P
PROGRESS
E NOMOR: 42/TAHUN XIX/JULI/2016
ISSN : 053-6678 Dr. Agus Mardihartono, M.M. KEBIJAKAN PUBLIK BERBASIS MASYARAKAT
SUSUNAN PENGURUS PROGRESS FISIP – UTB LAMPUNG
PENASEHAT/PENGARAH KETUA LPPM UTB LAMPUNG
PENANGGUNG JAWAB REKTOR UTB LAMPUNG
KETUA PENYUNTING Suhaimi,S.Sos.,M.I.Kom
WAKIL KETUA PENYUNTING Thabita Carolina,S.Sos.,M.Si
PENYUNTING PELAKSANA Rosidah,S.Sos,M.Si Sendy Triwilopo,S.Sos.,M.I.Kom Anwar,S.Sos.,M.IP Ayu Nadia Pramazuly,S.IP.,M,IP Drs. Djoko Lelono,MM Bainal Huri,S.Sos.,M.Kom.I
Rosidah, S.Sos.,M.Si Aida Mastuti,S.Sos MOTIVASI KINERJA TERHADAP EVEKTIFITAS PELAKSANAAN TUGAS PEGAWAI ( Studi Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Lampung Timur ) Ayu Nadia Pramazuly, S.I.P.,M.I.P. KUALITAS PELAYANAN PEMBUATAN e-KTP Di KECAMATAN SUNGKAI UTARA KABUPATEN LAMPUNG UTARA Sendi Triwilopo Anugrah Agustamar ANALISIS SOSIALISASI PESAN IKLAN POSTER LAYANAN MASYARAKAT TENTANG GLOBAL WARMING Thabita Carolina,S.Sos.,M.Si Lidya wati, S.Sos.,MM KOMUNIKASI PEMASARAN PRODUK REKSADANA DANAMAS STABIL PT. SINARMAS SEKURITAS LAMPUNG
PENYUNTING AHLI (MITRA ) Dr. Hasan Basri,S.Sos.,M.Si Dr. Achmad Suharyo,S.IP Drs. Moelyono,M.H
PELAKSANA TATA USAHA Eka Ariyandi,S.IP.,M.A M. Herowandi,S.IP Dafit Son Firma, S.Sos Yuyun Apriyani
ALAMAT REDAKSI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (FISIP) UNIVERSITAS TULANG BAWANG (UTB) LAMPUNG JL. GAJAH MADA NO. 34 KOTA BARU TANJUNG KARANG TIMUR BANDAR LAMPUNG
PROGRESS
P E
NOMOR: 42/TAHUN XIX/JULI/2016
ISSN : 053-6678
DAFTAR ISI SUSUNAN PENGURUS PROGRESS FISIP – UTB LAMPUNG
PENASEHAT/PENGARAH KETUA LPPM UTB LAMPUNG
PENANGGUNG JAWAB REKTOR UTB LAMPUNG
KETUA PENYUNTING Suhaimi,S.Sos.,M.I.Kom
WAKIL KETUA PENYUNTING Thabita Carolina,S.Sos.,M.Si
PENYUNTING PELAKSANA Rosidah,S.Sos,M.Si Sendy Triwilopo,S.Sos.,M.I.Kom Anwar,S.Sos.,M.IP Ayu Nadia Pramazuly,S.IP.,M,IP Drs. Djoko Lelono,MM Bainal Huri,S.Sos.,M.Kom.I
Dr. Agus Mardihartono, M.M. KEBIJAKAN PUBLIK BERBASIS MASYARAKAT............. 1 - 19 Rosidah, S.Sos.,M.Si Aida Mastuti,S.Sos MOTIVASI KINERJA TERHADAP EVEKTIFITAS PELAKSANAAN TUGAS PEGAWAI ( Studi Dinas Pendapatan Pengelolaan Keuangan dan Aset Daerah Kabupaten Lampung Timur ) ........................................................ 20 - 29 Ayu Nadia Pramazuly, S.I.P.,M.I.P. KUALITAS PELAYANAN PEMBUATAN e-KTP Di KECAMATAN SUNGKAI UTARA KABUPATEN LAMPUNG UTARA ....... 30 -35 Sendi Triwilopo Anugrah Agustamar ANALISIS SOSIALISASI PESAN IKLAN POSTER LAYANAN MASYARAKAT TENTANG GLOBAL WARMING ............ 36 - 45 Thabita Carolina,S.Sos.,M.Si Lidya wati,S.Sos.,MM KOMUNIKASI PEMASARAN PRODUK REKSADANA DANAMAS STABIL PT. SINARMAS SEKURITAS LAMPUNG ............46 - 65
PENYUNTING AHLI (MITRA ) Dr. Hasan Basri,S.Sos.,M.Si Dr. Achmad Suharyo,S.IP Drs. Moelyono,M.H
PELAKSANA TATA USAHA Eka Ariyandi,S.IP.,M.A M. Herowandi,S.IP Dafit Son Firma, S.Sos Yuyun Apriyani
ALAMAT REDAKSI FAKULTAS ILMU SOSIAL DAN ILMU POLITIK (FISIP) UNIVERSITAS TULANG BAWANG (UTB) LAMPUNG JL. GAJAH MADA NO. 34 KOTA BARU TANJUNG KARANG TIMUR BANDAR LAMPUNG
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016
ISSN : 053 - 6678
KEBIJAKAN PUBLIK BERBASIS MASYARAKAT Dr. Agus Mardihartono, M.M. ABSTRAK Kebijakan publik dalam otonomi daerah berpeluang untuk dibentuk dari aspirasi masyarakat. Dalam perspektif tersebut, pendekatan menggunakan konsep bottom up dimana aspirasi masyarakat diserap dan dikembangkan serta disesuaikan dengan program pembangunan pemerintah daerah. Konsepsi ini dapat dilihat pada Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang di Provinsi Lampung yang mengetengahkan program jejamou ngebangun sai bumi nengah nyappur. Program tersebut berakar pada kearifan lokal masyarakat Tulang Bawang yang dikembangkan oleh Pemerintah daerah menjadi program penyertaan yang terbimbing. Program tersebut diteliti dengan basis observasi berpartisipasi yang terlibat di lapangan (field reserach) dilengkapi dengan wawancara dan Focus Group Discussion dalam rangka analisis deskriptif, yakni dalam disiplin metodolgi kualitatif. Sumber informasi adalah para tokoh masyarakat Tulang Bawang serta aktor pengambil kebijakan pembangunan di pemerintahan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa program pembangunan yang berbasiskan kearifan lokal mempunyai keunggulan sehingga dapat dikembangkan dalam konteks pembangunan daerah. Kata Kunci: Kearifan Lokal, Otonomi Daerah, jejamou ngebangun sai bumi nengah nyappur
Pendahuluan Kearifan lokal dapat dijadikan formula dalam menyusun berbagai perencanaan pembangunan yang benar-benar dibutuhkan segenap lapisan masyarakat di daerah. Wujud dukungan pelaksanaan desentraliasasi melalui otonomi daerah adalah adanya kesiapan diri para perancang peraturan daerah (baik dari eksekutif maupun legislatif), yakni dengan memperdalam pengetahuan mereka di bidang perundang-undangan dan kebijakan publik, sehingga proses penyusunan dan pembahasan dapat berjalan dengan efektif. Sementara dalam penyelenggaraan pemerintahan yang demokratis, proses penyusunan peraturan daerah dan kebijakan-kebijakan pembangunan daerah dilakukan dengan mengikutsertakan masyarakat (berupa dengar pendapat atau penjaringan aspirasi rakyat) guna dapat mengakomodasi kepentingan masyarakat luas. Dengan begitu, kebijakan berupa peraturan daerah dan program-program mengarah pada pemberdayaan masyarakat. PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
Peran serta masyarakat tersebut akan membantu mempermudah proses sosialisasi dan implementasi kebijakan. Sebagai upaya meningkatkan peran masyarakat dalam perumusan kebijakan publik, pemerintah daerah harus kreatif dan proaktif menjaring aspirasi masyarakat. Di sisi lain, masyarakat juga harus meningkatkan posisi tawarnya terhadap pemerintah. Hal ini dimaksudkan agar gagasan atau ide-ide dan masukan-masukan yang disampaikan dapat benar-benar bisa lahir menjadi rancangan peraturan daerah (raperda) dan peraturan daerah (perda) yang sesuai dengan kepentingan masyarakat. Jika aspirasi rakyat mendapat tempat dalam produk peraturan atau programprogram pemberdayaan masyarakat, maka peraturan dan program yang dirumuskan akan lebih b e r inisiatif, partisipatif, demokratis, yang mengandung unsur manfaat, kebersamaan dan gotong royong masyarakat yang terkait. Hal yang juga sangat penting dalam 2
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016 proses pembangunan yang berbasiskan masyarakat adalah masyarakat harus melakukan pengawalan penuh terhadap usulan mereka, sehingga tidak lagi terjadi usulan yang hilang di tengah jalan atau hanya menjadi angin lalu bagi pemerintah dalam merumuskan suatu kebijakan publik. (Winarno,2000:29). Beberapa pendekatan telah dan coba dilakukan pemerintah daerah dalam upaya menjaring masukan (input) dalam upaya pemberdayaan dalam masyarakat. Keberdayaan masyarakat menjadi unsur dasar yang memungkinkan mereka bertahan dan bahkan mengembangkan diri dalam mencapai tujuan hidupnya. Pemberdayaan yang mampu mendorong, memotivasi, dan membangkitkan kesadaran akan potensi yang dimilikinya, serta upaya untuk mengembangkannya. Ginandjar Kartasasmita menafsirkan bahwa pemberdayaan adalah strategi untuk membebaskan masyarakat dari kebodohan, keterbelakangan dan kemiskinan, sehingga mereka dapat berkembang sesuai dengan harkat dan martabat manusia. Hal ini dapat dilakukan dengan menciptakan iklim agar potensi sumber daya manusia dapat berkembang dengan kemampuan yang dimiliki dan melindungi sumber daya manusia agar tidak tertindas oleh kelompok yang kuat. (Kartasasmita, 2002:127). Dengan mengacu pada peraturan perundang-undangan yang berlaku serta program pemberdayaan pemerintah melalui alokasi anggaran yang terkait, selayaknya pemerintah daerah bersama jajarannya merumuskan paket-paket kebijakan (program dan sasaran) sesuai dengan kearifan lokal yang ada di wilayah sasaran Di Kabupaten Tulangbawang, Provinsi Lampung, program pembangunan daerah diformulasikan dalam kebijakan Jejamou Ngebangun Sai Bumi Nengah Nyappur. Hal ini ditempuh guna lebih mendekatkan program pembangunan tersebut pada masyarakat sasaran. PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
