Usep Ranawidjaja Research Center (URRC)
KEDUDUKAN HAKIM KOMISARIS SEBAGAI PENGAWAS PENYIDIK DALAM MELAKUKAN TINDAKAN UPAYA PAKSA Antory Royan Adyan* Abstract Institute Van de regter-commissaris serves as a watchdog to oversee the actions of forceful measures, which include arrest, search, seizure and examination papers, made by legitimate or not. Pretrial inspired by the existence of the right of habeas corpus in Anglo-Saxon justice system, which entitles the person to go through a subpoena demanding authorities (police or prosecutors) who make an arrest against him to prove that the detention was not unlawful (illegal) or speciically totally legitimate in accordance with applicable law. Judicial Commissioner Bill Concepts In Criminal Proceedings in 2011, is a judge who is authorized to decide upon the legitimacy of coercive measures undertaken by investigators and prosecutors. Drat Concept of Criminal Procedure of 2011 Judicial Commissioner gives a decision no later than 2 (two) days ater receiving an application for a copy of the petition is based on the research results of an arrest warrant, detention, coniscation, or other relevant records ater commissioners heard testimony from Judge suspect or his legal counsel, investigator, or prosecutor andnot delay the investigation process inspection event.
Keywords : Judges Commisaris, investigators, forced eforts
Abstrak Lembaga Van de regter-commissaris berfungsi sebagai pengawas untuk mengawasi apakah tindakan upaya paksa, yang meliputi penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat, dilakukan dengan sah atau tidak. Hakim Komisaris dalam RUU Hukum Acara Pidana Tahun1974, hakim komisaris kemudian menjadi Praperadilan yang terinspirasi dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan hak pada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilanmenuntut pejabat (polisi ataupun jaksa) yang melakukan penahanan atas dirinya membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah tidak melanggar hukum (illegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hakim Komisaris dalam Konsep RUU Hukum Acara Pidana Tahun 2011, adalah hakim yang diberi wewenang untuk memutus permohonan mengenai keabsahan tindakan paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum, dan tidak menunda proses acara pemeriksaan perkara.
Kata Kunci : Hakim, penyidik, upaya paksa A. PENDAHULUAN Praperadilan cenderung sebuah lembaga yang bersifat formalitas saja. Karena lembaga ini hanya melakukan penelitian sebatas formal dan administratif terhadap sebuah perkara. Padahal, bukan begitu pendapat M. Yahya Harahap, mantan Hakim Agung, dalam bukunya berjudul ‘Pembahasan dan Permasalahan KUHAP edisi kedua’. Yahya menjelaskan keberadaan lembaga Praperadilan dalam Pasal 77 KUHAP bertujuan untuk melakukan pengawasan horizontal atas upaya paksa yang dikenakan
* Dosen Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Bengkulu di Bengkulu. Penulis menyelesaikan program Doktor Ilmu Hukumdi Fakultas Hukum Universitas Brawijaya di Malang, dengan mengambil topik tentang ‘Kebijakan Perlindungan Hukum bagi Anak sebagai Korban Perkosaan dalam Memperoleh Pelayanan Rehabilitasi’. E-mail:
[email protected]
Jurnal Hukum Staatrechts Volume 1 No. 1 Oktober 2014
25
Usep Ranawidjaja Research Center (URRC) pada tersangka asasi tersangka. Karenanya, tidak dapat dipungkiri bahwa keberadaan lembaga praperadilan ini adalah untuk menghindari adanya pelanggaran dan perampasan hak asasi tersangka atau terdakwa. Keberadaan lembaga praperadilan ini akan diuji. Apakah benar hanya memeriksa hal-hal yang berbau formal dan administratif saja? Jika runut setiap perkara yang diputus dalam lembaga praperdilan ini selalu bersifat administratif. Lihat saja perkara praperadilan terhadap Kapolres Jakarta Barat yang dilakukan oleh keluarga Nur Hadi, korban penembakan polisi pada Januari lalu. Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Barat pada pertengahan Maret lalu menolak permohonan praperadilan. Alasannya, materi permohonan bukanlah kewenangan dari praperadilan, melainkan sudah masuk pada persidangan pokok perkara. Secara prinsip pengajuan praperadilan selalu terkait erat dengan masalah HAM. Karena isu utama dalam masalah praperadilan adalah fair trial.termasuk hak asasi. Hal menurut Indriyanto Seno Adji, Pakar Hukum Pidana Fakultas Hukum Universitas Indonesia ini menyatakan “ini akibat hakim terlalu memegang teguh prinsip legalitas. Jadi apa yang dikatakan undang-undang, selalu diikuti hakim. Dalam melaksanakan tugasnya, hakim diberikan diskresi atau kewenangan untuk juga melakukan penelitian secara substantif. Jadi tidak melihat hanya sekedar administrasinya saja, melainkan memberikan pertimbangan-pertimbangan yang bersifat substantive”. Jika praperadilan ingin dijadikan sebagai lembaga kontrol bagi penegak hukum maka kewenangan praperadilan harus diperluas. Tidak hanya memeriksa yang formal saja, tapi juga yang materil. Seperti apakah aparat menggunakan kekerasan ketika melakukan penangkapan atau penyiksaan ketika melakukan interogasi. Lembaga praperadilan di dalam KUHAP yang baru nanti akan dihapuskan. Sebagai gantinya, akan dibentuk hakim komisaris. Hakim komisaris ini nantinya akan diberikan kewenangan sebagai investigating judge alias hakim penyelidik. Hakim akan melakukan investigasi tapi bukan sebagai penyidik, melainkan untuk melakukan penelitian yang substantif. Jadi kalau penangkapan dan penahanannya dilakukan secara ilegal, maka penangkapan dan penahanannya itu akan dinyatakan tidak sah. Berdasarkan uraian tersebut, maka yang menjadi permalahan adalah: Bagaimanakah Kedudukan Hakim Komisaris Sebagai Pengawas Penyidik dalam Melakukan Tindakan Upaya Paksa?
