28
BAB II NASAB DALAM HUKUM ISLAM
A. Pengertian Nasab Shaykh Hasanayn Muhammad Makhluf, seorang mufti dari Mesir, membuat terminologi anak zina sebagai anak yang dilahirkan sebagai akibat dari hubungan suami isteri yang tidak sah. Hubungan suami isteri yang tidak sah sebagaimana dimaksud adalah hubungan badan (senggama/wathi‟) antara dua orang yang tidak terikat tali pernikahan yang memenuhi unsur rukun dan syarat nikah yang telah ditentukan.1 Selain itu, hubungan suami isteri yang tidak sah tersebut, dapat terjadi atas dasar suka sama suka ataupun karena perkosaan, baik yang dilakukan oleh orang yang telah menikah ataupun belum menikah. Meskipun istilah anak zina merupakan istilah yang populer dan melekat dalam kehidupan masyarakat, namun Kompilasi Hukum Islam tidak mengadopsi istilah tersebut. Hal tersebut bertujuan agar anak sebagai hasil hubungan zina, tidak dijadikan sasaran hukuman sosial, celaan masyarakat dan lain sebagainya akibat perbuatan dosa yang telah dilakukan ibu kandungnya dan ayah genetiknya. Untuk lebih mendekatkan makna tersebut, Pasal 44 ayat (1) Undang-Undang No.1 Tahun 1974 menyatakan bahwasanya “seorang suami dapat menyangkal sahnya anak yang dilahirkan oleh isterinya, bilamana ia 1
Sebagaimana dikutip Abd Al-Rahman Al-Jaziiry, Al-Fiqh „ala Al-Madzaahib Al-Arba‟ah, Jilid V, Mesir: Al-Maktabah Al-Tijariyah Al-Kubra‟, tt.
28
29
dapat membuktikan bahwa isterinya telah berzina dan kelahiran anak itu akibat daripada perzinaan tersebut”. Dalam Kompilasi Hukum Islam, anak zina yang didefinisikan oleh Shaykh Hasanayn adalah anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, sebagaimana pada Pasal 100 Kompilasi Hukum Islam yang menjelaskan bahwa “anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibu dan keluarga ibunya”. Berdasarkan definisi pendekatan diatas, maka makna anak zina adalah janin atau pembuahannya merupakan akibat dari zina atau tanpa ikatan pernikahan dan dilahirkan diluar pernikahan sebagai akibat dari perbuatan zina. Dengan demikian sejalan dengan Pasal 43 ayat (1) Undang-Undang No.1 tahun 1974 yang rumusannya sama dengan pasal 100 Kompilasi Hukum Islam. Berdasarkan terminologi, anak luar nikah adalah anak yang dilahirkan seorang perempuan yang tidak berada dalam ikatan perkawinan yang sah dengan pria genetik sang anak. Sedangkan pengertian luar nikah adalah hubungan seorang pria dan wanita yang dapat melahirkan keturunan dan hubungan mereka tidak dalam ikatan perkawinan yang sah menurut hukum positif dan agama yang dianutnya.2 Anak yang lahir di luar perkawinan menurut istilah yang digunakan dalam hukum perdata dinamakan natuurlijk kind (anak alami). Pendekatan istilah anak zina sebagai anak yang lahir di luar perkawinan yang sah, berbeda dengan pengertian anak zina yang ada dalam hukum perdata. Dalam hukum 2
Abd. Aziz Dahlan, Ensiklopedia Hukum Islam, (Jakarta: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1999) hlm. 34
30
perdata, istilah anak zina adalah anak yang dilahirkan dari hubungan dua orang, laki-laki dan perempuan yang bukan suami isteri, dimana salah seorang atau kedua-duanya terikat perkawinan dengan orang lain. Oleh sebab itu, anak luar kawin yang ada dalam hukum perdata adalah anak yang dibenihkan dan dilahirkan di luar perkawinan dan istilah lain yang tidak bisa diartikan sebagai anak zina.3 Dalam al-Qur‟an,kata nasab disebut di tiga tempat, yaitu dalam surah al-Furqan : 54 dan al-Shaffat : 158, masing-masing dalam bentuk mufrad (nasab) dan dalam al-Mu‟minun : 101 dalam bentuk jamak (ans}ab)
Dan Dia (pula) yang menciptakan manusia dari air lalu Dia jadikan manusia itu (punya) keturunan dan mushaharah4 dan adalah Tuhanmu Maha Kuasa.
