KEGIATAN USAHA PERTAMBANGAN Vs KERUSAKAN LINGKUNGAN HIDUP (Dipublikasikan dalam Jurnal Ilmiah ”Dinamika Hukum”, FH Unisma Malang, ISSN: 0854-7254, Vol. XVII No. 35, Maret 2012, h. 75-81) Abdul Rokhim1 Abstract Legal issues raised in this paper are the legal issues on mining business, particularly on the question of environmental damage caused by mining activities less attention to issues of environmental preservation. One cause of the lack of attention from the mining business to environmental problems are generally those still using the classic paradigm in understanding the mining business, which dredge (extraction) as many minerals for economic gain as much as possible without thinking about the negative impact or risks to the community and the environment. Key Words: Mining Business; Environmental Damage 1. Pendahuluan Persoalan hukum yang diangkat dalam tulisan ini adalah masalah hukum di seputar kegiatan usaha (bisnis) pertambangan, khususnya mengenai masalah kerusakan lingkungan akibat kegiatan pertambangan yang kurang memperhatikan persoalan pelestarian lingkungan hidup. Salah satu penyebab kurangnya perhatian dari para pelaku usaha (kontraktor) pertambangan terhadap masalah lingkungan hidup adalah umumnya mereka masih menggunakan paradigma klasik dalam memahami kegiatan usaha pertambangan, yakni mengeruk (ekstraksi) sebanyak-banyaknya barang tambang demi keuntungan ekonomi sebesar-besarnya tanpa memikirkan dampak negatif atau risikonya terhadap masyarakat dan lingkungan di sekitarnya. Makalah ini telah dipresentasikan dalam Seminar Nasional tentang “Selamatkan Alam Rembang Menuju Hijau Lestari” yang diselenggarakan oleh Lembaga Masyarakat Lingkungan Hidup (LMLH), di Hotel Puri Indah, Rembang, 30 Juli 2011. 2. Paradigma dalam Usaha Pertambangan Eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam hingga kini masih diwarnai oleh paradigma klasik yang menilai sumber daya alam sebagai sumber pandapatan ketimbang modal. Paradigma tersebut telah berkembang jauh sebelum terjadinya revolusi industri sebagai manivestasi dari hasrat manusia untuk menguasai alam. Implikasi dari paradigma yang demikian ini secara sadar atau tidak telah membentuk mode of production seluruh aktivitas ekonomi, termasuk eksplorasi dan eksploitasi sumber daya alam pertambangan. Eksploitasi sumber daya alam yang hanya diarahkan untuk mendukung pertumbuhan ekonomi tanpa memperhatikan secara proporsional kelestarian fungsi lingkungan tetap merupakan fenomena umum. Bahkan, dalam batas-batas tertentu keberadaan industri 1
Dosen Fakultas Hukum Universitas Islam Malang.
1
pertambangan dalam suatu wilayah pertambangan (blok) bukan hanya menempatkan diri sebagai entitas asing (alien entity), tetapi dalam banyak kasus merupakan sumber prahara dan bencana sosial bagi masyarakat di sekitarnya. Namun di sisi lain, usaha pertambangan merupakan industri dasar yang menopang kehidupan dan peradaban modern. Tanpa produk pertambangan logam dan mineral, kehidupan dan peradaban manusia kembali ke zaman batu. Bagaimana membayangkan hidup tanpa logam yang dipergunakan untuk membuat perkakas rumah tangga, kantor, dan lain-lain dalam kehidupan modern seperti saat ini? Begitu pula dalam kehidupan modern seperti saat ini, ketergantungan pada sumber energi fosil berupa minyak dan gas bumi masih sangat tinggi dan belum bisa digantikan sepenuhnya dengan energi alternatif. Atas dasar kedua realitas yang saling kontradiktif di atas, paradigma baru dalam perusahaan pertambangan yang menghasilkan logam, batubara, dan bahan tambang non logam (mineral) sebagai sumber energi, termasuk panas bumi, di masa yang akan datang seyogyanya berbasis pada keadilan (equity), keseimbangan (balances), demokrasi (democracy), dan keberlanjutan (sustainable) antar generasi. Paradigma baru ini hanya dapat terlaksana dengan baik jika dituangkan dalam suatu kebijakan negara yang melibatkan semua pihak terkait (stakeholder) secara optimal dengan pola kemitraan. Berdasarkan paradigma tersebut, maka kebijakan pemerintah di bidang pertambangan haruslah berkarakter “social justice and equality” dengan menggunakan pendekatan terpadu, komprehensif, menjunjung