B. PEMBAHASAN 1. Kedudukan Hakim Komisaris sebagai Pengawas Penyidik dalam Melakukan Tindakan Upaya Paksa 1
Indriyanto Seno Adji, Peradilan Bebas dan Contempt of Court, Diadit Media, Jakarta, 2007, hlm. 127.
26 Jurnal Hukum Staatrechts Volume 1 No. 1 Oktober 2014
Usep Ranawidjaja Research Center (URRC) Diratiikasinya Kovenan Internasional tentang Hak-hak Sipil dan Politik atau InternationalCovenant for Civil and Political Rights (ICCPR) melalui Undang-Undang No. 12 Tahun 2005. Dalam salah satu ketentuan konvensi tersebut, mengisyaratkan bahwa apapun tindakan upaya paksa yang dilakukan aparat penegak hukum harus segera dihadapkan ke depan sidang pengadilan. Hakim Komisaris juga diperlukan untuk mengurangi tindakan sewenang-wenang yang dilakukan aparat penegak hukum dalam melakukan upaya paksa. Gagasan ini semakin menguat ketika pemerintah berencana untuk merevisi Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP 2011) dimana dalam Bab IX dan X dari draf RUUKUHAP itu disebutkan adanya lembaga Hakim Komisaris yang kewenangannya jauh melebihi kewenangan yang dimiliki lembaga Pra-peradilan yang ada pada KUHAP yang sekarang. Masuknya hakim komisaris ke dalam RUU KUHAP tersebut melahirkan pendapat yang pro dan kontra dengan argumen hukum yang berbeda-beda. Pada umumnya, kalangan aparat penegak hukum dari unsur penyidik (kepolisian) yang paling keberatan, karena dapat menghambat proses penegakan hukum yang menunutut kecepatan dan ketepatan atau proses yang cepat, sedangkan jika harus melalaui hakim komisaris, prosesnya akan memakan waktu lebih lama dan birokratis. Hal ini dinilai oleh berbagai kalangan tidak sesuai dengan ketentuan KUHAP yang menuntut penyelesaian perkara yang cepat dengan biaya yang ringan. Hal yang menarik untuk diperhatikan diangkatnya hakim komisaris dalam rancangan hukum acara pidana adalah persoalan jaminan perlindungan hak asasi manusia bagi tersangka/terdakwa dalam proses peradilan pidana. Penangkapan dan penahanan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak asasi, kemerdekaan dan kebebasan seseorang. Penyitaan yang tidak sah merupakan pelanggaran serius terhadap hak milik orang, dan penggeledahan yang tidak sah merupakan pelanggaran terhadap ketenteraman rumah tempat kediaman orang dan bentuk perampasan hak lainnya. Hal ini menjadi perhatian yang serius karena dalam proses pemeriksaan perkara pidana, prosedur pemeriksaan perkara pidana melalui tahapan-tahapan pemeriksaan merupakan instrumen keadilan pada tahap pertama yang dikenal dengan keadilan prsedural (procedural justice). Pada bagian ini dituntut ditegakkannya asas-asas hukum dalam rangka penghormatan terhadap hak-hak tersangka. Oleh sebab itu, proses peradilan yang adil (fair trial) merupakan hak mutlak bagi tersangka/terdakwa yang harus dipenuhi dalam penegakan hukum pidana. Sedangkan bagian kedua adalah keadilan substansial (substantial justice) yang bergantung kepada keadilan yang pertama. Artinya jika prosedurnya Jurnal Hukum Staatrechts Volume 1 No. 1 Oktober 2014
27
Usep Ranawidjaja Research Center (URRC) yang adil yang diatur dalam hukum acara pidana atau hukum pidana formil sudah ditegakkan, merupakan prasyarat terwujudnya keadilan substansial yang diatur dalam hukum pidana materiil, sebaliknya prosedur yang tidak adil tidak dapat melahirkan keadilan substansial. Atas dasar argumen hukum tersebut, persoalan kedudukan (keberadaan) hakim komisaris sebagai pengawas penyidik dalam melakukan upaya paksa, tidak bisa dilepaskan daripada fungsi hukum acara pidana yang bertujuan mencari dan menemukan kebenaran materiil atau kebenaran hakiki dalam menegakan hukum pidana materiil. Namun demikian, apakah dengan hakim komisaris dapat memberikan jaminan ditemukannya kebenaran materiil atau kebenaran hakiki dalam penegakan hukum pidana. Sejak diberlakukan Herziene IndischeReglement (HIR) dengan Staatsblad No. 44 Tahun 1941, istilah regter commissaris tidak digunakan lagi. Oemar Seno Adjie pada waktu menjabat sebagai Menteri Kehakiman, memunculkan kembali istilah Hakim Komisaris dalam konsep Rancangan Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang diajukan ke DPR pada tahun 1974. Konsep hakim komisaris mirip dengan dengan konsep pernah ada dalam Reglement op de Strafvoerdering, tetapi dalam perkembangannya, gagasan hakim komisaris tersebut kemudian dianulir oleh Sekretariat Negara yang kemudian diganti dengan lembaga Pra-peradilan, yang selanjutnya disahkan menjadi Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981. Sejak saat itu, masalah hakim komisaris tidak lagi menjadi perbincangan dan hanya kalangan akademik yang membahas mengenai sejarah hukum acara pidana Indonesia. Pada saat perumusan RUU KUHAP Tahun 2011 yang dirancang untuk mengganti KUHAP Tahun 1981, dimunculkan kembali gagasan hakim komisaris sebagai pengganti dari lemabaga Pra-peradilan. Pemikiran dibentuknya hakim komisaris tersebut merupakan hasil studi banding ke Belanda, disamping alasan historis, dalam rangka penyusunan RUUKUHAP dengan modiikasi yang disesuaikan dengan perkembangan hukum di Indonesia.
