KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP IMIGRAN: ANALISIS PADA MASA PEMERINTAHAN SHINZO ABE PERIODE KE-2 Niki Wahyu Sayekti Abstract The Japanese government’s policy toward foreign workers becomes the main topic examined in this research. The Japanese government’s policy toward foreign workers is being analyzed from the aspects of formulation and implementation of the policy. This research uses a qualitative approach with literature study and interview as the technique of the data collection. Data analysis draws on qualitative analysis consisted of multiple steps such as data collection, data reduction, data displays, and conclusion drawing. Data validation uses the triangulation of source and technique. The conceptual framework of this research departs from the analysis of policy’s formulation and implementation, collective identity theory, and the concepts of the Japanese minds. The result of this research shows that the collective identity as Nihonjin (Japanese) manifests as an obstacle for the Japanese government on formulating a policy to import foreign workers caused by the interest to protect Japanese identity or culture. This influence of collective identity as an obstacle itself is shown by the still-high Japanese public’s resistance toward the acceptance of outsiders’ groups, and the government’s statements which mention the interest to preserve the culture or the national identity of Japan. The implementation of the government’s policy itself doesn’t match with what it’s supposed to be, and it causes a form of dualism which can be explained by the concept of the Japanese minds: honne to tatemae and hedataru to najimu. Based on the immigration principles, there should be no foreign unskilled workers in Japan; however the reality shows that there are indeed unskilled workers working in Japan which bizarrely represents the largest number of foreign workers among the other categories. Keywords: Policy Analysis, Immigration Workers, Collective Identity, Honne to Tatemae, Hedataru to Najimu.
Pendahuluan Kekurangan sumber daya manusia menjadi salah satu masalah yang banyak dihadapi oleh negaranegara industri atau negara maju, termasuk Jepang. Populasi yang semakin menua, rendahnya tingkat angkatan kerja yang menyebabkan kelangkaan tenaga kerja di beberapa sektor ekonomi di Jepang, serta tingkat natalitas atau angka kelahiran yang rendah menjadi masalah utama dalam aspek kependudukan Jepang yang tentunya juga dapat menimbulkan masalah bagi sektor ekonomi Jepang. Pemerintah memprediksikan bahwa total populasi Jepang, yang saat ini sebanyak 127 juta jiwa penduduk, akan berkurang sepertiga dalam 50 tahun kedepan dimana diperkirakan hanya akan ada sekitar 43 juta penduduk Jepang pada tahun 2110.1 Jepang sendiri menghadapi masalah populasi yang menua dengan kecepatan yang lebih tinggi dibandingkan dengan negara manapun. Penuaan yang cepat di Jepang disebabkan oleh kombinasi antara naiknya angka harapan hidup dan turunnya tingkat kelahiran.2 1 2
The Economist, “The Incredible Shrinking Country.” Chris Burgess, “Can Immigration Reform Really Save Japan?.”
1
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN Adanya penurunan angka kelahiran dan populasi yang menua tersebut tentunya mempengaruhi jumlah angkatan kerja (labor force) di Jepang sendiri dimana jumlah angkatan kerja dalam usia produktif (15 sampai dengan 64 tahun) semakin menurun. Pada tahun 2012, 24 persen dari populasi Jepang yaitu sekitar 30 juta penduduk, berusia lebih dari 65 tahun, dan akan naik menjadi 40 persen pada tahun 2055, dan yang lebih penting lagi jumlah angkatan kerja yang menggantikan mereka yang pensiun juga semakin berkurang, dari 10 di tahun 1950 menjadi 3,6 pada tahun 2000 dan akan menjadi 1,9 pada tahun 2025 yang mana sampai sejauh ini belum ada tanda-tanda akan adanya pengganti.3 Jumlah angka populasi yang siap bekerja di Jepang mencapai angka paling tinggi pada tahun 1995 yaitu sekitar 87,3 juta jiwa, dan kemudian mulai mengalami kecenderungan untuk menurun dimana pada tahun 2013 jumlahnya menjadi 79 juta.4 Berdasarkan riset dari the National Institute of Population and Social Security, angka tersebut akan terus menurun, dari 67,73 juta di tahun 2030 menjadi 44,18 juta di tahun 2060.5 Saat ini masalah ketenagakerjaan yang utama di Jepang bukan mempermasalahkan tentang keterbatasan lapangan kerja melainkan keterbatasan angkatan kerja. Berdasarkan hasil survey yang dilakukan oleh Recruit Works Institute terhadap perusahaan-perusahaan di Jepang, diperoleh hasil bahwa sebanyak 67,9% menyatakan mampu memenuhi target rekruitmen pekerja yang mereka butuhkan, sementara 32,1% sisanya menyatakan tidak berhasil memenuhi target rekruitmen pekerja yang dibutuhkan.6 Berdasarkan hasil tersebut, dapat dikatakan bahwa satu dari tiga perusahaan di Jepang tidak mampu memenuhi target rekruitmen pekerja mereka.7 Industri konstruksi di Jepang menjadi salah satu industri yang paling merasakan dampak dari jumlah angkatan kerja di Jepang yang terus mengalami penurunan akibat populasi yang menua. Sejumlah 40% dari beberapa perusahaan konstruksi di Jepang melaporkan bahwa mereka tidak memiliki pekerja dengan jumlah cukup, yang tentunya merupakan masalah yang serius terlebih lagi mengingat bahwa Jepang akan banyak membutuhkan sektor konstruksi untuk even Olimpiade Tokyo yang akan digelar pada tahun 2020 mendatang.8 Selain itu, di Jepang sendiri saat ini terjadi adanya perubahan etika kerja dari para pemuda dimana mereka tidak ingin atau menolak bekerja dalam sektor-sektor dengan bayaran rendah atau sebagai unskilled workers, dimana pekerjaan-pekerjaan tersebut mereka deskripsikan dengan istilah “K yang tidak diinginkan” (undesirable Ks) yaitu antara lain: kitanai (kotor), kitsui (sulit), dan kiken (berbahaya).9 Tren pekerjaan 3K yang dihindari tersebut tentunya berpengaruh dalam perekruitan pekerja untuk sektor pekerjaan golongan unskilled. Selain sektor konstruksi sendiri, Jepang juga menghadapi masalah kekurangan pekerja di sektor kesehatan terutama di bidang keperawatan. Populasi masyarakat lanjut usia, yaitu yang berumur 65 tahun keatas, di Jepang terhitung sebanyak 25% dari total penduduk Jepang.10 Angka tersebut tentu merupakan jumlah yang besar dan para penduduk lansia itu sendiri tentunya membutuhkan jasa perawatan. Krisis kependudukan dan juga kekurangan tenaga kerja dalam beberapa sektor yang membutuhkan unskilled workers tentunya membuat Jepang harus mempertimbangkan beberapa solusi 3
Jeff Kingston, “Immigration Reform? Could this be Abe’s new growth strategy?.” Komine, Takao. “The Labor Shortage In Japan’s Economy.” 5 Komine Takao, ibid. 6 Tsunemi, Youhei. “Japan’s Labor Shortages in Perspective.” 7 Tsunemi Youhei, ibid. 8 Japan Times, “More Foreigners Working In Japan.” 9 Yoshio Sugimoto, An Introduction to Japanese Society: Second Edition. hlm.204 10 Harumi Ozawa, “Japan sanctioning mass ‘slave labor’ by duping foreign trainees, observers say.” 4
2
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN guna mengatasi masalah yang ada tersebut. Salah satu cara yang bisa diambil oleh Jepang adalah dengan mendatangkan tenaga kerja asing, termasuk unskilled workers guna membantu sektor-sektor yang membutuhkan tenaga kerja tersebut. Namun pemerintah Jepang dibawah kepemimpinan Shinzo Abe secara resmi masih enggan untuk membuka pintu imigrasi dalam penerimaan tenaga kerja imigran dan tetap kukuh untuk mempertahankan prinsip “no-immigration” sebagaimana yang telah dijalankan selama ini. Keengganan pemerintah Jepang dalam membuka pintu penerimaan tenaga kerja imigran tersebut banyak disebutkan dalam berbagai diskusi berkaitan dengan faktor identitas Jepang sebagai masyarakat yang homogen. Kedatangan tenaga kerja imigran dalam jumlah besar ke Jepang tersebut dikhawatirkan akan mencemari dan merusak tatanan sosial dan kehidupan masyarakat Jepang yang harmonis yang telah terjaga sejak lama. Meski secara ekonomi Jepang memerlukan tenaga kerja asing tersebut, pemerintah masih sangat berhati-hati dan ragu dalam membuka pintu bagi tenaga kerja imigran karena hambatan faktor identitas tersebut. Sikap Jepang untuk mempertahankan kebijakannya yang ketat terhadap tenaga kerja imigran meski dihadapkan dengan masalah kelangkaan pekerja tersebut tentunya sangat menarik untuk dikaji. Oleh karena itu, penelitian ini mencoba untuk menganalisis lebih lanjut terkait bagaimana faktor identitas tersebut menjadi hambatan bagi pemerintah Jepang dalam memformulasikan kebijakan untuk mendatangkan tenaga kerja imigran. Selain aspek formulasi kebijakan, penelitian ini juga mencoba untuk menyoroti aspek implementasi dari kebijakan pemerintah Jepang terhadap tenaga kerja imigran itu sendiri yang tentunya akan dipengerahi oleh adanya benturan kepentingan yang ada yaitu kepentingan untuk mempertahankan atau melindungi identitas nasional bangsa Jepang dan kepentingan ekonomi untuk mengatasi masalah kelangkaan tenaga kerja.
