KECERNAAN NUTRIEN PADA PEDET PERANAKAN FRISIAN HOLSTEIN PRA SAPIH YANG DIINOKULASI BAKTERI PENCERNA SERAT
SKRIPSI NURLITA RAHAYU
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 i
RINGKASAN NURLITA RAHAYU. D24061001. 2010. Kecernaan Nutrien pada Pedet Peranakan Frisian Holstein Pra Sapih yang Diinokulasi Bakteri Pencerna Serat. Skripsi. Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Pembimbing Utama : Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc. Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A., MS., M.Sc. Pedet pada periode menyusu sebelum berumur tiga bulan sangat rendah daya adaptasinya terhadap pakan maupun lingkungan sehingga mengakibatkan tingginya kematian akibat kesalahan manajemen pakan. Lambatnya adaptasi saluran pencernaan pedet khususnya rumen terhadap pakan kering dapat menyebabkan pertumbuhan yang lambat dan meningkatnya biaya pembesaran pedet. Stimulasi perkembangan mikroba rumen merupakan salah satu upaya memanipulasi ekosistem rumen. Perkembangan bakteri pencerna serat di dalam rumen pedet sejalan dengan peningkatan kemampuan konsumsi dan kecernaan komponen pakan kering serta sintesis protein mikroba. Bakteri pencerna serat yang berasal dari rumen kerbau dianggap dapat mencerna serat kasar lebih efisien dibanding sapi. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendorong perkembangan saluran pencernaan dan mengkaji pengaruh inokulasi bakteri pencerna serat terhadap konsumsi, fermentasi, dan kecernaan nutrien pada pedet peranakan Frisian Holstein pra sapih yang diberi calf starter. Penelitian dilaksanakan dari bulan November 2009 sampai dengan Maret 2010, bertempat di komplek kandang A, kandang sapi perah Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Ternak yang digunakan adalah 7 ekor pedet peranakan Frisian Holstein (PFH) yang berumur 1 bulan. Pedet secara acak mendapatkan perlakuan dan kontrol. Sebanyak 4 ekor pedet diinokulasi bakteri pencerna serat sebagai perlakuan dan 3 ekor pedet tanpa inokulasi sebagai kontrol. Bakteri pencerna serat yang digunakan berasal dari cairan rumen kerbau. Isolat bakteri merupakan koleksi laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Departemen INTP. Inokulasi dilakukan sebelum pemberian susu pada pagi hari per oral sebanyak 20 ml per hari. Peubah yang diamati adalah: (1) Konsumsi bahan kering (BK), serat kasar (SK), lemak kasar (LK), bahan ekstrak tanpa nitrogen (Beta-N), dan TDN (total digestible nutrient) (2) Kecernaan bahan kering (KBK) dan kecernaan bahan organik (KBO), (3) Total VFA, dan (4) Konsentrasi NH3. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Uji-t. Inokulasi bakteri tidak berpengaruh terhadap konsumsi BK, PK, SK, LK, Beta-N, dan TDN. Namun semua pedet yang diinokulasi bakteri pencerna serat memiliki tingkat konsumsi BK, PK, SK, LK, Beta-N, dan TDN yang normal. Kecernaan BK, PK, SK, LK, dan Beta-N tidak dipengaruhi oleh inokulasi bakteri pencerna serat. Kondisi tingkat kecernaan pada kedua kelompok pedet tersebut masih belum dapat menggambarkan adanya perbedaan aktifitas mikroba rumen. Pertumbuhan maksimum pada kelompok pedet kontrol mencapai 571,43 g/ekor/hari dengan konsumsi TDN 724,31 g/ekor/hari, sedangkan kelompok pedet yang diberi inokulasi bakteri pencerna serat pertumbuhan maksimum mencapai ii
428,57 g/ekor/hari dengan konsumsi TDN 559,82 g/ekor/hari. Hal tersebut menunjukkan bahwa pedet yang diberi inokulasi lebih efisien dalam penggunaan nutrien sehingga untuk mendapatkan pertumbuhan maksimumnya dibutuhkan konsumsi TDN yang rendah. Inokulasi bakteri pencerna serat tidak mampu meningkatkan kadar VFA total cairan rumen. Konsentrasi VFA pada perlakuan inokulasi memiliki nilai 147,50 mM dan kontrol sebesar 126,67 mM, dapat disimpulkan bahwa pedet yang diinokulasi memiliki fermentabilitas pakan yang sama yang berarti pertumbuhan mikroba rumen pencerna serat pada kedua perlakuan juga sama. Inokulasi bakteri pencerna serat pun tidak berpengaruh nyata terhadap konsentrasi NH3. Rataan konsentrasi NH3 cairan rumen pedet yang diinokulasi yaitu 18,79 mM sedangkan pada perlakuan kontrol sebesar 23,68 mM. Inokulasi isolat bakteri pencerna serat ke dalam rumen pedet pra sapih yang diberi calf starter tidak mampu meningkatkan konsumsi bahan kering, kecernaan, konsentrasi VFA total, dan konsentrasi NH3. Kata-kata kunci : pedet, nutrien, kecernaan, inokulasi bakteri
iii
ABSTRACT Nutrient Digestibility of Pre-Weaning Frisian Holstein Inoculated with Selulolitic Degrading Bacteria Rahayu, N., T. Toharmat and D. Evvyernie A. Calves in pre-weaning period is suceptible to the quality of calf starter and its management. High mortality during pre-weaning period is associated with low feed intake, low nutrient digestibility and high incident of diarrhea. Selulolitic bacteria is dominant in the rumen ecosystem and their growth has important roles in nutrien digestibility during pre-weaning period. Inoculation of bacteria improves the adaptation of the digestive system of new born calves on dry feed. The present experiment was designed to evaluate nutrient intake, digestibility, and fermentability as the response of new born calves to the inoculation of selulotic degrading bacteria isolates into the rumen. Four new born calves were inoculated with bacteria isolates oraly and another three calves were as control for four weeks. Calves were offered milk and calf starter accoding to their body weight. Intake of milk and calves starter was recorded. In the last weeks, total fecal output was collected and sampled for laboratory analysis. In the last day of experimental period, sample of rumen liquor was obtained using stomach tube and analysed for its VFA and NH3 content. The result indicated that inoculation of bacteria isolate had no effect on dry matter intake, nutrients digestibility, concentration of VFA, and concentration of NH3 in rumen liquor of calves. Keywords: calf, rumen, nutrient, digestibility, inoculated bacteria
iv
KECERNAAN NUTRIEN PADA PEDET PERANAKAN FRISIAN HOLSTEIN PRA SAPIH YANG DIINOKULASI BAKTERI PENCERNA SERAT
NURLITA RAHAYU D24061001
Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor
DEPARTEMEN ILMU NUTRISI DAN TEKNOLOGI PAKAN FAKULTAS PETERNAKAN INSTITUT PERTANIAN BOGOR 2010 v
Judul
: Kecernaan Kecernaan Nutrien Nutrien pada pada Pedet Pedet Peranakan Peranakan Frisian Frisian Holstein Holstein Pra Pra Sapih Sapih yang yang Diinokulasi Dinokulasi Bakteri Pencerna Serat
Nama
: Nurlita Rahayu
NIM
: D24061001
Menyetujui,
Pembimbing Utama,
(Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.AgrSc.) NIP. 19590902 198303 1 003
Pembimbing Anggota,
(Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A, MS., M.Sc.) NIP. 19610602 198603 2 001
Mengetahui: Ketua Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan
(Dr. Ir. Idat Galih Permana, M.Sc.Agr) NIP. 19670506 199103 1 001
Tanggal Ujian: 28 Oktober 2010
Tanggal Lulus:
vi
RIWAYAT HIDUP Penulis dilahirkan pada tanggal 21 Maret 1988 di Bogor. Penulis adalah anak kedua dari tiga bersaudara dari pasangan Bapak Asep Suryamin (Alm) dan Ibu Bety Sumiati. Penulis mengawali pendidikan dasar pada tahun 1994 di Sekolah Dasar Negeri Pabrik Es 1 Bogor dan diselesaikan pada tahun 2000. Pendidikan lanjutan tingkat pertama dimulai oleh penulis pada tahun 2000 dan diselesaikan pada tahun 2003 di Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama Negeri (SLTPN) 4 Bogor. Penulis kemudian melanjutkan pendidikan di Sekolah Menengah Atas Negeri (SMAN) 5 Bogor pada tahun 2003 dan diselesaikan pada tahun 2006. Penulis diterima di Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur Undangan Seleksi Masuk IPB (USMI) dan diterima di Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan pada tahun 2007.
vii
KATA PENGANTAR Alhamdulillahirabilalamin, puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT atas rahmat, karunia dan ridho-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan penelitian dan penulisan skripsi ini. Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Peternakan. Skripsi ini berjudul Kecernaan Nutrien pada Pedet Peranakan Frisian Holstein Pra Sapih yang Diinokulasi Bakteri Pencerna Serat. Penelitian ini dilakukan di komplek kandang A, kandang sapi perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan dan Laboratorium Ilmu Nutrisi Ternak Perah, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor, dari bulan November 2009 sampai dengan bulan Maret 2010. Persiapan dimulai dari penulisan proposal dilanjutkan dengan pencarian bahan dan alat yang digunakan pada penelitian, pelaksanaan penelitian dan penulisan hasil. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengkaji pengaruh inokulasi bakteri pencerna serat terhadap konsumsi, fermentasi, dan kecernaan nutrien pada pedet peranakan Frisian Holstein pra sapih yang diberi calf starter. Penulis memahami bahwa dalam penulisan skripsi ini masih banyak terdapat kekurangan. Besar harapan penulis adanya sumbangan pemikiran dari berbagai kalangan untuk perbaikan skripsi ini. Penulis mengucapkan terima kasih kepada seluruh pihak yang telah ikut berperan sehingga penulisan skripsi ini dapat terselesaikan. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi pembaca. Bogor, Oktober 2010
Penulis
viii
DAFTAR ISI Halaman RINGKASAN .................................................................................................
ii
ABSTRACT ...................................................................................................
iv
RIWAYAT HIDUP ........................................................................................
vii
KATA PENGANTAR ....................................................................................
viii
DAFTAR ISI ..................................................................................................
ix
DAFTAR TABEL ..........................................................................................
xi
DAFTAR GAMBAR ......................................................................................
xii
DAFTAR LAMPIRAN ..................................................................................
xiii
PENDAHULUAN ..........................................................................................
1
Latar belakang .................................................................................... Tujuan .................................................................................................
2 2
TINJAUAN PUSTAKA .................................................................................
