02 | Dapur Redaksi - September 2016
Dapur Redaksi kedataran Pantai hingga ketinggian Gunung.
Salam lestari! Salam hangat bagi kawankawan pembaca setia buletin Jantera, Edisi Berjalan tidak kalah menariknya dengan edisi sebelumnya. Kali ini Tim buletin Jantera berhasil merekap beberapa cerita perjalanan, sastra, dan seputar kejanteraan yang siap disajikan kepada para pembaca. Bahan bacaan ini masih segar dapat menemani hari-hari pembaca.
Jantera tiada hentinya berjalan melakukan perjalanan, mulai dari kedalaman Goa,
Edisi berjalan, menjadi tema kami dalam menyajikan tulisan. Setiap insan pastinya selalu berjalan, karena merupakan aktivitas yang selalu dilaksanakan. Berjalan dalam istilah ini adalah melakukan aktivitas yang bermanfaat, menambah pengalaman, ilmu dan pengetahuan. Dalam benak insan JanteraBerjalan juga merupakan sebuah aktivitas pergerakan, baik berjalan di alam pikiran pada tataran konsep maupun berjalan pada kehidupan pada tataran berjelajah. Begitulah Jantera selalu berjalan di alam pikirannya, untuk memikirkan inovasi kreatif yang bermanfaat bagi Tanah Ibu Pertiwi. Selau berjalan menemukan rahasia alam, rahasia kemegahan sang Maha Karya. Berawal dari kedalaman di Goa Cipaku yang memiliki
keeksotisan ornamen megah sendiri, beranjak kepada kedataran yang berada di Tasikmalaya Selatan Pantai Karang Tawulan, menyerupai bukit teletabis, dan bersinggah di ketinggian Gunung Raung yang mengaung karena terjalnya medan, Gunung Rakutak yang menggertak para pendaki karena keindahan alamnya, serta cerita unik lainnya. Tak kalah menariknya beberapa sastra, hasil intuinsi personal yang menapaki alam sebagai subjeknya. Alam selalu menyuguhkan hal-hal yang menarik bagi orang-orang yang berfikir. Tidak ada hal sempurna di balik penciptaan yang dilakukan oleh insan lemah seperti manusia ini, begitupun dengan pembuatan bulletin ini. Kami berharap bulletin ini informati serta menghibur, Selamat membaca! BRAVO JANTERA!
| 03
Daftar Isi
REDAKSI Penanggungjawab: Windya Renata Pemimpin Redaksi: Lutvia Resta Setyawati Staf Redaksi: Dwi Endah. P Layouter: Lutvia Resta Setyawati Haikal M. Ihsan
Kontributor: Andi Aji Setianata Muhammad Abia. S Ahmad Hasan. F Fauzia Rahmawati Rahayuni Tyas. P Ani Apriani Gelar Taufiq KW
Dapur Redaksi Daftar Isi Kabar Lapangan Catatan Perjalanan: Pantai Karangtawulan Bukit Teletabies Pesona Kampung Adat Kuta Renungan dari Hutan Wanagama I Ekspedisi Gunung Raung (Jawa Timur) Pesona Kegelapan Guha Cipaku Mendaki Puncak Rakutak Jantera Nyastra Carita-carita Jan! Berkunjung ke Gedung Teropong “Hormatku untuk Teropong Barat” Awal yang Tidak Bermula Popotoan: Sanghyang Tikoro Citarum Ng-Iklan: Jantera Outbond Training Congratulation!!
Punya kritik, saran, atau tulisan untuk Buletin Jantera? Silahkan hubungi redaksi kami di alamat berikut ini. Jln. Setiabudi No. 229 Kampus UPI Bandung Gd FPIPS Lt 2
[email protected] atau kunjungi web: jantera.geografi.upi.edu 085974030103/085795790815
2 3 4 6 6 12 18 22 26 32 38 40 40 44 46 48 52 53
064| Kabar Lapangan - September 2016
Pendakian Cartenz Pyramid “Bermimpilah! Entah kapan akan terwujud, kamu hanya perlu percaya”. Perjalanan Jantera yang satu ini memang sangat membanggakan. Ruslan Budiarto (Jantera 24 — Pandawa Arcapada), telah mengajarkan kita untuk tetap percaya pada mimpi-mimpi yang telah kita bangun dengan susah payah. Tak peduli mereka bilang ‘gila’ atau ‘mustahil’, dimana ada rasa percaya maka disitu selalu ada kemungkinan. Walau bukan hari ini,
mungkin besok, besoknya lagi.
atau
Pendakian Cartenz Pyramid dilakukan beberapa minggu lalu, sempat tertunda saat berhembus kabar mengenai beberapa pendaki yang meninggal sebelum mencapai puncak. Dingin berkabut, pandangan mata hanya berjarak sekian meter. “Jangan menyerah, Jantera tidak mengajarkanmu untuk menyerah!”. Berkali-kali kalimat itu terngiang di telinga, memompa semangat yang sempat meredup.
Entah bagaimana cara Jantera melakukannya, hanya semangat ‘pantang menyerah dalam menghadapi segala cobaan’ seakan telah jadi prinsip yang tertanam dalam hati setiap anggota. “….bukan tentang bagaimana seorang Ruslan menuju puncak, tapi tentang perjuangan bagaimana bertahun-tahun dia berusaha menjaga mimpi yang tertunda—hingga mampu menginjak kembali tanah Cendrawasih dan melanjutkan perjalanan yang sempat terhenti di Puncak Sudirman’.
PMB dan Moka-Ku UPI 2016 Dua bulan terakhir ini UPI benar-benar disibukan dengan penyambutan mahasiswamahasiswi barunya, angkatan 2016—yang kemudian menyemat julukan “si bungsu”. PMB atau Penerimaan Mahasiswa Baru biasanya dimeriahkan juga oleh warga himpunan, dengan selebrasi mini khas jurusan masing-masing.
Begitu pun dengan jurusan kami, Pendidikan Geografi FPIPS UPI. Tak ketinggalan, Jantera juga membuka stand. Mendirikan tenda, memasang hammock, main Single Rope Technique (SRT), sekaligus masak-masak—adalah beberapa kegiatan menyenangkan yang kami lakukan untuk menyambut adik baru. Selain itu, kami juga menjamu mereka
denga n obr ola n- obr olan hangat seputar mahasiswa. Membiarkan mereka penasaran dan mengenal rumah barunya—Geografi. Jantera juga mengisi Moka-Ku dengan perkenalan departemen dan event untuk bagi-bagi hadiah :D
Semoga betah dan tetap berkarya dengan cerdas. Bravo!
Diklanjut Caving dan Speleologi Jantera 35 Menjadi seorang Jantera seutuhnya memang butuh proses, bercampur pengor-
banan dan tekad untuk terus berusaha dan belajar, tak lupa diselipkan beberapa doa dari orangtua dan saudara terdekat. Jumat-Minggu, 12 -14 Agustus 2016 k ema r i n— Anggota Muda 35 Jantera berhasil menyelesaikan salah satu kewajiban mereka dalam melengkapi diri sebagai seorang
Jantera seutuhnya. Diklanjut ketiga, caving dan speleology akhirnya terlaksana dengan lancar di Gua Cipaku dan Gua Leles (Sukabumi Selatan). Perjalanan yang memakan waktu hampir 10 jam perjalanan ternyata tidak sedikit pun menyurutkan niat mereka untuk menjelajah dan belajar lebih banyak dari bumi.