Dan mereka adakan (hubungan) nasab antara Allah dan antara jin. dan Sesungguhnya jin mengetahui bahwa mereka benar-benar akan diseret (ke neraka )
apabila sangkakala ditiup Maka tidaklah ada lagi pertalian nasab di antara mereka pada hari itu5, dan tidak ada pula mereka saling bertanya.
3
Sebagaimana dikutip Wahbah Al-Zuhaily, Fiqh Al-Islam Wa Adillatuhu, Juz VIII, Bairut: Dar Al-fikr, 1985 4 Mushaharah artinya hubungan kekeluargaan yang berasal dari perkawinan, seperti menantu, ipar, mertua dan sebagainya. 5 Maksudnya: pada hari kiamat itu, manusia tidak dapat tolong menolong walaupun dalam kalangan sekeluarga.
31
Secara etimologis nasab berarti al-qara>bah (kekerabatan).6 Menurut al-Lubily, istilah nasab sudah dikenal maksudnya, yaitu jika engkau menyebut seseorang maka engkau akan mengatakan fulan bin fulan, atau menisbatkannya pada sebuah suku, Negara atau pekerjaan.7 Nasab dalam hukum perkawinan Indonesia dapat didefinisikan sebagai sebuah hubungan darah (keturunan) antara seorang anak dengan ayahnya, karena adanya akad nikah yang sah. Nasab merupakan nikmat yang paling besar yang diturunkan oleh Allah SWT kepada hamba-Nya, sebagaimana firman dalam surat al-Furqan ayat 54 diatas, oleh karenanya Islam sangat menekankan pentingnya hubungan nasab/darah (Rah}im/Arh}am). Dalam sejumlah ayat dan hadis terdapat perintah menjaga hubungan darah (silaturrahmi) dan kecaman keras terhadap orang yang memutuskan hubungan darah. Dalam al-Qur‟an misalnya disebutkan :
Dan bertakwalah kepada Allah yang dengan (mempergunakan) nama-Nya kamu saling meminta satu sama lain, dan (peliharalah) hubungan silaturrahim. Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu. Lebih penting lagi adalah hubungan darah dengan orang yang menurunkannya. Al-Qur‟an melarang memutuskan penisbatan (nasab) seseorang dari ayah kandungnya. Karena itulah Islam melarang adopsi yang
6
Ibn Manzur, Al-Qamus al-Muhit, Juz 1, hlm. 125. Akhmad Jalaludin, “Nasab : Antara Hubungan Darah dan Hukum Serta Implikasinya Terhadap Kewarisan”,(Surakarta : Jurnal Publikasi Ilmiah UMS : Ishraqi, No. 1, Juni X, 2012), hlm. 67. 7
32
berakibat memutuskan nasab anak tersebut dari orang tua kandungnya dan sebaliknya menasabkannya kepada orang tua angkatnya.
…..
…….. ……Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri). yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja. dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapakbapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudarasaudaramu seagama dan maula-maulamu…….. Dalam hadis yang diriwayatkan al-Bukhariy, Muslim, Ahmad,Abu Dawud, Ibn Majah dan al-Darimi yang artinya : barang siapa menisbatkan dirinya kepada selain ayah kandungnya padahal ia mengetahui bahwa itu bukanlah ayah kandungnya, maka diharamkan baginya surga. Melihat teks-teks al-Qur‟an dan hadis diatas maka jelas bagi kita semua bahwa permasalah nasab ini dalam Islam merupakan hal yang sangat penting. Islam telah menetapkan bahwa setiap anak yang dilahirkan ke dunia mempunyai hak-hak yang tentu saja menjadi kewajiban orang tua untuk memenuhi hak tersebut. Ada 5 bagian hak anak yaitu: Nasab (garis keturunan), penyusunan, pemeliharaan/pengasuhan, perwakilan dengan berbagai jenisnya yaitu perwalian atas jiwa dan perwalian atas harta serta nafkah.8
8
Al Abdulan Majid Mahmud Muthlub, Panduan Hukum Keluarga Sakinah, alih bahasa Harits Fadly dan Ahmad Khotib, Cet 1, (Solo: Era media, 2005), hlm. 520.
