16
BAB 2 PENANGKAPAN SEBAGAI UPAYA PAKSA PENYIDIKAN
2.1
Ruang Lingkup Penyelidikan
2.1.1
Definisi Penyelidikan Kepolisian adalah segala hal-ihwal yang berkaitan dengan fungsi dan
lembaga polisi sesuai dengan peraturan perundang-undangan. Sedangkan Pejabat Kepolisian Negara Republik Indonesia adalah anggota kepolisian negara Republik Indonesia yang berdasarkan Undang-undang memiliki kewenangan umum kepolisian14. Penyelidik ialah orang yang melakukan penyelidikan. Penyelidikan berarti serangkaian tindakan mencari dan menemukan sesuatu keadaan atau peristiwa yang berhubungan dengan kejahatan dan pelanggaran tindak pidana yang diduga sebagai perbuatan perbuatan tindak pidana. Pencarian dan usaha menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana, bermaksud untuk menentukan sikap pejabat penyelidik, apakah peristiwa yang ditemukan dapat dilakukan penyidikan atau tidak sesuai dengan cara yang diatur dalam Pasal 1 butir 5 KUHAP15. Penyelidikan merupakan tindakan tahap pertama permulaan penyidikan. Perlu diingat bahwa penyelidikan bukan tindakan yang berdiri sendiri terpisah dari penyidikan, tetapi merupakan bagian yang tak terpisahkan dari penyidikan. Berdasarkan buku petunjuk Pedoman Pelaksanaan KUHAP, penyelidikan merupakan salah satu metode atau sub daripada fungsi penyidikan yang mendahului tindakan lain, yaitu penindakan yang berupa penangkapan, penahanan, penggeledahan, penyitaan, pemeriksaan surat, pemanggilan, tindakan pemeriksaan, dan penyerahan berkas kepada Penuntut Umum.
14
Indonesia, Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 2, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4168), Pasal 1. 15
M. Yahya Harahap, Op.cit.., hal. 101.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
17
2.1.2
Kompetensi Penyelidikan Pasal 1 angka 4 KUHAP dan Pasal 4 KUHAP menyatakan bahwa
penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan (Polri). Penyelidikan diatur dalam KUHAP pada Pasal 5, Pasal 9, Pasal 75, Pasal 102, Pasal 103, Pasal 104, Pasal 105 dan Pasal 111. Oleh karena KUHAP menganut pokok-pokok bahwa yang berhak melakukan penyelidikan hanyalah pejabat Polri, maka bunyi pasal-pasal tersebut harus disesuailan agar dapat dipergunakan sebagai dasar oleh penyelidik yang lain (seperti Jaksa, KPK, dll.) terhadap tindak pidana yang menjadi wewenangnya untuk disidik.
2.1.2.1 Kepolisian Republik Indonesia Sebagai Penyelidik Pihak yang berwenang melakukan penyelidikan diatur di dalam Pasal 1 butir 4 KUHAP yang berbunyi:
Penyelidik adalah pejabat polisi negara Republik Indonesia yang diberi wewenang oleh undang-undang ini untuk melakukan penyelidikan. Dalam Pasal 4 KUHAP mengatur lebih spesifik lagi mengenai kompetensi penyelidikan, yaitu:
Penyelidik adalah setiap pejabat polisi negara Republik Indonesia.
Melihat pada Pasal 1 butir 4 KUHAP dan Pasal 4 KUHAP maka dapat ditarik kesimpulan bahwa penyelidik adalah setiap pejabat Polri. Jaksa atau pejabat lain tidak berwenang melakukan penyelidikan. Penyelidikan merupakan monopoli tunggal Polri. Kemanunggalan fungsi dan wewenang penyelidikan bertujuan16: a.
menyederhanakan masyarakat
siapa
dan
memberi
yang
berhak
wewenang dan
kepastian
berwenang
kepada
melakukan
penyelidikan;
16
M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 103
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
18
b.
menghilangkan kesimpangsiuran penyelidikan oleh aparat penegak hukum, sehingga tidak terjadi tumpang tindih;
c.
merupakan efisiensi tindakan penyelidikan ditinjau dari segi pemborosan jika ditangani oleh beberapa instansi, maupun terhadap orang yang diselidiki, tidak lagi berhadapan dengan berbagai macam tangan aparat penegak hukum dalam penyelidikan.
Merujuk pada penjelasan diatas maka aparat yang berfungsi dan berwenang melakukan penyelidikan hanyalah pejabat Polri, tidak dibenarkan adanya campur tangan dari instansi dan pejabat lain, namun pada kenyataannya campur tangan tersebut tetap saja ada.
2.1.2.2
Komisi
Pemberantasan
Tindak
Pidana
Korupsi
Sebagai
Penyelidik Pada Tindak Pidana Korupsi Tindak Pidana Korupsi di Indonesia sudah begitu parah dan meluas dalam masyarakat dan sangat memprihatinkan, perkembangannya terus meningkat dari tahun ke tahun, baik dari jumlah kasus yang terjadi dan jumlah kerugian keuangan negara yang dilakukan semakin sistematis serta lingkupnya yang memasuki seluruh aspek kehidupan baik tingkat bawah apalagi kalangan atas yang sangat merugikan17. Penegakkan hukum untuk memberantas tindak pidana korupsi yang dilakukan secara konvensional sebelum tahun 2002 terbukti mengalami berbagai hambatan. Untuk itu diperlukan metode penegakan hukum secara luar biasa melalui pembentukan suatu badan khusus yang mempunyai kewenangan luas, independen serta bebas dari kekuasaan manapun dalam upaya pemberantasan tindak pidana korupsi, yang pelaksanaannya dilakukan secara optimal, intensif, efektif, profesional serta berkesinambungan. Untuk itulah dibentuk suatu lembaga bernama KPK yang indenpenden dan bebas dari pengaruh manapun18.
17
Indonesia, Undang-Undang Nomor 302 Tahun 2002 Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2002 Nomor 137, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4250), Penjelasan Umum. 18
Indonesia, Ibid, Penjelasan Umum.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
19
Komisi Pemberantasan Korupsi dibentuk berdasarkan UndangUU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK. Salah satu wewenang dari KPK adalah melakukan penyelidikan yang terkait dengan tindak pidana korupsi sebagaimana yang diatur dalam Pasal 6 huruf c:
Komisi Pemberantasan Korupsi mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. Pasal 11 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a.
melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara.
b.
Mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat, dan/atau
c.
Menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp. 1.000.000.000,- (satu milyar rupiah).
Dalam Pasal 43 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK juga diatur mengenai penyelidik KPK:
Penyelidik adalah Penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi yang diangkat dan diberhentikan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan ketentuan tersebut, maka KPK hanya berwenang melakukan penyelidikan dalam tindak pidana korupsi saja.
2.1.3
Fungsi dan Wewenang Penyelidik Fungsi dan wewenang penyelidik meliputi ketentuan yang disebut pada
Pasal 5 KUHAP, yang dapat dipisahkan ditinjau dari beberapa segi, yaitu:
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
20
2.1.3.1 Fungsi dan wewenang berdasarkan hukum Fungsi dan wewenang penyelidik diatur dalam Pasal 5 KUHAP. Berdasarkan ketentuan ini fungsi dan wewenang aparat penyelidik adalah19: a. Menerima laporan atau pengaduan Bertitik tolak dari fungsi ini, apabila penyelidik menerima pemberitahuan
atau
laporan
yang
disampaikan
oleh
seseorang, penyelidik mempunyai hak dan kewajiban untuk menindaklanjuti. Laporan tersebut dapat berupa sedang ataupun diduga akan terjadi suatu peristiwa pidana, penyelidik wajib dan berwenang menerima pemberitahuan laporan. Penyelidik dapat pula menerima pemberitahuan yang
disertai
dengan
permintaan
oleh
pihak
yang
berkepentingan untuk menindak pelaku tindak pidana aduan yang telah merugikan. b. Mencari keterangan saksi dan barang bukti Tujuan perlembagaan fungsi penyelidikan dimaksud sebagai langkah pertama atau sebagai bagian yang tak terpisah dari fungsi
penyidikan,
guna
mempersiapkan
semaksimal
mungkin fakta, keterangan, dan barang bukti sebagai landasan hukum untuk memulai penyidikan. Penyidikan yang dilakukan tanpa persiapan yang memadai akan mengakibatkan penyidikan yang bertentangan dengan hukum atau terjadi kekeliruan terhadap orang yang disidik. c. Menyuruh berhenti orang yang dicurigai Kewajiban dan wewenang ketiga yang diberikan Pasal 5 KUHAP kepada penyidik adalah menyuruh berhenti orang yang dicurigai dan menenyakan serta memeriksa tanda pengenal diri. Wewenang ini dapat dikatan wajar sebab tidak mungkin dapat melaksanakan kewajiban penyelidikan kalau
19
M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 103-106.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
21
tidak diberi wewenang menyapa dan menanyakana identitas seseorang.
d. Tindakan lain menurut hukum Kewajiban dan wewenang selanjutnya ialah mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Menurut penjelasan Pasal 5 ayat (1) huruf a angka 4 yang dimaksud dengan tindakan lain adalah tindakan dari penyelidik untuk kepentingan penyelidikan dengan syarat: a) tidak bertentangan dengan suatu aturan hukum; b) selaras dengan kewajiban hukum yang mengharuskan dilakukannya dilakukan tindakan jabatan; c) tindakan itu harus patut dan masuk akal dan termasuk dalam lingkungan jabatannya; d) atas pertimbangan yang layak berdasarkan keadaan memaksa; e) menghormati hak asasi manusia.
