Journal of Governance, Desember 2016
Volume 1, No. 2
KEKERASAN DISKURSIF ATAS NAMA “WAR ON TERRORISM” : BENTUK BARU PELANGGARAN HAM Muhammad Zuhdan Jurusan Ilmu Politik dan Pemerintahan, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Gadjah Mada
[email protected] Abstract: This paper is about to see the discourse of the war on terrorism by using Foucaldian perspective. The thesis said that the discourse of "war on terrorism" is a product of hegemonic power and therefore has created a discursive violence that threaten human rights. The purpose is to provide an alternative approach in view of global and national discourse on the issue of the war against terrorism. Research result found interest fact that the fight against terrorism has threatened civil liberties and political freedom from violence discursive hegemony of power produced by the global and national levels. In addition this paper also offers how a modern government should do to counter terrorism based on Foucauldian approach. Keywords: Terrorism, Discourse, Hegemony, Discursive Violence, Human Rights Pengantar Pasca
11
2001,
dunia mau tidak mau harus satu garis
pemerintah Amerika Serikat dan
komando dengan Amerika Serikat.
negara-negara Barat berusaha keras
“Either you are with us or you are
untuk menjadikan terorisme sebagai
with
ancaman
pidato Bush tersebut memperlihatkan
baru
September
demokrasi
liberal
the
terrorism”.
Barat (Chalk, 2002 : 40). Terorisme
AS
memang bukan istilah baru yang
bipolar yang sangat antagonistik,
dikenal oleh dunia Barat, tetapi
kawan atau lawan (Soleim, 2006).
menjadi istilah antagonistik ketika
memainkan
Penggalan
Pihak-pihak
sebuah
yang
mau
politik
satu
dihadapkan dengan demokrasi liberal
barisan komando dengan AS dalam
Barat Pasca Tragedi 9/11. Perang
perang
melawan terorisme yang dikuman-
disebut sebagai kawan AS dan yang
dangkan oleh Amerika Serikat (AS)
menolak bergabung akan disebut
itu
sebagai musuh AS. Secara tidak
kemudian
membuat
hampir
semua negara-negara di belahan
melawan
langsung,
AS
terorisme
ingin
akan
mengatakan
Zuhdan, Kekerasan Diskurisf
69
bahwa negara-negara atau pihak-
dan pengetahuan yang diproduksi
pihak non-negara yang tidak mau
oleh Amerika Serikat tersebut.
satu barisan dengannya melawan terorisme
akan
disebut
sebagai
kelompok yang anti demokrasi. Amerika memainkan
Serikat politik
Proses hegemonisasi AS dalam perang melawan terorisme menjadi strategi
berhasil
politik
ketimbang
yang
harus
lebih
jitu
mengerahkan
antagonistik
kekuatan militer untuk memberantas
tersebut yang kemudian dari situ
terorisme karena dengan hegemoni
lahirlah konsep musuh bersama yang
tersebut maka Amerika Serikat dapat
harus diperangi secara global, yaitu
menciptakan global governance dan
teroris.
ketika
politik unipolar untuk menggerakkan
definisi dan kategorisasi “teroris” itu
semua negara dalam perang melawan
juga harus ikut dengan apa yang
terorisme. Dengan kata lain, melalui
diwacanakan oleh Amerika Serikat.
hegemoni tersebut, maka Amerika
Untuk dapat mengatakan siapa yang
Serikat dapat menciptakan musuh
dianggap teroris dan siapa yang tidak
bersama dan sekaligus menciptakan
dianggap teroris harus sesuai dengan
kekuatan bersama untuk melawan
apa yang diwacanakan oleh Amerika
musuh bersama tersebut.
Masalah
muncul
Serikat.
Anna
Cornelia
Beyer
(2012)
Dari politik bipolar antago-nistik,
dalam “Hegemony and Power in The
AS kemudian memainkan politik
Global War Terrorism” memaparkan
diskursif
untuk
dengan jelas bagaimana Amerika
terorisme
Serikat punya peran kuasa yang
secara global. Semua wacana dan
sangat kuat dalam menghegemoni
pengetahuan
terorisme
negara-negara secara global dalam
Amerika Serikatlah yang menjadi
perang melawan terorisme. Beyer
produsen tunggalnya. Oleh sebab itu,
dalam
kebijakan-kebijakan global maupun
memaparkan bahwa Amerika Serikat
nasional melawan terorisme mau
tidak dapat hanya menggunakan
tidak mau harus mengadopsi wacana
kekuatan material saja (baca : militer
yang
menghegemoni
tujuannya wacana
tentang
tulisannya
tersebut
juga
dan ekonomi) dalam perang melawan
70 Journal of Governance, Desember 2016
Volume 1, No. 2
terorisme, tetapi juga butuh kekuatan
atas
immaterial (baca: ide).
