BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Manusia dari lahir hingga akhir kehidupannya tidak selalu berjalan mulus seperti yang diharapkan dikarenakan setiap fase kehidupan memiliki kerentanan dan faktor risiko tersendiri. Hambatan dan gangguan dapat ditemui pada setiap fase dan aspek perkembangan seorang individu termasuk diantaranya perkembangan emosi. Emosi memiliki fungsi penting dalam membantu individu beradaptasi namun dapat pula membawa konsekuensi maladaptif bila emosi tidak terintergrasi dengan sistem perkembangan yang lain (Izard & Harris dalam Kerig & Wenar, 2006). Dengan kata lain gangguan mental emosional pada anak dapat menimbulkan hambatan dalam berbagai aspek perkembangan. Oleh karena
itu
perkembangan
emosi
perlu
dipahami
baik
dalam
konteks
perkembangan yang normal maupun psikopatologi (Kerig & Wenar, 2006). Pada tahapan perkembangan emosi tugas utama seorang individu adalah belajar mengenali, memahami dan mempertimbangkan emosi dirinya dan orang lain. Kerig dan Wenar (2006) menyatakan bahwa memahami emosi merupakan bagian terpenting untuk berkembang secara individual, termasuk pembentukkan konsep diri, hubungan antara pribadi, perkembangan moral dan regulasi emosi. Disamping perkembangan emosi yang adaptif, regulasi emosi juga merupakan karateristik yang kerap dijumpai dalam berbagai bentuk psikopatologi misalnya kehadiran gejala patologis seperti kecemasan, kekesalan atau kegembiraan yang tidak sesuai konteks, dapat pula berupa adanya ketidakhadiran emosi tertentu dan afeksi negatif yang menetap (Cole, Martin, & Dennis, 2004; Diamond &
1
2
Aspinwall, 2003; Kerig & Wenar, 2006). Ketidakmampuan atau kegagalan individu dalam memahami emosinya akan mengakibatkan kesulitan atau gangguan dalam beradaptasi atau menyesuaikan diri dengan lingkungannya. Dalam kehidupan sosial saat ini kemampuan seorang individu untuk mengontrol emosinya merupakan karakteristik yang sangat dibutuhkan (Hannesdottir & Ollendick, 2007). Pada anak-anak emosi banyak berperan dalam mengatur pengalaman dan perilaku mereka serta merupakan pusat untuk membangun hubungan dengan orang lain (Langlois dalam Hannesdottir & Ollendick, 2007). Setiap anak memiliki kemampuan yang berbeda dalam meregulasi dan menata keadaan emosinya terutama emosi negatif (Kenaan, 2000). Strategi anak-anak untuk meregulasi emosi mempunyai peran penting dalam mengatasi, menjaga dan mencegah keadaan emosi negatif. Bagi anak kecil yang mengalami stres yang panjang dan kesedihan mungkin bermasalah dalam meregulasi keadaan emosi negatif dan kemungkinan akan berkembang menjadi depresi (Durbin & Shafir, 2008). Perbedaan individual dalam kapasitas dan strategi regulasi emosi ini dapat terus berlanjut hingga dewasa, kemudian dapat mempengaruhi gaya coping, pemecahan masalah, proses dukungan sosial, hubungan yang berkualitas serta kesehatan mental dan fisiknya (Diamond & Aspinwall, 2003). Ini berarti diperlukan beragam ketrampilan untuk mengelolah emosi termasuk mengenali perubahan emosi, ketepatan menginterpretasi kondisi yang menuntun pada perubahan suasana hati (mood), pengaturan tujuan untuk merubah suasana hati dan menerapkan respon coping yang tepat. Menurut Cole, dkk (2004) emosi mengatur pengalaman anak-anak dengan berbagai cara dan biasanya anakanak belajar secara efektif untuk mengembangkan ketrampilan regulasi
3
emosinya melalui interaksi dengan orang tua dan teman sebaya (Schelble, Franks, & Miller, 2010). Guru dan media juga memberi andil terhadap kemampuan anak dalam regulasi emosi (Bariola, Gullone, & Hughes, 2011). Dengan demikian sedapat mungkin seorang anak memperoleh pengasuhan yang memadai, dukungan sosial, dan kesempatan terlibat dalam aktivitas bermain agar dapat membentuk dasar yang kuat untuk mengembangkan ketrampilan regulasi emosi (Izard, Stark, Trentacosta, & Schultz, 2008). Dari
perspektif
klinis
terdapat
berbagai
bentuk
disregulasi
emosi
