KEDUDUKAN ALAT BUKTI SHORT MESSAGE SERVICE (SMS) DALAM PEMBUKTIAN KASUS TINDAK PIDANA PERJUDIAN (Tinjauan Yuridis Putusan No.247/PID.B/2013/PN.JKT.TIM)
SKRIPSI Diajukan Sebagai Salah Satu Syarat Untuk Memperoleh Gelar Sarjana Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman
Oleh : DANIEL VINCENT E1A009123
KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAN UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN FAKULTAS HUKUM PURWOKERTO 2014
i
ii
iii
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kepada Tuhan Yesus Kristus, karena dengan kasih karunia dan berkatNya yang melimpah sehingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini yang berjudul “KEDUDUKAN ALAT BUKTI SHORT MESSAGE SERVICE (SMS) DALAM PEMBUKTIAN KASUS TINDAK PIDANA PERJUDIAN (Tinjauan Yuridis Putusan No.247/PID.B/2013/PN.JKT.TIM)” tersebut dengan baik. Penulis menyadari bahwa terselesainya penulisan skripsi ini tidak terlepas dari bantuan baik moril maupun materiil serta doa dan dukungan berbagai pihak, oleh karena itu penulis mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada : 1. Dr. Angkasa, S.H.,M.Hum., selaku Dekan Fakultas Hukum Universitas Jenderal Soedirman. 2. Handri Wirastuti Sawitri, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi I saya, atas kesabaran beliau dalam membimbing serta memberikan masukan, dorongan dan motivasi kepada penulis. 3. Dr. Hibnu Nugroho, S.H.,M.H., selaku Dosen Pembimbing Skripsi II saya, yang telah memberikan saran, bimbingan, motivasi dan dorongan kepada penulis selama proses penyelesaian penyusunan skripsi ini. 4. Pranoto, S.H., M.H., selaku Dosen Penilai Skripsi, yang telah memberikan saran-saran serta evaluasi yang sangat berguna bagi penulis terkait dengan penyusunan skripsi ini. 5. Kedua orang tua penulis (M.Silitonga dan M.br.Sianturi), serta kakak dan adik penulis (Mirna Melly Olivia dan Dina Nancy) yang telah memberikan motivasi serta dukungan doa dan materi selama ini.
iv
Penulis menyadari bahwa penulisan skripsi ini masih jauh dari sempurna. Oleh karena itu, adanya saran yang membangun bagi penulis adalah hal yang berarti guna penyempurnaan dalam penulisan skripsi ini untuk menjadi lebih baik. Demikian, harapan penulis semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi semua pihak. Terima kasih.
Purwokerto,
Februari 2014
Penulis
v
ABSTRAK Pembuktian memegang peranan yang sangat penting, sebab melalui proses pembuktianlah dapat ditentukan apakah seorang terdakwa benar telah melakukan tindak pidana yang didakwakan oleh penuntut umum, dan apakah terdakwa dapat dipersalahkan atas perbuatan yang didakwakan tersebut. Short Message Service (SMS) sebagai alat bukti memang tidak diatur secara jelas di dalam KUHAP, tetapi pada Pasal 187 poin d dapat digunakan sebagai acuan pemberlakuan print-out SMS sebagai sebuah “Surat Lain”. Hasil print-out SMS dapat di jadikan sebagai alat bukti petunjuk apabila telah ada isyarat tentang suatu kejadian dimana isi dari SMS tersebut mempunyai persesuaian antara kejadian yang satu dengan yang lain. Pasal 5 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik menjelaskan bahwa Informasi Elektronik dan atau Dokumen Elektronik dan atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah yang merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Adapun
tujuan penulisan skripsi ini adalah untuk mengetahui pengaturan alat bukti SMS dalam tindak pidana perjudian. Dalam penelitian ini, SMS digunakan sebagai alat bukti petunjuk dalam pembuktian tindak pidana perjudian judi togel. Berdasarkan hasil penelitian terhadap
Putusan
Pengadilan
Negeri
Jakarta
Timur
No.247/PID.B/2013/PN.JKT.TIM menunjukkan bahwa perbuatan terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi unsur-unsur Pasal 303 ayat (1) Ke2 KUHP. Oleh karena itu hakim menjatuhkan putusan pemidanaan terhadap terdakwa berupa pidana penjara selama 1 tahun.
Kata kunci : Pembuktian, Short Message Service, Tindak Pidana Perjudian
vi
ABSTRACT
Authentication have an important part, because through authentication process, it can identify, are the defendant truthly doing the criminal action that prosecutor accusated. is the defendant can be blame for an action that the prosecutor accusated. Short Message Service (SMS) as evidence indeed not regulated clearly in KUHAP, but in article 187 letter (d) can be used as reference of print-out SMS as a “another letter”. Print-out SMS output can be a clue evidence when a sign between sms content and the accident there’s have a concurrence. Article 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 About Information and Electronic Transaction explain about electronic information and or electronic document and or print-out is a valid evidence that come from expansion legal evidence concurrence to criminal procedur law in Indonesia. The purpose in this research to know about regulation SMS as evidence in criminal act of gambling. In this research, SMS used as clue evidence in authentication criminal act of gambling judi togel. According to this research towards the juridical review of East Jakarta adjudication No.247/PID.B/2013/PN.JKT.TIM that show up about the defendant action has proved certainly and convince that comply substance of article 303 letter (1) point (2) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Therefore, judge give a sentence judgement condemnation one year prison punishment to the culprit.
Key words: Authentication, Short Message Service, Crime Gambling.
vii
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL .......................................................................................i HALAMAN PENGESAHAN .........................................................................ii HALAMAN PERNYATAAN .........................................................................iii KATA PENGANTAR .....................................................................................iv ABSTRAKSI ...................................................................................................vi ABSTRACT ....................................................................................................vii DAFTAR ISI ...................................................................................................viii BAB I PENDAHULUAN ................................................................................1 A. Latar Belakang Masalah ....................................................................1 B. Perumusan Masalah ..........................................................................4 C. Tujuan Penelitian ..............................................................................5 D. Kegunaan Penelitian .........................................................................5 BAB II TINJAUAN PUSTAKA .....................................................................6 A. Pengertian & Asas-Asas Hukum Acara Pidana ..................................6 1. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana ................................6 2. Asas-Asas Hukum Acara Pidana ...................................................10 B. Pembuktian .......................................................................................15 1. Pengertian Pembuktian .................................................................15 2. Sistem Pembuktian .......................................................................17 3. Alat Bukti .....................................................................................20 4. Alat Bukti Elektronik ...................................................................41 viii
C. Tindak Pidana Perjudian ...................................................................43 D. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Judi Togel Melalui Short Message Service (SMS) .....................................................................46 BAB III METODE PENELITIAN .................................................................51 A. Metode Pendekatan ...........................................................................51 B. Spesifikasi Penelitian ........................................................................51 C. Sumber Data .....................................................................................51 D. Metode Pengumpulan Data ...............................................................53 E. Metode Pengolahan Data ..................................................................53 F. Metode Penyajian Data .....................................................................53 G. Metode Analisa Data ..........................................................................54 BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN .................................55 A. Hasil Penelitian .................................................................................55 B. Pembahasan ......................................................................................72 BAB V PENUTUP ...........................................................................................91 A. Simpulan ...........................................................................................91 B. Saran .................................................................................................92 DAFTAR PUSTAKA
ix
1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Kondisi perekonomian menjadi faktor yang melatarbelakangi seseorang untuk melakukan suatu kejahatan yaitu salah satunya adalah perjudian. Menurut Johanes Papu : “faktor ekonomi amat berpengaruh dalam tindak pidana perjudian bagi masyarakat dengan status sosial dan ekonomi yang rendah perjudian seringkali dianggap sebagai suatu sarana untuk meningkatkan taraf hidup mereka.1 Perjudian merupakan perbuatan yang bertentangan dengan norma agama, moral, kesusilaan maupun hukum. Perjudian merupakan tindak pidana umum yang secara yuridis diatur dalam Pasal 303 KUHP, Pasal 303 bis KUHP, UndangUndang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian, Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1981 Tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1974 Tentang Penertiban Perjudian. Aturan ini sebagai payung hukum dalam memberantas tindak pidana perjudian yang terjadi di Indonesia. Dalam hukum pidana berlaku asas, bahwa seorang tidak boleh dianggap bersalah sebelum adanya putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan pada prinsipnya orang yang dianggap bersalah harus dibuktikan apakah ia bersalah melalui proses persidangan. Proses persidangan tersebut bertujuan untuk mencari kebenaran materiil (materiile
1 Johanes Papu, 2002, Sejarah & Jenis Perjudian. Jakarta, http://www.epsikologi.com/epsi/Sosial_detail.asp?id=279. (Diunduh pada tanggal 30 September 2013).
2
waarheid) yaitu kebenaran yang sesungguhnya. Salah satu proses yang paling penting untuk mencari kebenaran materiil adalah pembuktian, karena dari hal inilah tergantung apakah seseorang akan dinyatakan bersalah atau dibebaskan.2 Pada proses pembuktian di persidangan harus dibuktikan dengan alat-alat bukti yang sah menurut ketentuan undang-undang dan adanya keyakinan hakim yang diperoleh dari alat-alat bukti yang sah tersebut. Untuk menentukan seseorang bersalah atau melanggar hukum, alat bukti yang diperlukan harus lebih dari satu atau sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah menurut undangundang. Seperti yang sudah ditegaskan dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) pada Pasal 183 yang berbunyi: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang melakukannya”. Dalam
penjelasan
pasal
tersebut
disebutkan
bahwa
ketentuan
ini adalah untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang. Dengan demikian, hakim hanya dapat menjatuhkan hukuman apabila sedikit-dikitnya terdapat dua alat bukti yang sah dalam peristiwa pidana yang dituduhkan kepadanya dan adanya keyakinan hakim karena walaupun alat-alat bukti lengkap, akan tetapi jika hakim tidak yakin akan kesalahan terdakwa maka terdakwa tidak dipidana. Adapun alat bukti yang sah sebagaimana yang dimaksud diatas adalah menurut ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP yaitu:
2 Edmon Makarim, Kompilasi Hukum Telematika, PT RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2004 cetakan kedua, hal.419.
3
a. Keterangan saksi; b. Keterangan ahli; c. Surat; d. Petunjuk; e. Keterangan terdakwa. Pada kasus Putusan No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM, perjudian yang dilakukan yaitu judi togel oleh terdakwa F dilakukan dengan cara memanfaatkan teknologi sebagai sarana melakukan kejahatan. Dimana F sebagai bandar judi togel menggunakan Short Message Service (SMS) sebagai cara untuk bermain judi togel tersebut. Berbeda dengan cara judi togel biasanya yang apabila pemain ingin melakukan judi togel, pemain harus bertemu dengan Bandar dan nomor-nomor yang diperataruhkan atau dipasang dicatat oleh Bandar dalam bentuk secarik kertas. Akan tetapi pada kasus judi togel ini pemain tidak perlu bertemu dengan Bandar melainkan cukup dengan mengirimkan SMS nomor yang akan dipasang maka perjudian dianggap telah terjadi. Sehubungan dengan hal tersebut peran Short Message Service (SMS) sebagai alat bukti pada proses pembuktian tindak pidana perjudian melalui media teknologi sangatlah penting. Akan tetapi di dalam KUHAP telah diatur secara limitatif alat bukti yang dapat dihadirkan pada proses persidangan.3 Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ada penambahan mengenai alat bukti yang dapat dijadikan dasar bagi pertimbangan hakim. Menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik dikatakan bahwa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik 3
Nur Ro’is, Informasi Elektronik Sebagai Bukti dalam Perkara Pidana, Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 3 No. 6 Desember 2010 ISSN: 1979–0899X, http://jodfisipunbara.files.wordpress.com/2012/05/12-rois-oke-hal-90-96.pdf (diakses tanggal 14 November 2013).
4
dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah dari jenis-jenis alat bukti yang telah ditentukan dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP.4 Dengan ketentuan tersebut dapat dikatakan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 dikatakan sebagai lex specialis sedangkan KUHAP sebagai aturan yang bersifat umum (lex generalis). Sehingga dalam hal ini Short Message Service (SMS) bisa dijadikan sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana perjudian. Berdasarkan uraian tersebut penulis terdorong untuk mengkaji tentang peranan alat bukti Short Message Service (SMS) dengan menyusun skripsi dengan judul : Kedudukan Alat Bukti Short Message Service (SMS) Dalam Pembuktian Kasus Tindak Pidana Perjudian (Tinjauan Yuridis Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM).
B. Perumusan Masalah Berdasarkan hal-hal yang telah diuraikan dalam latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan suatu perumusan masalah sebagai berikut : 1.
Apakah Short Message Service (SMS) dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana perjudian ?
2.
Bagaimanakah kekuatan pembuktian alat bukti Short Message Service (SMS) dalam pembuktian tindak pidana perjudian dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM ?
4
Syahdeini, Sutan Remy, Kejahatan Tindak Pidana Komputer, Pustaka Utama Grafiti, Jakarta, 2009, hal.263.
5
C. Tujuan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah di atas, maka tujuan yang hendak dicapai dari penelitian ini adalah sebagai berikut : 1.
Untuk mengetahui Short Message Service (SMS) dapat atau tidak dijadikan sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana perjudian.
2.
Untuk mengetahui kekuatan pembuktian alat bukti Short Message Service (SMS) dalam pembuktian tindak pidana perjudian dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM ?
D. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan Teoritis Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
memberi
sumbangan
pengetahuan dan menambah kepustakaan hukum acara pidana. 2. Kegunaan Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi informasi mengenai kedudukan alat bukti Short Message Service (SMS) dalam pembuktian tindak pidana perjudian dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur.
6
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian & Asas-Asas Hukum Acara Pidana 1. Pengertian dan Tujuan Hukum Acara Pidana Dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana atau disebut juga Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang selanjutnya akan disebut dengan KUHAP, tidak memberikan definisi mengenai pengertian dari hukum acara pidana. KUHAP hanya menjelaskan mengenai batasan-batasan mengenai beberapa bagian hukum acara pidana serta tatacara peradilan dalam tingkat peradilan umum pada semua tingkat peradilan. KUHAP juga memberikan definisi mengenai proses-proses atau bagian dari hukum acara pidana seperti penyidikan, penuntutan, praperadilan, putusan, upaya hukum, penangkapan, penahanan, dan lain-lain dalam Pasal 1 KUHAP.5 Pengertian hukum acara pidana dapat dilihat dari pendapat para ahli hukum, antara lain: a.
b.
c.
5
D. Simons Hukum pidana formil (hukum acara pidana) mengatur tentang bagaimana negara melalui alat-alatnya melaksanakan haknya untuk memidana dan menjatuhkan pidana. A. Minkenhof Hukum acara pidana mempunyai peraturan mengenai yang terjadi antara saat timbulnya dugaan bahwa suatu delik telah dilakukan dan dilaksanakannya pidana yang dijatuhkan kepada terdakwa. J.M. van Bemmelen
Makarao dan Suhasril. 2010. Hukum Acara Pidana (Dalam Teori dan Praktek). Bogor: Ghalia Indonesia. Hal 1
7
d.
Ilmu hukum acara pidana mempelajari peraturan-peraturan yang diciptakan oleh negara, karena adanya pelanggaranpelanggaran pidana, yaitu sebagai berikut: 1. negara melalui alat-alatnya menyidik kebenaran; 2. sedapat mungkin menyidik pelaku perbuatan itu; 3. mengambil tindakan-tindakan yang perlu guna menangkap si pembuat dan kalau perlu menahannya; 4. mengumpulkan bahan-bahan bukti (bewijsmateriaal) yang telah diperoleh pada penyidikan kebenaran guna dilimpahkan kepada hakim dan membawa terdakwa ke depan hakim tersebut; 5. hakim memberi keputusan tentang terbukti tidaknya perbuatan yang dituduhkan kepada terdakwa dan untuk itu menjatuhkan pidana atau tindakan tata tertib; 6. upaya hukum untuk melawan keputusan tersebut; 7. akhirnya melaksanakan keputusan tentang pidana dan tindakan tata tertib.6 Wirjono Prodjodikoro Hukum acara pidana berhubungan erat dengan adanya hukum pidana, maka dari itu merupakan suatu rangkaian peraturan yang memuat cara bagaimana badan-badan pemerintah yang berkuasa, yaitu kepolisian, kejaksaan, dan pengadilan harus bertindak guna mencapai tujuan negara dengan mengadakan hukum pidana.7 Rangkaian proses panjang pelaksanaan penegakan hukum dari awal
penyidikan hingga eksekusi semua bermuara pada satu tujuan yaitu menemukan dan mendapatkan kebenaran materiil, dengan demikian pada setiap tahapan proses yang dijalankan harus dapat dilaksanakan dengan efisien, cermat serta tidak bertentangan dengan KUHAP itu sendiri.8 Tentang ruang lingkup Hukum Acara Pidana, P.A.F Lamintang berpendapat : “bahwa wajarlah kiranya kita harus mengetahui terlebih dahulu sifat dari perbuatan-perbuatan menyelidik, menyidik, dan menuntut seseorang menurut hukum pidana. Secara singkat dapat dikatakan hukum acara pidana pada dasarnya baru diberlakukan apabila terdapat
6
Ibid, Hal. 3 Andi Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2008, hlm. 4-7. 8 Hibnu Nugroho, Integralisasi Penyidikan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia. Jakarta. Media Prima Aksara, 2012. Hlm. 32. 7
8
sangkaan bahwa undang-undang pidana materiil telah dilangar oleh seseorang.9 Setiap peraturan hukum yang dibentuk pasti memiliki suatu tujuan tertentu yang akan dicapai. Hukum dan undang-undang yang tidak memiliki tujuan akan tidak memiliki kegunaan, semakin realistis sesuatu tujuan yang hendak dicapai maka semakin bernilai dan dekat pula tujuan yang diperoleh anggota masyrakat sebagai pencari keadilan. Begitupun adanya hukum acara pidana Indonesia yang dituangkan dalam KUHAP. Tujuan dari hukum acara pidana dapat dilihat dalam Pedoman Pelaksanaan KUHAP yang dikeluarkan oleh Menteri Kehakiman sebagai berikut: “Tujuan dari Hukum Acara Pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan suatu pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta memeriksa dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tidak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan”. Sedangkan tujuan atau fungsi hukum acara pidana, menurut Hibnu Nugroho adalah: 1. Sebagai sarana untuk mencari suatu kebenaran materiil dari suatu tindak pidana yang terjadi; 2. Menemukan orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana; 3. Meminta pengadilan untuk memuutuskan bersalah atau tidaknya tersangka; dan 4. Melaksanakan dan kemudian mengawasi pelaksanaan dari putusan tersebut.10 Tujuan hukum acara pidana adalah untuk mencari dan mendapatkan atau setidak-tidaknya mendekati kebenaran materiil, ialah kebenaran yang 9
PAF Lamintang dan Theo Lamintang. Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana dan Yurisprudensi. Sinar Grafika. Jakarta. 2010. Hlm. 26-28 10 Hibnu Nugroho, Op.cit. Hlm. 32.
9
selengkap-lengkapnya dari suatu perkara pidana dengan menerapkan ketentuan hukum acara pidana secara jujur dan tepat dengan tujuan untuk mencari siapakah pelaku yang dapat didakwakan melakukan sutau pelanggaran hukum, dan selanjutnya meminta pemeriksaan dan putusan dari pengadilan guna menemukan apakah terbukti bahwa suatu tindak pidana telah dilakukan dan apakah orang yang didakwakan itu dapat dipersalahkan. 11 Tujuan tersebut diperoleh manakala penegak hukum mencari kebenaran materiil yang dapat diperoleh dengan berbagai macam alat bukti yang dihadirkan dipersidangan baik dari jaksa penuntut umum ataupun dari penasehat hukum terdakwa. Pemeriksaan dipengadilan yang ditekankan pada pembuktian yang dinilai oleh hakim mana yang lebih kuat sehingga menimbulkan keyakinan hakim akan siapa yang benar dan siapa yang bersalah dengan alat bukti tersebut. Menurut Van Bemellen12, hukum acara pidana mempunyai tiga fungsi yaitu: 1. Mencari dan menemukan kebenaran. 2. Pemberian keputusan oleh hakim 3. Pelaksanaan keputusan Dari ketiga fungsi diatas, yang paling penting karena menjadi tumpuan kedua fungsi berikutnya ialah “mencari kebenaran”. Setelah menemukan kebenaran yang diperoleh melalui alat bukti dan bahan bukti itulah, hakim
11
Syaiful Bakhri, Hukum Pembuktian dalam Praktek Peradilan Pidana. Yogyakarta: P3IH FH UMJ Total Media. 2009. Hlm 4. 12 Andi hamzah, Op., Cit. Hlm 8.
