KEKERASAN ETNIS DI INDONESIA: PELAJARAN DARI KALIMANTAN 27 Juni 2001
Laporan Asli Dalam Bahasa Inggris Laporan ICG Asia N°19 Jakarta/Brussels
Daftar Isi
I.
KALIMANTAN TENGAH: LATAR BELAKANG PERISTIWA............................ 6
II.
PEMBANTAIAN DAN PELARIAN PENGUNGSI.................................................... 8 A. B. C.
PENDAHULUAN: BENTURAN YANG TERJADI SEBELUMNYA .............................8 PEMBANTAIAN DI SAMPIT DAN AKIBATNYA.........................................................9 USAHA UNTUK MENJELASKAN PEMBANTAIAN ..................................................11
III. KINERJA PASUKAN KEAMANAN ......................................................................... 14 IV. EVAKUASI: SEMENTARA ATAU TETAP?........................................................... 18 V.
ASAL MULA SAKIT HATI ORANG DAYAK ........................................................ 20 A.
MIGRASI ..........................................................................................................................20
B. C.
HILANGNYA TANAH ....................................................................................................22 PEKERJAAN DAN PENDIDIKAN .................................................................................23
D. E.
PEMERINTAHAN DAN POLITIK .................................................................................24 POLISI DAN MILITER ....................................................................................................26
F.
BUDAYA DAN AGAMA ................................................................................................27
VI. ORANG DAYAK DAN ORANG MADURA ............................................................. 28 VII. KESIMPULAN ............................................................................................................. 30
Laporan ICG Asia No19
27 Juni 2001
KEKERASAN ETNIS DI INDONESIA: PELAJARAN DARI KALIMANTAN RANGKUMAN IKHTISAR Ketegangan yang telah lama memanas antara orang Dayak dan para pendatang asal Madura tiba-tiba meletus di kota Sampit, Kalimantan Tengah, dipertengahan bulan Februari 2001. Dalam beberapa hari saja, pembunuhan-pembunuhan disana-sini yang dilakukan kedua belah pihak berkembang menjadi pembantaian sepihak terhadap orang Madura oleh orang Dayak. Di mingguminggu berikutnya pembunuhan menyebar ke daerah-daerah lain dalam propinsi itu dan hingga awal April hampir seluruh penduduk asal Madura telah meninggalkan propinsi. Pembantaian terhadap 500 orang Madura – dan mungkin lebih banyak lagi – oleh orang Dayak serta larinya hampir seluruh masyarakat asal Madura sangat mirip dengan dua peristiwa yang terjadi di kabupaten Sambas di bagian utara Kalimantan Tengah di tahun 1996-7 dan di tahun 1999, serta menitik-beratkan bahaya menyebarnya kekerasan ke Kalimantan Barat dan Timur. Kekerasan di Kalimantan Tengah terjadi setelah beberapa dasawarsa dimana orang Dayak – yang merupakan lebih dari setengah jumlah penduduk propinsi tersebut - mengalami dislokasi. Susunan demografi propinsi telah mengalami perubahan, terutama dalam dua dasawarsa terakhir, disebabkan program transmigrasi yang dilakukan pemerintahan Soeharto serta masuknya apa yang disebut sebagai pendatang ‘spontan’ dari propinsi lain yang mencari peluang ekonomis. Masyarakat Dayak juga terganggu oleh tindakan resim Soeharto yang memberikan konsesis luas di hutan-hutan kepada perusahaan penebangan kayu, banyak yang ada hubungannya dengan anggota keluarga Soeharto, kroninya atau pihak militer, sehingga banyak orang
Dayak penghuni hutan terusir dari kediaman tradisionalnya. Undang-undang yang dikeluarkan di tahun 1979 yang menetapkan struktur pemerintahan daerah yang seragam diseluruh Indonesia mengakibatkan terkikisnya kewenangan pemimpin desa tradisional serta kohesi masyarakat Dayak. Dislokasi tersebut dirundung oleh anggapan meluas di kalangan orang Dayak bahwa mereka sering diremehkan oleh masyarakat lain sebagai masyarakat yang ‘terbelakang’ dan ‘tidak berbudaya’. Namun demikian, dislokasi yang dialami orang Dayak tidak sepenuhnya menjelaskan kekerasan yang terjadi di bulan Februari dan Maret. Kalaupun pembantaian merupakan reaksi terhadap perubahan demografis yang pesat maupun perusakan hutan, maka kemarahan orang Dayak tentunya dituju kepada semua masyarakat pendatang. Akan tetapi kekerasan yang terjadi dipusatkan seluruhnya terhadap orang Madura dan akhirnya dijadikan suatu kampanye untuk mengusir mereka dari propinsi tersebut. Jumlah masyarakat Madura tidak hanya lebih sedikit dibanding masyarakat Dayak, tetapi juga dibanding masyarakat pendatang lainnya seperti orang Jawa dan orang Banjar. Mengapa orang Madura di Kalimantan Tengah – sebagaimana juga di Kalimantan Barat beberapa tahun yang lalu – merupakan sasaran satu-satunya? Apa kiranya manfaat ‘pembersihan etnis’ tersebut bagi masyarakat Dayak? Kenapa masyarakat pendatang lainnya tidak diusik? Tidak terdapat jawaban yang gamblang. Penjelasanpenjelasan yang paling umum diutarakan dalam ungkapan stereotipe. Orang Dayak seringkali memandang orang Madura sebagai orang yang
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
sombong, eksklusif, cenderung menggunakan kekerasan, serta tidak dapat dipercaya. Dilain pihak, orang Dayak – terutama oleh pers internasional digambarkan sebagai pemerang barbar yang hendak menghidupkan kembali tradisi kuno pemenggalan kepala musuh. Sebagaimana biasa terjadi dalam konflik etnis, tidak jelas bagaimana kekerasan bermula. Menurut versi orang Dayak, kemarahan mereka terhadap orang Madura sudah memuncak bertahun-tahun sampai serangan orang Madura terhadap orang Dayak di Sampit di Februari 18-19 memicu pembantaian spontan terhadap ratusan orang Madura. Dilain pihak, menurut orang Madura beberapa kelompok Dayak memprovokasi benturanbenturan kecil sebagai alasan untuk menjalankan pembantaian yang menysusul kemudian. Akan tetapi hingga saat ini tidak ada penjelasan yang memuaskan mengenai apa yang menjadi motivasi kelompok Dayak tersebut. Namun demikian ada satu hal yang cukup disepakati kedua belah pihak.Hampir semua pihak mencatat kegagalan pasukan keamanan untuk mencegah konflik tersebut. Polisi secara luas disalahkan atas kegagalan jaringan intelijen mereka dalam mengantisipasi kekerasan serta ketidak mampuan mereka untuk bertindak dini guna mencegah penyebaran kekerasan. Hingga saat pembantaian berkobar polisi dibuat tidak berdaya dan lebih sering berdiam diri menyaksikan orang Dayak membakar rumah orang Madura dan berpawai keliling kota Sampit sembari membawa kepala manusia. Pada saat ditugaskan menjaga para pengungsi setelah gagal mencegah pembantaian, banyak polisi yang lebih mengarahkan perhatiannya untuk meraup kesempatan memeras orang Madura yang sudah putus asa. Kerjasama dengan militer samasekali tidak berjalan lancar, bahkan dalam suatu kejadian yang mencengangkan polisi dan pasukan tentara saling berbaku tembak di pelabuhan Sampit. Namun meskipun prestasinya yang kurang baik di Sampit, paling tidak mereka dapat meminimalkan – tetapi tidak sama sekali mencegah – penyebaran kekerasan ke pusat-pusat utama lainnya termasuk Palangkaraya, Kualakapuas, dan Pangkalanbun. Tentunya tugas mereka dipermudah oleh kenyataan bahwa kebanyakan orang Madura telah melarikan diri lebih dahulu ketimbang menguji kehandalan polisi dan militer. Akan tetapi pasukan keamanan berhasil melindungi nyawa 100.000 orang pengungsi yang tengah melarikan diri. Pemerintah serta pengadilan Indonesia kini menghadapi dilema klasik yang kerap timbul setelah
Ha 3
terjadi konflik etnis: bagaimana menuntut akuntabilitas tanpa memperburuk ketegangan yang ada? Pada prinsipnya, penegakan hukum perlu dijunjung, serta yang bertanggung jawab atas tindakan pembunuhan, penyerangan dan pembakaran dibawa kemuka pengadilan. Kegagalan menghukum mereka yang bertanggung jawab atas kekerasan etnis menciptakan perasaan bebas hukum yang dapat mendorong terjadinya kekerasan baru di kemudian hari dan di tempat lain. Hal tersebut juga dapat merintangi terjadinya rekonsiliasi jangkapanjang. Akan tetapi selain kesulitan melekat dalam menemukan bukti yang cukup, penyelesaian hukum terhadap kasus kekerasan massa tidak hanya mengabaikan sebab-sebab mendasar dari konflik yang terjadi bahkan dapat menimbulkan persoalan baru. Para pelaku pembantaian massa pada umumnya berkeyakinan bahwa tindakan mereka beralasan dan mereka sering dianggap sebagai pahlawan dalam masyarakatnya sendiri. Sehingga penahanan mereka kemudian bukan saja menjadi rintangan bagi tercapainya rekonsiliasi akan tetapi dapat juga memicu kekerasan baru. Tujuan harus tetap diarahkan untuk menjunjung penegakan hukum, namun bukan tanpa melihat keadaan. Dalam beberapa kasus, pertanyaan telak yang tidak dapat dihindari adalah: berapa banyak jiwa yang perlu dikorbankan oleh si penegak hukum agar penegakan hukum dijunjung? Hukum memang perlu ditegakkan, namun bukan tanpa pertimbangan lain. Pada akhirnya yang berwenang perlu membuat keputusan yang peka berdasarkan kondisi setempat. Karenanya langkah-langkah hukum perlu diterapkan sejalan dengan upaya untuk memberi perhatian pada keluhan orang Dayak – yang kesemuanya secara lebih luas bertujuan untuk memperbaiki keamanan, mendorong rekonsiliasi antara masyarakat Dayak dan masyarakat Madura, serta menciptakan keadaan yang kondusif bagi kembalinya para pengungsi. Banyak dari rekomendasi yang diberikan berikut ini secara khusus berhubungan dengan kekerasan massa di Kalimantan Tengah. Akan tetapi meskipun kasus Kalimantan Tengah mempunyai kekhasan tersendiri, beberapa aspek pengalaman propinsi tersebut menawarkan pelajaran yang relevan bagi daerah lain di Indonesia.
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
REKOMENDASI
Ha 4
8.
Polisi perlu mengambil tindakan dini untuk mencegah letusan etnis. Hal ini memerlukan kemampuan intelijen yang jauh lebih baik serta kemauan untuk bertindak tegas terhadap para perusuh. ICG mendukung seruan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk ‘segera membentuk pasukan keamanan yang memadai baik secara kualitatif maupun kuantitatif dalam menjalankan tugasnya’.2
9.
Pasukan polisi perlu lebih banyak merekrut anggotanya dari penduduk setempat, terutama orang Dayak.
10.
Masyarakat minoritas sebagai korban tidak dapat dipersalahkan atas terjadinya pembantaian. Akan tetapi pemuka masyarakat tersebut perlu menyadari budaya dan ciri lain yang menimbulkan ketegangan dengan masyarakat pribumi dan perlu mendorong warganya agar lebih peka terhadap adat istiadat dan kepentingan setempat.
11.
Dalam suasana demokrasi yang baru, pemuka Dayak perlu menggunakan jalur demokrasi untuk menyuarakan keluhan masyarakat mereka serta menanggapi keluhan tersebut ketimbang membiarkan kemarahan memuncak dan meletus dalam kekerasan. Pemuka Dayak perlu menegaskan diperlukannya penyelesaian konflik melalui cara-cara tanpa kekerasan.
12.
Langkah-langkah penting perlu diambil untuk memperbaiki kedudukan sosial dan ekonomi masyarakat Dayak. Langkah tersebut harus mencakup tindakan untuk menjamin agar industri penebangan kayu lebih peka terhadap kebutuhan masyarakat setempat serta upaya menjamin partisipasi lebih luas orang Dayak di bidang pendidikan dan pekerjaan dalam sektor modern pada ekonomi.
13.
Keputusan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia untuk membentuk komisi guna menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Kalimantan Tengah harus disambut baik. Dalam menyampaikan hasil penyelidikannya komisi perlu berhati-hati agar temuannya tidak memperburuk permusuhan antara kedua masyarakat tersebut.
REKOMENDASI BAGI KALIMANTAN TENGAH DAN MADURA 1.
Sesuai ketentuan hukum internasional yang dianut secara luas semua pengungsi berhak kembali ke rumah masing-masing. Akan tetapi kembalinya orang Madura ke Kalimantan Tengah perlu ditangguhkan hingga pihak yang berwenang dapat menjamin keamanan mereka dan itupun dilakukan secara bertahap. Adalah tidak realistis untuk berharap bahwa seluruh orang Madura dapat kembali.
2.
Masyarakat Dayak perlu diyakinkan untuk menerima kembali secepat mungkin orang Madura kelahiran Kalimantan, mereka dengan tali keluarga di Kalimantan Tengah, serta mereka yang telah menetap lama di Kalimantan.
3.
Kebutuhan segera pengungsi Madura adalah bantuan untuk menyesuaikan diri dalam kehidupan diluar Kalimantan Tengah. Pemerintahan-pemerintahan luar negeri serta organisasi non pemerintah dapat memberi bantuan kemanusiaan.
4.
‘Pertemuan perdamaian’ yang disponsori pemerintah antara pemuka masyarakat dapat menciptakan suasana pengurangan ketegangan etnis tetapi tidak dengan sendirinya dapat menghasilkan rekonsiliasi.
5.
Prinsip penegakan hukum tidak perlu ditinggalkan, akan tetapi dengan demikian pihak berwenang perlu mengambil pendekatan yang fleksibel agar terhindar dari langkahlangkah yang dapat mengobarkan sentimen etnis lebih lanjut dan lebih mempersulit tercapainya keharmonisan mendasar. Pihak berwenang hendaknya lebih peka terhadap kemungkinan terjadinya akibat negatif sehubungan pemberlakuan hukum yang ketat.
6.
Baik orang Dayak maupun orang Madura yang terlibat dalam pembunuhanpembunuhan awal pada tanggal 17-18 Februari malam hari harus diselidiki dan dijadikan terdakwa apabila bukti mencukupi.
7.
Apabila ditemukan bukti bahwa pembunuhan tersebut direncanakan dan diorganisir oleh pemimpin Dayak tertentu, maka pemimpin tersebut harus ditangkap dan diadili.
2
Pernyataan Komisi Nasional Haka Asasi Manusia pada tanggal 6 Maret 2001.
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
REKOMENDASI BAGI PEMERINTAH INDONESIA 14.
15.
Perlu perhatian yang lebih di semua daerah di Indonesia terhadap keluhan masyarakat ‘pribumi’ yang telah mengalami dislokasi, perampasan, dan penyisihan dalam perjalanan pembangunan.Tindakan khusus perlu ditempuh untuk memberi kompensasi kepada mereka atas hilangnya tanah mereka, hutan mereka serta sumber daya lainnya yang diakibatkan proyek pembangunan yang lebih banyak menguntungkan pihak lain. Pengalaman Kalimantan Tengah sekali lagi menunjukkan betapa diperlukannya membentuk pasukan keamanan yang profesional yang mampu menangani pecahnya konflik etnis dan agama. Pada daerah dengan jumlah penduduk ‘asli’ yang cukup besar, mereka perlu diambil secara memadai ke dalam pasukan keamanan.
Ha 5
16.
Pada daerah yang terbagi atas beberapa kelompok etnis, perlu dipertahankan suatu keseimbangan yang memadai diantara berbagai kelompok etnis yang terdapat dalam pemerintah daerah. Perhatian yang cermat perlu diberikan terhadap kemungkinan timbulnya masalah SARA pada reorganisasi pemerintahan setempat dalam rangka program otonomi daerah yang diterapkan pada bulan Januari 2001. Jakarta/Brussels, 27 Juni 2001
Laporan ICG Asia No19
27 Juni 2001
KEKERASAN ETNIS DI INDONESIA: PELAJARAN DARI KALIMANTAN I.
KALIMANTAN TENGAH: LATAR BELAKANG PERISTIWA
Penduduk Kalimantan Tengah sejumlah 1,8 juta orang kebanyakan terdiri dari orang pribumi Dayak yang diperkirakan meliputi setengah hingga duapertiga jumlah penduduk.3 Orang Dayak merupakan penduduk asli Kalimantan (Borneo) dan tetap merupakan bagian terbesar dari jumlah penduduk tidak saja di Kalimantan Tengah akan tetapi juga di Kalimantan Barat dan Kalimantan Timur – meski di Kalimantan Selatan mereka telah menjadi minoritas kecil. Orang Dayak juga merupakan bagian yang cukup besar dari jumlah penduduk di Malaysia Timur. Akan tetapi orang Dayak tidak terdiri dari hanya satu masyarakat etnis, melainkan terdiri dari lebih 200 suku terpisah yang masing-masing memiliki bahasa, adat istiadat serta budaya sendiri. Meski kebanyakan tinggal didesa terpencil di hutan tropis yang tersisa dan bercocok tanam secara berpindah ladang, banyak pemuda Dayak yang kini mengenyam pendidikan modern dan beralih ke bidang pekerjaan diperkotaan. Tidak seperti di Kalimantan Barat dimana orang Dayak beda dengan bangsa “Melayu” lainnya karena tidak beragama Islam, sedikitnya separuh bahkan mungkin 70 persen dari orang Dayak di Kalimantan Tengah
3
Sampai dengan tahun 2000, sensus Indonesia tidak mencatat identitas etnis. Pada sensus tahun 2000 ada pertanyaan mengenai bahasa yang digunakan dirumah – sebagai ganti identitas etnis – akan tetapi hasilnya belum diumumkan.
adalah Muslim.4 Kelompok suku yang dominan di Kalimantan Tengah adalah suku Ngaju yang bahasanya telah menjadi bahasa penghubung yang umum digunakan di propinsi tersebut. Penduduk non Dayak di Kalimantan Tengah sebagian besar terdiri dari para pendatang dan turunan pendatang dari bagian lain Indonesia, terutama Jawa dan Kalimantan Selatan (orang Banjar). Banyak dari pendatang asal Jawa pada mulanya datang ke Kalimantan Tengah dalam rangka program transmigrasi pemerintah – yang dirancang guna mengurangi beban penduduk di Jawa – namun sejumlah besar berpindah secara spontan dalam rangka mencari peluang ekonomis. Diantara yang bermigrasi dari Jawa adalah orang dari pulau Madura, yang terletak tepat di utara kota Surabaya di Jawa Timur. Akan tetapi, orang Madura – yang beragama Islam – sama sekali bukan golongan etnis terbesar diantara masyarakat pendatang, meskipun mereka menonjol dalam bidang perdagangan kecil dan transportasi serta sebagai kuli di perkebunan dan perusahaan HPH. Sulit memperkirakan secara tepat besarnya masyarakat Madura, namun demikian secara umum diperkirakan berjumlah sekitar 120.000 – 130.000 orang atau sekitar 6-7 persen dari jumlah penduduk Kalimantan Tengah. Banyak warga masyarakat Madura yang telah menetap di Kalimantan selama bertahun-tahun dan tidak lagi punya ikatan erat dengan sanak keluarga dan kerabat di Madura. Banyak dari generasi muda orang Madura lahir di
4
Perkiraan oleh berbagai pemuka Dayak pada wawancara dengan ICG. Wawancara dalam rangka menyusun laporan ini diselenggarakan di Kalimantan Tengah, Madura, Surabaya dan Jakarta pada bulan April dan Mei tahun 2001.
