KECERDASA EMOSIOAL TOKOH UTAMA DALAM OVEL AAK RAGGAMORFOSA: SAG PEAKLUK ISTAA EMOTIOAL ITELLIGECE OF THE MAI CHARACTERS I THE CHILDRE OVEL RAGGAMORFOSA: SAG PEAKLUK ISTAA Anang Panca Kurniawan Universitas Negeri Malang Jalan Semarang Nomor 5 Ponsel: 085755747417 Pos-el:
[email protected] (Makalah diterima tanggal 28 Januari 2015—Disetujui tanggal 30 Maret 2015) Abstrak: Kecerdasan emosional adalah kemampuan lebih yang dimiliki seseorang dalam mengendalikan emosi serta mengatur keadaan jiwa. Penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan kecerdasan emosional yang terbentuk pada diri tokoh utama dalam novel anak Ranggamorfosa: Sang Penakluk Istana. Penelitian ini menggunakan pendekatan kualitatif yang bersifat deskriptif. Pendekatan teori yang dipakai adalah kecerdasan emosional dengan objek kajian novel anak Ranggamorfosa: Sang Penakluk Istana. Hasil penelitian menunjukkan (1) tokoh utama dalam novel ini memiliki lebih dari satu kemampuan yang termasuk dalam kecerdasan emosional dan (2) kecerdasan emosional tersebut sebagian besar dipengaruhi oleh watak dan kepribadian tokoh yang bersangkutan. Kata Kunci: kecerdasan emosional, tokoh utama, novel anak Ranggamorfosa: Sang Penakluk Istana Abstract: Emotional intelligence is the ability to more that one has to motivate yourself and set the state of the soul. The purpose of this study was to describe the emotional intelligence of the main characters in the children novel Ranggamorfosa: Sang Penakluk Istana. This study uses descriptive qualitative approach. The approach used is the theory of emotional intelligence with the object of study children novel Ranggamorfosa: Sang Penakluk Istana. The results of this study indicate (1) main characters in this novel can have more than one capability that is included in emotional intelligence, and (2) emotional intelligence is largely influenced by the character and personality of the character in question. Keywords: emotional intelligence, main character, children novel Ranggamorfosa: Sang Penakuk Istana
PEDAHULUA Sastra pada hakikatnya adalah alat untuk mengajarkan kehidupan. Hal ini tidak hanya berlaku bagi karya sastra secara umum, melainkan juga karya sastra yang berfokus pada anak-anak (sastra anak). Raines dan Isbell (2002:vii) mengemukakan bahwa cerita bisa menginspirasikan tindakan, mengembangkan kecerdasan emosional, membantu perkembangan apresiasi kultural, memperluas pengetahuan anak, dan menimbulkan
42
kesenangan. Selain itu, ditambahkan Nurgiyantoro (2005:35), sastra anak diyakini memiliki konstribusi yang besar bagi perkembangan kepribadian anak dalam proses menuju kedewasaan sebagai manusia yang mempunyai jatidiri yang jelas. Salah satu ragam sastra anak adalah cerita atau fiksi anak. Rampan (dalam Subiyantoro, 2006:185) mendefinisikan cerita anak sebagai cerita sederhana yang kompleks. Sementara menurut Sarumpaet (1976:25), faktor terpenting dalam
Kecerdasan Emosional … (Anang Panca Kurniawan)
fiksi anak adalah adanya unsur fantasi. Hal ini dikarenakan dominasi unsur fantasi dalam dunia anak sedemikian besarnya, sehingga pengaruh serta akibatnya bisa terlihat dalam kehidupan mereka kelak bila sudah dewasa. Fiksi anak menunjuk pada karya yang berwujud novel dan cerita pendek. Novel dan cerpen dibangun oleh unsur-unsur yang sama, yaitu intrinsik dan ekstrinsik. Berbeda dengan unsur ekstrinsik, unsur instrinsik dalam sebuah cerita fiksi secara langsung turut serta membangun cerita. Keterpaduan unsur intrinsik ini yang membuat suatu cerita fiksi berwujud. Salah satu unsur instrinsik yang sangat berpengaruh dalam fiksi anak adalah tokoh. Ketika anak-anak berhadapan dengan buku cerita fiksi, menurut Nurgiyantoro (2005:222), yang mula-mula menarik perhatian mereka pada umumnya adalah tokoh cerita. Tokoh cerita paling mudah diidentifikasikan sehingga anak-anak akan menemukan hero pada diri tokoh yang bersangkutan. Tokoh-tokoh yang menjadi hero akan digemari dan diidolakan segala sikap dan tingkah lakunya. Hal ini juga diamini Murti Bunanta. Menurutnya, melalui buku yang dibaca, anak mengidentifikasikan dirinya dengan tokoh yang ada dalam cerita (Tempo, 2001:23). Lebih lanjut Nurgiyantoro (2005:37-8) menambahkan, fiksi anak, melalui peran tokoh-tokohnya, juga bisa mengajarkan bagaimana mengelola emosi kepada anak agar tidak merugikan diri sendiri dan orang lain. Kemampuan seseorang mengelola emosi, istilah yang digunakan Emotional Quotient (EQ) yang analog Intelligence Quotient (IQ), juga Spiritual Quotient (SQ), dewasa ini dipandang sebagai aspek