Single Rope Technique berhasil dilakukan di Gua Leles yang bermulut vertical, sekitar pukul 01.00 dini hari. Menegangkan! Mungkin ini adalah kali pertama
mereka melakukan SRT di kegelapan gua yang sesungguhnya. Walau sempat terkendala hujan gerimis seharian, dan beberapa gua yang akan dipetakan malah tergenang—hal itu justru memberikan semangat tersendiri untuk segera menyelesaikan tugas. Setelah menunggu beberapa saat, cave mapping akhirnya dilaksanakan di Gua Cipaku yang panjangnya sekitar 200 meter. Selamat, Jan. Jangan menyerah, perjalanan masih panjang— Lutvia Resta Setyawati
| 05
Diklanjut Hutan Gunung “Rakutak 1.921 mdpl” “Akhirnya, diklanjut terakhir!” Mungkin ucapan lega semacam itulah yang berdesir dalam hati kesembilan Anggota Muda Jantera 34 dan 35—Elpin, Azhim, Raka, Hasan, Ipan, Helga, Ai, Paw, dan Ika.
jalanan yang baik, semua bisa teratasi. “Safety can be fun, sedia paying sebelum hujan” katanya.
Jumat-Minggu, 2-4 September 2016 kemarin adalah perjalanan pamungkas diklanjut tahun ini—dan hiking ke Gunung Rakutak dianggap menjadi pilihan terbaik.
Gunung Rakutak yang berdiri gagah di tanah Bandung Selatan itu ternyata tidak mudah ditebak, trek yang curam harus dilalui dengan mental dan fisik yang kuat. Setinggi 1.921 mdpl, dengan jalur sempit yang dihiasi tebing curam di kiri dan kanannya.
Lagi-lagi, hujan. Walau begitu, dengan bekal Manajemen Per-
Perjalanan pulang tidak kalah menantang, tanpa sengaja alam
menyuguhkan kabut yang cukup tebal hingga menghalangi pandangan mata, ‘kalau mau selamat, kesalahan subjektif sekecil apapun harus dihindari’. Lebih dari itu, dikla njut Huta n Gunung ternyata bukan berbincang tentang puncak dan peningkatan adrenaline semata, tapi tentang peningkatan
kerjasama dan rasa persaudaraan sesama anggota Jantera. Finally, congratulation! Semoga Tuhan mengijinkan kita untuk menjadi pendaki yang bijak, dengan hati membumi dan pikiran melangit. Aamiin—Lutvia Resta Setyawati
Paser Rimbas, Si Adik Baru Jantera Sebagai salah satu ormawa di ranah universitas, Jantera juga memiliki kew a jiba n untuk mela kuka n Pengabdian pada Masyarakat.
Sangkuriang (Generasi ke-empat Jantera UPI).
Paser RIMBAS atau Pecinta Alam SMAN 4 Bandung adalah adik baru yang didik Jantera sejak Bulan Maret 2015 lalu.
Rahmandika (Ketua Adat PASER RIMBAS) dan rekan-rekannya— sama seperti Kang Ogun dan rekanrekannya waktu itu, harus berusaha membangun fondasi yang kuat untuk mendirikan organisasi pecinta alam yang memegah teguh kode etik dan kaya akan karya.
Angkatan yang pertama kali kami didik adalah angkatan pionir yang terlahir di masa vakum, bisa dibilang kasusnya mungkin sedikit mirip dengan lahirnya angkatan Prahara
Selain Paser RIMBAS, Jantera juga pernah mendidik beberapa organisasi pecinta alam lain (baik melahirkan yang baru ataupun menghidupkan yang sedang vakum).
Mendidik SISPALA (Siswa Pecinta Alam) adalah salah satunya.
GEMPAR (Pecinta Alm Poltekpos Bandung), Wira Buana (Universitas Wiralodra Indramayu), SISPALA PAS46, dan lain-lain. Tujuan utamanya adalah ‘menularkan ilmu kepecintaalaman’, yang semoga dalam jangka panjang juga dapat mengubah pola pikir untuk samasama menjaga serta melestarikan bumi dan seisinya
….mungkin saat ini hanya beberapa puluh orang yang terpengaruh, tapi besok atau besoknya—puluhan akan berkembang jadi ‘ratus’, ‘ribu’, bahkan ‘juta’. Semoga—Lutvia R.S
“One Day Trip with Jantera: Sukawana” Curug Layung menjadi objek
menikmati
yang menarik untuk disambangi.
jernihnya Curug
camping ceria yang secara rutin
Kegiatan ini diikuti oleh 34 orang
Layung—salah
tahun) —
sahabat Jantera. Selain disuguh-
satu curug dari
akhirnya bermetamorfosa dan
kan pemandangan alam yang
aliran mata air
berubah nama menjadi one day
indah, mereka juga dibekali oleh
Ci Mahi.
trip with Jantera.
beberapa konsep dasar mengenai
Kami
berharap
Kegiatan camping lantas diubah
Ilmu Medan Peta dan Kompas.
bisa
membuat
jadi perjalanan full day ke suatu
Semua peserta tampak menikmati
para
peserta
tempat. Untuk edisi pertama,
perjalanan, apalagi ketika diperke-
merasa
Perkebunan Teh Sukawana dan
nankan untuk berenang dan
Ada yang menarik di tahun 2016 ini,
Summercamp (kegiatan
diadakan
setiap
‘senang
lantas kemudian merasa dekat dengan-Nya
main di alam’,
melalui segala ciptaan yang maha indah—Nissa
Pantai Karang Tawulan Bukit Teletabis Foto : Dokumentasi Haikal J33
26 | Catatan Perjalanan - September 2016
Terlihat Beberapa Karang Diterjang Oleh Ombak Foto : Dokumentasi Haikal J33
| 09
Kala itu matahari berada setengah merunduk ke arah barat, kalau dikira-kira jarum jam berhenti di angka dua lebih wib. Rasa lelah berjumpa pada jiwa dan raga, wajar saja bulan itu merupakan bulan ramadhan. Mau makan dan minum jelas tidak bisa, solusi pasti adalah mencari suasana tenang. Bulan berkah ini merupakan momen saya untuk mencari responden, maklum saya mahasiswa tingkat akhir yang sedang mengerjakan keharusan bersyarat lulus. Saya bersama teman seperjuangan pencari responden Husni, Rizal, dan Cecep berencana bersinggah di sebuah pantai. Persinggahan ini memang sudah kami jadwalkan dari semalam karena beberapa dari kami belum pernah kesana. Tersentak mata ini, seperti melihat yang belum pernah dilihat. Di Selatan Kabupaten Tasikmalaya terdapat suatu tempat yang membuat saya dan teman saya berfoto narsis. Tempat tersebut bernama pantai karangtawulan. Pantai merupakan tempat yang romantis untuk mengobrol senja di sore hari. Bagi kalangan umum rasanya sudah biasa dengan tempat bernama pantai, apalagi orang pesisir. Masing-masing pantai memiliki karakteristik yang berbeda sehingga penggunaan pariwisatanyapun akan berbeda. Pantai karangtawulan ini cocok sekali untuk mengobrol, nongkrong berbagi cerita bersama yang terdekat, tidak pada berenang ceria karena ombaknya yang besar dan kondisi medan yang tidak memungkinkan. Bruuussssss !!! Terdengar suara ombak menerjang karang. Terlihat karang tersebut masih berdiri kokoh, hingga ombak sendiri yang terpecah tak beraturan. Mungkin usaha yang sia-sia bagi ombak untuk memecahkan karang, tapi begitulah ombak selalu mencoba memecahkan karang yang kokoh itu. Ombak sadar butuh waktu lama untuk memecahkan karang, ombak ini sabar sekali dan memiliki tekad kuat untuk memecahkan karang, mungkin karena dukungan angin laut yang terus mendampingi, terus mengarahkan ombak menuju karang. Sepertinya angin laut dan ombak yakin apabila karang terkikis akan muncul sesuatu yang lembut, sesuatu yang lembut seperti pasir putih. Pantai karangtawulan berletakkan di Desa Cimanuk, Kecamatan Cikalong, Kabupaten Tasikmalaya. Akses
08 | Catatan Perjalanan - September 2016
Rumput Hijau Berbukit Seperti Bukit Teletabis Foto : Dokumentasi Haikal J33
menuju pantai ini dapat dibilang mudah. Jalannya pun bagus beralaskan hotmik dan beberapa ada aspal. Apabila dari bandung jalan terdekat adalah menuju arah pantai Cipatujah. Sekitar empat puluh menit dari pantai Cipatujah melalui jalur timur akan tiba di pantai Karangtawulan. Apabila diteruskan lagi menuju timur selanjutnya akan sampai di pantai Pangandaran. Jalur tersebut cocok sekali untuk penggiat susur pantai atau yang menyukai touring motor ataupun mobil, karena banyak sekali destinasi pantai disepanjang jalan. Pantai ini terbilang sepi, yang terdengar paling suara ombak, suara daun tersentuh angin dan suara burung. Pedagang dan pengunjungpun terbilang jarang, tidak seramai di pantai wisata pada umumnya. Tiketnyapun terbilang murah hanya dengan 2500 rupiah kita bisa menikmati setiap sudut tempat pantai Karangtawulan itupun sudah dengan parkir motor. Hal yang unik pada pantai ini adalah karang tebing yang tersebar di sekitaran pantai, bahkan ada yang ditengah laut seperti pantai Sawarna di Sukabumi. Pantai Karangtawulanpun memiliki semacam puncak tebing, hampir mirip dengan Puncak Guha yang berada di Garut Selatan dan ada juga destinasi karang yang mirip dengan Tanahlot Bali. Nyaman sekali ketika berada diatas puncak tebing karang tersebut, karena alas dari puncak karang tebing adalah rumput halus. Kami menyebutnya bukit teletabis. Mirip sekali dengan bukit yang ada di serial teletabis.
