Kebijakan Turki Menolak Resolusi 1929 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa Terkait Nuklir Iran (2010) Diajukan Untuk Memenuhi Persyaratan Memperoleh Gelar Sarjana Sosial (S.Sos)
Oleh:
Agus Salim (109083000066) PROGRAM STUDI HUBUNGAN INTERNASIONAL FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SYARIF HIDAYATULLAH JAKARTA 1436 H/2015 M
PERSETUJUAN PEMBIMBING SKRIPSI
Dengan
ini, Pembimbing Skripsi menyatakan bahwa mahasiswa:
Nama
: Agus Salim
NIM
: 109083000066
Program Studi : Hubungan Internasional
Telah menyelesaikan penulisan skripsi dengan judul:
Kebijakan Turki Menolak Resolusi 1929 Dewan
Keamanan
Perserikatan Bangsa-Bangsa Terkait Nuklir Iran (2010) Dan telah memenuhi persyaratan untuk diuji.
Jakarta,6 Juli 2015
Mengetahui,
Menyetujui,
Ketua Program Studi
Pembimbi
/,_J
Badrus Sholeh, S.AG. MA NIP. 1 972021 I 1999031002
an Firnas. M.Si.
ilt
PANITIA UJIAN
PENGESAHAN
SKRIPSI
SKRIPSI
KEBIJAKAN TURKI MENOLAK RESOLUSI 1929 DEWAN KEAMANAN PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA TERKAIT NUKLIR IRAN (2010) oleh Agus Salim 1 09083000066
telah dipertahankan dalam sidang ujian skripsi di Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta pada tanggal29 Juru 2015. Skrpsi ini.telah diterima sebagai salah satu syarat memperoleh gelar sarjana sosial (S.Sos) pada Program Studi Hubungan Internasional. Ketua,
Sekertaris,
/'\--L'
Badrus Sholeh" S.AG. MA NrP. 1 97202t I t99903 1002 Penguji I,
NIP. 1 980 1 t292009122002
Ketua Program Studr Hubungan Internasional
/-* /
Badrus Sholeh, S.AG. MA NIP. 1 97202rrt99903 t002
IV
ABSTRAKSI
Skripsi ini membahas tentang alasan yang menyebabkan Turki menolak Resolusi 1929 yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa (DK PBB) pada tahun 2010 yang berisi penambahan sanksi terhadap Iran. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan Turki mengambil keputusan tersebut. Metode yang digunakan dalam skripsi ini berupa metode kualitatif yang bersifat deskriptif dengan teknik telaah dokumen. Jadi data yang digunakan dalam skripsi ini berupa data yang berasal dari buku, dokumen, artikel, internet, berita, karya tulis ilmiah, serta jurnal ilmiah yang berhubungan dengan permasalahan yang sedang dibahas dalam skripsi ini. Kerangka teori yang digunakan dalam skripsi ini adalah teori kepentingan nasional dan teori kebijakan luar negeri. Kepentingan nasional merupakan landasan utama setiap negara dalam mengambil suatu keputusan. Oleh karena itu apabila ingin mengetahui alasan suatu negara mengambil suatu keputusan, kita bisa melihat kepentingan nasional yang ingin dicapai negara tersebut. Sementara analisa kebijakan luar negeri merupakan hal yang penting untuk diteliti ketika ingin mengetahui motif dari suatu tindakan serta keputusan yang diambil oleh suatu negara. Dari hasil analisis yang dilakukan dalam skripsi ini ditemukan 4 faktor yang menyebabkan Turki menolak resolusi 1929 yang dikeluarkan oleh DK PBB terkait nuklir Iran pada 2010. Pertama adalah kebijakan luar negeri zero problem policy yang diterapkan oleh Turki sejak partai Adelet ve Kalkinma Partisi(AKP) menjabat. Kedua karena adanya kerjasama nucluear fuel swap yang dilakukan oleh Iran, Turki, dan Brazil sebagai salah satu solusi damai dalam upaya menyelesaikan permasalahan nuklir Iran. Ketiga karena kebutuhan energi Turki yang besar dan peran Iran yang sangat besar dalam memenuhi kebutuhan energi Turki tersebut. Sedangkan yang keempat adalah karena kedekatan hubungan bilateral antara Turki dan Iran. Keempat hal itulah yang menjadi penyebab Turki menolak resolusi 1929 yang dikeluarkan oleh DK PBB pada tahun 2010 yang berisi penambahan sanksi terhadap Iran. Kata kunci: Turki, Iran, Kepentingan Nasional, Analisa Kebijakan Luar Negeri, Resolusi 1929
v
KATA PENGANTAR
Alhmadulillahirabbil’alamin merupakan kata pertama yang terucap setelah penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Tanpa nikmat sehat, nikmat kesempatan, serta berbagai nikmat yang telah diberikan-Nya penulis tidak mungkin bisa menyelesaikan skipsi ini. Maka ucapan segala puji dan syukur menjadi hal yang tak akan pernah berhenti penulis ucapkan kepada Allah SWT. Shalawat beserta salam juga semoga tetap tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW. Tanpa bantuan dari berbagai pihak, penulis sadar skripsi ini tidak akan mungkin dapat terselesaikan. Bantuan tersebut berupa bantuan langsung seperti saran maupun arahan, serta bantuan tidak langsung berupa dukungan, maupun do’a yang senantiasa terucap. Oleh karena itu, penulis ingin mengucapkan terimakasih yang tak terhingga kepada: 1. Bapak Adian Firnas selaku Pembimbing Skripsi. Terimakasih atas waktu, saran, nasehat, serta arahan hingga penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. 2. Seluruh Bapak dan Ibu Dosen Hubungan Internasional yang telah mengajarkan berbagai ilmu selama masa perkuliahan. 3. Kedua Orang Tua penulis yang tidak henti-hentinya memberikan do’a, motivasi, dukungan, serta dorongan sejak penulis pertama memasuki jenjang perkuliahan hingga bisa menyelesaikan skripsi ini. Bahkan sejak penulis pertama dilahirkan hingga saat ini, kedua Orang Tua selalu berkorban untuk memberikan yang terbaik bagi penulis. Dengan usaha apapun penulis yakin tidak akan mampu membalasnya. 4. Kepada sahabat seperjuangan, Hafiz yang selalu mengajak dan mendorong penulis dalam menyelesaikan skrispsi. Yudin yang telah memberikan masukan serta koreksinya yang sangat berharga. Robi, Deden, Helmi, Ardi, Wati, yang sesekali mengingatkan saat semangat mulai menurun. Serta teman-teman semua yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. 5. Kepada Reza Hanafitri yang selalu memberikan semangat saat halangan menghadang dan semangat mengendur. Yang selalu mengingatkan saat penulis terlalu sibuk dengan berbagai kegiatan. Terimakasih juga karena telah memberikan bantuan dalam berbagai hal, mengoreksi, memberikan masukan, bantuan materi, serta berbagai bantuan lainnya yang tidak bisa disebutkan satu persatu. 6. Keluarga Mahasiswa Islam Karawang (KMIK) Jakarta yang telah menjadi tempat penulis bernaung dan menghabiskan mayoritas waktu selama masa perkuliahan dan mengerjakan skripsi. Semoga ikatan kekeluargaan kita terus abadi. vi
7. Teman-teman jurusan Hubungan Internasional FISIP angkatan 2009 yang telah menjadi bagian berharga dari kehidupan penulis. Terimakasih juga atas masukan serta infromasinya selama penulis mengerjakan skripsi. 8. Seluruh pihak yang telah membantu dalam proses penyelesaian skripsi ini yang tidak bisa penulis sebutkan satu persatu. Terimakasih atas bantuannya, sekecil apapun itu. Semoga segala bantuan dan dukungan yang telah diberikan mendapat imbalanyang berlipat ganda dari Allah SWT. Terakhir, penulis mengaharapkan kritik serta saran yang konstruktif dari berbagai pihak terhadap skirpsi ini. Karena penulis menyadari, skripsi ini jauh dari kata sempurna. Meskipun begitu, penulis berharap skripsi ini dapat memberikan sedikit sumbangsih terhadap khazanah ilmu pengetahuan baik sebagai bahan referensi maupun sebagai bahan bacaan.
Jakarta, 15 Juni 2015
Agus Salim
vii
DAFTAR ISI PERNYATAAN BEBAS PLAGIARISME .......................................................
ii
PERSETUJUAN PEMBIMBING......................................................................
iii
PENGESAHAN PANITIA UJIAN SKRIPSI....................................................
iv
ABSTRAKSI .....................................................................................................
v
KATA PENGANTAR .......................................................................................
vi
DAFTAR ISI ......................................................................................................
viii
DAFTAR TABEL ..............................................................................................
xi
DAFTAR GRAFIK ............................................................................................
xii
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN .........................................................
xiii
DAFTAR LAMPIRAN ......................................................................................
xiv
BAB I
BAB II
PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah...............................................................
1
B. Pertanyaan Penelitian ............................................................
4
C. Tujuan dan Manfaat Penelitian ..............................................
4
D. Tinjauan Pustaka ...................................................................
5
E. Kerangka Teori ......................................................................
9
1. Kepentingan Nasional........................................................
10
2. Analisa Kebijakan Luar Negeri………………………….
12
F. Metode Penelitian ..................................................................
14
G. Sistematika Penelitian ...........................................................
16
DINAMIKA HUBUNGAN LUAR NEGERI TURKI DAN IRAN A. Hubungan Turki – Iran Sebelum Masa Pemerintahan AKP .
18
1. Hubungan Turki – Iran Sebelum Revolusi Islam Iran 1979 ...................................................................................
19
2. Hubungan Turki – Iran Setelah Revolusi Islam Iran 1979
19
a. Timbulnya Perbedaan Ideologi .....................................
20
C. Hubungan Turki – Iran Pada Masa Pemerintahan AKP........
24
viii
BAB III
PERKEMBANGAN NUKLIR IRAN DAN RESPON DUNIA INTERNASIONAL A. Perkembangan Nuklir Iran ...................................................
28
1. Sebelum Revolusi Islam Iran 1979 ................................
28
2. Setelah Revolusi Islam Iran 1979 ..................................
30
B. Respon Dunia Internasional Terhadap Perkembangan
BAB IV
Nuklir Iran ............................................................................
32
1. Terbentuknya EU3 dan P5+1 .........................................
33
2. Respon PBB Terhadap Program Nuklir Iran .................
37
C. Penolakan Turki Terhadap Resolusi 1929 DK PBB ............
41
ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TURKI MENOLAK RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB 1929 TERKAIT NUKLIR IRAN A. Kebijakan Luar Negeri Zero Problem PolicyPada Masa
BAB V
AKP ......................................................................................
44
B. Kerjasama Nuclear Fuel Swap ..............................................
48
C. Kebutuhan Energi Turki ........................................................
50
D. Kedekatan Hubungan Turki-Iran ..........................................
57
PENUTUP
Kesimpulan ........................................................................................................
60
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................
xv
LAMPIRAN .......................................................................................................
xxi
ix
DAFTAR TABEL
Tabel IV.D.1 Volume Perdagangan Turki – Iran Tahun 2000 – 2010 (USD).... 57
x
DAFTAR GRAFIK
Grafik IV.C.1
Produksi dan Konsumsi Energi Turki 2000-2010………… 51
Grafik IV.C.2
Negara Pengekspor Minyak Ke Turki1995-2010……….. 52
Grafik IV.C.3
Negara Pengekspor Gas Alam Ke Turki 2005-2010……… 54
xi
DAFTAR ISTILAH DAN SINGKATAN
AEOI AKP Btu CENTO DK PBB EU EU3 FP HEU IAEA INTC LEU MIT NCRI NIMS NPT P5+1 PBB PKK RCD RP TICA TNRC UF6 USD
Atomic Energy Organization of Iran Adelet ve Kalkinma Partisi British thermal unit Central Treaty Organization Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa European Union Inggris, Prancis, dan Jerman Fezilet Partisi High Enriched Uranium International Atomic Energy Agency Isfahan Nuclear Technology Center Low Enriched Uranium Massachusetts Institute of Technology National Council of Resistance of Iran Newly Independent Muslim States Non Proliferation Treaty Amerika Serikat, Inggris, China, Rusia, Prancis, dan Jerman Perserikatan Bangsa-Bangsa Partiya Karkerên Kurdistanê Regional Cooperation and Development Refah Partisi Turkish International Cooperation Agency Tehran Nuclear Research Center Uranium Hexafluoride Unite States Dollar
xii
DAFTAR LAMPIRAN Lampiran 1 Resolusi 1929………………………………………………
xxii
Lampiran 2 Perjanjian Nuclear Fuel Swap……………………………..
xxxix
xiii
BAB I PENDAHULUAN A. Pernyataan Masalah Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) mengeluarkan Resolusi 1929 pada tanggal 9 Juni 2010.Resolusi tersebut merupakan resolusi keenam yang dikeluarkan PBB untuk menekan Iran agar menghentikan program nuklirnya.Sebelumnya, PBB telah mengeluarkan Resolusi 1969 (2006), Resolusi 1737 (2006), Resolusi 1747 (2007), Resolusi 1803 (2008), dan Resolusi 1835 (2008). Resolusi 1929 menegaskan kembali tuntutan Dewan Keamanan PBB dari resolusi-resolusi yang telah dikeluarkan sebelumnya, bahwa Iran harus menghentikan semua kegiatan pengayaan uranium dan kegiatan lain yang berkaitan dengan pengembangan senjata nuklir (Davenpot 2012). Selain menegaskan untuk diberlakukannya sanksi-sanksi yang telah disebut di resolusi-resolusi sebelumnya, di Resolusi 1929 ini juga PBB menerapkan sanksi baru. Setelah Resolusi 1929 ini dikeluarkan, secara umum, sanksi yang diberikan kepada Iran adalah sebagai berikut: Iran dilarang untuk melakukan investasi teknologi nuklir dan rudal di luar negeri, termasuk didalamnya investasi tambang uranium. Memberlakukan embargo senjata secara penuh terhadap Iran, termasuk di dalamnya larangan menjual tank tempur, kendaraan tempur lapis baja, sistem artileri berkaliber besar, pesawat tempur, helikopter serang, kapal perang, serta rudal atau sistem rudal terhadap Iran. Bukan hanya larangan untuk menjual senjata yang disebutkan di dalam resolusi, tapi Resolusi 1929 juga mengharuskan
1
semua
negara
untuk
mencegah
hal-hal
yang
dapat
membantu
Iran
mengembangkan sistem persenjataan mereka, seperti memberikan pelatihan teknis, memberikan saran, ataupun memberikan bantuan keuangan serta layanan yang ditujukan untuk mengembangkan sistem persenjataan Iran yang disebutkan di Resolusi 1929 (Security Council 2010: 3-9). Resolusi 1929 juga menetapkan larangan bepergian dan pembekuan aset terhadap individu-individu dan entitas yang diduga terkait dengan pengembangan nuklir Iran.Individu dan entitas yang diduga terkait dengan pengembangan nuklir Iran tersebut dilampirkan dalam Resolusi 1929.Dalam resolusi ini juga diberlakukan pembatasan-pembatasan dalam kegiatan bisnis, terutama yang terkait dengan kegiatan ekspor-impor yang berpotensi membantu Iran dalam melakukan pengembangan senjata nuklirnya. Sektor Keuangan juga menjadi sorotan PBB dalam rangka mencegah Iran mengembangkan senjata nuklirnya, diantaranya melarang semua negara untuk melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan, baik berupa asuransi, atau transfer dari dan ke Iran apabila ada informasi bahwa hal itu dapat memberikan kontribusi terhadap pengembangan nuklir Iran. Selain itu, negara-negara di dunia juga dilarang untuk memberikan izin kepada bank-bank Iran membuka cabang ataupun unit usaha baru di Negara mereka. Begitu juga sebaliknya, bank-bank di dunia juga dilarang untuk membuka kantor perwakilan ataupun anak perusahaan di Iran (Security Council 2011:1-5). Secara keseluruhan di dalam Resolusi 1929 terdapat 38 paragraf yang harus dikenakan terhadap Iran.
2
Resolusi 1929 yang dikeluarkan Dewan Keamanan PBB tersebut disetujui oleh 12 negara anggota tetap dan tidak tetap DK PBB, satu negara abstain, dan dua negara menentang. Negara yang menyetujui resolusi tersebut antara lain Amerika Serikat, Tiongkok, Rusia, Inggris, Prancis, Austria, Bosnia dan Herzegovina, Jepang, Gabon, Nigeria, Uganda, serta Meksiko. Lebanon selaku anggota tidak tetap DK PBB memilih untuk abstain. Sedangkan Brazil dan Turki, yang juga sama-sama anggota Dewan Tidak Tetap DK PBB lebih memilih untuk menolak resolusi Tersebut (Security Council 2010). Ini merupakan rekor terbaru sejak Resolusi DK PBB terkait nuklir Iran dikeluarkan pada tahun 2006.Sebelumnya tidak pernah ada sekaligus dua negara yang menentang dalam sebuah resolusi yang dikeluarkan PBB terkait nuklir Iran. Qatar pernah menentang Resolusi 1696, yang merupakan resolusi pertama DK PBB terkait nuklir Iran pada Juli 2006 (Security Council 2006). Setelahnya tidak pernah lagi ada negara yang menentang. Barulah pada Resolusi 1929 yang dikeluarkan DK PBB pada 9 Juni 2010 terjadi penentangan oleh dua negara sekaligus, yaitu Turki dan Brazil. Penolakan yang dilakukan oleh Turki dan Brazil ini sebenarnya tidak berpengaruh terhadap diberlakukannya resolusi tersebut, karena jumlah yang mendukung jauh lebih banyak dari yang menolak, 12 negara yang mendukung, dan hanya dua negara yang menolak. Sementara sistem pengambilan keputusan di DK PBB mengharuskan setidaknya minimal sembilan negara yang setuju, dan di dalam sembilan negara tersebut harus termasuk semua negara anggota tetap DK PBB (Security Council). 3
Resolusi sebelumnya selalu diberlakukan dengan kemenangan mutlak oleh negara-negara yang mendukungnya. Penolakan baru terjadi sekali pada resolusi pertama tahun 2006 oleh Qatar, sementara resolusi-resolusi setelahnya tidak pernah ada yang menolak, hanya pada tahun 2008 saja Indonesia berada pada posisi Abstain(Security Council 2008). Apabila penyebab utamanya agar resolusi tersebut tidak diberlakukan, seharusnya Turki sudah bisa menyimpulkan kalau hal itu tidak mungkin terjadi.Pasti ada suatu dorongan yang lebih besar hingga menyebabkan Turki mengambil keputusan untuk menolak resolusi tersebut.Di sisilain, keputusan Turki ini juga berseberangan dengan Amerika Serikat yang merupakan sekutu dekatnya. Dari penjelasan di atas maka timbul pertanyaan apa sebenarnya faktorfaktor yang mendorong Turki mengambil keputusan tersebut? B. Pertanyaan Penelitian Berdasarkan perumusan masalah yang telah dijelaskan di atas, maka pertanyaan penelitian (research question) yang akan penulis ajukan adalah: Mengapa Turki menolak resolusi Dewan Keamanan Perserikatan BangsaBangsa 1929 terkait nuklir Iran? C. Tujuan dan Manfaat Penelitian Penelitian bertujuan untuk:
4
1. Menjelaskan faktor-faktor yang melatarbelakangi Turki mengambil keputusan menolak terhadap Resolusi DK PBB 1929 terkait nuklir Iran. 2. Secara akademis, penelitian ini bertujuan untuk mengaplikasikan teoriteori yang telah dipelajari kedalam sebuah tulisan karya ilmiah. Manfaat dari Penelitian ini adalah: 1. Dapat memberikan pengetahuan tentang bagaimana hubungan antara Turki dan Iran hingga menyebabkan Turki menolak resolusi DK PBB terkait sanksi yang akan diberikan terhadap Iran. 2. Dapat mengetahui faktor-faktor yang menyebabkan Turki mengambil keputusan menolak terhadap Resolusi DK PBB 1929 terkait nuklir Iran. D. Tinjauan Pustaka Penelitian mengenai sanksi terbaru terhadap Iran yang dikeluarkan Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) sebetulnya sudah cukup banyak, tapi penulis belum menemukan yang membahas secara spesifik dari sudut pandang Turki, atau bahkan yang membahas secara spesifik alasan kenapa Turki menolak sanksi yang diberkan terhadap Iran. Salah satunya adalah penelitian yang dilakukan oleh Reagan Thompson yangditerbitkan oleh Staford Journal Of International Relations dengan judulThe Effectiveness Of The Forth Round Of Sanction Against Iran. (Thompson, 2011), sanksi yang diberikan oleh dewan keamanan PBB melalui
Resolusi 1929
memang mengekang perekonomianIran, tapi hal itu tidak menyebabkan Iran menghentikan program nuklirnya sampai Russia, German, dan Tiongkok
5
membatasiperdagangannya dengan Iran, atau sampai negara-negara yang melakukan perdagangan minyak dengan Iran menghentikan kerjasamanya. Dalam artikel tersebut disebutkan secara sekilas bahwa alasan Turki menolak Resolusi 1929 DK PBB adalah karena Turki menganggap bahwa pendekatan lewatkerjasama dan damai merupakan pendekatan yang harus dilakukan dalam menyelesakan permasalahan nuklir Iran, karena pendekatan tersebut dinilai lebih efektif, bukan dengan pemberian sanksi yang dilakukan oleh dunia Internasional. (Thompson 2011:7-8) Sementara menurut Thompson (Thompson2011:11-13) pilihan langkah yang realistis dalam menyelesaikan permasalahan di Iran adalah memberikan sanksi terhadap negara tersebut, tapi sanksi yang telah berjalan dinilai kurang efefktif karena masih ada celah yang bisa dimanfaatkan.Sementara itu sanksi terhadap sektor minyak merupakan sanksi yang sangat efektif untuk membuat Iran lemah, tapi menurutnya sanksi tersebut tidak pantas untuk diterapkan. Sementara penelitian yang akan dilakukan oleh penulis lebih menekankan kepada sudut pandang Turki dalam menyikapi sanksi yang diberikan terhadap Iran, khususnya alasan Turki menolak sanksi yang diberikan terhadap Iran melalui Resolusi 1929 Dewan Keamanan Perserkatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Seperti sudah disebutkan di atas bahwa Turki berpendapat penyelesaian dengan jalan kerjasama dan melakukan kesepakatan dengan Iran merupakan cara terbaik dalam menyelesaikan permasalahan nuklir Iran, bukan dengan jalan memberi sanksi. Pembahasan ini nantinya akan diperdalam oleh penulis guna mengetahui alasan
6
rasional Turki serta langkah-langkah yang Turki ambil untuk merealisasikan hal tersebut, hingga pada akhirnya penulis dapat menarik kesimpulan alasan serta faktor-faktor kuat yang melatarbelakangi Turki menolak Resolusi 1929 DK PBB terkait pemberian sanksi Terhadap Iran. Penelitian lain yang pernah dilakukan yang terkait dengan tema yang akan ditulis adalah penelitian yang dilakukan oleh Philip C.Bleek dan Aaron Stein yang berjudul Turkey and America Face Iranyang diterbitkan oleh jurnal Survival vol 54, no. 2 edisi April-Mei 2012 (Bleek dan Stein 2012). Dalam penelitian tersebut Bleek dan Stein membahas mengenai cara serta sudut pandang kedua negara, yaitu Turki dan Amerika Serikat dalam menyikapi permasalahan nuklir Iran. Menururut Bleek dan Stein (2012:27-28) kedua negara memiliki pandangan yang berbeda tentang persoalan nuklir Iran. Amerika Serikat berpendapat bahwa Iran sedang mencoba untuk mengembangkan senjata nuklir, walaupun beberapa analis Amerika berpendapat belum ada bukti yang jelas kalau memang para pemimpin Iran sedang melakukan uji coba senjata nuklir, ataupun memiliki kemampuan untuk melakukan uji ledakan senjata nuklir bawah tanah. Sementara para pembuat kebijakan dan para analis Turki memiliki pendapat yang berbeda dengan Amerika Serikat, mereka berpendapat bahwa belum ada bukti serta alasan yang kuat kalau Iran akan memiliki kemampuan membangun senjata nuklir dalam waktu dekat. Dari perbedaan pandangan ini akhirnya sikap kedua negara memiliki pendapat yang berbeda tentang cara penyelesaian persoalan nuklir iran. Amerika Serikat berpendapat bahwa dengan memberikan sanki dan memperberat sanki yang telah ada sebelumnya dapat menyelesaikan persoalan ini. Pendapat berbeda 7
diberikan para pemimpin Turki, menurut mereka cara menyelesaikan persoalan nuklir Iran yang paling efektif adalah dengan membangun lingkungan yang kooperatif dan diplomatis dengan Iran, serta mempererat hubungan dan kerjasama ekonomi. Hal ini akan membuat Iran tertarik untuk bekerjasama dengan dunia internasional dalam penyelesaian persoalan nuklir di negaranya. (Bleek dan Stein, 2012:28) Sikap berbeda yang ditunjukan oleh Turki ini disebabkan oleh kepentingan Turki terhadap energi nuklir.Turki berusaha untuk menjaga dan mempertahankan akses terhadap teknologi nuklir sipil untuk memenuhi suplai kebutuhan energi negaranya yang terus mengalami peningkatan, serta untuk mengurangi ketergantungan Turki terhadap energi dari Asing. Turki khawatir dan waspada terhadap upaya Amerika Serikat untuk mempererat kontrol derhadap ekspor teknologi nuklir, dan sikap Amerika Serikat terhadap persoalan nuklir Iran yang terlalu berlebihan dikhawatirkan ke depannya dapat mengganggu akses Turki terhadap teknologi nuklir sipil (Bleek dan Stein, 2012:28) Karena adanya perbedaan tersebut maka Bleek dan Stein (2012:34) berpendapat bahwa kedua negara, yaitu Amerika Serikat dan Turki sangat butuh dialog yang dilakukan secara intens untuk menyatukan pendapat tentang apa yang sedang terjadi di Iran serta apa yang sedang Iran lakukan dengan pengembangan nuklirnya, serta langkah apa yang seharusnya mereka ambil. Hal ini diperlukan untuk memperkecil dan menghilangkan perbedaan pandangan kedua negara terkait isu nuklir Iran.
