KEDUDUKAN DAN FUNGSI PESINDEN WAYANG MALANGAN DI KELUARGA, KOMUNITAS SENI PERTUNJUKAN DAN MASYARAKATNYA Kajian Budaya, Analisis Gender Henricus Supriyanto Universitas Negeri, Surabaya Abstract: This study tries to expose traditional singer (pesinden) or waranggana life in Kota Malang and Kabupaten Malang. Gender analysis aimed is an analysis carried out to recognize conditional background and problems causing different roles between women and men. Theory used is Giele theory (1977) modified by Hagul (1987: 2-3). This theory focuses on some options taken in life (life option) of traditional singer (pesinden) in Malang. Six measurements used include political activity and behavior, free movement in job field, family establishment and pesinden rights, educational level she reaches, health and sexual attitude in her family and cultural expression in wayang entertainment art community. Those six measurements are used to recognize the status and role of pesinden in family, entertainment art community, and public. Pesinden position in her family is her right in selecting her husband, living right in sexual aspect and her right to propose divorce if there is unharmony in her family, the high status of pesinden in entertainment art community with special reward as high as main ‘level’ niyaga (traditional music player) and status of pesinden in her public with good ‘image’ in her audiences eyes. Pesinden function in her family as mother, as main supporting artist in entertaiment art community and as public organization pioneer in her community. Key words: Pesinden (penyanyi tradisional) wayang, status, peranan, keluarga, komunitas seni hiburan dan masyarakat pesinden.
Seni pertunjukan wayang di Jawa memiliki kekhasan yang unik, sebab “dunia wayang” adalah kembaran budaya yang memberdayakan realitas Jawa. Wayang di tengah komunitas masyarakatnya difungsikan sebagai tontonan (pertunjukan) dan “tuntunan” (pedoman hidup), media komunikasi, media penyuluhan dan media pendidikan.1 1
Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, Semarang: Dahara Prize, 1992, 26-27.
Henricus Supriyanto, Kedudukan dan Fungsi Pesinden
169
Wayang amat banyak dijadikan objek penelitian, tetapi pembicaraan tentang wayang “tidak ada batas” dalam arti tidak pernah terselesaikan. Tjan Tjoe Sim menyatakan ketika wayang dianalisis, ia tetap saja meluas, dan terus terbuka pandangan baru. Pandam Guritno menjelaskan bahwa unsur pelaksana pertunjukkan wayang terdiri dari tiga unsur saja, yakni2 1) Dalang, narator yang memainkan wayang; 2) Niyaga atau tim pengrawitan atau penabuh gamelan yang mengiringi seni pertunjukkan wayang; dan 3) Pesinden (Jawa pesindhen) Kata pesinden (pesindhen) dalam Kamus Pepak Basa Jawa berarti tukang menyinden atau “teledhek”. Sinden artinya menyanyi dengan diiringi bunyi gamelan. Pesindhen atau penyanyi wanita juga disebut “waranggana”.3 Seni pertunjukkan wayang yang dipentaskan di Malang memfungsikan gamelan dan pesinden lokal atau putra daerah Malang. Karena teknik menabuh gamelan dengan teknik tertentu serta pemakaian “pathet” (nada dasar) tertentu maka ragam kerawitan tersebut diberi nama “gamelan Malangan”. Pemakaian nada dasar atau pathet versi Brang Wetanan dibagi dalam lima tingkatan, yaitu: 1) Pathet sepuluh untuk gending-gending talu; 2) Pathet wolu untuk mendukung peyajian pertunjukkan pada sore hari/ awal pertunjukkan atau bagian awal pakeliran; 3) Pathet sanga atau secara populer di lingkungan pengrawit disebut “nyanga” untuk mengiringi pertunjukkan wayang menjelang tengah malam; 4) Pathet miring merupakan iringan rangkaian musik berikutnya secara dramatik menuju ke puncak konflik/krisis lakon; 5) Pathet serang merupakan iringan musik gamelan yang mendukung peristiwa dalam lakon menuju ke penyelesaian lakon (Supriyanto, 2000:iii). Pesinden wayang Malangan pada “tempo doeloe” mempelajari keterampilan dengan cara “magang” ke sinden yang lebih senior atau disebut pula dengan istilah “nyengkok” ke sinden sepuh. Perkembangan selanjutnya sinden Malangan belajar secara terorganisir dengan dukungan catatan-catatan gending dan kidung yang ditulis tangan di buku tulis atau lembaran-lembaran kertas lepas yang mudah hilang atau jatuh berserakan.
2 3
Pandam Guritno, Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila, Jakarta: UI Press,1988. 31. Sudaryanto, Kamus Pepak Basa Jawa,Yogyakarta: Kongres Bahasa Jawa, 2001, 96.
170
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 6 No. 2, Oktober 2006
Pesinden pada millennium baru ini nasibnya terbelah dalam wilayah aktivitasnya, geografis dan medium yang dapat dijangkaunya. Secara rinci dapat dideskrispikan sebagai berikut. 1) Pesinden pedesaan yang bermukim di daerah “blank spot” (tidak terjangkau oleh media komunikasi radio dan televisi) kedudukan dan fungsinya masih eksis, tetapi mereka tidak mampu mengikuti perkembangan zaman. Mereka terkondisikan dalam tradisi lisan yang agraris, aktivitasnya dengan imbalan yang murah serta fungsinya termasuk pendukung seni pertunjukkan wayang musiman. 2) Pesinden di Desa atau Kota yang dengan mudah memperoleh informasi dari media komunikasi radio, televisi dan informasi melalui media cetak. Kedudukan dan fungsi mereka semakin eksis berpeluang mengembangkan diri sesuai dengan perkembangan zaman. Mereka memiliki peluang tampil dalam siaran langsung di radio, televisi serta berpeluang memasuki dunia rekaman (perekaman bisnis seni pertunjukkan rakyat/tradisional). Mereka yang memiliki peluang lebih luas, berpeluang menerima imbalan jasa yang lebih besar bila dibandingkan dengan pesinden yang berada di daerah “blank spot”. Menyimak kondisi di atas hal-hal yang unik untuk diteliti ialah kedudukan dan fungsi pesinden di wilayah bebas informasi dan daerah “blank spot”.4 Kompleksitas level pendidikan pesinden, sebaran tempat hunian di pedesaan dan perkotaan serta mobilitasnya dalam kehidupan sehari-hari memunculkan masalah sebagai berikut. 1) Bagaimanakah kedudukan pesinden di Keluarga, Komunitas Seni Pertujukkan dan Masyarakatnya? 2) Bagaimanakah fungsi pesinden di Keluarga, Komunitas Seni Pertujukkan dan Masyarakatnya? 1.