personalitas yang besar pengaruhnya bagi kesuksesan hidup. Bertolak dari uraian tersebut, penelitian ini memfokuskan kajian terhadap adanya keterkaitan antara kecerdasan emosional (Intelligence Emotional) dengan karakter yang dibawakan oleh tokoh utama dalam novel Ranggamorfosa: Sang Penakluk Istana (selanjutnya disingkat RSPI) karya Nuranto Hadyansah. Sementara berdasarkan pembatasan masalah tersebut, bisa dirumuskan permasalahan pokok yang meliputi: (1) Bagaimana kemampuan mengenali emosi diri pada tokoh utama dalam novel RSPI? (2) Bagaimana kemampuan mengelola emosi pada tokoh utama dalam novel RSPI? (3) Bagaimana kemampuan memotivasi diri pada tokoh utama dalam novel RSPI? (4) Bagaimana kemampuan mengenali emosi orang lain pada tokoh utama dalam novel RSPI? dan (5) Bagaimana kemampuan membina hubungan pada tokoh utama dalam novel RSPI? Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk memperoleh deskripsi mengenai kecerdasan emosional pada tokoh utama dalam novel RSPI karya Nuranto Hadyansah. Lebih khusus lagi, penelitian ini bertujuan: (1) mendeskripsikan kemampuan mengenali emosi diri pada tokoh utama dalam novel RSPI, (2) mendeskripsikan kemampuan mengelola emosi pada tokoh utama dalam novel RSPI, (3) mendeskripsikan kemampuan memotivasi diri pada tokoh utama dalam novel RSPI, (4) mendeskripsikan kemampuan mengenali emosi orang lain pada tokoh utama dalam novel RSPI, dan (5) mendeskripsikan kemampuan membina hubungan pada tokoh utama dalam novel RSPI.
43
BÉBASAN, Vol. 2, No. 1, edisi Juni 2015: 42—52
KAJIA TEORI Ada dua teori utama yang digunakan dalam penelitian ini. Pertama, mengenai kecerdasan emosional. Kecerdasan emosional (Emotional Intelligence) adalah kemampuan untuk memotivasi diri sendiri dan bertahan menghadapi frustrasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebihlebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan berpikir; berempati dan berdoa (Goleman, 1996:45). Sementara Cooper dan Sawaf (1998:xv) mengemukakan bahwa emotional intelligence is the ability to sense, understand, and effectively apply the power and acumen of emotions as a source of human energy, information, connection, and influence. Adapun Steiner (dalam Efendi, 2005:171) mengemukakan kecerdasan emosional dengan istilah emotional literacy (keterampilan melek emosi) yang meliputi keterampilan memahami perasaan, keterampilan merasakan empati, kemampuan mengelola emosi, keterampilan memperbaiki kerusakan emosi, dan mengembangkan keterampilan yang disebutnya emotional interactivity atau interaktivitas emosional. Mengacu pada definisi-definisi tersebut, maka bisa disimpulkan bahwa kecerdasan emosional mencakup lima aspek pokok. Pertama, kemampuan mengenali emosi diri, yang mempunyai indikator mengenali dan merasakan emosinya sendiri dan mampu memahami penyebab perasaan yang timbul. Kedua, kemampuan mengelola emosi, yang berindikator (a) toleransi yang lebih tinggi terhadap frustrasi dan pengelolaan amarah; (b) mampu mengungkapkan amarah dengan tepat; dan (c) perasaan yang positif tentang diri sendiri. 44
Aspek yang ketiga yaitu kemampuan memotivasi diri, yang mempunyai indikator (a) bertanggung jawab; (b) fokus pada tugas yang diberikan; dan (c) menguasai diri. Keempat, kemampuan mengenali emosi orang lain atau empati, yang mempunyai indikator (a) mampu menerima sudut pandang orang lain; (b) peka tehadap perasaan orang lain; dan (c) mendengarkan orang lain. Terakhir, kemampuan membina hubungan, yang berindikator (a) mampu menganalisis dan memahami hubungan; (b) terampil berkomunikasi, suka berbagi rasa, bekerja sama, dan suka menolong; serta (c) lebih memikirkan kepentingan sosial. Teori kedua adalah tentang tokoh utama dalam fiksi anak. Tokoh utama dimaksudkan sebagai tokoh yang memiliki peranan penting dalam suatu cerita. Nurgiyantoro (1995:177) menyatakan bahwa tokoh utama adalah tokoh yang diutamakan penceritaannya dalam novel yang bersangkutan. Tokoh ini sangat menentukan perkembangan plot secara keseluruhan. Berdasarkan uraian tersebut, yang berperan sebagai tokoh utama dalam novel anak RSPI adalah tokoh Rangga. Sementara, penelitian terdahulu mengenai hubungan kecerdasan emosional dengan sastra anak pernah dilakukan oleh Subiyantoro (2006) dengan judul Profil Cerita untuk Meningkatkan Kecerdasan Emosional: Aplikasi Ancangan Psikolinguistik. Hasil yang diperoleh mengungkapkan bahwa kecerdasan emosional anak tahap perkembangan kognitif operasional konkret menunjukkan adanya peningkatan setelah mendapatkan penceritaan yang berbasis analisis fungsi tokoh pada cerita anak-anak.