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
Kalimantan dan tidak pernah mengenal tempat tinggal lainnya. Ada diantaranya menikah dengan warga masyarakat lain, termasuk Dayak. Pemusatan terbesar orang Madura terdapat di kota Sampit dimana mereka diperkirakan merupakan 60 persen5 dari jumlah penduduk dan mengendalikan sebagian besar perdagangan dan industri penebangan kayu. Kurang lebih 20 persen dari penduduk Sampit terdiri dari orang Banjar, 10 persen adalah orang Jawa dan 10 persen lagi merupakan orang Dayak. Orang Madura juga merupakan 30-50 persen dari jumlah penduduk di Pangkalanbun. Penduduk Madura di ibukota propinsi, Palangkaraya, hanya berjumlah sekitar 12.000 orang, atau sama dengan 7-8 persen. Kalimantan Tengah merupakan propinsi terbesar ketiga di Indonesia dalam hal luasan, akan tetapi merupakan kurang dari satu persen jumlah penduduk negara atau sama dengan 1,8 juta orang. Kepadatan penduduknya adalah sekitar sepersepuluh angka ratarata nasional, dan hanya seperseratus angka bagi Jawa. Lebih dari setengah permukaan propinsi tersebut masih ditutup hutan yang kian menciut dengan meluasnya industri penebangan kayu. Kalimantan Tengah memasok sekitar 60 persen kayu gelondong di Indonesia sementara sektor manufakturnya yang tidak seberapa kebanyakan terdiri dari pabrik penggergajian. Di tahun 1998-99, 49 persen dari produksi kayu gelondong Kalimantan Tengah berasal dari kabupaten Kotawaringin Timur dimana Sampit menjadi ibukotanya.6 Pembersihan etnis yang terjadi di Kalimantan Tengah di tahun 2001 mengikuti pembantaian serupa terhadap orang Madura oleh orang Dayak di tahun 1996-7 dan 1999 di propinsi tetangga yaitu Kalimantan Barat. Orang Dayak di Kalimantan Barat mengalami tekanan-tekanan yang sama – yakni migrasi dari daerah lain, pengrusakan hutan, pembukaan perkebunan dan lokasi transmigrasi, penyisihan relatif dari kekuasaan politik, serta
5
Sumber lain menunjukkan bahwa penduduk Madura mungkin hanya sebesar 30-40 persen (mis. Tempo, 4 Maret 2001, haL.2) dan bahwa jumlah penduduk Dayak lebih tinggi dari 10 persen. Susunan sebenarnya baru akan diketahui setelah angka-angka hasil sensus 2000 diterbitkan. 6 Anne Casson, ‘Ethnic violence in an era of regional autonomy: A background to the bloodshed in Kotawaringin Timur’, RMAP Occasional Paper, Resource Management in Asia-Pacific Project, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University, 2001, hal.4.
Ha 7
persepsi orang non-Dayak bahwa mereka adalah ‘terbelakang’ – dengan tekanan yang dirasakan di Kalimantan Tengah. Dan seperti di Kalimantan Tengah, kemarahan mereka ditujukan langsung kepada kelompok minoritas Madura yang hanya merupakan kurang dari 3 persen jumlah penduduk propinsi, yaitu lebih kecil dibanding dengan Kalimantan Tengah. Akan tetapi beda dengan di Kalimantan Tengah, orang Dayak di Kalimantan Barat hampir semuanya adalah non-Muslim.7 Kedua peristiwa pecahnya kekerasan dimulai di kabupaten Sambas di bagian utara. Perkiraan jumlah kematian pada pembunuhan massal tahun 1996-7 berkisar antara 300 hingga 3.000 orang, namun sebuah laporan Human Rights Watch menyimpulkan bahwa angka tersebut kemungkinan sekitar 500, yang kebanyakan terdiri dari orang Madura.8 Penghitungan resmi atas jumlah orang Madura yang tewas pada tiga bulan pertama di tahun 1999 adalah 186 akan tetapi penghitungan tidak resmi jauh lebih tinggi. Pada peristiwa pembunuhan tahun 1999 benturan pertama terjadi antara orang Madura dan orang Melayu – keduanya masyarakat Muslim – dimana orang Dayak non-Muslim kemudian ikut berpihak dengan orang Melayu.9 Baru setelah hampir semua orang Madura melarikan diri dari Sambas ketertiban tercapai kembali. Hingga tahun 2000 jumlah pengungsi Madura di berbagai pusat pengungsi di Kalimantan Barat telah malampaui 50.000 orang sedangkan banyak lagi yang telah kembali ke Madura. 10 Tidak ditemukan bukti adanya hubungan langsung antara kampanye anti-Madura di Kalimantan Tengah dengan pembantaian-pembantaian sebelumnya di Kalimantan Barat, akan tetapi ‘keberhasilan’ pembersihan etnis di kabupaten Sambas mungkin saja telah mempengaruhi jalan pikiran beberapa pemuka Dayak. 7
Di Kalimantan Tengah, orang pribumi baik Muslim, Kristen atau penganut agama tradisional semuanya tetap mengidentifikasikan diri sebagai orang Dayak. Akan tetapi di Kalimantan Barat orang Dayak yang masuk Islam di masa lalu terserap kedalam masyarakat Melayu yang asal mulanya dari pendatang Muslim dari Sumatra, Sulawesi dan semenanjung Malaya yang telah berabad-abad menetap di sepanjang pantai Kalimantan. 8 Human Rights Watch/Asia, Indonesia: Communal Violence in West Kalimantan. Vol. 9, N°10 (C ), Desember 1997. 9 Uraian yang rinci dapat ditemukan pada Edi Peterbang dan Eri Sutrisno, Konflik Etnis di Sambas. Jakarta: Institut Studi Arus Informasi, 2000.
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
II.
PEMBANTAIAN DAN PELARIAN PENGUNGSI
A.
PENDAHULUAN: BENTURAN YANG TERJADI SEBELUMNYA
Pembantaian Sampit didahului oleh tanda-tanda ketegangan yang kian meningkat antara orang Dayak dan orang Madura selama paling tidak dua dasawarsa, terutama di dua kabupaten yang terletak paling barat dari kelima kabupaten di propinsi tersebut – yakni Kotawaringin Timur dan Kotawaringin Barat – dan di ibukota propinsi, Palangkaraya. Benturan-benturan melibatkan perkelahian antar perorangan, beberapa pembunuhan, dan beberapa tindakan pemerkosaan. Akan tetapi benturan tersebut merupakan kejadian terpisah dan tidak memicu kerusuhan besarbesaran.11 Dalam wawancara dengan ICG banyak orang Dayak menyebut pembunuhan seorang Dayak oleh seorang Madura di Bukit Batu, Kasongan di tahun 1983 yang berakhir dengan sebuah penyelesaian perdamaian antara pemimpin masyarakat Dayak dan masyarakat Madura dimana orang Madura bersepakat bahwa bila ada orang Madura yang ‘menumpahkan darah’ orang Dayak, maka orang Madura akan secara sukarela meninggalkan Kalimantan Tengah.12 Akan tetapi kesepakatan perdamaian tersebut gagal mencegah konflik yang terjadi kemudian. Kejadian lebih baru berupa sebuah pertikaian yang melibatkan seorang pengemudi taxi di bulan Januari 1999, berujung dengan tawuran antargolongan di Kumai, pelabuhan di Pangkalanbun, dimana dua orang terbunuh dan beberapa lagi luka
10
Kompas, ‘Warga Pontianak Terperangkap Purbasangka Negatif’, Kompas 29 Oktober 2000. 11 Daftar yang mencatat limabelas benturan antara tahun 1982 dan 2000 telah disusun oleh organisasi orang Dayak, Lembaga Musyawarah Masyarakat Dayak dan Daerah Kalimantan Tengah (LMMDDKT). Daftar tersebut serta dokumen lainnya diterbitkan dalam dua jilid bersampul merah dan umum disebut Buku Merah Jilid 1 dan Buku Merah Jilid 2. Jilid Satu berjudul Konflik Etnik Sampit: Kronologi, Kesepakatan Aspirasi Masyarakat, Analisis, Saran. Yang kedua berjudul Usul Penyelesaian Jalan Tengah Islah/Rekonsiliasi dari Masyarakat Daerah Kalimantan Tengah. 12 Tempo, 11 Maret 2001, hal. 24.
Ha 8
parah.13 Di bulan September 1999 seorang Dayak dan isterinya ditikam oeh seorang Madura di Tumbang Samba.14 Pada bulan Juli 2000 perkelahian kembali pecah di Kumai menyusul pertikaian antara seorang pedagang kayu dengan pekerjanya, dimana seseorang berasal dari Madura dan lainnya adalah orang pribumu Melayu. Perkelahian yang kemudian menyusul melibatkan orang Madura dan orang Melayu setempat yang menimbulkan tewasnya tiga orang dan beberapa rumah dibakar.15 Pembantaian Sampit tahun 2001 dapat lebih langsung dihubungkan dengan kejadian di kota kumuh Kereng Pangi pada bulan Desember tahun 2000. Kereng Pangi terletak di jalan raya sepanjang 220 kilometer yang menghubungi Sampit dengan Palangkaraya dipinggiran daerah pertambangan emas Ampalit yang rentan terhadap kekerasan. Di tahun 1986, pemberian konsesi pertambangan emas seluas 2.500 hektar kepada PT Ampalit Mas Perdana, sebuah joint venture antara Grup Gajah Tunggal yang berbasis di Jakarta dengan sebuah perusahaan pertambangan asal Australia, menimbulkan ketegangan dengan penambang tradisional yang meneruskan kegiatannya secara ilegal. Sampai dengan tahun 1990an, jumlah penambang tersebut telah membengkak menjadi sekitar 3.000 – yang kebanyakan terdiri dari pendatang dari Jawa, Madura dan Kalimantan Selatan. Dari waktu ke waktu perusahaan berusaha membersihakan dearah tersebut dari penambang liar akan tetapi mereka tetap kembali. Di bulan Januari tahun 1997 tindakan lebih tegas dijalankan termasuk pengrusakan terhadap peralatan yang digunakan penambang liar tersebut. Sebagai pembalasan, ratusan penambang membakar habis gedung kantor utama perusahaan dan merusak beberapa kendaraan truk. Tiga karyawan perusahaan menderita luka-luka yang diakibatkan senjata parang. Meski konflik ini tidak berbentuk benturan etnis, namun melibatkan pendatang.16 Dan meski ada berbagai upaya dipihak perusahaan, penambangan liar tetap berjalan didaerah itu. Pada petang hari Jumat 15 Desember 2000, perkelahian pecah disebuah bar karaoke di daerah 13
Kompas, 2 Februari 1999. Kompas, 23 Februari 2001. 15 Kompas, 7,8,9 Juli 2000. 16 Jawa Pos, 25 Januari 1997, Media Indonesia , 31 Januari 1997, Gatra, 15 Februari 1997. 14
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
lampu merah dekat Kereng Pangi. Dalam perkelahian tersebut, seorang Dayak tewas setelah ditikam oleh tiga orang Madura.17 Sekitar tengah malam, ratusan orang Dayak tiba untuk mencari ketiga orang Madura yang telah kabur. Orang Dayak yang kecewa lantas merusak atau membakar setidaknya empat bar karaoke milik orang Madura dan sembilan rumah. Meski 150 bantuan polisi dikirim ke tempat kejadian dari Palangkaraya dan Sampit pada dini hari esoknya, mereka tidak mampu mencegah orang Dayak menyerang dan membakar rumah, mobil, dan sepeda motor milik pendatang Madura sementara toko-toko dan gerai di pasar setempat dijarah dan dirusak. Pada tanggal 17 Desember, orang Dayak terus mencari orang Madura dan empat buah bis milik seorang pengusaha Madura dibakar. Hingga tanggal 18 Desember, ratusan bantuan polisi telah didatangkan berikut sebuah satuan tentara berukuran kompi dan selanjutnya pada pekan itu pasar Kereng Pangi dibuka kembali. Menurut seorang pejabat setempat, tiga orang terbunuh, 28 rumah dibakar dan 10 lagi rusak, dan lebih selusin kendaraan mobil serta sepeda motor dirusak.18 Tetapi menurut beberapa sumber lusinan orang Madura terbunuh.19 Menyusul kerusuhan yang terjadi, sekitar 1.000 orang Madura lari kedalam hutan sekeliling sementara lainnya mencari perlindungan pada pos polisi setempat dan tak lama kemudian diungsikan ke Sampit dan Palangkaraya. Pada akhirnya paling tidak 1.335 orang Madura, yang kebanyakan adalah penambang emas tradisional yang tiba di Kalimantan dalam kurun 15 tahun sebelumnya, dipulangkan ke Madura.20 Kegagalan polisi untuk menangkap ketiga orang Madura yang dituduh membunuh orang Dayak menjadi sumber kekesalan orang Dayak di Kereng Pangi dan Sampit. Selain itu, rasa tidak aman yang dialami orang Madura dipertajam oleh kegagalan polisi untuk melindungi mereka dari serangan orang Dayak.
17
Gambaran ini diperoleh dari Kompas, Jakarta Post dan Banjarmasin Post, 17-19 Desember 2000. 18 Kompas, 12 Januari 2001. 19 Don Greenlees, ‘Bar-room brawl began slaughter’, Weekend Australian, 3-4 Maret 2001; wawancara ICG di Palangkaraya. 20 Kompas, 12 Januari 2001.
Ha 9
B.
PEMBANTAIAN DI SAMPIT DAN AKIBATNYA
Sampit, ibukota kabupaten Kotawaringin Timur dan pusat perdagangan perkayuan di Kalimantan Tengah, adalah sebuah kota berpenduduk sekitar 120.000 orang dan merupakan satu-satunya kota di propinsi itu yang masyarakat Maduranya – yang merupakan sekitar 60 persen dari warga kota – adalah mayoritas. Disinilah rasa tersisihkan paling besar dirasakan oleh orang Dayak pribumi. Namun demikian meski didalam kota orang Dayak merupakan minoritas, dipedalaman sekeliling mereka jauh merupakan sebuah mayoritas. Pada pekan-pekan setelah benturan di Kereng Pangi, masyarakat Madura di Sampit khawatir kerusuhan akan menyebar ke Sampit. Sementara itu orang Dayak mengklaim bahwa orang Madura menyimpan bom rakitan sendiri yang akan digunakan melawan orang Dayak. Keyakinan ini diperkuat oleh sebuah ledakan di daerah orang Madura yang merusak tiga rumah, menewaskan dua orang serta melukai parah empat orang.21 Hingga bulan Januari tersebar kabar burung bahwa akan terjadi kerusuhan etnis di Sampit. Kepala polisi di Sampit bahkan mengakui markas besar polisi nasional di Jakarta sempat menelponnya perihal kabar burung tersebut.22 Tak lama setelah pukul duabelas malam pada tanggal 18 Februari sekelompok orang Dayak menyerang sebuah rumah dan menewaskan lima orang penghuninya yang orang Madura. Orang Madura kemudian melancarkan serangan terhadap sebuah rumah Dayak yang berdekatan dimana dipercaya pembunuh Dayak tengah bersembunyi. Akan tetapi orang Dayak di rumah itu telah ditahan oleh polisi yang selanjutnya menjadikan mereka terdakwa atas pembunuhan terhadap orang Madura tersebut. Orang Madura kemudian membakar rumah orang Dayak lainnya, yang ikut tewas bersama anggota keluarganya dalam kebakaran tersebut.23 Namun menurut Buku Merah Dayak24 kelima orang Madura tersebut terbunuh dalam
21
Banjarmasin Post, 21 Desember 2000. Banjarmasin Post, 2 January 2001. 23 Tempo, 4 Maret 2001, hal. 27-29. Pers Indonesia pada mulanya melaporkan bahwa serangan Dayak menewaskan lima orang Madura yang didahului oleh pembakaran sebuah rumah Dayak. Kompas, 19 Februari 2001. 24 Lihat catatan kaki 9 diatas. 22
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
sebuah pertikaian antar-orang Madura dipersalahkan pada orang Dayak.25
yang
Menyusul benturan-benturan tersebut, orang Madura melakukan penyerangan lebih dahulu dan menurut berbagai cerita membunuh antara 16 hingga 24 orang Dayak. Mengantisipasi serangan balik orang Dayak, orang Madura menjaga jalanan yang secara efektif dikuasai mereka. Akan tetapi cerita selanjutnya diperdebatkan. Menurut Buku Merah dan sumber Dayak lainnya, pada 19 Februari spanduk-spanduk dipajang yang bertuliskan slogan seperti ‘Kota Sampit adalah Sampang kedua’ (Sampang adalah sebuah kota di Madura), ‘Selamat Datang di sebuah kota Madura’, serta ‘Sampit adalah Serambi Mekah’. Pada saat yang bersamaan pemuda Madura berarak keliling kota diatas sepeda motor sambil berteriak ‘Dimana jagoan Dayak?’, ‘Orang Dayak Pengecut’, dan ‘Dimanakah Panglima Burung’ (yang dimaksud adalah seorang panglima magis Dayak yang konon muncul pada saat krisis).26 Dilain pihak beberapa orang Madura menyangkal adanya spanduk seperti tersebut diatas dan bahwa ada pawai ‘kemenangan’. Beberapa lainnya menyatakan bahwa spanduk memang dipasang diberbagai sudut kota, namun oleh orang Dayak dan bukan orang Madura, sebagai cara untuk memprovokasi orang Dayak agar bertindak keras terhadap orang Madura.27 Akan tetapi ‘penguasaan’ orang Madura terhadap kota Sampit hanya berlangsung selama dua hari. Sebagai reaksi terhadap pembunuhan orang Dayak dan sikap mengancam yang diperlihatkan orang
25
‘Kronologis Konflik Kerusuhan Antar Etnis di Sampit’, alinea 13-14, Buku Merah, Jilid 1. Kronologi peristiwa menurut sudut pandang orang Madura disampaikan dalam Dari Ratap Menuju Harap. Tragedi Pembantaian Etnis Madura di Sampit (18 Februari 2001), diterbitkan oleh Ikatan Keluarga Madura, Kotawaringin Timur, Surabaya, 8 Mei 2001. 26 ‘Kronologis Konflik Kerusuhan Antar Etnis di Sampit’, alinea 19, dan ‘Latar Belakang Terjadinya Persitiwa Kerusuhan Etnis di Kalimantan Tengah,’ Buku Merah, Jilid 1; Kaukus Kalimantan (Jakarta), surat yang dikirim kepada Menteri Koordinator Bidang Politik , Sosial dan Keamanan, yang ditandatangani Let.Jen.(purn) Z.A.Maulani dan H.M. Hartani Mukti, SH, tertanggal 11 Maret 2001. Versi ini juga didukung oleh seorang anggota DPR RI non-Dayak yang diwawancarai oleh ICG. 27 Wawancara ICG dengan tokoh Madura di Madura, Banjarmasin, dan Jakarta, termasuk seorang pemuka Madura dari Sampit.
