KEBIJAKAN PEMERINTAH KABUPATEN DELI SERDANG DALAM PENGELOLAAN WILAYAH PESISIR DAN LAUT Ivan Razali Abstract: The implementation of Law 22 1999, which was replaced by Law 32 2004 on Local Government raised greater expectation to the people in terms of decision making process especially on coastal area management. In reality, the expectation could not be realized in Deli Serdang Regency due to the existing coastal area management is still approaching the revenue increase oriented. This is proved by all the local regulation produced were aimed to increase revenue and neglecting the management of coastal area. Keywords: coastal area management, revenue improvement PENDAHULUAN Indonesia sebagai negara kepulauan dengan jumlah pulau sekitar 17.508 pulau dan panjang pantai sekitar 81.000 km serta sekitar dua pertiga wilayahnya berupa perairan (laut), memiliki potensi sumber daya pesisir dan laut yang sangat besar. Wilayah pesisir dan laut menyediakan sumber daya alam yang produktif, baik sebagai sumber pangan, tambang mineral dan energi, media komunikasi, maupun kawasan rekreasi atau pariwisata. Karena itu wilayah pesisir dan laut merupakan tumpuan harapan manusia dalam pemenuhan kebutuhan hidupnya di masa mendatang. Selain itu, ada sekitar 140 juta atau 60% penduduk Indonesia tinggal di wilayah daratan pesisir. Sampai tahun 2000, terdapat 42 kota besar dan 181 kabupaten berada di pesisir tempat pertumbuhan ekonomi, industri dan berbagai aktivitas lainnya. Di kota dan kabupaten ini, terdapat sekitar 80% dari industri Indonesia beroperasi yang memanfaatkan sumber daya pesisir dan membuang limbahnya ke pesisir. Sampai tahun 1996, sekitar 26,5% PDB Indonesia berasal dari hasil pemanfaatan sumber daya pesisir, dan menyerap lebih dari 16 juta tenaga kerja. Hanya saja, pemanfaatan Sumber Daya Alam (SDA) kelautan dan perikanan saat ini seperti menghadapi dilema. Di satu sisi pemanfaatannya belum optimal dengan masih besarnya potensi pesisir dan laut yang belum tergali dengan baik. Namun disisi lain telah terjadi banyak kerusakan di perairan laut akibat pemanfaatan SDA tanpa mempertimbangkan kelestarian alamnya. Ivan 8 Razali adalah Dosen FISIP USU
Kerusakan laut juga terjadi akibat berbagai kegiatan yang dilaksanakan di hulu seperti industri, pertanian, dan lainnya. Ada beberapa permasalahan pengelolaan yang mengakibatkan terganggunya keseimbangan ekosistem wilayah pesisir dan lautan tersebut, di antaranya: Pertama, kegiatan perikanan laut semakin menurun hasil tangkapannya karena terjadi penimbunan limbah yang dihasilkan dari kegiatan industri, pertanian, dan rumah tangga yang berpotensi menimbulkan dampak pencemaran yang besar. Pencemaran yang ditimbulkan oleh industri, pertanian, dan rumah tangga mengakibatkan semakin menurunnya kualitas perairan, terutama di daerah muara sungai. Kedua, telah terjadi degradasi kerusakan ekosistem terumbu karang dan mangrove di sepanjang pantai untuk berbagai peruntukan lainnya. Besarnya tingkat kerusakan ekosistem mangrove dan terumbu karang sangat mempengaruhi partumbuhan ikan di laut. Berdasarkan data yang ada, 42 % terumbu karang rusak berat, 29 % rusak, 23 % baik, dan 6 % sangat baik. Ketiga, Penggunaan alat tangkap merusak (destructive fishing) seperti pukat harimau, bom ikan, dan racun sianida telah menyebabkan terjadinya degradasi sumber daya laut. Konflik sosial yang sering terjadi di wilayah pesisir umumnya diakibatkan oleh penggunaan alat tangkap merusak tersebut. Demikian pula penangkapan ikan yang tidak selektif (ukuran/ umur) akan menurunkan produksi perikanan di masa mendatang. Keempat, masih tumpang tindihnya pemanfaatan wilayah pesisir dan lautan untuk
Razali, Kebijakan Pemerintah...