Kajian Pustaka 1.1 Konsep Umum Bagaimanakah kondisi objektif wanita Indonesia dalam era reformasi? Kathryn Robinson dari Australian National University menulis artikel bertajuk “Indonesian Women: from Orde Baru to Reformasi”. Ia menggambarkan bahwa keseragaman sistem kebudayaan suku-suku di Indonesia membawa akibat pada keberagaman gender.
4
Ishadi, SK., “Media Seni dan Seni Media: Situasi Kini” (makalah belum diterbitkan dalam Seminar Seni Pertunjukan Global dan Globalisasi Seni Pertunjukan). Tirta Gangga, Karangasem (Bali). Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999.
Henricus Supriyanto, Kedudukan dan Fungsi Pesinden
171
Suku Jawa menganut kinship bilateral yang berarti garis laki-laki dan wanita memiliki posisi yang seimbang dalam hubungan antara keduanya dalam urusan pewarisan. Pernyataan tersebut tidak berlaku umum, sebab dalam tradisi lokal dijumpai sistem pembagian warisan laki-laki dan wanita dengan angka dua berbanding satu atau sistem “podhong pikul” (laki-laki dibandingkan dengan wanita = 2:1). Peraturan perundang-undangan masih diskriminatif, contohnya UU No. 1/1974 tentang Perkawinan, pasal 31, ayat 3 menyebutkan bahwa “suami adalah kepala keluarga dan isteri adalah ibu rumah tangga”. Mengacu ke UU tersebut masih mengakui poligami, yakni ayat 2 yang menyatakan “Pengadilan”, dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan”.5 Indonesia sejak tahun 1984 secara resmi telah meratifikasi konvensi mengenai penghapusan segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan (Convention on the Elimination off All From of Discrimination/CEDAW) melalui Undang-undang (UU) Nomor 7 tahun 1984 tertanggal 24 Juli 1984. Pasal 1 konvensi menyebutkan, untuk tujuan konvensi, istilah “diskriminasi terhadap perempuan” berarti setiap pembedaan, pengucilan atau pembatasan yang dibuat berdasarkan jenis kelamin, yang mempunyai pengaruh atau tujuan untuk mengurangi atau menghapuskan perlakuan hak-hak asasi manusia. Hak asasi yang dimaksudkan meliputi hak-haknya di bidang politik, ekonomi, sosial, budaya, sipil, atau apapun lainnya. (Ratifikasi CEDAW, Kompas, 19 Agustus 2002:37).6 Ollenburger dan A. Moore (terjemahan Sucahyono, 1996:194) menegaskan bahwa secara historis wanita telah disingkirkan dari dan disepelekan dalam analisis hukum, perlindungan yang diberikan oleh kekuatan-kekuatan hukum, dan perlindungan hukum. Hal ini dihubungkan dengan kenyataan, bahwa hanya sedikit wanita yang menjadi praktisi hukum, pembuat undang-undang, dan penjahat. Namun terdapat bukti yang menunjukkan bahwa kehidupan, hak-hak, dan kedudukan wanita dalam masyarakat telah dipengaruhi serta mempengaruhi perkembangan hukum. Permasalahan yang muncul bagaimanakah gambaran perempuan dalam dunia wayang? Wayang dan representasinya terhadap tokoh perempuan menunjukkan gambaran perempuan adalah subordinat lakilaki. Contoh nyata dapat disimak dalam cerita sebagai berikut.
5
Kompas, Senin 19 Agustus 2002:38.
6
Pernyataan di atas memiliki relevansi dengan pernyataan Ann Brooks, dalam bukunya yang berjudul Postfemenisms: :Femenism, Cultural Theory and Cultural Forms, 1997 (terjemahan Wibowo, S.K.A. berjudul Posfemenisme & Cultural Studies, khususnya Bab II. 5 perihal “Lanskap Posfemenenisme: Persimpangan Femenisme. Posmodernisme dan Poskolonialisme”, 2005:140-147)
172
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 6 No. 2, Oktober 2006
1)
Cerita “Pandawa Berjudi Dadu”, Dewi Drupadi telah disamakan dengan barang, ia dijadikan barang taruhan oleh suaminya sendiri yakni Yudhistira. 2) Tokoh Dewi Sumbadra adalah permaisuri Arjuna, dalam berbagai lakon ia dimadu, diminta menerima Larasati dan Srikandi sebagai madunya. Hal ini tertuang dalam cerita “Srikandi Berguru Memanah”. 3) Dewi Uma adalah isteri Bethara Guru yang dikutuk menjadi Durga karena ia tidak bersedia melayani nafsu sahwat suaminya. Hal ini tertuang dalam cerita “Lahirnya Kama Salah”. 4) Srikandi dijadikan pahlawan dalam perang Baratayuda. Posisi kepahlawanan Srikandi dalam mengalahkan/membunuh Bisma dalam peperangan ternyata hanya merupakan alat untuk menentukan kemenangan pihak Pandawa dalam Baratayuda. Studi tentang analisis gender yakni status laki-laki yang mendapat hal lebih besar dibandingkan dengan wanita ternyata juga didukung oleh sikap agama-agama besar di dunia. Pernyataan di atas bermuara dari pendapat Deckras (1975:6-7) dalam Arif Budiman yang menyatakan bahwa wanita memang lebih lemah daripada laki-laki. Kutipan selengkapnya sebagai berikut:7 “Kitab Injil menyatakan bahwa wanita terbuat dari tulang rusuk lakilaki”. Qur’an menyatakan “Laki-laki lebih berkuasa dari wanita karena sifatsifat yang diberikan Tuhan kepada laki-laki memang membuatnya lebih berkuasa”. Ayat-ayat agama Hindu Manu menyatakan “Wanita pada masa anakanak harus di bawah kekuasaan ayahnya, setelah remaja di bawah kekuasaan suaminya, dan kalau suaminya meninggal, di bawah anak lakilakinya. Wanita harus selalu di bawah kekuasaan laki-laki. Berdasarkan tulisan di lingkungan Khonghucu diterangkan sebagai berikut “Lima kelemahan utama yang membuat mereka kesulitan adalah tidak berdisiplin, selalu tidak puas, suka memfitnah, suka cemburu dan bodoh. Ini adalah ciri-ciri wanita yang membuat mereka jadi tidak bisa mempercayai dirinya sendiri dan jadi patuh kepada suaminya.8 Pendapat-pendapat di atas pasti ditolak oleh pemikiran Feminisme Liberal. Aliran ini muncul sebagai kritik terhadap teori politik liberal yang pada umumnya menjunjung tinggi nilai otonomi, persamaan dan nilai moral serta kebebasan individu, namun pada saat yang sama dianggap mendiskriminasikan kaum perempuan. Mereka dalam mendefinisikan
7 8
Budiman, Arief, Pembagian Kerja Secara Seksual, Jakarta: PT. Gramedia. 1981., 10. Ibid, 9-10.