| 11
Pejuang Responden Haikal J33 dan kawan-kawannya bersinggah di Pantai Karangtawulan Foto : Dokumentasi Haikal J33
Bukit teletabis tersebut menjorok ke arah laut dan dipagar setiap sisinya. Ujung dari bukit tersebut langsung mengarah laut sehingga akan terlihat jelas ombak yang menerjang karang indah sekali seperti di film Dark Show (adegan sang ratu terjun ke laut dari atas tebing). Di bukit tersebut kami bisa tiduran, bermain layaknya teletabis dan kebetulan kami berempat, sudah seperti teletabis. Di atas bukit ada fasilitas untuk duduk ceria, bangunan tersebut terbuat dari batu bata semen. Sayang sekali bangunan itu dipenuhi oleh coretan vandalisme yang meninggalkan sejarah tak berarah. Selain itu ada juga bangunan pengamat berlantai empat. Ketika naik ke atas akan terlihat pemandangan pantai dari barat ke timur, dan Kecamatan Cikalong. Sesekali kami berfoto ria mengabadikan momentum bersama. Terpikir oleh benak rasanya akan sangat menarik apabila mendirikan tenda dan memasang hammock disana. Pohon kelapa dengan daun lebar berdiri rapat, angin sepoi-sepoi melintas sanubari dan rumput hijau yang bersih menyebabkan pinggir pantai sejuk untuk berteduh. Matahari semakin lama semakin bungkuk di arah barat seolah-olah memberi pertanda kepada kami untuk mencari santap maghrib. Setelah lama menikmati suasana kamipun beranjak menuju tujuan berikutnya yaitu santap magrib—Haikal Muhammad Ihsan* *penulis adalah Mahasisswa Pendidikan Geografi 2012 dan Anggota Jantera 33 (Bregada Kampita Athyasa)
Pesona di Ujung Timur Jawa Barat “Kampung Adat Kuta” Oleh: Andi Aji Setianata
14 | Catatan Perjalanan - September 2016
J
auh dari hiruk pikuk perkotaan, diwilayah yang berada di ujung timur Jawa Barat yang berbatasan langsung dengan Jawa Tengah, berdiri suatu Kampung Adat yang memiliki ceritera sejarah yang cukup melegenda, peninggalan dari kerajaan Galuh, salah satu kerajaan Hindu yang ada di Jawa Barat yang berasal dari wilayah Cirebon sebelum Cirebon menjadi kasepuhan dengan memeluk agama Islam yang dibawa oleh para wali pada saat itu. Berawal dari akan didirikannya pusat kerajaan Galuh di wilayah ini, para prajurit kerajaan mulai membawa seluruh perlengkapan kerajaan dan mulai membuka lahan dari mulanya hutan menjadi bakal komplek kerajaan, namun konon katanya karena ada banjir dari sungai Cijolang yang melanda daerah ini serta beberapa faktor lainnya, maka akhirnya kerajaan Galuh tidak jadi di dirikan disini namun ada beberapa versi ceritera yang berkaitan dengan sejarah Kampung Adat ini dan Kerajaan Galuh. Kampung Kuta Pesona Ciamis Ya Kampung Adat Kuta ini berada di Kabupaten Ciamis, tepatnya berada di Dusun Kuta, Desa Karangpaningal, Kecamatan Tambaksari, Kabupaten Ciamis, Provinsi Jawa Barat. Untuk siapapun yang ingin menuju lokasi ini dapat menempuh jarak sekitar 177 km dari Ibukota Provinsi atau Kota Bandung, dan 43 km dari Ibukota Kabupaten Ciamis dengan waktu perjalanan dari Ibukota Provinsi sekitar 5 jam perjalanan menggunakan kendaraan roda dua atau empat, dan sekitar 2,5 jam dari Pusat Kota, Kabupaten Ciamis menuju ke Kecamatan Tambaksari. Ada beberapa jalur yang dapat anda lewati untuk menuju Kampung Adat Kuta. yang pertama apabila anda berasal dari arah Bandung atau Tasikmalaya, dapat menuju kearah Panjalu dan mengarah ke Rajadesa serta menuju Kecamatan Rancah dan mengikuti petunjuk arah menuju Kecamatan Tambaksari, dari Kecamatan Tambaksari dapat bertanya kepada warga setempat dan mengikuti petunjuk arah yang ada namun memang petunjuk arah hanya ada di beberapa persimpangan jalan, sehingga bertanya kepada warga setempat cukup efektif untuk dil-
Berjalan Mengitari Persawahan Di Kampung Kuta Ciamis Foto : Dokumentasi Andji Aji J33
akukan atau biasa disebut dengan GPS (gunakan penduduk sekitar). Lalu dari arah kota Ciamis dapat ditempuh melalui jalur Cisaga menuju Rancah dan selanjutnya menuju Kecamatan Tambaksari. Sementara dari arah Kota Banjar, dapat melalui jalur Katapang dimana masuk melalui Kecamatan Purwaharja Kota Banjar menuju Desa Bangun Harja Kec. Cisaga yang akan langsung menuju Desa Karangpaningal Kec.Tambaksari. Khususnya bagi anda yang menyukai traveling atau wisata dengan suasana pedesaan dan wisata alam, Kampung Kuta sangat menarik untuk dikunjungi karena dengan anda datang kesini maka akan dapat melihat dan merasakan langsung bagaimana suasana pedesaan yang tenang serta aktivitas masyarakat disini akan membawa anda pada memori masa lampau ketika membaca buku atau mendengarkan guru di sekolah menerangkan bahwa Negara kita merupakan negara agraris dimana mayoritas
| 15
penduduk di kampung kuta tidak lebih dari 300 jiwa. Hal ini sangat menarik seperti yang tercatat dalam Profil Komunitas Kampung Adat Kuta jumlah penduduk hingga tahun 2014 sebanyak 285 jiwa yang terdiri dari 135 penduduk wanita dan 150 jumlah penduduk laki – laki.