Ha 10
Madura, ribuan orang Dayak – serta orang nonMadura lainnya – melarikan diri dari kota tersebut dan menyebarkan berita mengenai kejadian tersebut ke desa-desa di pedalaman dan kota-kota kecil yang terletak sepanjang jalan menuju Palangkaraya. Pada petang tanggal 20 Februari, orang Dayak yang marah mulai kembali ke Sampit bersama pendukung mereka dari pedalaman dalam suatu upaya untuk merebut kekuasaan atas kota Sampit. Sementara polisi menjaga jalan-jalan utama, banyak orang Dayak berdatangan melalui Sungai Mentaya dan menembus hutan rimba sekeliling serta melalui jalan-jalan samping. Dalam beberapa jam saja rumah orang Madura sudah mulai dibakar, orang Madura dibunuh dan acapkali dipenggal kepalanya, dan ribuan lainnya melarikan diri kedalam hutan atau ke ibukota propinsi Palangkaraya serta tempat perlindungan lainnya. Pada malam tanggal 21 Februari, beberapa truk bermuatan pemuda Dayak terlihat berkeliling kota sambil menyandang kepala yang dipenggal dari korban orang Madura. Sementara gerombolangerombolan orang Dayak menghalang jalan-jalan keluar Sampit, sebanyak 10.000 orang Madura masuk ke hutan dan sekitar 23.000 orang akhirnya mencari perlindungan di kantor bupati serta di markas polisi.28 Pembantaian di Sampit merupakan isyarat bagi orang Dayak di daerah sekitar untuk menyerang orang Madura. Pada hari Minggu tanggal 25, sepekan setelah letusan di Sampit, orang Dayak dipedalaman membawa konflik ke ibukota propinsi, Palangkaraya. Orang Dayak mulai membakar rumah-rumah Madura akan tetapi tidak banyak terjadi pembunuhan karena sebagian besar orang Madura telah melarikan diri.29 Pada hari yang sama, 118 orang Madura dibantai dikota kecil Parenggean ketika pengawal polisi mereka melarikan diri saat berhadapan dengan gerombolan massa besar orang Dayak.30 Sekitar 20.000 orang Madura dilaporkan terperangkap di pelabuhan Samuda yang terletak sekitar 40 kilometer diselatan Sampit. Ketika kapal tiba untuk mengangkut mereka ke Jawa, banyak pengungsi terbunuh setelah tersesat dalam sebuah kota yang
28
Tempo, 11 Maret 2001, hal. 21. Kompas, 26 Februari 2001. Menurut laporan hanya enam orang Madura dan satu orang Dayak terbunuh di Palangkaraya. Buku Merah, jilid 1. 30 John Aglionby, ‘Denial follows Borneo massacre wake’, The Guardian, 3 Maret 2001. 29
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
Ha 11
mereka tidak kenali.31 Pada awal bulan Maret, pengungsi dalam jumlahan yang besar tengah menanti dievakuasi di Pangkalanbun, Kualakapuas dan Muarateweh.32
telah dimusnahkan.38 Akan tetapi secara umum diyakinkan – tanpa adanya bukti kuat - bahwa lebih banyak lagi orang Madura yang terbunuh dan mayatnya ditinggalkan di hutan rimba.39
Pada akhir pekan pertama bulan Maret hampir semua orang Madura di bagian propinsi yang terkena disekitar Sampit dan Palangkaraya telah dievakuasi. Setelah reda sejenak, kekerasan baru pecah ketika orang Dayak dari Sampit dan Palangkaraya bergerak menuju Kualakapuas diselatan propinsi dimana konon 18 orang terbunuh di kota-kota sekitar.33 Akibatnya dalam beberapa hari saja hampir semua dari 5.000 orang Madura yang berada di daerah tersebut telah dievakuasi ke Banjarmasin, ibukota Kalimantan Selatan, dalam perjalanan kembali ke Madura. Akhirnya pada awal bulan April kekerasan pecah di Pangkalanbun dan pelabuhannya, Kumai. Pemimpin Dayak menetapkan tanggal akhir bagi semua orang Madura untuk meninggalkan Pangkalanbun, akan tetapi saat itu pemerintah bersikap tegas dan menyatakan akan melindungi orang Madura yang masih tertinggal di propinsi tersebut Tetapi dari jumlah 45.000 warga Madura di Pangkalanbun, 20.000 sudah berangkat menuju Jawa Timur.34
Kekerasan yang dilakukan terhadap pengungsi tidak berakhir dengan keberangkatan mereka dari Kalimantan Tengah. Tidak semua pengungsi berasal dari Madura. Bukannya tidak ada perkawinan campur antara orang Dayak dan orang Madura, dan beberapa orang Dayak memilih untuk ikut isteri mereka serta sanak keluarga lainnya ke Surabaya dan selanjutnya ke Madura. Dua pria Dayak seperti itu menjadi sasaran pembunuhan balasan di Ketapang, Madura, dimana mereka tidak saja dibunuh, bahkan seperti yang terjadi pada banyak orang Madura di Kalimantan Tengah, kepala merekapun dipenggal.40
Hingga pertengahan bulan April diperkirakan sekitar 108.000 pengungsi, sebagian besar orang Madura, telah lari dari Kalimantan Tengah, dengan kebanyakan dari mereka menuju Madura atau bagian lain Jawa Timur.35 Arus pengungsi tersebut menjadi beban bagi sumberdaya propinsi tersebut.36 Perusahaan pelayaran milik negara PELNI memobilisasikan enam kapal guna melakukan tugas ini sementara pengungsi lainnya dievakuasi dengan menggunakan kapal AL. Selain lari ke Jawa, pengungsi lainnya pergi menuju Kalimantan Selatan dan propinsi sekitar lainnya. Hingga awal bulan Maret jumlah yang terbunuh di daerah tersebut mencapai 469, dimana 456 darinya adalah orang Madura.37 Menurut polisi, 1.192 rumah dibakar dan 748 lainnya rusak. Enambelas kendaraan mobil, 43 sepeda motor dan 114 becak
C.
USAHA UNTUK MENJELASKAN PEMBANTAIAN
Sebagaimana lazim terjadi pada hampir semua kasus kekerasan etnis, pelaku maupun korban masing-masing memberi penjelasan yang saling bertentangan secara radikal mengenai sebabmusabab kejadian. Namun demikian ada satu hal yang jelas. Permusuhan antara masyarakat Dayak dan masyarakat Madura tertanam dalam, dan hubungan antara kedua masyarakat tersebut menjadi sangat tegang setelah peristiwa pembunuhan di Kereng Pangi. Secara umum orang Dayak mengatakan bahwa pembantaian merupakan reaksi spontan orang Dayak terhadap kejadian-kejadian pada 18-20 Februari ketika Sampit ‘dikuasai’ orang Madura. Antara 16 dan 24 orang Dayak terbunuh oleh orang Madura ketika mereka membalas serangan Dayak terhadap orang Madura. Bila memang terjadi, maka tidak kalah provokatif adalah terpampangnya spanduk, serta teriakan slogan-slogan yang sangat menyinggung perasaan orang Dayak. Khawatir terhadap keselamatan nyawa mereka, ribuan orang Dayak melarikan diri dari kota tersebut serta menyebarkan berita didaerah pedalaman dimana
31
Pembicaraan ICG di Samuda, April 2001. Kompas, 4 Maret 2001. 33 Tempo, 1 April 2001, hal.35 34 Tempo, 15 April 2001, hal. 36. 35 Jakarta Post, 21 April 2001. 36 Kompas, 8 Maret 2001. 37 Tempo, 11 Maret 2001, hal. 21 32
38
Jakarta Post, 8 Maret 2001. Seorang anggota DPR RI non Dayak mengisyaratkan kepada ICG bahwa angka sesungguhnya mungkin mendekati 2000. Seorang tokoh Madura dari Sampit memberitahukan ICG bahwa 5000 orang tewas. 40 Kompas, 8 Maret 2001. 39
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
konon para tetua Dayak berkonsultasi dengan arwah nenek moyang mereka dan mendapatkan persetujuan untuk ‘berperang’ melawan orang Madura. Seusai ritual agama dimana arwah para panglima perang masa lampau diterima oleh mereka, bersenjatakan mandau (sejenis pedang) dan tombak, orang Dayak ‘tradisional’ yang amarahnya telah memuncak berangkat untuk merebut Sampit dari tangan orang Madura.41 Konon orang Dayak yang turun ke Sampit kerap terlihat berada dalam keadaan kesurupan.42 Tidak dibedakan antara pria, wanita, maupun anak-anak dalam menjalankan tugas khusus mereka untuk membersihkan kota itu dari orang Madura. Di kota-kota lebih kecil serta desa-desa didaerah itu, orang Madura semakin tidak berdaya terhadap gelombang serangan Dayak. Penjelasan ‘kespontanan’ tersebut diragukan oleh mereka yang mempertanyakan cepatnya orang Dayak bermobilisasi sebagai reaksi terhadap peristiwa di Sampit, dan mereka curiga bahwa serangan Dayak terhadap orang Madura telah direncanakan sebelumnya.43 Ada isyarat bahwa beberapa politisi Dayak tertentu saat itu tengah berupaya mencari dukungan politik dengan menghasut sentimen anti-Madura. Di pertengahan bulan April Profesor H. KMA. Usop, mantan rektor pada Universitas Palangkaraya yang kini menjabat ketua Presidium LMMDD-KT dan merupakan calon PDI-P yang kalah dalam pemilihan gubernur di tahun 2000, dipanggil ke Jakarta untuk diinterogasi oleh polisi dan selanjutnya ditahan sehubungan tuduhan bahwa ia membakar kebencian orang Dayak terhadap orang Madura dan karenanya secara tidak langsung memicu kerusuhan yang terjadi.44 Pada tanggal 12 Mei ia dikenakan tahanan rumah dan diizinkan
41
Pandaya, ‘Dayak Katingan Community offer gesture of peace,’ Jakarta Post, 29 April 2001. 42 Akan tetapi informan Madura mengamati bahwa kesurupan atau tidak - orang Dayak selalu dapat membedakan antara orang Madura dengan orang non Madura. Wawancara ICG. 43 Pertanyaan serupa timbul setelah pembantaian orang Madura oleh orang Dayak di kabupaten Sambas di Kalimantan Tengah tahun 1997. ‘Salah satu misteri mengenai pembunuhan bulan Januari dan Februari adalah betapa cepatnya para Dayak bermobilisasi serta koordinasi yang mereka perlihatkan pada daerah yang luas dengan jalanan buruk dan sedikit telpon’. Richard Lloyd Parry, What Young Men Do. Granta, hal.107. 44 Banjarmasin Post, 20 April 2001.
Ha 12
pulang ke Palangkaraya dimana ia disambut sebagai pahlawan.45 Tuduhan-tuduhan terhadap Usop timbul setelah interogasi tehadap dua pejabat Dayak pemerintahan kabupaten – yakni Pedlik Asser dan iparnya Lewis – yang diidentifikasi sebagai ‘provokator’ bahkan sebelum pembantaian terhadap orang Madura dimulai pada tanggal 20 Februari.46 Menurut polisi, Pedlik dan Lewis disebut-sebut oleh sekelompok orang Dayak yang dituduh melakukan pembunuhan awal terhadap lima orang Madura pada 18 Februari. Menurut polisi Pedlik Asser dan Lewis membayar Rp. 20 juta ($2.000) untuk membawa kelompok ini dari kecamatan asal mereka dekat perbatasan Kalimantan Barat ke Sampit. Setelah perjalanan menelusuri sungai selama dua hari, 38 orang Dayak pedalaman itu tiba di Sampit dan menurut polisi bertanggung jawab atas pembunuhan terhadap lima orang Madura. Sebagaimana ditutur diatas, mereka menuju ke rumah seorang Dayak yang tak lama kemudian dikelilingi oleh orang Madura yang berang. Mendapat laporan bahwa ada rumah yang diserang, polisi turun tangan dan menyelamatkan penghuni rumah tersebut – yang mengagetkan mereka karena ternyata berjumlah 38 orang. Demi keselamatan mereka dibawa ke Palangkaraya dimana ditemukan bahwa mereka tidak saja menyandang senjata tradisional Dayak bahkan mandau mereka dilumuri darah. Polisi secara tidak sengaja telah menemukan orang Dayak yang memulai putaran pembunuhan yang akhirnya berkembang menjadi pembantaian besarbesaran setelah tanggal 20 Februari.47 Pedlik Asser adalah sekretaris LMMDD-KT cabang Sampit dan dipimpin pada tingkat propinsi oleh propinsinya, Profesor Usop. Mereka samasama menyandang sikap negatif terhadap orang Madura. Menurut polisi, Pedlik juga dimotivasi oleh kekecewaannya karena dilewatkan saat ada pergantian posisi atas dalam pemerintahan kabupaten setelah pemberlakuan otonomi daerah pada Januari 2001. Dalam restrukturisasi tersebut, jumlah kedudukan pada tiga golongan PNS teratas
45
Banjarmasin Post, 13 Mei 2001. Kompas, 20 Februari 2001, Jakarta Post, 20, 21 Februari 2001. Pedlik Asser (kerap dieja Fedlik Asser dalam pers) menjabat kepala divisi pada Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi dan Lewis adalah pejabat pada Dinas Kehutanan. 47 Wawancara ICG dengan seorang perwira polisi senior. 46
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
diciutkan dari duapuluh menjadi sepuluh, ditambah pula kesepuluh pejabat yang ditunjuk semuanya Muslim, sementara Pedlik dan iparnya adalah orang Kristen. Kesepuluh pejabat tersebut sedianya dilantik pada tanggal 19 Februari, yaitu sehari setelah kerusuhan pecah.48 Menurut polisi pula, orang Dayak yang ditahan hendak membalas terbunuhnya seorang Dayak – yang juga seorang Kristen – di Kereng Pangi di bulan Desember.49 Meski Pedlik tampaknya merasa gundah atas penyisihan non-Muslim dari posisi atas birokrasi, namun demikian dapat ditegaskan dengan penuh keyakinan bahwa pembantaian tidak utama dimotivasikan oleh sentimen agama. Sikap antiMadura sama berlaku bagi orang Dayak Muslim – seperti tokoh Dayak Profesor Usop – maupun orang Dayak Kristen. Kunjungan-kunjungan ICG ke daerah Sampit dan Palangkaraya setelah peristiwa kerusuhan menunjukkan banyak bangunan masjid tetap utuh ditengah puing-puing terbakar rumah orang Madura maupun bangunan lainnya yang dimiliki dengan orang Madura. Hal ini tentunya tidak mengherankan karena bagian besar dari masyarakat Dayak adalah Muslim. Bagaimanapun, benturan awal di bulan Desember yang terjadi disebuah bar karaoke di daerah lampu merah Kereng Pangi agaknya bukan latarbelakang yang biasa bagi awalan sebuah pertikaian antaragama. Akan tetapi tuduhan-tuduhan yang diarahkan kepada Pedlik Asser dan Lewis masih harus dibuktikan dipengadilan, namun bila ternyata benar, hal tersebut menunujukkan bahwa beberapa pemuka Dayak tertentu menyokong kekerasan terhadap orang Madura. Tetapi belum tentu bahwa yang ada dibenak mereka adalah pembantaian yang sebenarnya terjadi dan pembersihan etnis pada seluruh propinsi. Hingga kini belum ada penjelasan mengenai motivasi dibalik pembunuhan terhadap lima orang Madura pada dini hari tanggal 18 Februari. Apakah mereka merupakan musuh pribadi beberapa pemuka Dayak tertentu, ataukah mereka dipilih secara acak – sebagaimana dituturkan seorang perwira polisi senior – untuk menimbulkan gejolak? Dan bila tujuannya menimbulkan gejolak, maka sangat mungkin bahwa maksudnya adalah mencapai sebuah tujuan politik setempat – seperti mempermalukan
48 49
Tempo, 11 Maret 2001 Gatra, 17 Maret 2001
Ha 13
pimpinan politik di tingkat kabupaten atau bahkan propinsi – ketimbang mengusir semua orang Madura dari propinsi tersebut. Mungkin saja sebuah keributan terbatas yang terencana berkembang diluar kendali sehingga timbul akibat yang tidak pernah terbayangkan oleh para ‘provokator’. Benar atau tidak bahwa Usop atau pemimpin Dayak lainnya memang menghasut kerusuhan tersebut, yang jelas adalah bahwa kebanyakan dari mereka tidak berbuat apa-apa untuk mencegah terjadinya pembantaian setelah kerusuhan mulai. Wawancara ICG dengan pemimpin Dayak menemukan bahwa pimpinan Dayak tidak menunjukkan penyesalan atas kejadian yang berlalu. Apakah memang terencana dari awal sebagai ‘pembersihan etnis’ atau tidak, banyak pemimpin Dayak tampaknya menyambut baik kesempatan mengeluarkan orang Madura dari propinsi tersebut. Kepada orang Madura disampaikan bahwa mereka tida ada pilihan lain kecuali meninggalkan propinsi tersebut, karena pemimpin Dayak bersikeras mereka tidak lagi dapat membendung massa Dayak yang marah. Memang beberapa pemuka Dayak dikemudian hari mendukung upaya pemerintah untuk melindungi pengungsi Madura, akan tetapi dengan syarat bahwa orang Madura dievakuasikan dari propinsi tersebut.