Tenaga Kerja Imigran di Jepang Berdasarkan data pemerintah Jepang pada tahun 2013, jumlah penduduk asing yang tinggal di Jepang tercatat sebanyak 2.066.445 jiwa, dan dari jumlah total penduduk asing yang terdaftar tinggal di Jepang tersebut, sebagian besar atau sebanyak 648.980 jiwa berasal dari Tiongkok, sementara itu di posisi kedua ditempati oleh Korea dengan angka 519.737 jiwa.11 Menurut catatan MHLW pada tahun 2013, dari jumlah total penduduk asing di Jepang yang disebut diatas, 717.504 adalah tenaga kerja.12 Presentase terbesar diduduki oleh tenaga kerja asing yang memiliki status tinggal berdasarkan status (identitas) atau posisi. Mereka kebanayakan adalah warga asing yang mendapat status tinggal sebagai “permanent resident atau long-term resident”. Termasuk didalamnya adalah warga asing keturunan Jepang (Nikkeijin) yang kebanyakan berasal dari Brazil dan sekitarnya. Data MHLW pada tahun 2012 diketahui bahwa berdasarkan pembagian per sektor, sebanyak 28,8% dari jumlah tenaga kerja yang terlapor tersebut bekerja di sektor manufaktur, 13,3% di restaurant dan hotel, 16,1% di perusahan-perusahan kecil, 7,6% di sektor jasa, 4,8% di bidang teknologi dan informasi, dan 3,7% di sektor pendidikan.13 Dari 682.450 tenaga kerja asing yang dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan di Jepang pada tahun 2012, 26,2% dari jumlah tersebut berada di Tokyo, 8,3% di Aichi, 6,6% di Osaka, 6,3% di Kanagawa, 4,3% di Saitama, dan 3,8% di Chiba.14 Prefektur Tokyo dan Aichi sebagaimana menempati posisi teratas daerah padat tenaga kerja imigran.
11
Statistic Bureau, “Foreign Residents by Nationality (1990-2013).” Takashi Kodama, “Japan’s Immigration Problem”, hlm.6 13 Gabriele Vogt, “Foreign Workers in Japan.” 14 Gabriele Vogt, ibid. 12
3
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN Gambar 1 Tenaga Kerja Imigran di Jepang berdasarkan Status Tinggal
Sumber: Ministry of Health, Labour and Welfare (MHLW).
Secara resmi, sebagaimana diatur dalam The Immigrant Control and Refugee Recognition Act, pada dasarnya Jepang berpegang pada prinsip untuk menolak unskilled workers. Namun prinsip pemerintah Jepang yang tidak mengakui penerimaan unskilled workers tersebut dapat dikatakan bertentangan dengan keadaan domestik di Jepang sendiri dimana banyak sektor industri yang membutuhkan unskilled workers karena masalah labor shortage, sebagai contoh adalah industri konstruksi. Realita di lapangan telah memperlihatkan bahwa sektor-sektor tersebut pada kenyataannya tetap diisi oleh unskilled workers dari luar atau imigran. Unskilled workers tersebut biasanya terdiri dari kelompok imigran golongan: peserta magang/technical interns, mahasiswa, pekerja hiburan (entertainers), dan nikkeijin (imigran asing keturunan Jepang).15 Peserta magang atau technical intern datang ke Jepang melalui program pemerintah, The Japanese Technical Intern Training Program (TITP) atau ginou jisshuusei, yang dikelola oleh the Japan International Training Cooperation Organization (JITCO). TITP dicetuskan pada tahun 1993 di Jepang dengan tujuan yang diproklamirkan yaitu untuk mempromosikan transfer teknologi, tetapi dalam kenyataannya program ini menjadi channel yang menyediakan stok low-skilled workers bagi kebutuhan pasar tenaga kerja di Jepang.16 Dibawah TITP ini, peserta magang diijinkan untuk tinggal di Jepang selama tiga tahun. Selama periode tinggalnya tersebut, sembilan bulan pertama digunakan untuk melakukan pelatihan kerja dan kemampuan Bahasa Jepang.17 Data pada tahun 2014 yang lalu menyebutkan bahwa sekitar 150.000 peserta TITP bekerja di beberapa sektor antara sebagai berikut: konstruksi, tekstil, pengolahan makanan, mesin, metal working, dan agrikultur.18 Sebelumnya TITP hanya memperbolehkan lembaga-lembaga resmi dan perusahaan-perusahaan besar untuk memperkerjakan peserta magang, tetapi setelah aturan imigrasi di Jepang di revisi, kini Usaha Kecil Menengah (UKM) juga diperbolehkan untuk menerima peserta magang. 19 Terlepas dari fakta 15
Takeyuki Tsuda, “Japan: Government Policy, Immigrant Reality”, hlm.2 Chieko Kamibayashi, "Rethinking Temporary Foreign Workers’ Rights: Living Conditions of Technical Interns in the Japanese Technical Internship Program (TIP)”, hlm.3 17 Takeyuki Tsuda, op.cit, hlm.17 18 Japan Times, “Flawed Foreign Labor Plan.” 19 Takeyuki Tsuda, op.cit, hlm.16-17 16
4
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN bahwa Jepang terkenal dengan perusahaan-perusahaan besar seperti Toyota, Mitsubishi, dan NEC, pada kenyataannya perusahaan di Jepang mayoritas merupakan usaha kecil menengah atau chuusou kigyou, dan sembilan dari sepuluh pekerja di Jepang bekerja di perusahaan tersebut.20 Namun, program ini banyak mendapat kritik dari luar terutama Amerika Serikat karena dinilai melanggar hak asasi, dengan adanya ekspoloitasi tenaga kerja dengan upah rendah namun dengan perlindungan hak-hak pekerja yang masih relatif kurang.21 Selain TITP, pemerintah Jepang juga memiliki EPA (Economic Partnership Agreements) atau perjanjian kerjasama ekonomi yang dijalankan secara bilateral dengan beberapa negara di Asia Tenggara antara lain yaitu Indonesia, Filipina, dan Vietnam.22 Melalui EPA ini, Jepang menerima dari negaranegara tersebut tenaga kerja Kangoshi (nurse) dan Kaigofukushi shi (careworkers). Pekerja tersebut akan diberi waktu tinggal sementara di Jepang – tiga tahun (untuk kangoshi) dan empat tahun (untuk kaigofukushishi)— dan selama kurun waktu tersebut mereka akan menerima pelatihan dan setelah itu mereka dapat ikut serta dalam ujian nasional untuk menjadi perawat yang tersertifikasi dan dapat memperoleh ijin tinggal di Jepang lebih lama23, tetapi apabila mereka gagal mereka harus kembali ke negara asal. Kangoshi dan kaigofukushishi sendiri dapat dikategorikan sebagai semi-skilled workers dan bukan unskilled workers mengingat mereka telah dibekali keterampilan terkait keperawatan sebelum diberangkatkan ke Jepang dibawah program EPA. Namun meskipun telah dibekali keterampilan, di Jepang seolah keterampilan tersebut tidak diakui karena pada praktik dilapangan mereka dilarang untuk melakukan hal-hal yang sebenarnya mereka sudah biasa lakukan seperti menyuntik ataupun memasang infus.24 Pekerjaan-pekerjaan di sektor unskilled labors juga banyak diisi oleh para nikkeijin atau imigran Brazil keturunan Jepang dan juga para mahasiswa yang belajar ke Jepang dan bekerja paruh waktu. Nikkeijin sendiri dapat dibilang sebagai komponen terbesar dalam kategori kelompok pekerja imigran. Pemerintah menyambut sekitar 320.000 nikkeijin masuk ke Jepang pada tahun 1980an ketika sektor manufaktur otomotif mengalami krisis pekerja pabrik yang cukup parah.25 Mayoritas imigran tersebut berasal dari Brazil, namun ada juga yang berasal dari Peru, Boilivia dan Argentina. Selama para pekerja ini dapat membuktikan bahwa mereka adalah keturunan Jepang (sampai generasi ketiga), mereka akan secara resmi diterima dibawah status visa “spouses of Japanese” atau “long-term settler” yang tidak membatasi aktivitas mereka dan dapat memperbarui status tinggal mereka.26 Status tersebut berbeda dengan peserta TITP ataupun EPA, karena nikkeijin merupakan kerturunan Jepang. Dalam praktiknya secara implisit nikkeijin diperdayakan sebagai unskilled workers di bisnisbisnis kecil menengah27, akan tetapi pemerintah membuat justifikasi bahwa kebijakan membuka pintu bagi nikkeijin tersebut adalah untuk memberi kesempatan mereka untuk dapat belajar budaya dan bahasa Jepang, bertemu kerabat serta menjelajahi etnik leluhur mereka.28 Namun pada tahun 2008 ketika krisis global melanda, para nikkeijin tersebut terkena dampaknya, dimana angka pengangguran nikkeijin mencapai 45%.29 Di beberapa kota dengan tingkat populasi penduduk asing yang cukup tinggi, antara 30%-70% tenaga kerja asing diperkirakan kehilangan pekerjaan pada April 2009 yang mayoritas adalah 20
Yoshio Sugimoto, op.cit, hlm.86 Toko Sekiguchi, “Japan Skirts Immigration Debate by Offering “Internships” to Foreigners.” 22 Tomoko Otake, “For Foreign Caregivers, Roles Remains Ambiguous.” 23 Gabriele Vogt, “When the Leading Goose Gets Lost: Japan’s Demogrphic Change and the Non-Reform of Its Migration Policy”, hlm.26 24 Jeff Kingston, ibid. 25 Nikkei Asian Review, “Peter Tasker: Solving Japan's immigration dilemma.” 26 Takeyuki Tsuda, op.cit, hlm.18 27 Kajita Takamichi dalam Takeyuki Tsuda, ibid. 28 Takeyuki Tsuda, ibid. 29 Nikkei Asian Review, “Peter Tasker: Solving Japan's immigration dilemma.” 21
5
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN nikkeijin dimana kemudian jumlah mereka berkurang hampir sebanyak 50.000.30 Hal tersebut bisa jadi efek dari kebijakan pemerintah, dimana pemerintah akan membayar setiap pekerja nikkeijin JYP 300.000 dan tambahan JYP 200.000 bagi setiap anggota keluarga jika mereka meninggalkan Jepang dan kembali ke negara mereka.31 Sebagai tambahan, mahasiswa asing yang belajar di Jepang juga menjadi salah satu komponen dalam struktur tenaga kerja asing di Jepang. Biasanya mereka melakukan pekerjaan paruh waktu untuk menghasilkan uang, dimana mereka diijinkan untuk bekerja selama 28 jam per minggu selama masa aktif sekolah dan 40 jam selama liburan musim panas atau musim dingin. 32 Pekerjaan yang mereka lakukan kebanyakan diklasifikasikan sebagai unskilled jobs dimana kebanyakan bergerak di bidang jasa atau pelayanan.33
Kebijakan Pemerintah Jepang Sebagaimana telah disinggung sebelumnya, Secara de jure pemerintah Jepang mungkin tidak mengakui foreign unskilled workers, akan tetapi secara de facto foreign unskilled workers yang terdiri dari beberapa kelompok –sebagaimana disebutkan diatas—telah menjadi komponen penting dalam pasar tenaga kerja dan perekonomian Jepang, terlepas dari sikap resisten pemerintah Jepang, ataupun Shinzo Abe sendiri sebagai pemimpin Jepang. Kebijakan pemerintah terhadap tenaga kerja imigran di Jepang, menurut Chizuko Hayakawa, dapat dilihat dari perspektif prinsip seleksi dan integrasi.34 Prinsip seleksi direpresentasikan oleh kebijakan imigrasi (immigration policy) yang mengatur terkait syarat dan ketentuan masuknya tenaga kerja ke Jepang, sementara prinsip integrasi direpresentasikan oleh kebijakan ketenagakerjaan (labor policy) yang mengatur terkait pemerkerjaan tenaga kerja yang sudah masuk ke Jepang. Oleh karena itu, dapat dikatakan bahwa kebijakan terkait tenaga kerja imigran di Jepang merupakan interseksi dari dua kebijakan tersebut yaitu kebijakan imigrasi (immigration policy) dan kebijakan ketenegakerjaan (labor policy). Namun, bahasan dalam penelitian ini sendiri akan berfokus pada kebijakan imigrasi Jepang (prinsip seleksi), sesuai dengan latar belakang masalah diawal yang mempermasalahkan sikap negatif Jepang terhadap imigrasi meskipun Jepang tengah dihadapkan dengan krisis demografis. Kebijakan imigrasi Jepang yang dikeluarkan oleh pemerintah sendiriberlandaskan pada tiga prinsip utama yaitu:35 1. 2. 3.
