HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...
PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO POLITIK SHINZO ABE SEBAGAI PERDANA MENTERI JEPANG KE-96: ANALISIS WACANA KRITIS (UTILIZATION OF METAPHOR FEATURE IN SHINZO ABE'S POLITICAL SPEECH AS THE 96TH PRIME MINISTER: A CRITICAL DISCOURSE ANALYSIS) Hadi Hidayat Program Magister, Konsentrasi Linguistik Bahasa Jepang Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Padjadjaran Jalan Raya Bandung–Sumedang Km 21 Jatinangor, Sumedang Ponsel: 085255655514 Pos-el:
[email protected] Tanggal naskah masuk: 18 Juni 2014 Tanggal revisi terakhir: 3 November 2014
Abstract
THIS writing analyzes language feature of metaphor and power in Shinzo Abe's political speech text conveyed in his inauguration ceremony as the 96th Japan Prime Minister. A certain choice of metaphor signifies a certain ideology. The writing aims at describing such usage in Shinzo Abe's political speech. The method used in this research is based on Critical Discourse Analysis of Fairclough's (1992:194–197). The focus point of Fairclough's theory is language as an exercise of power. The result shows that Shinzo Abe has distributed his power through the usage of metaphor feature. The perceptible exercise of power is within the power in Japanese identity labeling and the power in controlling the society's view and behavior. Moreover, Shinzo Abe utilize metaphor to concretize abstract concepts by describing it into another concept for the audience to understand it more easily. Key words: metaphor, political speech, critical discourse analysis
Abstrak TULISAN ini menganalisis fitur kebahasaan metafora dalam hubungannya dengan kekuasaan dalam teks pidato politik Shinzo Abe yang dibacakan saat peresmiannya sebagai Perdana Menteri Jepang ke-96. Pilihan terhadap metafora tertentu mengandung signifikansi ideologis tertentu. Tujuan tulisan ini adalah untuk mendeskripsikan penggunaan metafora dalam teks pidato Shinzo Abe. Metode yang digunakan dalam penelitian ini berdasarkan analisis wacana kritis Fairclough (1992:194–197). Titik fokus perhatian Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Temuan penelitian ini menunjukkan bahwa melalui penggunaan fitur metafora, Shinzo Abe telah menyalurkan kekuasaannya. Praktik kekuasaan yang tampak adalah kekuasaan dalam pelabelan identitas Jepang serta kekuasaan dalam mengendalikan pandangan dan perilaku masyarakat. Selain itu, metafora juga dimanfaatkan oleh Shinzo Abe untuk mengonkretkan konsep yang abstrak dengan cara mendeskripsikannya dengan suatu hal yang lain agar mudah dipahami oleh pengonsumsi teks. Kata kunci: metafora, pidato politik, analisis wacana kritis 165
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178
1. Pendahuluan 1.1 Latar Belakang Secara etimologis, politik berasal dari kata Yunani polis yang berarti kota atau negara kota. Selanjutnya, arti itu berkembang menjadi polites yang berarti warga negara, politea yang berarti semua yang berhubungan dengan negara, politika yang berarti pemerintahan negara, dan politicos yang berarti kewarganegaraan. Jika ditinjau dari asal kata tersebut, pengertian politik secara umum dapat dikatakan bahwa politik adalah hal yang berkaitan dengan penyelenggaraan pemerintahan atau negara. Namun, di zaman ini masalah politik adalah jauh lebih luas daripada sekadar politik pemerintahan. Baik disadari maupun tidak, seluruh sendi kehidupan manusia berkaitan dengan politik. Pada kenyataannya semua persoalan yang dihadapi oleh manusia merupakan masalah politik. Politik berkenaan dengan kekuasaan dalam arti luas, yakni kekuasaan untuk membuat keputusan, mengendalikan sumber daya, mengendalikan perilaku orang lain, dan sering kali juga mengendalikan nilai yang dianut orang lain. Bahkan, keputusan-keputusan biasa yang dibuat dalam kehidupan sehari-hari pun bisa dipandang dari sudut politik. Dalam usaha merealisasikan kekuasaan ataupun penegakan terhadap keyakinan-keyakinan politik kepada orang lain dapat dilakukan lewat berbagai cara. Cara yang paling mudah dipahami adalah mencari kekuasaan lewat kekerasan. Perang