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
III. KINERJA PASUKAN
KEAMANAN Sejak tahun 1999 polisi dipercayakan untuk menjalankan keamanan dalam negeri sementara angkatan darat serta cabang militer lainnya bertanggung jawab atas pertahanan.50 Namun demikian polisi diperbolehkan meminta bantuan militer apabila mereka tidak mampu menangani suatu tantangan secara tersendiri. Dalam hal tersebut, pasukan tentara dipindahkan kebawah komando kepala polisi setempat. Akan tetapi beberapa pengamat mencatat bahwa polisi seringkali enggan meminta bantuan militer karena dengan demikian tersirat bahwa polisi tidak mampu menangani situasi.51 Dipihak lain, polisi mengisyaratkan bahwa militer kadang kala lamban dalam menjawab permintaan polisi akan bantuan, dengan maksud agar kegagalan polisi lebih menonjol.52 Di Kalimantan Tengah, polisi ternyata terbukti tidak mampu mencegah berkembangnya kerusuhan Sampit menjadi pembantaian sementara bantuan tentara, apapun alasannya, lamban diberikan. Pada bulan Desember polisi berhasil meredam kekerasan di Kereng Pangi. Bantuan polisi dengan cepat dikirim ke daerah tersebut dan sebuah satuan tentara berukuran kompi (sekitar 100 orang) tiba tiga hari setelah pecahnya kerusuhan.53 Dalam menangani kerusuhan tersebut polisi menggunakan pendekatan persuasif. Khawatir bahwa penembakan terhadap perusuh Dayak akan memicu kekerasan yang tak terkendali, polisi memusatkan perhatiannya untuk mencegah penyebaran kerusuhan sementara ‘menyapu’ daerah tersebut untuk mencari senjata tajam. Setelah gagal menangkap ketiga orang Madura yang membunuh orang Dayak, polisi ingin
50
Indonesia: Keeping the Military Under Control, ICG Asia Report N°9, Jakarta.Brussels, 5 September 2000, hal. 4. 51 Wawancara ICG di Palangkaraya. Agaknya kurang ada saling hormat-menghormati antara polisi dan tentara di Kalimantan Tengah. Dalam suatu pembicaraan dengan ICG, menurut seorang perwira polisi menengah di Palangkaraya angkatan darat tidak hanya berada dibalik konflik etnis di Kalimantan Tengah bahkan juga bertanggung jawab atas semua konflik antar agama dan antar etnis di Indonesia dengan tujuan menciptakan kondisi yang memungkinkan dikembalikannya kekuasaan politik militer. 52 Wawancara ICG dengan perwira polisi. 53 Banjarmasin Post, 19 Desember 2000.
Ha 14
menghindari memprovokasi orang Dayak lebih lanjut karena menangkap perusuh Dayak.54 Reaksi polisi terhadap kerusuhan di Sampit – kota yang jauh lebih besar daripada kota kecil Kereng Pangi – jauh kurang efektif. Perwira polisipun mengakui bahwa intelijen yang mereka peroleh tentang masyarakat Dayak sangat kurang.memadai. Perwira polisi bagian intelijen kebanyakan berasal dari luar Kalimantan, terutama dari Jawa, dan pengenalan mereka terhadap bahasa Dayak dan masyarakat Dayak sangat kurang. Tanpa persiapan yang memadai, mereka tidak mampu mencegah terjadinya rangkaian pembunuhan pada tanggal 18 Februari yang menjadi latar belakang bagi pembantaian dikemudian waktu. Akan tetapi seperti diuraikan sebelumnya, polisi sedikit banyak secara tak sengaja – ‘dengan pertolongan Tuhan’ sebagaimana diungkapkan seorang perwira – menahan 38 orang Dayak yang tampaknya bertanggung jawab atas pembunuhan lima orang Madura. Mereka kemudian dibawa ke Palangkaraya dimana sejumlah demonstran dipimpin Profesor Usop dari LMMDD-KT menuntut agar mereka dibebaskan. Akhirnya karena Kapolda tidak berada ditempat melainkan masih di Sampit, wakilnya serta sekda propinsi dijadikan sandera dan dipaksa mengizinkan pembebasan bersyarat bagi para tahanan yang selanjutnya segera melarikan diri.55 Meski menurut orang Dayak polisi merampas senjata orang Dayak sementara orang Madura tidak ditindak,56 pada kenyataannya sekitar 18 orang Madura telah ditangkap, termasuk seorang yang masih ditahan sehubungan dengan pembunuhan terhadap orang Dayak pada tanggal 18 Februari.57 Di Sampit polisi segera hilang kendali sementara orang Dayak menguasai kota tersebut. Pada mulanya hanya 300 anggota polisi ditugaskan di Sampit dan kebanyakan dari mereka tersebar diantara duapuluh pos polisi yang terdapat di kota tersebut.58 Diawal pekan itu, bahkan setelah
54
Wawancara ICG dengan perwira polisi. Wawancara ICG dengan perwira polisi. 56 Pernyataan yang dikeluarkan Presidium LMMDD-KT pada tanggal 21 Februari 2001. 57 Wawancara ICG dengan seorang perwira polisi senior dan seorang pemuka Madura dari Sampit. Orang Madura yang ditahan sehubungan pembunuhan orang Dayak masih merupakan kerabat dari keluarga yang terbunuh dalam serangan Dayak pertama. 58 Sumber polisi. 55
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
tibanya bantuan, Kapolda Brig.Jen. Bambang Pranoto mengakui bahwa ke 900 orang dibawah komandonya tidak berkutik menghadapi ribuan orang Dayak dari pedalaman yang membanjiri kota tersebut.59 Banyak pengamat mencatat bahwa pasukan keamanan tidak melalukan apapun untuk menghentikan kekerasan.60 Rumah-rumah dibakar tanpa dihalang dan banyak truk bermuatan orang Dayak bersenjata dibiarkan melalui pos pemeriksaan polisi sementara rintangan jalan yang dipasang orang Dayak tidak dibongkar. Meski telah diberlakukan jam malam, tidak ada tindakan untuk memaksakannya. Ketimbang upaya untuk menghentikan kekerasan, pada hari-hari pertama kepala polisi justru memusatkan perhatiannya untuk menjaga gedung-gedung pemerintahan dimana sekitar 13.000 orang Madura tengah berlindung. Polisi juga disibukkan menyelamatkan orang Madura di desa-desa terpencil diluar Sampit.61 Bantuan tidak segera tiba dari Banjarmasin dan Jakarta. Pada tanggal 21 Februari satu kompi (120 orang) dari pasukan paramiliter polisi, yaitu Brimob sudah berada di Sampit ditambah dengan tiga kompi lagi sementara satu kompi dikirim ke Palangkaraya.62 Hingga 22 Februari jumlah kekuatan pasukan keamanan seluruhnya di Sampit adalah sembilan kompi (1.080 orang) termasuk dua kompi dari angkatan darat.63 Tampaknya bantuan pokok baru tiba pada pekan kedua ketika empat batalyon angkatan darat dan satu batalyon Brimob dikirim ke Kalimantan Tengah.64 Menurut jurubicara TNI Marsekal Muda Graito Usodo,
59
Rajiv Chandrasekaran, ‘Savage Attacks Terrorize Migrants on Borneo’, 23 Februari 2001; Kompas, 23 Februari 2001. 60 Bahwa pemerang Dayak memiliki kekuatan magis diyakini secara meluas di Kalimantan, tidak hanya oleh orang Dayak sendiri. Mungkin saja banyak anggota polisi biasa yang takut terhadap ‘mandau terbang’ dan percaya bahwa orang Dayak kebal terhadap peluru. Seorang politisi non Dayak menjelaskan kepada ICG bagaimana polisi tidak berhasil melindungi orang Madura karena orang Dayak mengutus mandau mereka yang dapat terbang sendiri untuk memenggal kepala musuh mereka. Seorang perwira polisi mengakui kepada ICG bahwa pasukannya kadangkala enggan memasuki daerah-daerah gelap di Sampit pada malam hari. 61 Wawancara ICG dengan perwira polisi senior. 62 Jakarta Post, 22 Februari 2001, Tempo, 4 Maret 2001, hal.27. 63 Kompas, 23 Februari 2001, Tempo, 11 Maret 2001, hal. 20. 64 Jakarta Post, 2 Maret 2001. Menurut sumber militer, dua batalyon AD berasal dari Jawa, satu dari Banjarmasin sementara satu sudah ada di Palangkaraya.
Ha 15
sebelumnya tidak mungkin mengangkut pasukan segera ke Sampit karena AU memiliki hanya beberapa pesawat angkutan Hercules yang dapat digunakan.65 Diluar Sampit kinerja polisi dalam melindungi orang Madura juga lemah. Sebagaimana telah disebut diatas, pada hari Minggu tanggal 25 di kota kecil Parenggean, sebuah kontingen kecil polisi yang tengah mengawal satu konvoi pengungsi Madura melarikan diri ketika dihadang gerombolan massa Dayak bersenjata yang selanjutnya membantai ke 118 pengungsi tersebut.66 Kemampuan polisi untuk mengendalikan kekerasan jelas terbatas. Menurut Kapolri Jenderal Surojo Bimantoro, pada saat pecahnya kekerasan di Sampit, jumlah keseluruhan anggota polisi yang ditugaskan di seluruh propinsi hanya sebanyak 3000 orang.67 Di kabupaten Kotawaringin Timur – yang luasannya lebih besar dari Jawa Tengah – sebagian besar polisi tersebar di pos-pos kecil yang masing-masing terdiri dari 5-6 orang.68 Polisi terhalang dalam upayanya mengumpulkan bahan intelijen mengenai gerak-gerik orang Dayak serta dalam mencegah orang Dayak mendatangi kota Sampit karena orang Dayak yang suka pergi melalui hutan ketimbang melalui jalan raya. Pasukan keamanan tampaknya juga enggan bertindak tegas terhadap massa perusuh. Baik perwira polisi maupun AD senantiasa bersikeras bahwa mereka enggan melepaskan tembakan kearah massa karena takut dituduh melanggar hak asasi manusia atau memprovokasi massa yang sudah marah hingga melakukan kekerasan yang lebih dahsyat.69 Namun demikian polisi pada beberapa kesempatan melepaskan tembakan kearah perusuh, termasuk di Palangkaraya dimana lima orang tertembak mati ketika sedang melakukan penjarahan.70
65
Kompas, 2 Maret 2001. AFP, 28 Februari 2001. 67 Kompas, 4 Maret 2001. 68 Jawa Pos, 4 Maret 2001. 69 Perbincangan ICG dengan perwira polisi dan AD. 70 Media Indonesia, 2 Maret 2001. Keengganan polisi untuk melepaskan tembakan kearah orang Dayak diindikasikan dalam perlawanan terhadap perintah Kapolda untuk menembak perusuh ditempat. Kepala polisi setempat di Kapuas mengakui bahwa ia telah ditegur oleh Kapolri karena tidak melakukan tembakan. Konon ia berkata, ‘Saya 66
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
Meski polisi gagal mencegah terjadinya pembantaian di Sampit, mereka menangkap sejumlah orang Dayak yang dituduh terlibat dalam kerusuhan. Pada awal bulan Maret, 196 orang telah ditahan.71 Hingga awal bulan Mei jumlah ini bertambah menjadi 233 dan 98 berkas telah dikirim ke kantor Kejaksaan Agung untuk proses penuntutan.72 Pada bulan Maret para demonstran Dayak menuntut dilepasnya 84 orang Dayak yang menurut Kapolda bertanggung jawab atas tindakan ‘pembunuhan dan pembakaran’, akan tetapi pada saat itu mereka tidak dibebaskan.73 Seorang perwira polisi senior menjelaskan kepada ICG bahwa sangat sulit menjatuhkan dakwaan pembunuhan kepada para perusuh kecuali pembunuhan tersebut disaksikan langsung oleh polisi. Biasanya polisi hanya menemukan mayat tanpa kepala.74 Sebagian besar tahanan ditangkap karena menyandang senjata. Anggota pasukan keamanan juga dituduh memanfaatkan keadaan putus asa para pengungsi Madura guna memeras uang dari mereka. Para pengungsi mengeluh bahwa untuk ikut diangkut naik truk dari Sampit menuju pelabuhan di Samuda sejauh 40 kilometer mereka diharuskan membayar Rp. 1,5 juta ($150) per truk kepada polisi. Pembayaran harus pula dilakukan ketika meninggalkan kamp pengungsi dan sekali lagi saat memasuki pelabuhan. Anggota polisi juga menawarkan membeli kendaraan mobil dan sepeda motor milik para pengungsi dengan harga yang dibanting. Seorang pengusaha asal Madura melepaskan kendaraan jeepnya yang model akhir senilai Rp.200 juta ($20.000) hanya dengan harga Rp.10 juta ($1.000).75 Kinerja pasukan keamanan mencapai titik terendah ketika polisi dan AD saling baku tembak di pelabuhan Sampit. Sebuah batalyon AD ditugaskan menjaga keamanan pelabuhan sementara sebuah pasukan gabungan – termasuk anggota polisi, AD dan pemerintahan sipil Sampit – bertugas mengangkut pengungsi ke pelabuhan. Karena
Ha 16
kapal sudah penuh, sebuah jeep pribadi bermuatan sekitar selusin orang pengungsi dibawah kawalan anggota Brimob dihentikan oleh penjaga AD. Sebagaimana dituturkan seorang pengungsi, ‘Kami sudah membayar perwira polisi agar dapat naik kapal meski tampaknya sudah sarat, akan tetapi kami tidak diperbolehkan naik oleh tentara’. Disuruh kembali oleh tentara, anggota Brimob kemudian memobilisasi rekan-rekannya guna menyerang tentara yang menjaga kapal. Dalam beberapa saat anggota AD dan polisi mulai saling menembak. Pada sore hari masih ada tembakan yang dilepaskan. Akibat kejadian tersebut seorang tentara tewas dan tiga tentara serta tiga polisi mengalami luka berat. Seorang tidak dikenal, kemungkinan pengungsi, ikut terbunuh.76 Untuk mencegah pertempuran lebih lanjut antara tentara dan polisi, kedua pasukan segera diganti penugasannya. Tentara ditugaskan di Palangkaraya sementara polisi di Sampit.77 Brimob dikritik lebih lanjut pada tanggal 8 Maret ketika Presiden Abdurrahman mengunjungi Palangkaraya. Presiden disambut oleh para demonstran yang menamakan diri Gerakan Anti Madura, yang menuntut agar orang Madura tidak diizinkan kembali ke Kalimantan Tengah kecuali, seperti terpampang pada salah satu spanduk mereka, ‘mereka mampu melepaskan budaya kekerasan mereka’.78 Setelah presiden meninggalkan tempat para demonstran tetap mendengarkan pidato-pidato akan tetapi beberapa dari mereka melemparkan botol dan terjadi saling dorong mendorong antara polisi dan demonstran. Tiba-tiba sebuah truk berisi anggota Brimob tiba ditempat dan mulai melepaskan tembakan, sehingga menewaskan lima demonstran. Sebagai pembalasan massa menyerang polisi dan seorang anggota Brimob setempat terbunuh sementara dua lainnya luka parah.79 Pasukan Brimob yang bertanggung jawab atas penembakan tersebut
76
terheran kenapa tembakan saya selalu meleset. Saya dilatih menembak di AS. Tetapi kami hanya dapat menangkap lima dari mereka.’ Jakarta Post, 23 Maret 2001; Kompas 27 Maret 2001. 71 Media Indonesia, 2 Maret 2001. 72 Tempo, 6 Mei 2001. 73 Banjarmasin Post, 12 Maret 2001. 74 Wawancara ICG dengan perwira polisi senior. 75 Tempo, 11 Maret 2000, hal. 28, Kompas, 25 Februari 2001.
Kompas, Jakarta Post, 28 Februari 2001, Kompas 1 Maret 2001, Tempo 11 Maret 2001, hal. 25. Seorang perwira polisi senior mengatakan kepada ICG bahwa motivasi Brimob adalah kemanusiaan karena salah seorang pengungsi mengalami luka parah ditombak, dan perlu dievakuasi dini. 77 Jakarta Post, 2 Maret 2001. 78 Kompas, 9 Maret 2001. 79 ‘Kronologis Tragedi Bundaran Besar, Kamis 8 Maret 2001.’ Pernyataan yang dikeluarkan oleh Rahmadi G. Lentam, Lembaga Advokasi Hukum dan HAM, Palangkaraya, Maret 2001.
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
adalah bantuan dari Jakarta. Pengamat pada tempat kejadian mengklaim bahwa mereka tidak melihat suatu apapun yang dapat membenarkan dimulainya penembakan, meski mungkin ada beberapa lemparan batu80 dan polisipun tidak menjelaskan kenapa peluru tajam yang digunakan ketimbang peluru karet. Pada hari berikutnya, sekitar 6.000 demonstran tetap berada di jalanan, beberapa diantaranya bersenjatakan pedang. Mobil Kapolda dan sebuah kendaraan Brimob dibakar dan polisi serta keluarga mereka terpaksa mengungsi di markas kepolisian yang dijaga ketat.81 Pada bulan April pasukan Brimob sekali lagi terlibat dalam apa yang tampaknya merupakan kekerasan berlebihan. Anggota Brimob ditugaskan untuk mencegah orang Dayak dari Sampit pergi menuju Pangkalabun untuk mengusir orang Madura. Pada sebuah kejadian tanggal 6 April tiga anggota Brimob dan seorang Dayak terbunuh dekat pos kilometer 41 dijalan antara Sampit dan Pangkalanbun. Selanjutnya pada hari itu juga pasukan Brimob kembali ke daerah tersebut dimana mereka memukuli warga dan membakar rumah-rumah dalam suatu tindakan pembalasan yang berakibat dua orang Dayak tewas. Bahkan penumpang Dayak dalam bis yang tengah berlalu ikut dipukul. Mengakui bahwa pasukannya telah berlaku ‘emosional’, Kapolda seraya berjanji menarik mereka dari daerah tersebut.82
Ha 17
terbaik tidak ditugaskan disana karena dianggap sebagai pos bagi yang mendekati masa pensiun. Ditempat itu mereka dapat menghasilkan uang dari kegiatan penebangan liar, permainan judi dan jaringan prostitusi. Mereka disana bukan memikirkan keamanan dalam negeri’.85 Namun demikian, meski mengalami kegagalan di Sampit pasukan keamanan menarik pelajaran dari pengalaman tersebut. Meski serangan Dayak terhadap tempat-tempat dimana orang Madura di Kualakapuas dan Pangkalanbun berpusat membunuh beberapa orang Madura dan membakar rumah-rumah, penyebaran kekerasan secara besarbesaran dapat dicegah dan warga masyarakat Madura paling tidak dapat dievakuasi relatif secara tertib dibawah perlindungan polisi.
Kinerja pasukan keamanan telah dikecam secara tajam. Aktivis hak asasi manusia dari Jakarta, Munir, mengklaim bahwa Yayasan Al-Miftah, sebuah organisasi Islam berbasis di Madura dengan cabang di Sampit, pada bulan Januari melapor kepada presiden, polisi serta anggota DPR bahwa masyarakat Madura di Sampit berada dalam keadaan bahaya namun belum ada tindakan pencegahan.83 Mantan panglima ABRI Jenderal Wiranto yang secara kebetulan berkunjung ke Palangkaraya dalam rangka pertemuan olahraga juga melontarkan kritikan terhadap pasukan keamanan karena gagal mengisolasi konflik dengan segera.84 Seorang diplomat negara Barat menunjuk kepada sebab yang lebih mendalam atas kinerja buruk tersebut. Menurutnya, ‘Pasukan yang
80
Wawancara ICG di Palangkaraya. Kompas, 9,10 Maret 2001. 82 Kalteng Pos, 7, 9 April 2001. 83 Tempo, 11 Maret 2001, hal. 24. 84 Media Indonesia, 25 Februari 2001. 81
85
Derwin Pereira, ‘Armed Forces “misread” Kalimantan clashes’, Straits Times (Singapore), 5 Maret 2001.
