KEBIJAKAN PEMBUKAAN PROGRAM STUDI DOKTER
PENDAHULUAN Sejarah pendidikan dokter di Indonesia dimulai pada tahun 1898, dengan didirikannya sekolah pendidikan kedokteran yang disebut STOVIA (School tot Opleiding voor Indische Artsen) yang sebenarnya merupakan kelanjutan dari perkembangan dan pengembangan Sekolah Dokter Djawa yang terus menerus mengalami perbaikan dan penyempurnaan kurikulum. Disusul dengan pendirian Nederlandsch Indische Artsenschool (NIAS) pada tahun 1913 di Surabaya. Sejak era kemerdekaan, pendidikan dokter mengalami perkembangan yang cukup pesat sesuai perkembangan masyarakat yang baru merdeka yang berupaya untuk memenuhi kebutuhan tenaga dokter. Sampai dengan tahun 1955 terdapat lima institusi pendidikan yang melaksanakan Program Pendidikan Dokter. Setelah 1955 bermunculan institusi pendidikan yang melaksanakan Program Pendidikan Dokter, baik negeri maupun swasta. Sampai dengan tahun 1999, telah terdapat 25 institusi pendidikan yang melaksanakan Program Pendidikan Dokter. Selanjutnya dalam kurun waktu 1990-1999 terdapat 34 institusi pendidikan baru yang melaksanakan Program Pendidikan Dokter. Pada periode tahun 2000-2009 terdapat lonjakan jumlah institusi pendidikan dokter sehingga mencapai 66 institusi, sehingga pada tahun 2014 seluruhnya berjumlah 74 institusi (grafik 1).
Grafik 1. Pertumbuhan Fakultas Kedokteran di Indonesia sebelum 1999 sampai 2014 Distribusi Fakultas Kedokteran di Indonesia juga tidak merata. Lebih dari setengah jumlah Fakultas Kedokteran berada di jawa-Bali (39), diantaranya 12 di jakarta. Di Pulau Sumatera 19, dan sisanya di Kawasan Timur Indonesia (12) dan di Kalimantan (4). Distribusi ini perlu untuk menjadi perhatian dalam membuka program studi baru dimasa mendatang. 1
Namun, pertumbuhan yang pesat ini tidak disertai dengan upaya yang sungguhsungguh untuk menjaga mutu sesuai dengan tuntutan pelayanan kesehatan yang lebih berkualitas bagi masyarakat. Hal ini dapat dilihat dari hasil uji kompetensi yang dilaksanakan sejak tahun 2007, dan status akreditasi dimana 34 (45,9%) diantaranya masih terakreditasi C, 25 (33,8%) telah terakreditasi B dan baru 15 yang telah terakreditasi A (20,3%). Oleh karena itu, pada tahun 2010 Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melakukan moratorium pembukaan program studi pendidikan dokter yang baru sambil menata sistem akreditasi dan uji kompetensi melalui program Health Professional Education Quality (HPEQ). Dari hasil kajian yang telah dilakukan, berbagai masalah yang perlu mendapat perhatian dalam pengelolaan program studi pendidikan kedokteran yang baru adalah 1) sumber daya manusia, 2) sarana dan prasarana, dan 3) manajemen, baik manajemen akademik dan kurikulum maupun manajemen secara umum dan sistem penjaminan mutu. Ketiga hal inilah disamping distribusi fakultas kedokteran yang telah ada yang perlu mendapat perhatian dalam pembukaan program studi pendidikan dokter yang baru. Dalam 10 tahun terakhir, Dewan Perwakilan rakyat (DPR), Pemerintah (Kemendikbud dan Kemenkes) dan semua pemangku kepentingan seperti Asosiasi Institusi Pendidikan Dokter Indonesia (AIPKI), ikatan Dokter Indonesia (IDI), Konsil Kedokteran Indonesia (KKI), Asosiasi Rumah Sakit Pendidikan secara serius menata sistem pendidikan dokter di Indonesia. Hasilnya adalah berbagai regulasi seperti Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional, Undang-Undang Praktek Kedokteran, Undang-Undang Guru dan Dosen, Undang-Undang Rumah Sakit, Undang-Undang Pendidikan Tinggi dan UndangUndang Pendidikan Kedokteran. Berbagai Undang-Undang tersebut diatas dengan Peraturan Pemerintah dan berbagai Peraturan Menteri yang terkait menjadi dasar bagi kebijakan pembukaan program studi pendidikan kedokteran. TUJUAN PENDIDIKAN DOKTER Dalam Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, dijelakan bahwa tujuan pendidikan dokter adalah: 1). menghasilkan Dokter dan Dokter Gigi yang berbudi