karena untuk mempertahankan label
Bagi
Beyer,
keberhasilan
Amerika
Serikat
melawan
terorisme
menciptakan
dalam
melawan
terorisme
dirinya sebagai simbol kekuatan
perang
dominasi dan super power dunia
hanya
yang tidak tertandingi dan terkalah-
tidak
kekuasaan
perang
material
yang unipolar, tetapi juga kekuasaan
kan. Simbol
tersebut
hilang
dan
ide yang unipolar. Oleh sebab itu,
diragukan ketika Al Qaida berhasil
menurut
kekuasaan
melakukan sebuah teror yang spekta-
hegemonik menjadi peran yang harus
kuler menohok jantung kekuatan
dipegang oleh Amerika Serikat agar
ekonomi dan militer Amerika Serikat
dapat
pemerintahan
dengan menabrakkan pesawat ke
yang
akan
Gedung World Trade Center (WTC)
men-setting
dan Gedung Pentagon pada 11
Beyer
menciptakan
hegemonik
global
memudahkan
dalam
agenda kebijakan sekaligus mengin-
September
tervensi
negara-negara
tempat tersebut selama ini diyakini
yang berada dalam satelit kekuasaan-
menjadi simbol kekuatan ekonomi
nya. Beyer meyakini hal itulah yang
dan militer AS. Di sisi lain, menurut
melatarbelakangi Amerika Serikat
Richmond, tujuan perang Al Qaida
dalam menciptakan kuasa hegemoni
bukan ingin memenangkan sebuah
atas perang melawan terorisme.
“real war” tetapi “immateral war ,
kebijakan
2001,
padahal
kedua
O.P Richmond (2003), dalam
yaitu dengan mendelegitimasi simbol
“Realizing Hegemony : Symbolizing
dominasi AS sebagai negara adidaya.
Terrorism
The
Oleh sebab itu, Richmond dalam
Conflict” melihat latar belakang
karyanya tersebut meyakini bahwa
hegemoni dalam perang melawan
Amerika
terorisme
yang
dilakukan
oleh
strategi kekuasaan hegemonik dalam
Amerika
Serikat
dengan
sudut
perang melawan terorisme dalam
and
Roots
of
Serikat
pandang yang berbeda. Richmond
rangka
melihat
simbol dirinya sebagai negara adi
alasan
utama
Amerika
Serikat untuk melakukan hegemoni
untuk
menggunakan
mempertahankan
daya yang tidak terkalahkan.
Zuhdan, Kekerasan Diskurisf
Muge Kinacioglu (2012) dalam
memburu
71
tokoh-tokoh
maupun
“War on Terror’ and Hegemony:
pengikut Al Qaida dan Taliban yang
Inter-national
selama
Law-Making
ini
dianggap
sebagai
Regarding Terrorism After 9/11”
kelompok
memiliki pandangan lain atas upaya
Afganistan, tetapi negara-negara lain
hegemoni Amerika Serikat dalam
di seluruh belahan dunia harus mau
perang
terorisme.
menerima intervensi militer maupun
bahwa
intervensi politik sebagai bentuk
melawan
penghormatan atas norma dan hukum
terorisme diciptakan dalam rangka
internasional ketika Dewan Keama-
untuk mendorong munculnya norma
nan PBB sudah memberikan resolusi
baru dalam hukum internasional
atas nama pemberantasan terorisme.
melawan
Kinacioglu hegemoni
mengatakan atas
perang
terutama untuk mendapatkan perse-
Dari
teroris.
beragam
Tidak
literatur
hanya
diatas
tujuan legal atau resolusi dari Dewan
makin menguatkan tesis bahwa hege-
Keamanan PBB untuk penggunaan
moni memang menjadi bagian yang
kekuatan atau intervensi militer dan
tidak
intervensi politik ke negara-negara
melawan terorisme. Pertanyaannya
yang dianggap sebagai sarang teroris.
sekarang bagaimana dampak hege-
Kinacioglu melihat pasca tragedi
moni wacana perang melawan tero-
9/11 Amerika Serikat berkepen-
risme tersebut terhadap hak asasi
tingan sekali menciptakan hegemoni
manusia (HAM)? Pertanyaan terse-
perang melawan terorisme untuk
but muncul dari kenyataan empirik
menggalang dukungan dari Dewan
bahwasannya
Keamanan PBB agar memberikan
perang melawan terorisme tersebut
resolusi intervensi militer atau pun
justru melahirkan kekerasan diskursif
intervensi politik ke negara-negara
yang
yang dianggap sebagai sarang teroris.
negara. Kekerasan diskursif sebagai
Misalnya saja, Amerika Serikat
manifestasi hegemoni perang mela-
berhasil mendapatkan resolusi dari
wan terorisme itulah yang menjadi
Dewan
untuk
fokus analisis tulisan ini. Metode
menyerang Afganistan dalam rangka
analisisnya dengan analisis wacana
Keamanan
PBB
terpisahkan
dari
hegemoni
mengancam
HAM
perang
wacana
warga
72 Journal of Governance, Desember 2016
Volume 1, No. 2
Foucaldian
yang
mengandaikan
cara
bahwa
balik
wacana
berkomunikasi
di
pengetahuan
itu
ada
atau
kekuasaan
beserta teknologi kekuasaannya yang berfungsi
mengatur
(Gover-
bagaimana
kita
dan
saling
bagaimana
pengetahuan diciptakan. Diskursus
dipercayai
piranti-piranti
yang
sebagai digunakan
mentality) dan mendisiplinkan (Dici-
lembaga-lembaga untuk mempraktik
pline) wacana tersebut.