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
IV. EVAKUASI: SEMENTARA
ATAU TETAP? Pemda tingkat propinsi di Palangkaraya dan tingkat kabupaten di Sampit sebagian besar didominasi oleh orang Dayak. Gubernur propinsi serta sebagian besar staf seniornya adalah orang Dayak atau campuran Dayak, sementara di Sampit bupatinya campuran Jawa dan Dayak (meski musuh-musuh politiknya mengklaim ia memiliki darah Madura). Hanya tiga anggota DPRD propinsi, empat anggota DPRD tingkat II dan dua anggota DPRD kota Palangkaraya berasal dari Madura. Bupati Kotawaringing Timur, Wahyudi K. Anwar, telah berhasil memobilisasi dukungan pemuka masyarakat setempat dan pemuka agama guna mencegah menyebarnya kerusuhan di Kereng Pangi pada bulan Desember dan pada mulanya berusaha melakukan hal yang sama di Sampit pada bulan Februari. Akan tetapi mengalirnya ribuan orang Dayak dari pedalaman ke Sampit dengan tekad membalas dendam terhadap orang Madura berarti bahwa pemuka Dayak yang sudah mapan dikota tidak dapat berbuat banyak untuk mengendalikan suasana sekiranya mereka memang berniat melakukannya. Ketika konflik menyebar, Pemda tingkat propinsi memutuskan untuk mengevakuasi semua orang Madura dari propinsi tersebut.86 Dalam sebuah pernyataan yang disampaikan pada 2 Maret, Gubernur Asmawi Agani mengatakan bahwa kebijakan evakuasi ditempuh setelah berkonsultasi dengan pemuka masyarakat dan dimaksudkan untuk menghindari jatuhnya lebih banyak korban. Ia menegsakan bahwa kebijakan tersebut sifatnya ‘sementara’ dan menyatakan bahwa Kalimantan Tengah ‘senantiasa terbuka dan siap menerima semua golongan etnis yang mampu membuktikan bahwa mereka dapat hidup secara harmonis dan damai dengan warga setempat’.87 Dalam mendukung kebijakan ini, ia menginstruksikan
Ha 18
para bupati untuk bertindak melindungi harta benda milik para pengungsi dan mencegah terjadinya pindah tangan harta tak bergerak.88 Sehari sebelumnya DPRD propinsi menolak usulan untuk mengumumkan keadaan bahaya sipil bagi propinsi dengan alasan pada umumnya keamanan sudah terkendali.89 Pemerintah pusat tidak dapat berbuat banyak kecuali mendukung kebijakan pemerintah propinsi meski Menteri Dalam Negeri Surjadi Sudirdja menegaskan kembali asas bahwa setiap orang Indonesia boleh menetap dimanapun di Indonesia.90 Akan tetapi Menteri Koordinator Bidang Politik, Sosial dan Keamanan Susilo Bambang Yudhoyono berpendapat bahwa kembalinya pengungsi Madura ke Kalimantan Tengah sebaiknya tidak dilakukan secara tergesagesa melainkan tergantung keadaan keamanan setempat.91 Baik Presiden maupun Wakil Presiden tidak mempertanyakan kebijakan tersebut di hadapan umum. Kebijakan tersebut ditolak oleh banyak orang Indonesia yang memandangnya sebagai semacam ‘pembersihan etnis’. Gubernur Kalimantan Selatan Sjahriel Darham mengatakan bahwa orang Madura seharusnya diperbolehkan tinggal di Kalimantan ‘dibawah keamanan ketat’. Pandangan ini didukung oleh Mohamad Noer, seorang Madura dan mantan gubernur di Jawa Timur.92 Beberapa tokoh Madura termasuk Mohamad Noer mengeluarkan pernyataan pada 28 Februari yang bermuatan imbauan agar kebijakan tersebut tidak dilanjutkan dan diupayakan agar mereka diberi kesempatan untuk ‘hidup berdampingan’ sebagaimana telah dilakukannya selama bertahuntahun sebelumnya.93 Kerusuhan di Kalimantan Tengah mulai menyebar setelah Presiden Abdurrahman Wahid meninggalkan Indonesia dalam rangka kunjungannya ke Timur Tengah dan Afrika Utara. Meski ada seruan agar ia menghentikan perjalanannya guna menangani krisis di Sampit, ia
88 86
Keputusan ini dimuat dalam sebuah surat tertanggal 23 Februari yang ditandatangani oleh Wakil Gubernur, Nahson Taway. Jakarta Post, 3 Maret 2001. 87 Pernyataan oleh Gubernur Kalimantan Tengah berjudul ‘Kebijaksanaan Pemerintah Propinsi Kalimantan Tengah dalam Penyelesaian Pertikaian Antar Etnis di Kalimantan Tengah’, 2 Maret 2001. Buku Merah, jilid 1.
Kompas, 3 Maret 2001. Pernyataan Sikap Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Propinsi Kalimantan Tengah. Buku Merah, jilid 1. 90 Jakarta Post, 4 Maret 2001. 91 Bernas, 6 Maret 2001. 92 Jakarta Post, 4 Maret 2001. 93 Pernyataan Kebulatan Tekad Keluarga Besar Masyarakat Madura, 28 Februari 2001. Buku Merah, jilid 1. 89
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
tetap berada diluar negeri hingga awal Maret. Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri mengunjungi Palangkaraya pada tanggal 1 Maret namun tidak ada gagasan baru menyusul kunjungannya. Presiden sendiri melakukan kunjungan singkat ke Kalimantan Tengah pada tanggal 8 Maret dimana ia mengatakan bahwa kerusuhan disebabkan oleh ‘sejumlah kecil orang Dayak’ serta mengumumkan lima langkah yang dimaksudkan untuk memperbaiki berbagai keluhan orang Dayak. Kelima langkah tersebut adalah: !
Pengembalian ‘tanah sakral’ kepada orang Dayak.
!
Rehabilitasi sarana umum, pendidikan dan kesehatan.
!
Pemberian beasiswa bagi anak-anak Dayak – sebanyak 100 buah untuk tingkat sekolah dasar hingga sekolah menengah, dan 100 lagi untuk tingkat universitas.
!
Pembagian beras kepada korban kerusuhan.
!
Pembangunan sebuah gedung pertemuan umum.94
terutama
Sebagaimana disebut diatas, janji yang diberikannya gagal memuaskan banyak pemuka Dayak dan diikuti oleh sebuah demonstrasi menentang kembalinya pengungsi Madura. Dua hari kemudian ia mengunjungi para pengungsi di Madura. Ia berjanji untuk memberi jaminan keamanan bagi mereka yang kembali ke Kalimantan dan menawarkan relokasi di ‘sebuah pulau’ bagi mereka yang tidak ingin kembali. Akan tetapi menurutnya, Menteri Perhutanan akan menginventaris semua ‘tanah tradisional yang dianggap sakral’ oleh orang Dayak dan pendatang yang menghuninya akan ditawarkan tanah ditempat lain.95 Ia juga berupaya meyakinkan pengungsi Madura yang lari menyelamatkan nyawa mereka satu atau dua pekan sebelumnya bahwa ‘Tidak benar bahwa orang Dayak dibilang membenci orang Madura.....Malah pendatang Madura dibilang pembina pembangunan disana’.96 Sebagaimana
94
Kompas, 9 Maret 2001. Kompas, 11 Maret 2001. 96 Jakarta Post, 11 Maret 2001. 95
Ha 19
orang Dayak di Palangkaraya, orang Madura tidak terkesan janji-janjinya. Penilaian presiden mengenai situasi di Kalimantan Tengah secara luas dianggap tidak berkaitan dengan kenyataan yang ada. Meski pimpinan pemerintah tetap menyebut evakuasi adalah ‘sementara’, dan banyak orang Madura sendiri berharap bahwa mereka dapat segera kembali, pada kenyataannya pembersihan etnis telah berhasil dijalankan. Sebagaimana pengungsi Madura yang masih merana di kamp pengungsi di Kalimantan Barat dua tahun sejak pembantaian tahun 1999 di Sambas, maka warga Kalimantan Tengah asal Madura tidak bisa berharap akan segera ‘pulang’. Dalam sebuah upaya untuk mendorong rekonsiliasi diantara kedua masyarakat tersebut, pemerintah pusat mensponsori sebuah pertemuan perdamaian di Jakarta pada 21-22 Maret. Pertemuan dihadiri oleh 136 wakil dari Kalimantan Tengah, ketiga propinsi lain di Kalimantan dan masyarakat Madura di Jawa Timur. Peserta sepakat mengeluarkan sebuah pernyataan luas yang memberi pengakuan atas hak orang Indonesia untuk hidup dimanapun di negeri mereka, meski disebut juga bahwa kembalinya orang Madura ke Kalimantan Tengah hanya dimungkinkan berjalan secara bertahap setelah ada persiapan yang memadai.97 Akan tetapi suasana pada pertemuan tersebut telah dirusak sehari sebelumnya dalam sebuah pertemuan awal dengan Menteri Dalam Negeri ketika seorang utusan asal Madura mencabut pistol dan mengancam pemuka Dayak Profesor Usop. Usop kemudian menarik diri dari pertemuan dan 32 wakil Dayak membatalkan penerbangan mereka ke Jakarta.98 Di akhir pertemuan, kesepakatan damai tersebut disampaikan kepada Wakil Presiden Megawati Soekarnoputri yang mengungkapkan harapannya agar tragedi serupa tidak terulang lagi. Sementara para utusan berkumpul di Jakarta, orang Dayak di Kalimantan Tengah membakar rumah orang Madura yang tengah melarikan diri ke kabupaten Kualakapuas di bagian selatan propinsi. Hingga Mei 2001 orang Madura berada hanya di Pangkalanbun dimana pemda memprakarsai sebuah upacara Islam bercampur adat Dayak untuk menolak bala. Yang ikut hadir bukan saja warga Dayak melainkan orang Melayu serta wakil-wakil 97
Tekad Damai Anak Bangsa di Bumi Kalimantan, 22 Maret 2001. 98 Gatra, 31 Maret 2001.
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
dari masyarakat Madura.99 Di bagian lain di Kalimantan Tengah, orang Dayak juga mengadakan ritual perdamaian namun tanpa dihadiri orang Madura. Menyusul diselenggarakannya serangkaian kongres tingkat kabupaten, sebuah Kongres Rakyat Kalimantan diselenggarakan di Palangkaraya pada 4-7 Juni. Meski didominasi oleh orang Dayak, peserta yang berjumlah 750 orang termasuk wakil dari masyarakat pendatang kecuali orang Madura. Sebagaimana dijelaskan Profesor Usop, salah seorang penggerak kongres, peserta terbagi antara yang ‘bergaris keras’ dan yang ‘bergaris lunak’. Yang bergaris keras menolak mentah-mentah kembalinya orang Madura sementara yang bergaris lunak bersedia menerima mereka kembali asalkan beberapa syarat dipenuhi. Pada akhirnya dianut apa yang oleh Profesor Usop disebut sebagai ‘jalan tengah’. Prioritas akan diberikan kepada orang Madura yang memiliki ikatan keluarga dengan orang Dayak, yang telah bermukim di Kalimantan Tengah paling tidak selama sepuluh tahun, serta yang memiliki pekerjaan tetap dan harta benda di propinsi itu. Namun konsesi tersebut ada syaratnya. Yaitu orang Madura diharuskan meminta maaf kepada orang Dayak atas konflik etnis yang baru terjadi dan membayar denda sesuai adat Dayak.100 Tampaknya tidak banyak orang Madura yang dapat menerima syarat yang diajukan orang Dayak, terutama keharusan meminta maaf untuk sebuah pembantaian dimana orang Madura yang merupakan korban utamanya. Orang Madura yang moderat sepakat bahwa kembalinya mereka harus selektif dan bertahap akan tetapi sikap bermusuhan yang diperlihatkan kelompok garis keras mengisyaratkan bahwa orang Madura yang kembali akan menghadapi risiko yang cukup besar.
99
Banjarmasin Post, 14 Mei 2001. Menanggapi konflik di Kalimantan Tengah, masyarakat Dayak, Madura dan golongan etnis lainnya menandatangani perjanjian perdamaian yang diprakarsai pemerintah di Kalimantan Selatan (Jakarta Post, 30 Maret 2001), kabupaten Ketapang di Kalimantan Barat yang berbatasan dengan Kalimantan Tengah (Kompas, 22 Maret, 2001), dan di Kalimantan Timur (Kompas, 8 Maret 2001). 100 Kompas, Harian Tempo, 8 Juni 2001.
Ha 20
V.
ASAL MULA SAKIT HATI ORANG DAYAK
Konflik etnis di Kalimantan Tengah terjadi dengan latar belakang dislokasi dan penyisihan yang dialami orang Dayak. Terutama dalam tiga dasawarsa masa Orde Baru Presiden Soeharto yang didukung militer, orang Dayak semakin merasakan hilangnya kendali atas kehidupan mereka sendiri. Gelombang raksasa imigrasi menyisihkan orang Dayak di kampung halamannya sendiri sementara industri penebangan kayu yang kian berkembang memaksa orang Dayak yang menghuni hutan untuk pindah atau menganut gaya hidup baru. Pada waktu yang bersamaan, kepemimpinan politik Dayak digeser oleh PNS asal Jawa yang ditunjuk dari Jakarta sedangkan wewenang tradisional dalam masyarakat Dayak terkikis oleh upaya pemerintah pusat untuk menyeragamkan struktur pemerintahan diseluruh Indonesia. Kebudayaan Dayak dianggap ‘terbelakang’ bahkan agama tradisional orang Dayak digolongkan sebagai bentuk agama Hindu.
A.
MIGRASI
Kalimantan telah lama menjadi incaran para pendatang yang mendirikan pos perdagangan dan pemukiman sepanjang daerah pesisirnya. Menghadapi kenyataan itu penduduk Dayak asli lambat laun mundur kepedalaman. Hingga akhir tahun 1970an Kalimantan Tengah tetap memiliki kependudukan yang sebagian besar masih Dayak tetapi migrasi ‘orang luar’ yang disponsori pemerintah berkembang pesat dan telah merubah secara drastis susunan kependudukan propinsi tersebut. Dalam sejarah mereka, orang Dayak tidak menentang masuknya ‘orang luar’ akan tetapi arus masuk yang sangat deras ditahun-tahun belakangan ini menjadikan orang Dayak terancam menjadi minoritas yang menderita di kampung halamannya sendiri. Menurut sensus tahun 2000, jumlah penduduk Kalimantan Tengah sebesar 1.8 juta, sehingga menjadikannya salah satu propinsi terkecil – namun paling pesat pertumbuhannya – di Indonesia.101
101
Jakarta Post, 4 Januari 2001.
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
Kenyataannya penduduk propinsi tersebut menjadi hampir dua kali lipat sepanjang 20 tahun terakhir.102 Sebagaimana di ketiga propinsi di Kalimantan lainnya, pertumbuhan yang sangat pesat di Kalimantan Tengah disebabkan perpindahan penduduk dari daerah lain di Indonesia. Sebagian besar pertumbuhan ini merupakan hasil dari rencana transmigrasi pemerintah yang mendatangkan pemukim yang berasal dari daerah ‘padat’ seperti Jawa, Madura, Bali dan lainnya ke kepulauan yang masih ‘kosong’ dengan dibekali lahan untuk menanam padi dan berbagai tanaman komersil. Transmigrasi yang disponsori pemerintah diiringi oleh migrasi sukarela yang ‘spontan’ ketika orang di Jawa dan daerah lainnya mendapatkan kabar mengenai peluang-peluang di Kalimantan. Pada banyak kasus pendatang ‘spontan’ bergabung dengan sanak keluarga atau tetangga yang telah mengikuti proyek transmigrasi yang resmi. Jumlah masyarakat pendatang semakin berkembang ketika pendatang asli beranak-cucu di kampung halaman baru mereka. Transmigrasi pemerintah dimulai pada awal 1900an ketika Indonesia masih berada dibawah jajahan pemerintah Belanda. Pada mulanya transmigran dikirim ke proyek pertanian di Sumatra. Baru setelah kemerdekaan, pemerintahan Indonesia yang baru mulai membuka proyek transmigrasi baru ke Kalimantan. Selain mengurangi kepadatan penduduk di Jawa, program tersebut didasari keyakinan nasionalis bahwa orang Indonesia semuanya memiliki rasa jatidiri yang sama dan bahwa kesatuan bangsa akan diperkuat oleh bercampurnya golongan etnis yang berlainan. Jumlah yang dikirim ke Kalimantan relatif kecil sebelum berdirinya pemerintah Soeharto yang didominasi militer ditahun 1966-7. Diantara tahun 1953 dan 1968 baru 42.000 transmigran ditempatkan di proyek pertanian diseluruh Kalimantan, dimana hingga tahun 1968 hanya 3.500 transmigran yang datang ke Kalimantan Tengah. Dibawah pemerintahan Soeharto transmigrasi berkembang cukup pesat. Antara tahun 1971 dan 1980 Kalimantan kedatangan lebih dari 100.000 transmigran yang 13.000 diantaranya bertujuan Kalimantan Tengah. Meski angka tersebut terus bertambah, hingga tahun 1980 transmigran dari
102
Kompas, 5 Januari 2001. Selama dua dasawarsa tersebut jumlah penduduk bertambah dari 954.000 menjadi 1.802.000.
Ha 21
program pemerintah hanya merupakan 2 persen dari jumlah penduduk Kalimantan seluruhnya dan hanya satu persen dari jumlah penduduk Kalimantan Tengah.103 Baru setelah tahun 1980 program transmigrasi nasional diperluas dengan jauh lebih peast, tidak saja di Kalimantan melainkan di daerah lain diluar Jawa. Pada setiap dasawarsa setelah tahun 1979 jumlah transmigran yang didatangkan ke Kalimantan Tengah mencapai hampir 180.000 orang. Ketika program transmigrasi ditinggalkan ditahun 2000, jumlah transmigran merupakan 21 persen dari jumlah penduduk Kalimantan Tengah. Untuk melihat dampak keseluruhan dari migrasi tersebut, perlu menambah jumlah anak cucu dari generasi tansmigran sebelumnya serta transmigran’spontan’. Bagian terbesar transmigran ditempatkan di tiga kabupaten – 43 persen di Kapuas, 24 persen di Kotawaringin Barat dan 22 persen di Kotawaringin Timur.104 Tidak ada yang lebih menggambarkan ketidak pekaan pemerintahan Soeharto terhadap dampak sosial dari migrasi massa ketimbang rencana megah presiden untuk membuka proyek pertanian raksasa diatas lahan gambut seluas satu juta hektar di Kalimantan Tengah. Dengan tujuan meningkatkan produksi pangan guna memenuhi kebutuhan penduduk nasional yang kian mengembang, proyek tersebut diluncurkan ditahun 1996 dan diharapkan selesai pada tahun 2002. Menurut rencana, padi serta tanaman lain akan ditanam oleh 316.000 keluarga (atau sekitar 1.7 juta orang) yang akan ditempatkan di proyek tersebut selama kurun waktu lima tahun.105 Jumlah penduduk transmigrasi yang direncanakan tersebut hampir dapat menyamai jumlah penduduk seluruh propinsi pada saat itu,106 dan akan menjadikan orang Dayak sebagai masyarakat minoritas. Beruntung bahwa rencana tersebut runtuh dilibas krisis ekonomi yang melanda Asia Timur di tahun 1997, dan kini hanya melayani 15.000 keluarga yang bercocok tanam diatas lahan
103
Indonesia: The Transmigration Project in Perspective, Washington D.C.: The World Bank, 1988, hal.75 dan data Dinas Transmigrasi, Palangkaraya. 104 Data diperoleh dari Dinas Transmigrasi, Palangkaraya. 105 Kompas, 24 April 2001. 106 Kompas, 13 Februari 1997.