luhur, bermartabat, bermutu, berkompeten, berbudaya menolong, beretika, berdedikasi tinggi, profesional, berorientasi pada keselamatan pasien, bertanggung jawab, bermoral, humanistis, sesuai dengan kebutuhan masyarakat, mampu beradaptasi dengan lingkungan sosial, dan berjiwa sosial tinggi; 2). memenuhi kebutuhan Dokter dan Dokter Gigi di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara berkeadilan; dan 3). meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran dan kedokteran gigi. Selain secara umum tujuan pendidikan dokter seperti diatas, pendidikan dokter yang dilaksanakan didalam institusi pendidikan harus memperhatikan aspek keunikan kebutuhan kesehatan masyarakat, aspek budaya dan geografis dimana institusi tersebut berlokasi. Hal ini mengingat bahwa Indonesia yang secara geografis merupakan negara maritim yang terdiri 2
dari lebih dari 17.000 pulau dengan keanekaragaman etnis, budaya dan lingkungan yang sangat bervariasi. Peluang untuk mengembangkan keunggulan dan ke spesifikan tersebut dimungkinkan dalam standar pendidikan dan kompetensi dokter Indonesia tahun 2012 dimana terdapat 20% dari seluruh kurikulum untuk keperluan tersebut. Selain itu, strategi pembelajaran dengan menggunakan model pembelajaran SPICES (Student center, Problem based, Integrated, Community based, Elective dan Systematic) sangat mendukung pencapaian kompetensi tersebut. Transisi demografis, transisi dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular dan distribusi dokter yang tidak merata juga perlu menjadi bahan pertimbangan pemilihan keunggulan bagi program studi baru. Indonesia adalah negara berpenduduk terbesar ke 4 didunia setelah Cina, India dan Amerika. Diperkirakan pada tahun 2014, jumlah penduduk Indonesia akan mencapai lebih dari 250 juta jiwa. Diperkirakan bahwa penduduk Indonesia akan mencapai 273,65 juta jiwa pada tahun 2025 (Bappenas, 2005). Sebagai akibat kemajuan pembangunan selama ini, terjadi penurunan angka kematian dan meningkatnya usia harapan hidup (UHH). Pada tahun 2010, UHH penduduk Indonesia rata-rata adalah 70,67 tahun (lakilaki 68,28 tahun dan perempuan 73,38 tahun) dan diharapkan pada tahun 2025 menjadi UHH rata-rata dapat menjapai 73,7 tahun. Kondisi ini akan menimbulkan masalah kesehatan akibat meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut (diatas usia 60 tahun). Jumlah penduduk usia lanjut juga menjadi persoalan penting. Menurut hasil Sensus Penduduk tahun 2010, jumlah penduduk usia lanjut di Indonesia adalah 18,1 juta jiwa atau 9,6% dari jumlah penduduk, yang berarti termasuk lima besar negara dengan jumlah penduduk usia lanjut di dunia (grafik 2). 12
9.6
10 8 6
5.45
6.29
11.34
7.18
4 2 0 1980
1990
2000
2010
2020
Grafik 2. Pertumbuhan penduduk usia lanjut di Indonesia sejak 1980-2020 (BPS) Bertambahnya penduduk usia lanjut tentu akan berdampak pada berbagai aspek kehidupan sosial, ekonomi dan kesehatan. Secara biologis, terjadi penurunan fungsi tubuh dan semakin rentan mereka untuk menderita penyakit. Dari hasil Riset Kesehatan dasar tahun 2007, diperoleh informasi bahwa pola penyakit yang paling sering dialami oleh penduduk usia lanjut adalah gangguan sendi, hipertensi, katarak, gangguan mental emosional, penyakit 3
jantung dan diabetes. Menurut Riskesdas 2007, penyebab kematian pada penduduk usia lanjut adalah stroke, hipertensi, infeksi saluran nafas bagian bawah, penyakit jantung iskemik dan diabetes. Indonesia sebagai negara yang mempunyai wilayah yang luas dengan variasi geografis, etnik, budaya yang tinggi serta tingkat pertumbuhan ekonomi dan pembangunan yang juga bervariasi. Hal ini membawa konsekwensi permasalahan kesehatan yang kompleks. Saat ini masyarakat mengalami beban tripel (triple burden). Penyakit-penyakit lama masih menjadi masalah (TBC, Malaria, demam berdarah dsb), penyakit tidak menular semakin meningkat dan penyakit baru dan re-emerging juga muncul. Bahkan dari berbagai informasi ilmiah terbaru, terdapat interaksi yang sangat kuat antara penyakit menular dan penyakit degeneratif dan kanker. 60 Survei Kesehatan Rumah Tangga 1995 Survei Kesehatan Rumah Tangga 2001