kan kuasa-kuasa mereka melalui proses-proses
Hegemoni
Wacana,
Kekerasan
pendefinisian,
pengisolasian, dan pembenaran. Ia
Diskursif, dan “War on Terror”
menentukan
dalam
dikatakan, mana yang tidak terhadap
Perspektif
Foucaldian:
mana
yang
dapat
suatu bidang tertentu, pada kurun
Kerangka Analisis Tulisan ini menggunakan metode analisis wacana. Untuk memahami
waktu tertentu pula. Lebih
lanjut,
Purbani
juga
metode analisis wacana, penulis
menjelaskan unit analisis wacana
mencoba
mengutip
dikatakan
Purbani
apa
yang
terdiri atas sekumpulan peraturan-
(2005)
yang
peraturan tak tertulis serta asumsi-
mengatakan jika dalam pendekatan
asumsi
empirisme-positivisme
maupun
sebagai upaya untuk mengatur apa
wacana terbatas pada
yang pantas ditulis, dipikirkan, dan
fenomologi
pengertian unit kebahasaan, pernyataan,
pemikiran,
dipahami
bersama
dilakukan dalam suatu bidang.
landasan
Analisis
penentuan dan pemahaman akan
bagai-mana
fakta-fakta, tetapi dalam konsep
konven-si-konvensi dan prosedur-
Foucault,
mengandung
prosedur yang membenarkan dan
pengertian akan adanya power dan
menentukan tata wacana (discursive
kekuasaan
di
pernyataan-
practice).
pernyataan
tersebut.
Paham
ini
mendalam
segala
relasi
dikatakan
atau
wacana
mempercayai kekuasaan
atau
yang
balik
bahwa dalam
masyarakat
mempengaruhi dan membentuk cara-
wacana
mempelajari
peraturan-peraturan,
Ia
menelusuri sesuatu ditulis
secara yang dalam
masyarakat, sistem umum, repertoir dari
topik-topik
pembica-raan,
Zuhdan, Kekerasan Diskurisf
aturan-aturan yang dinyatakan yang mengatur apa yang boleh dikatakan dan apa yang tidak boleh, apa yang dapat diperdebatkan dalam suatu bidang kajian. Dalam menurut
konteks
makalah
Gramscian,
ini,
pinan moral yang dilakukan oleh kelas penguasa untuk menguasai kesadaran massa, tetapi bagi Foucalhegemoni
melalui dibangun
dapat
struktur oleh
tujuannya pengetahuan
dijalankan
wacana
yang
kekuasaan
yang
untuk
menciptakan
atau
wacana
yang
yang
akan
mainstream-dominatif selalu
membenarkan
tindakan
penguasa tanpa harus dengan represif tetapi
melalui
regulasi
dan
normalisasi (Foucault, 1980 : 96). Kata lain hegemoni menurut istilah Foucalt adalah upaya menciptakan “Regime of Truth” sebagaimana yang dia
nyatakan
distinguish true and false statements, the means by which each is sanctioned; the techniques and procedures accor-ded value in the acquisition of truth; and the status of those who are charged with saying what counts as true (Foucault, 1980 : 131).”
hegemoni
dijalankan melalui ide dan kepemim-
dian
73
dalam
karyanya
“Power and Knowledge”, berikut penggalan pernyataannya. “régime of truth, its ‘general politics’ of truth: that is, the types of discourse which it accepts and makes function as true; the mechanisms and instances which enable one to
Hegemoni Foucaldian tid-ak lagi mengandalkan pada struktur represif tetapi lebih mengandalkan struktur wacana. Adanya struktur wacana tersebut membuat pengetahuan atau “kebenaran” bukan sesuatu yang bersifat murni alamiah tetapi sudah mengalami dekonstruksi maknanya. Kemudian, ketika kuasa atas makna tersebut
dipegang
kekuasaan
maka
oleh
struktur
pengetahuan
ataupun “kebenaran” sudah menjadi bias kekuasaan. Hegemoni wacana dijalankan dengan melalui konsep kerja yang diistilahkan Foucault sebagai teknologi kekuasaan yang berbentuk biopolitic, govermentality, dicipline,
survei-lence,
dan
exclusion. Menurut Foucault, hegemoni akan efektif
ketika
kekuasaan
dapat
memahami berjalannya biopolitic. Foucalt melihat bahwa manusia itu sebuah entitas biologi yang butuh
74 Journal of Governance, Desember 2016
diadministrasikan
dalam
Volume 1, No. 2
urusan
terkecil. Hegemoni pengetahuan dan
kesehatan,
kebenaran tersebut sampai membuat
kelahiran,
kematian,
populasi,
kependudukan,
dan
sebagaimana
yang
tersebut tidak punya sebuah konter
Foucalt nyatakan dalam karyanya
hegemoni karena kuasa akan definisi
“History
dan makna juga sudah diatur secara
sebagainya, Of
Sexuality”,
berikut
penggalan pernyataannya :
Pengaturan administratif manu-sia govermentality)
entitas
biologis
itu
sebagai merupakan
sebuah bentuk kekuasaan tersendiri yang
berbeda
dari
kekuasaan
deterministik ekonomi sebagaimana
mengatur
manusia
sebagai entitas biologis itu disebut Foucault sebagai biopower. Melalui biopower memiliki
ini,
penguasa
kuasa
dapat
hegemoni
pengetahuan dan kebenaran atas masyarakat
sampai
entitas
biologi
urusan
makna dan definisi tersebut dianggap sebagai
kebenaran
yang
harus
diterima
secara
formal
oleh
masyarakat. Kemudian hegemoni
bagi
Foucault,
wacana
dilakukan
juga
melalui
dapat praktik
pendisiplinan. Tubuh manusia perlu diatur dalam entitas politik yang lebih mikro dan spesifik, misalnya di sekolahan, rumah sakit, penjara, tempat kerja, barak militer, dan sebagainya (Foucault, 1977 : 168). Metode pengaturannya melalui sebuah pengawasan kepada individuindividu
agar
individu-individu
tersebut disiplin sebagaimana yang
yang digambarkan oleh Marx. Kekuasaan
sebagai
administratif yang lama kelamaan
“on the species body, the body imbued with the mechanisms of life and serving as the basis ofthe biological processes: propagation, births and mortality, the level of health, life expectancyand longevity, with all the conditions that can cause these to vary. Their suspension was effectedthrough an entire series of interventions and regulatory controls: a biopolitics of the population (Foucault, 1990 : 139 )”.