3
Keunggulan Rumen Kerbau ............................................................... Kecernaan Nutrien pada Ruminansia ................................................. Sistem Pencernaan Pedet .................................................................... Perkembangan Rumen Pedet .............................................................. Fermentasi oleh Mikroba Rumen ....................................................... Volatile Fatty Acid (VFA) dalam Rumen .......................................... Produksi N-Amonia ............................................................................ Total Digestible Nutrient (TDN) ........................................................
3 4 4 5 7 8 9 11
MATERI DAN METODE .............................................................................
12
Waktu dan Tempat ............................................................................. Materi ................................................................................................. Ternak yang Digunakan ......................................................... Kandang dan Peralatan ........................................................... Ransum penelitian .................................................................. Inokulum Bakteri Pencerna Serat ........................................... Analisis data ....................................................................................... Perlakuan Penelitian ............................................................... Peubah yang Diamati .............................................................. Prosedur .............................................................................................. Pemeliharaan Pedet ................................................................ Pengukuran Konsumsi Harian ................................................ Koleksi Sampel Feses ............................................................. Pengambilan Cairan Rumen ................................................... Analisis VFA dan NH3 ...........................................................
12 12 12 12 12 13 13 13 14 14 14 15 15 15 16
HASIL DAN PEMBAHASAN ......................................................................
17 17 ix
Konsumsi Nutrien ............................................................................... Kecernaan Nutrien .............................................................................. Konsumsi TDN (Total Digestible Nutrient) ....................................... Volatile Fatty Acid (VFA) .................................................................. Konsentrasi NH3 ................................................................................. KESIMPULAN DAN SARAN ...................................................................... Kesimpulan ......................................................................................... Saran ................................................................................................... UCAPAN TERIMA KASIH .......................................................................... DAFTAR PUSTAKA .....................................................................................
21 22 24 25 27 27 27 28 29 32
LAMPIRAN ...................................................................................................
x
DAFTAR TABEL Nomor 1.1. 2. 2.
halaman
Kandungan Nutrien Nutrien Bahan Calf Starter ....................................... Kandungan Pakan(100%BK) dan Calf Starter (100%BK) ........... Rataan Konsumsi Nutrien Asal Susu dan Calf Starter pada Pedet Pra Rataan Konsumsi Nutrien Asal Susu dan Calf Starter pada Pedet Pra Sapih dengan atau Tanpa Inokulasi Isolat Bakteri .............................. Sapih dengan atau tanpa Inokulasi Bakteri Pencerna Serat 3. ............................................................................................................... Rataan Kecernaan Nutrien pada Pedet Pra Sapih yang Mendapat atau Tanpa Inokulasi Bakteri Pencerna Serat ............................................. 3. Rataan Kecernaan Nutrien pada Pedet Pra Sapih dengan atau tanpa 4. Inokulasi Rataan Konsentrasi VFA dan NH.......................................................... 3 Cairan Rumen Pedet Pra Sapih Bakteri Pencerna Serat yang Diberi Calf Starter dengan atau Tanpa Inokulasi Bakteri Pencerna Serat ...................................................................................... 4. Rataan Konsentrasi VFA dan NH3 Cairan Rumen Pedet Pra Sapih yang Diberi Calf Starter dengan atau tanpa Inokulasi Bakteri Pencerna Serat ......................................................................................
12 18 22
25
xi
DAFTAR GAMBAR Nomor
halaman
1. Pola PolaKonsumsi KonsumsiBahan BahanKering Keringpada padaPedet PedetPeriode PeriodePra PraSapih Sapih............... ..............
19
2. Konsumsi Bahan dandan Susu padapada PedetPedet yang Tidak 2. Konsumsi Bahan Kering KeringCalf CalfStarter Starter Susu yang Diinokulasi Bakteri Pencerna Serat (Kontrol) ...................................... Tidak Diinokulasi Bakteri Pencerna Serat (Kontrol) 20 3. ................................................................................................................ Konsumsi Bahan Kering Calf Starter dan Susu pada Pedet yang Diinokulasi Bakteri Pencerna Serat ...................................................... 3. Konsumsi Bahan Kering Calf Starter dan Susu pada Pedet yang Diinokulasi Bakteri Pencerna Serat ...................................................... 20 4. Hubungan Konsumsi Pedet Kelompok Ped 4. Hubungan Konsumsi TDN TDNdengan denganPertumbuhan Pertumbuhan Pedet Kelompok Kontrol dan Kelompok Inokulasi ......................................................... Pedet Kontrol dan Kelompok Inokulasi ................................................
23
23
xii
DAFTAR LAMPIRAN Nomor
halaman
1. Hasil Uji-t Konsumsi Calf Starter dan Susu pada Pedet Pra Sapih 1. Hasil Uji-t Konsumsi Calf Starter dan Susu ......................................... 34 yang Mendapat atau Tanpa Inokulasi Bakteri Pencerna Serat .............. 2. Hasil Uji-t Kecernaan Calf Starter dan Susu ........................................ 2. Hasil Uji-t Kecernaan Calf Starter dan Susu pada Pedet Pra Sapih 3. yang HasilMendapat Uji-t VFAatau danTanpa NH3 ...................................................................... Inokulasi Bakteri Pencerna Serat .............. 34 3. Hasil Uji-t VFA dan NH3 Cairan Rumen Pedet Pra Sapih yang Mendapat atau Tanpa Inokulasi Bakteri Pencerna Serat ....................... 35
xiii
PENDAHULUAN Latar Belakang Pedet pada periode menyusu sebelum berumur tiga bulan sangat peka terhadap perubahan pakan dan lingkungan serta menunjukkan tingkat kematian tinggi. Penyebab utama kematian pada pedet periode pra sapih terkait dengan faktor pakan. Adaptasi saluran pencernaan pedet terhadap pakan padat non susu merupakan salah satu masalah pada pedet periode pra sapih. Permasalahan tersebut dapat berupa rendahnya konsumsi dan kecernaan calf starter serta diare. Lambatnya adaptasi terhadap pakan padat dapat menyebabkan pertumbuhan yang lambat, meningkatnya biaya pembesaran pedet, tingginya kejadian gangguaan pencernaan dan kematian pada pedet periode pra sapih. Perkembangan mikroba rumen merupakan salah satu faktor yang sangat menentukan kemampuan pedet mengkonsumsi dan mencerna pakan padat non-susu, faktor spesifik yang merangsang perkembangan rumen yaitu VFA (asetat, propionat, dan butirat) sebagai hasil fermentasi bakteri rumen (Davis et al.,1988). Adanya mikroba yang berperan dalam pencernaan pakan di dalam rumen menyebabkan ternak ruminansia mampu mencerna pakan dengan rentang kualitas yang lebar termasuk pakan berserat yang berkualitas rendah, sehingga kebutuhan nutrien diantaranya asam-asam amino dan vitamin tidak sepenuhnya tergantung pada protein pakan yang diberikan (Sutardi, 1980). Mikroba rumen yang paling dominan adalah bakteri dan khususnya bakteri pencerna serat. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk mempercepat perkembangan mikroba rumen adalah inokulasi bakteri ke dalam rumen pedet. Inokulasi bakteri pencerna serat ke dalam rumen pedet dapat meningkatkan perkembangan bakteri dan keseimbangan mikroba dalam rumen pedet tersebut. Inokulasi bakteri pencerna serat dapat memanipulasi ekosistem rumen yang mempertinggi efisiensi fermentasi rumen dengan cara memaksimalkan degradasi serat kasar dan sintesis protein mikroba serta meminimalkan degradasi protein, fermentasi pati dan produksi metan di dalam rumen (Amin, 1997). Pada penelitian ini dilakukan inokulasi bakteri pencerna serat yang berasal dari rumen kerbau, karena kerbau merupakan salah satu ternak ruminansia yang mencerna serat kasar lebih efisien, waktu retensi pakan yang lebih lama, jumlah protozoa dan bakteri rumen pemecah selulosa lebih banyak dibanding sapi (Siti,
1996) dan kerbau memiliki kualitas dan kuantitas pakan yang relatif rendah bila dibandingkan dengan ternak sapi (Sudirman et al., 2006). Tujuan Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendorong perkembangan saluran pencernaan dan mengkaji pengaruh inokulasi bakteri pencerna serat terhadap konsumsi, fermentasi, dan kecernaan nutrien pada pedet peranakan Frisian Holstein pra sapih yang diberi calf starter.
xv
TINJAUAN PUSTAKA Keunggulan Rumen Kerbau Kerbau merupakan ternak ruminansia yang mempunyai kemampuan tinggi dalam memanfaatkan bahan pakan berkualitas rendah. Hal itu disebabkan oleh tingginya populasi bakteri selulolitik (Cakra, 2001). Nutrien yang dikonsumsi ternak akan masuk ke dalam rumen dan mengalami fermentasi oleh mikroba rumen. Komponen pakan yang berada dalam rumen seperti serat kasar, karbohidrat, dan protein kasar sangat bermanfaat bagi kehidupan mikroba. Rumen merupakan lingkungan yang baik untuk pertumbuhan mikroba dan diduga 10% bobot cairan rumen terdiri atas protoplasma mikroba (Sutardi, 1979). Mikroorganisme rumen yang berperan dalam proses fermentasi serat kasar, protein, dan lemak kasar adalah bakteri, protozoa, dan fungi. Meskipun ketiga jenis mikroorganisme ini mempunyai daya selulolitik, hemiselulolitik, proteolitik, dan lipolitik, namun bakteri lebih menonjol peranannya. Dalam hal pencernaan serat kasar pakan, semakin tinggi serat kasar pakan yang diberikan pada ruminansia, maka dominasi bakteri selulolitik semakin tinggi. Kemampuan bakteri mendegradasi selulosa dan fraksi-fraksi serat kasar lainnya sebagai sumber energi adalah karena adanya sistem enzim selulase, demikian pula bakteri proteolitik dan lipolitik akan memberikan sumbangsih protein dan lemak bagi induk semangnya (Nurachma et al., 2004). Persentase bakteri selulolitik pada sapi sebesar 19,5% dan pada kerbau 42,3% dari total bakteri. Kelompok utama bakteri selulolitik dalam rumen meliputi Ruminucoccus albus, Ruminococcus flavefaciens, dan Bacteroides succinogenes (Chesson dan Forsberg, 1988; Suryahadi, 1996). Menurut Suryahadi (1996) aktifitas bakteri selulolitik dari ternak kerbau lebih tinggi dibandingkan dengan ternak sapi. Pada percobaan in vitro pada berbagai kondisi menunjukkan bahwa pemecahan selulosa oleh inokulan rumen terjadi lebih awal pada inokulan rumen kerbau dari pada sapi. Profil bakteri proteolitik lebih baik pada kerbau dibanding sapi, walau tidak ada perbedaan spesies bakteri amilolitik yang diamati dan jumlah bakteri proteolitik lebih besar pada kerbau dibanding sapi (Pradhan, 1994).