8
Penelitian yang telah dilakukan Bleek dan Stein memang menjelaskan tentang perbedaan pandangan kedua negara, yaitu Amerika Serikat dan Turki terkait isu nuklir Iran. Tapi dalam penelitian itu tidak menyebutkan secara spesifik penyebab serta alasan Turki menolak Resolusi 1929 DK PBB, dan itulah yang akan dilaukan dalam penelitian ini, menganalisis faktor-faktor yang menyebabkan Turki menolak Resolusi 1929 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). E. Kerangka Teori Kerangka teori merupakan elemen yang sangat penting dalam sebuah penelitian, karena lewat kerangka teori inilah kerangka berpikir bisa dibentuk.Kerangka berpikir ini terdiri dari teori dan konsep yang menjadi acuan serta panduan untuk menganalisis permasalahan yang terjadi.Kerangka teori ini merupakan syarat agar penelitian yang dilakukan dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah. Penelitian ini akan menggunakan konsep kepentingan nasional, serta teori analisa kebijakan luar negeri. Perspektif utama yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah perspektif realisme. Relisme memandang struktur internasional yang ada merupakan struktur yang anarki, dimana tidak ada kekuasaan tertinggi di atas negara, sehingga hal ini memunculkan perasaan ketidakamanan bersama antar negara karena tidak ada otoritas politik yang lebih tinggi yang dapat mengatur negara.Kondisi ini membuat prioritas politik luar negeri negara-negara adalah memenuhi kepentingan nasionalnya (Hara 2011:35-37).
9
Realisme juga memandang negara sebagai aktor yang rasional, jadi apapun tindakan yang dilakukan, apapun kebijakan yang dikeluarkan oleh suatu negara, merupakan hasil dari pertimbangan dan kalkulasi kekuatan, kelemahan, serta untung rugi yang akan didapatkan demi memenuhi kepentingan nasionalnya. (Mingst2008:64). Oleh karena itu, sebagai aktor yang rasional negara akan melakukan segala tindakan agar bisa survive dalam tatanan dunia internasional yang anarki. Selain itu, dalam struktur yang anarki setiap negara harus bisa menolong dirinya sendiri dan tidak terlalu bergantung ke negara lain. 1. Kepentingan Nasional Kepentingan nasional merupakan landasan dalam setiap keputusan yang diambil oleh negara.Keputusan apapun yang diambil oleh negara, selalu memikirkan kepentingan nasional bagi negaranya.Oleh karena itu, apabila ingin mengetahui dasar dari pengambilan keputusan yang dilakukan oleh suatu negara, maka kita dapat mengetahuinya dengan menganalisis kepentingan nasional yang ingin mereka capai.Kepentingan nasional sangat penting untuk dianalisis ketika ingin mengetahui motif di balik suatu kebijakan yang diambil oleh suatu negara, karena kepentingan nasional merupakan dasar dari setiap keputusan yang diambil oleh seuatu negara, termasuk keputusan penentuan kebijakan luar negeri (Pearson dan Rochester1992:177). Ada tiga kepentingan dasar yang dimiliki oleh setiap negara, dan kepentingan ini menjadi faktor yang sangat dipertimbangkan dalam setiap keputusan yang mereka ambil:
10
(1) Memastikan keamanan negaranya, termasuk didalamnya memastikan perlindungan terhadap kelangsungan hidup warga negara serta mempertahankan teritorial dan integritas wilayah yang dimiliki. (2) Meningkatkan kesejahteraan ekonomi warga negara. (3) Melestarikan dan menjaga ketahanan nasional yang merupakan dasar dari sistem pemerintahan suatu negara dan perilakunya di lingkungan internasional (Pearson dan Rochester 1992:177-178).
Menurut Paul Seaubry seperti yang dikutip oleh Holsti (1987:176) konsep kepentingan nasional mengacu pada sejumlah perangkat ideal dari tujuan nasional suatu bangsa sebagai dasar dari pelaksanaan hubungan luar negeri yang dilakukan oleh negara tersebut. Lebih lanjut Paul Seaubry juga berpendapat bahwa kepentingan nasional merupakan tujuan nasional suatu bangsa yang akan diraih dalam jangka waktu tertentu. Oleh karena itu kerjasama apapun yang terbentuk antar negara memiliki dasar untuk mencapai kepentingan nasionalnya, dengan tanpa mencampuri urusan dalam negeri negara lain. Istilah atau konsep kepentingan nasional sering digunakan untuk menunjukan
serta
menganalisa
tujuan
nasional
suatu
negara
(Holsti
1987:176).Kepentingan nasional suatu negara bisa digambarkan menurut tujuan nasionalnya dalam jangka pendek, tujuan jangka menenengah, serta tujuan jangka panjang (Holsti 1987:177-195).Tujuan jangka pendek merupakan usaha untuk melakukan perlindungan diri.Definisi dari usaha melakukan perlindungan diri ini sangat luas, tapi secara umum tujuannya adalah untuk meningkatkan pertahanan di wilayah negara sendiri serta menjaga kestabilan wilayah sekitar negaranya.
11
Selain meningkatkan pertahanan, juga untuk mempertahankan keadaan politik, ekonomi, serta keadaan sosial di wilayah teritorialnya (Holsti 1987:183-184) Tujuan jangka menengah menurut Holsti terbagi dalam 3 kategori.Kategori pertama
adalah
usaha
untuk
meningkatkan
kesejahteraan
sosial
serta
meningkatkan pertumbuhan ekonomi di negaranya.Kategori kedua adalah usaha untuk meningkatkan prestise negaranya. Hal ini bisa dilakukan dengan menginkatkan kemampuan militer, kemajuan ekonomi, serta perkembangan ilmu pengetahuan. Kategori ketiga adalah perluasan pengaruh. Perluasan pengaruh ini dilakukan terhadap negara-negara yang ada di sekitar kawasan ataupun yang ada di kawasan lain, seperti dengan cara menguasai sumber daya alam suatu negara, yang menyebabkan terjadinya perluasan pengaruh, ataupun perluasan pengaruh ideologi. Sementara kategori ketiga adalah kategori jangka panjang.Tujuan jangka panjang ini merupakan pembentukan sistem politik yang bersifat internasional dan universal, melalui suatu perencanaan yang matang, seperti contohnya konsep "Tata Dunia Baru" yang diusung Hitler untuk menggambarkan tujuan jangka panjang Jerman pada masanya.Ataupun contoh lainnya konsep demokrasi yang menjadi
tujuan
jangka
panjang
negara-negara
barat
seperti
Amerika
Serikat.(Holsti 1987:187-195). 2. Analisa Kebijakan Luar Negeri Analisa kebijakan luar negeri merupakan hal yang penting untuk diteliti ketika ingin mengetahui motif dari suatu tindakan yang dilakukan oleh negara terhadap negara lain. Holsti mendefinisikan kebijakan luar negeri sebagai berikut:
12
Kebijakan luar negeri merupakan tindakan atau ide yang dirancang oleh para pembuat kebijakan untuk memecah suatu masalah atau melancarkan perubahan dalam lingkungan, yaitu dalam kebijakan, sikap, atau tindakan negara atau negara-negara lain. (Holsti 1987:135)
Sementara Menurut Pearson dan Rochester kebijakan luar negeri adalah: Kebijakan luar negeri merupakan sekumpulan prioritas dan kebijakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan di suatu negara sebagai panduan dalam menyikpai berbagai persoalan dalam situasi yang spesifik yang mereka perjuangkan untuk mencapai tujuannya. (Pearson dan Rochester 1992: 127)
Jadi dari keterangan diatas dapat diambil kesimpulan kalau kebijakan luar negeri merupakan strategi atau rencana tindakan yang dibuat oleh para pembuat keputusan negara dalam menghadapi negara lain ataupun unit politik internasional lainnya untuk mencapai suatu tujuan, dan tujuan mendasar yang ingin dicapai oleh suatu negara adalah kepentingan nasional. Menurut Coplin ada empat faktor penentu dalam kebijakan luar negeri yang diambil suatu negara: Faktor Internasional, para pembuat kebijakan, kondisi politik dalam negeri, serta kondisi ekonomi dan militer dalam negeri (Coplin 1971:140-150). Pertama, faktor internasional merupakan kondisi alamiah dari sistem internasional serta hubungan suatu negara dengan aktor-aktor internasional yang pada akhirnya dapat menentukan keputusan pengambilan kebijakan luar negeri
13
suatu negara. Faktor internasional ini terbagi kedalam tiga komponen: Geografis, hubungan ekonomi, serta hubungan politik suatu negara dengan negara lain. Kedua, para pembuat kebijakan merupakan orang-orang yang berperan dalam merumuskan dan memutuskan suatu kebijakan, yang didalamnya terdapat proses diplomasi politik internal suatu negara, serta proses sosial juga berpengaruh dalam terbentuknya suatu kebijakan luar negeri. Ketiga,kondisi politik dalam negeri juga menjadi salah satu faktor yang menentukan kebijakan luar negeri suatu negara.Akan terjadi perbedaan dalam kebijakan luar negeri antara negara yang menerapkan sistem sosialis dan demokratis, antara negara yang kondisi politiknya stabil dan negara yang kondisi politiknya tidak stabil. Keempat, kondisi militer dan ekonomi suatu negara memainkan peranan penting dalam penetuan kebijakan politik luar negeri. Semakin kondisi ekonomi dan militer suatu negara kuat, maka posisi tawarnya dengan negara lain akan semakin tinggi F. Metode Penelitian Metode yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif yang bersifat deskriptif dengan teknik telaah dokumen. Penelitian ini akan berusaha
menggambarkan,
menjelaskan,
mencatat,
menganalisa,
serta
menginterpretasikan kondisi serta peristiwa dari permasalahan yang diajukan berdasarkan dokumen yang relevan dengan permasalahan yang sedang diteliti.
14
Karena penelitian kualitatif merupakan penelitian yang berusaha untuk memahami suatu fenomena dalam keadaan alamiahnya, artinya penelitian yang dilakukan langsung menggunakan telaah dokumen sebagai representasi dari kejadian nyata dari peristiwa yang sedang diteliti, tanpa perlu ada proses penelitian di dalam laboratorium, dan peneliti memaparkan hasil penelitian apa adanya tanpa memanipulasi fenomena serta kejadian yang sedang diteliti. (Sarosa 2012: 7) Menurut Esterberg, dokumen merupakan segala bentuk materi yang tertuang dalam bentuk tertulis yang dibuat oleh manusia (Ertesbeg dikutip Sarosa 2012: 61). Jadi dari definisi dokumen itu maka telaah dokumen serta tinjauan pustaka yang akan dilakukan oleh penulis adalah dengan menggunakan segala bentuk catatan yang terpercaya baik berbentuk hardcopy maupun softcopy. Dokumen itu bisa berbentuk buku yang terkait dengan permasalahan yang sedang dibahas, berita analisis, karya tulis ilmiah, artikel, jurnal-jurnal ilmiah yang membahas permasalahan terkait, undang-undang, media cetak, ataupun media online.
15
G. Sistematika Penulisan BAB I
PENDAHULUAN A.Pernyataan Masalah B. Pertanyaan Penelitian C. Tujuan dan Manfaat Penelitian D. Tinjauan Pustaka E. Kerangka Teoretis 1. Kepentingan Nasional 2. Analisa Kebijakan Luar Negeri F. Metode Penelitian G. Sistematika Penelitian
BAB II
DINAMIKA HUBUNGAN LUAR NEGERI TURKIDAN IRAN A. Hubungan Turki – Iran Sebelum Masa Pemerintahan AKP 1. Hubungan Turki – Iran Sebelum Revolusi Islam Iran 1979 2. Hubungan Turki – Iran Setelah Revolusi Islam Iran 1979 a. Timbulnya Perbedaan Ideologi C. Hubungan Turki – Iran Pada Masa Pemerintahan AKP
BAB III
PERKEMBANGAN NUKLIR IRAN DAN RESPON DUNIA INTERNASIONAL A. Perkembangan Nuklir Iran 1. Sebelum Revolusi Islam Iran 1979 2. Setelah Revolusi Islam Iran 1979 B. Respon Dunia Internasional Terhadap Perkembangan Nuklir Iran
16
1. Terbentuknya EU3 dan P5+1 2. Respon PBB Terhadap Program Nuklir Iran C. Penolakan Turki Terhadap Resolusi 1929 DK PBB BAB IV
ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TURKIMENOLAK RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB 1929 TERKAIT NUKLIR IRAN A. Kebijakan Luar Negeri Zero Problem PolicyPada Masa AKP B. Kerjasama Nuclear Fuel Swap C. Kebutuhuan Energi Turki D. Kedekatan Hubungan Turki-Iran
BAB V
KESIMPULAN
17
BAB II DINAMIKA HUBUNGAN LUAR NEGERI TURKI DAN IRAN
Hubungan Turki dan Iran memiliki akar sejarah yang sangat panjang, jauh sebelum kedua negara ini berdiri menjadi negara modern seperti sekarang. Turki dan Iran sudah memiliki hubungan sejak ratusan tahun lalu, tepatnya saat kedua negara masih berupa kerajaan yang dipimpin oleh Kaisar. Dalam sejarah hubungannya, keduanya mengalami periode pasang surut, mengalami periode konflik dan kerjasama, hingga sampai terbentuk hubungan Turki-Iran seperti yang kita ketahui sekarang. Pada bab ini akan fokus membahas tentang hubungan Turki-Iran sebelum dan setelah pemerintahan Partai Keadilan dan Pembangunan (AKP). Hal ini bertujuan untuk mengetahui perbedaan mendasar dari pola hubungan yang terjadi. A. Hubungan Turki – Iran Sebelum Masa Pemerintahan AKP Secara garis besar hubungan antara Turki dan Iran sebelum masa pemerintahan AKP bisa dibagi dalam dua periode yang cukup penting, yaitu periode sebelum terjadi revolusi islam Iran 1979 dan periode setelah revolusi islam Iran 1979. Sebelum terjadi revolusi islam Iran 1979 Turki dan Iran samasama memiliki arah politik yang sejalan tentang kecondongan mereka terhadap barat, dan hal ini berubah setelah terjadi revolusi islam Iran 1979. Pasca revolusi, arah kebijakan luar negeri Iran berubah drastis, dan hal ini berpengaruh terhadap hubungannya dengan Turki.
