KEBISINGAN HATI 1st Ananda Rumi Copyright © 2014 by Ananda Rumi/Ananda Perdana Anwar Penyunting: Zurriyati Rosyidah Desain sampul: Nuzula Fildzah/@Zulazula, Penata Letak: Andra Fahlevi, Ilustrasi sampul dan symbol: @Oliel_JHN Ilustrasi halaman: net Foto penulis: @DianArlika Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini tanpa izin tertulis dan penerbit dan penulis Cetakan, 2014 Kebisingan Hati: 1st /Ananda Rumi/_Banjarbaru: On|Off Project 2014. Nulisbuku.com x + 150 hlm; 19 cm Penerbit ON|OFF Project Komplek Klausreppe Jl. Semarang No 119, Kecamatan Banjarbaru Selatan, Kota Banjarbaru, Kalimantan Selatan 70822 Email:
[email protected] www.onoffsolutindo.com Diterbitkan melalui: www.nulisbuku.com, ILP Center Lt. 3-10 Jl Raya Pasar Minggu, No 39 A, Pancoran, Jakarta Selatan 12780
2 | Ananda Rumi
Ucapan Terimakasih Tuhan semesta alam, utusan-Nya, dan para sahabat.
Batang tubuh Juice Heart Noise, we are big inspiration!
Don’t forget it!
Novel Class ON|OFFProject. Para mentor Sindikat
Pemburu Hujan: Sandi Firly, Randu, Harie Insani Putra, dan semua rival yang berada di balik senyuman.
Both of my parents, betapa beruntungnya bisa lahir dari DNA kalian. My Wife, Tak ada kata yang bisa menggambarkan rasa syukurku menjadi pasangan
hidupmu, dan tentunya Sang Jenius yang masih dalam buaian rahim.
Semua gelombang suara yang menemaniku menulis,
L’Arc~en~Ciel, The Gazette, Alice Nine, J-Rocks, Muse, Pierce The Veil, One Ok Rock, dan tentu saja Juice Heart Noise.
For all readers, thanks!
Kebisingan Hati
| 3
Berlari dan Kejarlah Kuberjalan, menyusuri setiap mimpi Dan kutemukan, satu mimpi yang kucari Kan kubawa, sampai akhir hidupku ini Sampai nanti, sang mentari takkan terbit lagi Waktu berhenti, saat langkah kaki terhenti, Dunia tertawa, saat kita berputus asa Biarkan saja, kita juga bisa tertawa Melangkahlah, dan tunjukkan kepada dunia, kita bisa! Berlari dan kejarlah mimpi kita Suatu saat „kan menjadi nyata Gapailah, karena kita bisa mewujudkannya
Diambil dari lirik lagu Juice Heart Noise sebelum Andra mengambil keputusan hidup yang mengubah segalanya menjadi indah, tepat pada waktunya.
4 | Ananda Rumi
Prolog Andra menjelma layaknya pujangga yang kehabisan kata-kata indah. Dalam sebuah kamar penuh dengan tumpukan buku, ia menyandarkan diri. Memandang kucing hitam yang setia bersamanya, Naochi, sedang tidur di atas paha. Tangannya mengusap-usap leher dan punggung Naochi. Kemudian menyapu keringat di antara kening. Andra Di ambang keragu-raguan dalam memilih cerita kali ini. Ia gamang. Sejenak termenung, Andra mengingat lagi ceritacerita sebelumnya yang telah dituliskan. Di depan laptop, ditemani lampu emergency karena listrik sedang mati, Andra berusaha membaca buku lagi, lalu menutupnya kembali. Andra stag. Bingung akan menuliskan apalagi dalam romannya kali ini. Tak pernah Andra separah seperti sekarang dalam memikirkan ide. Padahal, sekian roman sudah dituliskan tanpa kendala. Sekarang ia tak punya pilihan. Pikirannya sudah terkuras habis dengan cerita-cerita klise yang ia baca berulang-ulang. Ia ingin roman kali ini menjadi sesuatu berbeda dari biasanya. Tidak mirip apalagi sama dengan yang sudah-sudah. Namun di mana ide itu? Padahal ia pun tahu, ide tidak datang dengan sendirinya. Ide ada karena upaya pencarian gigih. Ide berhadir karena penulis harus menghadirkannya sendiri. Bukan menunggu, tapi membuat ide. Sekian detik berlalu, Andra menengadah ke atas. Jari-jemarinya memainkan tuts asal-asalan. Entah gerakan Kebisingan Hati
| 5
dari mana otaknya memerintahkan segala syaraf otot bergerak ke arah satu folder dalam harddisk memory. Di dalam sana, Andra menemukan sejumlah lagu favorit yang hampir diputarnya setiap hari sampai hafal. Namun, ada satu folder tersisa. Sudah jarang tersentuh belakangan ini. Folder itu betah dalam memory laptop. Andra hampir melupakan jika ia memunyai sejumlah file yang siapa tahu, bisa menjadi cerita dalam roman kehidupan kali ini. Dengan satu klik, Andra membuka folder itu. Puluhan file musik dan video terpapar di layar monitor. Pelan ia membuka dan memainkan satu persatu. Andra hanyut dalam ingatan-ingatan masa kuliahnya. Membayangkan dirinya berdiri dengan gagah di atas panggung pertunjukkan dengan penataan apik. Dekorasi menawan. Tata lampu yang sempurna. Dan sound system menggelegar. Jernih tanpa kebisingan. Bukan! Andra bukan membayangkan dirinya bersih-bersih, bongkar pasang sound system, atau menjadi konsultan dekorasi panggung. Melainkan bermain musik di atasnya. Andra bermain bass, mempersembahkan lagu-lagu andalan. Menggunakan bass impian kualitas terbaik menghibur para fans di seantero kota. Menyaksikannya sebagai grup band paling kompak. Menampilkan aksi panggung paling spektakuler. Bersaing skill dengan bandband yang sudah terkenal di kancah Nasional. Andra berjingkrak, melompat, bernyanyi dan melemparkan pick bass kepada penonton. Menyaksikan para penonton merebutkan pick yang sudah agak basah karena keringat di jari jempol dan telunjuk. Seperti itu juga 6 | Ananda Rumi
yang dilakukan sang gitaris. Atau sahabat drummernya, sengaja membawa puluhan pasang stik drum bertuliskan nama pribadi untuk dilemparkan ke penonton usai pertunjukkan. Niatnya sama, untuk diperebutkan. Bukan hanya keinginan Andra sendiri, tetapi sudah menjadi mimpi bersama lima orang sahabatnya, Oliel, Ezha, Arul, Reza dan Kevin. Formasi terakhir yang mengakar dalam band mereka. Kebisingan hati, mereka padukan dalam grup musik. Meski tak semudah rencana. Perlahan lagu itu menjauh dan membawa pada kejenuhan. Mereka berlima tak pernah membayangkan untuk menjadi penghibur. Menjadi grup musik yang pergi ke Jakarta menjajal kualitas dan masuk dapur rekaman. Dapur rumah sendiri saja tak pernah mereka kunjungi, apalagi dapur rekaman. Andra memasang earphone. Memutar satu lagu lagi kemudian memejamkan mata. Ia berniat untuk meluangkan waktu istirahat sebentar saja. Pikirannya menerawang menjadi cerminan. Melihat dirinya saat ini yang hampir setiap hari menghabiskan waktu dalam dunia tulis-menulis. Menjadi wartawan perkotaan. Kehilangan pemandangan senja yang sering dinikmati orang-orang bebas. Andra baru menyadari itu saat lagu-lagunya masih menggetarkan gendang telinga. Dan… Andra teringat lagi bingkai gambar bersama sahabatnya. Duduk di satu meja bundar. Berbincang sembari mereguk hangatnya cappucino kedai kopi Lapangan Dr Murjani. Menyatukan janji. Menyatukan suara. Menyalurkan semangat bermusik. Bermimpi menjadi penghibur segala suasana hati. Menjadi sosok yang Kebisingan Hati
| 7
membanggakan bagi kekasih tersayang. Dan ini bukan hanya tentang musik mereka, tapi tentang kehidupan, persahabatan, cinta, dan makna akan kehidupan itu sendiri. Folder itu itu bernama:
“Juice Heart Noise”.
8 | Ananda Rumi
Andra percaya keajaiban pasti terjadi. Semua orang punya cita-citanya masing-masing. Dan untuk mewujudkan semua itu tentu bukan perihal enteng. Keyakinan akan perwujudan mimpi dinilainya sebagai manivestasi hidup. Tertanam kuat dalam sel otak. Andra merasa kekuatan berada dalam pemikiran. Kehidupannya tak berjalan tanpa menggunakan waktu dengan optimal. Baginya, dunia selalu berputar karena manusia-manusia yang berpikir. Dan ia pun yakin mimpi pasti akan terwujudkan dengan upaya gigih. Hingga tak ada lagi alasan untuk berhenti berusaha mewujudkan semua keinginan. Saat sekarang, ketika Andra beranjak dua puluh dua tahun, hari-harinya seperti lingkaran sebuah jarum jam. Tik-tok tik-tok tak lepas dari keterburu-buruan. Terhimpit dan dihimpit oleh detik. Tak ada jeda untuk merenung, baginya, kehidupan terus berjalan. Cepat. Tak mungkin berhenti apalagi berjalan mundur, meski ia tak bergerak sama sekali. Lintasan pikiran dalam otaknya seperti lajunya arus kereta api yang sukar berhenti mendadak. Kecuali memang sampai pada stasiun. Selalu berlari. Menulis. Berlari. Mengejar. Berlari. Meraih momen terbaik. Dan kembali mempersiapkan amunisi untuk diledakkan saat berlari lagi. Mengejar waktu. Hidupnya penuh dengan semangat. Meski kadang ia merasa hampa tanpa makna.
Kebisingan Hati
| 9
Menjadi mahasiswa dan bekerja sebagai jurnalis
freelance bukanlah perihal yang terlalu sulit bagi Andra. Namun dibalik rasa kemudahan itu, ia menyayangkan waktunya yang kini dihabiskan untuk kepentingan orang lain. Andra justru merasa waktunya bermain musik perlahan menghilang. Tak seleluasa dulu. Perisitiwa yang dilaluinya tiga tahun lalu.
Suatu Senin, udara panas cukup menyapa Kota Martapura, ketika Andra beranjak sembilan belas tahun. Menjadi mahasiswa adalah hal yang membanggakan. Perasaan itu hampir dirasakan sebagian mahasiswa semester pertama hingga kedua. Selanjutnya, tergantung situasi, di akhir-akhir semester ada yang buru-buru lulus dan ada juga yang buru-buru lolos. Keluar dari kampus tanpa proses sidang. Andra memunyai kepekaan bergaul yang sangat terbuka. Wajar hal ini menjadi menarik, beberapa redaksi koran punya nomor kontaknya, yang sewaktu-waktu meneleponnya karena memerlukan liputan khusus. Hal itu sering terjadi di beberapa koran lokal yang kekurangan wartawan tetap. Andra melayani saja dengan bayaran yang cukup menggiurkan. Kemampuannya dalam berkomunikasi dan membaca bahasa tubuh tak diragukan. Itu juga karena ketertarikannya dalam bidang komunikasi. Wajar ia melahap beberapa jurnal tentang disiplin ilmu komunikasi dari verbal hingga non-verbal. Namun sayang, kadang ia tak sadar, semua prasangka kadang tak selalu benar. 10 | Ananda Rumi
Terkadang pula, ia tak sadar bahwa perlakuan dan sifat orang lain bisa menjadi cerminan bagi dirinya sendiri. Andra suka sekali membandingkan udara di daerah lain dengan kota kelahirannya, Jakarta. Seperti hawa panas di Kalimantan Selatan yang baginya terlalu luar biasa. Lebih panas dari ibu kota. Jika hujan, kadar hujannya juga luar biasa. Kota ini memunyai keseimbangan beragam di setiap musim. Meski dalam persoalan banjir, Jakarta tetap nomor satu. Andra meninggalkan pergaulan ala metropolitan ibu kota, tersebab mengikuti kedua orangtuanya bertugas di Kalimantan Selatan pada perusahaan tambang. Meski di permulaan ia menolak, namun apa daya, ia tak bisa menentang tipe lelaki tegas seperti Ir Azwar Rahardian, ayahnya. Meski belum lama tinggal di Martapura, Andra mulai mencintai kota ini. Ada ketentraman dan karakter kuat yang dirasakan Andra saat tinggal di salah satu rumah bertingkat milik ayahnya di satu kampung bernama Pasayangan. Hampir setiap lima waktu Andra melihat masyarakatnya berbondong-bondong menuju surau. Anakanak kecil berlarian membawa kitab yang entah Andra tak mengetahui saat itu. Ia baru mengetahui setelah menanyakan secara langsung ke anak-anak kecil yang sering berlalu-lalang di hadapan rumahnya. Katanya, kitab kecil itu bernama Burdah. Bahkan tak sedikit anak-anak di sekitar tempat tinggalnya telah menghafalnya. Bagi Andra, fenomena itu adalah budaya unik yang tak pernah ia temui di Kota Metropolitan Jakarta.
Kebisingan Hati
| 11
Andra memilih sendiri kampus untuk melanjutkan kuliahnya. Alhasil masuklah ia ke Kampus Hijau. Akses terdekat dibandingkan kampus bergengsi yang ada di Kota Banjarbaru. Masih di permulaan waktu kuliah, Andra memunyai dua orang sahabat bernama Oliel dan Ezha, tentang keduanya akan diceritakan nanti. Musik, sudah menjadi keseharian dalam pergaulan Andra, dari SMP hingga SMA. Dengan bertolaknya ke Kalsel, Andra meninggalkan band yang sempat berjaya di Ibu Kota sewaktu masih SMA. Ia meninggalkan seseorang gitaris hebat di sana. Teman seperjuangannya. Dan di sini, Kalimantan Selatan, Andra ingin kembali mewujudkan niatnya membangun band seperti masa SMA dulu. Memperjuangkan idealisnya dalam bermusik yang dituangkannya dalam lagu-lagu. Entah bagaimana jadinya nanti, Andra belum bisa meraba-raba. Dan… kini kepingan itu tertinggal layaknya es krim meleleh tersebab panasnya sengatan matahari. Hawa panas dirasakannya menyelimuti kantin kampus Green University yang tak ber-AC. Sudah dua semester Andra berkuliah di kampus ini. Para mahasiswanya lebih akrab menyebutnya „Kampus Hijau‟. Namanya juga kampus hijau, manajemen lingkungan dengan angin alami dari alam sangat diutamakan pihak kampus. Meski tak sesuai perhitungan geografis. Andra menyapu keringat di dahinya yang tertutup rambut. Rambutnya cukup panjang tapi tak gondrong. Dengan tinggi badan 163 cm dan berperawakan langsing. Di sudut bangku kantin kampus, Andra mengambil ransel setelah menutup panggilan telepon dari seseorang di sana. 12 | Ananda Rumi
“Mau kemana lagi, Ndra?” tanya Verda, pacarnya yang juga sekampus. “Aku bakal pergi ke kantor pemerintahan kota lagi. Ada wawancara khusus perihal sengketa lahan. Sebenarnya aku tak terlalu suka masalah ini, lebih sering diplintir oknum berkepentingan,” jawabnya ketus sembari mengerutkan dahi. Satu hirupan terakhir dari kopi hitam yang ia minum. “Suka tak suka itulah namanya pekerjaan, Ndra. Bukankah menjadi jurnalis juga keinginanmu. Apa pun masalahnya, harus kau hadapi!” Verda membela. “Kita tak perlu membahas itu,” Andra melirik arlojinya. Style yang menjadi pilihannya adalah warna arloji yang ia pakai senada dengan warna baju dan sepatu. Tak pelak Andra memunyai lusinan koleksi sepatu dan jam tangan di kamar pribadinya. Dan satu lagi, ia adalah lelaki pecinta kucing. Dan Verda, lelaki mana yang tak meliriknya. Tak perlu banyak diksi, ia seolah dinobatkan menjadi bintang kampus yang sangat terkenal. Terkenal cuek. Juga sangat kontroversial. Berbeda dari perempuan sebaya, dengan selisih dua tahun di atas Andra, mereka menjadi pasangan serasi, terkadang membuat seisi kampus iri. Ketertarikan keduanya diawali saat pertama kali bertemu pada pelaksanaan orientasi kampus alias ospek. Singkatnya, mereka satu kelompok. Komunikasi keduanya berangsur lancar sampai akhirnya jadian di hari ketiga. Itu juga setelah Verda tahu bahwa Andra adalah anak band, dulunya. Meski sekarang Andra sama sekali tak punya Kebisingan Hati
| 13
band. Inilah yang menjadi satu faktor mengapa anak band laki-laki selalu menarik, cool, dan memunyai kharisma tersendiri di mata sebagian perempuan. Verda memunyai pesona pada rambut panjang bergelombang berwarna rada kecokelatan. Bola mata simetris dibalut perwajahan oval dan kulit yang putih. Andra sering menyapa kekasihnya itu dengan sebutan, “Mila Kunis”-ku. Meski terkadang Verda tak suka dibilang seperti itu. Perempuan berwawasan seperti Verda sangat benci dibanding-bandingkan dengan perempuan lain. Meski bintang Hollywood sekalipun. Verda sering berpenampilan dengan kemeja bermotif kotak-kotak dan celana panjang jins. Sepatu Converse abu-abu setia melekat di kedua kakinya yang indah. Perbedaannya adalah, ia lebih nyaman bergaul dengan para sahabat laki-laki daripada perempuan sebaya. Hanya seorang sahabat perempuan yang sangat akrab dengannya. Tentang perempuan itu juga akan diceritakan nanti. “Aku nitip absen, Ya! Bilang saja ke bapak Oveje aku sedang ada liputan mendadak. Kalau memang dosen membutuhkan pemateri makalah, kau saja yang maju.” tutup Andra meninggalkan kantin kampus. Bapak Oveje bukanlah nama sebenarnya. Hampir semua isi kelas memberikan gelar kepada dosen yang sering berkopiah haji dan sangat kocak di kampus Hijau. Sebenarnya bukan gaya mengajarnya yang konyol dan sering melawak pada saat jam mata kuliah. Tetapi, bapak dosen satu ini suka tertawa-tawa sendiri saat 14 | Ananda Rumi
mememaparkan suatu materi. Meski tak ada lelucon yang harus ditertawakan sama sekali. Sama sekali. Di kantin sederhana itu, tinggal Verda dan sang bibi kantin. Bibi Kantin Gaul, terlihat asik menggoreng tahu-tempe, bergoyang mendengarkan alunan biola dari grup empat perempuan ramping sexy asal Italia. Victory! Aroma harumnya gorengan membuat perut para mahasiswa siang itu berdisko dan rela berlama-lama duduk di kantin, juga terlambat masuk kelas, demi mencicipi gorengan hasil karya Bibi Kantin Gaul. “Ini gorengannya, Neng!” ujar Bibi Kantin Gaul. Nama sebenarnya Minah. Tapi karena gaya nyentrik dan sangat mengerti perihal apa pun yang ada pada pergaulan mahasiswa di kampus Hijau tersebut, maka sah-lah sudah gelarnya sebagai “Bibi Kantin Gaul” melekat hingga beberapa generasi. “Makasih, Bi!” “Ditinggal pacarnya lagi!” Si Bibi meledek. “Iya. Maklumlah, wartawan, Bi. Susah sekali mencari waktu luangnya. Meski sebenarnya ia belum menjadi wartawan tetap di koran. Ya, freelance gitu, deh. Lelaki panggilan,” Verda menyengir Bibi Gaul. “Kadang di majalah, kadang di koran, dan kadang di situs berita online. Ga-je. Serabutan!” “Wah, apalagi kalau menjadi wartawan benaran yang sudah punya seragam dan kartu pers, ya, Neng.” “Hmmm… mungkin tak ada waktu lagi buat aku.” “Mungkin, Neng, bakal ditinggalin sama Andra!” Kebisingan Hati
| 15
“Hush… bibi ngomong apaan. Ngaco deh!” “Sorry, Non Verda. Canda! Lagian, Non serius banget. Mukanya kayak dilipat-lipat. Santai aja lagi. Kayak bibi nih, enjoy aja!” Bibi kantin gaul itu mencontohkan gaya salah satu iklan rokok. “Ya, bibi sih, enak suaminya seorang satpam. Bisa dijagaain terus tuh hatinya. Demi kemanan. Cuit… Cuit…!” “Ah, Non Verda! Meski satpam begitu kita tetap harus waspada!” Curhatan kedua perempuan beda genarasi itu semakin mengarah kemana-mana. Menjelang dua tahun hubungan antara Andra dan Verda memang menyisakan banyak kenangan. Kadang-kadang Verda benci dengan Andra karena gayanya yang super cuek. Tapi disitulah daya tariknya. Juga sedikit ke Jepang-jepangan. Ya, Andra sangat menyukai penampilan band dari musik-musik Jepang beridealis Visual Kei. Namun tak berselang lama. Bibi Kantin Gaul harus kembali konsen ke pekerjaannya menggoreng tahu dan pisang karena banyak pembeli sudah antre. Seperti Andra yang juga harus antre dalam lalu lintas perkotaan menyebalkan. Bergelut dalam deru suara mesin dan debudebu jalanan.
16 | Ananda Rumi
Dalam perjalanan, alunan musik Japenese Rock mengalun indah dalam lilitan kabel handsfree. Driver‟s High-nya L‟Arc~en~Ciel membuat Andra seolah dibalik setir kemudi, meski sebenarnya hanya mengendarai roda dua berwarna hitam dengan daya pacu 250cc. Andra termasuk pria pembaca rakus yang sangat mengutamakan penampilan. Bukan seperti kutu buku yang sering digambarkan pada film-film. Selalu berkacamata dan agak culun. Ia membaca apa saja, buku apa saja, artikel apa saja. Termasuk tanda-tanda yang ada di sepanjang jalan utama perkotaan. Kalimat-kalimat dalam reklame dan billboard otomatis melekat erat dalam otaknya. Iklan-iklan promosi dan perwajahan para calon wakil rakyat terpampang hampir di setiap persimpangan jalan. Tak heran daya ingatnya kuat. Cepat menyerap. Pun karena kemampuan itu juga membuatnya begitu mudah mencari alamat atau tempat pertemuan, Andra selalu berhasil menemukannya. Pasti! Melebihi kemampuan supir taksi dan tukang ojek. Atau kurir pengiriman barang sekalipun.
Atsuku natta ginno metallic heart Doukasen ni hi wo tsukete ageru Fushigi na hodo high na kibunsa Suna bokoi wo maki agete yukou Jantung silver metalikku memanas Kebisingan Hati
| 17
Aku akan menyalakan sekering Suasana hati luar biasa tinggi Mari kita bergulung dalam debu Deru suara mesin dan decitan ban motor melaju kencang di jalanan beraspal kasar. Layaknya lintasan balap, Andra memacu kuda besinya seperti dalam sirkuit superbike, Philip Island, Australia yang sering ia saksikan melalui YouTube saat jengah. Namun aksi „superbike‟ pribadinya terpaksa melambat mendekati bundaran dengan menara intan berlian perkasa perbatasan Kota Banjarbaru dan Martapura. Hal yang sulit dihilangkan di kota ini. Simbol perkotaan menggambarkan sebagian besar tipe manusia-manusia di dalamnya. Manusia-manusia yang memperebutkan glamour dan gengsi tingkat tinggi. Direfleksikan para truk-truk antre mengular tanpa berujung. Pendulangan intan yang tak seimbang. Selalu seperti itu berulang-ulang. Setiap hari tanpa kemajuan spesifik. Mereka, kalangan yang rutin menumpuk-numpuk energi hasil dari sistem birokrasi negeri. Sebagaimana yang Andra amati dari sekian banyak rekan bisnis ayahnya di Jakarta. Banjarbaru adalah kota paling egois yang pernah kukenal. Semua gelar ingin disandang, batinnya.
Himei wo majirase bousou suru kodou Me no mae ni wa misairu no ame Berteriak sambil melarikan diri Di depan mataku hujan rudal
18 | Ananda Rumi
Andra bertemu Oliel setahun lalu. Tepatnya di masa penggemblengan mahasiswa baru, ospek. Awalnya Andra merasa aneh melihat Oliel yang berpenampilan begitu mencolok dibandingkan yang lain. Meski itu dinilainya sebagai fashion. Ia mendapati Oliel sebagai mahasiswa rada nyentrik. Bersepatu dengan gaya tumit terinjak. Bukan terinjak, tapi sengaja diinjak. Memakai sejumlah perkakas berwarna pink. Apa pun itu. Seringkali memakai kupluk dan bandana padahal tak botak. Kadang memakai rompi garis-garis gaya jadul sampai menarik perhatian sekalian kawan di kampus. Tali sepatu sebelah kanan berwarna pink dan sebelah kiri berwarna kuning. Satu hal yang membuatnya sangat disukai kawan-kawan, kepribadiannya loyal dengan sahabat. Itulah yang terbesit dalam bayangan Andra saat namanya disebutkan, Oliel. Selang beberapa waktu, kesamaan pemikiran keduanya akan bidang seni terjalin. Andra, kecendrungannya dengan dunia teater, sastra, musik, fotografi, dan budaya begitu sinkron dengan Oliel yang basicnya menyukai hal sama. Di musik terutama. Oliel juga pernah memenangkan satu kompetisi pergelaran teater dan festival di masa SMA. Hingga satu waktu, keduanya mengikuti organisasi kampus di bidang teater. Saat itu terjadi, Oliel merasa tak sejalan dengan pemikiran para senior yang hanya ingin menunjukkan arti senioritas tanpa makna seni terkandung di dalamnya. Tak bertahan lama, Oliel memutuskan keluar dari penggemblengan itu. Baginya, teori hanya sekadar teori. Tanpa praktek, maka semua akan sia-sia. Kebisingan Hati
| 19
Waktu seperti anak kucing peliharaan yang merongrong jika tak dikasih makan. Saat kau mendiamkannya, ia akan mencoba mencari perhatian dengan menggosokkan tubuhnya di sela-sela kakimu. Atau saat ia sudah kenyang, ia tak peduli denganmu. Ia meninggalkanmu yang sedang sibuk di atas meja dengan jari menari di atas keyboard komputer. Ia bermain sesuka hati menarik-narik kabel yang tergantung di sana-sini yang terus berlari maju menuju pendewasaan. Anak kucing lebih cepat mati jika bertemu dengan pejantan rakus. Namun tidak dengan waktu. Waktu tak pernah mati dalam ruang kerja. Dalam bilik ber-AC yang di dalamnya penuh dengan tenggat waktu. “Kau tampak terburu-buru, Liel!” tanya Alanis, sekretaris kantor yang paling dekat dengannya. “Memangnya, kau pernah melihatku tak buruburu?” Oliel datar. Alanis tersenyum sinis. “Besok ada tamu di kantor. Karena lokasimu paling dekat dengan kantor. Maka kaulah yang harus datang untuk meliputnya,” “Huh, memangnya tak ada wartawan di lapangan? Aku ini Desain Grafis, Nis! DESAIN GRAFIS! Dan bukan wartawan! Pasti dari perusahaan yang ingin promosi!” “Ya. Kau pasti tahu itu!” “Kapan aku bisa mengambil cuti, Nis?” “Ingat! Jangan lagi panggil aku dengan sebutan “Nis”. Panggilanmu itu membuatku seperti kucing,” Alanis 20 | Ananda Rumi
menyeringai sebentar. “Sekitar enam bulan lagi. Kenapa? Kau sudah bosan menggambar?” “Mungkin iya, mungkin juga tidak. Aku hanya sedikit jenuh. Perlu sedikit liburan. Sudah lama aku tak bermain musik,” ungkapnya. “Mereka perlu iklan satu halaman penuh. Kau harus selesai mengerjakannya sebelum petang. Ingat! Bos minta tampilan istimewa. Berbeda dari hari biasanya!” “Wah, sore ini aku harus masuk jam kuliah!” Oliel berpikir. Menatap jam dinding dalam ruangan. Sebentar lagi. “Baiklah. Siang ini juga kuselesaikan! Masih ada mimpi yang harus kuwujudkan, Nis!” “Apa itu?” “Kau akan tahu nanti!” “Oke. Jangan lupa format dami-nya kirimikan ke surelku. Sebelum layout, harus kuserahkan terlebih dulu ke atasan.” “Oke!” Di dalam kantin, Verda mengesampingkan rambutnya ke belakang telinga. Kemudian memasang handsfree dan membalik halaman buku yang ia pegang sejak Andra beranjak dari hadapan. Ia tenggelam dalam kegaduhan kumpulan para mahasiswa yang bercengkrama dan berdiskusi tentang Aristoteles versus Plato, atau tentang mereka yang memperdebat moral dalam empat pilar berbangsa. Verda merasa tak perlu andil dalam
Kebisingan Hati
| 21
perbincangan mereka. Ia memilih tenggelam dalam alunan suara merdu Emy Lee. How can you see into my eyes, like open doors Leading you down into my core, where I‟ve become so numb Without a soul, my spirit‟s sleeping somewhere cold Until you find it there, and lead it back, home Verda menikmati hentakan dalam gelombang gendang telinganya. Memainkan jari-jarinya seperti metronome. Memejamkan mata memahami makna di balik nada. Namun ada sesuatu mengusik kenyamanannya. Seperti gangguan. Membuat intuisinya melonjak. Seorang
brengsek menghampiri.
“Halo, manis! kau pasti rindu padaku, kan?” gelombang suara datang dari arah belakangnya. Verda mendengarnya samar-samar dari balik earphone, mencoba mengurangi volume Mp3. Menoleh sekeliling kantin.
Shit! Ia lagi. Wajahnya langsung berubah jengkel. Dahinya mengerut. Verda membereskan segala perkakas. Menarik tas ransel berwarna hijau tua lantas beranjak dari tempat duduk. “Eit… tunggu dulu dong. Mau kemana, sih? Kita ngobrol dulu, lah.” Pria itu menggengam tangan Verda, menariknya untuk duduk kembali. Berat hati Verda menurutinya. Dengan perasaan gugup dan terpaksa. Ada sesuatu hal yang Verda takutkan dari aksi Erland, lelaki rajawali itu, lelaki bertato di lengan kirinya dan memakai anting, tapi, bukan! Bukan soal perasaan apalagi cinta yang dikejar Erland terhadap Verda. 22 | Ananda Rumi
Melainkan materi, financial, candu, yang bisa saja sewaktuwaktu menjadi perusak hubungan antara ia, Andra dan sahabat lainnya. Erland melayang-layangkan sebuah klip plastik berisi butiran kristal di depan mata. Seraya mengedipkan sebelah mata dan mengangkat alis kanan. Tangan kirinya mencoba merangkul Verda dari belakang. Namun cepatcepat Verda menyanggah. “Bodoh! Kau kira kita sedang clubbing apa! Ini kantin kampus, stupid!” Verda langsung merenggut klip plastik itu. “Kita sudah sepakat, kan!” “Untuk sementara, aku belum ada uang!” “Ya, terserah. Kau bisa minta uang dari pacarmu yang sok pintar itu!” “Jangan ngomong sembarangan, ya! Aku bukan tipe cewek yang suka minta uang ke cowok!” Verda menatap Erland sinis. Inilah momen di mana ia harus membenci tapi tak mampu berbuat banyak. Tubuhnya menolak keinginan dalam intuisi positif. Verda mengesampingkan rambutnya kembali ke balik telinga. Erland pergi saja dari hadapan, meninggalkannya dengan kedipan mata sebelah kanan, seolah menggoda, dan kedua telunjuk mengarah ke hadapan Verda. Ejekan itu seakan menggambarkan kegembiraan hati, Yeah! Kini ruangan kantin menjadi gubuk tua penuh derita bagi Verda, sangat membuatnya tidak nyaman. Verda gelisah.