33
Sedangkan menurut istilah ada beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama yang dapat disimpulkan bahwasanya nasab adalah legalitas hubungan kekeluargaan yang berdasarkan tali darah, sebagai salah satu akibat dari pernikahan yang sah, atau nikah fasid, atau senggama subhat. Nasab merupakan sebuah pengakuan syara‟ bagi hubungan seorang anak dengan garis keturunan ayahnya sehingga dengan itu anak tersebut menjadi salah seorang anggota keluarga dari keturunan itu dan dengan demikian anak itu berhak mendapatkan hak-hak sebagai akibat adanya hubungan nasab. Menurut Hazairin, Islam dengan mengacu pada al-Quran dan as-Sunnah menganut sistem bilateral/parental. Selanjutnya Ulama Fiqh menjadikannya lebih cenderung patrilineal.9 Dalam kamus istilah fiqh, nasab adalah keturunan, ahli waris atau keluarga yang berhak menerima harta warisan karena pertalian darah atau keturunan, yaitu anak (laki-laki/perempuan), ayah, ibu, kakek, nenek, cucu (laki-laki/perempuan), saudara (laki-laki/perempuan) dan lain sebagainya.10 Dalam kamus istilah agama kata nasab dalam Al Qur‟an berarti keturunan dan hubungan kekeluargaan.11 Hubungan diluar nikah atau zina adalah munculnya perbuatan dalam arti yang sebenar-benarnya dari seorang yang baligh, berakal sehat, sadar bahwa yang dilakukannya itu perbuatan haram, dan tidak dipaksa. Para ulama mazhab sepakat bahwa, bila zina terbukti, maka tidak ada hak waris mewarisi 9
Hazairin, Hukum Kewarisan Bilateral Menurut al-Quran (Jakarta: Tintamas, 1982),
hlm. 26. 10
M. Abdul Mujieb, Mabruri Tholhah, Syafi‟adalah A.M., Kamus Istilah Fiqh, Cet. I (Jakarta: Pustaka Firdaus, 1994), hlm. 243. 11 M. Shodiq, Kamus Istilah Agama (Jakarta: Bonafida Cipta Pratama, 1991), hlm. 242.
34
antara anak yang dilahirkan melalui perzinaan dengan orang – orang yang lahir dari mani orangtuanya. Sebab, anak itu secara syar‟i tidak memiliki kaitan nasab yang sah dengannya.12 Sedangkan anak zina di nisbahkan kepada ibu yang mengandungnya, itupun bukan dal hakikatnya. Sementara ulama berpendapat, bahwa manusia akan di panggil dengan menisbahkan namanya kepada ibunya. Hal ini bakan saja sebagai penghormatan kepada Isa putra Maryam as., tetapi juga untuk menutup malu anak-anak zina. Pendapat ini didasarkan oleh pemahaman ayat 71 surah Al-Isra dengan memahami kata imam pada ayat tersebut dalam arti bentuk jamak dari umm (Ibu).13
B. Nasab dalam Hukum Islam Menurut fukaha, nasab seseorang kepada ayahnya disebabkan salah satu dari tiga hal : 1. Nikah Sahih Para fukaha sepakat bahwa seorang anak yang lahir dari seorang wanita dalam suatu pernikahan yang sah dinasabkan kepada suami wanita tersebut. Hal ini didasarkan pada hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
Anak itu dinasabkan kepada yang memiliki tempat tidur (laki-laki yang menikahi ibunya), dan bagi yang melakukan perzinaan (hukuman) batu rajam. 12
Muhammad Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Mazhab (Jakarta: Basrie Press, 1994), hlm.