2. Hakim Komisaris dalam Peradilan Indonesia Pra-Kemerdekaan Pasa masa pra-kemerdekaan, diberlakukan dua hukum acara pidanayaitu hukum acara pidana bagi golongan Eropa berlaku Srafvordering (Sv) dan hukum acara pidana bagi golongan Pribumi berlaku Inland Reglement (IR) yang kemudian diperbarui menjadi Herziene Indische Reglement (HIR)
2
Mengenai hakim komisaris dalam RUU KUHAP yang dibuat oleh pada Tahun 1974 di bawah pimpinan Oemar Seno Adji, menjabat Menteri Kehakiman, kemudian dalam perkembangannya setelah masuk ke Sekretariat Negara diubah menjadi Pra-peradilan.
28 Jurnal Hukum Staatrechts Volume 1 No. 1 Oktober 2014
Usep Ranawidjaja Research Center (URRC) dengan Staatsblad No. 44 Tahun 1941. Hukum acara bagi golongan Eropa memiliki susunan hukum acara pidana yang lebih baik dan lebih menghormati hak-hak asasibagi tersangka/terdakwa dibandingkan dengan susunan hukum acara pidana dalam Inland Reglement maupun Herziene Indische Reglement (HIR) yang diberlakukan kepada golongan Pribumi yang pada masa itu kedudukannya sebagai warga negara di negara jajahan Belanda. Hakim Komisaris ditemukan dalam hukum acara pidana bagi golongan Eropa (Sv) diatur dalam title kedua tentang Van de Regter-Commissaris. Lembaga Van de Regter-Commissaris berfungsi sebagai pengawas untuk mengawasi apakah tindakan upaya paksa, yang meliputi penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat, dilakukan dengan sah atau tidak. Hakim komisaris berperan sebagai pengawas pada tahap pemeriksaan pendahuluan dari serangkaian tahapan proses peradilan pidana. Hakim Komisaris dapat melakukan tindakan eksekutif, yaitu memanggil orang, baik para saksi maupun tersangka, mendatangi rumah para saksi maupun tersangka, dan juga memeriksa serta mengadakan penahanan sementara terhadap tersangka. Tindakan hakim komisaris yang termasuk tindakan eksekutif tersebut menunjukkan bahwa kedudukan hakim komisaris bersikap aktif dan memilikitanggung-jawab pengawasan yang besar pada tahap pemeriksaan awal.
3. Hakim Komisaris dalam RUU Hukum Acara Pidana Tahun 1974 Setelah pemberlakuan Herziene Indische Reglement (HIR) yang cukup lama, kurang lebih 25 tahun, pada Tahun 1970-an muncul keinginan yang kuat untuk mengganti HIR yang dinilai sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan hukum dan kesadaran hukum masyarakat pada saat itu. Dibawah Menteri Kehakiman Oemar Seno Adjie pada Tahun 1974 mengajukan Konsep RUU Kitab Undangundang Hukum Acara Pidana yang didalamnya memuat hakim komisaris yang memiliki fungsi dan wewenang yang sama dengan hakim komisaris yang dimuat dalam Strafvordering (Sv). Meskipun dimunculkannya hakim komisaris tersebut bukanlah hal yang baru, karena sudah pernah ada dalam sejarah hukum acara pidana Indonesia pada masa pra-kemerdekaan, tetapi memasukkan ke dalam
Wewenang melakukan tindakan eksekutif (investigating judge) untuk memanggil orang, baik para saksi (Pasal 46) maupun tersangka (Pasal 47), mendatangi rumah para saksi maupun tersangka (Pasal 56), dan juga memeriksa serta mengadakan penahanan sementara terhadap tersangka (Pasal 62). 4 Luhut M. P. Pangaribuan, Lay Judges dan Hakim Adhoc, Program Pasca Sarjana FH UI, 2009, Jakarta, hlm. 174-175.