ISSN : 053 - 6678 Masyarakat Lampung, khususnya Megou Pak Tulang Bawang sangat menjunjung tinggi kehidupan bersama secara kekerabatan yang dijadikan falsafah hidup dalam masyarakat, berbangsa dan bernegara. Kehidupan kekerabatan ini disebut sebagai khik (Tholib, 2010: 15) diimplementasikan dalam kehidupan bersama dalam menata masyarakat adat untuk berpartisipasi dalam rangkaian pembangunan di daerah. Jika falsafah hidup ini diaplikasikan dalam kegiatan penyusunan kebijakan pembangunan, tentu akan berdampak positif. Sebab, dengan pelibatan segenap elemen masyarakat dalam proses dan pelaksanaan pembangunan, warga masyarakat akan merasa memiliki sekaligus merasa bertanggung jawab untuk memelihara hasilhasil pembangunan yang telah dilaksanakan secara bersama. Penelitian yang penulis lakukan berupaya menjelaskan bagaimana formulasi hingga tahap implementasi atas kebijakan Jejamou Ngebangun Sai Bumi Nengah Nyappur. Formulasi kebijakan tersebut telah diupayakan dengan melibatkan berbagai aktor yang ada di Kabupaten Tulangbawang, sehingga diasumsikan sangat mewarnai kebijakan yang telah ditetapkan tersebut. Sebagaimana dikemukakan oleh Price (dalam Wahab, 2001: 16), proses pembuatan kebijakan yang bertanggung jawab ialah proses yang melibatkan interaksi antara kelompokkelompok ilmuwan, pimpinan-pimpinan organisasi profesional, para administrator dan para politisi. Penyusunan kebijakan daerah pada dasarnya harus dilaksanakan dengan memanfaatkan segenap potensi dan sumber daya daerah secara optimal. Metodologi penelitian dalam kategori peneltian lapangan (field reserach) dalam kategori yang dikatakan Majcrzak sebagai Policy researchy yakni proses penelitian ataupun analisis yang dilakkan terhadap masalah-masalah sosialyang mendasar, sehingga temuannya dapat direkomendasikan 3
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016 kepada pembuat kebijakan untukbertindak secara praktis dalam penyelesaian masalah (Sugiyono,2001:4). Nengah Nyappur; Sebuah Kearifan Lokal Kabupaten Tulangbawang sebagai daerah otonomi memiliki berbagai kearifan lokal seperti adanya falsafah hidup masyarakat Megou Pak Tulangbawang yang terdiri dari lima azas (Tholib, 2002) dan salah satunya adalah Nengah Nyappur. Filosofi ini mengandung makna bahwa masyarakat Megou Pak selalu hidup bermasyarakat, bergaul, berbaur dengan warga masyarakat lainnya, bekerja sama dengan siapa pun juga dalam hal kebajikan bersama. Dengan demikian, kearifan lokal semacam ini dapat dijadikan sebagai sumber inspirasi dalam menyusun berbagai rangkaian kebijakan pembangunan daerah khususnya di Kabupaten Tulang Bawang. Dalam konteks meneliti kearifan lokal sebagai pertimbangan penting dalam menghasilkan kebijakan publik, penelitian inni berupaya untuk mendeskripsikan tiga hal. Pertama: Apakah falsafah hidup Sai Bumi Nengah Nyappur di Kabupaten Tulang Bawang telah diimplementasikan dalam penyusunan kebijakan pembangunan daerah; Kedua, bagaimana peran dari setiap aktor dalam proses kebijakan pembangunan melalui program jejamou ngebangun sai bumi nengah nyappur; Ketiga, bagaimana bentuk kebijakan pembangunan melalui program Jejamou Ngebangun Sai Bumi Nengah Nyappur di Kabupaten Tulang Bawang. Penduduk Kabupaten Tulang Bawang secara garis besar dapat dikelompokkan dalam masyarakat adat Lampung (masyarakat asli Lampung) dan kelompok pendatang. Keberadaan kelompok ini telah membentuk suatu pertalian adat dan budaya yang menjadi suatu akulturasi budaya. Masyarakat adat Lampung kebanyakan termasuk adat Pepadun dengan sebutan Megou Pak Tulangbawang. Menelaah kebudayaan sebagai khasanah PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
ISSN : 053 - 6678 ilmu pengetahuan dapat dikatakan bahwa untuk konteks budaya Megou Pak, yang ditekankan adalah pada pengetahuan dan nilai-nilai budaya Megou Pak yang akan dipergunakan untuk memecahkan masalah formulasi kebijakan. Kebudayaan sendiri sangat erat hubungannya dengan masyarakat. Herskovtz dan Malinowski (dalam Geertz, 1973) menggunakan bahwa segala sesuatu yang terdapat dalam masyarakat ditentukan oleh kebudayaan yang dimiliki masyarakat itu sendiri (teori culturaldeterminism). Lebih lanjut, teori ini mengemukakan bahwa kebudayaan sebagai sesuatu yang turun temurun dari satu generasi ke generasi yang lain, yang kemudian disebut sebagai superorganic. Sedangkan menurut Taylor (1974:54), kebudayaan merupakan keseluruhan yang kompleks, yang di dalamnya terkandung pengetahuan, kepercayaan, kesenian, moral, hukum, adat istiadat dan kemampuan-kemampuan lain yang didapat seseorang sebagai anggota masayarakat. Dari beberapa definisi tersebut, dapat diperoleh pengertian mengenai kebudayaan adalah sesuatu yang akan mempengaruhi tingkat pengetahuan dan meliputi sistem ide atau gagasan yang terdapat dalam pikiran manusia, sehingga dalam kehidupan sehari-hari, kebudayaan itu bersifat abstrak. Sedangkan perwujudan kebudayaan adalah benda-benda yang diciptakan oleh manusia sebagai makhluk yang berbudaya, berupa perilaku dan bendabenda yang bersifat nyata, misalnya pola-pola perilaku, bahasa, peralatan hidup, organiasasi sosial, religi, seni dan lain-lain, yang kesemuanya ditujukan untuk membantu manusia dalam melangsungkan kehidupan bermasyarakat. Dalam kenyataan kehidupan bermasyarakat, antara wujud kebudayaan yang satu tidak bisa dipisahkan dari wujud kebudayaan yang lain. Sebagai contoh, wujud kebudayaan ideal mengatur atau memberi arah kepada tindakan (aktivitas) dan karya manusia. Di Kabupaten Tulang Bawang 4
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016 terdapat rumpun adat pepadun yang tergabung dalam istilah Megou Pak Tulang Bawang. Makna megou artinya marga, sedangkan Pak mengandung makna empat. Megou Pak dapat diartikan sebagai kehidupan masyarakat yang tergabung dalam empat marga. Falsafah hidup masyarakat yang tergabung dalam Megou Pak Tulang Bawang pada dasarnya penuh dengan nilai-nilai filosofi yang begitu dalam yang terangkum dalam lima azas (Abu Tholib; 2002). Pertama, piil pesenggiri, yang mengandung makna atau sering diterjemahkan memiliki rasa harga diri dalam artian harus hidup bermoral dan berjiwa besar. Kedua, bejuluk beadeg, mengandung makna setiap warga megou pak memiliki julukan atau gelar adat, bertata krama dalam pergaulan sehari-hari di tengahtengah masyarakat. Ketiga, nemui nyimah, mengandung makna dalam pergaulan hidup saling tolong menolong, bersikap santun dalam menerima tamu dan memberikan sesuatu tanpa pamrih (nyimah). Keempat, nengah nyappur, mengandung makna bahwa masyarakat megou pak selalu hidup bermasyarakat, bergaul, berbaur, dengan warga masyarakat lainnya, bekerja sama dengan siapa pun juga dalam hal kebajikan bersama. Kelima, sakai sambayan, mengandung makna memberikan bantuan dan bekerja sama dengan orang lain dengan mengedepankan fungsi sosial dalam masyarakat demi kesejahteraan bersama. Adat pepadun Megou Pak Tulangbawang terdiri dari empat kebuayan, yaitu: 1. Buay Tegamoan (Kecamatan Menggala, Teladas, Gedongmeneng) 2. Buay Bulan (Kecamatan Menggala)
PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