tinggi keberagaman masyarakat (pluralism) serta berwawasan lingkungan yang berkelanjutan (sustainable). Praktik usaha pertambangan yang baik dan benar (good mining practice) diharapkan mampu membangun peradaban modern yang memenuhi standar, kriteria dan kaidah-kaidah pertambangan yang tepat, sehingga pemanfaatan sumber daya pertambangan dapat memberikan manfaat yang seoptimal mungkin dan dampak buruk (risiko) yang seminimal mungkin. Kaidah-kaidah yang dimaksud meliputi: perizinan, teknis pertambangan, Keselamatan dan Kesehatan Kerja (K3), lingkungan (khususnya keterkaitan hulu-hilir dan konservasi), nilai tambah, serta pengembangan masyarakat dan wilayah (local and community development) di sekitar usaha pertambangan. Timbulnya konflik sosial pada berbagai wilayah industri pertambangan mestinya memberikan kesadaran baru bagi pemerintah dan kalangan industri pertambangan mengenai perlunya menciptakan harmonisasi hubungan antara masyarakat dengan usaha pertambangan melalui konsep “tanggung jawab sosial perusahaan”. Maraknya tuntutan terhadap usaha pertambangan dengan berbagai aksi dari berbagai kelompok masyarakat biasanya disebabkan oleh dua faktor, yaitu: pertama, manfaat usaha pertambangan tidak langsung dirasakan oleh masyarakat lokal, yang terjadi justru merusak lingkungan hidup dan sosial budaya masyarakat; kedua, kurangnya pemahaman terhadap karakteristik dan hakikat usaha pertambangan. 3. Karakteristik Usaha Pertambangan Vs. Pelestarian Lingkungan Hidup Sebagaimana telah diuraikan sebelumnya bahwa usaha pertambangan telah memberikan kontribusi dalam skala nasional berupa penerimaan negara melalui devisa, royalty, iuran pertambangan lainnya, pajak dan penerimaan negara non pajak, yang digunakan untuk membiayai pembangunan nasional. Namun, kontribusi yang demikian itu ternyata belum dirasakan oleh masyarakat lokal di kawasan pertambangan yang bersangkutan, dan ironisnya masyarakat lokallah yang menanggung segala akibat (risiko)
2
dari usaha pertambangan, misalnya dampaknya terhadap kerusakan dan pencemaran lingkungan. Usaha pertambangan di Indonesia umumnya dilakukan secara masif dan modern, dengan memanfaatkan penanaman modal yang sangat besar baik domistik maupun asing. Pemanfaatan modal besar melalui Penanaman Modal Asing (PMA) dengan penggunaan teknologi canggih (high technology) dan tenaga kerja yang memiliki keahlian dan keterampilan yang tinggi (high skilled) yang semuanya dipasok dan direkrut dari luar negeri. Itulah sebabnya, komunitas pekerja tambang menjadi enclave (“asing”) dan nyaris tidak memberikan sumbangan apapun kepada masyarakat lokal. Faktor ini pula yang seringkali menyebabkan terjadinya gap antara masyarakat lokal dengan komunitas pekerja tambang yang berujung pada terjadinya konflik sosial. Terjadinya konflik sosial seperti tersebut di atas, mengingat setiap usaha pertambangan di manapun pada umumnya dilakukan oleh dan untuk kepentingan masyarakat non-lokal. Masyarakat non-lokal yang bekerja di kawasan pertambangan tersebut tentu membawa nilai-nilai sosial budaya yang belum tentu cocok dengan nilai-nilai sosial budaya masyarakat lokal. Oleh karena itu, jika tidak diikuti kegiatan remedial tertentu, usaha pertambangan yang memang sifatnya eksploitatif akan berdampak pada kerusakan lingkungan dan degradasi nilai-nilai sosial budaya masyarakat lokal. Di samping itu, dari aspek ekologi (lingkungan), usaha pertambangan sangat berpotensi menimbulkan kerusakan dan/atau pencemaran lingkungan di sekitar kawasan pertambangan. Karena itu dapatlah dikatakan bahwa kegiatan pertambangan dan lingkungan hidup adalah dua hal yang kontradiktif tetapi tidak dapat dipisahkan. Bahkan, ada ungkapan “tiada kegiatan pertambangan tanpa perusakan dan/atau pencemaran lingkungan”. Masalah pertambangan termasuk dalam lingkup hukum sumber daya alam, sedang masalah lingkungan diatur dalam hukum lingkungan. Padahal, hukum sumber daya alam dan hukum lingkungan mempunyai asal usul yang berlainan, bahkan saling bertentangan satu sama lainnya. Hukum sumber daya alam lebih banyak berfokus pada eksploitasi, sedangkan hukum lingkungan berfokus pada pelestariannya. Meskipun kedua