(baca:
manusia
yang
diharapkan
oleh
sang
kuasa
pengawas. Pengawasan ini tidaklah langsung
menghadirkan
kekuasaan
represif-empirik
sebuah tetapi
cukup dengan menghadirkan kekuasaan abstrak yang seolah-olah selalu hadir dalam alam pikiran individu-
Zuhdan, Kekerasan Diskurisf
75
individu yang diawasi tersebut yang
makna dan kepentingan, sebagai-
membuat
otomatis
mana Foucalt hipotesiskan dalam
mendisiplinkan diri dengan sendiri-
karyanya “The Order of Discourse” :
nya tanpa harus langsung diawasi
“that in every society the production of discourse is at oncecontrolled, selected, organized and redistributed by a certain number of procedures whose role is toward off its powers and dangers, to gain mastery over its chance events, to evade its ponderous, formidable materiality (Foucault, 1981 : 54)
dia
secara
seorang petugas pengawas. Inilah
yang
disebut
Foucault
sebagai panopticon effect. Melalui praktik pendisiplinan dengan metode panop-ticon
effect
ini
hegemoni
wacana akan selalu hadir dalam alam pikir dan kesadaran masyarakat tanpa harus menghadirkan aparat negara untuk mendampingi ataupun mengawasi langsung per individu-individu dalam masyarakat tersebut. Adanya panopticon effect ini wacana yang diproduksi penguasa akan menjadi menu wacana tunggal yang harus dienyam oleh masyarakat karena kalau tidak mau mengenyam seolaholah akan ada pengawasan dan ancaman hukuman tersendiri yang selalu hinggap dalam pikiran. Lalu, dapat
hegemoni
dilakukan
juga
praktik
ekslusi. Penguasa menurut Foucault memiliki otoritas untuk menyusun dan memilah wacana. Penyusunan dan pemilahan wacana bukanlah sebuah proses apolitis yang nirkepentingan
tetapi
justru
baik dan benar atau wacana mana yang buruk dan salah merupakan sebuah praktik ekslusi yang ada dalam setiap masyarakat. Adanya praktik ekslusi wacana ini membuat sebuah polarisasi dan antagonisme antar aktor. Aktor yang hegemoniklah yang akan dapat menciptakan sebuah wacana tunggal otoritatif, sedangkan aktor di luar itu hanya dapat mendapatkan ekslusi sehingga
wacana
melalui
Menentukan wacana mana yang
penuh
apapun wacana yang diproduksinya hanya dianggap sebagai wacana yang salah dan tidak layak diterima secara universal. Oleh sebab itu, melalui praktik ekslusi ini para penguasa dapat memiliki kuasa diskursif untuk menentukan siapa kawan yang harus
76 Journal of Governance, Desember 2016
Volume 1, No. 2
dirangkul dan siapa musuh yang
Analisis
harus diperangi.
dalam “War on Terrorism”
Jika
menggunakan
pendekatan
Kekerasan
Pernyataan
Diskursif
Presiden
George
teoritiknya Foucault di atas, maka
Bush, ”either you are with us or you
konsepsi tentang hegemoni wacana
are with the terrorism”, secara
dan kekerasan diskursif dalam “war
eksplisit menunjukkan bahwa dunia
on terror” dapat dilihat salah satu
ini
bentuknya sebagai berikut. Misalnya,
kekuatan baik (good) dan kekuatan
ketika warga negara diposisikan
jahat (evil) (Masykur, 2008). Walau-
sebagai entitas biopolitik maka di
pun cuma pernyataan tetapi apa yang
saat itu pula warga negara tidak
dikatakan oleh Bush tersebut sebagai
memiliki kuasa atas makna atau
sebuah bentuk hegemoni wacana
pengetahuan tentang dirinya sendiri
yang membuat ketegangan baru di
sehingga
berbagai negara.
mudah
oleh
penguasa
dikategorisasikan sebagai sosok yang
terbelah
antara
Ketegangan
pertarungan
tersebut
terkait
memiliki ciri-ciri seorang teroris
dengan kebijakan dalam negeri yang
berdasarkan data-data administrasi
akan diambil oleh masing-masing
biologis
negara
yang
diproduksi
secara
dalam
menyikapi
isu
monopoli oleh negara. Contoh kasus,
terorisme, padahal dapat jadi isu
seseorang itu memiliki data kelahiran
terorisme bukan menjadi isu prioritas
dengan nama yang agak “ke-arab-
kebijakan negara-negara tersebut dan
arab-an” ataupun identik dengan
di
nama Islam, maka dengan mudah
melawan
sebuah negara melabelinya sebagai
banyak melanggar HAM rakyatnya
ciri-ciri seorang teroris. Labeling
sendiri, tetapi karena yang memberi-
teroris yang direproduksi oleh negara
kan
berdasarkan data-data administratif
presiden
biologis dapat dikategorikan sebagai
adidaya
salah
pernyataan tersebut telah mencipta-
satu
diskursif.