diantaranya adalah gangguan suasana hati (mood disorder). Keadaan suasana hati yang adaptif dan maladaptif merupakan salah satu indikator dalam menentukan keadaan afeksi seseorang. Ciri atau karakteristik suasana hati yang adaptif dan maladaptif ini ditandai oleh derajat iritabilitas (irritability) berupa frekuensi dan durasi gangguan (Stringaris, 2011). Dari perspektif perkembangan iritabilitas merupakan hal yang umum terjadi pada anak-anak dan remaja selama fase perkembangan tertentu. Disisi lain munculnya iritabilitas juga merupakan salah satu gejala paling umum ditemui pada anak-anak dan remaja dengan gangguan psikiatrik namun sulit didiagnosis (Leibenluft, Cohen, Gorrindo, Brook, & Pine, 2006; Stringaris, 2011). Anak dengan masalah iritabilitas dan suasana hati buruk ini sering mengalami hendaya dalam fungsi sosial, buruknya kualitas hubungan pertemanan, kesulitan akademis dan masalah perilaku di sekolah (Copeland, Angold, Costello & Egger, 2013; Schelble, dkk., 2010). Lebih lanjut Gilliom dan Shaw (dalam Hudson, 2013) mengemukakan bahwa iritabilitas merupakan petunjuk awal kerentanan seorang individu mengalami risiko kesulitan penyesuaian pada periode anak usia pertengahan (middle childhood) dan periode perkembangan selanjutnya.
4
Iritabilitas merupakan gejala yang muncul pada beberapa gangguan psikiatri anak (Krieger, Leibenluft, Stringaris, & Polanczyk, 2013; Leibenluft, dkk., 2006; Sparks, dkk., 2014; Stringaris, Cohen, Pine, & Leibenluft, 2009; Stringaris, 2011). Pentingnya karateristik iritabilitas dalam perkembangan psikopatologi tergambar dengan jelas dalam DMS-IV (American Psychiatric Association, 1994) yang ditemui pada beberapa gangguan seperti dysthymia pada anak-anak, gangguan bipolar, gangguan kecemasan menyeluruh (generalised anxiety disorder/GAD),
gangguan
tingkah
laku
menentang
(opposite
deviant
disorder/ODD), gangguan pemusatan perhatian dan hiperaktivitas (attention deficit - hyperaktivity disorder/ADHD), gangguan depresi mayor (major depressive disorder/MDD), hypomanic atau manic episodes, gangguan bipolar (bipolar disorder). Dalam DSM-V dapat ditemukan pada klasifikasi Disruptive Mood Dysregulation Disorder (DMDD) (American Psychiatric Association, 2013) dengan prevalensi kasus DMDD 0.8% - 3.3% (Copeland, Angold, Costello, & Egger, 2013). Dalam ICD-10 iritabilitas terdapat pada kriteria gangguan bipolar sepanjang hidup (World Health Organization, t.t.) Leibenluft, dkk (2006) dalam penelitian longitudinal membedakan iritabilitas menjadi dua tipe yakni episodik dan kronis. Penelitian ini menemukan bahwa keadaan iritabilitas episodik pada masa anak-anak berhubungan dengan munculnya keadaan suasana hati, kecemasan, fobia sederhana, mania dan depresi pada fase perkembangan selanjutnya. Iritabilitas kronis pada masa anakanak berhubungan dengan gangguan perilaku merusak pada masa remaja awal, memprediksi gangguan ADHD dan ODD pada masa anak-anak akhir dan gangguan depresi mayor (MDD) pada masa dewasa awal (Krieger, dkk., 2013 & Leibenluft, dkk., 2006). Iritabilitas pada masa anak-anak juga merupakan
5
prediktor terhadap munculnya gangguan depresi dan kecemasan pada 20 tahun kemudian atau pada masa dewasa (Stringaris, dkk., 2009). Hubungan antara iritabilitas dengan gangguan telah dibuktikan pula dalam penelitian yang menguji hubungan antara emosionalitas, regulasi diri, penyesuaian masalah dan penyesuaian positif pada anak-anak berusia 7–10 tahun (Lengua dalam Hudson 2013). Bukti empiris hubungan antara gejala iritabilitas dengan internalisasi dan eksternalisasi gangguan telah dilaporkan dalam literatur psikopatologi. Penelitian Hudson (2013) menguji peran iritabilitas pada kanak-kanak pra sekolah membuktikan bahwa iritabilitas berperan sebagai mediator internalisasi dan eksternalisasi gejala pada kanak-kanak. Leibenluft dan Stoddard (2013) mengemukakan bahwa perkembangan psikopatologi iritabilitas pada periode anak usia pertengahan penting juga didalami karena pada masa ini iritabilitas cenderung menurun dan perkembangan karakteristiknya