Kebisingan Hati
| 23
Dalam otaknya, kepingan-kepingan kenangan pahit menyeruak untuk mengingat lagi masa-masa kelam. Memikirkan kehidupannya yang cukup memusingkan. Broken Home, bergaul dengan kalangan pria, terjerumus dengan dunia pergaulan yang sebenarnya ia pun tahu kalau ini bukan pilihan terbaik, ini merupakan kesalahan.
Kesahalan sedikit. Nanti juga berhenti kalau sudah tiba waktunya, harapnya.
Tapi mau bagaimana lagi, di satu sisi ia justru merasa ini bukanlah pilihan, melainkan garisan takdir yang harus dijalani. Verda termenung lama. Kemudian mengikat rambutnya yang tadi terurai ke belakang. Ia mengambil sebatang rokok dan menyalakannya di tengah kantin. Ia tak akan melakukan hal itu jika di depan Andra. Verda tahu kebiasaanya tersebut menarik perhatian sekalian mahasiswa dan mahasiswi yang sedang bersantai. Namun ia tak peduli. Sikap inilah yang membuat Verda dipergunjingkan seoalah menjadi bintang kampus. Cemoohan sekaligus pujian. Sementara keterpanaan orang-orang itu berlangsung, Verda menatap jam dinding kantin, membereskan beberapa buku novel fiksi dan filsafat yang tadi di hadapannya, kemudian pergi dari tempat itu. Dengan tergesa-gesa berlari kecil ke ruang kelas. Sebelum menaiki tangga ke lantai dua dan berbelok ke kanan, tanpa sengaja ia menabrak Ezha. Sekalian buku berhamburan di antara keduanya. Tapi mereka tak saling pandang seperti yang sering terjadi dalam frame sinetron televisi. “Hei, aku baru saja mau menemuimu!” 24 | Ananda Rumi
“Andra! Andra mana Andra?” “Ia berangkat ke Kota. Katanya, sih, ke kantor pemerintahan. Kenapa memangnya? Kau seperti kebakaran kuping!” sembari Verda membereskan perkakasnya yang berhamburan di lantai. “Ada mimpi yang harus diwujudkan!” Ezha cepatcepat berlari menuju parkiran. Ia berniat untuk menyusul Andra, namun ada sesuatu yang lebih penting dari itu semua. “Tunggu, Zha!” Verda berteriak karena Ezha semakin menjauh. Ezha memelankan jalannya. Lalu memalingkan badan sambil berjalan mundur. “Jangan beritahu Andra!” Ezha tak menjawabnya dengan teriakan apalagi kalimat. Hanya tersenyum sambil menyodorkan kedua jempolnya ke arah Verda. Lantas kembali berbalik badan berlari kecil meninggalkan Verda yang masih sibuk dengan buku-bukunya. Termasuk klip transparent kecil berisi gumpalan kristal putih dari saku bajunya yang tadi ikut terjatuh.
Kantor majalah Super Buy. Di lihat dari atas, Oliel terlihat melongok serius di depan layar komputer. Tangannya menaik-turunkan kacamata. Jari telunjuknya asik naik turun pada gulir tetikus. Posisinya tepat berada di hadapan meja sekretaris redaksi, Alanis.
Kebisingan Hati
| 25
Siang tergelincir. Konstrentasi Oliel mulai buyar karena jam kuliah segera dimulai. Ia harus cepat-cepat keluar dari kantor untuk menuju kampus. Sesekali melirik jam dinding, sesekali ke hadapan lagi. Tersenyum sinis. Lalu ke layar monitor lagi. Lantas meneruskan gambarannya. Selalu begitu. Hampir setiap waktu dan setiap hari. Terkecuali week end. Seperti ada beberapa turbulensi dalam otaknya. Pusing. Berkunang-kunang. Oliel meletakan mouse dan men-close beberapa jendela di layar monitor. Sampaisampai suara klik terdengar nyaring hingga Alanis merasa terganggu. “Kenapa lagi, Liel?” “Oh. Maaf. Gaduh, ya?” “Kau tampak lelah.” “Masak, sih? Memang kelihatan dari mukaku?” kata Oliel cuek. Lalu melepas kacamata dan mengucek kedua matanya. Memasangnya kembali. “Sungguh. Aku perlu cuti, Nis! Huft…” Oliel menunduk. Mencoba memejamkan matanya. Memasang handsfree dan menaikkan volume musik yang didengar. Tapi tak sampai satu lagu berakhir, getaran handphone mengejutkan khayalan itu. Ia terkesiap. Bangun. Melihat nama di layar dan menjawab panggilan itu. “Halo… Oliel! Ada waktu?” “Ada apa, fren!”
26 | Ananda Rumi
“Kau, kan tahu, kita sama-sama lama tak bermain musik. Hmmm… aku sedang be-te. Pekerjaanku membosankan. Perlu hiburan. Ya, nge-jam bareng-lah!” “Tapi, kita, kan, cuma berdua? Kau kira kita Duo Maia, apa!” “Hmmmm… kita perlu gitaris dan drummer yang cukup badak, boy!” “Oh Begitu. Kita akan bicarakan ini nanti. Tapi nanti, ya! Aku masih sibuk sekarang.” “Oke. See You!”
Klik. Andra menutup telepon. Kemudian berbalik ke kampus Hijau usai wawancara dengan pejabat tanah yang bermasalah. Liputan yang sangat memuakkan baginya. Tapi mau dikata apa. Satu komitmen pekerjaan harus diterima Andra. Hari-hari melelahkan selalu menanti di tiap tarikan napasnya.
Jam kuliah usai. Ezha yang sehari sebelumnya terburu-buru mencari Andra sudah mendapati makalahnya. Yang kemarin dibawa Andra melanglang buana. Andra cepat-cepat keluar ruangan tanpa tegur sapa dengan Verda. Di sudut kelas, Verda merasa terkucilkan. Belakangan ini hubungan keduanya memang tampak renggang. Andra sibuk dengan pekerjaannya sebagai jurnalis freelance di satu koran lokal. Dan Verda sibuk dengan ketergantungannya akan benda terlarang.
Kebisingan Hati
| 27
Verda memerhatikan Andra dari kejauhan tak membalikkan badan hingga menghilang dari balik pintu. Beberapa waktu setelah semua pulang, Verda mencari-cari sesuatu benda yang dirasanya sangat berharga. Dari saku ransel paling luar hingga bagian terdalam. Ia menemukannya di saku samping sebelah kanan ransel kemudian mengambilnya dan memasukkannya kembali di salah satu kantong rahasia yang sudah ia desain sendiri. Di ransel yang sama. Verda menyelidik ke sekeliling. Aman. Verda keluar kelas bergegas melintasi selasar kampus ketika sudah cukup lengang. Beberapa mahasiswa sudah pulang, kecuali mereka yang aktif di sekretariat organisasi kampus Hijau. Merasa suasana cukup relevan, Verda beranjak menuju toilet perempuan. Ia melepaskan tas ransel. Mengambil sebuah filter di dalam kantong rahasia tadi. Dituangnya pasir kristal tersebut ke dalam sebuah wadah super-mini. Seperti tutup sebuah minuman bersoda berbahan stainless. Dibakarnya perlahan dengan pemantik kemudian menghisap asapnya sedikit demi sedikit. Sejenak, Verda tenang. Tak ada kekesalan atau rasa dikucilkan. Rasanya seperti ada yang menarik bibirnya untuk selalu tertawa. Kepercayaan dirinya meningkat. Verda menikmatinya. Memejamkan mata. Dan terbang dalam bawah sadar.
Andra bertemu dengan Ezha siang hari di kantin Kampus Hijau. Oliel terlambat datang hari ini. Andra berniat memberitahukan pertemuannya nanti sore di studio 28 | Ananda Rumi
musik. Sebenarnya Andra pun mengenal Ezha saat ospek. Meskipun tak terlalu akrab, keduanya saling berkomunikasi. Setidaknya untuk sekadar bertegur sapa atau berbicara saat satu kelompok dalam tugas diskusi, itu sudah cukup. Apalagi di semester ketiga ini. Ketiganya memang satu kelas. Ezha menilai Andra pemuda yang cukup cerdas. Tapi juga sok tahu dan sedikit angkuh. Sedangkan Andra tak menyangka lelaki yang dihadapannya kini akan menjadi konsultan pribadi dalam hal bermusik atau mengaransemen lagu di masa mendatang. Nama sebenarnya Mahesa. Pemuda satu ini lebih senang dipanggil dengan sebutkan Ezha. Katanya, biar terdengar lebih keren dan gaul, guys! Ezha seorang gitaris. Rambutnya rada-rada emo, poni miring ke sebelah kanan. Perawakannya tinggi dan lebih sering terlihat dengan kemeja kotak-kotak. Berpadu jin berwarna biru tua. Dan, ia tipe pria setia. Setia jomblo. Damn! Aneh, biasanya seorang gitaris justru paling playboy. Tapi tradisi ini tak berlaku untuk Ezha. “Kau tampak lihai bermain gitar,” sapa Andra. “Biasa saja!” “Kau punya lagu ciptaan?” Ezha hanya menggeleng. “Aku akan membentuk band. Memang belum ada nama. Tapi, aku membutuhkan satu gitaris lagi dan seorang drummer! Kita perlu meluangkan waktu untuk bermain musik! Kau bisa?”
Kebisingan Hati
| 29
“Maksudmu? Bikin band! Mengajak aku jadi personil?” Andra mengangguk. “Maaf. Aku sudah punya band.” Dengan datar Ezha terus bermain melody pada gitar akustik yang ia rangkul. Andra sedikit kecewa dengan jawaban Ezha. Namun ia tetap tenang. Terus mendengarkan petikan gitar dari tangan Ezha. “Oh. Apa namanya?” “Jendela!” “What? Ha-ha-ha-ha!!!” Ezha berbalik menatap Andra. Ia yakin, lelaki di hadapannya sekarang sedang menghina. “Hmm… Sorry! Memangnya tak ada pilihan nama lain! Maaf, aku tak bermaksud menghina lho, ya!” Ezha meletakkan gitarnya. Lalu mengingat masa lalu band SMA nya dulu. Nama „Jendela‟ menurutnya tak terlalu buruk juga. Ezha seolah tak menerima dengan sikap Andra yang berawal dari penghinaan. Jendela, hmmmmm…. Itu dulu. Kini, ia pun tak tahu kemana rekan-rekannya. Dan, band itu memang sedang tak berproduksi. Mati suri. “Itu band SMA-ku. Ya, sudah lama, sih. Tapi bukan berarti bubar!” “Hi boy! Pikirkan lagi tentang ini. Kita akan bikin band keren. Kau bisa salurkan idealismu sendiri dalam bermusik. Aku tak mempermasalahkan bandmu dulu. Bukan urusanku! Tapi jika kau bisa berkomitmen dengan 30 | Ananda Rumi
band yang kurencanakan, kau bisa putuskan. Kalau setuju, kau datang ke studio F7 pukul lima sore hari ini. Jangan terlambat!” Andra beranjak dari tempat itu. Negosiasi yang buruk. Namun belum berakhir sampai di sana. Andra pergi meninggalkan Ezha yang masih berpikir keras. Ah, dasar Si
Keras Kepala. Lihat saja. kau kira aku mau bergabung dengan band bikinanmu, huh?
Sorenya, Ezha datang dengan langkah gontai. Alamat yang diberikan Andra tak terlalu sulit untuk ditemukan. Letaknya tepat di lantai dasar supermarket batas kota. Di depan studio, Andra menunggu sendirian. “Maaf membuatmu menunggu!” “Tak apa. Sepuluh menit lagi giliran kita!” Tak lama pembicaraan mereka, Oliel datang bersama seorang kawan. Namun, belum ada tegur sapa ramah, Oliel terkejut melihat Ezha di sana. “Hei! Sedang apa kau di sini?” Andra.
Ezha diam. Tak menjawab. Lantas memandang
“Aku yang mengajaknya! Kukira ia cukup handal bermain gitar!” Sahut Andra cepat. “Aku sudah berencana merekomendasikannya kepadamu, Ndra. Tapi, ya, baguslah kalau begitu.”
Kebisingan Hati
| 31
“Siapa?” Andra mengarahkan pandangannya, menanyakan lelaki misterius bersama Oliel. “Diaudin. Panggil saja Udud!” Semua berkenalan. Ezha dan Andra terheran-heran. Dalam hati mereka, di mana Oliel mendapatkan pemuda seperti ini? Gayanya bak guru Agama di sekolahan SMP. Tas kulit jinjing, celana kain, kemeja hitam panjang garisgaris. Dan kepala agak plontos. Dan tubuhnya, berisi. Andra baru mengetahui dan sadar kalau Udud adalah mahasiswa sekampus pada semester yang lebih tinggi. Kakak tingkat mungkin. “Katanya, sih, bisa main drum!” bela Oliel dihadapan mereka. Tanpa maksud ingin menyinggung perasaan, Andra mengajak Oliel ke suatu tempat agar pembicaraan mereka tak terdengar di ruang tunggu studio. Keduanya memelankan suara. Hampir berbisik. “Kau serius?” “Serius dong!” “Kau tak lihat penampilannya? Lihat lagi! Sangat tidak meyakinkan!” “Ya. Kurasa tak masalah. Yang penting, kan kemampuannya. Kau juga yang minta drummer yang cukup badak mainnya.” “Kau pernah melihatnya bermain drum?” “Nggak, sih!”
32 | Ananda Rumi
“Kamu ini bagaimana? Atau aku yang harus bagaimana!” “Katanya, sih, bisa!” “Itu, kan katanya! Nyatanya kau tak melihat langsung, kan?” “Ya. Kita lihat saja nanti!” Keduanya melirik Udud. Kemudian saling pandang. Kita lihat saja, batin keduanya. Mereka kembali ke formasi ruang tunggu. Andra sedikit berdehem. “Pernah membawakan lagu apa saja?” Ezha beramah-tamah dengan Udud. “Ya. Lagu apa saja bisa.” “Wow! Hebat sekali?” “Biasa saja!” Ezha mati kata. Terdiam dan tak ingin meneruskan pertanyaannya. “Oke selanjutnya. Hmmm… siapa tadi ya? O… ! Kamu! Nama bandnya apa, ya? Tadi atas namanya siapa, ya? Nama band apa, sih? Saya lupa atau gak nyatet kali, ya? Bener, kan habis ini?” kata Om Pul. Pengelola Studio F7. “Belum ada namanya, Om. Nanti kami pikirkan!” “Ya. Sudah, kalian berempat bersiap. Tinggal satu lagu terakhir, band yang sedang main di dalam selesai. Kalian langsung masuk ya! Check Sound sendiri saja. Setting-setting sesuka hati lhaah! Om mau sholat dulu. Ya! Bisa, kan?” Kebisingan Hati
| 33
Om Pul nyelonong keluar saja tanpa berbalik. Mereka berempat saling pandang. Tampak wajah-wajah konyol tanpa chemistry. Mau main apa di dalam sana, berkumpul saja baru kali ini, batin Oliel. Waktunya tiba. Keempatnya masuk ke dalam studio. Berusaha setting suka-suka. Lagu? Jangan tanyakan lagu apa. Mereka masing-masing bersolo. Tak ada lagu yang disodorkan. Tak ada yang sama. Terlebih Udud. Pukul buta. Tanpa jeda. Solo drum. Dan memang betulbetul sangat badak mainnya. Satu jam berlalu. Keempatnya keluar studio tanpa banyak kalimat. Beberapa menit setelahnya, mereka saling bertukar nomor handphone dan berjanji untuk menyarankan lagu dari masing-masing personil. Termasuk usulan lagu apa yang akan dibawakan di hari latihan selanjutnya, juga waktu latihan yang cocok. Voting suara, siapa yang setuju dan siapa yang tidak setuju. Pun demikian, kesepakatan itu juga akan berlaku jika salah satu di antara mereka mengajak untuk melanjutkan latihan di hari berikutnya. Entah kapan. Bias merah dari matahari senja perlahan mulai hilang. Malam segera memanjangkan selimutnya di atas kota.
34 | Ananda Rumi
Pagi-pagi sekali, Oliel duduk di beranda rumah. Tak biasanya ia seperti ini. Setelah pertemuan dengan tiga rekannya yang berkomitmen dalam sebuah ikatan musik, yakni band, Oliel seperti kerasukan roh-roh dari musisimusisi legendaris. Semangatnya sangat, sangat, sangat, berlebihan. Sobat, kelak kau akan lihat rasa semangat yang berlebihan ini. Rumah yang sederhana. Bergaya bubungan tinggi berbahan kayu ulin. Keluarganya dari pengusaha intan di Cempaka. Lebih tepatnya pembeli intan hasil para pendulang yang menghabiskan waktu dalam kubangan lumpur dan danau berwarna cokelat. Oliel tinggal bersama kedua orangtua dan seorang adik perempuan pelajar kelas X di satu SMA Kota Banjarbaru. Sebuah gitar akustik bobrok dalam pangkuannya. Oliel duduk ditemani secangkir teh dan sebongkah kue gandum. Sesekali ia menyanyi berfalseto tak beraturan. Sumbang. Kegiatan itu tak pernah bisa bertahan lama. Oliel manusia pembosan yang parah. Dan, rasa bosan pun datang. Oliel pergi ke kamarnya. Musik di dalam komputer dinyalakan. Melodi distorsi mendayu-dayu lembut, santai, seolah menghantarkan matahari kembali masuk dalam selimut timur. Kau mengerti maksudnya, kan? Sangat melankolis. Oliel terhanyut. Tak kuasa. Ah,
sungguh, ingin rasanya menarik selimut lagi.
Kebisingan Hati
| 35
Sejurus kemudian, tangan kanannya sibuk melarikan tetikus menuju folder-folder musik. Mencari-cari lagu yang mungkin bisa menjadi inspirasi. Atau bisa juga sebagai referensi lagu-lagu yang akan mereka mainkan di studio F7 nanti. USB dicolokkan. Beberapa lagu dalam proses transfer ke memory card handphone-nya. Dengan mimik serius, Oliel duduk di depan layar monitor komputer. Ruang kamar yang penuh dengan poster band-band terpopuler di Indonesia. Sesekali tangannya membetulkan kacamata yang melorot ke batang hidung. Transfer sudah rampung. Ia siap berangkat menemui Andra di kampus hijau. Suasana kelas hening. Bukan lantaran tak ada mahasiswa satu pun, tetapi karena ujian mendadak sedang berlangsung. Dosen mata kuliah Psikologi Pendidikan memang sedikit menjengkelkan bagi mahasiswa selevel Oliel yang nyentrik. Ah, ia paling kesal hal-hal yang selalu saja dadakan. Ia merasa kembali ke bangku SD saat mendadak ada ulangan harian. Oliel duduk di kursinya. Sigap. Bersebelahan dengan Andra yang sibuk mencari-cari jawaban dari internet melalui smartphone. Oliel mendekati Andra dan langsung menyodorkan earphone ke telinga kiri Andra. “Ssst… Dengar ini,” Oliel melakukannya saat ujian masih berlangsung. “What the fuck!” Andra jengkel tak terperi. “Kampungan sekali!” Andra menganggap pilihan lagu Oliel sangat tidak berkelas. Ditolaknya lagu usulan itu mentahmentah dengan sigap melepaskan earphone dan mengembalikannya kepada Oliel. Inilah yang Andra 36 | Ananda Rumi
permasalahkan. Oliel memunyai selera musik yang cukup buruk. “Ini lagu keren!” “Tidak ada kerennya sama sekali. Ini lagu cemen. Slow banget!” “Memangnya kau punya apa?” “Kau harus dengar musik dari musisi-musisi dunia. Dari berbagai genre. Jangan terpaku pada lagu-lagu populer karena permintaan pasar semata. Kau harus menilai musik dari sudut pandang pemusik itu sendiri, bukan hanya sebagai konsumen. Sesekali jadikan dirimu sebagai juri yang menilai musik!” Penjelasan Andra ditampik saja oleh Oliel. Andra memang sok tahu, batinnya. Perlahan Andra mengambil hapenya dan membuka menu music player, mencolokkan earphone ke handset-nya. Belum lagi sampai ke tangan Oliel, Bapak Oveje menyapa dengan tegangan tinggi. “Sedang apa kalian? Sudah selesai. Ayo kumpul!” Mampus deh.
Kebisingan Hati
| 37
Rasa itu akhirnya hinggap juga. Perasaan pedih, cukup menyengat. Seperti lebah yang tiba-tiba datang tanpa tanda-tanda. Di dalam benak Verda, Kejenuhan? Bisa jadi. Bosan? Tidak juga. Tapi ada. Sudah tak cocok? sebaliknya. Lebih tepatnya mungkin, kurang perhatian. Kurangnya waktu. Kurangnya kasih sayang. Kurangnya momentum untuk berjalan berdua atau membagi hari dan melumatkan jari-jemari di antara keduanya. Verda merasakan itu. Entah sejauh apa hubungan mereka, Verda merasa lebih sering dicueki dewasa ini. Terkadang, Andra tak perhatian sama sekali dengan dirinya. Menghubungi Andra hanya akan mendapatkan jawaban yang sama. “Nanti dulu masih wawancara,” “Lagi sibuk, besok, ya!” atau “Gak perlu, aku masih banyak kesibukan”. Bak jaringan internet lelet, Verda tak bersemangat lagi untuk mencari informasi ataupun mencari perhatian. Beberapa waktu ia sengaja tak masuk hanya untuk memastikan Andra mencarinya, atau tidak? Ternyata memang tidak. Saat melihat orang-orang di sekeliling taman kota yang duduk berduaan berpegangan tangan, sama-sama minum jus buah dari dua sedotan di satu gelas. Canda tawa mereka seperti berhias cinta. Cinta… Cinta… Cinta! Apalah arti cinta jika tak saling berbagi. Verda merasa tak pernah dilibatkan dalam setiap aktivitas Andra. Padahal hal yang paling membanggakan bagi perempuan adalah turut serta dalam kegiatan para lelaki. Berkali-kali ia menarik napas panjang dan menunduk lesu. 38 | Ananda Rumi
Kedua tangannya berselonjoran lemas di atas meja minum kedai sore ini. Kopi yang dari tadi dihidangkan belum diminum juga. Masih hangat. Mungkin sebentar lagi dingin. Beberapa menit sudah Verda merenungkan momentum tertentu. Menyayangkan kesibukan Andra yang kini sudah di ambang batas. Verda sudah tak tahan. Sudah
CUKUP! Cukup, aku sudah MUAK!
Waktu beranjak pergi meninggalkan kenangan. Dihiasi tangisan kelam. Senyap. Hati Verda dirundung kesepian. Langit biru pun kini kelabu. Verda menghilang tanpa kabar. Untuk beberapa waktu yang belum ditentukan. Perempuan memang suka sekali mencari perhatian dari lelaki yang sangat cuek. Sifat tak peduli dari seorang lelaki terkadang parah. Sangat parah. Di balik itu semua, Verda membalikkan kehidupannya kepada pilihan yang dirasa sangat sejalan dengan Erland. Verda memutar lagi waktunya. Membalikkan kebiasaan untuk selalu bersama Andra. Toh, Andra juga sudah tak peduli lagi dengan keadaanku. Kini hampir setiap hari Verda datang ke tempat Erland untuk meminta „barang‟ yang sama. Semakin Verda ketagihan, semakin ia tak mampu mengendalikan diri. Demi menghemat pengeluaran plus bisa membayar hutangnya dengan Erland, Verda memilih berhenti dari kamar kost-an yang sudah ia sewa selama delapan belas bulan. Verda berencana pindah ke tempat kost yang harga sewanya lebih murah dari tempat kost yang ia tinggali saat ini. Meski sekarang belum menentukan arah. Beberapa malam sebelum mendapatkan kost baru, Verda memilih untuk menginap di kamar kost teman semasa SMA-nya dulu, Alanis. Kebisingan Hati
| 39
“Sudahlah. Tak usah kau pikirkan dulu. Mungkin kesibukannya memang membutuhkan waktu ekstra ketat. Positive Thinking sajalah!” Alanis mencoba menghibur Verda yang malam itu terisak mencurahkan kegalauan hati. “Tapi… ini sudah kelewat batas, Lan. Aku sudah tak tahan. Apakah ia sudah tak sayang lagi denganku? Mungkin benar begitu, Lan. Ia lebih mencintai pekerjaannya daripada aku, pacarnya!” Alanis yang sedari tadi mendengarkan curahan hati Verda dari balik meja laptopnya menoleh. Ia merasa kasihan dengan sahabatnya itu. Lantas menutup layar laptop. Lalu mendekati Verda yang berbaring di atas kasur. Di sekitarnya beberapa tisu berhamburan seusai mengusap linangan air mata di pipinya yang lembab merona. “Kau sudah coba menghubunginya? Ia menjawab?” “Sudah. Panggilanku lebih sering di-reject ketimbang diterima. Aku sms jawabannya selalu sama: “Nanti dulu, aku sedang sibuk” Begitu katanya, Lan. Atau “aku sedang wawancara, nanti kuhubungi lagi” begitu. Laaaaaan. Please! Tolong aku! Aku ingin Andra perhatian seperti waktu kita awal jadian!” “Begini, Da! Waktu tak akan bisa diulang. Dan kau tak bisa memaksakan kehendak seorang lelaki. Kau tahu, cowok adalah tipe manusia keras kepala. Apalagi seorang musisi. Wartawan pula. Kepercayaan diri dan sedikit angkuh menjadi modalnya dalam bekerja. Kau harus maklum itu.” Verda tak banyak bicara. Ia mendengarkan dengan seksama kalimat demi kalimat yang dilontarkan Alanis. Karena dia tahu betul, tak sedikit tipe pria seperti 40 | Ananda Rumi
pacar Verda tersebut ditemuinya di kantor, dalam ranah dunia kerjanya di majalah. “Di balik itu semua, seorang lelaki tak akan pernah bisa menghilangkan sifat kekanak-kanakannya. Kau mengerti penjelasanku?” Verda mengerti. Tanpa kata ia mengangguk perlahan saja, lalu terisak lagi. Tangannya menarik tisu dan mengelap kembali linangan air mata. “Boros sekali! Kayaknya nggak sampai seminggu aku bakal beli tisu baru lagi!” Alanis sinis. Sedikit senyuman perlahan membentuk di bibir Verda. Ya, sedikit saja. Tak terlalu berlebihan. Pipinya yang basah karena air mata seakan memancarkan aura kebesaran hati dan kecantikan sejati. Melihat Verda tersenyum, Alanis turut senang. Tak dipungkiri, kadang Alanis iri dengan kecantikan Verda yang berhasil menarik perhatian lelaki mana pun. Penampilan di antara keduanya sangat kontras berbeda. Alanis tak pernah melepaskannya jilbabnya saat keluar rumah kost. Tubuh keduanya memang sama-sama ramping. Alanis sedikit lebih tinggi dibandingkan Verda. Keduanya memunyai ketertarian yang sama dalam hal fashion, musik, dan buku bacaan. Tak pelak keakraban mereka telah dibina sejak tiga tahun semasa SMA. Dan Alanis, cukup manis. Perwajahannya sangat Asia. Berbeda dengan Verda dengan perwajahan ke Timur-Tengahan. Pun demikian, Alanis cukup puas dan bangga dengan wajahnya yang sangat oriental. Selama berhijab, ia selalu merasa mirip sekali dengan Hana Tajima, Sang Pelopor mode hijab paling tren masa itu.
Kebisingan Hati
| 41
Pernah dulu di masa keduanya SMA, ketika lebaran, Verda datang dan ikut bertandang untuk saling bermaafan bersalaman bersama anggota keluarga di rumah Alanis. Keluarganya pun sudah saling kenal dan cukup akrab. Begitu pula saat perayaan Natal, Alanis berkunjung ke rumah Verda tanpa harus mengucapkan selamat, sebagai sahabat, Alanis menghormati undangan sahabat yang sudah ia anggap sebagai saudara itu. Semasa SMA, hanya Verda yang diperbolehkan orangtuanya untuk membawa motor sendiri ke sekolah. Verda lebih sering membonceng Alanis. Dengan kata lain, Alanis lebih sering nebeng. Satu motor berdua mengakrabkan mereka dari segi mana saja. Tak jauh beda saat keduanya menjadi mahasiswi seperti sekarang. Saat Ramadhan, Verda seringkali menjemput Alanis untuk sekadar mengantarkannya tarawih ke Mesjid. Lalu menunggunya di kost. Pun saat kebaktian di hari Minggu, Alanis mengantarkan Verda ke gereja, lalu membawa motor kepunyaan Verda ke kantor. Dan menjemputnya lagi saat Verda sudah selesai. Semenjak Verda berpacaran dengan Andra, ia tak terlalu memerlukan kendaraan sendiri karena sudah ada „tukang ojek pribadi‟ yang setia mengantar jemputnya. Makanya, motornya diserahkan kepada Alanis yang lebih membutuhkan karena kuliah sambil bekerja. Sayang profesi „tukang ojek pribadi‟ tadi hanya berlaku di permulaan masa pendekatan dan tahun pertama jadian saja. Bekerja di majalah bisnis membuat Alanis harus masuk kantor di hari Minggu sampai Kamis. Dan
42 | Ananda Rumi
mendapatkan kelas siang khusus di Fakultas Ekonomi setiap Jumat dan Sabtu. Alanis tak pernah melihat Andra secara langsung. Tetapi sering melihat foto-foto Andra di handphone milik Verda. Itu pun saat ia memperlihatkan saja. Atau dalam akun pribadi facebook Verda sendiri. Melihat itu, Alanis teringat masa di mana Verda pertama jadian dengan Andra. Sesumbar Verda bercerita kebanggaannya berhasil merebut hati seorang lelaki tampan, pintar bermain musik, cerdas, dan juga seorang jurnalis. Seolah-olah Verda ingin sekali membuat Alanis iri. Namun, keteguhan dalam mempertahankan aturan yang ia percaya, Alanis bertekad tak ingin lagi pacaran sebelum ia menikah. Meski dulu ia pernah pacaran di masa SMA. Yang „kontrak‟-nya habis seiring kelulusan memasuki bangku perkuliahan. Sejak rasa patah hati hinggap dalam batinnya, Alanis tak pernah lagi merasakan jatuh cinta. Mungkin belum. Alanis lebih mengarahkan keinginannya bermesraan bersama pasangan hanya sesudah menikah dengan lelaki pujaan. Lelaki idaman yang sering digambarkan sebagai seorang ksatria atau pangeran penunggang seekor kuda putih. Ah, mungkin itu hanya dalam negri dongeng saja, pikirnya. Ia percaya, satu di antara seribu lelaki pasti ada. Lelaki yang pas, sesuai dengan harapan hatinya kelak menjelang pengikraran janji suci bersama. Untuk saling melengkapi di antara keduanya. Itu hanya doanya. Di dalam kamar segi empat yang tak terlalu luas itu, sirkulasi udara memang tak bisa keluar masuk sesuka
Kebisingan Hati
| 43
hati. Harus antre. Keduanya merasakan hawa yang sama. Gerah. “Betah sekali kau tinggal di sini, Lan. Sudah delapan belas bulan, ya? Gak mikir untuk pindah, Lan? Barang-barangmu, kan, semakin tambah banyak. Kamar ini semakin pengap dibandingkan ketika aku pertama kali datang!” Verda mengipas-ngipaskan tangannya ke leher. Verda melepaskan kemejanya yang sedikit basah karena keringat dan air mata di kerah baju. Mencoba untuk untuk mencari udara segar. ya!”