bentuk
kekerasan
kan
sisi
lain
kebijakan
terorisme
pernyataan
maka
norma
justru
adalah
sebuah
perang
seorang
negara mau
baru
tidak
dalam
akan
paling mau
hukum
internasional yang mengikat semua
Zuhdan, Kekerasan Diskurisf
negara
melampaui
norma
HAM
universal. Jika tidak mau merealisasikan pernyataan tersebut maka sebuah
negara
akan
dikucilkan
77
a civilization, a battle for the future of the Muslim world. This is a struggle of ideas and this is an area where America must excel (Dannreuther & Peterson, 2006 : 2)”.
bahkan dapat diperangi oleh Amerika Serikat
dan
karena
Dari pernyataan tersebut dapat
dianggap berteman dengan teroris.
dilihat memang perang melawan
Hak
sebuah
terorisme bagi Bush bukan perang
negara terancam juga karena ada
peradaban, tetapi perang pada salah
hegemoni wacana yang dilontarkan
satu bagian dalam peradaban Islam
self
sekutunya
determination
Kemudian Bush juga menyata-
sehingga
kelompok barbar
yang
kan, “We are facing a new kind of
dimaksud
enemy-somebody so barbaric that
sebelumnya kuat sekali mengarah
they would fly airplanes into a
pada Islam. Labeling bahwa pemeluk
building full of innocent people
Islam identik dengan teroris dan
(FDCH Transcript, 2001 : 3)”. Istilah
ajaran Islam adalah ajaran yang
barbar dalam pidato tersebut juga
melahirkan terorisme menjadi suatu
menyiratkan sebuah konotasi untuk
wacana global yang hegemonik. Hal
menunjuk kelompok yang menjadi
ini diperkuat dengan pernyataan
musuh baru yang harus dilawan
Blair sekutu dekat Bush yang lebih
bersama. Kelompok yang dianggap
jelas lagi dengan menyebut empat
barbar oleh Bush tersebut tidak
ciri ideologi setan para teroris: anti
secara eksplisit disebutkan siapa
Israel; anti nilai-nilai Barat; ingin
aktor tersebut. Tetapi, jika kita
menerapkan
melihat pernyataan pidato Bush di
mempersatukan umat Islam dengan
kantor National Security Strategy
Khilafah
pada September 2002 akan tahu
Bush dan Blair tersebut jelas-jelas
siapa
mecitrakan sosok pelaku teroris itu
yang
dimaksud
kelompok
barbar tersebut. “The war on terrorism is not a clash of civilizations. It does, however, reveal the clash inside
dalam
pidato
syariah
(BBCNews).
Islam,
Bush
dan
Pernyataan
identik dengan orang Islam. Gambar 1. Demontrasi Santri Muhammadiyah Pasca Kematian
78 Journal of Governance, Desember 2016
Siyono di Depan Polda DIY, 2016 (Sumber: Foto Amatir)
Volume 1, No. 2
Upaya hege-moni wacana “war on terrorism” menggunakan praktik biopolitik pernah juga dilakukan oleh Ansyad Mbai selaku ketua Badan Penanggulangan Indonesia
yang
Teroris
(BNPT)
menuai
banyak
kritikan karena cenderung memperlihatkan kekerasan diskursif yang berdampak pada diskriminasi kelompok, pernyataan dia seperti berikut.
Jika dilihat dengan pendekatan biopolitik-nya Foucault, pernyataan Bush maupun Blair tersebut dapat dikategorikan
sebagai
kekerasan
diskursif yang mengancam HAM. Misalnya saja, ketika sebuah negara menerapkan
regulasi
konter
terorisme dengan membuat indikator ciri-ciri seorang teroris seperti yang dinyatakan oleh Bush dan Blair tersebut tentu saja akan banyak orang-orang yang akan ditangkap dengan tuduhan terorisme padahal hanya memiliki pemikiran anti israel, anti nilai-nilai Barat,
penegakan
syariah, serta khilafah Islamiyah padahal itu menjadi bagian dari kebebasan
sipil
politik
menyuarakan pendapat.
untuk
“Ciri-ciri radikalisme (mengutip pandangan Gus Dur dalam buku Ilusi negara Islam), antara lain bahwa kelompok itu suka mengkafirkan orang. Jangankan yang berbeda agama, yang berbeda saja, dalam tata ibadah, misalnya itu sudah dianggapnya kafir. Kedua, mereka selalu mengatasnamakan Tuhan untuk menghukum yang lain. Tujuan gerakan mereka adalah ingin mengubah negara bangsa menjadi negara agama. Ganti ideologi Pancasila dengan Islam versi mereka, mengganti NKRI dengan khilafah. Ini ancaman bagi NKRI, karena itu presiden selalu mengatakan, negara tidak boleh kalah (https://qousa.wordpress. com/tag/ansyaad-mbai).” Kembali ke pernyataan Bush, bahwa perang melawan terorisme adalah perjuangan ide dan Amerika Serikat harus mengambil bagian. Pernyataan
Bush
tersebut
mencerminkan bahwa dunia Islam
Zuhdan, Kekerasan Diskurisf
adalah dunia yang bermasalah dan
Dengan
79
melakukan
praktik
Amerika Serikat harus masuk ke
ekslusi wacana ini, maka Amerika
dalam dunia Islam untuk berjuang
Serikat akan lebih mudah meng-
mempromosikan ide baru agar masa
hegemoni wacana tentang ide baru
depan dunia Islam punya masa depan
yang beradab dan setiap negara,
yang
ini
bahkan negara-negara Islam harus
lebih
bagus.