hukum tersebut kelihatannya bertentangan, tetapi selalu berkaitan satu dengan lainnya. Hubungan yang demikian dapat dilihat sebagai dua sisi dari sekeping uang logam. Dari dua hal yang kontradiktif di atas, tidak berarti pengusahaan pertambangan harus berhenti hanya karena kelestarian lingkungan hidup. Sebaliknya, upaya pelestarian lingkungan hidup tidak dapat berhenti karena adanya pengusahaan pertambangan. Jalan tengahnya adalah pengusahaan pertambangan tetap berjalan dengan cara tetap memperhatikan kaidah-kaidah lingkungan. Masalah lingkungan yang dapat timbul akibat usaha pertambangan beraneka ragam sifat dan bentuknya. Pertama, usaha pertambangan dalam waktu yang relatif singkat dapat mengubah bentuk topografi dan keadaan muka tanah (land impact), sehingga dapat mengubah keseimbangan sistem ekologi bagi daerah sekitarnya. Kedua, usaha pertambangan dapat menimbulkan berbagai macam gangguan, antara lain pencemaran akibat debu dan asap yang mengotori udara dan air, limbah cair, tailing, serta buangan tambang yang mengandung zat-zat beracun. Gangguan juga berupa suara bising dari berbagai alat berat, suara ledakan dan gangguan lainnya. Ketiga, pertambangan yang dilakukan tanpa mengindahkan keselamatan kerja dan kondisi geologi lapangan dapat menimbulkan tanah longsor, ledakan tambang, keruntuan tambang, dan gempa.
3
Dalam rangka pelaksanaan konsep pertambangan yang berwawasan lingkungan, setiap usaha pertambangan diwajibkan melakukan upaya meminimalkan dampak negatif dan memaksimalkan dampak positifnya. Salah satu cara yang bijaksana untuk mewujudkan konsep tersebut ialah dalam mengeksploitasi sumber daya bahan tambang harus selalu mempertimbangkan prinsip pelestarian lingkungan hidup. Di samping itu, dalam pengusahaan pertambangan juga harus memperhatikan prinsip keadilan antar-generasi. Mengingat sumber daya alam bahan tambang sifatnya tidak dapat diperbaharui (unrenewable) maka pengusahaannya harus betul-betul dapat memberikan manfaat bagi generasi sekarang dan generasi yang akan datang. Prinsip keadilan antar-generasi meletakkan tiga kewajiban mendasar bagi generasi sekarang dalam konservasi sumber daya alam, yaitu: (1) conservation of option, menjaga agar generasi mendatang dapat memilih kuantitas keanekaragaman sumber daya alam; (2) conservation of quality, menjaga agar kualitas lingkungan lestari; dan (3) conservation of acces, menjamin generasi mendatang minimal memiliki akses yang sama dengan generasi sekarang atas titipan kekayaan alam ciptaan Tuhan Yang Maha Esa. Khusus bagi usaha pertambangan perlu diperhatikan bahwa pengambilan bahan tambang secara berlebihan di masa sekarang tanpa mematuhi kaidah-kaidah hukum lingkungan maka akan menjadi beban berat bagi generasi yang akan datang. Generasi penerus bangsa Indonesia akan menjadi generasi penanggung beban kerusakan dan pencemaran lingkungan, apabila usaha pertambangan yang dilakukan oleh generasi sekarang dilakukan untuk kepentingan sesaat dengan mengabaikan prinsip-prinsip pelestarian lingkungan hidup. Oleh karena bahan tambang merupakan sumber daya alam yang tak terbarukan (unrenewable resources), maka dalam pengelolaan dan pemanfaatannya dibutuhkan pendekatan manajemen ruangan yang ditangani secara holistik dan integratif dengan memperhatikan 3 (tiga) aspek pokok, yaitu pertumbuhan ekonomi (economic growth), dampak sosial (social impact) dan pelestarian lingkungan (conservation). Penggunaan pendekatan yang demikian memerlukan kesadaran bahwa setiap kegiatan eksploitasi bahan tambang akan menghasilkan dampak positif (manfaat) dan sekaligus dampak negatif (kerugian; risiko) bagi umat manusia pada umumnya, khususnya masyarakat dan lingkungan sekitar. 