50 40 30 20 10 0 Penyakit Tidak Menular
Perinatal/Maternal Penyakit Menular
Trauma
Grafik 3. Pola pergeseran dari penyakit menular menjadi penyakit tidak menular. Fakta-fakta ilmiah ini menyebabkan kita perlu untuk mengubah cara berpikir kita dalam menangani penyakit yang ada di masyarakat. Walaupun secara epidemiologi terlihat ada pergeseran pola penyakit dari penyakit menular ke penyakit tidak menular (grafik 3), tetapi dalam memahami dan upaya penanggulangannya tidaklah dapat dilakukan secara sendirisendiri. Berbagai fakta terbaru menunjukkan bahwa beberapa penyakit infeksi menjadi faktor resiko penyakit jantung koroner dan berbagai jenis kanker. Hal ini akan semakin membuat permasalahan kesehatan kita semakin kompleks. Pada grafik 4 dapat dilihat proporsi kejadian penyakit tidak menular menurut Riskesdas 2007. Stroke merupakan penyakit dengan proporsi yang tertinggi (26,9%) menyusul hipertensi (12,3%), diabetes (10,2%), kanker ganas (10,2%), dan penyakit jantung koroner (9,3%). Berbagai kondisi pada masyarakat yang berlaku sebagai faktor resiko bagi penyakit-penyakit tersebut diatas, seperti perubahan pola makan, stres, kurangnya aktifitas fisik, lingkungan sosial yang memicu stres, dan rokok. Faktor-faktor resiko tersebut secara sendiri-sendiri atau bersama-sama merupakan memicu terjadinya penyakit-penyakit tersebut diatas. 4
Kelainan Malnutrisi kongenital 0,4% 1% Ulkus lambung 3,4%
Lain-lain 9,6% Stroke 26,9%
Penyakit jantung lainnya 7,5% Penyakit saluran nafas kronik 9,2%
Hipertensi 12,3% Penyakit jantung iskemik 9,3%
Diabetes 10,2% Kanker 10,2%
Grafik 4. Proporsi kejadian penyakit tidak menular pada semua kelompok umur di Indonesia (Riskesdas, 2007)
Dalam sistem pelayanan kesehatan, dokter dan tenaga kesehatan lainnya merupakan tulang punggung dari sistem pelayanan kesehatan di suatu negara. Data dari KKI mengenai jumlah dokter di Indonesia sampai dengan bulan Juni 2014, diinformasikan bahwa jumlah dokter adalah 96.903, dokter spesialis 25.486, dokter gigi 25.193 dan dokter gigi spesialis 2.312 orang. Bila dibandingkan dengan jumlah penduduk yang saat ini berkisar 240 juta, maka satu dokter layanan primer akan melayani sekitar 3900 penduduk. Walaupun dalam berbagai kesempatan Menteri Kesehatan dan KKI selalu menyatakan bahwa jumlah dokter saat ini telah mencukupi, namun hal ini perlu dikaji secara kritis. Pertama, bahwa kecukupan didasarkan pada asumsi jumlah penduduk yang statis dan perhitungan bahwa semua dokter menjalankan praktik profesionalnya. Kenyataannya bahwa jumlah penduduk bertambah sekitar 4 juta/tahun, ditambah dengan usia harapan hidup yang semakin panjang, sedangkan jumlah dokter layanan primer bertambah sekitar 8000/tahun. Asumsi tersebut tidak memperhitungkan pertumbuhan penduduk yang dinamis. Kedua, rasio jumlah dokter layanan primer dan jumlah penduduk sesuai dengan kebutuhan masyarakat tidaklah statis. Saat ini diperhitungkan bahwa jumlah yang ideal adalah 1 dokter melayani 2500 penduduk, maka diasumsikan bahwa pada tahun 2013 kebutuhan dokter layanan primer akan terpenuhi. Dengan semakin berkembangnya kebutuhan masyarakat dan sarana pelayanan kesehatan, maka rasio ini mungkin tidak lagi sesuai dengan kebutuhan masyarakat kedepan. Dengan demikian, tidaklah tepat menentukan rasio jumlah dokter dan penduduk dengan menggunakan asumsi-asumsi yang sifatnya statis. Diperlukan analisis yang mendalam mengenai berapa kebutuhan dokter yang tepat untuk memberikan layanan yang optimal dan 5
sesuai dengan ketersediaan sarana pelayanan kesehatan yang tersedia. Hal ini penting terkait dengan berapa dokter yang harus diluluskan oleh institusi pendidikan dokter setiap tahunnya untuk periode tertentu. Pada grafik 5 dapat dilihat distribusi dokter diberbagai propinsi dibandingkan jumlah penduduk.