3
Jurnal Hukum Staatrechts Volume 1 No. 1 Oktober 2014
29
Usep Ranawidjaja Research Center (URRC) Draf RUU KUHP sebagai pengganti Herziene Indische Reglement (HIR) adalah pemikiran yang menarik dan perlu dicermati. Pertanyaan mendasar diajukan oleh Mardjono Reksodiputro, mengapa pada saat itu Indonesia lebih memilih memberlakukan Herziene Indische Reglement (HIR) dari pada memberlakukan Strafvordering (Sv), pada hal sudah diketahui bahwa Strafvordering (Sv) memiliki ketentuan yang lebih menghormati hak asasi manusia bagi tersangka/terdakwa dalam setiap tahapan proses peradilan dari pada ketentuan dalam HIR. Pertimbangan pilihan pemberlakuan hukum acara pidana pada saat itu terkait dengan pertimbangan yang kompleks, bukan pilihan rasional dengan pertimbangan hukum semata, melainkan terkait dengan persoalan politik, sejarah, budaya dan sumber daya manusia. Atas dasar pertimbangan tersebut, pilihan memberlakukan Herziene Indische Reglement (HIR) yang paling tepat untuk mengisi kekosongan hukum acara pidana pada saat itu. Dalam konsep RUU KUHAP 1974, Hakim Komisaris memiliki wewenang pada tahap pemeriksaan pendahuluan untuk melakukan pengawasan pelaksanaan upaya paksa, bertindak secara eksekutif untuk ikut serta memimpin pelaksanaaan upaya paksa, menentukan penyidik mana yang melakukan penyidikan apabila terjadi sengketa antara polisi dan jaksa, serta mengambil keputusan atas keberatan keberatan yang diajukan oleh pihak-pihak yang dikenakan tindakan. Keberadaan hakim komisaris dalam konsep RUU KUHAP tersebut untuk lebih melindungi jaminan hak asasi manusia dalam proses peradilan pidana, terutama pada tahapan pendahuluan. Mengenai hilangnya konsep hakim komisaris kemudian menjadi Praperadilan, Adnan Buyung Nasution memberi catatan sejarah pembentukan lembaga Praperadilan dalam KUHAP: Pada waktu RUU Hukum Acara Pidana diajukan oleh Pemerintah dibawah Menteri Kehakiman Mudjono (almarhum) ke DPR pada akhir tahun 1979, timbul reaksi keras dari masyarakat baik dari kalangan LBH/YLBHI, Persatuan Advokat Indonesia (Peradin), Akademisi maupun kalangan pers, yang mengganggap bahwa RUU tersebut amat buruk, bahkan lebih jelek dari HIR yang akan digantikannya.Rancangan itu dianggap masih saja berorientasi pada kekuasaan dan tidak cukup melindungi hak-hak asasi tersangka ataupun terdakwa yang selama berpuluh tahun dibawah HIR tidak dilindungi. Ketika itu muncul “Komite Aksi Pembela Pancasila dalam KUHAP”, yang terdiri dari gabungan LBH/YLBHI dan LBH-LBH kampus, para akademisi dan wakil - wakil pers, yang menolak dan menuntut pada pemerintah agar RUU tersebut. Sebagai
5
Mardjono Reksodiputro, “Check and Balances antara Lembaga Penyidikan dan Penuntutan”, Program Pasca Sarjana Kajian Ilmu Kepolisian, Jakarta, 2009, hlm. 48.
30 Jurnal Hukum Staatrechts Volume 1 No. 1 Oktober 2014
Usep Ranawidjaja Research Center (URRC) penggantinya Komite mengajukan usul tandingan, demikian juga Peradin mengajukan RUU tandingan. Dalam pertemuan antara delegasi Komite bersama Peradin dengan pihak Pemerintah yang dipimpin Menteri Kehakiman Mudjon, Pemerintah menolak mencabut RUU KUHAP namun menyetujui untuk membuat drat yang baru bersamaDPR dengan masukan-masukan baik dari Komite, maupun Peradin dan lembaga-lembaga lainnya. Maka KUHAP sebenarnya merupakan drat baru sama sekali yang dibuat langsung di DPR oleh Pansus DPR bersama Pemerintah dengan masukan-masukan dari masyarakat sehingga benar-benar merupakan undang-undang yang demokratis, dengan meninggalkan RUU yang diajukan bersama dalam penegakan hukum pidana, kemudian diajukan gagasan tentang lembaga Praperadilan. Lembaga Praperadilan terinspirasi dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan jaminan fundamental terhadap hak asasi manusia khususnya hak kemerdekaan. Habeas Corpus Act memberikan hak pada seseorang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat (polisi ataupun jaksa) yang melakukan penahanan atas dirinya membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah tidak melanggar hukum (illegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku. Prinsip dasar dibentuknya lembaga Preperadilan adalah menyediakan suatu forum yang memberikan hak dan kesempatan kepada seseorang yang sedang menderita karena dirampas atau dibatasi kemerdekaannya untuk menguji kebenaran dan ketepatan dari tindakan hukum dalam menggunakan wewenangnya untuk melakukan upaya paksa, yaitu penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan maupun pembukaan surat-surat yang dilakukan oleh pihak penyidik dan penutut umum dalam rangka pencarian alat bukti tentang adanya dugaan/sangkaan kepada seseorang sebagai pelaku pelanggaran hukum pidana. Pondasi pengujian pengunaan wewenang ini adalah asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence) sebagai asas pokok dalam penyelenggaraan peradilan pidana dalam Kitab Undang-undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Penggunaan upaya paksa tersebut berpotensi terjadinya pelanggaran terhadap hak asasi seseorang yang menjadi tersangka/terdakwa, karena kewenangan penyidik dan penuntut umum terkait dengan sangkaan pelanggaran hukum pidana
6
Menurut Adnan Buyung Nasution, hal ini untuk menjamin bahwa perampasan ataupun pembatasan kemerdeka anterhadap seorang tersangka atau terdakwa itu benar-benar telah memenuhi ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku maupun jaminan hak-hakasasi manusia. Surat perintah habeas corpus ini dilekuarkan oleh pengadilan pada pihak yang sedang menahan (polisi atau jaksa) melalui prosedur yang sederhana langsung dan terbuka sehingga dapat dipergunakan oleh siapapun. Bunyi surat perintah habeascorpus (the writ of habeas corpus) adalah sebagai berikut: “Si tahanan berada dalampenguasaan Saudara. Saudara wajib membawa orang itu di depan pengadilan sertawajib menunjukan alasan yang menyebabkan penahanannya”.