Lalu seperti apa yang telah di tuturkan oleh sesepuh adat Kampung kuta (Ki Warja ) "dari dulu sama saja kalau jumlah penduduk bahkan sebelum adanya KB pun sama, tidak ada pertambahan, karena yang lahirnya pun tidak setiap tahun ada" itulah salah satu yang menarik dari Kampung Adat Kuta mengenai penduduknya. Hal ini menurut penulis sangat berkaitan dengan kearifan lokal masyarakat kuta yang telah diwariskan oleh leluhur kampung kuta dimana ada bagian dari ritual perkawinan dan kelahiran yang dilakukan oleh masyarakat yang memiliki pengaruh terhadap hal tersebut. Inilah yang menjadi ciri khas kampung kuta dimana sejalan dengan konsep pertumbuhan penduduk dalam demografi dimana disini diagramnya stabil. Sementara dalam kaitannya dengan lingkungan, di kampung kuta tidak ada kepadatan penduduk yang mempengaruhi ekosistem, dimana disini cukup seimbang antara kapasitas dengan jumlah penduduknya.
Hingga saat ini komoditas terbesar dari Kampung Kuta ialah padi dan gula aren dimana setelah panen hasilnya selalu dipasok oleh warga kuta ke pasar terdekat bahkan hingga keluar kota.
Hal tersebut mengenai daya dukung lingkungan kampung Kuta sesungguhnya merupakan suatu hal yang sudah diwariskan dan menjadi kearifan lokal masyarakat kampung kuta. Salah satu hal lainnya dengan mengkeramatkan hutan dan adanya larangan untuk merusak hutan dan hewan pun merupakan kearifan lokal yang digunakan masyarakat dalam menjaga kestabilan ekosistemnya hal itulah yang membuat kampung kuta di anugerahkan Piagam sebagai penyelamat hutan oleh Presiden Republik Indonesia pada tahun 2002 yaitu Kalpataru dan kini apabila kita mengunjungi kampung kuta akan bisa kita lihat tugu Kalpataru setinggi kurang lebih 2 m yang berada di areal Bumi pasanggrahan.
Stabilnya Penduduk Kampung Kuta
Wilayah Kampung Kuta
Kampung kuta memiliki keunikan dari jumlah pendudunya dimana sejak dahulu hingga sekarang jumlah
Kampung adat kuta memiliki luas wilayah sebesar 185,195 hektar yang terdiri dari 44,395 hektar lahan
masyarakatnya merupakan petani dan juga akan mengingat memori lama ketika Indonesia dulu pernah menjadi negara Swasembada padi pada saat pemerintahan orde baru. Mengapa demikian, karena Kampung Adat Kuta memiliki karakteristik penduduk dengan mayoritas bermata pencaharian di sektor pertanian dalam arti sempit dan secara umum ( pertanian padi, hutan rakyat, peternakan, perkebunan, perikanan dan perdagangan ).
16 | Catatan Perjalanan - September 2016
Salah Satu Peninggalan Sejarah Khas Kampung Kuta Ciamis Foto : Dokumentasi Andji Aji J33
| 17
sawah dan 140,8 hektar, luas tanah darat dan lahan tersebut penggunaannya di dominasi oleh perkebunan milik masyarakat kampung kuta. Kampung adat kuta berada di ujung timur provinsi Jawa Barat dimana berbatasan langsung dengan Kabupaten Cilacap di sebelah timurnya yang dibatasi oleh sungai Cijolang yang bermuara ke laut selatan Jawa Barat. Batas wilayah kampung kuta sebelah selatan yaitu dengan dusun Pohat, sebelah barat berbatasan dengan dusun Margamulya dan sebelah utara dengan dusun Cibodas Desa Karangpaningal Kecamatan Tambaksari. Di kampung kuta kita bisa lihat langsung keindahan sawah yang membentang tidak jauh dari Bumi Pasanggrahan atau tempat pusat sarana dan prasarana adat. Juga karena secara fisiografis Kampung Kuta berada di Lembah berbukit yang dikelilingi tebing, maka dari sini dapat dilihat membentang tinggi tebing rahong yang gagah berdiri mengelilingi kampung kuta dari wilayah timur hingga ke barat. Lalu dapat dilihat dan diamati pula tebing Dodokan yang membentang dari selatan hingga ke utara kampung kuta. Dan selain itu beberapa situs peninggalan atau petilasan kerajaan Galuh yang biasa disebut ancepan oleh masyarakat sekitar dapat kita jumpai disini, diantaranya ada rancabogo yaitu situ yang luasnya kurang lebih 1 hektar ini sangat indah dan biasa digunakan oleh penduduk sekitar maupun dari luar kampung kuta untuk memancing.
Rancabogo selain memiliki nilai sejarah, juga dapat kita nikmati indahnya berfoto di pinggir situ yang dahulunya merupakan rawa itu, bahkan kita bisa memancing ikan disana bagi yang gemar memancing. Untuk mencapai
Penulis tengah bercengkerama dengan penduduk setempat. Foto: Andi Aji Setianata.
rancabogo cukup berjalan selama 15-20 menit atau 300 m melewati perkebunan rakyat, kita akan sampai di tempat itu sambil menikmati jalan khas kampung yang beralaskan batuan dan tanah. Tak kalah menarik sungai Cijolang dapat kita kunjungi untuk melihat keindahan bentukan geomorfologi sungai, yang menghasilkan batuan sedimentasi yang dapat kita temui disana sambil melihat aliran air dan indahnya tebing yang membatasi kedua provinsi ini. Tentu sangat nikmat sekali, apabila kita menyantap makanan khas kampung, yaitu nasi liwet yang di nikmati bersama dipinggir sungai Cijolang, sambil ditemani oleh kicauan burung dan suara aliran air sungai Cijolang yang menambah suasana dapat semakin nikmat. Satu lagi yang menarik yaitu leweung gede atau hutan keramat yang banyak menyimpan sejarah didalamnya, karena dipercaya oleh leluhur kampung kuta bahwa disana tersimpan pusaka kerajaan galuh dan tempat bersemayamnya leluhur masyarakat Kampung Kuta. Jika ingin memasuki hutan keramat ini hanya bisa dilakukan di beberapa hari saja setiap minggunya yaitu hari Senin dan Jumat, lalu ada beberapa syarat yang perlu dipatuhi oleh pengunjung yang ingin memasukinya yaitu : wajib menjaga kebersihan, melepas alas kaki, dilarang membawa perhiasan dan tas, dilarang meludah, dilarang mengganggu hewan dan dilarang membawa sesuatu dari dalam hutan. —Bogor, 11 Juli/2016. Andi Aji Setianata (J.345.33.BKA)*
*penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Geografi 2013 dan Anggota Jantera 33 (Bregada Kampita Athyasa).
Salah Satu Jalur Di Hutan Wanagama yang Asri, Cocok untuk mendinginkan Pikiran Foto : Dokumentasi Lutvia Resta J34
20 | Catatan Perjalanan - September 2016
Renungan dari Hutan Wanagama I
“Maka nikmat Tuhanmu yang manakah yang kamu dustakan?” (Ar-Rahman: 13)
| 21
“
Nanti kita akan berkunjung ke Hutan Wanagama I”, secepat kilat kami menajamkan telinga— memperhatikan apa yang akan dikatakan Bapak X dengan logat Jawa-nya yang khas.