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
seluas 35.000 hektar yang merupakan bagian kecil dari tanah satu juta hektar pada awalnya.107 Data sensus yang tersedia tidak menunjukkan daerah asal pendatang ke Kalimantan Tengah selama dasawarsa terakhir. Data terbaru berasal dari sensus penduduk tahun 1990, yang mencatat 250.000 penduduk bermukim di Kalimantan Tengah yang sebelumnya tinggal diluar propinsi. Dari jumal ini, 60 persen berasal dari Jawa dan 34 persen dari propinsi di Kalimantan lainnya. Karena secara adminsitratif Madura merupakan bagian dari Jawa Timur, orang Madura terhitung berasal dari Jawa. Menurut pejabat transmigrasi, orang Madura tidak merupakan bagian besar dari jumlah transmigran. Akan tetapi seorang pejabat memberitahu ICG bahwa ketimbang orang lain, orang Madura lebih cenderung meninggalkan lokasi transmigrasi dan bekerja pada perkebunan dan usaha penebangan kayu, selain pekerjaan kelas bawah di perkotaan seperti di pasar, dibidang angkutan darat dan sungai, usaha dagang kecil-kecilan, dan sebagai kuli pelabuhan. Namun demikian, orang Madura bukan satu-satunya pendatang yang terlibat dalam kegiatan tersebut. Beberapa orang Madura juga telah menonjol dalam berusaha dan memiliki perusahaan perkayuan, pom bensin, hotel, toko, serta perusahaan angkutan laut dan darat,108 namun orang Madura samasekali tidak dominan pada sektor perdagangan, kecuali di kota Sampit. Pada umumnya orang Madura diperkirakan mencakup sekitar 120-130.000 orang, atau sekitar 67 persen dari jumlah penduduk seluruhnya di Kalimantan –sebelum kepergian mereka yang baru itu secara besar-besaran.
B.
HILANGNYA TANAH
Arus masuk ‘orang luar’ mengakibatkan orang Dayak terpaksa meninggalkan tanah yang sebelumnya telah mereka huni dan manfaatkan. Di masa lalu kebanyakan orang Dayak tinggal pada lingkungan tradisional di hutan tropis dimana mereka bercocok tanam dengan ladang berpindah dan berdagang hasil hutan. Undang-Undang pertanahan di Indonesia adalah berdasarkan pada Undang-undang N°5 Tahun 1960 107
Keterangan diberikan kepada ICG oleh pejabat Dinas Transmigrasi, Palangkaraya. 108 Kompas, 19 Maret 2001.
Ha 22
tentang Pokok-Pokok Agraria yang diberlakukan pada masa pemerintahan Presiden Soekarno.109 Tujuan utama undang-undang ini adalah reformasi pertanahan dengan membatasi besaran tanah garapan, terutama di Jawa dimana kekuatan partai komunis kian meningkat. Akan tetapi undangundang tersebut juga memuat ketentuan mengenai hak tanah adat. Pasal 3 jelas menyebut bahwa pemilikan tanah adat berlaku hanya sepanjang tidak berbenturan dengan ‘kepentingan nasional dan Negara, berdasarkan kesatuan nasional’. Pada penjelasan resmi yang melekat pada undang-undang tersebut (Bagian A.II.3) disebut bahwa masyarakat adat akan diajak berunding sebelum pemberian hak guna atas tanah, akan tetapi masyarakat adat tersebut tidak boleh ‘menghambat pemberian hak guna atas tanah’ apabila pemberian hak tersebut memang diperlukan bagi kepentingan yang lebih luas. Penjelasan tersebut secara khusus menyebut upaya masyarakat adat untuk menolak pembukaan hutan secara besar-besaran guna melaksanakan proyek besar dalam rangka meningkatkan produksi pangan dan migrasi. Pasal 19 undang-undang tersebut juga memuat ketentuan mengenai pendaftaran tanah serta pemberian hak atas tanah – konsep yang tidak mudah disesuaikan dengan hak adat atas hutan-hutan. Setelah Orde Barunya Soeharto berkuasa dibuat undang-undang baru yang memberi kekuatan hukum kepada pemerintah untuk mengalokasikan tanah bagi industri perhutanan dan pertambangan. Undang-Undang N°5 Tahun 1967 tentang Ketentuan-Ketentuan Pokok Kehutanan dengan sangat jelas menyebut bahwa hak adat untuk memperoleh manfaat dari hutan-hutan diakui sebatas tidak mengganggu tercapainya tujuan yang dimaksudkan oleh undang-undang itu.110 Demikian pula, Undang-Undang Pertambangan Tahun 1968 memberi pemerintah kekuasaan untuk mengalokasikan tanah adat maupun tanah lainnya untuk pertambangan. Dengan diberlakukannya undang-undang tersebut, tidak ada lagi rintangan
109
Undang-Undang N°5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria. Lihat juga Stefanus Masiun, ‘National Frameworks Affecting Adat Governance in Indonesia, and Dayak NGO Responses’, pada Janis B. Alcorn dan Antoinette G. Royo, eds., Indigenous Social Movements and Ecological Resilience: Lessons from the Dayak of Indonesia, Washington DC: Biodiversity Support Program, 2000. 110 Undang-Undang N°5 Tahun 1967 tentang KetentuanKetentuan Pokok Kehutanan, Pasal 17.
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
hukum yang dapat mencegah pemerintah membuka proyek transmigrasi dan mengalokasikan hak penggunaan hutan dan tambang di daerah yang dihuni orang Dayak. Pengrusakan yang pesat terhadap hutan-hutan Kalimantan oleh pemegang hak penggunaan hutan – yang banyak terdiri dari anggota keluarga Soeharto, rekan usahanya, maupun perusahaan-perusahaan yang ada hubungannya dengan militer – menjadi penyebab keprihatinan orang Dayak yang paling mendasar. Meski 66.9 persen dari Kalimantan Tengah secara resmi digolongkan sebagai hutan di tahun 1999, angka tersebut merupakan penciutan yang tajam dari 84 persen di pertengahan 1970an. Akan tetapi tidak semua ‘hutan resmi’ masih berupa hutan, sebagian disebabkan oleh kebakaran hutan dan penebangan liar sebagaimana terlihat dalam gambar satelit yang memperkirakan bahwa penutup alam telah berkurang menjadi 56 persen hingga tahun 1999.111 Di tahun-tahun terakhir semakin banyak lahan hutan yang telah dirubah menjadi perkebunan kelapa sawit. Pengrusakan hutan tidak semata-mata disebabkan oleh perusahaan penebangan kayu yang besar. Kegiatan penebangan liar merajalela di Kalimantan Tengah – dan biasanya dilindungi oleh oknum polisi dan militer. Penebangan liar di Kabupaten Kotawaringin Timur menyebar luas sedemikian rupa hingga pemerintah daerah yang tidak mampu mencegahnya mengeluarkan peraturan pada bulan Juni 2000 yang secara efektif melegalisir penebangan liar dengan memajak kegiatan tersebut.112 Menurut sebuah sumber, banyak dari penebang liar merupakan orang Madura yang perilakunya membuat orang Dayak setempat berang. Sumber lainnya mengatakan bahwa pengakuan terhadap penebangan liar berakibat dengan persaingan yang meningkat antara orang Madura dan orang Dayak yang juga terlibat kegiatan liar tersebut. Mungkin saja faktor tersebut telah memberi andil bagi meningkatnya ketegangan di Sampit yang meletus diawal tahun berikutnya. Namun akhirnya peraturan tersebut dilarang oleh
111
Lihat ‘Peta Penutupan Lahan Propinsi Kalimantan Tengah’ pada situs internet milik Departemen Perhutanan dan Perkebunan. http://mofrinet.cbn.net.id/e_informasi_enfi/GIS/vegetasi.htm. 112 Peraturan Daerah Kabupaten Kotawaringin Timur, Nomor 14 Tahun 2000 tentang retribusi Industri Kayu Bulat, Kayu Gergajian, Kayu Olahan dan Peredaran Hasil Hutan serta Pengganti Nilai Tegakan, 21 Juni 2000.
Ha 23
pemerintah pusat karena bertentangan dengan undang-undang nasional. Lazimnya orang Dayak tidak secara terbuka menentang penebangan di hutan serta perubahan fungsi lahan menjadi lokasi transmigrasi, perkebunan dan tambang. Sepanjang mereka diajak berunding dan diberi sekedar ganti rugi, mereka cenderung menjauhkan diri dari pertentangan dengan berpindah lebih dalam lagi kehutan atau tetap bercocok tanam dipinggir lahan konsesi tersebut. Beberapa pemegang HPH membiarkan orang Dayak mengumpulkan rotan dan hasil hutan lainnya. Salah satu sebab yang paling sering menimbulkan pertentangan adalah bila orang Dayak menebang satu atau dua pohon untuk digunakan sendiri kemudian dituduh mencuri kayu, yang oleh mereka dianggap memang sah milik mereka. Orang Dayak golongan elit ketika diwawancara oleh ICG di Palangkaraya nampaknya cukup santai menyikapi perluasan industri penebangan, yang merupakan sumber pendapatan bagi pemerintah propinsi dan mungkin juga bagi beberapa orang politisi Dayak. Dilain pihak, seorang Dayak pedalaman mengungkapkan amarahnya atas ketidakacuhan orang Dayak kota. ‘Hewan dilindungi, tetapi orang tidak,’ keluhnya.113 Keluhan yang kerap disuarakan oleh orang Dayak kota bukanlah karena hutan ditebang tetapi bahwa keuntungan lebih banyak mengalir ke Jakarta tanpa memberi manfaat bagi penduduk setempat. Bahkan kebanyakan pekerja pada perusahaan HPH terdiri dari pendatang. Akan tetapi hal tersebut disebabkan sebagian karena keengganan orang Dayak untuk bekerja dibidang tersebut.
C.
PEKERJAAN DAN PENDIDIKAN
Statistik resmi Indonesia tidak menyediakan data mengenai partisipasi golongan etnis dalam bidang pekerjaan dan pendidikan. Di Kalimantan Tengah ada anggapan umum bahwa masyarakat non-Dayak lehih banyak di kota sementara orang Dayak lebih banyak di pedalaman. Oleh karenanya dapat diasumsi bahwa orang Dayak merupakan bagian yang terbanyak dari 55 persen tenaga kerja di bidang pekerjaan yang meliputi pertanian, kehutanan, berburu dan perikanan. Di lain pihak orang Dayak sedikit sekali terdapat dalam bidang
113
Wawancara ICG di Palangkaraya..
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
yang menuntut kualifikasi pendidikan tinggi. Di Kalimantan Tengah, 63 persen dari jumlah tenaga kerja tidak berpendidikan lebih tinggi dari sekolah dasar dan 80 persen tidak berpendidikan lebih tinggi dari sekolah menengah pertama.114 Namun demikian perlu dicatat bahwa orang Dayak termasuk mereka yang telah memperoleh manfaat dari pengembangan pendidikan tinggi dan sebuah golongan kelas menengah Dayak yang kecil kini dipekerjakan pada posisi administrasi dalam pemerintahan daerah.
D.
PEMERINTAHAN DAN POLITIK
Pada masa Orde Baru mayoritas orang Dayak merasa lebih banyak dikucilkan dari pemerintahan. Baru pada tahun-tahun terakhir resim Soeharto, orang Dayak mulai ditunjuk menduduki jabatan pada pemerintahan daerah. Bagaimanapun juga pada masa Orde Baru pemerintahan sipil di daerah pada umumnya didominasi oleh militer, dimana orang Dayak jarang sekali ditemukan ditingkat atas. Akan tetapi pada saat ini orang Dayak mendominasi politik setempat dan masyarakat Dayak tidak lagi dapat mengeluh bahwa mereka kurang terwakili. Setelah kemerdekaan, Kalimantan diperintah sebagai satu propinsi, tetapi pada tanggal 1 Januari 1957 terbagi atas Kalimantan Barat, Selatan dan Timur. Rencana untuk memasukkan daerah yang kini menjadi Kalimantan Tengah sebagai bagian dari Kalimantan Selatan diprotes oleh orang Dayak yang oleh pemerintah ditanggapi beberapa bulan kemudian dengan dibentuknya satu-satunya propinsi di Indonesia yang mayoritasnya orang Dayak, yaitu Kalimantan Tengah, pada tanggal 23 Mei 1957. Orang Dayak pada awalnya terwakili dengan baik pada kepemimpinan propinsi. Gubernur pertama, RTA Milono, adalah seorang Jawa, namun ia disusul oleh seorang Dayak, Tjilik Riwut, yang menjadi terkemuka dalam perjuangan nasionalis untuk mencapai kemerdekaan Indonesia. Akan tetapi Tjilik Riwut pernah dekat dengan Presiden Soekarno dan oleh karenanya pada tahun 1967 diganti oleh resim baru Soeharto. Meski para gubernur secara resmi dipilih oleh DPRD tingkat I, pada kenyataannya mereka ditunjuk oleh presiden yang kehendaknya tidak pernah terusik oleh formalitas pemilihan. Soeharto tetap memilih
Ha 24
gubernur orang Dayak – Reinout Sylvanus dan Willy Ananias Gara – selama enambelas tahun berikutnya akan tetapi kemudian beralih kepada administrator orang Jawa yang kerap menjadi andalannya pada propinsi-propinsi dikepulauan luar. Mulai tahun 1984 tiga gubernur berikutnya, yaitu Gatot Amrih, Soeparmanto dan Warsito Rasman, semuanya orang Jawa akan tetapi tidak sebagaimana di propinsi lain, tak satupun merupakan perwira militer. Jatuhnya Soeharto pada tahun 1998 berakibat pada demokratisasi dari pemerintahan propinsi. Pemilihan yang bebas, dan benar-benar bersaing diselenggarakan untuk pertama kalinya sejak tahun 1955, pada tahun 1999 tidak saja pada tingkat nasional melainkan juga pada tingkat propinsi dan kabupaten. Disamping lima anggota yang ditunjuk untuk mewakili militer dan polisi, ke empat puluh kursi yang dipilih dibagi diantara partai-partai politik besar yang sedikit banyak mencerminkan hasil pemilihan nasional. PDI-P pimpinan Megawati Soekarnoputri memenangkan 14 kursi, Golkar – yang merupakan partai pemerintahan resim Soeharto, memenangkan 11 kursi, PPP yang Muslim mengambil 5 kursi, PKBnya Abdurrahman Wahid mendapatkan 3 kursi dan PANnya Amien Rais memenangkan 2 kursi sementara beberapa partai kecil masing-masing mendapatkan 1 kursi. Akan tetapi tidak satu partaipun yang secara khusus diidentifikasi dengan orang Dayak karena orang Dayak menonjol dalam kepemimpinan semua partai besar. Pemilihan gubernur baru berlangsung cukup alot akan tetapi ternoda oleh tuduhan pembelian suara. Dalam suatu proses panjang yang memerlukan tiga putaran pemilihan secara terpisah, Asmawi Agani yang mewakili Golkar mengalahkan Profesor Usop dari LMMDDKT melalui hasil pemungutan suara yang tipis 24-20.115 Asmawi berdarah campuran Melayu-Dayak sementara wakilnya Nahson Taway adalah seorang Dayak. Para calon utama yang dikalahkan juga orang Dayak, yang menunjukkan adanya persaingan politik didalam masyarakat Dayak. Meski terpilih pada tanggal 20 Januari 2001, pelantikan gubernur dan wakilnya ditangguhkan hingga 8 Maret sementara tuduhan mengenai pembelian suara diselidiki.116
115 114
Kalimantan Tengah Dalam Angka, 1999, hal.53, 55.
116
Banjarmasin Post, 21 Januari 2000. Kompas, 29 Februari, 1 Maret, 29 Mei 2001.
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
Pada masa Soeharto pemerintahan pada tingkat kabupaten sebagian besar berada ditangan orang non-Dayak sampai dengan tahun-tahun terakhir ketika beberapa bupati Dayak ditunjuk. Dibawah Soeharto penunjukan perwira militer menjadi bupati adalah hal yang lazim. Akan tetapi sejak jatuhnya Orde Baru, pemerintah daerah telah didominasi oleh orang Dayak dan pada saat ini tiga dari lima bupati serta walikota Palangkaraya adalah orang Dayak ataupun keturunan Dayak campuran.117 Bupati Barito Selatan adalah seorang Jawa yang hampir sepanjang hidupnya menetap di Kalimantan sementara bupati Kualakapuas adalah keturunan Banjar. Demokratisasi diiringi dengan desentralisasi ketika diberlakukannya Undang-Undang N°22 tentang Pemerintahan Daerah di tahun 1999. Undangundang baru yang radikal ini menjanjikan perubahan pada pemerintahan daerah dengan mengalihkan wewenang pemerintah pusat tidak kepada propinsi melainkan pada kabupaten. Selain kekuasaan lainnya, undang-undang tersebut memberi wewenang kepada daerah untuk mengelola sumberdaya nasional yang berada di wilayahnya.118 Dalam mengantisipasi implementasi undang-undang ini di tahun 2001, pemerintahan kabupaten diseluruh Indonesia mulai melirik peluang untuk meningkatkan pendapatan dari bidang-bidang seperti penebangan kayu dan pertambangan bahkan sebelum undang-undang baru diberlakukan. Di Kotawaringin Timur pendapatan asli kabupaten meningkat tajam pada tahun 2000 dibanding thaun 1999.119 Hasilnya adalah pertajaman persaingan politik untuk menguasai pemerintah setempat berikut sumberdayanya. Meski sulit dibuktikan, sangat mungkin bahwa retorika politik yang anti Madura akhir-akhir ini dirangsang oleh persaingan antar partai pimpinan orang Dayak yang mencari suara orang Dayak. Sebuah hasil sampingan otonomi daerah adalah kebutuhan pemerintahan setempat untuk menyusun kembali administrasi mereka agar dapat menghadapi arus masuk pegawai negeri sipil yang sebelumnya dipekerjakan oleh pemerintah
Ha 25
pusat. Di Kotawaringin Timur sebagaimana di banyak kabupaten lainnya, hal itu berarti bahwa pejabat senior yang mapan kadangkala tersisihkan ketika terjadi pergantian kedudukan. Diantara yang tersisihkan tersebut di Sampit adalah Pedlik Asser serta iparnya yang telah dituduh mengungkapkan kemarahan mereka dengan memicu kerusuhan anti Madura. Pada tingkat desa pemerintahan tradisional orang Dayak terganggu berat pada masa Orde Baru. Ditahun 1979 pemerintah pusat menerapkan undang-undang terhadap pemerintahan desa yang dikenakan diseluruh Indonesia dan sebagaimana disebut dalam undang-undang itu sendiri dimaksudkan untuk sebisa mungkin menyeragamkan kedudukan pemerintahan desa.120 Sebagai pengganti bentuk pemerintahan desa yang tradisional yang tetap dijalankan di banyak bagian Indonesia, suatu struktur baru dianut yang secara efektif meniru sistim tradisional pemerintahan desa di Jawa. Mengikuti contoh Jawa, desa bukan perkotaan ditempatkan dibawah sebuah Kepala Desa sementara desa perkotaan berada dibawah Lurah yang diberi status PNS dan bertanggung jawab kepada Camat. Kedudukan lainnya dalam pemerintahan desa sedianya akan distandarisasikan diseluruh Indonesia. Sebelum tahun 1979 desa Dayak dipimpin oleh lembaga adat tradisional. Meski biasanya dipimpin seorang kepala – kerap disebut Demang – rincian struktur kepemerintahan berkembang sendiri-sendiri dari desa satu ke lainnya. Sejumlah masyarakat hanya terdiri dari beberapa ribu penduduk dalam beberapa desa, sementara masyarakat lainnya lebih luas sifatnya dan sistim kepemerintahannnyapun lebih rumit.121 Namun hal tersebut semuanya dirubah oleh undang-undang tahun 1979. Sebagaimana diungkapkan oleh seorang intelektual Dayak di Kalimantan Barat, ‘undang-undang tentang Pemerintahan Desa N°5 Tahun 1979 merupakan undang-undang yang paling destruktif terhadap masyarakat pribumi di Indonesia.’