tidak tersistematis. Beberapa studi terkait pada fase perkembangan ini menemukan bahwa kemarahan/frustrasi berhubungan dengan buruknya regulasi diri dan masalah perilaku. Anak dengan kemarahan dan reaksi agresi yang menetap mengalami penolakan dari teman sebaya, menunjukkan sikap permusuhan terhadap orang lain, kurang fleksibel dalam menginterpretasi dan merespon petunjuk sosial (Leibenluft & Stoddard, 2013). Disamping itu sebagaimana telah diuraikan di atas beberapa gangguan mental emosional dalam DSM memiliki onset di bawah umur 10 dan 15 tahun. Ini berarti onset gangguan terjadi pada periode anak usia pertengahan dan remaja. Studi morbiditas Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) pada tahun 1995 di Jawa dan Bali mungkin merupakan salah satu penelitian yang
6
menyajikan informasi mengenai prevalensi gangguan mental emosional pada kelompok anak di bawah 15 tahun. Studi ini mendapatkan angka gejala gangguan mental emosional dengan menggunakan Report Questionnaire for Children (RQC) sebesar 99 per 1000 penduduk dengan angka pada anak laki lebih tinggi dibandingkan dengan anak perempuan (117:76). Lebih lanjut studi ini menemukan ada beberapa jenis gangguan mental emosional anak, yaitu: depresi, kesedihan (grief), post traumatic stress disorder (PTSD), attention deficit hyperactivity disorder (ADHD), gangguan antisosial. Gangguan-gangguan ini mempunyai etiologi dan penanganan yang berbeda. Ada yang memiliki prognosis baik misalnya PTSD dan ada yang kurang baik misalnya gangguan bipolar-2 (Isfandari & Suhari, 1997). Meskipun data ini kurang relevan dengan situasi saat ini namun setidaknya telah memberikan petunjuk bahwa kasus iritabilitas dalam komorbit gangguan telah ditemukan pada populasi di Indonesia. Wiguna, Manengkei, Pamela, Rheza dan Hapsari (2010) melakukan penelitian masalah emosi dan perilaku pada 161 pasien anak (65,90%) dan remaja (34,10%) di rumah sakit dr. Ciptomangunkusumo (RSCM) Jakarta melaporkan bahwa masalah teman sebaya (54,80%) dan emosi (42,20%) merupakan masalah terbesar yang dijumpai pada pasien yang datang berobat ke poliklinik jiwa anak dan remaja. Proporsi tertinggi dari masalah perilaku terdapat pada anak di bawah umur 12 tahun. Depresi dan cemas merupakan masalah emosi yang paling banyak dijumpai dengan prevalensi terbesar pada anak perempuan di bawah umur 12 tahun. Temuan lain di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) diketahui bahwa dari 1902 pasien anak dan remaja (berumur 1–19 tahun) yang berkunjung ke puskesmas, 46,37% diantaranya memiliki masalah gangguan emosi dan perilaku. Data ini diperoleh berdasarkan Sistem
7
Informasi Kesehatan Mental (SIKM), kerjasama antara Center for Public Mental Health (CPMH) Fakultas Psikologi UGM dengan Dinas Kesehatan Kabupaten Sleman dan Kota Yogyakarta dari tahun 2011 hingga Maret 2013 (Oktaviana & Wimbarti, 2014). Temuan dari ketiga penelitian ini telah memberikan gambaran mengenai masalah perkembangan emosi pada anak dan remaja dengan prevalensi terbesar dialami oleh anak usia pertengahan. Dari perspektif perkembangan pada anak usia pertengahan terjadi peningkatan kapasitas regulasi diri yang ditandai dengan meningkatnya usaha anak untuk mengatur perilaku, emosi, dan pikirannya yang menuntun pada meningkatnya kompetensi sosial dan prestasi (Santrock, 2013). Lebih lanjut Santrock mengemukakan bahwa kemampuan mengontrol diri meningkat dari usia 4–10 tahun dan kemampuan kontrol diri yang tinggi berhubungan dengan rendahnya derajat perilaku menyimpang. Secara teoritis anak-anak usia pertengahan telah memiliki ketrampilan mengelola emosi yang dapat membantu anak beradaptasi dengan lingkungan namun disisi lain data empiris melaporkan bahwa anak-anak usia pertengahan rentan mengalami masalah emosi. Di Indonesia, penelitian tentang masalah kesehatan mental emosional anak cukup banyak ditemui terutama penelitian yang dilakukan di rumah sakit (Isfandari & Suhari, 1997), namun konstrak iritabilitas belum menjadi perhatian untuk dikaji lebih dalam. Penelusuran literatur penelitian iritabilitas di Indonesia sejauh ini belum ditemukan oleh peneliti. Sementara fakta di lapangan gejala iritabilitas dengan komorbitnya relatif banyak dijumpai misalnya pada kasus anak-anak dengan gangguan CD, ADHD, dan ASD namun data atau laporan resmi secara nasional tentang prevalensi gangguan mental emosional pada anak