113. 13
M. Quraish Shihab, M Quraish Shihab Menjawab 1001 Soal Keislaman Yang Patut Anda Ketahu (Tangerang: Lentera Hati, 2008), hlm. 512.
35
Anak yang dilahirkan dalam perkawinan yang dinasabkan kepada suami wanita yang melahirkannya dengan syarat : a. Anak itu dilahirkan minimal enam bulan setelah pernikahan kedua orang tuanya. Jika anak tersebut lahir kurang dari enam bulan maka tidak dapat dinasabkan kepada suami ibunya, kecuali jika suami mendakunya. Pendakuan itu dibenarkan dengan anggapan bahwa anak itu buah dari akad nikah sebelumnya (misalnya nikah sirri), atau nikah fasid maupun senggama syubhat, dengan tujuan untuk kemaslahatan anak atau menjaga nama baik. Batas enam bulan ini didasarkan pada penggabungan dua ayat, yaitu al-Ahqaf ayat 15 :
Dan surat Luqman ayat 14 :
Al-Ahqaf : 15 menginformasikan bahwa masa hamil dan menyusui adalah 30 bulan, sedangkan Luqman : 14 menginformasikan bahwa masa hamil sampai anak disapih itu dua tahun (24 bulan). Dari sini disimpulkan bahwa minimal masa hamil adalah 6 bulan. b. Laki-laki yang menjadi suami wanita tersebur haruslah orang yang memungkinkan memberikan keturunan. Anak yang dilahirkan oleh
36
seorang wanita dengan suami yang masih kecil yang menurut kebiasaan belum bisa memberikan keturunan atau yang tidak bisa melakukan senggama tidak bisa dinasabkan kepada suaminya, meskipun anak itu lahir setelah enam bulan dari perkawinan. c. Adanya kemungkinan suami istri itu bertemu setelah akad. Menurut Hanafiah, kemungkinan itu bisa secara taqdiri saja. Seandainya seorang suami tinggal di Barat dan istri tinggal di Timur, lalu istri melahirkan anak maka anak itu tetap dinasabkan kepada suami,karena ada orang yang memiliki karomah sehingga dapat menempuh perjalanan singkat tanpa diketahui orang lain. Sementara menurut mayoritas ulama, kemungkinan itu harus secara nyata atau menurut kebiasaan. d. Si suami tidak mengingkari. Jika suami mengingkari dengan pengingkaran yang dapat diterima maka dia harus mengucapkan lian. Pengingkaran yang dapat diterima adalah pengingkaran oleh suami yang sebelumnya belum mengakui atau belum ada indikasi mengakui anak tersebut. Kalau dia sudah mengakui atau menunjukan indikasi mengakui, seperti mempersiapkan kelahiran anak itu atau mau menerima ucapan selamat atas kelahiran anak tersebut, maka pengingkarannya tidak dapat diterima.14 e. Apabila anak lahir setelah terjadinya perceraian antara suami istri maka untuk menentukan nasabnya terdapat beberapa kemungkinan : 14
Akhmad Jalaludin, “Nasab : Antara Hubungan Darah dan Hukum Serta Implikasinya Terhadap Kewarisan” (Surakarta : Jurnal Publikasi Ilmiah UMS : Ishraqi, No. 1, Juni X, 2012), hlm. 67.
37
1) Fukaha sepakat menyatakan bahwa apabila seorang suami mentalak istrinya setelah melakukan hubungan seksual dan kemudian anak lahir kurang dari enam bulan setelah terjadinya perceraian maka anak tersebut bernasab kepada suami wanita itu. Akan tetapi bila kelahiran lebih dari enam bulan sejak terjadinya perceraian sedangkan suami tidak melakukan hubungan seksual sebelum cerai maka anak tersebut tidak bisa dinasabkan kepada suaminya. 2) Apabila
suami
menceraikan
istrinya
setelah
melakukan
hubungan, baik cerai tersebut talak raj‟I maupun talak ba‟in, atau karena kematian suami, maka terdapat dua kemungkinan. Pertama, apabila anak tersebut lahir sebelum habisnya masa maksimal kehamilan setelah perceraian atau kematian suami,15 maka nasabnya dihubungkan kepada suaminya. Kedua, apabila anak
lahir
melebihi
waktu
maksimal
kehamilan
(yang
diperhitungkan sejak terjadinya perceraian atau kematian suami) menurut jumhur ulama maka anak itu tidak bisa dinasabkan kepada suami wanita tersebut. 2. Pernikahan Fasid Pernikahan fasid adalah pernikahan yang tidak memenuhi rukun dan syarat nikah, seperti walinya bukan orang yang berhak menjadi wali nikah atau mempelai perempuan masih dalam masa „iddah. 15
Masa maksimal kehamilan menurut ulama mazhab Hanafi adalah dua tahun, menurut mazhab Syafi‟I dan Hanbali adalah empat tahun dan menurut mazhab Maliki adalah lima tahun. Sedangkan menurut mazhab Imamiyah adalah Sembilan bulan atau sepuluh bulan.