Tidak ada pengakuan terhadap unskilled workers. Pemerintah wajib memfasilitasi pengakuan hanya untuk highly skilled workers dan profesional. Semua pendatang asing diperbolehkan menetap di Jepang hanya dalam periode waktu sementara.
Keputusan terkait penerimaan tenaga kerja asing oleh Jepang yang diatur oleh Immigration Control and Refugee Recognition Act (Shutsunyukoku kanri oyobi nanmin nintei-ho), didasarkan pada pertimbangan bersama terkait dampaknya (penerimaan tenaga kerja asing) terhadap industri dan kesejahteraan publik di Jepang.36 Aturan dasar imigrasi di Jepang, the Immigration Control Act sendiri, pada dasarnya mengatur masalah imigrasi dan kependudukan warga negara asing berdasarkan “status tinggal/status kependudukan”. Sistem status kependudukan (status of residence) tersebut pula yang 30
Yasuchi Iguchi, “What Roles Do Low-Skilled Migrants Play in the Japanese Labor Markets?”, hlm.1032 Yasuchi Iguchi, op.cit, hlm.1033 32 Takeyuki Tsuda, op.cit, hlm.19 33 Yasuchi Iguchi, op.cit, hlm.1039 34 Chizuko Hayakawa, “Labor Law and Policy Issues Relating to Foreign Workers”, hlm.20 35 Takeyuki Tsuda, “Japan: Government Policy, Immigrant Reality”, hlm.11 36 Masahiko Yamada, “Current Issues on Foreign Workers in Japan”, hlm.6 31
6
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN digunakan untuk membatasi hak bekerja penduduk asing di Jepang.37 Warga asing yang bekerja tanpa memiliki status kependudukan yang mengijinkan mereka bekerja berdasarkan Immigration Control Act (ijin bekerja) adalah pekerja ilegal. Berdasarkan pasal 73 ayat 2, paragraf 1 dari Immigration Control Act, orang yang menyewa atau mempekerjakan pekerja tanpa dokumen (pekerja ilegal tersebut), akan dikenai hukuman.38 Dari status kependudukan yang diatur oeh Immigration Control Act, golongan pekerja unskilled workers diisi oleh Technical Training Interns, Student, dan Nikkeijin yang berstatus “spouse of Japanese atau long-term resident”. Sementara peserta EPA berada dalam kategori designated activities. Dari beberapa kelompok unskilled workers tersebut, kelompok nikkeijin merupakan satu-satunya yang mendapat hak spesial atau keistimewaan berupa tidak dibatasinya hak mereka dalam mencari pekerjaan. Pada masa pemerintahan Shinzo Abe periode kedua ini, kebijakan baru terkait tenaga kerja imigran diluncurkan oleh pemerintah. Pada 24 Juni 2014, kabinet telah menyetujui “The Japan Revitalization Strategy” yang didalamnya mencantumkan pemanfaatan tenaga kerja asing sebagai salah satu poin utamanya.39 Pilar utama dari kebijakan ini yang pertama adalah dengan menguatkan daya saing sumber daya manusia yang ada dan merevitalisasi perekonomian Jepang dengan penyediaan lingkungan yang baik bagi penerimaan highly skilled workers, dan yang kedua adalah dengan revisi fundamental TITP.40 The Japan Revitalization Strategy 2014 atau Strategi Revitalisasi Jepang 2014 tersebut mencantumkan revisi TITP yaitu dengan memperluas kategori pekerjaan yang diakomodir serta memperpanjang periode atau waktu tinggal bagi beberapa sektor tertentu, khususnya konstruksi. Selain itu, sektor keperawatan direncanakan pula untuk dimasukkan dalam TITP tersebut. The Japan Revitalization Strategy yang dikeluarkan oleh Abe tersebut terlihat seperti titik balik untuk perubahan kebijakan Jepang dalam penerimaan tenaga kerja imigran. Revisi besar terhadap Program Technical Intern Training yang bisa dikatakan merupakan salah satu pilar utama dalam penerimaan tenaga kerja di Jepang terlihat sebagai pelunakan sikap atau posisi Jepang yang selama ini sangat ketat dalam hal penerimaan tenaga kerja asing. The utilization of foreign workers atau pemanfaatan tenaga kerja asing dalam Japan Revitalization Strategy ini juga dinilai sebagai bagian dari panah ke tiga dari ‘Abenomics’ yaitu strategi pertumbuhan. Namun, asumsi terkait perubahan sikap pemerintah terhadap penerimaan tenaga kerja imigran melalui Japan Revitalization Strategy tersebut nyatanya dinegasikan oleh pemerintah. Partai Abe yang berkuasa di pemerintahan, LDP, bersikukuh menyatakan bahwa tidak ada kebijakan imigrasi, tetapi hanya ada rencana untuk mengembangkan pemanfaatan tenaga kerja asing.41 Revisi terhadap TITP tersebut pada dasarnya hanya berdasar pada pragmatisme Abe dan pemerintah Jepang semata demi memenuhi tuntutan akan kebutuhan pekerja, terutama di sektor konstruksi yang tengah dihadapkan dengan pembangunan infrastruktur untuk Olimpiade Tokyo tahun 2020 mendatang. Untuk memahami mengapa kebijakan pemerintah Jepang terhadap tenaga kerja imigran tersebut masih sangat resisten dan ketat meski Jepang dihadapkan oleh masalah kelangkaan pekerja yang nyata, tentunya perlu diketahui pula faktor yang mempengaruhi proses formulasi atau pembuatan kebjiakannya itu sendiri. Analisa pembuatan keputusan atau kebijakan, seperti yang telah sempat disinggung sebelumnya, menggunakan berbagai macam disiplin akademik dan kerangka pemikiran dan bertujuan untuk mengevaulasi pendekatan-pendekatan yang memberikan kerangka penjelasan yang ‘paling masuk akal’ untuk menerangkan suatu keputusan/kebijakan tertentu. 42 Dalam penelitian ini sendiri, pendekatan ilmu sosial dan kerangka pemikiran dari Wendt terkait identitas sosial/kolektif digunakan untuk mencoba memahami faktor yang mempengaruhi formulasi kebijakan Jepang terhadap tenaga kerja imigran tersebut. 37
Chizuko Hayakawa, op.cit, hlm.24 Chizuko Hayakawa, ibid. 39 Takashi Kodama, loc.cit. 40 Takashi Kodama, ibid. 41 CNBC, “Japan Needs Foreign Workers, But Will They Come?.” 42 Wayne Parsons, Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisis Kebijakan, hlm.249 38
7
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN
Persoalan Identitas Sebagaimana telah dijelaskan, kebijakan imigrasi Jepang khususunya dalam penerimaan tenaga kerja asing pada dasarnya tidak banyak berubah atau bisa dikatakan tidak berubah sama sekali dari waktu ke waktu meski Jepang sering berkali-kali berganti kepemimpinan. Pada masa pemerintahan Shinzo Abe ini pun sama saja. Terkait penerimaan tenaga kerja imigran golongan unskilled workers, secara resmi kebijakan pemerintah Jepang tetap berpegang teguh pada prinsip “tidak ada pengakuan terhadap unskilled workers”. Meski panah ketiga dari Abenomics yaitu growth strategy (strategi pertumbuhan), yang mencantumkan pemanfaatan tenaga kerja asing sebagai salah satu pilar utamanya, dinilai sebagai pelonggaran dan perubahan terhadap kebijakan imigrasi, pemerintah Jepang sendiri tidak menyatakan demikian. Ketika Abe disodori pertanyaan dalam konferensi press pada tanggal 24 Juni 2014 terkait mengapa growth strategy tersebut bukan merupakan kebijakan imigrasi, Perdana Menteri Jepang tersebut menyatakan sebagai berikut: “For Japan, which is facing a society with a shrinking population, I believe that it is important to call outstanding human resources to Japan in order to further revitalize the Japanese economy and boost competitiveness. Towards this end, we intend to actively press forward with expanding the acceptance of highly-skilled non-Japanese human resources and relaxing requirements for residency. We will also move forward in utilizing non-Japanese human resources in fields that are necessary for Japan, such as accepting human resources in the field of construction as we prepare for the Tokyo Olympic and Paralympic Games. At the same time, I believe that care is needed for what is called accepting immigrants, in light of the various difficult experiences that other countries have had.”43 Pernyataan Shinzo Abe diatas telah memperlihatkan bahwa apa yang diasumsikan sebagai ‘pelonggaran’ imigrasi Jepang, lewat perpanjangan izin tinggal dan peningkatan jumlah kuota pekerja untuk sektor-sektor terntentu, adalah didasari oleh alasan krisis pekerja semata. Dalam kalimat terakhir dari pernyataanya, Abe menyebutkan bahwa perhatian tetap diperlukan untuk masalah penerimaan pekerja dengan belajar dari pengalaman sulit negara-negara lain. Kalimat tersebut secara implisit menunjukkan bagaimana pandangan Abe terhadap imigran yang ia identikan dengan ‘kesulitan’. Secara sederhana dapat dikatakan bahwa Abe berpandangan bahwa ‘imigran mendatangkan kesulitan’. Sebelumnya dalam pernyataannya di televisi, Abe juga sempat mengemukakan bahwa di negara-negara yang menerima imigrasi, terdapat banyak perpecahan dan ketidakbahagiaan, baik bagi pendatang maupun masyarakat yang telah tinggal disitu.44 Pernyataan-pernyataan tersebut tentu merepresentasikan sikap negatif Abe dan keengganannya menerima pekerja imigran. Pembatasan ketat yang dilakukan, dan keputusan pemerintah yang lebih memilih memanfaatkan tenaga kerja wanita, senior, dan robot juga menunjukkan bagaimana sebisa mungkin Jepang membatasi atau bahkan menghindari imigrasi. Jepang bukan merupakan negara imigrasi merupakan tagline yang selalu dikemukakan pemerintah, dan coba untuk selalu dipertahankan hingga saat ini. Salah satu yang kerap dijadikan pokok ulasan dalam kajian terkait kebijakan Jepang yang hostile (tidak ramah) terhadap imigran tersebut adalah faktor Jepang yang homogen. Chris Burgess, dosen untuk kajian Australia dan Jepang di Universitas Tsuda, dalam tulisannya di kolom ‘community’ harian Japan Times mengemukakan bahwa Jepang mempunyai prospek yang kecil untuk menjadi negara imigrasi dalam waktu dekat. Argumen Burgess tersebut berpijak pada masih dominan dan persistennya kajian