Ah iya, ceritanya kami sedang mengadakan rapat angkatan untuk membahas lokasi KKL Tahap 2, yang kemudian akan dikunjungi beberapa hari setelahnya. “Wah, perjalanan yang pasti menyenangkan!” seru kami dalam hati. Perkenalkan, kami adalah Mahasiswa Pendidikan Geografi UPI, sebuah prodi yang menawarkan sepaket perjalanan liburan berbasis akademik. Jadi menurutku kami adalah sekumpulan orang yang beruntung, yang bisa belajar langsung dari alam sekaligus me-refresh pikiran dari beban perkuliahan yang terkadang membuat penat. Benar, namanya adalah Hutan Wanagama I, nama yang terdengar sangat asing di telinga kami (bahkan mungkin juga di telinga sebagian besar masyarakat Indonesia). Tapi, sepertinya tidak untuk masyarakat Gunung Kidul dan sekitarnya. Hutan Wanagama I bahkan sudah seperti oase menyejukkan di tengah padang gersang yang mereka tinggali selama bertahun-tahun. Secara bahasa, Wanagama terbentuk dari dua kata yakni wana dan gama. Dalam Bahasa Jawa wana diartikan sebagai alas atau hutan, dan gama adalah kependekan dari istilah Gadjah Mada. Jadi, sudah bisa dipastikan kalau Wanagama merupakan alas atau hutan yang dirintis, dikembangkan, dan dikelola oleh Universitas Gadjah Mada (Daerah Istimewa Yogyakarta). Ternyata Yogya tidak hanya istimewa karena Keraton Kesultanan dan Malioboro-nya. Lebih dari itu, ada surga kecil yang tersembunyi di balik tanah tandus Gunung Kidul. Wanagama I merupakan hutan buatan yang digagas oleh Fakultas Kehutanan UGM pada tahun 1966 lalu. Terbilang cukup unik, karena tumbuh di daerah karst yang gersang dan berbatu, jadi bisa dibayangkan bagaimana luar biasa besarnya perjuangan akar pepohonan yang hidup di daerah tersebut. Sejak awal kemunculannya, Hutan Wanagama I menimbulkan pro dan kontra di kalangan masyarakat dan kaum akademik wilayah DIY. Mereka yang kontra biasanya akan memandang skeptis usaha Prof. Oemi dan rekan-rekannya untuk membuat sebuah hutan di atas
daerah kapur yang miskin air. Namun seiring berjalannya waktu, dengan usaha pantang menyerah dan bantuan para pemangku kebijakan setempat, Hutan Wanagama I akhirnya bisa menunjukan sebuah keajaiban yang selama ini diragukan oleh kebanyakan orang. Daerah karst yang gersang (tanpa pohon) kemudian bisa ditumbuhi oleh beberapa tanaman hijau secara berkala. Memiliki luas kurang lebih 600 Ha, Wanagama I merupakan kawasan yang dihuni oleh sekelompok tumbuhan berjenis kayu-kayuan keras (seperti jati, kayu putih, akasia, pinus, dll). Bahkan pohon jati di hutan ini merupakan salah satu jati terunggul di kelasnya. Jati unggulan itu dinamakan berdasarkan nama penggagasnya, Ibu Megawati Soekarnoputri, sehingga dinamakan sebagai Jati Mega. Orang mungkin tidak akan pernah mengenali Wanagama yang dulu, Wanagama tidak lagi menjadi kawasan batu gamping yang gundul dan gersang. Kini tempat itu telah berubah menjadi kawasan hijau produktif, salah satu penyumbang oksigen terbesar untuk wilayah Gunung Kidul dan Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain bernilai ekologis, Hutan Wanagama I juga memiliki nilai sosial dan nilai ekonomi bagi penduduk di sekitarnya. Gunung Kidul yang terkenal sebagai kabupaten termiskin di DIY kini memiliki salah satu lapangan pekerjaan baru untuk mencari penghidupan, biasanya dalam bentuk penjualan kayu, pengembangan ternak sapi, penjualan madu hutan, dan sejenisnya. Bagi kami, Wanagama bahkan memiliki nilai yang lebih penting, yakni sebagai laboratorium maha agung yang disediakan oleh alam untuk dipelajari dengan seksama.
Ya, alam memang selalu mengajarkan banyak hal yang mengagumkan, salah satuya adalah semangat pantang menyerah yang ditawarkan oleh Wanagama. Jadi, sesulit apapun kemungkinan yang ada, jika kita memiliki niat yang baik dan usaha tidak kenal lelah, maka segala tujuan hidup akan tercapai dengan baik_hari ini, besok atau besoknya lagi. Ah iya, sekali-kali main jugalah kalian kesini. Wanagama menitipkan pesan, katanya “rindu!”— Lutvia Resta Setyawati (J.333.34.GGS)* *penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Geografi 2014 dan Anggota Jantera 34 (Gardajita Gaota Sadara)
22 | Catatan Perjalanan - September 2016
Pendakian Gunung Raung
Foto : Dokumentasi Jantera
“Satu hal yang kusadari saat di puncak; Tuhan, terima kasih karena masih mengijinkan kami hidup” M. Abia, Puncak Sejati 3.344 mdpl
| 23
G
unung Raung merupakan salah satu gunung yang berada di ujung timur pulau Jawa dan termasuk gunung terekstrim di Indonesia. Gunung yang memiliki ketinggian 3344 mdpl ini merupakan gunung tertinggi ke dua di Jawa Timur setelah Gunung Semeru. Selain itu, gunung yang terakhir meletus Juli tahun 2015 ini memiliki kemenarikan tersendiri, yaitu kaldera nya yang cukup luas serta medan yang cukup ekstrim untuk dilalui para pendaki untuk mencapai Puncak Sejati. Ada beberapa jalur yang biasa dipakai untuk mendaki gunung raung yaitu Sumber Waringin (Bondowoso), Kalibaru (Banyuwangi), Glenmore (Banyuwangi). Namun karena yang kami tahu jalur via Kalibaru merupakan jalur yang menantang, akhirnya kami melakukan pendakian menggunakan Jalur Kalibaru. Pendakian kali ini beranggotakan 3 orang termasuk saya. Untuk mendaki sampai Puncak Sejati, pendaki diharuskan menggunakan peralatan climbing seperti Harness, tali Kernmantel, Carabiner, figure of eight, dan peralatan lain yang berfungsi untuk mengamankan. Selain itu, ada persyaratan administrasi lain yang harus dipenuhi untuk bisa mendaki gunung ini, diantaranya surat keterangan sehat, fotocopy KTP, dan surat keterangan yang akan diberi saat di basecamp. Kami berangkat dari terminal Ubung, Denpasar menggunakan bis dengan ongkos 80 rupiah sampai stasiun kalibaru dan sudah termasuk ongkos kapal feri. Perjalanan dari Denpasar sampai Kalibaru kurang lebih sekitar 6 jam. Setelah sampai di depan Stasiun Kalibaru kami langsung disambut oleh beberapa tukang ojek yang nampaknya sudah terbiasa dengan kedatangan para pendaki Gunung Raung. Mereka langsung menawari kami tumpangan ke Basecamp pendaki Gunung Raung dengan harga 30 ribu sampai rumah Pa Soeto. Bagi yang belum tahu, biasanya jika kita ingin mendaki Gunung Raung kita akan menetap di Basecamp. Ada dua tempat yang biasa dijadikan basecamp oleh para pendaki, yaitu rumah Bapa Soeto (Alm) dan rumah Pa Sunarya yang berada di pos 1. Kami pun memutuskan untuk tinggal di basecamp Pa Soeto selama 2 hari untuk mempersiapkan logistic dan
persyaratan serta beristirahat. Kami tiba di rumah Pa Soeto pada hari Selasa malam sehingga masih punya 1 hari untuk istirahat dan mempersiapkan diri. Saat berada di rumah Pa Soeto, kita akan dijamu oleh Bu Soeto (istri Alm Pa Soeto) yang sudah banyak menjamu para pendaki Gunung Raung jauh sebelum kami datang. Hari 1 (basecamp – Camp 4)
Basecamp – Pos 1 Setelah 2 hari menginap di rumah Pa Soeto, kami pun memulai pendakian pada hari Kamis. Perjalanan dimulai dengan menggunakan ojek ke pos 1 dengan tarif 35 ribu. Saya rasa tarif ini cukup murah, mengingat jarak yang lumayan jauh dan medan yang cukup berbahaya. Sekitar 30 menit menggunakan motor akhirnya kami sampai di pos 1 dan disana terdapat basecamp kedua, yaitu rumah Pa Sunarya. Di pos ini juga merupakan tempat terakhir kita untuk mengisi air dikarenakan jika sudah keatas tidak akan ada air lagi. Jika kita melakukan pendakan melewati Kalibaru, kita harus menempuh 4 pos dan 9 Camp. Pos 1 – Camp 2 Perjalanan dari pos 1 dimulai pada pukul 8 pagi. Dalam perjalanan dari pos 1 sampai Camp 2, medan tidak terlalu berat namun jaraknya cukup jauh. Diawal perjalanan kita harus melewati kebun kopi milik warga setempat. Lama waktu yang dibutuhkan dari pos 1 ke Camp 2 kurang lebih 4 jam perjalanan. Camp 2 memiliki lahan yang cukup luas untuk dijadikan tempat Camp jika kita kelelahan. Namun biasanya dalam satu hari para pendaki biasa menyelesaikan hingga Camp 4.