berbagai kegiatan pembangunan, sehingga sering terjadi konflik antar-stakeholder yang memanfaatkan wilayah pesisir dan lautan. Kondisi di atas semakin krusial dengan lemahnya dukungan peraturan perundang-undangan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut yang selama ini dirasa belum menampung semua aspirasi stakeholder dan kebanyakan masih bersifat sektoral dan tidak memihak kepentingan masyarakat pesisir dan kelestarian sumber dayanya. Akibatnya, berbagai sektor yang sebenarnya saling berkaitan seperti perikanan, pertambangan, kehutanan, keamanan, pertanian, dan lainnya diatur secara terpisah dengan peraturan perundang-undangan sendiri. Peraturan Daerah (Perda) yang pembuatannya mengacu kepada peraturan perundang-undangan di atasnya juga terjebak kepada fenomena yang sama. Misalnya, sektor perikanan, pemerintah mengeluarkan undang-undang perikanan, dalam bidang pertanian terdapat undangundang pertanian, dan seterusnya. Kebijakan tersebut selanjutnya dijadikan acuan bagi instansi terkait dalam melakukan pengelolaan yang seringkali tidak bersinergis dengan instansi lainnya. Padahal sumber daya yang diatur tersebut berada di dalam satu kawasan (ekosistem) atau setidaknya memiliki hubungan yang erat antara satu sektor dengan sektor lainnya. Tidak adanya aturan perundang-undangan yang mengatur koordinasi yang jelas antar-intansi yang dapat dijadikan acuan bersama, sehingga masingmasing instansi bergerak sendiri dengan acuan perundangan yang berbeda-beda. Untuk konteks ini, juga dijumpai ketidaksesuaian peraturan yang lebih tinggi dengan peraturan dibawahnya. Permasalahan dalam aturan perundang-undangan lainnya adalah tidak adanya keseimbangan dalam hal pengaturan nilai ekonomis dan keterjaminan kelestarian sumber daya (Manan 1992). Beberapa kebijakan pengelolaan sumber daya alam memberikan peluang kepada pengusaha untuk melakukan eksploitasi terhadap sumber daya, dan negara akan mendapat rente dari pajak dan retribusi yang dikenakan. Sementara kewajiban untuk melakukan konservasi dan usaha mempertahankan keseimbangan ekosistem tidak begitu diperhatikan. Tidak adanya pengakuan terhadap hak-hak masyarakat lokal dalam pengelolaan sumber daya pesisir dan laut, peraturan perundang-undangan yang ada
telah melakukan pemiskinan terhadap masyarakat setempat. Diperburuk dengan perilaku aparat negara yang mempraktikkan korupsi, kolusi dan nepotisme telah mempercepat terjadinya kerusakan dan ketidakadilan pemanfaatan sumber daya. Ketidakadilan ini dapat berupa teritorial (Jawa dan luar Jawa) dan kelompok (pengusaha dengan penduduk setempat, atau antara pengusaha non pribumi dengan pribumi). Seiring dengan bergesernya orientasi pembangunan nasional dari continent oriented ke arah coastal and marine oriented yaitu menempatkan sumber daya pesisir dan laut sebagai tulang punggung untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan kesejahteraan sosial, maka sudah saatnya memikirkan suatu model pengelolaan wilayah pesisir dan lautan secara terpadu. Namun, hal tersebut harus didukung dengan aturan perundang-undangan, seperti Perda sektor kelautan dan perikanan yang menampung semua aspirasi stakeholder, tidak bersifat sektoral dan memihak kepentingan masyarakat pesisir dan kelestarian sumber daya pesisir dan laut di Sumatera Utara. Agar peraturan perundang-undangan di sektor kelautan dan perikanan mampu mengatasi permasalahan yang terjadi di sektor ini maka