2.1.3.2 Kewenangan berdasarkan perintah penyidik Kewajiban dan wewenang penyelidik yang berdasar hukum adalah kewenangan yang lahir dan inherent dari sumber undang-undang sendiri. Sedangkan wewenang yang berdasarkan perintah penyidik adalah yang bersumber dari “perintah” penyidik yang dilimpahkan kepada penyelidik. Tindakan dan kewenangan undang-undang melalui penyelidik dalam hal ini, lebih tepat merupakan tindakan melaksanakan perintah penyidik, berupa20: a. penangkapan,
larangan
meninggalkan
tempat,
penggeledahan, dan penyitaan; b. pemeriksaan dan penyitaan surat; c. mengambil sidik jari dan memotret seseorang; d. membawa dan menghadapkan seseorang pada penyidik. 20
M. Yahya Harahap, Op.cit., hal. 107.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
22
2.1.3.3 Kewajiban penyelidik membuat dan menyampaikan laporan Penyelidik wajib menyampaikan hasil pelaksanaan tindakan sepanjang yang menyangkut tindakan yang disebut pada pasal 5 ayat (1) huruf a dan b. Pengertian laporan hasil pelaksanaan tindakan penyelidikan, harus merupakan laporan tertulis.
2.1.3.4 Wewenang penyelidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi Pada dasarnya kewenangan yang dimiliki oleh penyelidik KPK sama dengan penyelidik menurut KUHAP. Hal tersebut diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK, yang berbunyi:
Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Ketentuan Pasal 38 ayat (1) menyatakan bahwa kewenangan penyelidik KPK sama dengan kewenangan penyelidik dalam KUHAP. Selain kewenangan secara umum yang diatur dalam KUHAP, penyelidik KPK juga memiliki kewenangan secara khusus yang diatur dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK, yaitu:
a. melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan; b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa; d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait; e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya; f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait;
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
23
g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa; h. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri; i. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani. 2.1.4 Tujuan Penyelidikan Tujuan utama dari setiap penyelidikan adalah untuk mengumpulkan keterangan-keterangan atau data-data yang dapat dipergunakan untuk: a. Menentukan apakah suatu peristiwa yang terjadi merupakan suatu tindak pidana atau bukan sehingga dapat dilakukan penyidikan. b. Persiapan pelaksanaan tahap penindakan penyelidikan Pengetahuan yang mendalam dari penyelidik tentang unsur-unsur suatu tindak pidana dan tentang hukum acara yang berlaku mutlak diperlukan. Bila penyelidik kurang menguasainya, maka arah penyelidikan menjadi tidak tentu dan dapat menghasilkan suatu kesimpulan yang keliru. Hasil penyelidikan dapat dipergunakan untuk persiapan pelaksanaan tahap penindakan, yaitu dalam arti bahwa setelah penyelidikan selesai, penyelidik sudah mempunyai gambaran tentang calon tersangka yang perlu diperiksa dan/atau ditangkap dan/atau ditahan, saksi-saksi yang perlu dipanggil, tempat-tempat yang perlu digeledah, barang bukti yang perlu disita dan sebagainya.
2.2
Ruang Lingkup Penyidikan
2.2.1
Definisi Penyidikan Penyidikan sebagaimana diatur dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP:
Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam Undangundang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang mana
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
24
dengan bukti itu membuat terang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya. Penyidikan yang dimaksud dalam Pasal 1 butir 2 KUHAP tersebut di atas adalah sesuai dengan pengertian opsporing atau interrogation. Menurut de Pinto, opsporing mempunyai arti:21
Pemeriksaan permulaan oleh pejabat-pejabat, untuk itu ditunjuk oleh Undang-undang segera setelah mereka dengan jalan apa pun mendengar kabar yang sekedar beralasan bahwa ada terjadi sesuatu pelanggaran hukum. Melihat pada Pasal 1 butir 2 tentang definisi penyidikan, dapat diketahui batasan atau perbedaan antara penyelidikan dan penyidikan, yaitu22: a. Pada tindakan penyelidikan penekanan tindakan diarahkan untuk mencari dan menemukan suatu peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana. Pada tingkat penyelidikan, tindak pidananya belum diketahui, sedangkan pada tingkat penyidikan tindak pidananya sudah diketahui dan tindakannya diarahkan untuk mencari dan mengumpulkan bukti agar tindak pidana yang ditemukan tersebut dapat menjadi terang serta sekaligus menemukan tersangka atau pelaku tindak pidana. b. Dari segi wewenang, pejabat penyelidik memiliki wewenang terbatas, hanya meliputi penyelidikan atau mencari dan menemukan data atas suatu peristiwa yang diduga merupakan tindak pidana dan wewenang lain berdasarkan perintah penyidik seperti penangkapan, larangan meninggalkan tempat, penggeledahan, penyitaan dan sebagainya. Penyidik memiliki ruang lingkup wewenang dan kewajiban yang lebih luas dibandingkan penyelidik.
21
Andi Hamzah, Op.cit., hal. 121-122.
22
Ramelan, Op.,cit., hal. 52-53.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
25
2.2.2
Kompetensi Penyidikan 2.2.2.1
Ketentuan Umum Pengertian penyidik menurut Pasal 1 angka 1 KUHAP berbunyi
sebagai berikut:
Pejabat polisi Negara Republik Indonesia atau pejabat pegawai negeri sipil tertentu yang diberi wwenang khusus oleh undang-undang ini untuk melakukan penyidikan. Ketentuan pasal 1 angka 1 KUHAP tersebut dipertegas dalam Pasal 6 KUHAP yang menentukan siapa saja yang disebut sebagai penyidik, yaitu:
(1) Penyidik adalah: a. Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia; b. Pejabat Pegawai Negeri Sipil tretentu yang diberi wewenang khusus oleh undang-undang. (2) Syarat kepangkatan pejabat sebagaimana diatur dalam ayat (1) akan diatur lebih lanjut dalam peraturan pemerintah. Disamping pejabat penyidik yang disebut dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a KUHAP, diatur juga pejabat penyidik dalam Pasal 10 KUHAP, yaitu:
(1) Penyidik Pembantu adalah pejabat kepolisian negara Republik Indonesia yang diangkat oleh Kepala Kepolisian negara Republik Indonesia berdasarkan syarat kepangkatan dalam ayat (2) pasal ini. (2) Syarat kepangkatan sebagaimana tersebut pada ayat (1) diatur dengan peraturan pemerintah.
2.2.2.2
Penyidik Polisi Negara Republik Indonesia Dan Penyidik Pegawai Negeri Sipil Bertitik tolak dari ketentuan Pasal 6 dan 10 KUHAP, maka yang
dapat diangkat sebagai pejabat penyidik adalah23:
23
Ramelan, Op.cit., hal. 56-59.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
26
1. Pejabat penyidik polisi negara Pejabat keplisian negara Republik Indonesia merupakan instansi yang diberi wewenang diberi wewenang untuk melakukan penyidikan. Disamping sebagai penyidik, pejabat kepolisian negara tertentu juga dapat diangkat sebagai penyidik pembantu, namun demikian untuk diangkat sebagai penyidik pembantu harus memenuhi syarat yang ditentukan dalam Pasal 6 ayat (1) KUHAP dan Pasal 2 Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983. 2. Pejabat penyidik pegawai negari sipil (PPNS) tertentu Penyidik pegawai negeri sipil ini diatur dalam Pasal 6 ayat (1) huruf b, yaitu pegawai negeri sipil yang mempunyai fungsi dan wewenang sebagai penyidik. Wewenang tersebut bersumber pada ketentuan undang-undang tertentu yang telah menetapkan sendiri pemberian wewenang atas pelanggaran ketentuan pidana yang diatur didalamnya. Misalnya dalam Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1992 tentang Keimigrasian, Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1995 tentang Kepabeanan (Pasal 112 ayat (1) memberi wewenang kepada pejabat pegawai negeri sipil tertentu di lingkungan Direktorat Jendral Bea dan Cukai untuk melakukan
penyidikan
Kedudukan
penyidik
tindak
pidana
kepabeanan).
pegawai
negeri
sipil
dalam
pelaksanaan tugasnya berada di bawah koordinasi dan pengawasan
penyidik
Kepolisian
Negara
Republik
Indonesia.
2.2.2.3 Penyidik khusus di luar Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Peraturan perundang-undangan selain KUHAP telah mengatur pejabat penyidik khusus untuk tindak pidana tertentu. Pejabat penyidik
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
27
khusus yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan tersebut antara lain24: a. Jaksa Sebagai penyidik khusus, jaksa berwenang melakukan penyidikan untuk tindak pidana: 1) Korupsi Wewenang jaksa melakukan penyidikan tindak pidana korupsi, ditentukan berdasarkan: a) Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi; b) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia. 2) Pelanggaran Hak Asasi Manusia Wewenang jaksa melakukan penyidikan pelanggaran hak asasi manusia, ditentukan berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan Hak Asasi Manusia. 3) Tindak Pidana Ekonomi Wewenang jaksa melakukan penyidikan tindak pidana ekonomi,
ditentukan
berdasarkan
Undang-Undang
Nomor 7/Drt/1955 tentang Pengusutan, Penuntutan dan Peradilan Tindak Pidana Ekonomi jo. Pasal 284 ayat (2) KUHAP. b. Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Institusi ini dibentuk berdasarkan Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Wewenang KPK melakukan penyidikan tindak pidana korupsi diatur dalam Pasal 6 huruf c UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK yang menjelaskan bahwa KPK mempunyai tugas melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi. 24
Ramelan, Op.cit., hal. 59-67
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
28
Pasal 11 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK menegaskan bahwa dalam melaksanakan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 huruf c, KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan tindak pidana korupsi yang: a) melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain yang ada kaitannya dengan tindak pidana korupsi yang dilakukan oleh aparat penegak hukum atau penyelenggara negara; b) mendapat perhatian yang meresahkan masyarakat; dan/atau c) menyangkut
kerugian
negara
paling
sedikit
Rp.