Kecerdasan Emosional … (Anang Panca Kurniawan)
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif. Peneliti mendeskripsikan kecerdasan emosional yang terdapat dalam tokoh utama karena data-data verbal yang digunakan telah tersedia, sehingga hanya mengambil berdasarkan teknik yang digunakan dalam penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis yang diamati. Penelitian ini juga dikategorikan sebagai penelitian deskriptif intertekstual. Data-data yang telah terkumpul tidak hanya dideskripsikan, tetapi juga diinterprestasikan. Sumber data dalam penelitian ini adalah anak Ranggamorfosa: Sang Penakluk Istana karya Nuranto Hadyansah. Korpus data dalam penelitian ini berupa teks novel RSPI karya Nuranto Hadyansah yang berupa satuan kutipan yang di dalamnya terdapat tingkah laku tokoh utama, jalan pikirannya, dialog tokoh tersebut, dan deskripsi pengarang yang membentuk paparan kebahasaan yang memuat kecerdasan emosional berdasarkan tinjauan teori kecerdasan emosional. Teknik pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan analisis tekstual, dengan prosedur: peneliti membaca novel RSPI secara intensif dan berulang-ulang, lalu peneliti memberi kode berbagai hal tentang karakteristik tokoh utama dari tinjauan teori kecerdasan emosional, kemudian peneliti mendaftar dan mengklasifikasikan data yang diperoleh dari novel RSPI berdasarkan kriteria yang sesuai dengan permasalahan. Teknik analisis data yang dilakukan dalam penelitian ini adalah kajian intertekstual antara lain: (1) mengklasifikasikan data dengan cara mengatur dan mengurutkan data ke dalam suatu satuan urutan yang
menggambarkan masalah yang akan dikaji; (2) memaparkan terlebih dahulu teori yang berkaitan dengan aspek-aspek kecerdasan emosional selanjutnya mendeskripsikan hasil klasifikasi berdasarkan masalah yang dikaji yang sebelumnya; dan (3) menginterprestasikan terhadap korpus data penelitian dengan dasar teori kecerdasan emosional. HASIL DA PEMBAHASA Pada bagian ini dipaparkan analisis data dan hasil penelitian Kecerdasan Emosional Tokoh Utama dalam -ovel Anak Ranggamorfosa: Sang Penakluk Istana. Paparan mencakup: (1) kemampuan mengenali emosi diri, (2) kemampuan mengelola emosi, (3) kemampuan memotivasi diri, (4) kemampuan mengenali emosi orang lain, dan (5) kemampuan membina hubungan. Kemampuan Mengenali Emosi Diri Kemampuan mengenali emosi diri ini mempunyai dua indikator penting yaitu (a) mengenali dan merasakan emosinya sendiri dan (b) mampu memahami penyebab perasaan yang timbul. Mengenali dan Emosinya Sendiri
Merasakan
Dalam novel ini, tokoh Rangga digambarkan sebagai seorang siswa kelas 5 SD, anak sulung dari pasangan Danu dan Sekar. Sebagai keturunan Ki Sanggalangit, Rangga mempunyai keistimewaan, yaitu bisa berubah wujud. Selebihnya, Rangga tak ubahnya seperti anak-anak pada umumnya; nakal, bandel, dan jahil. Hanya, untuk ukuran anak SD, Rangga termasuk cerdas dan kritis, termasuk dalam menyikapi emosi
45
BÉBASAN, Vol. 2, No. 1, edisi Juni 2015: 42—52
yang bergelut dalam dirinya. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut. (01)
Mendadak Rangga merasakan suasana yang tidak nyaman. Kakek kemarin berkata agar ia mulai mempercayai firasat (RSPI/68).
(03)
(04)
Rangga bisa merasakan emosi yang sedang menjalar di dalam dirinya ketika ia merasakan sesuatu yang tak nyaman di sekelilingnya. Hal serupa juga terlihat dalam kutipan berikut. (02)
Rangga kadang merasakan perasaan aneh dalam dirinya. Ia merasa segalanya berjalan wajar sebagai anak SD kelas lima. Tapi, yang sukar dimengerti adalah ketika ia berubah menjadi hewan (RSPI/98).