Jurnal Hukum Staatrechts Volume 1 No. 1 Oktober 2014
31
Usep Ranawidjaja Research Center (URRC) yang dilakukan oleh seseorang dan pengumpulan alat bukti yang hasilnya berupa dokumen (berkas perkara) yang bersifat tertutup (atau rahasia jabatan) sampai dengan diajukannya perkara tersebut ke pengadilan. Melalui lembaga Praperadilan penggunaan wewenang tersebut dilakukan pengujian, sayangnya instrumen norma yang dijadikan dasar pengujian rumusannya bersifat open yang dapat diinterpretasi secara luas atau subjektif, sehingga parameter pengujian keabsahan (ketidakabsahan) tidak dapat diukur secara objektif. Akhirnya, semua bermuara kepada intepretasi subjektif hakim. Oleh sebab itu, permohonan pengujian melalui lembaga Praperadilan sedikit yang dikabulkan, meskipun dengan menggunakan analisis objektif dan ilmiah menghasilkan simpulan bahwa penggunaan wewenang tersebut bertentangan dengan ketentuan hukum yang berlaku.
4. Hakim Komisaris dalam Konsep RUU Hukum Acara PidanaTahun 2011 Hukum acara pidana sebagaimana dimuat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 yang sudah diberlakukan selama 30 tahun dipikirkan untuk segera diganti dengan hukum acara pidana yangbaru yang lebih sesuai dengan perkembangan hukum dan kesadaran hukum masyarakat. Perkembangan hukum di bidang hukum acara pidana dalam undang-undang di luar KUHAP telah mengatur ketentuan mengenai perluasan norma hukum acara pidana dalam KUHAP dan sebagian diantaranya secara diam-diam telah menambah norma hukum acara pidana baru, disamping ada yang mengatur ketentuan yang menyimpangi norma hukum acara pidanadalam KUHAP yaitu hukum acara pidana yang diatur dalam hukum pidana khusus. Ratiikasi konvensi internasional yang memuat hukum acara pidana telah menambah perbendaharaan norma hukum acara pidana, sehingga KUHAP dipandang perlu untuk diganti. Pertimbangan disusunya RUU tentang Hukum Acara Pidana (KonsepTahun 2010) untuk mengganti Undang-undang Nomor 8 Tahun1981: a.
bahwa negara Republik Indonesia adalah negara hukum berdasarkan Pancasila dan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang menjunjung tinggi hak asasi manusia dan menjamin segala warga negara bersamaan kedudukannya di dalam hukum dan pe merintahan dan wajib menjunjung hukum dan pemerintahan itu dengan tidak ada kecualinya;
7
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali, Sinar Graika, Jakarta, 2008.
32 Jurnal Hukum Staatrechts Volume 1 No. 1 Oktober 2014
Usep Ranawidjaja Research Center (URRC) b.
bahwa untuk mewujudkan tujuan sebagaimana dimaksud dalam huruf a perlu diupayakan pembangunan hukum nasional dalam rangka menciptakan supremasi hukum dengan mengadakan pembaruan hukum acara pidana menuju sistem peradilan pidana terpadu dengan menempatkan para penegak hukum pada fungsi, tugas, dan wewenangnya;
c.
bahwa pembaruan hukum acara pidana juga dimaksudkan untuk lebih memberikan kepastian hukum, penegakan hukum, ketertiban hukum, keadilan masyarakat, dan perlindungan hukum serta hak asasi manusia, baik bagi tersangka, terdakwa, saksi, maupun korban, demi terselenggaranya negara hukum;
d.