18
1. Hubungan Turki – Iran Sebelum Revolusi Islam Iran 1979 Sebelum terjadi revolusi islam Iran 1979, Turki dan Iran memiliki persepsi yang sama dalam menyikapi perang dingin yang sedang terjadi. Turki dan Iran lebih memilih pro Barat dan menganggap Uni Soviet sebagai ancaman. Oleh karena itu, pada 1955 kedua negara bergabung dalam Baghdad Pact. Baghdad Pact kemudian dikenal dengan Central Treaty Organization (CENTO). Tujuan utama dari CENTO untuk mencegah pengaruh Uni Soviet di Timur Tengah. Karena kesamaan persepsi saat perang dingin inilah akhirnya Turki dan Iran menjadi aliansi regional melalui CENTO (Calabrese 1998:76-77). Kerjasama kedua negara juga semakin berkembang dengan dibentuknya Regional Cooperation and Development (RCD) pada tahun 1964, dengan negara anggota Turki, Iran, dan Pakistan. Tujuan utama dari dibentuknya RCD adalah untuk mengingkatkan kerjasama di berbagai bidang, terutama dalam bidang sosial ekonomi. Kerjasama yang dilakukan diantara anggota RCD ini cukup luas, seperti mencakup kerjasama peningkatan layanan transportasi, kerjasama dalam pengiriman barang, meningkatkan perdagangan, menjaga keamanan dan stabilitas kawasan, mengurangi tarif pengiriman surat serta komunikasi, hingga promosi wisata (Ahmad 1969:22-23). 2. Hubungan Turki – Iran Setelah Revolusi Islam Iran 1979 Revolusi Islam Iran pada tahun 1979 menjadi tantangan yang cukup besar bagi hubungan Turki-Iran. Revolusi yang dicetuskan oleh Ayatullah Khomaeni itu menimbulkan perubahan yang sangat signifikan dalam politik dalam negeri serta
19
politik luar negeri Iran. Setelah revoulusi 1979 hubungan diplomatik Iran dan Amerika Serikat terputus menyusul kasus penyanderaan terhadap staf Kedutaan Besar Amerika Serikat di Iran. Iran yang menjadi aliansi kunci Barat di Timur Tengah berubah menjadi tantangan bagi hegemoni Amerika Serikat (Ozcan dan Ozgur 2010:3). Hal ini juga menjadi tantangan dalam hubungan Turki-Iran. Karena sebelum terjadinya revolusi 1979, baik Turki maupun Iran memiliki sikap yang sama tentang kecondongan mereka terhadap Barat. Persamaan persepsi ini juga lah yang menjadi salah satu faktor yang mempererat hubungan Turki-Iran pada masa tersebut. Dengan adanya perubahan orientasi politik luar negeri Iran, otomatis salah satu faktor yang menjadi dasar hubungan mereka telah berkurang (Sinkaya 2004:3-4) Revolusi Islam Iran 1979 juga telah membuat 2 organisasi regional yang menaungi serta mempererat hubungan Turki-Iran bubar, yaitu Regional Cooperation and Development (RCD) yang bubar pada tahun 1979, serta Central Treaty Organization (CENTO) yang juga bubar pada tahun 1979 setelah dua negara anggotanya yaitu Iran dan Pakistan memutuskan untuk keluar. (Taghian 2012:375-376) a. Timbulnya Perbedaan Ideologi Revolusi islam Iran yang tejadi tahun 1979 secara tidak langsung menjadi ancaman bagi negara Turki yang menganut paham sekuler. Turki khawatir Iran yang berbatasan langsung dengan Turki tersebut menyebarkan paham islam yang
20
mereka anut pasca revolusi ke negara Turki, dan paham itu bertentangan dengan sekularisme yang dianut oleh Turki (Ozcan dan Ozgur 2010:1-2). Sebaliknya, paham sekuler Turki juga dianggap sebagai ancaman oleh Iran yang menganut paham islam pasca revolusi. Meskipun terdapat perbedaan ideologi, strategi politik, serta munculnya ketidakpercayaan diantara kedua negara, tapi kedua negara tetap menahan diri untuk tidak memutuskan secara total hubungan diplomatik ataupun sampai pada tahap konfrontasi militer. Ditengah hubungan yang kurang harmonis pasca revolusi tersebut, baik Turki maupun Iran ternyata sama-sama memandang pentingnya kerjasama ekonomi diantara mereka. Iran melihat Turki sebagai partner yang cukup menjanjikan dalam hal ekonomi. Begitu juga dengan Turki, Turki melihat Iran sebagai partner yang cukup potensial (Calabrese 1998:77-78). Hal ini terlihat dari kerjasama ekonomi yang mereka lakukan ketika perang Iraq-Iran terjadi pada tahun 1980 sampai tahun 1988. Volume perdagangan mereka meningkat tajam. Ekspor Turki ke Iran meningkat dari 45 juta USD di tahun 1978 menjadi 1,088 miliar USD pada tahun 1983. Begitu juga dengan impor Turki dari Iran, meningkat dari 189 juta USD di tahun 1978 menjadi 1,548 miliar USD pada tahun 1984 (Sinkaya 2004:105-106). Peningkatan Kerjasama ini terjadi karena Turki melihat peluang untuk melakukan kerjasama dalam bidang ekonomi. Iran yang sedang dalam kondisi perang membutuhkan suplai produkproduk jadi untuk kebutuhan dalam negaranya. Sebaliknya, Turki juga membutuhkan suplai minyak dan gas dari Iran.
21
Hubungan ekonomi ini lebih kepada hubungan saling menguntungkan dan mengesampingkan perbedaan ideologi serta arah politik mereka. Pada saat itu Iran yang sedang dalam keadaan perang membutuhkan suplai barang-barang kebutuhan warganya, sementara Turki membutuhkan impor minyak dari Iran. Selama perang Iran-Iraq tersebut Iran sangat bergantung pada impor Turki, dan sebagai gantinya Iran mengekspor minyak ke Turki (Ozcan dan Ozgur 2010 2010:2). Setelah perang Iran-Iraq berakhir, terjadi situasi yang memanas antara Turki dan Iran yang diakibatkan oleh perbedaan ideologi. Gesekan ini dimulai pada tahun 1989 saat Iran mengkritik kebijakan Turki yang melarang penggunaan hijab di sekolah. Situasi ini semakin memanas hingga duta besar Iran untuk Turki Manochehr Mottaki mengatakan bahwa Iran akan mempertimbangkan untuk mengimplementasikan sanksi ekonomi terhadap Turki. Bahkan, situasi ini membuat kedua negara masing-masing menarik duta besarnya (Sinkaya 2004:55). Pada juni 1989 Khomeini wafat, dan posisi kepemimpinan yang sebelumnya disandang Khomeini sebagai Supreme Leader digantikan oleh Ali Khamenei. Selain Supreme Leader yang berubah, posisi presiden juga berubah. Posisi Presiden yang tadinya dijabat oleh Ali Khamenei digantikan oleh Rafsanjani. Perubahan di pucuk kepemimpinan Iran ini memberikan sedikit perubahan dalam hubungan Turki dan Iran. Hubungan Turki-Iran yang cukup memanas pada tahun 1989 akibat beberapa insiden mulai dari kritik keras atas kebijakan Turki yang melarang penggunaan Hijab di Universitas dan sekolah hingga insiden penarikan
22
duta besar masing-masing negara akhirnya sedikit mereda. (Hen-Tov 2011:122134). Ketika Uni Soviet runtuh, banyak negara yang tadinya bergabung dengan Uni Soviet melai mendapatkan kemerdekaannya. Termasuk diantaranya enam negara dengan mayoritas penduduknya muslim, yaitu Azerbaijan, Kzakhstan, Kyrgyzstan, Uzbekistan, Turkmenistan, serta Tajikistan. Negara-negara yang baru merdeka ini disebut dengan Newly Independent Muslim States (NIMS). Turki dan Iran pun bersaing untuk bisa berperan dan memberikan pengaruh di NIMS (Sinkaya 2004:82-83). Selain persaingan kedua negara di NIMS pada periode awal 1990an, kedua negara juga mengalami ketegangan terkait kerjasama militer yang dilakukan oleh Turki dengan Israel pada April 1997. Turki berpendapat bahwa kerjasama tersebut tidak lain hanya untuk memuluskan kepentingan Israel di timur tengah, dan ingin menciptakan permasalahan diantara Turki dan Iran. Selain itu Iran juga khawatir Israel akan menggunakan wilayah Turki sebagai basis untuk melakukan pengawasan terhadap wilayah dan juga perbatasan Iran (Dogan 2004:22). Kekhawatiran Iran ini cukup beralasan karena Turki memang berbatasan langsung dengan Iran, dan Iran juga sedang bermusuhan dengan Israel. Meskipun kedua negara sering terlibat ketegangan yang diakibatkan oleh perbedaan ideologi dan juga pandangan politik, tapi mereka sama-sama melihat pentingnya kerjasama yang saling menguntungkan diantara kedua negara, terutama kerjasama dalam bidang ekonomi.
23
Contohnya, seperti perjanjian pembelian gas yang dilakukan oleh Turki dengan Iran pada tahun 1996. Kontrak pembelian gas ini merupakan kontrak jangka panjang selama 20 tahun dengan nilai kontrak sebesar USD 23 milar, termasuk di dalamnya pembangunan jalur pipa gas antara Tabriz dan Ankara. Kerjasama yang dilakukan ini merupakan salah satu langkah penting Turki untuk mengatasi
kebutuhan
energi
negaranya,
dan
juga
untuk
mengurangi
ketergantungan terhadap Rusia yang menyuplai 75% kebutuhan Turki (Calabrese 1998:83-84). Jadi meskipun terjadi perbedaan pandangan politik dan ideologi diantara kedua negara, tapi Turki dan Iran sama-sama melihat pentingnya kerjasama yang saling menguntungkan
diantara kedua negara yang saling
berbatasan ini. B. Hubungan Turki – Iran Pada Masa Pemerintahan AKP Partai Keadilan dan Pembangungan (Adalet ve Kalkinma Partisi) atau yang biasa disingkat AKP merupakan partai yang beridiri pada Agustus 2001. Partai ini merupakan pecahan partai yang digagas kalangan islamis sebelumnya, yaitu Partai Kebajikan (Fezilet Partisi) yang dibubarkan oleh mahkamah konstitusi pada tahun 2001. Pembubaran ini dilakukan dengan alasan bahwa Partai Kebajikan (FP) merupakan kepanjangan kepentingan politik Partai Refah (RP), partai yang sebelumnya telah dibubarkan pada Januari 1998 dengan alasan adanya ancaman politik islam dari RP atas sekularisme yang dianut oleh Turki (Dzakirin 2012:2023).
24
Setelah FP dibubarkan, kalangan islamis yang berada di partai itu terpecah menjadi dua golongan dan akhirnya mendirikan dua partai yang berbeda, yaitu Partai Kebahagiaan (Saadet Partisi) dan Partai Keadilan dan Pembangunan (Adelet ve Kalkinma Partisi). Kedua partai yang baru berdiri ini kemudian mengikuti pemilu yang diadakan pada 3 November 2002 dan bersaing dengan 16 partai lainnya. Secara mengejutkan AKP memperoleh 10 juta suara lebih dengan presetase 34% dari total suara yang ada, sekaligus menjadi pemenang pemilu. Sementara RP hanya mendapatkan 700 ribu lebih suara dengan presentase 2.48% dari seluruh suara yang ada (Dzakirin 2012:32-36). Dengan hasil pemilu tersebut maka Turki resmi dipimpin oleh pemerintahan dari partai AKP pada November 2002. Sejak saat itu kebijakan luar negeri Turki mengalami perubahan yang cukup signifikan. Perubahan arah kebijakan luar negeri ini juga sangat berpengaruh terhadap pola hubungan luar negeri antara Turki dengan Iran. Gesekan yang diakibatkan oleh perbedaan pandangan politik dan ideologi perlahan mulai diatasi. Permasalahan serta gesekan yang terjadi diantara kedua negara, yang selama ini menghambat peningkatan kerjasama, perlahan mulai dicari jalan keluarnya. Permasalahan yang terjadi antara Turki dan Iran sering muncul akibat adanya perbedaan ideologi diantara kedua negara. Turki menganut ideologi sekular, dan Iran menganut ideologi revolusi islam. Turki khawatir ideologi serta revolusi islam yang dianut Iran berusaha untuk disebarkan ke negara-negara tetangganya, termasuk juga Turki. Kekhawatiran Turki ini terlihat dari pernyataan beberapa pejabat tinggi Turki yang mengatakan bahwa PKK mendapat dukungan dari Iran. 25
Seperti pernyataan dari Turhan Tayan mantan menteri pertahanan Turki, dia menyatakan bahwa Iran memberikan dukungan terhadap PKK dan hal itu sudah dikonfirmasi oleh pihak yang berwenang dalam banyak kesempatan (Aras 2001:109). Dukungan yang dilakukan oleh Iran ini berupa membiarkan berdirinya markas-markas PKK di wilayahnya, seperti markas PKK di Dar Khala, Haj Umar, Benchul, Mandali, maupun Sirabad. Bahkan seorang ahli, Ali Koknar menyatakan bahwa pada tahun 1995 PKK mengakomodir sekitar 1200 anggotanya di wilayah yang termasuk dalam teritori Iran, tersebar dalam 50 tempat yang berbeda (Cagaptay dan Yegenoglu 2006). Turki berpendapat bahwa salah satu cara yang digunakan Iran untuk menyebarkan revolusi islamnya ke Turki adalah dengan memberikan dukungan terhadap PKK, hal ini dilakukan Iran untuk menimbulkan kekisruhan dan juga untuk melemahkan keamanan Turki. Setelah AKP menjabat dan melakukan berbagai pendekatan terkait permasalahan PKK, akhirnya permasalahan ini menemukan titik terang setelah Iran mengakui dan menyamakan persepsi dengan Turki yang menganggap bahwa PKK merupakan organisasi terorisme pada tahun 2004. Sebelumnya Iran tidak pernah mau menyebut dan mengakui bahwa PKK merupakan kelompok teroris (Ehteshami dan Suleyman 2011:653-654). Hubungan ekonomi diantara kedua negara juga mengalami peningkatan yang signifikan. Hal ini terlihat dari volume perdagangan yang meningkat cukup tajam setelah AKP menjabat. Pada tahun 2000 volume perdagangan antara Turki
26
dan Iran mencapai USD 1 miliar, dan pada tahun 2005 menyetuh angka USD 4 miliar. Pada tahun 2008 Turki menjadi mitra dagang Iran terbesar kelima dengan volume perdagangan mencapai USD 10 miliar (Ehteshami & Suleyman 2011:653654). Dengan terus meningkatnya volume perdagangan diantara kedua negara pasca AKP menjabat, akhirnya Iran menjadi partner dagang terbesar Turki di wilayah timur tengah. Pada tahun 2001, volume perdagangan Turki dengan Iran sebesar 19% dari total volume perdagangan Turki dengan seluruh negara di timur tengah, dan meningkat menjadi 34% pada tahun 2006 (Demiryol 2013: 118). Kebijakan luar negeri yang diterapkan oleh Turki pada masa kepemimpinan AKP ini membuat hubungan kedua negara semakin erat.
27
BAB III PERKEMBANGAN NUKLIR IRAN DAN RESPON DUNIA INTERNASIONAL
A. Perkembangan Nuklir Iran Apabila dilihat dari sejarah perkembangannya, nuklir Iran memang sudah berjalan cukup lama.Perkembangan Nuklir Iran mengalami kondisi pasang surut, yang diakibatkan oleh perubahan situasi politik dalam negeri serta perubahan peta geopolitik di kawasan tersebut. 1.
Sebelum Revolusi Islam Iran 1979 Pada masa awal perkembangannya, teknologi nuklir Iran mendapat
dukungan dari Amerika serikat.Pada waktu itu Amerika Serikat masih memiliki hubungan bilateral yang sangat baik dengan Iran.Bahkan langkah awal perkembangan teknologi nuklir di Iran merupakan hasil dari penandatanganan perjanjian kerjasama dengan Amerika Serikat pada tahun 1957 (Cordesman dan Al-Rodhan 2006:20-21). Dari hasil kerjasama dengan Amerika Serikat tersebut, berdiri Tehran Nuclear Research Center (TNRC) pada tahun 1967, dengan 5 megawatt disuplai dari Amerika Serikat (Sahimi 2003). Ketika Non Proliferation Treaty (NPT) digulirkan pada 1 Juli 1968, Iran merupakan salah satu negara yang menandatangani perjanjian tersebut. Perjanjian
28
NPT mulai efektif diberlakukan pada tanggal 5 maret 1970 secara serentak bagi negara-negara yang telah menandatangani dan meratifikasinya, dan Iran termasuk diantara negara-negara tersebut (Cordesman dan Al-Rodhan 2006: 21). Dengan diberlakukannya perjanjian NPT ini, maka Iran sebagai negara yang tidak memiliki senjata nuklir memiliki hak penuh untuk mengembangkan teknologi nuklir untuk tujuan damai, salah satunya adalah untuk tujuan sipil sebagai pembangkit energi listrik. Untuk melakukan pengembangan teknologi nuklir ini Iran kemudian mendirikan Atomic Energy Organization of Iran (AEOI) pada tahun 1974.Untuk meningkatkan kemampuan teknologi nuklirnya, Iran melakukan serangkaian kerjasama dengan negara-negara yang sudah memiliki kemampuan energi nuklir yang memadai. Diantaranya, pada tahun 1974 Iran bergabung dengan empat negara lain yaitu Prancis, Italia, Spanyol, dan Beliga membuat sebuah fasilitas pengayaan uranium di Prancis yang bernama Eurodif (Meier 2006). Pada tahun 1974, Iran juga bekerjasama dengan Jerman untuk membangun 1.200 megawatt reaktor nuklir di Bushehr (Sahimi 2003).Kemudian, bekerjasama dengan Prancis untuk pengadaan 900 megawatt reaktor nuklir di Bandar-e Abbas. Bekerjasama dengan India senilai USD 1 Miliar pada tahun 1975, maupun melakukan pembelian yellowcakes dari Afrika Selatan senilai USD 700 juta (Cordesman dan Al-Rodhan.2006: 21-22). Selain kerjasama dalam membangun fasilitas dan pengembangan teknologi nuklir,
Iran
juga
melakukan
kerjasama
29
pelatihan
tenaga
ahli
nuklir.
Diantaranya,kerjasama dengan Prancis dalam pelatihan 350 ahli nuklir Iran pada tahun 1975, serta kerjasama dengan Massachusetts Institute of Technology (MIT) (Cordesman dan Al-Rodhan.2006: 23). Pada masa sebelum revolusi islam Iran terjadi, perkembangan teknologi nuklir yang terjadi di Iran banyak dibantu oleh negara-negara yang sudah memiliki teknologi nuklir, bahkan dibantu oleh negaranegara yang sudah memiliki senjata nuklir, seperti Jerman, Prancis, bahkan Amerika Serikat. 2.
Setelah Revolusi Islam Iran 1979 Setelah revolusi islam Iran pada tahun 1979, terjadi perubahan yang sangat
signifikan dalam arah kebijakan politik dalam negeri dan juga politik luar negeri Iran. Perubahan kebijakan ini juga berpengaruh terhadap proses perkembangan nukir Iran. Iran yang tadinya memiliki hubungan yang sangat dekat dengan Amerika Serikat, justru menjadi bermusuhan.Setelah revolusi ini, Amerika Serikat menghentikan seluruh kerjasamanya dengan Iran, termasuk juga kerjasama pengembangan teknologi nuklir. Pada masa awal setelah revolusi islam Iran 1979 terjadi, Iran menghentikan proyek pengembangan teknologi nuklirnya. AEOI yang merupakan lembaga penanggung jawab pengembangan teknologi nuklir Iran menghentikan sementara aktifitasnya (Cordesman dan Al-Rodhan 2006:24).Kesepakatan dengan Prancis untuk pembangunan fasilitas nuklir di Darkhovin dibatalkan.Jerman juga membatalkan kerjasamanya dengan Iran dalam pembangunan fasilitas nuklir Bushehr (Nikou 2014).
30
Pada tahun 1984 Iran kembali melanjutkan proyek pengembangan teknologi nuklirnya. Karena tidak lagi bisa bekerjasama dengan Amerika Serikat, Jerman, maupun Prancis, maka Iran mencari alternatif negara lain. China dan Rusia menjadi negara pilihan Iran untukbekerjasama dalam melanjutkan proyek pengembangan teknologi nuklirnya yang sempat terhenti (Cordesman dan AlRodhan 2006:25). Selain Rusia dan China, Pakistan juga merupakan pihak yang sangat berperan dalam proses pengembangan teknologi nuklir Iran. Melalui jaringan Mr. Khan, ahli nuklir asal Pakistan, Iran mendapatkan desain mesin centrifuge P-1 dan P-2 yang merupakan mesin utama yang digunakan untuk proses pengayaan uranium (Smith dan Warrick 2010). Setelah terus berusaha untuk mengembangkan kemampuan teknologi nuklirnya, akhirnya Iran mulai memiliki kemampuan yang sangat mumpuni, bahkan banyak pihak seperti Amerika Serikat dan Israel menyebut bahwa Iran sedang mengembangkan senjata nuklir. Pada masa-masa awal pengembangannya, Iran hanya memiliki teknologi pembangkit listrik nuklir, dan bahan bakar yang dibutuhkan untuk menjalankan pembangkit listrik itu, yang berupa uranium yang sudah diperkaya (U-235) antara 3%-5%, di datangkan dari luar terutama dari China dan Rusia (IAEA 2003). Seiring dengan perkembangan teknologi nuklir yang dicapai Iran, akhirnya Iran mulai mampu untuk memproduksi sendiri seluruh proses yang diperlukan. Mulai dari proses tambang uranium mentah, hingga proses akhir berupa proses
31
pengayaan uranium sampai bisa digunakan untuk bahan bakar pembangkit listrik tenaga nuklir. Negara-negara barat khawatir dengan kemampuan nukir Iran yang terus berkembang, bahkan Iran sudah mampu dan mulai memproduksi uranium yang diperkaya sampai level 20% pada Februari 2010 (Kerr 2012:17). B. Respon Dunia Internasional Terhadap Program Nuklir Iran Program pengembangan nuklir Iran mulai menjadi perhatian dunia internasional secara luas sejak tahun 2002 ketika National Council of Resistance of Iran (NCRI), sebuah kelompok oposisi di Iran, mengungkapkan kepada publik internasional dalam sebuah konferensi pers di Washington DC tentang 2 fasilitas nuklir rahasia Iran yang selama ini tidak diketahui oleh publik. Fasilitas tersebut yaitu fasilitas nuklir di Natanz yang dibangun untuk fasilitas pengayaan uranium, dan Heavy Water Research Reactor di Arak (Nuclear Control Institut 2006). Selain mengungkapkan fasilitas Natanz dan Arak, pada 20 Februari 2003 NRCI juga mengungkapkan proyek rahasia Iran di Kayale Electric Company, sebuah perusahaan yang terdaftar sebagai perusahaan pembuat jam. Berita itu di muat di media-media besar internasional seperti Washington Post dan Reuters (Nuclear Control Institut 2006).Menanggapi hal ini, IAEA kemudian melakukan kunjungan ke Iran untuk melakukan inspeksi tentang laporan tersebut. Dari hasil inspeksi tersebut IAEA menemukan 2 tipe uranium yang sudah diperkaya saat melakukan penelitian dari sampel lingkungan yang diambil di fasilitas Natanz.Menanggapi hasil temuan ini, IAEA kemudian menerbitkan sebuah resolusi pada tanggal 12 September 2003.IAEA juga menekan Iran agar
32
melaporkan semua aktifitas pengayaan uraniumnya, baik itu berupa pembangunan fasilitas, pengadaan bahan yang berhubungan dengan aktifitas tersebut, hingga berbagai aktifitas terkait yang belum dilaporkan ke IAEA.Dalam resolusi ini juga IAEA menekan Iran agar menangguhkan semua aktifitas yang berhubungan dengan pengayaan uranium.IAEA memberikan waktu kepada Iran hingga 31 Oktober 2003 untuk melaksanakan resolusi tersebut (IAEA 2003:2-3). Menanggapi resolusi tersebut, Iran menyatakan bahwa langkah yang diambil oleh IAEA tersebut merupakan langkah unilateral yang berbungkus multilateralisme.Secara resmi Iran menolak resolusi yang dikeluarkan oleh IAEA tersebut (Aghazadeh 2003: 1-2). 1.
