Kebudayaan Ngandong Di daerah sekitar Ngandong dan Sidorejo dekat Madiun, Jawa Timur, ditemukan peralatan-peralatan, seperti :
a.
Kapak genggam.
b.
Flake merupakan alat-alat serpih atau alat-alat kecil.
c.
Alat-alat dari tulang, seperti alat penusuk atau belati, ujung tombak bergegaji pada dua sisi, alat pengorek ubi dan keladi, dan mata tombak dari duri ikan.
a.
Alat-alat dari tanduk rusa yang ujungnnya sudah diruncingkan.
b.
Alat-alat yang terbuat dari batu indah seperti chalcedon.
Alat-alat dari Ngandong juga ditemukan didaerah lain, seperti Sangiran, Sragen, Jawa Tengah dan Cabbenge di Sulawesi Selatan. Menurut para ahli alat-alat yang ditemukan di Ngandong, berasal dari lapisan Ngandong atau pleistosen atas, tetapi pada lapisan tersebut ditemukan fosil Homo Wajakensis. Sementara pada lapisan yang sama, tepatnya didaerah Ngadirejo, Sambung Macan, Sragen, Jawa Tengah, selain ditemukan kapak genggam, ditemukan pula tulang binatang dan batok tengkorak Homo Soloensis Dengan demikian atas dasar contoh penemuan tersebut, para ahli mengambil kesimpulan bahwa pendukung utama kebudayaan Ngandong adalah Homo
Soloensis dan Homo Wajakensis. Karena kedua fosil itu berasal dari lapisan yang sama dengan ditemukannya alat-alat dari Ngandong yaitu pleistosen atas. Jaman batu tengah (Mesolithicum)
Kebudayaan batu tengah (Mesolithicum) berlangsung pada masa kala Holosen. Jika dibandingkan dengan kebudayaan batu tua, perkembangan kebudayaan batu tengah ini terjadi lebih cepat. Hal ini dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain :
1.
Kebudayaan ini didukung oleh manusia purba jenis Homo Sapiens atau manusia cerdas.
2.
Pada masa kala Holosen sekitar 20.000 tahun yang lalu, kondisi sudah stabil.
Kebudayaan kapak genggam Sumatera (Pabble Culture) Hasil penelitian yang dilakukan oleh P.V. Van Stein Callenfels pada tahun 1925, di Langsa (Aceh) dan Medan, yaitu berupa :
Kjokkenmodinger atau sampah dapur Sampah dapur ini berupa tumpukan kulit kerang, dengan tinggi mencapai tujuh meter. Setelah dianalisa oleh para ahli, maka tumpukan sampah dapur ini merupakan bekas tempat tinggal manusia purba dari jaman batu tengah (mesolithicum). Bersama-sama tumpukan sampah dapur, ditemukan pula pabble, pipisan, alu, lesung dan pisau batu.
Pipisan atau batu penggilingan
Pipisan ini merupakan batu penggilingan beserta landasannya yang digunakan untuk menghaluskan bahan cat merah. Karena pada keduanya terdapat bekas cat berwarna merah. Menurut para ahli, bahwa digunakannya cat merah ini berhubungan dengan sistim kepercayaan yang dianut, yakni ilmu sihir. Pada kepercayaan manusia purba, warna merah merupakan darah yang menjadi tanda kehidupan. Kemudian cat merah dioleskan keseluruh tubuh sampai merata, sehingga orang yang memakainya diyakini bdannya akan bertambah kuat.
Kebudayaan Toala (Flake Culture) Dua orang bersaudara dari Swiss yang bernama Fritz Sarasin dan Paul Sarasin, antara tahun 1893 sampai 1896 meneliti gua-gua (abris sous roche) didaerah Lumacong, Sulawesi Selatan, yakni suatu daerah tempat kediaman suku Toala.
Hasil penelitian adalah berupa alat-alat serpih (flake), mata panah bergigi, dan alatalat dari tulang. Dua bersaudara tersebut sampai pada suatu kesimpulan bahwa pendukung kebudayaan Toala adalah manusia dari ras Wedda di Srilangka, termasuk ras Weddoid, yang menjadi nenek moyang suku Toala sekarang.
Ciri khas kebudayaan Toala adalah pada flakes bergerigi, dapat ditemukan pada gua-gua didaerah-daerah lain : a.
Lumacong, Maros, Bone dan Bantaeng di Sulawesi Selatan.
b.
Pulau Timor, Flores dan Roti di Nusatenggara Timur.
a.
Priangan, Bandung, Jawa Barat ditemukan flake yang terbuat dari batu obsidian atau batu hitam yang indah.
Anggota Kelompok 2 : M. Syahdan Rifki Dyah Puspita Andre Ardiansyah Anisah Nurmala Ratu Nurlatifah Anwar Saepudin
Jaman batu baru (Neolithicum)
Perkembangan kebudayaan pada jaman batu muda sudah sangat maju. Hal ini dapat terjadi, karena dipengaruhi oleh terjadinya migrasi bangsa Proto Melayu dari wilayah Yunan di Cina Selatan menuju ke Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Bangsa Proto Melayu tersebut membawa kapak lonjong dan kapak persegi, kemudian disebarkan pada daerah-daerah yang mereka tempati. Dengan demikian kapak lonjong dan kapak persegi tersebut, menjadi ciri khas dari kebudayaan batu muda (neolithicum).
Kebudayaan kapak persegi
Penelitian terhadap kapak persegi dilakukan oleh Von Heine Geldern dengan memperhatikan penampang-alangnya sehingga ada yang berbentuk persegi panjang dan ada yang berbentuk trapesium. Daerah persebaran kapak persegi di Indonesia bagian barat terutama dipulau Bali, Jawa dan Sumatera. Sedangkan di Indonesia bagian timur menyebar kepulau-pulau seperti Sulawesi, Nusa Tenggara, Maluku dan sedikit di Kalimantan.