43 44
th
Prime Minister of Japan and His Cabinet, “Press Conference by Prime Minister Abe (June 24 2014).” Jonathan Soble, “Japan Stands by Immigration Control Despite Shrinking Population.”
8
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN ‘Jepang yang homogen’, yang terwujud dalam domain pembuatan kebijakan sebagai no-immigration principle.45 Kepercayaan ‘Jepang yang homogen’ tersebut tercantum dalam Nihonjinron yang populer sebagai sebuah pandangan dalam memahami Jepang. Nihonjinron memiliki dua aspek utama yaitu (1) bahwa masyarakat Jepang memiliki “keunikan” yang unik, dan (2) orientasi masyarakat Jepang adalah pada kelompok.46 Premis utama Nihonjinron adalah bahwa masyarakat Jepang adalah masyarakat yang homogen (tan itsu minzoku), yang membentuk sebuah bangsa yang secara ras sama (tan itsu minzoku kokka).47 Setiap masyarakat atau komunitas pada dasarnya memiliki keunikan tersendiri, akan tetapi Jepang merupakan kasus yang tidak biasa dengan banyaknya masyarakat/orang yang mempercayai bahwa negara mereka unik.48 Masalah identitas, yang didasari pada nihonjinron, tersebutlah yang akan menjadi sorotan dalam penelitian ini guna menjelaskan kebijakan Jepang terhadap tenaga kerja imigran pada masa pemerintahan Abe yang masih tetap ketat dan resisten terhadap imigrasi tersebut. Teori collective identity (identitas kolektif), yang dicetuskan oleh Alexander Wendt, akan digunakan untuk memahami faktor yang mempengaruhi kebijakan Jepang terhadap imigrasi tersebut.
Identitas Kolektif Jepang Dalam pemahaman filosofis, identitas diartikan sebagai apapun yang membuat suatu hal menjadi hal tersebut.49 Menurut Wendt, memiliki identitas secara sederhana berarti memiliki pemahaman pasti mengenai siapakah seseorang dalam situasi tertentu, dan konsep identitas tersebut sangat berkaitan dengan kepercayaan dari keinginan dari seseorang tersebut.50 Collective identity yang digunakan disini sendiri menjelaskan hubungan antara ‘diri sendiri’ (self) dan ‘yang lain’ (others) untuk penyimpulannya yang logis yaitu identifikasi. Identifikasi merupakan sebuah proses kognitif yang mana perbedaan antara self dan others menjadi kabur, dan bahkan batasannya yang ada akan saling melampaui. Self terkategorikan sebagai others. Identitas tunggal yang baru akan terbentuk dari penggabungan self tersebut kedalam others atau dapat dikatakan menjadi sebuah kelompok. Identitas tunggal yang baru tersebut yang disebut identitas kolektif. Sebuah rasa kebersamaan atau sense of belonging akan muncul, dan kepentingan kelompok pun akan menjadi bagian dari kepentingan self atau diri. Terdapat karakteristik yang sama dari aktor dalam identitas kolektif tersebut. Identitas kolektif muncul dari proses identifikasi dari diri sendiri (self) yang merasa menjadi bagian dari yang lain (others). Hal tersebut didorong oleh adanya kesamaan karakteristik yang dimiliki aktor-aktor dalam suatu kelompok. Proses pembentukan identitas kolektif tersebut meleburkan identitas aktor sebagai individu (self) yang kemudian memunculkan identitas tunggal yang baru sebagai “we” (kita). Rasa menjadi bagian dari kelompok “kita”, merupakan sebuah identitas sosial/kolektif. Identifikasi tersebut menciptakan perbedaan dan batasan antara “kita” dan “mereka”. Dalam hal ini “mereka” bisa jadi terdiri dari macam-macam orang yang berbeda-beda, akan tetapi dari pandangan atau sudut pandang “kita”, “mereka” adalah sama yaitu bukan merupakan bagian dari “kita”. Pelabelan yang diberikan oleh warga Jepang (Nihonjin) terhadap orang asing sebagai Gaikokujin, ataupun penyebutan orang asing keturunan Jepang sebagai Nikkeijin sendiri merupakan bentuk dari identifikasi kelompok “kami” dan “mereka”. Warga Jepang (Nihonjin) dalam hal ini memposisikan diri sebagai kelompok “kami” dan tentunya melihat kelompok yang lain tersebut sebagai bukan bagian dari “kami”. Batasan yang tercipta antara kelompok “kami” dan “bukan kami” atau “mereka” tersebut tentunya berpengaruh pada penerimaan kelompok “bukan kami” ke dalam lingkungan masyarakat 45
Chris Burgess, “Japan’s ‘No Immigration Policy’ Looking as Solid as Ever.” Chris Burgess, “Multicultural Japan? Discourse and the ‘Myth’ of Homogeneity.” 47 Chris Burgess, ibid. 48 Yoshio Sugimoto, op.cit, hlm. 2 49 Alexander Wendt, Social Theory of International Politics, hlm.224.” 50 Alexander Wendt, op.cit, hlm.170 46
9
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN kelompok “kami”. Masyarakat Jepang sendiri meyakini bahwa Jepang merupakan negara yang unik dan secara ras homogen yang oleh sebab itu itu tidak seharusnya dikontaminasi.51 Identifikasi tersebut akan sangat relevan apabila dikaitkan dengan isu penerimaan tenaga kerja asing di Jepang. Adanya batasan yang tercipta antara “kami” (masyarakat Jepang) dan “mereka” (tenaga kerja asing) menyebabkan resistensi mayoritas masyarakat Jepang terhadap penerimaan tenaga kerja asing masih tinggi. Rasa menjadi bagian dari kelompok “kita/kami”, merupakan sebuah identitas sosial/kolektif yang memberikan aktor kepentingan untuk mempertahankan budayanya,52 sehingga aktor (dalam hal ini adalah Jepang) akan cenderung menolak kedatangan kelompok “mereka” (dalam hal ini adalah tenaga kerja asing) karena dianggap sebagai sebuah ancaman. Yoshio Sugimoto menyebutkan bahwa kepribadian masyarakat Jepang sendiri lebih menekankan pada orientasi kelompok dibanding dengan individualitas.53 Keterikatan dan keanggotaan dalam suatu kelompok menjadi hal yang penting dan sangat menentukan dalam interaksi masyarakat Jepang. Gagasan ‘Jepang sebagai bangsa yang unik’ – yang dipercayai oleh mayoritas warga Jepang sendiri— ataupun ‘Jepang yang homogen’ juga semakin memperbesar rasa keterikatan satu sama lain dan memperkuat identitas atau atribut mereka sebagai suatu kelompok yaitu sebagai bangsa Jepang (Nihonjin). Mungkin tidak mudah dipahami oleh pihak luar betapa orang Jepang itu bergantung dan berharap kepada kawan-kawannya.54 Ketergantungan itu pula yang kemudian juga semakin memperkuat perasaan dan kesadaran dalam kelompok, dan menciptakan pola hubungan orang Jepang yang selalu berorientasi pada kelompok. Chie Nakane dalam tulisannya menyatakan bahwa: “Orang Jepang tidak berhasil mengembangkan suatu sikap sosial yang patut diterapkan kepada orang asing, atau orang-orang dari “luar”. (…) Mereka tidak mengembangkan teknik untuk menghadapi orang-orang “di luar” mereka, oleh karena kehidupan mereka begitu terpusat pada kelompok mereka sendiri.” 55 Kesadaran akan identitas kolektif yang kuat sebagai “kami” tersebut tentunya juga akan semakin menguatkan batasan dan perbedaan yang tercipta dengan kelompok yang lain atau “mereka”, yang dalam kasus ini adalah tenaga kerja asing. Pembatasan-pembatasan yang diberlakukan, termasuk perbedaan upah pekerja antara warga Jepang dan warga asing, juga menunjukkan adanya batasan yang tercipta karena faktor identitas tersebut. Meskipun bekerja di bidang yang sama, pekerja Jepang mendapat upah yang lebih banyak daripada pekerja asing, perbedaan tersebut secara sederhana dikarenakan oleh identitas pekerja asing yang bukan merupakan bagian dari kelompok “kami” (Nihonjin).