Henricus Supriyanto, Kedudukan dan Fungsi Pesinden
173
masalah kaum perempuan tidak melihat struktur dan sistem sebagai pokok persoalan. Feminisme liberal berpandangan bahwa kebebasan (freedom) dan kesamaan (equality) berakar pada rasionalitas dan pemisahan antara dunia privat dan publik. Kerangka kerja feminis liberal dalam memperjuangkan persoalan masyarakat tertuju pada “kesempatan yang sama dan hak yang sama” bagi setiap individu, temasuk di dalamnya kesempatan dan hak kaum perempuan (Fakih, 1996:81). 1.2 Landasan Teori Penelitian ini didukung oleh pembatasan istilah sebagai berikut: 1. Analisis gender yang dimaksudkan adalah analisis yang dilakukan untuk mengetahui latar belakang kondisi dan masalah yang menjadi penyebab perbedaan peran wanita dan pria; 2. Istilah famili (Latin: famulus) mengacu ke keluarga inti dalam pertalian kekerabatan antara ayah, ibu dan anak; 3. Isitilah gender mengacu ke pembagian jenis kelamin maskulin dan feminim. Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa lesbians, waria (wanita pria) dan gay tidak diteliti dalam penelitian ini; 4. Penyajian laporan penelitian ke analisis kualitatif, penyajian data angka hanya sebagai ilustrasi pembahasan untuk memperkuat argumentasi yang dipaparkan. Teori yang dioperasionalkan dalam penelitian ini mengacu ke peranan dan status wanita di masyarakatnya. Peter Hagul9 mengutip pendapat Giele (1997) yang menyatakan bahwa wanita amat erat kaitannya dengan pilihanpilihan yang dapat dilakukan dalam hidup (life option). Pilihan hidup ini berkaitan dengan enam pokok yang dikenal dalam semua kegiatan masyarakat: 1. Kegiatan atau Perilaku Politik (Political Expression). Apakah wanita mempunyai hak untuk ikut serta dalam mengambil keputusan, memberikan suara, mempunyai hak milik dan menjadi pejabat pemerintah? Apakah tokoh-tokoh wanita menunjukkan rasa tidak puas atau merasa diperlakukan tidak adil dibandingkan dengan kaum pria? Apakah ada organisasi yang memperjuangkan hak wanita? 2. Kerja dan Keleluasaan Gerak. Apakah wanita kurang leluasa dibandingkan dengan laki-laki? Apakah mereka aktif dalam angkatan kerja? Apakah gaji mereka sama dengan laki-laki? 3. Pembentukan Keluarga, Lama Berumah Tangga dan Jumlah Anak. 9
Hagul, Peter, Penelitian tentang Kedudukan dan Status Wanita di Indonesia, Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependidikan Universitas Gadjah Mada, 1987, 2-3.
174
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 6 No. 2, Oktober 2006
Apakah wanita mempunyai pilihan yang terbatas dalam menentukan teman hidup? Apakah mereka mempunyai hak yang sama untuk menuntut perceraian? Apakah konsekuensinya jika mereka kawin atau hidup menjanda? 4. Pendidikan. Apakah wanita mempunyai kesempatan mendapatkan pendidikan formal seperti laki-laki? Apakah kurikulumnya sama? 5. Kesehatan dan Perilaku Seks. Apakah moralitas wanita lebih tinggi? Apakah mereka menderita sakit lebih dari laki-laki? Apakah mereka terhalang dalam menggunakan kontrasepsi? 6. Ekspresi Budaya. Apakah wanita mempunyai sumbangan untuk kebudayaan dan kesenian? Apakah wanita mendapat “image” yang baik dalam masyarakatnya? Dari keenam pokok perilaku pilihan hidup (life option) tersebut dapat dihubungkan dalam dua posisi penting yakni kedudukan dan fungsi pesinden di keluarga, komunitas seni pertunjukkan dan masyarakatnya. 2.