Terbentuknya EU3 dan P5+1 EU3 merupakan kelompok negara yang terlibat dalam perundingan dengan
Iran terkait dengan program nuklirnya.Terdiri dari tiga negara, yaitu Jerman, Prancis, dan Inggris.EU3 terbentuk pada September 2003, saat para pembuat kebijakan di negara tersebut menilai Iran tidak kooperatif dengan inspeksi serta perundiangan dengan IAEA (Cordesman & Al-Rodhan 2006:35).Ketiga negara tersebut berinisiatif untuk bergabung dalam upaya melakukan negosiasi untuk mencari jalan keluar dari persoalan nuklir Iran.Walaupun pada awalnya Iran menolak keberadaan EU3 sebagai negosiator penyelesaian masalah nuklirnya, namun pada akhirnya Iran mau untuk untuk melakukan perundingan dengan menteri luar negeri ke 3 negara tersebut (Cordesman dan Al-Rodhan
33
2006:35).Perundingan tersebut dilaksanakan pada 21 Oktober 2003 atas undangan dari pemerintah Iran. Dari hasil perundingan yang dilaksanakan pada tanggal 21 Oktober 2003 terjadi kesepakatan antara Pemerintah Iran dan EU3.Kesepakatan itu dikenal dengan Tehran Declaration. Dalam kesepakatan tersebut ada 3 hal penting yang Iran sepakati, yaitu kesediaan Iran untuk bekerjasama secara penuh dengan IAEA, menandatangani dan melaksanakan protokol tambahan IAEA, serta secara sukarela menghentikan sementara proses pengayaan uranium yang dilakukannya (nuclearenergy.ir). Setelah terjadinya kesepakatan dalam Tehran Declaration, kemudian Iran dan EU3 melakukan berbagai perundingan dan juga kesepakatan sepanjang tahun 2004-2005. Kesepakatan tersebut antara lainBrussel Agreement pada Februari 2004. Dalam Brussel Agreement, Iran setuju untuk menghentikan produksi mesin centrifuge, mesin yang digunakan untuk memperkaya uranium. Kemudian,Paris Agreement pada November 2004. Iran juga sepakat untuk tidak melakukan kegiatan yang berhubungan dengan proses pemisahan uranium, termasuk juga pembangunan fasilitasnya (IAEA 2004:3-4). Kesepakatan yang berhasil dicapai oleh EU3 ini dapat menghentikan sementara permasalahan nuklir Iran. Iran sepakat
untuk
menghentikan
proses
pengayaan
uranium
yang
sedang
dilakukannya. Pada tahun 2005, terjadi pergantian Presiden dari yang sebelumnya Mohammad Khatami menjadi Mahmoud Ahmadinejad, setelah Ia berhasil
34
memenangkan pemilu pada Juni 2005. Pergantian kepemimpinan ini cukup berpengaruh terhadap perkembangan negosiasi yang sedang dilakukan antara Iran dan EU3.Sebab, ketika Ahmedinejad sudah menjabat, dia kembali melanjutkan pengayaan uranium yang sebelumnya dihentikan. Tepatnya pada 1 Agustus 2005 Iran mengirimkan surat pemberitahuan kepada IAEA bahwa Iran akan melanjutkan proses pengayaan uranium yang sebelumnya sempat dihentikan. Tercatat sejak tanggal 8 Agustus proses pengayaan uranium sudah kembali berjalan (IAEA 2005:1-2). Untuk menanggapi hal ini, maka IAEA mengeluarkan resolusi pada tanggal 11 Agustus 2005 dan juga pada 24 September 2005.Kedua resolusi tersebut isinya meminta Iran untuk kembali menangguhkan seluruh aktifitas pengayaan uraniumnya secara sukarela, seperti yang telah disepakati dalam Paris Agreement antara Iran dan EU3 (IAEA 2005:2). Otomatis dengan dilanjutkannya proses pengayaan uranium ini, Iran telah melanggar kesepakatan yang telah ditandatangani dalam Paris Agreement. Bagi pihak IAEA dan EU3, terpilihnya Presiden Ahmedinejad memberikan efek yang negatif dalam perkembangan proses perundingan permasalahan nuklir Iran. Bahkan dengan kembali dilanjutkannya proses pengayaan uranium, maka proses negosiasi dan perundingan mengalami kemunduran. Setelah Iran memutuskan untuk melanjutkan kembali proses pengayaan uranium yang sebelumnya sempat dihentikan, maka tiga negara lain memutuskan untuk bergabung dengan EU3 dalam proses negosiasi dengan Iran. Ketiga negara
35
tersebut adalah Amerika Serikat, China, dan Rusia. Keenam negara yang kemudian dikenal dengan P5+1 pertamakali mengadakan pertemuan pada 30 Januari 2006 untuk membahas perkembangan permasalahan nuklir Iran. Dalam pertemuan tersebut, mereka sepakat bahwa permasalahan nuklir Iran harus diserahkan ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) (Linzer 2006). Peran nyata P5+1 dalam proses diplomasi dengan Iran dimulai pada juni 2006, ketika keenam negara yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, China, Rusia, Prancis, dan Jerman tersebut mengajukan proposal kepada Iran terkait permasalahan nuklirnya. Dalam proposal tersebut, P5+1 meminta Iran untuk menghentikan aktifitas pengayaan uraniumnya dengan tawaran beberapa insentif yang menguntungkan bagi Iran (Davenport 2014).Namun, Iran tidak memberikan jawaban yang pasti atas proposal yang diajukan tersebut.Iran tidak memberikan jawaban yang jelas apakah menerima atau menolak, hingga P5+1 menyimpulkan bahwa Iran menolak proposal tersebut. Selanjutnya, P5+1 melaporkan permasalahan nuklir Iran tersebut ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) pada 12 Juli 2006.Meskipun begitu, upaya diplomasi yang dilakukan terus berlangsung. Diantaranya, pada 2008 P5+1 kembali mengajukan draft perjanjian yang merupakan revisi dari draft perjanjian yang pernah diajukan sebelumnya pada 2006. Namun, Iran memberikan balasan dengan draft perjanjian yang sama sekali tidak menyinggung perihal pengayaan uranium di negaranya (Sciolino 2008). Hingga akhirnya kedua belah pihak belum menemukan kata sepakat. 36
Proses diplomasi lain yang dilakukan P5+1 sebelum Resolusi DK PBB 1929 dikeluarkan adalah penawaran kerjasama fuel swap antara Iran, Rusia, dan Prancis. Dalam proposal yang diajukan, Iran diharuskan mengirimkan 1200 kg LEU (Low Enriched Uranium) atau uranium yang telah diperkaya antara 3,5%5% yang dimilikinya ke Rusia untuk kemudian diproses hingga menjadi HEU (High Enriched Uranium) atau uranium yang diperkaya hingga 20%. Setelah itu HEU tersebut dikirim lagi ke Prancis untuk diproses hingga menjadi bahan bakar yang bisa digunakan untuk Tehran Research Reactor.Kemudian bahan bakar yang sudah jadi tersebut dikirim ke Iran sejumlah 120 kg (Rajiv 2010). Pada proposal perjanjian yang diajukan kali ini Iran menolak dan menyatakan bahwa mereka tidak mendapat jaminan seratus persen bahwa mereka akan mendapatkan bahan bakar yang mereka butuhkan setelah mengirimkan LEU yang mereka miliki keluar dari wilayah Iran. 2.
Respon PBB Terhadap Program Nuklir Iran Opsi untuk menyerahkan permasalahan nuklir Iran ke Dewan keamanan
PBB sudah mencuat sejak tahun 2005, terutama setelah Iran melanjutkan pengayaan uranium dan melanggar kesepakatan Paris Agreement dengan EU3. Namun, realisasinya baru terjadi pada 12 Juli 2006, ketika menteri luar negeri dari P5+1 yang terdiri dari Amerika Serikat, Inggris, Rusia, China, Prancis, dan Jerman secara resmi menyerahkan permasalahan nuklir Iran ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB).
37
Maka, pada 31 Juli 2006 DK PBB mengeluarkan Resolusi 1969 yang disetujui oleh 14 negara anggota tetap dan tidak tetap DK PBB, dan hanya satu negara yang menolak, yaitu Qatar. Dalam resolusi tersebut Iran diharuskan untuk menghentikan pengayaan Uraniumnya, serta bekerjasama secara kooperatif dengan
IAEA
terkait
pengembangan
teknologi
nuklir
yang
sedang
dilakukannya.DK PBB memberikan waktu hingga 31 Agustus 2006 kepada Iran untuk melaksanakan resolusi tersebut. Resolusi tersebut juga memperingatkan Iran kalau sampai batas waktu tersebut Iran tidak mematuhinya, maka DK PBB akan mengeluarkan sanksi seperti sanksi ekonomi (Security Council 2006). Menanggapi hal itu presiden Iran menyatakan bahwa Iran tidak akan tunduk dan patuh terhadap paksaan dan ancaman (BBC 2006). Menanggapi Resolusi 1969 yang tidak dipatuhi oleh Iran, maka DK PBB pada 23 Desember 2006 mengeluarkan resolusi lanjutan, yaitu Resolusi 1737. Dalam Resolusi 1737 ini, DK PBB menekankan kepada Iran untuk mematuhi resolusi yang sebelumnya telah dikeluarkan yang mengharuskan Iran untuk menghentikan pengayaan uraniumnya. Selain itu, dalam Resolusi 1737 DK PBB juga menjatuhkan sanksi berupa larangan perdagangan dengan Iran untuk berbagai hal, baik itu barang, teknologi, pelatihan, serta hal lainnya yang berkaitan dengan pengayaan Uranium. DK PBB juga menjatuhkan sanksi kepada sejumlah individu dan kelompok yang berhubungan dengan pengayaan uranium Iran. Sanksi tersebut berupa pembekuan aset dan sumber ekonomi yang terlibat dengan proses pengayaan uranium (Security Council 2006). Lagi-lagi Iran tidak
38
mematuhi resolusi yang dikeluarkan oleh DK PBB dan tetap melanjutkan proyek pengayaan uraniumnya. Selanjutnya DK PBB juga mengeluarkan Resolusi 1747 pada tanggal 24 Maret 2007 setelah Iran tidak melaksanakan resolusi sebelumnya sampai batas waktu yang ditentukan. Dalam Resolusi 1747 tersebut DK PBB menekankan kembali resolusi yang sudah dikeluarkan sebelumnya serta memperluas sanksi yang diberikan. Diantaranya penambahan sejumlah 28 individu dan entitas yang diberikan sanski karena berhubungan dengan program pengayaan uranium Iran.Memperluas daftar item yang dilarang untuk diekspor maupun diimpor dari Iran, serta menghimbau agar seluruh negara waspada terhadap kemungkinan adanya pengiriman berbagai material senjata utama dan militer ke Iran. Selain itu menghimbau seluruh negara untuk tidak membuat komitmen baru dengan Iran dalam hal bantuan dana, maupun pinjaman lunak (Davenport 2012). Sama seperti resolusi-resolusi sebelumnya, dalam resolusi ini juga Iran tidak melaksanakan apa yang diperintahkan. Setahun kemudian DK PBB kembali mengeluarkan resolusi untuk permasalahan nuklir Iran.Pada tanggal 3 Maret 2008 Resolusi 1803 resmi dikeluarkan.Dalam Resolusi 1803 DK PBB menekankan Iran untuk mematuhi 3 resolusi yang telah dikeluarkan sebelumnya.Selain itu dalam resolusi ini juga terdapat sanki baru berupa himbauan kepada seluruh negara untuk mencegah
39
masuk atau transitnya sejumlah individu yang telah disebutkan dalam resolusi terlibat dalam pengayaan uranium Iran kedalam wilayah negara mereka. Selain itu, DK PBB juga mendorong seluruh negara untuk memeriksa kargo yang berasal dan akan ke Iran yang menggunakan berbagai moda transportasi baik udara, darat, maupun laut yang menggunakan persahaan transportasi milik Iran. Pemeriksaan tersebut boleh dilakukan apabila ada indikasi dan bukti bahwa kargo tersebut dicurigai berhubungan dengan program pengayaan uranium Iran.Selain itu dalam resolusi ini juga menambah daftar individu yang dikenakan sanksi pembekuan aset dan larangan perjalanan (Davenport 2012). Masih di tahun yang sama, tepatnya pada 27 September 2008 DK PBB mengeluarkan Resolusi 1835. Tidak seperti tiga resolusi sebelumnya yang menerapkan sanksi baru terhadap Iran, pada Resolusi 1835 ini DK PBB hanya menegaskan kembali kepada Iran agar mematuhi semua resolusi yang telah dikeluarkan sebelumnya, yaitu Resolusi 1969, Resolusi 1737, Resolusi 1747, serta Resolusi 1803 (Security Council 2008:1). Dari semua resolusi yang telah dikeluarkan tersebut, tidak ada satupun yang dipatuhi oleh Iran, hingga kemudian hal ini memicu DK PBB untuk mengeluarkan Resolusi 1929 pada 9 Juni 2010. Resolusi ini resmi dikeluarkan setelah melalui proses voting dengan 12 jumlah negara pendukung, 2 negara menolak, dan satu negara Abstain. Turki dan Brazil merupakan negara yang menolak, dan Lebanon sebagai negara yang Abstain.
40
Selain menegaskan kembali resolusi yang telah dikeluarkan sebelumnya, Resolusi 1929 juga menerapkan sanksi tambahan terhadap Iran. Sanksi tambahan tersebut berupa embargo senjatan secara penuh terhadap Iran, sanksi finansial berupa larangan untuk membuka cabang di negara Iran bagi perusahaan finansial seperti bank, serta sebaliknya dilarang untuk memberikan izin kepada bank-bank serta perusahaan Iran untuk membuka cabang di negara lain. Negara di dunia juga dilarang untuk melakukan kegiatan penyediaan jasa keuangan, baik itu berupa transfer, maupun asuransi dari dan ke Iran, apabila hal tersebut berkaitan dengan proyek pengayaan uranium Iran (Security Council 2010:4-7). Dalam menyelesaikan permasalahan nuklir Iran, dunia internasional yang diwakili oleh Amerika Serikat dan Uni Eropa dalam P5+1 menerapkan dual-track approach.Dual-track approach tersebut berupa proses diplomasi yang dilakukan oleh EU3 dan kemudian P5+1 dengan berbagai tawaran insentif terhadap Iran dengan harapan Iran mau untuk bekerjasama dengan IAEA dan menghentikan proses pengayaan uraniumnya. Serta tekanan dunia internasional berupa sanksi yang dikenakan terhadap Iran melalui resolusi yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa. C. Penolakan Turki Terhadap Resolusi 1929 DK PBB Pada 9 Juni 2010, Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB) kembali mengeluarkan resolusi untuk permasalah nuklir Iran. Resolusi tersebut bernama Resolusi 1929, dan resmi dikeluarkan setelah melalui proses voting oleh 5 anggota tetap DK PBB dan juga 10 negara anggota tidak tetap.
41
Resolusi 1929 berisi penegasan kembali terhadap resolusi-resolusi yang telah dikeluarkan sebelumnya serta penambahan sanksi baru berupa Embargo senjata secara penuh, pelarangan investasi dalam segala hal yang berkaitan dengan pengayaan uranium dan teknologi misil, serta sanksi finansial dan larangan perjalanan terhadap entitas serta individu yang diduga berkaitan dengan program nuklir Iran (Davenpot 2014). Turki yang pada saat dikeluarkannya resolusi tersebut termasuk anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB memiliki hak untuk menerima ataupun menolak. Pada saat voting yang dilakukan oleh negara-negara anggota DK PBB dengan tegas Turki menolak Resolusi 1929 yang dikeluarkan DK PBB tersebut. Selain Turki, Brazil juga ikut menolak Resolusi 1929. Serta ada satu negara yang abstain, yaitu Lebanon. Dengan adanya penolakan dari Turki dan Brazil, maka Resolusi 1929 ini merupakan resolusi yang dikeluarkan DK PBB untuk Iran dengan dukungan terendah bila dibandingkan dengan 5 resolusi yang telah dikeluarkan sebelumnya. Sikap Turki menolak Resolusi 1929 ini menunjukan pandangan yang berbeda antara Turki dengan negara-negara Barat, terutama Amerika Serikat dan Eropa dalam menghadapi permasalahan nuklir Iran. Apabila AS dan Eropa lebih menekankan penerapan sanksi terhadap Iran untuk menekan Iran agar menghentikan pengayaan uraniumnya, Turki justru lebih mengutamakan penyelesaian melalui jalur perdamaian, terutama jalur perundingan dan kerjasama.Turki menganggap bahwa negaranya merupakan negara yang ideal
42
sebagai Channel bagi P5+1 dalam melobi Iran untuk lebih kooperatif dalam upaya menyelesaikan persoalan nuklirnya. Sikap Turki yang menolak Resolusi 1929 ini bukan berarti Turki setuju dengan upaya Iran untuk mengembangkan senjata nuklir. Terkait pengembangan senjata nuklir, baik Turki maupun pihak Barat memiliki pandangan yang sama tentang ketidak setujuan mereka. Hanya saja Turki memiliki pandangan yang berbeda tentang upaya untuk mengatasi permasalahan tersebut.
43
BAB IV ANALISA FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN TURKI MENOLAK RESOLUSI DEWAN KEAMANAN PBB 1929 TERKAIT NUKLIR IRAN
Ada empat faktor yang menjadi penyebab Turki menolak Resolusi 1929 yang dikeluarkan PBB terkait nuklir Iran pada tahun 2010. Keempat faktor tersebut adalah: Kebijakan luar negeri zero problem policy yang dianut Turki dalam masa pemerintahan AKP; Kerjasama Nuclear Fuel Swap yang dilakukan oleh Iran, Turki, dan Brazil tiga minggu sebelum Resolusi 1929 dikeluarkan; Kebutuhan energi Turki yang besar; Serta kedekatan hubungan bilateral antara Turki dan Iran. A. Kebijakan Luar Negeri Zero Problem Policy Pada Masa AKP Kebijakan luar negeri Turki pada masa kepemimpinan AKP merupakan buah pemikiran dari salah seorang akademisi Turki, Ahmet Davutoglu, yang kemudian diangkat menjadi Menteri Luar Negeri saat AKP mulai berkuasa. Konsep Strategic Depth yang kemudian dianut oleh pemerintahan AKP mengacu pada pemikiran Ahmet Davutoglu dalam karyanya yang berjudul Stratejik Derinlik,
Türkiye’nin
Uluslararasý Konumu (Strategic Depth,
Turkey’s
International Position), yang pertama kali diterbitkan dalam bahasa Turki pada tahun 2001 (Dzakirin 2012: 154-159). 44
Ide utama dari konsep strategic depth ini menekankan kepada posisi geostrategis dan akar sejarah Turki sebagai nilai lebih Turki dalam kancah politik Internasional. Secara geostrategis, posisi Turki cukup potensial karena memiliki selat Bhosporus yang menghubungan Eropa dan Asia. Dari sisi sejarah, Turki dianugerahi warisan kekaisaran Ottoman yang sangat gemilang pada masanya dan pernah menyatukan dunia muslim. Sehingga Dvutoglu berpendapat bahwa Turki sangat potensial untuk menjadi muslim regional power (Walker 2007:33). Melalui konsep strategic depth, Turki yang selama ini dikenal sebagai jembatan serta halangan antara Timur Tengah dan Eropa, kini berubah menjadi katalis yang dapat menghubungkan kedua belah pihak (Walker 2007:37). Konsep strategic depth menganjurkan untuk mencari penyeimbang dari ketergantungan Turki ke pihak Barat. Caranya adalah dengan memaksimalkan hubungan yang baik dengan negara-negara lain, sehinga bisa terbentuk aliansi yang akan menjadi penyeimbang kekuatan (Walker 2007:34). Yang menjadi dasar pemikiran dari pendapat ini adalah sebuah negara akan semakin tidak independen apabila negara tersebut hanya bergantung kepada satu pihak ataupun beberapa pihak saja. Oleh karena itu, semakin banyak hubungan baik dan relasi yang terbentuk dengan negara lain, sebuah negara akan semakin besar untuk mengoptimalkan independensinya, dan akan memiliki keuntungkan lebih dalam ranah politik Internasional. Oleh karena itu, Turki tidak boleh hanya bergantung kepada satu atau segelintir negara saja, dan harus terus secara aktif mencari hubungan baik dengan sebanyak-banyaknya negara. Hal ini dimaksudkan untuk menjadi penyeimbang 45
hubungan yang pada akhirnya Turki akan bisa mempertahankan independensinya secara maksimal (Walker 2007:34). Untuk mendapatkan peran yang lebih besar dan strategis dalam dunia Internasional melalui prinsip strategic depth, Davutoglu berpendapat setidaknya ada 2 kondisi yang sangat berpengaruh terhadap berhasil tidaknya tujuan tersebut tercapai. Pertama, kondisi politik domestik yang stabil. Kedua, Turki harus menyelesaikan semua persoalan dengan negara-negara tetangganya, oleh karena itu Davutoglu memperkenalkan zero problem policy atau kebijakan nol masalah dengan negara-negara tetangga Turki (Dzakirin 2012: 161-162). Oleh sebab itu, orientasi kebijakan luar negeri Turki terhadap negara-negara tetangganya pada masa pemerintahan AKP adalah membina hubungan baik, mempererat hubungan, dan menyelesaikan segala permasalahan yang ada. Maka dari itu, hubungan Turki dengan Iran yang merupakan negara tetangga yang berbatasan langsung, menjadi salah satu perhatian utama pemerintahan AKP. Turki berusaha untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi serta berusaha untuk semakin mempererat hubungan bilateral keduanya. Turki juga terus memelihara hubungan baik yang senantiasa mengalami peningkatan sejak AKP menjabat. Permasalahan nuklir Iran merupakan permasalahan yang sangat sensitif bagi Iran. Turki menyadari hal itu, oleh karena itu dengan basis zero problem policy Turki memiliki kebijakan yang berbeda dengan sekutu baiknya, yaitu Amerika
46
Serikat. Turki mengakui hak Iran selaku negara yang sudah menandatangani perjanjian NPT untuk mengembangkan teknologi nuklir untuk keperluan damai. Dalam proses penyelesaian permasalahan nuklir Iran yang terus memanas, Turki memandang bahwa penyelesaian dengan kekerasan dan pemberian sanksi bukanlah solusi. Turki lebih mengutamakan penyelesaian dengan jalan diplomasi dan kerjasama. Oleh karena itu, dengan tensi yang terus memanas antara Iran dengan Amerika Serikat dan Eropa, Turki memposisikan diri sebagai negara yang menjadi penghubung dialog serta fasilitator antara Iran dan P5+1. Ketika Resolusi 1929 dikeluarkan DK PBB pada 9 Juni 2010 yang berisi tambahan sanksi yang akan diberikan ke Iran, Turki yang saat itu sebagai anggota tidak tetap dewan keamanan PBB memiliki kesempatan untuk menunjukan sikapnya di hadapan dunia Internasional terkait permasalahan nuklir Iran. Secara resmi Iran menolak resolusi tersebut. Penolakan Turki terhadap Resolusi 1929 DK PBB tersebut secara umum merupakan implikasi dari konsep strategic depth yang terletak pada keleluasaan dan independensi Turki dalam merealisasikan kepentingan dan kebijakan luar negerinya (Dzakirin 2012: 165). Karena kebijakan luar negeri Turki terkait nuklir Iran sudah jelas, yaitu mendukung pengembangan nuklir Iran untuk kepentingan damai, serta mengutamakan penyelesaian masalahnya dengan jalan diplomasi dan kerjasama. Oleh karena itu, Turki menunjukan sikapnya tersebut dengan menolak Resolusi 1929 yang dikeluarkan DK PBB untuk memberikan sanksi tambahan terhadap Iran.