10
akan sampai kepada putusan (yang adil dan tepat), yang kemudian dilaksanakan oleh jaksa. Tujuan hukum pidana dan fungsi hukum acara pidana hampir sama dan cenderung dicampur adukkan karena pada prinsipnya sama untuk mencari kebenaran dan timbulnya perdamaian. Akan tetapi hakim dalam mencari kebenaran materiil dibatasi oleh surat dakwaan jaksa, dan hakim tidak dapat menuntut supaya jaksa mendakwa dengan dakwaan lain atau menambah perbuatan yang didakwakan. Hakim hanya mengadili sejauh surat dakwaan yang dikeluarkan oleh jaksa dan memutusnya dengan kebijakan hakim itu sendiri dengan prinsip keadilan.
2. Asas-asas Hukum Acara Pidana Asas-asas hukum merupakan suatu ungkapan hukum yang bersifat lebih umum, oleh karenanya bersumber dari kesadaran dan keyakinan hukum kelompok manusia. Dari asas-asas hukum tersebutlah selanjutnya dibentuk hukum. Dengan demikian hukum atau undang-undang yang baik, harus sesuai dengan asas-asas hukum pembentuknya. Landasan asas atau prinsip, diartikan sebagai dasar patokan hukum melandasi KUHAP dalam penerapan penegakan hukum. Asas-asas atau prinsip hukum inilah tonggak pedoman bagi instansi jajaran penegak hukum dalam menerapkan pasal-pasal KUHAP. Tidak hanya menjadi patokan dan landasan bagi penegak hukum saja, melainkan asas-asas hukum dimaksudkan juga bagi setiap anggota masyarakat yang terlibat dan berkepentingan atas pelaksanaan tindakan yang menyangkut KUHAP.
11
Asas-asas hukum yang dimaksud sebagai patokan atau pedoman dalam melaksanakan hukum acara pidana, diantaranya sebagai berikut: a. Peradilan Cepat, Sederhana dan Biaya Ringan Asas ini menghendaki adanya suatu peradilan yang efisien dan efektif, sehingga tidak memberikan penderitaan yang berkepanjangan kepada tersangka atau terdakwa disamping kepastian hukum terjamin. Asas ini terumuskan dalam Pasal 2 ayat (4) Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman yang selanjutnya disebut dengan UndangUndang Kekuasaan Kehakiman yang menghendaki agar setiap pelaksanaan penegakan hukum di Indonesia berpedoman kepada asas sederhana, cepat, dan biaya ringan serta tidak berbelit-belit. Apalagi jika kelambatan penyelesaian suatu kasus peristiwa tindak pidana itu disengaja, maka tentunya hal itu merupakan perkosaan terhadap hukum dan martabat manusia. Dalam Penjelasan Umum KUHAP butir 3 huruf e menyatakan bahwa: “Peradilan yang harus dilakukan dengan cepat sederhana, dan biaya ringan serta bebas, jujur, dan tidak memihak harus diterapkan secara konsekuen dalam seluruh tingkat peradilan.” Terkait dengan pengertian di atas, menurut Bambang Poernomo13, yang dimaksud dengan: a. Proses peradilan pidana yang dilaksanakan dengan cepat, diartikan menghindarkan segala rintangan yang bersifat prosedural agar tercapai efisiensi kerja mulai dari kegiatan penyelidikan sampai dengan pelaksanaan putusan akhir dapat selesai dalam waktu yang relatif singkat. b. Proses peradilan pidana yang sederhana, diartikan bahwa penyelenggaraan administrasi peradilan secara terpadu agar 13 Bambang Poernomo, Pole Dasar, Teori-Asas Umum Hukum Acara Pidana dan Penegakan Hukum Pidana, Yogyakarta : Liberty, 1993, Hlm.66.
12
pemberkasan perkara dari masing-masing instansi yang berwenang, berjaian dalam suatu kesatuan yang tidak memberikan peluang saluran bekerja secara berbelit-belit (circuit court), dan dari dalam berkas tersebut terungkap pertimbangan serta kesimpulan penerapan hukum yang mudah dimengerti oleh pihak yang berkepentingan. c. Proses peradilan pidana dengan biaya murah (ringan), diartikan menghindarkan sistem administrasi perkara dan mekanisme bekerjanya para petugas yang mengakibatkan beban biaya bagi yang berkepentingan atau masyarakat (social cost) yang tidak sebanding, karena biaya yang dikeluarkan lebih besar dan hasil yang diharapkan lebih kecil. b. Asas Praduga Tak Bersalah (Presumption of Innocence) Asas praduga tak bersalah (Presumption of Innocence) di jumpai dalam Pasal 8 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2004 Tentang Kekuasaan Kehakiman jo Penjelasan Umum butir 3 huruf c KUHAP, yang dirumuskan sebagai berikut: “Setiap orang yang disangka, ditangkap, ditahan, dituntut dan/atau dihadapkan di depan pengadilan, wajib dianggap tidak bersalah sebelum ada putusan pengadilan yang menyatakan kesalahannya dan telah memperoleh kekuatan hukum tetap” Menurut M. Yahya Harahap14, asas praduga tak bersalah ditinjau dari segi teknis penyidikan dinamakan “prinsip akusator”. Prinsip akusator menempatkan kedudukan tersangka/terdakwa dalam setiap tingkat pemeriksaan adalah sebagai subyek bukan sebagai obyek pemeriksaan, karena itu tersangka atau terdakwa harus didudukkan dan diperlukan dalam kedudukan manusia yang mempunyai harkat dan martabat harga diri. Yang menjadi obyek pemeriksaan dalam prinsip akusator adalah kesalahan (tindak pidana) yang dilakukan oleh tersangka/terdakwa. Kearah itulah pemeriksaan ditujukan. c. Perlakuan yang Sama atas Diri Setiap Orang di Muka Hukum (Equality Before the Law) Asas yang umum dianut di negara-negara yang berdasarkan hukum ini tegas tercantum pula dalam Pasal 5 ayat (1) Undang-Undang Kekuasaan 14
Makarao dan Suhasril, Op.Cit., Hlm 3-4.
13
Kehakiman bahwa pengadilan mengadili menurut hukum dengan tidak membeda-bedakan orang. Begitu juga dalam Penjelasan Umum butir 3 huruf a KUHAP bahwa perlakuan yang sama atas diri setiap orang di muka hukum dengan tidak mengadakan pembedaan perlakuan.
d. Pemeriksaan Pengadilan Terbuka Untuk Umum Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (3) KUHAP yang berbunyi: “Untuk keperluan pemeriksaan hakim ketua siding membuka siding dan menyatakan terbuka untuk umum kecuali dalam perkara mengenai kesusilaan atau terdakwanya anak-anak” Pelanggaran atas ketentuan ini atau tidak dipenuhinya ketentuan ini mengakibatkan putusan pengadilan batal demi hukum seperti telah dirumuskan dalam Pasal 153 ayat (4) KUHAP. Pengecualian untuk asas ini adalah terhadap kesusilaan dan anakanak, dimana alasannya karena kesusilaan dianggap sebagai masalah yang sangat pribadi, tidak patut dungkapkan dan dipaparkan secara terbuka dihadapan umum. Begitu juga apabila tindak pidana yang dilakukan oleh anak, yang diaman melakukan kejahatan karena kenakalan. Menurut Andi Hamzah 15, “seharusnya hakim diberi kebebasan untuk menentukan sesuai situasi dan kondisi apakah sidang terbuka atau tertutup untuk umum. Dapat pula hakim menetapkan apakah suatu sidang dinyatakan seluruh atau sebagian tertutup untuk umum, yang artinya persidangan dilakukan di belakang pintu tertutup. Pertimbangan mana sepenuhnya diserahkan kepada hakim, yang melakukan berdasarkan jabatannya atau atas permintaan penuntut umum dan terdakwa. Saksi juga dapat
15
Andi hamzah, Op., Cit. Hlm 20-21
14
mengajukan agar sidang tertutup untuk umum dengan alasan demi nama baik keluarganya (misalnya dalam kasus perkosaan).” Walau sidang dinyatakan tertutup untuk umum, namun keputusan hakim dinyatakan dalam sidang yang terbuka untuk umum. Pasal 13 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 dan Pasal 195 KUHAP dengan tegas menyatakan: “Semua putusan pengadilan hanya sah dan mempunyai kekuatan hukum apabila diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum”. e. Tersangka dan Terdakwa Berhak Mendapat Bantuan Hukum. Asas ini telah diterapkan dalam KUHAP, yakni pada Pasal 69 sampai dengan Pasal 74 KUHAP yang mengatur tentang bantuan hukum yang diperoleh oleh tersangka/terdakwa berupa kebebasan yang sangat luas. Kebebasan itu antara lain sebagai berikut: 1) Bantuan hukum dapat diberikan sejak saat tersangka ditangkap atau ditahan; 2) Bantuan hukum dapat diberikan pada semua tingkat pemeriksaan; 3) Penasihat hukum dapat menghubungi tersangka/terdakwa pada semua tingkat pemeriksaan pada setiap waktu; 4) Pembicaraan antara penasihat hukum dengan tersangka tidak didengar oleh penyidik dan penuntut umum kecuali pada delik yang menyangkut keamanan negara; 5) Turunan berita acara diberikan kepada tersangka atau penasihat hukum guna kepentingan pembelaan; 6) Penasihat hukum berhak mengirim dan menerima surat dari tersangka/terdakwa.16 Andi Hamzah17, memberikan pendapat bahwa ada pembatasan yang dilakukan terhadap asas ini, dimana pembatasan-pembatasan hanya dikenakan jika penasihat hukum menyalahgunakan hak-haknya tersebut.
16
Abdussalam, Prospek Hukum Pidana Indonesia Dalam Mewujudkan Rasa Keadilan Masyarakat Jilid 2, Jakarta, Restu Agung, 2006, Hlm. 62. 17 Andi Hamzah, Op., Cit. Hlml 24.
15
f. Pemeriksaan Hakim yang Langsung dan Lisan (Pemeriksaan dengan Hadirnya Terdakwa) Pemeriksaan di sidang pengadilan dilakukan oleh hakim secara langsung artinya langsung kepada terdakwa dan para saksi. Sedangkan pemeriksaan hakim dilakukan secara lisan artinya bukan tertulis antara hakim dan terdakwa. Asas ini diatur dalam Pasal 153 ayat (2) dan Pasal 155 ayat (1) KUHAP dan seterusnya. Pasal 153 ayat (2) huruf a KUHAP : ”hakim ketua sidang memimpin pemeriksaan di sidang pengadilan yang dilakukan secara lisan dalam bahasa indonesia yang dimengerti terdakwa dan saksi” Pasal 155 ayat (1) KUHAP : ”pada permulaan sidang hakim ketua sidang menanyakan kepada terdakwa tentang nama lengkap, tempat lahir,umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama, dan pekerjaanya serta mengingatkan terdakwa supaya memperhatikan segala sesuatu yang didengar dan dilihatnya di sidang” Yang dipandang pengecualian dari asas ini ialah kemungkinan putusan dijatuhkan tanpa hadirnya terdakwa, yaitu putusan in absentia. Tetapi hal tersebut hanya merupakan pengecualian, yaitu dalam acara pemeriksaan perkara pelanggaran lalu lintas jalan. g. Asas Ganti Kerugian dan Rehabilitasi Asas ini diatur dalam Pasal 95-97 KUHAP, dimana tentang ganti kerugian diatur dalam Pasal 95 dan 96 KUHAP, sedangkan tentang rehabilitasi diatur dalam Pasal 97 KUHAP. Kerugian dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP adalah:
16
“kerugian yang ditimbulkan oleh pemasukan rumah, penggeledahan dan penitaan yang tidak sah menurut hukum. Termasuk penahanan tanpa alasan ialah penahanan yang lebih lama daripada putusan yang dijatuhkan”. Rehabilitasi diatur dalam Pasal 11 butir 23 KUHAP, yang dirumuskan sebagai berikut: “Rehabilitasi adalah hak seseorang untuk mendapatkan pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut atau diadili tanpa alas an yang berdasarkan undang-undang ini” Menurut M. Yahya Harahap18, alasan yang menjadi dasar tuntutan ganti rugi dan rehabilitasi, mencakup : a. Ganti rugi disebabkan penangkapan atau penahanan; b. Ganti rugi akibat penggeledahan/penyitaan; c. Tindakan aparat penyidik memasuki rumah yang tidak sah.
B. Pembuktian 1. Pengertian Pembuktian Pembuktian merupakan bagian yang penting dalam proses pemeriksaan sidang pengadilan. Pembuktian merupakan titik sentral pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan. Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang untuk membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan
18
M. Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali, Sinar Grafika. Jakarta, 2001, Hlm. 45.
17
undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan. Pada proses pembuktian inilah hakim dengan mendasarkan pada alatalat bukti yang diajukan dihadapan persidangan. Dikatakan penting karena di dalam proses pembuktian ini akan ditemukan suatu kebenaran dalam kasus tersebut yang nantinya akan memberikan putusan bersalah atau tidaknya terdakwa. Leden Marpaung19, memberikan pendapat : “Seseorang hanya dapat dikatakan “melanggar hukum” oleh Pengadilan dan dalam hal melanggar hukum pidana oleh Pengadilan Negeri atau Pengadilan Tinggi atau Mahkamah Agung. Sebelumnya seseorang diadili oleh Pengadilan, orang tersebut berhak dianggap tidak bersalah, hal ini dikenal dengan asas “praduga tak bersalah” (presumption of innocence. Untuk menyatakan seseorang “melanggar hukum”, Pengadilan harus dapat menentukan “kebenaran” akan hal tersebut. Untuk menentukan “kebenaran” diperlukan bukti-bukti, yaitu sesuatu yang menyatakan kebenaran suatu peristiwa. Dari uraian tersebut, “bukti” dimaksud untuk menentukan “kebenaran.” Pendapat-pendapat tersebut melahirkan pemikiran yang dapat ditarik dari pengertian pembuktian, yaitu: 1. Pembuktian merupakan kegiatan ilmiah untuk menuyusun suatu kebenaran secara hukum, atas suatu peristiwa pidana yang diperkirakan sebagai peristiwa pidana yang terjadi di masa lampau; 2. Pembuktian merupakan kegiatan yang mencari dan menemukan keterkaitan (relevansi) peristiwa pidana yang terjadi di masa lalu dengan persangkaan perbuatan pidana; 3. Pembuktian merupakan upaya pengesahan terhadap sarana (alat) bukti menurut ketentuan hukum yang berlaku; 4. Pembuktian merupakan upaya menumbuhkan keyakinan hakim secara wajar atas dalil-dalil yang dikemukakan untuk mendukung kebenaran atas suatu peristiwa pidana dan keterkaitan antara persangkaan atau dakwa terhadap seseoarang yang dituduh melakukan tindak pidana; 5. Pembuktian merupakan alat bantu bagi hakim untuk menetapkan suatu putusan dalam persidangan peradilan.20
19 Leden Marpaung, Proses Penanganan Perkarra Pidana (Penyelidikan & Penyidikan) Bagian Pertama Edisi Kedua, Sinar Grafika, Jakarta. 2009. Hlm. 22-23.
18
2. Sistem Pembuktian Hukum acara pidana merupakan suatu upaya dari penegakan hukum pidana.
Penegakan
hukum
adalah
mencakup
tugas
dan
wewenang
mempertahankan hukum terhadap seseorang atau sekelompok orang yang melanggar hukum atau melakukan perbuatan melawan hukum. Di dalam penegakan hukum pada hakikatnya tidak terlepas dengan bagaimana negara dapat menjamin atau memberikan ketentraman kepada warga masyarakat apabila tersangkut masalah hukum. Penegakan hukum akan terwujud atau tidak terwujud tergantung proses pemeriksaan di dalam persidangan, yaitu melalui pembuktian. 21 Tujuan sistem pembuktian adalah untuk mengetahui, bagaimana cara meletakkan hasil pembuktian terhadap perkara pidana yang sedang dalam pemeriksaan, di mana kekuatan pembuktian yang di dapat di anggap cukup memadai membuktikan kesalahan terdakwa melalui alat-alat bukti dan keyakinan hakim, maka sistem pembuktian perlu diketahui dalam upaya memahami sistem pembuktian sebagaimana yang diatur dalam KUHAP.22 Menurut Andi Hamzah23, ada empat teori sistem pembuktian dalam hukum acara pidana, yakni: a. Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettelijk bewijsleer)
20
Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1hukum/205711002/bab3.pdf, diakses pada tanggal 7 Mei 2013. 21 Hibnu Nugroho, “Merekonstruksi Sistem Penyidikan Dalam Peradilan Pidana (Studi Tentang Kewenangan Penyidik Menuju Pluralisme Sistem Penyidikan di Indonesia)”, Jurnal Hukum Pro Justitia, Januari 2008 Volume 26 No.1. 22 Andi Hamzah, Op.cit hlm.251-254 23 Andi Hamzah, Terminologi Hukum Pidana, Cetakan Kedua, Jakarta, Sinar Grafika 2009, hlm. 27-28.
19
Ajaran pembuktian yang menyatakan bahwa hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada terdakwa, kecuali dengan sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah dan ia memperoleh keyakinan bahwa delik benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya; b. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim melulu (bloot gemoedilijke overtuiging; conviction in time) Ajaran pembuktian yang menyatakan bahwa hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinannya melulu. Hal ini disebut juga pembuktian bebas; c. Pembuktian berdasarkan undang-undang melulu (positief wettelijke bewijsleer) Ajaran pembuktian yang menyatakan bahwa hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa berdasarkan alat bukti yang hanya ditentukan oleh undang-undang tanpa perlu ada keyakinan hakim; d. Pembuktian berdasarkan keyakinan yang rasional (berenderieerde bewijsleer) Ajaran pembuktian yang menyatakan bahwa hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa berdasarkan keyakinan, tetapi keyakinannya itu didasarkan segala alat bukti yang ada dengan mempergunakan alasan yang rasional. Teori-teori sistem pembuktian yang diuraikan di atas memiliki peran dalam hal penentuan teori manakah yang digunakan dalam KUHAP. Tepatnya mengenai sistem pembuktian ini diatur dalam Pasal 183 KUHAP yang terumuskan sebagai berikut: “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang, kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya”. Dari ketentuan yang diatur dalam Pasal 183 KUHAP di atas, bahwa adanya dua alat bukti yang sah itu adalah belum cukup bagi hakim untuk menjatuhkan pidana bagi seseorang, tetapi dari alat-alat bukti yang sah itu hakim juga perlu memperoleh keyakinan, bahwa suatu tindak pidana benarbenar telah terjadi, dan bahwa terdakwa telah bersalah melakukan tindak pidana tersebut. Sebaliknya adanya keyakinan pada hakim saja adalah juga
20
tidak cukup, apabila keyakinan tersebut telah tidak ditimbulkan oleh sekurangkurangnya dua alat bukti yang sah.24 Wirjono
Prodjodikoro25,
berpendapat
mengenai
alasan
tetap
digunakannya sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif di dalam buku Mohammad Taufik Makarao dan Suharsil sebagai berikut: “Bahwa sistem pembuktian berdasar undang-undang secara negatif (negatief wetteljke) sebaiknya dipertahankan berdasarkan dua alasan, pertama memang sudah selayaknya harus ada keyakinan hakim tentang kesalahan terdakwa untuk dapat menjatuhkan suatu hukuman pidana, janganlah hakim terpaksa memidana orang, sedangkan hakim tidak yakin atas kesalahan terdakwa. Kedua adalah berfaedah jika ada aturan yang mengikat hakim dalam menyusun keyakinannya, agar ada patokan-patokan tertentu yang harus dituruti oleh hakim dalam melakukan peradilan. M. Yahya Harahap26, berpendapat lain di dalam buku Mohammad Taufik Makarao dan Suharsil sebagai berikut: “Bahwa sistem pembuktian ini dalam praktek penegakan hukum akan lebih cenderung pada pendekatan sistem pembuktian menurut undang-undang secara positif, sedangkan mengenai keyakinan hakim, hanya bersifat unsur pelengkap dan lebih berwarna sebagai unsur formil dalam model putusan. Unsur keyakinan hakim dalam praktek dapat saja dikesampingkan apabila keyakinan itu tidak dilandasi oleh pembuktian yang cukup. Sekalipun hakim yakin dengan seyakin-yakinnya akan kesalahan terdakwa, keyakinan itu dapat saja dianggap tidak mempunyai nilai jika tidak dibarengi dengan pembuktian yang cukup. Sebaliknya, seandainya kesalahan terdakwa telah terbukti dengan cukup, dan hakim lalai mencantumkan keyakinannya, kealpaan itu tidak mengakibatkan batalnya putusan. Beberapa pendapat para ahli hukum di atas mengenai sistem pembuktian, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa sistem pembuktian di
24
P.A.F. Lamintang & Theo Lamintang, Pembahasan KUHAP Menurut Ilmu Pengetahuan Hukum Pidana & Yurisprudensi, Edisi Kedua, Jakarta, Sinar Grafika, 2010, Hlm. 408. 25 Mohammad Taufik Makarao & Suharsil, Hukum Acara Pidana: Dalam Teori dan Praktek, Cetakan pertama, Jakarta, Ghalia Indonesia, 2004, Hlm. 106. 26 Loc. cit.