Karakter Data Kapankah wanita hadir sebagai sinden di komunitas seni pertunjukkan wayang di Malang? Ki Supangi (64 tahun) dalang senior yang bertempat tinggal di desa Bugis, Kecamatan Pakis mengatakan bahwa pada masa Pemilihan Umum pertama zaman Presiden Soekarno tahun 1955, di pedesaan Malang muncul pemakaian teknologi pengeras suara dan listrik dengan tenaga diesel. Selanjutnya teknologi pengeras suara dan listrik itu digunakan di komunitas seni pertunjukkan tradisional seperti ludruk, ketoprak, wayang orang dan pertunjukkan wayang purwa. Pada tahun 1960-an muncullah kehadiran teledek (tandak tayub) sebagai sinden di komunitas seni pakeliran wayang (wawancara pada 27 September 2002). Pesinden bertugas melantunkan kidung-kidung dengan tujuan agar pertunjukkan wayang menjadi “regeng” (meriah). Waktu itu sinden hanya seorang atau dua orang saja, dan duduk di belakang ki dalang, menghadap ke pakeliran wayang. Keunikannya sesudah tahun 1975-an sinden justru duduk menghadap ke penonton. Ki Supangi menilai telah terjadi perubahan fungsi yakni dari peran pendukung langen suara menjadi bagian dari seni pertunjukkan wayang. Sinden sesudah itu tidak hanya diukur dari aspek kemerduan suaranya saja, tetapi juga kecantikan wajahnya. Ki Narta Sabda almarhum, dalang kondang asal Semarang memberi kesempatan kepada pengunjung wayang kulit untuk meminta lagu-lagu ke pesinden pada
Henricus Supriyanto, Kedudukan dan Fungsi Pesinden
175
adegan gara-gara/punakawan. Adegan ini sering disebut adegan “saweran”, penonton yang meminta lagu ada yang memberi uang ke sinden atau melempar rokok ke ki dalang. Situasi tersebut terus berkembang, dan akhirnya pada pakeliran masa sekarang (tahun 2000-an) peran sinden dilengkapi dengan adegan musik campur sari atau musik ndhang-ndhut. Di lingkungan para dalang muncul sikap pro dan kontra, sebab kehadiran musik campur sari atau musik ndhang-ndhut telah menyimpang dari pakem pakeliran wayang. Kondisi objektif pesinden di wilayah Kabupaten Malang dan Kota Malang kini mencapai jumlah 52 orang. Sebanyak 20 orang bertempat tinggal di Kota Malang dan sebanyak 32 orang pesinden tersebar di sembilan wilayah Kecamatan di Kabupaten dan Kota Batu. Berdasarkan data di lapangan, sinden di Kota Malang, Kota Batu dan Kabupaten Malang dapat dikelompokkan berdasarkan level pendidikan formal sebagai berikut. Pesinden berpendidikan SD 19 orang, SMP 27 orang, SMU 3 orang, SPG (Sekolah Pendidikan Guru) seorang, PGSD (Pendidikan Guru Sekolah Dasar) seorang. Sebaran wilayah tempat tinggal/pemukiman sinden dapat dipaparkan sebagai berikut. Wilayah Kota Malang 20 orang, Kota Batu 2 orang, Kabupaten Malang 30 orang. Jumlah pesinden = 52 orang. Sebaran wilayah secara geografis tersebut bila dikaitkan dengan arah mata angin/empat penjuru arah, tercatat sebagai berikut. Kota Malang 20 orang, Malang Selatan 25 orang, Malang Timur dua orang dan Malang Barat (Gunung Kawi dan Batu) sebanyak 5 orang. Bagaimanakah pemerolehan keterampilan dan pengetahuan tentang sinden? Berdasarkan hasil wawancara ke para sinden, peneliti melaporkan bahwa para sinden rata-rata memperoleh keterampilan dan pengetahuan melalui pendidikan non formal dengan sistem “magang” (berguru ke seorang sinden senior) di daerahnya masing-masing. Realitas ini didukung oleh kenyataan bahwa di Kota Malang belum ada lembaga pendidikan formal kesenian, baik pada tempo dulu maupun pada masa sekarang ini. Pesinden yang bertempat tinggal di Kota Malang dan Kota Batu termasuk pesinden yang hidup dalam tatanan modern. Mereka dengan mudah menikmati teknologi transportasi, dengan demikian mobilitasnya tergolong tinggi. Semua pesinden termasuk pesinden yang “melek hurup” (bukan buta hurup) dan semua pesinden dengan mudah menikmati siaran radio dan televisi. Pada hari Sabtu malam mereka dapat melihat penayangan seni pertunjukkan wayang di media televisi Indosiar, dan mereka pun dengan mudah menikmati perkembangan musik “Campur Sari” yang ditayangkan oleh stasiun Televisi Republik Indonesia (TVRI). Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa mereka dengan mudah mempelajari tembang dan syair ragam baru yang dilantunkan di media massa televisi. 176
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 6 No. 2, Oktober 2006
Tidak tertutup kemungkinan bentuk-bentuk baru yang dilihat di media televisi juga ditirukan dan dikembangkan di lingkungan pakeliran panggung. Berdasarkan hasil wawancara dengan pesinden Kota Malang mereka memiliki pengalaman langsung dalam siaran radio atau pertunjukkan panggung yang secara langsung disiarkan oleh RRI Malang atau pemancar radio swasta di Kota Malang. Pementasan wayang yang didukungnya seringkali direkam pada pita suara untuk diperdagangkan atau rekaman video dalam proses pembuatan VCD di tingkat Kota Malang. Pesinden yang bertempat tinggal di wilayah Kabupaten Malang tersebar di sebelas wilayah Kecamatan yang telah berlistrik dan didukung sistem transportasi pedesaan yang lancar. Angkutan desa mampu menjangkau tempat tinggal mereka, dan sistem transportasi ojek (sepeda motor antar jemput) dapat mempermudah perjalanan mereka. Berdasarkan sebaran wilayah tempat tinggal mereka bertempat tinggal di daerah terpencil atau daerah “blank spot” (tidak terjangkau media komunikasi massa radio dan televisi). Semua pesinden di Kabupaten Malang termasuk pesinden yang melek hurup. Berdasarkan hasil wawancara rata-rata mereka memiliki radio dan televisi. Mereka dengan mudah mengikuti perkembangan seni pertunjukkan yang disiarkan melalui radio atau yang ditayangkan di media komunikasi massa televisi. Mereka yang tidak pernah memperoleh undangan dalang tenar seperti Ki Manteb Sudarsono dengan sendirinya tidak/belum memperoleh peluang penayangan di media televisi. Di antara pesinden se wilayah Kabupaten dan Kota Malang yang tergolong beruntung adalah pesinden Ny. Poninten (52 tahun) yang berulangkali memperoleh peluang penayangan di media televisi. Ia pernah mendukung pakeliran Ki Dalang Sunary, Ki Manteb Sudarsono dan Ki Anom Suroto. Pesinden Ny. Suarsiningsih (51 th) memperoleh peluang mengikuti rekaman melalui pita suara (kaset) sewaktu ia mengikuti pakeliran wayang dengan dalang Ki Martadi almarhum. Pita rekaman suara (kaset) dengan dalang Ki Martadi sampai sekarang masih beredar di pasaran di kota Malang dan kabupaten Malang. Kabupaten Malang secara geografis terdiri atas 33 wilayah Kecamatan, tetapi tidak semua Kecamatan dihuni oleh sinden wayang Malangan. Kecamatan yang tidak memiliki sinden sebanyak 18 wilayah. Kecenderungan yang tampak sebaran wilayah sinden berkorelasi dengan sebaran wilayah pemukiman dalang wayang kulit atau sebaran wilayah komunitas grup kerawitan/niyaga (penabuh gamelan). Daerah yang tergolong subur, dihuni oleh 11 (sebelas) orang sinden ialah Kecamatan Kalipare yang terletak di sebelah selatan bendungan Sutami (bendungan Karangkates). Komunitas masyarakatnya pun terdiri dari penggemar seni tradisional wayang purwa dan seni tradisional yang lain (misalnya kesenian ketoprak, sandiwara ludruk). Henricus Supriyanto, Kedudukan dan Fungsi Pesinden
177
3.