termasuk jenis pencarian kekuasaan lewat kekerasan. Dalam negara demokrasi, kekerasan diterapkan lewat sistem hukum, misalnya ada aturan yang mengatur syarat usia seorang perempuan yang bisa dinikahi, tentang di mana kendaraan boleh atau tidak boleh diparkir, tentang di mana orang boleh dan tidak boleh merokok. Jika aturan-aturan ini dilanggar, pelanggarnya bisa dikenai denda, bahkan bisa dipenjarakan. Namun, ada cara lain yang tidak kalah efektif untuk mendapatkan kekuasaan, yaitu dengan mengajak orang patuh secara sukarela. Dengan kata lain, melaksanakan kekuasaan lewat penciptaan persetujuan atau setidaknya menciptakan kerelaan untuk membiarkan 166
kekuasaan itu berjalan. Apabila hal tersebut dapat direalisasikan, tentu saja akan lebih efektif daripada harus terus-menerus memberikan denda ataupun memenjarakan orang-orang yang melanggar hukum atau kebijakan-kebijakan yang ditetapkan oleh penguasa. Agar ini bisa tercapai, perlu ada ideologi, yaitu sesuatu yang membuat keyakinan-keyakinan yang ingin ditanamkan penguasa kepada warganya menjadi terasa wajar dan masuk akal. Kata ideologi digunakan dalam makna yang lebih luas, yaitu untuk menyebut keyakinan-keyakinan yang dirasakan logis dan wajar oleh orang-orang yang menganutnya. Untuk menerapkan suatu konsep ideologi dibutuhkan sebuah alat komunikasi. Terdapat berbagai alat komunikasi dalam kehidupan manusia. Berkomunikasi dapat dilakukan dengan ekspresi wajah, sikap, sentuhan, gambar-gambar, tanda-tanda visual, musik dan tarian, lambanglambang matematika dan lambang-lambang ilmiah, serta yang paling penting dan paling menentukan peradaban manusia, yaitu dengan kata-kata (bahasa). Bahasa bukan lagi sekadar sebuah sistem tanda bunyi, bukan saja sebagai alat komunikasi untuk bekerja sama, dan bukan sekadar mengidentifikasi diri, melainkan bahasa juga menjalankan fungsi-fungsi regulatif yang sangat kompleks. Wacana politik dilandaskan pada satu prinsip bahwa persepsi orang terhadap masalah-masalah atau konsep tertentu bisa dipengaruhi oleh bahasa. Wacana-wacana politik adalah pidato politik, debat politik, iklan politik, dan manivesto politik. Salah satu tujuan yang hendak dicapai oleh penghasil teks adalah mengajak para pengonsumsi teks untuk percaya akan kebenaran dari klaimklaim si pewacana. Harus disadari bahwa wacana yang melibatkan orang banyak selalu ditata atau disusun sedemikian rupa yang di dalamnya terdapat muatan-muatan ideologis yang tersembunyi di dalam struktur-struktur kebahasaan. Salah satu fitur kebahasaan yang sering dimanfaatkan oleh penghasil teks adalah metafora. Metafora adalah pemakaian kata atau ungkapan kebahasaan bukan dengan arti yang sebenarnya, melainkan sebagai lukisan yang berdasarkan kesamaan atau perbandingan.
HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...
Metafora merupakan kreasi bahasa. Daya kreatif itu sering dimanfaatkan oleh pengarang untuk mengekspresikan maksud, gagasan, perasaan, atau imajinasinya. Tuturan metaforis dapat menciptakan gambaran mental yang mudah dipahami pengonsumsi teks. Dalam dunia politik, analisis terhadap metafora merupakan langkah awal memahami bahasa politik. Penggunaan metafora dapat mempengaruhi persepsi masyarakat tentang dunia. Metafora menjadi salah satu fitur kebahasaan yang intensif didayagunakan dalam bahasa politik oleh para elite politik di berbagai belahan dunia. Metafora sering digunakan untuk mengonkretkan konsep abstrak, menyembunyikan atau mengaburkan maksud, dan menguatkan pesan ideologi tertentu yang ingin diperjuangkan oleh elite politik. Berdasarkan uraian di atas, peneliti bermaksud untuk menganalisis penggunaan fitur metafora yang berkaitan dengan politik, termasuk kekuasaan dan ideologi pada teks pidato politik Shinzo Abe setelah pelantikan secara resmi sebagai Perdana Menteri Jepang yang ke-96. 1.2 Masalah Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan di atas, rumusan masalah penelitian ini adalah bagaimanakah penggunaan metafora dalam teks pidato politik Shinzo Abe berkaitan dengan politik, termasuk kekuasaan dan ideologi. 1.3 Tujuan Sejalan dengan rumusan masalah, penelitian ini bertujuan untuk mendeskripsikan penggunaan metafora dalam teks pidato politik Shinzo Abe berkaitan dengan politik, termasuk kekuasaan dan ideologi. 1.4 Metode Teks pidato yang dijadikan sebagai sumber data penelitian ini pertama-tama diberi nomor pada setiap kalimat. Kalimat dalam artian konstruksi gramatikal terdiri atas satu atau lebih