Kemampuan berubah menjadi hewan menimbulkan perasaan aneh pada diri Rangga. Hal tersebut sangat dipahami olehnya. Rangga sekarang merasa bahwa dirinya memang berbeda dengan teman-teman sebayanya. Hal ini juga yang kemudian mendorong Rangga untuk lebih menggunakan firasat dan instingnya. Mampu Memahami Perasaan yang Timbul
Penyebab
Rangga, sebagai seorang kakak, sangat menyayangi adiknya, Anggi. Ia akan merasa bersalah, cemas, dan khawatir jika tidak mampu menjaga adiknya tersebut. Hal ini tergambar ketika ia meninggalkan adiknya di pohon saat berusaha kabur ke rumah kakek, untuk menghindari kejaran Setan Biru dan Setan Kuning. Sesampai di rumah kakeknya, Rangga kemudian tersadar akan nasib Anggi yang ditinggalkannya di atas pohon. Ia seketika menjadi cemas dan takut kalau terjadi apa-apa terhadap adiknya seperti pada kutipan (03) dan (04) berikut.
46
“Ada apakah? Syukur ia tidak mengejar lagi. Aku harus menemui kakek untuk menjemput Anggi yang kutinggalkan di atas pohon”, pikir Rangga cemas dan sedih karena meninggalkan Anggi sendirian (RSPI/45). “Tidak usah bercerita panjang lebar. Kakek sudah tahu semuanya”, ujar kakek. “Kok kakek tahu?”, tanya Rangga terheran heran. Mendadak Rangga terlompat. “Kek, Anggi aku tinggal, Kek. Tadi Rangga takut Anggi tidak selamat, jadi Rangga tinggal di pohon. Bagaimana, Kek?”, kata Rangga cemas (RSPI/48).
Kemampuan Mengelola Emosi Kemampuan ini mempunyai indikator (a) toleransi yang lebih tinggi terhadap frustrasi dan pengelolaan amarah, (b) mampu mengungkapkan amarah dengan tepat, dan ( c) perasaan yang positif tentang diri sendiri. Toleransi yang Lebih Tinggi terhadap Frustrasi dan Pengelolaan Amarah Rangga, meski masih tergolong labil dalam hal emosi, tetapi sesekali ia sanggup mengelola emosinya agar tetap stabil. Kondisi tersebut membantunya keluar dari perasaan panik dan frustrasi yang menghinggapinya. (05)
“Bukankah saat ini aku sedang di rumah kakek. Siapa yang berani?”, pikirnya menghibur diri (RSPI/68).
Dari kutipan tersebut, tergambar Rangga sedang menghibur diri ketika sedang mengalami ketakutan akan suatu hal. Sikap menenangkan diri Rangga ketika menghadapi sesuatu yang ganjil juga terlihat dalam kutipan berikut.
Kecerdasan Emosional … (Anang Panca Kurniawan)
(06)
Dengan panik Rangga mencoba menenangkan dirinya. Ia berpikir keras apa yang harus dilakukan bila orang itu masuk ke kamar (RSPI/131).
Mampu Mengungkapkan Amarah dengan Tepat Rangga dalam usianya yang masih belia ternyata mampu melampiaskan amarahnya dengan lebih bijaksana. Jengkel dan kesal karena selalu diganggu Bito dan gengnya, ia mengajak Gigih untuk membalas perbuatan mereka. Ia kemudian meminta Gigih berjaga dalam permainan kasti. Sementara Rangga, tanpa sepengetahuan Gigih, berubah wujud menjadi bola dan menukar bola yang lama dengan dirinya. Dengan bola itu, ia bisa mengincar Bito karena mampu mengendalikan arah angin dengan bantuan lemparan Gigih. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut. (07)
(08)
Sebal dengan tingkah Bito maka Rangga melepas sepatunya. Gigih heran dan bertanya, ”Kenapa?” (RSPI/119). ”Kalau mau membalas yang tadi, lebih baik kita berjaga. Lalu kamu incar Bito dan teman-temannya. Pasti tidak ada alasan bagi mereka untuk marah”, kata Rangga (RSPI/104).
Perasaan yang Positif Tentang Diri Sendiri Rangga selalu berusaha untuk berpikiran positif tentang diri sendiri. Hal ini terlihat ketika ia gagal berubah bentuk menjadi hewan dengan sempurna. Ia sangat jengkel dan menyalahkan seekor bunglon yang telah mengganggu konsentrasinya. Tetapi setelah berpikir lagi, ia sadar bahwa ternyata dirinya bisa lebih hebat daripada bunglon. Bunglon hanya bisa berubah warna, tetapi ia bisa berubah bentuk.