harus dilakukan: Pertama, melakukan sinkronisasi horizontal maupun vertikal. Ini bertujuan untuk melihat sinkronisasi ataupun tumpang tindih kebijakan yang mengatur sektor kelautan dan perikanan. Sebagai acuan utama digunakan Undangundang No. 9 Tahun 1985 tentang Perikanan, Undang-undang No. 34 Tahun 2000 tentang Perubahan Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, dan Undang-undang No, 22 Tahun 1999 tentang Pemerintahan Daerah serta peraturan terkait lainnya sebagai pendukung. Kedua, dilakukan dengan membentuk susunan yang hirarkial. Susunan tersebut mengacu kepada urutan-urutan hirarki perundangundangan sebagaimana yang ditetapkan dalam Ketetapan MPR No. III Tahun 2000 tentang sumber hukum dan tata urutan peraturan perundang-undangan Republik Indonesia yang terdiri dari: 1. Undang-Undang Dasar RI Tahun 1945; 2. Ketetapan Majelis Permusyawaratan Rakyat Republik Indonesia; 3. Undang-Undang; 9
Jurnal Wawasan, Oktober 2005, Volume 11, Nomor 2
4. Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang (Perpu); 5. Peraturan Pemerintah; 6. Keputusan Presiden; 7. Peraturan Daerah Ketiga, dilakukan dengan memakai tata urutan waktu dikeluarkannya peraturan tersebut, yakni dari peraturan yang terlebih dahulu diberlakukan dan seterusnya berurutan sampai kepada peraturan yang terakhir dikeluarkan oleh pemerintah daerah. Keempat, memegang sejumlah azas dari perundang-undangan sebagai kerangka kerja juridis (teknis juridis perundang-undangan) yakni: a. Undang-undang tidak berlaku surut; b. Undang-undang yang dibuat oleh penguasa yang lebih tinggi, mempunyai kedudukan yang lebih tinggi pula; c. Undang-undang yang bersifat khusus mengeyampingkan Undang-Undang yang bersifat umum, jika pembuatnya sama; d. Undang-undang sebagai sarana untuk semaksimal mungkin dapat mencapai kesejahteraan spritual dan meteril bagi masyarakat maupun individu melalui pembaharuan dan atau pelestarian (Nasution, 2000) Terkait dengan azas di atas, menurut Lubis (1989), suatu peraturan dapat berfungsi dengan baik apabila diperhatikan adanya 4 faktor yaitu: 1. Peraturan itu sendiri, artinya perundangundangan harus direncanakan dengan baik yaitu kaidah-kaidah yang bekerja mematuhi tingkah laku harus ditulis dengan jelas dan dapat dipahami dengan kepastian. Sehingga suatu ketaatan atau tidak taatnya warga negara kepada hukum itu dapat disidik dan dilihat dengan mudah . 2. Petugas yang menerapkan peraturan hukum harus menunaikan tugasnya dengan baik dan mengumumkan secara luas. 3. Fasilitas yang ada diharapkan akan dapat mendukung pelaksanaan hukum. 4. Warga masyarakat yang menjadi sasaran peraturan tersebut akan bertindak sesuai dengan peraturan yang berlaku bagi aktivitasnya tergantung kepada tiga variabel, yaitu apakah normanya telah disampaikan, apakah normanya sesuai dengan tujuan yang telah ditetapkan bagi 10
posisi itu, dan apakah warga masyarakat yang terkena peraturan digerakkan oleh motivasi yang menyimpang. Peraturan Daerah Sektor Kelautan dan Perikanan dapat digunakan atau sebagai bahan untuk mengembangkan norma hukum dalam rangka pengelolaan pesisir dan laut yang sekaligus mampu memenuhi lima fungsi aturan perundangan, yaitu: 1. Fungsi Direktif Yang dimaksud dengan fungsi direktif adalah di mana hukum sebagai pengarah pembangunan secara terencana dan konsisten sehingga dapat mencapai tujuannya secara efektif dan efesien. Perumusan norma hukum harus melibatkan masyarakat, baik yang terkena arahan pengaturan maupun yang memperoleh manfaat pengaturan. 