bahwa berhubung beberapa konvensi internasional yang berkaitan langsung dengan hukum acara pidana telah diratiikasi, maka hukum acara pidana perlu disesuaikan dengan materi konvensi tersebut. Atas dasar pertimbangan tersebut disimpulkan bahwa UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981
tentang Hukum Acara Pidana sudah tidak sesuai dengan perubahan sistem ketatanegaraan dan perkembangan hukum dalam masyarakat sehingga perlu diganti dengan hukum acara pidana yang baru. Dalam Konsep RUU KUHAP (Tahun 2010) tersebut hakim komisaris dimunculkan kembali setelah dimunculkan pada konsep RUU KUHAP Tahun 1974 sebagai pengganti dari Praperadilan yang dimuat dalam Undang-undang Nomor 8 Tahun 1981 yang dinilai mengandung kelemahan dan tidak efektif dalam melakukan pengawasan atau kontrol penggunaan wewenang penyidik dan penuntut dalam tahap penyidikan dan penuntutan. Hakim komisaris dinilai sebagai alternatif pilihan terbaik sebagai pengganti Praperadilan yang memiliki fungsi yang sama, yaitu melakukan pengawasan atau kontrol pada tahap pendahuluan. Adapun Hakim Komisaris dalam Konsep RUU KUHAP Tahun 2010 dimuat dalam Bab IX tentang Hakim Komisaris yang diuraikan dalam Pasal 111 sampai dengan Pasal 122. Ketentuan yang mengatur pokok hakim komisaris diuraikan, sebagai berikut: a.
Pengertian Hakim Komisaris. Pasal 1 ke-7: Hakim Komisaris adalah pejabat yang diberi wewenang menilai jalannya penyidikan dan penuntutan, dan wewenang lain yang ditentukan dalam Undang -Undang ini. Rumusan tersebut menunjukan bahwa hakim komisaris bukan lah lembaga seperti Praperadilan, melainkan pejabat atau hakim yang diberi wewenang untuk menilai jalannya penyidikan dan penuntutan. Atas dasar pertimbangan tersebut, maka kelembagaan hakim komisaris melekat pada jabatan hakim komisaris. Dengan demikian, menurut Konsep RUU KUHAP 2010 tersebut, hakim dibedakan menjadi dua, yaitu hakim dan Jurnal Hukum Staatrechts Volume 1 No. 1 Oktober 2014
33
Usep Ranawidjaja Research Center (URRC) Hakim komisaris. Hakim adalah pejabat yang diberi wewenang untuk memeriksa, mengadili dan memutus suatu perkara, sedangkan hakim komisaris adalah hakim yang diberi wewenang untuk memutus permohonan mengenai keabsahan tindakan paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum. b.
Kewenangan dan Penggunaan Kewenangan oleh Hakim Komisaris. Kewenangan hakim komisaris diatur dalam Pasal 111 ayat (1) Konsep RUU KUHAP Tahun 2010, Pasal 111 (1) Hakim Komisaris berwenang menetapkan atau memutuskan: 1)
sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, atau penya-z dapan;
2)
pembatalan atau penangguhan penahanan;
3)
bahwa keterangan yang dibuat oleh tersangka atau terdakwa dengan melanggar hak untuk tidak memberatkan diri sendiri;
4)
alat bukti atau pernyataan yang diperoleh secara tidak sah tidak dapat dijadikan alat bukti
5)
ganti kerugian dan/atau rehabilitasi untuk seseorang yang ditangkap atau ditahan secara tidaksah atau ganti kerugian untuk setiap hak milik yang disita secara tidak sah;
6)
tersangka atau terdakwa berhak untuk atau diharuskan untuk didampingi oleh pengacara;
7)
bahwa penyidikan atau penuntutan telah dilakukan untuk tujuan yang tidak sah;
8)
penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan yang tidak berdasarkan asas oportunitas;
9)
layak atau tidaknya suatu perkara untuk dilakukan penuntutan ke pengadilan.
10)
pelanggaran terhadap hak tersangka apapun yanglain yang terjadi selama tahap penyidikan.