ISSN : 053 - 6678 3. Buay Suai Umpu (Kecamatan Menggala, Kecamatan Gunung Terang, dan Kecamatan Simpang Pematang). 4. Buay Aji (Kecamatan Gedong Aji). Pandangan hidup utama yang dianut oleh masyarakat Lampung adalah piil (dibaca: Pi Il) yang berperangai keras dan cenderung mempertahankan diri, terutama bila menyangkut nama baik keturunan, kehormatan pribadi, dan kerabat (Hadikusuma, 1990 dalam “Potensi Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Tulangbawang”, 2009). Seiring perkembangan zaman di dalam masyarakat Lampung sudah terjadi akulturasi budaya sejak zaman penjajahan Jepang dan hingga kini masih terus berjalan. Proses tersebut dipercepat dengan adanya pertukaran/ perpindahan penduduk, dimana ada penduduk Lampung yang pindah ke Jawa baik untuk menuntut ilmu maupun untuk bekerja dan sebaliknya, banyak penduduk Jawa atau daerah lain yang transmigrasi ke Lampung khususnya ke Tulang Bawang untuk mendapatkan pekerjaan (mengadu nasib). Kaum pendatang umumnya merupakan transmigrasi lokal dari daerah kabupaten lain dan terdiri atas beberapa etnis, seprti Jawa, Sunda, Bali, Batak, Padang, Palembang, dan Bugis. Proses akulturasi budaya mempengaruhi pembentukan pola- pola daerah permukiman. Perkampungan penduduk asli di Lampung masih banyak dijumpai mengikuti jalan, garis pantai dan aliran sungai dengan pola linier dan pola pengelompokan secara sporadik pada wilayahwilayah pertanian. Sedangkan penduduk pendatang umumnya bermukim pada kantongkantong permukiman yang sudah terbentuk dengan dan atau tanpa pengaturan, seperti: lahan transmigrasi dan permukiman tradisional/perkampungan (desa-desa). Bahasa merupakan salah satu unsur kebudayaan. Penggunaan bahasa Lampung dalam kehidupan sehari-hari masih sering didengar baik dalam masyarakat maupun dalam lingkungan kerja. 5
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016 Hal ini menunjukkan bahwa kekerabatan dalam masyarakat Lampung masih cukup erat. Penggunaan bahasa Lampung sebenarnya merupakan bagian tak terpisah dari budaya disana. Masyarakat adat Megou Pak memiliki mata pencaharian sebagai petani dan pedagang. Sementara mata pencaharian utamanya adalah bertani di lahan kering seperti berladang dan berkebun. Untuk masyarakat yang tinggal di pinggir sungai dan rawa biasanya memiliki mata pencaharaian sebagai penangkap ikan. Menangkap ikan dilakukan karena sekalipun tidak dekat dengan laut, tetapi Tulang Bawang memiliki beberapa aliran sungai besar yang mempunyai atau dihuni pelbagai macam ikan air tawar. Kegiatan membuka lahan pada mulanya diawali dengan beberapa kegiatan ritual yang bermakna bahwa sebelum berusaha untuk memenuhi kebutuhan hidupnya terlebih dahulu memohon keselamatan agar terhindak dari bahaya. Ritual ini disebut ngebali, yang dilaksanakan oleh sanak keluarga yang akan membuka lahan untuk ditanami padi atau tanaman lainnya. Setelah ngebali, selanjutnya bersama keluarga-keluarga besar melaksanakan kusituwaw untuk memotong kayu-kayu kecil, semak belukar yang ada di lahan yang akan digarap menjadi lahan pertanian. Kemudian Nuwaw, adalah kegiatan menebang kayu-kayu pohon yang ada di sekitar lahan garapan. Setelah lahan yang dibersihkan kering, kegiatan selanjutnya adalah nyuwah, yaitu kegiatan membakar lahan untuk dipersiapkan menjadi lahan pertanian. Dari tata cara atau pola bertani seperti di atas dapat disimpulkan bahwa masyarakat Megou Pak awalnya berpindah-pindah dari satu lahan ke lahan berikutnya. Lahan yang pernah digarap oleh suatu kelompok masayarakat akan dijadikan lahan garapan keluarga secara turuntemurun. Nyuwah sebagai bagian dari tradisi yang terdapat di Tulang Bawang karena selama ini disana terjadi penebangan hutan atau pun PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
ISSN : 053 - 6678 ladang yang dilakukan masyarakat secara sembarangan sehingga merusak lingkungan. Adapun untuk kepentingan pembatasan penelitian, fokus penelitian diarahkan pada salah satu falsafah piil pesengiri, yakni pada nilai-nilai dalam kearifan lokal nengah nyappur. Impelementasi Kearifan Lokal Dalam Pembangunan Daerah Tulang Bawang Memperhatikan empat hal yang dapat disandarkan pada falsafah nengah nyappur, dapat dikatakan bahwa pembangunan di Tulang Bawang sebenarnya bukan hal yang mustahil mendasarkan pada falsafah hidup lokal yang telah dijadikan pedoman hidup masyarakat secara turun temurun. Falsafah saling menghargai, falsafah satu dalam cita-cita, falsafah dalam visi, dan falsafah dalam gotong royong akan dapat membantu merencanakan maupun melaksanakan pembangunan di segala segi kehidupan masyarakat di Tulang Bawang. Kegiatan pembangunan di Tulang Bawang dengan mengedepankan kearifan lokal yang ada, pada dasarnya merupakan upaya untuk melibatkan masyarakat agar dapat berpartisipasi dalam proses maupun pelaksanaan pembangunan di daerah khususnya di Kabupaten Tulang Bawang. Program pembangunan tersebut adalah program Jejamou Ngebangun Sai Bumi Nengah Nyappur yang pada dasarnya merupakan program pemberdayaan masyarakat agar dapat berpartisipasi secara langsung dalam kegiatan pembangunan. Hal ini sesuai dengan ungkapan Irwan Efendi (2009) selaku konsultan penyusunan program pembangunan di Kabupaten Tulang Bawang yang menyatakan bahwa kegiatan perencanaan, maupun pelaksanaan pembangunan dengan melibatkan sumber daya masyarakat lokal, merupakan upaya pemberdayaan yang bertujuan untuk meningkatkan partisipasi masyarakat dalam pembangunan daerah, sebagai proses pembelajaran demokrasi, pelaksanaan dan 6
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016 pelestarian kehidupan budaya lokal, meningkatkan semangat gotong royong dan kebersamaan dan sekaligus mengajak seluruh elemen masyarakat untuk dapat memelihara hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan secara bersamaan. Program Jejamou Ngebangun Sai Bumi Nengah Nyappur ini merupakan upaya dalam meningkatkan harkat dan martabat menusia dengan mengedepankan adat istiadat yang telah berkembang di tengah-tengah masyarakat dan telah dijadikan pegangan atau falsafah hidup masyarakat Tulang Bawang. Program ini diharapkan dapat menciptakan suasana atau iklim yang memungkinkan warga masyarakat untuk berkembang secara mandiri sekaligus sebagai upaya pemerintah daerah untuk melestarikan tradisi gotong royong sebagai falsafah dalam hidup bersama yang telah diakui keberadaannya secara turun temurun. Pelaksanaan penyusunan kebijakan pembangunan di Tulang Bawang khususnya implementasi program pembangunan yang menerapkan strategi pemberdayaan masyarakat dengan mengedepankan kearifan lokal merupakan suatu konsekuensi dari pergeseran paradigma pembangunan nasional. Paradigma ini mengarah pada tercapainya upaya pembangunan yang berpusat pada manusia (people centred development). Istilah pembangunan berpusat pada manusia atau orang pernah dipopulerkan oleh Miqdal dan Samin Amin pada tahun 1980 (Mulyarto, Tjokrowiloto: 1987). Perubahan paradigma pembangunan tersebut mau tidak mau menuntut adanya perubahan strategi pembangunan yang top down ke pembangunan yang bottom up, yaitu dengan memberikan kesempatan dan akses yang sama kepada masyarakat melalui kebijakan pemilihan dan pemberdayaan (demokratisasi pembangunan). Adapun program Jejamou Ngebangun Sai Bumi Nengah Nyappur merupakan program pemerintah guna kelancaran dan ketertiban pengelolaan Bantuan Langsung Masyarakat (BLM) sebagai implementasi dari PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