117
Walikota Palangkaraya seorang Dayak yang sebelumnya adalah perwira AD. 118 Undang-undang N°22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah, Pasal 10 (1). 119 Lihat Anne Casson, ‘Ethnic violence in an era of regional autonomy: A background to the bloodshed in Kotawaringin Timur’, RMAP Occasional Paper, Resource Management in Asia-Pacific Project, Research School of Pacific and Asian Studies, Australian National University, 2001, hal. 21.
120
Undang-undang N°5 Tahun 1979 tentang Pemerintahan Desa. 121 Stefanus Masiun, ‘National Frameworks Affecting Adat Governance in Indonesia, and Dayak NGO Responses’, pada Janis B. Alcorn dan Antoinette G. Royo, eds., Indigenous Social Movements and Ecological Resilience: Lessons from the Dayak of Indonesia. Washington, DC; Biodiversity Support Program, 2000. hal. 20.
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
Kepemimpinan tradisional di desa dikikis ketika masyarakat-masyarakat terpisah digabungkan menjadi desa yang lebih besar sesuai standar nasional. Di Kalimantan Barat bagian komponen dari desa baru seringkali terdiri dari dua atau tiga kilometer, dan kadang-kadang mencapai delapan hingga sepuluh kilometer, dan berakibat beberapa penduduk desa bahkan tidak mengenal kepala desa mereka. Dibawah sistim baru yang ‘modern’, sulit bagi pemimpin adat untuk dipilih sebagai kepala desa karena undang-undang mensyaratkan kepala desa harus lulusan sekolah menengah.122 Dengan hilangnya wewenang moral yang dipegang kepemimpinan tradisional, maka kemampuannya untuk menjamin ketertiban sosial menjadi berkurang. Bila dimasa lalu pemimpin adat mampu menangani perilaku kriminal kecil-kecilan serta perlawanan anak muda, kini polisi dilibatkan dan, sebagaimana dikatakan seorang Dayak intelektual kepada ICG, ‘hukum rimba mulai masuk.’123 Undang-undang tahun 1979 telah diganti oleh Undang-undang 22 tentang Pemerintahan Daerah yang disebut diatas, akan tetapi struktur pemerintahan desa yang seragam yang diterapkan di tahun 1979 masih tetap berlaku.
E.
POLISI DAN MILITER
Orang Dayak secara umum menganggap bahwa polisi dan militer berprasangka terhadap mereka. Hal ini sebagian timbul karena jumlah orang Dayak yang kecil di kalangan polisi dan militer. Tidak tersedia statistik mengenai susunan etnis pada polisi dan militer di Kalimantan Tengah, namun jelas bahwa sebagian besar korps perwira di kedua angkatan tersebut berasal dari luar Kalimantan Tengah, terutama Jawa. Hanya satu orang Dayak, yakni Let.Jen.(purn.) Zen Maulani yang pernah ditunjuk sebagai Panglima Daerah Militer Tanjungpura yang mencakup seluruh Kalimantan, dari tahun 1988 sampai dengan 1991.124 Orang Dayak pertama yang diangkat menjadi kepala polisi daerah propinsi (Kapolda) adalah Komisaris Besar Lodewyk Penyang, yang baru ditunjuk pada bulan
Ha 26
April 2001 menyusul terjadinya kerusuhan. Seorang tentara purnawirawan memberitahu ICG bahwa jumlah orang Dayak yang bergabung dalam angkatan darat dan kepolisian sesungguhnya cukup banyak, tetapi kebanyakan dari mereka memilih ditugaskan diluar propinsi karena merasa tidak nyaman apabila harus bertindak tegas terhadap bangsanya sendiri.125 Namun demikian perlu dicatat pula bahwa orang Madura juga jarang menjadi polisi di Kalimantan Tengah. Telah umum diketahui pula bahwa polisi dan militer terlibat dalam perlindungan terhadap perusahaan penebangan kayu, pertambangan dan perkebunan yang kini menempati tanah yang sebelumnya berada ditangan orang Dayak. Kalangan polisi dan militer tidak hanya berkecimpung untuk menangani perilaku kriminal melalui kegiatan wajar akan tetapi anggota pasukan keamanan seringkali direkrut secara langsung oleh perusahaan sebagai petugas keamanan.126 Oleh karenanya orang Dayak merasa takut untuk memprotes apa yang mereka pandang sebagai perlakuan yang tidak adil. Polisi terutama dipandang secara umum oleh orang Dayak telah gagal melindungi kepentingan mereka. Orang Dayak secara luas percaya bahwa polisi tidak bertindak tegas terhadap anggota golongan etnis lain yang melakukan kejahatan terhadap orang Dayak. Bahkan tampaknya yang memungkinkan terjadinya serangkaian kejadian yang berakhir dengan pembantaian pada bulan Februari dan Maret 2001 adalah kegagalan polisi untuk menangkap orang Madura pelaku pembunuhan terhadap seorang Dayak di Kereng Pangi pada bulan Desember 2001. Disisi lain, menurut orang Dayak bila ada orang Dayak yang melakukan kejahatan maka mereka biasanya ditangkap. Persepsi stereotip seperti itu tentunya lazim ditemukan dalam hampir semua konflik etnis. Namun ada interpretasi lain yang menunjukkan bahwa polisi memang melakukan diskriminasi etnis akan tetapi karena sebab yang spesifik. Orang Dayak pada umumnya miskin dan secara relatif tidak terwakilkan dalam kalangan pengusaha, sedangkan orang Madura lebih mungkin mempunyai sanak keluarga atau kerabat yang dapat
122
Ibid. Hal.24-25. Wawancara ICG di Palangkaraya. Untuk memahami mengapa keterlibatan polisi dihubungkan dengan ‘hukum rimba’, lihat Indonesia: National Police Reform, ICG Asia Report N°13, Jakarta/Brussels, 20 Februari 2001. 124 Maulani kemudian ditunjuk menjadi Kepala Bakin dibawah Presdien Habibie dari 1998 hingga 1999. 123
125
Wawancara ICG di Sampit. Telah menjadi hal yang lazim diseluruh Indonesia bagi anggota polisi dan militer untuk ‘dipekerjakan diluar’ agar dapat memberi tambahan gaji yang kurang memadai. Lihat Indonesia: Keeping the Military Under Control, ICG Asia Report N°9, Jakarta/Brussels, 20 Februari 2001, hal. 10-11.
126
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
memberi sogokan kepada polisi bila mereka terlibat suatu masalah.127 Namun demikian, bukan orang Dayak saja yang merasa yakin bahwa pasukan keamanan berprasangka terhadap mereka. Menyusul kerusuhan di Sampit dan Palangkaraya orang Madurapun mengklaim bahwa polisi berpihak pada orang Dayak.128
F.
BUDAYA DAN AGAMA
Ha 27
Kaharingan.130 Akan tetapi pada masa Orde Baru hanya ada lima agama yang resmi diakui – Islam, Katolik, Protestan, Hindu dan Buddha. Obsesi resim Orde Baru untuk menempatkan setiap golongan dalam kategori yang teratur ditambah peremehan yang hampir total terhadap bangsa ‘terbelakang’ menyebabkan agama Kaharingan diperlakukan sebagai bentuk agama Hindu. Oleh karenanya statistik resmi mengenai keagamaan mencatat ada 195.646 orang beragama Hindu tinggal di Kalimantan Tengah di tahun 1999!131
Orang Dayak telah lama memendam kekesalan terhadap sikap golongan etnis lain yang cenderung meremehkan orang Dayak sebagai bangsa yang ‘tidak berbudaya’ dan ‘tidak beradab’. Kemarahan orang Dayak jelas-jelas terungkap dalam pernyataan yang dikeluarkan LMMDDKT menyusul gejolak di bulan Februari. Meski ditujukan khusus bagi orang Madura, kekesalan mendalam karena dianggap terbelakang secara umum dituju kepada semua orang luar. Sebagaimana diutarakan dalam sebuah dokumen yang ditandatangani oleh Profesor Usop, Ketua Presidium LMMDDKT, ‘Kami telah lama hidup dengan hinaan dan pandangan meremehkan yang menganggap bahwa golongan etnis kami adalah dungu, bodoh, perusak lingkungan, dan bahwa kami tidak tahu diri’.129 Orang Dayak secara khusus dibuat marah oleh anggapan umum bahwa kebiasaan orang Dayak bercocok tanam dengan berpindah lahan selama beberapa abad lalu telah menimbulkan kerusakan pada lingkungan hidup, sementara hasil karya perusahaan penebangan kayu dipandang sebagai kontribusi bagi pembangunan nasional. Orang Dayak merasa terhina pula oleh perlakuan terhadap agama Dayak dimasa Orde Baru. Meski pada saat ini kebanyakan orang Dayak beragama Islam atau Kristen, agama tradisional dari suku Ngaju yang merupakan golongan dominan – Kaharingan – masih dihormati. Bahkan orang Dayak sendiri mengatakan bahwa orang Dayak yang Muslim dan Kristen tetap dipengaruhi kebudayaan yang berhubungan dengan
127
Penjelasan ini diajuan oleh seorang pemuka Dayak veteran, Fridolin Ukur, dalam sebuah wawancara dengan Tempo, 1 April 2001. 128 Kompas, 19 Maret 2001. 129 ‘Latar Belakang Terjadinya Peristiwa Kerusuhan Etnis di Kalimantan Tengah’, Buku Merah jilid 1.
130
J.J. Kusni, Negara Etnik: Beberapa Gagasan Pemberdayaan Suku Dayak. Yogyakarta: FuSPAD, 2001, hal. 101. 131 Kalimantan Tengah dalam Angka, 1999, hal. 137.
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
VI. ORANG DAYAK DAN ORANG
MADURA Pengalaman masyarakat Dayak selama duapuluh atau tigapuluh tahun terakhir telah menyediakan banyak alasan bagi keluhan mereka. Orang Dayak memang layak beranggapan bahwa kepentingan mereka telah diabaikan oleh pemerintah pusat yang memperlakukan sumberdaya Kalimantan Tengah lebih sebagai sumber kekayaan bagi golongan elit di Jakarta ketimbang peluang untuk memperbaiki kehidupan masyarakat mayoritas di propinsi itu. Sesungguhnya tidak sulit memahami keberangan orang Dayak yang ditujukan kepada pemerintah nasional berikut wakil mereka di propinsi, kepentingan usaha besar yang telah menguasai industri penebangan kayu dan perkebunan, serta pasukan polisi dan militer yang kebanyakan bukan orang Kalimantan. Mudah pula memahami kekesalan orang Dayak terhadap arus masuk pendatang dari bagian lain Indonesia yang kini memegang peranaan besar dalam ekonomi propinsi. Akan tetapi mengapa permusuhan orang Dayak ditujukan hampir secara khusus kepada masyarakat Madura yang jumlahnya kecil? Berbagai penjelasan umum yang telah diajukan jelas tidak memuaskan. Interpretasi yang memberi tekanan pada persaingan agama didasarkan pada pandangan keliru bahwa orang Dayak di Kalimantan Tengah bukan Muslim sedangkan pada kenyataannya kebanyakan dari mereka adalah Muslim. Dan kendati orang Madura memang Muslim, begitu pula kebanyakan orang Jawa dan hampir semua orang Banjar, akan tetapi masyarakat-masyarakat tersebut tidak diusik. Penjelasan lainnya yang umum diberikan menekankan adanya ‘kesenjangan sosial ekonomi’ antara orang Dayak dan orang Madura. Memang banyak orang Madura yang berpindah ke kegiatan di kota dan cukup berhasil, akan tetapi orang Madura masih jauh dari penguasaan ekonomi Kalimantan Tengah. Orang Madura menonjol dalam sektor perdagangan eceran, pasar lokal, dan angkutan namun bidang-bidang tersebut tidak merupakan kegiatan puncak perdagangan propinsi. Orang Madura memang sangat menonjol dalam kegiatan perdagangan di Sampit yang merupakan tempat dimulainya pembantaian, tetapi orang Dayak sendiri menyangkal bahwa motivasi mereka berdasarkan pertimbangan ekonomi. Beberapa
Ha 28
pemuka Dayak menjelaskan kepada ICG bahwa ‘jika orang Dayak bermotivasi kecemburuan sosial, maka yang diserang tentunya orang Cina dan bukan orang Madura.’132 Ada juga pemikiran bahwa orang Madura mengisi sebagian besar angkatan kerja pada industri penebangan kayu dan perkebunan dan karenanya dianggap oleh orang Dayak sebagai pihak yang mengambil tanah mereka. Tetapi pada kenyataannya orang Madura hanya merupakan bagian kecil dari angkatan kerja tersebut yang juga terdiri dari anggota masyarakat etnis lainnya termasuk orang Dayak sendiri. Penjelasan yang paling umum diajukan oleh orang Dayak sendiri adalah menyangkut budaya. Kepada ICG pemuka Dayak menekankan bahwa orang Dayak tidak ada keluhan terhadap orang Jawa, orang Banjar dan masyarakat lainnya yang memperlakukan budaya Dayak dengan hormat dan menyesuaikan diri dengan nilai-nilai Dayak. Bahkan beberapa informan Dayak mengakui bahwa ada beberapa orang Madura yang ‘baik’, terutama diantara mereka yang sudah menetap bertahuntahun di Kalimantan dan yang merupakan keluarga generasi kedua dan ketiga.133 Tetapi orang Dayak menggambarkan orang Madura pada umumnya memiliki solidaritas etnis yang sangat kuat (yang tercermin dalam kebiasaan mereka untuk sholat di masjid khusus bagi orang Madura), cenderung menggunakan kekerasan, senantiasa hendak menipu orang bukan Madura, dan meremehkan nilai-nilai orang Dayak. Orang Madura sendiri mengakui bahwa budaya mereka membolehkan mengajak berduel apabila kehormatan mereka tersinggung, bahkan bahasa Madura memberi kontribusi kata ‘carok’ yang artinya duel kepada bahasa Indonesia. Bagi orang Dayak, orang Madura mengabaikan asas yang telah lama tertanam, yaitu ‘dimana bumi dipijak, disitu langit dijunjung,’ yang menyiratkan penghormatan terhadap adat istiadat yang berlaku setempat. Beberapa contoh mengenai ‘perilaku orang Madura’ yang disampaikan dalam wawancara dengan ICG
132
Wawancara ICG di Palangkaraya. Seorang tokoh Dayak mengatakan bahwa selama pembantaian ia melindungi tetangga sebelah yang adalah seorang Madura yang ‘baik’, dan membantunya melarikan diri dari propinsi. Rumah tetangga tersebut masih berdiri tegak, berbeda dengan rumah banyak orang Madura lainnya di Palangkaraya. Wawancara ICG.
133
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
dan yang dimuat dalam Buku Merah LMMDDKT adalah sebagai berikut: !
Orang non Madura yang menawar barang dagangan orang Madura di pasar akan dicerca apabila urung membeli barang tersebut.
!
Pemilik warung Madura mengancam pemilik warung non Madura apabila mereka menjual barangnya dengan harga yang lebih rendah.
!
Seorang PNS Dayak bercerita mengenai pengalamannya ketika memesan perabot yang hendak dibawa ke Palngkaraya dengan kapal dari Banjarmasin. Oleh kuli Madura perabot dibawakan langsung ke rumahnya meski ia tidak meminta bantuan mereka. Orang Madura tersebut kemudian menuntut bayaran yang jumlahnya mereka tetapkan sendiri.
!
Orang Madura terkenal biasa menyewa tanah kemudian menolak pindah ketika masa sewanya telah usai.
!
Orang Madura disebut kerap bercocok tanam diatas lahan milik orang lain, terlibat kejahatan serta menyogok polisi.
!
Orang Madura selalu membawa celurit yang mereka gunakan apabila terlibat perselisihan dengan orang lain.
Meski keluhan tersebut tampaknya sepele, dan tidak cukup menjadi alasan untuk melancarkan pembantaian, namun berhasil membakar sentimen permusuhan orang Dayak terhadap orang Madura. Disisi lain, orang Dayak menggambarkan budaya mereka sendiri suka menyesuaikan diri dan cenderung menghindari konflik. Oleh karenanya ketika orang Dayak dipaksa meninggalkan hutan yang telah diberikan kepada sebuah perusahaan penebangan kayu dari Jakarta, mereka tidak melawan melainkan pindah ke tempat lain. Ketika orang Dayak dicaci maki di pasar, ia akan pergi menjauh ketimbang harus terlibat perkelahian. Ketika orang Madura membawa perabot ke rumah orang PNS tersebut ia membayar mereka untuk menghindari permasalahan – yang menurutnya merupakan tanggapan khas orang Dayak. Akan tetapi menurut banyak orang Dayak, keluhan tersebut tidak terlupakan dan tetap membara hingga akumulasi pengalaman selama beberapa dasawarsa tersebut meletus melalui pembantaian yang terjadi pada Februari 2001.
Ha 29
Satu hal yang perlu dicatat pada pembantaian tersebut adalah keengganan masyarakat etnis lainnya untuk bersimpati dengan orang Madura. Sebaliknya masyarakat non Dayak secara terbuka justeru mendukung pemindahan orang Madura dari propinsi tersebut. Kendati ada benarnya bahwa sentimen orang Dayak terhadap orang Madura juga dirasakan oleh kelompok etnis lainnya – bahkan di Jakarta sikap anti-Madura bukannya tidak luar biasa – kemungkinan juga mereka enggan membela orang Madura karena takut menjadi sasaran pula.