(09)
“Gara-gara bunglon, huh…”, gumam Rangga sebal. “Eh…, sebenarnya kemampuanku juga mirip bunglon. Kalau bunglon hanya warnanya yang berubah maka aku bahkan bisa mengubah bentukku.” (RSPI/66).
Rangga juga sangat pandai membesarkan hatinya. Ia tak lantas menyerah dengan keadaan. Ia berkata pada dirinya sendiri bahwa ia bisa menyelamatkan Anggi yang diculik oleh Tujuh Cahaya Setan. Ia begitu percaya pada kemampuan dirinya. (10)
Ia ketakutan. Aneh sekali. Ia tidak merasakan ketakutan semacam ini ketika menghadapi kejadian-kejadian yang dilewati beberapa waktu lalu. ”Kenapa takut? Anggi akan kuselamatkan”, katanya pada diri sendiri (RSPI/198).
Kemampuan Sendiri
Memotivasi
Diri
Kompetensi dari motivasi diri adalah dorongan untuk menjadi lebih baik; kesiapan untuk memanfaatkan kesempatan; antusiasme, gairah, dan keyakinan diri; serta kegigihan dalam memperjuangkan kegagalan dan hambatan untuk mencapai prestasi. Indikator kemampuan memotivasi diri, yaitu (a) bertanggung jawab, (b) fokus pada tugas yang diberikan, dan (c) menguasai diri. Bertanggung Jawab Sebagai seorang kakak, Rangga sangat menyayangi Anggi, adiknya. Ia merasa perlu menjaga dan melindungi Anggi dalam kondisi apa pun. Rasa tanggung jawab Rangga yang besar tergambar dalam beberapa kutipan berikut. (11)
Rangga mengempos semangatnya. Anggi harus diselamatkan. Ia tidak tahu bahaya apa yang akan mereka hadapi bila ditangkap oleh setan-
47
BÉBASAN, Vol. 2, No. 1, edisi Juni 2015: 42—52
(12)
(13)
setan itu. Yang ia tahu bahwa ia harus bertahan dan menyerang untuk keselamatan mereka (RSPI/70). ”Kita harus menunggu mereka muncul. Bukankah kita akan menukar Bunga Wijaya Kusuma ini dengan Anggi. Kalau kita tidak berhasil, apa yang harus aku katakan pada ayah dan ibu?”, ujarnya sambil mengangkat kain yang ia pegang (RSPI/221). Rangga merasakan kengerian yang amat dalam. Ia khawatir Anggi kehabisan darah dalam upacara itu. Harus cepat. Harus cepat. Jangan sampai terlambat (RSPI/277).
Pada kutipan (11) terlihat bahwa Rangga sangat kebingungan ketika ia dan adiknya dikejar-kejar Setan Kuning dan Setan Biru. Rangga tidak hanya memikirkan bagaimana cara dirinya bisa selamat dari kejaran dua setan tersebut, ia juga berpikir bagaimana Anggi juga bisa diselamatkan. Sementara pada kutipan (12) dan (13) terlihat Rangga sedang memikirkan suatu cara untuk melepaskan Anggi. Anggi telah tertangkap oleh Tujuh Cahaya Setan dan sebagai kakak ia harus meyelamatkan adiknya sebelum terlambat.
yang diberikan oleh para pembinanya, seperti memasak, mendirikan tenda, dan membuat pagar. Hal tersebut tergambar dalam kutipan berikut. (14)
(15)
Menguasai Diri Meski masih SD, Rangga ternyata juga pandai mengelola emosinya. Ia tidak selalu menuruti keinginan emosinya pada saat menghadapi halhal yang aneh. Pada kutipan berikut, tergambar bagaimana Rangga bisa menguasai dirinya dengan baik dan tidak panik ketika ia dan adiknya sedang dikejar musuhnya, Setan Kuning dan Setan Biru. (16)
Fokus pada Tugas yang Diberikan Rangga sebagai murid yang cerdas, sangat menyukai hal-hal yang baru. Hal ini tergambar ketika ia dan temantemannya mengikuti kegiatan Persami. Meski cerdas, ia tidak sembrono dalam mengerjakan tugas-tugasnya. Karena Persami ini adalah pengalaman pertamanya, Rangga masih perlu bimbingan mengenai seluk-beluk perkemahan. Karena itu, ketika Pak Rudi, pembinanya, memberikan arahan dan masukan, Rangga mencernanya dengan serius. Ia dan teman-temannya juga patuh dan fokus terhadap tugas
48
Rangga benar-benar menikmati kegiatan tersebut. Arahan dan nasihat Pak Rudi, ia cerna dengan serius (RSPI/146). Tidak berapa lama kemudian semua sibuk melakukan tugasnya masingmasing. Ada yang memasak, mendirikan tenda, membuat pagar kecil, menggali parit kecil di sekeliling tenda, dan meratakan tanah di dalam tenda (RSPI/149).