Camp 2 – Camp 3 Sesampainya di Camp 2 kami pun beristirahat cukup lama karena perjalanan cukup melelahkan dengan membawa 9 liter air di dalam Carrier. Saat beristirahat di Camp 2, kami bertemu dengan pendaki yang baru turun dari Camp 3. Usut punya usut mereka pernah mendengar
24 | Catatan Perjalanan - September 2016
bahwa di sekitar Camp 2 terdapat sumber air namun mereka tidak tahu dimana lokasi nya karena hanya mendengarnya saja dari hasil obrolan mereka dengan porter setempat. Keberadaan sumber air dekat Camp 2 ini masih belum bisa dipastikan kebenaranya. Perjalanan dari Camp 2 ke Camp 3 tidak terlalu lama, kurang lebih sekitar 1 jam.
Camp 3 – Camp 4 Perjalanan dari Camp 3 ke Camp 4 juga tidak terlalu jauh, kurang lebih 90 menit dengan kondisi santai. Saat melakukan pendakian, disarankan menggunakan celana panjang dan lengan panjang karena disana banyak tanaman berduri yang tentunya jika menusuk lumayan menjengkelkan. Kurang lebih pukul 4 kami sampai di Camp 4 dan segera mendirikan tenda untuk bermalam disini. Lahan di Camp 4 ini tidak terlalu luas, mungkin tidak lebih dari 10 tenda yang bisa buka lapak disini.
Hari 2 (Camp 4 – Camp 5) Hari ke dua perjalanan dimulai pukul 10 pagi dikarenakan perkiraan kami untuk sampai ke Camp 7 tidak terlalu jauh (menurut peta yang kami bawa). Memang benar jarak yang kami lalui tidak terlalu jauh, namun medan bisa dibilang cukup berat karena mulai banyak tanjakan yang curam, licin, serta panjang. Kami sampai di Camp 5 kurang lebih pukul 12 siang.
Camp 5 – Camp 6 Selama berjalan dari Camp 4 hingga Camp 7, kita akan disuguhi medan yang terus menanjak sehingga tenaga kita akan lebih terkuras di sini. Saat di perjalanan, kondisi tanah masih basah dikarenakan sebelumnya hujan sehingga menambah berat perjalanan kami. Camp 6 dapat ditempuh selama kurang lebih 90 menit dari Camp 5.
Camp 6 – Camp 7 Saat itu kurang lebih pukul setengah dua siang, cuaca yang tadinya mendung mulai berubah cerah. Bagi saya datangnya sinar matahari dapat membuat semangat dalam melakukan perjalanan bertambah. Perjalanan dari Camp 6 ke 7 kurang lebih 1 jam. Setelah sampai di Camp 7, kamipun segera memasang tenda dikarenakan
cuaca kembali menjadi mendung. Di Camp 7 ini pemandangan cukup bagus dikarenakan berada di area cukup terbuka. Dari sini kita dapat melihat gemerlap lampu – lampu di Banyuwangi pada malam hari. Setelah selesai memasang tenda dan makan, kamipun segera mempersiapkan peralatan untuk melakukan summit esok subuh. Hari 3 (Camp 7 – Camp 8)
Perjalanan hari ini dimulai pada pukul setengah 4 subuh setelah sebelumnya sudah mempersiapkan perbekalan makanan dan peralatan untuk melakukan summit. Perjalanan dari Camp 7 ke Camp 8 kurang lebih 1 jam. Perjalanan kali ini bisa lebih cepat karena kami hanya membawa peralatan dan perbekalan makanan untuk pagi dan siang saja.
| 25
dapat terlihat dengan jelasnya dari puncak ini. Ternyata setelah sampai di puncak Bendera kami menyadari ternyata hanya kami yang melakukan summit. Dengan begitu perjalanan pun akan lebih singkat dan membuat kami lebih semangat menuju Puncak Sejati. Setelah puas menikmati indahnya pemandangan, kamipun melanjutkan ke puncak 17 dan sampai pada pukul 9 pagi. Puncak 17 – Puncak Sejati Setelah rappelling dari puncak 17, kami mengalami sedikit kendala, yaitu kebingungan dalam memilih jalur. Waktu kami terbuang beberapa jam karena salah jalur seperti yang ditunjukan oleh gambar. Kami sempat melalui jalur tersebut sebelum akhirnya kembali lagi karena memang sangat berbahaya dan bukan jalur yang seharusnya.
Disitu saya sendiri hampir meninggal karena batu yang tangan dan kaki saya pijak terlepas, untungnya dibawah ada sedikti pijakan batu yang kuat. Akibatnya, perkiraan kami sampai di Puncak Sejati pukul 10 meleset menjadi pukul 12 siang. Saat sampai di Puncak Sejati, rasanya semua perjalanan yang telah dilalui terbayar.
Camp 8 – Camp 9 Perjalanan Camp 8 ke Camp 9 memakan waktu sekitar 1 jam. Di Camp 8 dan 9 terdapat area untuk mendirikan tenda, namun tidak terlalu luas, tidak lebih dari 5 tenda yang dapat didirikan disana. Di Camp 9 kami beristirahat kembali sebentar untuk melaksanakan sholat.