21
Indonesia dengan mengacu pada Pasal 183 KUHAP jelas sekali terlihat bahwa hukum acara pidana Indonesia menganut sistem pembuktian menurut undangundang secara negatif atau negatief wettelijk bewijsleer. Artinya seseorang baru boleh dipidana apabila hakim yakin akan kesalahan terdakwa yang dibuktikan dengan alat bukti yang sah menurut undang-undang.
3. Alat Bukti Setiap pemeriksaan proses beracara pidana diperlukan ketentuanketentuan dalam KUHAP yang akan terlihat dalam acara pemeriksaan biasa yang terkesan sulit dalam pembuktiannya dan membutuhkan penerapan hukum yang benar dan pembuktian yang obyektif dan terhindar dari rekayasa-rekayasa para pelaksana persidangan. Seperti yang telah dikemukakan sebelumnya bahwa pembuktian dalam persidangan adalah untuk mencari kebenaran materiil ataupun kebenaran yang sebenar-benarnya. Untuk menemukan suatu kebenaran yang sebenar-benarnya diperlukan suatu pembuktian yang obyektif yang dimana salah satunya dengan menggunakan alat bukti. Berdasarkan Pasal 184 ayat (1) KUHAP disebutkan alat bukti yang sah untuk membantu hakim dalam mengambil keputusan, alat bukti itu antara lain: a. b. c. d. e.
Keterangan Saksi; Keterangan Ahli; Surat; Petunjuk; Keterangan Terdakwa.
Dari alat bukti diatas hakim dapat memperoleh kebenaran materiil dari kejadian yang terjadi dan pembuktian dengan menggunakan alat bukti tersebut
22
digunakan tergantung keadaan, tergantung alat bukti yang disediakan oleh jaksa penuntut umum dan penasehat hukum, selain itu hakim juga dapat menentukan alat bukti apa yang perlu dihadirkan di persidangan yang bersangkutan. Sebagaimana yang diuraikan terlebih dahulu, Pasal 184 ayat (1) KUHAP telah menentukan secara limitatif alat bukti yang sah menurut undang-undang. Diluar alat bukti itu,tidak dibenarkan dipergunakan untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Ketua sidang, penuntut umum, terdakwa dan penasehat hukum terikat dan terbatas hanya diperbolehkan mempergunakan alat-alat bukti itu saja. Mereka tidak leluasa mempergunakan alat bukti yang dikehendakinya diluar alat bukti yang ditentukan Pasal 184 ayat (1). Yang dinilai sebagai alat bukti, dan yang dibenarkan mempunyai kekuatan pembuktian hanya terbatas pada alat-alat itu saja. Pembuktian dengan alat bukti diluar jenis alat bukti tersebut pada Pasal 184 ayat (1), tidak mempunyai nilai serta mempunyai kekuatan pembuktian yang mengikat.27 Tidak setiap hal harus dibuktikan dalam persidangan, Pasal 184 ayat(2) KUHAP yang rumusan ini disebut sebagai notoire feiten notorious (generally known) yang disebut sebagai hal yang sudah umum diketahui, hal-hal yang bersifat umum yang diketahui oleh setiap orang secara patut maka tidak perlu dibuktikan. Biasanya dalam hal ini adalah berdasarkan pengalaman setiap manusia secara umum karena hal ini sudah diketahui dan sudah menjadi kebiasaan sehari-hari. Dari penjelasan Pasal 184 ayat (2) KUHAP diterapkan : a. Majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu kenyataan yang dapat dijadikan sebagai fakta tanpa membuktikan lagi; b. Akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh alat bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim adri notoire feiten tidak cukup membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Bukankah pada hakikatnya notoire feiten tidak tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh undang-undang sebagaimana disebutkan secara limitatif dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Hal yang 27
Yahya Harahap. 2009. Pembahasan permasalahan dan Penerapan KUHAP Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika. Hal.285.
23
secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap sesuatu pengalaman dan kenyataan tertentu saja. Bukan sesuatu yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh.28 Berikut penjelasan mengenai alat-alat bukti sesuai dengan Pasal 184 KUHAP: a) Keterangan Saksi Menurut ketentuan Pasal 1 butir 26 KUHAP, yang dimaksud dengan saksi adalah: “orang yang dapat memberikan keterangan guna kepentingan penyidikan, penuntutan, dan peradilan tentang suatu perkara pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri” Sedangkan pengertian keterangan saksi terdapat dalam Pasal 1 butir 27 KUHAP yang rumusannya sebagai berikut: “Keterangan saksi adalah salah satu alat bukti dalam perkara pidana yang berupa keterangan dari saksi mengenai suatu peristiwa pidana yang ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri dengan menyebut alasan dari pengetahuannya itu.” Pengertian saksi dan keterangan saksi sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 1 butir 26 dan 27 KUHAP tersebut diatas, dijabarkan lebih lanjut dalam Pasal 185 ayat (1) KUHAP sampai dengan ayat (7) KUHAP Keterangan saksi agar menjadi kuat maka harus dihadirkan saksi lebih dari seorang dan minimal ada dua alat bukti karena keterangan dari seorang saksi saja tanpa ada alat bukti yang lain tidak cukup membuktikan bahwa terdakwa benar-benar bersalah terhadap dakwaan yang didakwakan kepadanya (unus testis nullus testis).
28
Ibid, Hal.276.
24
Dalam hal terdakwa memberikan keterangan yang mengakui kesalahan yang didakwakan kepadanya, keterangan seorang saksi sudah cukup untuk membuktikan kesalahan terdakwa, karena disamping keterangan saksi tunggal itu, telah terpenuhi ketentuan minimum pembuktian dan the degree of evidence yakni keterangan saksi ditambah dengan alat bukti keterangan terdakwa. Dengan ini dapat disimpulkan bahwa persyaratan yang dikehendaki Pasal 185 ayat (2) KUHAP adalah: a. Untuk dapat membuktikan kesalahan terdakwa paling sedikit harus didukung oleh dua orang saksi; b. Atau kalau saksi yang ada hanya terdiri dari seorang saja maka kesaksian tunggal itu harus dicukupi atau ditambah dengan salah satu alat bukti yang lain.29 Keterangan saksi merupakan alat bukti yang paling utama dalam pemeriksaan perkara pidana. Dalam pasal 185 ayat (6) KUHAP untuk menilai kebenaran keterangan saksi hakim harus memperhatikan: a. Persesuaian antara keterangan saksi satu dengan yang lainnya; b. Persesuaian antara keterangan saksi dengan alat bukti yang lain; c. Alasan yang mungkin dipergunakan oleh saksi untuk memberi keterangan yang tertentu; d. Cara hidup dan kesusilaan saksi serta segala sesuatu yang pada umumnya dapat mempengaruhi dapat tidaknya keterangan itu dipercaya. Saksi yang dihadirkan dalam persidangan nantinya akan disumpah agar mempunyai kekuatan pembuktian yang kuat dan nantinya dapat dijadikan pertimbangan hakim dalam memutus suatu perkara pidana. Disebutkan dalam Pasal 160 ayat (3) KUHAP bahwa saksi wajib untuk disumpah atau janji dalam setiap akan dimintai keterangannya di persidangan sesuai dengan agamanya masing-masing. Kemudian lafal sumpah atau yang diucapkan berisi bahwa
29
Ibid, Hal.288.
25
saksi akan memberikan keterangan yang sebenar-benarnya dan tidak lain dari yang sebenarnya yang dilakukan sebelum saksi memberikan keterangannya dalam persidangan dan jika dalam keadaan perlu oleh hakim pengadilan sumpah atau
janji ini dapat diucapkan sesudah saksi memberikan
keterangannya sesuai dengan Pasal 160 ayat (4) KUHAP. Jika saksi yang dihadirkan tidak disumpah karena permintaan sendiri atau pihak yang lain tidak bersedia saksi untuk disumpah karena saksi ditakutkan akan berpihak pada salah satu pihak, maka keterangan dari saksi tersebut tetap digunakan, akan tetapi sifatnya hanya digunakan sebagai tambahan alat bukti sah yang lain. Selain itu saksi yang karena jabatannya tidak dapat menjadi saksi akan tetapi mereka tetap bersedia menjadi saksi maka dapat diperiksa oleh hakim akan tetapi tidak disumpah karena itu merupakan perkecualian relatif karena menyimpan rahasia jabatan. Saksi yang dihadirkan diharapkan sudah dewasa sehingga keterangannya bisa dipercaya dan dapat dipertanggung jawabkan. Saksi yang menolak mengucapkan sumpah atau janji didepan pengadilan saat akan diambil keterangannya tanpa suatu alasan yang sah maka saksi tersebut dapat dikenakan sandera yang didasarkan penetapan hakim ketua sidang paling lama penyanderaan adalah empat belas hari (Pasal 161 KUHAP). Tidak setiap keterangan saksi mempunyai nilai sebagai alat bukti, berdasarkan Pasal 1 angka 27 KUHAP mengatur bahwa yang dapat menjadi saksi adalah yang mengetahui mengenai peristiwa pidana yang saksi lihat sendiri,
dengar,
alami sendiri dan dapat menyebutkan alasan dari
pengetahuannya itu. Berdasarkan ketentuan tersebut maka testimonium de auditu atau lebih dikenal dengan keterangan yang diperoleh sebagai hasil
26
mendengar dari orang lain tidak mempunyai kekuatan sebagai alat bukti dikarenakan tujuan acara pidana adalah mencari kebenaran materiil sehingga keterangan yang didengar dari orang lain tidak menjamin kebenaran keterangannya. Meskipun demikian testimonium de auditu dapat digunakan untuk memperkuat keyakinan hakim yang bersumber dari dua alat bukti yang lain yang dihadirkan dipersidangan. Tidak setiap orang dapat menjadi saksi dalam persidangan, selain karena ketidak cakapannya menjadi saksi, yang tidak dapat menjadi terutama karena mempunyai hubungan dekat dengan terdakwa karena cenderung tidak bernilai obyektif dan cenderung membela terdakwa, diantaranya : a. Keluarga sedarah atau semenda dalam garis lurus keatas atau ke bawah sampai derajat ketiga dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa; b. Saudara dari terdakwa atau yang bersama-sama sebagai terdakwa, saudara ibu atau saudara bapak, juga mereka yang mempunyai hubungan karena perkawinan, dan anak-anak saudara terdakwa sampai derajat ketiga; c. Suami atau isteri terdakwa meskipun sudah bercerai atau yang bersamasama sebagai terdakwa; d. Orang yang mempunyai hubungan pekerjaan, harkat, martabat, atau jabatannya diwajibkan menyimpan rahasia yang ditentukan undangundang. Kemudian dalam Pasal 171 KUHAP ditentukan saksi yang tidak disumpah yaitu : a. b.
Anak yang umurnya belum cukup lima belas tahun dan belum pernah kawin; Orang sakit ingatan atau sakit jiwa meskipun ingatannya baik kembali. Dalam penjelasan pasal tersebut dikatakan bahwa anak yang belum
berumur lima belas tahun, demikian juga orang yang sakit ingatan, sakit jiwa, sakit gila meskipun kadang-kadang saja, yang dalam ilmu penyakit jiwa
27
disebut psychopaat, mereka ini tidak dapat dipertanggungjawabkan secara sempurna dalam hukum pidana maka mereka tidak dapat diambil sumpah atau janji dalam memberikan keterangan, karena itu keterangan mereka hanya dipakai sebagai petunjuk saja. b) Keterangan Ahli Pasal yang mengatur tentang keterangan ahli dalam KUHAP terdapat dalam Pasal 1 angka 28, Pasal 120, Pasal 133, Pasal 179, Pasal 180 dan Pasal 186 KUHAP. Keterangan ahli merupakan keterangan dari pihak diluar kedua pihak yang sedang berperkara, dimana yang digunakan adalah keterangan berkaitan dengan ilmu pengetahuannya dalam perkara yang dipersidangkan sehingga membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Keterangan ahli sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 186 KUHAP menunjukkan keterangan ahli dari segi pembuktian, selain itu dalam Pasal 1 angka 28 KUHAP menerangkan lebih lanjut mengenai keterangan ahli yaitu: Keterangan ahli adalah keterangan yang diberikan oleh seorang yang memiliki keahlian khusus tentang hal yang diperlukan untuk membuat terang suatu perkara pidana guna kepentingan pemeriksaan. Pada Pasal 184 (1) KUHAP pembentuk undang-undang meletakkan keterangan ahli dalam urutan kedua hal ini dinilai bahwa dalam pemeriksaan perkara pidana sangat dibutuhkan dikarenakan perkembangan ilmu dan teknologi telah berdampak terhadap kualitas metode kejahatan yang memaksa para penegak hukum harus bisa mengimbanginya dengan kualitas metode pembuktian yang memerlukan pengetahuan, dan keahlian. Dikatakan, bahwa keterangan ahli amat diperlukan dalam setiap tahapan pemeriksaan, oleh karena ia diperlukan baik dalam tahap penyidikan, tahap penuntutan, maupun tahap pemeriksaan di sidang pengadilan. Jaminan akurasi dari hasil-hasil pemeriksaan atas
28
keterangan ahli atau para ahli didasarkan pengetahuan dan pengalamannya dalam bidang-bidang keilmuannya, akan dapat menambah data, fakta dan pendapatnya, yang dapat ditarik oleh Hakim dalam menimbang-nimbang berdasarkan pertimbangan hukumnya, atas keterangan ahli itu dalam memutus perkara yang bersangkutan. Sudah tentu, masiih harus dilihat dari kasus perkasus dari perkara tindak pidana tersebut masing-masing, atas tindak pidana yang didakwakan pada terdakwa dalam surat dakwaan dari penuntut umum di sidang pengadilan.30 Keterangan yang diberikan oleh ahli harus diberikan di suatu persidangan yang terbuka untuk umum. Keterangan ahli disini
disumpah
dalam persidangan agar keterangan yang diberikan sesuai dengan pengetahuan yang dimilikinya. Jika dalam persidangan seorang ahli tidak dapat hadir, maka dapat memberikan keterangannya dalam surat yang nantinya dibacakan disidang pengadilan yang sebelumnya juga diangkat sumpah pada ahli. Keterangan ahli adalah apa yang seorang ahli nyatakan di sidang Pengadilan (Pasal 186 KUHAP). Menurut penjelasan dari Pasal 186 KUHAP: a. Keterangan ahli ini dapat juga sudah diberikan pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum yang dituangkan dalam bentuk laporan dan dibuat dengan mengikat sumpah diwaktu ia menerima jabatan atau pekerjaan. b. Jika hal itu tidak diberikan pada waktu pemeriksaan di penyidik atau penuntut umum, maka pada waktu pemeriksaan di sidang, diminta untuk memberikan keterangan (ahli) dan dicatat dalam Berita Acara Pemeriksaan (berita acara pemeriksaan persidangan) Pasal 179 ayat (1) dan (2) KUHAP. Keterangan ahli dapat juga diberikan untuk membantu pada waktu pemeriksaan oleh penyidik atau penuntut umum sesuai dalam Pasal 120 KUHAP yang nantinya dituangkan dalam suatu bentuk laporan dan ahli mengingat sumpah jabatan waktu pertama menerima jabatannya dan diucapkan dimuka
30
penyidik
bahwa
ahli
akan
memberi
keterangan
menurut
R. Soeparmono. 2002. Keterangan Ahli & Visum et repertum dalam aspek hukum acara pidana. Bandung : Mandar Maju, Hal. 3.
29
pengetahuannya sebaik-baiknya. Akan tetapi dalam suatu hal karena pekerjaan atau jabatan, harkat dan martabat yang mewajibkan ahli menyimpan rahasia dapat menolak untuk memberikan keterangan yang diminta. Ahli dalam Pasal 133 KUHAP menekankan kepada ahli dalam kedokteran forensik yang menangani korban baik luka, keracunan ataupun mati yang diakibatkan suatu tindak pidana. Untuk itu disetiap satuan kepolisian diperlukan tim ahli dalam kedokteran forensik, psikiatri, antropologi forensik, ilmu kimia forensik, fisika forensik dan lain sebagainya untuk membantu penyidikan dalam mengungkap kasus dan mempermudah proses identifikasi korban, tersangka ataupun barang bukti yang ada dalam tindak pidana. Tindakan yang dilakukan oleh tim ahli disini harus dijalankan dengan baik dan penuh tanggungjawab berdasarkan sumpah jabatan dan profesi yang diembannya. Seorang ahli yang dihadirkan dipersidangan tidak hanya ahli dalam kedokteran forensik saja akan tetapi juga ahli dalam bidang tertentu yang berkaitan dengan pemeriksaan di persidangan sesuai dalam Pasal 179 KUHAP bisa dihadirkan oleh hakim, penuntut umum, dan penasehat hukum. Ahli dipersidangan yang bertugas membantu hakim, penuntut umum, penasehat hukum dan terdakwa mengenai segala sesuatu yang tidak diketahuinya yang dapat diketahui mengenai keterangan ahli yang mempunyai keahlian khusus dalam masalah yang hendak dibuat menjadi jelas dan terang, dan tujuan pemeriksaan ahli ini untuk membuat terang perkara pidana yang sedang dihadapi. Sifat dari keterangan ahli ini menunjukkan suatu keadan tertentu atau
30
suatu hal dan belum menunjukkan mengenai siapa yang dapat dipersalahkan dalam suatu perkara tindak pidana yang bersangkutan. Hal yang dapat diperoleh dari Pasal 1 angka 28 KUHAP, dikaitkan dengan ketentuan Pasal 184 ayat (1) huruf b dan Pasal 186 KUHAP, agar keterangan ahli dapat bernilai sebagai alat bukti yang sah : 1. Harus merupakan keterangan yang diberikan oleh seorang yang mempunyai keahlian khusus tentang sesuatu yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang sedang diperiksa. 2. Sedang keterangan yang diberikan seorang ahli, tapi tidak mempunyai keahlian khusus tentang suatu keadaan yang ada hubungannya dengan perkara pidana yang bersangkutan, tidak mempunyai nilai sebagai alat bukti yang sah menurut undang-undang.31 Adanya tata cara pembuktian dari ahli sebagai alat bukti di tahap penyidikan dengan menggunakan laporan atau dalam bentuk surat sesuai dalam Pasal 133 KUHAP dan meminta keterangan ahli secara lisan di sidang pengadilan berdasarkan Pasal 179 dan 186 KUHAP menimbulkan dualisme, terutama yang berasal dari laporan atau visum et repertum yaitu : 1. Pada suatu alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan atau visum et repertum, tetap dapat dinilai sebagai alat bukti keterangan ahli; 2. Pada sisi lain alat bukti keterangan ahli yang berbentuk laporan, juga menyentuh alat bukti surat yang terdapat dalam Pasal 187 huruf c KUHAP.32 Untuk menjawab dualisme diatas maka yang dapat dijadikan pedoman adalah pendapat hakim akan mempergunakan nama alat bukti apa yang akan diberikan karena keduanya sama-sama bersifat kekuatan pembuktian yang bebas dan tidak mengikat, hakim bebas menentukan apakah akan membenarkan alat bukti tersebut atau malah akan menolaknya.