“Aku pinjam kaos oblong dan celana pendekmu, “Ya. Ambil saja dalam lemari rak ketiga!” Alanis menyalakan kipas anginnya yang cukup ribut karena sudah terlalu tua. Menanggalkan jilbabnya dan mulai berbenah. Merapikan perkakas kerja dan mematikan laptop. Alanis berbaring di samping Verda, mengambil salah satu novel dan membacanya sambil rebahan. Malam semakin larut, namun udara malam musim panas di Banjarbaru kadang bisa lebih panas dibandingkan siang harinya. “Kau tak ingin cari pacar, Lan. Atau gebetan, gitu?” Pertanyaan Verda membuyarkan konsentrasi baca Alanis. Linangan air yang tadi menghiasi mata Verda sudah mampat. Pikirannya sedikit lebih segar setelah mencurahkan kegalauan hati dengan Alanis. “Nggak dulu, Ah. Males!” “Kenapa?” 44 | Ananda Rumi
“Ya nggak ada apa-apa. Belum ingin!” “Memangnya tak ada cowok yang memikat hatimu, Lan?”
Ada, Ver… ada. Tapi kau pasti tahu aku tak ingin berpacaran sebelum komitmen itu betul-betul datang. “Selama ini belum, tuh!” “Gebetan juga nggak ada? Teman kampus atau rekan kerja di kantor, gitu?” mutu!”
“Aduh, Ver… kamu ngomong apaan sih. Gak
“Ayolah, Lan. Aku heran, selama ini banyak sekali ceritaku tentang Andra kepadamu. Tetapi kau justru tak pernah membagikan cerita apa-apa denganku. Atau memang ada yang kau sembunyikan, ya? Padahal, kan banyak cowok yang suka denganmu, Lan?!” “Aku tak bercerita bukan berarti ada yang aku sembunyikan, lho?” “Ya… ya… ya! Biasanya gitu, kan! Ayo ngaku!” Alanis menutup buku bacaannya. Sebal. Ia bangun dan menyandarkan diri ke dinding. Melihat tatapan Verda yang tampak bercanda. Tapi Alanis sedang tak ingin bercanda. “Sebenarnya ada lelaki. Ya, lumayan kece. Not bad, lah! Rekan kerja di kantor. Ia seorang desain grafis!” “Tuh, kan!” “Tunggu dulu… dengarkan dulu! Hubungan kami, ya sebatas rekan kerja. Tak lebih. Lantaran lokasi tempat ia Kebisingan Hati
| 45
tinggal paling dekat dengan kantor, jadi, otomatis aku keseringan menghubunginya karena perintah dari bos. Demi kepentingan perusahaan, kok. Urusan kantor, nggak lebih!” “Tapi sukaaaa, kaaan!” “Nggak, ah! Siapa bilang?” “Tuh barusan, bilang. Mengaku sajalah, Nis. Eh… Lan! Kau tidak bisa berbohong denganku! Namanya siapa, Lan?” “RAHASIA!” “Oouuuhhhh!!!” Verda melemparkan bantal ke wajah Alanis. Alanis membalasnya. Dan keduanya saling balas sambil cekikikan malam-malam. Dan begitulah keduanya menghabiskan malam hingga terlelap. Esok pagi matahari masih bersinar. Tentu saja. Dan masih ada hal yang harus mereka selesaikan. Tentang hidup, tentang sesuatu hal tak pernah sama dengan yang mereka harapkan.
46 | Ananda Rumi
Verda seperti anak kecil yang merengek minta dibelikan permen sebagai pengganjal mulut agar diam. Verda sama sekali tak berniat meninggalkan kebiasaan ketergantungan dengan „barang‟ dagangan Erland. Erland tahu itu, makanya, perlahan ia mulai melarang Verda menambah barang candu tersebut. Dengan alasan keterbatasan financial. Verda memang tak pernah membayar hutang-hutangnya. Verda hampir saja menjual segala apa pun yang ada padanya, termasuk harga dirinya demi mendapatkan barang itu. Satu ketika, Erland dikejutkan Verda yang menerobos masuk ke dalam kamar. Padahal ketika itu, Erland sedang terburu-buru karena ada janji dengan seorang klien di salah satu sudut warung kopi Lapangan Murjani. Erland heran. Verda tak mampu membendung emosinya. Verda telah melampaui batas. Bahkan ia rela memohon-mohon kepada Erland untuk memberikan „barang‟ itu sedikit saja demi keinginan nafsunya. Kali ini Erland menolak. Ia tak menghiraukan Verda. Erland bingung harus berbuat apa lagi. Keributan itu sempat menarik perhatian beberapa penghuni kamar kost di sekitar kamar Erland tinggal. Karena merasa kemanananya terancam, Erland menutup pintu berusaha untuk meredam rongrongan Verda yang semakin menjadi-jadi di kamarnya. “Cukup, Ver!” Kebisingan Hati
| 47
“Kenapa! Bukankah kau memang menginginkan aku seperti ini?” suara Verda meninggi. batas!”
“Tapi tidak untuk kali ini. Kau sudah kelewat “Biar. Biar semuanya tahu kalau kau adalah dalangnya!” Sigap Erland menyekap mulut Verda dengan tangan. Ia mengancam Verda jika sedikit saja bicara akan terjadi sesuatu yang sangat tidak menyenangkan dalam diri Verda. Sebagai perempuan yang sakit hatinya, Verda mengeluarkan jurus ampuh untuk meluluhkan hati lelaki: “Menangis”. Rasa tak tega dan kasihan seorang laki-laki kepada perempuan masih ada dalam diri Erland. Meski pada awalnya Erland senang melihat kondisi Verda sebagai pelanggan tetap. Keuntungan yang didapatnya dari Verda cukup memperhitungan dan menjanjikan. Namun belakangan ini Erland merasak semakin merugi karena selalu melayani permintaan Verda tanpa jeda. Tentu saja itu salah satu alasannya. Tapi, bukan alasan pertama. Erland merasa lebih kasihan melihat Verda yang sekarang seperti sekarat, tak punya tujuan selain kesenangan tak abadi itu. Nafsu. Erland menyayangkan perempuan secantik dan secerdas Verda harus pesimis menghadapi langkah kehidupannya yang masih panjang. Verda, seperti orang gila. Mungkin mabuk. Matanya memerah dan kulitnya tak sehalus dulu sebelum menjadi pemakai. Rambutnya sedikit urakan tak selurus
48 | Ananda Rumi
hari-hari sebelumya. Kemunculan perasaan kasihan dari Erland membatalkan keinginan untuk pergi. “Kenapa lagi kau ini! Mau barang lagi? Hah? Hutangmu yang dulu belum dibayar, Ver! Aku tak bisa membantu kau kali ini. Sudah terlalu sering, kan!” “Land, bawa aku kemana saja yang kau ingin asalakan beri aku sedikit saja!” “Tidak!”
“Please!” “Sudah, Verda! Sudah cukup! Kurasa kau harus mulai berhenti dari sekarang. Atau jika tak sanggup, kau bisa kuantar ke panti rehabilitasi pecandu-pecandu itu!” “Sekalian saja kau bawa aku ke penjara!” Keduanya hening. Dari depan pintu, Erland berbalik badan mengarah kepada Verda. Kedua tangan Verda yang tadi menutup basah wajahnya digeser Erland. “Entah berapa orang lagi yang harus sinting karena perihal cinta! Aku paling benci situasi seperti ini. Lebih baik kau tambah saja dosismu sampai mampus. Daripada harus sakit hati begini. Semua alasanmu Bullshit! Aku tahu kau bermasalah dengan pacarmu yang sok pahlawan itu, kan! Benar, kan? Lalu, mana kawan kau yang biasanya setia mendengarkan curhatmu? Mengapa sampahmu kini dibuang ke aku!” dengan tegas Erland menyahut Verda dengan sedikit logat batak. Sedikit saja. “Kenapa, Land? Kau masih marah karena dulu aku menolak cintamu! Begitukah?”
Kebisingan Hati
| 49
Erland menatap Verda. Tanpa tanda-tanda mengiyakan atau menjawab pertanyaan Verda yang betulbetul menohok emosinya. “Tolong maafkan aku. Aku butuh barang itu untuk menenangkanku. Aku tak punya teman satu marga di sini. Kecuali kau. Aku hanya tak ingin menjalin hubungan terlalu dekat dengamu. Bisa saja opung dan tulang kita bersaudara. Kita belum mengetahuinya saat ini. Tapi siapa yang tahu jika nanti-” “Bukan. Bukan itu masalahnya, Da. Kau salah. Dan jawabanmu itu sangat tidak tepat umtuk dijadikan alasan. Aku tak suka jika perantauanmu ke Kalimantan ini hanya untuk bercinta, bercinta, mencari pacar, sakit hati lagi, sakit hati lagi, dan sakit hati terus. Cobalah, sedikit saja untuk kau bersenang-senang. Ber-happy-happy malam-malam. Belajarlah dariku. Aku tak memakai barang yang kujual sendiri. Aku tahu itu bisa saja merusak. Aku menjualkannya saja. Ya… sekadar menjadi perantara bagi mereka-mereka yang membutuhkan, kurasa bukan persoalan. Selama ini aman-aman saja. Sedangkan kau, Verda! Kau yang sangat membutuhkan sekali. Tapi ini sudah terlalu berlebihan. Mau sampai berapa lagi hutang kau denganku?” Verda terisak. Menangis lagi. Menahan tangisnya dalam genggaman tangan. Lalu memohon. “Bawa aku dari sini, Land. Aku sudah muak dengan Andra. Aku tak ingin melihatnya lagi!” “Lagakmu sudah kayak film-film di bioskop. Kebanyakan nonton filem kau!”
50 | Ananda Rumi
Verda terdiam lagi. Erland berpkir. Suasana memang sedikit tenang dari permulaan tadi. Erland menuju pintu dan membukanya. Meraih kunci motor di atas meja dan merangkulkan tas ransel. Erland menutup pintu kamar dan membiarkan Verda meratapi ketergantungannya. Sendirian di dalam kamar. Entah, harus dengan cara apa lagi Erland menghentikan keinginan Verda yang menjengkelkan itu. Ia berpikir untuk meniggalkan Verda saja di kamar sampai ia sadar. Namun dipikir-pikir Erland, bisa saja berbahaya. Lagian semua kawannya di kost ini laki-laki. Nanti, malah terjadi sesuatu yang mencelakakan! Aduh! Erland berimajinasi lagi. Berpikir dan mencari-cari. Kemana ia akan membawa Verda? Sedangkan Verda, keinginannya hanyalah mendapat perhatian dari Erland. Ia mengharapkan Erland membawa dirinya ke suatu tempat yang bisa membuatnya lupa situasi pelik dalam diri. Saat ini. Jauh. Jauh dari kejenuhannya dalam menghadapi kisah kesakithatian yang belum berujung terang. Melupakan kerinduan dengan Andra. Meluapkan emosi. Dan menghilangkan batu kerikil buah dari pikiran negatif dalam otaknya. Verda ingin Erland membawanya agar bisa bersenang-senang. Itu saja. Erland berbalik badan kembali. Mengurungkan niatnya untuk pergi. Ia membuka pintunya lagi. Memandang Verda serius. Seperti memohon izin untuk bicara. Tatapannya direspon oleh Verda. Verda merasakan hal yang sama. Mereka mengatakan… “Bagaimana kalau-!” ucap keduanya bersamaan saling berhadapan. Persis. Sepersekian detik kalimat Kebisingan Hati
| 51
keduanya berbenturan tanpa ada yang menjawabkan. Mereka memikirkan hal sama. Verda tak komplain. Tak ada protes. Mungkin tentang tempat yang direncanakan Erland dalam pikiran sudah terbaca dan masuk dalam intuisi Verda. Keduanya hanya berkomunikasi melalui isyarat alis mata dan gerak tubuh. Tanpa pikir panjang, seperti magnet yang sudah melekat erat, keduanya bergegas menyiapkan fisik dan penampilan. Erland lebih dulu keluar menyiapkan motornya, menunggu. Verda mendatanginya yang sudah siap di atas motor. Lantas keduanya pergi meninggalkan kamar kost. Suasana memang masih sore. Namun sejam lagi matahari sempurna bersembunyi dan menarik selimut malam. Malam yang cukup dingin menghiasi keduanya dalam perjalanan. Dari Banjarbaru ke Banjarmasin jaraknya tak terlalu jauh. Memerlukan waktu satu jam jika memang lancar. Jika memang tak terjadi apa-apa. Namun angin dan rintik hujan membuat mereka lebih sering berhenti untuk berteduh di beberapa halaman tepi jalanan. Gara-gara Erland tak membawa jas hujan. Di teduhan, Verda tampak sedikit gelisah. Dalam hatinya, heran, mengapa bisa dengan mudahnya ia mengikuti saran dari Erland. Meskipun ia tak terlalu mempermasalahkan. Verda percaya dengan Erland. Pun demikian, sebenarnya kepercayaan itu masih belum seratus persen. Di bawah teduhan kanopi ruko pinggir jalan raya, hanya mereka berdua saja yang berhenti. Tak ada satu pun orang mengikuti. Verda merasakan hawa dingin perlahan 52 | Ananda Rumi
merayap di bulu-bulu kulitnya. Rambutnya sedikit basah karena air hujan. Mungkin mereka berdua akan memakai baju yang basah jika saja Erland tak cepat-cepat untuk berteduh. Entah ada intuisi apa dalam diri Erland, mungkin murni naluri seorang lelaki, ia mendekati Verda. Meniup kedua tangannya untuk menghangatkan. Lalu, Erland mendekap Verda dari belakang. Verda diam saja. Meski awalnya terkejut, Verda merasa tidak ada ancaman. Ia membiarkan. Dan merasakan saja tanpa banyak bicara hingga hujan malu melihat keduanya. Hujan pun pergi tanpa permisi. Sedikit demi sedikit. Erland berencana membawa Verda ke tempat yang dulu pernah menjadi tempat pertemuan mereka. Rabu malam, ladies free. Begitu biasanya plang yang menempel di pintu masuk tempat mereka datangi malam ini. Tempat di mana Erland menjalankan bisnis sebenarnya. Tempat di mana keduanya pernah bertegur sapa. Dulu, dulu sekali ketika pertama mengungkapkan perasaan cinta.
Kebisingan Hati
| 53
Dalam ruang kelas sebelum dosen masuk, Oliel sibuk dengan pulpen di tangan, membolak-balikkan kertas, sesekali mengigit ujung pulpen. Menggoyang-goyangkan pantat pulpen yang ia jepit di jari telunjuk dan tengah. Ia menuliskan kata-kata indah bagai sajak. Memikirkan kalimat-kalimat yang tepat. Bukan! Bukan catatan mata kuliah tentang Psikologi Komunikasi, tapi lirik lagu yang telah ia buat pertama kali. Sebetulnya sudah rampung tadi malam. Beberapa bagian ia coret dengan seksama, kemudian menambahkannya kembali. Damn! Bagaimana seharusnya? Ia berpikir, lebih baik menciptakan lagu sendiri, karya sendiri, dibawakan bersama saat di atas panggung. Ketimbang harus meng-cover lagu-lagu band lain melulu, biar gak kelihatan salahnya, batin Oliel. Dua pekan sebelum hari ini, Oliel berhasil mengajak latihan beberapa personilnya. Setidaknya mereka sudah cukup akrab untuk berkomunikasi dan berbagi hal dalam bidang yang sama. Mereka memunyai sebutan akrab yang sering terdengar ketika mereka berkumpul. Obrolannya? Ya tak jauh, lah, seputar musik, konflik, wanita cantik, dan tentunya lagu-lagu baru. Baik itu di lingkungan Kampus Hijau maupun studio musik. Sebutan yang akrab itu adalah: Boy! Nyet! Bro! atau Nang! (Anang; Panggilan anak lelaki di suku Banjar)
54 | Ananda Rumi
September berakhir. Penghujan tiba. Meski prakiraan cuaca sekarang tak seakurat dulu, di Banjarbaru, cuaca panas seringkali didapati pada pagi ke siang hari. Panas yang juga dinilai warganya sangat membakar kulit. Tapi jangan salah, menjelang sore awan mendung bisa saja tiba-tiba datang dan memuntahkan isinya. Kasihan mereka yang tak sempat membawa jaket atau jas hujan bagi para pengendara roda dua. Kasihan sungguh kasihan. Berteduh adalah satu-satunya jalan meski saat terburu-buru. Begitu juga Ezha yang saat ini sedang terburu-buru menuju kampus Hijau. Di sudut kampus tampak Ezha terengah-engah berlari menuju lokal. Sampai di depan pintu, ia memastikan bahwa bapak Oveje memang belum tiba. Aku tak terlambat, kan! Yakinnya dalam hati. Dengan santai langkahnya menuju Oliel. Awalnya, Oliel berpikir memberikan nama pada band yang dibentuknya bersama Andra dan Ezha itu. Namun belum ada nama cocok sesuai kesepakatan. Niat itu pun diurungkan. Mereka berempat berpikir lebih baik menciptakan lagu terlebih dulu agar bisa dibawakan saat latihan, nanti setelahnya barulah memikirkan nama yang pantas. “Hai!” “Halo.” “Bagaimana?” “Beres.” “Serius?” “Lihat ini!” Kebisingan Hati
| 55
Oliel memberikan secarik kertas dengan beberapa kalimat yang tersusun di atasnya. Melihat tulisan Oliel, Ezha mengerutkan dahi. Oliel berpikir pastilah dirinya jenius, liriknya sangat kaya dengan makna. Ini adalah masterpiece perdana kita, boy! pikirnya. “Hmmmm… mungkin-!” “Hebat, bukan!” “Kau harus belajar tentang typography, nyet! Atau, sepertinya kau tak cocok menjadi penulis, cukup menggambar saja!” “Maksudmu?” “Tulisanmu JELEK SEKALI!” “Sialan. Dasar monyet. Jangan kau menilai seseorang dari bentuk tulisannya, ya. Tetapi makna yang ada dalam lirik itu. Ini untuk lagu perdana kita, nyet!” Ezha berpikir sejenak menelaah apa yang tersirat dari yang sudah tersurat dalam tulisan jelek itu. Namun, dengan sigap Oliel langsung merebutnya. “Sudahlah. Belum apa-apa kau menghinaku!” “HEI! Your fucking me? Come on! Gift me! Aku belum menilainya.” “Aku tak yakin ini bisa menjadi lagu yang cukup enak didengar. Ya, kata pengamat musik easy listening, lah! Tapi kita dengan nanti bagaimana aransemennya,” tambah Ezha.
56 | Ananda Rumi
Jam pertama mata kuliah filsafat berakhir. Namun Andra belum juga datang. Padalah Oliel dan Ezha sangat menanti kedatangannya. Entah tersebab apa, kini keduanya semakin akrab. Mungkin karena di antara mereka telah terjalin ikatan yang bernama musik, memunculkan chemistry tersendiri bagi ketiganya. Orang bilang panjang umur, jika seseorang yang baru saja disebut-sebut muncul di hadapan. Andra datang dengan muka agak kusut. Agak keringatan. Tampak sekali raut kelelahan di wajahnya. Itu terlihat seusai Andra memakirkan motor di depan kantin Kampus Hijau dan melepas helm. Melepaskan jaket dan sarung tangan. Duduk di salah satu meja kantin tempat Oliel dan Ezha duduk bersama. Andra memesan sebuah jus alpukat bikinan Bibi Gaul ala Kampus Hijau. Bagi Andra, jus bikinan Bibi Gaul sangat berbeda dari yang pernah ada. Saking specialnya, sampai-sampai Andra tak punya alasan untuk menerangkan itu semua. “Dari mana, Ndra?” “Banjarmasin.” “Liputan lagi?” “Iya.” “Kamu gak capek pulang pergi keluar kota? Hampir setiap hari. Gak menentu jam kerjanya. Kadang dadakan. Apalagi kalau ada kebakaran. Mulia sekali kehidupanmu, Ndra. Seperti mesin saja. Pake battery apa, sih? “Lebih baik begitu, guys, daripada gak ada kerjaan sama sekali. Mau jadi apa kamu. Membuang waktu adalah Kebisingan Hati
| 57
kegiatan paling buruk. Dan aku tak ingin membuang waktu hanya untuk melamun atau bersenda gurau di warungwarung kopi. Persis seperti tetangga-tetanggaku!” “Hmmm… Filosofis sekali. Padahal kau tak pernah masuk mata kuliah filsafat. Dasar sok tahu! Huuuuu!” Jus Alpukat tiba di hadapan Andra. Segar sekali. Andra memandangi keduanya. Dan menawarkan minuman yang sama kepada Oliel dan Ezha. “Oh, iya, Ndra. Katanya, Oliel baru selesai menulis lirik. Ya, kita tinggal lagi mengaransemennya menjadi sebuah lagu.” “Mana?” “Nih!” Andra memegangi kertas putih dengan susunan kalimat-kalimat yang bercorat-coret hasil buatan tangan Oliel. Andra menelaah serius. Mengerutkan dahi. Sedikit tersenyum sampai tertawa . “Ada yang lucu, Ndra?” tanya Oliel. “Oh. Nggak kok. Bagus. Kord gitarnya? Sudah kau nyanyikan?” Ezha dan Oliel saling pandang. Lalu berkata lagi kepada Andra. “Jadi kau setuju?” “Lha… Ya tentu saja. Kita memang harus membuat lagu sendiri. Mengaransemen sendiri. Sebagai
58 | Ananda Rumi
karya kita tanpa harus kebanyakan terpengaruh musik yang lain, kan?” “YES!” Oliel dan Ezha saling kompak. “Kalian berdua ini kenapa sih? Membuat lagu, kok, tunggu persetujuan dari aku dulu!” “Ya. Kami, kan, khawatir. Kalau kamu marah atau tidak terima dengan usulan kami. Aku tahu kamu sukanya lagu-lagu Jepang. Susah lho bikin lagu seperti itu!” “Seburuk apapun suatu karya, setidaknya itu adalah karyamu sendiri. Jadi, hargailah. Jangan pernah kau remehkan. Apalagi kau membuatnya dengan keras kepala!” Mereka tertawa-tawa riang. Bercanda dan membahas beberapa topik seputar musik. Ezha mengambil gitar akustik yang ada di salah satu sekretariat organisasi seni di kampus. Di kantin kampus, ketiganya meracik beberapa nada melodi dalam padanan kord gitar yang sangat jarang. Karena memang tak ada yang mengusulkan diri menjadi vokalis, maka sudah sah Oliel lah menjadi vokalis dalam band yang belum punya nama ini.
Kebisingan Hati
| 59
Kini kulepaskan semua Segala bisikku di hati Akan kubuang semua Apa yang kini menyiksa Megah rasanya hatiku Dapatku bernyanyi lagi Mungkin kisahku yang dulu Cobaan untukku maju Walau beratku tetap Hadapi dengan semangat yang tinggi Inilah aku penuh semangat Lihatlah aku dengan semangat Ikutlah aku kita „kan melayang Lagu pertama itu sudah jadi. Direkam seadanya melalui software handset milik Oliel sendiri. Andra memang tak terlibat banyak dalam proses penciptaan lagu pertama ini. Saat ini Andra belum berhadir di antara mereka berdua. Ia datang setelah Oliel dan Ezha merampungkan aransemen lagunya. Andra hanya mengikuti beberapa kord gitar yang sudah ditulis Ezha. Begitu juga Udud mengira-ngira dengan ketukan-ketukan tangan. Bagi mereka, semuanya akan terbentuk ketika dalam studio. 60 | Ananda Rumi
“Tentang apa ini?” kata Ezha dengan kerutan dahi serius saat keduanya sudah dalam kelas menunggu dosen masuk. “Pertanyaan bagus!” Oliel menjentikkan jari lalu mengarahkan telunjuk kepada Ezha. “Kau harus dengar ini. Ini adalah awal dari kita meniti batu loncatan dengan semangat optimis, percaya diri, dan tak ada yang bisa menghalangi niat kita ini. Bagaimana?” “Terdengarnya klise sekali!” “Tunggu dulu. Kau harus tahu. Aku merasa belakangan ini sangat disiksa oleh waktu. Waktu yang menjeratku dengan pekerjaan-pekerjaan penuh tekanan. Lantas, aku ingin membuang semuanya, membuang semua kejenuhan yang ada. Kini aku, kita, semua, dapat bernyanyi lagi. Kita menemukan gairah baik itu dalam bermusik ataupun menjalani hari-hari kita yang dulu tampak hampa kini sudah berwarna. Semua cerita tentang kejenuhan itu kuanggap sebagai cobaan saja. Meski ini tak semudah yang kita bayangkan, meski berat rasanya, kita tetap semangat, Man! Maka, kau harus ikut dalam imajinasiku. Dan kita, kan terbang melayang!” Oliel menutup kalimatnya dengan merentangkan kedua tangan. Menghembuskan napas panjang sembari berpejam. Ia merasa seolah-olah dalam taman bunga yang harum semerbak hingga relung jiwa. Dan… ia tersadar di sekelilingnya adalah kumpulan mahasiswa yang terheranheran melihat tingkahnya.
Kebisingan Hati
| 61
Ezha terpana saja. Lantas meletakkan punggung tangan kanannya di jidad Oliel. sekali.”
“Kau sedang tak demam? Sepertinya semangat “Tuh, kan!” “Aku tak menyangka. Orang alay sepertimu bisabisanya memberikan makna sedemikian rupa. Begitu dalam!” Oliel memble. Ezha tertawa simpel. “Kau sudah beritahu Andra?” Oliel menggeleng. “Kita harus beritahu segera!” Dosen masuk. Keduanya buyar dan tetap santai menuju kursi masing-masing. Perlahan. Pelajaran dimulai. Pelajaran tentang semangat menghadapi tugas-tugas yang diberikan oleh bapak berkumis ini. Dan mereka, tetap harus semangat sambil bersabar.
Verda teramat pasrah kepada Andra. Namun ia memilih diam. Tak bisa berkutik selain mengatakan “aku baik-baik saja” jika Andra menanyakan keadaannya. Namun Andra tahu itu. Karena hal itu bukanlah keterbukaan apalagi kejujuran. Bukan pula kepura-puraan. Namun itulah cara komunikasi perempuan yang sangat alami. “Tidak ada apa-apa” berarti “Ada apa-apa”. Sesuatu yang sangat penting dalam pemahaman perasaan 62 | Ananda Rumi
perempuan. Andra bukannya lupa akan Verda. Hanya saja, Andra mabuk akan iming-iming pekerjaan yang mulai menyelimuti kelembutan hatinya. Andra merasakan ada sepercik kepuasan tersendiri saat laporan tulisannya berhasil terkirim ke redaksi sebelum deadline. Seperti menghilangkan semut-semut yang mengerubungi otaknya. Diterbitkan atau tidak, Andra tak terlalu peduli. Setelah menulis, Andra merasa bebas. Seolah-olah lupa akan masalah. Ia mendapati suatu kesenangan yang berbeda dalam bidang ini. Harum tanah yang telah basah oleh hujan November pekan pertama menyeruak ke udara. Meluap memberikan rasa damai serta ketenangan dalam hati. Pandangan terasa teduh dengan exposure tepat. Not over, not under. The beautiful perfect day. In somewhere
interesting live. But, he can‟t have this day.
Tentu kalian pernah mendengar kalimat: Di atas langit masih ada langit. Maknanya kurang lebih, tak ada yang lebih hebat. Tak ada kesempurnaan. Intinya begitu. Namun hakikatnya, kebenaran hanya dinilai dari segi teoritis dan sangat relatif. Setiap orang selalu berbeda menempatkan indikator bagaimana kebenaran yang sesungguhnya. Dalam diri Andra, kebenaran adalah apa yang ia pilih. Tak hanya dalam bidang musik, tapi juga keinginan yang ia jalani. Semua tentang kehidupan. Baginya, pikiran adalah segalanya. Mampu mengubah putaran dunia. Setiap hari manusia harus memilih akan menjadi apa dirinya hari ini? seperti quote yang ia ingat di satu film superhero terfavorit. Kebisingan Hati
| 63
Andra bisa saja memilih untuk menjadi orang baik dan orang jahat di setiap harinya. Pun demikian tentang bidang yang ia geluti sekarang. Ia bisa saja serius menjadi musisi dan meninggalkan pekerjaan lain. Atau menjadi penulis apa saja dan meninggalkan segala kegiatan demi kepentingan orang lain. Beda-beda tipis. Namun faktanya, Andra tak mungkin bisa menjalankan dua kehidupannya sekaligus untuk meraih pencapaian yang maksimal. Terlalu banyak kesenangan yang dijalani Andra. Belum ada alasan pasti dalam dirinya melakukan semua ini apakah berdasarkan pencapaian karier? Atau hanya kesenangan belaka. Selain menuliskan warta pemerintahan, ia juga sering memotret. Foto-foto bergaya jurnalistik yang dikirimnya ke beberapa redaksi koran lokal mendapat respon positif dan selalu diterbitkan. Begitu juga dengan media cetak Nasional. Hasil royalti dari semua terbitan itu digunakannya membeli kamera DSLR. Kini Andra sering menekuni dunia fotografi dan bergabung di beberapa komunitas fotografi Kalimantan Selatan. Ia juga menyempatkan diri nimbrung di kegiatan seni dan budaya lokal Kalimantan Selatan. Andra semakin liar mencari momentum apa saja dan menulis apa yang ia kehendaki. Semakin liar dan mulai susah untuk di temukan di salah satu tempat saja. Sebagai orang Jakarta, Andra merasa tak keliru meminta kawan-kawannya yang sudah lama tinggal di Banjarmasin menjadi guide di beberapa lokasi recommended bagi para pecinta seni lukis cahaya. Perjalanan pertama, Floating Market. Pasar terapung yang 64 | Ananda Rumi
pernah ditemui Andra di Thailand ketika masih kecil juga ada di sini. Tentu saja dengan situasi yang berbeda. Lok Baintan, begitu masyarakat Banjar menyebut nama sungainya. Baru kali ini ia mengunjungi lokasi yang sangat ramai diabadikan oleh para fotografer se-Sabang sampai Merauke itu. Namun Andra sangat menyayangkan, tak melihat kesungguhan orang Banjar sendiri dalam pemeliharaan, pelestarian, atau jangan-jangan memang promosi yang mungkin saja, sangat minim suntikan dana. Yang Andra lihat memang tak seramai jargon televisi swasta dulu, dengan acungan jempol si nenek di antara jukung. Tak juga seperti gambar dalam bingkai yang ia temui di beberapa rumah makan dan hotel berbintang. Tak seperti itu. Beberapa kali Andra pergi untuk bermalam di gunung. Ia menjadi pendaki. Pemburu sunset dan sunrise. Andra mulai egois. Andra mulai keras kepala ingin mendapatkan semua yang ia ingini. Namun satu hal yang mengharuskan ia kembali ke Kota Banjarbaru: Musik. Setidaknya, untuk sementara, ajakan-ajakan bermain musik dan latihan rutin setiap Sabtu malam masih dilakukan mereka berempat. Untuk sementara lagi, hubungan mereka tak ada masalah. Apalagi Oliel yang belakangan lebih sering menulis lirik lagu daripada menggambar. Mungkin menggambar hanya salah satu keharusan demi kepentingan perusahaan di mana ia saat ini masih bekerja. Oliel mulai sering mencari referensi lagu dan membaca buku, termasuk buku-buku antologi puisi. Andra sempat keheranan melihat Oliel demikian. Orang seperti
Kebisingan Hati
| 65
Oliel yang alay, nyentrik, warna-warni, mimpi jadi rocker, eh, baca buku-buku puisi? Andra tak habis pikir. Saat berkumpul bersama, Oliel senang sekali mempermainkan mereka dengan fragmen-fragmen yang nyeleneh. Menurutnya, itu juga sebagian dari sastra para pujangga. Yang memakai kalimat-kalimat membingungkan. Kadang permaknaannya juga terlalu dalam. Seringkali ia menemui kalimat tak beraturan dalam puisi-puisi masa sekarang. Terkadang juga tak bisa dinalar. Semisal menikahi malam, manusia-manusia begundal, matahari malam, laut hijau, hati yang berkarat, menangis air mata oli, “Isinya pun tak jauh dari oh-bulan oh-bintangisasi,” kata Oliel sedikit mengejek kalimatnya sendiri. Memparodikan dengan gayanya sendiri. Satu kalimat yang sangat disukainya: Memperkosa jiwa. Ada-ada saja.