1
Kecernaan Nutrien pada Ruminansia Kecernaan atau ketersediaan nutrien dalam bahan pakan untuk diserap oleh saluran pencernaan banyak tergantung pada status dan produktivitas atau fungsi fisiologis ternak (Parakkasi, 1999). Williamson dan Payne (1993) menyatakan bahwa nutrien yang dicerna adalah bagian pakan yang tidak dikeluarkan dan diperkirakan diserap oleh hewan. Selisih antara nutrien yang terkandung dalam pakan yang dimakan dan nutrien dalam feses adalah jumlah yang tinggal dalam tubuh hewan atau jumlah dari nutrien yang dicerna (Anggorodi, 1984). Tinggi rendahnya kecernaan bahan pakan dipengaruhi antara lain oleh jenis hewan, macam bahan pakan, jumlah ransum yang diberikan, cara penyediaan pakan, dan kadar nutrien yang terkandung (Ranjhan dan Pathak, 1979). Faktor yang berpengaruh lainnya, menurut Arora (1989) yaitu laju pengisian dan pengaliran isi dalam rumen.
Kedua
faktor tersebut yang mempengaruhi tingkat dan tempat
pencernaaan, tingkat produksi protein mikroba, produksi akhir fermentasi dan penggunaan nitrogen. Menurut Maynard et al. (1979), pengukuran kecernaan nutrien dapat dilakukan in vitro atau in vivo. Pengukuran pencernaan in vivo dapat dilakukan dengan metode koleksi total dan metode indikator. Untuk memperoleh angka kecernaan suatu nutrien, diperlukan data mengenai banyaknya nutrien yang dikonsumsi dan yang terdapat dalam feses. Untuk mengetahui jumlah nutrien yang dikonsumsi dapat dilakukan dengan cara mengalikan jumlah bahan kering ransum dengan persentase kandungan nutrien dalam ransum, begitu juga untuk menghitung banyaknya nutrien di dalam feses, sedangkan persentase nutrien dalam feses dan ransum diperoleh dari analisa proksimat. Sistem Pencernaan Pedet Pencernaan merupakan proses perubahan fisik dan kimia yang dialami bahan pakan dalam alat pencernaan. Proses pencernaan meliputi : (1) pencernaan mekanik, (2) pencernaan hidrolitik, dan (3) pencernaan fermentatif. Pencernaan mekanik terjadi di mulut oleh gigi melalui proses mengunyah dengan tujuan untuk memperkecil ukuran, yang kemudian akan masuk ke dalam perut dan usus untuk melalui pencernaan hidrolitik, nutrien akan diuraikan menjadi molekul-molekul sederhana oleh enzim-enzim pencernaan yang dihasilkan oleh hewan (Sutardi, 1980). 2
Hasil pencernaan fermentatif berupa volatile fatty acids (VFA), NH3, dan air diserap sebagian di rumen dan sebagian lagi di omasum. Selanjutnya pakan yang tidak dicerna disalurkan ke dalam abomasum dan dicerna secara hidrolitik oleh enzimenzim pencernaan sama seperti yang terjadi pada hewan monogastrik. Pencernaan berlangsung dari suatu saluran yang terentang dari mulut ke anus (Frandson, 1996). Nutrien tersebut dalam saluran pencernaan mengalami perombakan menjadi molekul yang siap untuk diserap tubuh hewan (Tillman et al., 1989). Pencernaan fermentatif oleh mikroba rumen pada ruminansia memegang peranan penting, diperkirakan sekitar 75-85% dari bahan kering pakan yang dikonsumsi ternak dapat dicerna dalam rumen (Nurachma et al., 2004). Sistem pencernaan ruminansia sangat beragam dan tergantung pada perkembangan populasi mikroba yang mendiami retikulorumen dalam mengolah setiap bahan pakan yang dikonsumsi. Mikroba tersebut berperan sebagai pencerna kabohidrat termasuk serat dan sumber protein. Adanya mikroba di dalam rumen menyebabkan ternak ruminansia mampu mencerna pakan berserat yang berkualitas rendah, dan biomasa mikroba rumen yang sangat tinggi dalam digesta dalam rumen memungkinkan kebutuhan asam-asam amino untuk ternak ruminansia tidak sepenuhnya tergantung pada protein pakan yang diberikan (Sutardi, 1980). Peningkatan daya cerna suatu bahan pakan dapat dilakukan melalui pengaktifan mikroorganisme yang ada dalam rumen sehingga semua komponen nutrien dapat dimanfaatkan secara efisien oleh induk semang. Peningkatan ini dapat dilakukan dengan cara penambahan jumlah maupun kemampuan mikroorganisme melalui sinergisme mikroorganisme (Nurachma et al., 2004). Perkembangan Rumen Pedet Rumen merupakan tabung besar dengan berbagai bagian yang menyimpan dan mencampur ingesta dan menyediakan tempat dan media bagi fermentasi mikroba. Kerja ekstensif bakteri dalam fermentasi menghasilkan produk akhir yang dapat dimanfaatkan ternak untuk induk semang. Rumen sudah berkembang jika papile berkembang dengan baik pada seluruh permukaan rumen, sehingga luas permukaan bertambah tujuh kalinya demikian juga kapasitas penyerapan produk akhir fermentasi semakin meningkat (Arora, 1989). Dari keseluruhan asam lemak terbang yang diproduksi, 85% diabsorbsi, melalui epithelium retikulo-rumen (Arora, 3
1989), selanjutnya Hungate (1966) menyatakan bahwa rumen merupakan bagian yang terbesar dari bagian-bagian lambung ruminansia, sehingga mampu menampung bahan pakan yang mengalami pencernaan fermentatif. Rumen berfungsi baik setelah anak sapi berumur dua bulan atau jika anak sapi telah makan pakan padat atau kering (Williamson dan Payne, 1993). Perkembangan rumen pedet terjadi sesudah kelahiran, faktor utama yang berpengaruh terhadap perkembangan rumen adalah pakan kering dan perkembangan tubuh secara keseluruhan sangat bergantung pada keadaan makanan yang diberikan kepadanya (Salisbury dan Van Demark, 1985). Pada hewan ruminansia muda yang hanya menerima pakan cair, perkembangan rumennya tidak normal. Dinding rumen lebih kecil dan lebih tipis, dan papila rumen tidak berkembang. Jika diberikan pakan kering maka ukuran rumen, pertumbuhan jaringan, dan perkembangan papila berjalan cepat (Arora, 1989). Susu sebagai pakan cair jika diminum oleh pedet, akan langsung masuk ke abomasum melalui oeshophagial groove. Jika pakan pemula yang dimakan, pakan masuk
ke
dalam
retikulo
rumen
yang
bermanfaat
untuk
merangsang
perkembangannya yang terjadi optimal pada umur 2-6 minggu (Mukodiningsih et al., 2008). Perkembangan rumen dipengaruhi oleh: 1) pakan kasar yang merupakan stimulus fisik bagi perkembangan kapasitas rumen, 2) produk fermentasi yang merupakan stimulus kimia bagi perkembangan papile-papile rumen. Ruminansia yang memperoleh pakan berserat tinggi, mempunyai volume total alat pencernaan lebih tinggi dari pada yang memperoleh pakan berserat kasar rendah. Setelah hewan mengkonsumsi pakan berserat tinggi, maka bobot rumen itu menjadi lebih berat dari pada hewan yang tidak memakan hijauan (Hungate, 1966). Perkembangan papile rumen lebih besar terjadi pada ruminansia yang memperoleh konsentrat dari pada yang memperoleh pakan berserat kasar tinggi. Dengan meningkatnya perkembangan papile, maka luas dan kapasitas rumen pun akan meningkat, akibatnya penyerapan dan efisiensi penggunaan nutrien bertambah (Wilson dan Brigstocke, 1981). Wilson dan Brigstocke (1981) menjelaskan bahwa pemberian serat kasar atau pakan kering selain meningkatkan kapasitas retikulo-rumen juga meningkatkan 4
bobot jaringan retikulo-rumen. Namun peningkatan ketebalan dinding retikulorumen relatif kecil bila dibandingkan dengan pertumbuhan ketebalan mukosa akibat perkembangan papile. Perkembangan papile lebih besar terjadi pada ruminansia yang memperoleh pakan konsentrat daripada pakan berserat kasar tinggi, seperti rerumputan. Perkembangan papile yang baik meningkatkan penyerapan dan efisiensi penggunaan nutrien. Fermentasi oleh Mikroba Rumen Calf starter dalam rumen pedet difermentasi oleh mikroba menghasilkan Volatile Fatty Acid (VFA), khususnya asam asetat, propionat, dan butirat yang merangsang secara kimiawi untuk perkembangan retikulorumen dan papilnya, oleh karena itu keberadaan mikroba dan hasil fermentasinya dapat dijadikan indikator perkembangan retikulo-rumen, sebab pada saat lahir rumen dalam keadaan steril (Mukodiningsih et al., 2008). Aktivitas mikroba rumen tergantung dari kecukupan nutrien dalam substrat dan persediaan nitrogen dalam cairan rumen, hal ini penting untuk mengaktifkan fermentasi dan kecepatan degradasi (Siti, 1996). Mikroorganisme rumen ruminansia memiliki kemampuan mencerna karbohidrat struktur tanaman (selulosa dan hemiselulosa) menjadi VFA dan protein mikroba melalui fermentasi (Nurachma et al., 2004). Fermentasi merupakan proses penguraian bahan organik yang mampu penyediaan energi bagi mikroba rumen (dihasilkan ATP), maka rendahnya VFA mencerminkan rendahnya energi yang tersedia bagi mikroba rumen (Jayanegara et al., 2006). Fermentasi sebagai proses penguraian substrat oleh aktivitas enzim mikroba baik secara aerob maupun anaerob tergantung mikroba yang melakukannya. Pencernaan selulosa sangat tergantung pada bakteri yang terdapat dalam rumen ruminansia. Jika ransum pakan mengandung serat tinggi maka bakteri selulolitik akan dominan dan kehadirannya menentukan terjadinya fermentasi selulosa. Bakteri selulolitik mampu memproduksi enzim endo 1,4 β-glukanase, ekso 1,4 β-glukanase dan β-glukosidase yang dapat mendegradasi komponen serat kasar menjadi molekul karbohidrat sederhana dan mudah larut (Purnomohadi, 2006). Pencernaan fermentatif di dalam rumen pada ternak ruminansia pada dasarnya ditentukan oleh faktor internal, eksternal, dan interaksi keduanya. Faktor 5