Identitas dan Kebijakan Jepang Dari pandangan konstruktivis, identitas merupakan faktor penting yang mempengaruhi kepentingan (interest) suatu negara. Identitas merujuk pada siapakah aktor dan membentuk jatidiri dari aktor, sementara kepentingan sendiri merujuk pada apa yang diinginkan oleh aktor dan membentuk motivasi/dorongan yang dapat digunakan untuk menerangkan tindakan aktor tersebut.56 Seorang aktor tidak bisa mengetahui apa yang ia inginkan sampai ia mengetahui siapa dirinya. Menurut teori identitas kolektif Wendt sendiri, identitas kolektif tersebut yang kemudian memberikan aktor kepentingan untuk mempertahankan budayanya, dan ketika budaya mereka terancam aktor akan cenderung bertindak berdasarkan insting untuk melindunginya.57 51
Yoshio Sugimoto, op.cit, hlm.183 Alexander Wendt, loc.cit. 53 Yoshio Sugimoto, op.cit, hlm.3 54 Chie Nakane, Masyarakat Jepang, hlm.172 55 Chie Nakane, op.cit, hlm.186-87 56 Alexander Wendt, op.cit, hlm.231 57 Alexander Wendt, op.cit, hlm.337 52
10
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN Identitas (kolektif) sebagai Nihonjin membuat Jepang memandang kelompok lain yang ‘bukan Nihonjin’ secara berbeda. Jepang yang berpegang pada kepercayaan akan pentingnya mempertahankan keharmonisan dalam kelompok58 memandang kedatangan orang luar (bukan Nihonjin) termasuk tenaga kerja imigran sebagai potensi gangguan yang dapat merusak keharmonisan tersebut. Gagasan tentang ‘masyarakat Jepang yang harmonis dan cinta damai’ tersebut menjadi salah satu aspek yang disoroti dalam kajian ‘Jepang yang homogen’ yang berkaitan dengan masalah migrasi. 59 Kecintaan dan kebanggaan akan identitas sebagai bangsa Jepang yang unik dan harmonis tersebut kemudian menjadikan Jepang memandang kelompok lain diluar lingkaran Nihonjin lebih rendah. Perlakuan spesial yang diberikan pemerintah Jepang terhadap tenaga kerja dari golongan nikkeijin dengan pemberian status yang tidak membatasi jenis pekerjaan mereka merupakan salah satu bentuk nyata diskriminasi kelompok karena faktor identitas. Karena nikkeijin tersebut merupakan “ekstrak” dari keturunan Jepang, pemerintah menganggap mereka lebih bisa diandalkan, dipercaya, dan sungguh-sungguh dibandingkan pekerja asing lainnya.60 Meskipun nikkeijin mendapat keistimewaan lebih dibanding dengan tenaga kerja asing lainnya, nikkeijin sendiri tetaplah bukan merupakan bagian kelompok dari nihonjin sehingga dalam strata sosial masyarakat Jepang nikkeijin tetaplah lebih rendah dan diberlakukan secara berbeda. Meski mendapat kelonggaran dalam ijin kerja karena statusnya sebagai permanent resident, 91% dari kelompok nikkeijin sendiri bekerja sebagai unskilled atau semi-skilled workers yang melibatkan pekerjaan yang mudah dan sederhana tanpa memerlukan pelatihan khusus.61 Meski para nikkeijin tersebut berpendidikan dan dulunya bekerja sebagai pekerja kerah putih di Brazil, dalam wawancara kerja sedikit dari perusahaan yang mempekerjakan mereka menanyakan tentang latar belakang pendidikan dan pengalaman kerja mereka tersebut. Peran dan pengaruh faktor identitas tersebut tentunya tidak bisa diabaikan dalam proses pembuatan kebijakan pemerintah Jepang terkait tenaga kerja imigran sendiri.62 Identitas kolektif dalam hal ini sendiri menjadi pemicu utama yang memunculkan kesadaran aktor akan perasaan kelompok tersebut dan menciptakan logika atas dasar kepentingan kelompok. Oleh karenanya meskipun realitas yang ada menunjukkan bahwa Jepang membutuhkan tenaga kerja imigran, akan tetapi karena persepsi kelompok ‘Nihonjin’ yang mempersepsikan kelompok lain dibawah stratanya secara negatif maka Jepang pun menolak kelompok luar tersebut yang dalam hal ini adalah tenaga kerja imigran. Jeff Kingston menyebutkan bahwa politik imigrasi di Jepang melibatkan kekhawatiran akan identitas nasional dan kriminalitas yang dilakukan oleh pekerja asing.63 Jepang tidak mengijinkan pekerja asing khususnya unskilled workers masuk ke Jepang dikarenakan ketakutan bahwa mereka akan mengancam budaya nasional yang dibangun dari sebuah konsensus.64 Implikasi dari penerimaan warga asing yang mungkin akan merusak keharmonisan dan kerjasama yang mencirikan masyarakat Jepang membentuk persepsi masyarakat yang mengidentikan warga asing sebagai penjahat.65 Oleh karena itu, merupakan hal wajar apabila kebijakan imigrasi Jepang sangatlah ketat di bidang imigrasi. Berdasarkan teori identitas kolektif sendiri dikatakan bahwa ketika budaya mereka terancam, aktor secara naluri akan cenderung bertindak untuk mempertahankannya.66 Dalam pembentukan kebijakan imigrasi Jepang sendiri, aktor atau lembaga pemerintah yang paling berkuasa dan bertanggungjawab adalah Ministry of Justice (MOJ). MOJ sendiri mengambil sikap yang keras dengan selalu menolak segala bentuk kebijakan untuk mengembangkan imigrasi, dan kukuh untuk menjatuhkan 58
Yoshio Sugimoto, op.cit, hlm.3 Chris Burgess, “Japan’s ‘No Immigration Policy’ Looking as Solid as Ever.” 60 Yoshio Sugimoto, op.cit, hlm.206 61 Ibid. 62 Janis dalam Wayne Parsons, op.cit, hlm.348 63 Jeff Kingston, “Immigration reform: Could this be Abe’s new growth strategy?.” 64 Harumi Ozawa, “Japan sanctioning mass ‘slave labor’ by duping foreign trainees, observers say.” 65 Chris Burgess, ibid. 66 Alexander Wendt, op.cit, hlm.337 59
11
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN sanksi terhadap perusahaan yang menyewa atau mempekerjakan pekerja asing ilegal.67 Sikap keras tersebut dipengaruhi oleh pandangan konservatif MOJ yang masih didominasi oleh kepentingan keamanan domestik dan persoalan ideologi untuk mempertahankan homogenitas etnis bangsa dan kemurnian budaya Jepang.68 Sikap MOJ yang mewakili pemerintah Jepang tersebut tentunya mencerminkan bagaimana aktor bertindak untuk mempertahankan budaya Jepang yang dianggap akan terancam dengan kedatangan pekerja asing dalam jumlah besar. Dari pandangan teori Wendt, aktor sendiri masih bersifat rasional akan tetapi unit dasar yang mereka gunakan untuk memperhitungkan manfaat dan tindakan adalah kelompok.69 Sifat rasionalitas aktor (dalam kasus ini adalah pemerintah Jepang) tersebut tercermin dari kebijakan imigrasi Jepang dalam masa pemerintahan Shinzo Abe ini. Dibawah kepemimpinan Abe, pada dasarnya kebijakan Jepang masih tidak berubah, akan tetapi berdasarkan rasionalitas yang ada ada yaitu untuk mengatasi krisis pekerja Abe meluncurkan Japan’s Revitalized Strategy 2014 yang mengembangkan program TIP untuk menerima lebih banyak pekerja asing dan memperpanjang masa tinggalnya. Namun, kebijakan Abe untuk menerima lebih banyak pekerja dan memperpanjang periode tinggalnya itu sendiri tidak dapat dijamin akan bertahan seterusnya. Chieko Kamibayashi, dalam wawancara secara virtual yang dilakukan oleh peneliti, menerangkan bahwa karena kebijakan imigrasi Jepang bersifat sangat ad hoc, maka tidak ada yang tau apa yang akan terjadi setelah 2020 saat Olimpiade Tokyo (Tokyo Olympic) telah selesai diselenggarakan. Peningkatan kuota dan perpanjangan periode tinggal pekerja asing yang tercantum dalam Japan’s Revitalized Strategy khususnya di bidang konstruksi memang dipersiapkan untuk menggarap persiapan menuju Olimpiade 2020, sehingga setelah 2020 berlalu terdapat kemungkinan bahwa para pekerja asing tersebut tidak diperlukan lagi.