Hal
memperlihatkan
bahwa
Amerika
mau mengakui dan menerimanya
Serikat
perang
melawan
sebagai ide baru yang beradab,
terorisme tersebut juga melakukan
sedangkan ide yang lain tidak layak
sebuah hegemoni wacana melalui
dengan peradaban dan harus di-
praktik ekslusi, bahwa ide baru yang
perangi. Ide baru yang dimaksud
dibawa Amerika itu adalah ide yang
Amerika itu adalah demokrasi liberal
beradab, sedangkan ide dalam dunia
Barat. Negara yang tidak mau tunduk
Islam adalah ide yang tidak beradab.
pada
Maka dari itu, dunia Islam harus mau
memerangi terorisme akan dilabeli
menerima dan menerapkan ide baru
sebagai
dalam negaranya agar lebih maju dan
demokratis. Praktik
beradab sebagaimana Amerika ima-
akan muncul ketika sebuah negara
ginasikan. Ide baru yang ingin dipro-
(semisal : Indonesia) menerapkan
mosikan ke dunia Islam sebagaimana
regulasi konter terorisme dengan
Bush nyatakan tersebut adalah ide
memberikan
demokrasi,
identitas antara warga negara yang
dalam
seperti
yang
Bush
nyatakan dalam sebuah pidatonya : “By strengthening Iraqi democracy, we will gain a partner in the cause of peace and moderation in the Muslim world and an ally in the worldwide struggle against the terrorists (http://www.washingtonpost.co m/wpdyn/content/article/2005/1 1/30/AR2005113000667.html).”
hegemoni
Amerika
negara
dalam
yang
tidak
ekslusi juga
pembedaan
definisi
baik dengan teroris. Identitas orangorang atau kelompok yang diduga teroris
sebagaimana
yang
AS
wacanakan identik sebagai kelompok barbar, evil, dan tidak beradab.1 Lihat, Ricard Jackson, “Security, Democracy, and the Rhetoric of CounterTerrorism”, dalam Jurnal Democracy and Security, 1:147–171, 2005. Buku ini memberikan sebuah gambaran yang cukup jelas tentang bagaimana pemerintah AS 1
80 Journal of Governance, Desember 2016
Hal ini nampaknya juga diterapkan
oleh
Volume 1, No. 2
dalam konteks kewarganegaraan dan
BNPT
dalam
HAM mereka memiliki hak sipil dan
kelompok
Islam
hak kewarganegaraan yang sama. Di
yang moderat dengan kelompok
sini terlihat jelas, akibat praktik
Islam yang radikal. Kelompok Islam
ekslusi wacana tersebut berpeluang
yang radikal diwacanakan BNPT
melanggar HAM kelompok yang
sebagai teroris sehingga butuh di-
diekslusi dari wacana mainstream.
mendefinisikan
treatment dengan program deradika-
Hegemoni
“war
wacana
on
lisasi agar kembali menjadi Islam
terrorism” dan kekerasan diskursif-
yang moderat (http://www.bbc.co.uk/
nya juga dilakukan dengan praktik
indonesia/berita_indonesia/2013/08/1
“govermentality”
30827_lapas_khusus_terorisme.shtm
“surveilance”
l). Ekslusi wacana tersebut jelas-jelas
Foucault
konsepsikan.
bentuk kekerasan diskursif karena
wacana
tentang
menciptakan sebuah isolasi, margina-
perbankan
yang
mendisiplinkan
lisasi, dan diskriminasi orang-orang
bank-bank
agar
sensitif
atau kelompok-kelompok yang di-
antisipatif terhadap tindak pencucian
anggap Islam-nya menyimpang dari
uang untuk terorisme,2 yang salah
pandangan Islam mayoritas. Kasus
satu muatannya untuk memastikan
marginalisasi
(baca:
dan
diskriminasi
dan
praktik
sebagaimana
mengontrol
yang
Misalnya,
kepengaturan
dan
men-
terhadap kelompok Islam radikal
screening
menjadi
di
identitas para nasabah tidak masuk
Indonesia yang seolah-olah mereka
dalam indikasi sebagai teroris dan
tidak layak hidup berdampingan
transaksi perbankan yang dilakukan-
dengan kelompok Islam mayoritas
nya bukan untuk kegiatan jaringan
atau
teroris. Para nasabah yang mengeta-
fenomena
masyarakat
umum
umum
padahal
administratif)
dan
bahwa
hui regulasi tersebut seakan-akan menciptakan ekslusi wacana untuk membedakan identitas “evil terrorist dengan good Americans”. Ekslusi wacana yang dilakukan oleh AS dilakukan sebagai upaya hegemoni wacana dalam mendefinisikan kelompok-kelompok yang dianggap teroris dan kelompok-kelompok pro-Amerika.
2
Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/27/PBI/2012 tanggal 28 Desember 2012 Tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Bagi Bank Umum.
Zuhdan, Kekerasan Diskurisf
merasa
diawasi
identitas
81
dan
individu dalam masyarakat yang
transaksi perbankannya yang mem-
seolah-olah merasa selalu diawasi
buat hak privasi mereka terlanggar.
oleh aparat keamanan negara.
Gambar 2. Akibat Dicap Teroris Jenazah Siyono Sempat Ditolak Dikuburkan di Kampungnya oleh Lurah Setempat.