klausa yang ditata menurut pola tertentu dan dapat berdiri sendiri sebagai satu kesatuan. Keseluruhan kalimat dalam teks pidato berjumlah 103 buah kalimat. Pada tahap pengumpulan data, metode yang digunakan adalah metode simak. Metode simak adalah metode untuk memperoleh data dengan cara menyimak penggunaan bahasa yang tidak hanya berkaitan dengan penggunaan secara lisan, tetapi juga bahasa secara tertulis (Mahsun, 2001:92). Selanjutnya, digunakan teknik catat. Data yang mengandung metafora dikeluarkan dari teks, kemudian dicatat pada kartu data, yang segera dilanjutkan dengan klasifikasi. Secara keseluruhan terdapat 21 kalimat yang mengandung metafora. Kemudian, pada tahap analisis data digunakan metode deskriptif. Penelitian deskriptif adalah penelitian yang dilakukan dengan cara mendekati, mengamati, menganalisis, dan menjelaskan suatu fenomena secara sistematis, faktual, akurat mengenai data serta sifat dan hubungan fenomena yang diteliti. Fenomena yang dimaksud berkaitan dengan kekuasaan dan ideologi dari pemanfaatan fitur metafora dalam teks pidato Shinzo Abe saat konferensi pers setelah pelantikan secara resmi sebagai Perdana Menteri Jepang yang ke-96 dalam sidang parlemen Diet ke-183 pada tanggal 28 Januari 2013. Teks pidato diperoleh dari laman resmi Parlemen Jepang dengan alamat www.kantei.go.jp.
2. Kerangka Teori Kerangka teori yang digunakan dalam kajian ini adalah analisis wacana kritis model Fairclough. Titik fokus perhatian Fairclough adalah melihat bahasa sebagai praktik kekuasaan. Dalam pandangan kritis teks dibangun dari sejumlah peranti linguistik yang di dalamnya terdapat kekuasaan dan ideologi. Salah satu peranti linguistik dalam analisis wacana kritis model Fairclough (1992:194–197) yang dimanfaatkan untuk melihat praktik kekuasaan dan ideologi dari penghasil teks adalah metafora. Metafora berasal dari bahasa Yunani metaphora yang berarti ‘memindahkan’, yaitu dari meta ‘di atas’ dan pherein ‘membawa’. Metafora merujuk pada 167
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178
proses linguistik, yaitu aspek tertentu dari suatu objek dibawa atau dipindahkan pada objek lain. Dengan demikian, objek kedua diujarkan seolaholah seperti objek yang pertama. Momiyama (2010:35) menyatakan bahwa Metafaa to wa, futatsu no jibutsu. gainen no nan raka no [ruijisei (similarity)] ni mototzuite, honrai wa ippou no jibutsu. gainen wo arawasu keishiki wo mochiite, tahou no jibutsu. gainen wo arawasu to iu hiyu desu. Pointo wa ruijisei ni mototzuku to iu koto desu. ‘metafora adalah gaya bahasa yang berdasarkan pada kemiripan dua hal, dari yang menggambarkan konsep sebenarnya, lalu konsep perumpamaannya. Pada intinya berdasarkan pada kemiripan’. Di dalam berpikir dan menciptakan metafora, manusia tidak dapat melepaskan diri dari lingkungannya karena selalu mengadakan interaksi dengan lingkungannya itu. Menurut Fairclough, pilihan pada metafora merupakan kunci bagaimana realitas ditampilkan dan dibedakan dengan yang lain. Metafora bukan hanya persoalan keindahan literer karena bisa menentukan apakah realitas itu dimaknai dan dikategorikan sebagai positif atau negatif. Meskipun metafora hanyalah salah satu aspek wacana politik, memahami metafora adalah langkah awal memahami bahasa politik secara keseluruhan. Darma (2009:91) menyatakan bahwa dalam menjalankan aktivitas politik, faktor kebahasaan memegang peranan penting. Hal senada dikemukakan oleh Hayashi dan Hayashi (1997:42) bahwa kini bahasa telah digunakan untuk mengubah, mengawal masyarakat, dan mewujudkan kuasa sosial. Jadi, dapat dipahami bahwa, baik verbal maupun nonverbal, bahasa bukan lagi sekadar berperan sebagai alat komunikasi, melainkan telah menjadi media untuk mengonstruksi kehidupan manusia.