Implementasi Kebijakan Pemerintah Pemerintah Jepang menyatakan bahwa kebijakan imigrasi Jepang menganut prinsip tidak mengakui unskilled workers (no unskilled workers will be admitted). Namun, realitas yang ditemui di lapangan sangatlah berbeda dengan apa yang dikemukakan oleh pemerintah. Pada kenyataannya terdapat foreign unskilled workers yang mengisi sektor-sektor pekerjaan kerah biru, yang paling merasakan dampak labor shortage, di Jepang. Pada bahasan sebelumnya telah dijelaskan bahwa peserta TITP dan EPA, warga asing keturunan Jepang (Nikkeijin), dan pelajar/mahasiswa merupakan komposisi utama dari tenaga kerja imigran golongan unskilled workers di Jepang. Berdasarkan visa tinggal, mereka tidak bisa secara langsung dikatakan sebagai tenaga kerja, apalagi unskilled workers. Namun, bila ditilik lebih lanjut dari apa yang mereka kerjakan, terlepas dari status tinggal mereka, mereka mengerjakan pekerjaanpekerjaan unskilled labors yang bahkan banyak dihindari oleh masyarakat Jepang sendiri. Peserta Technical Intern Training Program (TITP) yang seharusnya belajar mengenai transfer teknologi dan pengetahuan di Jepang agar dapat diterapkan di negara asal mereka saat pulang, dimanfaatkan sebagai tenaga kerja di perusahaan-perusahaan Jepang yang kekurangan pekerja. Ippei Torii, Direktur Solidarity Network With Migrants Japan, sebuah NGO (Non-Government Organization) yang mendukung pekerja asing, menyatakan bahwa program pelatihan ini merupakan sebuah sistem perbudakan, perdagangan manusia, dan pemekerjaan buruh secara paksa.70 Kelompok selanjutnya adalah warga asing keturunan Jepang (nikkeijin) yang kebanyakan berasal dari Amerika Latin. Meskipun, 67
Takeyuki Tsuda, op.cit, hlm.14 Takeyuki Tsuda, ibid. 69 Alexander Wendt, ibid. 70 Harumi Ozawa, “Japan sanctioning mass ‘slave labor’ by duping foreign trainees, observers say.” 68
12
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN mereka tidak mendapat pembatasan dalam bekerja karena status mereka sebagai “spouse of Japanese atau long-term resident”, mayoritas dari para nikkeijin tersebut nyatanya bekerja sebagai unskilled workers. Ketika mereka pertama kali masuk ke Jepang secara massal, mayoritas dari mereka dipekerjakan di industri manufaktur yang saat itu memang kekurangan buruh pekerja. Bahkan Kementerian Tenaga Kerja Jepang (Ministry of Labor), dengan konsensus dari kementerian lainnya, telah mendirikan Pusat Pemerkerjaan Nikkeijin (Nikkeijin Employment Centers) di Tokyo dan Nagoya yang memudahkan perusahaan-perusahaan Jepang untuk mempekerjakan Nikkeijin secara langsung tanpa melalui broker.71 Sebagaimana kebijakan “technical trainee” yang bertopeng ideologi untuk membantu perkembangan negara lain (negara berkembang), kebijakan nikkeijin ini juga disajikan dengan menyamar sebagai kebijakan penyatuan keturunan etnis Jepang ke kampung halaman.72 Oleh karenanya, dapat dikatakan bahwa status “technical intern” yang diberikan kepada peserta TITP, maupun status “spouse of Japanese atau long-term resident” untuk para nikkeijin tersebut adalah status palsu atau lebih tepatnya adalah status bayangan atau samaran. Terlepas dari status atau visa tinggal mereka, peserta TITP dan nikkeijin tersebut adalah tenaga kerja asing unskilled workers untuk Jepang. Status ganda (meski secara implisit) tersebut yang kemudian menjadikan kebijakan pemerintah Jepang terkait tenaga kerja imigran ini terlihat bias. Terdapat dualisme dari pemerintah dalam hal kebijakan dan implementasinya yang berbeda. Implementasi yang jauh berbeda dengan prinsip kebijakan yang seharusnya tersebut, dalam penelitian ini, coba dipahami menggunakan konsep pemikiran Jepang sebagai berikut:
Honne to Tatemae Honne dapat diartikan sebagai motif atau niat terdalam dari seseorang, sedangkan tatemae merujuk pada motif atau niatan seseorang yang terbentuk secara sosial, atau dapat dikatakan sebagai sesuatu yang diharapkan, yang seharusnya dilakukan atau diucapkan sesuai dengan norma-norma utama yang berlaku dalam masyarakat.73 Dalam tulisan Yoshio Sugimoto dijelaskan bahwa tatemae merujuk pada prinsip yang dibangun secara formal yang tidak perlu diterima atau dipraktikkan oleh pihak yang terlibat, sementara honne pada dasarnya merupakan perasaan dan keinginan yang sesngguhnya yang tidak bisa diungkapkan secara terbuka karena kekuatan dari tatemae.74 Honne to tatemae (honne dan tatemae) ini bisa jadi dipersepsikan layaknya keadaan das sein (yang senyatanya) dan das sollen (yang seharusnya). Honne merepresentasikan apa yang senyatanya (das sein), sementara tatemae merepresentasikan apa yang seharusnya (das sollen). Jika dilihat dalam kebijakan imigrasi Jepang ini, honne atau maksud sebenarnya dari pemerintah Jepang dalam mendatangkan peserta TITP maupun nikkeijin tersebut tidak lain adalah untuk mengisi sektor-sektor pekerjaan unskilled workers di Jepang yang mengalami labor shortage. Namun, dipermukaan yang seharusnya sesuai dengan pernyataan pemerintah Jepang (tatemae), mereka masuk ke Jepang adalah sebagai peserta magang (untuk TITP) yang mencari ilmu dan pengalaman untuk digunakan di negara asal mereka ketika pulang, dan sebagai keturunan Jepang (untuk nikkeijin) yang kembali ke kampung halaman asal nenek moyang mereka. Hifumi Okunuki, dosen di Sagami Women’s University sekaligus Presiden Eksekutif dari Tozen Union (Zenkoku Ippan Tokyo General Union), dalam wawancara yang dilaksanakan peneliti melalui email. Okunuki menyatakan bahwa dualisme kebijakan pemerintah tersebut merupakan bentuk honne to tatemae. Pemerintah Jepang membutuhkan pekerja bergaji rendah, dan untuk itulah pemerintah menggunakan peserta magang atau technical trainees. Peserta TITP tersebut
71
Takeyuki Tsuda, “Reluctant Hosts: The Future of Japan as a Country of Immigration.” Takeyuki Tsuda, ibid. 73 Roger J. Davies and Osamu Ikeno, The Japanese Mind: Understanding Contemporary Japanese Culture, hlm.115 74 Yoshio Sugimoto, op.cit, hlm. 28 72
13
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN pada dasarnya tidak belajar apapun kecuali bekerja untuk gaji yang rendah. Status mereka sebagai ‘trainees’ juga merupakan tatemae. Chieko Kamibayashi, Professor di Departemen Ilmu Sosial Universitas Hosei, melalui wawancara yang dilakukan secara virtual juga menyatakan bahwa kebijakan imigrasi pemerintah Jepang tersebut merupakan wujud suatu dualisme (honne to tatemae). Kamibayashi menambahkan bahwa dualisme tersebut diperlukan oleh pemerintah baik untuk alasan domestik maupun hubungan diplomatik. Alasan domestik dalam hal ini adalah karena para politisi Jepang tidak ingin membahayakan posisi mereka. Para birokrat sadar akan kebutuhan Jepang akan tenaga kerja asing, akan tetapi masyarakat Jepang secara umum enggan untuk mengundang tenaga kerja asing. Politisi yang butuh untuk mempertahankan konstituennya guna memenangkan pemilu tentu memilih bermain aman dengan tidak mengangkat masalah imigrasi tersebut sebagai agenda politik. Oleh karena itu, melalui ‘pintu samping’ secara lihai pemerintah membawa masuk tenaga kerja asing tersebut sebagai Technical Internship Program (TIP). Alasan kedua berkaitan dengan kesepakatan antara Jepang dengan Tiongkok yang merupakan negara pertama Jepang memulai Technical Internship Programnya. Dualisme disini diperlukan dalam hal negosiasi diplomatik. Tiongkok tidak mempermasalahkan ‘dualisme’ yang ada dalam program TIP Jepang karena dapat digunakan sebagai banner untuk menutupi pengiriman unskilled workersnya ke Jepang. Jepang dan Tiongkok, keduanya sama-sama diuntungkan dengan dualisme dari TIP. Melalui TIP, Jepang menutupi penerimaan unskilled workers dari luar, sementara Tiongkok menutupi pengiriman unskilled workers ke luar. Kedua faktor tersebutlah yang mempengaruhi kebijakan imigrasi Jepang saat ini, dan karena alasan domestik dan diplomatik tersebut pula dualisme dalam kebijakan imigrasi Jepang ini tercipta. Gabriele Vogt dalam tulisannya yang berjudul “Closed Doors, Open Doors, Doors Wide Shut?: Migration Politics in Japan”, juga menyatakan bahwa di permukaan (omote), Jepang terlihat mempertahankan kebijakan migrasinyayang ketat dengan hanya menerima tenaga kerja asing skilled workers untuk periode waktu tertentu; namun di dalamnya atau inti (honne) dari kebijakan ini, terdapat strategi pembiaran terhadap arus masuk tenaga kerja asing unskilled workers.75 Kebijakan pemerintahan Abe untuk memenuhi kekurangan tenaga kerja domestik dengan mengembangkan TITP yang mulai dilaksanakan pada awal tahun fiskal 2015 telah secara jelas menunjukkan honne dari pemerintah Jepang. Krisis ketenagakerjaan yang melanda Jepang ini agaknya telah berhasil mendesak pemerintah, sehingga honne yang ada di dalam mulai terlihat di luar bersama dengan tatemae.