31 32
Yahya Harahap. 2009. Op.Cit., Hal.299. Ibid, hal. 303.
31
Nilai kekuatan pembuktian dengan keterangan ahli tidak jauh berbeda dengan keterangan saksi yaitu : 1. Mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang bebas atau vrij bewijskaracht yang ditentukan oleh penilaian hakim apakah akan menerima keterangan dari ahli tersebut atau akan menolaknya. 2. Keterangan ahli yang berdiri sendiri dan tidak didukung oleh alat bukti yang lain tidak memadai untuk membuktikan tentang tidak atau bersalahnya terdakwa. Oleh karena itu agar keterangan ahli dapat digunakan sebagai dasar memutus perkara pidana oleh hakim harus disertai dengan alat bukti yang lain.33 Dalam suatu kasus maka akan sering terdapat dua keterangan ahli yang digunakan yaitu keterangn ahli yang berasal dari laporan dan juga berasal dari keterangan yang diberikan secara lisan di pengadilan. Jika keterangan ahli tersebut menjelaskan hal yang sama maka alat bukti keterangan ahli masih bernilai satu alat bukti, akan tetapi jika keterangan ahli ini yang berasal dari laporan dan juga dari keterangan lisan di sidang pengadilan menunjukkan suatu keadaan yang berbeda dan menunjukan hal yang berkesesuaian antara satu dengan yang lainnya maka dapat dinyatakan bahwa keterangan ahli tersebut ada dua alat bukti keterangan ahli yang sah yang masing-masing berdiri sendiri dan telah memenuhi batas minimum pembuktian berdasarkan Pasal 183 KUHAP c) Surat Surat sebagai alat bukti diatur dalam Pasal 187 KUHAP yang menurut ketentuan ini surat yang dinilai dengan alat bukti yang sah di persidangan menurut undang-undang yaitu surat yang dibuat atas sumpah jabatan dan atau surat yang dikuatkan dengan sumpah. Alat bukti surat menurut definisi Asser-
33 http://minsatu.blogspot.com/2011/02/pembuktian-dalam-hukum-pidana.html (diakses tanggal 5 Desember 2013)
32
Anema yaitu segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan isi pikiran.34 Berdasarkan bunyi Pasal 187 KUHAP:
a.
b.
c.
d.
“Surat sebagaimana dimaksud pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundang-undangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain”. Rumusan dalam Pasal 187 huruf d KUHAP berbeda dengan ketentuan
Pasal 187 huruf a,b dan c KUHAP. Hal ini karena dalam huruf d menunjukkan surat secara umum yang tidak berlandaskan sumpah jabatan dan sumpah di sidang pengadilan yang bersifat resmi dan cenderung bersifat pribadi. Penjelasan selanjutnya juga menyebutkan bahwa berlakunya alat bukti surat lain harus mempunyai hubungan dengan alat bukti yang lain agar mempunyai kekuatan pembuktian artinya alat bukti surat lain tidak dapat berdiri sendiri secara utuh. Bentuk surat lain yang diatur dalam huruf d “hanya dapat berlaku” jika isinya mempunyai hubungan dengan alat pembuktian yang lain. Nilai berlakunya masih digantungkan dengan alat bukti yang lain. Kalau isi surat itu
34
Andi Hamzah, Op.cit, Hal. 276.
33
atau kalau alat pembuktian yang lain itu terdapat salng hubungan, barulah surat itu berlaku dan dinilai sebagai alat bukti surat.35 Berdasarkan Pasal diatas KUHAP tidak mengatur tentang kekuatan pembuktian dari surat lain karena tidak mempunyai bobot sebagai alat bukti hanya mengatur surat-surat resmi saja. penerapan surat lain sebagai bentuk alat bukti surat terlihat ganjil karena jika suatu alat bukti surat digantungkan dengan alat bukti yang lain yaitu jika mempunyai hubungan isinya dengan alat bukti yang lain sehingga terkesan tidak mempunyai nilai pembuktian bahkan cenderung menjadi alat bukti petunjuk yang intinya saling menghubungkan antara alat bukti satu dengan yang lainnya sehingga tercipta suatu urutan suatu peristiwa yang terjadi dalam perkara pidana yang diperiksa di sidang pengadilan. Sebagai syarat mutlak dalam menentukan dapat atau tidaknya suatu surat itu dapat dikategorikan sebagai suatu alat bukti yang sah ialah bahwa surat-surat itu harus dibuat diatas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah. Surat resmi yang dimaksud dalam Pasal 187 KUHAP berbentuk berita acara, akte, surat keterangan ataupun surat lain yang mempunyai hubungan dengan perkara yang diadili. Pasal 187 KUHAP dapat diartikan bahwa pejabat yang mempunyai wewenang untuk membuat surat-surat tersebut, dibebaskan untuk menghadap sendiri dipersidangan dan pembacaan surat-surat tersebut telah dianggap mempunyai kekuatan bukti yang sama dengan apabila mereka menerangkan sendiri secara lisan dihadapan persidangan pengadilan.
35
Yahya Harahap, Op.cit, Hal.309
34
Surat yang dijadikan sebagai alat bukti dipengadilan biasanya berasal dari kedokteran forensik yang meneliti barang bukti yang ditemukan di tempat kejadian perkara (TKP) yang kemudian diteliti dimana barang bukti mati kemudian dituangkan dalam bentuk surat dan dapat dijadikan suatu pegangan bagi hakim untuk memutus suatu tindak pidana yang bersangkutan karena barang bukti mati tersebut tidak bisa berbohong dan terdakwa tidak bisa mengelak jika barang bukti tersebut telah nyata menunjukkan bahwa terdakwalah yang telah melakukan tindak pidana yang dituntutkan kepadanya. Nilai kekuatan pembuktian surat menurut Yahya Harahap36 , jika dinilai dari segi teoritis serta dihubungkan dengan prinsip pembuktian dalam KUHAP dapat dibedakan menjadi 2, yaitu :
1. Ditinjau dari segi formal Alat bukti yang disebut pada Pasal 187 huruf a,b dan c adalah alat bukti yang sempurna sebab bentuk surat-surat ini dibuat secara resmi menurut formalitas yang ditentukan peraturan perundang-undangan. Alat bukti surat resmi mempunyai nilai pembuktian formal yang sempurna dengan sendirinya bentuk dan isi surat tersebut : i. Sudah benar, kecuali dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain; ii. Semua pihak tak dapat lagi menilai kesempurnaan bentuk dan pembuatannya; iii. Juga tak dapat lagi menilai kebenaran keterangan yang dituangkan pejabat yang berwenang didalamnya sepanjang isi keterangan tersebut tidak dapat dilumpuhkan dengan alat bukti yang lain; iv. Dengan demikian ditinjau dari segi formal, isi keterangan yang tertuang di dalamnya, hanya dapat dilumpuhkan dengan alat bukti 36
Ibid, Hal.309-312.
35
lain, baik berupa alat bukti keterangan saksi, keterangan ahli atau keterangan terdakwa. 2. Ditinjau dari segi materiil Alat bukti surat tidak mempunyai kekuatan mengikat sama dengan alat bukti saksi, dan ahli yang sama-sama mempunyai nilai pembuktian yang bersifat bebas yang penilaiannya digantungkan dari pertimbangan hakim. Ketidakterikatannya hakim atas alat bukti surat tersebut didasarkan pada beberapa asas, antara lain : 1) Asas proses pemeriksaan perkara pidana adalah untuk mencari kebenaran materiil atau kebenaran sejati (materiel waarheid), bukan mencari kebenaran formal. Nilai kebenaran dan kesempurnaan formal dapat disingkrkan demi untuk mencapai dan mewujudkan kebenaran materiil atau kebenaran sejati yang digariskan oleh penjelasan Pasal 183 KUHAP yang memikul kewajiban bagi hakim untuk menjamin tegaknya kebenaran, keadilan, kepastian hukum bagi seseorang. 2) Asas keyakinan hakim sesuai yang terdapat dalam Pasal 183 KUHAP yang menganut ajaran sistem pembuktian menurut undang-undang secara negatif. Dimana hakim dalam memutus harus berdasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah, dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa itu bersalah atau tidak. Hakim diberi kebebasan untuk menentukan putusan yang diambilnya dengan tetap memperhatikan tanggung jawab dengan moral yang tinggi atas landasan tanggung jawab demi mewujudkan kebenaran sejati. 3) Asas batas minimum pembuktian yaitu sesuai dengan Pasal 183 KUHAP hakim dalam memberikan putusan harus berdasarkan minimal dua alat bukti dan dengan alat bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan untuk memberikan keputusan dipersidangan. d) Petunjuk Alat bukti petunjuk diatur dalam Pasal 188 ayat (1), (2), (3) KUHAP. Didalam ayat (1) petunjuk diartikan sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena penyesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun
36
dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Dari rumusan Pasal 188 ayat (1) KUHAP ditemui kata-kata “menandakan” yang maksudnya adalah bahwa justru oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh oleh karena tidak mungkin dapat diperoleh kepastian mutlak bahwa terdakwa benar-benar telah bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian dipergunakan kepadanya secara pasti, maka dari kata-kata demikian dipergunakan, sehingga dari sekian banyak petunjuk yang ada telah dapat terbukti. Bahwa perbuatan, kejadian atau keadaan yang dianggap sebagai petunjuk haruslah ada kesesuaian antara satu dengan yang lain, karena justru pada persesuaian itulah letak kekuatan utama dari petunjuk-petunjuk sebagai sebagai alat bukti. Dan dari bunyi Pasal 188 (1), yang menyatakan bahwa diantara petunjukpetunjuk itu harus ada “persesuaian”, maka hal itu berarti bahwa sekurang kurangnya harus ada dua petunjuk untuk memperoleh bukti yang sah, namun kalau bunyi pasal itu lebih diteliti lagi ternyata satu satu perbuatan saja yang ada persesuaiannya dengan tindak pidana itu, ditambah dengan satu alat bukti yang lain dan yang berkesesuaian keseluruhannya, maka sudah cukup alasan untuk menyatakan bahwa menurut hukum perbuatan yang didakwakan telah terbukti.37 Pasal 188 ayat (2) KUHAP menegaskan bahwa petunjuk itu diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan juga keterangan dari terdakwa dimana diantara ketiganya harus ada kesesuaian dan saling berhubungan. Persesuaian antara perbuatan, kejadian satu sama lain menunjukkan adanya suatu tindak pidana atau tidak, jika tidak ada persesuaian diantara ketiga alat bukti diatas maka belum bisa ditentukan itu merupakan petunjuk dan yang dapat melakukan penilaian itu merupakan petunjuk dalam setiap keadaan atau bukan adalah hakim, dimana harus melakukan pemeriksaan secara seksama dan cermat berdasarkan hati nuraninya. Pasal 188 ayat (3) KUHAP menerangkan bahwa: Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana, 37
I Ketut Martika, SH & Djoko Prakoso, SH., Op.cit, Hal.44.
37
setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Bunyi pasal 188 ayat (3) KUHAP sangat berpengaruh dalam setiap penggunaan alat bukti petunjuk sebagai dasar penilaian pembuktian kesalahan terdakwa, karena nantinya akan berpengaruh terhadap tanggung jawab sebagai seorang hakim yang merangkai alat bukti yang ada sehingga menjadi dasar penjauhan hukuman. Dalam praktek penggunaan alat bukti petunjuk dalam persidangan sangat dihindari bila perlu menggunakan alat bukti yang lainnya kecuali jika dalam keadaan yang penting dan mendesak sekali maka alat bukti petunjuk dapat digunakan jika alat bukti yang lain belum mencukupi untuk membuktikan kesalahan terdakwa. Dinilai juga bahwa alat bukti petunjuk digunakan manakala alat bukti yang lain belum mencukupi batas minimum pembuktian yang sesuai dala Pasal 183 KUHAP. Alat bukti petunjuk dalam persidangan dilihat dari persesuaian antara alat bukti satu dengan yang lainnya sehingga hakim memperoleh gambaran mengenai proses terjadinya tindak pidana dan penyebab terjadinya tindak pidana.
Sumber
dari alat
bukti petunjuk
diperoleh
hakim
dengan
memperhatikan alat bukti yang lain sehingga diperoleh persesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan yang sebenarnya. Pada Pasal 188 ayat (2) KUHAP ditentukan secara limitatif untuk mencari bukti petunjuk yaitu diperoleh dari : a. Keterangan saksi b. Surat c. Keterangan terdakwa Alat bukti petunjuk tidak mencantumkan alat bukti ahli karena keterangan ahli diperoleh dari keterangan dari pakar dalam bidang keilmuan
38
yang terkait yang bersifat subyektif dari pengetahuan masing-masing ahli dan dalam hal ini kemungkinan besar sudah telah bercampur dengan nilai-nilai budaya, keyakinan, latar belakang hidup, pendidikan dari ahli itu sendiri dan cenderung akan selalu membenarkan pendapatnya sehingga tidak bernilai obyektif. Alat bukti petunjuk baru ada jika sudah ada alat bukti yang lain sehingga sifatnya menggantungkan alat bukti yang lain atau “asessoir”. Dengan kata lain alat bukti petunjuk tidak akan pernah ada jika jika alat bukti lain. Nilai kekuatan pembuktian petunjuk dilihat dari : a. Hakim tidak terikat atas kebenaran persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk, oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakannya sebagai upaya pembuktian, b. Petunjuk sebagai alat bukti, tidak bisa berdiri sendiri membuktikan kesalahan terdakwa, dia tetap terikat kepada prinsip batas pembuktian. Oleh karena itu, agar petunjuk mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang cukup, harus didukung dengan sekurang-kurangnya satu alat bukti yang lain.38 e) Keterangan terdakwa Pengaturan tentang keterangan terdakwa terdapat dalam Pasal 189-193 KUHAP, dalam Pasal 189 ayat (1) mengartikan mengenai keterangan terdakwa: “keterangan terdakwa ialah apa yang didakwakan di sidang tentang perbuatan yang ia lakukan atau yang ia ketahui sendiri atau alami sendiri.” Keterangan terdakwa disini bukan berarti pengakuan terdakwa yang ada dalam HIR. Akan tetapi keterangan terdakwa bersifat lebih luas baik yang merupakan penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagian dari perbuatan atau keadaan. Suatu perbedaan yang jelas antara keterangan 38
Yahya Harahap, Op.cit, Hal.317.
39
terdakwa dengan pengakuan terdakwa sebagai alat bukti ialah keterangan terdakwa yang menyangkal dakwaan, tetapi membenarkan beberapa keadaan atau perbuatan yang menjurus kepada terbuktinya perbuatan sesuai alat bukti lain merupakan alat bukti. Dengan dilihat dengan jelas bahwa keterangan terdakwa sebagai alat bukti tidak perlu sama atau berbentuk pengakuan. Semua keterangan terdakwa hendaknya didengar. Apakah itu berbentuk penyangkalan, pengakuan, ataupun pengakuan sebagai dari perbuatan atau keadan. Tidak perlu hakim mempergunakan seluruh keterangan seorang terdakwa atau saksi, demikian menurut HR dengan arrest-nya tanggal 22 Juni 1944, NJ.44/45 No.59. sedangkan pengakuan sebagai alat bukti mempunyai syarat-syarat berikut. a. Mengaku ia yang melakukan delik yang didakwakan b. Mengaku ia bersalah. 39 Menurut Memorie van Toelichting Ned Sv. Penyangkalan terdakwa atas dakwaan yang ditujukan pada dirinya boleh menjadi alat bukti yang sah, hal ini lah yang menjadi konsekuensi penggunaan kata keterangan terdakwa sehingga hakim harus mendengarkan penyangkalan dan pengakuan dari terdakwa. Mengenai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa, bahwa seperti alat bukti yang lainnya untuk menemukan kebenaran materiil maka harus memenuhi Pasal 183 KUHAP yaitu paling tidak harus memenuhi batas minimum pembuktian dengan 2 alat bukti yang sah, oleh karena itu pada Pasal 189 (4) KUHAP juga menjelaskan:
39
Andi Hamzah, Op.cit, Hal.278.
40
“Keterangan terdakwa saja tidak cukup untuk membuktikan bahwa ia bersalah melakukan perbuatan yang didakwakan kepadanya, melainkan harus disertai dengan alat bukti yang lain.” Keterangan terdakwa hanya untuk menerangkan keadaan diri sendiri bukan untuk orang lain dan tidak dapat berdiri sendiri, kecuali dibarengi dengan alat bukti lain.40 Paling tidak dalam suatu tindak pidana selain keterangan terdakwa harus ada satu alat bukti lain yang mendukung sehingga hakim dapat mengambil putusan, selain itu dengan alat bukti tersebut timbul keyakinan hakim atas tindak pidana tersebut bahwa terdakwa bersalah atau tidak atas dakwaan yang ditujukan padanya. Kemudian sifat nilai kekuatan pembuktiannya adalah bebas, maka dengan ini hakim tidak terikat pada nilai kekuatan pembuktian keterangan terdakwa atau menyingkirkan kebenaran yang terkandung didalamnya, karena segala sesuatunya harus ada alasan yang logis yang bisa diterima oleh hakim. Alat bukti yang ada dalam Pasal 184 KUHAP tersebut dapat dihadirkan oleh terdakwa dan juga oleh pihak kejaksaan. Alat bukti yang dihadirkan oleh terdakwa biasanya terkait untuk meringankan hukuman terdakwa yang sering disebut saksi yang meringankan sedangkan alat bukti yang dihadirkan oleh jaksa terkesan memberatkan atau untuk membuktikan bahwa benar telah terjadi tindak pidana karena peran dari jaksa penuntut umum dalam persidangan adalah sebagai wakil negara yang harus menyandarkan sikapnya kepada kepentingan masyarakat dan negara sehingga sifatnya harus bersifat obyektif. Selain itu dengan alat bukti tersebut hakim telah menemukan keyakinan bahwa perbuatan tersebut merupakan tindak pidana dan terdakwalah yang melakukan 40 Suharto R.M., Penuntutan Dalam Praktek Peradilan, Cetakan kedua, Jakarta: Sinar Grafika, 2004, hlm.158.
41
tindak pidana, jika dengan alat bukti tersebut hakim tidak menemukan keyakinannya maka alat bukti tersebut tidak bisa dijadikan acuan untuk membuktikan bahwa itu merupakan tindak pidana. Dalam pemeriksaan perkara pidana yang sifatnya ingin mengejar kebenaran materiil agar terdakwa diperiksa jangan membawa-bawa orang lain yang tidak ada sangkut pautnya dengan dirinya dan untuk menghindari adanya fitnah terhadap diri orang lain yang tak bersalah.
4. Alat Bukti Elektronik Perkembangan teknologi yang sangat maju menimbulkan kejahatankejahatan baru di masyarakat dengan menggunakan teknologi. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik maka terjadi perluasan mengenai pembuktian khususnya mengenai pembuktian elektronik. Pemakaian data elektronik sebagai alat bukti merupakan hal yang baru menyangkut bidang hukum di Indonesia. Dalam Pasal 184 KUHAP tidak diatur mengenai penggunaan alat bukti elektronik. Selama ini alat bukti yang diakui dalam persidangan sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan ketrangan terdakwa. Kesulitan mendasar penggunaan bukti elektronik dalam proses pembuktian perkara pidana, khususnya mengenai tindak pidana yang menggunakan alat telekomunikasi yaitu tidak adanya patokan atau dasar penggunaan bukti elektronik ini dalam perundang-undangan. Padahal dalam kejahatan menggunakan alat telekomunikasi, buktinya berupa data-data
42
elektronik yang akan mengarahkan pada suatu peristiwa pidana. Keberadaan alat bukti elektronik menjadi pokok perhatian atau bahan pertimbangan bagi hakim dalam memutus perkara, yang jadi masalah hanya kekuatan pembuktian dari alat bukti elektronik merujuk pada “penyitaan” yang dilakukan guna keperluan pembuktian. Ada dua hal yang dapat dijadikan panduan untuk menggunakan alat bukti elektronik dalam mengungkap kejahatan melalui telepon selular, yaitu : a. Adanya pola (modus operandi) yang relative sama dalam melakukan tindak pidana dengan menggunakan telepon selular. b. Adanya persesuaian antara satu peristiwa dengan peristiwa lain.41 Penggunaan alat bukti elektronik dalam sistem hukum pembuktian didasari atas asas-asas sebagai berikut: a. b. c. d. e.