Bermain musik menjadi kesenangan bagi mereka. Kala waktu luang, saat sedang bosan, atau ketika ingin saja. Jadi tak terlalu formal. Pun demikian dengan jadwal, tidak harus sepekan sekali. Di studio F7 mereka seringkali mengcover beberapa musik barat, Muse, Maroon Five, Pearce The Viel, One Oke Rock, dan beberapa grup band yang masih ke kini-kinian. Sampai akhirnya Andra mengusulkan sudah saatnya mereka berempat mengarah ke grup musik Jepang untuk rujukan. L‟Arc~en~Ciel, The Gazette, dan versi Indonesianya, J-Rocks. Mereka membicarakan itu semua saat jeda perkuliahan di kantin kampus. Beberapa gelas jus dan minuman lainnya terpampang menghiasi bingkai gambar obrolan mereka berempat. 66 | Ananda Rumi
“Kenapa harus begitu, Ndra?” Ezha heran. “Gak tau juga sih. Kenapa, ya? Tapi kalau aku boleh bercerita. Dulu sewaktu masih bermain band masamasa SMA, aku ikut beberapa festival rock. Termasuk di pertengahan tahun 2007. Kami, band aku dulu, bermain pada Festival Rock di Stadion Lambung Mangkurat Banjarmasin. Itu adalah kali pertama aku ke Kota Seribu Sungai ini!” “Lalu?” “Yang isitmewanya adalah bintang tamunya. Ada J-Rocks dan /rif. Khusus J-Rocks, aku tak menyangka ternyata band mereka sangat punya skill. Karena selama ini aku biasa-biasa saja mendengarkan musiknya dan melihat video klipnya di televisi. Masih muda, kan, dibandingkan /rif dan Slank yang sudah senior,” “Oh. Terus!” “Aku terpana melihat gaya mereka saat aksi panggung. Gila, entahlah. Aku tak bisa menggambarkan dengan kata-kata!” “Kau ini aneh!” “Memangnya perlu aku menceritakan sedetail itu?” “Ya. Setidaknya kau harus punya alasan yang kuat mengapa harus mengagumi mereka?” “Sejujurnya kekagumanku tak sampai di situ. Aku berusaha mencari tahu tentang J-Rocks dan tetek bengeknya. Aku googling. Aku menemukan cerita tentang perjuangan, tentang kompetisi yang mereka juarai. Tentang the best player masing-masing alat yang mereka lakoni. Kebisingan Hati
| 67
Tentang inspirasi inti dari musik mereka. Tentang konflik dan isu buruk menimpa mereka. Tentang ketidakterimaan sebagian masyarakat pecinta musik Jepang dengan kehadiran mereka!” “Maksudnya?” “Tuduhan ke mereka! Ya, itu! Plagiator! Atas band senior Jepang yang sampai sekarang masih eksis, L‟Arc~en~Ciel. Yang menurut penilaianku, justru sebagai batu loncatan meraih kesuksesan.” “Oh… jadi!” “Ya begitulah. Singkatnya, kehadiran J-Rocks mengarahkan pencarianku kepada L‟Arc~en~Ciel. Inilah kiblat musik mereka yang sebenar-benarnya. Maka dari itu aku ingin sekali menerapkan genre ini ke dalam band kita. Entahlah, mungkin jika aku tak tersihir dengan permainan bass-nya Tetsu dan Wima, aku mengundurkan diri untuk menjadi bass player.” “Kau sangat berlebihan sekali, Ndra. Santai saja. Bukankah sebaiknya kita mengalir saja menjalani band ini berproses!” “Hanya satu alasan, mengapa aku menyukai lagulagu band bergenre Japanese Rock! Terlebih Tetsu L‟Arc~en~Ciel!” “What?”
“Walking in the line bass!” Andra mengatakan itu dengan sangat bangga dan congkak. Ia merasa kini kemampuannya melebihi kawan-
68 | Ananda Rumi
kawannya yang lain. Di dalam band yang kini sedang ia rintis bersama. Bersama-sama. Bukan perorangan. “Ngomong-ngomong. Akan kita beri nama apa band ini?” Oliel bertanya. Di antara mereka ada yang menerawang ke langit-langit. Yang lain menggaruk kepalanya yang tak gatal. Andra menyahut. “Aku ingin band ini agak ke jepang-jepang sedikit, ya, kayak J-Rocks.” “Berarti kau harus memulainya dengan huruf „J‟!” “Nggak mesti juga.” “Ya juga, sih.” “Noise!” Andra.
“Apa?” Ketiganya serentak menyahut usulan
“Begini. Aku mengambil istilah dalam fotografi. Noise. Jadi, bisa menjadi Noise band. Atau memakai Noise. Sudah, begitu saja. tak perlu ada embel-embel band di belakangnya.” “Apa artinya, Ndra?” “Noise itu seperti bintik-bintik yang timbul dalam frame gambar ketika ISO terlalu tinggi dalam kondisi minim cahaya. Pokoknya begitu. Bagi sebagian kalangan fotografer jurnalistik, noise tak terlalu mengganggu. Tapi bagi fotografer fashion yang mengutamakan kejernihan warna dan ketajaman pixel, mungkin noise sedikit mengganggu. Tapi simpel-nya. Terjemah bebas dari kata „noise‟ dalam bahasa Inggris adalah bising. Ya, begitu. Kebisingan Hati
| 69
Sebut saja kebisingan. Kan, dalam istilah musik juga sering disebut kata itu. Apalagi kalau distorsi yang berlebihan bisa menyebabkan gelombang dengung dalam ampli. Noise, kan?” “Lumayan. Tapi belum ngena, Ndra! Di mana ada Jepang-Jepangannya?” “Iya, ya! Betul juga. Tapi, kan sudah keren?” Oliel menggeleng seperti tak menerima sepenuhnya. Tiba-tiba, ia memandang gelas yang sedang ia pegang. Menelaah minuman yang sedang ia hirup barusan. Juice, gumamnya. “Juice?” “What!” yang lain terheran-heran. “Yap, Juice. Juice Noise. Bagaimana, keren terdengarnya, bukan?” “Juice Noise! Juice Noise! Juice Hmmmm… boleh juga. Sip.” Andra menimpali.
Noise!
Untuk sementara Oliel dan Andra setuju saja. Mereka tak menyangka jika nama adalah doa dan harapan. Ezha seperti tak terima. Belum sepakat. Udud diam saja. Alias tak banyak bicara dan tak terlalu peduli persidangan penamaan band mereka yang baru seumur jagung. Lima menit sesudah obrolan itu berakhir, keempatnya berjalan menuju kelas. Kecuali Udud yang beralih arah karena memang beda kelas. Sampai di dalam kelas, Andra mendekati papan tulis. Mengambil spidol. Dan menulis dengan hurup kapital seluruhnya di papan tulis putih. 70 | Ananda Rumi
JUICE NOISE “Ini nama band kami. Kalian harus tahu!” Oliel menunjukkan dan mengangkat dagu mengumumkan itu ke beberapa kawan-kawannya di ruangan kelas. Dengan bangga. Tetapi lihatlah Ezha. Ia seperti tak terima. Dikucilkan mungkin. Sayang rasanya jika ia tak ikut andil dalam penamaan band itu. Lantas Ezha maju ke depan merebut spidol yang sedari tadi di tangan kanan Andra. Perlahan Ezha menghapus kalimat “Juice” di papan tulis. “Hei!” teriak Oliel. “Sssttt!!! Wait a minute!” Sahut Ezha sambil mengarahkan telapak tangannya kepada Oliel. Ezha memuliskan kata “Heart” di sana. Kalimat “Juice” ia tuliskan kembali di depannya. Maka jadilah kalimat: JUICE HEART NOISE Andra dan Oliel saling pandang. Menyengir antara setuju dan ingin bertanya. “Jadi, apa maknanya?” “Juice Heart Noise. Jus hati yang bising atau jus kebisingan hati. Kita memunyai kebisingan selera musik yang berbeda, keinginan hati yang tak sama. Begitu juga tentang kehidupan. Semua merupakan kebisingan hati yang berusaha kita mix menjadi satu layaknya segelas juice yang segar. Berawal dari element berbeda, air, gula, sari buah, es batu, dan tentu saja blender, ha-ha-ha-ha!!!” papar Ezha panjang lebar sambil tertawa. “Melankolis banget!”
Kebisingan Hati
| 71
“Luar biasa. Konyol sekali maknanya. Mungkin ini juga akan menjadi band yang konyol. Tapi aku, sih, setuju saja!” tanggap Andra. Ketiganya berpandangan saling sepakat. Begitu juga Oliel. Jiwa dramatisnya memuncak. Pandangannya menjadi luar biasa setelah mendengarkan pemaparan Ezha. Oliel berlutut menengadahkan tangan seperti berdoa di depan papan tulis. Kemudian menyapukan kedua telapak tangannya ke wajah. Dan mereka pun kompak. Namun sayang, tak ada kehadiran Udud di sana. Mungkinkan itu juga suatu pertanda.
72 | Ananda Rumi
Jangankan manusia, seorang anak kucing saja akan menangis jika ditinggalkan sang majikan. Ya, dengan cara mengeong sampai ada yang memerhatikan. Meski kucing divonis sebagai makhluk penyendiri, namun sifat yang mencirikan ia sebagai makhluk sosial tak bisa ditutupi. Lihatlah anak kucing yang kesepian saat tak menemukan teman untuk bermain. Tak ada yang memberikan perhatian, tak ada yang mengelus-elus bulu di tekuk lehernya yang lembut, tak ada yang mencoba mempermainkan lirikan matanya dengan jari-jari tangan. Atau melemparkan sebutir kelereng ke sana-sini. Kucing merasa senang diperlakukan demikian. Mereka merasa diperhatikan tetapi bukan untuk dipermainkan dan tibatiba ditinggalkan. Verda merasakan hal yang sama. Dan ketika cahaya mulai menyusut perlahan, rasa galau datang di antara kerumunan manusia-manusia konsumtif. Datang dari delapan arah mata angin di pelupuk senja. Verda bingung harus membawa hatinya kemana. Di sini, lihatlah malam, ia tak sesejuk sebelumnya. Malam yang menyelimuti kota. Verda dan Erland tiba di satu tempat yang tak asing di kalangan sosialita. Andra tak pernah tahu jika sebenarnya Verda seringkali pergi ke tempat tersebut. Verda memunyai trik kuat untuk menutupi rahasia-rahasia yang ia miliki selama berhubungan dengan Andra.
Kebisingan Hati
| 73
Di lantai lima, mereka menikmati getaran suarasuara melolong dan dentuman bass beraturan. Lampulampu warna-warni temaram berkilat cepat berubah-ubah berputar-putar tak tentu arah. Keduanya hanyut beberapa jam dalam pengaruh kancing. Detak jantung bertambah cepat. Keringat bercucuran deras. Aroma alkohol di mana-mana. Di setiap penjuru ruang. Satu lagu lagi, maka lampu akan terang benderang. Keduanya sudah kelelahan dan bersandarsandar di beberapa meja. Masih memaksa-maksa tubuhnya agar bergerak-gerak tak keruan. Tapi tubuh mereka menolak paksaan itu. Efek dari kancing yang dikonsumsinya pun perlahan mulai menghilang. Beberapa kali Verda meneguk minuman dalam botol besar. Beberapa kali. Erland tak tega melihat seorang perempuan cantik dan berwawasan seperti Verda harus tenggelam dalam kehidupan seperti yang dijalaninya setiap hari. “Sudah, Ver! Kau minum terlalu banyak.” “Sudahlah. Tak usah kau pedulikan aku! Pikirkan saja bisnismu? Lancar? Laku keras malam ini! Hah!” Verda menyahut dengan terhuyung-huyung. Sesekali tertawa. Pikirannya sedang berkecamuk. Sedang mabuk. “Cukup untuk senang-senang beberapa hari ini. Sekarang waktunya pulang! Sudah! Kita keluar sekarang.”
74 | Ananda Rumi
Pagi. Verda membuka matanya berat. Jam dinding tepat di hadapan. Matanya masih belum membuka sempurna. Sebentar ia mencium aroma kamar yang berbeda. Ia meraba kasur di mana ia telah tertidur di atasnya. Bukan! Ini bukan kasur Alanis! Verda bangun. Menerawang sekelilingnya dan sadar bahwa ia sedang dalam kamar Erland. Verda meraba tubuhnya. Apa yang sudah dilakukan Erland kepadaku? Tapi tak ada perubahan spesifik dibandingkan penampilanya di hari sebelumnya. Baju yang sama, celana yang sama, hanya saja sedikit basah karena keringat bercampur alkohol. Rambutnya pun terasa lengket di tangan. Ya, Tuhan, apa yang sudah aku lakukan? Verda memandang wajahnya yang lusuh di depan cermin.
Beberapa saat kemudian, Erland datang dengan bungkusan plastik di tangan. Ia duduk di depan komputer, menyalakan sebatang rokok, dan menghirup kopi panas yang sudah tersedia di atas meja. Verda hanya duduk di sudut kamar dan berusaha memerhatikan Erland yang duduk di kursi membelakanginya . “Sudah bangun!” Erland bersuara dengan wajah datar. Lalu fokus di depan komputer. Tanganya sibuk menggerakkan mouse memindah-mindahkan kartu sesuai urutan angka dalam permainan Spider Soltaire. “Apa yang sudah kau lakukan kepadaku, Land?” “Kau berharap aku melakukan apa?” “Jangan sembarangan, kamu, ya. Aku bisa saja melaporkanmu!”
Kebisingan Hati
| 75
“Memangnya kau punya bukti apa?” jawab Erland berbalik menatap Verda. Tahukah apa yang sudah
kulakukan kepadamu, Verda? Aku sungguh kasihan melihatmu seperti sekarang. Erland mendekati sebuah
pemanas air. Membuat teh panas untuk diberikannya kepada Verda. Bungkusan yang tadi ia bawa diberikannya ke Verda. “Ini buat sarapan!” Verda diam saja. Tak terlalu menanggapi pemberian Erland. Ia menghirup perlahan teh panas tersebut. Dan sedikit-sedikit mulai memakan nasi bungkus yang diberikan Erland. “Kau mabuk semalam. Kau tak sadar sepanjang jalan tertidur di belakang motor dan membuat pundakku kesemutan. Kau tak sadar kugendong ke kamar sembari bersendawa. Kau tak ingat? Kau juga tak merasa aku menyelimutimu di dini hari agar tetap membuatmu hangat? Kau tak merasa? Parah sekali! Baguslah. Aku senang mendengarnya!” Erland berbalik lagi melanjutkan permainan kartunya. Verda membisu. Tak banyak bicara. Tak ingin mengatakan permohonan maaf atau pembelaan atas dirinya. Kadang rasa tak percaya juga timbul dalam hatinya. Erland
berbuat seperti itu? Mana mungkin? “Aku ingin pulang!”
“Pulang? Kamu mimpi! Pulang ke mana? Memangnya kau punya tempat tinggal di sini? Hah?” Verda baru sadar bahwa dirinya tak lagi memunyai kamar kost untuk didiami. 76 | Ananda Rumi
“Antarkan aku ke tempat Alanis!” Erland diam saja. Tak menanggapi permintaan Verda. Ia Melanjutkan dengan mengganti dan memulai game lain. Verda dilanda kecemasan. Ia menghentikan makan. Takut. Verda tak bisa berbuat banyak dalam kamar itu. Hanya bisa duduk tanpa bisa berbuat apa-apa. handphone sudah mati dan tak ada charge yang cocok di kamar Erland. Tak ada yang bisa dihubungi. Bagaimana
jika Erland tiba-tiba berdiri menutup pintu? Lalu menguncinya dengan rapat! Lalu ia mulai mengerayangiku! Atau bagaimana jika ia menyekapku dan mengurungku sampai puas menodaiku di dalam kamarnya yang sangat tertutup ini…??? atau jangan-jangan dalam makanan ini sudah ada…. Dan minuman ini Aaaarkkh..!!!! prasangkaprasangka buruknya menghantui.
Mendadak Erland berdiri. Menghentikan permainannya. Kemudian mengambil jaket yang berada di balik pintu. “Bersiaplah. Aku akan mengatarkanmu sekarang!”
Di kamarnya, Alanis berdiri di hadapan cermin. Membentuk-bentuk hijabnya yang modis. Beberapa lilitan lagi, dan selesai. Perfect, Alanis! Very Beautifully! Ruangan kamar Alanis begitu wangi dan semerbak taman bunga. Parfum khas perempuan muda mewarnai di setiap sudutnya. Kamarnya sudah rapi. Tas tanganya juga. Alanis akan berangkat ke kantor dengan perasaan semangat pagi.
Kebisingan Hati
| 77
Belum lagi Alanis membuka pintu untuk keluar, di balik jendela, deru suara motor tiba di depan kamarnya. Alanis mengintip tanpa harus mencolok. Verda! dengan
Andra? Ngapain pagi-pagi ke sini? Waduh!
Dari penglihatannya, Verda menyalami lelaki dengan helm tertutup itu. Tanpa mendadah, Verda berbalik dan menuju pintu kost. Ia mengetuk. Tapi tak ada jawaban di sana. “Alanis! Hello! Pagi! Sudah bangun, Say?” Tak biasanya Verda datang mendadak. Ada sedikit kecurigaan dalam benak Alanis. Kenapa ia gak telepon atau sms aku dulu, sih? Something wrong! Alanis ragu untuk langsung membuka pintu. Tetapi ia tak mungkin membiarkan Verda mengetuk sampai jarinya sakit dan pergi dari hadapan mata. Ia tak punya tempat persinggahan lain. Dan… Alanis membuka pintunya. “Hei… Nis! Wah… Kamu wangi sekali! Mau ketemu gebetan di tempat kerja, ya?” Verda langsung masuk tanpa segan. Meletakkan tas ranselnya. Melepaskan baju dan kembali mencari baju ganti dalam rak lemari baju Alanis. Ia sudah hafal letak baju yang ia inginkan. Sesudah memakainya, lantas menghempaskan badan di kasur. “Sudah kubilang jangan panggil aku dengan sebutan „Nis‟. Dari mana saja kamu? Kenapa gak hubungi aku dulu sebelum ke sini?” Verda menoleh sinis. Mengambil handphone di saku belakang. Lalu mencolokan charge milik Alanis ke handphone-nya.
78 | Ananda Rumi
“Dari rumah teman! Hapeku mati, Nis. Eh… Lan! Aku lupa bawa charge.” “Tadi siapa? Andra?” “Bukan.” “Lalu?” “Ya… teman!” “Kau selingkuh?” “Alanis! Ya, ngga, lah!!! Kamu ngomong apa‟an sih! Ia itu teman. Teman aku sama-sama dari Medan. Tapi sudah cukup lama tinggal di Banjarbaru.” “Aku baru tahu kamu punya teman pria satu kampung tinggal di sini.” “Ya, aku, kan gak pernah cerita juga ke kamu! Biasa aja, ah! Kamunya kok mendadak serius gitu. Santai aja lah!” Alanis menunda sebentar keberangkatannya ke kantor. Ia duduk bersandar di depan pintu memerhatikan kelakuan Verda. “Kau datang dari mana saja semalam? Penampilanmu lusuh sekali. Mulutmu beraroma alkohol. Kau minum-minuman? Mabuk? Ngelantai?”
Aduh, gawat nih! Please, Alanis. Jangan menginterogasiku seperti polisi. Terima saja kehadiranku di sini. “Astaga. Benar juga. Aku belum mandi. Aku numpang mandi di sini, ya! Mana handukmu, Nis? Aku Kebisingan Hati
| 79
pinjam, ya!” sigap sekali Verda sudah masuk ke dalam kamar mandi. “Verda, kau belum jawab pertanyaanku!” “Nanti saja. Nanti malam aku ceritakan!” sahutnya dari balik pintu kamar mandi. Melihat kelakuan Verda, Alanis hanya menggeleng-gelengkan kepala tanpa kata. “Da! Jangan lupa kunci pintu kamar kalau nanti kau keluar!” teriaknya seraya mengetuk sedikit pintu kamar mandi. “Iya! Iya! Tenang saja aku lagi gak pengen keluar. Habis keramas aku mau tidur sampai siang!” Tolonglah,
Alanis! Cepatlah pergi. Tinggalkan aku sendiri. Aku baikbaik saja, kawan. Alanis keluar dari kamar. Pergi meninggalkan Verda yang sedang mandi. Ia tak hanya meninggalkan Verda di kamarnya, tetapi juga meninggalkan pertanyaanpertanyaan yang belum terjawabkan.
80 | Ananda Rumi
Bicara lalu-lintas di Banjarbaru saat cuaca panas, melahirkan berbagai macam rasa. Kesal, jengkel, jenuh, bosan menunggu, debu, dan selalu ingin cepat sampai ke tujuan. Lampu merah bukan penghalang. Biasanya ada saja para pengendara yang sudah jalan saat lampu merah tinggal tiga detik. Ada juga yang tidak patuh sama sekali. Seperti itulah yang Alanis lalui setiap hari saat dalam perjalanan menuju kantor. Sampai Alanis tiba di parkiran kantor. Ia masuk dan langsung merasakan dinginnya AC dalam ruangan. Meski tak ada perasaan melebihi suka, ia betah dalam ruangan kantor untuk sekadar bertemu dengan Oliel. Ya, hanya bertemu, -meski tanpa obrolan baginya tetap menyenangkan- lelaki berkacamata dan bertopi kupluk itu. Terkadang juga memakai bandana berwarna hitam berhias merah muda. Alanis berharap hari ini bisa bercengkrama banyak dengan lelaki itu. Jangan-jangan aku mulai
menyukainya? Ah, tidak… tidak… tidak. Aku tak ingin… Namun, saat masuk ke dalam ruangan redaksi, ia tak melihat Oliel di sana.
“Hai” Sapanya dengan karyawan lain. Seorang
accounting, cat lover, Elysia. “Halo!”
“Oliel tak masuk hari ini?”
Kebisingan Hati
| 81
“Masuk, kok. Pagi sekali. Ia menitipkan surat. Surat cinta mungkin. Tuh, lihat aja di mejamu!” Elysia tersenyum manis dengan bibir tipisnya. Karier Elysia di majalah Super Buy tak terlalu berhubungan dengan pendidikannya. Teman Alanis yang satu ini layaknya seorang Dewi dalam mitologi yunani. Mungki seperti Aphrodite. Alanis sering juga memiripkannya dengan Yuri SNSD. Ia seorang Lulusan Biologi, Ahli Bahasa Inggris, Duta Wisata, Duta Lingkungan Hidup, sempat jadi cover girl di beberapa majalah, dan sangat menyukai sepakbola. Mungkin sedikit lagi jadi Miss Indonesia. Tapi jauh, belum sampai ke sana. Karena Elysia memang tak menginginkannya. Ambisinya menjadi wanita karier mangharuskannya berdedikasi pada pekerjaan ini. Satu-satu alasan yang menyebabkannya bisa terlibat hanyalah, ia anak pemimpin perusahaan. Padahal dari awal memilih fakultas, Elysia seringkali menolak permintaan ayahnya untuk menguliahkan di Jurusan Keuangan. Setidaknya jurusan ekonomi, pulang-pulang bawa gelar Sarjana Ekonomi. Namun karena alasan yang lebih berpihak pada keperluan pribadi, maka Elysia setuju saja saat ditawari menjadi Manager Accounting di perusahaan media cetak produk majalah bulanan milik ayahnya sendiri. Dengan satu syarat, diperbolehkan membawa Mochi, kucing anggora kesayangannya. Kelak karena kecintaannya terhadap kucing, mempertemukan Elysia dengan lelaki idamannya. Alanis mengamati lama surat itu. Ia melepaskan jaket dan menggantungnya di belakang kursi. Perlahan ia membuka. Membaca satu persatu. Menghela napas panjang 82 | Ananda Rumi
dan bersandar seperti menyesal. Akhirnya kecemasan itu datang juga. SURAT PENGAJUAN PENGUNDURAN DIRI
“Kenapa, Lan?” “Dia mengundurkan diri!” “Siapa? Oliel maksudmu?” “Iya!” “Mengapa begitu? Ada masalah dengan pihak kantor?!” “Aku kurang tahu, ya. Tapi beberapa hari ini ia sering sekali mengeluhkan tentang pekerjaan. Katanya, sih, hanya jenuh. Ia minta cuti. Ya, aku tak bisa berikan karena masa cutinya sudah habis. Menunggu awal tahun baru bisa. Ia pernah mengatakan ingin berhenti. Kukira hanya bercanda. Ternyata ia serius. Huft!” “Kenapa kamu juga menganggapnya serius sekali. Biasa saja, kan? Lagian suratnya juga baru tiba. Belum Diantar ke atasan. Belum disetujui. Belum ada tanda tangan bos di situ?” “Betul juga. Semoga tak disetujui!” “Tampaknya kamu kecewa sekali. Wah… wah… ada hubungan pribadi satu kantor, nih!” “Elysia! Bisa gak kamu itu diam aja gak usah sok nyampur urusan aku!” “Cieee… ada yang marah!!!”
Kebisingan Hati
| 83
Kamu benar, Lys. Aku memang sedang marah. Marah akan kebodohanku untuk menilai seseorang. Marah akan keputusan Oliel. Aku marah atas diriku sendiri karena sudah menghabiskan waktu berdandan terlalu lama di depan cermin pagi ini hanya untuk bisa menarik perhatian Oliel. Aku bodoh sekali. Jangan-jangan aku sudah melakukan itu setiap hari saat pergi ke kantor? Janganjangan aku… Oh, God! Forgive Me! Aku sudah kelewatan dan tidak menyadari kesalahanku sendiri selama ini. “Lys. Aku nitip tas, ya. Aku mau pergi keluar sebentar!” “Hei… Mau aku temenin, gak?” “Gak usah. Terima kasih!”
84 | Ananda Rumi
Penuh semangat, mereka menyanyikan lagu „Semangat‟. Gebukan drum dari Udud menaikkan semangat semuanya. Andra bermain dengan bergaya bak bassis idolanya, Tetsu. Memakai pick serta ukuran selempang bass se-pinggang. Begitu juga Ezha yang suka sekali memainkan poni khas „emo‟ nya. Dan Oliel, seperti…. Ah, yang satu ini memang yang paling mencolok. Bingkai kacamata yang berwarna. Sesekali kaos bunting. Menyanyinya sambil melompat-lompat disertai mimik wajah yang konyol. Sangat konyol sekali. Satu jam kemudian, aksi latihan musik mereka berakhir. Mereka keluar studio dengan sedikit kelelahan. Mungkin terlalu over confidence. Sambil istirahat di luar studio F7, meminum air mineral dan menghilangkan keringat, keempatnya bercengkrama. “Seru, ya! Eh, tapi Udud gila. Temponya cepat banget, padahal sewaktu latihan akustik, kan, gak secepat itu.” “Mungkin ia terlalu semangat.” “Tapi harus diperhatikan juga.” “Kau latihan gebuk drum sambil pakai metronome, Dud! Tempomu amburadul. Hancur,” Andra mendelik. Udud mengangguk saja. Ia merasa disudutkan mendengarkan pernyataan Andra. Yang lain pun mengiyakan. Kebisingan Hati
| 85
“Tempomu memang sedikit kacau, tapi tak masalah, pasti kau bisa memperbaikinya, Dud!” “Iya, Dud. Apalagi gaya pakaianmu itu. Tua sekali. Kuno. Kamu udah kayak bapak-bapak! Ha-ha-ha-ha!” Ketiganya tertawa. Udud menanggapi hanya senyumsenyum sedikit sembari mengusap-usap stik drum. “Bagaimana kalau lagu ini kita rekam indie saja. Biar abadi. Ya, penting juga buat kita mengingat kembali untuk latihan, kan? Lagian aku kenal dengan seorang teman yang punya studio rekaman!” “Serius, Zha?” Oliel respect. “Bagaimana, Ndra!” “Ya, aku sih, oke-oke aja. Tapi masalahnya aku belum punya uang lebih. Rekaman indie, kan, harus bayar?” “Tenang. Kita bisa patungan, kok!” “Iya. Betul kata Oliel!” “Kapan bisa?” “Tapi setidaknya kita harus punya tiga atau empat lagu! Supaya nggak makan waktu lama proses editing. Jika rekaman satu per satu kalkulasi biayanya cukup mahal, nyet!” “Itu tugas Oliel. Siapkan lagunya. Kita aransemen. Dan siap rekaman!” Andra meyakinkan. “Oke.” Mereka sepakat. Masing-masing menuju kendaraannya untuk menutup malam. Namun Udud, ia merasak tak dilibatkan dalam proyek ini. Tampaknya 86 | Ananda Rumi
memang tak cocok. Entah, mungkin Udud memutuskan untuk meninggalkan mereka dalam perjalanan membuka pintu pertama. Udud gamang. Ia tinggal memilih apa yang harus dan tak harus ia lakukan selanjutnya. Perjalanan itu tergantung dengan pilihan. Dan kali ini ia pun harus memilih, terus jalan atau membelokkan mimpi kawankawan.
Tak Peduli Lagi Lihat ini, Kau tak ada arti Mulai kini, Kau tak lagi di hati Yang terjadi, Semua berubah Jadi saat ini, Kau yang kalah Sumpah mati, Kau sudah basi Sampai nanti, Sungguh tak peduli Yang terjadi, Semua t‟lah musnah Jadi saat ini, Kau cuma sampah reff Kubuang jauh rasa yang dulu, janganlah lagi kau tanya itu Bukan maksudku „tuk sakitimu, Tapi hati ini tak peduli lagi denganmu Ingatkah dulu, kau maki aku Kau hempaskan, hatiku untukmu
Kebisingan Hati
| 87
Tapi saat ini, semua berubah Jadi saat ini, kau yang kalah Lihat lagi, menangis di sini Namun hati, sungguh tak peduli Yang terjadi, semua „tlah musnah, jadi saat ini, kau cuma sampah.