38
Anak yang dilahirkan sebagai akibat dari nikah fasid nasabnya sama dengan yang dilahirkan sebagai akibat dari nikah sahih. Ditetapkannya hubungan nasab ini dimaksudkan untuk menjaga kepentingan anak. Hanya saja, berbeda dengan nikah sahih, yang menjadi sebab hubungan nasab dalam nikah fasid bukanlah akad itu sendiri, melainkan hubungan seksual yang dilakukan dalam ikatan nikah fasid. Karena itu, disamping syarat-syarat sebagaimana yang berlaku dalam nikah sahih, untuk timbulnya hubungan nasab juga dipersyaratkan telah terjadinya senggama di antara ayah ibunya atau, menurut Malikiyah, keduanya sudah melakukan khalwat. 3. Senggama Syubhat Senggama syubhat adalah hubungan seksual bukan zina tetapi tidak dalam pernikahan yang sah maupun fasid. Misalnya, dalam pernikahan dimana mempelai pria tidak melihat mempelai wanita. Kemudian diantarkanlah seorang wanita ke rumah pria tersebut dan dikatakan bahwa wanita itu adalah istrinya, kemudian dikumpulinya. Ternyata kemudian diketahui bahwa wanita itu bukanlah istrinya. Jika kemudian wanita itu melahirkan seorang anak setelah enam bulan dari senggama syubhat tersebut maka anak itu mempunyai hubungan nasab dengan pria tersebut. Jika melahirkan kurang dari enam bulan maka tidak bisa dinasabkan kepadanya, kecuali jika si pria mendakunya.
39
Selain tiga hal diatas yang dapat menyebabkan seorang anak mempunyai hubungan nasab dengan ayahnya, ada dua cara lain yang dapat dijadikan dasar penetapan nasab, yaitu : 4. Iqrar/iddi‟a (pendakuan) atau istilhaq (penghubungan) Jika seorang anak tidak diketahui siapa ayahnya atau juga ibunya, maka penetapan nasabnya dapat dilakukan dengan cara iqrar atau istilhaq, yaitu pendakuan tentang adanya hubungan nasab seseorang dengan pendaku, baik secara langsung maupun secara tidak langsung. Pendakuan secara langsung adalah mendaku orang lain sebagai anaknya atau ayahnya. Sedangkan pendakuan secara tidak langsung misalnya mendaku orang lain sebagai saudaranya atau cucunya atau pamannya atau kakeknya. Pendakuan secara langsung dipandang sah jika memenuhi empat syarat yaitu : (a) orang yang didaku memang tidak mengetahui nasabnya, (b) dari sisi umur antara si pendaku dengan yang didaku pantas sebagai ayah dan anak atau anak dan ayah, (c) orang yang didaku membenarkan pendakuan tersebut, jika dia sudah memiliki kecakapan hukum, (d) orang yang mendaku tidak menyatakan bahwa orang yang didaku adalah anaknya sebagai hasil zina. Sedangkan pendakuan secara tidak langsung, disamping harus memenuhi syarat-syarat tersebut, juga harus memenuhi satu syarat tambahan, yaitu bahwa pendakuan itu dibenarkan oleh orang lain yang secara langsung mempunyai hubungan nasab akibat pendakuan tidak
40
langsung tersebut. Misalnya,
kalau A mendaku bahwa C adalah
cucunya dari B yang menrupakan anaknya, maka untuk sahnya pendakuan tersebut diperlukan pembenaran dari si B. 5. Pembuktian dengan kesaksian Menurut fukaha, nasab juga dapat ditetapkan berdasarkan kesaksian. Saksi tersebut harus dua orang laki-laki menurut malikiyah, tetapi bisa satu orang laki-laki dan dua orang perempuan menurut Abu Hanifah dan Muhammad. Sementara Syafi‟iyah, Hanabilah dan Abu Yusuf memberikan hak kesaksian itu kepada semua ahli waris. Pengakuan nasab dengan kesaksian ini menurut fukaha lebih kuat dari pada sekedar pendakuan.16 Mengenai status anak dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI), pasal 99 dijelaskan anak yang sah adalah : a. Anak yang dilahirkan dalam atau akibat perkawinan yang sah. b. Hasil pembuahan suami istriyang sah di luar rahim dan dilahirkan oleh istri tersebut. Pasal 100 kompilasi hukum islam bahwa :”anak yang lahir di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya” Begitu juga dalam UU No. 1 /1974, masalah anak sah diatur dalam pasal 42 “anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai
16
Pada masa modern seperti sekarang, selain dengan kesaksian, pembuktian nasab tentunya bisa dilakukan dengan tes DNA (deoxyribo nucleic acid). Namun, meskipun tes DNA bukan hal baru dalam penyelidikan kepolisian dan pembuktian di pengadilan, para ulama masih berbeda pendapat antara yang memperbolehkan dan yang tidak memperbolehkan.
41
akibat perkawinan yang sah”. Dalam ketentuan bagian pertama pasal 42 UUP No 1Th 1974 tersebut diartikan secara mutlak, kapanpun lahirnya anak, asal dalam perkawinan yang sah dan tanpa memperhatikan apakah laki-laki yang menjadi suami ibu anak adalah laki-laki yang menyebabkan kehamilan atau bukan, dapat dipastikan bahwa ketentuan undang-undang ini tidak sejalan dengan hukum islam.
C. Dasar Hukum Nasab Dasar hukum nasab adalah firman Allah yang berbunyi:
Allah menjadikan bagi kamu isteri-isteri dari jenis kamu sendiri dan menjadikan bagimu dari isteri-isteri kamu itu, anak-anak dan cucu-cucu, dan memberimu rezki dari yang baik-baik. Maka Mengapakah mereka beriman kepada yang bathil dan mengingkari nikmat Allah. (QS. An Nahl: 72) Dan keterangan juga di dalam hadits yang berbunyi:
“Dari Abi Hurairah r.a. bahwasanya Nabi saw. Pernah berkata: Anak zina itu ialah untuk ibunya dan laki-laki yang berzina itu berhak dilempar batu”. (HR. Muslim) Selanjutnya senada dengan pasal 42 dan pasal 43 ayat 1 UndangUndang No.1/1974 sebagai berikut: “Anak yang sah adalah anak yang dilahirkan dalam atau sebagai akibat perkawinan yang sah. Adapun anak yang
42
dilahirkan di luar perkawinan hanya mempunyai hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya.17 Amir Syarifuddin menyebutkannya dengan “kalau nasab kepada ibunya bersifat alamiah, maka (nasab) anak kepada ayah adalah hubungan hukum; yaitu terjadinya peristiwa hukum sebelumnya, dalam hal ini adalah perkawinan”18
D. Sebab-Sebab Nasab Ada tiga hal yang menetapkan sahnya suatu keturunan menurut syari‟at Islam, yaitu: a. Hubungan suami-istri yang terjadi dalam perkawinan yang sah. Perkawinan yang sah, maksudnya perkawinan yang sudah resmi, antara seorang pria dengan seorang wanita.19 Jika dari hubungan itu istri hamil, kemudian melahirkan anak, maka anak yang dilahirkan itu adalah anak yang sah, dengan arti bahwa bapak dan ibu dari anak itu dapat diketahui dengan pasti sesuai dengan ketentuan-ketentauan agama.20 b. Pengakuan (ikrar) Di dalam hal pengakuan ada dua macam pengakuan keturunan, yaitu:
17
H. Imron Kamil, B.A., Bahan Penyuluhan Hukum (Jakarta: Departemen Agama RI, 1999), hlm. 103. 18 Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad; Isu-isu penting hukum Islam kontemporer di Indonesia (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 198. 19 Zakaria Ahmad al-Barry, Hukum Anak-anak dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 567. 20 Murni Djamal, M.A., Ilmu Fiqh, Jilid II (Jakarta: IAIN 1984), hlm. 172.