Asas kepastian hukum; Asas manfaat; Asas kehati-hatian; Asas itikad baik; dan Asas kebebasan memilih teknologi atau netral teknologi.42
Bukti elektronik sebagai suatu alat bukti yang sah dan yang berdiri sendiri (real evidence), tentunya harus dapat diberikan jaminan bahwa suatu rekaman/salinan data berjalan sesuai dengan prosedur yang berlaku sehingga hasil print out suatu data dapat diterima dalam pembuktian suatu tindak pidana. Pada prinsip pembuktian alat bukti yang dihadirkan haruslah alat bukti yang memiliki relevansi terhadap tindak pidana yang terjadi atau fakta yang akan dibuktikan. Dapat dikatakan bahwa alat bukti yang ada harus otentik yang
41
Edmon Makarim, Op.cit. hlm. 424. Munir Fuady, Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata, Bandung, PT. Citra Aditya, 2012, hlm. 169. 42
43
berarti alat bukti tersebut benar-benar asli. Menurut Pasal 6 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, alat bukti elektronik yang dihadirkan pada persidangan harus terjamin keutuhannya sehingga
alat
bukti
elektronik
dapat
diakses,
ditampilkan,
dijamin
keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan yang dapat menerangkan suatu keadaan. Alasan perlunya alat bukti yang dihadirkan dalam suatu proses pembuktian di pengadilan bersifat otentik, yaitu: 1. Agar dapat dipastikan bahwa tidak terdapat perubahan/perbedaan terhadap alat bukti tersebut. Perbedaan dengan alat bukti yang sesungguhnya dapat memberikan nilai dan arah pembuktian yang berbeda. 2. Agar terhindar dari pembuktian terhadap objek yang berbeda dengan seharusnya yang dibuktikan. 43 Dengan demikian pembuktian menggunakan alat bukti elekronik yang dihasilkan adalah pembuktian untuk mencapai kebenaran materiil yaitu kebenaran yang sebenar-benarnya.
C. Tindak Pidana Perjudian Pengertian tindak pidana atau perbuatan pidana yang terdapat dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dalam bahasa Belanda dikenal dengan istilah “strafbaar feit”. Ada beberapa terjemahan dari istilah strafbaar feit, yaitu : 1. 2. 3. 4.
Perbuatan yang dapat/boleh dihukum Peristiwa pidana Perbuatan pidana Tindak pidana.44
43
Ibid., hlm.189. E.Y.Kanter dan S.R.Sianturi, Asas-asas Hukum Penerapannya, Jakarta, Storia Grafika, 2002, hlm.204. 44
Pidana Di
Indonesia dan
44
Menurut Wirjono Prodjodikoro, 45 merumuskan tindak pidana berarti suatu perbuatan yang pelakunya dapat dikenakan hukuman pidana. Suatu perbuatan dapat dikatakan sebagai tindak pidana apabila memenuhi unsurunsur sebagai berikut: 1. 2. 3. 4.
5.
Subjek; Kesalahan; Bersifat melawan hukum (dari tindakan); Suatu tindakan yang dilarang atau diharuskan oleh undangundang/perundangan dan terhadap pelanggarnya diancam dengan pidana; Waktu, tempat, dan keadaan (unsur objektif lainnya).46
Kelima unsur tersebut haruslah ada dalam suatu tindak pidana, hal ini sebenarnya dapat membedakan antara tindak pidana dan peristiwa pidana. Berbicara mengenai tindak pidana pada dasarnya harus ada subjek dan orang itu melakukannya dengan kesalahan atau dengan perkatakan lain jika dikatakan telah terjadi suatu tindak pidana, berarti ada orang sebagai subjeknya dan pada orang itu terdapat kesalahan. Sebaliknya, jika seseorang telah melakukan suatu tindakan yang memenuhi unsur sifat melawan hukum, tindakan yang dilarang serta diancam dengan pidana oleh undang-undang dan faktor-faktor objektif lainnya, tanpa adanya unsur kesalahan, berarti tidak telah terjadi suatu tindak pidana, melainkan yang terjadi hanya suatu peristiwa pidana. Perjudian merupakan salah satu dari macam-macam tindak pidana yang diatur dalam KUHP. Pengertian judi ditetapkan oleh Pasal 303 ayat (3) KUHP sebagai berikut: 45 Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta, http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1hukum/206711050/bab2.pdf, diakses pada tanggal 8 Desember 2013. 46 Adam Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1, Jakarta, PT. Raja Grafindo Persada, 2002, hlm. 211.
45
“Yang disebut permainan judi adalah tiap-tiap permainan, di mana pada umumnya kemungkinan mendapat untung bergantung pada peruntungan belaka, juga karena pemainnya lebih terlatih atau lebih mahir. Di situ termasuk segala pertaruhan tentang keputusan perlombaan atau permainan lain-lainnya yang tidak diadakan antara mereka yang turut berlomba atau bermain, demikian juga segala pertaruhan lainnya.” Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, judi diartikan sebagai permainan dengan memakai uang atau barang berharga sebagai taruhan atau suatu kegiatan pertaruhan untuk memperoleh keuntungan dari hasil suatu pertandingan, permainan atau kejadian yang hasilnya tidak dapat diduga sebelumnya. Unsur-unsur tindak pidana perjudian menurut pasal 303 ayat (3) adalah sebagai berikut: a) Ada perbuatan Yang dimaksud perbuatan disini adalah setiap perbuatan dalam suatu permainan baik secara langsung dilakukan sendiri, seperti main domino, dadu, kodok ulo maupun permainan lain yang tidak diadakan oleh mereka yang turut bermain atau berlomba, seperti sepak bola. b) Bersifat untung-untungan Untung-untungan disini maksudnya adalah pengharapan untuk menang pada umumnya tergantung pada untung-untungan atau hanya menggantungkan pada nasib saja dan juga kalo kemenangan itu dapat diperoleh karena kepintaran dan kebiasaan pemain. c) Dengan mempertaruhkan uang atau barang
46
Setiap permainan baik yang dilakukan sendiri maupun yang tidak diadakan oleh mereka yang turut bermain atau berlomba, yang dipakai sarana guna mempertaruhkan uang atau barang d) Melawan hukum Setiap permainan judi harus mendapat ijin terlebih dahulu dari pejabat yang berwenang dan apabila suatu permainan telah mendapatkan ijin, permainan judi tersebut bukan suatu tindak pidana. Dan sebaliknya apabila permainan judi tanpa adanya ijin dari pejabat yang berwenang, maka permainan ini termasuk tindak pidana, karena merupakan suatu pelanggaran atas hukum pidana atau dengan kata lain adalah perbuatan yang melawan hukum. Dari ketentuan KUHP tersebut dapat kita lihat bahwa dalam permainan judi, terdapat unsur keuntungan (untung) yang bergantung pada peruntungan (untung-untungan) atau kemahiran/kepintaran pemain. Selain itu, dalam permainan judi juga melibatkan adanya pertaruhan.
D. Kejahatan Mayantara (Cyber Crime) Judi Togel Melalui Short Message Service (SMS) Perkembangan teknologi informasi dan komunikasi telah mengubah pola hidup masyarakat dan berkembang dalam tatanan kehidupan baru dan mendorong terjadinya perubahan sosial, ekonomi, budaya, pertahanan, keamanan dan penegakan hukum. Perbuatan melawan hukum di dunia maya merupakan fenomena yang sangat mengkhawatirkan, mengingat tindakan carding, hacking, penipuan, terorisme dan penyebaran informasi destruktif telah menjadi bagian dari aktivitas pelaku kejahatan di dunia maya. Kemajuan teknologi dan informasi telah
47
melahirkan berabagai dampak, baik dampak positif maupun dampak negative, karena di satu sisi memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, namun di sisi lain menjadi sarana efektif perbuatan melanggar hukum. Kejahatan Mayantara atau Cyber crime diartikan sebagai kegiatan illegal dengan perantara computer yang dapat dilakukan melalui jaringan elektronik. Cyber crime dalam arti sempit disebut computer crime, sedangkan cyber crime dalam arti luas disebut computer related crime.47 Dengan demikian cyber crime meliputi kejahatan, yaitu yang dilakukan dengan (1). menggunakan sarana-sarana dari sistem atau jaringan komputer (by means of acomputer system or network); (2). Di dalam sistem atau jaringan komputer (in a computer system or network); dan (3). Terhadap sistem atau jaringan komputer (against a computer system or network).
Perbedaanya dengan kejahatan konvensional dapat dilihat dari kemampuan serbaguna yang ditampilkan akibat perkembangan informasi dan teknologi komunikasi
yang
semakin
canggih.
Faktor
yang
dominan mendorong
berkembangnya cybercrime adalah pesatnya perkembangan teknologi komunikasi seperti telepon, handphone, dan telekomunikasi lainnya dipadukan dengan perkembangan teknologi computer. Perkembangan teknologi dan informasi berdampak pula pada revolusi kejahatan yang konvensional menuju lebih modern, jenis kejahatannya mungkin sama, namun dengan media yang berbeda yaitu dalam hal ini adalah perjudian toto gelap yang mana kejahatan ini menggunakan media internet (internet gambling) dalam melakukan tindak pidananya.
47
Santi Indriani, Tinjauan Yuridis Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime). Volume 1, Nomor 2, Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899XX http://jodfisipunbara.files.wordpress.com/2012/05/11-santi-oke-hal-81-89.pdf, Hal. 60. (diakses tanggal 14 November 2013).
48
Pengertian Togel sendiri adalah permainan judi dengan cara mengundi angka yang pemenangnya memiliki angka yang keluar sama dengan angka yang dibeli. Pada prakteknya Togel bisa dilakukan dengan dua cara yaitu togel konvensional dan non konvensional. Togel konvensional adalah togel yang dijual secara langsung kepada pembeli dimana penjual bertatap muka langsung dengan pembeli nomor togel tersebut, sedangkan togel non konvensional adalah togel yang dijual secara online melalui media pendukung teknologi internet ataupun sarana teknologi komunikasi lainnya seperti handphone dan media lainnya. Adapun pengertian SMS antara lain sebagai berikut : Short Message Service (SMS) adalah suatu fasilitas untuk mengirim dan menerima suatu pesan singkat berupa teks melalui perangkat nirkabel, yaitu perangkat komunikasi telepon selular, dalam hal ini perangkat nirkabel yang digunakan adalah telepon selular. Cara pengiriman pesan-pesan SMS dikirim dari sebuah telepon genggam ke pusat pesan, disini pesan disimpan dan mencoba mengirimnya selama beberapa kali. Perkembangan teknologi informasi dengan adanya teknologi elektronik menimbulkan bentuk kejahatan baru dalam perjudian yakni perjudian diantaranya yaitu internet (internet gambling) dan Togel melalui media Short Message Service. Tindak pidana perjudian melalui sarana elektronik dilakukan melalui sistem elektronik, informasi elektronik dan dokumen elektronik yang dapat dijadikan sebagai alat bukti sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: (1)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2)Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari
49
alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Sedangkan bunyi Pasal 6 Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: Dalam hal terdapat ketentuan lain selain yang diatur dalam Pasal 5 ayat (4) yang mensyaratkan bahwa suatu informasi harus berbentuk tertulis atau asli, Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dianggap sah sepanjang informasi yang tercantum di dalamnya dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan sehingga menerangkan suatu keadaan. Di samping itu alat bukti elektronik di atas dianggap sebagai perluasan alat bukti petunjuk sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, karena disetarakan sebagai alat bukti surat, sehingga pelaku perjudian melalui alat elektronik dapat dikenakan sanksi hukum pidana. Sesuai dengan Penjelasan pada Pasal 1 ayat (1), (2), (4) Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik yang berbunyi: Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Transaksi Elektronik adalah perbuatan hukum yang dilakukan dengan menggunakan Komputer, jaringan Komputer, dan/atau media elektronik lainnya. Dokumen Elektronik adalah setiap Informasi Elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui Komputer atau Sistem Elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya. Penjelasan mengenai alat bukti pada Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik diatur dalam Pasal 44 yang berbunyi:
50
Alat bukti penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan menurut ketentuan Undang-Undang ini adalah sebagai berikut: a. Alat bukti sebagaimana dimaksud dalam ketentuan Perundang-undangan; dan b. Alat bukti lain berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 1 angka 1 dan angka 4 serta Pasal 5 ayat (1), ayat (2), dan ayat (3). Pada praktiknya tindak pidana toto gelap, ada yang menggunakan sistem online dan ada pula yang menjual langsung ke masyarakat. Adapun pda toto gelap yang langsung di jual ke masyarakat biasanya para pengepul dan pengecer menggunakan media elektronik SMS. Karena melalui media SMS ini dianggap lebih aman, efisien dan sangat sulit di usut, diproses dan diadili dalam persidangannya. Walaupun saat ini telah lahir Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik, yang mana di dalamnya mengatur berbagai aktifitas tindak pidana yang dilakukan dan terjadi di dunia maya (cyberspace), termasuk di dalamnya pelanggaran tentang judi yang memakai media elektronik. Akan tetapi dalam Praktek biasanya Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik ini jarang dipakai dalam penanganan tindak pidananya.
51
BAB III METODE PENELITIAN
1. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah menggunakan pendekatan yuridis normatif yaitu pendekatan yang mengkaji penerapan kaidah-kaidah atau norma-norma dalam hukum positif. 48 Penelitian yuridis normatif disebut juga penelitian hukum doctrinal.
2. Spesifikasi Penelitian Spesifikasi penelitian yang digunakan adalah spesifikasi penelitian perskriptif, yaitu suatu penelitian yang hanya menjelaskan keadaan objek yang akan diteliti melalui kacamata disiplin hukum.49 Dalam hal ini peneliti mencoba menguraikan, mengungkap dan mengkaji penerapan sistem pembuktian hakim dalam pemeriksaan kasus perjudian Togel di Pengadilan Negeri Jakarta Timur berdasarkan perspektif hukum semata.
3. Sumber Data Pada penelitian ini menggunakan sumber data sekunder. Karena pada penelitian ini, peneliti akan melakukan penelitian hukum normatif maka lebih difokuskan pada pencarian data sekunder. Data Sekunder yang digunakan dalam penelitian ini antara lain : 48
Jhony Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Malang : Banyumedia, 2005, hal. 295. 49 Amiruddin dan Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, Jakarta : Rajawali Pers, 2004, hal. 118.
52
c. Bahan – bahan hukum Primer Data yang bersumber bahan - bahan hukum primer berupa norma dasar Pancasila, batang tubuh UUD 1945, peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap dan mengikat. Kemudian bahan hukum sekunder yang berhubungan erat dengan bahan hukum primer dan dapat menganalisis dan memahami bahan hukum primer seperti rancangan peraturan perundang-undangan, hasil karya ilmiah para sarjana (buku-buku kepustakaan) dan hasil-hasil penelitian dan yang terakhir bahan hukum tersier yaitu bahan-bahan yang memberikan informasi tentang bahan huk primer dan bahan hukum sekunder seperti bibliografi dan indeks kumulatif. Bahan hukum yang digunakan peneliti ini diambi bahan hukum yang telah mempunyai kekuatan hukum mengikat, yaitu diperoleh dari salah satu putusan hakim mengenai perkara tindak pidana perjudian di Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM. d. Bahan Hukum Sekunder Bahan-bahan yang erat hubungannya dengan bahan hukum primer yang digunakan oleh peneliti dan dapat membantu menganalisis dan memahami bahan hukum primer, seperti : - Buku-buku hasil karya ilmiah para sarjana - Hasil-hasil penelitian e. Bahan hukum tersier
53
Bahan-bahan yang memberi petunjuk, informasi maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan sekunder, contohnya adalah Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum.
4. Metode Pengumpulan Data Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh
dengan
cara
melakukan
inventarisasi
terhadap
peraturan
perundang-undangan, buku literature, dokumen dan arsip atau hasil penelitian terdahulu yang berkaitan dengan objek atau materi penelitian dan Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM.
5. Metode Pengolahan Data Bahan hukum primer, sekunder dan tersier sebagaimana telah disebutkan dalam point di atas akan diinventarisir kemudian dicatat sesuai dengan relevansinya dengan masalah yag akan diteliti, kemudian dikaji sebagai satu kesatuan yang utuh. Bahan hukum yang berhubungan dengan masaah yang akan dibahas dipaparkan, disistematiskan, kemudian dianalisis untuk menginterpretasikan hukum yang berlaku.
6. Metode Penyajian Data Metode penyajian data dalam penelitian ini akan disajikan dalam bentuk uraian yang disusun secara sistematis, logis, dan rasional. Dalam arti keseluruhan data yang diperoleh akan dihubungkan satu dengan yang lainnya
54
disesuaikan dengan pokok permasalahan yang diteliti, sehingga merupakan suatu kesatuan yang utuh.
7. Metode Analisis Data Cara pengolahan bahan hukum dilakukan secara kualitatif yakni dengan membahas dan menjabarkan bahan hukum yang digunakan dengan berlandaskan pada norma hukum yang digunakan, teori-teori serta doktrin yang berkaitan dengan materti yang diteliti, dengan menggunakan logika deduktif yakni menarik kesimpulan dari suatu permasalahan yang bersifat umum terhadap permasalahan konkret yang dihadapi.
55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN A. Hasil Penelitian 1. Identitas Terdakwa Nama Lengkap
:
FIRDAUS Als OBER Als BUYUNG BIN HASAN BASRI
Tempat Lahir
:
Padang
Umur/Tgl. Lahir
:
49 tahun/05 Oktober 1963
Jenis Kelamin
:
Laki-laki
Kebangsaan
:
Indonesia
Tempat Tinggal
:
Jl. Kol. Sutomo III No.68 RT.007/006 Kel. Kebon Pala Kec. Makasar Jakarta Timur dan Jl. Wisma Harun Kel. Kebon Pala Kec. Makasar Jakarta Timur
Agama
:
Islam
Pekerjaan
:
-
Pendidikan
:
SMP
2. Kasus Posisi Berawal dari adanya kerja sama antara terdakwa I. FIRDAUS alias OBER alias BUYUNG bin HASAN BASRI dengan terdakwa II. SITUMEANG (DPO) turut menyelenggarakan judi togel yang mengikuti (mendompleng) permainan judi dari Singapura tanpa mendapat izin dari pihak yang berwenang menegeluarkan izin, dimana terdakwa II. SITUMEANG
56
(DPO) dalam hal ini sebagai pengepul atau orang yang menerima nomornomor yang dipasang oleh para pemain dan menerima uang taruhan pasangan dari para pemain untuk diserahkan kepada Bandar judi togel dan memberitahukan nomor togel yang keluar pada hari itu, sedangkan terdakwa I. FIRDAUS alias OBER alias BUYUNG bin HASAN BASRI dalam hal ini mencari pemain atau penebak nomor-nomor judi togel, pengecer atau penulis nomor-nomor yang dipasang oleh para pemain dan menerima uang taruhan untuk disetorkan kepada terdakwa II. SITUMEANG (DPO), serta merekap nomor-nomor pasangan tersebut baik melalui tulisan langsung dikertas maupun nomor-nomor yang dipasang melalui sms dari nomor-nomor Handphone para pemain, keseluruhannya itu disetorkan atau diserahkan kepada terdakwa II. SITUMEANG dan memberitahukan kepada para pemasang untuk nomor judi togel yang keluar pada hari itu atas informasi dari terdakwa II. SITUMEANG. Bahwa permainan judi togel yang mengikuti (mendompleng) dari permainan judi Singapura tersebut, dibuka atau dikeluarkan pada setiap hari Senin, Rabu, Kamis, Sabtu dan Minggu pada pukul 17.30 WIB dan cara permainannya adalah sebagai berikut: Para pemain menebak atau memasang nomor-nomor yang akan dibuka terdiri dari 2 angka (dua digit), 3 angka (tiga digit), dan 4 angka (empat digit) dengan nilai pasangan paling sedikit sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah) per nomor tebakan. Bahwa cara untuk menentukan pemenangnya adalah apabila nomor yang dikeluarkan sama dengan nomor yang ditebak atau dipasang terdiri dari
57
2 angka (dua digit) dari belakang maka pemenangnya akan dibayarkan 60 (enam puluh) kali lipat dari jumlah taruhan, 3 angka (tiga digit) dari belakang akan dibayarkan 350 (tiga ratus lima puluh) kali lipat dari jumlah taruhan, dan 4 angka (empat digit) akan dibayarkan 2500 (dua ribu lima ratus) kali lipat dari jumlah taruhan, dan dari penjualan nomor judi togel tersebut terdakwa mendapat omzet satu kali putaran sebesar 20 (dua puluh) persen. Bahwa pada hari Kamis tanggal 6 Desember 2012 sekira pukul 10.30 WIB bertempat di sebuah warung di Jl. Wisma Harun, Kelurahan Kebon Pala Kecamatan Makasar Jakarta Timur, terdakwa melakukan penjualan nomor togel, selanjutnya para pemain atau penebak datang menghampiri dan memasang nomor-nomor tebakan dengan rincian rekapan sebagai berikut : 1. Sdr. SUSILO nomor pasangan 03-51 masing-masing dengan jumlah taruhan sebesar Rp 5000,- (lima ribu rupiah) dan nomor 30, 53, 38, 23, 18, 01, 12, 15, 35, 83, 31, 32, 81, 10, 21 dengan jumlah taruhan masingmasing sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah). 2. Sdr. MANULANG nomor pasangan 50 dengan jumlah taruhan sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). 3. Sdr. ONO nomor pasangan 473 dengan taruhan sebesar Rp 4.000,- (empat ribu rupiah), nomor 73 dengan taruhan sebesar Rp 5.000,- (lima ribu rupiah), nomor 256 dengan taruhan sebesar Rp 6.000,- (enam ribu rupiah), nomor 56 dengan taruhan sebesar Rp 7.000 (tujuh ribu rupiah), nomor 47 dengan taruhan sebesar Rp 60.000,- (enam puluh ribu rupiah) dan nomor 25 dengan taruhan sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah).