47
Karena Resolusi 1929 DK PBB merupakan resolusi yang berkaitan dengan Iran selaku negara tetangga Turki, maka penolakan tersebut tidak akan terlepas dari kebijakan luar negeri Turki khususnya untuk negara-negara tetangganya, yaitu zero problem policy. Penolakan Turki terhadap Resolusi 1929 ini merupakan implementasi dari kebijakan nol masalah dengan negara tetangga. Karena seandainya Turki mendukung resolusi tersebut, bukan tidak mungkin akan terjadi ketegangan antara Turki dengan Iran, karena permasalahan nuklir merupakan isu yang sangat penting dan sensitif bagi Iran. Hal ini tentu akan mempengaruhi hubungan baik yang selama ini terus dijaganya. Selain itu, dengan penolakan tersebut Turki ingin menunjukan kepada Iran bahwa Turki merupakan negara tetangga sekaligus partner yang dapat diandalkan dan terlibat aktif dalam menyelesaikan suatu persoalan, dalam hal ini adalah persoalan nuklir Iran. B. Kerjasama Nuclear Fuel Swap Kerjasama nuclear fuel swap awalnya merupakan kerjasama yang dicetuskan oleh P5+1 dengan tujuan utama untuk mengurangi stok Low Enriched Uranium (LEU) yang dimiliki oleh Iran. Inti dari kerjasama tersebut adalah pertukaran LEU yang dimiliki Iran dengan High Enriched Uranium (HEU) yang tingkat pemurniannya sampai 20% dan siap untuk dijadikan bahan bakar di Tehran Research Reactor (TRR) (Gurzel 2012:141). Namun dalam perjalanannya, proses negosiasi untuk merealisasikan hal tersebut yang dilaksanakan di Vienna pada Oktober 2009 menemui jalan buntu.
48
Sehingga, akhirnya Nuclear Fuel Swap yang akan dilakukan antara Iran dan P5+1 tersebut batal dilakukan karena tidak menemui kata sepakat. Melihat hal ini, maka Turki dan Brazil berinisiatif untuk melakukan kerjasama yang sejenis dengan Iran. Pada dasarnya, kerjasama nuclear fuel swap yang dilakukan oleh Turki dan Brazil dengan Iran ini sama dengan kerjasama yang digagas oleh P5+1. Hanya saja, dalam kerjasama yang digagas oleh Turki dan Brazil ini Turki terlibat peran sebagai negara netral yang akan digunakan untuk menyimpan 1.200 kg stok LEU yang dimiliki oleh Iran sampai Iran menerima HEU yang bisa digunakan untuk bahan bakar TRR dari Vienna Group (Amerika Serikat, Rusia, Prancis, dan IAEA) (Crail 2010:25). Mesikipun Turki-Brazil dan Iran telah sepakat menandatangani kerjasama tersebut, namun Amerika Serikat sebagai salah satu negara yang terlibat dalam negosiasi kesepakatan sejenis pada tahun 2009 yang disebut Vienna group, menolak kesepakatan yang telah dicapai antara Turki-Brazil dan Iran. Dengan ditolaknya kesepakatan yang telah dicapai tersebut, maka sesuai dengan salah satu poin dari perjanjian itu, yang mengharuskan diterimanya kesepakatan tersebut oleh Vienna group, maka kesepakatan itu tidak dapat dilaksanakan (Minister Of Foreign Affair of Turkey 2010). Kurang lebih tiga minggu setelah perjanjian nuclear fuel swap antara TurkiBrazil dan Iran ditandantangani, PBB mengeluarkan Resolusi 1929, tepatnya pada tanggal 9 Juni 2010. Dalam resolusi tersebut terdapat dua negara yang menentang, yaitu Turki dan Brazil, serta satu negara yang abstain, Lebanon. Penolakan Turki
49
turki terhadap Resolusi 1929 tersebut tidak bisa terlepas dari perjanjian yang dilakukannya bersama dengan Brazil dan Iran tiga minggu sebelumnya, tepatnya pada tanggal 17 Mei 2010. Hal ini terlihat dari pernyataan resmi Ertugul Apakan, perwakilan resmi Turki sebelum pengambilan suara untuk Resolusi 1929 dilakukan. Ertugul menyinggung secara langsung tentang perjanjian yang telah dilakukan antara Turki-Brazil
dan
Iran
serta
hubungannya
dengan
proses
penyelesaian
Permasalahan Nuklir Iran dengan jalur damai dan diplomasi (Security Council 2010). Menurut Ertugul, Turki bersama dengan Brazil telah memberikan solusi alternatif untuk penyelesaian permasalahan nuklir Iran dengan Jalur kerjasama, yaitu dengan perjanjian nuclear fuel swap yang telah ditandatangani pada 17 Mei 2010. Dengan diberlakukannnya Resolusi 1929, maka akan memberikan efek yang sangat negatif terhadap momentum yang telah dibuat dalam perjanjian nuclear fuel swap tersebut. Yaitu momentum proses diplomasi yang selama ini selalu menemui jalan buntu. Ertugul juga menyatakan bahwa Resolusi 1929 akan memberikan efek negatif terhadap seluruh proses diplomasi yang sedang dilakukan (Security Council 2010). C. Kebutuhan Energi Turki
Turki merupakan negara yang memiliki pertumbuhan permintaan energi yang sangat besar, dan terus meningkat setiap tahunnya. Selama satu dekade terakhir, Turki merupakan negara kedua setelah China dengan peningkatan jumlah
50
kebutuhan k g dan listtrik paling besar gas b di dunnia (Ministrry Of Foreiign Affairs Republic R O Turkey 2012). Of 2 Pertuumbuhan peermintaan T Turki akan energi ini meningkat m di berbagaii sektor eneergi, mulai dari gas aalam, minyaak mentah, maupun m listrrik. Pertum mbuhan perm mintaan eneergi yang terrus meningkkat ini tidakk dibarengi dengan d jum mlah produkksi energi Turki. T Akibaatnya terjaddi ketimpanggan antara Jumlah J Prodduksi dan Jum mlah Konsuumsi energi di d Turki. Grafik G IV.C C.1: Produk ksi dan Kon nsumsi Enerrgi Turki 20000-2010 (Q Quadrillion Btu) B 4.5 4 3.5 3 2.5 Total Produksi Energi
2
Total Konsumsi Energi
1.5 1 0.5 0
I Administraation. http:///www.eia.goov/ diakses Sumber: U.S. Energy Information pada p 21 Meii 2015 Dari to otal jumlah konsumsi k ennergi di Turkki, hanya 26% % yang dapaat dipenuhi oleh o energi yang berasaal dari produuksi dalam negeri. n Semeentara sisanyya diimpor Turki T dari berbagai b neggara, dan diiantara dua negara terbeesar pengim mpor sektor energi e bagi Turki T adalah h Rusia dan Iran (Ministtry Of Foreiggn Affairs Republic R Of Turkey T 20122).
51
Grafik G IV.C C.2: Negaraa Pengekspoor Minyak Ke K Turki 1995-210 (Dalam 1000 Barel/Hari) B )
200 180 160 140 120 100 80 60 40 20 0
1995 2000 2005 2006 2007 2008 2009 2010
Sumber: The T Institutt of Energgy Econom mics, Japann (IEEJ) 2012: 2 16. www.eneken w n.ieej.or. jp/en diakses pada p 20 Mei 2015 ma satu dekkade terkahiir, kedua negara n inilaah penyuplaai terbesar Selam kebutuhan k e energi Turki.. Contohnyaa saja pada taahun 2010, tahun t diman na Resolusi 1929 dikeluuarkan, Rusia menyupllai 46,08 % kebutuhann gas Turki, dan Iran menyuplai m 2 20,04 %. Paada tahun yaang sama, Irran menyupllai 43.13 % kebutuhan minyak m Turrki, dan Ruusia menyupplai sebesar 19.72% (Jeenkins 20122:55). Dari angka a tersebbut, Iran merupakan m peengekspor minyak m terbesar bagi Turki. T Oleh karena k itu, keuputusan Turki mennolak Resoluusi 1929 tiddak bisa terrlepas dari permasalaha p an kebutuhaan energi Tuurki serta huubungannyaa dengan sup plai energi dari d Iran. ua di dunia Iran merupakan negara denggan cadangann gas alam tterbesar kedu setelah Rusiia. Dengan jumlah j totaal cadangan gas alam Irran sekitar 29,6 2 triliun
52
meter kubik, maka Iran memiiki 15,8% dari total persediaan gas alam di seluruh dunia (Natural Gas Market Department 2011.). Selain itu Iran juga merupakan negara yang memiliki cadangan minyak terbesar ketiga di dunia (U.S. Energy Information Administration 2015). Dengan potensi energi yang dimiliki oleh Iran, serta letaknya yang berbatasan langsung dengan Turki, dan dihadapkan dengan kebutuhan energi Turki yang sangat besar, maka Iran merupakan negara yang sangat strategis bagi Turki. Selain itu, salah satu kebijakan politik luar negeri Turki yang berkaitan dengan energi adalah melakukan diversifikasi sumber penyedia kebutuhan energi Turki. Dalam hal ini Turki berusaha untuk tidak bergantung terlalu besar akan kebutuhan energinya hanya dari suatu negara (Ministry Of Foreign Affairs Republic Of Turkey. 2012). Hal ini terlihat dari Usaha kerjasama yang telah dibangun oleh Turki dengan Iran dalam sektor gas alam. Turki mulai menjajaki kerjasama pembelian gas alam dengan Iran sejak tahun 1996 dengan jangka waktu kerjasama selama 23 tahun. Kerjasama tersebut termasuk juga pembangunan insfrastruktur berupa pipa gas sepanjang 2.577 km yang menghubungkan Iran dan Turki sebagai media pengiriman gas. Iran mulai mengirimkan gas alamnya ke Turki sejak tahun 2001 (Jenkins 2012:54). Sebelumnya, Turki sangat menggantungkan kebutuhan akan gas alamnya ke Rusia,
hingga
akhirnya
Turki
memutuskan
untuk
sedikit
ketergantungan tersebut dengan melakukan kerjasama dengan Iran.
53
mengurangi
Grafik G IV.C C.3: Negaraa Pengeksp por Gas Alaam Ke Turrki 2005-20110 (Dalam Juta J Kubik k) 25000 20000 2005
15000
2006 2007
10000
2008 2009
5000
2010 0
Sum mber: Energy Market Reggulatory Autthority. 2011: 31
Walauupun
pada
awal-awall
pengirim man
gas
aalam
semppat
terjadi
permasalaha p an, diantarannya perminttaan pengheentian pengiriman gas alam oleh Turki T deng gan alasan kualitas yaang kurang baik pada tahun 20002, hingga permintaan p n harga olehh Turki (Jennkins 2012:554). Tapi, hal h tersebut penyesuaian tidak t memp pengaruhi perjanjian p y yang telah disepakati sebelumny ya, hingga akhirnya a kem mudian Irann menjadi neegara terbesaar kedua penngekspor gaas ke Turki setelah Rusiia. Tercattat semenjakk tahun 2008, impor gaas yang dilaakukan oleh Turki dari Iran I terus mengalami m p peningkatan n. Sebaliknya, jumlah ggas yang diimpor dari 54
Rusia mengalami penurunan. Pada tahun 2008, Turki mengimpor gas dari Rusia sebesar 62% dari total impor gas yang dilakukan oleh Turki, dan dari Iran sebesar 11%. Pada tahun 2009, impor dari Rusia menurun menjadi 54%, dan dari Iran meningkat menjadi 15%. Kemudian pada tahun 2010, jumlah impor gas dari Rusia kembali mengalami penurunan menjadi 46%, dan dari Iran mengalami peningkatan menjadi 20% (Natural Gas Market Department 2011). Dari data tersebut bisa terlihat bahwa Turki mulai mengurangi jumlah impor gasnya dari Rusia sebagai salah satu strategi luar negeri di bidang energinya, berupa diversifikasi suplai energi dan negara penyedianya. Dari penjelasan di atas, dapat dilihat posisi Iran bagi Turki. Sebagai negara penyuplai minyak terbesar bagi Turki, dan juga sebagai penyuplai gas terbesar kedua bagi Turki, maka Iran memiliki posisi yang sangat strategis. Karena posisi inilah maka Turki harus menjaga hubungan baik dengan Iran dan menghindari segala macam tindakan yang dapat memicu perselisihan dan memicu ketegangan diantara keduanya. Suat Kiniglioglu, ketua komite hubungan internasional AKP pada September 2010 menyatakan bahwa sejak hubungan energi kedua negara sangat erat, dengan jumlah impor gas Turki dari Iran yang sangat besar, maka Turki tidak bisa menciptakan hubungan yang dingin dengan negara yang menjadi suplier yang sangat potensial tersebut (Gürzel dan Eyüp 2012). Persoalan nuklir merupakan persoalan yang sangat sensitif bagi Iran, oleh karena itu Turki harus benar-benar mengambil langkah yang tepat dalam
55
menyikapi permasalahan yang sedang dihadapi Iran tersebut. Apapun langkah yang diambil, Turki harus memastikan langkah tersebut tidak membuat Iran menganggap Turki sebagai negara yang tidak bersahabat. Sejak permasalahan nuklir Iran mencuat, Turki sudah mengambil langkah yang bersahabat bagi Iran. Turki mengakui hak Iran sebagai negara yang menandatangani NPT untuk mengembangkan teknologi nuklir untuk keperluan damai. Selain itu, Turki juga lebih mengutamakan penyelesaian permasalahan nuklir Iran dengan jalan damai dan kerjasama (Kibaroglu dan Baris 2008: 65). Saat Resolusi 1929 digulirkan DK PBB pada 9 Juni 2010, Turki sebagai salah satu negara Anggota tidak tetap Dewan Keamanan PBB memiliki kesempatan untuk menunjukan sikapnya yang bersahabat bagi Iran, dan juga menunjukan konsistensi sikapnya terhadap permasalahan nuklir Iran. Maka saat voting untuk Resolusi 1929 DK PBB Turki lebih memilih untuk menentang resolusi tersebut. Terkait sikap Turki terhadap permasalahan nuklir Iran, salah satu pejabat Turki menyatakan bahwa sikap yang diambil oleh pihak Barat tidak cocok dan tidak sejalan dengan Turki. Sikap Turki adalah untuk memastikan Iran tidak menganggap Turki sebagai ancaman. Oleh karena itu, Turki lebih mengutamakan penyelesaian melalui jalan dialog dan kerjasama. Sikap Turki ini tidak terlepas dari kebutuhan energi Turki dan peran Iran sebagai salah satu negara pemasok terbesar bagi kebutuhan tersebut (Crisis Group 2012:14).
56
D. Kedekatan Hubungan Turki-Iran
Hubungan Turki dan Iran mengalami peningkatan yang cukup pesat pasca AKP menjabat. AKP memilih untuk lebih bersikap hati-hati dalam mengeluarkan kebijakan terhadap Iran, dan menghindari tindakan yang akan memicu kontroversi dan lebih berfokus pada penguatan hubungan ekonomi diantara kedua negara (Jenkins 2012:26). Hal ini terbukti dengan terus meningkatnya hubungan ekonomi diantara kedua negara setelah AKP menjabat. Tercatat pada tahun 2000 total volume perdagangan antara Turki dan Iran hanya sebesar USD 1 Miliar, dan meningkat 10 kali lipat menjadi USD 10 Miliar pada tahun 2010. Tabel IV.D.1: Volume Perdagangan Turki – Iran Tahun 2000 – 2010 (USD) Tahun
Ekspor
Impor
2000
235.784.797
815.730.198
2001
360.535.772
839.800.076
2002
333.962.009
920.971.696
2003
533.786.239
1.860.682.809
2004
813.031.280
1.962.058.691
2005
912.940.054
3.469.705.759
2006
1.066.901.631
5.626.610.156
2007
1.441.190.094
6.615.393.849
Total 1.051.514.995 1.200.335.848 1.254.933.705 2.394.469.048 2.775.089.971 4.382.645.813 6.693.511.787 8.056.583.943
57
10.229.448.633 2008
2.029.759.634
8.199.688.999
2009
2.024.546.255
3.405.985.565
2010
3.044.177.151
7.645.007.868
5.430.531.820 10.689.185.019 Sumber: Turkish Statistical Institue. Data diakses dari http://www.turkstat.gov.tr/ pada 21 Mei 2015. Dengan volume perdagangan yang terus meningkat, maka Iran merupakan trading partner yang penting bagi Turki. Tercatat pada 2008 Iran merupakan trading partner terbesar kelima bagi Turki dengan total perdagangan sebesar 5.6% dari seluruh perdagangan internasional yang dilakukan Turki (bbc 2009). Dari data diatas terlihat penurunan volume perdagangan pada tahun 2009. Berdasarkan pernyataan dari Cevdet Yilmaz, menteri dalam negeri Turki tahun 2009, bahwa penurunan volume perdagangan tersebut diakibatkan oleh ekonomi global yang sedang menurun (Pupkin 2010). Selain kedekatan dalam bidang ekonomi, hubungan politik dan keamanan antara Turki dan Iran juga terus mengalami peningkatan. Permasalahan PKK yang menjadi salah satu penyebab ketegangan hubungan antara Turki dan Iran dapat diselesaikan ketika AKP menjabat. Hal ini dibuktikan dengan diakuinya PKK sebaga organisasi teroris oleh Iran pada tahun 2004, yang selama ini Iran tidak pernah mau mengakui PKK sebagai organisasi teroris (Ehteshami & Suleyman 2011:653-654). Selain itu juga pada tahun 2008 terjadi pertemuan antara Presiden Iran dan Perdana Menteri Turki untuk merumuskan hubungan politik dan keamanan yang
58
lebih intensif. Dalam pertemuan tersebut kedua belah pihak menandatangani nota kesepahaman untuk bekerjasama dalam berbagai bidang, yaitu bidang keamanan, pemberantasan organisasi kejahatan, kerjasama ekonomi, serta kerjasama dalam bidang pendidikan. Pada tahun 2009 juga kedua negara sepakat untuk mulai melakukan kerjasama budaya dan mendeklarasikan Iran-Turkey Culture Year (Farrar-Wellman, 2010). Kedekatan hubungan ini merupakan salah satu faktor yang menyebabkan Turki menolak Resolusi 1929 Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 9 Juni 2010. Dalam sebuah wawancara yang dilakukan oleh crisis group pada Februari 2012 tentang permasalahan nuklir Iran, salah satu pejabat senior menyatakan bahwa apabila dihadapkan dengan permasalahan nuklir Iran hanya ada 3 pilihan, yaitu pemberian sanksi, yang terbukti tidak efektif karena walaupun sudah diberikan sanksi sejak tahun 2006 Iran masih mampu mengembangkan uraniumnya hingga memproduksi LEU. Yang kedua adalah Langkah militer, yang mana pilihan ini justru akan menjadi bencana. Sementara yang terakhir adalah negosiasi (Crisis Group 2012:15). Langkah inilah yang dipilih oleh Turki sejak awal, yaitu menekankan penyelesaian permasalahan nuklir Iran melalui jalan diplomasi dan negosiasi. Sikap yang diambil Turki ini tidak mengherankan, karena hubungan kedua negara cukup erat dan saling membutuhkan, dan Turki ingin hubungan ini terus terjalin dengan baik agar tidak mengganggu kepentingan nasionalnya di kawasan tersebut.