Grafik 5. Jumlah penduduk per 1 dokter di seluruh propinsi (KKI, 2012) Bila diasumsikan bahwa jumlah ideal dokter saat ini adalah 1:2500, berarti baru 6 propinsi yang telah memenuhi rasio tersebut. Bila rasio yang dianggap ideal untuk memberi layanan sesuai dengan jaminan kesehatan nasional adalah 1:2500-3300, maka baru 12 propinsi yang memenuhi rasio tersebut. 21 propinsi masih mempunyai rasio 1:3300. Bahkan terdapat 18 propinsi khususnya di kawasan timur Indonesia memiliki rasio 1:4001- >5000. Salah satu tujuan pendidikan dokter adalah untuk meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran dan kedokteran gigi. Namun, harus diakui bahwa Indonesia masih ketinggalan dalam aspek ini dibandingkan dengan negara-negara lain, bahkan dengan negara-negara ASEAN. Hal ini dapat dilihat dari jumlah publikasi dan hak paten yang telah dihasilkan oleh Indonesia. Pada grafik 6 dibawah ini dapat dilihat jumlah publikasi ilmiah di jurnal internasional dalam bidang sains secara keseluruhan dan khusus dalam bidang kedokteran dalam kurun waktu lima tahun.
6
4500
4175
4000
3551
3500
3149
3000
2497
2500 2000
Sains
1887
Kedokteran
1500 1000 500
308
363
371
489
2009
2010
2011
2012
525
0
2013
Grafik 6. Jumlah publikasi Indonesia di Jurnal ilmiah internasional (Scopus, 2014) Bila dibandingkan dengan negara-negara lain didunia, Indonesia berada dalam posisi nomor 55, ada peningkatan dibandingkan lima tahun yang lalu dimana peringkat Indonesia saat itu ada pada posisi peringkat 71. Sedangkan bila dibandingkan dengan negara-negara ASEAN, Indonesia masih berada dibawah Singapura, Malaysia, Hongkong dan Thailand. Upaya untuk memberi kontribusi terhadap tujuan pengembangan lmu pengetahuan dan teknologi harus menjadi perhatian bagi pembukaan program studi pendidikan dokter baik untuk penyediaan sumber data manusia, maupun sarana dan prasarana. ASPEK LEGAL PEMBUKAAN PROGRAM PENDIDIKAN DOKTER Dalam menyusun kebijakan untuk pembukaan program studi pendidikan dokter, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi mengacu kepada beberapa peraturan perundangundangan seperti yang tercantum dibawah ini. 1. 2. 3. 4. 5. 6. 7. 8. 9.
Undang-Undang No 12 tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi, Undang-Undang No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, Undang-Undang No. 29 tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Undang-Undang No. 40 tahun 2009 tentang Rumah Sakit, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 84 tahun 2013 tentang Pengangkatan Dosen Tetap Non PNS pada PTN dan Dosen Tetap pada PTS Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 30 tahun 2014 tentang Tata Cara Pelaksanaan Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi dokter atau dokter gigi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 49 tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 50 tahun 2014 tentang Sistem Penjaminan Mutu Pendidikan Tinggi, Peraturan Menteri Kesehatan No. 1069 tahun 2008 tentang Pedoman Klasifikasi dan Standar Rumah Sakit Pendidikan 7
10. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No.10 tahun 2012 tentang Standar Pendidikan Profesi Dokter Indonesia 11. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia N0.11 tahun 2012 tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia 2012
Peraturan perundang-undangan tersebut diatas dipergunakan untuk melakukan penilaian terhadap tujuan (termasuk spesifikasi, keunggulan) dari program studi yang diusulkan, kurikulum (learning outcome, kompetensi, strategi pembelajaran, sistem evaluasi), sumber daya (sumber daya manusia, sarana dan prasarana), manajemen (akademik, program dan keuangan) dan sistem penjaminan mutu. Terdapat beberapa catatan penting yang patut untuk diperhatikan dalam pengusulan program studi kedokteran baru menurut UndangUndang No. 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran yaitu: 1. Mensyaratkan bahwa Perguruan tinggi yang akan membuka program studi kedokteran dan/atau program studi kedokteran gigi wajib membentuk Fakultas Kedokteran dan/atau Fakultas Kedokteran Gigi (Pasal 6, ayat 1). 