Tugu Simpang Empat Kota. Menara perbatasan berbentuk bundaran dan bersimbolkan bak berlian raksasa di atasnya menjadi saksi bisu keputusan yang mereka ambil tengah malam ini. Mereka sama-sama duduk di taman berhias air mancur berlokasi di pinggir jalan bundaran itu usai latihan. Udud dinilai bermain sangat buruk kali ini. Ia seolah sulit sekali memasukkan pukulan dan temponya sesuai dengan peralihan kunci nada gitar dan masuknya vokal. Masing-masing pikiran yang saat ini menyelimuti mereka mungkin sedang berada di langit itu. Mereka menatap bintang yang menggantung di langit malam, meletakkan ambisi masing-masing di salah satu titik dari semua cahaya. Di hadapan mereka adalah para pekerja malam, paman nasi goreng gerobak, gerombolan anak punk dengan ukulele di tangan, geng motor yang dikelilingi „cabecabean‟, warung kopi bergaya gerobak dorong, warung pulsa yang bisa berjalan, lapangan sepakbola yang cukup gelap di belakang, SPBU yang sudah tutup, dan lalu lintas yang mulai sepi, tepat pukul 00.00. 88 | Ananda Rumi
“Kau serius ingin membesarkan band ini, Liel?” tanya Ezha. “Ya, Aku serius! Aku ingin fokus. Aku sudah mengajukan pengunduran diriku di kantor.” “Apa?” keduanya terkaget. Kecuali Udud. “Kamu tidak bercanda, kan?” Oliel mengangguk. Melanjutkan penjelasannya. “Dari sinilah, dari band ini, aku menganggap sebagai batu loncatan untuk menuju penjiwaan, kelak di masa mendatang. Setidaknya untukku pribadi. Kita bisa manggung dan ditonton banyak penggemar. Tak usah muluk-muluk jadi artis. Aku sudah cukup senang kita bisa menghibur banyak orang. Baik itu di acara kondangan atau sekelas parade musik di tengah lapangan. Gak usah mulukmuluk ikut festivalan. Yang penting, kita bermain puas dengan performa di atas panggung,” Oliel mengalihkan pandangan kepada kawan yang lain. “Bagaimana dengan kalian?” “Aku? Aku, ya, mengalir sajalah. Kalau memang ada waktu untuk latihan dan manggung, aku siap saja. Selama tidak mengganggu waktu kuliah juga, kan! “Kamu Ndra?!” Andra tidak langsung menjawab. Dalam hatinya, Andra menyayangkan Oliel yang terlalu berani berhenti dari pekerjaannya sebagai desain grafis hanya untuk berkarier di musik. Andra sebaliknya, ia merasa belakangan ini lebih fokus pada pekerjaan lepasnya menjadi jurnalis. Padahal ia sangat berharap kelak bisa bekerja tetap di satu Kebisingan Hati
| 89
perusahaan media cetak saja. Mungkin majalah bulanan atau harian. Yang jelas menjadikannya seorang wartawan. Tapi itu tidak gampang. Seharusnya sedari awal ia sudah mulai memilih ini. Tapi bermusik juga menjadi kebutuhan pribadi yang sudah mengakar sejak ia beranjak remaja. “Aku belum tahu, guys!” “Maksudmu? Kau belum bisa menentukan apakah ingin membesarkan band, ini? Begitu?” “Kurang lebih. Mengapa kau harus berhenti dari pekerjaanmu, Liel? Sayang sekali. Mengapa band ini begitu penting bagimu?” “Memangnya kenapa, Ndra. Kamu kok, mengalihkan topik, sih? Itu kan, haknya mau terus atau berhenti!” bela Ezha. “Ya, aku cuma mau tahu alasan yang lebih logis saja. Masak cuma karena ingin membesarkan band ini kamu rela berhenti bekerja menjadi karyawan di majalah. Desain grafis pula? Pasti gajinya gede, kan?” hati!”
“Ini bukan persoalan uang, Ndra. Tapi kepuasan Keempatnya saling diam. Lagi, menatap langit malam dan orang-orang di sekitarnya yang tak peduli apapun yang diomongkan empat orang anak muda ini. Baik itu paman pentol, paman kopi, paman pulsa, atau mereka yang sedang berpegangan tangan di sudut air mancur. Mungkin mereka pacaran, atau baru jadian, atau bisa jadi masih pendekatan. Ah, sudahlah.
90 | Ananda Rumi
“Bagaimana denganmu, Dud? Kau memang tak banyak bicara hidupnya, ya? Nanti malah stress kamu. Lagi banyak pikiran, ya?” Andra menatap Udud dengan seksama. Ia pengamat yang cukup gigih. Dari caranya merespon pembicaraan, hingga gayanya yang kurang respect dengan Oliel, Andra yakin Udud sedang merasa tak nyaman. Andra mengira Udud mungkin tak sejalan dengan pikiran kawan-kawannya yang lain. “Tidak juga. Oh, iya. Aku pulang duluan, ya. Lagian sudah malam sekali. Banyak tugas kuliah. Besok siang sudah harus dipresentasikan!” “Lho, kok, cabut duluan, Dud. Bareng aja, napa!” sahut Oliel. Udud pergi menuju motornya yang terparkir. Ia menyapa ketiganya yang masih duduk dengan kaki bergantung sambil mengangkat tangan. Salam terakhir dari Udud. “Oh, Dud! Jangan lupa besok kita latihan pukul tiga sore. Jam lima kita rekaman di pink studio!” teriak Oliel sambil berlalu. Udud tak menjawab mereka. Hanya memberikan jempol. Ia memasang helm dan melaju dengan motornya. Cahaya merah belakang motornya terus menjauh hingga hilang di antara heningnya dini hari. “Astaga!” dengan berdiri dan menepuk jidadnya, Oliel mengejutkan yang lain. “Kenapa?” Kebisingan Hati
| 91
“Aku lupa ngasih tahu lagu kita yang kedua. Aku sudah menulisnya, Nih!” Oliel mengambil secarik kertas yang agak kumal dari kantong luar ransel „pinky boy‟ nya. “Sini kulihat!” Andra merebut kertas itu. Kemudian membacanya di bawah lampu temaram taman. Meresapi makna di tiap kata. Memberikan perasaan pada setiap alunannya. Dan berusaha memberikan jiwa pada lirik-lirik tersebut. Andra memang orang yang cukup kritis dalam menilai lirik. “Tentang apa ini?” Andra bertanya. “Tentang apa saja boleh!” “Hei!!! Aku serius!” “Dari judulnya kurasa kau sudah tahu. Dari sudut pandangku ini tentang pilihan. Pilihan untuk meninggalkan hal yang menjadi penghalang. Atau keputusan melupakan sesorang yang sudah tak sejalan. Begitulah, pokoknya!” “Aku mengerti sekarang!” sahut Andra. Mereka mengangguk-angguk. Ezha dan Oliel tertawa-tawa. Tak jelas apa yang ditertawakan. Mungkin menertawakan Andra yang sok tahu. Namun di balik itu semua, Andra merasa lirik lagu itu mewakili perasaan Udud secara khusus. Namun secara umum, pasti banyak juga orang-orang merasakan hal yang sama. Andra pun tak sadar jika suatu saat nanti bisa saja lirik lagu itu justru ditujukan kepada dirinya sendiri. Yang jelas saat ini, lirik lagu itu menggambarkan jiwa dalam band mereka. Tentang ke “Tak Peduli Lagi” akan makna dari persahabatan sebenarnya. 92 | Ananda Rumi
Cukup lama Verda menumpang di kamar Alanis. Sekian hari dan sekian malam sudah. Alanis memang tak mempersoalkan masalah waktu. Alanis lebih memerhatikan kebiasaan Verda yang pergi setiap sore, dan pulang pada malamnya. Terkadang juga tak pulang beberapa hari. Alanis merasa Verda sudah bergaul terlalu jauh. Jauh dari kedisplinan dan ikatan akademisinya di kampus. Alanis sangat tidak menyukai Erland, nama lelaki yang belakangan ia ketahui sering menjemput Verda itu. Namun sayangnya, Alanis tak memunyai wewenang apapun untuk melarang. Entah sampai kapan kebiasaan itu selalu terulang, Alanis tak peduli lagi. Hubungan keduanya merenggang. Verda memang sudah tak banyak bercerita perihal Andra kepada Alanis. Pun demikian, Alanis tak ingin berbagi kisah apa-apa lagi kepada Verda. Keduanya diam. Hening, hanya membicarakan hal seperlunya saja. Keduanya sudah tak peduli lagi. Verda lebih sering datang saat Alanis hendak pergi. Dan Verda pergi saat Alanis sudah pulang dari kerja. Mereka seperti dua kutub magnet yang sama. Tolakmenolak. Tingkah Alanis layaknya seorang anak manusia yang kehilangan tujuan saat berangkat bekerja. Terkadang keraguan menghantui pikiran. Dalam kurun waktu satu tahun setengah bekerja di redaksi Super Buy, apakah memang ia betul-betul berniat serius menjadi sekretaris?
Kebisingan Hati
| 93
Atau sekadar ingin melihat Oliel saja tiap pagi? Kali ini, Alanis gamang. Ia teringat masa kecilnya dulu. Alanis sewaktu SD yang masih imut dan bertubuh kecil. Selalu menjawab ingin menjadi pramugari ketika ditanya tentang cita-cita. Beranjak SMP ia mulai didekati kaum pria yang mulai beranjak dewasa. Sampai bertualang dalam pergaulan anak SMA. Masa di mana ia mengenal tentang cinta yang seringkali hanya ditiru kaum lelaki dari drama televisi dan buku bacaan. Seorang mantan yang pernah menjadi kekasihnya tiga tahun lalu, yakni bintang kelas dan atlet basket. Kini tak ada lagi seseorang itu. Yang ditinggalkan hanyalah kesakithatian. Terkadang Alanis sadar jika cerita cinta masa SMA hanya pewarna saja, tanpa bahan pengawet. Alanis menghela napas panjang. Berat terasa. Ingin rasanya ia kembali ke masa kecil dan mewujudkan cita-citanya menjadi pramugari. Entah apakah masih ada waktu atau sudah terlambat. Padahal dalam hatinya, Ingin rasanya kembali merasakan jatuh cinta. Mengejar rasa itu perlahan-lahan. Merasakan seseorang yang bisa memerhatikan atau paling tidak menanyakan kabarnya. Ia butuh seseorang untuk berbagi. Mencurahkan segala rasa yang kini ia rasakan di dalam hati. Surat pengunduran diri dari Oliel sudah disetujui oleh atasan. Alanis langsung yang menerima surat itu dan mengabarkannya kepada Oliel. Padahal berat sekali ia harus mengatakan hal tersebut. Tapi sudah tugasnya harus menyampaikan perintah atasan ke karyawan. Dan kini, ia
94 | Ananda Rumi
tak punya alasan tepat lagi untuk selalu menghubungi Oliel. Kadang terpikir, ingin ia menghubungi Oliel untuk sekadar mengakatan “Hai”. Atau mengiriminya pesan teks menanyakan “Bagaimana kabarmu?” “Lagi di mana sekarang?” “Bisa kita ketemuan?”. Tapi Alanis berpikir lagi. Mengurungkan untuk melakukan niatnya tersebut. Alanis gengsi. Karena baginya sangat tidak beralasan. Satu pekan sudah Alanis tak melihat Oliel lagi. Ia pun seperti patah semangat dalam bekerja. Sekarang Alanis lebih sering datang terlambat. Dan pulang lebih cepat. “Pulang lebih dulu lagi, Lan? Kau seperti sudah kehilangan semangat kerja” tegur Elysia sembari mengelusngelus Mochi yang sedang makan disudut meja kerjanya. “Nggak. Aku agak kecapean dikit. Sebelum balik aku rencana ngopi dulu di kedai Hobbies. Kau mau ikut?” “Thanks, Lan. Mungkin nanti!” “Oke. See You! Calling saja aku kalau ada keperluan mendadak dari bos!” Elysia memberikan jempol dengan kalimat "sip" kepada Alanis. Alanis melangkah santai keluar kantor. Kepalanya agak berat. Ingin rasanya ia pulang. Tapi sementara ini, ia sengaja tak pulang lebih awal ke kost karena menghindari Verda yang mulai menyusahkannya di kamar. Ia menghindari cerita-cerita baru tentang lelaki bertato yang mengantar Verda pulang hampir setiap malam. Alanis seolah tak terima Verda menduakan Andra. Meski Verda tak pernah mengakui kedekatannya dengan Kebisingan Hati
| 95
lelaki yang dinilai Alanis sangat tak cocok dengan Verda. Verda bersikeras hubungan mereka hanyalah sebatas teman. Karena memang kenyataannya seperti demikian. Tapi Alanis tak bisa percaya begitu saja. Baginya, Andra lebih pantas dan berwawasan dibandingkan lelaki bersama Verda dengan motor gede berwarna merah tersebut. Meskipun saat sekarang ini ia belum pernah melihat langsung lelaki pacar sahabatnya itu. Hanya menilainya dari penjelasan Verda. Alanis tak terima. Apalagi saat lelaki yang diketahuinya bernama Erland itu sering datang ke kost Alanis, menjemputnya untuk pergi bersenang-senang. Ngobrol di luar kamar sampai tengah malam. Tak jelas lagi apakah Alanis benci atau cemburu karena ia pun tak pernah menjalani kehidupan seperti yang Verda jalani sekarang. Alanis tiba di parkiran kedai Hobbies. Sebuah cappucino hangat dibalut cokelat sudah dipesan. Satu pizza mini pun sedang dibuatkan. Anak itu betah sekali, belum ada juga niat nyari kost baru! Huh! Ia membatin.
96 | Ananda Rumi
Dan hari ini seakan menjadi momentum yang special bagi Verda. Di hari ulang tahunnya, Verda berencana merayakannya bersama Erland. Meski terkadang ia merindukan Andra. Namun keadaan sudah berubah. Andra seperti hilang ditelan bumi. Tetapi sesekali muncul lagi. Kadang tak menentu, kadang bisa ditentukannya sendiri. Semua keputusan seolah-olah terserahnya saja. Menghubunginya hanya akan mendapat jawaban yang sama. Pun demikian dengan suasana kampus. Verda menganggap keseriusan Andra pada pekerjaaan membuatnya lupa akan kepentingan akademisinya di fakultas. Menjadi sarjana komunikasi. Andra sudah jarang masuk kampus. Verda di ambang keraguan. Hatinya tertambat pada dua pilihan. Namun hanya satu yang harus dipertahankan. Andra, atau Erland? Memang segala sesuatu tentang Andra sudah merasuk dalam ingatan Verda. Tetapi, dari Erland lah justru ia mendapatkan rasa diperhatikan. Wanita mana yang tidak ingin diperhatikan? Meski ia tomboy sekalipun. Verda semakin bingung tertunduk malu. Malu akan ketidakmampuannya sendiri. Sulit memutuskan. Ya Tuhan, bukankah kau
mempertemukan orang-orang salah lebih dulu sebelum menemukan orang yang tepat, batinnya ngilu. Di luar, malam sedang gerimis. Erland dan Verda makan malam di salah satu angkringan para anak muda di Banjarbaru. Kebisingan Hati
| 97
“Malam ini aku menginap di kostmu saja, ya?" “Asalkan jangan ribut!” Verda mendengar respon positif dari Erland.
tersenyum
“Kita jadi berangkat malam ini, kan? Please, Land! Aku ingin sekali merayakan hari ulang tahunku dalam suasana yang menyenangkan. Melupakan segala suasana yang telah membuat hatiku sepi. Tapi aku sudah tak peduli lagi dengan itu semua. Aku ingin melepaskan semua beban. Ya, Land!” Gerimis memang belum reda, tapi acara makan malam dihiasi obrolan sudah pada bagian penutup. Mereka berdua kembali meniatkan diri berangkat ke tempat hiburan malam di Kota Banjarmasin.
Seperti malam-malam sebelumnya. Verda mabuk lagi. Hampir tak sadarkan diri. Erland menganggap pemandangan itu biasa saja. Ia sudah muak dengan kehidupan malam yang telah menjadi ladang bisnis bagi peredaran „barang‟ jualannya. Perjalanan pulang saat udara dingin masih menggigit kulit. Keduanya melaju dengan motor di antara jalanan basah. Verda tidak merasa takut atau khawatir. Di dekat Erland ia merasa aman. Ia merasa terlindungi. Merasa lebih diperhatikan daripada saat bersama Andra. Namun, ada suatu firasat buruk yang terlintas dalam pikiran Erland. Sesuatu yang bisa saja menghancurkan segala kehidupannya. Erland cemas 98 | Ananda Rumi
dihantui perasaan gugup. Motor masih melaju dalam perjalanan pulang. Perbatasan tugu Pancasila Jalan Ahmad Yani Km 17, beberapa polisi berseragam tampak berjaga-jaga. Di antaranya sudah mencegat beberapa kendaraan. Meminta untuk menunjukkan surat-surat kelengkapan. Mengarahkan lampu senternya ke bola-bola mata para pengendara. Semua digeledah satu per satu tak terkecuali. Ada yang terus jalan, tak sedikit pula terpaksa tinggal untuk dimintai keterangan. Dan... Erland bersama Verda akan melintasi jalur ini. Dari kejauhan di atas kendaranya, Erland melihat beberapa motor berbalik arah melawan arus. Beberapa di antaranya memang tak memakai helm. Meski tak semua. Pasti ada razia, batinnya. Saat mendekati, Erland memelankan laju kendaraannya. Memicingkan lampu depan. Erland cemas. Mencemaskan Verda yang terlelap di belakang. Tak sadarkan diri. Mungkin tertidur. Saat ini yang ada di kepalanya hanya mencari cara agar cepat sampai di rumah kost. Jika ada penghalang, maka ia memikirkan bagaimana caranya agar lolos dari itu semua. Namun Erland melupakan satu hal. Beberapa butir kancing sisa masih terselip di antara kedua kaos kakinya. Erland sampai di satu penjagaan. “Pelan, pelan dik! Gak usah buru-buru!” untunglah barisan pertama Erland melewatinya. Tapi di penjagaan kedua, Erland tak berkutik. “Berhenti. Tolong perlihatkan kelengkapannya,” kata polisi berkumis dengan perut agak besar mengarahkan senter ke wajah Erland. Kebisingan Hati
| 99
Keringat mengucur di wajah Erland saat mengelurakan isi dompet. Verda membuka mata dengan terkantuk-kantuk. Mata dan kepalanya masih terasa berat. Setelah menyerahkan semua kelengkapan yang diminta kepada Polisi, Erland berusaha membangunkan Verda agar betul-betul melek. Surat-surat kendaraan Erland lengkap. Si polisi teralih perhatiannya kepada Verda. “Siapanya, Dek!” “Adik!” sahut Erland. “Mana KTP-nya?” nya.
Verda membuka dompet dan menyerahkan KTP“Dari Medan kalian, ya! Ngapain di Kalsel? Kerja? Kuliah? Ikut orangtua?” “Kuliah, Pak! Satu kost!” “Lho. Emang gak dilarang sama yang punya kost? Masak jam segini ngajak adik perempuanya keluyuran!” “Mukanya merah sekali, ya! Kalian mabuk ya? Ini apa!” kata polisi lain yang mengarahkan lampu senter!” Erland bingung harus menjawabkan dengan cara yang bagaimana. Maklumlah, peraturannya memang demikian. sana.”
“Sudah. Ikut ke kantor dulu! Nanti dijelaskan di Erland turun dari motor. Sigap menggandeng Verda yang masih terhuyung-huyung. Untuk sementara
100 | Ananda Rumi
Verda tak bisa berkata banyak. Kepalanya pusing. Perutnya mual. Ingin muntah. Beberapa polisi mendekati mengiringi mereka berdua dari belakang. Polisi yang berperut agak besar dan berkumis tadi mencegat Erland kembali. Erland di geledah dari ujung kepala sampai kaos kaki. Begitu prosesnya, si polisi menggeledah hingga ke ujung kaki. “Buka!” Erland ragu-ragu. “Cepat BUKA!” tegas Polisi itu. “Ada apa di sana?” tambah polisi yang lain. Erland dihantui kegugupan. Ia sempat berpikir pasrah apa pun yang terjadi nanti. Namun naluri pemberontaknya muncul. Tanpa usaha maka ketentuan tak akan pernah berubah. Erland diam. Berpikir. Tapi tak berpikir lama. Ia lari. Suasana gaduh. Erland berlari sekencangkencangnya menuju semak-semak. Meloncati pagar kantor polisi yang berkawat. Mengarah ke belakang kantor yang kondisinya tak tertimpa cahaya lampu. Gelap. Sangat gelap. Ia sudah tak melihat apa-apa selain merasakan kakinya yang selalu menginjak lumpur. Ia fokus lari ke depan ke semak pepohonan dan rawa. Erland terus berlari dan hampir tak bisa bernapas. Beberapa polisi yang tadinya konsen pada pemeriksaan kendaraan berbalik arah. Pengendara memanfaatkan momentum itu menerobos beberapa protokoler. Erland terus saja berlari ke semak-semak Kebisingan Hati
| 101
dengan tersengal-sengal. Dadanya kembang-kempis. Kakinya menginjak rawa-rawa yang basah. Dentuman suara pistol memecah malam. Malam itu pengejaran berlangsung cepat. Para polisi menerobos hutan-hutan sampai bertemu kembali dengan jalan. Yang namanya polisi, sudah terlatih dalam pengejaran. Melihat sesuatu bergerak langsung menarik pelatuk pistol. Timah panas bersarang di kaki Erland. Sekejap Erland dilumpuhkan. Kesakitan yang luar biasa dilami Erland tanpa mengerang. Ia berusaha menahan rasa sakit dengan menggigit leher bajunya. Ia tak ingin suaranya terdengar, yang bisa saja membuat pencarian para polisi itu menjadi mudah. Erland tengkurap di wilayah rawa. Wajahnya diselamkan ke dalam lumpur yang entah berwarna apa. Bisik dan cahaya lampu senter menerobos dedaunan. Beberapa kali melewati kepalanya. Suara sepatu-sepatu semakin dekat. Erland mengalami depresi yang luar biasa. Kegugupan yang sangat. Darahnya semakin cepat memompa jantung. Hingga ia merasa betul sudut kakinya ditarik oleh seseorang. Erland ditangkap. Diseret oleh kawanan polisi dari rawa-rawa sampai ke halaman kantor. Erland disiram dengan seember air. Tangannya diborgol dan didudukkan ke ruangan interogasi. Dalam pemeriksaan, polisi sudah curiga dengan pelarian diri Erland. Dugaan itu terkuak setelah polisi melakukan penggeladahan dan mendapati tiga butir ekstasi dalam kaos kaki Erland. Sudah tak banyak penjelasan. Erland dimasukkan dalam sel.
102 | Ananda Rumi
Verda di bawa ke pos utama. Tubuhnya tak bisa menahan pengaruh obat dan alkohol yang masih tersisa. Tanda-tanda itu terlalu tampak dari mata, kelopak yang berat, rona pipi yang pucat, serta kegelisahan di jari-jari tangan. Verda diinterogasi oleh Polisi. “Ada hubungan apa saudari dengan lelaki itu?” “Teman, Pak!” “Lho! Tadi cowok itu bilang kamu adiknya!” “Sepupu, Pak! Adik sepupu!” “Walah, anak muda jaman sekarang kalau udah kepergok berduaan bilangnya sepupu. Apalagi kalau digrebek di tempat kost-kostan, bilangnya keluarga. Bohong kamu, ya!” Pak!”
“Betul, pak. Kita sama-sama dari Medan, kok, “Ada keluarga yang bisa dihubungi. Orangtua?” “Orangtua di Medan, Pak. Saya di sini indekos.” “Kamu makai narkoba, to?”
“Nggak, Pak! Sumpah demi Tuhan. Saya cuma minum doang, kok, Pak! Suer!” “Kamu menginap dulu di kantor polisi. Sampai ada yang bisa menjemput kamu!” “Berarti saya gak ditangkap, pak!” “Lho, kamu mau ditangkap? Kamu bawa narkoba? Jangan-jangan kamu mengkonsumsi narkoba. Mau dites urine?” Kebisingan Hati
| 103
“Jangan, Pak!” “Ya, sudah. Keluar sana. Kalau mau menginap di sini sambil menunggu, dipersilakan. Boleh saja. Kamu tiduran saja di selasar atau di kursi. Gak usah masuk sel!” ucap polisi gendut itu dengan medok yang khas.
Puji Tuhan. Terima kasih. Verda keluar ruangan
interogasi. Tangannya menyisipkan rambut ke belakang telinga. Sambil melihat ke sekeliling. Verda berpikir, menimbang-menimbang, siapa yang bisa dihubunginya untuk bisa menjemputnya di kantor polisi.
Verda berpikir untuk masuk lagi ke dalam. Melihat keadaan Erland di dalam sel. Tapi tak mungkin. Ia tidak ingin terlibat lebih jauh. Verda tak ingin karena niatnya itu justru membuat para polisi berubah pikiran. Basa-basi bisa saja menjadi alasan polisi untuk turut menjebloskannya ke dalam sel. Tidak! Tidak! Aku tak boleh lengah. Erland, please, maafkan aku! Matanya berair.
Apakah aku harus menghubungi Alanis. Ya, Alanis. Tapi tak mungkin, ia pasti sudah tidur nyenyak. Dan tak akan berani malam-malam naik motor sendiri ke kantor polisi yang cukup jauh jaraknya dari kost. Lagian aku harus menjawab apa dengan pertanyaannya. Sama saja membuatku diinterogasi dua kali. Verda berpikir lagi. Mungkin Andra. Mungkin ini jadi momentum tepat untuk menarik perhatian Andra. Tapi Verda ragu lagi. Kekerasan hatinya untuk memutuskan komunikasi dengan Andra terlalu dalam. Ia terlanjur sakit hati. Ezha! Ya! Ezha. Aku akan minta Ezha menjemputku di sini! Tangannya menyentuh layar 104 | Ananda Rumi
handphone mencari beberapa kontak. Ketemu! Verda menghubungi Ezha.
Kebisingan Hati
| 105
Tadi siang, Ezha dan yang lain memang sudah latihan di studio F7. Tapi jauh dari kata sempurna. Beberapa racikan melodi, pukulan drum, dentuman bass, dan tentu suara vokal Oliel yang pas-pasan membuat mood bermain amburadul. Latihan yang sungguh sangat tidak memuaskan. Makanya, malam ini, Ezha begitu serius dengan gitarnya. Bahkan sengaja menahan kantuk dengan beberapa gelas kopi. Setia memeluk gitar. Mengaransemen ulang beberapa melody. Mencari kord yang pas dengan lirik karangan Oliel. Dan menyanyikannya kembali. Tiba-tiba muncul ide baru. Ezha berencana akan turut bernyanyi dalam lagu mereka kali ini. Ia akan menjadi suara dua dalam single kedua yang berjudul “Tak Peduli Lagi”.
Tentu akan lebih berwarna, unik, dan menarik jika warna vokal berbeda dan saling bersahutan di setiap bar, pikirnya.
Jangan tanyakan ini suatu kebetulan atau firasat, memang aturan dari Sang Maha Kuasa. Ezha tak tidur hingga menjelang subuh. Hanya untuk membaca lagi kalimat demi kalimat di atas kertas putih itu. Menuliskan beberapa kord gitar di atasnya. Sebagian lagi dicoret dan diganti dengan yang baru agar lebih cocok. Beberapa suara melodi gitar diperkaya agar terdengar nge-beat dan berisi. Bukan asal jadi. Fokus berkutat pada gitar, pulpen, serta kertas. Dan terus begitu sampai dering telepon membuyarkan konsentrasi. 106 | Ananda Rumi
Ezha menanggalkan gitar yang sedari tadi dalam pelukan. Perlahan. Tak lagi menghiraukan kertas dan pulpen yang selalu meminta perhatian. Ezha terlupa di mana meletakkan handphone. Pencariannya kian memusingkan. Aduh, di mana, sih, sialan! Ezha mendapati handphonenya di balik jacket yang tergeletak di atas kasur. Ezha mengambilnya dan membaca nama kontak di sana. Verda? Ngapain ia nelepon dini hari begini? Aneh. Jangan-jangan kabar buruk! Ezha menepis prasangka itu dan langsung menjawab panggilan itu. “Zha! Halo! Ezha! Duh, maaf menggangu waktu tidurmu!” “Aku belum tidur, kok. Ada apa?” “Please! Tolong jemput aku, Zha. Jemput aku di Kepolisian Sektor Gambut!” polisi?”
“Lho? Ngapain kamu di situ? Kamu ditangkap
“Nanti kuceritakan, Zha. Tapi tidak sekarang. Aku berharap kau bisa menolong dengan menjemputku dulu. Bawa aku dari sini!” sana!”
“Ya, ya… Ya sudah. Aku segera berangkat ke “Sekarang, Zha!”
“Iya, sekarang. Aku menjemputmu sekarang. Tunggu saja!”
Kebisingan Hati
| 107
Klik. Telepon ditutup. Ezha masih dilanda kebingungan yang sangat. Sedang apa Verda di kantor
polisi? pasti ada kesalahan.
Selepas dari pekerjaannya sebagai desain grafis, Oliel lebih sering menghabiskan hari-hari dengan mendengarkan musik-musik dari band-band rekomendasi para sahabatnya. Tak hanya itu. Penampilannya pun semakin nyentrik. Ia seperti telah menemukan mimpinya. Entah angin mana yang menghantam sampai-sampai Oliel memilih untuk berhenti dari pekerjaannya sebagai desain grafis di majalah bisnis Super Buy. Oliel seringkali bertukar pikiran dengan Andra. Tentang komitmen, pilihan, dan tentu saja tentang musik. Sampai beberapa permintaan untuk manggung di lokasi yang mana saja? Pada acara apa? Meski tak mempersoalkan mau tampil di mana pun. Tak ada keinginan untuk dibayar. Bahkan mereka rela membayar untuk sekadar tampil di depan publik. Di malam yang sama saat Ezha memilih lebih dulu pulang untuk mengaransemen lagu, Oliel memilih untuk menginap di rumah Andra, di Pasayangan. Andra punya satu gitar akustik. Setidaknya cukup untuk genjreng-genjreng sendiri. Ruang tamu saat tengah malam. Suasana kampung sudah sepi. Tapi mereka berdua masih berbincang-bincang satu sama lain tentang Juice Heart Noise. “Kukira lebih baik untuk penyebutan nama band kita disingkat saja menjadi „JHN‟ saja.” usul Oliel. 108 | Ananda Rumi
“Boleh juga. Lebih mudah didengar dan disebut. Biar mudah diingat juga! Kurasa Ezha pun tak akan mempermasalahkannya.” “Oh, iya. Aku dapat undangan perkawinan dari kawan-kawanku di kampung. Ya, beberapa lagi juga ada acara perkawinan tetangga. Aku mengusulkan agar kita bisa dapat tempat di acara tersebut. Kita manggung!” “What? Gak salah? Kau sudah gila. Kita ini band rock! Kau kira kita bakal dangdutan di acara kondangan!” “Justru itu. Di kampungku, jarang sekali ada penampilan band saat acara perkawinan. Kita bisa mulai dari sana! Sebagai batu loncatan. Kau ingat kata-kataku? Hei, kita harus memulainya dari nol, kawan. Kau tak bisa langsung terbang tanpa mengepakkan sayap terlebih dulu. Itu juga kalau sayapnya tidak robek!” “Aku merasa kurang, srek, ya! Aku ragu apakah jenis musik yang kita bawakan nantinya bisa diterima publik!” “Kau tak akan pernah tahu jawabannya jika tak mencoba!” “Liel, pernahkah kau menilai hasil latihan kita beberapa hari ini?” “Maksudmu? Menilai bagaimana?” “Ya, mengevaluasi. Letak kesalahan. Ketidaksamaan permainannya. Dan sebagainya dan sebagainya. Kau tak menyadari itu. Apalagi beberapa nada suaramu yang tak pernah masuk dengan nada gitar Ezha!” “Kau mempersoalkannya?” Kebisingan Hati
| 109
“Tidak. Aku hanya ingin kau bisa mulai peka dan menyadarinya. Aku tak ingin band ini stagnan. Jalan di tempat tanpa kemajuan. Kita harus mulai bisa menelaah dari dalam. Dan melihat dari luar! Kita tak bisa mengatakan bagus tanpa pendapat dari orang banyak!” “Ndra. Kurasa kau terlalu egois. Seperti ingin menonjol sendiri. Aku paham kau sudah lama bermusik. Apalagi di Jakarta. Aku mengerti itu. Tapi setidaknya, aku ingin kau menurunkan sedikit rasa angkuhmu itu agar kami yang baru bisa perlahan mencapai analisis bermusik sepertimu!” “Kau berlebihan, Liel!” “Tidak. Ini serius! Kukira justru kau yang tidak menyadarinya!” Andra memikirkan betul-betul perkataan Oliel. Mungkin ia benar. Selama ini ia selalu berusaha sempurna dan tak ingin JHN bermain asal-asalan. Padahal umur band mereka tak sampai sebiji anak jagung. Meski Andra tak bisa menyangkal, dalam hatinya, Oliel tak bisa dibandingkan dengan yang lain. Berbeda. Ia memunyai nada suara yang
khas. Gaya bernyanyi yang sangat teaterikal. Sangat berkarakter, gumam Andra dalam hati. “Kau mendengarkan betul lagu kedua kita? Untuk sebuah lagu, ya lumayan, sih. Tapi ada beberapa melody yang sedikit keteteran di sana. Aku tak mengerti mengapa Ezha bermain standar sekali. Tak ada skill. Apa lagi suaramu… Akhhhh! Kacau!” “Jika kau tak terima aku mengisi vokal, fine. Masalahnya adalah, siapa lagi yang mau menjadi vokalis. 110 | Ananda Rumi
Kau? Tidak mungkin. Aku tahu bahkan kau pun tak pernah pas dengan nada ketika bernyanyi!” Perkataan Oliel terasa menohok. Andra baru menyadari itu. Selama ini ia hanya bisa mengkritik apa yang dilakukan teman-temannya. Tapi ia tak menyadari bahwa terdapat beberapa kekurangan dalam dirinya. “Kau merasa minder dengan suaramu?” tanya Andra serius. “Sedikit. Awalnya aku berpikir untuk ikut les vokal. Tapi, aku masih berusaha untuk belajar autodidak!” “Baguslah. kuharapkan!”