1.000.000.000,00 (satu milyar rupiah). Berdasarkan ketentuan-ketentuan tersebut, maka KPK hanya berwenang melakukan penyidikan tindak pidana korupsi.
2.2.3
Fungsi dan Wewenang Penyidik Fungsi dan wewenang penyidik menurut KUHAP dan penyidik KPK
menurut UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK adalah:
2.2.3.1
Fungsi dan wewenang penyidik kepolisian Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1)
KUHAP, karena kewajibanya mempunyai wewenang yang diatur dalam Pasal 7 ayat (1) KUHAP:
Pasal 7 (1) Penyidik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (1) huruf a karena kewajibannya mempunyai wewenang: a. menerima laporan atau pengaduan dari seorang tentang adanya tindak pidana; b. melakukan tindakan pertama pada saat di tempat kejadian; c. menyuruh berhenti seorang tersangka dan memeriksa tanda pengenal diri tersangka;
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
29
d. melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan dan penyitaan; e. melakukan pemeriksaan dan penyitaan surat; f. mengambil sidik jari dan memotret seorang; g. memanggil orang untuk didengar dan diperiksa sebagai tersangka atau saksi; h. mendatangkan orang ahli yang diperlukan dalam hubungannya dengan pemeriksaan perkara; i. mengadakan penghentian penyidikan; j. mengadakan tindakan lain menurut hukum yang bertanggung jawab. Seorang penyidik wajib untuk menjunjung tinggi hukum yang berlaku (Pasal 7 ayat (3) KUHAP). Pemberian wewenang kepada penyidik bukan semata-mata didasarkan atas kekuasaan, tetapi berdasarkan pendekatan kewajiban dan tanggung jawab yang diembannya. Dengan demikian kewenangan yang diberikan tersebut disesuaikan dengan kedudukan, tingkat kepangkatan, pengetahuan serta berat ringannya kewajiban dan tanggung jawab penyidik. Selain dari yang tersebut diatas, penyidik juga berwenang menghentikan penyidikan menurut Pasal 109 ayat (2) KUHAP yang menyatakan:
Dalam hal penyidik menghentikan penyidikan karena tidak terdapat cukup bukti atau peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana atau penyidikan dihentikan demi hukum, maka penyidik memberitahukan hal itu kepada penuntut umum, tersangka atau keluarganya. Selain kewenangan tersebut diatas penyidik polri juga berwenang melakukan penyadapan, walaupun tidak terinci atau tertuang secara jelas dalam KUHAP maupun Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia, namun hal ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi yaitu pada penjelasan Pasal 26:
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
30
Kewenangan penyidik dalam Pasal ini termasuk wewenang untuk melakukan penyadapan (wiretaping). Melihat pada penjelasan Pasal 26 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 diatas, maka terhadap kewenangan penyidik polri yang merupakan penyidik terhadap semua tindak pidana, maka secara otomatis penyidik polri berwenang melakukan penyadapan (wiretaping).
2.2.3.2
Wewenang penyidik pada Komisi Pemberantasan Korupsi Pada dasarnya kewenangan yang dimiliki oleh penyidik KPK
sama dengan penyidik menurut KUHAP. Hal tersebut diatur dalam Pasal 38 ayat (1) UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK:
Segala kewenangan yang berkaitan dengan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan yang diatur dalam UndangUndang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana berlaku juga bagi penyelidik, penyidik, dan penuntut umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi. Berdasarkan 38 ayat (1) tersebut maka dapat kita ketahui bahwa secara umum kewenangan penyidik KPK sama dengan kewenangan penyidik dalam KUHAP. Selain kewenangan secara umum yang diatur dalam KUHAP, penyidik KPK juga memliki kewenangan secara khusus yang diatur dalam Pasal 12 UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK, yaitu:
a. melakukan penyadapan dan perekaman pembicaraan; b. memerintahkan kepada instansi yang terkait untuk melarang seseorang bepergian ke luar negeri; c. meminta keterangan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya tentang keadaan keuangan tersangka atau terdakwa yang sedang diperiksa; d. memerintahkan kepada bank atau lembaga keuangan lainnya untuk memblokir rekening yang diduga hasil dari korupsi milik tersangka, terdakwa, atau pihak lain yang terkait; e. memerintahkan kepada pimpinan atau atasan tersangka untuk memberhentikan sementara tersangka dari jabatannya;
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
31
f. meminta data kekayaan dan data perpajakan tersangka atau terdakwa kepada instansi yang terkait; g. menghentikan sementara suatu transaksi keuangan, transaksi perdagangan, dan perjanjian lainnya atau pencabutan sementara perizinan, lisensi serta konsesi yang dilakukan atau dimiliki oleh tersangka atau terdakwa yang diduga berdasarkan bukti awal yang cukup ada hubungannya dengan tindak pidana korupsi yang sedang diperiksa; h. meminta bantuan Interpol Indonesia atau instansi penegak hukum negara lain untuk melakukan pencarian, penangkapan, dan penyitaan barang bukti di luar negeri; i. meminta bantuan kepolisian atau instansi lain yang terkait untuk melakukan penangkapan, penahanan, penggeledahan, dan penyitaan dalam perkara tindak pidana korupsi yang sedang ditangani.
2.2.4
Upaya Paksa Pada Tahap Penyidikan Dalam kegiatan penyidik untuk mengumpulkan bukti-bukti, diberikan
kewenangan-kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan tertentu kepadanya, sehingga memungkinkannya untuk menyelesaikan penyidikan itu dan siap untuk diserahkan kepada Penuntut Umum. Kewenangan-kewenangan untuk melakukan tindakan-tindakan itu akan disesuaikan secara kasuistis, termasuk untuk melakukan tindakan di tempat kejadian atau upaya-upaya yang bersifat memaksa/dwang middelen.
2.2.4.1
Penangkapan Undang-undang memberikan kewenangan kepada penyidik
sedemikian rupa luasnya antara lain wewenang untuk mengurangi kebebasan dan hak asasi seseorang. Penggunaan wewenang ini harus tetap berlandaskan hukum serta prinsip-prinsip yang menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia dan menjamin keseimbangan antara perlindungan kepentingan tersangka pada satu pihak, dan kepentingan masyarakat luas, kepentingan umum pada pihak lain. Wewenang yang diberikan undang-undang kepada penyidik yang bersifat pembatasan kebebasan dan hak asasi seseorang salah satunya
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
32
dapat dilakukan dalam bentuk penangkapan. Pengertian penangkapan menurut Pasal 1 angka 20 KUHAP adalah:
Penangkapan adalah suatu tindakan penyidik berupa pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat cukup bukti guna kepentingan penyidikan atau penuntutan dan atau peradilan dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini. Berdasarkan Pasal 1 butir 20, makan penangkapan tidak lain dari pengekangan sementara waktu kebebasan tersangka/terdakwa, guna kepentingan penyidikan atau penuntutan. Penangkapan harus dilakukan menurut cara-cara yang telah ditentukan dalam KUHAP. Pihak yang berwenang melakukan penangkapan ditentuak dalam Pasal 16 KUHAP yaitu: a. penyelidik atas perintah penyidik berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan. b. Penyidik dan penyidik pembantu berwenang melakukan penangkapan untuk kepentingan penyidikan.
2.2.4.1.1 Alasan Penangkapan Dalam melakukan penangkapan Penyelidik ataupun Penyidik harus memiliki alasan yang kuat. Alasan penangkapan disebutkan dalam Pasal 17 KUHAP yaitu: a. Seseorang tersangka diduga keras melakukan tindak pidana, dan b. Atas dugaan yang kuat tadi, harud berdasrkan bukti permulaan yang cukup. Pengertian bukti permulaan yang cukup menurut penjelasan Pasal 17 KUHAP adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 butir 14. Pasal 17 KUHAP ini menunjukkan bahwa perintah penangkapan tidak dapat dilakukan dengan sewenangwenang, tetapi ditujukan kepada mereka yang betul-betul melakukan tindak pidana.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
33
Definisi bukti permulaan yang cukup tersebut sesungguhnya masih belum jelas, karena Pasal 1 butir 14 KUHAP sendiri tidak menerangkan apa yang dimaksud dengan bukti permulaan yang cukup. Oleh karena itu dalam praktik masalah ini sangat tergantung penilaian obyektif penyelidik dan penyidik. Namun sebagai pedoman dalam praktek menurut Rapat Kerja Mahkamah Agung Kehakiman Kejaksaan Polisi (MAKEHJAPOL-I) tanggal 21 Maret 1984, menyimpulkan bahwa bukti permulaan yang cukup seyogyanya minimal laporan polisi ditambah satu alat bukti lainnya25.