8
terbatas. Hasil Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) di Indonesia tahun 2013 (Kemenkes RI, 2013) hanya melaporkan prevalensi gangguan mental emosional pada anak berumur ≥15 tahun. Data terbaru tentang prevalensi gangguan mental emosional pada anak berumur ≤15 tahun, hingga saat ini belum ada. Salah satu organisasi kesehatan mental di Amerika, National Institute of Mental Health (NIMH) menyatakan iritabilitas kronis merupakan salah satu alasan paling umum bagi anak-anak menjalani evaluasi dan penanganan klinis. Data klinis prevalensi iritabilitas pada anak dan remaja sebesar 3% dari populasi umum (Leibenluft & Stoddard, 2013). Disadari pula masih adanya kesenjangan antara gejala dan pengetahuan yang mendasari mekanisme serta perjalanan gejala iritabilitas menjadi gangguan psikiatrik, sehingga mendorong NIMH memasukkan iritabilitas kronis pada masa anak-anak dalam program kerja organisasi untuk diteliti lebih lanjut (Rockville, 2014). Berbagai faktor dapat mempengaruhi kerentanan masalah emosi pada anak usia pertengahan yang mempengaruhi kemampuannya dalam meregulasi emosi dan suasana hati termasuk suasana hati yang iritasi. Faktor risiko genetik dan lingkungan berperan hampir seimbang dalam etiologi iritabilitas pada seorang anak. Upaya mendalami pengaruh faktor genetik terhadap iritabilitas individu dan psikopatologis dapat dilihat pada temuan penelitian Hudson (2013) yang menyimpulkan bahwa iritabilitas diwariskan oleh ibu hamil dengan masalah iritabilitas kepada janinnya. Stringaris, Zaros, Leibenluft, Manghan, dan Eley (2012b) meneliti sampel 2.615 remaja kembar berusia 12-19 tahun. Dalam analisa cross-sectional dan longitudinal menemukan bahwa faktor genetik adalah penyumbang pada hubungan antara iritabilitas dan depresi.
9
Pengaruh
faktor
biologis
terhadap
perkembangan
iritabilitas
juga
dikemukakan oleh Ryan (2013) bahwa terdapat banyak perbedaan pada tiap tahap perkembangan oleh karena itu penting untuk memahami secara garis besar sistem otak dalam rentang perkembangan tersebut sembari meneliti domain lainnya seperti rentang perkembangan iritabilitas dimulai dari keadaan normal hingga menjadi gangguan, meneliti berbagai tingkat asesmen dan mengkaji dimensi iritabilitas daripada sekedar membuat kategori ukur. Temuan studi neurobiologi iritabilitas membuktikan anak yang secara klinis signifikan mengalami iritabilitas memiliki kemampuan yang buruk dalam mengenali emosi wajah sama hal dengan adanya disfungsi amigdala (Leibenluft & Stoddard, 2013). Penelitian Leibenluft, dkk (2006) dan Leibenluft (2011) menemukan bahwa iritabilitas episodik dan kronis pada masa anak-anak berhubungan dengan usia. Iritabilitas episodik menunjukkan variasi linear dengan usia dan peningkatan variasi iritabilitas kronis puncaknya pada usia pertengahan masa remaja. Bila dihubungkan dengan faktor jenis kelamin terdapat perbedaan iritabilitas kronis dan episodik yang konsisten antara remaja pria dan perempuan, remaja perempuan lebih mudah menjadi iritasi dibandingkan remaja pria. Penelitian lain yang dilakukan oleh Hudson (2013) pada kanak-kanak berumur 3–5 tahun menemukan tidak ada perbedaan iritabilitas yang signifikan pada anak laki-laki dan perempuan. Pada bayi, terdapat perbedaan iritabilitas antara bayi laki-laki dan perempuan. Dari dua penelitian ini membuktikan terdapat perbedaan iritabilitas pada laki-laki dan perempuan namun perbedaan ini bukan bersifat kontinum dari masa perkembangan sebelumnya ke masa perkembangan selanjutnya atau dengan kata lain jenis kelamin tidak mempengaruhi iritabilitas.