internal meliputi kapasitas rumen (±70%) dari keseluruhan kapasitas saluran pencernaan dan juga ekosistem rumen serta aktivitas mikroba rumen itu sendiri. Faktor eksternal meliputi jenis pakan yang diberikan pada ternak ruminansia, baik yang berhubungan dengan sifat fisik, kimia, dan biologis yang berpengaruh terhadap aktivitas mikroba rumen yang mendegradasi pakan. Waktu fermentasi (inkubasi) dalam rumen 3-4 jam setelah ternak diberi makan dapat dijadikan sebagai patokan dalam menentukan pertumbuhan dan aktivitas mikroba rumen dengan mengukur produksi biomasa mikroba. Lebih lanjut juga ditegaskan bahwa 1 jam setelah ternak diberi makan dapat dijadikan sebagai pedoman dalam penentuan produksi VFA dan amonia sesuai kelarutannya (Putra, 2006). Sutardi (1977) menyatakan, bahwa adanya bakteri dan protozoa yang hidup dalam rumen menyebabkan ruminansia dapat mencerna pakan yang mengandung serat kasar tinggi. Berbagai jenis mikroorganisme yang masing-masing memiliki produk fermentasi antara dan produk fermentasi akhir yang bermacam-macam, menyebabkan kehidupan di dalam rumen sangat kompleks. Interaksi yang luas antara mikroorganisme di dalam rumen adalah interaksi-interaksi baik yang bersifat ketergantungan, saling menguntungkan dan kompetitif ataupun yang merugikan. Volatile Fatty Acid (VFA) dalam Rumen Glukosa adalah sumber energi utama untuk non-ruminansia, sedangkan asam lemak terbang atau volatile fatty acids (VFA) merupakan sumber energi utama bagi ternak ruminansia. VFA merupakan produk akhir fermentasi khususnya gula dalam rumen, sedangkan molekul glukosa diabsorpsi dari saluran pencernaan dalam jumlah kecil. Kadar gula di dalam darah dipertahankan melalui sintesa endogenous dari propionat untuk keperluan fungsi-fungsi esesnsial jaringan tubuh (Arora, 1989). Karbohidrat digolongkan dalam monosakarida, disakarida, dan polisakarida. Dalam tubuh hewan monosakarida dapat diserap tanpa pencernaan akan tetapi karbohidrat yang lebih kompleks seperti pati harus dipecah untuk dapat diserap oleh tubuh. Pati merupakan polisakarida yang sangat penting dalam tumbuh-tumbuhan dan karenanya merupakan salah satu zat yang penting dalam pakan. Bila polisakarida dihidrolisis dengan asam atau enzim akan berubah menjadi dekstrin, maltosa, dan akhirnya menjadi gula (Anggorodi, 1984). 6
Polisakarida akan dihidrolisis menjadi monosakarida terutama glukosa oleh enzim yang dihasilkan mikroba. Selanjutnya glukosa difermentasi menjadi VFA, terutama asetat (C2), propionat (C3), dan butirat (C4); disamping itu dihasilkan juga isobutirat (iC4), isovalerat (iC5), valerat (C5) serta gas CH4 dan CO2 (Sutardi, 1977). Produk akhir utama fermentasi pakan yang kaya akan serat kasar adalah asetat. Dengan ransum yang kaya akan pati dihasilkan propionat yang lebih banyak. Kecepatan produksi asam lemak terbang (VFA) dan sel bakteri berhubungan dengan konsumsi (TDN) total digestible nutrien (Arora, 1989). VFA terutama yang berantai cabang, esensial untuk pertumbuhan mikroba rumen (Sutardi et al.,1980). Kadar asam lemak rantai cabang ini umumnya sedikit (Ranjhan, 1980), tetapi pada pemberian protein yang tinggi kadarnya akan naik (Sutardi, 1977). Perbandingan komponen VFA berkisar sekitar 65% asetat, 20% propionat, 10% butirat, dan 5% valerat (Sutardi, 1977). Ransum dari pakan konsentrat menghasilkan perbandingan 45% asetat, 40% propionat, 5-10% butirat, dan 2-8% valerat. Apabila konsentrat dalam ransum meningkat, maka proporsi asetat menurun dan asam propionat meningkat (Ranjhan, 1980). Pakan biji-bijian mengakibatkan peningkatan produksi VFA dan pengurangan aliran saliva, yang menimbulkan penebalan keratin mukosa rumen (Arora, 1989). Produksi N-Amonia Amonia merupakan sumber nitrogen yang dibutuhkan mikroba rumen dan bersama dengan kerangka karbon sumber energi akan disintesis menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi komponen protein mikroba (Hungate, 1966). Faktor yang mempengaruhi konsentrasi N-NH3 adalah karbohidrat dalam ransum (Ranjhan, 1980). Proses proteolisis dan deaminasi berlangsung baik pada pH 6,5-7,0. Pada kondisi pH yang lebih rendah, proses tersebut terhambat karena pertumbuhan bakteri proteolitik dan selulolitik tertekan (Orskov, 1982). Pemberian pakan berupa rumput yang mengandung serat kasar tinggi dengan kandungan protein rendah bukan menjadi masalah besar bagi ternak ruminansia, hal ini dapat ditolerir oleh mikroorganisme dalam rumen dan dapat dikonversi menjadi sumber nutrien. Disamping itu mikroorganisme yang masuk ke dalam usus menjadi sumber protein bagi ruminansia (65% sumbangan protein bagi ruminansia berasal 7
dari mikroorganisme tersebut). Oleh karena itu prinsip pemberian pakan pada ruminansia adalah memberi kemampuan pada mikroorganisme rumen untuk tumbuh, agar mampu mencerna pakan terutama serat kasar untuk menghasilkan energi dan memenuhi kebutuhan protein bagi ruminansia itu sendiri (Nurachma et al., 2004). Peningkatan jumlah karbohidrat mudah difermentasi (RAC) mengurangi produksi amonia karena terjadi kenaikan penggunaan amonia untuk pertumbuhan mikroba (Ranjhan, 1980). Kondisi yang ideal adalah sumber energi tersebut dapat difermentasi sama cepat dengan pembentukan NH3, sehingga pada saat NH3 terbentuk terdapat produk fermentasi asal karbohidrat yang berfungsi sebagai sumber energi dan kerangka asam amino protein mikroba (Sutardi, 1977). Tingginya protein mikroba dapat mengakibatkan laju aliran pakan ke usus halus lebih cepat, sehingga dapat meningkatkan jumlah pakan yang dikonsumsi dan pasokan substrat ke usus halus, dan akhirnya dapat meningkatkan pertumbuhan atau pertambahan bobot badan ternak (Amin, 1997). Konsentrasi NH3 dalam rumen tergantung pada kelarutan dan jumlah protein pakan. Protein pakan yang dihidrolisis menjadi asam amino akan didegradasi dan mengalami proses deaminasi menjadi asam organik CO2 dan NH3. Molekul NH3 yang dihasilkan dapat diubah menjadi protein mikroba kemudian mengalir ke abomasum dan usus halus beserta digesta. NH3 yang diserap dinding rumen dan masuk ke dalam hati diubah menjadi urea. Urea yang dihasilkan sebagian masuk kembali ke dalam rumen melalui saliva maupun dinding rumen dan sebagian lagi disekresikan melalui urin (Ranjhan, 1980; Arora, 1989). Mikroorganisme rumen menghasilkan enzim protease yang digunakan untuk menghidolisis protein menjadi peptida dan asam amino, yang selanjutnya dihidrolisa menjadi CO2, ammonia (NH3) dan VFA (Ranjhan, 1980). Amonia merupakan sumber nitrogen yang dibutuhkan mikroba rumen dan bersama dengan kerangka karbon sumber energi disintesis menjadi asam amino dan selanjutnya menjadi protein mikroba (Hungate, 1966). Menurut Ranjhan (1980) batas minimum kadar amonia untuk pertumbuhan mikroba sebesar 2 mg persen. Penyediaan protein dalam ransum sangat penting untuk memenuhi kebutuhan hidup pokok dan produksi (Sutardi, 1981). Protein pakan yang dikonsumsi oleh ternak ruminansia tidak sepenuhnya didegradasi oleh mikroba rumen. Sebagian lolos 8
ke dalam usus bersama protein mikroba dan protein endogen (Kempton et al., 1978). Degradasi protein dalam rumen dipengaruhi oleh sumber protein, bentuk fisik dan kimia pakan, gerak laju pakan dalam rumen, jumlah konsumsi energi, pertumbuhan mikroba dan ukuran partikel pakan (Hubber dan Kung, 1981). Total Digestible Nutrient (TDN) Satuan TDN digunakan untuk menilai kandungan energi bahan pakan yang dapat dicerna (Sutardi, 1980). TDN merupakan nilai yang menunjukkan jumlah dari nutrien yang dapat dicerna hewan, yang merupakan jumlah dari semua nutrien organik yang dapat dicerna, seperti protein, lemak, serat kasar, dan Beta-N. Perhitungan jumlah TDN asal lemak dikalikan 2,25 karena nilai energi lemak 2,25 kali lebih tinggi dari pada nilai energi molekul karbohidrat dan protein (Anggorodi, 1984). Konsumsi TDN pakan yang tinggi menunjukkan pakan lebih banyak tercerna dan dimanfaatkan tubuh, sebagai sumber energi hasil proses metabolisme di dalam tubuh (Sutardi, 1981). Konsumsi TDN berkaitan dengan suplai energi dapat dicerna yang sangat diperlukan oleh ternak, sehingga konsumsi TDN memberikan suplai energi yang digunakan dalam proses metabolisme dalam tubuh, namun proses pertumbuhan memerlukan suplai protein yang cukup (Utomo, 2003).
9
MATERI DAN METODE Waktu dan Tempat Penelitian ini dilaksanakan selama lima bulan yaitu mulai bulan November 2009 sampai dengan Maret 2010, bertempat di komplek kandang A, kandang sapi perah, Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
Materi Ternak yang Digunakan Ternak yang digunakan adalah pedet peranakan Frisian Holstein (PFH) yang berumur 4 minggu dengan bobot badan rataan (37,86±5,70) kg. Jumlah pedet yang digunakan yaitu 7 ekor. Sebanyak 4 ekor pedet diinokulasi per oral dengan isolat bakteri pencerna serat dan 3 ekor pedet tanpa inokulasi sebagai kontrol.
Kandang dan Peralatan Kandang yang digunakan dalam penelitian ini adalah kandang individu yang berukuran 3 m2 (2 m x 1,5 m) dengan lantai papan kayu dan pembatas samping berupa bambu. Setiap kandang dilengkapi dengan ember untuk tempat susu, bak plastik sebagai tempat pakan dan tempat minum. Peralatan lain yang digunakan adalah timbangan pakan, timbangan pedet, sekop untuk mengambil feses, plastik, kawat, dan stomach tube untuk pengambilan cairan rumen.