2. Memiliki Dosen dan Tenaga Kependidikan sesuai dengan ketentuan Peraturan Perundang- undangan. Dosen tersebut mengampu kelompok keilmuan biomedis, kedokteran klinis, bioetika/humaniora kesehatan, ilmu pendidikan kedokteran, serta kedokteran komunitas dan kesehatan masyarakat. Secara operasional, jumlah minimal dosen pada tahap pembukaan program studi ditetapkan 18 orang dengan sebaran yang proporsional pada kelompok keilmuan yang dimaksud diatas. Dosen-dosen tersebut harus merupakan dosen tetap yang diangkat sesuai dengan Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 84 tahun 2013 tentang Pengangkatan Dosen Tetap Non PNS pada PTN dan Dosen Tetap pada PTS. 3. Memiliki Rumah Sakit Pendidikan atau Rumah Sakit yang bekerja sama sebagai wahana pendidikan sesuai peraturan perundang-undangan yang berlaku. Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi juga telah membuat sembilan konsep dasar rumah sakit pendidikan yang dijadikan acuan untuk pelaksanaan pendidikan profesi. Ketiga hal tersebut diatas mutlak harus dimiliki selain akreditasi institusi minimal B bagi institusi yang akan mengusulkan program studi pendidikan dokter. KEBIJAKAN DALAM MELAKUKAN PENILAIAN Dari berbagai fakta yang telah dikemukakan diatas, dan dikaitkan dengan tujuan pendidikan dokter seperti yang tercantum dalam Undang-Undang No. 20 tahun 2013 tentang Pendidikan Kedokteran, maka perlu disepakati kebijakan yang dipergunakan untuk melakukan penilaian yang menyeluruh dan komprehensif. Untuk melaksanakan penilaian kelayakan suatu program studi baru, Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi melalui
8
Direktorat Kelembagaan dan Kerjasama membentuk Tim yang akan melakukan penilaian terhadap usulan pembukaan program studi pendidikan dokter baru. Pada prinsipnya, penilaian terhadap rencana pembukaan suatu program studi pendidikan dokter didasarkan atas apakah program studi tersebut dapat mencapai tujuan pendidikan dokter sesuai dengan Undang-Undang Pendidikan Kedokteran. Apakah ada lingkungan akademik, sumber daya manusia (jumlah, kualifikasi, kualitas dan komitmen), sarana/prasarana dan manajemen yang baik untuk menghasilkan dokter yang profesional seperti yang diamanahkan undang-undang? Apakah ada strategi yang tepat untuk memenuhi kebutuhan Dokter di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia secara adil dan merata? Apakah ada lingkungan akademik, strategi, sumber daya manusia dan sarana/prasarana yang cukup untuk meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran? Untuk menilai aspek kurikulum, sumber daya manusia, pendanaan dan manajemen telah diuraikan secara rinci didalam formulir 5 dan pedoman penilaiannya. Namun, tidak kalah pentingnya untuk melakukan penilaian yang mendalam dalam pada beberapa aspek penting seperti: 1. Kemampuan institusi yang mengusulkan untuk mengelola program studi yang diusulkan dengan mempertimbangkan status akreditasi institusi tersebut adalah minimal B. 2. Aspek distribusi geografis dengan mempertimbangkan lokasi dan jumlah fakultas kedokteran yang telah ada dilokasi geografis tertentu. Aspek distribusi geografis ini perlu untuk dipertimbangkan untuk dua alasan. Pertama, mencegah liberalisasi pendidikan dokter dengan memberikan kepada siapa saja yang mampu secara finansial, Sumber daya manusia dan manajemen untuk membuka program studi. Hal ini memberi peluang yang sangat besar bagi institusi yang berada di Pulau Jawa. Kedua, membuka peluang bagi program afirmasi untuk membuka program studi yang berada didaerah yang kurang mempunyai sumber daya manusia, kurang mampu secara finansial dan manajerial, dengan catatan bahwa Pemerintah, baik pusat maupun daerah, yang dalam suatu waktu tertentu memberi dukungan sepenuhnya. 3. Kemampuan untuk mengembangkan keunggulan dan kespesifikan dari program studi untuk memecahkan masalah kesehatan masyarakat baik pada tingkat nasional maupun regional atau lokal. 4. Kebijakan yang jelas, diikuti oleh strategi dan langkah-langkah yang tepat untuk memenuhi kebutuhan dokter yang adil dan merata untuk membantu distribusi dokter kedaerah-daerah yang membutuhkan. Untuk melakukan penilaian seperti tersebut diatas, dibutuhkan informasi yang akurat terkait dengan aspek-aspek tersebut diatas, dan kemampuan untuk mengeksplorasi dan melakukan penilaian yang bersifat formatif pada waktu kunjungan lapangan. Dalam melakukan penilaian, perlu untuk di eksplorasi komitmen dari institusi pendidikan dan pemangku kepentingan lainnya (Organisasi Profesi, Dinas Kesehatan, dan Rumah sakit) terhadap program studi baru yang akan dibuka.