58
4. Sdr. BUTAR-BUTAR nomor pasangan 082 dengan taruhan sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah) dan nomor 82 dengan taruhan sebesar Rp 100.000,- (seratus ribu rupiah). 5. Sdr. ATANG nomor pasangan 628, 709, 256, 365, 096, 658, 346, 968 masing-masing dengan taruhan sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah) dan nomor 72 dengan taruhan sebesar Rp 3.000,- (tiga ribu rupiah). 6. Sdr. UDI nomor pasangan 29, dengan taruhan sebesar Rp 8.000,- (delapan ribu rupiah), nomor 24, 25, 27, 20 masing-masing dengan taruhan sebesar Rp 2.000,-(dua ribu rupiah). 7. Sdr. JUNADI nomor pasangan 39, 35 masing-masing dengan taruhan sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah), nomor 35, 32 masing-masing dengan taruhan sebesar Rp 5.000,- (lima puluh ribu rupiah), nomor 72 dengan taruhan sebesar Rp 4.000,- (empat ribu rupiah) dan nomor 82 dengan taruhan sebesar Rp 10.000,- (sepuluh ribu rupiah). Total uang tebakan judi togel tersebut sebesar Rp 354.000,- (tiga ratus lima puluh ribu rupiah). Sedangkan Sdr. SAIFUL, Sdr. SUGI, Sdr. OPAH, Sdr. ANJAS, Sdr. SOLIHIN, Sdr. ADNAN, Sdr. ZUKI, Sdr. OFAN, Sdr. KANCIL, Sdr. BUTET, Sdr. LAJAR, Sdr. PANGARIBUAN, Sdr. UYUN, Sdr. ROSI, Sdr. HERMAN, Sdr. BOTAK, Sdr. BOLOT, Sdr. NASGOR, Sdr. ACONG, Sdr. UDIN, Sdr. UCOK, Sdr. GETAMEN, Sdr. DEWI, Sdr. ABAH, Sdr. OYOK, Sdr. FERI, Sdr. BROTHER, Sdr. TUKANG MARTABAK, Sdr. GONDRONG, Sdr. DANA, Sdr. DOLI, Sdr. SIHOMBING, Sdr. ACO dan Sdr. ATIN adalah yang memasang dengan mengirimkan nomor tebakan
59
melalui SMS kepada terdakwa, dimana nomor dan besarnya jumlah tebakan masih tersimpan dalam memori card milik terdakwa dan pada saat terdakwa sedang menulis dan merekap nomor-nomor judi togel datang petugas kepolisian menangkap terdakwa berikut barang buktinya. Bahwa terdakwa dalam menawarkan atau memberikan kesempatan kepada khalayak umum untuk melakukan permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian atau dengan sengaja turut serta dalam permainan judi togel. 3. Dakwaan Penuntut Umum Penuntut Umum dalam persidangan menghadapkan terdakwa dengan dakwaan subsidair dan perbuatan terdakwa sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 303 ayat (1) ke-1 KUHP dan Pasal 303 ayat (1) ke-2 KUHP. 4. Pembuktian a. Alat-alat bukti di persidangan Keterangan saksi Penuntut umum mengajukan saksi-saksi ke persidangan yang didengar keterangannya di bawah sumpah, dan saksi-saksi yang keterangannya dibacakan sesuai dengan BAP (Berita Acara Pemeriksaan) di kepolisian yang pada pokoknya menerangkan sebagai berikut: 1. Saksi BAKRI NOOR, Saksi YANUAR SAHYADI, Saksi TONI SUHENDAR, dan Saksi SUHIRTO bin. WITO ATMOJO (Anggota Polisi)
60
Bahwa benar para saksi tidak kenal dengan terdakwa dan tidak mempunyai hubungan keluarga dengan terdakwa. Bahwa benar terjadinya tindak pidana judi togel terjadi pada hari Kamis tanggal 6 Desember 2012 sekitar jam 10.30 WIB di Jl. Wisma Harun Kelurahan Kebon Pala Kecamatan Makasar Jakarta Timur yang dilakukan oleh terdakwa. Bahwa benar terdakwa melakukan perjudian jenis togel dengan cara terdakwa menulis nomor-nomor pasangan pemain dalam buku rekapan yang sudah disediakan sebelumnya, selanjutnya orang-orang yang memasang menyerahkan uang taruhannya kepada terdakwa dan ada sebagian pemain yang mengirimkan melalui SMS ke nomor HP terdakwa, selanjutnya ditulis di buku rekapan kemudian sekitar jam 15.30 WIB nomor-nomor pasangan pemain yang sudah direkap dan uang taruhan atau uang pasangan pemain diantar kepada Sdr. SITUMEANG (DPO) Jl. Kampung Makassar Kelurahan Kramat Jati Kecamatan Makasar Jakarta Timur (di depan pasar rio) yang merupakan pengepul judi togel yang diselenggarakan oleh terdakwa. Selanjutnya sekitar jam 17.30 WIB SITUMEANG selaku pengepul mengirimkan SMS kepada terdakwa yang berisi nomor yang dikeluarkan
oleh
bandar
selanjutnya
terdakwa
mendatangi
SITUMEANG untuk mengambil hadiah atau uang hadiah atau uang yang harus dibayarkan kepada pemain atas kemenangannya lalu terdakwa menyerahkan uang yang harus dibayarkan kepada pemain
61
atas kemenangannya lalu terdakwa menyerahkan uang kepada pemain yang nomor tebakannya keluar. Bahwa benar terdakwa melakukan perjudian togel tersebut agar terdakwa mendapatkan uang komisi sebesar 20% dari total omset yang berhasil dikumpulkan oleh terdakwa setiap harinya dari Sdr. SITUMEANG (DPO) selaku pengepul sebesar Rp 160.000,- (seratus enam puluh ribu rupiah) s/d Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) dan kalau pemain yang menang terdakwa juga mendapatkan komisi. Terdakwa melakukan perjudian jenis togel tersebut tidak memiliki ijin dari pihak berwenang. Bahwa benar barang bukti yang disita dari tangan terdakwa berupa 1 (satu) buah rekapan nomor-nomor judi togel, 1 (satu) buah HP Asiafone dan uang tunai sebesar Rp 354.000,- (tiga ratus lima puluh empat ribu rupiah) adalah uang pasangan dari pemain. Alat bukti surat berupa Berita Acara Pemeriksaan (BAP) dan surat-surat lainnya yang ditandatangani oleh pejabat yang berwenang Petunjuk Keterangan saksi-saksi dan terdakwa serta adanya alat bukti surat dimana satu dengan yang lainnya saling bersesuaian, yang menandakan telah terjadi tindak pidana perjudian yang dilakukan oleh terdakwa FIRDAUS Als OBER Als BUYUNG BIN HASAN BASRI
62
Keterangan Terdakwa Pemeriksaan terhadap terdakwa dilakukan setelah seluruh saksi yang diajukan penuntut umum diperiksa oleh hakim di sidang pengadilan, dan terdakwa memberikan keterangan di persidangan yang pada pokoknya sebagai berikut: Terdakwa ditangkap oleh Polisi berpakaian preman dari Polda Metro Jaya pada hari Kamis tanggal 06 Desember 2012 sekitar jam 10.30 WIB di Jl. Wisma Harun Kelurahan Kebon Pala Kecamatan Makassar Jakarta Timur karena melakukan perjudian judi togel. Barang bukti yang disita dari tangan terdakwa berupa 1 (satu) buah rekapan nomor-nomor judi togel, 1 (satu) buah HP Asiafone dan uang tunai sebesar Rp 354.000,- (tiga ratus lima puluh empat ribu rupiah) adalah uang pasangan dari pemain.Terdakwa melakukan perjudian jenis togel dengan cara terdakwa menulis nomor-nomor pasangan pemain dalam buku rekapan yang sudah disediakan sebelumnya, selanjutnya orang-orang yang memasang menyerahkan uang taruhannya kepada terdakwa dan ada sebagian pemain yang mengirimkan melalui SMS ke nomor handphone terdakwa. Terdakwa selanjutnya menulis di buku rekapan, kemudian sekitar jam 15.30 WIB nomor-nomor pasangan pemain yang sudah direkap dan uang taruhan atau uang pasangan pemain diantar kepada Sdr.SITUMEANG (DPO) di Jl. Kampung Makassar Kelurahan Kramat Jati Kecamatan Makasar Jakarta Timur (di depan pasar rio) yang merupakan pengepul judi togel yang diselenggarakan oleh terdakwa.
63
Selanjutnya sekitar jam 17.30 WIB SITUMEANG selaku pengepul mengirimkan SMS kepada terdakwa yang berisi nomor yang dikeluarkan oleh bandar selanjutnya terdakwa mendatangi SITUMEANG untuk mengambil hadiah atau uang hadiah atau uang yang harus dibayarkan kepada pemain atas kemenangannya lalu terdakwa menyerahkan uang yang harus dibayarkan kepada pemain atas kemenangannya lalu terdakwa menyerahkan uang kepada pemain yang nomor tebakannya keluar. Terdakwa melakukan perjudian togel tersebut agar terdakwa mendapatkan uang komisi sebesar 20% dari total omset yang berhasil dikumpulkan oleh terdakwa setiap harinya dari Sdr. SITUMEANG (DPO) selaku pengepul sebesar Rp 160.000,- (seratus enam puluh ribu rupiah) s/d Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) dan kalau pemain yang menang terdakwa juga mendapatkan komisi. Omset taruhan yang bisa terdakwa kumpulkan setiap harinya adalah sekitar Rp 800.000,- (delapan ratus ribu rupiah) s/d 1.000.000,(satu juta rupiah). Untuk para pemain mengeluarkan uang taruhan paling kecil sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah) untuk tiap nomor yang dipasang oleh pemain sedangkan taruhan yang paling besar tidak dibatasi sesuai dengan keinginan pemain. Terdakwa melakukan perjudian jenis togel tersebut tidak memiliki ijin dari pihak berwenang.
64
b. Barang-barang bukti Di persidangan penuntut umum juga telah mengajukan barang bukti dalam perkara ini yaitu berupa: -
1 (satu) lembar rekapan togel;
-
5 (lima) lembar print out SMS;
-
1 (satu) unit HP Merk Asiafone berikut simcardnya nomor 089658501828 dan 081319026973;
-
Uang tunai sebesar Rp 354.000( tiga ratus lima puluh empat ribu rupiah);
5. Tuntutan Penuntut Umum Tuntutan pidana penuntut umum bahwa perbuatan terdakwa telah memenuhi seluruh unsur Pasal 303 ayat (1) ke-2 KUHP dan mohon agar Majelis Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Timur yang memeriksa dan mengadili perkara ini memutuskan: 1) Menyatakan Terdakwa FIRDAUS als OBER als BUYUNG Bin. HASAN BASRI terbukti bersalah melakukan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam pidana dalam Pasal 303 ayat (1) ke-2 KUHP, sebagaimana dalam dakwaan Kedua. 2) Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa FIRDAUS als OBER als BUYUNG Bin. HASAN BASRI dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun dan 6 (enam) bulan, dikurangi masa tahanan sementara dengan perintah terdakwa tetap ditahan. 3) Menyatakan barang bukti berupa :
65
- 1 (satu) lembar rekapan togel; - 5 (lima) lembar print out SMS; - 1 (satu) unit HP Merk Asiafone berikut simcardnya nomor 089658501828 dan 081319026973; - Uang tunai sebesar Rp 354.000( tiga ratus lima puluh empat ribu rupiah); 4) Menyatakan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 2.000,- (dua ribu rupiah). 6. Putusan Pengadilan a. Dasar Pertimbangan Hukum Hakim Menimbang, bahwa karena dakwaan Jaksa Penuntut Umum disusun secara subsidairitas, oleh karenanya Majelis Hakim akan mempertimbangkan dakwaan Kesatu terlebih dahulu, apabila dakwaan Kesatu tidak terbukti, maka akan dipertimbangkan dakwaan selanjutnya. Menimbang, bahwa dakwaan kesatu melanggar Pasal 303 ayat (1) ke-1 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1. Barang siapa; 2. Dengan sengaja menawarkan atau memberikan kesempatan untuk permainan judi dan menjadikannya sebagai pencarian, atau dengan sengaja turut serta dalam suatu perusahaan untuk itu; Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa, serat dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan dipersidangan, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa oleh
66
karena salah satu unsur dari dakwaan Kesatu tidak terbukti, maka unsur lainnya tidak perlu dipertimbangkan lagi, dan terdakwa harus dibebaskan dari dakwaan Kesatu tersebut; Menimbang,
bahwa
selanjutnya
Majelis
Hakim
akan
mempertimbangkan unsur dakwaan Kedua yaitu melanggar Pasal 303 ayat (1) ke-2 KUHP, yang unsur-unsurnya adalah sebagai berikut: 1. Barang siapa; 2. Dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu, dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya sesuatu syarat atau dipenuhinya sesuatu tata-cara; Ad.1. Unsur Barang Siapa Menimbang, bahwa yang dimaksud dengan barang siapa adalah setiap orang selaku subyek hukum yang diduga atau disangka telah melakukan perbuatan yang dapat di hukum atas perbuatannya dan orang tersebut harus mampu bertanggung jawab atas perbuatannya ; Bahwa dalam hukum pidana rumusan kata barang siapa atau setiap orang adalah menunjuk kepada subyek hukum. Bahwa setiap subyek hukum melekat erat kemampuan bertanggung jawab yaitu hal – hal atau keadaan yang dapat mengakibatkan orang yang telah melakukan sesuatu yang tegas dilarang dan diancam dengan hukuman oleh Undang –Undang yang dapat dihukum, sehingga seseorang sebagai subyek hukum untuk
67
dapat dihukum harus memiliki kemampuan bertanggung jawab atas perbuatannya ; Bahwa memperhatikan pengertian tersebut diatas dihubungkan dengan fakta –fakta yang terungkap dalam persidangan, berdasarkan keterangan saksi – saksi dan Terdakwa telah membenarkan identitasnya, dan selama persidangan Terdakwa FIRDAUS Als OBER Als BUYUNG BIN HASAN BASRI mampu bertanggung jawab secara hukum dan dalam diri Terdakwa tidak ditemukan alasan yang dapat menghapus pertanggung jawaban pidana; Maka dengan demikian unsur ke satu terpenuhi Ad.2. Unsur Tanpa mendapat ijin dengan sengaja menawarkan atau memberi kesempatan kepada khalayak umum untuk bermain judi atau dengan sengaja turut serta dalam perusahaan untuk itu dengan tidak peduli apakah untuk menggunakan kesempatan adanya suatu syarat atau dipenuhinya suatu tata cara ; Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa, serta dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan dipersidangan, maka didapat fakta hukum yaitu : Bahwa benar terdakwa ditangkap oleh Polisi berpakaian preman dari Polda Metro Jaya pada hari Kamis tanggal 06 Desember 2012 sekitar jam 10.30 WIB di Jl. Wisma Harun Kelurahan Kebon Pala Kecamatan Makassar Jakarta Timur karena melakukan perjudian judi togel.
68
Bahwa benar barang bukti yang disita dari tangan terdakwa berupa 1 (satu) buah rekapan nomor-nomor judi togel, 1 (satu) buah HP Asiafone dan uang tunai sebesar Rp 354.000,- (tiga ratus lima puluh empat ribu rupiah) adalah uang pasangan dari pemain.Terdakwa melakukan perjudian jenis togel dengan cara terdakwa menulis nomor-nomor pasangan pemain dalam buku rekapan yang sudah disediakan sebelumnya, selanjutnya orang-orang yang memasang menyerahkan uang taruhannya kepada terdakwa dan ada sebagian pemain yang mengirimkan melalui SMS ke nomor handphone terdakwa. Terdakwa selanjutnya menulis di buku rekapan, kemudian sekitar jam 15.30 WIB nomor-nomor pasangan pemain yang sudah direkap dan uang taruhan atau uang pasangan pemain diantar kepada Sdr.SITUMEANG (DPO) di Jl. Kampung Makassar Kelurahan Kramat Jati Kecamatan Makasar Jakarta Timur (di depan pasar rio) yang merupakan pengepul judi togel yang diselenggarakan oleh terdakwa. Selanjutnya sekitar jam 17.30 WIB SITUMEANG selaku pengepul mengirimkan SMS kepada terdakwa yang berisi nomor yang dikeluarkan oleh bandar selanjutnya terdakwa mendatangi SITUMEANG untuk mengambil hadiah atau uang hadiah atau uang yang harus dibayarkan kepada pemain atas kemenangannya lalu terdakwa menyerahkan uang yang harus dibayarkan kepada pemain atas kemenangannya lalu terdakwa menyerahkan uang kepada pemain yang nomor tebakannya keluar. Bahwa benar terdakwa melakukan perjudian togel tersebut agar terdakwa mendapatkan uang komisi sebesar 20% dari total omset yang
69
berhasil
dikumpulkan
oleh
terdakwa
setiap
harinya
dari
Sdr.