Ransum Penelitian Komponen calf starter yang digunakan dalam penelitian adalah: jagung kuning giling (45%), bungkil kedelai (15%), pollard (30%), dan molases (10%). Air minum yang diberikan berasal dari air keran yang ada di kandang. Kadar nutrien bahan pakan dianalisis di Laboratorium Ilmu dan Teknologi Pakan, Departemen Nutrisi dan Teknologi Pakan, Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.
10
Tabel 1. Kandungan Nutrien Bahan Pakan dan Calf Starter (100%BK) BK
Abu
PK
SK
LK
Beta-N
Jagung
87,36
0,19
12,19
3,06
2,46
82,1
Bungkil kedelai
84,46
6,59
48,14
4,62
1,48
39,17
Pollard
85,97
3,93
17,27
9,86
2,61
66,33
Molases
57,23
7,5
1,07
0,02
0,98
90,43
Calf starter
84,03
10,31
23,93
5,81
3,84
56,11
Pada awal pemeliharaan pedet hanya diberikan susu pagi dan sore. Setelah pedet melalui periode adaptasi selama 2 minggu setiap pagi hari pedet diberi susu, disediakan calf starter dan air minum. Semua pedet mendapatkan jumlah susu yang sama sesuai dengan berat badannya, sedangkan calf starter diberikan ad libitum. Pada sore hari selain pemberian susu, dilakukan penambahan calf starter dan air minum. Inokulum Bakteri Pencerna Serat Bakteri pencerna serat yang digunakan untuk inokulasi merupakan bakteri yang berasal dari cairan rumen kerbau. Kerbau yang digunakan sebagai sumber inokulan berasal dari Kecamatan Jonggol Bogor, Jawa Barat. Untuk mendapatkan inokulum bakteri yang unggul dilakukan pemilihan isolat bakteri dari 12 isolat bakteri menjadi 6 isolat bakteri berdasarkan produksi bahan kering (BK) sel isolat bakteri, nilai CMC-ase, dan jumlah bakteri yang dihasilkan pada penelitian sebelumnya (Astuti, 2010 dan Gayatri, 2010). Analisis Data Perlakuan Penelitian Tujuh ekor pedet secara acak mendapatkan perlakuan atau kontrol. Inokulasi bakteri dilakukan pada 4 ekor pedet dan 3 ekor pedet lainnya tidak mendapat inokulasi.
Inokulan diberikan sebanyak 20 ml per hari, dengan kadar bakteri
4,56x109 cfu/ml, diberikan per oral setiap pagi hari setelah pemberian susu. 11
Peubah yang Diamati Peubah yang diamati dalam penelitian ini adalah: (1) Konsumsi nutrien termasuk bahan kering (BK), serat kasar (SK), lemak kasar (LK), bahan ektrak tanpa nitrogen (Beta-N) dan TDN (Total Dgestible Nutrient), (2) Kecernaan bahan kering (KBK) dan kecernaan bahan organik (KBO), (3) Total VFA, dan (4) Konsentrasi NH3. Data yang diperoleh dianalisis dengan menggunakan Uji-t (Steel dan Torrie, 1993), dengan rumus sebagai berikut: thitung =
ý1 - ý2
√S2(1/n1 +1/n2) Keterangan:
ý1 = rataan perlakuan ke-1
ý2 = rataan perlakuan ke-2 S = simpangan baku, dimana S = √S2 S2 = (n1-1) S12 + (n2-1) S22 n1 + n2 – 2 ttabel = t(1-1/2a ; (n1 + n2 -2) Selanjutnya t-hitung dibandingkan dengan t tabel. Dalam hal ini berlaku ketentuan bahwa, bila t hitung berada pada daerah H0 (μ1 = μ2), maka perlakuan dinyatakan tidak berbeda, sedangkan bila t-hitung berada pada daerah H1 (μ1 ≠ μ2), maka kedua perlakuan dinyatakan berbeda (Nurachma et al., 2004). Prosedur Pemeliharaan Pedet Awal pemeliharaan pedet yang berumur 2 minggu selama 2 minggu merupakan masa adaptasi. Setelah pedet berumur 4 minggu, pedet dikelompokkan menjadi 2 kelompok yaitu pedet kelompok kontrol dan pedet yang diberi inokulan. Pada awal pemeliharaan pedet hanya diberikan susu saja sampai pedet dapat mengkonsumsi calf starter. Semua pedet diberi susu sebanyak 4 liter per hari hingga pedet umur 6 minggu, susu diberikan 3 liter per hari pada umur 7 minggu sampai akhir penelitian. Setiap pagi alas kandang dibersihkan. Pencatatan suhu kandang dan kelembaban dilakukan pada pagi dan sore hari. 12
Pengukuran Konsumsi Harian Setiap pagi hari pedet diberi susu, calf starter dan air minum. Calf starter yang telah dihitung dan ditimbang, diberikan 10% lebih banyak dari kebutuhan pagi dan sore. Calf starter yang tersisa pada pagi hari berikutnya ditimbang kemudian dicatat. Susu yang diberikan setiap hari diukur jumlahnya. Susu selalu dikonsumsi seluruhnya oleh pedet. Pada sore hari selain pemberian susu, dilakukan penambahan pakan dan air minum. Koleksi Sampel Feses Pada minggu terakhir pemberian susu dan setelah pedet diinokulasi bakteri pencerna serat selama 4 minggu, dilakukan pengambilan sampel feses. Feses yang dihasilkan selama seminggu dikumpulkan ke dalam plastik yang telah tersedia. Setiap pagi, feses yang terkumpul ditimbang dan dicatat. Sebanyak 50 % dari total feses diambil sebagai sampel untuk dikeringkan. Feses yang dikumpulkan diupayakan tidak tercampur dengan urin.
Sampel feses dikeringkan pada terik
matahari hingga kering. Setelah 7 hari semua sampel feses harian dari setiap pedet disatukan dan digiling untuk dianalisis kadar nutriennya. Kecernaan bahan kering (KBK) dan kecernaan bahan organik (KBO) dihitung dengan rumus: KBK = Konsumsi BK-BK feses x 100% Konsumsi BK KBO = Konsumsi BO-BO feses x 100% Konsumsi BO Total digestible nutrient (TDN) merupakan nilai yang menunjukkan jumlah nutrien organik yang dapat dicerna pedet. Nilai TDN bahan pakan dan calf stater dihitung berdasarkan nilai kecernaan nutrien ransum. Perhitungan TDN dilakukan menggunkan rumus: TDN (%) = % Proteint + %SKt + %BETNt + (2,25 x % Lemakt) (Sutardi, 1981); t = tercerna. Pengambilan Cairan Rumen Pada hari terakhir percobaan sebelum pedet disapih, cairan rumen diambil menggunakan stomach tube. Rumen yang diperoleh disimpan dalam termos agar 13
suhu dan pH nya tidak berubah. Stomach tube dicuci sebelum pengambilan sampel pindah ke pedet lain. Sebagian sampel cairan rumen dipisahkan dan dimasukan ke dalam freezer untuk analisis NH3 dan VFA. Analisis VFA dan NH3 Analisa VFA total dalam sampel cairan rumen dilakukan dengan teknik destilasi uap (Sutardi, 1994). Sebanyak 5 ml supernatan dimasukan ke dalam tabung destilasi Markham lalu ditambahkan 1 ml H2SO4 15% dan tabung segera ditutup. Proses destilasi dilakukan dengan cara menghubungkan tabung dengan labu yang berisi air mendidih. Destilat ditampung dalam erlenmeyer yang berisi 5 ml NaOH 0,5 N sampai volumenya mencapai 300 ml. Setelah itu ditambahkan indikator fenolptalin sebanyak 2-3 tetes dan kemudian di titrasi dengan HCl 0,5 N sampai warna titran berubah dari merah jambu menjadi bening. Kadar VFA total (mM) dihitung dengan rumus: Kadar VFA = (ml titran blanko – ml titran sampel) x N-HCl x 1000/5 mM. Kadar NH3 dalam sampel cairan rumen ditentukan dengan metode mikrodifusi Conway (Sutardi, 1994). Cawan Conway yang dipakai lebih dahulu diolesi vaselin pada kedua bibirnya. Sebanyak 1 ml supernatan ditempatkan pada salah satu sisi sekat cawan dan di sisi yang lain ditempatkan 1 ml larutan Na2CO3 jenuh. Cawan diletakkan miring ke arah sekat sehingga kedua larutan tersebut tidak tercampur. Pada bagian tengah cawan ditempatkan 1 ml asam borat berindikator merah metil dan brom kresol hijau. Kemudian cawan ditutup rapat sehingga kedap udara.
Larutan
Na2CO3
dicampurkan
dengan
supernatan
dengan
cara
menggoyangkan dan memiringkan cawan. Selanjutnya cawan dibiarkan selama 24 jam pada suhu kamar. Setelah tutup cawan dibuka asam borat dititrasi dengan 0,005 N H2SO4 sampai warnanya kembali menjadi merah muda. Kadar NH3 (mM) dihitung dengan rumus: Produksi NH3 = (ml titran sampel – ml titran rumen tanpa sampel) x N-H2SO4 x 1000mM.
14
HASIL DAN PEMBAHASAN Konsumsi Nutrien Tingkat konsumsi adalah jumlah pakan yang terkonsumsi oleh hewan bila pakan tersebut diberikan ad libitum dan tingkat konsumsi menunjukkan palatabilitas pakan (Parakkasi, 1999), palatabilitas meningkat dengan meningkatnya kualitas ransum (Utomo, 2003). Data rataan konsumsi pedet pra sapih yang diberi calf starter dengan atau tanpa inokulasi bakteri dapat dilihat pada Tabel 2. Pedet yang diinokulasi bakteri pencerna serat memiliki tingkat konsumsi BK, PK, SK, LK, dan Beta-N yang sama bila dibandingkan dengan kelompok pedet kontrol. Hal ini menunjukkan bahwa kelompok pedet yang diinokulasi bakteri pencerna serat memiliki selera makan yang sama bila dibandingkan dengan kelompok pedet kontrol. Konsumsi dihitung dari jumlah pakan yang dikonsumsi oleh ternak, dimana nutrien yang dikandungnya akan digunakan untuk mencukupi kebutuhan hidup pokok dan untuk keperluan produksi hewan tersebut (Tillman et al., 1989). Konsumsi susu disesuaikan dengan bobot badan pedet. Namun pedet yang digunakan mempunyai bobot badan yang relatif sama sehingga konsumsi nutrien asal susu adalah sama. Perbedaan konsumsi terlihat dalam konsumsi calf stater. Inokulasi bakteri pencerna serat tidak berpengaruh terhadap konsumsi pedet, namun mampu meningkatkan total konsumsi BK, BO, PK, SK, LK, beta-N dan TDN berturut-turut sebesar 19,96%, 48,72%, 15,53%, 54,95%, 2,03%, 55,14%, dan 55,51%. Perlakuan inokulasi diperkirakan hanya dapat meningkatkan laju pengecilan partikel pakan sehingga mempercepat rate of passage partikel pakan dalam saluran pencernaan pedet. Arora (1989), menjelaskan bahwa konsumsi pakan akan lebih banyak jika aliran/lewatnya pakan cepat. Ukuran partikel yang kecil dapat menaikkan konsumsi pakan dari pada ukuran partikel yang besar. Kelompok pedet yang diinokulasi cenderung mempunyai laju pakan dalam saluran pencernaan yang lebih cepat. Standar deviasi yang tinggi pada kedua perlakuan disebabkan pedet yang digunakan bervariasi, hal ini mencakup jenis kelamin dan kondisi kesehatan pedet.