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
VII. KESIMPULAN Pecahnya konflik etnis yang ganas di Kalimantan Tengah pada bulan Februari tahun 2001 hanya dapat dipahami dengan latarbelakang perasaan dislokasi, dirampas dan disisihkan yang sangat mendalam yang dialami masyarakat Dayak di propinsi itu. Namun demikian pertanyaan mengenai asal usul langsung dari kekerasan tersebut tetap tidak terjawab. Apakah serangan orang Dayak sematamata spontan atau direncanakan dan diorganisir? Apakah pembunuhan terhadap lima orang Madura pada malam tanggal 17-18 Februari disebabkan pertikaian pribadi atau memang dimaksudkan untuk memercik kobaran yang menyusul? Apakah orang Dayak telah dimobilisir sebelum tanggal 20 Februari untuk menyerang Sampit? Apabila konflik memang direncanakan, siapa yang merencanakannya dan dengan tujuan apa? Pertanyaan kunci mengenai fakta melibatkan klaim mengenai perilaku orang Madura pada 18-20 Februari. Apakah spanduk anti-Dayak sesungguhnya dipasang diseluruh kota dan apakah pemuda Madura memang menantang orang Dayak? Ataukah spanduk dipasang oleh ‘provokator’ Dayak sebagaimana tuduhan beberapa orang Madura? Tanpa jawaban atas pertanyaan-pertanyaan tersebut, penjelasan lengkap mengenai pecahnya kekerasan etnis tidak mungkin diperoleh. Dihadapi sebuah pembantaian besar-besaran yang tidak dapat dicegah oleh pasukan keamanan, pemerintah propinsi memilih mengevakuasi ‘sementara’ seluruh penduduk asal Madura. Meski pejabat pemerintah bersikeras bahwa semua orang Indonesia berhak menetap dimanapun dikehendakinya di negeri ini, namun ketidak mampuan pasukan keamanan untuk menjaga keamanan berarti bahwa bagi orang Madura hak untuk menetap di Kalimantan Tengah sama dengan hak untuk dibunuh disana. Pembersihan etnis di Kalimantan Tengah kini telah selesai dan mungkin tidak dapat diubah meski pemerintah akhirnya memutuskan untuk mempertahankan sebuah kehadiran simbolis orang Madura di Pangkalanbun di pesisir dekat perbatasan Kalimantan Barat. Baik pemerintah pusat maupun propinsi tetap menyebutnyebut kembalinya orang Madura ke Kalimantan Tengah dikemudian hari dan banyak orang Madura
Ha 30
yang ingin kembali.134 Kongres Rakyat Kalimantan yang didominasi orang Dayak telah menyetujui kembalinya sejumlah terbatas orang Madura dikemudian hari akan tetapi menetapkan persyaratan yang sulit dipenuhi orang Madura. Pengalaman pengungsi Sambas di Kalimantan Barat mengisyaratkan bahwa kembalinya mereka dengan segera hampir tidak mungkin. Semua pihak membicarakan tentang masa ‘pendinginan’ akan tetapi tidak menyepakati berapa lamanya masa tersebut. Paling tidak, setiap pengembalian harus dilakukan bertahap dengan prioritas diberikan kepada orang Madura yang lahir di Kalimantan, yang ada pertalian keluarga dengan orang Dayak, atau penghuni lama. Kenyataan yang ada kini di Kalimantan Tengah adalah tidak lagi ada konflik antara orang Dayak dan orang Madura karena, kecuali di Pangkalanbun, tidak lagi tersisa orang Madura di propinsi ini. Tentunya mungkin saja minoritas etnis lainnya dapat menjadi korban pengganti berikutnya apabila keluhan yang terpendam lama oleh orang Dayak tidak ditanggapi. Namun kejadian belum lama ini di Kalimantan Tengah maupun Barat menunjukkan bahwa titik gesek yang utama adalah hubungan Dayak-Madura. Tidak ada indikasi yang kuat mengenai kemungkinan pembersihan terhadap masyarakat minoritas lainnya. Dalam keadaan dimana pengembalian segera kebanyakan orang Madura ke tempat tinggal mereka di Kalimantan Tengah tidak dimungkinkan, perlu ada perhatian segera terhadap langkahlangkah untuk meringankan penderitaan para pengungsi saat ini dan memberi harapan untuk masa depan. Ketidak mampuan pemerintah untuk menyediakan alternatif yang memadai bagi pengungsi dari Sambas di Kalimantan Barat mengakibatkan jumlah penghuni tempat pengungsi meningkat menjadi 50.000 orang hingga saat ini. Sebagaimana terlihat pada kerusuhan yang melibatkan pengungsi Madura di Pontianak, ibukota Kalimantan Barat, di bulan Oktober 2000, kehadiran sebuah masyarakat yang resah dalam jumlah cukup besar bisa jadi sumber kericuhan etnis lebih lanjut. Orang Madura dari Kalimantan Tengah telah ‘dipulangkan’ ke Madura meski banyak yang tidak lagi ada ikatan erat dengan ‘kampung halaman’ 134
Dalam sebuah pertemuan pengungsi orang Madura di Madura, ICG menyaksikan pengungsi yang mengancam akan berdemonstrasi di DPRD untuk menuntut pengembalian mereka ke Kalimantan.
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
etnisnya. Kehadiran hampir 100.000 pengungsi dalam suatu daerah yang sudah miskin telah menimbulkan beban yang sangat besar bagi pemerintah daerah dan dapat berakibat pada konflik antara pengungsi dan non-pengungsi Madura dikemudian hari. Janji Presiden Wahid mengenai sebuah ‘pulau’ tidak membangkitkan banyak harapan akan sebuah penyelesaian diwaktu dekat. Pendekatan yang standar digunakan oleh pemerintah dalam menyelesaikan konflik etnis adalah mensponsori kesepakatan perdamaian antara pemuka masyarakat yang mewakili pihak-pihak yang berperang. Pendekatan ini telah banyak dikecam karena hanya melibatkan para elit yang belum tentu dapat mempengaruhi pelaku konflik di lapangan. Beberapa pihak menyatakan bahwa pertemuan-pertemuan seperti itu tidak saja tak berguna bahkan menjadi kontraproduktif karena menimbulkan harapan yang tidak realistis yang kemudian disusul oleh kekecewaan. Di Kalimantan Tengah maupun Barat kesepakatan perdamaian setelah terjadi benturan setempat tidak berhasil mencegah pembantaian dan pembersihan etnis yang terjadi kemudian. Dalam hal pertemuan perdamaian yang diselenggarakan di Jakarta pada bulan Maret, masih terjadi saling tuduh menuduh dan tidak banyak kemajuan yang dicapai. Dilain pihak kesepakatan antar pemimpin paling tidak menciptakan suasana yang kondusif untuk memelihara perdamaian meski secara tersendiri tidak mampu menyelesaikan permasalahan mendasar yang menghalang terjadinya rekonsiliasi. Yang penting adalah bahwa kesepakatan perdamaian seperti itu seharusnya tidak berdiri sendiri melainkan harus diikuti oleh tindakan-tindakan yang kongkret agar mendorong adanya saling percaya meski rekonsiliasi penuh belum bisa tercapai. Dalam menempuh langkah hukum menyusul kejadian kekerasan etnis belum lama berselang, pemerintah perlu mengimbangi penerapan hukum secara ketat dengan pendekatan yang lebih fleksibel yang bertujuan memelihara ketertiban sosial untuk saat ini dan mencapai rekonsiliasi dijangka panjang. Ketaatan penuh terhadap hukum formil dengan mudah dapat menyakiti perasaan orang Dayak sebagai korban ketidak adilan dalam artian yang lebih luas. Banyak orang Dayak yang tetap percaya bahwa orang Madura bertanggung jawab atas kerusuhan dan perlu ‘diberi pelajaran’. Bukannya tidak mungkin bahwa putusan bersalah yang dijatuhkan terhadap orang Dayak yang didakwa membunuh orang Madura dapat memicu kerusuhan
Ha 31
baru.135 Tidak ada jawaban a priori untuk dilema ini. Yang berwenang perlu menilai secara cermat seberapa jauh masyarakat Dayak akan menentang tindakan hukum terhadap mereka yang terlibat pembantaian. Mungkin tindakan hukum dapat ditangguhkan sementara ada masa ‘pendinginan’. Dakwaan terhadap orang Dayak perlu diimbangi dengan dakwaan terhadap orang Madura – terutama yang bertanggung jawab atas pembunuhan di Sampit pada 18 dan 19 Februari.136 Akan tetapi orang Madura tidak boleh dituntut tanpa bukti yang kuat hanya demi mencapai keseimbangan tersebut. Salah satu pelajaran yang terpenting yang dapat ditarik dari kasus Kalimantan Tengah, serta dari kedua pembantaian di Kalimantan Barat, adalah bahwa hukum perlu diterapkan secara cepat dan efektif untuk mencegah agar benturan yang terjadi antara perorangan tidak berkembang menjadi konflik yang lebih luas. Salah satu keluhan yang sering diungkapkan orang Dayak adalah bahwa polisi, karena alasan apapun, berpihak pada orang Madura dan tidak bertindak cukup tegas untuk menangkap orang Madura yang bertanggung jawab atas kematian seorang Dayak di Kereng Pangi pada Desember 2000. Anggapan mengenai sikap polisi yang berat sebelah tampaknya diperkuat pada saat orang Dayak dibunuh selama dua hari ketika orang Madura ‘menguasai’ Sampit di bulan Februari 2001. Disisi lain orang Madura merasa terancam ketika polisi gagal menangkap orang Dayak yang terlibat dalam serangan pembalasan terhadap orang Madura menyusul pembunuhan orang Dayak di Kereng Pangi. Dan mereka kecewa ketika 38 orang Dayak yang ditahan karena terlibat pembunuhan di Sampit pada 17-18 Februari dilepaskan di Palangkaraya menysusul sebuah demonstrasi yang dipimpin pemuka masyarakat Dayak. Tindakan tegas oleh polisi di hari-hari awal mungkin dapat mencegah kekerasan etnis dan karenanya mencegah pembantaian yang kemudian terjadi. Sehubungan dengan itu, tampaknya intelijen polisi gagal mempersiapkan yang berwenang untuk menghadapi
135
Jefferson Dau, seorang pengacara Dayak yang ditunjuk menjadi anggota Komisi Penyelidikan yang dibentuk oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia, menyatakan bahwa ‘jika kelompok etnis yang bertikai masing-masing menuntut di pengadilan, maka akan terjadi pembalasan kembali dan rekonsiliasi tidak dapat dicapai.’ Banjarmasin Post, 23 Mei 2001. 136 Dua pemuka Madura, H. Marlinggi dan H. Satiman, ditahan pada tanggal 29 Mei 2001 untuk diinterogasi sehubungan tuduhan menghasut konflik di Sampit.
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
bencana yang terjadi kemudian. Efisiensi polisi mungkin bisa diperbaiki jika lebih banyak penduduk setempat direkrut kedalam kepolisian, terutama orang Dayak. Kesalahan terbesar pada sebuah pembantaian tidak dapat diletakkan pada yang menjadi korban. Namun demikian, masyarakat minoritas di Kalimantan yang ada sejarah konflik dengan mayoritas etnis atau agama, sebaiknya menyesuaikan perilaku dan sikapnya terhadap mayoritas tersebut. Hal ini tidak berarti bahwa mereka harus meninggalkan samasekali budaya dan nilai-nilai mereka yang khas, akan tetapi mereka perlu lebih peka terhadap persepsi orang lain. Kebiasaan umum orang Madura kelas-bawah membawa celurit dalam menjalankan kegiatan sehari-hari adalah contoh nyata ‘atribut budaya’ yang dapat ditanggalkan tanpa merusak budaya Madura. Disinilah pemuka masyarakat Madura dapat berperan untuk meyakinkan warganya agar menjalankan penyesuaian yang perlu. Pemuka masyarakat Dayakpun perlu menahan warga mereka agar tidak melakukan tindakan kekerasan. Bahwa banyak pemuka Dayak tidak menunjukkan penyesalan atas pembantaian menjadi suatu keprihatinan sebagaimana juga kecenderungan memperlakukan sebagai pahlawan orang-orang yang bertanggung jawab atas pembunuhan orang Madura yang tidak bersenjata, termasuk yang tua, wanita, dan anak-anak. Kehadiran sebuah kelompok ‘garis keras’ yang kuat pada Kongres Rakyat Kalimantan tidak memberi isyarat baik dimasa depan, akan tetapi perlu dicatat pula bahwa banyak orang Dayak yang bersedia menerima kembalinya orang Madura yang ‘baik’. Dalam era demokrasi yang baru pemuka Dayak harus mendorong masyarakat Dayak untuk mengungkapkan dan menyelesaikan keluhan mereka melalui jalur demokratis dan menghindari cara yang menggunakan kekerasan. Sebagaimana telah ditekankan pada laporan ini, para pelaku pembantaian adalah warga sebuah masyarakat yang merasa telah diperlakukan buruk dimasa lalu – lebih oleh seluruh masyarakat ketimbang orang Madura saja. Dislokasi dan penyisihan orang Dayak, terutama dalam dua dasawarsa terakhir masa Orde Baru, menciptakan sebuah masyarakat yang berang dan merasa diasingkan yang siap mengadakan pembalasan terhadap masyarakat lain yang sudah pasti tidak bertanggung jawab atas nasib orang Dayak, namun telah menyinggung perasaan mereka dalam hal-hal
Ha 32
lain. Langkah-langkah yang diusulkan Presiden Wahid, termasuk perbaikan sarana pendidikan dan kesehatan, tampaknya mengakui perlunya memperbaiki kondisi sosial dan ekonomi orang Dayak, akan tetapi masih belum merupakan program yang dibutuhkan untuk memberi kompensasi pada mereka atas hal-hal yang telah mereka korbankan. Sehubungan dengan itu, janji presiden untuk mengembalikan ‘tanah sakral’ kemungkinan telah gagal menangkap inti permasalahan namun paling tidak mengakui pelanggaran dimasa lalu terhadap nilai budaya orang Dayak. ICG menyambut baik dibentuknya sebuah komisi penyelidikan oleh Komisi National Hak Asasi Manusia Indonesia untuk menyelidiki pelanggaran hak asasi manusia di Kalimantan Tengah. Dalam menjalankan penyelidikannnya dan menyajikan hasil temuannya diharapkan bahwa komisi akan memusatkan diri kepada tujuan mengembalikan keharmonisan antara kedua masyarakat yang bersangkutan. Dalam hampir semua konflik massa, masyarakat yang bersaing masing-masing bersikeras dengan penjelasan yang bertentangan secara radikal mengenai bagaimana konflik pada mulanya terjadi. Pemusatan yang tidak perlu pada ‘siapa yang memulainya’– meski secara obyektif hasil temuan memang benar – dapat dengan mudah memperburuk permusuhan ketimbang membuka jalan bagi suatu rekonsiliasi. Pengalaman Kalimantan Tengah juga memberi pelajaran umum yang secara luas dapat diterapkan dibagian lain Indonesia. Kesimpulan paling umum yang dapat ditarik adalah mengenai masyarakat asli yang mengalami dislokasi, diskriminasi, penderitaan dan penyisihan. Meski masyarakat tersebut seringkali tidak memiliki organisasi modern untuk memperjuangkan hak-hak mereka dan sepertinya menerima saja nasib mereka, biasanya mereka memendam sakit hati yang sangat mendalam atas perlakuan yang mereka derita di tangan pemerintah, korporasi dan masyarakat etnis yang relatif ‘maju’. Dari waktu ke waktu masyarakat yang terkucil tersebut mengungkapkan sakit hati mereka dengan kekerasan terhadap masyarakat lain yang rentan, meski sasaran mereka belum tentu bertanggung jawab atas penderitaan mereka. Oleh karena itu pemerintah nasional seharusnya memberi perhatian yang serius terhadap perasaan frustrasi yang dialami masyarakat yang terkucil yang pada waktu normal tidak memiliki cara untuk menarik perhatian pembuat kebijakan nasional terhadap perjuangan mereka. Langkah-langkah khusus perlu diterapkan
Kekerasan Etnis di Indonesia: Pelajaran dari Kalimantan Laporan ICG Asia N°19, 27 June 2001
untuk memberi kompensasi kepada mereka atas hilangnya tanah, hutan dan sumberdaya lain mereka. Komentar diatas mengenai kinerja pasukan keamanan di Kalimantan Tengah sedikit banyak berlaku bagi kebanyakan propinsi di Indonesia. Sebagaimana dijelaskan dalam laporan ICG sebelumnya mengenai militer dan polisi,137 kedua angkatan dimaksud sangat kekurangan dana sehingga anggota-anggotanya terpaksa menambah penghasilan mereka dengan cara-cara lain. Kebutuhan individu untuk memperoleh tambahan penghasilan seringkali memaksanya untuk melakukan hal-hal yang menimbulkan kebencian pada anggota masyarakat lainnya. Dalam kondisi seperti itu, tidak mungkin mengharapkan standar profesionalsime yang tinggi. Indonesia sangat membutuhkan sebuah pasukan keamanan dalam negeri yang mampu menangani dengan segera dan efektif benturan-benturan etnis dan agama. Salah satu hambatan yang dialami polisi di Kalimantan Tengah adalah bahwa perwira polisi yang kebanyakan bukan orang Kalimantan kesulitan memperoleh intelijen mengenai perkembangan yang terjadi didalam masyarakat Dayak. Perlu adanya rekrutmen anggota polisi dari masyarakat asli tidak saja di Kalimantan melainkan di daerah lain di Indonesia dimana terdapat masyarakat semacam itu dalam jumlah besar.
Ha 33
yang handal sudah mantap dan situasi di Jakarta menjadi lebih stabil.’138 Akan tetapi kasus Sampit merupakan peringatan bahwa dampak yang mungkin terjadi pada hubungan etnis harus dipertimbangkan secara cermat apabila langkahlangkah administratif seperti itu diterapkan. Jakarta/Brussels 27 Juni 2001
Pengalaman Sampit juga menunjukkan adanya sumber konflik etnis potensial yang lebih umum yang ditimbulkan oleh program desentralisasi pemerintah. Salah satu hasil kebijakan tersebut adalah tersedianya sumberdaya baru yang sangat besar bagi beberapa pemerintah daerah, terutama di daerah yang kaya sumberdaya, dengan akibat mempertajam persaingan politik karena bertambahnya secara mendadak keuntungan yang melekat pada jabatan. Dalam rangka demokratisasi pada daerah dengan keragaman etnis, ada bahaya yang meningkat bahwa politisi akan tergoda untuk menggunakan cara mobilisasi etnis guna memperoleh dukungan populer. ICG tidak beranjak sejauh yang dilakukan Human Rights Watch dalam rekomendasinya bahwa ‘mungkin perlu dilakukan moratorium penuh terhadap perubahan batas-batas administratif atau restrukturisasi administrasi setempat sampai ketertiban dan penegakan hukum 137
Indonesia: Keeping the Military Under Control, ICG Asia Report N°9, Jakarta/Brussels, 5 September 2000. Indonesia: National Police Reform, ICG Asia Report N°13, Jakarta/Brussels, 20 Februari 2001.
138
Indonesia: The Violence in Central Kalimantan (Borneo): A Human Rights Watch Press Backgrounder, New York, 28 Februari 2001.