4. Risiko Usaha Pertambangan Tiada kegiatan pertambangan yang tidak mengandung risiko, baik bagi pelaku usaha maupun lingkungan, baik fisik maupun non fisik (sosial budaya). Risiko pengusahaan pertambangan dapat terjadi baik pada tahap eksplorasi maupun eksploitasi. Eksplorasi adalah kegiatan usaha pertambangan untuk memperoleh informasi dan pemetaan secara rinci dan teliti tentang lokasi, bentuk, dimensi, sebaran, kualitas dan sumber daya terukur dari bahan galian hasil penyelidikan geologi, geofisika, geokimia, dan pengambilan contoh, parit atau sumur uji atau pemboran dan pembuatan terowongan eksplorasi secara detail. Usaha pertambangan untuk tahap eksplorasi memerlukan lahan yang luas untuk penjelajahan mengenai keberadaan (cadangan) bahan galian. Sesuai dengan karakteristik kegiatannya, kegiatan eksplorasi berpotensi terhadap gangguan pada daerah sensitif seperti cagar alam, hutan lindung dan hutan konservasi. Termasuk daerah sensitif adalah kawasan yang sangat dekat dengan pemukiman penduduk, kawasan industri, infrastruktur seperti jalan raya, rel kereta api, pipa gas, dan lain-lain. Oleh karena itu, setiap
4
usaha pertambangan pada tahap ini harus dilakukan secara teliti dan hati-hati, jika tidak maka hal itu potensial menimbulkan risiko. Dalam kegiatan pertambangan modern saat ini mestinya sudah dapat dilakukan antisipasi terhadap risiko lingkungan, termasuk perlindungan terhadap kawasan sensitif dalam kegiatan eksplorasi. Eksploitasi atau operasi produksi adalah tahapan kegiatan usaha pertambangan dengan tujuan untuk melakukan penambangan, pengolahan, pemurnian, dan termasuk pengangkutan dan penjualan. Beroperasinya perusahaan tambang diharapkan memberikan manfaat kepada negara (pemerintah dan masyarakat). Akan tetapi, di balik harapan tersebut tentu saja tidak dapat dipungkiri terjadinya risiko, antara lain pengubahan topografi bentang alam, penggusuran lahan, dan penebangan pohon. Oleh karena itu, usaha pertambangan adalah termasuk kegiatan usaha yang berpotensi menimbulkan permasalahan lingkungan berupa perusakan dan pencemaran lingkungan, khususnya terhadap air, tanah dan udara di sekitar kawasan pertambangan. Kerusakan dan pencemaran lingkungan tersebut selanjutnya menimbulkan dampak turunan seperti sumber penyakit, biaya tinggi, degradasi kualitas ekologi dan lain-lain, yang akhirnya dapat menimbulkan persepsi negatif masyarakat terhadap kegiatan pertambangan. 5. Kerusakan Lingkungan Akibat Ulah Manusia atau Faktor Alam Dilihat dari sumber penyebabnya, kerusakan lingkungan bisa disebabkan oleh aktivitas (faktor) alam dan kerusakan lingkungan yang bersumber dari atau disebabkan oleh aktivitas manusia. Kerusakan lingkungan yang murni disebabkan oleh faktor atau perbuatan alam (act of God) lazim disebut “bencana alam” (natural disaster). Sedang, kerusakan lingkungan yang terjadi karena ulah perbuatan manusia (human error) disebut “kecelakaan” atau “tragedi”. Bencana alam adalah kerusakan alam akibat aktivitas alam atau perbuatan illahi, yakni sesuatu yang tidak dapat dihindari (damnum fatale). Kerusakan yang tidak dapat dihindari/dielakkan (damnum fatale) termasuk golongan kerusakan yang tidak bersifat melawan hukum (damnum sine injura; damage as non an injury), karena terjadi akibat perbuatan alam. Kerusakan alam yang demikian ini tidak melanggar hukum, mengingat hak itu berada di tangan illahi. Selanjutnya, hal itu juga tidak akan menimbulkan tanggung jawab kepada manusia, yang berarti ada pengecualian tanggung jawab (exemption of liability). Sebaliknya, kerusakan lingkungan yang terjadi akibat kesalahan manusia digolongkan sebagai kerusakan yang melawan hukum (damnum injura), dan oleh karena itu pelakunya dapat dipertanggungjawabkan secara hukum. Terhadap pandangan tersebut di atas, ada 3 (tiga) hal yang perlu dicermati: Pertama, sekalipun tidak ada pihak yang dapat dituntut pertanggungjawaban secara hukum atas persoalan kerusakan lingkungan karena faktor alam, tidak berarti bahwa tidak ada pihak yang seharusnya mengambil alih tanggung jawab atas masalah tersebut. Negara sebagai organisasi dari sekumpulan rakyat yang dilengkapi dengan perangkat administrasi untuk mengelola kepentingan umum adalah organ atau pihak yang harus tampil mengambil alih tanggung jawab tersebut. Hal ini merujuk pada teori “kontrak sosial” dari J.J. Rosseau yang menyatakan bahwa “Negara adalah suatu bentuk asosiasi yang mempertahankan dan melindungi dengan seluruh kekuatan umum terhadap orang dan harta benda”, sesuai dengan prinsip negara melindungi dan mengayomi rakyat atau bangsanya melalui kebijakankebijakan yang bersifat preventif dan represif.