43
1) Pengakuan yang langsung seperti seorang bapak mengakui bahwa seseorang adalah anak laki-laki atau anak perempuannya 2) Pengakuan yang tidak langsung seperti seorang mengakui bahwa seorang adalah cucunya. c. Pembuktian (bayyinah) Keturunan dapat juga ditetapkan berdasarkan adanya bukti yang sah menurut agama Islam, yaitu saksi-saksi yang terdiri dari dua orang laki-laki atau satu orang laki-laki dan dua orang wanita.21
E. Status Nasab Anak Diluar Nikah Menurut Hukum Islam. Nasab dalam doktrinal Islam merupakan sesuatu yang sangat penting, hal ini dapat dilihat dalan sejarah Islam, ketika Nabi Muhammad SAW mengangkat seorang anak yang bernama Zaid bin Haritsah. Kemudian oleh orang-orang dinasabkan kepada Nabi, mendapatkan keteguran dari Allah SWT. Dalam al-Qur‟an surat al-Ahzab ayat 4-5 yang berbunyi:
21
Zakaria Ahmad al-Barry, Hukum Anak-anak dalam Islam (Jakarta: Bulan Bintang, 1977), hlm. 67.
44
“Allah sekali-sekali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan dia tidak menjadikan isteri-isterimu yang kamu dzibar itu sebagai ibumu, dan dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anakanak kandungmua (sendiri). Yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulut saja. Dan Allah mengatakan yang sebenarnya. Dan dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggillah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih adil pada sisi allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka maka (panggillah) mereka sebagai saudara-sauadaramu seagama dan maula-maulamu. Dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf kepadanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. Dan adalah Allah maha pengampun lagi Maha Penyayang”. Yang dimaksud dengan anak luar nikah adalah anak yang dibuahi dan dilahirkan di luar pernikahan yang sah. Di dalam ilmu nasab ada klasifikasi/pengelompokan status nasab seseorang: 1. S}ohihun Nasab, adalah status nasab seseorang yang setelah melalui penelitian dan pengecekan serta penyelidikan ternyata sesuai dengan buku rujukan (buku H. Ali bin Ja‟far Assegaf dan buku induk), yang bersangkutan dinyatakan berhak untuk mendapatkan buku dan dimasukkan namanya di dalam buku induk. 2. Masyhurun Nasab , adalah status nasab seseorang yang diakui akan kebenarannya namun tidak terdapat pada buku rujukan yang ada. Yang bersangkutan tidak bisa dimasukkan dalam buku induk. Kebenaran nasabnya didapat dari keterangan kalangan keluarganya sendiri dan ditunjang oleh beberapa literatur/buku yang dapat dipercaya, juga diakui
45
oleh ahli-ahli silsilah terdahulu ditambah beberapa orang yang memang diakui kepribadiannya di masanya. 3. Majhulun Nasab, adalah status nasab seseorang setelah diadakan masa penyelidikan/pengecekan dan penelitian ternyata tidak didapatkan jalur nasabnya. Ada beberapa kemungkinan penyebab terjadinya status ini diantaranya: karena ketidak tahuan, kebodohan, keminiman pengetahuan masalah nasabnya ataupun niat-niat untuk memalsukan nasab. 4. Maskukun Nasab, adalah status nasab seseorang yang diragukan kebenarannya karena didalam susunannya terjadi kesalahan/terlompat beberapa nama. Hal ini dikarenakan terjadinya kelengahan sehingga tidak tercatatnya beberapa nama pada generasi tertentu. 