Camp 9 – Puncak Bendera – Puncak 17 Perjalanan dari Camp 9 menuju Puncak Bendera kurang lebih 20 menit. Puncak Bendera merupakan puncak terakhir yang bisa dicapai jika kita tidak menggunakan alat. Pemandangan dari puncak bendera cukup bagus untuk diabadikan. Dari sana kita dapat melihat berbagai gunung yang ada di sekitar Gunung Raung, bahkan Gunung Agung di Bali pun bisa terlihat apabila cuaca sedang baik. Gunung Argopuro dan Gunung Semeru
Melihat megahnya kawah terbesar ke 2 se Indonesia serta melihat bekas letusan yang masih baru cukup membuat takjub dan membuat kita sadar betapa kecilnya kita di alam semesta ini. Tak seperti kata orang, di puncak kami tidak mendengar sama sekali suara gemuruh yang sering dibicarakan. Nampaknya gunung ini sedang tenang dan belum mengeluarkan suara raunganya. Setelah puas di puncak, kamipun turun kembali ke Camp 7 dan sampai disana pada pukul 5 sore. Beruntungnya saat kami summit tidak terjadi hujan di perjalanan yang tentunya akan merepotkan bila hal itu terjadi. Kamipun segera beristirahat dan esok harinya kami langsung melakukan perjalanan ke Basecamp dan sampai pada sore hari—M. Abia (J.339.34.GGS)*
*penulis adalah Mahasiswa Pendidikan Geografi 2013 dan Anggota Jantera 34 (Gardajita Gaota Sadara).
Pesona Kegelapan Gua Cipaku Oleh: Fauzia Rachmawati
28 | Catatan Perjalanan - September 2016
Jalur Menelusur Gua Cipaku Dengan Beberapa Ornamen Didalamnya Foto : Dokumentasi Jantera
Pada kegiatan Pendidikan Lanjutan JANTERA di mata
kegiatan yang lebih menguras tenaga waktu dan dompet
latih caving ini, saya ditugaskan menjadi orang yang me-
dibanding kegiatan pendidikan lanjutan yang sebelumnya,
nyiapkan konsumsi, kegiatan menyiapkan konsumsi ini
karena kegiatannya yang cukup jauh dan membutuhkan
bukan merupakan kegiatan yang sangat saya sukai karena
waktu dan uang yang lebih. Kegiatan kami kali ini dil-
saya kurang biasa memasak. Namun karena sudah tuntu-
akukan di Desa Cikarang, Kecamatan Cidolog, Kabupat-
tan dan dengan dibantu oleh saudara-saudara saya dan
en Sukabumi. Tempat yang awan bagi kami untuk datang
rekomendasi instruktur, saya mengerjakan dengan senang
ke tempat ini. Karena perjalanannya yang luar biasa dan
hati pekerjaan ini. Dari DIKLANJUT ini, saya jadi
tidak terprediksi akan seperti itu.
mengerti bagaimana berada di posisi orang yang meKamis, 11 Agustus 2016 pukul 17 tim survey berkum-
nyiapkan konsumsi untuk saudaranya yang lain.
pul di sekre untuk persiapan berangkat ke sukabumi. DIKLANJUT kali ini di barengi dengan program AN-
Rencana pemberangkatan pada pukul 17.00 pun tidak
TAREJA JANTERA, yaitu menelusuri dan memetakan
terlaksana dikarenakan ada beberapa hal yang harus di
gua yang ada di kawasan Sagaranten. Sehingga Instruktur
lakukan instruktur pendahulu di Bandung. Setelah mem-
yang datang pun bukan sebagai wisatawan yang datang
persiapkan semuanya, kami tim survey berangkat pada
untuk
namun
pukul 20.00 dari sekretariat. Jumlah tim pendahulu ada
melanjutkan program ANTAREJA. DIKLANJUT ini
4 orang, Instruktur pendahulunya kadat Windya dengan
bagi kami semua, AM JANTERA 35, merupakan
Teh Ani sedangkan kami AMnya yang menjadi pendahu-
memantau
kegiatan
DIKLANJUT,
| 29
lu adalah saya dengan raka yang sebagai leader dan saya
Pada pukul 12.00 kami tiba di rumah mertua mang Oka
sebagai konsumsi.
untuk transit, dan karena hari itu adalah hari jumat, kadat Windya dan Raka pun berangkat ke masjid di daerah
Ditengah perjalanan sekitar cimahi tengah, motor kadat
situ, sedangkan kami menunggu di rumah mertua mang
ada masalah di ban sehingga kami berhenti sebentar
Oka. Setelah selesai sholat Jumat, kami melanjutkan per-
kemudian melanjutkan perjalanan ke sukabumi. Sebelum
jalanan. Sekitar 1 jam, perjalanan kami menuju base-
ke Sukabumi sekitar pukul 23, kami transit di rumah saudaraku Raka untuk makan malam dan istirahat se-
camp. Kami menempati basecamp di rumah mang Nani, rumah beliau sering dijadikan basecamp ketika JAN-
jenak.
TERA melakukan kegiatan di daerah tersebut.
Setelah istirahat, kami melanjutkan perjalanan
menuju Sukabumi, karena waktu yang tidak memungkinkan untuk melanjutkan ke basecamp, kami beristira-
Pada pukul 14.30 semua tim tiba di basecamp. Sambil
hat kembali di rumah instruktur Eja, sampai keesokan
menunggu hujan reda untuk melanjutkan tim pendahulu
harinya.
untuk mensurvey gua yang akan kami petakan, kami istirahat di basecamp dan juga karena jalan dari portal
Di pagi hari, hari jumatnya kami tim survey melanjutkan
sagaranten yang rusak parah hingga basecamp. Saya dan
perjalanan menuju basecamp, sedangkan tim yang ada di
para wanita yang lain menyiapkan santap malam untuk
Bandung juga berangkat pada pukul 5 pagi menggunakan
yang lain di dapur mang Nani sedangkan saudara-
motor langsung menuju tujuan yang sama dengan kami
saudaraku yang menyetir motor mengistirahatkan ba-
tim survey. Tim terakhir tersebut diantaranya AM berli-
dannya, karena beban mereka yang lebih berat timbang
ma dengan 7 instruktur. Di perjalanan menuju basecamp
kami yang di bonceng. Hujan pun akhirnya reda di sore
kami melewati daerah bernama Purabaya, di daerah itu
hari.
kami mengisi bahan bakar motor kami, dikabarkan tempat itu merupakan tempat pengisian bensin terakhir sebe-
Setelah makanan siap untuk disajikan, kami semua
lum ke basecamp. Jadi kami mengisi bensin untuk motor
makan malam bersama di rumah mang Nani. Setelah
kami dengan penuh.
makan selesai kami briefing sebelum mempersiapkan untuk melanjutkan rigging di gua Leles. Setelah hasil kese-
Sebelum ke basecamp, kami tim survey berhenti di pasar sagaranten, tepatnya pasar ini ada di pertigaan. Di pasar ini, saya sebagai sie konsumsi membeli bahan makanan
yang akan di buat di basecamp. Karena di basecamp sangat jarang warung atau toko yang menjual bahan makanan, sekalinya ada pun harganya lebih mahal. Setelah kami membeli semua keperluan makanan dan keperluan lainnya di pasar Sagaranten. Perjalanan menuju
basecamp cukup menarik, karena jalan yang kami lewati kurang bagus, jalanan yang diisi dengan bongkahan batu – atu besar, dilihat dari struktur jalan yang ada bekas cor,
pakatan bersama, karena waktu dan tenaga yang tidak memungkinkan kami untuk pemetaan, malam itu kami hanya melakukan rigging. Pada pukul 21.00 kami
berangkat dari basecamp menuju gua Leles kemudian melanjutkan kegiatan rigging. Karena ada kurang fitnya badan kami, pada rigging ini kami gagal. Sehingga kami melanjutkan keesokan harinya. Sabtu pagi, sagaranten diguyur hujan. Kami pun
menunggu hujan reda hingga pukul 10 surveyor berangkat ke gua ciwajar. Kami, tim yang ada di base-
ternyata jalanan ini sebelumnya pernah diperbaiki dengan
camp menyiapkan peralatan yang akan dibawa untuk pemetaan gua. Setelah surveyor kembali ke basecamp,
cor, namun karena truk besar yang melewati jalan ini ru-
kami semua bergegas untuk berangkat ke gua Cipaku
sak parah.