Jawabannya
sesuai
dengan
yang
“Maksudmu?” “Kau tahu, Liel. Kita perlu memakai jiwa kala membuat lagu! Kau tahu bedanya guru vokal dengan penyanyi profesional?” Oliel hanya menggeleng tak bisa menjawab. Ia kehabisan pembelaan. “Guru vokal menyanyi dengan teori. Sedangkan penyanyi menyanyi dengan hati. Aku ingin kau menyanyi dengan hati meski minim teori.” Oliel mengingat betul kata-kata dari Andra. Kalimat Andra yang kelak dijadikannya sebagai pemacu keinginan hati dalam bermusik. Meski banyak rintangan yang harus dilewati. Tetapi masih ada mimpi. Keduanya menikmati keheningan malam. Mereka mendengarkan sejumlah lagu-lagu yang disarankan. Apalagi Kebisingan Hati
| 111
Andra yang lebih banyak memunyai referensi lagu-lagu. Berkatnya, Oliel jadi banyak tahu tentang musik dunia. Terutama musik Jepang. Perlahan, Andra memang bersiasat dan ingin meracuni genre musik mereka untuk berkiblat pada band-band Jepang. “Kau dengar bass-nya. Tangannya gak bisa diam!” “Iya, Ndra. Betul banget! Aku salut kau bisa bermain seperti lagu ini!” Andra sangat terobsesi dengan Tetsu. Baik itu dalam gaya maupun permainann bassnya. Ia menilai Tetsu bermain bass seperti bernyanyi. Bernyanyi dengan bass. Tak pelak, gaya bermain Andra berkiblat ke sana. Andra sangat bersikeras memasukkan genre yang ia percayai ke dalam Juice Heart Noise. “Tetsuya Ogawa, tak pernah habis-habisnya aku kagum dengan permainannya! “Kau mengidolakannya?” Oliel menyeletuk. “Sangat!” “Sebesar apa?” “Mungkin aku tak akan lagi bermain bass tanpa kehadirannya di dunia ini. Ia adalah jiwa dalam permainanku!” “Lantas, Wima J-Rocks?” “Ibarat keluarga, Wima itu adalah kakakku. Dan Tetsu adalah pamanku! Ha-ha-ha-ha!” Oliel melemperkan kotak rokok ke muka Andra. Gelak tawa memecah mereka berdua. 112 | Ananda Rumi
“Lagakmu!” sahut Oliel. “Begini, nyet! Kau harus sadar, permainannya sangat dahsyat, gila, keren abis. Apakah perlu aku contohkan gayanya seperti anak-anak alay? Ah, jangan, deh. Tetsu bermain dengan sangat dinamis, ngena, pas, harum mewangi semerbak taman bunga dari surga!” “Metaforamu terlalu berlebihan, kawan!” “Ini serius. Ia memunyai nada variasi seperti lekukan tubuh seorang perempuan. Tubuh yang hot, bukan yang gendut. Ha-ha-ha.” Lanjut Andra. Jam malam memang menghanyutkan obrolan mereka. Dari yang formal. Serius-santai. Sampai yang tak penting sama sekali. Sementara di luar sana, Ezha sedang kedinginan di atas motor dalam perjalanan menjemput Verda di Polsek Gambut. “Lihat jari-jarinya, beranjak dari fret terendah sampai nada tertinggi. Jari-jarinya berjalan menukik, terbalik, dan kembali di titik kehidupan. Tetsu adalah pemain bass yang kaya akan nada. Ia bisa bernyanyi. Bernyanyi dengan suara bass-nya.” “Ah-!” “Ssstt... tolong. Kau diam saja.” Andra langsung memotong komentar Oliel. “Dengarkan saja jiwaku bersuara. Tetsu adalah leader yang oke punya, man! Penampilannya selalu tak biasa. Dan dari semua personil L‟Arc~en~Ciel, hanya ia yang tak merokok. Hebat, bukan!” “Perbedaannya, dari semua personil JHN, hanya kau yang merokok, Ndra! Kau merasa hebat, kan?” Andra Kebisingan Hati
| 113
hanya tertawa. Dan memang benar. Ia tak bisa mengelak atau membuat pembelaan yang pantas. “Kukira, aku memang tak cocok jadi leader dalam band ini. Kau saja, Liel!” “Tak perlu ada leader. Kita adalah leader dari diri kita masing-masing. JHN akan terus jalan jika kita pimpin bersama. Bukan dengan cara perorangan!”
114 | Ananda Rumi
Verda meminta Ezha untuk berhenti di Mingguraya. Tempat pujasera yang selalu buka dua puluh empat jam di Kota Banjarbaru. Di tempat itu, Verda meminum segelas susu kaleng dengan cap beruang putih. Ia paham betul zat yang terkandung di dalam susu dapat mensterilkan pusing akibat pengaruh sisa dari „kancing‟ yang ia telan beberapa jam lalu. Itu yang diajarkan Erland kepadanya. Erland juga mengajarkan jika masih ingin menimbulkan efek dari candu tersebut, Verda bisa meminum air dengan campuran gula sejenis teh. Mereka berdua memutuskan untuk menunggu matahari terbit di warung kopi yang masih buka. Verda memesan sebuah mie telor rebus. Begitu juga dengan Ezha. Ezha melihat Verda makan begitu lahapnya. Ezha pikir Verda memang butuh banyak energi karena telah banyak menggunakannya. Ia terlihat sangat kelelahan. “Untuk ke sekian kalinya, Zha. Aku memohon padamu untuk tidak memberitahukan perihal ini kepada Andra!” Ezha tak menjawab. Tetap santai melahap mie rebus yang di hadapannya. “Ada apa dengan kalian berdua? Belakangan ini aku jarang sekali melihat kalian pergi bersama. Kau sedang ada masalah dengan Andra? “Aku tak tahu apakah ini suatu masalah. Andra tenggelam dengan dunianya sendiri. Ia sudah tak peduli lagi Kebisingan Hati
| 115
denganku, Zha!” Verda menggeleng. Ia merasa perih, dilibatkan dalam kehidupan Andra sebagai kekasihnya, ia merasa tak terkasihi. “Bahkan aku bingung apa statusku sekarang baginya? Apakah kau pernah melihatnya bersama perempuan lain?” “Aku tak tahu bagaimana Andra di luar lingkungan kami bermain musik. Tapi, aku memang tak pernah melihatnya sedang jalan, saling telepon, atau berhubungan dengan perempuan lain. Itu setahuku, ya. Kau bisa saja mencari tahunya dengan teman yang lain!” “Lelaki sama saja. Kau pasti membelanya!” “Tidak, Ver. Aku tidak membela siapa pun di antara kalian berdua. Karena memang nyatanya itulah yang kuketahui. Aku tak bohong. Apalagi mengarang cerita!” “Menurutmu sebagai lelaki, apa yang membuat kau mulai tak peduli lagi dengan pacarmu?” “Waduh… Gimana aku menjawabnya, Masalahnya aku sekarang gak punya pacar, Da!” tidak!”
ya?
“Kau jawab saja. Tak perlu harus punya pacar atau “Ya. Mungkin bosan!” “Hanya itu?”
“Ya… bisa saja, kan? Selain faktor orang ketiga. Biasanya sih, gitu. Menurut analisisku!”
116 | Ananda Rumi
Apakah benar Andra sudah bosan denganku? Lalu mana bukti kata-kata manis yang dulu selalu ia umbar kepadaku di setiap waktu! Topik pembicaraan Verda dan Ezha tak habis sampai di situ. Verda menceritakan perihalnya dari pertama putus komunikasi dengan Andra sampai dijemput Ezha di kantor Polisi. Ezha bercerita tentang band yang ia bentuk bersama Andra dan teman lainya dengan nama Juice Heart Noise. Dari permulaan latihan sampai merekam beberapa lagu ciptaan. Ezha menceritakan lagu “Tak Peduli Lagi” yang telah mereka kirim pada event LA Indie Fest‟ Festive Sound. Itu juga berdasarkan keinginan yang menggebugebu dari Oliel. Oliel mengerjakan sendiri perekaman dan memasukkan dalam CD Demo. Lantas mengirimkannya kepada pihak ke panitia. Semua Oliel lakukan sendiri tanpa bantuan kawannya yang lain. Alhasil Oliel hanya membawa cerita itu kepada para personil lainnya. “Baru saja, ya, beberapa hari yang lalu, lah!” kata Ezha kepada Verda. Verda tak terlalu tanggap. Biasa saja. Matahari memang belum sepenuhnya. Tapi pasti. Beberapa menit lagi matahari tak hanya mengintip tapi memperlihatkan wujud dengan bias cahayanya. Hari yang berat. Satu kabar yang sudah lama dinanti menghampiri Andra.
Beberapa kali artikel Andra yang dikirim ke sejumlah majalah dan koran lokal selalu diterbitkan. Andra bisa menghidupi dan memenuhi keperluan pribadinya lewat Kebisingan Hati
| 117
honor dari sejumlah tulisan tersebut. Selalu berulang seperti itu hampir setiap bulannya. Namun menjadi wartawan tetap di salah satu redaksi masih menjadi impiannya. Ia sangat menginginkan itu. Ia juga sudah memasukkan lamaran ke beberapa media cetak harian lokal Kalimantan Selatan juga ke sejumlah majalah bisnis yang berkembang saat ini. Andra sangat yakin, dari sekian rangkap lamaran yang ia ajukan ke sejumlah perusahaan, tak mungkin tak ada satu saja yang menarik perhatian pemimpin redaksi. Terlebih namanya sudah cukup tenar di beberapa halam koran dan majalah yang menerima jasa freelancer sepertinya. Ia ingin mendapatkan gaji tetap. Andra menginginkan itu. Sangat-sangat menginginkan. Sudah menjadi sepeti cita-cita dalam hatinya yang terdalam. Setelah sekian lama tak masuk kampus, hari ini, Andra berniat kuliah. Lama juga rasanya Andra tak bertemu dan menertawakan dirinya sendiri saat melihat bapak Oveje yang juga menertawakan leluconnya sendiri. Andra mengingat lagi suasana kampus. Lama ia tak memegang binder dan menyandarkan punggung pada dinding kelas saat ujian berlangsung. Ia termasuk mahasiswa yang selalu lebih dulu selesai mengerjakan soalsoal. Wajar ia selalu terlihat lebih dulu bersantai dari mahasiswa lain. Jika sudah terlalu bosan menunggu kertas jawabannya disalin oleh teman lain, ia akan meninggalkannya begitu saja. Ia merindukan Kampus Hijau, merindukan Kantin Bibi Gaul, merindukan obrolan tentang musik bersama Ezha dan Oliel di kampus, merindukan Verda yang sudah lama tak ia perhatikan. Meski terlambat sudah. 118 | Ananda Rumi
Di bangku kayu yang mengelilingi pohon kasturi tepat berada di depan sekretariat Pecinta Alam Kampus Hijau, Oliel, Ezha, dan Andra duduk di bawahnya. Masing-masing terlihat sibuk dengan handphone di tangan. Begitu juga Ezha meski sambil memainkan gitar, namun perhatiannya tak lepas dari jejaring sosial dan pesan singkat. Memang, Ezha sedang tahap pencarian gebetan. Melakukan strategi pendekatan ke beberapa akun facebook yang terlihat cantik. Meski terkadang foto bisa menipu.
Namanya juga usaha.
Dalam suasana santai itu, Andra menerima suatu pesan teks yang mengejutkan semuanya. Andra membacanya. Menyunggingkan sedikit senyuman. Cepatcepat ia menekan hurup di keypad untuk membalasnya. Menunggu balasan. Andra menerima lagi pesan masuk. Membacanya. Lalu melonjak-lonjak kegirangan. Ia berlarilari meloncat-loncat sambil berteriak "yes" beberapa kali. Oliel terpana, Ezha ternganga. Mengapa Andra bisa begitu girangnya? Apa yang terjadi? Keduanya membiarkan Andra dalam euphoria yang mereka pun tidak mengetahui dengan jeli. Puas sudah Andra menggambarkan emosi kegembiraan. Ia kembali ke tempat duduk semula. “Kau sudah gila, Ndra? Segitunya!” “Aku akan betul-betul jadi wartawan! Lihat ini!” Andra memperlihatkan pesan dalam kotak masuk. Kami meminta Anda agar bisa bergabung dalam tim kami untuk bekerjasama dalam hal pemberitaan, dokumentasi dan publikasi pada perusahaan. Anda bisa datang besok pagi pukul 09.00 Wita untuk wawancara. Diharapkan membawa sejumlah persyaratan pelamaran kerja dalam satu rangkap.
Kebisingan Hati
| 119
Ttd Sekretaris Redaksi
“Selamat, nyet! Kau medapatkan impianmu. Menemukan apa yang memang kau inginkan. Aku turut berbangga dan berbahagia!” “Wah… kalian ini, guys! Ucapan selamatnya sudah seperti orang mau nikah saja. Aku traktir kalian di kantin hari ini. Everthing!”
Suasana cat tembok dalam kantin Kampus Hijau memang terlihat lusuh karena lama tak dicat ulang. Warnanya memudar. Namun kehadiran Andra di tempat itu seoalah memberikan kesan bercahaya penuh dengan aura positif dan optimis. Membuat kantin seakan berwarna baru dan penuh dengan aura keceriaan. Andra menunjukkan kesan Si Prajurit yang telah siap dikirim ke daerah konflik. Biasanya memang begitu. Wartawan paling respect meliput wilayah yang banyak masalah. Tergantung mood-nya. Di sisi Oliel, suasana sedang tak menentu. Sejak di dalam kelas Oliel digelisahkan oleh panggilan yang ia tak ketahui. Sebenarnya perihal itu pun sudah diketahui Andra saat ujian tengah berlangsung. Sejak tiga puluh menit yang lalu. “Kau tak jawab panggilan itu?” tanya Andra. “Entahlah. Aku paling malas menjawab nomor telepon asing. Tak ada namanya!”
120 | Ananda Rumi
Suasana kantin memang sedang gaduh. Ezha dan Andra memfokuskan perhatian mereka kepada gorengan Bibi Gaul yang masih panas. Teh sudah siap dan menggoda selera untuk segera dicicipi. Andra melihat Oliel lagi yang menjawab panggilan tak dikenal itu. Keluar kantin. Oliel memegang telinga sebelahnya. Mungkin karena suara yang tak terlalu jelas. Tiba-tiba Oliel menengadahkan tangannya seperti orang yang sedang berdoa. Mengusapnya ke muka. Wajahnya bercahaya bak Musa yang telah mendengar kalam Tuhan. Lalu tersungkur sujud di lantai. Entahlah, pikir Andra Oliel sedang sujud syukur seperti seorang suami yang istrinya baru selesai melahirkan. Wajah Oliel kian sumringah. Guratan senyumannya semakin mengembang, diarahkan ke Ezha dan Andra. Keduanya kebingungan. “Terima kasih, Tuhan!” “Apaan, sih? Aku bukan Tuhan!” “Hei… kalian tetap harus berterima kasih kepada Tuhan. Usaha kita selama ini tak sia-sia. Lagu kita diterima LA Meet The Label. Barusan yang kasih tahu Nugie. Kau tahu Nugie, kan? “Kau berbicara di telepon dengan Nugie? Serius?” Oliel hanya mengangguk tanpa kata-kata. Bibirnya yang tertawa bangga masih dibiarkan senyum terbuka. “Kita akan bermain malam Minggu pekan depan. Di Stadion Lambung Mangkurat Banjarmasin. Kita akan main di panggung Sheila on 7 dan Burgerkill yang menjadi Kebisingan Hati
| 121
bintang tamu pada malamnya. Kau sadar itu, kan, Guys! Meet The Label, you know that!” Kesenangannya membabi buta. Kadang tertawa sendiri. Kadang mengekpresikan dengan kalimat “yes” dengan sangat berlebihan. Sesekali menepuk dadanya sendiri dan memukul kecil bahu kawan-kawannya, Andra dan Ezha. Keduanya tentu saja turut bahagia mendengar kabar baik dari Oliel itu. “Selamat, Liel! Kau mendapatkan apa yang kau impikan selama ini!” semua!”
“Hei. Ini bukan untuk aku seorang, tapi kita. Kita Mereka bertiga terlarut dalam euphoria kebersamaan. Andra yang siap bekerja. Dan Oliel yang seolah mendapatkan pasangan yang didambakan seumur hidupnya, mimpi yang terwujudkan. Membangun JHN dari akar hingga nantinya ke ujung ranting-ranting yang bercabang di setiap titik. Namun dibalik suasana ceria dalam hati Andra dan Oliel, Ezha memendam perasaan lain. Ezha merasa kasihan dengan Andra karena ia paling tahu perihal Verda. Ezha terbesit untuk membeberkan segala sesuatunya kepada Andra. Namun di lain hal, ia pernah berjanji untuk tidak mengatakan itu. Ezha masih ragu. “Aku akan beritahu kabar baik ini ke Verda. Ia pasti senang. Lama juga aku tak mendengar kabarnya! Kenapa sekarang ia sering gak masuk kuliah, ya?” “Hubungan kalian baik-baik saja, kan?” 122 | Ananda Rumi
“Fine. Kenapa memangnya!” “Ya nggak apa-apa. Aku jarang sekali melihat kalian pergi berdua!” “Hari ini ia gak masuk kampus lagi, Ndra!” Oliel nimbrung. “Mungkin ia sakit!” “Atau mungkin sedang jalan dengan cowok lain!” “What! Mana mungkin!” “Ya. Mungkin saja!” “Maksudmu apa, Zha!” “Kau kenal Erland? Mahasiswa Kampus Hijau semester tujuh. Kaka tingkat! Yang waktu ospek jadi kakak panitia paling dibenci?” “Ya. Kenapa?” “Belakangan ini aku sering melihatnya jalan berdua. Aku curiga!” “Aku kenal Erland, kok. Mereka, kan memang berteman. Sama-sama dari Medan. Lagian gak mungkin mereka ada apa-apanya di belakang aku. Aku percaya dengan Verda! Mana mungkin ia mengkhianatiku!”
Tapi mengapa belakangan ini Verda seperti menghilang tanpa kabar. Tak pernah menghubungiku lagi. Ataukah ia tak inginkan aku lagi terlibat dalam segala kegiatannya yang tersembunyi itu. “Kukira, kau terlalu egois dewasa ini, Ndra. Kau jarang sekali berusaha untuk menghubunginya lebih dulu. Kebisingan Hati
| 123
Kau selalu menunggu. Dan, kesibukan karier menjadi wartawanmu itulah yang selama ini membuat ia merasa tak diperlukan lagi. Ya, mungkin saja. Aku hanya mengirangira lho, ya!”
Mungkin Ezha benar. Belakangan ini aku terlalu egois. Mementingkan diriku sendiri. Bukan… bukan diri sendiri. Aku terlalu berambisi dan tak memberikan dampak apa-apa terhadap orang yang kusayang.
Hari Minggu, tepat seperti yang diagendakan Oliel. Mereka akan menghibur para penonton di acara kondangan. Sebenarnya lebih tepat disebut sebagai tamu undangan tuan rumah, bukan karena sengaja datang untuk menonton JHN. Dan ini bukanlah panggung, tapi hanyalah teras rumah penduduk yang agak tinggi dari rumah penduduk lainnya. Mereka membawakan dua lagu ciptaan JHN dan beberapa lagu dari band lain yang cukup populer. Hasilnya, para undangan cukup puas dengan berbagai jenis makanan yang dihidangkan. Penampilan band pada acara kondangan itu biasa-biasa saja. Hanya berjeda satu pekan, Minggu berikutnya, JHN tampil lagi. Kali ini panggung memang terpisah dari teras rumah warga yang melaksanakan hajatan perkawinan. Berada persis di pinggir jalan raya Mistar Cokrokusumo. Panggung yang sedikit tinggi. Sempit. Hanya cukup beberapa orang di atasnya. Berbahan kayu triplek beserta papan dengan beberapa drum oli di bawahnya. Tenda, ya tenda untuk acara perkawinan. sound system, ya sound 124 | Ananda Rumi
system acara dangdutan. Mereka membawakan beberapa
lagu di sana. Terlebih saat matahari sudah di atas kepala. Andra yang berpenampilan dengan baju berlapis-lapis tak tahu harus bermain dengan bagaimana. Enjoy ya enjoy. Tetapi rasanya ingin buru-buru turun panggung agar melepaskan semua pakaian karena kepanaswan. Gerah tak terperi. Setidaknya itulah yang sudah dilakukan JHN. Andra, Oliel, Ezha, dan Udud.
Kebisingan Hati
| 125
Kantor Super Buy Magazine. Lobinya yang luas cukup untuk menggelar acara arisan. Ruang ber-AC dengan dinding marmer bisa saja membuatmu menggigil. Tak ada debu yang bisa bertahan lama di lantainya. Namun Alanis justru mulai tak bisa bertahan lama. Tak betah menunggu kedatangan calon reporter yang diminta oleh perusahaan.
Menyebalkan.
Lelaki itu datang. Ia masuk ke ruang tunggu dan menyerahkan map berwarna hijau legam ke salah satu pegawai receptionist. Rambutnya disisir rapi. Dengan kemeja hitam kotak-kotak, celana hitam, dan tentunya juga sepatu Converse hitam, ia melangkah ke tempat duduk. Duduk santai. Memegang kedua tangannya dan memainkan beberapa keyboard handphone meskipun tak ada pemberitahuan apa-apa. Ia menunggu. Menunggu seseorang untuk memintanya masuk ke dalam ruang wawancara. Dering telepon bordering di meja Alanis. “Halo! Ya! Sudah datang? Apa! Saya yang menjemput ke depan. Sudah suruh ia saja yang masuk ke ruangan saya!” Alanis menutup jengkel teleponnya. Moodnya memang sedang tak bagus hari ini. Alanis melanjutkan beberapa pekerjaan analisis angka perusahaan di mejanya. Sejenak ia berpikir. Oh, Alanis, tentu saja selain karyawan dilarang masuk ruang redaksi. Ia mengangkat lagi gagang telepon di depannya dan berbicara ke petugas resepsionis. “Suruh saja orang itu menunggu. Saya akan segera ke sana!” 126 | Ananda Rumi
Andra masih tenang dalam lamunannya. Bukan, sebenarnya Andra tak melamun, tapi sudah membayangkan dirinya menjadi wartawan yang pergi ke beberapa narasumber. Atau berjibaku dalam aksi demo masyarakat di tingginya pagar pemerintahan. Andra menanti-nati momentum saat ia harus berebut dengan pewarta lain hanya untuk mendapatkan sepercik informasi yang dibutuhkan perusahaan. Mendapatkan foto ekslusif yang menarik rasa prihatin manusia. Namun Andra lupa. Lupa mencari referensi bahwa Super Buy Magazine bukan untuk wartawan sepertinya. Sampai seorang pegawai datang menyapanya. Alanis tiba di lobi. Tanpa menoleh ke kiri dan ke kanan ia masuk ke lengkungan meja receptionis yang sibuk di tempatnya masing-masing. Alanis Membuka map yang diterima. Membaca data-datanya. Menalaah satu demi persatu lembaran yang memang diperlukan perusahaan. ini?”
“Eh, Wakil Pimpinan, Pak Furqon masuk, gak hari “Kata bos, beliau sedang pergi ke luar daerah!” “Lha… terus siapa yang mewawancara orang baru
ini?” “Kata bos, Anda saja yang mewawancarainya!” “Bas-bos-bas-bos. Serius?” “Iya, Bu!”
Kebisingan Hati
| 127
“Jangan panggil saya „Bu‟. Tua sekali kesannya. Terus di mana orangnya?” “Lho itu di depan ibu… eh, Mba. Masak dari tadi Anda nggak ngeliat.” Alanis mengarahkan pandangannya ke ruang tunggu. Seorang lelaki yang asik dengan hapenya di sana. Ia mencoba meraba-raba ingatan. Apakah aku pernah bertemu dengan ia sebelumnya, ya? Alanis beranjak mendekati lelaki itu. “Permisi Pak!” “Oh. Maaf. Iya?” “Anda bisa masuk ke ruang wawancara sekarang!” Di dalam ruang. Hanya ada mereka berdua. Alanis dan Andra. Alanis masih saja berusaha meraba-raba. Ia membuka lagi map hijau yang ada pada pegangannya. Alanis menyerahkan form registrasi karyawan kepada Andra. Sembari menunggu Andra yang serius mengisi datadata dan pertanyaan di dalam sana, ia mengingat-ngingat lagi. Dilihat dari penampilan sih, oke. Tapi apakah benar ia
pacaranya Verda. Kok gak mirip dengan difoto, ya? Ah, gak mungkin. Pasti salah. Bukan ia orangnya. Kan, banyak nama Andra di dunia ini. Alanis… Alanis… kamu kok jadi kepo, sih. Andra menyelesaikan isian tersebut dengan cepat. Lalu menyerahkan kepada Alanis. Alanis menyambut. Sambil membaca datanya, Alanis memberikan tanya-jawab. “Nama Anda, Andra Fahlevi?” “Iya!” 128 | Ananda Rumi
“Masih kuliah!” “Betul!” “Anda diminta datang kemari? “Iya. Kemarin di sms. Katanya dari sekretaris redaksi!” “Oh. Begitu!” “Sudah punya pacar?” “Mmm… maaf…. maksudnya?”
Alanis… Alanis… bodohnya. Kenapa kau bertanya seperti itu. Huft, Andra, nama Anda mengingatkan saya dengan pacar sahabat. Apakah benar kamu orangnya? “Maksud saya, apakah Anda sudah berumah tangga?” “Oh. Belum. Masih single!” “Punya kamera sendiri!” “Ada!” “Ya sudah. Mulai besok bisa mulai bekerja. Ingat ini majalah bisnis. Jangan cari bahan yang aneh-aneh yang keluar dari ranah bisnis. Nanti akan ada redaktur yang mengarahkan konten yang harus Anda cari. Deadline setiap akhir pekan. Anda bisa merapel beberapa tugas di akhir pekan ketiga setiap bulannya. Anda boleh keluar ruangan sekarang!” “Lho! Wawancaranya?” “Sudah. Wawancaranya sudah selesai.” Kebisingan Hati
| 129
“Jadi itu wawancaranya?” “Iya. Kalau diperlukan nanti kami menghubungi lagi. Terima kasih sudah datang.”
bisa
Andra menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal. Wawancara yang aneh! pikirnya. Baru kali ini ia menemui wawancara seperti mengisi buku biodata saja. Andra keluar ruangan dan menghilang dari hadapan Alanis. Alanis mengubah raut wajah serius dan cueknya. Ia keluar ruangan wawancara dan kembali ke mejanya. Cepatcepat ia membuka map hijau itu lagi. Alanis seperti mendapatkan mainan baru. Map hijau tersebut, beberapa kali diterawang dengan teliti. Oh, anak Jakarta, to! Alanis mendapati alamat surel di sana. Ia langsung mengetiknya di kolom pencarian google. Google pun mengarahkan ke salah satu akun teratas di facebook. Alanis log in, masuk ke profil pria tersebut. Ia terkejut sedikit. Sedikit saja. Alanis membukabuka terus kolom tentang, album foto, dan segala tetekbengek yang ada di profil lelaki tersebut. Ia mendapati beberapa foto bersama Verda, sahabatnya itu. Tidak
mungkin, ini memang benar Andra pacaranya Verda. Ternyata Verda memang beruntung punya kekasih yang cerdas dan kutu buku seperti… Andra. Ah… seandainya saja… WHAT! Alanis cepat-cepat menutup jendela profil tersebut. Perhatiannya teralihkan. Ia tak ingin lagi terlibat suatu hal apapun dengan karyawan di kantor. Aku hanya penasaran.
Cukup sampai di penasaran saja. Titik.
130 | Ananda Rumi
Sore masih cerah, Oliel mendesak lagi semua personil JHN untuk latihan di studio F7. Kini Om Pul, sang penjaga studio pun sudah mulai akrab dengan JHN. Keahlian Oliel dalam menggambar dituangkannya dalam kanvas. Ia bingkai gambar personil JHN dengan gaya masing-masing dan diberikannya kepada Om Pul. “Wah. Keren sekali. Sangat artistik. Om akan tempel ini di ruang tunggu studio. Biar semua yang latihan di sini pada tahu, ada band keren di Banjarbaru,” katanya. Andra menganggap biasa-biasa saja, terlebih Udud. Kali pertama Udud tak bisa ikut latihan adalah pekan lalu. Nah, hari ini, Udud juga beralasan yang sama. Katanya karena sakit. Oliel bisa maklum. Begitu pun Ezha. Tapi tidak bagi Andra. “Keluarkan saja! Cari yang lain. Mainnya juga tak bagus-bagus benar!” “Jangan begitu, Ndra. Kasihan ia juga, kan! Lagian kita tak punya stok drummer lagi!” Latihan berjalan tanpa permainan drum. Ketiganya keluar ruangan studio tanpa semangat. Lesu. Seperti kehilangan salah seorang sahabat. Berhari-hari semuanya berlalu datar. Tanpa ada pembicaraan tentang musik, baik itu di kampus, di kantin, di kedai, atau saat bersantai sore di jajanan Lapangan Murjani di pertemuan mereka selanjutnya, saat seperti ini. Kebisingan Hati
| 131
“Aku berharap, JHN menjadi bandku yang terakhir. Mungkin aku takkan bermain musik pada band yang lain selain dengan JHN!” tegas Andra. Mengejutkan yang lainnya. “Kau bersikukuh sekali. Janganlah dulu berkata seperti itu!” sahut Oliel. “Ya… aku serius, ada sesuatu hal yang kudapatkan dari sini. Mungkin semuanya. Aku tak bisa membeberkan secara detail keinginan yang besar dariku terhadap band ini.” “Ada satu hal yang perlu kau ketahui!” “Apa?” “Udud mengundurkan diri, Ndra!” Andra menoleh terkejut. “Sudah kuduga. Ia punya alasan?” “Katanya banyak kesibukan!” “Bohong! Kurasa Udud memang tak tahan dengan tekanan! Kukira dia memang tak cocok bertahan lama.” “Ya, itu karena kamu juga, Ndra!” Ezha menimpali dengan suara tinggi. “Ya wajar saja. Aku tak ingin JHN berdiri asalasalan. Manggung di tempat kondangan lagi, tak pernah ikut festivalan. Hanya jadi band penghibur anak-anak SMA. Atau parade saja!” Andra naik pitam. Oliel dan Ezha keheranan.