15
Tabel 2. Rataan Konsumsi Nutrien Asal Susu dan Calf Sarter pada Pedet Pra Sapih dengan atau tanpa Inokulasi Bakteri Pencerna Serat Nutrien
Kontrol (n=3) Susu
Calf starter
Inokulasi (n=4) Total
Susu
Calf starter
Total
-----------------------------------------------------------------g/ekor/hari-------------------------------------------------------------Bahan Kering
340,88±0
190,47±114,30
531,34±109,60
340,88±0
296,21±133,90
637,8±90,85
Bahan Organik
24,57±0
170,84±102,52
195,41±103,06
24,57±0
265,68±120,10
290,25±150
Protein Kasar
115,37±0
45,58±27,35
160,95±41
115,37±0
70,89±32,04
186,26±31,71
Serat Kasar
-
11,06±6,64
11,06±6,64
-
17,20±7,78
17,20±7,78
Lemak Kasar
114,60±0
7,32±4,39
151,92±75,24
144,60±0
11,39±5,15
155,98±71,28
Beta-N
-
106,87±64,13
106,87±64,13
-
166,20±75,13
166,20±75,13
TDN
-
179,99±108
179,99±108
-
279,91±126,54
279,91±126,55
16
Tingkat kebutuhan nutrien untuk anak sapi dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain lingkungan, umur, besar/bobot badan, bangsa, komposisi pakan, dan pertambahan berat badan yang dikehendaki (Parakkasi, 1999). Mengingat faktor pakan dan lingkungan sama pada setiap kelompok pedet maka total konsumsi nutrien dapat disebabkan akibat perlakuan inokulasi bakteri pencerna serat. Konsumsi bahan kering pada pedet yang dikaji masih terbatas. Hal ini menggambarkan bahwa pedet belum layak untuk disapih. Penyapihan disarankan jika pedet telah mampu mengkonsumsi calf stater 0,75-1 kg/ekor/hari (biasanya 6-8 minggu) (Blakely dan Bade, 1991). Hal ini kemungkinan disebabkan karena pedet masih belum mencapai umur sapih. Pada kajian ini pemberian susu telah dihentikan pada saat pedet berumur 8 minggu.
Gambar 1. Pola Konsumsi Bahan Kering pada Pedet Periode Pra Sapih Gambar 1 menunjukkan korelasi antara rataan konsumsi bahan kering pada pedet yang diinokulasi bakteri pencerna serat dan pedet kontrol dengan umur pedet. Pola konsumsi calf starter pada pedet percobaan menunjukkan kondisi kurang normal. Namun konsumsi bahan kering pakan meningkat dengan meningkatnya umur pedet. Konsumsi bahan kering pada kelompok pedet yang diinokulasi bakteri cenderung lebih tinggi dari kelompok pedet kontrol. Menurut Sutardi (1981), kebutuhan pedet akan bahan kering pada umur 1-2 bulan yaitu sebesar 0,64-1 kg. Jika dilihat dari Gambar 1 konsumsi rataan BK pada perlakuan maupun kontrol belum mencapai kebutuhan optimal yaitu dibawah 1 kg, rataan konsumsi BK teringgi pada pedet yang diberi inokulasi bakteri sebesar 313,3 g sedangkan rataan konsumsi 17
BK pada pedet kontrol (tanpa inokulasi) sebesar 196,47 g. Kenaikan konsumsi bahan kering pada kedua kelompok pedet lambat sehingga pada umur 8 minggu masih ada pedet yang belum mencapai konsumsi bahan kering yang optimum. Rendahnya laju peningkatan konsumsi terkait dengan beberapa faktor diantaranya adalah ketidaksiapan rumen dalam menerima pakan kering yang terlalu banyak dan kondisi lingkungan yang kurang mendukung untuk pencapaian konsumsi yang optimum. Penyebab utama rendahnya konsumsi diperkirakan karena kondisi lingkungan dalam kandang yang kurang hangat karena seringnya hujan pada saat pemeliharaan.
Gambar 2. Konsumsi Bahan Kering Calf Starter dan Susu pada Pedet yang tidak diinokulasi Bakteri Pencerna Serat (Kontrol)
Gambar 3. Konsumsi Bahan Kering Calf Starter dan Susu pada Pedet yang Diinokulasi Bakteri Pencerna Serat
18
Gambar 2 dan Gambar 3 menunjukkan perbedaan konsumsi BK pakan dan susu pada pedet yang diinokulasi bakteri pencerna serat maupun yang tidak (kontrol). Menurut Blakely dan Bade (1991) bahwa pedet harus mendapatkan susu atau pengganti susu paling tidak sampai mencapai umur 3 sampai 8 minggu, Kedua gambar tesebut memperlihatkan bahwa susu yang diberikan semakin rendah akan meningkatkan konsumsi pakan. Pada pedet yang berumur 8 minggu mulai dilakukan penyapihan, sehingga konsumsi pakannya diperkirakan akan semakin meningkat. Jika dilihat dari kedua gambar tersebut menunjukkan perbedaan pada konsumsi pakan dengan konsumsi susu yang sama. Pedet yang diberi inokulasi bakteri pencerna serat mengonsumsi pakan lebih tinggi dibanding yang kontrol. Hal tersebut menunjukkan pedet yang diberi inokulasi memiliki selera makan yang lebih baik bila dibanding kontrol. Menurut Arora (1989) jumlah konsumsi pakan merupakan tanda terbaik produktivitas hewan sedangkan Parakkasi (1999) menjelaskan bahwa tingkat konsumsi menggambarkan palabilitas terhadap suatu pakan. Dapat dinyatakan bahwa ternak yang diinokulasi bakteri pencerna serat memiliki tingkat produktivitas yang lebih baik dan tingkat palatabilitas terhadap pakan pun lebih baik bila dibandingkan dengan kelompok pedet kontrol walaupun pakan yang digunakan pada kedua kelompok ternak sama. Kecernaan Nutrien Kecernaan atau ketersediaan nutrien dalam bahan pakan untuk diserap oleh saluran pencernaan banyak tergantung pada status dan kondisi fisiologis ternak (Parakkasi, 1999). Faktor lainnya yang mempengaruhi kecernaan pakan adalah frekuensi pemberian pakan (Zain, 1994). Tabel 4 menunjukkan bahwa kecernaan BK, PK, SK, LK, dan Beta-N tidak dipengaruhi oleh inokulasi bakteri pencerna serat. Kesamaan tingkat kecernaan nutrien menunjukkan bahwa kedua kelompok pedet mempunyai kemampuan yang sama dalam mencerna pakan. Namun kondisi tingkat kecernaan pada kedua kelompok pedet tersebut masih belum dapat menggambarkan adanya perbedaan aktifitas mikroba rumen. Calf starter mengandung serat kasar yang terbatas (5,81%) dan lebih didominasi oleh komponen sumber protein dan karbohidrat non struktural yang mudah dicerna dalam saluran pencernaan pasca rumen. Saluran pencernaan pasca rumen pada pedet yang berumur dua bulan diperkirakan sudah mampu mencerna calf 19
starter dengan baik. Peran rumen sebagai tempat pencernaan fermentatif masih berkembang dengan kecepatan yang sama baik pada pedet yang mendapat inokulan maupun yang tanpa inokulan, sehingga perbedaan pencernaan akibat inokulasi mikroba dan perkembangan mikroba rumen tidak terlihat. Tabel 3. Rataan Kecernaan Nutrien pada Pedet Pra Sapih dengan atau Tanpa Inokulasi Bakteri Pencerna Serat Kecernaan
Kontrol
Inokulasi
‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐%‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐‐
Bahan Kering Bahan Organik Protein Kasar Serat Kasar Lemak Kasar Beta-N
94,38±3,47 87,11±4,74 94,57±3,25 85,63±1,67 99,28±0,61 86,55±4,84
93,64±2,19 86,58±6,59 94,29±1,97 85,46±5,82 99,32±0,30 85,22±8,67
Nilai kecernaan nutrien komponen calf starter sangat tinggi termasuk kecernaan komponen seratnya (Tabel 3). Mikroba rumen kemungkinan sudah mulai aktif mencerna komponen serat namun diperkirakan masih belum dominan dalam mencerna komponen pakan padat secara keseluruhan. Oleh karena itu inokulasi bakteri pencerna serat ke dalam rumen pedet tidak mampu meningkatkan kecernaan pakan secara keseluruhan. Sistem mikroba rumen pada pedet hingga umur dua bulan, kemungkinan masih berkembang baik dengan maupun tanpa inokulasi. Konsumsi TDN (Total Digestible Nutrient) Nilai total digestible nutrient (TDN) merupakan jumlah dari nutrien organik yang dapat dicerna, seperti protein, lemak, serat kasar, dan Beta-N.
Hubungan
tingkat konsumsi TDN dengan pertumbuhan pada pedet yang diberi inokulasi maupun pedet kelompok kontrol dapat dilihat pada Gambar 4. Konsumsi TDN dipengaruhi oleh kualitas ransum, semakin tinggi kandungan serat kasar dalam ransum maka TDN yang dikonsumsi semakin rendah dan ransum yang semakin baik kualitasnya maka TDN yang dikonsumsi semakin tinggi (Utomo, 2003).