9
TATA KERJA TIM PENILAI PEMBUKAAN PROGRAM STUDI KEDOKTERAN Dalam melaksanakan tugasnya, Tim Penilai harus mempunyai tata kerja atau mekanisme kerja yang didasarkan atas peraturan perundang-undangan, tugas dan wewenang yang diberikan serta memegang Kode Etik dengan teguh. Pengusulan dan Format Studi Kelayakan Program Studi Baru Online mengacu pada SK no. 108/DIKTI/Kep/2001 tentang Pedoman Pembukaan Program Studi, Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013 tentang Perubahan Atas Peraturan Pemerintah No.19 Tahun 2005 tentang Standar Nasional Pendidikan, Permendikbud No. 49 Tahun 2014 tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi, dan Permendikbud No. 50 Tahun 2014 tentang Sistem Penilaian Mutu, serta Permendikbud No. 84 Tahun 2013 tentang Pengangkatan Dosen Tetap di PTN dan PTS. Tata kerja yang ini bertujuan untuk membangun mekanisme dalam melakukan evaluasi dokumen, visitasi lapangan dan membuat keputusan sebagai rekomendasi yang akan diberikan kepada Dirjen Dikti melalui Direktur Kelembagaan dan Kerja Sama. Tata Kerja Dalam Melakukan Evaluasi Dokumen 1. Dokumen usulan dievaluasi oleh anggota Tim dari Direktorat Kelembagaan dan Kerja sama terkait dengan aspek administratif dan legal dari insitusi pengusul. 2. Setelah menerima dokumen usulan pembukaan Prodi yang telah diregistrasi dan dievaluasi oleh Direktorat Kelembagaan dan Kerjasama, Ketua Tim menyebarkan dokumen yang akan dievaluasi melalui e-mail ke masing-masing anggota. 3. Masing-masing anggota diberikan waktu paling lambat dua minggu untuk memberikan komentar terhadap usulan tersebut dan dikirim melalui e-mail (satu proposal dievaluasi oleh dua evaluator, waktu dua minggu termasuk consolidate report dua evaluator). 4. Setelah menerima seluruh hasil evaluasi, dalam waktu satu minggu Ketua Tim mengundang seluruh anggota tim untuk melakukan pertemuan membahas secara bersama hasil evaluasi dokumen. Pada pertemuan tersebut, dibahas dan diputuskan (ditolak, perbaikan proposal (paling lambat dua minggu) atau melakukan visitasi lapangan). 5. Dalam melakukan evaluasi dokumen, hendaknya semua anggota Tim memperhatikan peraturan perundangan yang terkait dengan tugas dan wewenangnya. Tata Kerja Dalam Melakukan Visitasi 1. Keputusan hari dan tanggal visitasi disampaikan kepada pengusul oleh DitLemkerma paling lambat satu minggu sebelum visitasi dilaksanakan (surat pemberitahuan). 2. Segala sesuatu yang terkait dengan transportasi, akomodasi dan komsumsi selama visitasi diatur oleh Direktorat Kelembagaan dan Kerjasama dan tidak dibebankan kepada institusi pengusul. 3. Dalam setiap visitasi, Ketua Tim menunjuk salah satu anggota untuk menjadi Kordinator yang bertanggung jawab untuk melakukan kordinasi antar anggota Tim dan antara Tim dengan pihak yang divisitasi. 4. Sebelum melakukan pertemuan dengan pihak institusi pengusul, Tim anggota dengan dikordinasi oleh kordinator Tim melakukan pertemuan selama 30 menit untuk
10
menyamakan persepsi dan mengingatkan kembali tugas dan wewenang serta hal-hal penting lainnya yang perlu mendapat perhatian. 5. Pada pertemuan dengan Tim Pengusul, waktu pertemuan adalah 120 menit dengan rincian presentasi 30 menit dan pendalaman 90 menit. Pertemuan dipimpin oleh Koordinator Tim. 6. Kunjungan lapangan dilakukan setelah pertemuan dengan Tim Pengusul. Kunjungan bertujuan untuk melakukan penilaian terhadap pemenuhan standar yang telah ditetapkan untuk sumber daya manusia, sarana dan prasarana serta pengelolaan. 7. Setiap anggota Tim melakukan evaluasi mendalam terhadap tugas yang telah disepakati/ ditetapkan untuk disesuaikan dengan peraturan perundang-undangan dan standar yang telah ditetapkan. 