132 | Ananda Rumi
“Atau sudahi saja sampai di sini. Aku juga sudah muak. Berapa uang sudah yang kita keluarkan untuk sekadar latihan dan nimbrung di acara-acara orang. Kapan JHN bisa menggelar konser tunggal atau terlibat dalam acara besar!” Andra beranjak dari tempat duduk di kedai itu. Ia ingin pergi. “Ndra! Jangan samakan bermusik di daerah seperti waktu kamu bermusik di Jakarta dulu. Situasinya beda, Ndra!” “Fine! Aku tak akan mempersoalkan itu. Cari pengganti Udud secepatnya!” “Bila tidak?? “Atau JHN sampai di sini saja!” Andra beranjak pergi dan sudah menaiki motor yang ia parkir di samping kedai. Oliel berdiri dan mendekati Andra. “Kenapa tak kau saja yang berusaha mencari pengganti Udud. Ini semua, kan salahmu!” “Kau menyalahkanku? Sorry! Aku tak ada waktu untuk mencari-cari personil baru. Aku sedang sibuk. Banyak liputan yang harus kuselesaikan!” Andra menutup helmnya. Ia pergi sampai hilang dari pandangan Oliel. Kini keduanya, Ezha dan Oliel saling pandang. Dan mengangkat kedua tangan. Kekhawatiran Oliel bukanlah pada orang baru yang akan menggantikan Udud, namun ia lebih khawatir Andralah yang akan keluar dari JHN karena kesibukannya sendiri.
Kebisingan Hati
| 133
Oliel mendapati seseorang pemuda yang menurut penilaiannya sangat cocok dengan kriteria. Tampan. Masih muda. Dan permainannya, mereka akan melihatnya nanti. Ezha dan Oliel berdiskusi untuk menentukan jadwal yang selanjutnya. Setelah sepakat, mereka pun memberitahukan perihal itu kepada Andra. “Ndra. Kita latihan hari ini!” ucap Oliel lewat panggilan telepon. “Maaf! Aku tak salah dengar? Siapa yang bakal ngebukin drum?” “Aku sudah ketemu orang yang cocok!” “Aku tak ingin pilihanmu menjadi sia-sia. Kalau tidak cocok. Batalkan saja. Cari yang lain!” “Kamu ini bagaimana? Melihat ia bermain saja belum pernah. Bagaimana kau menilainya. Kau sangat keras kepala! Hari ini, ya! Agak sore sekitar pukul lima. Kamu gak ada kesibukan, kan?” “Terlalu sore. Aku gak bisa. Masih ada liputan! Mungkin nanti. Kalian latihan bertiga saja! Kalau sempat nanti aku menyusul!” Telepon ditutup. “Apa kata Andra, nyet!?” sanggah Ezha. “Katanya ia masih sibuk!” “Oh. Lalu?”
134 | Ananda Rumi
“Ya sudah. Kita latihan bertiga saja hari ini. Tanpa bass. Setidaknya keberadaan Arul bisa menutupi kekosongan sebelumnya!” “Kau yakin?” “Bagaimana, Rul?” Arul mengangguk saja. Ia memang masih pendiam saat permulaan ini. Mereka bertiga berangkat ke studio F7. Oliel sangat yakin kehadiran Arul sebagai drummer bisa menutupi kekosongan sementara. Oliel sangat berharap kehadiran Arul bisa diterima oleh Andra yang sangat keras kepala. Di studio, mereka bertiga memainkan lagu-lagu yang biasa dimainkan. Tanpa nada bass pun setidaknya mereka bisa main lebih fun dengan hentakan drummer. Menjelang lima menit terakhir, Andra masuk ke dalam ruangan studio. Ketiganya menghentikan permainan. “Sudah, berakhir, ya!” tanya Andra diam saja bersandar di dinding studio. “Mungkin satu lagu lagi!” Andra mengambil bass. Mulai stand by. Mereka berempat menyanyikan lagu pamungkas sebelum keluar dari studio. Om Pul dari balik jendela berkaca tembus pandang tampak menikmati lagu yang dimainkan JHN dari dalam menggunakan earphone. Om Pul ikut menganggukngangguk dan menikmati lagu-lagu bernuansa pop rock tersebut. Hingga waktu pun berakhir. Keempatnya keluar studio dan duduk sebentar untuk sekadar mengobrol. Andra menyalakan sebatang rokok dan melihat-lihat jadwal liputannya lagi. Kebisingan Hati
| 135
“Melodi-melodi yang kau ciptakan itu, Zha, hanya gimmick yang tak keruan jadinya. Mau jadi apa JHN kelak? band alay?” Andra mengomentari permainan gitar Ezha. “Kau tak bisa hanya mementingkan keinginanmu sendiri dalam JHN, Ndra. Kita kerja tim, bukan perorangan!” bela Oliel. Sejenak perdebatan kecil di antara mereka terhenti dengan datangnya Om Pul. “Lagu kalian keren. Enak didengar. Dan anak muda banget! Ciptaan sendiri, ya!” Sahut Om Pul sambil mengunci beberapa pintu studio. JHN memang giliran terakhir sebelum studio F7 ditutup. “He-he-he. Sambil belajar, Om!” jawab Oliel. “Bagus itu. Kenapa gak direkam saja? Di sini juga bisa kok rekaman. Tapi rekamannya live. Ya, kurang bersih tapi minimal bisa kalian dengar lagi di rumah untuk evaluasi!” “Wah, kalau begitu nanti di lain waktu kita akan coba rekam, Om!” “Kalau lagunya sudah jadi betul-betul dan dimixing dengan akurat, kalian bisa sebarkan lewat internet. Makin cepat penyebarannya!” “Ah, Kami belum mikir ke situ dulu, Om. Untuk sementara ini senang-senang dulu aja!” “Oke deh. Om tinggal dulu, ya!” Keempatnya saling berpandangan. Andra sudah tak mempersoalkan lagi permainan Ezha. Perlahan, Andra mengamati penampilan Arul Si Personil baru itu. Baginya, 136 | Ananda Rumi
Anak muda di hadapannya sekarang cukup tangguh bermain drum. Pergelangannya bergerak cepat saat memukul snare. “Anak SMA, ya?” “Ia Ndra, ia SMK di Borneo Lestari!” jawab Oliel menyahut. “Aku gak bertanya dengan kamu!” Arul memang tak banyak bicara. Ia mendengarakan saja. Keempatnya berjanji untuk bisa bertemu pada latihan selanjutnya. Oliel mengatur-ngatur lagi jadwal. Masih ada mimpi, pikirnya. Andra memilah-milah lagi agenda liputan. Ezha bingung harus berbuat apa selain menunggu arahan dari Oliel dan Andra. Band ini seakan hanya dimiliki mereka berdua yang memunyai ide-ide kreatif dan keinginan kuat. Oliel yang terlalu bersemangat dan Andra yang keras kepala dengan idealis dalam bermusik. Ezha hanya mengikuti kemana nada-nada ini akan membawanya. Ia yakin sekali Oliel dan Andra adalah inti dari band ini seutuhnya. Tapi ia tak pernah tahu, sampai di mana kekuatan JHN melawan kerasnya benturan di luar sana.
Masih Ada Mimpi Menerawang Sepi Aku di sini Hanya pedih yang menemani Tak tahu lagi Kebisingan Hati
| 137
Arah yang pasti Mimpiku pun tak ada lagi Menunggu mati aku di sini Masa lalu yang kutangisi Mencoba kuatkan hati ini Masa depan yang kuhadapi Bukan hinaan yang harus kukenang Tapi impian yang kini kulihat Bukan hinaan yang harus kukenang Tapi impian yang kini kulihat Lagu ketiga mereka dibuat dengan waktu singkat. Masalah cerita, Andralah yang paling cerewet menanyakan makna. “Ini tentang apa lagi?” “Ini tentang mimpi kita, guys! Dari mimpi kita semua!” Oliel sambil memperlihatkan tulisannya. Lirik baru untuk lagu berikutnya. Andra membacanya dengan seksama. Memang, untuk urusan menganalisa, Andra selalu paling repot. Selalu meminta alasan apa, kenapa, bagaimana, lalu apa? “Dengan yang ini sudah ada tiga lagu yang diciptakan. Kurasa sudah saatnya kita rekaman. Kalau didiamkan nanti malah terlupa!” “Kapan?” “Kau saja yang atur waktunya. Aku menunggu!” 138 | Ananda Rumi
“Masalahnya sekarang, Ndra. Justru kau yang lebih sering tak punya waktu untuk urusan kita bersama. Kau lebih mementingkan urusan kewartawananmu!” “Namanya juga usaha. Anggap saja aku sedang meniti karier.” “Kita akan rekaman secepatnya. Dan membuat video klipnya. Selanjutnya kita bisa upload ke beberapa situs. Termasuk YouTube. Deal!” tegas Oliel. Mereka bertiga setuju saja dengan usulan tersebut. Harapan demi harapan memang selalu menyenangkan. Namun apa daya, manusia hanya berencana. Oliel pun percaya itu. Mereka perlu keajaiban. Keajaiban yang membuatnya segalanya menjadi indah dan tepat pada waktunya. Keempatnya berbalik badan menuju kendaraan masing-masing. Hari yang melelahkan, namun semangat terus saja dikobarkan. Mereka sebenarnya tak tahu apa yang akan terjadi nanti. Andra mulai merasa tak nyaman.
Kebisingan Hati
| 139
Deadline pertama di bulan ini. Alanis memang
sudah sering menghubungi Andra. Baik itu masalah perusahaan atau pun masalah sekecil bonus dari kantor. Kini ritual Alanis semakin rumit ketika hendak pergi ke kantor. Meski tak bertemu dengan wartawan baru itu setiap hari, namun saat hendak berangkat bekerja, Alanis tampil lebih modis. Lebih wangi malah. Entah dengan niat ingin mencari perhatian atau demi penampilan secara umum saja. Alanis sudah mengobrol terlalu banyak hal dengan Andra. Tentu saja ia kagum dengan wawasan lelaki Si Kutu buku ini. Dari sejarah, agama, fotografi, ringkasan para tokoh, dan juga musik. Boleh dibilang Alanis terpesona. Ya, mungkin saja. Seumurannya, tanpa seorang pasangan, menunda untuk berpacaran, malah dihadirkan sosok seorang pangeran mengagumkan. Sulit bagi Alanis untuk berkata tidak. Biasanya memang begitu. Yang namanya keseimbangan, sebagian perempuan tak terlalu mempersoalkan penampilan untuk tertarik kepada seorang lelaki dengan kadar kecerdasan yang sama. Kadang perilaku dan daya nalar seseorang bisa menutupi segala kekurangan yang dilihat oleh kasat mata. Alanis menilai Andra justru memunyai keunggulan dalam satu paket. Penampilan, wawasan, kegemaran, dan kegiatan yang dinilai Alanis sangat positif. Alanis seperti merpati yang terjerat dalam sangkar keterpanaan. Ia sedang jatuh dalam cinta diamdiam. Tak ingin menampakkan ketertarikan. Tapi 140 | Ananda Rumi
perempuan memang begitu, ia bisa saja tampil sangat tak peduli, padahal sangat mencintai. Sebaliknya, lelaki pandai tampil sangat mencintai, padahal tidak sama sekali. Bertemu untuk urusan kantor? Sudah biasa! Membahas hasil wawancara pengusaha muda sebagai profil di majalah mereka? Apalagi! Pembahasan mereka tak sekadar urusan pekerjaan, sudah merambat ke persoalan tempat makan, pergi ke mall, nonton berdua, film kesukaan, makanan kesukaan, warna kesukaan, dan segala hal menyangkut kedua pasangan yang sedang berkasihkasihan. Keduanya menyempatkan jalan berdua saat malam Minggu. Pun demikian dengan Andra. Ada setitik rasa bahagia. Kesehariannya bersama Alanis membuatnya semakin jauh. Jauh meninggalkan satu cinta yang tak ia sadari secepat ini. Sampai Alanis dan Andra tak lagi ber „saya-saya‟ atau ber „Anda-anda‟. Aku-kamu terasa lebih akrab ditelinga mereka. Sore dengan matahari yang sangat kemerahan, Alanis duduk sendiri di samping jendela kamar dengan tshirt extra large dan bawahan super pendek. Berpasangan dengan baju kedodoran itu, ia menatap luas langit biru dengan matahari senja dari balik jendela, sembari menyeruput teh melati hangat buatannya sendiri. Dedaunan yang sedikit bergerak ditiup angin mengingatkannya akan Andra. Kekasih, entah kapan kita bisa bertemu lagi, aku
merindukanmu.
Dalam bayangannya, Alanis berjalan bersama Andra di tempat perbelanjaan modern. Memilih beberapa keperluan dapur dari telur, deterjen, sabun mandi, pasta gigi, cair atau batangan, mie instan, sabun muka, dan obat Kebisingan Hati
| 141
nyamuk. Keduanya memilih, sesekali berargumen mana yang penting dan tak terlalu penting. Sembari Alanis membawa perutnya yang bunting. Sayang, Alanis hanya bisa mengkhayalkan itu semua. Entah apakah hubungannya dengan Andra akan seserius itu, ia tak tahu. Yang ia tahu, komitmen dalam berumah tangga tak ada nilainya. Tak bisa digantinkan dengan rumah dan mobil mewah sekalipun. Terkadang, pikirnya, masih banyak para eksmud miliyuner bergelimang harta, namun memaksa-maksa sekretarisnya untuk dijadikan istri kedua, ketiga, keempat, dan seterusnya.
Kesetiaan, itulah yang aku inginkan. Tetapi apakah sekarang aku mengkhianati kesetiaan itu sendiri? Alanis tak ingin seperti itu. Ia ingin membangun bahtera rumah tangga dilandasi komitmen bersama untuk saling setia. Namun, semua yang terjadi belum tentu sama dengan yang diharapkan.
“Aku tak menyangka itu adalah sms dari wanita cantik sepertimu. Kukira dari seorang laki-laki!” kalimat Andra waktu pertama kali mereka duduk bersama di suatu kedai kopi, sungguh memesona Alanis. Ia juga tak menyangka jika lelaki yang ada di hadapannya sekarang bisa membuat hatinya luluh dan mendadak lemah lembut. Sebentar lagi langit boleh dikatakan senja. Matahari tampak kelelahan dan siap bersembunyi. Begitu kiranya pandangan manusia. Tapi bagi matahari, siang atau malam sama saja. Tak peduli apakah bumi dan planet di sekiarnya terlalu sibuk berkeliling. Yang jelas, matahari sudah melakukan tugasnya, memilih diam saat ada pilihan. Pun demikian yang terjadi dalam hati Alanis. Tiba di 142 | Ananda Rumi
kamarnya sepulang dari momen yang membahagiakan itu, Alanis mendapati Verda yang sedang mengepak beberapa barang. Meski sebenarnya tak terlalu banyak. “Aku sudah ketemu kost baru, Nis. Malam ini juga aku pindah!” Alanis tak terlalu respon. Jengkel sekali ia dengan panggilan itu. Alanis ragu apakah harus membeberkan perihal Andra kepada Verda. Tetap saja. Alanis memilih diam dan tidak menyinggung hal tersebut. “Di mana?” “Intansari. Kau tahu, kan?” “Ya.”
Sebaiknya secepatnya saja kau pergi dari sini! “Buru-buru sekali. Kenapa gak menuggu esok saja? Menginaplah dulu satu malam di sini.” Cepatlah pergi,
Verda. Cepat! Jangan setuju dengan tawaranku.
“Mmm… bagaimana, ya? Nggak ah! Nanti saja kapan-kapan aku main lagi ke sini, ya!” Verda pergi dengan tas ranselnya. Alanis tak mengantarnya. Hanya mengintip kepergian Alanis dari balik jendela. Entah, ada rasa ketidakterimaan dari dalam hati Alanis. Ia maerasa tak pantas jika Andra disandingkan dengan Verda. Andra itu cocoknya denganku…!!! Bukan
denganmu, Verda. Hmmmm… Astaga! Apakah ini rasa cemburu? Jangan-jangan aku jatuh cinta dengan Andra? Akkkhh…. Lupakan!! Lupakan!!! Aku tak ingin. Aku tak ingin! Kebisingan Hati
| 143
Kupu-kupu berpasang-pasangan hinggap di halaman kamar Alanis. Menggambarkan apa-apa yang dirasakannya sekarang. Hidup memang akan terasa lebih sempurna jika makhluk saling berpasangan. Namun satu hal yang ia khawatirkan, saat ini, memang tidak ada ikatan apa-apa antara ia dengan Andra. Tapi bagaimana jika kedekatan itu nantinya diketahui Verda lebih dulu sebelum ia memberitahu? Alanis menepis prasangkanya. Ia tidak akan berniat untuk menyakiti sahabatnya sendiri. Biarlah waktu yang akan menjawabnya. Toh, Alanis juga tak mungkin menghindar dari perputaran roda kehiupan yang ia jalani sekarang.
Masa-masa JHN semakin melambungkan namanya. Oliel menulis lagi. Menulis dengan penjiwaan. Kata demi kata selalu ia pilih dengan tepat. Ia tak ingin menjadi penulis lagu yang asal ada. Ia ingin musik dan lagu karya mereka bisa menjadi inspirasi bagi pendengarnya. Bisa menjadi perwakilan dari tiap rasa. Ia hanya ingin bermusik dan bisa menjadi penghibur tanpa harus ada embel-embel lainnya. Kepopuleran biarlah nomor dua.
Yang penting JHN terus maju, dan membuat puas dalam setiap pertunjukkan, harapnya. Satu ketika, Oliel menilai, ada sedikit kekurangan warna dalam musik mereka. Entah suara hati dari mana lagi, -karena memang sudah terlalu banyak suara hati-, Oliel mengenalkan satu personil baru. Seorang pianis, keyboardis, synthesizer, ya, sejenisnya lah. Kevin, sangatlah muda. Perwajahannya sangat asia dan berkulit putih. 144 | Ananda Rumi
Mereka pikir Kevin seorang chinese. Tapi perkiraan itu ternyata keliru. Oliel mulai memperbaharui dan mendaur-ulang musik JHN –memang betul-betul mendaur ulang karena lagu-lagu lama dari JHN hampir tak terpakai dan diaransemen kembali-. Andra tak berkutik dalam hal ini. Ia mengikuti saja keinginan dari Oliel untuk membongkarpasang JHN. Andra merasa warna musik JHN pun berubah dari pertama yang ia inginkan. Andra tahu itu. Dan Oliel menyukai perubahan tersebut. JHN mendapati undangan untuk mengisi acara perpisahan di SMK Borneo, sekolahan Arul. Itu juga berkat lobbying Arul kepada para panitia. Alhasil mereka memainkan beberapa lagu di sana dan mendapati respon yang membahagiakan di kalangannya. JHN perlahan memunyai fans yang merambat dari beberapa titik ke titik yang lain. Akhirnya mereka berempat memikirkan usulan yang pernah dicetuskan Om Pul. Kenapa tidak direkam saja? Biar abadi. Semuanya setuju. Namun sangat disayangkan, masalahnya ada pada Andra. Saat momentum seperti ini, Andra mulai jarang terlihat, ia lebih sibuk dengan kariernya di bidang jurnalistik. Sedangkan Oliel, sebaliknya. Begitu bersemangat. Semakin produktif JHN berkarya. Pekan kedua Agustus musim panas, Oliel mengajak anggota personel lainnya pergi ke tempat Wawan, teman Ezha, seorang sahabat yang punya studio rekaman di salah satu komplek perumahan dekat Bandara Syamsudin Noor. Kebisingan Hati
| 145
Selesai recording. Muncul masalah Andra yang sulit sekali dihubungi. Sulit sekali. Andra mulai kehilangan kendali. Kehadiran Kevin dalam badan JHN mengubah total aliran musik mereka. Perpaduan musik rock dengan nada synth membuat musik mereka semakin kaya. Lebih mengarah pada genre Power Pop. Andra yakin jika suatu saat JHN bisa bangkit dan terus produktif. Meski tanpa keterlibatannya di sana. Andra sudah memikirkan hal ini jauh-jauh hari. Dalam urusan latihan, Andra paling bermasalah. Setiap ada jadwal manggung JHN, selalu saja berkenaan dengan jadwalnya liputan. Di malam yang lain, JHN diundang dalam kegiatan parade band bertajuk G‟Fest, Gedung Serbaguna Universitas Lambung Mangkurat Kota Banjarbaru. Awalnya, Andra menolak karena harus menyelesaikan beberapa tugas. Mereka berangkat tanpa Andra. Dan Andra menyusul. Selalu seperti itu beberapa kali. Di sana, mereka bertemu dengan sekumpulan band-band indie yang sedang naik daun. Memunyai komunitas sendiri. Banyak penggemar dari kalangan mereka sendiri, memunyai distro sendiri. Dan tentu saja dengan gaya berpakaian dan menyebarkan sticker bandnya sendiri.
Luar biasa. Beginilah usaha band lokal untuk menterkenalkan band sendiri. Dengan idealis keras kepalanya sendiri, Andra menggumam.
146 | Ananda Rumi
Gelaran LA Indiefest Meet The Label bertajuk Festive Sound berjalan lancar. JHN berusaha memberikan yang terbaik di atas panggung. Mendapat komentar positif di depan para juri dan pemilik studio rekaman indie Jakarta. Mereka kembali ke Banjarbaru dengan perasaan senang. Oliel menganggap lolosnya mereka ke LA Meet The Label sebagai bukti. Musik yang mereka usung bisa diterima oleh para pendengar. Setidaknya, hal ini menjadi pacuan bagi JHN agar terus produktif menciptakan lagulagu baru. Keinginan paling dalam dalam hati Oliel. Setelahnya, Oliel mengajak semua personil JHN membuat Video klip pertama mereka. Video klip „Tak Peduli Lagi‟ disetting sederhana. Tak terlalu berlebihan. Konsepnya hanya dalam ruangan dengan tiga kali ganti kostum. Dipadu backdrop hitam bertulisan Juice Heart Noise. Drum seadanya. Alat serba pinjam. Tanpa ampli dan sound system. Dan jadilah viedo itu. Siap unggah ke YouTube. JHN melakukan dua kali proses perekaman yang membuat Andra sempat jengkel karena ketelodoran waktu. Oliel memilih lokasi yang agak jauh dari pusat kota. Daerah hutan belantara Desa Mandiangin, terdapat fasum dengan kolam renang dan lapangan tenis di sana. Rasa bosan karena menunggu dirasakan Andra ketika proses pembuatannya. Dalam kesendiriannya, Andra gelisah karna waktunya selalu saja terporsir pada pekerjaan. Apakah aku
harus memilih salah satu? Apakah aku harus mengorbankan Kebisingan Hati
| 147
satu di antara keduanya? Ah, aku lelah. Andra selalu saja diselimuti keterburu-buruan.
Rampungnya pembuatan video itu memakan tumbal. Gitar kesayangan Oliel yang dibelinya dari uang tabungannya itu tak sempat dibawa pulang. Dan ia baru menyadari itu setelah sampai di rumah. Karena jarak yang sudah terlalu jauh, gitar kesayangan itu pun sudah dianggap hilang. “Nanti kita beli gitar baru lagi yang Baguuuuss!” ucap Andra mencoba menenangkan Oleil. “Cukup, Ndra. Tak usah kau ingatkan lagi tentang gitar itu.” Oliel seperti patah hatinya, tak sengaja meninggalkan kekasihnya yang kini telah hilang. Tak ada pengorbanan yang sia-sia. Tuhan selalu menggantinya dengan yang lebih baik. Video Klip “Masih Ada Mimpi” mereka rekam dalam waktu tiga sampai empat hari. Video tersebut menceritakan tentang keinginan dan kepribadian lain dari tiap personil. Menggambarkan kegelisahan mereka akan mimpi-mimpi mereka. Memang, masing-masing tiap personil memunyai mimpi yang digeluti. Dalam video klip tersebut diceritakan, Andra tampil dengan tumpukan buku. Ia selalu ingin menjadi penulis novel. Ia ingin berkarya dan memunyai buku dari tulisannya sendiri. Dikonsep dengan gelisah. Andra menghempaskan bukunya. Sampai seseorang perempuan datang mengambil buku tersebut dan memberikannya semangat. Bukan hinaan yang harus dikenang, tapi impian yang kini terlihat. Andra optimis bisa mencapai keinginannya itu. Oliel, diceritakan saat sedang menggambar di padang rerumputan. Namun ia kehilangan ide. Ia 148 | Ananda Rumi
menghentikan guratan pensil pada kertas putihnya. Kegelisahan menyelimutinya. Hingga datang seseorang untuk memberikannya semangat. Show Must Go On. Selalu ada jalan untuk mewujudkan keinginan. Ezha, digambarkan sebagai seorang fotografer. Sesuai keinginannya, ia ingin berkarya menjadi penangkap cahaya-cahaya. Ia kehilangan sesuatu disana. Gairah berkarya yang luluh karena kehampaan. Sampai kehadiran seseorang memberikannya jalan keluar untuk mewujudkan keinginannya. Arul, digambarkan saat bermain sulap dengan kartu. Anak yang satu ini memang cakap membuat trik-trik yang menghibur. Termasuk bermain sulap saat acara perpisahan di sekolahnya setelah JHN usai perform. Namun di gambar itu, ia tampak lesu. Kehilangan ide untuk dimainkan. Sampai sesosok gadis mengambil kartu As hati yang tergelat di tanah. Memberikannya ke tangan Arul seraya berbisik. “Masih Ada Mimpi”. Dan Kevin, selalu bermimpi menjadi seorang programmer. Ia ingin sekali memproduksi semua lagu-lagu dalam studionya sendiri. Membuat hal-hal baru dalam perangkat canggih di dunia digital. Namun ide, ia memerlukan ide untuk pencapaiannya. Hingga seseorang datang untuk memberikannya ide tersebut. Memang, kalian akan mengetahuinya nanti, kelimanya bisa saja, kan, mendapatkan apa yang mereka inginkan. Andra menjadi penulis novel, Ezha punya studio foto sendiri dengan peralatan yang serba canggih. Arul, mendapatkan trik-trik sulap terbaru sampai menyulap Kebisingan Hati
| 149
seseorang yang memberikannya kartu As hati pada video klip itu menjadi pasangan dalam hidupnya. Dan Kevin, ia punya segalanya. Studio musik pribadi di dalam kamar. Sejumlah komputer dan fasilitas lengkap menunjang pekerjaannya menciptakan berbagai program yang menunjang lagu-lagu JHN tentunya. Nadanada yang diciptakan JHN pun semakin kaya dan berwarna. Hingga JHN bisa rekaman lagu-lagu baru dalam kamarnya. Semuanya terwujudkan dari mimpi yang terkadang dinilai sangat sepele. Mimpi para anak muda yang konsisten bisa memutar laju roda kehidupan jika ia memang gigih untuk menggapainya.
JHN mendapatkan undangan dari pihak penyelenggara Ulang Tahun Duta Mall Banjarmasin. Oliel mengiyakan saja tanpa harus meminta persetujuan dengan yang lain. Ya, di antara mereka semua, memang hanya Andra yang paling bermasalah. Oliel sangat yakin itu, Andra bakal mengulang lagi alasan yang sama. Dan kenyataan itu pun terjadi. “Aku akan menyusul. Mainnya kapan?” “Sabtu siang. Mungkin sekitar pukul 14.00 Wita. Di jadwal sih, tertulis seperti itu. Ingat besok siang, ya!” “Kau, kan sudah kuberitahu. Akhir pekan ini aku kejar deadline! Masih banyak tugas tulisan yang belum kurampungkan!”
150 | Ananda Rumi
“Kau tentukan saja bisa main atau tidak!” tegas Oliel tak bisa lagi mentolerir kesibukan Andra yang semakin membabi-buta. Andra merasa tertekan. Tak ada perasaan menyenangkan lagi saat ia bermain dengan JHN. “Ya. Aku bisa. Tapi menyusul, ya! Aku tak bisa berangkat bareng kalian. Tenang saja. Aku usahakan tepat waktu!” Setidaknya janji Andra masih bisa dipegang. Oliel percaya Andra akan datang meski sedikit terlambat.
Kedai Hobbies. Petang telah usai. Kini digantikan kanvas malam yang telah dihiasi lukisan bintang-bintang. Di sudut sana, dua orang makhluk berpasangan sedang menghirup indahnya malam. Ditemani suara gelas cappuccino yang berdenting. Mungkin mereka sedang mengobrol topik yang agak intim. Keduanya saling tertawa. Saling berbicara. Sesekali lelaki itu berbisik di telinga perempuan yang juga membuatnya tertawa. Keduanya memang sudah sangat dekat, Andra dan Alanis. Ah, asmara terkadang tak bisa dibendung dengan dinding beton sekalipun. “Oh iya. Hampir saja aku lupa. Besok siang kamu ada acara?”
Aduh… Andra. Demi berdua denganmu, acara apapun akan kubatalkan. “Mmmm… belum tahu, ya! Aku lihat jadwalku dulu, deh! Ada apa memangnya!”
Kebisingan Hati
| 151
ikut!”
“Bandku akan tampil di Duta Mall. Kau mau
Tentu saja, Andra. Aku akan sangat senang sekali bisa terlibat dalam setiap kegiatanmu. “Semoga aku bisa. Kau hubungi aku dulu, ya, kalau berangkat!” “Aku akan jemput kamu di kost!” “Jangan! Nanti ketahuan ibu kost bisa berabe urusannya. Kita ketemuan di luar aja, ya! Atau kau bisa jemput aku di warnet depan kost-an!” “Oh. Boleh, deh!” “Eits, ingat! Tugasmu harus selesai sebelum hari Minggu. Besok sudah deadline!” “Tenang. Aku akan selesaikan malam ini. Atau besok pagi!” Andra tersenyum penuh pesona di hadapan Alanis. Keduanya larut dalam tawa dan canda. Begitulah. Cinta terkadang bisa sangat memusingkan. Membuat lupa apa-apa yang terjadi di luar sana. Saat jatuh cinta, dua belas bagian otak menghasilkan senyawa yang membuat perasaan menjadi bahagia. Namun di waktu yang bersamaan, rasa cinta melepaskan oxytosin yang mengganggu daya ingat. Wajar jika kedua makhluk ini melupakan something. Sesuatu yang bisa saja menjadi lebih penting. Cinta keduanya seperti chemistry terlarut dalam kedua gelas yang berdenting.
Slow but sure, Andra menikmati keceriaannya bersama Alanis. Namun, Andra tak ingin ada ikatan yang 152 | Ananda Rumi
serius dengan Alanis. Alanis tak tahu perihal itu. Ia menaruh harapan banyak dengan Andra. Entah kapan Andra akan benar-benar mengungkapkan perasaan yang sebenarnya. JHN akan perform di lantai dua utama Duta Mall Banjarmasin. Mereka telah tiba tepat pukul dua siang.
Paling acaranya ngaret, acara-acara di Banjarmasin, kan, biasanya begitu. Ah, aku sudah berpengalaman dalam hal ini. Terlalu sering meliput acara yang di luar jadwal, Andra berguman sendiri dalam hati.
Di antara hilir-mudik berbagai jenis ras dan bangsa manusia di dalam segi empat berlantai tiga itu. Dalam sudut pandangnya, ia melihat ibu-ibu yang menyuapi anaknya secubit pangkal donat di ujung sebelah sana. Atau pasangan suami-istri yang sejak dini telah menjerumuskan bayi mereka pada kaum urban dengan standar hidup tinggi. Tak peduli harga emas atau beras sedang naik. Mereka tetap saja berlomba-lomba meraih diskon berangka umur kakek-nenek sebelum keduanya mati. Ini adalah kehidupan
perkotaan, guys! Urusan perut dan lifestyle juga diutamakan di sini. Tak kalah dengan ganasnya metropolitan Jakarta. Di Banjarmasin, tak lebih tak kurang.
Oliel, Ezha, Arul, dan Kevin sudah siap di pinggir panggung. Sesekali melihat jam pada arlojinya. Oliel juga melakukan hal sama, melihat jam di smartphone-nya.