Hedataru to Najimu Hedataru dan najimu (hedataru to najimu) ini menjelaskan tentang hubungan antar manusia yang menyangkut aspek ruang personal (personal space) dari tiap individu. Hedataru berarti “memisahkan satu hal dengan yang lain”, dan biasanya juga digunakan untuk “mengasingkan, menjauhkan, menciptakan jarak diantara teman.” Sebaliknya, najimu berarti “terbiasa atau familiar atau yang biasanya dekat.” 76 Ide dari Hedataru to najimu menjelaskan hubungan keterikatan antar individu, dan ide tersebut telah terpatri dalam pola hubungan manusia di Jepang sehari-hari. Konsep hedataru secara sederhana dapat diasumsikan sebagai sikap “asing” atau “menjaga jarak” dengan individu yang lain dalam sebuah hubungan atau interaksi. Dalam berinteraksi dengan orang lain (terutama dengan orang yang baru dikenal), orang Jepang cenderung akan membatasi diri dan menjaga jarak. Sebaliknya najimu dapat diartikan sebagai perasaan “dekat” atau “akrab” dengan orang yang lain. Dalam pola hubungan orang Jepang, butuh waktu yang lama untuk dapat mengembangkan relasi sampai ke tahap najimu. Konsep dari hedataru to najimu tersebut secara jelas dapat ditemukan dalam kehidupan masyarakat Jepang sehari-hari. Konsep hedataru to najimu tersebut diperlukan untuk memahami hubungan antar inividu dalam masyarakat Jepang, karena dengan adanya batasan dari hedataru to najimu maka personal space 75 76
Gabriele Vogt. “Closed Doors, Open Doors, Doors Wide Shut?” Migration Politics in Japan”, hlm.26 Roger J. Davies and Osamu Ikeno, opcit, hlm.109
14
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN seseorang dapat terjaga sehingga dapat menghindari perasaan tidak nyaman. Adanya konsep hedataru to najimu tersebut membuat orang Jepang terlihat memiliki kepribadian yang tertutup. Mengembangkan hubungan dari tahap hedataru menuju najimu antar orang Jepang sendiri dapat dibilang tidak mudah dan membutuhkan waktu lama, akan tetapi orang Jepang tentunya sudah paham dan terbiasa dengan konsep tersebut. Namun, bagi orang asing yang tidak mengerti, tentunya akan timbul ketidaknyamanan apabila orang asing tersebut mendobrak batasan-batasan (hedataru) atau personal space seseorang ketika berinteraksi dengan orang Jepang. Kebijakan pemerintah Jepang terhadap tenaga kerja imigran sendiri juga dapat menjadi salah satu contoh dari hedataru to najimu. Kebijakan imigrasi Jepang yang memiliki aturan ketat yang hanya mengijinkan pekerja asing tinggal dalam periode waktu sementara atau dalam batas waktu tertentu di Jepang merupakan hedataru to najimu. Pemerintah Jepang dalam hal ini mencoba melindungi personal space Jepang dengan membangun tembok pembatas berwujud aturan imigrasi yang ketat tersebut. Pembatasan periode tinggal bagi tenaga kerja asing tersebut merupakan hedataru pemerintah untuk menjaga ruang personal Jepang/masyarakat Jepang dari invasi tenaga kerja dari luar. Impor tenaga kerja asing secara massal dan mengijinkan mereka tinggal di Jepang dalam jangka waktu panjang secara sederhana merupakan invasi terhadap personal space dari masyarakat Jepang, oleh karena itu pemerintah menolak ide tersebut. Dari survey yang dilakukan oleh pemerintah pada tahun 1990an, mayoritas responden yaitu sebanyak 71,4% setuju untuk menerima unskilled workers. Namun, mayoritas publik yaitu sebanyak 56,5% merasa bahwa unskilled workers tersebut dapat diterima dengan beberapa syarat khusus, terutama yaitu pembatasan waktu tinggal mereka.77 Pembatasan waktu tinggal tersebut menunjukkan hedataru masyarakat Jepang terhadap tenaga kerja imigran. Meski sebagian besar menyetujui untuk menerima tenaga kerja imigran, namun berdasarkan survey yang dilakukan oleh pemerintah lokal di Tokyo terkait kesediaan publik untuk tinggal bersebelahan dengan buruh asing, 64% menyatakan tidak bersedia dan hanya 28% yang menyambut mereka.78 Survey dari Institut Kebijakan Publik pun menunjukkan bahwa 56,6% responden merasa khawatir atau resah terhadap tenaga kerja asing dan keresahan tersebut semakin meningkat ketika jarak tempat tinggal mereka dengan orang asing semakin dekat.79 Isu terkait kejahatan yang dilakukan oleh warga asing menjadi salah satu faktor utama yang mempengaruhi opini publik tersebut. Namun pada polling yang digelar pemerintah pada tahun 2004 terkait penerimaan unskilled workers, 26% menyatakan menolak unskilled workers sepenuhnya, 39% menerima apabila penggunaan tenaga kerja wanita dan senior tidak cukup, dan hanya 17% yang menerima tanpa syarat. Dari hasil survey dan polling tersebut, dapat dikatakan bahwa kesediaan publik Jepang dalam menerima tenaga kerja asing lebih didasarkan pada alasan ekonomi (kebutuhan akan pekerja). Pada kenyataannya, meskipun mereka diperbolehkan masuk ke Jepang, terdapat dinding penghalang atau batasan yang dibangun berupa kebijakan imigrasi Jepang tersebut yang merepresentasikan hedataru. PM Abe sendiri menyatakan bahwa Jepang tidak akan mengadopsi kebijakan imigrasi seperti Amerika Serikat. “Amerika Serikat (AS) adalah negara dari imigran yang datang dari seluruh penjuru dunia dan membentuk AS. Banyak orang datang dan menjadi bagian dari negara negara tersebut. Kami tidak akan mengadopsi kebijakan seperti itu.”80 Petikan pernyataan diatas merupakan jawaban Abe terkait keputusan pemerintah untuk memperpanjang masa tinggal peserta TITP dari tiga tahun menjadi lima tahun. Selain itu, Abe juga menambahkan bahwa:
77
Takeyuki Tsuda, “Japan: Government Policy, Immigrant Reality”, hlm.33-34 Wall Street Journal, 1994 dalam Takeyuki Tsuda, ibid. 79 Konai dalam Takeyuki Tsuda, ibid. 80 Reiji Yoshida, “Success of Abenomics ‘Hinges’ in Immigration Policy.” 78
15
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN “Hal tersebut bukan merupakan kebijakan imigrasi. Kami ingin mereka bekerja dan menghasilkan gaji dalam periode waktu yang terbatas, dan kemudian pulang (ke negara asal).” Pernyataan Abe yang menyebutkan bahwa Jepang tidak akan mengadopsi kebijakan seperti AS dimana imigran disambut dan menjadi bagian dari negara tersebut, memperlihatkan bahwa terdapat batasan atau dinding penghalang yang dibangun oleh pemerintah sebagai perwujudan dari konsep hedataru. Kebijakan pemerintah tersebut pun didukung oleh opini publik yang mayoritas masih enggan untuk menyambut dan hidup berdampingan dengan warga asing. Penerimaan tenaga kerja imigran ke Jepang tersebut pada dasarnya hanya dilandasi atas pragmatisme pemerintah untuk mengatasi masalah labor shortage yang merupakan perwujudan dari honne. Pengenalan tenaga kerja unskilled workers tersebut dengan topeng sebagai peserta TITP dan nikkeijin merupakan perwujudan dari tatemae. Namun, meski Jepang menerima tenaga kerja ‘bertopeng’ tersebut, kebijakan ketat berupa pembatasan waktu tinggal menunjukkan sisi resisten pemerintah terhadap tenaga kerja asing yang merupakan perwujudan dari konsep hedataru to najimu.