SITUMEANG (DPO) selaku pengepul sebesar Rp 160.000,- (seratus enam puluh ribu rupiah) s/d Rp 200.000,- (dua ratus ribu rupiah) dan kalau pemain yang menang terdakwa juga mendapatkan komisi. Bahwa benar omset taruhan yang bisa terdakwa kumpulkan setiap harinya adalah sekitar Rp 800.000,- (delapan ratus ribu rupiah) s/d 1.000.000,- (satu juta rupiah). Bahwa benar untuk para pemain mengeluarkan uang taruhan paling kecil sebesar Rp 1.000,- (seribu rupiah) untuk tiap nomor yang dipasang oleh pemain sedangkan taruhan yang paling besar tidak dibatasi sesuai dengan keinginan pemain. Bahwa benar terdakwa melakukan perjudian jenis togel tersebut tidak memiliki ijin dari pihak berwenang. Maka dengan demikian unsur ke dua telah terpenuhi ; Menimbang, bahwa berdasarkan keterangan saksi-saksi dan keterangan terdakwa, serta dihubungkan dengan barang bukti yang diajukan dipersidangan, maka Majelis Hakim berpendapat bahwa terdakwa telah melakukan perbuatan yang memenuhi semua unsur dari Pasal 303 ayat (1) ke-2 KUHP, dalam Dakwaan Kedua; Menimbang, bahwa karena itu terdakwa dinyatakan terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Ikut serta main judi di jalan umum, atau dipinggir jalan umum, atau ditempat yang dapat dikunjungi umum”;
70
Menimbang, bahwa Majelis Hakim dalam persidangan tidak menemukan adanya alasan pemaaf atau alasan pembenar dan terdakwa dapat dipertanggung jawabkan atas perbuatan yang telah dilakukan, karena itu terdakwa harus dijatuhi pidana; Menimbang, bahwa karena terdakwa berada dalam tahanan, maka masa penahanan yang telah dijalani terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan dan memerintahkan pula agar terdakwa tetap berada dalam tahanan; Menimbang, bahwa mengenai barang bukti yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum dipersidangan akan ditetapkan dalam amar putusan dibawah ini; Menimbang, bahwa karena terdakwa dinyatakan bersalah, maka terdakwa dibebani untuk membayar biaya perkara ini; Menimbang, bahwa sebelum terdakwa dijatuhi pidana perlu dipertimbangkan hal-hal yang memberatkan dan meringankan: Hal-hal yang memberatkan: -
Perbuatan terdakwa bertentangan dengan peraturan perundangundangan;
-
Perbuatan terdakwa meresahkan masyarakat;
Hal-hal yang meringankan: -
Terdakwa mengakui terus terang dan menyesali perbuatannya serta terdakwa berjanji tidak akan mengulangi perbuatannya;
-
Terdakwa belum pernah dihukum;
71
Menimbang, bahwa mempertimbangkan segala sesuatu yang termuat dalam Berita Acara Sidang perkara ini dianggap merupakan bagian yang tidak terlepas dari putusan ini; Mengingat, Pasal 303 ayat (1) ke-2 KUHP serta pasal-pasal dari peraturan lainnya yang bersangkutan; b. Amar putusan Pengadilan 1. Menyatakan Terdakwa FIRDAUS Als OBER Als BUYUNG BIN HASAN BASRI tersebut telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “Perjudian”; 2. Menjatuhkan pidana oleh karena itu dengan pidana penjara selama 1 (satu) tahun; 3. Menyatakan masa penahanan yang telah dijalani oleh terdakwa dikurangkan seluruhnya dari pidana yang dijatuhkan; 4. Menetapkan terdakwa tetap dalam tahanan; 5. Menyatakan bukti berupa: - 1 (satu) lembar rekapan togel; - 5 (lima) lembar print out SMS; - 1 (satu) unit HP Merk Asiafone berikut simcardnya nomor 089658501828 dan 081319026973; “Dirampas untuk dimusnahkan” - Uang tunai sebesar Rp 354.000( tiga ratus lima puluh empat ribu rupiah); “Dirampas untuk Negara”
72
6. Menyatakan supaya terdakwa dibebani membayar biaya perkara sebesar Rp 2.000,- (dua ribu rupiah).
B. Pembahasan 1. Short Message Service (SMS) dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam pembuktian tindak pidana perjudian Pemeriksaan suatu perkara pidana di dalam suatu proses peradilan pada hakekatnya adalah bertujuan untuk mencari kebenaran materiil terhadap perkara tersebut. Proses pencarian kebenaran materiil tersebut melalui tahapan-tahapan tertentu yaitu dimulai dari tindakan penyelidikan, penyidikan, penuntutan dan pemeriksaan di sidang pengadilan untuk menentukan lebih lanjut putusan apa yang akan diambil.Putusan yang akan diambil oleh hakim itu sendiri didasarkan pada kebenaran materiil yang tepat dan berlaku menurut ketentuan perundang-undangan. Usaha-usaha yang dilakukan untuk mencari kebenaran materiil suatu perkara pidana dimaksudkan untuk menghindari adanya kekeliruan dalam penjatuhan pidana terhadap diri seseorang, hal ini sebagaimana ditentukan dalam Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman Pasal 6 ayat (2) yang menyatakan : “Tiada seorang pun dapat dijatuhi pidana, kecuali apabila pengadilan karena alat pembuktian yang sah menurut UndangUndang, mendapat keyakinan bahwa seseorang yang dianggap dapat bertanggung jawab, telah bersalah atas perbuatan yang didakwakan atas dirinya”.
73
Dengan adanya ketentuan perundang-undangan tersebut, maka dalam proses penyelesaian perkara pidana, penegak hukum wajib mengusahakan pengumpulan bukti maupun fakta mengenai perkara pidana yang ditangani dengan selengkap mungkin. Oleh karena itu, diperlukanlah proses pembuktian. Pembuktian merupakan bagian yang sangat penting pada pemeriksaan perkara dalam sidang pengadilan, dikarenakan pembuktian berisi ketentuan-ketentuan berupa pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan oleh undang-undang untuk membuktikan kesalahan terdakwa. M.
Yahya
Harahap50,
mengemukakan
pendapatnya
mengenai
pembuktian sebagai berikut: “Pembuktian adalah ketentuan-ketentuan yang berisi penggarisan dan pedoman tentang cara-cara yang dibenarkan undang-undang membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Pembuktian juga merupakan ketentuan yang mengatur alat-alat bukti yang dibenarkan undang-undang yang boleh dipergunakan hakim membuktikan kesalahan yang didakwakan.” Pendapat di atas menjelaskan bahwa pembuktian merupakan proses yang terjadi di dalam sidang pengadilan untuk menentukan bersalah atau tidaknya terdakwa berdasarkan dakwaan yang diajukan penuntut umum. Hakim dalam melaksanakan tugasnya untuk mengadili segala perkara tindak pidana yang dilakukan di daerah hukumnya mempertimbangkan hal-hal yang berhubungan dengan terjadinya tindak pidana tersebut, sehingga hakim secara arif dan bijaksana menentukan alat-alat bukti yang secara limitatif telah ditentukan oleh undang-undang yang dengan alat-alat
50
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 273.
74
bukti tersebut hakim memperoleh keyakinan bahwa terdakwa secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan suatu tindak pidana yang didakwakan kepadanya. Sedangkan tujuan atau fungsi hukum acara pidana, menurut Hibnu Nugroho adalah: 1. Sebagai sarana untuk mencari suatu kebenaran materiil dari suatu tindak pidana yang terjadi; 2. Menemukan orang yang diduga sebagai pelaku tindak pidana; 3. Meminta pengadilan untuk memuutuskan bersalah atau tidaknya tersangka; dan 4. Melaksanakan dan kemudian mengawasi pelaksanaan dari putusan tersebut.51 Dalam pembuktian, agar dapat tercapai kebenaran materiil diharuskan adanya syarat kebenaran materiil untuk dapat menghukum seseorang. Suatu tindak pidana benar-benar dapat dibuktikan, dengan adanya bukti yang sempurna, yaitu bukti yang sah dan menyakinkan. Alat bukti yang sah dalam hukum acara pidana, diatur dalam pasal 184 KUHAP. Yang dimaksud dengan alat bukti adalah : “segala sesuatu yang ada hubungannya dengan suatu perbuatan, dimana dengan alat-alat bukti tersebut, dapat dipergunakan sebagai bahan pembuktian guna menimbulkan keyakinan hakim atas kebenaran adanya suatu tindak pidana yang telah dilakukan terdakwa.”52 Berdasarkan sistem pembuktian yang dianut oleh Indonesia yaitu Sistem Pembuktian menurut Undang-Undang secara Negatif (negatief wettelijk bewijstheorie) yang dipertegas dalam ketentuan Pasal 183 KUHAP yang dirumuskan : 51
Hibnu Nugroho, Op.cit. Hlm. 32. Hari Sasangka dan Lily Rosita, Op.Cit, hlm.11.
52
75
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar- benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Dengan demikian, untuk menjatuhkan pidana kepada terdakwa hakim harus memenuhi hal-hal yaitu minimal dua alat bukti yang sah dan adanya keyakinan hakim akan terjadinya tindak pidana dan terdakwalah yang bersalah melakukannya. Perkembangan teknologi informasi membawa manusia kepada era globalisasi yang memberikan kebebasan setiap orang di dunia untuk saling bersosialisasi dengan siapapun dan di manapun mereka berada. Kemajuan teknologi dan informasi telah melahirkan berbagai dampak, baik dampak positif ataupun dampak negative, karena di satu sisi memberikan kontribusi bagi peningkatan kesejahteraan, kemajuan dan peradaban manusia, namun di sisi lain menjadi sarana efektif perbuatan melanggar hukum. Teknologi informasi dan komunikasi juga telah mengubah perilaku dan pola hidup masyarakat secara global dan menyebabkan dunia tanpa batas (borderless). Serta menimbulkan perubahan di berbagai kehidupan khususnya tentang tindak pidana. Pada
kasus
tindak
pidana
perjudian
pada
Putusan
No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM obyek penelitian adalah alat bukti berupa SMS yang digunakan sebagai sarana oleh terdakwa untuk melakukan tindak pidana perjudian. Bukti SMS tidak diatur sebagai alat bukti dalam pembuktian suatu tindak pidana, karena Pasal 184 KUHAP
76
tidak mengatur mengenai alat bukti elektronik untuk dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam proses persidangan. Pada ketentuan Pasal 184 ayat (1) KUHAP menjelaskan tentang apa saja yang menjadi alat bukti yang sah menurut Hukum Acara Pidana yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, dan keterangan terdakwa. Pengertian surat menurut Asser-Anema 53, surat-surat ialah segala sesuatu yang mengandung tanda-tanda baca yang dapat dimengerti, dimaksud untuk mengeluarkan pikiran. Sedangkan dalam KUHAP, surat dijelaskan pada Pasal 187 KUHAP sebagaimana pada Pasal 184 ayat (1) huruf c, dibuat atas sumpah jabatan atau dikuatkan dengan sumpah, adalah: a. Berita acara dan surat lain dalam bentuk resmi yang dibuat oleh pejabat umum yang berwenang atau yang dibuat dihadapannya, yang memuat keterangan tentang kejadian atau keadaan yang didengar, dilihat atau yang dialaminya sendiri disertai dengan alasan yang jelas dan tegas tentang keterangan itu; b. Surat yang dibuat menurut ketentuan peraturan perundangundangan atau surat yang dibuat oleh pejabat mengenai hal yang termasuk dalam tata laksana yang menjadi tanggung jawabnya dan yang diperuntukkan bagi pembuktian sesuatu hal atau sesuatu keadaan; c. Surat keterangan dari seorang ahli yamng memuat pendapat berdasarkan keahliannya mengenai sesuatu hal atau sesuatu keadaan yang diminta secara resmi daripadanya; d. Surat lain yang hanya dapat berlaku jika ada hubungannya dengan isi dan alat pembuktian yang lain”. Dari ketentuan pasal diatas, SMS bisa di kategorikan sebagai surat pada poin d yaitu sebagai “Surat Lain”. Pada poin tersebut dijelaskan
53
Andi Hamzah, Op.cit, hlm. 276.
77
bahwa surat tersebut harus mempunyai hubungan dengan alat pembuktian lain sehingga dalam hal ini hasil cetak SMS bernilai sebagai alat bukti penunjang saja. Alat bukti surat lain harus mempunyai hubungan dengan alat bukti lain agar mempunyai nilai kekuatan pembuktian yang artinya alat bukti surat lain harus didukung oleh alat bukti lainnya sehingga isi dari surat lain mempunyai hubungan dengan alat bukti lain. Dengan demikian barulah dikatakan surat itu berlaku dan dinilai sebagai alat bukti surat.54 Kekuatan pembuktian alat bukti surat memiliki “bukan alat bukti yang mempunyai kekuatan mengikat”, sehingga alat bukti surat itu tidak melekat kekuatan pembuktian yang mengikat. Nilai kekuatan pembuktian alat bukti surat, sama halnya dengan nilai pembuktian keterangan saksi dan alat bukti keterangan ahli, sama-sama mempunyai nilai pembuktian yang bersifat bebas. SMS juga bisa dijadikan sebagai alat bukti petunjuk. Adapun mengenai alat bukti petunjuk, sebagaimana diatur dalam Pasal 188 KUHAP di jelaskan bahwa : (1) Petunjuk adalah perbuatan, kejadian atau keadaan, yang karena persesuaiannya, baik antara yang satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. (2) Petunjuk sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) hanya dapat diperoleh dari : 1. Keterangan saksi; 2. Surat; 3. Keterangan terdakwa. (3) Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilaksanakan oleh hakim dengan arif
54
M. Yahya Harahap, Op.cit, hlm. 309
78
lagi bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Alat bukti petunjuk dalam persidangan dilihat dari persesuaian antara alat bukti satu dengan yang lainnya sehingga hakim memperoleh gambaran mengenai proses terjadinya tindak pidana dan penyebab terjadinya tindak pidana. Sumber dari alat bukti petunjuk diperoleh hakim dengan memperhatikan alat bukti yang lain sehingga diperoleh persesuaian antara perbuatan, kejadian, atau keadaan yang sebenarnya sehingga menimbulkan suatu akibat-akibat hukum. Oleh karena itu alat bukti petunjuk dapat diketahui adanya suatu pemikiran tentang adanya suatu persesuaian antara kenyataan satu dengan kenyataan yang lain atau antara suatu kenyataan dengan tindak pidananya sendiri. Dalam hal ini SMS dapat dijadikan sebagai alat bukti petunjuk apabila memberikan suatu isyarat tentang suatu kejadian dimana isi dari SMS tersebut mempunyai persesuaian antara kejadian yang satu dengan yang lain dimana isyarat yang tersebut melahirkan suatu petunjuk yang membentuk kenyataan terjadinya suatu tindak pidana dan terdakwalah pelakunya. Petunjuk merupakan alat bukti yang tidak langsung (Circumtantial evidence) yang sifatnya untuk melengkapi yang artinya petunjuk bukanlah alat bukti yang mandiri karena petunjuk didapat dari keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Hakim dalam menilai alat bukti petunjuk harus menghubungkan suatu alat bukti dengan alat bukti yang lainnya dan harus melihat persesuaian dengan alat bukti yang lain sehingga hakim dapat mengambil suatu kesimpulan.
79
SMS bisa juga dijadikan sebagai alat bukti berupa Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik. Setelah berlakunya UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ada perluasan mengenai alat bukti dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 5 ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik : (1) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (2) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Melihat isi dari Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, SMS dalam hal ini dapat dikatakan sebagai sebuah informasi elektronik. SMS bisa dijadikan sebagai alat bukti di dalam persidangan sepanjang SMS itu ada keterkaitan hubungan dengan bukti-bukti yang lain, sehingga dapat berfungsi sebagai alat bukti. SMS bisa dijadikan sebagai alat bukti surat yaitu dengan cara SMS tersebut di print out-kan (hasil cetaknya) dari provider yang bersangkutan. Pengertian Informasi Elektronik termuat pada Pasal 1 UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik : “Informasi Elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, electronic data interchange (EDI), surat elektronik
80
(electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, Kode Akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.” Agar Informasi Elektronik merupakan alat bukti hukum yang sah. Maka harus memenuhi syarat formil dan syarat materiil suatu alat bukti. Alat bukti elektronik yang dihadirkan pada persidangan harus terjamin keutuhannya sehingga alat bukti elektronik dapat diakses, ditampilkan, dijamin keutuhannya, dan dapat dipertanggungjawabkan yang dapat menerangkan suatu keadaan. Alasan perlunya alat bukti yang dihadirkan dalam suatu proses pembuktian di pengadilan bersifat otentik, yaitu: 1. Agar dapat dipastikan bahwa tidak terdapat perubahan/perbedaan terhadap alat bukti tersebut. Perbedaan dengan alat bukti yang sesungguhnya dapat memberikan nilai dan arah pembuktian yang berbeda. 2. Agar terhindar dari pembuktian terhadap objek yang berbeda dengan seharusnya yang dibuktikan. 55 Alat bukti SMS termasuk dalam bukti demonstratif. Alat bukti demonstratif agar dapat diterima sebagai suatu bukti hukum harus harus terpenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Harus Ada Alat Bukti Lain Alat bukti demonstratif lebih merupakan peragaan diruang pengadilan terhadap bukti tertentu sehingga alat bukti lain, yaitu alat bukti yang diperagakan/ditiru tersebut harrus tersedia. Contoh: Jika seseorang menunjukkan sebuah foto mobil di pengadilan sebagai bukti demonstratif, mobil tersebut harus ada atau pernah ada. 2. Keakuratan yang Representatif Bukti demonstratif yang dipertunjukkan di pengadilan harus akurat dengan alat bukti yang diwakilinya. Akurat artinya harus sama besarnya atau akurat skalanya, sama dimensinya, dan sama bentuknya. Pembesaran yang berlebih-lebihan atau bentuknya yang diubah sehingga berbeda dengan objek yang direpresentasikan tanpa suatu maksud khusus, dapat menimbulkan misleading dan menimbulkan 55
Munir Fuady, Op.cit., hlm.189.
81
3.
4.
5.
6.
kesan yang berlebih-lebihan sehingga harus ditolak sebagai bukti demonstratif. Otentikasi Bukti demonstratif harus otentik dengan alat bukti yang direpresentasikan. Otentik di sini adalah bahwa alat bukti yang diperagakan di pengadilan harus menunjukkan/menggambarkan alat bukti yang sebenarnya yang direpresentasikan. Identifikasi Yang diperagakan di pengadilan sebagai alat bukti demonstratif harus sama persis (matching) dengan alat bukti sebenarnya yang direpresentasikan. Admisability Suatu bukti demonstratif harus memenuhi syarat admission sebagai alat bukti di pengadilan. Dalam ilmu hukum pembuktian diajarkan bahwa agar suatu alat bukti dapat lulus dalam admission test, harus dipenuhi persyaratan sebagai berikut: a. Relevancy b. Materiality (siginificant) c. Competency Keseimbangan (balancing) Alat bukti demonstratif mempunyai efek positif di samping efek negatif. Efek positif yang paling penting tentu saja memperjelas yang akan dibuktikan tersebut. Adapun efek negatifnya akan menimbulkan misleading, lebih memancing emosional daripada rasional, membuangbuang waktu, dan lain-lain. Pembuktian terhadap suatu alat bukti berupa data elektronik juga
menyangkut aspek validitas yang dijadikan alat bukti, karena bukti elektronik mempunyai karakteristik khusus dibandingkan bukti nonelektronik, karakteristik khusus tersebut karena bentuknya yang disimpan dalam media elektronik, disamping itu bukti elektronik dapat dengan mudah direkayasa sehingga sering diragukan validitasnya.56 Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008, suatu informasi elektronik/dokumen elektronik dinyatakan sah untuk dijadikan alat bukti dalam pembuktian perkara pidana apabila menggunakan sistem elektronik 56
Yudhistira, dkk, Kekuatan Surat Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Persidangan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana, http://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/ download/4347/3302 (diakses 14 November 2013), hlm. 3.
82
yang sesuai dengan ketentuan yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tersebut, yaitu sistem elektronik yang andal dan aman, serta memenuhi persyaratan minimum sebagai berikut: 1.
2.
3. 4.
5.
Dapat menampilkan kembali informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik secara utuh sesuai dengan masa retensi yang ditetapkan dengan Peraturan Perundang-undangan; Dapat melindungi ketersediaan, keutuhan, keotentikan, kerahasiaan, dan keteraksesan informasi elektronik dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; Dapat beroperasi sesuai dengan prosedur atau petunjuk dalam penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; Dilengkapi dengan prosedur atau petunjuk yang diumumkan dengan bahasa, informasi, atau simbol yang dapat dipahami oleh pihak yang bersangkutan dengan penyelenggaraan sistem elektronik tersebut; Memiliki mekanisme yang berkelanjutan untuk menjaga kebaruan, kejelasan, dan kebertanggungjawaban prosedur atau petunjuk. 57 Jadi dalam hal ini menurut analisa tersebut, SMS bisa dijadikan
sebagai alat bukti dalam pembuktian perkara pidana dimana SMS bisa dikategorikan sebagai alat bukti surat atau alat bukti petunjuk atau juga dapat digunakan sebagai alat bukti informasi elektronik. Untuk menentukan termasuk alat bukti yang mana SMS tersebut, hal itu tergantung dari peranan hakim dalam memberikan keyakinannya (Conviction-Raisonee) tentang suatu perkara dalam persidangan.Untuk menjadikannya sebagai alat bukti petunjuk, maka disini dituntut peranan Hakim untuk dapat menggunakan suatu metode penafsiran (interpretasi)
57 Ivan Giovani Sembiring, Tinjauan Yuridis Tentang Pengaturan dan Kedudukan Internet Protokol Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Kejahatan Mayantara (Cyber Crime), http://jurnal.usu.ac.id/index.php/jmpk/article/viewFile/3782/1789, (diakses 14 November 2013), hlm. 6-7.