(17)
“Cepat kita pergi, Mas”, kata Anggi. Kakinya terasa gemetaran. Belum pernah ia merasakan ketakutan seperti saat itu. Rangga juga berusaha mengatasi ketakutannya. “Kalau aku juga ketakutan nanti Anggi bisa menangis. Aku harus berani”, pikir Rangga (RSPI/33). “Ayo, kita jalan pelan-pelan. Mumpung mereka belum dekat dengan kita. Mudah-mudahan mereka tidak melihat di mana posisi kita.” (RSPI/33).
Rangga tahu bahwa adiknya sangat ketakutan akan bahaya yang mengancam mereka. Namun sebagai kakak, ia harus memberanikan diri menghadapi kedua setan tersebut dengan harapan setidaknya bisa lolos dan mencari bantuan. Harapan Rangga menjadi kenyataan ketika ia tahu
Kecerdasan Emosional … (Anang Panca Kurniawan)
bahwa dirinya bisa berubah wujud menjadi hewan atau tumbuhan. Kemampuan Orang Lain
Mengenali
Emosi
Empati merupakan keterampilan bergaul yang paling dasar. Jika seseorang terbuka pada emosi sendiri, bisa dipastikan ia akan terampil membaca perasaan orang lain. Kemampuan mengenali emosi orang lain meliputi (a) mampu menerima sudut pandang orang lain dan (b) peka terhadap perasaan orang lain. Mampu Menerima Sudut Pandang Orang Lain Ketika Rangga dan Anggi sedang bersembunyi dari kejaran Setan Biru dan Setan Kuning, terlintas dalam benaknya andai saja mereka bisa berubah menjadi semak-semak atau binatang, pasti mereka tak akan tertangkap. Hal itu diutarakan Rangga kepada Anggi. Namun adiknya berpendapat tidak mungkin mereka bisa melakukannya. Pendapat Anggi dibenarkan oleh Rangga. Rangga juga berpikir apa daya dua anak SD menghadapi musuh-musuh yang sangat sakti. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut. (18)
“Huh…, kalau saja kita berdua bisa berubah menjadi binatang atau semak-semak seperti ini pasti kita tidak tertangkap oleh mereka.” “Iya, Mas. Tapi kan tidak mungkin. Kita tidak bisa sihir”, kata Anggi mulai menangis. Bagaimanapun Rangga baru kelas lima SD sedang Anggi kelas empat SD. Masih terlalu kecil untuk menghadapi situasi seperti ini. “Berdoa saja”, kata Rangga. “Siapa tahu kita bisa”, sambungnya menghibur. “Tuhan pasti selalu mendengar doa kita, bukan?!” (RSPI/35).
Rangga juga mampu menerima sudut pandang orang lain tanpa memandang status sosialnya. Ketika dalam perjalanan pulang dari rumah kakek, ia meminta Pak Dimun, sopirnya, untuk mengantarkannya ke Kebun Binatang Jurug di Solo. Namun, Pak Dimun menolaknya. Karena menurutnya, satwa di Taman Safari atau Kebun Binatang Ragunan jauh lebih bagus dan lebih lengkap. Rangga pun kecewa dengan penolakan Pak Dimun. Pak Dimun sebenarnya tidak tega bila mengecewakan majikan kecilnya. Karena itu, ia memberikan ide mampir ke Kebun Binatang Gembira Loka di Jogja. Rangga merasa itu bukan ide yang buruk. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut. (19)
Rangga agak kecewa ketika keinginannya disanggah Pak Dimun. Pak Dimun sebenarnya menyayangi anak-anak majikannya. Mereka sudah dianggap seperti anaknya sendiri. Begitu pula sikap mereka terhadap Pak Dimun. Karena itu, Pak Dimun juga tidak sungkan untuk memberikan pendapat jika ada hal yang dirasa kurang tepat. Tapi, wajah Rangga berubah riang ketika Pak Dimun memberikan ide untuk mampir ke Kebun Binatang Gembira Loka di Jogja. Bukan ide yang buruk (RSPI/93).
Peka terhadap Perasaan Orang Lain Pada kutipan (20) dan (21) berikut, terlihat bahwa Rangga begitu mengerti perasaan Anggi. Ia tahu bahwa Anggi sangat ketakutan ketika Setan Biru dan Setan Kuning mengejar mereka berdua. Rangga berusaha menghibur Anggi dan mengajak Anggi untuk tetap tenang.
49
BÉBASAN, Vol. 2, No. 1, edisi Juni 2015: 42—52
(20)
(21)
“Mmmasss Rangga…tttakut, Mas”, kata Anggi agak terisak. Air matanya mulai keluar lagi. “Anggi…, jangan menangis, nanti mereka datang lagi.” (RSPI/37). “Jangan khawatir, nanti orang-orang itu datang lagi. Mas akan menjadi burung elang lalu peluk Mas dari belakang. Ubah tubuhmu menjadi pohon sirih…” (RSPI/40-41).