10
Faktor keluarga dan sosial dari perkembangan anak seperti relasi keluarga, status sosial ekonomi keluarga, anak yang mendapatkan perlakuan salah (misalnya kekerasan) dan lingkungan sosial (seperti relasi dengan teman sebaya) berhubungan dengan meningkatkan reaksi agresi atau sifat marah, dan mengalami iritabilitas berat (Leibenluft & Stoddard, 2013). Bentuk keluarga, model pengasuhan orang tua dan dinamika keluarga dapat berbeda-beda pada satu keluarga dengan keluarga lain namun dimensi yang sama yakni hubungan ibu-anak ditemukan berkaitan dengan dampak positif pada anak (Emery & Kitzmann, 1995). Carrere dan Bowie (2012) mengemukakan pengasuhan orangtua terutama ibu berperan penting dalam membantu anak mengembangkan ketrampilan regulasi emosi yang sehat. Orangtua mengenalkan kepada anak-anaknya tentang emosi, menjadi model emosi yang pantas dalam menanggapi situasi yang penuh stres dan konflik, melatih memaknai emosi, bagaimana mengelola emosi dengan sukses dan mengajari anak-anak ekspresi emosi yang sesuai dengan aturan sosial. Temuan dari beberapa studi menyimpulkan bahwa afek negatif orangtua terhadap anak dapat berpengaruh pada ekspresi afek negatif dari remaja dan anak-anak terhadap orang tuanya (Lagacé-Séguin & Coplan, 2005). D’Eramo (2001) mengatakan dua aspek utama dari lingkungan rumah yang menjadi pusat awal mula dan bertahan lamanya masalah perilaku pada anak adalah konflik keluarga dan emosionalitas ibu. D’Eramo menjelaskan bahwa telah terbukti konflik keluarga dan emosionalitas ibu berhubungan dengan gejala internalisasi dan eksternalisasi masalah, serta berdampak pada perilaku anak. Emosionalitas ibu menjadi faktor utama dalam menentukan munculnya gejala
11
internalisasi dan eksternalisasi (Caron & Rutter, 1991). Dalam menjalankan tugas pengasuhan, orangtua terutama ibu diharapkan memiliki ketrampilan dalam meregulasi emosinya agar dapat mensosialisasikan emosi kepada anakanaknya. Ketrampilan orang tua dalam menyadari dan memahami emosinya serta mensosialisasikan emosi kepada anak-anaknya dikenal dengan istilah meta-emosi orangtua yang dikemukakan oleh Gottman, Katz, dan Hooven pada tahun 1996 (Katz, Maliken & Stettler, 2012; Lagacé-Séguin & Coplan, 2005). Beberapa studi tentang pentingnya peran meta-emosi orangtua yang dirangkum oleh Katz, dkk (2012) menemukakan bahwa anak-anak yang mendapatkan banyak bimbingan tentang kemarahan lebih dapat meregulasi diri dan sedikit menunjukkan eksternalisasi masalah pada waktu 3 tahun kemudian atau ketika mereka remaja. Penelitian yang lain pada remaja dengan gejala depresi,
menyimpulkan
bahwa
ibu
yang
penuh
penerimaan
dan
mengekspresikan emosinya memiliki anak dengan gejala depresi yang rendah, memiliki harga diri yang tinggi dan kurang mengalami internalisasi dan eksternalisasi masalah. Berdasarkan temuan-temuan tersebut maka penelitian ini lebih difokuskan pada ibu daripada ayah karena ibu lebih banyak terlibat dalam kehidupan emosional anak (Klimes-Dougan dkk dalam Buckholdt, Kitzmann, & Cohen, 2014). Perkembangan kompetensi emosi anak juga dipengaruhi oleh interaksi dengan agen lain yang mensosialisasikan emosi seperti teman sebaya. Relasi dengan teman sebaya dan pertemanan memberikan kesempatan untuk persahabatan, penerimaan dan keintiman. Ketiadaan persahabatan karena penolakan, konflik atau penarikan diri berhubungan dengan kemunculan malasuai (maladjustment) (Bukowski & Adams; Dishion & Piehler dalam Parritz &
12
Troy, 2014).