8. Pada saat visitasi, dalam menggali informasi yang diperlukan anggota Tim didampingi oleh Tim dari pihak Institusi pengusul yang memahami betul informasi yang dibutuhkan. 9. Setelah kunjungan lapangan, anggota Tim berkumpul dengan dikordinasi oleh kordinator untuk mendiskusikan hasil kunjungan. 10. Bila diperlukan dapat dilakukan pertemuan dengan Tim Pengusul untuk memperoleh penjelasan yang lebih rinci. 11. Dalam menjalankan tugas melakukan evaluasi, seluruh anggota Tim harus menjalankan tugasnya sesuai dengan kode etik. Tata Kerja Dalam Pengambilan Keputusan 1. Dalam mengambil keputusan, seluruh anggota Tim harus menjalankan tugasnya sesuai dengan kode etik. 2. Dalam pengambilan keputusan, setiap anggota Tim dapat mengemukakan pendapatnya secara umum, maupun secara khusus terkait dengan tugas khusus yang telah ditetapkan sebelumnya. 3. Keputusan diambil secara musyawarah dan mufakat. Apabila tidak dapat dicapai kesepakatan secara musyawarah, maka keputusan diambil dengan pemungutan suara. 4. Keputusan yang diambil adalah 1) disetujui, 2) disetujui dengan perbaikan, dan 3) tidak disetujui. 5. Berita acara keputusan ditandatangani oleh seluruh anggota Tim yang merupakan satu paket dengan rekomendasi pada instrumen penilaian dan diserahkan ke Direktur Kelembagaan dan Kerjasama. Tugas Khusus Untuk Masing-Masing Anggota Tim 1. Ketua Tim bertugas untuk melakukan kordinasi antar anggota dan antara Tim dengan pihak Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi, pihak pengusul dan pihak-pihak lain terkait dengan evaluasi dokumen, visitasi dan pertemuan untuk pengambilan keputusan. Ketua Tim juga terlibat dalam melakukan penilaian terkait usulan prodi. 2. Seluruh anggota Tim dapat memberikan pandangan yang bersifat umum selain tugas khusus yang telah disepakati. 3. Anggota Tim dari Direktorat Kelembagaan melakukan evaluasi yang mendalam mengenai aspek administratif, legalitas institusi dan sarana/prasarana yang diusulkan oleh 11
4.
5.
6.
7.
8.
institusi pengusul baik pada saat evaluasi dokumen maupun pada saat visitasi sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Anggota Tim dari Dikti melakukan penilaian yang mendalam sumber mengenai daya manusia, sarana/prasarana dan manajemen sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang ada dan standar nasional pendidikan tinggi. Anggota Tim dari KKI bertugas secara khusus melakukan penilaian mendalam terhadap kesesuaian usulan terkait dengan standar nasional pendidikan dokter dan standar kompetensi dokter. Anggota Tim perwakilan AIPKI bertugas untuk secara khusus melakukan penilaian mendalam mengenai kesiapan pengusul terkait dengan kurikulum, sistem pembelajaran dan manajemen akademik dan kesesuaiannya dengan standar kompetensi dokter Indonesia. Anggota Tim dari IDI bertugas secara khusus melakukan penilaian mendalam mengenai alasan pembukaan Prodi dilihat dari sisi suplay-demand secara lokal, regional dan nasional serta upaya-upaya Prodi untuk mengembangkan profesionalisme dalam pendidikan dokter pada prodi pengusul. Anggota Tim dari ARSPI bertugas secara khusus melakukan penilaian yang mendalam mengenai kesiapan sumber daya manusia, sarana/prasarana dan manajemen pendidikan di Rumah Sakit Pendidikan dan sarana pelayanan kesehatan lainnya yang digunakan untuk pendidikan profesi dokter.
TUGAS DAN WEWENANG TIM PENILAI PEMBUKAAN PROGRAM STUDI DOKTER Dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya, Tim bertanggung jawab kepada Direktur Jendral Pendidikan Tinggi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan melalui Direktur Kelembagaan dan Kerja Sama. Uraian Tugas 1. 2. 3. 4. 5.