2. Fungsi Integratif Pengembangan pengaturan hukum dalam berbagai tingkat (pusat, propinsi, kabupaten/kota harus menunjukkan suatu sistem yang integral. Pengertian integral adalah tidak ditemukan kontradiksi atau inkonsistensi, baik dalam perumusan pasalpasalnya maupun dalam pelaksanaannya. Pengertian integral yang kedua adalah hukum harus berfungsi sebagai sarana pengintegrasian bangsa dalam pengertian harus dapat mencegah perpecahan yang disebabkan karena timbulnya berbagai kesenjangan, baik secara ekonomi maupun sosial. Ancaman disintegrasi lainnya adalah timbulnya konflik mengenai penetapan batas daerah penangkapan ikan di laut antara nelayan-nelayan tradisional yang berasal dari daerah yang berbeda. Hukum harus responsif terhadap gejalagejala yang mengarah pada perpecahan atau disintegrasi bangsa. 3. Fungsi Stabilitatif Pengaturan pemanfaatan kekayaan alam wilayah pesisir harus berfungsi untuk menciptakan dan mendorong tingkat stabilitas sosial yang semakin baik. Penegakan norma hukum dan peraturan perundangundangan secara konsisten dan tidak memihak diharapkan dapat menghilangkan stabilitas semu yang dapat menimbulkan ledakan kekecewaan masyarakat dalam skala yang luas. 4. Fungsi Korektif Fungsi korektif dimaksudkan untuk memperbaiki kesalahan atau kekeliruan dalam penetapan pengaturan, antara lain karena
Razali, Kebijakan Pemerintah...
adanya perubahan dalam pemilihan kebijakan yang dikhawatirkan dapat menimbulkan ketidakpastian hukum dalam pelaksanaannya. Perubahan dalam pemilihan kebijakan harus dirumuskan secara jelas agar tidak membingungkan para pihak yang terkait dalam pelaksanaan dan penegakan hukumnya. Selain itu, fungsi korektif harus pula diartikan untuk memperbaiki atau membetulkan keadaan yang dianggap kurang baik atau salah menuju ke arah yang lebih baik dan benar. 5. Fungsi Perfektif Fungsi perfektif merupakan fungsi akhir dari pengaturan, yaitu untuk menyempurnakan keadaan yang sudah baik ke arah yang mendekati kesempurnaan. Tujuannya adalah agar lebih banyak lagi anggota masyarakat yang dapat merasakan manfaat positif dari kinerja pengaturan sehingga kehidupan dapat dinikmati dengan lebih baik dalam suasana tertib dan damai. PEMBAHASAN Inventarisasi Perda di Sektor Kelautan dan Perikanan Di Deli Serdang Kabupaten Deli Serdang, sebagai salah satu kabupaten di Sumatera Utara yang sebagian wilayahnya berada di pesisir, telah memiliki Peraturan Daerah (Perda) Kabupaten yang terkait dengan sektor kelauatan dan perikanan. Perda-perda tersebut, yakni: 1. Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 7 Tahun 1999; 2. Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Retribusi Tempat Pendaratan Kapal. 3. Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 22 Tahun 2001 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan. Adapun dasar pertimbangan penetapan Perda, seperti yang tercantum di dalam konsideran “menimbang” memiliki kesamaan, khususnya antara Perda No. 7 Tahun 1999 dengan No. 8 Tahun 1999. Pertama Peraturan Daerah Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang Nomor 7 Tahun 1999 tentang Retribusi Pengujian Kapal Perikanan melandaskan kepada telah ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997, seperti yang tampak pada butir (a) bahwa berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah sebagai