2.2.4.1.2 Cara Penangkapan Cara penangkapan diatur di dalam Pasal 18 KUHAP sebagai berikut:
(1) Pelaksanaan tugas penangkapan. dilakukan oleh petugas kepolisian negara Republik Indonesia dengan memperlihatkan surat tugas serta memberikan kepada tersangka surat perintah penangkapan yang mencantumkan identitas tersangka dan menyebutkan alasan penangkapan serta uraian singkat perkara kejahatan yang dipersangkakan serta tempat ia diperiksa. (2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. (3) Tembusan surat perintah penangkapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) harus diberikan kepada keluarganya segera setelah penangkapan dilakukan. 2.2.4.2
Penahanan Penahanan merupakan salah satu bentuk tindakan yang bersifat
membatasi atau mengurangi kebebasan dan hak asasi manusia seseorang. Kewenangan penahanan tidak hanya dimiliki oleh penyidik, tetapi juga
25
Darwin Prints, Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar, (Jakarta: Djambatan, 1989),
hal. 43.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
34
oleh instansi penegak hukum lain yaitu penuntut umum dan hakim atau peradilan. Masalah penahanan (dan juga penangkapan) seseorang terkait dengan hak asasi manusia atas kemerdekaan dan keselamatan. Secara jelas hak atas kemerdekaan seseorang dirumuskan dalam Pasal 9 Deklarasi Universal Hak-Hak Asasi Manusia (The Universal Declaration of Human Rights), yaitu:
Tidak seorang pun boleh ditangkap, ditahan atau dibuang secara sewenang-wenang. Menurut Oemar Seno Adji, bahwa legalitas dari suatu penahanan baru merupakan suatu jaminan yang cukup, apabila ia disertai dengan 2 hal, yaitu: a. Tersangka atau terdakwa harus dapat mengetahui, setelah ia ditahan, sifat dari sangkaan atau dakwaan yang dihadapkan padanya; b. Jika si tersangka atau terdakwa menyadari pentingnya sangkaan atau dakwaan, ia harus mempunyai hak seketika itu untuk mengadakan hubungan dan konsultasi dengan seoran penasehat hukum menurut pilihannya26. Pengertian penahanan menurut Pasal 1 angka 21 KUHAP adalah sebagai berikut:
Penahanan adalah penempatan tersangka atau terdakwa di tempat tertentu oleh penyidik, atau penuntut umum atau hakim dengan penetapannya, dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
26
Oemar Seno Adji, Indonesia Negara Hukum (dalam Indonesia Negara Hukum. Seminar Ketatanegaraan Undang-Undang Dasar 1945), dikumpulkan oleh Fakultas Hukum dan Ilmu Kemasyarakatan Universitas Indonesia, Jakarta, (Seruling Masa,1966), hal. 59.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
35
2.2.4.2.1 Alasan Penahanan Alasan untuk melakukan penahanan terhadap tersangka atau terdakwa menurut Pasal 21 ayat (1) KUHAP, adalah: a. Tersangka/terdakwa dikhawatirkan melarikan diri; b. Tersangka/terdakwa dikhawatirkan akan merusak atau menghilangkan barang bukti; dan c. Tersangka/terdakwa dikhawatirkan akan melakukan lagi tindak pidana.
2.2.4.2.2 Syarat-syarat Untuk Melakukan Penahanan Syarat-syarat untuk melakukan penahanan disebut sebagai syarat obyektif dan syarat subyektif, yaitu:27 a. Syarat obyektif Yaitu karena undang-undang dengan tegas telah menentukan pasal-pasal kejahatan tindak pidana yang dapat dilakukan penahanan. Syarat obyektif ini ditentukan dalam Pasal 21 ayat (4) KUHAP yang intinya menegaskan bahwa penahanan hanya dapat dikenakan terhadap tersangka atau terdakwa yang melakukan tindak pidana atau percobaan atau pemberian bentuan dalam tindak pidana tersebut dalam hal: 1) Tindak pidana diancam dengan pidana penjara 5 (lima) tahun atau lebih. 2) Tindak pidana-tindak pidana yang tersebut dalam Pasal 21 ayat (4) b KUHAP. b. Syarat subyektif Yaitu syarat didasarkan pada keadaan atau keperluan penahanan itu sendiri ditinjau dari subyektifitas tersangka atau terdakwa. Akan tetapi penilaian terhadap syarat-syarat tersebut juga sangat ditentukan oleh subyektifitas aparat penegak hukum itu sendiri. Adapun syarat-syarat subyektif ini ditentukan dalam Pasal 21 ayat (1) KUHAP yaitu 27
Ramelan, Op.cit., hal 89-92.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
36
perintah penahan atau penahanan lanjutan yang dilakukan terhadap seorang tersangka atau terdakwa yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti yang cukup, dalam hal adanya keadaan yang menimbulkan kekhawatiran bahwa tersangka atau terdakwa akan: 1) melarikan diri; 2) merusak atau menghilangkan barang bukti; 3) dan atau mengulangi tindak pidana.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
37
BAB 3 TERTANGKAP TANGAN SEBAGAI SALAH SATU BENTUK PENANGKAPAN
3.1
Ruang Lingkup Tertangkap Tangan
3.1.1
Definisi Tertangkap Tangan Mengetahui suatu peristiwa yang dapat diduga sebagai tindak pidana,
dapat dilakukan melalui28: a.
Adanya laporan atau pengaduan Terdapat perbedaan pengertian laporan dan pengaduan dalam Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sebagai hukum publik dianut suatu asas umum bahwa:
Hak untuk melakukan penuntutan suatu tindak pidana diletakkan pada penuntut umum, sedangkan permintaan dari orang yang menjadi korban ataupun orang lain yang mengetahui terjadinya tindak pidana untuk melakukan penuntutan, tidak memiliki pengaruh atau keharusan bagi penuntut umum untuk menindak lanjuti. Hal tersebut disebabkan oleh karena KUHP dimaksudkan untuk melindungi kepentingan umum, kepentingan oran banyak, dan tidak ditujukan untuk khusus melindungi kepentingan perorangan. Permintaan setiap orang yang mengetahui terjadinya tindak pidana, untuk melakukan penuntutan atas peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana tersebut berbentuk laporan. Pengaturan di dalam KUHAP juga dijumpai adanya penyimpangan atas asas umum tersebut, yaitu ada beberapa jenis tindak pidana (delik) yang hanya dapat dituntut atas permintaan pernderita atau korban, artinya penuntut umum tidak akan melakukan penuntutan apabila tidak ada permintaan atas pengaduan dari pihak yang menjadi korban. Hak korban disebut dengan hak penuntutan. Hak 28
Ramelan, Op.cit., hal. 42.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
38
ini dilakukan dan hanya dalam delik atau tindak pidana yang disebut dengan delik aduan. b.
Informasi yang diperoleh aparat penegak hukum baik melalui sumber tertutup (melalui kegiatan intelijen) maupun sumber terbuka (pemberitaan pers, publikasi-publikasi tertentu dan sebagainya) Informasi yang diperoleh secara tertutup dilakukan melalui kegiatan
intelijen. Sedangkan informasi terbuka biasanya diperoleh dari pemberitaan pers ataupun surat kaleng maupun laporan dengan identitas yang jelas.
c.
Kedapatan tertangkap tangan Tertangkap tangan atau haterdaad (ontdekking op haterdaad) menurut
Pasal 1 butir 19 KUHAP adalah:
Tertangkap tangan adalah tertangkapnya seorang pada waktu sedang melakukan tindak pidana, atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan, atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya, atau apabila sesaat kemudian padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana itu yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya atau turut melakukan atau membantu melakukan tindak pidana itu. Berdasarkan rumusan Pasal 1 butir 19 KUHAP tersebut maka dapat kita lihat bahwa tertangkap tangan adalah tertangkapnya seseorang pada waktu: 1. Sedang melakukan tindak pidana atau tengah melakukan tindak pidana, pelaku dipergoki oleh orang lain; 2. Atau dengan segera sesudah beberapa saat tindak pidana itu dilakukan; 3. Atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukannya; 4. Atau sesaat kemudian pada orang tersebut ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana yang menunjukkan bahwa ia adalah pelakunya. Sedangkan menurut Pasal 1 butir 18 RUU KUHAP, tertangkap tangan didefinisikan sebagai:
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
39
Tertangkap tangan adalah tertangkap sedang melakukan, atau segera sesudah melakukan tindak pidana atau sesaat kemudian diserukan oleh khalayak ramai sebagai orang yang melakukan tindak pidana, atau apabila padanya ditemukan benda yang diduga keras telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau hasil tindak pidana. Pengertian istilah “dengan segera” dapat menimbulkan kesulitan dalam praktik, dan dapat mengundang ekses negatif dalam pelaksanaan. Petugas dapat memberi penafsiran yang berbeda-beda, karena undang-undang tidak memberi batasan waktu yang tegas. Seandainya diambil pengertian yang agak lazim dan awam bahwa yang dimaksud dengan pengertian “dengan segera” identik dengan pengertian peristiwa pidana tersebut masih baru, tetap belum memberikan kepastian tentang batas jangka waktu tertentu, sehingga pengertian yang agak mengambang ini dapat memberi keleluasaan kepada pejabat yang berwenang untuk melakukan penangkapan. R. Soesilo memberikan pendapat mengenai contoh “dengan segera” sebagai berikut:
Apabila seorang Bayangkara mendengar suara orang berteriak meminta tolong. Saat itu terlihat olehnya terdapat seseorang yang berlari keluar rumah dengan tangan berlumuran darah kemudian ia ditangkap dan diperiksa. Sesudah orang tersebut ditangkap dan diperiksa ternyata diketahui bahwa seseorang tersebut baru saja menganiaya seseorang. Tindak pidana penganiayaan tersebut kedapatan segera sesudah dilakukan (tertangkap tangan)29. Rumusan pada Pasal 1 butir 19 KUHAP sebenarnya sama dengan ketentuan Pasal 57 Het Herziene Indonesisch Reglement (HIR) dahulu yang berbunyi:
Kedapatan tengah berbuat yaitu, bila kejahatan atau pelanggaran kedapatan sedang dilakukan, atau dengan segera kedapatan sesudah dilakukan, atau bila dengan segera sesudah itu ada orang diresukan oleh suara ramai sebagai orang yang melakukannya, atau bila padanya kedapatan barang-barang, senjata-senjata, alat perkakas tau 29
R. Soesilo, Menangkap, Menahan, dan Pemberitahuan Ganti Rugi, (Bogor: Politeia),
hal. 7.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
40
surat-surat yang menunjukkan bahwa kejahatan atau pelanggaran itu ia yang melakukan atai membantu melakukannya. Pengertian tertangkap tangan diperluas sehingga berbeda dengan pengertian sehari-hari, karena meliputi pengertian sedang melakukan dan sesudah melakukan. Penyidikan delik tertangkap tangan secara khusus sebenarnya berasal dari Perancis30. Sejak zaman Romawi telah dikenal delik tertangkap tangan itu, yaitu delik yang tertangkap sedang atau segera setelah berlangsung yang mempunyai akibat-akibat hukum yang berbeda dengan delik lain. Delik tertangkap tangan disebut oleh orang Romawi delictum flagrans. Jerman atau Belanda kuno handhaft (ig) e daet dan versche daet, sedangkan orang Perancis menyebutnya flagrant delit dan Jerman frische Tat31. Pengertian in flagrante delicto dikenal juga sebagai red-handed. Elizabeth Webber dan Mike Feinsilber menjelaskan pengertian in flagranre delicto sebagai:
Tepat pada saat melakukan kelakuan yang buruk; tertangkap basah. Dipakai juga untuk menjelaskan istilah ditengah-tengah kegiatan seksual. Dalam bahasa Latin, adalah pada saat tindakan kriminal tersebut sedang berlangsung. Biasanya dipergunakan untuk perbuatan non-kriminal tetapi pada situsasi yang memalukan32
3.1.2
Kompetensi Dalam Hal Tertangkap Tangan Tertangkap tangan merupakan salah satu bentuk penangkapan, hal yang
membedakan dari penangkapan adalah pada tertangkap tangan tidak diperlukan adanya Surat Perintah Penangkapan maka dari itu pihak yang dapat melakukan penangkapan dalam hal tertangkap tangan pun berbeda dari penangkapan biasa. Pasal 18 ayat (2) KUHAP dan Pasal 111 ayat (1) KUHAP menjelaskan sebagai berikut:
30
E. Bonn – Sosrodanukusumo, Tuntutan Pidana, (Jakarta: Siliwangi), hal. 124.
31
G. Duisterwinkel, Het Wetbook van Strafvordering Arnhem, (S. Gouda Quint D. Brouwer en Zoon: 1972), artikel 128, hal. 1, sebagaimana dimuat dalam buku Andi Hamzah, Op.cit., hal. 122. 32
Elizabeth Webber dan Mike Feinsilber, Op.cit, hal. 285.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
41
Pasal 18 (2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Pasal 111 (1) Dalam hal tertangkap tangan setiap orang berhak, sedangkan setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketenteraman dan keamanan umum wajib, menangkap tersangka guna diserahkan berserta atau tanpa barang bukti kepada penyelidik atau penyidik. Sedangkan menurut Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 56 ayat (3) RUU KUHAP dijelaskan:
Pasal 16 (1) Dalam hal tertangkap tangan: a. setiap orang dapat menangkap Tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada Penyidik; dan b. setiap orang yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman, dan keamanan umum wajib menangkap Tersangka guna diserahkan beserta atau tanpa barang bukti kepada Penyidik. Pasal 56 (3) Apabila Tersangka Tertangkap tangan, Penangkapan dapat dilakukan tanpa surat perintah Penangkapan. Melihat pada rumusan Pasal 18 ayat (2) KUHAP dan Pasal 111 ayat (1) KUHAP maka dapat ditarik kesimpulan sebagai berikut: 1. Setiap orang berhak untuk menangkapnya, tidak terkecuali siapapun, berhak untuk menangkap dalam hal tertangkap tangan orang yang sedang dalam melakukan tindak pidana. Hal yang perlu diperhatikan dalam Pasal 111 ayat (1) KUHAP adalah rumusan kata “hak”. Dalam Pasal 111 ayat (1) KUHAP, tertulis kata “hak” bukan “kewajiban” sehingga orang yang melihat atau memergoki suatu peristiwa pidana dapat mempergunakan haknya untuk menangkap atau tidak; 2. Bagi setiap orang atau pejabat yang mempunyai wewenang dalam tugas ketertiban, ketentraman, dan keamanan umum dibebani
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
42
“kewajiban” untuk menangkap pelaku tindak pidana dalam keadaan tertangkap tangan. Pada Pasal 18 ayat (2) KUHAP, terdapat perumusan kalimat yang menyatakan penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Melihat pada rumusan pasal tersebut maka dapat kita simpulkan bahwa pejabat berwenang yang dapat melakukan penangkapan dalam hal tertangkap tangan hanyalah Penyelidik saja.
3.1.3
Tindakan Dalam Hal Tertangkap Tangan Tindakan-tindakan yang dapat dilakukan dalam hal tertangkap tangan
diatur di dalam Pasal 18 ayat (2) KUHAP, Pasal 35 KUHAP, Pasal 40-41 KUHAP, dan Pasal 102 ayat (2) KUHAP yang berbunyi:
Pasal 18 (2) Dalam hal tertangkap tangan penangkapan dilakukan tanpa surat perintah, dengan ketentuan bahwa penangkap harus segera menyerahkan tertangkap beserta barang bukti yang ada kepada penyidik atau penyidik pembantu yang terdekat. Pasal 35 Kecuali dalam hal tertangkap tangan, penyidik tidak diperkenankan memasuki: a) ruang di mana sedang berlangsung sidang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah; b) tempat di mana sedang berlangsung ibadah dan atau upacara keagamaan; c) ruang dimana sedang berlangsung sidang pengadilan. Pasal 40 Dalam hal tertangkap tangan penyidik dapat menyita benda dan alat yang ternyata atau yang patut diduga telah dipergunakan untuk melakukan tindak pidana atau benda lain yang dapat dipakai sebagai barang bukti. Pasal 41 Dalam hal tertangkap tangan penyidik berwenang menyita paket atau surat atau benda yang pengangkutannya atau pengirimannya dilakukan oleh kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan, sepanjang paket, surat
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
43
atau benda tersebut diperuntukkan bagi tersangka atau yang berasal daripadanya dan untuk itu kepada tersangka dan atau kepada pejabat kantor pos dan telekomunikasi, jawatan atau perusahaan komunikasi atau pengangkutan yang bersangkutan, harus diberikan surat tanda penerimaan.
3.2
Pengkondisian Sebagai Salah Satu Cara Pada Penangkapan Dalam Hal Tertangkap Tangan
3.2.1 Penyadapan 3.2.1.1 Definisi Penyadapan Penyadapan menurut penjelasan Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi adalah:
Kegiatan memasang alat atau perangkat tambahan pada jaringan telekomunikasi untuk tujuan mendapatkan informasi dengan cara tidak sah. Pada dasarnya informasi yang dimilikioleh seseorang adalah hak pribadi yang harus dilindungi sehingga penyadapan harus dilarang. Sedangkan penyadapan menurut Pasal 1 butir 18 Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika adalah:
Penyadapan adalah kegiatan atau serangkaian kegiatan penyelidikan dan/atau penyidikan yang dilakukan oleh Penyidik Pejabat Polisi Negara Republik Indonesia dengan cara melakukan penyadapan pembicaraan melalui telepon dan atau alat komunikasi elektronika lainnya. Penyadapan telepon atau wiretapping dalam Bahasa Inggris, menurut Black’s Law Dictionary adalah:
Electronis or mechanical eavesdropping, usually done by lawenforcement officers under court order, to listen to private conversations33.
33
Bryan A. Garner, Black’s Law Dictionary, Eighth Edition, (St. Paul:West Publishing Co., 2004)hal. 1631.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
44
(Mencuri dengar dengan menggunakan perangkat elektronik, yang biasanya dilakukan oleh aparat penegak hukum atas perintah pengadilan, untuk mendengarkan pembicaraan pribadi.) Penyadapan telepon atau wiretapping adalah istilah pengawasan terhadap pembicaraan telepon dan internet oleh pihak ketiga, seringkali digunakan dalam terminologi penyamaran. Penggunaan istilah penyadapan atau wiretapping digunakan karena pada mulanya alat penyadap dihubungkan ke kabel telepon yang sedang dipantau untuk menarik sebagian kecil sinyal elektronik yang membawa percakapan. Penyadapan yang dilakukan oleh kepolisan atau lembaga pemerintahan yang berwenang dikenal dengan istilah penyusupan secara sah (lawful interception)34.
3.2.1.2 Pengaturan Mengenai Penyadapan Penyadapan telepon diatur secara ketat di berbagai negara untuk melindungi kerahasiaan pribadi. Secara teori penyadapan telepon di berbagai negara harus melalui izin pengadilan terlebih dahulu, dan biasanya hanya disetujui apabila bukti-bukti menunjukkan bahwa dengan bukti-bukti yang ada tidak mungkin untuk menunjukkan adanya tindak pidana atau kegiatan yang bersifat subversif35. Pengaturan mengenai penyadapan di Indonesia belumlah dapat dikatakan sempurna, mengingat sedikitnya peraturan perundang-undangan yang mengatur mengenai penyadapan, baik dari segi kompetensi pihak yang dapat melakukan penyadapan, syarat-syarat penyadapan, tata cara penyadapan dan lain-lain. Dalam praktik hukum, penggunaan penyadapan, alat perekam dan hasil rekaman telah merupakan bagian dari proses projustisia perkara pidana. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana tidak mengatur mengenai penyadapan
34
http://en.wikipedia.org/wiki/Wiretap, (Telephone tapping, diakses pada tanggal 22 November 2008). 35
http://en.wikipedia.org/wiki/Wiretap, (Telephone tapping, diakses pada tanggal 22 November 2008).