Kekerasan Diskursif Atas Nama “War on Terrorisme”: Bentuk Baru Pelanggaran HAM Hegemoni Terrrorism”
wacana
“War
ternyata
on
memiliki
dampak yang cukup serius terhadap HAM. Melalui analisis wacana yang penulis lakukan ditunjukkan beberapa sampel penggalan kalimat dari pernyataan-pernyataan, baik verbal maupun teks dari para stakeholder Referensi (Sumber: Pemuda Muhammadiyah DIY)
yang berwenang dalam proyek global
Wacana kepengaturan “war on
sebuah bentuk kekerasan diskursif
“war on terrorism” mengarah pada
terrorism” tersebut juga menjalar
jika
sampai ke tata aturan di level
Foucauldian.
masyarakat kampung karena ada
memang tidak melukai fisik atau
himbauan dari aparat keamanan lokal
menghilangkan
ke warga agar mencurigai orang baru
atau kelompok yang menjadi korban
yang rumahnya tertutup dan jarang
dari serangan kekerasan diskursif
sosialisasi
tersebut, tetapi kekerasan diskursif
karena
dengan warga sekitar
orang-orang
seperti
itu
dilihat
dengan
perspektif
Kekerasan
diskursif
nyawa
seseorang
berpotensi melanggar HAM karena
merupakan ciri-ciri jaringan teroris.
akan
Adanya
itu
mengekslusi, dan diskriminasi hak-
panopticon
hak sipil dan hak-hak politik bahkan
effect (efek ketakutan) dalam ranah
hak ekonomi sosial budaya orang-
pikiran
orang
himbauan
menciptakan
dan
semacam
sebuah
kesadaran
individu-
mengisolasi,
yang
marginalisasi,
menjadi
korban
82 Journal of Governance, Desember 2016
Volume 1, No. 2
kekerasan diskursif tersebut. Inilah
sebagai ancaman keamanan. Demi
bentuk baru pelanggaran HAM atas
kestabilan politik, gerakan agama
nama “War on Terrorism”.
dijadikan proyek keamanan oleh
Atas nama “kebaikan bersama”
negara modern. Keamanan di mata
sebuah rezim dapat menciptakan
negara modern tidaklah ditujukan
sebuah hegemoni wacana yang dapat
untuk keamanan penduduk tetapi
mengeklusi sebuah kelompok dari
untuk
sistem politik yang ada. Bahkan atas
stabilnya pasar.
keamanan
kapital
demi
nama aturan hukum, rezim dapat
Umat beragama selaku pendu-duk
membuat kebijakan ataupun produk
bukan prioritas yang harus dilindungi
hukum lainnya untuk mengeklusi
keamanannya oleh negara, tetapi
sebuah kelompok dari kehidupan
justru menjadi sasaran moncong
politik maupun sosial. Politik eklusi
senjata aparat keamanan negara.
menjadi wajah tersembunyi dari
Kemudian, untuk membe-rangus hak
sebuah
beragama/ hak berkeya-kinan, negara
rezim
kekuasaan
karena
dengan memainkan politik eklusi
tidak
tersebut maka rezim akan berhasil
hardsecurity tetapi juga soft-security.
membangun status quo. Kelompok
Hardsecurity,
atau orang-orang yang dieklusi akan
penangkapan, penahanan, penyiksa-
diopinikan oleh rezim sebagai musuh
an, penembakan, penculikan, pemen-
bersama masyarakat dan ancaman
jaraan, ataupun pembunuhan para
ideologis negara.
aktivis keagamaan. Akhir-akhir ini
Dalam kasus “war on terrorism”,
agama saat ini disubjekkan
hanya
mengguna-kan
yaitu
dengan
juga memadukan keduanya, bentuk softsecurity,
yaitu
program
sebagai enemy of the state. Kian
deradikalisasi agama adalah sebuah
radikal pemahaman agama kita, kian
strategi agar para ulama tidak lagi
disubjekkan sebagai subjek yang
bersuara lantang menentang ketidak-
membahayakan keamanan negara.
adilan dan kezaliman kekuasaan.
Proyek terorisme global dan nasional
Umat pun juga takut dan memilih
adalah contoh bagaimana agama
diam ketika hendak menyuarakan
disubjekkan oleh negara modern
tuntutan keadilan ataupun kezaliman
Zuhdan, Kekerasan Diskurisf
83
karena takut dicap sebagai teroris.
lence yang kemudian juga mengan-
Ketakutan dicap sebagai teroris ini
dalkan perangkat keamanan negara
mengidap aktivis-aktivis keagamaan,
bagi foucaldian dianggap justru akan
yang karenanya mereka seakan-akan
melanggengkan kekerasan itu sen-
terpenjara hak-hak sipil dan hak-hak
diri. Logikanya, jika “raison de
politiknya di ruang publik. Kasus
etate”
kematian
karena
Siyono
adalah
contoh
berdirinya punya
menarik untuk merefleksikan tentang
menggunakan
pelanggaran
logika
HAM
dalam
kasus
ini
pemerintahan otoritas
legal
kekerasan,
maka
juga
akan
dipakai
kekerasan diskursif atas nama “war
penduduk untuk melawan kekuasaan
on terrorism” di Indonesia.
hegemonik. Salah satu cara perlawanan yang dilakukan oleh penduduk
Mengubah
“Raison
Pemerintah
de
Modern
Rasionalitas
Etate” dan
Menangkal
Jika pemerintahan berjalan karena memiliki
nik adalah dengan cara terorisme. Terorisme “raison
Terorisme: Epilog
pemerintah
untuk melawan kekuasaan hegemo-
de
adalah etate”
lahir
dari
pemerintahan
modern yang terlalu mengandalkan
otoritas
logika kekerasan dalam menundukan
kekerasan yang dilegalkan, maka
penduduknya agar disiplin dan taat
terorisme juga berdiri atas nama
terhadap
kekerasan yang dibenarkan melalui
bukan lahir pasca 11 September
ajaran
2001,
ideologi
tertentu
sebagai
pemerintah.