59
BAB V PENUTUP
Kesimpulan Permasalahan nuklir Iran sudah mulai menjadi sorotan dunia internasional sejak tahun 2002, ketika terungkapnya fasilitas proyek rahasia pengembangan teknologi nuklir yang dilakukan oleh Iran di Natanz dan Arak. Sejak saat itu, berbagai upaya telah dilakukan oleh IAEA selaku badan atom dunia untuk menyelesaikan permasalahan yang terjadi. Setelah usaha yang dilakukan oleh IAEA tersebut tidak membuahkan hasil hingga pertengahan 2003, kemudian muncul tiga negara yang terdiri dari Jerman, Prancis, dan Inggris yang berinisiatif untuk melakukan perundingan dengan Iran. Ketiga negara tersebut kemudian dikenal dengan EU3, dan berhasil mencapai beberapa kesepakatan dengan Iran, hingga Iran menghentikan proses pengayaan uranium dan juga pembuatan mesin centrifuge. Namun hal tersebut tidak berlangsung lama, pada Agustus 2005 pasca Mahmoud Ahmadinejad terpilih sebagai presiden, Iran kembali melanjutkan proses pengayaan uranium yang sebelumnya sempat dihentikan. Menanggapi hal ini, maka tiga negara yang terdiri dari Amerika Serikat, China, dan Rusia bergabung dengan EU3 yang kemudian dikenal dengan P5+1 untuk melakukan proses diplomasi dengan Iran. Proses diplomasi yang dilakukan tidak juga menemukan titik temu, hingga akhirnya pada 12 Juli 2006 P5+1 menyerahkan
60
permasalahan nuklir Iran ke Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB). Pada 31 Juli 2006 DK PBB mengeluarkan resolusi pertama untuk permasalahan nuklir Iran. Resolusi tersebut bernama Resolusi 1969. Karena Iran tidak mau untuk menerapkan resolusi yang dikeluarkan oleh DK PBB, maka DK PBB pun mengeluarkan resolusi-resolusi selanjutnya yang mayoritas berisi tekanan dan sanksi terhadap Iran. Resolusi yang dikeluarkan setelah Resolusi 1969 antara lain Resolusi 1737 (2006), Resolusi 1747 (2007), Resolusi 1803 (2008), Resolusi 1835 (2008), dan yang terakhir Resolusi 1929 (2010). Pada saat Resolusi 1929 dikeluarkan Turki merupakan salah satu anggota tidak tetap DK PBB dan memilih untuk menolak resolusi tersebut. Keputusan Turki ini tidak sejalan dengan Amerika Serikat yang merupakan sekutu dekat Turki, hingga menimbulkan berbagai pendapat terutama di kalangan pejabat dan politisi Amerika Serikat yang menyebutkan bahwa Turki mulai berpaling dari dunia Barat dan mulai memperkuat hubungannnya dengan dunia muslim. Setelah melalui penelitian yang dilakukan dengan menggunakan kerangka teori kepentingan nasional dan kebijakan luar negeri, akhirnya skripsi ini dapat menjawab pertanyaan tentang keputusan yang diambil oleh Turki tersebut. Setidaknya ada empat alasan kenapa Turki menolak Resolusi 1929 yang dikeluarkan oleh DK PBB tersebut. Alasan pertama adalah karena kebijakan luar negeri zero problem policy pada masa pemerintahan AKP yang menjadi landasan utama kebijakan luar negeri
61
Turki dengan negara-negara tetangganya. Dalam kebijakan ini, Turki berusaha untuk menjalin dan menjaga hubungan yang baik dengan negara tetangga, termasuk juga Iran, serta menghindari segala macam kemungkinan konflik dan ketegangan. Dengan mengambil keputusan menolak terhadap Resolusi 1929, Turki ingin Iran menganggap Turki sebagai partner yang dapat diandalkan dalam penyelesaian permasalahan nuklir yang merupakan permasalahan yang sangat sensitif bagi Iran. Selain itum, Turki juga ingin Iran menganggap Turki bukan sebagai musuh yang dapat membahayakan kepentingan Iran. Hal ini dilakukan Turki untuk menjaga hubungan baik sebagaimana tujuan utama dari kebijakan luar negeri zero problem policy yang dianutnya. Alasan kedua adalah karena adanya kerjasama nuclear fuel swap sebelum Resolusi 1929 dikeluarkan oleh DK PBB. Nuclear fuel swap yang disepakati Turki, Iran, dan Brazil ini merupakan salah satu solusi damai yang ditawarkan Turki dalam upaya menyelesaikan permasalahan nuklir Iran yang berkepanjangan. Maka dengan dikeluarkanya Resolusi 1929 yang berupa pemberian tambahan sanksi terhadap Iran, hal itu dapat memberikan efek yang negatif terhadap seluruh proses diplomasi yang sedang dilakukan. Alasan ketiga adalah kebutuhan energi Turki yang besar. Turki sebagai negara yang tingkat konsumsi energinya terus meningkat membutuhkan sumber energi yang aman dan berkelanjutan. Hal itu bisa didapatkan Turki dari Iran. Sebagai negara dengan cadangan minyak terbesar ketigak di dunia, dan cadangan gas terbesar kedua di dunia, peran Iran sangat strategis dalam memenuhi kebutuhan energi Turki. Iran merupakan penyuplai minyak terbesar Turki dan 62
penyuplai gas terbesar kedua bagi Turki. Dengan posisi Iran yang sangat strategis tersebut, maka Turki tidak akan mengambil keputusan yang dapat mengganggu hubungannya dengan Iran. Alasan keempat adalah karena kedekatan hubungan Turki dengan Iran. Setelah AKP menjabat, hubungan bilateral Turki dan Iran terus mengalami peningkatan. Kerjasama di berbagai bidang seperti keamanan, politik, dan ekonomi terus mengalami perbaikan dan peningkatan. Permasalahan yang selama ini menjadi penghambat hubungan kedua negara seperti perselisihan terkait PKK mulai bisa diatasi dan dicari jalan keluarnya. Dalam bidang ekonomi pun kedua negara semakin tahun volume perdagangannya semakin meningkat. Yang tadinya hanya USD 1 Miliar pada tahun 2000 meningkat 1000% menjadi USD 10 Miliar pada tahun 2010. Keempat alasan itulah yang menjadi faktor penyebab keputusan Turki menolak Resolusi 1929 yang dikeluarkan oleh Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa pada tahun 2010.
63
DAFTAR PUSTAKA BUKU Abrahamian, Ervand.2008. A History Of Modern Iran. United States of America: Cambridge University Press. Coplin, William D. 1971. Introduction to International Politics: A Theoritical Overview. Chicago: Markham Publishing Company. Dogan, Erkan. 2004. Turkey’s Iran Card: Energy Cooperation in American and Russian Vortex. Master of Arts Thesis in National Security Affairs, Naval Postgraduate School, California. Dzakirin, Ahmad. 2012. Kebangkitan Pos-Islamisme: Analisis Strategi dan Kebijakan AKP Turki Memenangkan Pemilu. Solo: Era Adicitra Intermedia. Feroz, Ahmad. 1993. The Making of Modern Turkey. London: Routledge. Halil Inalcik. 1973. The Ottoman Empire: The Classical Age 1300-1600. London: Orion Books Ltd. Hara, Abu Bakar Eby. 2011. Pengantar Analisa Politik Luar Negeri: Dari Realisme sampai Konstrultivisme. Bandung: Nuansa. Hen-tov, Elliot. 2011. Asymmetry of Interest: Turkish-Iranian Relations Since 1979. PhD Dissertation in the Department of Near Eastern Studies,Princeton University. Holsti, K.J. 1987. Politik Internasional:Kerangka Analisa.Jakarta: Pedoman Ilmu Jaya. Mingst, Karen A. 2008. Essentials Of International Relations. New York: W.W Norton & Company, Inc. Pearson, Frederic S. dan J. Martin Rochester.1992. International Relation: The Global Condition In The Twenty First Century. USA: The McGraw-Hill Compaies, Inc. Perwita, Anak Agung Banyu dan Yanyan Mochamad Yani. 2006. Pengantar Ilmu Hubungan Internasional. Bandung: PT Remaja Rosdakarya Offset. Sarosa, Samiaji. 2012. Penelitian Kualitatif : Dasar-Dasar. Jakarta: PT Indeks. Sinkaya, Bayram.Conflict And Cooperation In Turkey-Iran Relations: 1989-2001. Master of Science Thesis in the Department of International Relations, the Graduate School of Social Science, Middle East Technical University. Taghian, Syarifm. 2012. Erdogan: Muadzin Istambul Penakluk Sekularisme Turki. Jakarta: Pustaka Al-kautsar.
xiv
JURNAL, DOKUMEN, ARTIKEL Aghazadeh, Reza. 2005. “Iran's Nuclear Policy: Peaceful, Transparent, Independent.” IAEA. 6 Mei 2005. Ahmad, Syed Salahuddin. 1969. “Regional Cooperation For Development.”Pakistan Horizon Vol. 22, No. 1 (First Quarter, 1969), pp. 22-28 Pakistan: Pakistan Institute of International Affairs. Aras, Bülent & Rabia Karakaya Polat. 2008. “From Conflict to Cooperation: Desecuritization of Turkey’s Relations with Syria and Iran.” Security Dialogue vol. 39, no. 5, Oktober 2008. Aras, Bulent.2001. “Turkish Foreign Policy Towards Iran: Ideology And Foreign Policy Flux.” Journal of Third World Studies volume18 no.1. ProQuest Research Library. Bleek, Philip C dan Aaron Stein. 2012. “Turkey and America Face Iran.” Survival vol 54, no. 2 : 27-38. Calabrese, John. 1998. “Turkey and Iran: Limits of a Stable Relationship.” British Journal of Middle Eastern Studies volume 25 no.1 h. 75-94. Cordesman, Anthony H. dan Al-Rodhan, Khalid R. 2006. “Iranian NuclearWeapons? The Uncertain Nature of Iran’s Nuclear Programs.” Center for Strategic and International Studies (CSIS). Crail, Peter. 2010. “Brazil, Turkey Broker Fuel Swap With Iran.” Arms Control Today Volume 40, No. 5, Juni 2010. Crisis Group. 2012. “In Heavy Waters: Iran’s Nuclear Program, The Risk Of War And Lessons From Turkey.” Middle East and Europe Report No.116 23 February 2012. Demiryol, Tolga. 2013. “The Limits to Cooperation Between Rivals: TurkishIranian Relations Since 2002.” Ortadoğu Etütleri, Volume 4, No 2, January 2013. Efegil, Ertan dan Leonard A Stone. 2003. “Iran and Turkey in Central Asia: Opportunities for rapprochement in the post-cold war era.” Journal of Third World Studies; Spring 2003, volume 20 no. 1. ProQuest Research Library. Ehteshami, Anoushiravan dan Suleyman Elik. 2011. “Turkey’s Growing Relations with Iran and Arab Middle East.” Turkish Studies, Volume. 12, No. 4, Desember 2011. London: Routledge. Gürzel, Aylin G. dan Eyüp Ersoy. 2012. “Turkey and Iran's Nuclear Program.” Middle East Policy Council, Spring 2012, Volume XIX, Number 1.
xv
Gurzel, Aylin G. 2012. “Turkey’s Role in Defusing the Iranian Nuclear Issue.” The washington quarterly. Summer 2012. IAEA. 2003. “Implementation of the NPT safeguards agreement in the Islamic Republic of Iran.” International Atomic Energi Agency (IAEA). GOV/2003/40. 6 Juni 2013. ------. 2003. “Implementation of the NPT Safeguards Agreement in the Islamic Republic of Iran: Resolution adopted by the Board on 12 September 2003.” International Atomic Energy Agen (IAEA). GOV/2003/69. 12 September 2003. ------. 2004. “Communication dated 26 November 2004 received from the Permanent Representatives of France, Germany, the Islamic Republic of Iran and the United Kingdom concerning the agreement signed in Paris on 15 November 2004.” IAEA Information Circular. INFCIRC/637, 26 November 2004. ------. 2005. “Implementation of the NPT Safeguards Agreement in the Islamic Republic of Iran and related Board resolutions: Resolution adopted on 11 August 2005.” International Atomic Energy Agency (IAEA). GOV/2005/64, 11 Agustus 2005. ------. 2005. “Implementation of the NPT Safeguards Agreement in the Islamic Republic of Iran: Report by the Director General.” International Atomic Energy Agency (IAEA). GOV/2005/67 2 September 2005. ------. 2005. “Implementation of the NPT Safeguards Agreement in the Islamic Republic of Iran: Resolution adopted on 24 September 2005.” International Atomic Energy Agency (IAEA). GOV/2005/77 24 September 2005. ------. 2003. Implementation of the NPT safeguards agreement in the Islamic Republic of Iran. International Atomic Energy Agency (IAEA). GOV/2003/40. Jenkins, Gareth H. 2012. “Occasional Allies, Enduring Rivals: Turkey;s Relations With Iran.” Central Asia-Caucus Institue & Silk Road Studies Program. Kerr, Paul K. 2012. Iran’s Nuclear Program: Status. Congressional Research Service. CRS Report for Congress: Prepared for Members and Committees of Congress. File diakses dari https://www.fas.org/sgp/crs/nuke/ RL34544.pdf. Kibaroglu, Mustafa dan Baris Caglar. 2008. “Implications Of A Nuclear Iran For Turkey.” Middle East Policy, vol. xv, no. 4, WINTER 2008. Natural Gas Market Department. 2011. “Natural Gas Market 2011 Sector Report.” Republic Of Turkey Energy Market Regulatory Authority.
xvi
Ozcan, Nihat Ali danOzgur Ozdamar. 2010.“Uneasy Neighbors: TurkishIranian Relations Since the 1979 Islamic Revolution.”Middle East Policy Council. Fall 2010,Volume XVII, No. 3. Sinkaya, Baryam. 2012. “Rationalization of Turkey-Iran Relations: Prospects and Limits. Insight Turkey Volume 14 No 2. Soltani, Fakhreddin dan Amiri, Reza Ekhtiari. 2010. “Foreign Policy of Iran after Islamic Revolution.” Journal of Politics and Law Volume. 3, No. 2; September 2010. Canada: Canadian Center of Science and Education. Versi online bisa diakses di www.ccsenet.org/jpl. Taşpınar, Ömer. 2011. “The Turkish Model and its Applicability.” Mediterranean Paper Series: Turkey And The Arab Spring Implications For Turkish Foreign Policy From A Transatlantic Perspective. The Institut of Energy Economics, Japan (IEEJ). 2012. “Recent Trends in Oil Supply from Iran.” Oil Group, Oil and Gas Unit. Artikel diunduh dari www.eneken.ieej.or.jp/en. Thompson, Reagan. 2011. "The Effectiveness Of The Fourth Round Of Sanction Against Iran." Staford Journal Of International Relations XIII (1):6-15. U.S. Energy Information Administration, data diambil dari http://www.eia.gov/ beta/international/rankings/#?prodact=57-6&cy=2010&pid=57&aid=6&tl _id=6A&tl_type=a pada 20 Mei 2015. Walker, Jushua W. 2007. “Learning Strategic Depth: Implications of Turkey’s New Foreign Policy Doctrine.” Insight Turkey, Volome. 9 Number 3. Yerevantsi, Hadji Mirza Agassi. 2012. “Reforms and Reorganizations in Iran under.” Journal of American Science, Volume. 8 no. 2. MEDIA INTERNET Aghazadeh. 2002. “Statement by H.E Reza Aghazadeh at 46th General Conference of the International Atomic Energy Agency.” International Atomic Energy Agen (IAEA). 16 September 2002. Dokumen diunduh pada 15 november 2014. (http://www.iaea.org/About/Policy/GC/GC46 /iran.pdf.). BBC. 2006. “Iran defiant on nuclear deadline.” BBC News, 1 Agustus 2006. Artikel diakses Pada tanggal 14 April 2015 (http://news.bbc.co.uk /2/hi/middle_east/5236010.stm). -----. 2006. “Iran offers West 'serious' talks.” BBC News, 22 Agustus 2006. Artikel diakses Pada tanggal 14 April 2015 (dari http://news.bbc.co.uk /2/hi/middle_east/5275560.stm). ------. 2014. “Profile: The PKK.” Artikel diakses pada 25 desember 2014. (http://www.bbc.com/news/world-europe-20971100). xvii
------. 2009 “Iran: facts and figures.” 2 Juni 2009, artikel diakses pada 20 April 2015 (http://news.bbc.co.uk/2/hi/middle_east/8060167.stm). Cagaptay, Soner dan Duden Yegenoglu, “The myth of 1639 and Kasri Siri.”, 18 Mei 2006 Edisi 18. Artikel diakses pada tanggal 16 Desember 2014 (http://www.bitterlemonsinternational.org/inside.php? id=541). Davenport, Kelsey. 2014. “UN Security Council Resolutions on Iran.” Arms Control Association. Artikel diakses pada tanggal 27 januari 2014. (http://www.armscontrol.org/factsheets/Security-Council-Resolutions-onIran.). ------. 2014. “History of Official Proposals on the Iranian Nuclear Issue.” Arms Control Association. Januari 2014. Artikel diakses pada tanggal 16 April 2015 (http://www.armscontrol.org/factsheets/Iran_Nuclear_Proposals). Davenpot, Kelsey. 2012. “UN Security Council Resolutions on Iran . Arms Control Association.” Artikel diakses pada tanggal 20 juni 2014 (http://www.armscontrol.org/factsheets/Security-Council-Resolutions-onIran). Farrar-Wellman, Ariel. 2010. “Turkey-Iran Foreign Relations. www.irantracker.org” 2 Agustus 2010. Artikel diakses pada tanggal 20 Mei 2010.(http://www.irantracker.org/foreign-relations/turkey-iran-foreignrelations#_ftn59). Global Policy. 2014. “UN Sanctions Against Iran.” artikel diakses pada tanggal 20 juni 2014 (http://www.globalpolicy.org/security-council/index-of-countrieson-the-security-council-agenda/iran.html). The Guardian. 2014. “Iran halts enriching high-level uranium.” The Guardian, 20 Januari 2014. Artikel diakses pada tanggal 7 april 2015. (http://www.theguardian.com/world/2014/jan/20/iran-halt-enrichmenturanium-iaea-confirms-eu-sanctions). Iran Watch.2012. “A History Of Iran's Nuclear Program.” Artikel diakses pada tanggal 25 Februari. (http://www.iranwatch.org/our-publications/weaponprogram-background-report/history-irans-nuclear-program). Kıbrıs, Nursema. 2012. “Turkish Iranian Relations in the age of Ataturk’s Governance.” Ankara Uni. Dep. of H.R., file diambil dari pada tanggal 15 April 2015 (http://www.orsam.org.tr/en/art icle_Print.aspx? ID=2028). Linzer. 2006. “Iran To Be Reported To Security Council.” Wsahington Post, 31 Januari 2006. Artikel diakses pada tanggal 15 April 2015 (dari http://www.pressmon.com/en/a/en/ 506984/IRAN-TO-BE-REPORTED-TOSECURITY-COUNCIL).