3. Hasil dan Pembahasan Berdasarkan hasil analisis yang telah dilakukan terhadap teks pidato politik Shinzo Abe 168
saat konferensi pers setelah penunjukan dirinya sebagai Perdana Menteri Jepang yang ke-96 terdapat penggunaan metafora yang berkaitan dengan politik, termasuk kekuasaan dan ideologi sebagai berikut.
Shikashinagara, sekai no saizensen de katsuyakusuru, nan no tsumi mo nai nihon ga gisei to natta koto wa, tsuukon no kiwami desu. ‘Namun, hal yang sangat disesalkan bahwa orang Jepang yang tidak bersalah, yang bergerak di garis terdepan di seluruh dunia telah menjadi korban.’ Kalimat (3) di atas berkaitan dengan fungsi afektif dari bahasa terkait dengan siapa yang boleh/ berhak mengatakan apa, hal ini erat sekali kaitannya dengan kekuasaan dan status sosial. Kalimat tersebut berhubungan dengan aksi teroris yang terjadi di kilang gas Amenas, Aljazair, yang menelan korban 10 orang warga Jepang. Pada kalimat (3) tersebut terdapat frasa nomina sekai no saizensen ‘garis terdepan di dunia’ yang merupakan bentuk metafora. Frasa nominal tersebut terdiri dari nomina sekai ‘dunia’ (Matsura, 2005: 875), nomina saizensen ‘garis terdepan/ paling depan’ (Matsura, 2005: 837) dan partikel no dipakai di antara dua nomina yang menunjukkan bahwa nomina yang pertama memodifikasi nomina yang kedua (Chino, 2006:58). Frasa nominal sekai no saizensen adalah konsep konkret karena tidak ada garis yang tampak dan dapat dilihat secara konkret di dunia. Konsep ini mengacu pada peran dan konstruktif Jepang dalam mengupayakan perdamaian dan keamanan internasional yang merupakan penyumbang dana kedua terbesar di PBB setelah AS. Selain itu, pula beberapa tahun belakangan Jepang melakukan kerja sama dengan
HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...
negara berkembang dengan menawarkan bantuan ekonomi, khususnya di Afrika dan Asia. Dengan demikian, keputusan Shinzo Abe selaku pewacana dengan mengklaim posisi Jepang sebagai negara yang terdepan di dunia didasarkan pada acuan-acuan tersebut. Hal ini menciptakan dinamika kekuasaan atau dominasi Jepang sehingga menguatkan perbedaan Jepang di antara negara-negara lainnya di dunia.
Defure to endaka no doronuma kara nukedasezu, gojucchouen tomo iwareru bakudai na kokumin no shotoku sangyou no kyou souryoku ga ushinaware, doredake majime ni hataraitemo kurashi ga yokunaranai, nihonkeizai no kiki. ‘Krisis ekonomi Jepang yang tidak dapat melepaskan diri dari rawa deflasi dan kenaikan nilai Yen telah menimbulkan kehilangan pendapatan nasional yang luar biasa besarnya yang bisa dikatakan mencapai 50 triliun dan telah kehilangan daya saing industri, serta seberapa tekun seseorang bekerja pun tidak akan membawa kehidupan yang lebih baik.’ Dalam kalimat (14) di atas, kata doronuma mengindikasikan ‘posisi, lahan, tempat dan dekapan, yaitu deflasi dan kenaikan nilai Yen’. Dalam kamus bahasa Jepang-Indonesia diungkapkan bahwa makna dasar nomina doronuma adalah ‘rawa penuh lumpur’ (Matsura, 2005: 155). Terlihat bahwa makna kontekstual berbeda dengan makna dasar dan makna kontekstual tersebut dapat dipahami melalui perbandingannya dengan makna dasar. Pilihan
terhadap metafora tertentu mengandung signifikansi ideologis tertentu. Dalam teks Shinzo Abe ini digunakan kata doronuma yang memiliki kesan ‘kotor’, ‘menjijikkan’, ‘merugikan’ dan sebagainya. Dalam hal ini kata doronuma menciptakan kesan yang negatif. Shinzo Abe mencoba memberi sugesti kepada khalayak bahwa kondisi ekonomi Jepang sangat merugikan negara. Penggunaan metafora memberikan sugesti yang lebih kuat dalam sebuah ungkapan. Secara tidak langsung, ungkapan ini juga dapat dipahami sebagai sebuah sindiran terhadap lawan politiknya. Seperti diketahui, sejak 2008 Jepang mengalami kemerosotan ekonomi yang menimbulkan deflasi dan kenaikan nilai mata uang Yen. Roda pemerintahan pada masa itu dikuasai oleh partai yang menjadi oposisinya dalam pemerintahannya sekarang. Dengan demikian, penggunaan kata doronuma ini berkenaan dengan kekuasaan dalam mengendalikan pandangan masyarakat terhadap pemerintahan sebelumnya.