tetapi
sejak
Terorisme
pemerintahan
upaya perlawanan atas kekuasaan
modern lahir pada abad-18 di Eropa.
hegemonik. Kekerasan yang menjadi
Kritik Foucaldian atas pemerintahan
“Raison de Etate” berdirinya peme-
modern yang lahir pada abad-18
rintahan modern ini bagi Foucaldian
tersebut,
memiliki masalah yang cukup serius
govermentality. Dahulu, kekuasaan
ketika harus mengatur penduduknya.
dijalankan dalam logika kekerasaan
Salah satu pengaturan penduduk
untuk
melahirkan
mengamankan
yang dilakukan oleh pemerintahan
negara,
tetapi
modern adalah dengan cara survei-
bahwasanya
bagi
konsep
kedaulatan Foulcaldian
pemerintahan
pasca
84 Journal of Governance, Desember 2016
Volume 1, No. 2
abad-18 harus berjalan dengan nalar
atau dituduh sebagai teroris, tetapi
govermen-tality.
pemerintah yang seperti itu hanya
Govermentality
adalah
bentuk
akan terjebak dalam nalar pemerin-
pemerintahan abad-21. Dia tidak lagi
tahan konvesional “menjaga keama-
mengandalkan
aparat
nan negara”, tetapi bukan dengan
pemerintah dalam melakukan kontrol
nalar govermentality, yaitu menge-
penduduk,
pada
lola rasional penduduknya. Semakin
bagaimana mengatur dan mendisip-
pemerintah modern mampu men-
linkan wacana yang layak untuk
ciptakan dan mengatur rasionalitas
dikonsumsi
agar
penduduknya, maka terorisme atas
seiring dengan kepentingan politik
nama apapun tidak akan lahir karena
penguasa.
memahami
negara bukan lagi berdiri jauh di
pemerintah di era liberal, tidak dapat
istana negara, tetapi negara mampu
lagi
hadir
struktur
tetapi
oleh
lebih
penduduk
Upaya
menggunakan
pendekatan
Weberian yang menekankan bahwa berbicaranya
pemerintah
dalam
pikiran
setiap
penduduknya.
sama
halnya berbicara tentang kerja-kerja
Daftar Pustaka
teknis
Buku, Jurnal, & Dokumen
birokrasi,
Foulcaldian
tetapi
kekuasaan
bagi bekerja
melalui wacana yang diproduksi dan diatur oleh pihak penguasa. Jika
dikaitkan
pemerintah
dalam
dengan
upaya
memberantas
terorisme pasca 11 September 2011, maka nalar govermentality dapat dijalankan ketika terorisme juga melakukan upaya-upaya perlawanan melalui dihasilkan
produksi dan
wacana
yang
disebarkannya.
Pemerintah dapat menangkap dan menahan orang-orang yang disangka
Chalk, Peter. (2002). “The Response to Terrorism as a Threat to Liberal
Democracy”.
Dalam
Australian Journal of Politics & History, Volume 44, Issue 3 Dannreuther,
Roland
&
John
Peterson, John. (2006). Security Strategy
and
Transatlantic
Relations. London: Routledge FDCH Transcript, 16 Sept 2001 : 3
Zuhdan, Kekerasan Diskurisf
85
Foucault, Michel. (1977). Discipline
Pencucian Uang dan Pencegahan
and Punish: The Birth of the
Pendanaan Terorisme Bagi Bank
Prison. London: Penguin Books
Umum
Foucault, Michel .(1980). Power/
Soleim, Silje. (2006). A Discourse
Knowledge: Selected Interviews
Analysis of President George W.
& Other Writings 1972-1977.
Bush’s
New York: Pantheon Books
Terrorism. Master Program in
Foucault, Michel.(1981). ‘The Order
Peace
Declared
and
War
on
Conflict
of Discourse’, dalam R. Young
Transformation in Univesity of
(ed.), “Untying the text: A Post-
Tromso
Structuralist Reader”. London: Routledge & Kegan Paul Ltd Foucault,
Internet
Michel. (1990). The
https://qousa.wordpress.com/tag/ansy
History of Sexuality, Volume I:
aad-mbai/. Diunduh 29 Juni 2014
An Introduction. New York:
Transcript: President Bush's Speech
Vintage Books
on the War on Terrorism, lihat
Jackson, Ricard. (2005). “Security,
http://www.washingtonpost.com/wp-
Democracy, and the Rhetoric of
dyn/content/article/2005/11/30/AR20
Counter-Terrorism”, dalam Jur-
05113000667.html. Diunduh 29 Juni
nal Democracy and Security,
2014
1:147–171
http://www.bbc.co.uk/indonesia/berit
Masykur, Shohib. (2008). War on Terrorism
dan
Runtuhnya
Hegemoni AS : Suatu Analisis Gramscian atas Tatanan Dunia Kontemporer. Skripsi HI Fisipol UGM Peraturan Bank Indonesia Nomor 14/27/PBI/2012
tanggal
Desember
2012
Penerapan
Program
28
Tentang Anti
a_indonesia/2013/08/130827_lapas_ khusus_terorisme.shtml. Diunduh 29 Juni 2014