PENDAHULUAN
Latar Belakang Usaha-usaha
untuk mereklamasi daerah pasang surut
sebagai daerah pemukiman transmigrasi dan pengembangan persawahan telah dirintis
sejak awal Pelita I. Langkah
ini merupakan tindakan yang tepat dalam rangka mengantisipasi kebutuhan pangan yang terus melonjak karena kenaikan jumlah penduduk.
Di sisi lain, sentra-sentra produksi be-
ras di pulau Jawa yang memiliki irigasi teknis banyak yang mengalami perubahan akibat
konversi penggunaan lahan ke
non-pertanian seperti pemukiman, industri dan sektor-sektor lain yang jauh lebih
menguntungkan.
Kurangnya kenda-
li terhadap konversi lahan pada proporsi yang tepat, baik di sektor non-pertanian maupun pertanian menyebabkan degradasi tanah
yang terus meningkat.
Degradasi lahan se-
bagai akibat aktivitas manusia di lahan kering diperkirakan mencapai 400 000 hektar per tahun (PPLH-IPB, 1991). Konsepsi pemanfaatan potensi rawa pasang surut dicetuskan pada tahun 1968, dan dilembagakan dalam bentuk Proyek Pembukaan Persawahan Pasang Surut (P4S) di bawah Direktorat Rawa, Direktorat Jenderal Pengairan, Departemen PUTL.
Kegiatan ini didasarkan kepada keberhasilan petani
tradisional Kalimantan Selatan dalam membudidayakan padi di sekitar saluran Serapat. oleh pemerintah
Saluran ini semula dibangun
Belanda dengan
tujuan untuk
mempercepat
penyelesaian administrasi pemerintahan.
Di sekitar salu-
ran ini ternyata budidaya padi lebih berhasil dibandingkan dengan budidaya di pinggir-pinggir sungai. 1948, budidaya padi
di daerah ini telah
Sampai tahun
mencapai luasan
sekitar 48 000 hektar (Anonim, 1969). Di Indonesia, luasan daerah rawa sangat potensial untuk pengembangan pertanian, diperkirakan memiliki luasan sekitar 43.5
juta hektar
(Collier, 1979).
Dari luasan
ini, rawa pantai dan dekat pantai yang tergolong ke dalam rawa pasang surut memiliki luasan 24.6 juta hektar.
Lahan
yang tergolong sesuai untuk pertanian diperkirakan sekitar 8.9
juta hektar.
Sampai dengan tahun 1994, sekitar 5.9
juta hektar telah diusahakan sebagai areal pertanian (Fakultas Pertanian-IPB, 1992). Diantara seluruh luasan kawasan rawa, sekitar 17 juta hektar
merupakan
Driessen, 1976).
lahan
gambut
(Soepraptohardjo
dan
Gambut ini umumnya tergolong ke dalam
gambut ombrogen dengan tingkat kesuburan yang tergolong ke dalam oligotropik sampai mesotropik.
Sebagian kecil ter-
golong ke dalam gambut topogen dengan tingkat kesuburan eutropik (Polak, 1975).
Dari segi kematangannya, gambut
dibedakan ke dalam fibrik, hemik dan saprik (~cKinzie, 1974). Keragaman sifat-sifat
ini menyebabkan
keragaman
produktivitas gambut (Malterer, Verry dan Erjavec, 1992). Sebagai contoh, gambut pedalaman Kalimantan Tengah yang
memiliki kematangan fibrik
sampai hemik dengan kesuburan
oligotropik, produksi padi tanpa pupuk sekitar 0.5 ton/ha (Institut Pertanian Bogor,
1993),
sedangkan di Karang
Agung dengan tingkat kematangan hemik dan sering terluapi air sungai produksi padi gogo sekitar 1.8 ton/ha (Suastika dan Ismail, 1992). Disamping bersifat sangat marginal, tanah gambut juga tergolong rapuh (~idjaja-Adhi,et al., 1992), karena tanpa pemupukan dan pengelolaan tanah dan air yang sesuai produktivitas tanah mengalami penurunan dan kerusakan yang cepat.
Dari segi kimia/kesuburan, tanah ini memiliki ba-
nyak keterbatasan diantaranya menyangkut ketersediaan N,
P, K, Cu, Zn dan B yang rendah (Tadano, et al.,
1990).