Analisis Data 3.1 Parameter Istilah kedudukan dalam penelitian ini mengacu ke makna posisi dalam suatu struktur. Struktur yang dimaksudkan adalah keluarga, komunitas seni pertunjukan dan masyarakatnya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Giele (1977) yang telah dimodifikasi sesuai dengan budaya Indonesia oleh Hagul (1987:2-3). Pendekatan utama yang dimaksudkan ialah pengukuran perilaku pilihan hidup atau “life option” sinden wayang Malangan. Aspek perilaku pilihan hidup yang dimaksudkan sebagai berikut: Kedudukan pesinden di keluarga diukur dari tiga aspek perilaku pilihan hidupnya. Perilaku pilihan hidup yang dimaksudkan sebagai berikut: (1) Pembentukan keluarga, lama berkeluarga dan jumlah anak. Apakah mereka memiliki hak memilih teman hidup, hak menuntut perceraian dan hak menjaga serta mengasuh anak. (2) Pendidikan, apakah wanita memperoleh peluang mengikuti pendidikan formal dan kepelatihan secara informal? (3) Kesehatan dan perilaku seks, apakah mereka terhalang dalam menggunakan kontrasepsi, menikmati seksual ataukah objek pemuasan seksual kaum laki-laki saja? Kedudukan pesinden di komunitas seni pertunjukan diukur dari dua aspek perilaku pilihan hidupnya. Perilaku yang dimaksudkan sebagai berikut. (1) Kerja dan keleluasaan gerak, apakah mereka memperoleh jabatan yang sama dan imbalan jasa yang sama dengan kaum laki-laki? (2) Ekspresi budaya, apakah mereka memiliki sumbangan yang besar di bidang kesenian. Apakah sinden memperoleh “image” yang baik di komunitas masyarakat seniman dan masyarakat luas pada umumnya? Kedudukan pesinden di masyarakat diukur dari satu aspek perilaku pilihan hidupnya. Perilaku yang dimaksudkan adalah sebagai berikut. Kegiatan atau perilaku politik (political expression), misalnya organisasi yang memperjuangkan hak wanita, hak memberi suara atau mengambil keputusan dalam politik. 3.2. Analisis Kedudukan Pesinden a. Di Keluarga Mayoritas pesinden di Malang menempatkan profesi sinden sebagai hoby dan upaya untuk memperoleh penghasilan tambahan. Analisis aspek pertama yakni pembentukan keluarga. Berdasarkan hasil wawancara dengan para sinden mereka memiliki hak untuk
178
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 6 No. 2, Oktober 2006
(1)
(2)
(3)
(4)
memilih teman hidup atau suami. Sinden yang merangkap sebagai penari tayub atau sinden khusus wayang memiliki hak untuk menuntut perceraian dari suaminya. Sinden Pn. (inisial) mengatakan bahwa dirinya sejak usia muda (15 tahun) telah menjadi penari tayub. Ia pada waktu itu merasa bingung memilih calon suami karena terlalu banyak laki-laki yang mencintai dirinya, ia mengatakan: “Saking kathahipun ingkang nresnani kula, kula ngantos bingung milih bojo” (karena terlalu banyak lelaki yang mencintai saya, maka saya merasa bingung untuk memilih calon suami). Masyarakat penonton menilai bahwa para sinden termasuk “wong blater” (wanita yang memiliki pergaulan yang amat luas). Sinden pada umumnya mempunyai hak untuk menuntut perceraian disebabkan oleh hal-hal sebagai berikut: Suami tidak mampu mengikuti perkembangan hidupnya dan tata pergaulan di dunia seni pertunjukan wayang. Suami menjadi pecemburu, hubungan keluarga tidak harmonis lagi, maka pihak sinden menjadi orang yang dicemburui. Munculnya pihak ketiga, yakni lelaki yang jatuh cinta ke pesinden. Hal ini juga menjadi faktor pendorong hubungan keluarga tidak harmonis, situasi konflik di rumah tangga sering berakhir dengan perceraian. Masalah ekonomi, yakni suami tidak mampu memberi nafkah, suami tidak mampu mencukupi keperluan hidup, atau penghasilan suami lebih rendah dibandingkan dengan isteri, akhirnya menimbulkan kekurangharmonisan di keluarga. Situasi konflik karena perekonomian sering berakhir dengan perceraian. Suami tidak mampu memberi nafkah batin, maksudnya pihak suami tidak mampu memenuhi kebutuhan seks kepada pihak isteri. Istilah populer di lingkungan mereka ialah “bojo mboten saged nyekapi kebetahan rohani” (suami tidak mampu memberi kepuasan seks). Sinden mempunyai hak untuk meminta cerai bila suami tidak mampu memberi kepuasan seks. Peneliti memperoleh informasi dari para sinden bahwa mereka siap atau sanggup hidup sebagai janda. Mereka menjanda juga memperoleh hak untuk mengasuh anak-anaknya. Sinden memperoleh hak mengikuti pendidikan formal. Mereka yang hanya berpendidikan Sekolah Rakyat (setingkat SD) mengakui bahwa pada masa kecilnya situasi perekonomian orang tuanya terlalu miskin, dengan akibat hanya mampu mengikuti pendidikan formal level SD (Sekolah Dasar). Sinden wayang Malangan pada umumnya mempunyai peluang untuk memperoleh pendidikan formal, khususnya, keterampilan “nyinden”. Keterampilan yang mereka
Henricus Supriyanto, Kedudukan dan Fungsi Pesinden
179
peroleh melalui organisasi profesional “grup kerawitan/sanggar kerawitan” atau kepelatihan yang diselenggarakan oleh organisasi profesi Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia). Sinden wayang Malangan rata-rata mengakui bahwa mereka tidak terhalang dalam menggunakan kontrasepsi. Peluang ini diperolehnya dari kegiatan KB (Keluarga Berencana) di kampungnya. Hal-hal yang amat rumit diungkap ialah “kepuasan seks”. Responden pada umumnya tidak mengungkapkan secara terus terang. Seorang nara sumber, Nyonya Pn (inisial) mengatakan “pokoke mboten dados lemek” (asalkan tidak hanya menjadi alas belaka), artinya mereka mampu menciptakan situasi untuk menikmati seks seperti yang diharapkannya. b.