Menyusun kebijakan pembukaan program studi dokter. Menyusun dan menetapkan tata kerja Tim. Menyusun pedoman teknis pembukaan program studi dokter baru. Melakukan evaluasi terhadap usulan pembukaan program studi dokter baru. Mengkordinasikan kegiatan penilaian terhadap usulan program studi dokter baru dengan pihak-pihak terkait (Dikti, KKI, IDI, ARSPI). 6. Membuat rencana jadwal dan Tim Penilai yang akan melakukan evaluasi dan vistasi. 7. Melakukan visitasi untuk menilai kelayakan program studi dokter baru. 8. Melakukan evaluasi terhadap kinerja Tim penilai. 9. Membuat laporan setiap semester kepada Direktur jendral Pendidikan Tinggi tentang kinerja Tim dalam melaksanakan tugasnya. 10. Melaksanakan tugas dan kewenangan lain terkait dengan peningkatan mutu pendidikan dokter sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan
12
Uraian Wewenang 1. Memberikan rekomendasi kepada Direktur Kelembagaan mengenai kelayakan suatu program studi baru. 2. Menunjuk anggota Tim Penilai yang akan melakukan evaluasi dan visitasi. 3. Mengawasi apakah hasil evaluasi yang harus disempurnakan oleh pengusul program studi baru dilaksanakan sesuai dengan saran-saran yang diusulkan oleh Tim. 4. Melakukan komunikasi dengan pihak-pihak terkait untuk mendapatkan informasi yang dibutuhkan untuk memperlancar tugas-tugas dalam melakukan evaluasi. 5. Mengusulkan pemberhentian anggota Tim yang tidak dapat melaksanakan tugasnya oleh berbagai sebab, dan mengusulkan pengganti bagi anggota tim yang tidak dapat melaksanakan tugasnya tersebut. Peraturan Perundang-Undangan Yang Perlu Dipahami Untuk menjalankan tugas dan wewenang dengan baik, maka diperlukan pemahaman yang cukup mengenai peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dalam menjalankan tugas serta menyusun kebijakan, melakukan kordinasi, melakukan evaluasi serta mengambil keputusan apakah suatu program studi layak atau tidak untuk dibuka. Peraturan perundangundangan yang harus dipahami adalah: 1. Undang-Undang No. 20 Tahun 2003 Tentang Sistem Pendidikan Nasional untuk memahami dasar, fungsi dan tujuan pendidikan nasional serta komponen-komponen yang terlibat dalam sistim pendidikan nasional (peserta didik, tenaga kependidikan, pendidik, kurikulum, jalur, jejang, jenis dan satuan pendidikan, sistem penjaminan mutu dan sebagainya). 2. Undang-Undang No. 14 Tahun 2005 Tentang Guru dan Dosen untuk memahami tugas, fungsi guru dan dosen dan upaya-upaya kualifikasi, kompetensi dan sertifikasi untuk pemenuhan persyaratan dan meningkatkan mutu guru dan dosen. 3. Undang-Undang No. 12 Tahun 2012 Tentang Pendidikan Tinggi untuk memahami asas, fungsi, tujuan, penyelenggaraan (khususnya program profesi dan spesialis), penjaminan mutu, fungsi, bentuk dan peran perguruan tinggi, pendirian perguruan tinggi, penyelenggaraan dan pendanaan dan pembiayaan. 4. Undang-Undang No. 20 Tahun 2013 Tentang Pendidikan Kedokteran untuk memahami aturan-atauran dalam pendidikan dokter seperti asas, tujuan, penyelenggaraan, pendanaan pendidikan dokter, serta isu-isu pokok dalam pendidikan dokter. 5. Undang-Undang No. 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit untuk memahami asas dan tujuan, tugas dan fungsi rumah sakit, persyaratan, jenis dan klasifikasi, penyelenggaraan, dan rumah sakit pendidikan. 6. Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005 Tentang Standar Nasional Pendidikan. 7. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 10 Tahun 2012 Tentang Standar Pendidikan Profesi Dokter. 8. Peraturan Konsil Kedokteran Indonesia No. 11 Tahun 2012 Tentang Standar Kompetensi Dokter Indonesia.
13
9. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No 84 Tahun 2013 Tentang Pengangkatan Dosen Tetap Non Pegawai Negeri Sipil Pada Perguruan Tinggi Negeri dan Dosen Tetap Pada Perguruan Tinggi Swasta. 10. Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan No. 49 Tahun 2014 Tentang Standar Nasional Pendidikan Tinggi. 11. Surat Edaran Direktur Jendral Pendidikan Tinggi No. 1639 Tahun 2011 tentang Pemberhentian Pembukaan Program Studi baru. 12. Surat edaran Direktur Jendral Pendidikan Tinggi No. 576 Tahun 2013 Tentang Kuota Penerimaan Mahasiswa Baru Pada fakultas atau Program Studi Kedokteran. 13. Surat Permohonan Menteri Kesehatan Republik Indonesia No. 333 Tahun 2014 Tentang Permohonan Pembukaan Moratorium Pendidikan Dokter dan Dokter Gigi. 14. Surat Edaran Direktur Jendral Pendidikan Tinggi No. 547 Tahun 2014 Tentang Pembukaan Program Studi Pendidikan Dokter.
14