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
45
sebagai salah satu upaya paksa36. Di dalam Pasal 40 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi ditegaskan:
Setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyadapan atas informasi yang disalurkan melalui jaringan telekomunikasi dalam bentuk apapun. Sedangkan dalam Pasal 42 ayat (2) Undang-Undang Nomor 36 Tahun 1999 tentang Telekomunikasi disebutkan:
Untuk keperluan proses peradilan pidana, penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas: a. permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Repubik Indonesia untuk tindak pidana tertentu; b. permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku. Penjelasan Pasal 42 ayat (2) UU 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi menyatakan bahwa yang dimaksud dengan proses peradilan pidana dalam ketentuan tersebut mencakup penyidikan, penuntutan dan persidangan. Melihat pada ketentuan-ketentuan mengenai penyadapan diatas, maka dapat kita tarik kesimpulan bahwa penyadapan sebenarnya diperbolehkan menurut undangundang guna kepentingan proses peradilan pidana. Pasal 12 ayat (1) huruf a UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK menegaskan bahwa salah satu kewenangan KPK dalam melaksanakan tugas penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan dapat melakukan penyadapan dan merekam pembicaraan. Kewenangan melakukan penyadapan yang dimiliki oleh KPK. Pada Pasal 42 ayat (2) UU 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi dapat kita lihat bahwa penyelenggara jasa telekomunikasi dapat merekam informasi
36
Penulis berpendapat bahwa penyadapan dapat dikategorikan sebagai salah satu upaya paksa mengingat di dalam penyadapan terdapat perampasa Hak Asasi Manusia atau hak privasi perseorangan (personel privacy right) yang dilakukan penguasa (aparat penegak hukum) dalam melaksanakan fungsi peradilan dalam sistem peradilan pidana (criminal justice system). Dalam Penjelasan Pasal 7 ayat (3) RUU KUHAP penyadapan dimasukkan sebagai salah satu upaya paksa.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
46
yang dikirim dan atau diterima oleh penyelenggara jasa telekomunikasi serta dapat memberikan informasi yang diperlukan atas permintaan tertulis Jaksa Agung dan atau Kepala Kepolisian Repubik Indonesia untuk tindak pidana tertentu dan permintaan penyidik untuk tindak pidana tertentu sesuai dengan undang-undang yang berlaku, sehingga dapat dilihat bahwa penyadapan bukanlah kewenangan khusus dari KPK saja, tetapi juga kewenangan dari jaksa dan POLRI. Pengaturan mengenai penyadapan telah ada sebelum adanya UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK antara lain dalam Undang-Undang Nomor 22 tahun 1997 tentang Narkotika, Undang-Undang Nomor 36 tahun 1999 tentang Telekomunikasi dan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 tahun 2002 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. UU Narkotika dan PERPU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme mengatur mengenai penyadapan lebih jelas dibandingkan UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK. Pada UU Narkotika, penyadapan dapat dilakukan dengan izin tertulis dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuknya sesuai dengan penjelasan Pasal 66 ayat (2) UU Narkotika:
Penyadapan pembicaraan melalui telepon atau alat telekomunikasi lainnya hanya dapat dilakukan atas izin tertulis dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia atau pejabat yang ditunjuknya. Selain mengenai penyadapan yang harus mendapat izin dari Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia, pada UU Narkotika penyadapan hanya dapat dilakukan selama 30 (tiga puluh) hari menurut Pasal 66 ayat (3) UU Narkotika:
Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (2) berlangsung untuk jangka waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Mengenai perlunya izin sebelum melakukan penyadapan juga diatur di dalam PERPU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Pada PERPU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, penyadapan baru dapat dilakukan setelah mendapat perintah dari Ketua Pengadilan Negeri dan penyadapan hanya
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
47
dapat dilakukan selama 1 (satu) tahun sesuai dengan Pasal 31 ayat (2) PERPU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme:
Tindakan penyadapan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf b, hanya dapat dilakukan atas perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk jangka waktu paling lama 1 (satu) tahun. Selain mengenai izin dan jangka waktu penyadapan, PERPU Pemberantasan Tindak
Pidana
Terorisme
juga
mengatur
mengenai
pelaporan
dan
pertanggungjawaban penyidik atas penyadapan yang dilakukan olehnya, sesuai dengan Pasal 31 ayat (3) PERPU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme:
Tindakan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) harus dilaporkan atau dipertanggungjawabkan kepada atasan penyidik. Melihat pada pasal-pasal mengenai penyadapan yang terdapat dalam UU Narkotika dan PERPU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme, maka dapat disimpulkan bahwa pengaturan penyadapan yang dimiliki oleh KPK kurang melindungi hak asasi dan kurang terdapat kepastian hukum. Menyikapi permasalahan penyadapan ini, pembuat undang-undang telah memasukan bagian khusus mengenai penyadapan ke dalam RUU KUHAP. Menurut Pasal 83 ayat (1) RUU KUHAP penyadapan pembicaraan melalui melalui telepon atau alat telekomunikasi yang lain dilarang, kecuali dilakukan terhadap pembicaraan yang terkait dengan tindak pidana serius atau diduga keras akan terjadi tindak pidana serius tersebut, yang tidak dapat diungkap jika tidak dilakukan penyadapan. Selanjutnya dalam Pasal 82 ayat (2) diatur mengenai tindak-tindak pidana apa saja yang dianggap sebagai tindak pidana serius, yaitu: a. terhadap Keamanan negara; b. perampasan kemerdekaan/penculikan; c. pencurian dengan kekerasan; d. pemerasan; e. pengancaman; f. perdagangan orang; g. penyelundupan;
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
48
h. korupsi; i. pencucuai uang; j. pemalsuan uang; k. keimigrasian; l. mengenai bahan peledak dan senjata api; m. terorisme; n. pelanggaran berat HAM; o. psikotropika dan narkotika; dam p. pemerkosaan. Mengenai perlunya izin dalam melakukan penyadapan juga diatur di dalam RUU KUHAP, yaitu di dalam Pasal 83 ayat (3) RUU KUHAP:
Penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) hanya dapat dilakukan oleh Penyidik atas perintah tertulis atasan penyidik setempat setelah mendapat surat izin dari Hakim Komisaris. Di dalam RUU KUHAP juga diatur mengenai jangka waktu penyadapan yang diatur dalam Pasal 83 ayat (6) RUU KUHAP:
Izin sebagaimana dimaksud pada ayat (5) diberikan untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari dan dapat diperpanjang 1 (satu) kali untuk waktu paling lama 30 (tiga puluh) hari. Sedangkan mengenai pelaporan penyadapan kepada atasan penyidik dan Hakim Komisaris terdapat pada Pasal 83 ayat (8) RUU KUHAP:
Pelaksanaan penyadapan sebagaimana dimaksud pada ayat (6) harus dilaporkan kepada atasan Penyidik dan Hakim Komisaris. Pengaturan mengenai penyadapan yang terdapat dalam RUU KUHAP telah memperbaiki pengaturan mengenai penyadapan yang ada selama ini. Namun, pengaturan mengenai penyadapan tersebut masih belum dapat dikatakan sempurna karena melihat pada beberapa hal seperti belum diaturnya mengenai alasan
penyadapan
dapat
dilakukan,
teknik-teknik
penyadapan
yang
diperbolehkan menurut undang-undang.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
49
3.2.1.3 Penyadapan Oleh Komisi Pemberantasan Korupsi Peraturan
perundang-undangan
telah
mengatur
mengenai
definsi
penyadapan, akan tetapi pengaturan mengenai kapan penyadapan tersebut dapat dilakukan, apa syarat-syarat penyadapan, bagaimana tata cara penyadapan dan lain-lain tidak diatur secara jelas. Ketidakjelasan peraturan perundang-undangan yang mengatur waktu penyadapan dilakukan, syarat-syarat penyadapan serta tata cara penyadapan, dapat membuat penyadapan dilakukan dengan sewenangwenang khususnya oleh suatu instansi dengan kewenangan yang begitu luas serta bebas dari pengaruh pihak manapun seperti KPK. Berdasarkan wawancara yang dilakukan oleh penulis kepada pihak KPK37, diketahui beberapa permasalahan mengenai seputar penyadapan. Melalui wawancara tersebut diketahui bahwa dalam melakukan penyadapan, KPK mendasarkan perbuatan hukum tersebut pada UU No. 30 Tahun 2002 Tentang KPK. Melalui wawancara tersebut juga didapati bahwa mengenai kapan penyadapan tersebut dilakukan, hal itu merupakan kebijakan dari Pimpinan KPK saja. Mengenai tata cara melakukan penyadapan, dikarenakan peraturan perundang-undangan belum mengatur secara jelas, maka KPK hanya memiliki petunjuk pelaksanaan berupa Standard Operation Procedure (SOP) tersendiri yang tidak dapat dipublikasikan kepada masyarakat umum. Standard Operation Procedure penyadapan tersebut berisi tata cara melakukan penyadapan, bagaimana melakukan penyadapan, jangka waktu penyadapan akan tetapi tidak dijelaskan bagaimana pengaturan secara rinci. Menurut
narasumber,
penggunaan
penyadapan
oleh
KPK
lebih
dikhususkan pada kasus penyuapan. Hal tersebut dikarenakan pada kasus penyuapan sangat sulit untuk mendapatkan alat-alat bukti atau barang-barang bukti yang menunjukkan tersangka/terdakwa telah memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang di dakwakan. Hal yang perlu diperhatikan dalam penyadapan kasus penyuapan adalah bahwa penyadapan bukanlah sebagai upaya terakhir dalam mengumpulkan alat-alat bukti dan/atau barang-barang bukti, karena sebelumnya
37
Wawancara dilakukan penulis pada tanggal 17 November 2008 melalui narasumber Rini Afriyanti dan Rosamala Arritonang yang merupakan staff biro hukum pada kantor Komisi Pemberantasan Korupsi.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
50
tidak ada suatu upaya dalam mencari alat-alat bukti dan/atau barang-barang bukti. Mengenai siapa-siapa saja yang perlu disadap, hal tersebut adalah kebijakan Pimpinan KPK berdasarkan daftar orang-orang yang telah dicurigai oleh KPK sebelumnya. Mengenai syarat-syarat pengajuan penyadapan hal-hal yang harus diperhatikan menurut narasumber adalah permohonan penyadapan harus menjelaskan secara detil38 dan melihat kepada tingkat keperluannya. Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK menjelaskan bahwa kewenangan penyadapan yang dimiliki oleh KPK berlaku pada tahap penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan, namun berdasarkan wawancara ditemukan hal yang patut diperhatikan mengenai tahap dimana penyadapan dapat dilakukan. Menurut narasumber, penyadapan dapat dilakukan dari tahap penyelidikan sampai dengan hakim menjatuhkan putusan akhir untuk perkara persidangan kasus tersebut. Hal tersebut dapat dilakukan karena menurut narasumber tahap penuntutan barulah berakhir pada saat hakim menjatuhkan putusan akhir. Menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP dikatakan yang dimaksud dengan penuntutan adalah:
Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke Pengadilan Negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan. Merujuk pada rumusan Pasal 1 angka 7 KUHAP diatas terdapat perbedaan pengertian penuntutan menurut KPK dengan pengertian penuntutan menurut KUHAP.