pelaksanaan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. (b) bahwa untuk melaksanakan penyesuaian sebagaimana dimaksud huruf a, perlu ditetapkan dalam suatu Peraturan Daerah. Kedua, Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Retribusi Tempat Pendaratan Kapal, landasan filosofis penetapannya seperti yang tercantum di dalam konsideran menimbang, pada huruf a: bahwa dengan ditetapkannya Peraturan Pemerintah Nomor 20 Tahun 1997 tentang Retribusi Daerah sebagai pelaksanaan UndangUndang Nomor 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah, maka Retribusi Pajak Tempat Pendaratan Kapal merupakan jenis Retribusi Daerah Tingkat II. Huruf b: bahwa untuk memungut Retribusi sebagaimana dimaksud huruf a, perlu ditetapkan dengan Peraturan Daerah. Ketiga, Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Retribusi Izin Usaha Perikanan, landasan filosofisnya menekankan peningkatan pendapatan masyarakat seperti yang tercantum pada konsiderans menimbang huruf a: bahwa untuk meningkatkan pendapatan masyarakat yang melaksanakan usaha di bidang perikanan perlu adanya pembinaan dan pengawasan. Selanjutnya pada huruf b: bahwa untuk maksud tersebut di atas, dipandang perlu segera penetapan Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang tentang Izin Usaha Perikanan. Berkenaan dengan referensi peraturan dalam penetapan Peraturan Daerah, memiliki perbedaan terutama Peraturan Daerah Kabupaten Deli Serdang Nomor 22 Tahun 2000 dengan dua Peraturan Daerah lainnya. Perbedaan tersebut, selain objek yang diatur berbeda juga beberapa undang-undang terkait belum ditetapkan, seperti paket undangundang mengenai otonomi daerah. Berikut peraturan-peraturan yang digunakan sebagai referensi oleh masing-masing peraturan daerah yang berhubungan dengan sektor kelautan dan perikanan di Kabupaten Langkat. Reformasi yang terus bergulir kini memberi implikasi terhadap cara-cara pengelolaan wilayah menjadi bagian tak terpisahkan dalam sejarah perjalanan bangsa ini. Salah satu di antaranya adalah menyangkut pemberian wewenang yang nyata bagi daerah untuk mengelola sumber daya yang ada di wilayahnya masing-masing, yang menurut ketentuan Undang-undang Nomor 32 tahun 11
Jurnal Wawasan, Oktober 2005, Volume 11, Nomor 2
2004 (tentang pemerintahan daerah) penyerahan kewenangan itu difokuskan pada kabupaten/kota. Dalam kaitannya dengan pengelolaan ka wasan pesisir Undang-Undang Nomor 32
tahun 2004 memberi kewenangan kepada kabupaten untuk mengelola wilayah laut, sepertiga wilayah laut propinsi (1/3 dari 12 mil laut atau sama dengan 4 mil laut.
Tabel 1. Data Jumlah Pemilih Perempuan di Kabupaten Langkat No.
Perda
Subjek
Referensi Peraturan
1.
No. 7 Tahun 1999
Retribusi Pengujian Kapal Perikanan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11.
UU Drt No. 7 Tahun 1956 UU No. 5 Tahun 1974 UU No. 8 Tahun 1981 UU No. 18 Tahun 1997 PP No. 27 Tahun 1983 PP No. 20 Tahun 1997 Kepmendagri No. 84 Tahun 1993 Kepmendagri No. 171 Tahun 1997 Kepmendagri No. 174 Tahun 1997 Kepmendagri Bo. 175 tahun 1997 Kepmendagri No. 119 Tahun 1998
2.
No. 8 Tahun 1999
Retribusi Tempat Pendaratan Kapal di Daerah Tingkat II Deli Serdang
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
UU Drt No. 7 Tahun 1956 UU No. 5 Tahun 1974 UU No. 18 Tahun 1997 PP No. 20 Tahun 1997 Kepmendagri No. 84 Tahun 1993 Kepmendagri No. 171 Tahun 1997 Kepmendagri No. 174 Tahun 1997 Kepmendagri Bo. 175 tahun 1997 Kepmendagri No. 119 Tahun 1998
3.