Disamping itu, produksi asam-asam fenolat yang bersifat toksik bagi tanaman seperti p-kumarat, p-hidroksibenzoat, vanilat, asam ferulat dalam keadaan anaerob berada dalam jumlah
lebih
banyak
(Katase, 1981a;
1981d). Dari bentuk-bentuk
1981b;
1981c;
yang diidentifikasi, setiap
gram gambut menghasilkan 73 mg asam p-kumarat bebas dan 2 850 mg sebagai
cadangan.
alelopati pada tanaman.
Jumlah ini dapat meninbulkan
Demikian pula apabila asam feru-
lat dan p-hidroksibenzoat bebas masing-masing mencapai 2 dan 10 persen dan dalam bentuk cadangan lebih dari 80 persen maka akan mengakibatkan kerusakan yang sama (Katase, 1981e).
Oleh
sebab
itu
tanpa
memahami
karakterisasi
fisik-kimia tanah, pemanfaatan pertanian pada lahan gambut banyak mengalami kendala.
Ditinjau dari masalah asam ini,
disarankan agar lahan gambut sebaiknya dimanfaatkan sebagai areal pertanian lahan kering. Dibandingkan dengan tanah mineral, masa penggunaan lahan gambut untuk pertanian pada tingkat pengelolaan yang rendah tergolong lebih pendek.
Dalam jangka waktu dua
sampai tiga tahun pengusahaan, produksi turun secara tajam.
Di daerah pasang
surut Delta Upang, Sumatera Sela-
tan, penurunan produksi Pelita I/1 dan IR-5 terjadi pada tahun kedua (Sabiham, Leiwakabessy dan Wiroatmodjo, 1979). Gejala ini diikuti oleh penurunan ketersediaan unsur-unsur hara (Astiana dan Rachim, 1979).
Sedangkan pada tanah
mineral tingkat produksi yang relatif lebih baik dapat dipertahankan dalam jangka waktu sekitar tiga sampai lima tahun pengusahaan (Braun, 1974).
Salah satu penyebab fe-
nomena ini berkaitan dengan rendahnya afinitas K t Ca dan Mg pada bahan gambut, lebih-lebih terhadap anion (Tisdale, Nelson dan Beaton, 1985; Sample, Soper dan Racs, 1986). Percobaan pemupukan padi di UPTA Berbak Unit 111, Parit 16 dengan dosis antara 0 sampai 50 g KCl/m2 setara dengan 0 sampai 500 kg KCl/ha menghasilkan produksi yang tidak berbeda nyata walaupun kandungan K tanah sebelum dipupuk tergolong rendah.
Hasil analisis residu K sete-
lah tanam yang diekstrak dengan N NH40Ac pH 7.0
tidak
menunjukkan perbedaan yang nyata antar petak percobaan dan tidak terlihat adanya residu pupuk K (Institut Pertanian Bogor, 1982).
Pola yang sama dijumpai juga pada pemupukan
dengan unsur P, dimana dari 10 mg P yang diberikan pada tiap kolom tanah hanya 0.1 mg yang dierap dalam kolom tanah gambut (Fox dan Kamprath, 1971). Berdasarkan kenyataan ini, upaya untuk meningkatkan kemampuan tanah dalam mengerap anion sekaligus meningkatkan ketersediaannya harus mendapat perhatian.
Usaha ini
dapat dilakukan dengan berbagai manipulasi kimia diantaranya pencampuran dengan tanah mineral sehingga didapat tapak erapan baru yang lebih mampu mengikat kation maupun anion (Mehlich, 1985).
Dengan pencampuran ini beberapa
sifat kimia gambut pedalaman Kalimantan Tengah menjadi lebih baik (Halim, 1987).
Upaya lainnya ialah dengan meng-
gunakan zeolit sebagai pengikat pupuk sehingga unsur hara dapat dilepaskan 1989).
secara terkendali
(Ming dan Mumpton,
Disamping itu, melalui penambahan unsur Fe, A1 dan
Cu akan terjadi retensi P yang lebih besar bila dibandingkan dengan tanpa kation-kation
tersebut
(Wild, 1950).
Adanya retensi ini diharapkan dapat meningkatkan efisiensi pemupukan P sehingga produksi tanaman dapat ditingkatkan dan residu pupuk P dapat dimanfaatkan untuk budidaya tanaman berikutnya.