20
Gambar 4. Hubungan Konsumsi TDN dengan Pertumbuhan Pedet Kelompok Pedet Kontrol dan Kelompok Inokulasi Gambar 4 menujukkan konsumsi TDN yang sangat bervariasi antara pedet kontrol dan yang diberi inokulasi namun peningkatan TDN menyebabkan kenaikan bobot badan. Pertumbuhan maksimum pada kelompok pedet kontrol mencapai 571,43 g/ekor/hari dengan konsumsi TDN 724,31 g/ekor/hari, sedangkan kelompok pedet yang diberi inokulasi bakteri pencerna serat pertumbuhan maksimum mencapai 428,57 g/ekor/hari dengan konsumsi TDN 559,82 g/ekor/hari. Jika dilihat perbandingan. Gambar 4 menujukkan bahwa pedet yang tidak diberi inokulasi bakteri pertumbuhannya akan semakin meningkat dengan meningkatnya konsumsi TDN sedangkan pada pedet yang diinokulasi bakteri pencerna serat pertumbuhannya meningkat dengan konsumsi TDN yang rendah. Hal tersebut menunjukkan bahwa pedet yang diberi inokulasi lebih efisien dalam kemampuan penggunaan nutrien sehingga untuk mendapatkan pertumbuhan maksimumnya dibutuhkan konsumsi TDN yang rendah. Pada kondisi kesehatan dan lingkungan yang kurang baik pedet dapat menunjukan ketidakefisienan dalam memanfaatkan nutrien. Hal ini menunjukkan bahwa beberapa pedet terlalu dini mendapatkan pakan padat, walaupun pakan padat dicerna dengan baik namun tidak mampu diretensi oleh tubuh. Kondisi lingkungan kandang diperkirakan lebih dominan pengaruhnya terhadap utilisasi nutrien dibandingkan dengan pengaruh inokulasi. Pengaruh inokulasi diperkirakan akan optimum jika kondisi lingkungan lainya optimum. 21
Volatile Fatty Acid (VFA) Pada ternak ruminansia, VFA merupakan sumber energi utama yang berasal dari hasil fermentasi karbohidrat di dalam rumen (Dixon, 1985). Konsentrasi VFA cairan rumen dapat menggambarkan fermentabilitas komponen karbohidrat pakan yang mudah larut (Amin, 1997; Zain, 1999). VFA berperan sebagai sumber energi dan kerangka karbon bagi pembentukan protein mikroba (Sutardi et al., 1980). Konsentrasi VFA cairan rumen pedet dapat dilihat dalam Tabel 4. Konsentrasi VFA cairan rumen pedet menunjukkan kadar yang normal.
Hal ini berarti bahwa
walaupun pencernaan fermentatif belum dominan dalam pencernaan pakan, namun fermentasi komponen pakan sudah berjalan normal. Tabel 4 menunjukkan bahwa inokulasi bakteri pencerna serat tidak mampu meningkatkan kadar VFA total cairan rumen. Hal ini diduga disebabkan oleh banyaknya VFA hasil fermentasi dimanfaatkan oleh hewan inangnya, sehingga jumlah VFA dalam cairan rumen tidak berbeda untuk semua perlakuan (Amin, 1997). Hal tersebut juga berhubungan dengan mutu pakan yang dikonsumsi, semua perlakuan diberikan pakan yang sama mutunya, sehingga mempunyai kelarutan yang sama (Cakra, 2001). Penyerapan hasil pencernaan dalam rumen yang diinokulasi bakteri pencerna serat memiliki tingkat yang lebih baik bila dibandingkan dengan perlakuan kontrol.
Parakkasi (1999) menjelaskan bahwa apabila fermentabilitas
pakan meningkat maka akan terjadi peningkatan populasi bakteri selulolitik. Konsentrasi VFA pada perlakuan inokulasi memiliki nilai yang lebih tinggi yaitu 147,50 mM dibanding kontrol sebesar 126,67 mM. Pedet yang diinokulasi memiliki fermentabilitas pakan yang lebih tinggi yang berarti pertumbuhan mikroba rumen lebih baik pada perlakuan yang diberi inokulasi bakteri. Bakteri selulolitik dalam rumen yang tinggi akan meningkatkan degradasi serat kasar sehingga VFA pada pedet perlakuan lebih tinggi. Rataan konsentrasi VFA pada perlakuan kontrol dan inokulasi sudah mencukupi kebutuhan untuk mendukung sintesis protein mikroba yang optimum. Sutardi et al. (1980) menjelaskan bahwa kadar VFA antara 80-160 mM mampu mencukupi kebutuhan sintesis protein mikroba yang optimal.
22
Tabel 4. Rataan Konsentrasi VFA dan NH3 Cairan Rumen Pedet Pra Sapih yang Diberi Calf Starter dengan atau tanpa Inokulasi Bakteri Pencerna Serat Peubah
Kontrol
Inokulasi
----------------------------------mM------------------------------------VFA
126,67±32,15
147,50±35,94
NH3
23,68±4,46
18,79±3,37
Konsentrasi NH3 Ternak ruminansia menggunakan protein dalam rumen menjadi amonia melalui proses degradasi oleh aktivitas enzim proteolitik yang dihasilkan oleh mikroba rumen (Orskov, 1982). Kurang lebih 35% mikroba rumen adalah bakteri proteolitik yang mampu mendegradasi protein ransum menjadi amonia yang selanjutnya dimanfaatkan oleh mikroba untuk pertumbuhannya dan sisanya didaur ulang menjadi urea darah ataupun saliva atau diekresikan melalui urin (Putra, 2006). Amonia yang ada dalam rumen berasal dari berbagai sumber yaitu degradasi protein ransum dan degradasi nitrogen bukan protein. Sintesis protein mikroba tergantung pada kecepatan pemecahan nitrogen pakan, kecepatan absorpsi amonia dan asam-asam amino, kecepatan alir bahan keluar dari rumen, kebutuhan mikroba akan asam amino dan jenis fermentasi rumen berdasarkan jenis pakan (Arora, 1989). Produksi protein mikroba rumen dapat ditingkatkan dengan menambahkan karbohidrat mudah dicerna dalam rumen (Hungate, 1966). Data pada Tabel 4 menunjukkan bahwa inokulasi bakteri pencerna serat tidak berpengaruh terhadap konsentrasi NH3 dalam rumen. Rataan konsentrasi NH3 cairan rumen pedet yang diinokulasi lebih rendah yaitu 18,79 mM sedangkan pada perlakuan kontrol sebesar 23,68 mM. Menurut McDonald et al. (2002) kadar amonia yang dibutuhkan untuk menunjang pertumbuhan mikroba rumen yang maksimal berkisar antara 6-21 mM. Konsentrasi NH3 yang diberikan perlakuan masih dalam kisaran normal dalam menunjang pertumbuhan mikroba rumen sedangkan konsentrasi NH3 pada perlakuan kontrol melebihi kisaran normal pertumbuhan mikroba rumen. Penyebab konsentrasi NH3 yang tinggi diduga karena proses degradasi protein pakan lebih cepat daripada proses pembentukan protein mikroba, sehingga amonia yang dihasilkan terakumulasi dalam rumen (McDonald et al., 2002). 23
Kelompok pedet yang diberi inokulasi bakteri pencerna serat memiliki konsentrasi VFA optimal sedangkan pada produkasi NH3 antara pedet yang diberi inokulasi dan kontrol memiliki produksi NH3 yang tinggi, menunjukkan imbangan ketersediaan VFA dan NH3 di dalam rumen kurang seimbang untuk dapat dipergunakan oleh mikroba. Menurut Jayanegara et al. (2006), tingginya produksi NH3 dan rendahnya konsentrasi total VFA menunjukkan bahwa gula terlarut (monosakarida) yang tersedia dalam rumen dipergunakan oleh mikroba untuk menghabiskan amonia, artinya bahwa untuk menginkorporasikan amonia ke dalam tubuh mikroba guna disintesis menjadi protein tubuhnya dibutuhkan energi, sehingga apabila mikroba rumen kekurangan energi maka daya menyerap amonianya menjadi terbatas dan berakibat terakumulasinya amonia di cairan rumen.
24
KESIMPULAN DAN SARAN Kesimpulan Inokulasi isolat bakteri pencerna serat ke dalam rumen pedet pra sapih yang diberi calf starter tidak mampu meningkatkan konsumsi bahan kering, kecernaan, konsentrasi VFA total, dan konsentrasi NH3. Saran Efektifitas inokulasi bakteri pencerna serat ini dapat diuji lebih jauh dengan mengaplikasikannya pada ternak ruminansia dengan kondisi ternak yang lebih seragam dan lebih banyak dengan kondisi lingkungan yang optimum.
25
UCAPAN TERIMA KASIH Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT karena dengan rahmat dan karunia-Nya penulis dapat menyelesaikan skripsi. Penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada Prof. Dr. Ir. Toto Toharmat, M.Agr.Sc. sebagai dosen pembimbing utama yang juga pembimbing akademik dan Dr. Ir. Dwierra Evvyernie A., MS,M.Sc. sebagai dosen pembimbing anggota yang telah memberikan bimbingan moral maupun materiil, pengarahan dan saran kepada penulis selama penelitian dan penulisan skripsi. Kepada Dr. Ir. Kartiarso, M.Sc. sebagai dosen penguji seminar, Dr. Ir. Dewi Apri Astuti, MS. dan Ir. Komariah, MS. sebagai dosen penguji tugas akhir atas kritik dan saran dalam perbaikan skripsi ini. Kepada dosen, staf dan laboran Departemen Ilmu Nutrisi dan Teknologi Pakan, Laboratorium Nutrisi Ternak Perah yang telah membantu selama penelitian berlangsung, terima kasih atas bantuan dan kerjasamanya. Penulis menyampaikan terima kasih yang teramat dalam kepada Ayahanda (Alm.) Asep Suryamin yang telah tiada semoga mendapatkan tempat terbaik di sisiNya, Ibunda Bety Sumiati S.Pd, kakak penulis Yafid Gunawan ST dan adik penulis Dicky Triadi yang telah memberikan do’a, kasih sayang, kesabaran, nasehat, bimbingan moral maupun materil yang tiada henti kepada penulis. Terima kasih kepada Iwan Prihantoro, S.Pt, M.Si, Kak Fahmul, Ibu Dian, teman satu penelitian (Ayu, Desra, Ninuk, Hadzik, Iki, dan Ina), Nisa, Miko, Kharis, Dea, Diki, dan teman-teman Lab. Perah serta seluruh teman-teman INTP 43 atas bantuan, hiburan, persahabatan dan semangat serta dukungannya dalam penelitian dan penulisan tugas akhir ini. Terakhir penulis mengucapkan terima kasih kepada civitas akademika Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Semoga skripsi ini bermanfaat bagi yang membacanya. Bogor, Oktober 2010
Penulis
26
DAFTAR PUSTAKA Amin, M. 1997. Pengaruh penggunaan probiotik Saccharomyces cerevisiae dan Aspergillus oryzae dalam ransum pada populasi mikroba, aktivitas fermentasi rumen, kecernaan, dan pertumbuhan sapi perah dara. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Anggorodi. 1984. Ilmu Makanan Ternak Umum. PT. Gramedia, Jakarta. Arora, S. P. 1989. Pencernaan Mikroba pada Ruminansia. Terjemahan: Retno Muwarni. UGM Press, Yogyakarta. Astuti, A. 2010. Isolasi dan seleksi bakteri pencerna serat asal rumen kerbau berdasarkan pertumbuhannya pada berbagai pakan sumber serat. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Blakely, J. & D. H. Bade. 1991. Ilmu Peternakan. Edisi ke-4. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Cakra, I. G. L. O. 2001. Pengaruh natrium bikarbonat dan natrium karbonat terhadap konsentrasi volatile fatty acid dan ammonia rumen kerbau. Majalah Ilmiah Peternakan. 4(1): 17-20. Chesson, A. & C.W. Forsberg. 1988. Polysaccharide degradation by rumen microorganisms. In: P.N. Hobson, (Ed). The Rumen Microbial Ecosystem. Elsevier Science Publishers. London. Davis, C. L. & J. K. Drackley. 1988. The Development, Nutrition, and Management of the Young Calf. Iowa State Press. Iowa. Dixon, RM., 1985. Increasing digestible energy intake of ruminants given fibrous diet using consentrate supplements. In: R.M.Dixon Ed. Ruminant Feeding Systems Utilizing Fibrous Agricultural Residue. International Development Programme of Australian Universities and Colleges. Canberra. Australia. Pp: 59-75. Frandson, R. D. 1996. Anatomi dan Fisiologis Ternak. UGM Press, Yogyakarta. Gayatri, I. 2010. Kemampuan isolat asal rumen kerbau dalam mencerna komponen serat. Skripsi. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Hubber, J. T. & J. R. L. Kung. 1981. Protein and non-protein nitrogen utilization in dairy cattle. J. Dairy Sci. 64 : 1170-1195. Hungate, R.E. 1966. The Rumen and Its Microbes. 2nd Edition. Academic Press. New Jersey.