Koremade no gyousei no tatewari wo haishi, fukkouchou ga wansutoppu de youbou wo suiage, genbashugi wo tsuranukimasu. ‘Kami akan menyingkirkan struktur administrasi vertikal-segmentasi yang telah diterapkan sampai saat ini dan Badan Rekonstruksi akan mengambil semua tindakan dengan ‘one stop’. Dalam kalimat (74) terdapat kata yang dicetak tebal, yakni suiage yang merupakan metafora. Kata suiage berasal dari bentuk suiageru secara harfiah berarti ‘menyedot; mengisap’ (Nelson, 2006:244). Menyedot atau mengisap adalah kata kerja transitif yang membutuhkan objek. Objek untuk kata menyedot atau mengisap adalah benda nyata yang memiliki wujud, tetapi dalam kalimat di atas nomina youbou ‘tuntutan’ adalah sesuatu yang 169
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178
abstrak yang tidak dapat digambarkan wujudnya. Jadi, nomina youbou dibandingkan dengan wujud konkret yang dapat diisap atau disedot, seperti asap atau debu. Bagian lain kalimat diekspresikan secara harfiah. Dengan cara ini pengonsumsi teks diminta untuk membayangkan bahwa fukkouchou ‘Badan Rekonstruksi’ ini seperti pompa pengisap yang mampu mengisap segala tuntutan masyarakat. Hal ini memiliki fungsi ideologi karena pengonsumsi teks akan langsung bereaksi terhadap ide atau gagasan didirikannya institusi baru oleh Shinzo Abe, yakni Badan Rekonstruksi. Penggunaan metafora ini berkenaan dengan kekuasaan dalam mengendalikan perilaku masyarakat, ungkapan itu memberi gambaran mental yang mudah dipahami masyarakat dan kemungkinan besar akan diterima apa adanya tanpa harus diperdebatkan lagi.
Minasan. Imakoso, gaku ni aseshite hatarakeba kanarazu mukuware, mirai ni yume to kibou wo daku koto ga dekiru, mattou shakai wo kizuiteikou dewa arimasenka. ‘Hadirin sekalian. Sekarang mari kita bangun masyarakat yang mapan di mana jika bekerja keras akan mendapat imbalan yang layak dan bisa merangkul cita-cita dan harapan untuk masa depan.’ Kalimat (19) di atas merupakan pernyataan yang berbentuk metafora. Pertama, klausa imakoso….mattou shakai wo kizuiteikou ‘sekarang….(mari) kita bangun masyarakat yang mapan’. Frasa nominal mattou shakai ‘masyarakat yang mapan’ bukanlah sesuatu yang konkret, melainkan sesuatu yang abstrak yang digunakan untuk mempermudah pemikiran terhadap variabelvariabel yang menentukan masyarakat dianggap 170
mapan. Kedua, mirai ni yume to kibou wo daku koto ga dekiru ‘bisa merangkul cita-cita dan harapan untuk masa depan’. Frasa verba daku koto ga dekiru ‘bisa merangkul’ terdiri atas verba daku ‘memeluk, mendekap, merangkul’ merupakan kata kerja transitif yang membutuhkan objek langsung. Objek biasanya adalah sesuatu yang konkret, sedangkan objek pada kalimat tersebut merupakan sebuah konsep abstrak yang tidak memiliki wujud, yakni mirai ni yume to kibou ‘cita-cita dan harapan untuk masa depan’. Contoh objek verba daku adalah kodomo ‘anak’ atau ningyou ‘boneka’. Ketiga, konsep bekerja keras digambarkan dengan penggunaan frasa gaku ni aseshite hataraku. Secara harfiah frasa tersebut berarti ‘bekerja dengan keringat yang mengalir di dahi’. Oleh karena itu, secara keseluruhan dimanfaatkan fitur metafora dalam kalimat (19) di atas untuk mengonkretkan konsep yang abstrak. Dengan cara ini bisa diciptakan gambaran mental yang mudah dipahami oleh pengonsumsi teks karena memiliki kaitan dengan pengalaman pribadi mereka sehingga ada kemungkinan besar gagasan-gasasan pada kalimat (19) tersebut diterima tanpa perlu diperdebatkan lagi, termasuk langkah-langkah yang akan dilakukan oleh pemerintah untuk mecapai hal tersebut.