5
Kedua, negara sebagai penguasa atas sumber daya alam dapat pula diposisikan sebagai subyek yang memiliki tanggung jawab hukum, sesuai dengan prinsip “siapa yang menguasai, ia bertanggung jawab”. Jadi, makna tanggung jawab dilihat dari dimensi hukum (liability) tidak dapat dilepaskan dari posisi tersebut, meskipun hal itu berhadapan dengan aspek pengecualian tanggung jawab (exemption of liability) karena keadaan darurat atas terjadinya bencana yang tidak dapat dielakkan dari sudut penilaian obyektif. Hal yang demikian ini dikaitkan dengan alasan act of God. Ketiga, dilihat dari sudut penyebabnya sulit membedakan antara kerusakan lingkungan yang terjadi karena proses alam atau kejadian-kejadian alam yang timbul di luar dugaan manusia dan kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh perbuatan manusia atau kombinasi antara faktor alam dan perbuatan manusia. Jika suatu peristiwa halilintar menewaskan banyak orang, gempa yang memporak-porandakan banyak bangunan, atau tsunami yang membuat tewasnya ratusan ribu orang, hal demikian dapatlah disebut sebagai damnum fatale atau damnum sine injura. Peristiwa demikian dapat disebut bencana alam yang terjadi karena bersumber dari perbuatan alam (act of God). Negara atau pemegang kekuasaan publik dalam hal ini tetap menunaikan tanggung jawabnya secara publik (responsibilitas), meskipun bukan secara perdata (liabilitas). Secara responsibilitas dimaksudkan sebagai sarana penuaian tanggung jawab negara atau pemerintah sebagai badan organisasi tertinggi publik atas keadaan yang terjadi pada rakyatnya. Aspek responsibilitas di sini lebih merupakan kerangka tanggung jawab politik, dan bukan tanggung jawab hukum. Peristiwa alam seperti gunung meletus, gempa bumi, tsunami, dan badai, secara jelas dapat dikatagorikan sebagai bencana alam (damnum fatale; damnum sine injura). Karena peristiwa demikian tidak dapat dihindari, dan tidak memiliki kausalitas dengan perbuatan manusia. Lalu apakah peristiwa tersebut di atas dapat begitu saja disamakan dengan peristiwaperistiwa seperti: banjir yang kerap melanda Jakarta dan meluapnya lumpur panas di seputar area eksplorasi minyak dan gas bumi P.T. Lapindo Brantas di Sidoarjo? Contoh kasus pertama, perlu dicermati sinyalemen umum yang mengatakan bahwa masalah banjir di Jakarta antara lain terjadi karena perbuatan manusia (khususnya policy pemerintah dan aktivitas masyarakat) di kawasan hulu dan hilir yang abai terhadap bahaya banjir di musim hujan. Kawasan Puncak yang dahulunya diperuntukkan sebagai daerah tangkapan air (catchment area) telah diubah fungsinya menjadi kawasan hunian (villa, hotel, real estate, dan lain-lain) sehingga ketika hujan turun kawasan lahan tidak mampu menampung air hujan dan terus saja mengalir ke sekitar wilayah Jakarta (Jabotabek). Sementara beberapa area yang di Jakarta dan sekitarnya yang dahulu digunakan sebagai lahan terbuka hijau dan serapan air telah berubah fungsinya sebagai kawasan hunian (real estate), kawasan industri (industrial estate), gedung perkantoran, mall, dan lain-lain, belum lagi kebiasaan masyarakat yang membuang sampah yang menutupi saluran-saluran. Contoh kasus kedua, sinyalemen yang mengatakan bahwa semburan lumpur panas di Sidoarjo terjadi karena faktor alam berupa fenomena gunung lumpur (mud volcano) perlu dipertanyakan kebenarannya. Mengingat di sekitar kawasan tersebut sebelumnya dilakukan aktivitas pertambangan (eksplorasi migas) oleh PT Lapindo Brantas. Diduga karena izin (lokasi) eksplorasi migas yang dikeluarkan oleh Pemerintah Daerah menyalahi Peraturan Daerah Nomor 16 Tahun 3003 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabuparten Sidoarjo dan kecerobohan sub kontraktor PT Lapindo Brantas (yakni PT Medici Citra Nusa) yang melakukan pemboran (drilling) tidak sesuai prosedur, termasuk kelalaian pemerintah