ISSN : 053 - 6678 Dana Kampung dan Kelurahan berdasarkan ketentuan Pasal 18 Peraturan Daerah Kabupaten Tulangbawang Nomor 21 tahun 2001 tentang Alokasi Dana Bantuan Langsung Masyarakat untuk Kampung/Kelurahan. Sebagai sebuah kebijakan publik yang sangat berpengaruh pada kehidupan masyarakat, maka kebijakan Jejamou Ngebangun Sai Numi Nengah Nyappur seyogyanya dirumuskan dengan baik, yakni melalui jalur informasi kebijakan yang tepat dan benar. Selain itu, diharapkan melibatkan banyak aktor guna dapat menciptakan bentuk peranan masing-masing stakeholders dalam melaksanakan pembangunan daerah yakni dengan mengacu pada nilai-nilai kearifan lokal yang ada. Dapat penulis sampaikan bahwa proses formulasi kebijakan Jejamou Ngebangun Sai Bumi Nengah Nyappur dilalui dengan melewati mekanisme perumusan kebijakan publik yang tepat. Perumusan tersebut dimulai dari identifikasi isu dan tuntutan yang muncul, penyusunan agenda dan perumusan masalah kebijakan, pemilihan alternatif dan penetapan kebijakan. Perumusan kebijakan yang dilakukan juga mempertimbangkan beberapa hal berikut, yaitu: (a) bagaimana isu ini pertama kali muncul; (b) siapa yang memunculkan; (c) apa dampaknya kepada masyarakat; (d) siapa yang menjadikannya sebagai agenda; (e) bagaimana respon dari legislatif dan eksekutif selaku aktor, bagaimana elaborasi antara keinginan pemerintah dan budaya masyarakat lokal (budaya Megou Pak) yang terjadi selama proses perumusan; (f) bagaimana aksiologi budaya Megou Pak memengaruhi formulasi kebijakan, (g) alternatif apa saja yang dimunculkan, dan (h) bagaimana keputusan finalnya. Jika proses dan tahapan ini tidak dilalui dengan benar, kebijakan program yang dihasilkan tidak akan membawa arti apa-apa bagi publik karena hasilnya tidak akan membawa perubahan yang berarti bagi masyarakat. Suatu formulasi kebijakan dibuat 7
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016 dengan melibatkan peran serta masyarakat sebagai stakeholders selain eksekutif dan legislatif, karena masyarakat adalah sebagai pihak yang akan menerika akibat langsung dari perubahan bentuk tersebut. Pentingnya peran masyarakat tersebut terutama dengan dipilihnya nilai-nilai budaya lokal yang berkembang di masyarakat guna memberikan variasi dan melengkapi tahapan formulasi kebijakan yang partisipatif. Program Bantuan Langsung Masyarakat Jejamou Ngebangun Sai Bumi Nengah Nyappur (BLM-JNSBNN)ini adalah kegiatan yang dilakukan oleh, dari, dan untuk masyarakat Tulang Bawang secara bersama dalam upaya pengembangan ekonomi kerakyatan. Tujuan yang hendak dicapai adalah untuk percepatan pengentasan kemiskinan, percepatan pembangunan sebagai bagian integral prinsipprinsip ekonomi yang diwujudkan dengan memberikan kewenangan yang luas, nyata, dan bertanggung jawab serta proporsional dengan menekankan pada prinsip-prinsip demokrasi, peran serta masyarakat pemerataan dan keadilan serta dengan memperlihatkan potensi dan keanakeragaman potensi masyarakat. Dalam pengelolaannya, asas yang diharapkan adalah bahwa dana BLM-JNSBNN tersebut dapat dikelola secara tertib, taat pada aturan perundang-undangan yang berlaku, efisein, efektif, transparan, dapat dipercaya,
ISSN : 053 - 6678 dan dapat dipertanggungjawabkan. Pengelolaan yang dilaksanakan senantiasa bertujuan untuk meningkatkan upaya pemberdayaan dan partisipasi masyarakat, dengan tidak mengesampingkan budaya dan pranata sosial yang berkembang di masyarakat, desa, dan kampung, sehingga tercapai pembangunan daerah bercirikan karakteristik sosial dan ekonomi lokal yang ada. Pada proses implementasinya, metode yang dilakukan oleh pemerintah daerah adalah melakukan pemberian bantuan dana simultan melalui bantuan langsung masyarakat kepada kampung/kelurahan di Kabupaten Tulang Bawang, yang penggunaannya didasarkan pada prinsip-prinsip dari program BLM-JNSBNN, yakni: (1) inisiatif, partisipatif, demokratis, manfaat dan gotong royong, dan berkelanjutan; (2) prasarana dan sarana yang akan dibangun hendaknya mempunyai keterikatan (linkage) dengan pengembangan wilayah; (3) kampung/kelurahan yang tidak/belum memiliki prasarana dan sarana yang memadai; (4) kegiatan yang akan dilakukan harus dapat dikerjakan sendiri oleh masyarakat kampung/kelurahan bersangkutan, pada prinsipnya harus swakelola kampung; dan (5) bantuan dana stimulan yang diberikan untuk setiap kampung adalah sebesar Rp100 juta. Sementara itu, prinsip pelaksanaan kegiatan dan penggunaan dana bantuan
Tabel 1 Alokasi Dana BLM-JNSBNN (Rp.100 Juta Per Kampung sejumlah 24 Kecamatan ) No
Uraian Kegiatan
Alokasi Dana
1
Kegiatan program kesejahteraan keluarga (PKK)
Rp. 5.000.000
2
Kegiatan kelompok masyarakat (pokmas)
Rp. 5.000.000
3
Kegiatan badan perwakilan kampung
Rp. 5.000.000
4
Kegiatan aparat kampung
Rp. 10.000.000
5
Kegiatan lembaga pemberdayaan masyarakat kampung
Rp. 5.000.000
6
Kegiatan pemberdayaan ekonomi masyarakat (BLM)
Rp. 30.000.000
7
Kegiatan pembangunan infrastruktur kampung
Rp. 40.000.000
Sumber: Pemda Kabupaten Tulangbawang`
PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
8
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016 tersebut adalah: (1) pelaksanaan kegiatan dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan menggunakan sumber daya, tata cara dan teknologi tepat guna spesifik lokasi; (2) semua kegiatan dikelola secara terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral, teknis, maupun administratif; (3) kegiatan yang akan dilakukan masyarakat kampung/kelurahan merupakan kegiatan yang direncakan dan dapat dilakukan secara swadaya masyarakat. Bentuk swadaya masyarakat dapat berupa bahan-bahan material (pasir, batu, semen) dan, tenaga kerja, dan lain-lain. Adapun sumber dana dalam BLMJNSBNN adalah dana swadaya masyarakat dan pihak swasta dari masing-masing kampung/kelurahan pada 24 kecamatan sebelum terbentuknya daerah Mesuji dan Tulang Bawang Barat di Kabupaten Tulang Bawang; dan dana dari anggaran pendapatan dan belanja daerah Kabupaten Tulang Bawang. Prinsip pelaksanaan kegiatan dan penggunaan dana BLM-JNSBNN ini dilakukan oleh masyarakat sendiri dengan menggunakan sumber daya, tata cara dan teknologi tepat guna spesifik lokasi. Seluruh kegiatan dikelola secara terbuka agar dapat dipertanggungjawabkan, baik secara moral, teknis maupun secara administratif. Sementara prinsip kegiatan yang akan dilakukan masyarakat kampung/kelurahan merupakan kegiatan yang direncanakan dan dapat dilakukan secara swadaya oleh masyarakat. Bentuk swadaya tersebut dapat berupa bahan-bahan material (pasir, batu, semen), dana, tenaga kerja, dan lain-lain. Adapun hasil observasi terhadap pendapat masyarakat menyangkut berbagai kegiatan yang didanai oleh program tersebut dapat dideskripsikan sebagai berikut: Pertama, kegiatan untuk Program Kesejahteraan Keluarga (PKK). Dengan adanya bantuan pendanaan untuk kegiatan program PKK di wilayah Tulang Bawang, beberapa kegiatan PKK telah dapat diaktifkan kembali. Program tersebut layak untuk dikembangkan karena adanya pembinaan dari instansi teknis PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
ISSN : 053 - 6678 terkait serta dukungan pendanaan dalam pengadaan bahan baku maupun sarana prasarana terkait menjadi tolak ukur pertama. Melalui bantuan pendanaan dan pendampingan itu pula kegiatan PKK yang mengarah pada kesehatan ibu dan anak yang berdampak pada kesehatan keluarga inti menjadi acuan pokok. Selain itu juga dilaksanakan melalui kegiatan posyandu, peningkatan keterampilan keluarga melalui kewirausahaan dengan menggunakan peran ibuibu rumah tangga dalam menjaga kualitas keluarganya hingga upaya meningkatkan perekonomian keluarga melalui usaha home industry. Lebih jauh, adanya perubahan sikap dan perbuatan ke arah yang diharapkan adalah menjadi nilai sukses dan tujuan program yang hendak dicapai. Hal ini terlihat dari kegiatan PKK yang dilakukan secara kerja sama dan gotong royong, di samping kegiatan individu melalui kegiatan home industry juga mulai tampak. Kedua, kegiatan untuk lembaga pemberdayaan. Pada kegiatan ini, bantuan dana yang dianggap layak dikembangkan melalui program adalah kegiatan dari Badan Perwakilan Kampung (BPK) dalam hal pengawasan, pendukung, serta pemerataan pembangunan di wilayahnya. Adanya pendampingan dinas terkait dalam pembentukan kelompok masyarakat (pokmas) dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang dipilih diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi warga menjadi lebih baik dan diharapkan dapt berkembang. Ketiga, kegiatan pemberdayaan ekonomi. Pada pelaksanaan program ini, kegiatankegiatan terkait yang dipilih untuk dikembangkan melalui pemberdayaan ekonomi akan senatiasa dimonitor dan terus mendapat pendampingan oleh tim teknis dari pemerintah. Keempat, kegiatan untuk aparat kampung. Kelima, kegiatan untuk badan perwakilan kampung. Keenam, kegiatan untuk kelompok masyarakat (pokmas). Adanya pendampingan 9