180
Di Komunitas Seni Pertunjukan Wayang Sinden wayang Malangan memiliki keleluasaan gerak yang luas. Mereka tidak terikat oleh hubungan kerja dengan seseorang dalang. Mereka memiliki hak untuk mengikuti pertunjukan wayang dan atas undangan ki dalang yang memerlukan bantuannya. Berdasarkan hasil wawancara dengan para sinden diperoleh data bahwa sistem manajemen para dalang berdasarkan manajemen tradisional atau sistem kekeluargaan. Sebelum pementasan wayang sinden diundang dan diberi uang muka atau “uang panjer” sebagai tanda ikatan kerja. Manajemen tradisional di lingkungan seni pertunjukan wayang dapat dipaparkan sebagai berikut. (1) Ki dalang memperoleh imbalan jasa sebesar 25% atau 30% dari hasil pertunjukan selama sehari semalam atau selama pertunjukan semalam saja. (2) Sisa dana sebanyak 75% atau 70% dibagi ke kru/pendukung seni pertunjukan wayang. Mereka dikategorikan ke dalam tiga kelas atau tiga “rangking”. Kelas utama atau “Rangking A” terdiri atas para sinden, penabuh gamelan gender, bonang-penerus, pengendang, sopir. Kelas kedua atau “Rangking B” terdiri atas penabuh peking, kenong, rebab, seruling/siter dan tukang gong. Kelas ketiga atau “Rangking C” terdiri atas pekerja kasar, pengangkut gamelan, penata lampu dan penata suara, penata gamelan, penata wayang. Sinden wayang Malangan memperoleh imbalan jasa berdasarkan nilai uang pertunjukan dalam rentangan Rp. 3.000.000,sampai Rp. 5.000.000,-. Penerimaan sinden per pementasan dalam rentangan Rp. 100.000,- sampai dengan Rp. 300.000,Dengan demikian dapat dikatakan bahwa sinden wayang Malangan memperoleh jasa kerja yang setara dengan kaum laki-laki Studia Philosophica et Theologica, Vol. 6 No. 2, Oktober 2006
yang bertugas dalam pertunjukan wayang, khususnya yang termasuk pendukung utama atau “rangking A”. Sinden juga memperoleh jabatan organisasi yang khas misalnya untuk kelompok sinden pemula (sinden magang). Pesinden wayang Malangan dalam peluang mengekspresikan seni budaya oleh kru seni pertunjukan wayang dinilai amat besar. Sinden yang berkualitas mampu menciptakan situasi pertunjukan dan memiliki daya tarik yang khusus terhadap penonton wayang. Sehubungan dengan hal tersebut, di lingkungan komunitas penonton wayang para sinden memperoleh nama baik atau “image” yang baik. Nara sumber Ny. Sri Utami (37 tahun) secara jujur mengakui bahwa sinden wayang yang merangkap sebagai penari tayub kurang memperoleh nama baik di lingkungan masyarakat agamis. Penilaian negatif itu muncul karena sinden muncul di tengah-tengah kaum lelaki yang menari sambil menenggak alkohol, khususnya dalam kesenian tayub atau teledek (ronggeng). c.
Di Masyarakatnya Kedudukan pesinden di masyarakatnya diukur dari perilaku politik (political expression). Berdasarkan hasil pengamatan dan hasil wawancara dengan para sinden, mereka kurang memahami kegiatan politik. Mereka tidak seorangpun yang mengetahui wacana “Urgensi Penerapan Kuota Perempuan dalam paket Undang-Undang Politik”. Mereka tidak memahami wacana keterwakilan wanita sebanyak 30% di lembaga legislatif (DPRD/DPR RI) pada hasil pemilihan umum tahun 2004. Peneliti bersimpulan bahwa sinden wayang Malangan tidak memahami bahwa perwakilan wanita di DPR RI hanya 8,8% dan perwakilan wanita di MPR RI hanya 8,6%. Seluruh nara sumber menjawab pertanyaan peneliti dengan kalimat yang sama yakni “kulo mboten ngertos” (saya tidak mengerti). Atas pertanyaan peneliti mereka aktif menggunakan hak memberi suara dalam setiap pemilihan umum, baik pada masa Orde Baru maupun pada masa transisi pasca reformasi. Pada masa Orde Baru mereka mengakui memilih Golkar karena organisasi Pepadi secara resmi menyatakan loyalitasnya terhadap pemerintah. Mereka pun mengakui bahwa pada pemilihan umum tahun 1999 telah memilih PDI Perjuangan. Atas pertanyaan peneliti, setiap sinden wayang Malangan merasa bangga karena presiden Republik Indonesia pada periode tahun 2000 s.d. 2004 adalah seorang wanita, yakni Ibu Megawati. Argumentasi mereka hampir sama (di atas 80%) yakni bangga karena Presiden Ibu
Henricus Supriyanto, Kedudukan dan Fungsi Pesinden
181
Megawati adalah putra Bung Karno proklamator Republik Indonesia. Dengan kalimat lain dapat dikatakan bahwa mereka tidak mengaitkan kebanggaannya terhadap Presiden Ibu Megawati karena ketua umum DPP-PDI Perjuangan. Pola berpikir tersebut tampaknya relevan dengan pola berpikir tradisional di lingkungan masyarakat umum di Jawa Timur atau di lingkungan masyarakat penonton wayang yakni garis keturunan lebih populer bila dibandingkan dengan pandangan politik atau nilai perjuangan partai politik. Mereka juga amat menghormati ki dalang wayang yang masih keturunan dalang atau sinden keturunan seorang wanita pesinden. Gambaran situasi terhadap politik praktis tersebut semakin mengental setelah para dalang purwa dan sinden mengadakan sarasehan seni pewayangan di Surabaya pada tanggal 14 dan 15 September 2002. Mereka berpendapat bahwa Organisasi profesi Pepadi (Persatuan Pedalangan Indonesia) memiliki loyalitas kepada bangsa dan negara Republik Indonesia, dan tidak menyatakan loyalitasnya ke pemerintahan sipil yang didukung oleh partai politik pada pemilihan umum. 3.3 Fungsi Pesinden Wayang Malangan di Keluarga Komunitas Seni Pertunjukan dan Masyarakatnya Istilah fungsi dalam penelitian ini mengacu ke makna kegunaan dalam suatu struktur. Struktur yang dimaksudkan adalah keluarga, komunitas seni pertunjukan dan masyarakatnya. Pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori Giele (1977) yang telah dimodifikasi sesuai dengan budaya Indonesia oleh Hagul (1987:2-3). Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara secara mendalam dengan para nara sumber fungsi sinden dapat dideskripsikan sebagai berikut. a.