30 | Catatan Perjalanan - September 2016
untuk memetakan gua tersebut. Sebelum kami mulai
Instrumen yang ada di lorong ini lebih beragam timbang
memetakan, tim surveyor masuk terlebih dahulu ke gua
lorong satunya. Karena disini kami bisa menemukan
Cipaku karena belum di survey sebelumnya. Kemudian
paku, gourden, dan masih banyak lagi instrumen lainnya.
tim survey muncul dari entrance kami pun mulai
Kamipun mengakhiri pemetaan sesuai arahan leader kare-
memetakan gua Cipaku.
na kami tidak memungkinkan untuk melanjutkannya
karena lorong yang sangat kecil dan waktu yang tidak Arahan demi arahan yang diberikan leader kami lakukan.
cukup.
Karena leader sudah mensurvey terlebih dahulu. Disaat kami memetakan guha. Terdapat percabangan di dekat
Setelah kami menyelesaikan pemetaan di gua Cipaku pa-
mulut gua atau entrance, jika melihat kea rah kanan, ter-
da pukul 20.30, kami melanjutkan perjalanan ke gua
lihat lorong dengan gua diagonal, sedangkan kami
Leles untuk rigging tahap dua. Pada kesempatan ini, ka-
melanjutkan pemetaan di lorong lurus, sesuai dengan
mi tidak gagal kembali. Kami berhasil rigging, SRT-an
perintah leader.
pun diawali oleh raka. Disaat raka masih di dalam gua. Kami melihat ular melintas di entrance tersebut. Kami
Lorong yang kami pilih lebih dulu untuk di petakan ini
tidak boleh panik, dan tidak memberikan info untuk
sekilas mirip gua Pawon, di Rajamandala Kabupaten
raka, karena itu bisa membuat raka panik, setelah panik
Bandung Barat, karena gua tersebut berada di zona ter-
fikiran pun tidak jernih. Setelah raka kembali ke atas.
buka, zona dimana sinar matahari bisa masuk langsung,
Saya pun persiapan untuk SRT-an.
tanpa pantulan, lorong yang sudah kami petakan tidak begitu panjang, sekitar 50-100 meter saja. Hingga
Biasanya saya sedikit panik ketika melihat ular, apalagi
akhirnya kita selesai memetakan lorong tersebut pada
ularnya menghilang entah kemana dan memungkinkan
pukul 18.00 leader memutuskan untuk istirahat terlebih
untuk menyerang saya, namun anehnya saya melakukan
dahulu sebelum melanjutkan pemetaan ke lorong diago-
SRT tanpa memikirkan ular tersebut.
nal yang belum kami petakan. Kami berjalan keluar gua untuk istirahat. Setelah kami selesai istirahat, kami melanjutkan pemetaan gua di lorong yang belum di petakan. Lorong ini sangat menarik untuk saya, karena saya bisa menemukan air di bawahnya. Kami memetakan sepanjang gua dengan air yang mengalir di dalamnya.
Saya beruntung bisa melakukan SRT di gua ini. Karena di dalamnya terdapat ornament yang luar biasa. Ada air terjun dalam gua, air yang mengalir sangat jernih, dan ornamen seperti stalaktit, stalagmit, canopy, gourden,
gaudams, tihangan, dan banyak lagi.
Kami memetakan dengan lawan arus air sungai yang
Biasanya warga sekitar turun ke gua ini menggunakan
mengalir. Lorong ini tidak begitu lebar. Hanya sekitar 1-
bambu yang di buat semacam tangga untuk menuruninya,
2 meter saja lebarnya. Namun memiliki ketinggian yang
sangat tradisional, namun kurang safety.Kedalaman gua
beragam. Diawal lorong, tinggi lorong ini mencapai
ini diperkirakan sekitar 30-40 meter. Sayangnya saya tid-
20meter.
ak membawa kamera untuk mendokumentasikan apa
Lorong ini dihuni oleh banyak kelelawar, tercium guano atau kotoran kelelawae ketika kami memasuki lorongnya, beberapa meter kami memetakan di lorong ini, semakin sempit dan semakin rendah tingginya, kami harus berjalan setengah jongkok karena memasuki reptile hole.
yang ada dibawah, karena kamera yang low battery. Di kesempatan ini, hanya saya dan Raka yang melakukan SRT. Karena waktu yang sudah menunjukkan sudah pukul 2 dini hari kami kembali ke basecamp untuk istirahat.
| 31
Minggu pagi hari kami membersihkan alat-alat yang bisa
Sesuai janji Raka sebelumnya untuk makan malam di
dibersihkan seperti kernmantel, webbing, dan lain-
rumahnya, di tengah perjalanan ke Bandung di cianjur
lainnya. Pukul 10 kami evaluasi kegiatan sebelum kami
kami transit kembali untuk makan malam. Karena saya
kembali pulang ke Bandung.
Setelah evaluasi, makan
masih kenyang, jadi saya tidak bergabung untuk makan
siang dan membersihkan dan merapihkan basecamp pada
bersama, saya lebih memilih untuk istirahat sebentar, me-
pukul 12, kami siap untuk pulang ke Bandung. Kami
mejamkan mata 15 menit. Selesai makan malam kami
transit di rumah mang Oka silaturahmi, bercanda ria, dan
melanjutkan perjalanan ke Bandung. Sekitar pukul 00.00
makan sore bersama. Pukul 17 saat itu, kami melanjut-
kami semua tiba di secretariat JANTERA Negala.
kan perjalanan menuju Bandung. Sholat magrib di SPBU terdekat, kemudian melanjutkan perjalanan kembali. Per-
jalanan pulang kali ini menurut saya sangat menarik, karena kita menggunakan 10 motor yang bisa di bilang
touring, terasa perjalanan pulang lebih cepat dibandingkan dengan perjalanan pergi, saya sebagai surveyor hanya pergi dengan menggunakan 2 motor, terasa lebih sepi.
Pengalaman yang menarik bagi saya melakukan kegiatan
ini. Karena saya menikmati prosesnya dan sangat menerima hasilnya dengan gembira—Fauzia Rahmawati* *penulis adalah Mahasiswi Pendidikan Geografi 2015 dan Anggota Muda Jantera 35 (Adanu Abimantra Satria)
32 | Catatan Perjalanan - September 2016
Pendakian Gunung Rakutak Oleh: Ahmad Hasan. F
| 33
34 | Catatan Perjalanan - September 2016
Anggota Muda Jantera 35 dan 34 Berfoto ceria di Pun Foto : Dokumentasi Jantera
| 35
Puncak Gunung Rakutak
36 | Catatan Perjalanan - September 2016
| 37
38| Jantera Nya-Stra - September 2016
| 39
40 | Carita-carita Jan! - September 2016
Carita-carita Jan! “Berkunjung ke Gedung Teropong”
Berbagi Cerita, Berbagi Pengalaman Di Gedung Teropong Foto : Dokumentasi Jantera
| 41
42 | Carita-carita Jan! - September 2016
| 43
Pameran Trotoar Jantera di Kala Teropong Barat Menggema Foto : Dokumentasi Jantera
44 | Carita-carita Jan! - September 2016
Carita-carita Jan! “Hormatku untuk Gedung Teropong Barat”
| 45
46 | Carita-carita Jan! - September 2016
Carita-carita Jan! “Awal yang Tak Bermula”
“Hanya mati yang membuat kreativitas seorang manusia terhenti, tak ada lain selain mati hingga menjadi alasan untuk tidak berkarya”.
—Riki Ridwana—
| 47
Foto : Dokumentasi Jantera
Foto : Dokumentasi Jantera