3.2.1.4 Penyadapan di Amerika Penyadapan telepon di Amerika diatur secara ketat untuk melindungi kerahasiaan pribadi. Secara teori penyadapan telepon di Amerika harus melalui izin pengadilan terlebih dahulu, dan biasanya hanya disetujui apabila bukti-bukti
38
Narasumber tidak menjelaskan apa yang dimaksud dengan detil dan apa saja yang perlu dicantumkan dalam pembuatan surat izin penyadapan.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
51
menunjukkan bahwa dengan bukti-bukti yang ada tidak mungkin untuk menunjukkan adanya tindak pidana atau kegiatan yang bersifat subversif. America mengatur penyadapan ke dalam The Wiretap Act (Undangundang Penyadapan) yang lebih dikenal sebagai Bab 3 dengan tujuan: 1. protecting the privacy of wire and oral communications, and (melindungi kerahasiaan percakapan lisan dan melalui saluran komunikasi; dan) 2. delineating on a uniform basis the circumstances may be authorized untuk menggambarkan secara jelas keseragaman keadaan atau kondisi yang dapat mengizinkan adanya penyadapan. Pelarangan penyadapan di America dapat ditemukan pada Pasal 2511 ayat (1) huruf a Bab 18 United States Code (U.S.C):
Except as otherwise specifically provided in this chapter any person who: (a) intentionally intercepts, endeavors to intercept, or procures any other person to intercept or endeavor to intercept, any wire, oral, or electronic communication .... shall be punished as provided in subsection (4) (Kecuali diatur secara khusus di dalam bab ini, barang siapa (a) dengan sengaja mengintervensi, mencuri dengar untuk mengintervensi, atau meminta orang lain untuk mengintervensi atau mencuri dengar untuk mengintervensi, saluran telekomunikasi, pembicaraan lisan atau alat komunikasi .... dapat dipidana sesuai dengan peraturan pada subbab 4.) Pasal 2510 ayat (4) Bab 18 U.S.C The Wiretap Act menjelaskan penyadapan sebagai suatu perbuatan mendengarkan isi informasi yang terkandung di dalam saluran komunikasi, alat elektronik maupun lisan melalui penggunaan alat elektronik atau alat komunikasi lainnya. Menurut Pasal 2518 ayat (3) huruf a dan b, penyadapan baru dapat dilakukan apabila terdapat probable cause (bukti permulaan) yang cukup dan hakim baru dapat memberikan izin penyadapan apabila: a. there is probable cause for belief that an individual is committing, has committed, or is about to commit a particular offense enumerated in section 2516 of this chapter;
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
52
(terdapat bukti permulaan yang meyakinkan bahwa seseorang sedang melakukan, telah melakukan atau sesaat akan melakukan pelanggaran yang disebutkan dalam Pasal 2516 bab ini); b. there is probable cause for belief that particular communications concerning that offense will be obtained through such intrcetion; (terdapat bukti permulaan yang meyakinkan bahwa pembicaraan mengenai adanya tindak pidana tersebut dapat diperoleh melalui penyadapan tersebut); Bukti permulaan yang terdapat pada permohonan penyadapan berbeda dengan bukti permulaan yang terdapat pada permohonan penggeledahan dan penyitaan, pada permohonan penggeledahan dan penyitaan bukti permulaan terdiri dari dua komponen39: a. That there is probable cause to believe that the items sought to be seized are connected with criminal activity; (Terdapat bukti permulaan yang meyakinkan bahwa barang yang akan disita merupakan barang yang berhubungan dengan perbuatan tindak pidana); b. That the items sought to be seized will probably, presently be found in the place sought to be searched. (Bahwa barang yang akan disita kemungkinan akan ditemukan di tempat yang akan digeledah).
3.2.2
Penjebakan atau Pendorongan Tindak Pidana40 Hukum acara pidana Indonesia tidak mengenal terminologi penjebakan
atau pendorongan tindak pidana, namun pada prakteknya penggunaan penjebakan atau pendorongan tindak pidana untuk mendapatkan barang bukti, alat bukti dan
39
Daniel E. Monnat dan Anne L. Ethen, A Primer on the Federal Wiretap Act and Its Fourth Amendement Framework, Journal of the Kansas Trial Lawyer Association, hal. 12. 40
Hukum acara pidana tidak mengenal pengaturan mengenai penjebakan. Penulis menggunakan terminologi penjebakan berdasarkan penerjemahan lepas Bahasa Inggris dari Encouragement and Entrapment menurut buku Lawrence P. Tiffany, dkk., Detection of Crime: Stopping ang Questioning, Search and Seizure, Encouragement and Entrapment, (Boston: Little Brown and Company, 1967).
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
53
tersangka kerap kali digunakan oleh aparat penegak hukum. Encouragement yang apabila diterjemahkan secara lepas berarti dorongan, sehingga apabila melihat makna
kalimat
tersebut
penulis
menyimpulkan
bahwa
encouragement
(pendorongan tindak pidana) adalah perbuatan aparat penegak hukum guna menangkap pelaku tindak pidana yang didahului dengan suatu dorongan kepada pelaku untuk melakukan tindak pidana. Encouragement adalah terminologi yang digunakan untuk menggambarkan kegiatan aparat penegak hukum yang41: a. Yang bertindak sebagai pelaku kejahatan; b. Yang bermaksud untuk menggerakkan tersangka untuk melakukan tindak pidana; c. Yang berkomunikasi untuk membujuk tersangka; dan d. Yang mempunyai pengaruh untuk melakukan kejahatan. Meskipun penggunaan encouragement sering digunakan di negara bagian di Amerika, tetapi sampai sekarang belum ada nama umum yang dapat diterima. Saat ini encouragement sering kali disalah artikan sebagai entrapment42, suatu penamaan atas tindakan encouragement yang ilegal. Penggunaan kata encouragement, meskipun tidak sempurna dan terkesan janggal bagi beberapa kalangan, dimaksudkan hanya bersifat penguraian yang mengandung kata netral. Entrapment menurut Black’s Law Dictionary adalah:
A law-enforcement officer’s or goverment agent’s inducement of a person to commit a crime, by means of fraud or undue persuasion, in an attempt to later bring a criminal prosecution against that person43. (Suatu perbuatan hukum yang dilakukan oleh aparat penegak hukum yang membuat seseorang untuk melakukan tindak pidana, dengan tujuan untuk dilakukan penuntutan terhadap orang tersebut). Pengertian encouragement berbeda bengan pengertian agent provocateur. Menurut Elizabeth Webber dan Mike Feinsilber, agent provocateur adalah: 41
Lawrence P. Tiffany, dkk., Detection of Crime: Stopping ang Questioning, Search and Seizure, Encouragement and Entrapment, (Boston: Little Brown and Company, 1967), hal. 210. 42
Lawrence P. Tiffany, dkk., Ibid, hal. 210.
43
Bryan A. Garner, Op.cit, hal. 573.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
54
one employed to associate with suspected persons and by pretending sympathy with their aims to incite them to some incriminating action44. (seorang pekerja pemerintah yang berhubungan dengan tersangka dan berpura-pura simpati dengan tujuan untuk menghasut mereka agar melakukan perbuatan pidana yang lebih berat lagi.) Menurut pengertian diatas maka agent provocateur adalah orang yang dipekerjakan oleh polisi atau badan untuk bertindak secara rahasia untuk menarik atau memprovokasi orang lain untuk melakukan kejahatan. Penjebakan tidak dapat dilakukan untuk menangani seluruh perkara pidana, tetapi hanya perkaraperkara pidana tertentu saja seperti tindak pidana di bidang narkotika, perjudian, penjualan pornografi, penyuapan dan lain-lain45.