No. 22 Tahun 2000
Retribusi Izin Usaha Perikanan
1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9. 10. 11. 12. 13. 14. 15. 16. 17.
UU No. 7 Drt Tahun 1956 UU No. 11 Tahun 1974 UU No. 4 Tahun 1982 UU No. 9 Tahun 1985 UU No. 22 Tahun 1999 UU No. 25 Tahun 1999 PP No. 49 Tahun 1951 PP No. 64 Tahun 1957 PP No. 5 Tahun 1975 PP No. 22 Tahun 1982 PP No. 15 Tahun 1990 PP No. 25 Tahun 2000 Permenkeh No. M-04.PW.07.03 Thn 1984 Kepmenkeh No.M-04.PW.07.03 Thn 1984 Kepmendagri No. 23 Tahun 1986 Kepmendagri No. 84 Tahun 1993 Kepmen Eksplorasi Laut dan Perikanan No. 45 Tahun 2000 Perda Propinsi S Ut Np. 8 Tahun 1957 Kep. Gubernur Kepala Drh Tkt I Sumatera Utara No. 354/VI/PSU Tahun 1974 Kep. Gubernur Kepala Daerah Tingkat I S U No. 188.44/185/K/Tahun 1983 Perda Kabupaten Daerah Tk. II Deli Serdang No. 2 Tahun 1985
18. 19. 20. 21.
Dengan adanya ketentuan ini berarti kabupaten/kota harus mempersiapkan berbagai perangkat yang berkenaan dengan pengaturan dan pengambilan kebijakan tentang laut yang terkait di dalamnya persoalan pengelolaan ka12
wasan pesisir. Dengan semangat otonomi yang di dalamnya termuat berbagai dasar pemikiran seperti aspek demokrasi, keadilan, penghargaan terhadap nilai-nilai lokal harus menjadi dasar bagi kabupaten/kota dalam membuat
Razali, Kebijakan Pemerintah...
kebijakan tentang pengelolaan kawasan pesisir (Prakosa 1985). Berikut akan kita lihat sejauh mana Pemerintah Deli Serdang memanfaatkan kewenangan yang diberikan oleh UU No. 22 Tahun 1999 (saat ini sudah diganti dengan UU No.32 Tahun 2004) dalam pengelolaan wilayah pesisir dan laut melalui produk hukum (Perda) yang dihasilkannya. Peraturan Daerah yang berhubungan dengan sektor kelautan dan perikanan terdapat 3 (tiga) ketetapan, yakni: Perda No. 7 Tahun 1999 tentang Retribusi Pengujian Kapal Perikanan, Perda No. 8 Tahun 1999 tentang Tempat Pendaratan Kapal dalam Kabupaten Daerah Tingkat II Deli Serdang dan No. 22 Tahun 2000 tentang Izin Usaha Perikanan. Dua perda yang disebutkan pertama, dimaksudkan untuk memperoleh masukan bagi Pendapatan Asli Daerah sesuai dengan Undang-Undang Nomor 18 Tahun 1997. Dengan demikian berbagai ketentuan yang diatur didalamnya merujuk dan disesuaikan dengan UndangUndang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah tersebut. Hanya saja, dengan telah ditetapkanya Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2000 tentang Perubahan UU No. 18 Tahun 1997, maka beberapa hal seperti pembagian penghasilan kepada desa yang seharusnya diatur dalam pasal-pasalnya belum terakomodir. Catatan Perda No. 7 Tahun 1999 tentang Retribusi Pengujian Kapal Perikanan: • Golongan retribusi: retribusi jasa umum. • Tarif juga mengenai seluruh nelayan dengan pasal 8 mengenai struktur dan ketentuan tarif. • Besarnya retribusi sangat memberatkan. • Tidak diatur mengenai bagaimana mekanisme pengujian. Pasal 6 mengenai pengujian tidak menyebutkan bahwa akan ada ketentuan lebih lanjut. Perda No. 33 Tahun 1999 tentang Retribusi Pendaratan Kapal: • Mengatur objek yang sama dengan perda Provinsi No.5 Tahun 1999, hal ini bertentangan dengan UU No. 34 Tahun 2000. • Golongan retribusi adalah retribusi jasa usaha. • Sesuai dengan maksud pasal 1 huruf k, tidak berlaku bagi kapal perikanan, semen-