Kemampuan Membina Hubungan Kemampuan sosial ini memungkinkan seseorang untuk membentuk hubungan, menggerakkan dan mengilhami orang lain, membina kedekatan hubungan, meyakinkan dan memengaruhi, serta membuat orang lain nyaman. Kemampuan membina hubungan memiliki indikator (a) terampil berkomunikasi, suka berbagi rasa, bekerja sama, dan suka menolong; serta (b) lebih memikirkan kepentingan sosial/bersama. Terampil Berkomunikasi, Suka Berbagi Rasa, Bekerja Sama, dan Suka Menolong Di sekolahnya, Rangga dikenal sebagai anak yang cerdas. Selain cerdas dalam bidang akademik, ia juga pandai dalam bergaul. Hal ini terlihat pada kutipan berikut. (22)
Sore itu baru latihan kedua ketika Rangga sedang mencoba membangun tenda bertiga dengan Gigih dan Rio. Di dekat tenda mereka, Bito dan komplotannya juga sedang mencoba mendirikan tenda. Tidak terjadi perselisihan. Entah karena nilai kepanduannya sebagai Pramuka atau kesibukannya yang membuat mereka rukun (RSPI/146).
Pada kutipan tersebut, diceritakan Rangga dan teman-temannya sedang melakukan kegiatan Persami. Pada waktu mendirikan tenda, Rangga bergotong royong dengan Gigih dan 50
Rio. Di samping mereka, Bito juga sibuk mendirikan tenda bersama komplotannya. Meski di sekolah, Rangga dan Bito tidak pernah akur, tetapi pada saat berkemah, mereka bisa rukun. Rangga mampu menjaga emosinya dan tidak mencoba berselisih dengan Bito. Karena ia sadar, dalam kegiatan berkemah, sikap saling menolong dan bekerja sama lebih diperlukan. Rasa kesetiakawanan Rangga terhadap Gigih, sahabat karibnya, juga besar. Hal ini tergambar dalam kutipan berikut. (23)
“Baiklah. Hati-hati. Jangan sampai celaka.” Rangga menepuk-nepuk pundak Gigih. Diikuti bayangan Gigih dengan pandangan mata penuh harap (RSPI/266-267).
Pada kutipan terebut, terlihat bagaimana kemampuan Rangga berbagi rasa dengan Gigih. Ketika Gigih akan berangkat mencari bantuan, Rangga mengingatkan agar kawannya itu berhati-hati. Rangga tak ingin sahabatnya tersebut celaka. Rangga tidak bisa membayangkan jika terjadi sesuatu yang tak diinginkan kepada Gigih hanya gara-gara ikut terlibat dalam masalahnya. Lebih Sosial
Memikirkan
Kepentingan
Rangga sangat menghormati dan peduli kepada pembantunya. Meski statusnya sebagai anak majikan, ia tidak lantas bertingkah bak seorang raja. Ketika melakukan perjalanan ke Solo, ia mengalami musibah. Rangga diserang oleh Setan Biru dan Setan Kuning. Ia dan Anggi memang selamat, tetapi mobilnya terguling dan Pak Dimun, sopirnya, berada di dalamnya. Rangga khawatir terjadi apa-apa terhadap Pak Dimun.
Kecerdasan Emosional … (Anang Panca Kurniawan)
Kekhawatiran Rangga dalam kutipan berikut. (24)
(25)
tergambar
“Ada apa, Mas?”, tanya Anggi masih bingung. “Ssstt…diam. Di atas ada penjahat. Wajahnya menyeramkan”, bisik Rangga. “Bagaimana dengan Pak Dimun?” “Tidak tahu. Kelihatannya luka parah. Tadi Mas mencoba membangunkan, tapi kelihatannya ia pingsan. Banyak darah yang keluar”, kata Rangga (RSPI/32-33), “Anggi, ayo kita pergi”, ajak Rangga. Anggi pun sudah berubah. “Ayo kita lihat Pak Dimun.” RSPI/40).
Di tengah ketakutannya dikejar-kejar Setan Biru dan Setan Kuning, Rangga masih memikirkan keadaan Pak Dimun di dalam mobil. Setelah menganggap keadaan aman, Rangga mengajak Anggi melihat kondisi Pak Dimun. Sikap Rangga yang lebih memikirkan sesamanya juga terlihat pada kutipan berikut. (26)
Rangga tahu bahwa Setan Biru menggunakan ilmunya. Ia sudah mencengkeram teman-teman Rangga. “Lepaskan mereka. Mereka tidak boleh celaka”, pinta Rangga (RSPI/156-157).