Pasal 111 ayat (2) Permohonan mengenai hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diajukan oleh tersangka atau penasihat hukumnya atau oleh penuntut umum, kecuali ketentuan pada ayat (1) huruf i hanya dapat diajukan oleh penuntut umum. (3) Hakim komisaris dapat memutuskan hal-hal sebagaimana dimaksud pada ayat (1) atas inisiatifnya sendiri, kecuali ketentuan sebagaimana dimaksud padaayat (1) huruf i. Kewenangan hakim komisaris lebih luas dan lebih detail dibandingkan dengan 34 Jurnal Hukum Staatrechts Volume 1 No. 1 Oktober 2014
Usep Ranawidjaja Research Center (URRC) kewenangan Praperadilan. Pengaturan kewenangan hakim komisaris lebih memberikan jaminan perlindungan hukum terhadap hak asasi seseorang yang ditetapkan sebagai tersangka/terdakwa pada pemeriksaan pendahuluan. Penggunaan wewenang hakim komisaris sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (1) dilakukan atas permohonan dan tidak atas permohonan atau atas inisiatif hakim komisaris sendiri. Permohonan diajukan oleh tersangka atau penasihat hukumnya dan penuntut umum sesuai dengan kebutuhan hukum masing-masing. Hal ini perlu dicermati adalah adanya penggunaan wewenang hakim komisaris berdasarkan inisiatif sendiri hakim komisaris yang bersangkutan. Sepintas selalu pemberian wewenang kepada hakim komisaris untuk berinisiatif sendiri adalah baik, karena melakukan kontrol terhadap penggunaan wewenang penyidik dan penuntut umum secara proaktif, tetapi menjadi janggal ketika tindakan hukum secara paksa yang dilakukan oleh penyidik atau penuntut umum tersebut sudah atas seizin hakim komisaris. Jika yang dimaksud inisiatif sendiri dalam memberikan atau tidak memberikan izin terhadap suatu upaya paksa yang diajukan oleh penyidik atau penuntut umum, wewenang tersebut telah membodi pada diri hakim komisaris dalam menggunakan wewenangnya yang dapat menyetujui untuk memberi izin atau menolak untuk memberi izin. Apabila yang dimaksud adalah hakim komisarisatas inisiatifnya sendiri memutus suatu tindakan hukum paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum, tanpa ada permohonan dari pihak manapun. Permasalahannya, jika hakim komisaris berinisiatif sendiri untuk menguji keabsahan upaya paksa, maka materi putusan hakim komisaris akan mengarah kepada putusan yang menyatakan bahwa upaya paksa tersebut adalah tidak sah. Sebaliknya, jika putusan hakim komisaris menyatakan upaya tersebut adalah sah, menjadi tidak tidak lazim, karena akan menambah pekerjaan hakim komisaris yang sesunguhnya tidak perlu. Oleh sebab itu, perlu pengaturan lebih lanjut mengenai penggunaan wewenang atau inisiatif sendiri dari hakim komisaris agar koneksi dengan gagasan dibentuknya hakim komisaris.
5. Tata Beracara Hakim Komisaris Beracara pada hakim komisaris diatur dengan prosedur administrasi secara sederhana dan diselesaikan dalam tempo waktu yang lebih cepat. Tata Beracara hakim komisaris diatur dalam Pasal 112 sampai dengan Pasal 114. Pasal 112 (1) Hakim komisaris memberikan keputusan dalam waktu
8
Op.cit, Wicipto Setiadi,
Jurnal Hukum Staatrechts Volume 1 No. 1 Oktober 2014
35
Usep Ranawidjaja Research Center (URRC) paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2). (2) Hakim komisaris memberikan keputusan atas permohonan berdasarkan hasil penelitian salinan darisurat perintah penangkapan, penahanan, penyitaan, atau catatan lainnya yang relevan. (3) Hakim komisaris dapat mendengar keterangan dari tersangka atau penasihat hukumnya, penyidik, atau penuntut umum. (4) Apabila diperlukan, hakim komisaris dapat meminta keterangan dibawah sumpah dari saksi yang relevan dan alat bukti surat yang relevan. (5) Permohonan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 111 ayat (2) tidak menunda proses penyidikan. Pasal 113 (1) Putusan dan penetapan hakim komisaris harus memuat dengan jelas dasar hukum dan alasannya. (2) Dalam hal hakim komisaris menetapkan atau memutuskan penahanan tidak sah, penyidik atau penuntut umum pada tingkat pemeriksaan masing-masing harus mengeluarkan tersangka dari tahanan. (3) Dalam hal hakim komisaris menetapkan atau memutuskan penyitaan tidak sah, dalam waktu paling lambat 1 (satu) hari setelah ditetapkan atau diputuskan, benda yang disita harus dikembalikan kepada yang paling berhak kecuali terhadap benda yang terlarang. (4) Dalam hal hakim komisaris menetapkan atau memutuskan bahwa penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan tidak sah, penyidik atau penuntut umum harus segera melanjutkan penyidikan atau penuntutan. (5) Dalam hal hakim komisaris menetapkan atau memutuskan bahwa penahanan tidak sah, hakim komisaris menetapkan jumlah pemberian ganti kerugian dan/atau rehabilitasi. (6) Ketentuan lebih lanjut mengenai jumlah pemberian ganti kerugian dan/atau rehabilitasi diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 114 (1) Hakim komisaris melakukan pemeriksaan atas permohonan ganti kerugian atau rehabilitasi dengan ketentuan sebagai berikut : a. dalam jangka waktu paling lama 5 (lima) hari kerja setelah menerima permohonan, harus mulai menyidangkan permohonan; b. sebelum memeriksa dan memutus, wajib mendengar pemohon, penyidik, atau penuntut umum; c. dalam jangka waktu 7 (tujuh) hari kerja setelah menyidangkan, harus sudah memberikan putusan. (2) Dalam hal perkara sudah diperiksa oleh pengadilan negeri, permohonan ganti kerugian atau rehabilitasi tidak dapat diajukan kepada hakim komisaris. Ketentuan mengenai pemeriksaan keabsahan tindakan penahanan, penyitaan, dan penghentian penyidikan dan penuntutan yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut oleh hakim komisaris ditujukan kepada pelaksanaan penahanan, penyitaan, dan penghentian penyidikan dan penuntutan. Berdasarkan ketentuan tata beracara pada hakim komisaris tersebut, perlu dibedakan antara pengertian
9
Ibid. Ibid.