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016 dinas terkait dalam pembentukan kelompok masyarakat (pokmas) dalam pelaksanaan kegiatan-kegiatan yang dipilih diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi warga menjadi lebih baik dan diharapkan dapat berkembang. Ketujuh, kegiatan pembangunan infrastruktur. Pembangunan infrastruktur kampung yang urgent dan menyangkut hajat hidup masyarakat serta penunjang kelancaran mobilitas usaha serta sektor-sektor penting lainnya, seperti penyuluhan hal-hal baru dalam upaya peningkatan produksi rakyat adalah menjadi perhatian utama. Adanya program BLM-JNSBNN telah memberikan dampak positif bagi anggota masyarakat secara umum. Pada program ini pembangunan berlangsung secara bersama dengan melibatkan masyarakat tanpa mengabaikan peran-peran yang harus dilakukan pemimpinnya. Ada beberapa hal terkait pelaksanaan kebijakan BLM-JNSBNN: Pertama, pelaksana kebijakan. Sebagaimana dijelaskan, program pembangunan bantuan langsung masyarakat sebagai implemetasi BLM-JNSBNN, secara sistematik dilakukan pihak pemerintah daerah yang terdiri dari tim besar yang dibentuk di tingkat kabupaten. Tim terdiri dari pengarah, pelaksana teknis, pelaksana lapangan, dan kontrol. Hal-hal yang terkait dengan kebijakan tingkat makro dipegang pihak kabupaten. Sementara kebijakan tingkat mikro dipegang pihak dinas dan kecamatan. Masyarakat dalam hal ini merupakan pihak yang secara langsung melakukan pelaksanaan di lapangan dengan bantuan pendanaan dan tenaga ahli dari kabupaten, kecamatan, dan pendamping untuk terlaksananya proses pembangunan di kampung/kelurahan. oleh sebab itu, pembangunan dengan program ini merupakan proses pembangunan yang bersifat partisipatoris. Kedua, manfaat kebijakan bantuan langsung masyarakat. Selama ini program PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
ISSN : 053 - 6678 pembangunan bantuan langsung masyarakat dapat dikatakan efektif dan perlu ditingkatkan kembali dan disesuaikan dengan sumber daya manusia (SDM) yang ada dan berdasarkan pada musrenbang di kampung dan kecamatan. Dalam hal ini pemakaian anggaran, menurut hemat penulis dalam koridornya disesuaikan harga barang dan sesuai peraturan menteri dan peraturan presiden. Beberapa kendala-kendala yang dijumpai adalah adanya pertentangan dengan masyarakat dan kebuayan adat, kekurangan sumber daya manusia (SDM), dana, dan infrastruktur yang kurang memadai (bentuk geografis). Lemahnya SDM dilihat dalam skala nasional dikarenakan kurangnya kesadaran untuk sekolah (meningkatkan kualitas pendidikan), kurangnya pemahaman terhadap budaya yang ada, sikap fanatisme yang kuat di bidang kebudayaan karena masih menganut paham yang dikenal dengan istilah piil. Berdasarkan observasi di lapangan, dapat dikemukakan bahwa masyarakat sangat menerima dan mendukung program pembangunan yang dilaksanakan. Hal ini dibuktikan dengan adanya perbagai bentuk swadaya, tenaga, sarana, dan prasaran, dan dukungan moral dalam pelaksanaan pembangunan. Selain itu juga adanya kepercayaan terhadap kepala daerah untuk memimpin dan memajukan kembali daerahnya. Kelompok masyarakat (pokmas) yang mengusulkan program bantuan langsung mayarakat tediri dari aparat kampung, karang taruna, ibu-ibu PKK, tokoh masyarakat, tokoh adat, tokoh agama, dan kisaran antara 12 orang sampai 15 orang. Kisaran jumlah personil ini tergantung dari elemen kelompok masyarakat yang diwakili dan sejauh ini disesuaikan dengan jumlah dukuh dan lokasinya berdasarkan musyawarah kampung. Hasil pembangunan yang dikelola/diketahui Bappeda adalah setiap triwulan ada laporan dari satuan kerja terkait kepada bupati melalui Bappeda yang mencapai 99% yang melakukan 10
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016 monitoring di bidang pengendalian daerah yang bertugas merencanakan dan monitorng dan pembangunan berdasarkan ADD dan melibatkan Bappeda, Bipram, Dinas PU, kejaksaan atau unsur yang berkaitan langsung. Hambatan dan kebijakan yang ditemui adalah secara normatif tentang keterbatasan dana, SDM, letak geografis, dan jalan keluarnya yang telah terlaksana yaitu memecahkan DoB, efisiensi penggunaan pendanaan dan pencarian dana dari pusat (memperbanyak sumber dana di luar dari APBN dan mengundang investor). Adapun tindakan yang dilakukan untuk mengantisipasi kelemahan berkaitan dengan SDM adalah pelaksanaan Wajib Belajar Sembilan Tahun, membuat sekolah unggulan, pemberian beasiswa, kiat pembangunan sekolah untuk meningkatkan SDM. Di kalangan pemerintah program yang dilaksanakan adalah menyekolahkan pimpinan dan staf dan melakukan pendidikan dan latihan, pendidikan formal dan nonformal sesuai teknis yang berdasarkan spesifikasi kerja masingmasing instansi. Sedangkan pelaksanaan program bantuan langsung masyarakat, dilakukan seleksi untuk mengetahui siapa penerimanya sesuai dengan kriteria masyarakat yang kurang mampu, berada di daerah tertinggal, memiliki tingkat kesehatan yang kurang. Adapun penerima bantuan adalah kelompok masyarakat yang sesuai usulan dan kesepakatan bersama. Laporan dan pertanggungjawaban: membuat laporan triwulan. Dalam hal kewenangan pemerintah yang telah dilimpahkan kepada provinsi dan kabupaten/kota dalam pelaksanaannya dituangkan melalui Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) Tulangbawang. Di bidang pendidikan, pemerintah memiliki kewenangan seperti program wajib belajar di tingkat SD—MP (9 tahun). Kebijakan ini dikelola oleh Bupati sebagai Kepala Daerah melalui pendidikan dasar. Bahkan dalam upaya meningkatkan pendidikan, bupati telah PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
ISSN : 053 - 6678 menyiapakan anggaran pada level pendidikan menengah yang secara khusus telah menyiapkan anggaran pada level pendidikan menengah yang secara khusus telah menetapkan program kebijakan SMA unggulan. Sedangkan pada sektor pertanian dan agraria dibuat satu kebijakan dalam upaya membuat saluran irigasi. Pada sektor ekonomi dibuat kebijakan tentang pengembangan budidaya perikanan. Di bidang kesehatan, pemerintah membuat satu kebijakan melaksanakan pelayanan satuan tugas keliling, pelaksanaan posyandu dengan melaksanakan program pemberian makanan tambahan dan pemeriksaan kesehatan ibu dan anak. Program pembangunan, bantuan langsung masyarakat selama ini berjalan lancar dan sesuai dengan tujuan dan anggaran yang diajukan. Realisasi dana bantuan berkisar salama tiga bulan terhitung mulai dari pengajuan usulan. Sedangkan pelaksanaannya tergantung pada anggaran yaitu April pada tahun berjalan. Adapaun pelaksanaan program ini lebih mengutamakan peran unsur-unsur daerah seperti Badan Permusyawaratan Kampung (BPK) dan badan lainnya. Peran Kepala Desa adalah mengakomodir warga desa, sedangkan Camat berperan mengakomodasi warga kecamatan dan berupaya menjembatani segala urusan administrasi ke kabupaten. Dalam rangka mendukung pelaksanaan kebijakan pembangunan di Kabupaten Tulang Bawang dilakukanlah strategi sebagai implementasi kebijakan yang relatif baru. Pelaksanaan program ini mendapat respon dan antusiasme masyarakat tersebut dapat dilihat dari banyaknya pengajuan program masyarakat kepada pemerintah daerah. Berkenaan dengan hal itu, diadakan program pembangunan secara sistematik sebagai bentuk respons (feedback) atas gagasan atau kehendak masyarakat. Asisten I Bidang Pemerintahan dan Kesejahteraan Sosial Kabupaten Tulang Bawang, Kirnali M.Yus (wawancara Agustus 2009) menyampaikan bahwa pada awalnya 11