Parker, Rubin, Price, dan DeRosier (1995) menyatakan bahwa
anak-anak yang berhasil menjalin relasi dengan teman sebaya berada dalam jalur adaptif dan sehat secara psikologis, sedangkan anak yang gagal beradaptasi dengan lingkungan pergaulan teman sebaya berisiko mengalami malasuai. Katz, dkk (2012) menyatakan bahwa anak yang mendapatkan bimbingan emosi dari orang tua cenderung lebih dapat beradaptasi secara sosial, memiliki peningkatan kompetensi sosial dan memiliki relasi teman sebaya yang lebih
baik
dibandingkan
dengan
anak
yang
orangtuanya
cenderung
mengabaikan emosi. Anak-anak yang memiliki ketrampilan regulasi diri yang efektif dapat memodulasi emosi mereka dalam konteks intens emosi yang dibangkitkan ketika teman mereka mengucapkan hal negatif (Santrock, 2010). Literatur penelitian tentang status sosial ekonomi (SSE) melaporkan bahwa faktor sosial-ekonomi orangtua berpengaruh terhadap perilaku misalnya perilaku anti sosial, menentang, iritabilitas (Piotrowska, Stride, Croft, & Rowe, 2015) dan emosionalitas anak. Orang tua dengan SSE rendah berpengaruh terhadap masalah kesehatan mental anak (Davis, Sawyer, Lo, Priest, & Wake, 2010). Ibu dan anak dari keluarga SSE rendah memiliki risiko lebih besar mengalami ketegangan. Status risiko ibu dan anak ini dapat mempengaruhi perilaku pengasuhan ibu dan meningginya emosionalitas terutama emosionalitas yang kurang menyenangkan pada ibu dan anak. Jika emosionalitas anak cenderung meninggi dan sebagian besar emosi yang paling sering dialami dan paling kuat adalah yang tidak menyenangkan, dapat berupa kemarahan, ketakutan, kecemburuan atau rasa iri maka anak akan membuat anak berada dalam keadaan tidak seimbang menjadi uring-uringan, kesal dan sedih (Hurlock, 2005). Berdasarkan temuan beberapa penelitian menyatakan bahwa pengalaman
13
kesulitan ekonomi pada keluarga dari SSE rendah berhubungan dengan kecemasan, depresi dan iritabilitas pada anak (Berns, 2007). Terdapat bukti penelitian lain yang melaporkan bahwa meskipun ibu-anak SSE rendah berada dalam situasi berisiko namun terdapat pengaruh positif antara ibu SSE rendah dengan
ketrampilan
prososial
anak
(Brop-Herb,
Stansbury,
Bockenk,
& Horodynski, 2012). Dengan demikian maka penelitian tentang faktor risiko dan pelindung dari keluarga dan teman sebaya dapat memberikan pemahaman yang komprehensif akan munculnya iritabilitas sehingga dapat bermanfaat untuk memperjelas aspek etiologi, penyebab, prognosis, strategi prevensi dan intervensi gangguan mental emosional pada anak dan remaja. Bertolak dari pemikiran di atas maka peneliti tertarik untuk melakukan penelitian hubungan antara aspek gaya emosi ibu, relasi anak dengan teman sebaya, dan status sosial-ekonomi orangtua dengan iritabilitas pada anak usia pertengahan.
B.
Rumusan Permasalahan
Dari perspektif perkembangan, iritabilitas merupakan salah satu gejala yang ditemukan pada tiap fase perkembangan. Sementara dari perspektif psikopatologi iritabilitas juga merupakan salah satu karakteristik gejala yang disebut dalam beberapa gangguan mental emosional anak dan remaja. Keunikan iritabilitas mendorong peneliti untuk mengkaji lebih dalam mengenai konstrak ini. Berdasarkan konteks penelitian di atas, terdapat beberapa pertanyaan yang ingin dijawab melalui penelitian ini antara lain: 1.