182
Fungsi Pesinden di Keluarga Berdasarkan hasil pengamatan dan wawancara dengan para nara sumber sinden wayang Malangan memiliki hak untuk memilih suami. Sinden wayang atau sinden yang merangkap sebagai penari tayub menyadari sepenuhnya bahwa fungsi mereka di keluarga adalah sebagai ibu rumah tangga dan ibu dari anak-anak yang dilahirkannya. Sinden dalam fungsinya sebagai ibu rumah tangga mempunyai tanggung jawab mendidik anak-anaknya dan mengatur ekonomi rumah tangga. Bila terjadi perceraian mereka melakukan tuntutan sebagai berikut. Studia Philosophica et Theologica, Vol. 6 No. 2, Oktober 2006
(1) Harta kekayaan dibagi berdasarkan tradisi “gana-gini” yakni harta hak suami dan hak isteri. Mereka lebih memahami tradisi “pondhong pikul” daripada pembagian harta kekayaan berdasarkan hukum agama Islam. (2) Hak mengasuh anak-anak berdasarkan perjanjian atau kesepakatan sewaktu perceraian dilangsungkan. (3) Sinden yang diceraikan oleh suaminya selalu menuntut dana pendidikan untuk anak yang diasuhnya. Mereka pun mengakui bahwa kaum laki-laki yang menceraikan dirinya sering tidak bertanggung jawab terhadap pendanaan pendidikan anak yang diasuhnya. Hal ini sering dilakukan oleh mantan suami yang telah menikah lagi dengan wanita lain. Sinden yang menjanda pada umumnya tetap bertanggung jawab terhadap anak-anak yang diasuhnya. Bila mereka menikah lagi mereka tetap bertanggung jawab terhadap anak yang diasuhnya. Sinden wayang Malangan tidak mengarahkan anak-anaknya untuk menekuni seni pertunjukan wayang. Nara sumber Ny. Sri Utami menyatakan bahwa anak-anaknya kurang memahami dan kurang mencintai seni wayang purwa. Sinden wayang Malangan, sesuai dengan perkembangan zaman berupaya menjaga citra “image”/nama baik di masyarakat. b.
Fungsi Pesinden di Komunitas Seni Pertunjukan Berdasarkan hasil wawancara dan pengamatan secara mendalam, sinden wayang Malangan semakin menyadari fungsinya di komunitas seni pertunjukan wayang. Fungsi yang dimaksudkan dirangkum dalam dua macam fungsi seni pertunjukan wayang yakni (1) fungsi tuntunan dan (2) fungsi tontonan. Fungsi tuntunan yang dimaksudkan pada awalnya adalah fungsi dalang yang memberi pendidikan ke masyarakatnya. Fungsi ini disebut sebagai fungsi wedaran ilmu atau wejangan ilmu pengetahuan hidup. Citra yang diharapkan ialah sinden sebagai tuntunan masyarakatnya atau contoh untuk masyarakatnya. Secara rinci fungsi yang dimaksudkan meliputi fungsi ibu rumah tangga, fungsi mengasuh anak-anak dan fungsi mendukung kesenian wayang di masyarakatnya. Fungsi tontonan yakni fungsi sinden yang berkewajiban menyajikan pertunjukan yang berkualitas bersama ki dalang dan kru penabuh gamelan/niyaga. Mereka berupaya untuk mengikuti kepelatihan gending dan kidung secara periodik di daerahnya masingmasing. Mereka menyadari sepenuhnya bahwa masyarakat penonton selalu menilai kualitas para sinden. Pepatah yang populer di lingkungan mereka ialah “sinden sing payu, sinden sing mutu” (sinden
Henricus Supriyanto, Kedudukan dan Fungsi Pesinden
183
yang laku adalah sinden yang bermutu). Nyonya Sulikah (40 tahun) mengakui bahwa sinden gaya Malangan atau Jawa Timuran menghadapi tentangan yang berat, yakni “cengkok kidung Jawa Timuran” yang rumit, tanpa notasi baku seperti cengkok kidung gaya Jawa Tengah. Fungsi pesinden dalam kaitan ekspresi budaya yang memiliki nama baik di masyarakatnya ialah fungsi dalam berbagai acara ritual yang terkait dengan pertunjukan wayang. Upacara ritual yang dimaksudkan ialah upacara ruwatan, upacara nazar atau dalang yang mumpuni (mampu melaksanakan upacara ritual), sinden berfungsi untuk menciptakan situasi sakral melalui kidung-kidung ritual. Sehubungan dengan kegiatan upacara ritual ini Ny. Suar (44 tahun) mengatakan bahwa dalang memiliki pasangan tetap dengan sinden, sebab keterampilannya saling mendukung atau saling melengkapi. c.
4.