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016 program ini belum terlaksana secara maksimal karena banyak sekali usulan proposal ke Bupati dalam bentuk usulan secara pribadi dan disampaikan pada saat Bupati melakukan kunjungan ke kampung-kampung. Dampak dari kondisi tersebut maka muncullah program yang dahulu bernama alokasi dana desa (ADD) sekarang bernama Jejamou Sai Bumi Nengah Nyappur. Dana tersebut akan diterima melalui usulan yang sesuai dengan prosedur, yakni harus ada usulan dari masyarakat kepada kecamatan dan ke kabupaten. Kecamatan memverifikasi usulan sebelum diteruskan ke kabupaten, demikian juga kabupaten melakukan verifikasi sebelum dana dikucurkan. Awal mula program, dana tersebut sebesar Rp.100 juta per kampung (sebelum pemekaran Kabupaten Tulang Bawang). Bantuan langsung masyarakat diberikan kepada kelompok masyarakat (pokmas) dengan jumlah anggota beragam, yaitu sebanyak 12 sampai dengan 15 orang. Setiap kelompok masyarakat didampingi seorang konsultan dari kecamatan. Keberagaman anggota kelompok masyarakat tidak menjadi pertimbangan khusus seperti petani, tokoh agama, dan lain sebagainya karena jumlah dan dana bantuannya bernilai sama. Sebagai program pembangunan yang sifatnya partisipatif, yaitu mengutamakan aspirasi rakyat kampung, maka seluruh usulan melalui Badan Permusyawaratan Masyarakat Kampung (BPMK) yaitu semacam badan legislatif di desa. Di daerah lain mungkin nama badan ini memiliki nama yang berbeda, seperti di Jawa bernama Badan Permusyawaratan Desa atau Baperdes, yang intinya adalah ruang untuk bermusyawarah masyarakat desa untuk mengusulkan program pembangunan. Sedangkan pihak kecamatan berfungsi memverifikasi secara detail masalah pembangunan dari anggaran, usulan bahan, lokasi, dan seterusnya, sebelum proses persetujuan. Tim evaluator dan monitoring berasal dari kabupaten, dan jika ada pengaduan akan diproses serta di- crosscheck oleh PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
ISSN : 053 - 6678 inspektur. Pelaksanaan pembangunan dan penerima manfaat program ini adalah masyarakat dan pemerintah daerah. Bantuan langsung masyarakat (BLM) sifatnya untuk fasilitas publik dan infrastruktur. Berbeda dengan bantuan langsung tunai (BLT) karena pemberian tunai untuk infrastruktur dan untuk ekonomi produktif yang bersifat kelompok. Tujuan awal pembangunan bantuan langsung (BLM) adalah untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Keberhasilan pelaksanaan program untuk kampung transmigran pada umumnya sukses, tetapi diasumsikan pelaksanaan program di kampung asli (penduduk asli) agak sulit karena tingkat kesadaran masyarakat dan kesediaan untuk bergotong royong masih rendah. Terdapat beberapa hal yang menarik terkait kategorisasi masyarakat dalam merespon masalah pembangunan program. Menurut salah seorang ahli budaya Tulangbawang, Wan Mauli (Tokoh Adat Megou Pak) yang dibenarkan oleh Asisten I Bidang Pemerintahan, Sekretariat Daerah Kabupaten Tulang Bawang, dinyatakan bahwa masih didapati sebagian kecil warga masyarakat asli ini kurang produktif. Karena keterbatasan pengetahuan menyebabkan partisipasinya belum optimal. Sebagai ilustrasi misalnya sekalipun kondisi ekonomi mereka sangat terbatas akan tetapi dalam pelaksanaan perkawinan selalu ingin membuat acara yang membutuhkan dana yang tidak sedikit. Hal seperti ini adalah salah satu contoh pemahaman terhadap piil pesenggiri yang keliru, dalam arti mempertahankan budaya malu dan harga diri yang berlebihan tetapi salah memakainya. Hal ini terjadi karena faktor pendidikan yang masih relatif rendah dan hanya hidup dalam satu komunitas yang homogen. Berbeda dengan komunitas masyarakat yang sudah membaur dengan masyarakat masyarakat pendatang lainnya. Budaya piil sering disalahtafsirkan oleh masyarakat asli sehingga menimbulkan dampak negatif. Untuk 12
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016 meluruskan asumsi negatif tentang makna budaya piil perlu dilakukan pemahaman dan sosialisasi secara terus menerus. (wawancara tanggal 1 Februari 2011 di Tulangbawang, Lampung). Labih lanjut, dapat disampaikan strategi untuk mengatasi kegagalan pembangunan yang diuraikan sebagai berikut. Pertama, melakukan pendekatan dan pembinaan yang berkesinambungan secara terus menerus. Pendekatan ini tentunya membutuhkan waktu yang relatif lama. Jika sebagaian besar masyarakat tetap bertahan dalam konsep dan pendiriannya, maka melalui tokoh adat dan masyarakat harus berupaya memberikan pengertian melalui pendekatan budaya. Kedua, berupaya memberdayakan warga masyarakat melalui pendidikan-pendidikan informal sehingga dapat membawa dampak terhadap perubahan pola pikir seluruh warga masyarakat. Ketiga,untuk menumbuhkan partisipasi, melalui pemberian bantuan sehingga mereka dapat merasa memiliki dan ikut bertanggungjawab terhadap upaya kemajuan daerahnya. Relevansi Kearifan Lokal pada Kebijakan Pembangunan Daerah Ada tiga hal yang secara fundamental dapat dikemukakan setelah melakukan pengkajian berdasarkan wawancara dan observasi langsung ke lapangan. Pertama, banyaknya unsur yang terlibat dalam program BLM-JNBSNN yang berdampak pada munculnya biaya yang cukup tinggi, sehingga secara anggaran akhirnya memakan biaya sekalipun hanya sedikit untuk masing-masing instansi terkait. Namun, dalam makna yang sesungguhnya, banyaknya instansi terkait akhirnya mengurangi jatah anggaran yang akan disalurkan langsung ke masyarakat. Hal-hal yang dikemukakan Asisten I Sekretariat yang mengatakan akhirnya tidak dapat memberikan bantuan secara lebih besar pada masyarakat, hanya 80% dari total PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
ISSN : 053 - 6678 anggaran, karena 20% budget untuk aktor yang terlibat dalam proses pembangunan. Sebab tidak ada anggaran yang dapat menopang untuk pembiayaan program pembangunan di Tulangbawang. oleh sebab itu, masyarakat dituntut partisipasinya dalam bentuk yang lain dari pembangunan yakni tenaga atau pengadaan barangnya sehingga tidak seratus persen dari pemerintah daerah dana adalah sebagai simultan. Kedua, dengan melibatkan banyak pihak program yang diselenggarakan mengurangi kemungkinan adanya korupsi dan manipulasi, sebab masing-masing instansi saling bertanggungjawab dan mengawasi. Di samping itu, masing-masing instansi saling melakukan evaluasi dan monitoring sehingga program terkontrol di lapangan. Hal ini bisa dikatakan sebagai kelebihan dari pelaksanaan program yang melibatkan banyak pihak dengan tanggungjawab secara detail disusun dan harus bertanggungjawab pada masing-masing pimpinan. Keterlibatan banyak pihak, memang tampak tidak efisien tetapi karena terdapat kejelasan pembagian tugas dan tanggungjawab, maka program pembangunan di Tulangbawang khususnya program bantuan langsung masyarakat dapat dikatakan berhasil secara maksimal. Hal ini dapat pula diperiksa dari tabel yang telah dikemukakan sebelumnya, tentang frekuensi dan hasil dari tugas dan kewajiban masing-masing unit kerja. Ketiga, secara langsung dengan melibatkan banyak pihak maka Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang sedang mendidik masyarakat untuk terlibat langsung dalam proses pembangunan daerahnya. Masyarakat sedang diperlakukan agar merasa menjadi bagian dari pembangunan daerahnya. Masyarakat tidak hanya dijadikan sebagai obyek pembangunan, tetapi subyek pembangunan sebagaimana visi dan misi pembangunan di Tulang Bawang yang dalam hal ini sebagai kabupaten pemekaran yang relatif baru di Provinsi Lampung.