10
36 Jurnal Hukum Staatrechts Volume 1 No. 1 Oktober 2014
Usep Ranawidjaja Research Center (URRC) keabsahan tindakan penahanan, penyitaan dan penghentian penyidikan dan penuntutan, dengan pelaksanaan tindakan penahanan, penyitaan dan penghentian penyidikan dan penuntutan. Pembedaan tersebut didasarkan pada ketentuan pada bagianlain yang mengatur mengenai tindakan penahanan dan penyitaan dilakukan atas izin hakim komisaris, yang berarti bahwa sebelum melakukan penahanan dan penyitaan sudah memperoleh izin secara tertulis dari hakim komisaris. Atas izin hakim komisaris tersebut selanjutnya penyidik melakukan tindakan penahanan dan penyitaan. Secara yuridis formil, tindakan penahanan dan penyitaan yang dilakukan penyidik dan penuntut umum adalah sah, karena dilakukan sudah atas izin hakim komisaris. Sedangkan pelaksanaan dari tindakan penahanan dan penyitaan kemungkinan terjadi penyimpangan dari prosedur yang telah diatur dalam penggunaan wewenang, maka dugaan terjadinya penyimpangan inilah menjadi objek pengujian oleh hakim komisaris. Hal lain yang perlu penegasan adalah jumlah pemberian ganti kerugian. Ketentuan mengenai ganti kerugian merupakan ketentuan hak umum yang sudah menjadi ketentuam umum yang harus ada. Persoalan yang mendasarkan adalah perhitungan jumlah ganti kerugian atau besaran ganti kerugian pantas/layak terhadap terampasnya hak seseorang secara tidak sah yang dilindungi oleh Konstitusi. Seharusnya, nilai besaranganti kerugian ditetapkan bukan berdasarkan atas interpretasi subjektif hakim terhadap pelanggaran yang terjadi, tetapi besaran ganti kerugian ditetapkan berdasarkan Peraturan Pemerintah sebagai jumlah pokok pemberian ganti kerugian dan ada alasanalasan objektif penambahan jumlah ganti kerugian.
C. PENUTUP 1. Simpulan a.
Pada masa Pra-Kemerdekaan adanya Lembaga Van de regter-commissaris berfungsi sebagai pengawas untuk mengawasi apakah tindakan upaya paksa, yangmeliputi penangkapan, penggeledahan, penyitaan dan pemeriksaan surat-surat, dilakukan dengan sah atau tidak. Hakim Komisaris Dalam RUU Hukum Acara Pidana Tahun1974, hakim komisaris kemudian menjadi Praperadilan yang terinspirasi dari adanya hak Habeas Corpus dalam sistem peradilan Anglo Saxon, yang memberikan hakpada sese orang untuk melalui suatu surat perintah pengadilan menuntut pejabat (polisi ataupun jaksa) yang melakukan penahanan atas dirinya membuktikan bahwa penahanan tersebut adalah tidak melanggar hukum (illegal) atau tegasnya benar-benar sah sesuai Jurnal Hukum Staatrechts Volume 1 No. 1 Oktober 2014
37
Usep Ranawidjaja Research Center (URRC) dengan ketentuan hukum yang berlaku. Hakim Komisaris dalam Konsep RUU Hukum Acara PidanaTahun 2011, adalah hakim yang diberi wewenang untuk memutus permohonan mengenai keabsahan tindakan paksa yang dilakukan oleh penyidik dan penuntut umum. b.
Hakim komisaris memberikan keputusan dalam waktu paling lambat 2 (dua) hari terhitung sejak menerima permohonan atas permohonan berdasarkan hasil penelitian salinan dari surat perintah penangkapan, penahanan, penyitaan,atau catatan lainnya yang relevan setelah Hakim komisaris mendengar keterangan dari tersangka atau penasihat hukumnya, penyidik, atau penuntut umum dan tidak menunda proses penyidikan dan acara pemeriksaan.
2. Saran-saran Berdasarkan kajian penulisan hukum tersebut di atas, dapat disarankan agar tindakan hakim komisaris yang termasuk tindakan eksekutif, diharapkan dapat menunjukan bahwa kedudukan hakim komisaris bersikap aktif dan memiliki tanggung-jawab pengawasan yang besar pada tahap pemeriksaan awal.
DAFTAR KEPUSTAKAAN Indriyanto Seno Adji, Peradilan Bebas dan Contempt of Court, Diadit Media, Jakarta, 2007. Luhut M. P. Pangaribuan Lay Judges dan Hakim Adhoc, Program Pasca Sarjana FH UI, Jakarta, 2009. Mardjono Reksodiputro, “Check and Balancesantara Lembaga Penyidikan dan Penuntutan”, Program Pasca Sarjana Kajian Ilmu Kepolisian, Jakarta, 2009. M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasidan Peninjauan Kembali, Sinar Graika, Jakarta, 2008. Oemar Seno Adji , Konsep hakim komisaris dalam RUU KUHAP yang dibuat oleh pada Tahun 1974 kemudian dalamperkembangannya setelah masuk ke Sekretariat Negara diubah menjadi Praperadilan. Wicipto Setiadi, Hakim Komisaris dalam Sistem Peradilan di Indonesia, Jakarta, Oktober 2011.
11
Ibid,
38 Jurnal Hukum Staatrechts Volume 1 No. 1 Oktober 2014