KESIMPULAN Pada masa pemerintahan Shinzo Abe periode yang kedua ini, pemerintah Jepang meluncurkan Japan Revitalized Strategy 2014 yang didalamnya mencantumkan pengembangan Technical Intern Training Program (TITP) guna mempersar kuota penerimaan tenaga kerja asing (terutama pekerja konstruksi) dan perpanjangan periode singgah mereka, serta wacana untuk menambahkan sektor keperawatan ke dalam TITP. Kebijakan Japan Revitalized Strategy tersebut banyak dinilai sebagai pelonggaran dan perubahan terhadap kebijakan imigrasi Jepang, tetapi pemerintahan Abe sendiri menyangkal anggapan tersebut. Pemerintah menyatakan tidak ada perubahan kebijakan, dan Jepang pada dasarnya masih kukuh mempertahankan kebijakan imigrasi Jepang yang ada yaitu dengan berlandaskan pada tiga prinsip utama yaitu: 1) tidak ada pengakuan terhadap tenaga kerja imigran golongan unskilled workers, 2) pemerintah hanya mengakui highly skilled workers, dan 3) semua pendatang asing menetap/tinggal di Jepang hanya dalam batas waktu tertentu (sementara). Kebijakan pemerintah Jepang yang merepresentasikan sikap resisten Jepang yang tinggi terhadap penerimaan tenaga kerja asing tersebut dipengaruhi oleh faktor identitas. Identitas kolektif masyarakat Jepang sebagai Nihonjin (bangsa Jepang), yang mereka percaya sebagai masyarakat yang homogen dan harmonis, membuat Jepang memandang kelompok lain selain Nihonjin berbeda dan menanggap mereka sebagai ancaman yang dapat merusak keharmonisan dan kedamaian (budaya) masyarakat Jepang tersebut. Sesuai dengan teori Wendt yang menyatakan bahwa identitas kolektif akan memberikan aktor kepentingan untuk mempertahankan budayanya ketika budaya mereka terancam, pemerintah Jepang yang merupakan aktor dan bagian dari kelompok Nihonjin sendiri dalam hal ini mencoba melindungi Jepang dengan membangun tembok penghalang berupa kebijakan imigrasi yang ketat tersebut. Oleh karena itu meskipun dari aspek ekonomi Jepang membutuhkan tenaga kerja imigran, pengaruh identitas yang kuat tersebut menyebabkan pemerintah tetap resisten atau enggan untuk membuka pintu imigrasi guna enyambut pekerja imigran. Terdapat dualisme dalam implementasi kebijakan Jepang terhadap tenaga kerja imigran sendiri. Meski yang seharusnya atau dalam kebijakannya secara resmi tercantum bahwa Jepang menganut prinsip untuk tidak mengakui unskilled workers, kenyataan di lapangan menunjukkan tetap terdapat unskilled workers di Jepang. Anomali tersebut dipengaruhi oleh benturan kepentingan yang ada dimana di satu sisi Jepang berusaha mempertahankan kepentingan untuk melindungi identitas/budayanya, tetapi di sisi lain desakan krisis kelangkaan pekerja juga membuat Jepang harus mendatangkan tenaga kerja dari luar.
16
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN
DAFTAR PUSTAKA <Buku> Davies, Roger J. dan Ikeno, Osamu. The Japanese Mind: Understanding Contemporary Japanese Culture, Tuttle Publishing, Tokyo, 2002. Nakane, Chie. Masyarakat Jepang, Sinar Harapan, Jakarta, 1981. Parsons, Wayne. Public Policy: Pengantar Teori dan Praktik Analisa Kebijakan, Kencana, 2005. Sugimoto, Yoshio, An Introduction to Japanese Society: Second Edition, Cambridge University Press, New York, 2003. Wendt, Alexander, Social Theory of International Politics, Cambridge University Press, New York, 1999.
Hayakawa, Chizuko, “Labor Law and Policy Issues Relating to Foreign Workers”, Japan Labor Review, vol.7:3, 2010. <www.jil.go.jp/english/JLR/documents/2010/JLR27_hayakawa.pdf> Iguchi, Yasuchi, “What Role Do Low-Skilled Migrants Play in the Japanese Labor Markets?”, American Behavioral Scientist, Vol.56(8), Sage Publications, 2012. Tsuda, Takeyuki and Cornelius, Wayne A, “Japan: Government Policy, Immigrant Reality”, Controlling Immigration: A Global Perspective 2nd Edition, 2003. Vogt, Gabriele, “Closed Doors, Open Doors, Doors Wide Shut?: Migration Politics in Japan”, Japan Aktuell, 5, 2007. ___________, “When the Leading Goose Gets Lost: Japan’s Demogrphic Change and the Non-Reform of Its Migration Policy”, Journal of Critical Perspectives on Asia, Volume 49:2, 2013. Yamada, Masahiko, “Current Issues on Foreign Workers in Japan”, Japan Labor Review, Vol.7 (3), 2010. <www.jil.go.jp/english/JLR/documents/2010/JLR27_yamada.pdf>
Burgess, Chris, “Can Immigration Reform Really Save http://www.eastasiaforum.org/2014/06/05/can-immigration-reform-really-save-japan/, pada 22 Juni 2015, 19:00, Surakarta.
Japan?”, diakses
Burgess, Chris, “Japan’s ‘no immigration principle’ looking as solid as ever”, http://www.japantimes.co.jp/community/2014/06/18/voices/japans-immigration-principle-lookingsolid-ever/#.VYgFFfmqqkp, diakses pada 22 Juni 2015, 13:13, Surakarta. Burgess, Chris, “Multicultural Japan? Discourse and the ‘Myth’ of Homogeneity”, www.japanfocus.org/Chris-Burgess/2389/article.html, diakses pada 22 Juni 2015, 16:00WIB, Surakarta. CNBC, “Japan Needs Foreign Workers, But Will They Come?”, http://www.cnbc.com/2014/12/10/japanneeds-foreigners-but-will-they-come.html, diakses pada 21 Juni 2015, 21:09, Surakarta. 17
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN Japan
Times, “Flawed Foreign Labor http://www.japantimes.co.jp/opinion/2014/04/15/editorials/flawed-foreign-laborplan/#.Vfj51tKqqkp, diakses pada 16 September 2015, 12:20, Surakarta.
Plan”,
__________, “More Foreigners Working In http://www.japantimes.co.jp/opinion/2014/02/15/editorials/more-foreigners-working-injapan/#.VhyDJeyqqkp, diakses pada 13 Oktober 2015, 11:22, Surakarta.
Japan”,
Kamibayashi, Chieko, “Rethinking Temporary Foreign Workers’ Rights: Living Conditions of Technical Interns in the Japanese Technical Internship Program (TIP)”, http://ilera2012.wharton.upenn.edu/RefereedPapers/KamibayashiChieko.pdf, diakses pada 20 Juni 2015, 20:36, Surakarta. Kingston, Jeff, “Immigration Reform? Could this be Abe’s new growth strategy?”, http://www.japantimes.co.jp/opinion/2013/05/19/commentary/immigration-reform-could-this-beabes-new-growth-strategy/#.VYf88Pmqqkp , diakses pada 22 Juni 2015, 13:00, Surakarta. Kodama, Takashi, “Japan’s Immigration Problem”, www.dir.co.jp/english/research/report/others/20150529_009776.pdf, diakses pada 14 Desember 2015, 11:19, Surakarta. Nikkei Asian Review, “Peter Tasker: Solving Japan's immigration dilemma”, http://asia.nikkei.com/magazine/20150702-ASIA-S-STARTUPS-SWITCHED-ON/Viewpoints/PeterTasker-Solving-Japan-s-immigration-dilemma, diakses pada 21 September 2015, 14:59, Surakarta. Otake, Tomoko, “For Foreign Caregivers, Roles Remains Ambiguous”, http://www.japantimes.co.jp/news/2015/04/19/national/for-foreign-caregivers-role-remainsambiguous/, diakses 26 Juni 2015, 15:43, Surakarta. Ozawa, Harumi, “Japan sanctioning mass ‘slave labor’ by duping foreign trainees, observers say”, http://www.japantimes.co.jp/news/2014/11/23/national/japan-sanctioning-mass-slave-labor-viaforeign-trainee-program/, diakses pada 22 Juni 2015, 14:30, Surakarta. Prime
Minister of Japan and His Cabinet, “Press Conference by Prime Minister Abe”,http://japan.kantei.go.jp/96_abe/statement/201406/0624kaiken.html, diakses pada 22 Juni 2015, 18:00, Surakarta.
Sekiguchi, Toko, “Japan Skirts Immigration Debate by Offering “Internships” to Foreigners”, http://www.wsj.com/articles/japan-skirts-immigration-debate-by-offering-internships-toforeigners-1429049533 , diakses pada 22 Juni 2015, 18:30, Surakarta. Soble,
Jonathan, “Japan stands by immigration controls despite shrinking population”, http://www.ft.com/cms/s/0/32788ff0-ea00-11e3-99ed-00144feabdc0.html, diakses pada 22 Juni 2015, 17:15, Surakarta.
Statistic Bureau, “Foreign Residents by Nationality (1990-2013)”, www.stat.go.jp/data/nenkan/zuhyou/y0214000.xls, diakses pada 29 Juni 2015, 10:27, Surakarta. Takao, Komine, “The Labor Shortage in Japan’s http://www.japanpolicyforum.jp/archives/editor/pt20140907235528.html, diakses September 2015, 12:22, Surakarta.
Economy”, pada 16
The Economist, “The Incredible Shrinking Country”, http://www.economist.com/news/asia/21603076first-time-proper-debate-starting-about-immigration-incredible-shrinking-country , diakses pada 22 Juni 2015, 16:30, Surakarta.
18
KEBIJAKAN JEPANG TERHADAP TENAGA KERJA IMIGRAN Tsuda, Takeyuki, “Reluctant Hosts: The Future of Japan as a Country of Immigration”, https://migration.ucdavis.edu/rs/more.php?id=39, diakses pada 21 September 2015, 13:57, Surakarta. Vogt,
Gabriele, “Foreign Workers in Japan”, https://www.academia.edu/12645303/Foreign_Workers_in_Japan._In_Babb_James_D._ed._The_S AGE_Handbook_of_Modern_Japanese_Studies._London_SAGE_2015_pp._567-582, diakses pada 08 Januari 2016, 10:47, Surakarta.
Yoshida, Reiji, “Success of ‘Abenomics’ Hinges Immigration Policy”, http://www.japantimes.co.jp/news/2014/05/18/national/success-abenomics-hinges-immigrationpolicy/#.VYf9rfmqqkp, diakses pada 22 Juni 2015, 17:00, Surakarta. Youhei, Tsunemi, “Japan’s Labor Shortages in Perspective”, http://www.nippon.com/en/currents/d00137/, diakses pada 16 September 2015, 12:25, Surakarta.
19