6
(dalam hal ini Direktorat Jenderal Minyak dan Gas Bumi Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral) serta Badan Pengelola Minyak dan Gas Bumi (BP Migas) dalam melakukan pengawasan dalam kegiatan eksplorasi, menjadi sebab timbulnya semburan lumpur yang hingga kini belum bisa diatasi. Contoh-contoh kasus yang demikian menunjukkan bahwa tidak mudah mengatakan bahwa masalah banjir di Jakarta atau semburan lumpur panas di Sidoarjo merupakan bencana alam. Akan tetapi, sebenarnya kasus-kasus tersebut cenderung dapat dikatakan sebagai “bencana alam yang dipicu oleh aktivitas orang” atau merupakan akibat dari perbuatan manusia secara tidak langsung (indirect action). Jika hal yang demikian dapat diidentifikasi, maka sifat pertanggung-jawabannya bukan lagi dalam bentuk tanggung jawab sosial (social responsibility), karena bukan murni karena faktor alam, melainkan tanggung jawab hukum (liability) karena ada campur tangan manusia di dalamnya. Dalam hal terjadi bencana alam yang murni karena faktor alam, negara (pemerintah dan masyarakat) bertanggung jawab sosial atau moral atas keadaan atau kerugian yang diderita rakyatnya. Tanggung jawab pemerintah dalam hal ini lebih bersifat sebagai tanggung jawab sosial, mengingat: (1) Negara sebagai pemegang kekuasaan atas sumber daya alam dalam wilayah negara (Baca: Pasal 33 (3) UUD 1945); (2) Negara memiliki kekuasaan untuk menciptakan kebijakan (policy), misalnya membuat dan menegakkan aturan, bahkan dalam keadaan tertentu untuk kepentingan umum yang sifatnya emergency pemerintah dapat menyimpangi suatu aturan yang dibuatnya sendiri demi mencapai sesuatu yang lebih baik (freies emessen); (3) Negara memiliki kemampuan lebih dari pada yang dimiliki pihak manapun. Tetapi, dalam hal-hal tertentu negara juga dapat dimintai pertanggungjawaban secara hukum, manakala tindakan negara (policy pemerintah) itu menjadi sebab timbulnya bencana alam atau kerusakan lingkungan hidup yang dipicu oleh aktivitas pemerintah yang salah dalam mengelola lingkungan yang menjadi tanggung jawabnya.
7
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Rokhim, “Tanggung Jawab Negara terhadap Korban Kerusakan Lingkungan Hidup (Kasus Semburan Lumpur Panas di Sekitar Area Eksplorasi P.T. Lapindo Brantas di Sidoarjo Jawa Timur)”, Disertasi, Fakultas Hukum Universitas Brawijaya, Malang, 2010. Abrar Saleng, Hukum Pertambangan, UII Press, Yogyakarta, 2004. --------, “Risiko-risiko dalam Ekplorasi dan Eksploitasi Pertambangan serta Perlindungan Hukum terhadap Para Pihak”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol. 26 No. 2 Tahun 2007. Siahaan, N.H.T., Hukum Lingkungan, Edisi Revisi, Penerbit Pancuran Alam, Jakarta, 2009 Harian Kompas, 11 Januari 1996 Undang-undang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Minyak dan Gas Bumi. Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana. Undang-undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup.
8
9
10