3.3
Kewenangan
Pengadilan
Dalam
Memeriksa
Dan
Mengadili
Permohonan Gugatan Praperadilan 3.3.1 Definisi Praperadilan Melihat pada istilah praperadilan yang digunakan oleh KUHAP, maka maksud dan artinya yang harfiah berbeda. Pra artinya sebelum, “Praperadilan” artinya sama dengan sebelum pemeriksaan di sidang pengadilan. Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana memberikan definisi praperadilan sebagai:
Pasal 1 Butir 10 Praperadilan adalah wewenang Pengadilan Negeri untuk memeriksa dan memutus menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini, tentang: a. sah atau tidaknya suatu penangkapan dan atau penahanan atas permintaan tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasa tersangka; b. sah atau tidaknya penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan atas permintaan demi tegaknya hukum dan keadilan; c. permintaan ganti kerugian atau rehabilitasi oleh tersangka atau keluarganya atau pihak lain atas kuasanya yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan.
44
Elizabeth Webber dan Mike Feinsilber, Op.cit., hal. 122.
45
Lawrence P. Tiffany, dkk., Op.cit., hal. 213
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
55
Latar belakang dibentuknya lembaga praperadilan ini adalah sebagai pengawasan atas tindakan aparat penegak hukum yang merupakan pengurangan atau pembatasan hak asasi manusia dari tersangka. Tindakan pembatasan hak-hak asasi tersangka harus selalu berdasarkan ketentuan-ketentuan yang berlaku dalam perundang-undangan. Demi kepentingan pengawasan terhadap perlindungan hakhak tersangka atau terdakwa maka diadakan suatu lembaga yang disebut praperadilan. Ditinjau dari segi struktur dan susunan peradilan, praperadilan bukan lembaga pengadilan yang berdiri sendiri dan bukan pula sebagai instansi tingkat peradilan yang mempunyai wewenang memberi putusan akhir atas suatu kasus peristiwa pidana. praperadilan hanya satu lembaga baru yang ciri dan eksistensinya46: a. berada dan merupakan kesatuan yag melekat pada Pengadilan Negeri, dan sebagai lembaga pengadilan, hanya dijumpai pada tingkat Pengadilan Negeri sebagai satuan tugas yang tidak terpisah dari Pengadilan Negeri; b. praperadilan tidak berada di luar, di samping atau sejajar dengan Pengadilan Negeri, tetapi hanya merupakan divisi dari Pengadilan Negeri; c. administratif yustisial, personil, peralatan dan finansial bersatu dengan Pengadilan Negeri, dan berada di bawah pimpinan serta pengawasan dan pembinaan Ketua Pengadilan Negeri; d. tata laksana fungsi yustisialnya merupakan bagian dari fungsi yustisial Pengadilan Negeri itu sendiri. Di Eropa dikenal lembaga semacam praperadilan, tetapi fungsinya memang benar-benar melakukan pemeriksaan pendahuluan. Fungsi Hakim Komisaris (Rechter Commissaris) di negeri Belanda dan Judge d’ Instruction di Perancis benar-benar dapat disebut praperadilan, karena selain menentukan sah
46
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan Dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, (Jakarta: Sinar Grafika, 2008), hal. 1.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
56
tidaknya penangkapan, penahanan, penyitaan, juga melakukan pemeriksaan pendahuluan atas suatu perkara47. Penuntut Umun di Belanda dapat meminta pendapat hakim mengenai suatu kasus, apakah misalnya kasus tersebut pantas untuk dikesampingkan dengan transaksi (misalnya perkara tidak diteruskan ke persidangan dengan mengganti kerugian) ataukah tidak48. Meskipun ada kemiripannya dengan hakim komisaris, namun wewenang praperadilan terbatas. Wewenang untuk memutuskan apakah penangkapan atau penahanan sah atau tidak, memutuskan apakah penghentiaan penyidikan atau penuntutan sah atau tidak. Tidak disebut apakah penyitaan sah atau tidak49. Menurut Oemar Seno Adji, lembaga rechter commissaris (hakim yang memimpin pemeriksaan pendahuluan) muncul sebagai perwujudan keaktifan hakim, yang di Eropa Tengah mempunyai posisi penting yang mempunyai kewenangan untuk menangani upaya paksa (dwang middelen), penahanan, penyitaan, penggeledahan badan, rumah, dan pemeriksaan surat-surat50. Menurut KUHAP, praperadilan tidak mempunyai wewenang seluas itu. Hakim komisaris selain berwenang untuk menilai sah tidaknya suatu penangkapan, penahanan seperti praperadilan, juga berwenang menilai sah atau tidaknya penyitaan yang dilakukan oleh jaksa. Hakim komisaris di Belanda melakukan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas polisi maka praperadilan di Indonesia melakukan pengawasan terhadap kedua instansi tersebut. Judge d’ Instruction di Perancis mempunyai wewenang yang luas dalam pemeriksaan pendahuluan. Ia memeriksa terdakwa, saksi-saksi dan alat bukti yang lain. Ia dapat membuat berita acara, penggeledahan rumah dan tempat-tempat tertentu, melakukan penahanan, penyitaan, dan menutup tempat-tempat tertentu. Setelah pemeriksaan pendahuluan yang dilakukan selesai, ia menentukan apakah suatu perkara cukup alasan untuk dilimpahkan ke pengadilan atau tidak. Apabila cukup 47
Andi Hamzah, Op.cit., hal. 187.
48
Andi Hamzah, Op.cit., hal. 187.
49
Andi Hamzah, Op.cit., hal. 188.
50
Oemar Seno Adji, Hukum Hakim Pidana, (Jakarta:Erlangga, 1980), hal 88.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
57
alasan, ia akan mengirimkan perkara tersebut dengan surat pengiriman yang disebut ordonance de Renvoi, sebaliknya jika tidak cukup alasan, ia akan membebaskan tersangka dengan ordonance de non lieu51. Menurut Siahaan, tidak semua perkara harus melalui Judge d’ Instruction. Hanya perkara-perkara besar dan yang sulit pembuktiannya yang ditangani olehnya. Selebihnya yang tidak begitu sulit pembuktiannya pemeriksaan pendahuluannya dilakukan sendiri oleh polisi dibawah perintah dan petunjukpetunjuk jaksa52. Menurut KUHAP tidak ada ketentuan dimana hakim praperadilan melakukan pemeriksaan pendahuluan atau memimpinnya. Hakim praperadilan tidak melakukan pemeriksaan pendahuluan, penggeledahan, penyitaan, dan seterusnya yang bersifat pemeriksaan pendahuluan. Ia tidak pula menentukan apakah suatu perkara cukup alasan atau tidak untuk diteruskan ke pemeriksaan sidang pengadilan. Penentuan diteruskan atau tidak suatu perkara tergantung kepada jaksa penuntut umum, sehingga dominus litis adalah jaksa. Hakim komisaris di Belanda dapat selalu meminta agar terdakwa dihadapkan kepadanya walapun terdakwa di luar tahanan. Ia dapat meminta terdakwa dibawa kepadanya. Untuk keperluan pemeriksaan mendesak ia dapat meminta dalam waktu 1 x 24 jam dapat pula memeriksa saksi-saksi dan ahli-ahli. Menurut Van Bemmelen, hakim komisaris memerlukan pengetahuan yang luas, dismping pengetahuan yuridisnya seperti bagaimana cara memeriksa saksi dan terdakwa. Diperlukan pengetahuan psikologi untuk semua itu53.
3.3.2 Wewenang Praperadilan Wewenang praperadilan secara sepintas telah dikemukakan dalam Pasal 1 butir 10 KUHAP. Kewenangan tersebut lebih ditegaskan lagi dalam Pasal 82 jo. Pasal 78 jo. Pasal 77 KUHAP, Pasal 95 KUHAP dan Pasal 97 KUHAP.
51
Oemar Seno Adji, Ibid., hal 89.
52
Lintong Oloan Siahaan, Jalannya Peradilan Perancis Lebih Cepat Dari Peradilan Kita, (Jakarta: Ghalia, 1981), hal. 92-94. 53
Andi Hamzah, Op.cit., hal. 189
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009
58
praperadilan sebagaimana ditentukan dalam pasal-pasal diatas berwenang untuk memeriksa dan memutus tentang54: a. Sah atau tidaknya penangkapan, penahanan, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan (kecuali terhadap penyampaian perkara demi kepentingan umum oleh Jaksa Agung) sebagaimana ditentukan dalam Pasal 77 KUHAP; b. Sah atau tidaknya benda yang disita sebagai alat pembuktian, sebagaimana ditentukan dalam Pasal 82 ayat (1) dan (3) KUHAP; c. Tuntutan ganti kerugian oleh tersangka atau ahli warisnya atau penangkapan atau penahanan, karena dituntut dan diadili serta tindakan lain tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, sebagaimana Pasal 95 ayat (2) KUHAP jo. Pasal 77 huruf b KUHAP; d. Pemintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan, yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri, sebagaimana Pasal 97 ayat (3) KUHAP jo. Pasal 77 huruf b KUHAP.
54
Ramelan, Op.cit., hal. 125.
Universitas Indonesia Tertangkap tangan..., Muhammad riza, FHUI, 2009