Fungsi Pesinden di Masyarakatnya Fungsi sinden wayang Malangan dalam aktivitas politik tidak tampak menonjol. Tetapi bila masyarakat yang dimaksudkan dikaitkan dengan tatanan sosial masyarakat di tingkat RT/RW dikatakan oleh Ny. Misriati (52 tahun) sinden wayang Malangan memiliki peranan yang besar. Peranan yang dimaksudkan ialah penggerak organisasi sosial di masyarakat pedesaannya. Organisasi sosial dimaksudkan ialah pertemuan arisan kaum ibuibu di wilayahnya, kegiatan untuk menolong tetangga yang terkena musibah (sakit, kecelakaan atau meninggal dunia).
Kesimpulan Berdasarkan analisis tersebut, dapat disimpulkan sebagai berikut. 1. Kedudukan Pesinden a) Kedudukan pesinden di keluarga memiliki hak untuk memilih suami, memiliki hak untuk menuntut perceraian dengan suaminya, bila terjadi ketidakharmonisan di dalam keluarganya. b) Kedudukan di komunitas seni pertunjukan, mereka memiliki hak imbalan jasa sama dengan kaum laki-laki, dalam rangking A atau sejajar dengan niyaga (penabuh gamelan) kelas utama. c) Kedudukan di masyarakatnya termasuk warga masyarakat yang berhak untuk menggunakan hak bersuara dalam kegiatan politik, tetapi mereka kurang berminat terjun di bidang politik praktis (partai politik).
184
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 6 No. 2, Oktober 2006
2.
*)
Fungsi Pesinden a) Fungsi pesinden di keluarga sebagai ibu rumah tangga dan ibu dari anak-anak yang dilahirkannya. Bila mereka menuntut perceraian, mereka siap menjadi kepala keluarga, dalam arti mengasuh anak yang dilahirkannya. b) Fungsi pesinden di komunitas seni pertunjukan amat besar, dalam arti pendukung kualitas seni pertunjukan wayang di depan penontonnya. c) Fungsi pesinden di bidang sosial politik tidak menonjol, mereka mempersiapkan mengintegrasikan dirinya di tengah masyarakat, dan membantu di bidang pelayanan orang sakit, atau pelayanan warga masyarakat yang terkena musibah.
Henry Supriyanto: Doktor illmu komunikasi dari Universitas Udayana, Bali; dosen komunikasi di Universitas Negeri Surabaya.
BIBLIOGRAFI Budiman, Arief, Pembagian Kerja Secara Seksual, Jakarta: PT. Gramedia. 1981. Brooks, Ann, Postfemenisms: Femenism, Cultural Theory and Cultural Forms, London: Routledge (terjemahan Wibowo, S. Kunto Adi, Posfemenisme & Cultural Studies, 2005, Bandung: Jalasutra), 1997. Daulay, Harmona, Pergeseran Pola Relasi Gender di Keluarga Migran (Studi Kasus TKIW di Kecamatan Rawamarta, Kabupaten Krawang, Jawa Barat), Yogyakarta: Galang Press, 2001. Fakih, Mansour, Analisis Gender & Transformasi Sosial, Yogyakarta: Pustaka Pelajar Offset, 1996. Guritno, Pandam, Wayang, Kebudayaan Indonesia dan Pancasila, Jakarta: UI Press,1988. Giele, J.Z. and A.C. Smoks (Ed.), Women: Roles and Status in Eight Countries, New York: John Wiley & Sons, 1997. Hagul, Peter, Penelitian tentang Kedudukan dan Status Wanita di Indonesia, Yogyakarta: Pusat Penelitian Kependidikan Universitas Gadjah Mada, 1987. Ihromi, T. O. (Ed.), Kajian Wanita dalam Pembangunan, Jakarta: Yayasan Obor Indonesia,1995. Ishadi, SK., “Media Seni dan Seni Media: Situasi Kini” (makalah belum diterbitkan dalam Seminar Seni Pertunjukan Global dan Globalisasi Seni Pertunjukan). Tirta Gangga, Karangasem (Bali). Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999. Henricus Supriyanto, Kedudukan dan Fungsi Pesinden
185
Ollenburger, Jane C & Moore, Helen A. A Sosiologi of Women (Sosiologi Wanita, Terjemahan Sucahyono, Budi & Sumaryono, Yan), Jakarta: PT. Rineka Cipta, 1996. Oetomo, Mochtar, W., “Pseudo Metaphor Srikandi. Gambaran Perempuan dalam Wayang Purwa”, Kompas, Senin 30 September 2002, 4. Sanderson, Stephen K., Sosiologi Makro (Sebuah Pendekatan Terhadap Realitas Sosial), Jakarta: Rajawali Press, 1993. Sudaryanto, Kamus Pepak Basa Jawa,Yogyakarta: Kongres Bahasa Jawa, 2001. Soedarsono, R.M., Seni Pertunjukan Indonesia dan Pariwisata, Bandung: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1999. Sujamto, Wayang dan Budaya Jawa, Semarang: Dahara Prize, 1992. Supriyanto, Henri, “Pemberdayaan Wanita dalam Komunitas Seni Pertunjukan Tradisional” (Analisis Gender Seni Pertunjukan di Jawa Timur) (Makalah Temu Ilmiah dan Festival MSPI ’95). Mataram: Masyarakat Seni Pertunjukan Indonesia, 1995. ______, (Ed), Kidung Sindhen Malangan. Malang: Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Kabupaten Malang, 2002. Soeratno, S. Chamamah, “Pemberdayaan Perempuan Menuju Hidup Harmoni”, Jawa Pos, Selasa Legi 19 September 1995, 4. Wahyuningroem, Sri Lestari, “Sistem Pemilu, Partai Politik dan Keterwakilan Perempuan”, Kompas, Senin 23 September 2002, 29. Ware, Helen, Women, Demography and Development, Canbera: The Australian National University. ANU Development Studies Center, Demography Teaching, notes 3, 1981. Yunus, Syarifuddin, “Analisis Gender dan Pemberdayaan Wanita”, Suara Pembaruan, Kamis 14 September 1995, Th. IX, No. 3023, 4,8 dan 9. ______,“30 Persen Perempuan di Lembaga Politik”, Kompas, Senin 9 September 2002, 36.
186
Studia Philosophica et Theologica, Vol. 6 No. 2, Oktober 2006