Aduh… Andra… di mana kamu sekarang. Sebentar lagi kita perform! Langkah Andra sudah dekat dengan keberadaan mereka. Tentu saja bersama Alanis, Andra datang dari punggung-punggung yang menghadap ke arah panggung. Kebisingan Hati
| 153
“Hap!” Andra menepuk belakang Oliel. “Akhirnya datang juga!” sekejap saja. Oliel terkejut menatap perempuan yang bersama dengan Andra. “Alanis!” “Lha… Kalian sudah saling kenal?” Alanis diam saja. Ia tersenyum. Senyuman yang menyembunyikan rasa senang. Di hadapannya sekarang adalah lelaki yang ia dambakan. Lelaki yang dulu dan lelaki yang baru. Alanis tak menyangka bisa bertemu dengan Oliel saat situasi seperti ini. Kepingan hatinya yang dulu hilang seakan ditemukan oleh Andra. Namun, kondisinya sekarang ia bersama Andra. Ada secercah harapan yang ditaruh Alanis dalam pribadi Andra. Ia tak bisa mengkhianati perasaannya sendiri. “Tentu saja aku mengenalnya. Sekretaris di tempat aku bekerja!” “Lha! Jadi-!” Suara panggilan di sound panggung dari panitia pelaksana memotong pembicaraan mereka. Lelaki berbadan gembul tampak keringatan berlari ke arah mereka berkumpul. Lelaki gembul itu mendekati Oliel lalu memohon agar segera membawa kawan-kawannya lekas naik ke atas panggung. Karena waktu memang sudah berjalan. Band pertama yang seharusnya menjadi pembuka tak datang. Otomatis, band yang memang sudah siap stand by harus tampil lebih dulu. JHN harus secepatnya tampil agar waktu tidak terbuang sia-sia. Sudah keluar dari konsep jadwal. Dan JHN menjadi band pembuka pada perayaan ulang tahun satu-satunya mall di Kalsel pada waktu itu. 154 | Ananda Rumi
Andra, Oliel, Ezha, Arul, dan Kevin mengambil tempat. Sejumlah peralatan dipersiapkan. Juice Heart Noise Check Sound. Mereka membuka hiburan tersebut dengan lagu „Masih Ada Mimpi‟ dilanjutkan dengan lagu „Tak Peduli Lagi‟. Seperti perasaan Alanis sekarang, yang sudah tak peduli dengan perasaan masa lalu bersama Si Vokalis, Oliel. Andra turun dari panggung. Dua lagu sudah. Penonton bertepuk tangan. Yang lain sumringah. Oliel, Ezha, Arul, dan Kevin meminta Andra untuk berfoto bersama sebelum ia buru-buru keluar dari mall. Andra memang begitu, selalu terburu-buru dan mengaku selalu saja ada kesibukan yang harus diselesaikan. Oliel meminta Alanis untuk memotret mereka dengan kamera yang selalu setia dibawa Andra kemana-mana. Tombol rana ditekan. Satu klik dari jari Alanis. Foto mereka pun abadi. Namun tak seabadi keberadaan Andra dalam formasi.
Kebisingan Hati
| 155
Beberpa single JHN menyebar di sejumlah radio lokal. Sampai mereka pun diminta untuk talkshow. Sayang hanya Andra yang tak bisa menghadiri momentum penting tersebut. JHN juga mulai sering mengahadiri undangan bintang tamu dalam beberapa acara ulang tahun sekolah juga parade-parade di Taman Van Der Pijl Kota Banjarbaru. Ketiadaan Andra dalam undangan-undangan tersebut membuat Oliel dan kawan-kawan semakin cemas. Kecemasan akan Andra yang bisa saja hengkang dari JHN. Dan kali ini, JHN harus menghibur sejumlah penggemarnya di Lapangan Van Der Pijl. Beberapa menit lagi. “Kau sudah di mana, Ndra!” “Di Banjarmasin. Baru mau liputan!” “Kau ini bagaimana. CEPAT!!!” Andra lebih dulu menutup telepon. Dalam hatinya, ia sudah terlalu tertekan dengan perintah Oliel. Pekerjaannya terlalu banyak memakan waktu. Ia tak punya waktu lagi untuk bersama-sama dengan JHN. Andra memang berpikir untuk keluar dari peliknya situasi sementara. Sampai waktu yang menjawabnya. Senada dengan pikiran Andra, Oliel mencemaskan Andra yang semakin keras kepala menomorsatukan pekerjaan. JHN terabaikan, tak ada yang bisa 156 | Ananda Rumi
menggantikan permainan Andra dalam batang tubuh JHN, batinnya. Hingga dering sms membuyarkan kecemasan hatinya. Dari Andra.
Sudah. Aku keluar dari JHN. Kalian carilah dulu pemain bass baru untuk mengisi kekosonganku. Aku tak bisa menentukan sampai kapan. Teruslah tampil. Bye!
terjadi!” Ezha.
“Benar apa yang kucemaskan. Musibah ini memang “Kenapa, Liel? Andra sudah sampai mana?” Tanya “Ia tak bisa datang. Ia cabut dari JHN!” “What?... hei, kau sendang bercanda, bukan!” “Aku serius. Aaaaakhhhhhhh!!!” Oliel memegang kedua kepalanya. Sangat kecewa dengan keputusan Andra. Tapi itu adalah hak. Ia tak bisa melarang. Oliel memegang wajahnya. Jengkel. Mimik wajahnya menggambarkan perasaan hancur saat seperti ini. JHN akan sangat memalukan jika gagal untuk tampil. Ia memegang kepalanya lagi, dengan kedua tangannya.
Berpikir… berpikir… berpikir…!
“Kita harus bagaimana?” kata Kevin. “Apakah dibatalkan saja?” sahut Arul. “Sebentar lagi JHN dipanggil. Itu MC udah beri kode ke kita!” tambah Ezha. Oliel masih berpikir keras. Semua pertanyaan ditumpuk padanya. Ia bingung harus menjawab dengan cara bagaimana lagi. Ia sudah kehabisan kalimat. Ia terus
berpikir… berpikir…. Dan terus berpikir.
Kebisingan Hati
| 157
Suara MC dari sound system menggema. “Oke, Guys! Setelah band yang satu ini. Kita akan menampilkan bintang tamu kita… Juice… Heart… Noise! Diharap untuk bersiap-siap di samping panggung!” Sudah layakanya suara petir yang merobek hati Oliel. Dan personil yang lain hanya melihatnya, menunggu keputusan darinya. “Oke… oke… oke. Sudah! Cukup! Ezha, Arul, Kevin, kau hubungi siapa saja yang kalian kenal. Siapa saja yang sekarang bisa berrmain bass dadakan… Rizal, Danu, Yoyo, Hary, Sandi, Chandra, Hasan, Ableh, Yoga, Zian atau siapa sajalah… Suruh ia datang ke sini secepatnya. Walau tak ada bass pribadi pakai saja bass yang sudah disediakan panitia. Aku akan melakukan hal yang sama. Sudah tak ada waktu. Cepat!” Dengan terburu-buru semuanya merogoh kantong dan tas masing-masing mengambil handphone. Pemandangan yang tak akan terjadi setiap hari. Terkadang dua dan tiga di antaranya mereka menghubungi kontak yang sama. Jalur sibuk. Ada yang menelpon di bawah pohon, di lahan parkir, dekat mobil, ada yang mendekat ke tenda panitia, semua mengambil posisi masing-masing untuk memohon para sahabat yang mendadak bisa mengisi posisi bass untuk sementara. Satu orang telah tiba, Danu. Si Kurus kerempeng tersebut datang tergopoh-gopoh dengan penampilan seadanya. Oliel menilai, penampilannya sangat tidak meyakinkan. Tapi sudah tak ada waktu untuk menilai penampilan. Keadaan sedang darurat. Mereka stand by di samping panggung. Lagu habis. Kelimanya naik dan Check Sound. JHN perform. Si 158 | Ananda Rumi
pemain bass terlihat kewalahan mengejar lagu-lagu. Mendekati Ezha untuk meyakinkan kord gitar yang dimainkan betul adanya. Lagu-lagu terasa hambar. Tanpa loncatan dan lonjakan nada pasti di sana. Oliel berusaha tetap tampil prima. Begitu juga yang lainnya. JHN, sebelah sayapnya sedang patah. Dengan lesu kelimanya turun panggung. Entah apakah mereka berempat bisa bertahan. Dengan seorang additional bass player. Atau JHN akan mencari pengganti Andra seutuhnya. Oliel belum memikirkannya sampai ke sana. Langit sedang gelap. Mungkin hujan segera membasahi bumi. Sebelum hujan turun, hati Oliel sudah basah. Andra menghilang.
Kebisingan Hati
| 159
Mereka hanya bisa pasrah. Entahlah, apakah dalam waktu cepat sudah ada yang menggantikan Andra. Atau membiarkan JHN dengan empat orang personil saja. Ditambah seorang bassis, additional player lagi. Oliel gamang. Beberapa jadwal manggung masih keteteran dan belum ter-manage dengan baik. Sedangkan posisi bass belum ada yang mengisi. “Sekarang giliran siapa yang bisa mencari pemain bass yang cukup liar. Mungkin tak bisa seperti Andra. Namun setidaknya, bisa memberikan warnab baru bagi JHN!” Keempatnya saling bertatapan di halaman depan rumah Kevin saat Oliel menanyakan perihal itu. “Ezha?” tak ada jawaban. Menggeleng. Tak ada satu nama terbesit dalam pikirannya. Referensi pemain bass dalam lingkungan pergaulannya sangat sedikit sekali. Sulit mencari yang sudah mumpuni menerima genre JHN dan loyal dalam bermusik saat sekarang ini. Tentu saja JHN tak ingin mendapati pemain bass yang harus diberi pengarahan dari awal lagi. Memulai dari nol lagi, itu sangat tidak mungkin. Akan sangat memakan waktu dan menghambat kembang tumbuh JHN. “Arul?” Gelengan yang sama. Meski sebenarnya Arul pun bermain dengan band di kampusnya. Iya tak punya rekomendasi teman yang cocok untuk bisa bermain dengan JHN.
160 | Ananda Rumi
“Akan aku usahakan. Aku akan mengontak teman lama!” Sahut Kevin.
Selalu ada jalan keluar. Setidaknya di masa genting ini mereka bisa tenang. Oliel tak ingin mengambil pusing tetek-bengek persoalan dalam membongkar pasang personil di batang tubuh JHN. Tuhan punya alasan atas semua yang terjadi.
Egois Sesuka kau hidupku, kau anggap ku boneka, Semua yang kau mau, tak bisa kemana-mana, Telah kau ucap itu, sadarku melepasnya, Bebaskan bebanku, hilang sudah semua langkah Selamat tinggal kekasihku, kau tak pantas untukku. Selamatlah sudah hidupku, lepas dari belenggumu, janganlah kali ini, kau memintaku kembali sudahlah jangan lagi, kau membuang waktuku kau tak mungkin bisa, kau untuk merubahnya, kau tak mungkin bisa, menjadi yang kupinta. “Rencananya lagu ini akan kita rilis selesai konser kemarin di Taman Van Der Pijl. Namun. Ya, kita tetap harus menunggu satu orang pengganti Andra untuk take bass!” kata Oliel menyerahkan lirik lagu itu kepada Ezha.
Kebisingan Hati
| 161
“Kita rekaman saja dulu. Menunggu kabar dari Kevin. Kalau memang ia sudah bisa menjamin. Kita rekaman secepatnya!”
Kevin mengajak Reza bergabung dalam JHN sebagai pemain bass. Penampilannya bak Dochy bassist-nya Pee Wee Gaskins. Ia juga bertato. Sesekali berpenampilan dengan kawat gigi. Oliel dan Ezha awalnya ragu apakah akan ada chemistry bermusik di antara mereka. Namun perlahan mereka pun berajalan dalam visi yang sama. Lagu Egois rampung dalam proses recording. Penggambaran seorang perasaan yang terkekang aturan oleh pasangan. Dikemas cukup apik dan sangat energik. Di balik layar JHN yang terus produktif, Andra setia mengawasinya dari balik meja komputer. Tentu saja dengan jaringan internet. Hampir setiap hari, perkembangan JHN tak pernah lepas dari pengawasannya. Meski hal tersebut tak pernah diketahui Oliel dan kawan-kawan. Dan satu lagu lagi pasca Andra keluar dari JHN: Musnahkan dan Lupakan.
Kucoba tuk lupakan semua Kisah bersama tawa bahagia Kini waktu merubah sgalanya Bertahan pun tak ada gunanya Telah jauh kini kumelangkah Membawa sisa kenangan terindah 162 | Ananda Rumi
Teringat semua hal yang bisa Membuat harapan seakan nyata Akan kulupakan, buang semua kenangan yang ada Dan kan kumusnahkan, takkan kembali padamu lagi Saat sekarang, dua tahun setelah itu, entah mengapa, justru band-band beraliran power pop semakin menjamur di belantika musik Indonesia. Andra sempat heran. Meski begitu ia mulai melelehkan idealisnya dalam bermusik. Kali ini, cukup mendengarkan saja dan mengamati dari sudut pandang lebih luas. Lantas menertawakan dirinya sendiri. Andra tak ingin lagi mengotak-ngotakkan ketertarikannya dengan musik. Ia mendengarkan dan mengamati jenis musik apa saja. Ia bermain dan menikmati jenis musik apa pun. Semakin lama, Andra menilai perkembangan JHN semakin kreatif tanpa keterlibatannya. Mereka menyikapi setiap individu dengan persahabatan melalui indikator yang tak bisa dijamah oleh orang lain yang tak seimbang. Tentang progresi musik, yang kian tahun tentu semakin cepat berkembang, Juice Heart Noise mengepakkan sayapnya ke era digital dalam dunia maya. JHN punya halaman penggemar sendiri dan situs pribadi yang memuat profil dan lagu-lagunya. Lagu-lagu mereka hits di beberapa komunitas dan radio yang sangat gemar dengan genre power pop. Beberapa video yang sudah mereka unggah ke YouTube ditonton kalangan mereka sendiri. Meski tidak mengadaptasi secara blak-blakan, paling tidak musik mereka bisa diterima oleh berbagai Kebisingan Hati
| 163
kalangan tertentu. Yang penting: Ada! Juice Heart Noise adalah kombinasi dari berbagai perkembangan teknoligi root, loop, sythesizer dan melody gitar ringan. Mereka memodifikasi agar tetap unik dan menarik. “Kupikir, kita mengusung power pop yang ringan saja. Tak terlalu berat, kan? Ada beberpa melodi yang cukup nyaman untuk dinikmati!” “Mungkin hal ini juga yang menjadi alasan Andra berhenti. Ia tak bisa lagi Walking in the line bass. Tak cocok, nyet!” “Jangan berprasangka buruk dulu. Ia, kan sudah bilang berhenti karena alasan waktu. Bukan yang lain! Tenang saja. Percayakan padanya. Kita tak pernah tahu jika nantinya Andra akan kembali ke JHN. Kita lihat saja perjalanan JHN, sampai di mana batas kekuatannya!” Oliel mengiyakan saja pendapat Ezha.
164 | Ananda Rumi
Di tempat lain, di kamar barunya, Verda semakin melemah lembut. Sedikit ada rasa penyesalan dalam hatinya. Namun tetap saja, ia tak dapat melupakan Andra dan Erland begitu saja. Dalam frekuensi radio yang sering ia dengar, Verda mendengarkan lagu yang diputar oleh VJ. Lagu-lagu terbaru dari JHN. “Tak Peduli Lagi”, “Masih Ada Mimpi”, “Egois”, dan terakhir “Musnahkah dan Lupakan”. Verda menyukai band baru ini. Verda merasa, lirik-lirik dari lagi JHN diperuntukkan untuk dirinya. Sangat mewakili perasaannya. Meski terkadang ia ragu. Entah kapan, Ia ingin sekali menonton langsung aksi panggung mereka. Kelak suatu saat, keinginannya akan tercapai. Sembari memeluk guling dan boneka Tedy Bear di atas kasur. Verda berulang-ulang kali memutar lagu yang sama. Verda mencari tahun tentang Juice Heart Noise. Sejumlah lagu-lagu mereka didapatkan Verda di web http://www.reverbnation.com/juiceheartnoise. Verda penasaran, lalu membuka profil para personilnya. Oliel, Ezha, Arul, Kevin, dan Reza. Tak ada Andra di sana. Meski ia cukup akrab dengan sang gitaris, Ezha. Semua orang bisa saja merasakan hal yang sama. Tapi Verda, menjadi penggemar rahasia bagi Juice Heart Noise. Frekuensi radio kini tak seindah musiknya lagi. Verda tak mau bertahan dalam ketidaknyamanan. ProsesKebisingan Hati
| 165
proses tersebut justru memaksanya untuk menuju pendewasaan yang benar-benar. Verda, menempelkan kertas-kertas di dinding kamarnya. Tentang komitmen, tentang rindu, perasaan, bahkan puisi-puisi yang tentu saja ia tulis dengan perasaan yang lembut. Sedikit demi sedikit, Verda seolah menjadi pujangga. Verda membuang kebiasaannya dalam dunia drugs. Meski sangat berat. Ia memperbanyak pergaulan. Membiasakan menulis kesehariannya dalam diary.
Paris, aku ingin sekali ke Paris. Entah mengapa, kota dengan menara pencakar langitnya itu begitu menyihirku. Apa saja yang berhubungan dengan Paris membuatku skeptis. Dan apa saja ketika Paris disebut aku terobsesi. Film, lagu, Hollywood atau Bollywood bersetting Paris. Aku membaca tentang Paris. Verda mencari tahu semua tentang Paris. Ia ingin pergi dari kehidupan yang membuat jiwanya gamang akan pilihan. Perlahan ia mulai membaca dan mencari tahu sejarah kotanya. Hingga manusia-manusia yang menggunakan namanya. Paris. Sampai aku betul-betul
bertemu dengan seorang pria penuh kharisma dengan namanya, Paris.
Gara-gara kecintaan yang sama terhadap kucing, pertemuan Andra dengan Elysia di kontes kucing nantinya menjadi begitu istimewa. Sebelumnya, Andra terheran sendiri saat ada kucing yang bebas berlalu-lalang bermainmain di lobi kantor hingga ruangan redaksi. Andra tertarik 166 | Ananda Rumi
dengan Mochi, yang namanya ia ketahui setelah menggendong makhluk berbulu lembut itu. Nama yang terukir jelas di kalung yang berwarna hijau muda. Ternyata
kantor ini tak mengatur perihal binatang. Bebas saja membawa hewan peliharaan, syukurlah, batinnya. Andra membawa kucing itu keluar kantor untuk sekadar melihatnya bermain-main di halaman rumput.
Aksi Mochi membuat Elysia kalang kabut. Ia tak mendapati Mochi dalam ruang redaksi. Begitu juga di lobi. Sudah juga bertanya ke setiap wartawan, karyawan, dan office boy yang stand by di kantor, namun tak ada yang mengetahui kemana Mochi pergi. Sampai akhirnya Elysia mencari-cari keluar kantor sendiri, dan mendapati Andra mengusap-usap Mochi di sudut sana. “Maaf. Ini kucing, saya. Jadi merepotkan!” “Oh. Iya, nggak apa-apa kok. Seharusnya saya yang minta maaf. Sengaja saya bawa keluar untuk bermain-main di rumput. Di dalam, kan, dingin banget! Kasihan ia kedinginan!” “Andra, kan?” “Iya. Siapa, ya!” “Aku Elysia. Aku di bagian keuangan. Kau jarang sekali masuk ke ruangan redaksi. Jadinya kita tak pernah bertatap muka sama sekali!” “Oh!” “Kulihat dari data, kau yang paling banyak mendapatkan bonus atas tunjangan prestasimu. Kinerjamu sangat diperhitungkan oleh perusahaan!” Kebisingan Hati
| 167
“Benar begitu?” Elysia mengangguk sambil mengelus-ngelus tekuk leher Mochi yang ada dalam pangkuannya. Berawal dari perbincangan itu. Komunikasi mereka semakin intens. Tapi Alanis tak tahu, di waktu-waktu ke depan, Andra mulai keseringan mengajak Elysia makan malam di tempat favoritnya. Alasannya, hanya untuk mengobrol. Lelaki memang selalu punya banyak cara untuk bercerita dan melakukan pendekatan kepada wanita yang disuka. Kita lihat saja.
Pagi sekali Alanis tiba meja kerjanya. Di sudut meja ia dikejutkan sebuah undangan yang sangat mencolok terbungkus dengan pita berwarna merah muda bergambar tokoh kucing Hello Kitty. “Undangan? Kontes kecantikan Huuuuh… Aku benci ini. Pemborosan!”
kucing?
“Apa katamu, Lan? Kontes kecantikan kucing!” Elysia menghentikan ketikannya di keyboard langsung menatap Alanis. “Yup. Nih, kau mau lihat!” “Lempar ke sini!” Alanis melemparkan undangan tersebut ke meja di seberangnya, tempat Elysia melakukan laporan-laporan keuangan perusahaan. Tiap kalimat penjelasan dalam undangan itu ia baca dengan seksama. Perlahan tergurat senyuman kecil di bibir Elysia yang manis. 168 | Ananda Rumi
“Oh, Ini sih, undangan peliputan. Kau sudah beritahu Andra untuk meliputnya?” “Belum!” itu!”
“Ya sudah. Biar aku saja yang datang ke tempat Elysia pergi ke luar kantor. Ia menelepon Andra untuk memberitahu perihal dalam undangan itu. Andra merespon dan berjanji bertemu di tempat yang tertera dalam undangan tersebut. Elysia tak pernah tahu jika keterlibatannya dengan Andra justru menjadi awal cerita, hingga menemui pasangan hidupnya kelak. Hanya gara-gara kucing. []
Kebisingan Hati
| 169
Andra melabuhkan separuh hidupnya dalam larutan kopi hitam favorit, di satu kedai Mingguraya. Dalam diam ia membuat percakapan sendiri dalam kepala. Apa yang akan dilakukannya nanti jika terus saja mengabdi pada pekerjaan yang ternyata memang bukan passion-nya dalam media bisnis dan bukan harian layaknya koran. Andra mulai muak dengan fakta dan angka yang selalu saja digadang-gadangkan. Omset… oplah… omset… oplah…
bla-… bla… bla…!!!
Satu pemikiran akan membuatnya kembali gamang. Andra berniat mengundurkan diri dari pekerjaanya di Super Buy Magazine. Ia ingin serius menjadi penulis lepas. Freelance. Dan melanjutkan kuliahnya yang sempat keteteran. Ia ingin menulis tentang fiksi saja. Ya fiksi! Mungkin Andra akan fokus di bidang itu. Bekerja tanpa keterikatan ternyata lebih menyenangkan. Andra mengaduk lagi kopi yang ada di hadapan. Melamunkan kehidupannya yang teraduk dalam secangkir pengalaman. Di Mingguraya, Andra mendapati berbagai kalangan berkumpul. Tak peduli malam sedang mencubit kulit. Tempat ini memang seolah-olah menjadi detak jantung Kota Banjarbaru yang perlahan menjadi metropolitan. Mereka yang berkumpul biasanya membicarakan hal-hal yang paling ringan, sampai hal terberat seputar pemerintahan. Andra menemukan berbagai macam jenis musik yang digemari di sini. Berbagai macam jenis lirik yang disukai, berbagai macam jenis puisi yang 170 | Ananda Rumi
dilakoni, berbagai macan jenis tulisan yang dikomentari, berbagai macam paham, berbagai macam agama, dan berbagai macam kebangsaan dengan tradisi adatnya masingmasing. Bagi Andra, Banjarbaru sangat hedonism dibandingkan Jakarta. Saat di sini, Andra merasa semua para penghuninya bersatu dan meninggalkan keberbedaan. Dan Mingguraya, bukan lah seperti kerajaan. Tetapi seperti tempat berkumpulnya beberapa kerajaan-kerjaan yang berbeda untuk membicarakan kolaborasi dalam berkarya. Dan Andra memunyai kerajaannya sendiri, Purnama Kingdom. Ingin rasanya lagi Andra mendatangi sejumlah sahabatnya untuk sekadar bercengkrama dan berkumpul. Sebagaimana yang dilakukan orang-orang di sekelilingnya. Sayang, ia tak memunyai banyak kenalan di tempat ini. Terbesit keinginannya untuk kembali terlibat dalam project JHN beberapa waktu ke depan. Andra mengambil lagi handphone-nya. Mencari beberapa kontak di sana. Namun beberapa kontak yang ia cari telah hilang. Jalan satusatunya adalah menghubungi para sahabatnya itu melalui dunia maya. Andra, sudah lama sekali tak bermusik. Ia merindukan masa-masa kejayaannya yang kini telah hilang direnggut putaran waktu nan pelik. Dan, ia seperti sadar akan sumpahnya dulu. Andra tak bisa bertahan dengan band yang lain. Dan tak pernah lagi ia konsisten bermain musik kecuali dengan JHN. Di balik layar monitornya, Andra membuka lagi kenangan bersama JHN yang tercecer. Dalam mesin pencarian, Andra mengetikkan kalimat „Juice Heart Noise‟. Masih ada beberapa lagu lagi yang perlu Andra cari tahu Kebisingan Hati
| 171
proses penciptaannya, yang tanpa keterlibatannya. Dalam halaman tersebut, Andra mendapati lagu-lagu baru yang dirilis JHN. “Di Balik Senyuman”, “Dunia Vs Aku”, “Egois”, Lupakan dan Musnahkan”, Vanilla On My Heart”, dan “Waktu Yang Hilang”. Andra tak menemukan lagu “Semangat”, “Tak Peduli Lagi”, dan “Masih Ada Mimpi”, di sana. Mungkin sengaja dihilangkan atau sengaja untuk dilupakan. Andra merasa terbuang. Lagu itu hilang bersama dirinya yang kini tak lagi bersama JHN. Entah apakah nantinya Andra akan menceritakan kembali tentang mereka. Andra menunggu waktu.
Verda, memutuskan untuk mudik. Pulang ke kampung halaman hingga beberapa pekan. Meski demikian, ia harus singgah dulu di pelabuhan Tanjung perak di Surabaya. Lalu melanjutkan perjalanan darat ke Yogyakarta, ke rumah neneknya, ibu dari Ayahnya. Verda memang sengaja tak memilih terbang menggunakan pesawat, melainkan dengan kapal laut. Sabtu depan, Kapal Motor Kumala akan bersandar di Pelabuhan Bandar Masih Banjarmasin. Di kapal, Verda tak hanya menjadi penumpang dan bertemu dengan banyak orang, tetapi ia juga bisa langsung melepas rindu dengan Ayahnya, Dodi Tri Pamenang, Si Nahkoda. Inilah yang menjadi alasannya untuk memilih jalur laut ketimbang pesawat terbang. Alanis, berhenti dari pekerjaannya sebagai sekretaris di Super Buy Magazine. Ia masuk kelas pramugari. Alanis ingin menggapai cita-cita masa kecilnya dulu dan saat ini sedang berproses. Entahlah, hanya waktu 172 | Ananda Rumi
yang bisa menjawab prasangka dan pertanyaan. Apakah ia akan benar-benar menjadi seorang pramugari di masa mendatang. Ezha, enam bulan terakhir sangat jarang terlihat di Kota Banjarbaru. Tak terlihat bergaul dengan kawankawannya dalam bermusik. Kabar terkahir yang diketahui, Ezha masuk pesantren di Pondok Pesantren Darusaalam Martapura. Foto di akun facebook-nya pun sudah diganti. Dengan baju gamis panjang dan menamainya dengan sebutan: Pejuang Subuh. Pernah beberapa kali Andra mencoba mengajaknya untuk bermain musik lagi. Namun Ezha menolaknya dengan halus. Ia saat ini lebih memilih membaca shalawat Burdah dan menggelar maulid Nabi di rumah. Andra baru menyadari hal-hal dulu yang memang sudah akrab dengan lingkungan kampungnya di Pasayangan, kini ada dalam pribadi Ezha. Dari foto dan status-status Ezha di jejaring sosial, Andra merasa Ezha seperti ingin menyusul jejak para anak-anak di komplek rumahnya dulu. Yang berlari-larian menenteng kitab kecil. Yang sudah hafal kitab Shalawat Burdah sejak masih kecil. Ezha seolah telah mendapati hidayah. Tapi kita tak pernah tahu bagaimana selanjutnya. Erland, kehidupan dalam penjara bukanlah perihal mudah. Kau tahu itu. Kelak dari balik tirai besi itu, ia mendapatkan makna arti hidup sesungguhnya. Meski hanya sekadar duduk di depan televise saja, itu akan sangat berarti, ketimbang di balik jeruji besi. Erland menghabiskan masa tahanannya dengan menulis seraya membantu sipir dalam membuatkan aplikasi/software database penjara. []
Kebisingan Hati
| 173
Epilog Andra menegakkan sandaran dan membuka jendela
browser di layar laptop. Mengangkat Naochi yang sedari
tadi tidur di atas paha dan memindahkannya ke tempat lain. Lagi, Andra mengetikkan kalimat: Juice Heart Noise di mesin pencarian untuk ke sekian kalinya. Padahal ia sudah terlalu sering melakukan hal yang sama. Lampu menyala. Listrik sudah tak lagi padam. Andra mendapati sebuah ide untuk romannya kali ini. Aku akan menuliskan
tentang kalian, tentang kehidupan, tentang musik, tentang cinta dan persahabatan kita.
Andra mulai mengetik di layar putih. Kalimat dari segala kalimat. Melihat lagi halaman-halaman tentang band yang pernah digawanginya dulu bersama para sahabat. Dalam akun facebook sang vokalis, Andra membaca sebuah catatan.
Aku menulis lagu untuk berterima kasih kepada mereka. Para penggemar. Sahabat yang pernah terlibat dalam kehidupanku. Aku ingin keajaiban selalu terjadi. Dan keajaiban memang benar-benar terjadi. Aku tak pernah menyangka kita bisa bertahan sejauh ini. Aku ikhlas menerima semua yang telah kutinggalkan demi musik. Dan itu akan terus menjadi pelajaran dalam kehidupan kita selanjutnya Ini bukan lagi soal skill, kawan. Ini bukan soal kehebatan, ini bukan soal kebanggaan. Tapi tentang rasa, tentang persaudaraan, tentang kesenangan, dan tentang mimpi yang selalu kita impikan. Tentang kita melawan dunia. 174 | Ananda Rumi
Andra memulai tulisannya…
Ini permulaan cerita. Jika saat ini kau mencari tentangku, mungkin tak ada dalam catatan Juice Heart Noise. Namun, kehadiran mereka selalu ada dalam catatan hidupku. []
Kebisingan Hati
| 175
Ananda Rumi, jurnalis multi talenta. Selain penulis novel, ia juga terdaftar sebagai anak band dan fotographer. Dengan nama lahir Ananda Perdana Anwar pada 6 Juni 1989 di Kota Pelaihari, Kab Tanah Laut, Kalimantan Selatan. Mahasiswa Sekolah Tinggi Agama Islam (STAI) Darussalam Martapura ini juga berteater di Sanggar ArRumi STAID Martapura. Sempat juga menuntut ilmu menjadi santri di Pondok Pesantren Darussalam (2003-2010).
Novel debutnya yang berjudul “Kasyaf” menjadi juara unggulan pada Lomba Novel Aruh Sastra Kalimantan Selatan ke-10 di Kota Banjarbaru. Novel “Kebisingan Hati” merupakan
episode pertama dari Tetralogi Kebisingan hati. Ananda Rumi bisa dihubungi melalui Email:
[email protected],
[email protected]. facebook: AnandaRumi. Twitter: @anandarumi. Blog: hirangputihhabang.wordpress.com. anandarumidalamcerita.wordpress.com
Untuk informasi follow juga twitter penerbit: @onoffsolutindo dan @KebisinganHati
176 | Ananda Rumi
Segera terbit…
Kebisingan Hati
| 177