27
Jayanegara, A., A. S. Tjakradidjaja, & T. Sutardi. 2006. Fermentabilitas dan kecernaan in vitro ransum limbah agroindustri yang disuplementasi kromium anorganik dan organik. Media Peternakan. 29(2): 54-62. Kempton, T. J., J. V. Nolan & R. A. Leng, 1978. Principles for the use of non-protein nitrogen and bypass protein in diets of ruminants in: FAO World Animal Review. FAO, Rome. Maynard, L. A., J. K. Lousli, H. F. Hintz, & H. G. Wanner. 1979. Animal Nutrition. 3rd Ed. Mc Graw Hill publishing Co Ltd, New York. McDonald, P. R., A. Edwards, J. F. D. Greenhalg, & C. A. Morgan. 2002. Animal Nutrition. 6th ed. Longman Scientific and Technical Co. Published in The United States with John Willey and Sons Inc., New York. Mukodiningsih, S. S., S. P. S. Budhi, A. Agus & Haryadi. 2008. Pengaruh variasi pakan sumber protein dan neutral detergent fiber dalam complete calf starter terhadap indikator perkembangan retikulo rumen. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 33(2):132-138. Nurachma, S. D. Heriyadi, & Padang. 2004. Studi transfer cairan rumen kambing terhadap daya cerna bahan kering, protein kasar, dan serat kasar domba lokal jantan. Jurnal Ilmu Ternak. 4(1): 13-18. Orskov, E.R. 1982. Protein Nutrition in Ruminants. Academic Press Limited. London. Parakkasi, A. 1999. Ilmu Nutrisi dan Makanan Ternak Ruminan. Universitas Indonesia Press, Jakarta. Purnomohadi, M. 2006. Peranan bakteri selulolitik cairan rumen pada fermentasi jerami padi terhadap mutu pakan. Jurnal Protein. 13(2): 108-112. Putra, S. 2006. Pengaruh suplementasi agensia defaunasi segar dan waktu inkubasi terhadap degradasi bahan kering, bahan organik, dan produksi fermentasi secara in vitro. Jurnal Protein. 13(2): 113-123. Pradhan, K. 1994. Rumen ecosystem in relation to cattle and buffalo nutrition. In: Wanapat, M. & K. Sommart (Eds.). Proc. First Asian Buffalo Association Congress. Khon Kaen Publ. Thailand. January 17-21. pp. (221-42). Ranjhan, S. K. & N. N. Pathak. 1979. Management and Feeding of Buffaloes. Vikas Publishing House. PVS. Ltd, New Delhi. Ranjhan., S. M. 1980. Animal Nutrition and Feeding Practice in India. 2nd Ed. Vikas Publishing House put Ltd., New Delhi. pp. 93-104
28
Salisbury, G. W. & N. L. Van Demark. 1985. Fisiologi Reproduksi dan Inseminasi Buatan Pada Sapi. Terjemahan: R. Djanuar. Gadjah Mada University Press, Yogyakarta. Satter, L. D. & L. L. Slyter. 1974. Effect of amonia consentration on rumen microbial protein production in vitro. Brit J. Nutr 32 : 199. Siti, N. W. 1996. Pengaruh ragi tape sebagai sumber probiotik pada pencernaan ransum, aktivitas fermentasi dan populasi mikroba rumen kerbau. Tesis. Fakultas Pascasarjana, Institut Pertanian Bogor, Bogor. Sudirman, R. Utomo, Z. Bachruddin, B. P. Widyobroto, & Suhubdy. 2006. Kajian rasio inokulum feses kerbau/buffer (saliva buatan) pada analisis kecernaan pakan berserat secara in vitro. J. Indon. Trop. Anim. Agric. 32 (1): 6-10. Suryahadi, W. G. Piliang, L. Djuwita & Y. Widiastuti. 1996. DNA recombinant technique for producing transgenic rumen microbes in order to improve fiber utilization. Indon. J. Trop. Agric. 7(1): 5-9. Sutardi, T., 1977. Ikhtisar Ruminologi. Bahan Kursus Peternakan Sapi Perah. Kayu Ambon. Dirjen Peternakan-FAO. Jakarta. Sutardi, T. 1979. Ketahanan protein bahan nakanan terhadap degradasi oleh mikroba rumen dan manfaatnya bagi peningkatan produktivitas ternak. Pros. Seminar Penelitian dan Penunjang Peternakan, LPP. Bogor. Sutardi, T. 1980. Landasan Ilmu Nutrisi. Jilid I.Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutardi, T. 1981. Sapi Perah dan Pemberian Makanannya. Departemen Ilmu Makanan Ternak. Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor. Bogor. Sutardi, T. 1994. Peningkatan produksi ternak ruminansia melalui amoniasi pakan serat bermutu rendah, defaunasi dan suplementasi sumber protein tahan degradasi dalam rumen. Laporan Hibah Bersaing 1993/1994. IPB, Bogor. Steel, R. G. D., & J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan Prosedur Statistika Suatu Pendekatan Biometrik. Terjemahan : M. Syah. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta. Tillman, A.D., H, R. Soedomo., P. Soeharto & L. Soekanto. 1989. Ilmu Makanan Ternak Dasar. Universitas Gadjah Mada Press. Yogyakarta. Utomo, B. 2003. Tampilan produksi susu dan komponen metabolisme tubuh sapi perah friesian holstein (FH) akibat perbedaan kualitas ransum. Tesis. Program Pascasarjana. Universitas Diponegoro. Semarang.
29
Williamson, G., & W. J. A. Payne. 1993. Pengantar Peternakan di daerah Tropis. UGM Press, Yogyakarta. Wilson, P. N. & T. A. Brigstocke, 1981. Improved Feeding of Cattle and Sheep. Granada, London. Zain, M. 1994. Pengaruh taraf bungkil biji kapuk (Ceiba petandra) dalam ransum kambing perah laktasi terhadap kecernaan dan populasi mikroba rumen. Tesis. Program Pascasarjana. Institut Pertanian Bogor. Bogor. Zain, M. 1999. Substitusi rumput dengan sabut sawit dalam ransum pertumbuhan domba, pengaruh amoniasi, defaunasi dan suplementasi analog hidroksi metionin serta asam amino bercabang. Disertasi. Pascasarjana IPB. Bogor.
30
LAMPIRAN
31
Lampiran 1. Hasil Uji-t Konsumsi Calf Starter dan Susu pada Pedet Pra Sapih yang Mendapat atau Tanpa Inoklasi Bakteri Pencerna Serat Peubah
thitung
t0,05
t0,01
Kesimpulan
Konsumsi BK
1,095
2,57
4,03
Tolak Ho
Konsumsi BO
1,095
2,57
4,03
Tolak Ho
Konsumsi PK
1,095
2,57
4,03
Tolak Ho
Konsumsi SK
1,095
2,57
4,03
Tolak Ho
Konsumsi LK
1,095
2,57
4,03
Tolak Ho
Konsumsi Beta-N
1,095
2,57
4,03
Tolak Ho
Konsumsi TDN
1,095
2,57
4,03
Tolak Ho
Keterangan: thitung t0,05
= nilai t yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5%(α=0,05) t0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1%(α=0,01) t hitung > t tabel baik pada taraf nyata 5% maupun 1%, sehingga terdapat perbedaaan yang nyata antara konsumsi BK, PK, SK, LK, dan Beta-N pada pedet yang diberi inokulasi dan kontrol
Lampiran 2. Hasil Uji-t Kecernaan Calf Starter dan Susu pada Pedet Pra Sapih yang Mendapat atau Tanpa Inokulasi Bakteri Pencerna Serat thitung
t0,05
t0,01
Kesimpulan
Kecernaan BK
0,350
2,57
4,03
Tolak Ho
Kecernaan BO
0,117
2,57
4,03
Tolak Ho
Kecernaan PK
0,144
2,57
4,03
Tolak Ho
Kecernaan SK
0,048
2,57
4,03
Tolak Ho
Kecernaan LK
0,106
2,57
4,03
Tolak Ho
Kecernaan Beta-N
0,236
2,57
4,03
Tolak Ho
Peubah
Keterangan: thitung t0,05
= nilai t yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5%(α=0,05) t0,01 = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 1%(α=0,01) t hitung > t tabel baik pada taraf nyata 5% maupun 1%, sehingga terdapat perbedaaan yang nyata antara kecernaan BK, BO, PK, SK, LK, dan Beta-N pada pedet yang diberi inokulasi dengan kontrol 32
Lampiran 3. Hasil Uji-t VFA dan NH3 Cairan Rumen Pedet Pra Sapih yang Mendapat atau Tanpa Inokulasi Bakteri Pencerna Serat Peubah
thitung
t0,05
t0,01
Kesimpulan
VFA
0,790
2,57
4,03
Tolak Ho
NH3
1,668
2,57
4,03
Tolak Ho
Keterangan: thitung t0,05
= nilai t yang diperoleh dari hasil pengolahan data = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar 5%(α=0,05) = hasil pengolahan data dengan taraf kesalahan sebesar t0,01 1%(α=0,01) t hitung > t tabel baik pada taraf nyata 5% maupun 1%, sehingga terdapat perbedaaan yang nyata antara konsentrasi VFA dan NH3 Cairan Rumen Pedet
33