xviii
Liyu, Lin. 2010. “Pakistan rejects U.S. daily report on Iran nuclear.” Artikel Diakses pada tanggal 24 Februari 2015 (http://news.xinhuanet.com /english2010/world/2010-03/15/c_13211711.htm). Meier, Oliver. 2006. “Iran and Foreign Enrichment: A Troubled Model.” Artikel diakses pada taggal 25 Februari 2015 (https://www.armscontrol.org/act/2006_01-02/JANFEB-IranEnrich). Minister Of Foreign Affair of Turkey. 2010. “Joint Declaration of the Ministers of Foreign Affairs of Turkey, Iran and Brazil.” Minister Of Foreign Affair of Turkey (MFA). Dokumen diakses pada tangga 10 April 2015 (http://www.mfa.gov.tr/17_05_2010-joint-declaration-of-the-ministers-offoreign-affairs-of-turkey_-iran-and-brazil_.en.mfa). ------. 2012. “Turkey's Energy Strategy.” Artikel diakses pada tanggal 15 Mei 2015 (http://www.mfa.gov.tr/turkeys-energy-strategy.en.mfa). Nikou, Semira N.2014. “Timeline of Iran's Nuclear Activities.” United States Institute of Peace The Iran Primer. Artikel diakses pada 25 Februari 2015 (http://iranprimer.usip.org/resource /timeline-irans-nuclear-activities.). NTI. “Isfahan (Esfahan) Nuclear Technology Center (INTC).” Nuclear Threat Initiative. Artikel diakses pada tanggal 26 Januari 2015 (http://www.nti.org/facilities/237/). Nuclear Control Institut. 2006. “List of Revelations on Iran's Nuclear & WMD Activities by the Iranian Opposition since 2002.” Artikel diakses pada tanggal 28 maret 2015 (http://www.nci.org/06nci/01-31/Revelations.htm). Nuclearenergy.ir. “Negotiations.” Artikel diakses pada tanggal 4 April 2015 ( http://nuclearenergy.ir /negotiations/). Pupkin, David. “Iran-Turkey Economic Relations: What Their Rapid Growth Means for Iran’s Nuclear Program.” www.irantracker.org, 24 Juni 2010. Artikel diakses pada tanggal 20 Mei 2015 9 dari http://www.irantracker.org /analysis/iran-turkey-economic-relations-what-their-rapid-growth-meansiran%E2%80%99s-nuclear-program). Rajiv, S. Samuel C.. 2010. “Iran-Turkey Nuclear Swap Deal.” Institut for Defence Studies and Analyses. Artikel diakses pada tanggal 10 April 2015 (dari http://www.idsa.in/idsacomments/IranTurkeyNuclearSwapDeal_sscrajiv_19 0510.html). Reinl, James. 2010. “US rejects Iran nuclear deal brokered by Turkey and Brazil and sets up new sanctions.” The National World. 20 Mei 2010. Artikel diakses pada tanggal 11 April 2015 (dari http://www.thenational.ae /news/world/us-rejects-iran-nuclear-deal-brokered-by-turkey-and-brazil-andsets-up-new-sanctions).
xix
Sahimi, Mohammad. 2003. “Iran's Nuclear Program. Part I: Its History.” Artikel diakses pada tanggal 20 Januari 2015 (http://www.payvand.com/news /03/oct/1015.html). Sciolino, Elaine. 2006. “Iran Seeks Talks but Rejects Nuclear Freeze.” The New York Times. 12 Juni 2006. Artikel diakses pada tanggal 15 April 2015 (http://www.nytimes.com/2006/06/12/world/middleeast/12iran.html?pagewa nted=print). Sciolino, Elaine. 2008. “Iran Responds Obliquely to Nuclear Plan.” The New York Times, 5 Juli 2008. Artikel diakses pada tanggal 16 April 2015 (http://www.nytimes.com /2008/07/05/world/ middleeast/05iran.html?fta=y) Security council. 2010. “Final report of the Panel of Experts established pursuant to resolution 1929 (2010) 2011.” Dokumen diakses pada tanggal 15 januari 2014 (http://a-pln.org/sites/default/files/apln-analysis-docs/201105UNpanelofexpertsreportonIran-1.pdf). ------. 2006. “Resolution 1696 (2006).” Dokumen diunduh pada 13 februari 2014 (http://www.un.org/News/Press /docs/2006/sc8792.doc.htm) ------. 2008. “Resolution 1803 (2008).” Dokumen diunduh pada 13 februari 2014 (www.iaea.org/NewsCenter/ Focus/IaeaIran/unsc_res1803-2008.pdf). ------. 2010. “Resolution 1929 (2010).” Dokumen diunduh pada 13 februari 2014 (http://www.iaea.org/newscenter/ focus/iaeairan/unsc_ res1929-2010.pdf). ------. 2010. “Security Council Imposes Additional Sanctions On Iran,Voting 12 In Favour To 2 Against, With 1 Abstention: Brazil, Turkey, Lebanon Say Tehran Declaration Could Boost Diplomatic Efforts, While Sanctions Represent Failure of Diplomacy.” Artikel diakases pada tanggal 27 Januari 2014 (http://www.un.org/News/Press /docs/2010/sc9948.doc.htm). ------. “Voting System and Records.” Artikeldiakses pada tanggal 25 juni 2014 (http://www.un.org/en/sc/meetings/voting.shtml). ------. 2010. “Security Council Imposes Additional Sanctions on Iran, Voting 12 in Favour to 2 Against, with 1 Abstention.” Security Council Meeting Coverage and Press Releases, 9 Juni 2010. Artikel diakases pada tanggal 10 Mei 2015 (http:// www.un.org/press/en/2010/sc9948.doc.htm). Smith, R. Jeffrey and Warrick, Joby. 2010 . “Pakistani scientist Khan describes Iranian efforts to buy nuclear bombs.” Washington Post 14 Maret 2010. Artikel diakses pada tanggal 25 Februari 2015 (www.washingtonpost.com/wp-dyn/content/article/2010/03/13/AR2010031 302258.html).
xx
LAMPIRAN 1
RESOLUSI 1929
resolutions 1696 (2006), 1737 (2006), 1747 (2007) and 1803 (2008) and which are essential to build confidence, and deploring Iran’s refusal to take these steps, Reaffirming that outstanding issues can be best resolved and confidence built in the exclusively peaceful nature of Iran’s nuclear programme by Iran responding positively to all the calls which the Council and the IAEA Board of Governors have made on Iran, Noting with serious concern the role of elements of the Islamic Revolutionary Guard Corps (IRGC, also known as “Army of the Guardians of the Islamic Revolution”), including those specified in Annex D and E of resolution 1737 (2006), Annex I of resolution 1747 (2007) and Annex II of this resolution, in Iran’s proliferation sensitive nuclear activities and the development of nuclear weapon delivery systems, Noting with serious concern that Iran has constructed an enrichment facility at Qom in breach of its obligations to suspend all enrichment-related activities, and that Iran failed to notify it to the IAEA until September 2009, which is inconsistent with its obligations under the Subsidiary Arrangements to its Safeguards Agreement, Also noting the resolution of the IAEA Board of Governors (GOV/2009/82), which urges Iran to suspend immediately construction at Qom, and to clarify the facility’s purpose, chronology of design and construction, and calls upon Iran to confirm, as requested by the IAEA, that it has not taken a decision to construct, or authorize construction of, any other nuclear facility which has as yet not been declared to the IAEA, Noting with serious concern that Iran has enriched uranium to 20 per cent, and did so without notifying the IAEA with sufficient time for it to adjust the existing safeguards procedures, Noting with concern that Iran has taken issue with the IAEA’s right to verify design information which had been provided by Iran pursuant to the modified Code 3.1, and emphasizing that in accordance with Article 39 of Iran’s Safeguards Agreement Code 3.1 cannot be modified nor suspended unilaterally and that the IAEA’s right to verify design information provided to it is a continuing right, which is not dependent on the stage of construction of, or the presence of nuclear material at, a facility, Reiterating its determination to reinforce the authority of the IAEA, strongly supporting the role of the IAEA Board of Governors, and commending the IAEA for its efforts to resolve outstanding issues relating to Iran’s nuclear programme, Expressing the conviction that the suspension set out in paragraph 2 of resolution 1737 (2006) as well as full, verified Iranian compliance with the requirements set out by the IAEA Board of Governors would contribute to a diplomatic, negotiated solution that guarantees Iran’s nuclear programme is for exclusively peaceful purposes, Emphasizing the importance of political and diplomatic efforts to find a negotiated solution guaranteeing that Iran’s nuclear programme is exclusively for peaceful purposes and noting in this regard the efforts of Turkey and Brazil towards an agreement with Iran on the Tehran Research Reactor that could serve as a confidence-building measure,
2
Emphasizing also, however, in the context of these efforts, the importance of Iran addressing the core issues related to its nuclear programme, Stressing that China, France, Germany, the Russian Federation, the United Kingdom and the United States are willing to take further concrete measures on exploring an overall strategy of resolving the Iranian nuclear issue through negotiation on the basis of their June 2006 proposals (S/2006/521) and their June 2008 proposals (INFCIRC/730), and noting the confirmation by these countries that once the confidence of the international community in the exclusively peaceful nature of Iran’s nuclear programme is restored it will be treated in the same manner as that of any Non-Nuclear Weapon State Party to the Treaty on the Non-Proliferation of Nuclear Weapons, Welcoming the guidance issued by the Financial Action Task Force (FATF) to assist States in implementing their financial obligations under resolutions 1737 (2006) and 1803 (2008), and recalling in particular the need to exercise vigilance over transactions involving Iranian banks, including the Central Bank of Iran, so as to prevent such transactions contributing to proliferation-sensitive nuclear activities, or to the development of nuclear weapon delivery systems, Recognizing that access to diverse, reliable energy is critical for sustainable growth and development, while noting the potential connection between Iran’s revenues derived from its energy sector and the funding of Iran’s proliferationsensitive nuclear activities, and further noting that chemical process equipment and materials required for the petrochemical industry have much in common with those required for certain sensitive nuclear fuel cycle activities, Having regard to States’ rights and obligations relating to international trade, Recalling that the law of the sea, as reflected in the United Nations Convention on the Law of the Sea (1982), sets out the legal framework applicable to ocean activities, Calling for the ratification of the Comprehensive Nuclear-Test-Ban Treaty by Iran at an early date, Determined to give effect to its decisions by adopting appropriate measures to persuade Iran to comply with resolutions 1696 (2006), 1737 (2006), 1747 (2007) and 1803 (2008) and with the requirements of the IAEA, and also to constrain Iran’s development of sensitive technologies in support of its nuclear and missile programmes, until such time as the Security Council determines that the objectives of these resolutions have been met, Concerned by the proliferation risks presented by the Iranian nuclear programme and mindful of its primary responsibility under the Charter of the United Nations for the maintenance of international peace and security, Stressing that nothing in this resolution compels States to take measures or actions exceeding the scope of this resolution, including the use of force or the threat of force, Acting under Article 41 of Chapter VII of the Charter of the United Nations, 1. Affirms that Iran has so far failed to meet the requirements of the IAEA Board of Governors and to comply with resolutions 1696 (2006), 1737 (2006), 1747 (2007) and 1803 (2008);
3
2. Affirms that Iran shall without further delay take the steps required by the IAEA Board of Governors in its resolutions GOV/2006/14 and GOV/2009/82, which are essential to build confidence in the exclusively peaceful purpose of its nuclear programme, to resolve outstanding questions and to address the serious concerns raised by the construction of an enrichment facility at Qom in breach of its obligations to suspend all enrichment-related activities, and, in this context, further affirms its decision that Iran shall without delay take the steps required in paragraph 2 of resolution 1737 (2006); 3. Reaffirms that Iran shall cooperate fully with the IAEA on all outstanding issues, particularly those which give rise to concerns about the possible military dimensions of the Iranian nuclear programme, including by providing access without delay to all sites, equipment, persons and documents requested by the IAEA, and stresses the importance of ensuring that the IAEA have all necessary resources and authority for the fulfilment of its work in Iran; 4. Requests the Director General of the IAEA to communicate to the Security Council all his reports on the application of safeguards in Iran; 5. Decides that Iran shall without delay comply fully and without qualification with its IAEA Safeguards Agreement, including through the application of modified Code 3.1 of the Subsidiary Arrangement to its Safeguards Agreement, calls upon Iran to act strictly in accordance with the provisions of the Additional Protocol to its IAEA Safeguards Agreement that it signed on 18 December 2003, calls upon Iran to ratify promptly the Additional Protocol, and reaffirms that, in accordance with Articles 24 and 39 of Iran’s Safeguards Agreement, Iran’s Safeguards Agreement and its Subsidiary Arrangement, including modified Code 3.1, cannot be amended or changed unilaterally by Iran, and notes that there is no mechanism in the Agreement for the suspension of any of the provisions in the Subsidiary Arrangement; Reaffirms that, in accordance with Iran’s obligations under previous 6. resolutions to suspend all reprocessing, heavy water-related and enrichment-related activities, Iran shall not begin construction on any new uranium-enrichment, reprocessing, or heavy water-related facility and shall discontinue any ongoing construction of any uranium-enrichment, reprocessing, or heavy water-related facility; Decides that Iran shall not acquire an interest in any commercial activity 7. in another State involving uranium mining, production or use of nuclear materials and technology as listed in INFCIRC/254/Rev.9/Part 1, in particular uraniumenrichment and reprocessing activities, all heavy-water activities or technologyrelated to ballistic missiles capable of delivering nuclear weapons, and further decides that all States shall prohibit such investment in territories under their jurisdiction by Iran, its nationals, and entities incorporated in Iran or subject to its jurisdiction, or by persons or entities acting on their behalf or at their direction, or by entities owned or controlled by them; Decides that all States shall prevent the direct or indirect supply, sale or 8. transfer to Iran, from or through their territories or by their nationals or individuals subject to their jurisdiction, or using their flag vessels or aircraft, and whether or not originating in their territories, of any battle tanks, armoured combat vehicles, large calibre artillery systems, combat aircraft, attack helicopters, warships, missiles or
4
missile systems as defined for the purpose of the United Nations Register of Conventional Arms, or related materiel, including spare parts, or items as determined by the Security Council or the Committee established pursuant to resolution 1737 (2006) (“the Committee”), decides further that all States shall prevent the provision to Iran by their nationals or from or through their territories of technical training, financial resources or services, advice, other services or assistance related to the supply, sale, transfer, provision, manufacture, maintenance or use of such arms and related materiel, and, in this context, calls upon all States to exercise vigilance and restraint over the supply, sale, transfer, provision, manufacture and use of all other arms and related materiel; Decides that Iran shall not undertake any activity related to ballistic 9. missiles capable of delivering nuclear weapons, including launches using ballistic missile technology, and that States shall take all necessary measures to prevent the transfer of technology or technical assistance to Iran related to such activities; 10. Decides that all States shall take the necessary measures to prevent the entry into or transit through their territories of individuals designated in Annex C, D and E of resolution 1737 (2006), Annex I of resolution 1747 (2007), Annex I of resolution 1803 (2008) and Annexes I and II of this resolution, or by the Security Council or the Committee pursuant to paragraph 10 of resolution 1737 (2006), except where such entry or transit is for activities directly related to the provision to Iran of items in subparagraphs 3(b)(i) and (ii) of resolution 1737 (2006) in accordance with paragraph 3 of resolution 1737 (2006), underlines that nothing in this paragraph shall oblige a State to refuse its own nationals entry into its territory, and decides that the measures imposed in this paragraph shall not apply when the Committee determines on a case-by-case basis that such travel is justified on the grounds of humanitarian need, including religious obligations, or where the Committee concludes that an exemption would otherwise further the objectives of this resolution, including where Article XV of the IAEA Statute is engaged; 11. Decides that the measures specified in paragraphs 12, 13, 14 and 15 of resolution 1737 (2006) shall apply also to the individuals and entities listed in Annex I of this resolution and to any individuals or entities acting on their behalf or at their direction, and to entities owned or controlled by them, including through illicit means, and to any individuals and entities determined by the Council or the Committee to have assisted designated individuals or entities in evading sanctions of, or in violating the provisions of, resolutions 1737 (2006), 1747 (2007), 1803 (2008) or this resolution; 12. Decides that the measures specified in paragraphs 12, 13, 14 and 15 of resolution 1737 (2006) shall apply also to the Islamic Revolutionary Guard Corps (IRGC, also known as “Army of the Guardians of the Islamic Revolution”) individuals and entities specified in Annex II, and to any individuals or entities acting on their behalf or at their direction, and to entities owned or controlled by them, including through illicit means, and calls upon all States to exercise vigilance over those transactions involving the IRGC that could contribute to Iran’s proliferation-sensitive nuclear activities or the development of nuclear weapon delivery systems; 13. Decides that for the purposes of the measures specified in paragraphs 3, 4, 5, 6 and 7 of resolution 1737 (2006), the list of items in S/2006/814 shall be superseded by the list of items in INFCIRC/254/Rev.9/Part 1 and
5
INFCIRC/254/Rev.7/Part 2, and any further items if the State determines that they could contribute to enrichment-related, reprocessing or heavy water-related activities or to the development of nuclear weapon delivery systems, and further decides that for the purposes of the measures specified in paragraphs 3, 4, 5, 6 and 7 of resolution 1737 (2006), the list of items contained in S/2006/815 shall be superseded by the list of items contained in S/2010/263; 14. Calls upon all States to inspect, in accordance with their national authorities and legislation and consistent with international law, in particular the law of the sea and relevant international civil aviation agreements, all cargo to and from Iran, in their territory, including seaports and airports, if the State concerned has information that provides reasonable grounds to believe the cargo contains items the supply, sale, transfer, or export of which is prohibited by paragraphs 3, 4 or 7 of resolution 1737 (2006), paragraph 5 of resolution 1747 (2007), paragraph 8 of resolution 1803 (2008) or paragraphs 8 or 9 of this resolution, for the purpose of ensuring strict implementation of those provisions; 15. Notes that States, consistent with international law, in particular the law of the sea, may request inspections of vessels on the high seas with the consent of the flag State, and calls upon all States to cooperate in such inspections if there is information that provides reasonable grounds to believe the vessel is carrying items the supply, sale, transfer, or export of which is prohibited by paragraphs 3, 4 or 7 of resolution 1737 (2006), paragraph 5 of resolution 1747 (2007), paragraph 8 of resolution 1803 (2008) or paragraphs 8 or 9 of this resolution, for the purpose of ensuring strict implementation of those provisions; 16. Decides to authorize all States to, and that all States shall, seize and dispose of (such as through destruction, rendering inoperable, storage or transferring to a State other than the originating or destination States for disposal) items the supply, sale, transfer, or export of which is prohibited by paragraphs 3, 4 or 7 of resolution 1737 (2006), paragraph 5 of resolution 1747 (2007), paragraph 8 of resolution 1803 (2008) or paragraphs 8 or 9 of this resolution that are identified in inspections pursuant to paragraphs 14 or 15 of this resolution, in a manner that is not inconsistent with their obligations under applicable Security Council resolutions, including resolution 1540 (2004), as well as any obligations of parties to the NPT, and decides further that all States shall cooperate in such efforts; 17. Requires any State, when it undertakes an inspection pursuant to paragraphs 14 or 15 above to submit to the Committee within five working days an initial written report containing, in particular, explanation of the grounds for the inspections, the results of such inspections and whether or not cooperation was provided, and, if items prohibited for transfer are found, further requires such States to submit to the Committee, at a later stage, a subsequent written report containing relevant details on the inspection, seizure and disposal, and relevant details of the transfer, including a description of the items, their origin and intended destination, if this information is not in the initial report; 18. Decides that all States shall prohibit the provision by their nationals or from their territory of bunkering services, such as provision of fuel or supplies, or other servicing of vessels, to Iranian-owned or -contracted vessels, including chartered vessels, if they have information that provides reasonable grounds to believe they are carrying items the supply, sale, transfer, or export of which is prohibited by paragraphs 3, 4 or 7 of resolution 1737 (2006), paragraph 5 of
6
resolution 1747 (2007), paragraph 8 of resolution 1803 (2008) or paragraphs 8 or 9 of this resolution, unless provision of such services is necessary for humanitarian purposes or until such time as the cargo has been inspected, and seized and disposed of if necessary, and underlines that this paragraph is not intended to affect legal economic activities; 19. Decides that the measures specified in paragraphs 12, 13, 14 and 15 of resolution 1737 (2006) shall also apply to the entities of the Islamic Republic of Iran Shipping Lines (IRISL) as specified in Annex III and to any person or entity acting on their behalf or at their direction, and to entities owned or controlled by them, including through illicit means, or determined by the Council or the Committee to have assisted them in evading the sanctions of, or in violating the provisions of, resolutions 1737 (2006), 1747 (2007), 1803 (2008) or this resolution; 20. Requests all Member States to communicate to the Committee any information available on transfers or activity by Iran Air’s cargo division or vessels owned or operated by the Islamic Republic of Iran Shipping Lines (IRISL) to other companies that may have been undertaken in order to evade the sanctions of, or in violation of the provisions of, resolutions 1737 (2006), 1747 (2007), 1803 (2008) or this resolution, including renaming or re-registering of aircraft, vessels or ships, and requests the Committee to make that information widely available; 21. Calls upon all States, in addition to implementing their obligations pursuant to resolutions 1737 (2006), 1747 (2007), 1803 (2008) and this resolution, to prevent the provision of financial services, including insurance or re-insurance, or the transfer to, through, or from their territory, or to or by their nationals or entities organized under their laws (including branches abroad), or persons or financial institutions in their territory, of any financial or other assets or resources if they have information that provides reasonable grounds to believe that such services, assets or resources could contribute to Iran’s proliferation-sensitive nuclear activities, or the development of nuclear weapon delivery systems, including by freezing any financial or other assets or resources on their territories or that hereafter come within their territories, or that are subject to their jurisdiction or that hereafter become subject to their jurisdiction, that are related to such programmes or activities and applying enhanced monitoring to prevent all such transactions in accordance with their national authorities and legislation; 22. Decides that all States shall require their nationals, persons subject to their jurisdiction and firms incorporated in their territory or subject to their jurisdiction to exercise vigilance when doing business with entities incorporated in Iran or subject to Iran’s jurisdiction, including those of the IRGC and IRISL, and any individuals or entities acting on their behalf or at their direction, and entities owned or controlled by them, including through illicit means, if they have information that provides reasonable grounds to believe that such business could contribute to Iran’s proliferation-sensitive nuclear activities or the development of nuclear weapon delivery systems or to violations of resolutions 1737 (2006), 1747 (2007), 1803 (2008) or this resolution; 23. Calls upon States to take appropriate measures that prohibit in their territories the opening of new branches, subsidiaries, or representative offices of Iranian banks, and also that prohibit Iranian banks from establishing new joint ventures, taking an ownership interest in or establishing or maintaining correspondent relationships with banks in their jurisdiction to prevent the provision