Apakah ada hubungan antara gaya emosi ibu dengan iritabilitas pada anak usia pertengahan?
14
2.
Apakah ada hubungan antara relasi anak dengan teman sebaya dengan iritabilitas pada anak usia pertengahan?
3.
Apakah ada hubungan antara status sosial-ekonomi orangtua dengan iritabilitas pada anak usia pertengahan?
C.
Tujuan Penelitian
Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui apakah ada peran faktor risiko dan pelindung dari lingkungan, keluarga dan sosial yakni gaya emosi ibu, relasi anak dengan teman sebaya dan status sosial ekonomi orangtua terhadap kemunculan iritabilitas pada anak usia pertengahan.
D.
Manfaat Penelitian
Adapun sumbangan teoritis dari penelitian ini diharapkan mampu memberikan sumbangan pengetahuan mengenai karakteristik yang khas dari iritabilitas pada masa anak pertengahan serta dapat memperkaya khasana pengembangan pengetahuan di bidang psikologis klinis, psikologi perkembangan dan psikiatri di Asia pada umumnya dan Indonesia khususnya. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat digunakan sebagai referensi dalam upaya peningkatan penatalaksanaan masalah perilaku dan emosi pada anak-anak dan remaja khususnya berkaitan dengan disregulasi suasana hati (mood dysregulation) demi tercapainya peningkatan kesejahteraan psikologis dan kualitas hidup. Manfaat praktis bagi subyek penelitian diharapkan dapat memberikan ketrampilan dalam mengenal dan memahami emosi khususnya suasana hati.
15
E.
Keaslian Penelitian
Berdasarkan pencarian literatur yang dilakukan oleh peneliti terdapat beberapa penelitian iritabilitas yang dilakukan di luar negeri. Penelitian tersebut antara lain: 1.
Irritability in Children: Same as Frustration and Anger? Dilakukan oleh Karyn Brasky Kozy (2014), dengan menggunakan pendekatan model tiga emosi mengkaji konstrak iritabilitas, marah dan frustrasi pada anak-anak.
2.
Irritability: A Study of Its Origin, Nature and Role in Relation to Disorder yang dilakukan oleh Hudson (2013), meneliti hubungan iritabilitas dan gejala gangguan pada masa kanak-kanak serta memahami peran iritabilitas pada gangguan di masa dewasa dan potensi intergenerasi mewariskan iritabilitas dari ibu ke anaknya.
3.
Penelitian longitudinal Adult Outcomes of Youth Irritability: A 20-Years Prospective Community Based Study yang dilakukan oleh Stringaris, dkk (2009) pada populasi masyarakat pedesaan di Amerika Serikat. Penelitian ini untuk mengetahui iritabilitas yang terjadi pada masa kanak-kanak awal dan dampaknya pada pertengahan masa dewasa.
4.
Leibenluft, dkk (2006) juga melakukan penelitian longitudinal Cronic Versus Episodic Irritability in Youth: A Community-Based, Longitudinal Study of Clinical and Diagnnostic Associations yang secara khusus meneliti tentang perbedaan tipe iritabilitas kronis dan episodik pada anak-anak.
Penelitian yang dilakukan oleh Hudson dan Stringaris, dkk menekankan pada perkembangan iritabilitas dalam konteks fase-fase perkembangan manusia dan hubungan iritabilitas dengan gejala psikopatologi. Penelitian Leibenluft, dkk
16
menekankan pada memvalidasi konsep iritabilitas episodik dan kronis. Perbedaan penelitian ini dengan ketiga penelitian yang telah disebutkan di atas adalah penelitian ini lebih mengkhususkan untuk mengeksplorasi konsep iritabilitas pada satu fase perkembangan manusia yakni pada masa anak pertengahan. Dalam penelitian ini peneliti menggunakan pendekatan kuantitatif dan kualitatif guna memperoleh informasi yang komprehensif mengenai konsep iritabilitas pada masa anak pertengahan. Penelitian tentang keadaan suasana hati (mood) positif, negatif atau netral di Indonesia, telah banyak diteliti namun penelitian tentang suasana hati yang iritasi sepengetahuan peneliti tergolong relatif baru dan penelusuran literatur sejauh ini belum ditemukan penelitian dengan fokus pada konstrak suasana hati yang iritasi atau rentan menjadi marah (mood irritability) pada populasi masyarakat Indonesia.