Ima wo kenmei ni ikiru hitobito no egao wo torimodosu. ‘Mengembalikan kebahagiaan orang-orang yang mati-matian untuk hidup saat ini.’ Unsur pembentuk kalimat (70) di atas sebagian besar berbentuk metafora. Frasa ima wo kenmei ni ikiru hitobito no egao wo torimodosu dalam pengertian satu per satu kata, yakni kata egao berarti ‘muka yang tersenyum/ berseri’ (Nelson, 2006:682) yang diikuti oleh partikel wo yang menunjukkan objek langsung suatu perbuatan; kata kenmei berarti ‘kesungguhan’ (Nelson, 2006:411) yang dibubuhi oleh partikel ni yang diartikan menjadi ‘dengan’, dan kata ikiru ‘hidup’ (Nelson, 2006:616), kata ima berarti ‘sekarang/ saat ini’ (Nelson,
HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...
2006:127) yang diikuti oleh partikel wo yang merupakan partikel kasus yang berkolerasi dengan waktu yang ditandai dengan nomina yang berwujud waktu. Nomina ima bervalensi dengan verba ikiru, kemudian bervalensi dengan partikel wo yang bermakna waktu yang dilalui, serta kata hitobito berarti ‘setiap/ semua orang’ (Nelson, 2006:122). Verba majemuk torimodosu berarti ‘mengambil, mendapat, menangkap, memperoleh, menebus lagi’ (Nelson, 2006:732). Frasa ima wo kenmei ni ikiru hitobito no egao wo torimodosu ini merupakan gaya bahasa metafora, yakni sebuah representasi yang tidak benar secara harfiah. Frasa ini merepresentasikan usaha untuk mengembalikan harapan untuk hidup dan kebahagiaan orang-orang di daerah bencana yang sangat memprihatinkan. Kata egao mengacu pada ‘kebahagiaan’, konsep ‘kebahagiaan’ bukanlah hal yang konkret, melainkan konsep abstrak yang salah satunya dapat diidentifikasi melalui raut wajah tersenyum seseorang. Kata egao ‘wajah tersenyum’ ini bukanlah seperti ketika seseorang mengembalikan dompet orang lain yang dia temukan di jalan, misalnya. Frasa semacam ini sangat berguna karena dengan frasa ini, sebuah gambaran yang kompleks bisa disajikan secara sederhana. Secara tidak langsung pula Shinzo Abe berusaha untuk membangun citra dirinya sebagai pemimpin yang peka dan peduli terhadap rakyat, terutama terhadap orang-orang di daerah bencana. Hal ini berkaitan dengan
kekuasaan dalam mengendalikan pandangan masyarakat terhadap pribadi Shinzo Abe.
4. Penutup 4.1 Simpulan Berdasarkan analisis dan deskripsi data yang telah dipaparkan, dapat disimpulkan bahwa penggunaan fitur metafora didayagunakan dalam mengonstruksi kekuasaan dan ideologi Shinzo Abe pada pidato politiknya. Praktik kekuasaan yang tampak adalah kekuasaan dalam pelabelan identitas Jepang serta kekuasaan dalam mengendalikan pandangan dan perilaku masyarakat. Selain itu, metafora juga dimanfaatkan oleh Shinzo Abe untuk mengonkretkan konsep yang abstrak dengan cara mendeskripsikannya dengan suatu hal yang lain agar mudah dipahami oleh pengonsumsi teks. 4.2 Saran Penelitian ini hanya mengkaji satu teks pidato politik Shinzo Abe. Oleh karena itu, alangkah lebih baiknya kalau dikaji pula naskah pidato politik Shinzo Abe dengan tema pidato yang berbeda yang memanfaatkan metafora sebagai fitur kebahasaan dalam menyalurkan kekuasaan dan ideologinya. Dengan demikian, akan ditemukan kekhasan kajian intertekstual secara menyeluruh tentang bahasa politik yang dipakai oleh Shinzo Abe dalam membangun citra politik dengan rakyatnya.
Daftar Pustaka Darma, