Jurnal Widya Acharya FKIP Universitas Dwijendra ISSN NO. 2085-0018 Oktober 2014
ANALISIS STILISTIKA DALAM PUPUH-PUPUH KARYA SASTRA TRADISIONAL BALI Oleh Ida Bagus Made Wisnu Parta
ABSTRAK Geguritan merupakan sebuah puisi naratif, karena dilihat dari segi bentuk adalah puisi sedangkan dari segi isinya adalah bercerita (naratif). Tujuan penelitian ini adalah untuk melihat keindahan stilistika yang ada pada setiap pupuh-pupuh karya sastra tradisional Bali. Penelitian ini bersifat kualitatif deskriptif dengan menjadikan naskah Geguritan Maniguna sebagai objek penelitian. Geguritan Maniguna merupakan sebuah karya sastra tradisional Bali yang dibangun oleh pupuh-pupuh dalam bentuk yang variatif dan terikat oleh aturan yang disebut pada lingsa pupuh. Pupuh-pupuh yang digunakan dalam Geguritan Maniguna, meliputi: Pupuh Dangdanggula, Pupuh Durma, Pupuh Semarandana, Pupuh Pupuh Pangkur, dan Pupuh Sinom. Gaya bahasa yang ditemukan pada Geguritan Maniguna adalah gaya bahasa perbandingan, seperti: perumpamaan, personifikasi, antitesis. Gaya bahasa pertentangan, seperti: hiperbola, litotes, oksimoron. Gaya bahasa pertautan, seperti: eufemisme, eponim, antonomasia. Kata Kunci: Pupuh, Geguritan dan Stilistika PENDAHULUAN
dan memberikan gambaran secara lengkap
1. Latar Belakang
bagaimana nilai sebuah karya sastra, tak
Karya sastra merupakan wujud
terkecuali
pada
jenis
karya
sastra
dari hasil cipta, rasa dan karsa manusia
tradisional Bali dalam penelitian ini.
yang diciptakan untuk dinikmati dan
Analisis
diapresiasi oleh masyarakat. Dalam hal ini,
menentukan seberapa jauh penyimpangan
setiap
bahasa yang digunakan pengarang serta
penulis
memiliki
cara
dalam
stilistika
dimaksudkan
mengemukakan gagasan dan gambarannya
bagaimana
serta gaya bahasa untuk menghasilkan
tanda-tanda linguistik untuk memperoleh
efek-efek
efek estetis atau puitis. Stilistika tidak
Secara
tertentu menyeluruh
bagi
pembacanya.
kajian
pengarang
untuk
mempergunakan
stilistika
dapat diterapkan dengan baik tanpa dasar
berperan untuk membantu menganalisis
linguistik yang kuat sebab salah satu 66
Jurnal Widya Acharya FKIP Universitas Dwijendra ISSN NO. 2085-0018 Oktober 2014
perhatian utamanya adalah kontras sistem
Geguritan Maniguna merupakan karya
bahasa
sastra hasil kreativitas murni pengarang
sastra
dengan
bahasa
pada
zamannya (Wellek dan Warren, 1995:
yang
memiliki
motif-motif
panji.
221).
Geguritan Maniguna merupakan sebuah Stilistika sering dikaitkan dengan
karya sastra tradisional Bali yang dibangun
bahasa sastra meskipun kajian ini dapat
oleh pupuh-pupuh dalam bentuk variatif
ditujukan
ragam
sehingga ini dapat dilihat dari struktur
penggunaan bahasa (Nurgiyantoro, 1994:
forma dan struktur naratif. Pada struktur
279).
264)
forma terikat oleh aturan pada lingsa
mengartikan stilistika sebagai ilmu yang
sedangkan struktur ceritanya mengisahkan
mempelajari
Dengan
tentang emansipasi wanita, sosok wanita
dalam
lebih ditonjolkan dan memiliki peranan
terhadap
Adapun,
demikian,
berbagai
Pradopo
gaya
(2008:
bahasa.
pengertian
stilistika
penelitian ini dapat dibatasi sebagai kajian terhadap gaya bahasa, khususnya yang
yang sangat penting dalam geguritan ini. Naskah
Geguritan
Maniguna
terdapat di dalam pupuh-pupuh karya
sangat menarik untuk diteliti karena
sastra tradisional Bali. Penelitian ini
memiliki struktur forma tersendiri yang
bersifat kualitatif dengan menggunakan
terdiri dari kode bahasa dan sastra, ragam
metode
bahasa, serta gaya bahasa. Geguritan
deskriptif
analitik.
Metode
deskriptif analitik adalah metode dengan
Manigunamemiliki
unsur
keindahan
cara menguraikan sekaligus menganalisis.
karena dibangun oleh 5 buah pupuh.
Dengan menggunakan kedua cara secara
Pupuh-pupuh tersebut terdiri dari: Pupuh
bersama-sama maka diharapkan objek
Dangdanggula,PupuhDurma,
yang dianalisis dapat memberikan makna
Pangkur, Pupuh Semarandana, dan Pupuh
secara maksimal (Ratna, 2010: 336).
Sinom tanpa adanya pengulangan dari
Pupuh
Penelitian ini menggunakan karya
masing-masing pupuh. Dalam analisis
sastra tradisional Bali berbentuk pupuh-
stilistika, penulis hanya membahas pada
pupuh
yang
struktur formanya yaitu kode bahasa dan
penelitian.
sastra serta gaya bahasanya. Semua pupuh-
Geguritan merupakan sebuah puisi naratif,
pupuh memiliki karakter tersendiri dalam
karena dilihat dari segi bentuk adalah puisi
mendukung
sedangkan dari segi isinya adalah bercerita
membedakan geguritan dengan karya
(naratif). Geguritan yang penulis gunakan
sastra yang lain khususnya puisi modern.
nantinya
sebagai
yaitu
sebuah
sebagai
bahan
geguritan objek
kajian
yang
cerita,
hal
inilah
yang
berjudul 67
Jurnal Widya Acharya FKIP Universitas Dwijendra ISSN NO. 2085-0018 Oktober 2014
dengan unsur yang lainnya. Di samping
2. Masalah Untuk mendapatkan gambaran
itu, untuk dapat mengungkapkan stilistika
yang lebih jelas tentang masalah-masalah
yang
yang
Manigunayang nantinya dapat berguna
akan
dianalisis,
maka
penulis
jabarkan masalah-masalah penelitian ini
terkandung
dalam
Geguritan
bagi masyarakat.
sesuai dengan latar belakang di atas. Kedua pokok permasalahan dikemukakan
4.
Landasan Teori
dalam bentuk pertanyaan berikut ini :
Teori berfungsi sebagai alat untuk
1. Bagaimanakah kode bahasa dan
memecahkan masalah penelitian, oleh
sastra dari Geguritan Maniguna ?
karena itu, haruslah dipilih teori yang
2. Bagaimanakah
stilistika
dari
Geguritan Maniguna ?
relevan dengan tujuan penelitian (Triyono, 1994 : 38). Penelitian sastra meliputi wilayah
penelitian
umum ini
cukup
luas,
sehingga
diperlukan pembatasan ruang lingkup
3. Tujuan Penelitian Secara
yang
tujuan
adalah
dari
pendekatan penelitian (kajian/ analisis).
untuk
Pendekatan struktur merupakan
atau
langkah awal yang sulit dihindari karena
mengkomunikasikan lebih lanjut bahwa
pendekatan struktural merupakan tugas
masih banyak karya sastra tradisional Bali
prioritas sebagai pekerjaan pendahuluan.
yang mutu dan nilainya sangat tinggi.
Prinsip struktural yang dijadikan pedoman
Penelitian
untuk
adalah bahwa analisis struktur bertujuan
memberikan data dan informasi bagi
membongkar dan memaparkan secermat,
pengembangan budaya daerah, serta dapat
seteliti,
dijadikan sebagai bahan perbandingan bagi
keterkaitan semua aspek karya sastra yang
penelitian-penelitian sejenis di masa yang
bersama-sama
akan datang. Sedangkan secara khusus
menyeluruh (Teeuw, 1984 : 154).
menginformasikan
ini
juga
bertujuan
tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan sehingga
Geguritan
dapat
mengungkapkan
Maniguna
mengetahui secara
dan
mendalam
dan
mendalam
menghasilkan
Tentang lebih
mungkin
pengertian
makna
stilistika,
lanjutA.
menegaskanbahwastilistika
Teeuw pada
prinsipnya selalu meneliti pemakaian gaya
mengenai struktur forma yang nantinya
bahasa
mampu
yang
merupakan ciri khas seorang penulis aliran
mendetail dari hubungan antar satu unsur
sastra dan lain-lain yangmenyimpang dari
memberikan
apresiasi
yang
khasatauistimewa,
yang
68
Jurnal Widya Acharya FKIP Universitas Dwijendra ISSN NO. 2085-0018 Oktober 2014
bahasa sehari-hari atau yang dianggap
tidak sama sekali meninggalkan nilai
normal (1984:72).Stile atau gaya bahasa
estetis.
tertentu
Nurgiyantoro yang menyebutkan
untukmendapatkan efek estetik atau efek
istilah gaya bahasa dengan stile (sebagai
kepuitisan
pengindonesiaan
adalah
cara
bertutur
secara
(Pradopo,
2008:
265).
dari
style)
pada
merupakan
teknik,
teknik
Penggunaangayabahasa dalam karya sastra
hakikatnya
dengan berbagai macam penyiasatannya
pemilihan ungkapan kebahasaan, yang
dapatmenyumbangkan
kepuitisan
dirasa dapat mewakili sesuatu yang akan
atau estetis karya sastra, bahkan sering kali
diungkapkan (1994:277). Selanjutnya, ia
nilaisenisuatu karya sastra ditentukan oleh
menguraikan/menjabarkan
gaya bahasanya (Pradopo, 2008: 263).
stile, yaitu : (1) unsur leksikal, sebagai
Dalam
nilai
hubungannya
dengan
unsur-unsur
pilihan kata-kata tertentu yang sengaja
struktur karya sastra, keberadaan gaya
dipilih
bahasa mempunyai peranan yang cukup
gramatikal, merupakan pengaturan pada
penting. Seorang pengarang yang tampil
struktur kalimat, (3) retorika, merupakan
akan
cara
memanfaatkan
bahasa
untuk
oleh
pengarang,
penggunaan
(2)
bahasa
unsur
untuk
menciptakan nada dan suasana yang tepat
memperoleh efek estetis, yang didalamnya
guna, sehingga dapat memukau pembaca
termasuk : (a) pemajasan (gaya bahasa),
(Tarigan, 1986:136). Gaya bahasa yang
dan
oleh Tarigan juga disebut sebagai gaya
(kalimat/kebahasaan),
atau
penggunaan
pencitraan/image, merupakan rangsangan
bahasa yang bersifat khusus bagi maksud-
indera melalui ungkapan-ungkapan bahasa
maksud
tertentu dalam karya sastra, dan (5) kohesi,
teknik,
merupakan
estetis,
khususnya
untuk
(b)
penyiasatan
(4)
memantapkan nada dan suasana hati, dan
merupakan
juga
mengaitkan antara bagian kalimat atau
menambah
keserasian
simbolis
(1986:163). Ia juga menjabarkan jenis-
hubungan
struktur
yang
bersifat
antar kalimat.
tidak
Stilistika (stylistic) adalah ilmu
jauh/masih berkisar seperti apa yang telah
tentang gaya, sedangkan stil (style) secara
disebutkan diatas. Terlebih pada karya
umum
sastra puisi tradisional (geguritan), sangat
secara lebih luas pada bagian berikut
mementingkan sekali peranan gaya bahasa
adalah cara-cara yang khas, bagaimana
dalam pencapaian sebuah maksud dengan
segala sesuatu diungkapkan dengan cara
jenis/ragam
gaya
bahasa
yang
tertentu,
sebagaimana
sehingga
akan
dibicarakan
tujuan
yang 69
Jurnal Widya Acharya FKIP Universitas Dwijendra ISSN NO. 2085-0018 Oktober 2014
dimaksudkan
akan
dicapai
secara
mengulas
tentang
bentuk
atau
maksimal (Ratna, 2009: 3). Stilistika sama
kemasandalam menampilkan karya sastra
halnya
itu
dengan
struktur
forma
yang
sendiri
dan
memiliki
hubungan
merupakan satu bagian dari keseluruhan
signifikan dengan isi yang dikandungnya.
karya sastra yang mengulas tentang bentuk
Dalam hal ini struktur forma meliputi:
atau kemasan dalam menampilkan karya
kode bahasa dan sastra, ragam bahasa,
sastra itu sendiri, dan memiliki hubungan
serta gaya bahasa yang dimaksudkan untuk
signifikan dengan isi yang dikandungnya.
memberikan gambaran tentang stilistika
Dalam hal ini, struktur forma meliputi:
Bali, khususnya dalam geguritan.
kode bahasa dan sastra, ragam bahasa,
2.
serta gaya bahasa yang dimaksudkan untuk
Kode Bahasa dan Sastra dalam Geguritan Maniguna Membaca
memberikan gambaran tentang stilistika Bali,
khususnya
dalam
geguritan.
sebuah
geguritan
tidaklah seperti membaca sebuah prosa
Penelitian ini hanya difokuskan untuk
pada
menganalisis kode bahasa dan sastra serta
dibangun
gaya bahasanya pada pupuh sinom dalam
pupuh-pupuh tersebut diikat oleh pada
Geguritan Maniguna.
lingsa.Pada lingsa sebagai sebuah pola
Dari
semua
pendapat
dalam
umumnya,
persajakan
oleh
atau
karena
geguritan
pupuh-pupuh
konvensi,
dimana
merupakan
kerangka teori ini, semua teori digunakan
suatu institusi yang mengikat kontruksi
karena saling mengisi antara teori yang
suatu geguritan, yang dapat dipahami
satu
melalui pemahaman masyarakat (sastra)
dengan
yang
lainnya
untuk
mendapatkan hasil yang lebih baik. Semua
pendukungnya.
teori
sebenarnya berfungsi sebagai konvensi
ini
saling
mendukung
karena
Institusi
tersebut
dan
suatu karya sastra, yang dalam hal ini
kelebihan, maka dari itu kesinambungan
adalah geguritan dengan pada lingsanya
antara teori akan dapat menghasilkan
(Agastia, 1980:17).
semuanya
memiliki
kekurangan
sesuatu yang memuaskan.
Pada lingsa merupakan konvensi atau aturan yang khas, karena dibangun
PEMBAHASAN
oleh pupuh-pupuh yang memiliki pola
1.
Struktur Forma Geguritan
persajakan dalam sastra tradisional Bali.
Maniguna
Secara etimologis pada lingsa dibentuk
Struktur forma merupakan satu
oleh dua kata, yaitu pada (dari bahasa
bagian dari keseluruhan karya sastra yang
Sansekrta) “kaki’ dan lingsa ‘bunyi’. 70
Jurnal Widya Acharya FKIP Universitas Dwijendra ISSN NO. 2085-0018 Oktober 2014
Dalam pemaknaan yang lebih spesifik
1981: 22). Untuk lebih jelasnya dapat
dalam konteks geguritan, pada lingsa
dicermati satu contoh berikut :
mencakup tentang : (1) jumlah baris
I----/ 4a
(palet) dalam setiap bait (pada), yang
II--------/ 8i
disebut juga guru gatra. (2) jumlah suku
III------/ 6a
kata (kecap) dalam setiap baris, yang
IV--------/ 8i
disebut juga guru wilangan, dan (3)
V--------// 8a
jatuhnya vokal suku kata terakhir dalam
Keterangan :
setiap baris, yang disebut juga guru
I-V
: jumlah baris (palet)
lagu/dhong-dhing (Saputra, 1992:8), guru
-
: suku kata (kecap)
suara (Tinggen, 1982:31), serta lingga
/
:
penanda
(satu)
baris
(palet)
suara lan suara pematut sebagai bunyi bahasa tak bermakna (Granoka, 1981:8).
//
: penanda (dua) bait (pada)
Untuk kepentingan di atas akan dipilih tiga
4, 8, 6, 8, 8
: jumlah suku kata (kecap)
istilah dari beberapa istilah di atas yaitu :
a, i, a, i, a
: jatuhnya bunyi vokal (guru
(1) guru gatra, (2) guru wilangan, (3) guru
lagu,
guru
suara,
suara
suara.
pematut, lingga suara) pada suku kata terakhir dalam
Untuk sistematika penyajian pada
suatu baris.
lingsa secara gramatik, maka perlulah sistem
Selanjutnya, pada lingsa pupuh
perlambangan, yang meliputi: (1) lambang
pada Geguritan Maniguna dapat diketahui
bentuk yang mencakup suku kata (kecap)
dengan mencermati pupuh-pupuh (beserta
yang dilambangkan dengan “-“, baris
pada lingsanya) dan ikhtisar penggunaan
(palet) yang dilambangkan dengan “/”, dan
dalam
bait (pada) yang dilambangkan dengan
digunakan dalam Geguritan Maniguna,
“//”. Selanjutnya (2) lambang bunyi yang
meliputi :
dibuatkan
kode
sebagai
cerita.
Adapun
pupuh
yang
mencakup : bunyi bahasa (yang dapat dilambangkan) yaitu a, i, u, e, o, serta
a. Pupuh Dangdanggula
bunyi nonbahasa (yang sulit dilambangkan
Pupuh ini biasanya digunakan
yang digunakan untuk kepentingan teknis
untuk melukiskan watak yang halus,
mempelajari
lemas, umumnya untuk melahirkan suatu
tembang/menembangkan,
yaitu dhong-dhing, nada gong (Granoka,
ajaran,
berkasih-kasihan,
juga
untuk
menutup suatu karangan (Tinggen, 1980: 71
Jurnal Widya Acharya FKIP Universitas Dwijendra ISSN NO. 2085-0018 Oktober 2014
30).
Adapun
pada
lingsanya
yang
digunakan dalam Geguritan Maniguna
c. Pupuh Semarandana(Asmaradahana) Pupuh ini diperkirakan karangan
yaitu: I
: ----------/ 10i
Sunan Giri, yang biasanya digunakan
II
: ----/ 4a
untuk melukiskan rindu dan dendam
III
: ------/ 6a
asmara, rayuan dan pendeknya tentang
IV
: --------/ 8e
hal-hal
V
: --------/ 7u/8u
1980:18; Saputra, 1992:23; dan Tinggen,
VI
: ---------/ 8i
1982: 25-35). Adapun pada lingsa yang
VII
: --------/ 8a
digunakan dalam Geguritan Maniguna
VIII
: ------/ 6u
yaitu:
IX
: --------/ 8a
I
: --------/ 8i
X
: ----/ 4a
II
: --------/ 8a
XI
: --------/ 8i
III
: --------/ 8e
XII
: --------/ 8a
IV
: --------/ 8a
V
: --------/ 8a
VII
: --------/ 8u
VIII
: --------/ 8a
b. Pupuh Durma Pupuh ini diperkirakan karangan Sunan Bonang, yang biasanya digunakan untuk mengisyaratkan hal-hal yang buruk, seperti:
peperangan,
kekacauan,
yang
mengharukan
(Agastia,
d. Pupuh Pangkur Pupuh ini diperkirakan karangan
dan
sebagainya (Agastia, 1980: 18; Saputra,
Sunan
Murjapada/Sunan
Muria,
yang
1992: 23; Tinggen, 1982: 25-35 dan
biasanya digunakan untuk menyatakan
Sugriwa, 1978: 3). Adapun pada lingsanya
perasaan hati dan suasana yang sungguh-
yaitu :
sungguh atau puncak (Saputra, 1992: 23; I
: ------------/ 12a
dan Tinggen, 1982: 35-36). Adapun pada
II
: --------/ 7i/8i
lingsanya yaitu:
III
: ------/ 6a
I
: --------/ 8a
IV
: --------/ 7a/8a
II
: ----------/ 10i
V
: --------/ 8i
III
: --------/ 8u
VI
: -----/ 5a
IV
: --------/ 8a
VII
: --------/ 7a/8a
V
: ------------/ 12u
VI
: ---------/ 7a/8a
VII
: --------/ 8i 72
Jurnal Widya Acharya FKIP Universitas Dwijendra ISSN NO. 2085-0018 Oktober 2014
e. Pupuh Sinom Pupuh ini diperkirakan karangan Sunan Giri, yang biasanya digunakan
3.
Stilistika
penuh
dengan
persahabatan,
Geguritan
Maniguna Secara umum pengertian tentang
untuk menyampaikan nasehat, amanat yang
dalam
gaya bahasa adalah cara mengungkapkan
keceriaan dan suka cita atau pendeknya
pikiran
digunakan
yang
sebagai refleksi dari jiwa dan kepribadian
18;
penulis (pemakai bahasa) yang didalamnya
Tinggen, 1982: 25-35; dan Saputra, 1992:
terdapat unsur kejujuran, sopan santun,
23).
pupuh
dan menarik (Tarigan, 1985 :5). Lebih
sinom memiliki berbagai variasi tembang
lanjut dikatakannya, bahwa ragam gaya
seperti: Sinom Uwug Payangan, Sinom
bahasa
lawe, dan sebagainya. Dalam Geguritan
Perbandingan (perumpamaan, metafora,
Maniguna hanya digunakan sinom yang
personifikasi,
lumrah/umum. Adapun pada lingsanya,
antitesis, pleonasme, perifrasis, antisipasi,
yaitu:
koreksio), (2) Gaya Bahasa Pertentangan
untuk
menggembirakan
Dalam
hal-hal
(Agastia,
1980:
perkembangannya
melalui
bahasa
meliputi:
(1)
secara
Gaya
repersonifikasi,
Bahasa
alegori,
I
-------- /8a
(hiperbola,
II
--------/ 8i
paronomasia,
III
--------/ 8a
innuendo, antifrasis, paradok, klimak,
IV
--------/ 8i
antiklimak, apostrof, anastrof, apofasis,
V
--------/ 7i/8i
proteron, hipalase, sinisme, sarkasme), (3)
VI
--------/ 8u
Gaya
VII
--------/ 7a/8a
sinekdoke,
VIII
--------/ 8i
epitet, antonomasia, erotesis, paralelisme,
IX
----/ 4u
ellipsis, asindeton, polisindeton), dan (4)
X
--------/ 8a
Gaya
Penggunaan
litotes,
khas,
Bahasa
oksimoron,
paralipsis,
zeugma,
Pertautan
alusi,
Bahasa
ironi,
(metonomia,
eufimisme,
Perulangan
eponim,
(alitrasi,
pupuh-pupuh
asonansi, kiasmus, epizeukis, taupotes,
tersebut digunakan dalam cerita sesuai
anafora, epistrofa, simploke, mesodiplosis,
dengan perwatakannya dan membantu
anadiplosis). Dalam Bahasa Bali, gaya
menegaskan
yang
bahasa tersebut dikenal juga dengan istilah
dikemasnya. Hal ini dikarenakan, sebuah
basita paribasa, yaitu bicara atau kata-
geguritan
kata, ajaran, teguran, celaan, hardikan,
suasana
selain
cerita
bercerita
ditembangkan/dinyanyikan.
juga
bisa
ambukan, dan hukuman (Simpen, 1980 : 73
Jurnal Widya Acharya FKIP Universitas Dwijendra ISSN NO. 2085-0018 Oktober 2014
1). Lebih jauh dikatakanya, bahwa basita
dari tata Bahasa Bali, mempunyai suatu
paribasa mencakup : (1) sesonggan
hubungan erat dengan pengarang sebagai
(pepatah), (2) sesenggakan (ibarat), (3)
masyarakat penutur Bahasa Bali
wewangsalan (tamil), (4) sloka (bidal), (5)
Gaya bahasa pada Geguritan
beladbadan (metafora), (6) peparikan
Manigunadapat dikelompokkan kedalam
(pantun
pepindan
gaya bahasa perbandingan, pertentangan,
sesawangan
pertautan, dan perulangan. Masing-masing
(perumpamaan), (9) cecimpedan (teka-
kelompok tersebut mempunyai bagian-
teki), (10) cecangkriman (syair teka-teki),
bagian yang akan diuraikan selanjutnya.
(11) cecangkitan (olok-olokan), (12) raos
Gaya
ngempelin
sepuluh jenis gaya bahasa, yang pertama
indah),
(perumpamaan),
(7) (8)
(pelawak),
(13)
sesimbing
bahasa
perbandingan
perumpamaan.
meliputi
(sindiran), (14) sesemon (sindiran halus),
adalah
Perumpamaan
(15) sipta (alamat), (16) sesapan (doa).
merupakan padanan kata smile dalam
Demikianlah beberapa deskripsi
bahasa inggris yang berasal dari bahasa
mengenai gaya bahasa. Pada dasarnya
Latin yang berarti “seperti”. Dengan
gaya bahasa mencakup tentang pengertian
demikian,
perumpamaan
secara umum, dan penggunaannya dalam
perbandingan
dua
karya sastra yang mempunyai peranan
hakikatnya berlainan, dan sengaja kita
yang penting. Dengan demikian, kajian
anggap sama (Tarigan, 1985:9). Dalam
stilistika dalam Geguritan Manigunahanya
gaya bahasa (basita paribasa) pada Bahasa
dilihat pada gaya bahasa (majas) yang ada
Bali,
didalamnya.
pepindan, sesawangan, dan sesenggakan
hal
perumpamaan
berarti
yang
sepadan
pada
dengan
Deskripsi gaya bahasa secara
(ibarat), pepindan pada dasarnya sama
lengkap, teliti, maupun rinci oleh Tarigan
dengan sesawangan. Perbedaannya hanya
akan digunakan sebagai acuan, dengan
pada penggunaan kata pembanding, seperti
membandingkan dan mengkombinasikan
: buka, kadi, luir, dan sebagainya, yang
dengan deskripsi gaya bahasa yang lazim
ditempatkan di awal maupun di tengah
di Bali disebut dengan istilah basita
kalimat
paribasa oleh Simpen. Deskripsi model
penggunaan kata pembanding di atas tidak
Tarigan diharapkan mampu mencermati
dipakai
secara mendetail/teliti keberadaan gaya
nasalisasi
bahasa pada Geguritan Maniguna dan
Sesenggakan (ibarat) pada dasarnya mirip
deskripsi model Simpen sebagai bagian
dengan
pada
pada
sesawangan,
pepindan, yang
sesawangan,
sedangkan
dan
adanya
menyertainya.
namun
pada 74
Jurnal Widya Acharya FKIP Universitas Dwijendra ISSN NO. 2085-0018 Oktober 2014
sesawangan secara konsisten diawali oleh kata
pembanding
perumpamaan
buka.
dalam
-
Contoh
Tan bina kadi smara loka (Pupuh Sinom, bait ke-29) ‘tak lain seperti istana dewa Smara’.
Geguritan
Manigunadapat dijumpai sebagai berikut : -
-
-
-
-
Gaya
Tan bina kadi Hyang Astra Sari
berikutnya
lain seperti Dewa Asmara’.
Personifikasi berasal dari bahasa latin
Ni Rangda kadi niris ing ati
persona
(Pupuh Dangdang, bait ke-9) ‘Ni
topeng dalam drama. Dengan perkataan
Rangda bagaikan diiris hatinya’.
lain, penginsanan atau personifikasi adalah
Kadi Hyangning madupasir (Pupuh
jenis majas yang melibatkan sifat-sifat
Durma, bait ke-7) ‘seperti
insani kepada barang yang tidak bernyawa
Sumbreg kadi gunung sari (Pupuh
dan ide yang bersifat abstrak (Tarigan,
Durma,
1985:17). Dalam Geguritan Maniguna
bait
ke-13)
‘bagaikan
Tan bina I tadaharsa (Pupuh
sebagai berikut : -
Kadi
sang
contoh
personifikasi
Wong laki cayane nrang sasih
itu
awan
sanggul
orang
yang
wibawanya
menyamakan
cahaya bulan’. -
Satata kebuse
(Pupuh
ke-16)
‘selalu
Dangdang,
Miguh-miguh kadi ngigel pajeng
membuat pikiran susah’.
‘bergerak-gerak
seperti
-
orang
Tur
bait
manahe
masih remaja’.
dadu (Pupuh Pangkur, bait ke-2)
angucap
nabda
manis
ngupaksa (Pupuh Durma, bait ke-
menari’.
15) ‘seraya berkata halus dan
Ulangune ring sang kadi Hyang
manis serta minta maaf’.
Ratih (Pupuh Pangkur, bait ke-5) ‘tertarik
dengan
orang
-
yang
Kadi gula wus inemu (Pupuh
Sang mawak kalangwan (Pupuh Durma, bait ke-18) ‘perwujudan
bagaikan Dewi Ratih’. -
diperoleh
(Pupuh Dangdang, bait ke-6) ‘pria
kusungning
‘bagaikan
personifikasi.
‘orang’ pelaku ‘aktor’, atau
dapat
(Pupuh Semarandana, bait ke-15)
-
adalah
mekar seperti gunung bunga’.
burung I tadahasih’.
-
perbandingan
(Pupuh Dangdang, bait ke-9) ‘tak
Semarandana, bait ke-9) ‘bagaikan
-
bahasa
dari keindahan’. -
Mega samaniya ring roma (Pupuh
Sinom, bait ke-11) ‘bagaikan gula
Smarandana,
bait
ke-14)
yang diemut’.
‘rambutnya seperti mendung’. 75
Jurnal Widya Acharya FKIP Universitas Dwijendra ISSN NO. 2085-0018 Oktober 2014
-
Raris turun mangandika manis
Bibi aji cingak titiang iriki (Pupuh
arum (Pupuh Pangkur, bait ke-21)
Pangkur, bait ke-15) ‘ibu ayah lihat
‘lalu turun berkata sangat manis
hamba disini’. -
sekali’. -
-
Sang
ararian
lanang
wadon
Manis ing awor guyu (Pupuh
(Pupuh Sinom, bait ke-4) ‘yang
Pangkur
berhenti laki perempuan’.
bait
ke-24)
‘dengan
manisnya tersenyum’. -
Demikianlah gaya bahasa yang
Ngasih-asih rum amanis (Pupuh Sinom, bait ke-9) ‘merayu dengan
terdapat
dalam
Geguritan
Maniguna
perkataan manis’.
bagian-bagian lainnya dari gaya bahasa perbandingan. Selanjutnya akan dicermati
Gaya berikutnya
bahasa
adalah
perbandingan
Antitesis.
Antitesis
gaya
bahasa
Geguritan
pertentangan
Maniguna.
di
Gaya
dalam bahasa
berarti lawan yang tepat atau ‘pertentangan
pertentangan juga memiliki bagian-bagian,
yang benar-benar’ (Poerwadarminta, 1976
yang pertama adalah hiperbola. Hiperbola adalah gaya bahasa
: 52). Antitesis adalah gaya bahasa yang mengadakan komparasi atau perbandingan
yang
antara dua antonim (yaitu kata-kata yang
berlebih-lebihan dari segi jumlah, ukuran
mengandung
yang
atau sifat, dengan maksud memberikan
bertentangan) (Tarigan, 1985:27). Dalam
penekanan pada suatu pernyataan atau
Geguritan
situasi, guna memperhebat/ meningkatkan
ciri-ciri
Maniguna
semantik
dapat
dijumpai
-
Suka
duka
kapangguh
(Pupuh
55).
Dalam
yang
Geguritan
Dangdang, bait ke-9) ‘suka duka
Manigunakeberadaan
pasti ada’.
dijumpai sebagai berikut :
Kewala ngeton biang suri, kalih
-
Rupane
hiperbola
lintang
bagus
dapat
(Pupuh
Ida I Bapa (Pupuh Dangdang, bait
Dangdang, bait ke-2) ‘wajahnya
ke-22) ‘bila melihat Ibu Suri, dan
sangat tampan’. -
juga Sang Raja’. -
pernyataan
kesan dan pengaruhnya (Tarigan, 1985:
antitesis sebagai berikut : -
mengandung
Wong
kalintang
luwih
(Pupuh
Lanang istri asasambat (Pupuh
Dangdang, bait ke-12) ‘manusia
Pangkur,
yang sangat pandai’.
bait
ke-15)
‘laki
perempuan memohon’.
76
Jurnal Widya Acharya FKIP Universitas Dwijendra ISSN NO. 2085-0018 Oktober 2014
-
-
-
-
-
-
Kadi tinebah dadan Ni Diah Arini
iyun mamaca, ngalilayang kayun,
(Pupuh
kalih ica mangampura, katunan,
Durma,
bait
ke-16)
‘bagaikan dibelah dadanya’.
bumara malajah nulis, kranane
Cingak titiang lara bara (Pupuh
nggawe gita’. (Pupuh Dangdang,
Smarandana, bait ke-10) ‘lihat
bait
hamba yang sangat menderita ini’.
dalam
Mangandikarum amanis (Pupuh
menggunakan
Pangkur, bait ke-7) ‘perkataannya
Dangdanggula,
sangat manis’.
campuran Bali Jawa, saya berlagak
Tan lian adi nambani lara king-
bisa, namun jauh kemungkinan dari
king (Pupuh Pangkur, bait ke-8)
kebenaran,
‘tiada lain adik mengobati orang
pupuhnya
tidak
yang sangat kesedihan’.
pembaca
berkenan,
Peteng libut mangresresin (Pupuh
sebagaimana adanya, dan berkenan
Sinom, bait ke-1) ‘gelap gulita dan
memaafkannya, saya yang serba
sangat menakutkan’.
kurang, sebab baru belajar menulis,
Lewih guna mahasakti (Pupuh
makanya menggubah lagu’.
Sinom, bait ke-13) ‘sangat berguna
-
ke-1)
‘mohon
menggubah
dimaafkan lagu,
yang pupuh
dengan
sebab
bahasa
penggunaan
tepat,
semoga menerima
Nisrupa lintang acungking, kalih tambet (Pupuh Dangdang, bait ke-
dan mempunyai kesaktian’.
10) ‘wajahku sangat jelek dan Gaya
bahasa
bodoh juga’.
pertentangan
berikutnya adalah Litotes. Litotes adalah
-
Suecan ing titiang wong lareng ati,
gaya bahasa mengandung pernyataan yang
lintang
dikecil-kecilkan, dikurangi dari kenyataan
(Pupuh Dangdang, bait ke-16)
yang
untuk
’kasihan hamba yang menderita
merendahkan diri (Tarigan, 1985: 58).
sedih, sangat merana, bagaikan
Dalam
tumbuh-tumbuhan’.
sebenarnya,
Geguritan
misalnya
Maniguna
dapat
dijumpai penggunaanya sebagai berikut : -
Ampuraneng gending,
titiang
nggawe
kadi
taru
lata
Ampura kang kawula, langgiya amidi
Sang
Prabhu
(Pupuh
munyi
Semarandana, bait ke-2) ‘mohon
Bali Jawa, makuma bisa manahe,
hamba dimaafkan, karena lancang
doh
memohon kepada tuanku raja’.
para
Dangdanggula,
-
rahat,
pacang
patut,
reh
pupuhnyane tuna lewih, sueca sang 77
Jurnal Widya Acharya FKIP Universitas Dwijendra ISSN NO. 2085-0018 Oktober 2014
-
Sueca
geng
mangampurayang,
-
Sang
ararian
lanang
wadon
lintang dusun nisrupa dari dranis,
(Pupuh Sinom, bait ke-4) ‘yang
tan
berhenti laki perempuan’.
pakanti
(Pupuh
nandang
Pangkur,
sungsut
bait
ke-25)
-
Lanang istri nuli amit (Pupuh
‘hamba mohon dimaafkan, karena
Sinom, bait ke-38) ‘laki perempuan
hamba kampungan dan buruk rupa
lalu mohon diri’.
serta miskin, tidak berteman serta Demikialah
menanggung derita’. -
bahasa
lacur
pertentangan dalam Geguritan Maniguna.
(Pupuh
Bagian-bagian lainnya tidak disebutkan,
Sinom, bait ke-5) ‘hamba malang
karena tidak ditemukan penggunaannya
menemukan penderitaan bersama
dalam Geguritan Maniguna. Berikutnya
dengan suami’.
akan dicermati gaya bahasa pertautan yang
Titiang
lara
masarengan
-
gaya
manggih ring
pria
kapir
mempunyai bagian-bagian, yang pertama
(Pupuh Pangkur, bait ke-25) ‘saya
adalah Eufemisme. Eufemisme adalah
manusia yang sangat hina’.
gaya bahasa ungkapan yang halus sebagai
Titiang
wong
kalintang
pengganti ungkapan yang dianggap kasar, Gaya bahasa berikutnya adalah
merugikan,
adalah Oksimoron. Oksimoron adalah
(Tarigan,
gaya
dalam
bahasa
pertentangan
yang
dengan
mengandung mempergunakan
kata-kata yang berlawanan dalam frase
atau 1985:
tidak
menyenangkan
28).
Penggunaannya
Geguritan
Maniguna
dijumpai sebagai berikut : -
Reh pupuhnyane tuna lewih (Pupuh
yang sama (Keraf, 1985: 136). Dalam
Dangdang,
Geguritan
pupuhnya tidak tepat’.
Manigunadapat
dijumpai
sebagai berikut : -
Manatak
suka-duka
lintang
ke-1)
dusun
‘sebab
(Pupuh
sangat kampungan’.
Dangdang, bait ke-23) ‘menerima
-
Wong
bait
Dangdang, bait ke-10) ’manusia
(Pupuh
sedih dan gembira’.
dapat
-
Lintang dusun nisrupa dari dranis
Bibi aji cingak titiang iriki (Pupuh
(Pupuh
Pangkur,
bait
ke-25)
Pangkur, bait ke-15) ‘ibu ayah lihat
‘sangat kampungan dan buruk rupa
hamba disini’.
serta miskin’.
78
Jurnal Widya Acharya FKIP Universitas Dwijendra ISSN NO. 2085-0018 Oktober 2014
-
Titiang
wong
kalintang
kapir
-
Duh sang luwir Smara Patni
(Pupuh Dangdang, bait ke-11)
(Pupuh
Semarandana, bait 10)
‘saya manusia yang sangat hina’.
‘adalah kamu sebagai istri Sang Hyang Smara’.
Gaya bahasa selanjutnya adalah Eponim. Eponim adalah gaya bahasa yang
Gaya bahasa selanjutnya adalah
mengandung nama seseorang yang sering
Antonomasia. Antonomasia adalah gaya
dihubungkan
tertentu
bahasa yang merupakan penggunaan gelar
untuk
resmi atau jabatan sebagai pengganti nama
menyatakan sifat itu (Tarigan, 1985: 130).
diri (Tarigan, 1985: 132). Penggunaannya
Penggunaannya
dalam
sehingga
dengan
nama
sifat
itu
dipakai
dalan
Geguritan
Manigunadapat ditemukan sebagai berikut
-
-
-
Saraswati ring kapradnyan (Pupuh Dangdang,
bait
ke-3)
‘kepandaiannya
bagaikan
dewi
Sang Nata, Sri Bhupati (Pupuh
-
Ki Patih (Pupuh Durma, bait ke11) ‘ki patih’.
-
Sang
Prabhu,
Saraswati)’.
(Pupuh
Kadi graha Smara Ratih (Pupuh
‘baginda raja’
Dangdang, bait ke-4) ‘seperti istana
-
Dewa Sang Hyang Giri Putri (Pupuh Dangdang, bait ke-22)
Sang
Pangkur,
bait
Narapati 9&26)
Pangeran (Pupuh Sinom, bait ke29) ‘pangeran’
Betara Smara dan Dewi Ratih’. -
Sang Mantri (Pupuh Dangdang,
Durma, bait ke-3) ‘sang raja’
dewi Ratih wajahnya’. -
dapat
bait ke-2) ‘sang raja’
Hyang Ratih ing raras (Pupuh Dangdang, bait ke-3) ‘bagaikan
Maniguna
dijumpai sebagai berikut : -
:
Geguritan
-
Sang Parameswari (Pupuh Sinom, bait ke-36) ‘sang permaisuri’.
‘bagaikan istrinya Siwa’. -
Kadi Hyangning madupasir (Pupuh
PENUTUP
Durma,
1. Simpulan
bait
ke-7)
‘bagaikan
Adapun penggunaan gaya bahasa
dewanya lautan madu’. -
Kadi Sang Hyang Cita Rasmin
yang terdapat dalam naskah Geguritan
(Pupuh
Maniguna adalah
Durma,
bait
‘bagaikan dewa bulan’.
ke-8)
1. Geguritan
Manigunamemiliki
unsur keindahan karena dibangun 79
Jurnal Widya Acharya FKIP Universitas Dwijendra ISSN NO. 2085-0018 Oktober 2014
Kebudayaan Direktorat Jendral Kebudayaan.
oleh 5 buah pupuh. Pupuh-pupuh tersebut memiliki hanya terdiri dari Pupuh
Dangdanggula,
PupuhDurma,
Pupuh
Pangkur,
Pupuh Semarandana, dan Pupuh Sinom tanpa adanya pengulangan
Granoka, Ida Wayan Oka. 1981. Catatan Kuliah “Dasar-Dasar Analisis Aspek Bentuk Sastra Paletan Tembang”.
dari masing-masing pupuh.
2. Analisis stilistika yang terdapat pada
Geguritan
Maniguna,meliputi: 1.Gaya bahasa perbandingan
seperti
perumpamaan, antitesis.
:
personifikasi, 2.Gaya
bahasa
pertentangan seperti : hiperbola, litotes, oksimoron. 3.Gaya bahasa pertautan seperti
: eufemisme,
eponim, antonomasia.
DAFTAR PUSTAKA Agastia,Ida Bagus Gede.1980. “Geguritan Sebuah Bentuk Karya Sastra Bali”.Untuk Sarasehan Sastra Daerah Pesta Kesenian Bali ke-2, 9 Juli 1980.
Keraf, Gorys. 1985. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta : Penerbit PT. Gramedia. Luxemburg, Jan Van dkk.1986. Pengantar Ilmu Sastra.Jakarta:PT Gramedia. Nurgiyantoro,
Burhan. 1994. Teori Pengkajian Fiksi. Universitas Gajah Mada University Pers : Yogyakarta. Pradopo, Rachmat Djoko. 2008. Beberapa Teori Sastra, Metode Kritik, dan Penerapannya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Ratna, Nyoman Kutha. 2009. Stilistika: Kajian Puitika Bahasa, Sastra, dan Budaya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar. ________________
__________.1985.“Keadaan dan Jenisjenis Naskah Bali”. Yogyakarta: Makalah Untuk Seminar Bahasa, Sastra, Etika, dan Seni Jawa, Bali dan Sunda. Proyek Javanologi departemen Pendidikan dan
2010. Metodologi Penelitian: Kajian Budaya dan IlmuIlmu Sosial Humaniora Pada Umumnya. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.
Saputra, Karsono H. 1992. Pengantar Sekar Macepat. 80
Jurnal Widya Acharya FKIP Universitas Dwijendra ISSN NO. 2085-0018 Oktober 2014
Fakultas Sastra Universitas Indonesia. Semi, Atar. 1988. Metode Penelitian Sastra. Bandung: Angkasa.
Indonesia IKIP Muhammadyah Yogyakarta. Wellek Rene & Austin Warren.1995.Teori Kesusastraan. Jakarta:Gramedia
Simpen, I Wayan. 1990. Basita Paribasa. Denpasar : Upada Sastra. Tarigan, Henry Guntur. 1984. Prinsipprinsip Dasar Sastra. Bandung : Angkasa Bandung. ___________. 1985. Pengajaran Gaya Bahasa.Bandung : Angkasa Bandung. ___________.
1986. Menulis Suatu Ketrampilan Berbahasa. Bandung : Angkasa Bandung.
Teeuw,A.1983.Membaca dan Menilai Sastra.Jakarta:Grame dia. __________.1984.Sastra dan Ilmu Sastra Pengantar Teori Sastra.Jakarta : Pustaka Jaya. Tinggen,I Nengah.1980. Aneka Sari : Singaraja. ______________.1982.Aneka Rupa Basa Bali : Singaraja. Triyono,
Ad.
1994. Langkah-langkah Penyusunan Rancangan Penelitian Sastra dalam Teori Penelitian Sastra Oleh Staf Pengajar UGM dkk. Yogyakarta : Masyarakat Poetika 81