13
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016 Lebih jauh, untuk meningkatkan falsafah dalam kearifan lokal dinilai perlu untuk merevitalisasi kembali adat Nengah Nyappur. Maju dan berkembangnya masyarakat Tulang Bawang banyak ditentukan oleh lembaga adat berdasarkan pada adat lampung pepadun, yakni memberikan kesempatan pada orang lain karena kemampuan dan kecakapan sehingga nengah nyappur menjadi bagian dari pembangunan masyarakat. Pengejawantahan semangat nengah nyappur pada umumnya masih terbatas pada kegiatan ritual dalam perkawinan. Falsafah ini semestinya juga dapat bahkan sudah selayknya diterapkan dalam pengembangan ekonomi masyarakat. Untuk keperluan ini, dianggap perlu untuk menempatkan tokoh adat sebagai sumber inofrmasi yang kompeten. Namun, selain melibatkan tokoh adat yang paham dan cakap, dibutuhkan lembaga adat yang esksitensinya diakui untuk menjaga keberlangsungan adat di Tulang Bawang. Mereka haruslah dilibatkan dalam proses-proses pembangunan. Jika selama ini lembaga adat hanya dilibatkan dalam masalah-masalah upacara adat, maka selanjutnya lembaga adat harus dilibatkan dalam proses perumusan kebijakan pembangunan maupun upaya melaksanakan berbagai kegiatan pembangunan daerah agar kebijakan pembangunan yang akan dilaksanakan tidak bertentangan dengan peraturan- peraturan adat, seperti keberadaan tanah adat tanah marga yang diakui keberadaannya oleh masyarakat adat Megou Pak. Dalam hal ini, dapat disampaikan bahwa salah satu faktor penghambat pembangunan di Tulang Bawang secara garis besar dapat dibagi dalam dua level, yaitu faktor kultur dan faktor eksternal ( termasuk faktor keengganan investor dan pengaruh dari daerah lain yang telah berkembang). Dari sisi kultur, budaya setempat yang belum dipahami secara mendalam oleh masyarakat, baik masyarakat Megou Pak sendiri maupun masyarakat yang berasal dari luar daerah Tulang Bawang akan PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
ISSN : 053 - 6678 menjadi hambatan dalam memaknai landasan filosofi masyarakat Tulangbawang, khususnya falsafah nengah nyappur. Hasil penelitian ini mengindikasikan bahwa masih ada kesenjangan faktor budaya, yakni kurangnya pemahaman secara menyeluruh tentang falsafah Nengah Nyappur dalam pembangunan. oleh sabab itu, agar tidak terjadi kesalahan penafsiran dan pemahaman falsafah hidup masyarakat Tulangbawang, pemerintah daerah, DPRD, lembaga adat dan tokoh masyarakat harus menyosialisasikan kepada seluruh warga masyarakat agar falsafah Nengah Nyappur dapat dijadikan pegangan bersama seluruh komponen masyarakat yang berdomisili di Kabupaten Tulang Bawang dalam berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari. Lembaga adat harus lebih diberdayakan melalui pendidikan maupu revitalisasi. Terdapat banyak hal yang dapat dilaksanakan untuk memaknai falsafah Nengah Nyappur dalam kehidupan bersama. Terlebih jika dipahami bahwa secara institusional lembaga adat berperan sebagai wadah warga masyarakat adat untuk berhimpun dalam melaksanakan berbagai aktifitas dan terlibat dalam proses penyusunan kebijakan pembangunan di daerah. Di samping itu, lembaga adat juga berperan sebagai sarana pengembangan kebudayaan dalam upaya melestarikan tradisi yang telah dijadikan pedoman. Dalam berbagai catatan sejarah adat masyarakat Megou Pak, keberadaan lembaga adat pada dasarnya telah berdiri tegak jauh sebelum negara Indonesia ini terbentuk. Tradisi budaya ini dipegang teguh masyarakat dalam berbagai interaksi dengan warga masyarakat yang berdatangan di wilayah Kabupaten Tulang Bawang. Nengah nyappur merupakan bagian dari falsafah hidup masyarakat yang telah diintegrasikan menjadi landasan pembangunan masyarakat Tulang Bawang. Faktor eksternal seringkali berpengaruh negatif karena akan 14
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016 kehilangan jati dirinya yang dijadikan falsafah hidup masyarakat Tulang Bawang. Masyarakat Tulangbawang merupakan masyarakat terbuka yang menjunjung tinggi keberagaman budaya. Dengan demikian, masyarakat Megou Pak Tulang Bawang memiliki perilaku mengedepankan musyawarah dan bernegosiasi dengan masyarakat pendatang sebagai sebagai makna dari falsafah Nengah Nyappur yang tidak lebur dalam budaya global dan tidak menghilangkan identitas diri, akan tetapi mampu beradaptasi dengan berbagai kebudayaan yang berkembang di tengah-tengah masyarakat. Falsafah Megou Pak yang dijabarkan dalam Sai Bumi Nengah Nyappur sudah berjalan berpuluh-puluh tahun bahkan ratusan tahun di masyarakat. Keberadaannya telah tumbuh dan berkembang jauh sebelum kemerdekaan negara kita diraih dari jajahan Hindia Belanda. Namun, masyarakat pada umumnya belum memahami secara mendalam sehingga seakan-akan tidak ada kaitannya dengan falsafah hidup di Tulangbawang. Hal ini merupakan kewajiban masyarakat adat, pemerintah daerah, maupun seluruh komponen masyarakat untuk mengenalkannya secara utuh kepada generasi muda warga masyarakat megou pak. Pembangunan dengan mengedepankan kearifan lokal merupakan keharusan daerah yang tengah bergerak dalam memberdayakan masyarakat di daerah. Tanpa adanya falsafah yang kuat yang mengawal proses pembangunan akan terjadi proses marginalisasi daerah karena proyek pembangunan tersebut tidak akan menyentuh kepentingan yang mendasar bagi seluruh lapisan warga masyarakat. Hal ini disebabkan karena masyarakat dalam hal ini masyarakat adat tidak dilibatkan secara langsung, sehingga tidak tumbuh adanya rasa memiliki terhadap kegiatan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Dalam pandangan kaum developmentalis pembangunan seringkali membawa dampak negatif yang justru tidak dapat menyejahterakan PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
ISSN : 053 - 6678 masyarakat. Hal ini merupakan salah satu efek negatif dari rangkaian pembangunan yang tentunya harus diminimalisir sampai pada titik terendah. Oleh sebab itu, agar masyarakat tidak makin sengsara sebagai dampak dari kegiatan pembangunan maka penyusunan kebijakan pembangunan haruslah berpijak pada faslsafah hidup masyarakat setempat. Kegiatan pembangunan semacam ini dikenal dengan istilah pembangunan manusia seutuhnya. Hal ini selaras dengan pernyataan sosiolog Mulyarto Tjokrowiloto bahwa pembangunan yang manusiawi adalah pembangunan yang berlandaskan pada hakikat manusia yang akan menikmati hasil-hasil pembangunan bukan hanya dampak negatif dari pembangunan yang selama ini dilakukan. Tanpa memperhatikan falsafah hidup yang berkembang pada masyarakat, maka yang akan terjadi adalah proses peminggiran yang berkelanjutan pada masyarakat. Selanjutnya proses peminggiran seperti itu akan berlangsung di daerah-daerah karena pembangunan lebih mendasarkan pada formaliasi dan mekanisme peraturan daerah untuk mencapai target pembangunan sekalipun hasilnya adalah memarginalkan masyarakat. Program yang diteliti secara umum didukung oleh adanya sinergi antarelemen dalam masyarakat di Kabupaten Tulang Bawang. Mereka bersama-sama melakukan kerja sama untuk beraktivitas yang bermanfaat bagi masyarakat. Dalam implementasi falsafah Sai Bumi Nengah Nyappur tentunya ditemukan berbagai kendala, sehingga belum sepenuhnya dapat dioptimalkan. Sebuah hal yang dianggap memiliki nilai urgensi timggi adalah pendalaman atas budaya lokal. Abai akan hal ini dikhawatirkan kegiatan pembangunan daerah tidak dapat dirasakan manfaatnya bagi masyarakat lokal. Persoalan ini akan menjadi sangat rumit manakala masyarakat lokal merasa terabaikan dalam kegiatan pembangunan sehingga mereka tidak merasa memiliki
15
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016 terhadap hasil-hasil pembangunan yang telah dilaksanakan oleh pemerintah daerah. Di sinilah posisi birokrasi pemerintah daerah yang mengambil peran dan bersedia memberikan dorongan semangat agar budaya lokal benar-benar menjadi perhatian pemerintah daerah. Jika hal seperti ini tidak dilakukan maka hambatan bahkan akan muncul pertama kali dari kalangan birokrasi yang harusnya mengawal proses pembangunan dengan pelbagai inisiatif yang dikerjakan. Political will adalah upaya yang sangat memungkinkan untuk menepis hambatan besar sosialisasi budaya lokal dalam pembangunan daerah. Kesimpulan Kajian kearifan lokal dalam pembangunan daerah di Tulang Bawang dapat disampaikan beberapa hal: Pertama, jika melihat kondisi sosial masyarakat dalam proses pembangunan di Kabupaten Tulang Bawang, penyusunan kebijakan pembangunan daerah telah mengedepankan kearifan lokal khususnya falsafah Sai Bumi Nengah Nyappur dalam memformulasikan kebijakan pembangunan di Kabupaten Tulang Bawang. Dalam proses formulasi kebijakan, lembaga adat Megou Pak Tulang Bawang didorong untuk terlibat secara langsung. Falsafah hidup nengah nyappur dijadikan pegangan oleh masyarakat Megou Pak dalam menentukan prioritas pembangunan yang akan diformulasikan dalam bentuk kebijakan pembangunan daerah di Kabupaten Tulang Bawang. Jika falsafah hidup masyarakat Megou Pak khususnya nengah nyappur dipahami secara filosofis sebenarnya dapat menjadi landasan pembangunan masyarakat. Syaratnya, para tokoh adat, tokoh masyarakat, pejabat pemerintah dan masyarakat bersama-sama memberikan penjelasan kepada masyarakat umum secara komprehensif dan lugas sehingga seluruh warga yang berdomisili di wilayah Kabupaten Tulang PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
ISSN : 053 - 6678 Bawang dapat memahami makna filosofis ini sebagai jati diri dalam beraktifitas di tengahtengah masyarakat. Kedua, dalam proses perumusan kebijakan pembangunan melalui Program Jejamou Ngebangun Sai Bumi Nengah Nyappur ini peran pemerintah daerah bersama lembaga adat Megou Pak sangat besar dalam upaya menggerakkan warga masyarakat melalui lembaga adat. Pemerintah daerah melalui lembaga teknis daerahnya menyiapkan pendanaan dalam penyusunan program kebijakan pembangunan sementara warga masyarakat melalui lembaga adat megou pak dengan falsafat nengah nyappur yang telah dijadikan pedoman hidup sehari- hari terlihat secara langsung menentukan skala prioritas pembangunan yang benar-benar dibutuhkan oleh warganya. Ketiga, implementasi kebijakan pembangunan di Kabupaten Tulang Bawang telah diformulasikan dalam Program Jejamou Ngebangun Sai Bumi Nengah Nyappur dalam bentuk bantuan langsung kepada masyarakat. Bantuan Langsung tersebut sepenuhnya direncanakan dan dikelola oleh kelompok masyarakat , sedangkan peran pemerintah daerah bertindak sebagai mediasi dan pengarah sekaligus melaksanakan evaluasi dalam pelaksanaan di lapangan. Dalam beberapa kebijakan yang telah dilaksanakan di Tulangbawang, seperti dalam pemberian bantuan langsung masyarakat ini sebenarnya secara langsung mengintrodusir adanya semangat budaya lokal nengah nyappur. Sebab, kebijakan pembangunan sebenarnya tetap berhubungan dengan pola- pola pembuatan kebijakan dalam arti makro. Dengan demikian, implementasi kebijakan pembangunan daerah di Kabupaten Tulang Bawang telah menjadikan budaya lokal sebagai basis dalam merumuskan dan melaksanakan pembangunan ternyata dapat membuahkan hasil yang optimal dalam memenuhi kepentingan maupun keinginan masyarakat. 16
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016 Konklusi dari hasil pengamatan dan penelitian di lapangan diketahui bahwa dalam upaya melaksanakan pembangunan daerah dalam kerangka otonomi daerah, diperlukan suatu kebijakan yang menekankan pada aspek kearifan lokal. Melalui kearifan lokal ini seluruh elemen masyarakat dapat terlibat secara langsung baik dari proses perencanaan, pelaksanaan maupun dalam upaya memelihara hasil-hasil pembangunan daerah. Melalui kearifan lokal masyarakat akan dapat menunjukkan partisipasinya secara aktif dalam rangkaian pembangunan daerah. Beberapa hal dapat disampaikan sebagai saran rekomendasi bagi pemegang kebijakan di lingkungan pemerintah daerah, baik pemerintah kabupaten maupun kota, adalah perlu melakukan kajian secara komprehensif atas budaya-budaya lokal yang ada di Indonesia sebab Indonesia merupakan daerah yang sangat kaya akan kultur sehingga disebut multikultur. Selain itu, dalam membangun sebuah daerah tidak harus bersifat top down dan diupayakan mengedepankan adanya budaya lokal yang mungkin dapat menjadi spirit dalam pembuatan kebijakan pembangunan daerah. Kearifan lokal merupakan salah satu kekayaan nasional seperti juga di Tulangbawang, maka Pemerintah Daerah Kabupaten Tulangbawang dan Provinsi Lampung harus memberikan perhatian pada adanya budaya-budaya lokal yang berpotensi menjadi kekayaan daerah yang bersifat positif dalam pembangunan daerah dalam kerangka otonomi daerah.