7
of financial services if they have information that provides reasonable grounds to believe that these activities could contribute to Iran’s proliferation-sensitive nuclear activities or the development of nuclear weapon delivery systems; 24. Calls upon States to take appropriate measures that prohibit financial institutions within their territories or under their jurisdiction from opening representative offices or subsidiaries or banking accounts in Iran if they have information that provides reasonable grounds to believe that such financial services could contribute to Iran’s proliferation-sensitive nuclear activities or the development of nuclear weapon delivery systems; 25. Deplores the violations of the prohibitions of paragraph 5 of resolution 1747 (2007) that have been reported to the Committee since the adoption of resolution 1747 (2007), and commends States that have taken action to respond to these violations and report them to the Committee; 26. Directs the Committee to respond effectively to violations of the measures decided in resolutions 1737 (2006), 1747 (2007), 1803 (2008) and this resolution, and recalls that the Committee may designate individuals and entities who have assisted designated persons or entities in evading sanctions of, or in violating the provisions of, these resolutions; 27. Decides that the Committee shall intensify its efforts to promote the full implementation of resolutions 1737 (2006), 1747 (2007), 1803 (2008) and this resolution, including through a work programme covering compliance, investigations, outreach, dialogue, assistance and cooperation, to be submitted to the Council within forty-five days of the adoption of this resolution; 28. Decides that the mandate of the Committee as set out in paragraph 18 of resolution 1737 (2006), as amended by paragraph 14 of resolution 1803 (2008), shall also apply to the measures decided in this resolution, including to receive reports from States submitted pursuant to paragraph 17 above; 29. Requests the Secretary-General to create for an initial period of one year, in consultation with the Committee, a group of up to eight experts (“Panel of Experts”), under the direction of the Committee, to carry out the following tasks: (a) assist the Committee in carrying out its mandate as specified in paragraph 18 of resolution 1737 (2006) and paragraph 28 of this resolution; (b) gather, examine and analyse information from States, relevant United Nations bodies and other interested parties regarding the implementation of the measures decided in resolutions 1737 (2006), 1747 (2007), 1803 (2008) and this resolution, in particular incidents of non-compliance; (c) make recommendations on actions the Council, or the Committee or State, may consider to improve implementation of the relevant measures; and (d) provide to the Council an interim report on its work no later than 90 days after the Panel’s appointment, and a final report to the Council no later than 30 days prior to the termination of its mandate with its findings and recommendations; 30. Urges all States, relevant United Nations bodies and other interested parties, to cooperate fully with the Committee and the Panel of Experts, in particular by supplying any information at their disposal on the implementation of the measures decided in resolutions 1737 (2006), 1747 (2007), 1803 (2008) and this resolution, in particular incidents of non-compliance;
8
31. Calls upon all States to report to the Committee within 60 days of the adoption of this resolution on the steps they have taken with a view to implementing effectively paragraphs 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 21, 22, 23 and 24; 32. Stresses the willingness of China, France, Germany, the Russian Federation, the United Kingdom and the United States to further enhance diplomatic efforts to promote dialogue and consultations, including to resume dialogue with Iran on the nuclear issue without preconditions, most recently in their meeting with Iran in Geneva on 1 October 2009, with a view to seeking a comprehensive, longterm and proper solution of this issue on the basis of the proposal made by China, France, Germany, the Russian Federation, the United Kingdom and the United States on 14 June 2008, which would allow for the development of relations and wider cooperation with Iran based on mutual respect and the establishment of international confidence in the exclusively peaceful nature of Iran’s nuclear programme and, inter alia, starting formal negotiations with Iran on the basis of the June 2008 proposal, and acknowledges with appreciation that the June 2008 proposal, as attached in Annex IV to this resolution, remains on the table; 33. Encourages the High Representative of the European Union for Foreign Affairs and Security Policy to continue communication with Iran in support of political and diplomatic efforts to find a negotiated solution, including relevant proposals by China, France, Germany, the Russian Federation, the United Kingdom and the United States with a view to create necessary conditions for resuming talks, and encourages Iran to respond positively to such proposals; 34. Commends the Director General of the IAEA for his 21 October 2009 proposal of a draft Agreement between the IAEA and the Governments of the Republic of France, the Islamic Republic of Iran and the Russian Federation for Assistance in Securing Nuclear Fuel for a Research Reactor in Iran for the Supply of Nuclear Fuel to the Tehran Research Reactor, regrets that Iran has not responded constructively to the 21 October 2009 proposal, and encourages the IAEA to continue exploring such measures to build confidence consistent with and in furtherance of the Council’s resolutions; 35. Emphasizes the importance of all States, including Iran, taking the necessary measures to ensure that no claim shall lie at the instance of the Government of Iran, or of any person or entity in Iran, or of persons or entities designated pursuant to resolution 1737 (2006) and related resolutions, or any person claiming through or for the benefit of any such person or entity, in connection with any contract or other transaction where its performance was prevented by reason of the measures imposed by resolutions 1737 (2006), 1747 (2007), 1803 (2008) and this resolution; 36. Requests within 90 days a report from the Director General of the IAEA on whether Iran has established full and sustained suspension of all activities mentioned in resolution 1737 (2006), as well as on the process of Iranian compliance with all the steps required by the IAEA Board of Governors and with other provisions of resolutions 1737 (2006), 1747 (2007), 1803 (2008) and of this resolution, to the IAEA Board of Governors and in parallel to the Security Council for its consideration;
9
37. Affirms that it shall review Iran’s actions in light of the report referred to in paragraph 36 above, to be submitted within 90 days, and: (a) that it shall suspend the implementation of measures if and for so long as Iran suspends all enrichmentrelated and reprocessing activities, including research and development, as verified by the IAEA, to allow for negotiations in good faith in order to reach an early and mutually acceptable outcome; (b) that it shall terminate the measures specified in paragraphs 3, 4, 5, 6, 7 and 12 of resolution 1737 (2006), as well as in paragraphs 2, 4, 5, 6 and 7 of resolution 1747 (2007), paragraphs 3, 5, 7, 8, 9, 10 and 11 of resolution 1803 (2008), and in paragraphs 7, 8, 9, 10, 11, 12, 13, 14, 15, 16, 17, 18, 19, 21, 22, 23 and 24 above, as soon as it determines, following receipt of the report referred to in the paragraph above, that Iran has fully complied with its obligations under the relevant resolutions of the Security Council and met the requirements of the IAEA Board of Governors, as confirmed by the IAEA Board of Governors; (c) that it shall, in the event that the report shows that Iran has not complied with resolutions 1737 (2006), 1747 (2007), 1803 (2008) and this resolution, adopt further appropriate measures under Article 41 of Chapter VII of the Charter of the United Nations to persuade Iran to comply with these resolutions and the requirements of the IAEA, and underlines that further decisions will be required should such additional measures be necessary; 38.
10
Decides to remain seized of the matter.
Annex I Individuals and entities involved in nuclear or ballistic missile activities Entities 1. Amin Industrial Complex: Amin Industrial Complex sought temperature controllers which may be used in nuclear research and operational/production facilities. Amin Industrial Complex is owned or controlled by, or acts on behalf of, the Defense Industries Organization (DIO), which was designated in resolution 1737 (2006). Location: P.O. Box 91735-549, Mashad, Iran; Amin Industrial Estate, Khalage Rd., Seyedi District, Mashad, Iran; Kaveh Complex, Khalaj Rd., Seyedi St., Mashad, Iran A.K.A.: Amin Industrial Compound and Amin Industrial Company 2. Armament Industries Group: Armament Industries Group (AIG) manufacturers and services a variety of small arms and light weapons, including large- and medium-calibre guns and related technology. AIG conducts the majority of its procurement activity through Hadid Industries Complex. Location: Sepah Islam Road, Karaj Special Road Km 10, Iran; Pasdaran Ave., P.O. Box 19585/777, Tehran, Iran 3. Defense Technology and Science Research Center: Defense Technology and Science Research Center (DTSRC) is owned or controlled by, or acts on behalf of, Iran’s Ministry of Defense and Armed Forces Logistics (MODAFL), which oversees Iran’s defence R&D, production, maintenance, exports, and procurement. Location: Pasdaran Ave, PO Box 19585/777, Tehran, Iran 4. Doostan International Company: Doostan International Company (DICO) supplies elements to Iran’s ballistic missile program. 5. Farasakht Industries: Farasakht Industries is owned or controlled by, or act on behalf of, the Iran Aircraft Manufacturing Company, which in turn is owned or controlled by MODAFL. Location: P.O. Box 83145-311, Kilometer 28, Esfahan-Tehran Freeway, Shahin Shahr, Esfahan, Iran 6. First East Export Bank, P.L.C.: First East Export Bank, PLC is owned or controlled by, or acts on behalf of, Bank Mellat. Over the last seven years, Bank Mellat has facilitated hundreds of millions of dollars in transactions for Iranian nuclear, missile, and defense entities. Location: Unit Level 10 (B1), Main Office Tower, Financial Park Labuan, Jalan Merdeka, 87000 WP Labuan, Malaysia; Business Registration Number LL06889 (Malaysia) Kaveh Cutting Tools Company: Kaveh Cutting Tools Company is owned or 7. controlled by, or acts on behalf of, the DIO.
11
Location: 3rd Km of Khalaj Road, Seyyedi Street, Mashad 91638, Iran; Km 4 of Khalaj Road, End of Seyedi Street, Mashad, Iran; P.O. Box 91735-549, Mashad, Iran; Khalaj Rd., End of Seyyedi Alley, Mashad, Iran; Moqan St., Pasdaran St., Pasdaran Cross Rd., Tehran, Iran M. Babaie Industries: M. Babaie Industries is subordinate to Shahid Ahmad 8. Kazemi Industries Group (formally the Air Defense Missile Industries Group) of Iran’s Aerospace Industries Organization (AIO). AIO controls the missile organizations Shahid Hemmat Industrial Group (SHIG) and the Shahid Bakeri Industrial Group (SBIG), both of which were designated in resolution 1737 (2006). Location: P.O. Box 16535-76, Tehran, 16548, Iran 9. Malek Ashtar University: A subordinate of the DTRSC within MODAFL. This includes research groups previously falling under the Physics Research Center (PHRC). IAEA inspectors have not been allowed to interview staff or see documents under the control of this organization to resolve the outstanding issue of the possible military dimension to Iran’s nuclear program. Location: Corner of Imam Ali Highway and Babaei Highway, Tehran, Iran 10. Ministry of Defense Logistics Export: Ministry of Defense Logistics Export (MODLEX) sells Iranian-produced arms to customers around the world in contravention of resolution 1747 (2007), which prohibits Iran from selling arms or related materiel. Location: PO Box 16315-189, Tehran, Iran; located on the west side of Dabestan Street, Abbas Abad District, Tehran, Iran 11. Mizan Machinery Manufacturing: Mizan Machinery Manufacturing (3M) is owned or controlled by, or acts on behalf of, SHIG. Location: P.O. Box 16595-365, Tehran, Iran A.K.A.: 3MG 12. Modern Industries Technique Company: Modern Industries Technique Company (MITEC) is responsible for design and construction of the IR-40 heavy water reactor in Arak. MITEC has spearheaded procurement for the construction of the IR-40 heavy water reactor. Location: Arak, Iran A.K.A.: Rahkar Company, Rahkar Industries, Rahkar Sanaye Company, Rahkar Sanaye Novin 13. Nuclear Research Center for Agriculture and Medicine: The Nuclear Research Center for Agriculture and Medicine (NFRPC) is a large research component of the Atomic Energy Organization of Iran (AEOI), which was designated in resolution 1737 (2006). The NFRPC is AEOI’s center for the development of nuclear fuel and is involved in enrichment-related activities. Location: P.O. Box 31585-4395, Karaj, Iran A.K.A.: Center for Agricultural Research and Nuclear Medicine; Karaji Agricultural and Medical Research Center
12
14. Pejman Industrial Services Corporation: Pejman Industrial Services Corporation is owned or controlled by, or acts on behalf of, SBIG. Location: P.O. Box 16785-195, Tehran, Iran 15.
Sabalan Company: Sabalan is a cover name for SHIG. Location: Damavand Tehran Highway, Tehran, Iran
16. Sahand Aluminum Parts Industrial Company (SAPICO): SAPICO is a cover name for SHIG. Location: Damavand Tehran Highway, Tehran, Iran 17. Shahid Karrazi Industries: Shahid Karrazi Industries is owned or controlled by, or act on behalf of, SBIG. Location: Tehran, Iran 18. Shahid Satarri Industries: Shahid Sattari Industries is owned or controlled by, or acts on behalf of, SBIG. Location: Southeast Tehran, Iran A.K.A.: Shahid Sattari Group Equipment Industries 19. Shahid Sayyade Shirazi Industries: Shahid Sayyade Shirazi Industries (SSSI) is owned or controlled by, or acts on behalf of, the DIO. Location: Next To Nirou Battery Mfg. Co, Shahid Babaii Expressway, Nobonyad Square, Tehran, Iran; Pasdaran St., P.O. Box 16765, Tehran 1835, Iran; Babaei Highway — Next to Niru M.F.G, Tehran, Iran 20. Special Industries Group: Special Industries Group (SIG) is a subordinate of DIO. Location: Pasdaran Avenue, PO Box 19585/777, Tehran, Iran 21. Tiz Pars: Tiz Pars is a cover name for SHIG. Between April and July 2007, Tiz Pars attempted to procure a five axis laser welding and cutting machine, which could make a material contribution to Iran’s missile program, on behalf of SHIG. Location: Damavand Tehran Highway, Tehran, Iran 22. Yazd Metallurgy Industries: Yazd Metallurgy Industries (YMI) is a subordinate of DIO. Location: Pasdaran Avenue, Next To Telecommunication Industry, Tehran 16588, Iran; Postal Box 89195/878, Yazd, Iran; P.O. Box 89195-678, Yazd, Iran; Km 5 of Taft Road, Yazd, Iran A.K.A.: Yazd Ammunition Manufacturing and Metallurgy Directorate of Yazd Ammunition and Metallurgy Industries
Industries,
Individuals Javad Rahiqi: Head of the Atomic Energy Organization of Iran (AEOI) Esfahan Nuclear Technology Center (additional information: DOB: 24 April 1954; POB: Marshad).
13
Annex II Entities owned, controlled, or acting on behalf of the Islamic Revolutionary Guard Corps 1. Fater (or Faater) Institute: Khatam al-Anbiya (KAA) subsidiary. Fater has worked with foreign suppliers, likely on behalf of other KAA companies on IRGC projects in Iran. Gharagahe Sazandegi Ghaem: Gharagahe Sazandegi Ghaem is owned or 2. controlled by KAA. 3.
Ghorb Karbala: Ghorb Karbala is owned or controlled by KAA.
4.
Ghorb Nooh: Ghorb Nooh is owned or controlled by KAA
5.
Hara Company: Owned or controlled by Ghorb Nooh.
6. Imensazan Consultant Engineers Institute: Owned or controlled by, or acts on behalf of, KAA. 7. Khatam al-Anbiya Construction Headquarters: Khatam al-Anbiya Construction Headquarters (KAA) is an IRGC-owned company involved in large scale civil and military construction projects and other engineering activities. It undertakes a significant amount of work on Passive Defense Organization projects. In particular, KAA subsidiaries were heavily involved in the construction of the uranium enrichment site at Qom/Fordow. Makin: Makin is owned or controlled by or acting on behalf of KAA, and is a 8. subsidiary of KAA. 9.
Omran Sahel: Owned or controlled by Ghorb Nooh.
10. Oriental Oil Kish: Oriental Oil Kish is owned or controlled by or acting on behalf of KAA. 11.
Rah Sahel: Rah Sahel is owned or controlled by or acting on behalf of KAA.
12. Rahab Engineering Institute: Rahab is owned or controlled by or acting on behalf of KAA, and is a subsidiary of KAA. 13.
Sahel Consultant Engineers: Owned or controlled by Ghorb Nooh.
14.
Sepanir: Sepanir is owned or controlled by or acting on behalf of KAA.
15. Sepasad Engineering Company: Sepasad Engineering Company is owned or controlled by or acting on behalf of KAA.
14
Annex III Entities owned, controlled, or acting on behalf of the Islamic Republic of Iran Shipping Lines (IRISL) 1.
Irano Hind Shipping Company Location: 18 Mehrshad Street, Sadaghat Street, Opposite of Park Mellat, Valie-Asr Ave., Tehran, Iran; 265, Next to Mehrshad, Sedaghat St., Opposite of Mellat Park, Vali Asr Ave., Tehran 1A001, Iran
2.
IRISL Benelux NV Location: Noorderlaan 139, B-2030, Antwerp, Belgium; V.A.T. Number BE480224531 (Belgium)
3.
South Shipping Line Iran (SSL) Location: Apt. No. 7, 3rd Floor, No. 2, 4th Alley, Gandi Ave., Tehran, Iran; Qaem Magham Farahani St., Tehran, Iran
15
Annex IV Proposal to the Islamic Republic of Iran by China, France, Germany, the Russian Federation, the United Kingdom of Great Britain and Northern Ireland, the United States of America and the European Union Presented to the Iranian authorities on 14 June 2008 Teheran Possible Areas of Cooperation with Iran In order to seek a comprehensive, long-term and proper solution of the Iranian nuclear issue consistent with relevant UN Security Council resolutions and building further upon the proposal presented to Iran in June 2006, which remains on the table, the elements below are proposed as topics for negotiations between China, France, Germany, Iran, Russia, the United Kingdom, and the United States, joined by the High Representative of the European Union, as long as Iran verifiably suspends its enrichment-related and reprocessing activities, pursuant to OP 15 and OP 19(a) of UNSCR 1803. In the perspective of such negotiations, we also expect Iran to heed the requirements of the UNSC and the IAEA. For their part, China, France, Germany, Russia, the United Kingdom, the United States and the European Union High Representative state their readiness: to recognize Iran’s right to develop research, production and use of nuclear energy for peaceful purposes in conformity with its NPT obligations; to treat Iran’s nuclear programme in the same manner as that of any Non-nuclear Weapon State Party to the NPT once international confidence in the exclusively peaceful nature of Iran’s nuclear programme is restored. Nuclear Energy – Reaffirmation of Iran’s right to nuclear energy for exclusively peaceful purposes in conformity with its obligations under the NPT. – Provision of technological and financial assistance necessary for Iran’s peaceful use of nuclear energy, support for the resumption of technical cooperation projects in Iran by the IAEA. – Support for construction of LWR based on state-of-the-art technology. – Support for R&D in nuclear energy as international confidence is gradually restored. – Provision of legally binding nuclear fuel supply guarantees. – Cooperation with regard to management of spent fuel and radioactive waste. Political – Improving the six countries’ and the EU’s relations with Iran and building up mutual trust. – Encouragement of direct contact and dialogue with Iran. – Support Iran in playing an important and constructive role in international affairs.
16
– Promotion of dialogue and cooperation on non-proliferation, regional security and stabilization issues. – Work with Iran and others in the region to encourage confidence-building measures and regional security. – Establishment of appropriate consultation and cooperation mechanisms. – Support for a conference on regional security issues. – Reaffirmation that a solution to the Iranian nuclear issue would contribute to non-proliferation efforts and to realizing the objective of a Middle East free of weapons of mass destruction, including their means of delivery. – Reaffirmation of the obligation under the UN Charter to refrain in their international relations from the threat or use of force against the territorial integrity or political independence of any State or in any other manner inconsistent with the Charter of the United Nations. – Cooperation on Afghanistan, including on intensified cooperation in the fight against drug trafficking, support for programmes on the return of Afghan refugees to Afghanistan; cooperation on reconstruction of Afghanistan; cooperation on guarding the Iran-Afghan border. Economic Steps towards the normalization of trade and economic relations, such as improving Iran’s access to the international economy, markets and capital through practical support for full integration into international structures, including the World Trade Organization, and to create the framework for increased direct investment in Iran and trade with Iran. Energy Partnership Steps towards the normalization of cooperation with Iran in the area of energy: establishment of a long-term and wide-ranging strategic energy partnership between Iran and the European Union and other willing partners, with concrete and practical applications/measures. Agriculture – Support for agricultural development in Iran. Facilitation of Iran’s complete self-sufficiency in food through cooperation in modern technology. Environment, Infrastructure – Civilian Projects in the field of environmental protection, infrastructure, science and technology, and high-tech: – Development of transport infrastructure, including international transport corridors. – Support for modernization of Iran’s telecommunication infrastructure, including by possible removal of relevant export restrictions.
17
Civil Aviation – Civil aviation cooperation, including the possible removal of restrictions on manufacturers exporting aircraft to Iran: – Enabling Iran to renew its civil aviation fleet; – Assisting Iran to ensure that Iranian aircraft meet international safety standards. Economic, social and human development/humanitarian issues – Provide, as necessary, assistance to Iran’s economic and social development and humanitarian need. – Cooperation/technical support in education in areas of benefit to Iran: – Supporting Iranians to take courses, placements or degrees in areas such as civil engineering, agriculture and environmental studies; – Supporting partnerships between Higher Education Institutions e.g. public health, rural livelihoods, joint scientific projects, public administration, history and philosophy. – Cooperation in the field of development of effective emergency response capabilities (e.g. seismology, earthquake research, disaster control etc.). – Cooperation within the framework of a “dialogue among civilizations”. Implementation mechanism – Constitution of joint monitoring groups for the implementation of a future agreement.
18
LAMPIRAN 2
PERJANJIAN NUCLEAR FUEL SWAP