Pada kutipan tersebut, terlihat bagaimana Rangga meminta Setan Biru untuk melepaskan temantemannya. Ia tidak ingin temantemannya ikut celaka. Rangga berpikir bahwa teman-temannya tidak boleh dilibatkan dalam masalahnya dengan Setan Biru. SIMPULA Berdasarkan hasil penelitian dan pembahasan yang telah dilakukan, maka bisa disimpulkan bahwa tokoh utama, dalam hal ini tokoh Rangga, dalam novel anak Ranggamorfosa:
Sang Penakluk Istana memiliki semua elemen kecerdasan emosional. Sesuai dengan rumusan masalah dan tujuan penelitian yang ingin dicapai, maka dalam penelitian ini diperoleh lima kesimpulan sebagai berikut. Pertama, dalam hal kemampuan mengenali emosi, tokoh Rangga masih mudah terbawa oleh emosi yang dia rasakan. Jika dihadapkan pada suasana mencekam atau menakutkan, ia akan cemas dan gelisah. Namun, ia juga mampu memahami perasaan yang bergejolak di dalam dirinya. Kedua, dalam hal kemampuan mengelola emosi, tokoh Rangga selalu bersikap sabar ketika menghadapi sesuatu yang ganjil. Ia juga mampu meluapkan amarahnya dengan cara yang lebih tepat, tidak meledak-ledak. Selain itu, tokoh ini juga selalu mensyukuri segala karunia yang dia punya. Ketiga, dalam hal kemampuan memotivasi diri, tokoh Rangga menyadari tanggung jawabnya sebagai seorang kakak. Ia juga berusaha untuk selalu fokus dan menyelesaikan tugas yang diembannya. Selain itu, tokoh ini juga mampu menguasai diri ketika dihadapkan pada situasi yang sulit. Keempat, dalam hal kemampuan mengenali emosi orang lain, tokoh Rangga selalu berusaha memahami pendapat orang-orang di sekitarnya, misalnya adik dan sopirnya. Ia juga peka terhadap perasaan teman-teman terdekatnya, terutama sahabat karibnya, Gigih. Kelima, dalam hal kemampuan membina hubungan, tokoh Rangga merupakan sahabat yang baik dan menyenangkan bagi teman-teman sebayanya. Ia juga lebih memikirkan kepentingan sesamanya dibanding dirinya sendiri.
51
BÉBASAN, Vol. 2, No. 1, edisi Juni 2015: 42—52
Berdasarkan simpulan yang telah diperoleh tentang Kecerdasan Emosional Tokoh Utama dalam Novel Anak Ranggamorfosa: Sang Penakluk Istana, dapat disarankan beberapa hal sebagai berikut. Untuk peneliti lanjutan, penelitian ini bisa dijadikan salah satu landasan untuk penelitian lebih lanjut terhadap novel anak yang berbeda dengan menggunakan pendekatan psikologi karya sastra. Untuk pembaca sastra, penelitian ini meneliti aspek psikologi tokoh dalam novel anak RSPI karya Nuranto Hadyansah dengan pendekatan kecerdasan emosional. Hasil penelitian ini bisa menambah wawasan pembaca mengenai kajian psikologi tokoh dalam novel anak. Untuk pengajaran sastra, hasil penelitian ini menjelaskan kecerdasan emosional yang dimiliki tokoh utama dalam novel anak RSPI, Jadi, bisa bermanfaat bagi pengajar sastra terutama dalam pengajaran materi atau analisis terhadap sastra anak yang berfokus pada kajian psikologi karya sastra.
DAFTAR PUSTAKA Bunanta, Murti. 2001. Antara Dunia Anak dan Buku Sastra. Tempo. Juni, 29. Cooper, Robert K. dan Sawaf, Aywan. 1998. Executive EQ: Kecerdasan Emosional dalam Kepemimpinan dan Organisasi. Alihbahasa oleh Alex Tri Kantjono Widodo. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Efendi, Agus. 2005. Revolusi Kecerdasan Abad 21: Kritik MI, EI, SQ, AQ, dan Succesful
52
Intelligence Atas IQ. Bandung: Alfabeta. Goleman, Daniel. 1996. Kecerdasan Emosional. Alihbahasa oleh T. Hermaya. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Nurgiyantoro, Burhan. 2005. Sastra Anak: Pengantar Pemahaman Dunia Anak. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press. Raines, Shirley C. dan Isbell, Rebecca. 2002. 17 Cerita Moral dan Aktivitas Anak: Dilengkapi Tips dan Teknik Bercerita untuk Orang Tua. Alihbahasa oleh Susi Sensusi. Jakarta: PT Elex Media Komputindo. Sarumpaet, Riris K. 1976. Bacaan Anak-anak: Suatu Penyelidikan Pendahuluan ke dalam Hakekat, Sifat, dan Corak Bacaan Anakanak serta Minat Anak pada Bacaannya. Jakarta: Pustaka Jaya. Subyantoro. 2006. ”Profil Cerita untuk Meningkatkan Kecerdasan Emosional: Aplikasi Ancangan Psikolinguistik” dalam Kajian Linguistik dan Sastra, Vol. 18, No. 35.