DAFTAR PUSTAKA Buku: Abidin, Said Zainal, 2002, Kebijakan Publik, Yayasan Pancur Siwah, Jakarta.
PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
ISSN : 053 - 6678 Abdulah, Irwan, 2007, Produksi dan Reproduksi Kebudayaan, Yogyakarta. Amin, Ahmad, 1978, Etika/Ilmu Akhlak, Bulan Bintang, Jakarta. Albrow, Martin, 1996, Birokrasi, Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta. Anderson, James E., 1978, Public Policy Making (second edition), Holt, Rinehart dan Winston, New York. Billah, M. M, 1996, Good Governance dan Kontorl Sosial, Dalam Prisma, Jakarta. Dunn, William, N., 2000, Pengantar Analisis Kebijakan Publik, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Dwiyanto, Agus (dkk), 2002, Reformasi Birokrasi Publik di Indonesia, PSKKUGM, Yogyakarta. Effendi, Sofian, 2006, Analisis Kebijakan Publiki, Modul Kuliah MAP-UGM, Yogyakarta. Geertz, Cliffod, 1973, The Interpretation of Cultures: Selected Essays, New York. Islamy, Irfan, 2001, Prinsip-Prinsip Perumusan Kebijaksanaan Negara, Bumi Aksara, Jakarta. Jones, Charles, O., 1996, Pengantar Kebijakan Publik, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Khun, Thomas S., 2005, Diterjemahkan oleh, Tjun Surjaman, ,The Structure of Scientific Revolution (Peran paradigma dan Revolusi Sain), Remaja Rosdakarya, Bandung. Katsoff, Louis O., 1986, Pengantar Filsafat, Tiara Wacana, Yogyakarta. Lay, Cornelis, 2004, Patrimonialisme Politik dan Demokrasi, UGM, Yogyakarta. Malo, Manasse & Trisnoningtias, Sri, 1986, Metode Penelitian Masyarakat, PAU-IlmuIlmu Sosial Universitas Indonesia, Jakarta. 17
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016 Moleong, Lexy J., 1991, Metode Penelitian Kualitatif, Remaja Rosda Karya, Bandung. Nawawi, H. Hadari dan H. M. Martini Hadari, 1994, Ilmu Administrasi, Ghalia Indonesia, Jakarta. Nawawi, H. Hadari, 1985, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada University Press, Yogyakarta. Miles, Matthew B, and A. Michael Huberman, 1984, Analisis Data Kualitatif, Universitas Indonesia, Jakarta. Nasikun, tanpa tahun, Metodelogi Penelitian Sosial (hand out bahan kuliah), Jurusan Sosiologi Program Pascasarjana Ilmu-Ilmu Sosial Universitas Gajah Mada, Yogyakarta. Nazir, Muhammad, 1999, Metodelogi Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta. Nisjar, S., Karhi, 1997, Beberapa Catatan Tentang Good Governance, dalam Jurnal Administrasi dan Pembangunan, Jakarta. Santoso, Purwo, Penataan Pemerintah Daerah: Peluang dan Tantangan, dalam Jurnal Ilmu Politik Universitas Gajah Mada, edisi I th2/2007. Sarbini, (dkk) 2010, Ragem Carem Kebudayaan Megou Pak, Sesat Agung Megou Pak Tulang Bawang. Singarimbun, Masri dan Sofian Effendi, 1995, Metode Penelitian Survei, LP3ES, Jakarta. Soenarko, SD, 1998, Public Policy: Pengertian Pokok untuk Memahami dan Analisa Kebijaksanaan Pemerintah, Papyrus, Surabaya.
ISSN : 053 - 6678 Suharyo, Akhmad, 2011, Kualitas Birokrasi Pelayanan Publik pada Era Otonomi Daerah Studi Penelitian di Kabupaten Tulangbawang, Disertasi SPS UGM, Yogyakarta. Syaukani, Afan Gaffar dan Ryaas Rasyid, 2002, Otonomi Daerah Dalam Negara Kesatuan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Taylor, E.B., 1974, Primitive Culture: Researches into the Development of Mythology, Philosophy, Religion, Art, and Custom, Gordon Press, New York. Tholib, K., Abu, 2002, Pelaturan Sepanjang Hadat Ulun Lappung, Pustaka Pelajar, Yogyakarta. Wahab, Solichin Abdul, 2001, Analisis Kebijakan: Dari Formulasi ke Penerapan Kebijakan, Bumi Aksara Jakarta. Winarno, Budi, 2002, Teori dan Proses Kebijakan Publik, Med Press, Yogyakarta. Yunus, Ahmad (1986). Arsitektur Tradisional Daerah Lampung. Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Lampung, Bandar Lampung.
Perundang-undangan Undang-Undang No.32 tahun 2004 Tentang Pemerintah Daerah. Peraturan Daerah Tulangbawang. No.17,18, 19, 20, 21 tahun 2008 tentang Pembentukan Struktur organisasi Pemerintah Daerah Kabupaten Tulang Bawang. Laporan Kinerja Intansi Pemerintah Kabupaten Tulangbawang tahun 2009, Bappeda Kabupaten Tulang Bawang.
Sugiyono, 1999, Metode Penelitian Administrasi, AlfaBeta, Bandung. PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
18
NOMOR : 42/TAHUN XIX/JULI/2016
ISSN : 053 - 6678
Internet Hadi, Agus Purbathin, 2007, “Konsep Pemberdayaan, Partisipasi Dan Kelembagaan Dalam Pembangunan” Yayasan Agribisnis/Pusat Pengembangan Masyarakat Agrikarya (PPMA), Artikel ilmiah diunduh pada tanggal 4 Agustus 2010 dari: http://suniscome.50webs.com/32%20Konsep%2 0Pemberdayaan%20Partisipasi%20Kelemb agaan.pdf. Soetomo, 2006, “Persoalan Pengembangan Institusi Pemberdayaan Masyarakat” Artikel dalam Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UGM YOGYAKARTA, Volume 10, Nomor 1, Juli 2006 (51 - 69) ISSN 1410-4946 diunduh pada tanggal 4 Agustus 2010 dari https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/11022 Warsito Utomo, 1997, “ Implementasi Desentralisasi dan Otonomi Daerah Tingkat II Masa Orde Baru” Artikel dalam Jurnal Kebijakan dan Administrasi Publik UGM Yogyakarta ( JKAP) VOLUME 1 NOMOR 2, TAHUN 1997 . Diunduh diunduh pada tanggal 12 Agustus 2010 dari : https://journal.ugm.ac.id/jkap/article/view/8519
Referensi Utama : Mardihartono, Agus, 2011, Kearifan Lokal Dalam Pembangunan Daerah; Kebijakan Jejamou Ngebangun Sai Bumi Nengah Nyappur di Kabupaten Tulang Bawang, Disertasi, Program Studi Kebijakan Sekolah Pascasarjana, UGM, Yogyakarta.
PROGRESS – FISIP UTB LAMPUNG
19