83
terhadap
ketentuan
peraturan
perundang-undangan,
yaitu
dengan
menggunakan Interpretasi ekstensif (perluasan).58
2.
Kekuatan pembuktian alat bukti Short Message Service (SMS) dalam pembuktian tindak pidana perjudian dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana menjamin tegaknya kebenaran, keadilan dan kepastian hukum bagi seseorang, dalam pemeriksaan atas terdakwa, hakim senantiasa berpedoman pada sistem pembuktian yang tuliskan Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang berbunyi : “Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.” Pembuktian merupakan proses yang terjadi di sidang pengadilan untuk menentukan apakah terdakwa bersalah atau tidak berdasarkan dakwaan yang diajukan oleh Jaksa Penuntut Umum. Yang dimaksud dengan pembuktian Menurut Edmon Makarim 59, adalah : “Pada hakekatnya pembuktian di mulai sejak diketahui adanya suatu peristiwa hukum. Namun perlu di ketahui bahwa tidak semua peristiwa hukum terdapat unsur-unsur pidana (bukti awal telah terjadi tindak pidana) maka barulah proses tersebut di mulai dengan mengadakan penyelidikan, penuntutan, dan persidangan dan seterusnya. Pembuktian merupakan suatu upaya untuk membuktikan kebenaran dari isi surat dakwaan yang disampaikan
58 Liga Sabina Luntungan, Keabsahan Alat Bukti Short Message Service (SMS) dan Surat Elektronik Dalam Kasus Pidana, 2013, https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/download/1572/1264, Hal. 136. 59 Edmon Makarim, Op.cit, hal.419
84
oleh jaksa penuntut umum, yang gunanya memperoleh kebenaran sejati (materiil).”
adalah untuk
Tindak pidana benar-benar dapat dibuktikan, dengan adanya bukti yang sah dan menyakinkan. Dan membuktikan sesuatu menurut hukum pidana berarti menunjukkan hal-hal
yang dapat ditangkap
oleh
pancaindera, mengutarakan hal-hal tersebut dan berpikir secara logika, hal ini karena hukum pidana hanya mengenal pembuktian yang dapat diterima oleh akal sehat berdasarkan peristiwa yang konkrit. Beberapa ketentuan hukum acara pidana telah mengatur mengenai beberapa alat bukti yang sah dan meyakinkan seperti dalam Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang menyatakan bahwa : “Alat bukti yang sah ialah: 1. Keterangan saksi; 2. Keterangan ahli; 3. Surat; 4. Petunjuk; 5. Keterangan terdakwa”. Pembuktian dalam perkara pidana memerlukan adanya alat bukti yang sah sesuai dengan isi dari Pasal 184 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana. Dan Hakim dalam menjatuhkan putusan pidana harus berdasarkan pada Pasal 183 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana yang intinya mendasarkan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah yang dapat membentuk keyakinan hakim tentang kesalahan
terdakwa.
Dan
terbentuknya
keyakinan
hakim
dalam
85
menjatuhkan putusan pidana didasarkan pada hasil pemeriksaan alat-alat bukti yang dikemumakakan pada proses persidangan. Setelah berlakunya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, ada perluasan mengenai alat bukti dalam hukum acara yang berlaku di Indonesia. Menurut ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (3) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah. (4) Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia. Dalam kasus ini kekuatan pembuktian alat bukti SMS merupakan sebagai alat bukti yang sah pada Putusan No.247/Pid.B/2013/PN.JKT. TIM. Pada prinsipnya dalam melakukan penilaian terhadap alat bukti yang dihadirkan di persidangan, hakim tidak terikat pada nilai kekuatan alat bukti yang ada artinya bahwa hakim dalam memeriksa alat bukti, bebas dalam menilai kebenaran dari alat bukti tersebut dan hakim juga dapat menerima atau menyingkirkan alat bukti yang dihadirkan dalam persidangan. Penilaian alat bukti yang dilakukan oleh hakim haruslah sesuai dengan asas minimum pembuktian dan keyakinan hakim sesuai dengan ketentuan Pasal 183 KUHAP. Dari ketetentuan pasal diatas harus ada minimal dua alat bukti yang sah dan hakim memperoleh keyakinan akan kesalahan terdakwa. Alat bukti yang dihadirkan pada persidangan ini ialah keterangan saksi, surat,
86
petunjuk dan keterangan terdakwa. Mengenai pembuktian dengan alat bukti SMS, proses pembuktian yang melibatkan berbagai hal terkait teknologi informasi seperti informasi dan atau dokumen elektronik tetap mendasarkan pada ketentuan pembuktian sebagaimana diatur dalam KUHAP serta peraturan perundang-undangan lainnya seperti UndangUndang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik. Alat-alat bukti tersebut merupakan perluasan dari alat-alat bukti sebagaimana diatur dan berlaku dalam hukum acara, khususnya hukum acara pidana, yakni sesuai ketentuan Pasal 184 KUHAP. Pada
kasus
perjudian
ini
pada
Putusan
No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM dari fakta persidangan yang ada yaitu pada hari Kamis tanggal 06 Desember 2012 sekitar jam 10.30 WIB di Jl. Wisma Harun Kelurahan Kebon Pala Kecamatan Makassar Jakarta Timur karena melakukan perjudian judi togel. Terdakwa melakukan perjudian jenis togel dengan cara terdakwa menulis nomor-nomor pasangan pemain dalam buku rekapan yang sudah disediakan sebelumnya yang berarti pemain secara langsung bertemu dengan terdakwa untuk membeli nomor togel. Lalu didapat juga fakta bahwa dalam melakukan perjudian togel tersebut pemain juga dapat tidak bertemu secara langsung dengan terdakwa melainkan sebagian pemain mengirimkan pesan melalui SMS ke nomor handphone terdakwa untuk membeli nomor togel yang dijual oleh terdakwa. Barang bukti yang disita dari tangan terdakwa berupa 1 (satu) buah rekapan nomor-nomor judi togel, 1 (satu) buah HP Asiafone dan
87
uang tunai sebesar Rp 354.000,- (tiga ratus lima puluh empat ribu rupiah) adalah uang pasangan dari pemain. Berdasarkan
Putusan
No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM
telah
diajukan barang bukti berupa 1 (satu) lembar rekapan togel, 5 (lima) lembar print out SMS, 1 (satu) unit HP Merk Asiafone berikut simcardnya nomor 089658501828 dan 081319026973, Uang tunai sebesar Rp 354.000( tiga ratus lima puluh empat ribu rupiah). Akan tetapi hasil print out SMS tersebut hanya berkedudukan sebagai alat bukti petunjuk. Dalam Pasal 188 ayat (1) KUHAP dijelaskan bahwa petunjuk diartikan sebagai perbuatan, kejadian atau keadaan yang karena penyesuaiannya, baik antara satu dengan yang lain, maupun dengan tindak pidana itu sendiri, menandakan bahwa telah terjadi suatu tindak pidana dan siapa pelakunya. Alat bukti petunjuk di dapat apabila ada persesuaian dengan (a) perbuatan, (b) kejadian, (c) keadaan, (d) delik, dan (e) subjek persona pelaku delik. 60 Petunjuk merupakan salah satu alat bukti yang diatur dalam Pasal 184 KUHAP. Petunjuk dalam KUHAP sebagai alat bukti yaitu harus diperoleh melalui keterangan saksi, surat maupun keterangan terdakwa, dan petunjuk tersebut merupakan perbuatan, kejadian atau keadaan yang memiliki persesuaian dan persesuaian dengan dengan tindak pidana itu sendiri yang menunjukkan adanya tindak pidana dan pelakunya. Kekuatan pembuktian alat bukti petunjuk mempunyai sifat kekuatan pembuktian yang bebas. Hakim tidak terikat atas kebenaran 60
Nikolas Simanjuntak, Op.cit, hal.271
88
persesuaian yang diwujudkan oleh petunjuk. Oleh karena itu hakim bebas menilainya dan mempergunakanya sebagai upaya pembuktian. Akan tetapi yang membedakan petunjuk dengan alat bukti lainnya adalah bahwa alat bukti petunjuk tidak dapat berdiri sendiri untuk membuktikan kesalahan terdakwa karena berdasarkan Pasal 188 ayat (2) KUHAP alat bukti petunjuk hanya dapat diperoleh dari keterangan saksi, surat, dan keterangan terdakwa. Oleh sebab itu dalam setiap penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dilakukan oleh hakim dengan arif dan bijaksana, setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.61 Namun untuk menentukan apakah bukti petunjuk berupa SMS ini dapat digunakan dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana, perlu dilihat penegasan Pasal 188 ayat (3) KUHAP yang menegaskan bahwa, “penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif lagi bijaksana setelah ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan kesaksamaan berdasarkan hati nuraninya.” Dengan demikian untuk menentukan bahwa bukti petunjuk memiliki kekuatan pembuktian dalam menyelesaikan suatu kasus tindak pidana maka faktor penilaian hakim menjadi penentu atas hal tersebut. Pembuktian di dalam petunjuk ini tidak dapat di kesampingkan begitu saja, karena alat bukti petunjuk ini sangat berperan dalam
61
Andi Hamzah, Op.cit, hal. 277.
89
memberikan gambaran pada hakim untuk memutuskan suatu perkara, di saat ala bukti yang ada tidak mampu membuat suatu perbuatan menjadi terang.62 Pada
kasus
perjudian
ini
pada
Putusan
No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM, alat bukti SMS ini digunakan sebagai sebuah petunjuk sebagai salah satu alat bukti yang sah sebagaimana diatur dalam Pasal 184 KUHAP, karena alat bukti petunjuk dianggap sah apabila diperoleh dari keterangan saksi, surat atau keterangan terdakwa, maka SMS ini merupakan alat bukti petunjuk sehingga terlihat jelas keabsahan dari alat bukti elektronik tersebut dan dapat diajukan sebagai alat bukti pada proses pembuktian sebuah perkara pidana. Oleh karena itu dapat disimpulkan bahwa SMS merupakan alat bukti yang sah dalam menjatuhkan pidana bagi terdakwa, akan tetapi dalam penjatuhan pidana tersebut harus sesuai dengan ketentuan minimum pembuktian sehingga alat bukti yang lain sangat diperlukan untuk memperkuat keyakinan hakim. Penilaian atas kekuatan pembuktian dari suatu petunjuk dalam setiap keadaan tertentu dilakukan oleh hakim dengan arif bijaksana, setala ia mengadakan pemeriksaan dengan penuh kecermatan dan keseksamaan berdasarkan hati nuraninya. Dari pernyataan tersebut maka dapat dikatakan bahwa petunjuk adalah merupakan alat bukti tidak langsung (Circumtantial evidence) yang berarti alat bukti petunjuk sebagai alat
62
Edmon Makarim, Op.cit, Hlm. 442.
90
pelengkap saja yang dapat diartikan petunjuk bukanlah alat bukti yang dapat berdiri sendiri karena didapat dari alat bukti lain yaitu keterangan saksi, surat dan keterangan terdakwa. Maka dalam penilaian dibutuhkan kebijaksanaan hakim dalam menilai alat bukti petunjuk dengan alat bukti lain ada suatu persesuaian satu sama lain. Keterangan para saksi-saksi dan terdakwa dan dari barang bukti yang disita oleh penyidik telah menunjukkan bahwa telah terjadi tindak pidana perjudian dengan cara menjual nomor Togel dengan sarana media elektronik berupa SMS. Dimana perjudian tersebut dilakukan tanpa mendapat ijin dari pihak yang berwenang dan dalam sidang pembuktian terdakwa mengaku telah melakukan perjudian menggunakan SMS dalam menjual nomor Togel yang dikuatkan juga berdasarkan alat bukti dan barang bukti yang ada di persidangan. Jadi kekuatan alat bukti SMS dalam tindak pidana perjudian Putusan No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM sebagai alat bukti petunjuk dimana alat bukti tersebut bukanlah alat bukti yang mandiri melainkan sebagai alat bukti pelengkap saja yang digunakan untuk memenuhi asas minimum pembuktian. Penilaian alat bukti petunjuk diserahkan kepada hakim secara arif dan bijaksana dalam menilai alat bukti tersebut.
91
BAB V PENUTUP A. Simpulan Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan serta telaah terhadap Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM maka penulis dapat merumuskan simpulan sebagai berikut : 1.
Alat Bukti berupa Short Message Service (SMS) dapat dijadikan sebagai alat bukti : a. SMS dapat berfungsi sebagai alat bukti “surat” dan atau alat bukti “petunjuk” serta dapat juga digunakan sebagai alat bukti informasi elektronik dalam pembuktian suatu tindak pidana. b. Dalam penilaian alat bukti Short Message Service (SMS) dikategorikan sebagai alat bukti yang mana hal tersebut tergantung dari
keyakinan
hakim
(Conviction-Raisonee)
dengan
menggunakan suatu penafsiran Interpretasi ekstensif (perluasan) terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan yang ada. 2.
Kekuatan alat bukti Short Message Service (SMS) dalam Putusan Pengadilan Negeri Jakarta Timur No.247/Pid.B/2013/PN.JKT.TIM merupakan alat bukti yang sah, yang mana alat bukti Short Message Service (SMS) tersebut hanya sebagai alat bukti petunjuk yang berarti alat bukti tersebut bukan alat bukti yang bersifat mandiri atau dapat berdiri sendiri melainkan harus di dukung adanya alat bukti lain untuk menguatkannya. Pada prinsipnya penilaian atas nilai kekuatan
92
pembuktian alat bukti petunjuk di serahkan pada hakim dengan penuh kecermatan dan keseksamaan dalam mengadakan pemeriksaan dan hakim haruslah arif dan bijakasana dalam menilai alat bukti petunjuk berdasarkan hati nuraninya.
B. Saran Seiring dengan perkembangan teknologi yang semakin maju, banyak kejahatan baru yang menggunakan pemanfaatan teknologi sebagai sarananya. Sebaiknya hal ini disertai dengan pengetahuan yang maju akan teknologi bagi aparat penegak hukum. Lahirnya Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagai tonggak awal diakuinya alat bukti elektronik sebagai alat bukti dalam persidangan. Sehingga seharusnya dalam penegakan hukum pada tindak pidana yang menggunakan teknologi sebagai sarananya, aparat penegak hukum bersedia menggunakan alat bukti elektronik sebagai alat bukti yang utama untuk mengungkap dan membuktikan suatu tindak pidana.
DAFTAR PUSTAKA Literatur : Amiruddin dan Zainal Asikin. Pengantar Metode Penelitian Hukum. Rajawali Pers. Jakarta. 2004. Arief, Barda Nawawi. Tindak Pidana Mayantara. PT RajaGrafindo Persada. Jakarta. 2006. Chazawi, Adam. 2002. Pelajaran Hukum Pidana Bagian 1. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada. Bakhri, Syaiful. Hukum Pembuktian dalam Praktek Peradilan Pidana. P3IH FH UMJ Total Media. Yogyakarta. 2009. Fuady, Munir. Teori Hukum Pembuktian: Pidana dan Perdata. PT. Citra Aditya. Bandung. 2012. Hamzah, Andi. Hukum Acara Pidana Indonesia. Sinar Grafika. Jakarta. 2008. ______.2009. Terminologi Hukum Pidana. Jakarta: Sinar Grafika. Harahap, M. Yahya. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika. Jakarta. 2001. ______. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Sinar Grafika. Jakarta. 2002. ______. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Sinar Grafika. Jakarta. 2004. ______. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali: Edisi Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. 2006. Ibrahim, Jhony. Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif. Banyumedia. Malang. 2005. Makarim, Edmon. Kompilasi Hukum Telematika. PT. Raja Grafindo Persada. Jakarta. 2004. Makarao, Mohammad Taufik & Suharsil. Hukum Acara Pidana: Dalam Teori dan Praktek. Ghalia Indonesia. Jakarta. 2004.
Marpaung, Leden. Proses Penanganan Perkara Pidana (Penyelidikan & Penyidikan) Bagian Pertama: Edisi Kedua. Sinar Grafika. Jakarta. 2009. Poernomo, Bambang. Orientasi Hukum Acara Pidana Indonesia. Amarta Buku. Yogyakarta. 1984. Prinst, Darwan. Hukum Acara Pidana Dalam Praktik. Djambatan. Jakarta. 2002. Remmelink, Jan. Hukum Pidana. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. 2003. R.M., Suharto. Penuntutan Dalam Praktek Peradilan. Sinar Grafika. Jakarta. 2004. Salam, Moch.Faisal. Hukum Acara Pidana Dalam Teori dan Praktek. Mandar Maju. Bandung. 2001. Sasangka, Hari dan Rosita, Lily. Hukum Pembuktian Dalam Perkara Pidana. Mandar Maju. Bandung. 2003. Simanjuntak, Nikolas. Acara Pidana Indonesia dalam Sirkus Hukum. Ghalia Indonesia. Bogor. 2009. Soeparmono, R. Keterangan Ahli & Visum Et Repertum dalam Aspek Hukum Acara Pidana. Mandar Maju. Bandung. 2002. Syahdeini, Sutan Remy. Kejahatan Tindak Pidana Komputer. Pustaka Utama Grafiti. Jakarta. 2009.
Peraturan Perundang-Undangan : Indonesia, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. ________, Undang-Undang Nomor Nomor 8 Tahun 1981 Tentang Kitab UndangUndang Hukum Acara Pidana (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1981 Nomor 76 Tambahan Lembaran Negara Nomor 3209). ________, Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2008 Nomor 58) ________, Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 157, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5076).
Sumber lain : http://dokumenku-coretanku.blogspot.com/2011/05/alat-bukti-dan-kekuatanpembuktian.html (diakses hari Rabu, tanggal 17 September 2013, pukul 11.45). http://www.ejournal-s1.undip.ac.id/index.php/dlr/article/download/1015/1036 (diakses hari Senin, 15 September 2013) Indriani, Santi. Tinjauan Yuridis Penegakan Hukum Terhadap Kejahatan Dunia Maya (Cyber Crime). Vol. 1 No. 2 Desember 2008 ISSN: 1979 – 0899XX http://jodfisipunbara.files.wordpress.com/2012/05/11-santi-oke-hal-8189.pdf, Hal. 60. (diakses tanggal 14 November 2013). Luntungan, Liga Sabina. Keabsahan Alat Bukti Short Message Service (SMS) dan Surat Elektronik Dalam Kasus Pidana. 2013. https://ejournal.unsrat.ac.id/index.php/lexcrimen/article/download/1572/126 4 (diakses hari Senin, 15 September 2013) Papu, Johanes. 2002. Sejarah & Jenis Perjudian. Jakarta. Dalam http://www.epsikologi.com/epsi/Sosial_detail.asp?id=279. (Diunduh pada tanggal 30 September 2013). Ro’is, Nur. Informasi Elektronik Sebagai Bukti dalam Perkara Pidana. Jurnal Ilmiah Dinamika Vol. 3 No. 6 Desember 2010 ISSN: 1979–0899X. http://jodfisipunbara.files.wordpress.com/2012/05/12-rois-oke-hal-90-96.pdf (diakses tanggal 14 November 2013).
Sembiring, Ivan Giovani. Tinjauan Yuridis Tentang Pengaturan dan Kedudukan Internet Protokol Sebagai Alat Bukti Dalam Tindak Pidana Kejahatan Mayantara (Cyber Crime). http://jurnal.usu.ac.id/index.php/jmpk/article/viewFile/3782/1789, (diakses tanggal 14 November 2013). Universitas Pembangunan Nasional “Veteran” Jakarta. (on-line). http://www.library.upnvj.ac.id/pdf/2s1hukum/205711002/bab3.pdf, diakses pada tanggal 7 Mei 2013. Witanto, D.Y. Problematika Penanganan Cyber Crime Dalam Perspektif Asas Teritorial di Indonesia. Jurnal Varia Peradilan No.321 Agustus 2012. Yudhistira, dkk. Kekuatan Surat Elektronik Sebagai Alat Bukti Dalam Persidangan Ditinjau Dari Hukum Acara Pidana. http://ojs.unud.ac.id/index.php/kerthawicara/article/download/4347/3302 (diakses 14 November 2013).