengucapkan maupun yang mendengarkan dapat menikmati keindahan bahasa sekaligus isinya. Ketika terdengar keindahan tuturan yang ada, hati akan terhibur, merasa senang. KESIMPULAN Berdasarkan pengkajian stilistika empat karya sastra Ki Padmasusastra khususnya pemanfaatan bunyi-bunyi bahasa membuktikan bahwa kekhasan pemanfaatan bunyi bahasa dalam empat karya sastra Ki Padmasusastra merupakan cerminan pola pikir, pola pandang masyarakat Jawa terhadap Tuhan, beserta dunia dengan segala isinya. Di balik ekspresi pemanfaatan bahasa tersebut ada pola pikir, pandangan hidup Ki Padmasusastra atau masyarakat Jawa terhadap Wujud Tertinggi (Tuhan) dan alam sekitarnya yaitu dunia mikrokosmos maupun makrokosmos. Adanya kekhasan pemanfaatan bunyi-bunyi bahasa merepresentasikan, 1) cermin konsep keselarasan (alam beserta isinya), bagaimana masyarakat Jawa harus bersikap untuk tetap dalam keselarasan dengan alam raya beserta segala isinya, 2) cermin konsep mengutamakan keharmonian makrokosmos-mikrokosmos, 3) cermin sikap menuju forman keselamatan yang harmoni. Dalam kondisi mengucapkan bahasa itu ada kemerduan, kedamaian, ketenteraman, kenikmatan rohani mendengar bunyi indah. Masyarakat Jawa selalu mengutamakan keseimbangan hidup, menghindari konflik, dan mengutamakan rasa. DAFTAR PUSTAKA Abrams, M.H. 1981. A Glossary of Literary Terms. New York: Holt-Rinehart and Winston. Altenbernd, Lynd & Lewis, L. Lislie. 1970. A Handbook for the Study of Poetry. London: Collier-Macmillan Ltd. Fowler, Roger. 1977. Linguistic and the Novel. London: Methuen & Co Ltd.
42
Leech, Geoffrey N & Michael H. Short. 1984. Style in Fiction: a Linguistics Introduction to English Fictional Prose. London: Longmann. Luxemberg, Jan val. 1984. Pengantar Ilmu Sastra. (Terj. Dick Hartoko). Jakarta : Gramedia. Mulyanto. 2010. Kerangka Pikir Padmasusastra tentang Tingkat Tutur Bahasa Jawa hlm. 50-57. Proseding Seminar Nasional Demokratisasi Ki Padmasusastra dalam Bahasa, Sastra, dan Budaya. FSSR Publishing, Surakarta. Padmasusastra. 1902. Serat Kabar Angin. Surakarta: Vogel van der Heyde & Co. Surakarta. Padmasusastra. 1912. Serat Rangsang Tuban. Surakarta: n.v. Budiutama. Padmasusastra. 1921. Serat Prabangkara. Kediri: Tan Khoen Swie. Padmasusastra. 1924. Serat Kandha Bumi. Kediri: Tan Khoen Swie. Padmosoekotjo. 1960. Ngengrengan Kasusastran Djawa I, II. Jogjakarta: Hien Hoo Sing. Satoto, Soediro. 2012. Stilistika. Yogyakarta: Penerbit Ombak. Shipley, Joseph T. 1979. Dictionary of Word Literature. Paterson New York: Liftefield, Adam & Co. Subroto, Edi, Wiranto & Paina. 1997. Telaah Linguistik Atas Novel Tirai Menurun Karya N.H. Dini. Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Sutopo, H.B. 1996. Metodologi Penelitian Kualitatif (Metodologi Penelitian untuk Ilmu-ilmu Sosial dan Budaya). Surakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Universitas Sebelas Maret.
43