5. Mardudun Nasab, adalah status nasab seseorang yang dengan sengaja melakukan pemalsuan nasab , yakni mencantum beberapa nama yang tidak memiliki hubungan dengan susun galur nasab yang ada. Ataupun menisbahkan namanya dengan qabilah tertentu bersandarkan dengan cerita/riwayah dari seseorang yang tidak memiliki ilmu nasab/individu yang mencari keuntungan ekonomi secara pribadi. Ada beberapa kemungkinan yang menyebabkan yang bersangkutan bertindak memalsukan nasab ini sebagai contoh adalah karena yang bersangkutan hendak melamar Syarifah ataupun masalah warisan. 6. Tah}tal Bahas (dalam pembahasan), adalah status nasab seseorang yang mana di dalamnya terjadi kesimpang siuran dalam susunan namanya. Hal ini banyak penyebabnya, diantaranya karena yang bersangkutan di tinggal oleh
46
orang tuanya dalam keadaan masih kecil atau terjadinya kehilangan komunikasi dengan keluarganya atau terjadi kesalahan dalam menuliskan urutan-urutan namanya. Posisinya nasab ini bisa menjadi S}ohihun nasab atau majhulun nasab atau mardudun nasab sesuai dengan hasil penyelidikan dan pengecekan yang dilakukan. 7. Mat}‟unun Nasab, adalah status seseorang yang tertolak nasabnya karena yang bersangkutan terlahir dari hasil perkawinan di luar Syariat Islam. Tertolaknya nasab ini setelah melalui penelitian dan pengecekan juga dengan ditegaskan oleh beberapa orang saksi yang dapat dipercaya. Hal ini juga dikenal dengan cacat nasab.22 Mengenai status anak luar nikah, para ulama sepakat bahwa anak itu tetap punya hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya. Tanggung jawab atas segala keperluannya, baik materiil maupun spirituil adalah ibunya dan keluarga ibunya. Demikian pulanya dengan hak waris-mewaris. Dalam hal anak diluar nikah ini, dibagi ke dalam dua kategori : a. Anak yang dibuahi tidak dalam pernikahan yang sah, namun dilahirkan dalam pernikahan yang sah. Menurut Imam Malik dan imam Syafi‟i, anak yang lahir setelah enam bulan dari perkawinan ibu dan bapaknya, anak itu dinasabkan kepada bapaknya. Jika anak itu dilahirkan sebelum enam bulan, maka anak itu dinasabkan kepada ibunya. Berbeda dengan pendapat itu, menurut
22
http://Imamrusli urgensi nasab anak dalam Islam dalam imamrusli.woordpress.com. Diakses, 3 Mei 2014.
47
Imam Abu Hanifah bahwa anak di luar nikah itu tetap dinasabkan kepada bapaknya sebagai anak yang sah. b.
Anak yang dibuahi dan dilahirkan diluar pernikahan yang sah Status anak diluar nikah dalam kategori yang kedua, disamakan statusnya dengan anak zina dan anak lian, oleh karena itu maka mempunyai akibat hukum sebagai berikut: 1) Tidak ada hubungan nasab dengan bapaknya. Anak itu hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya. Bapaknya tidak wajib memebrikan nafkah kepada anak itu, namun secara biologis ia tetap anaknya. Jadi hubungan yang timbul hanyalah secara manusiawi, bukan secara hukum. Kompilasi Hukum Islam (KHI) pasal 100, menyebutkan anak yang lahir diluar perkawinan hanya mempunyai hubungan nasab dengan ibunya dan keluarga ibunya 2) Tidak ada saling mewaris dengan bapaknya, karena hubungan nasab merupakan salah satu penyebab kerwarisan. 3) Bapak tidak dapat menjadi wali bagi anak diluar nikah. Apabila anak diluar nikah itu kebetulan seorang perempuan dan sudah dewasa lalu akan menikah, maka ia tidak berhak dinikahkan oleh bapak biologisnya.23
23
Amir Syarifuddin, Meretas Kebekuan Ijtihad, (Jakarta: Ciputat Press, 2002), hlm. 195.