tara pada pasal 4 bisa mencakup kapal nelayan. Perda No. 22 Tahun 2000 tentang Retribusi izin usaha perikanan: • Mengatur perikanan perairan dan darat. • Tidak ada ketentuan mengenai usaha pelestarian dan perlindungan sumber daya ikan, juga syarat-syarat untuk mendapat izin usaha perikanan sehingga tampak tujuannya hanya untuk retribusi. • Tidak ada diatur golongan retribusi. • Tidak ada ketentuan yang mengatur tentang penyelamatan lingkungan hidup. KESIMPULAN Dengan diberinya wewenang yang lebih besar terhadap daerah melalui UU No. 32 Tahun 2004, muncul harapan yang besar dari masyarakat terhadap pengambil kebijakan di daerah untuk dapat melakukan pengelolaan sumber daya pesisir dan laut dengan visi sebagai berikut: a. Memiliki komitmen yang kuat terhadap makna sustainable. b. Menyadari bahwa alam memiliki daya dukung yang terbatas. c. Memberikan tempat dan perlindungan kepada masyarakat adat/lokal. d. Membuka ruang bagi peran serta masyarakat. e. Sinkronisasi peraturan dalam berbagai level, baik vertikal maupun horizontal. f. Memberikan ruang bagi penghormatan dan penghargaan terhadap HAM. g. Pengelolaan secara transparan dengan proses akuntabilitas publik. h. Kemudahan sistem perizinan/terintegrasi. i. Memiliki sanksi hukum yang dapat ditegakkan. j. Memiliki lembaga yang efisien dengan mobilitas tinggi. k. Mengutamakan pemberdayaan masyarakat ekonomi kecil dan menengah. Hanya saja, setelah beberapa tahun tahun penerapan otonomi daerah, kebijakan pemerintah daerah di sektor kelautan dan perikanan belum memberikan dampak positif secara signifikan. Pemerintah daerah justru terfokus kepada kebijakan yang berhubungan dengan pajak daerah dan retribusi daerah. Sementara agenda perbaikan kondisi lingkungan, peningkatan kesejahteraan, dan 13
Jurnal Wawasan, Oktober 2005, Volume 11, Nomor 2
partisipasi masyarakat seperti yang diamanatkan UU otonomi daerah belum mendapat posisi penting dalam pembuatan kebijakan. Untuk itu perlu dibuat peraturan daerah yang
berkaitan dengan pengelolaan sumber daya wilayah pesisir terpadu berbasis masyarakat di Kabupaten Deli Serdang.
DAFTAR PUSTAKA Lubis, M. Solly. 1989. Landasan dan Teknik Perundang-undangan. Bandung, Mandar Maju. Manan, Bagir. 1992. Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia. Jakarta, Penerbit Ind. Hill Co. Nasution, Faisal Akbar. 2000. Dasar dan Teknik Penyusunan Perundang-undangan. Makalah. Prakosa, Joko. 1985. Proses Pembuatan Peraturan Daerah dan Beberapa Usaha Penyempurnaannya. Jakarta, Ghalia Indonesia. Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah. Undang-Undang No. 34 Tahun 2002 tentang Perubahan Atas Undang-Undang No. 18 Tahun 1997 tentang Pajak Daerah dan Retribusi Daerah.
14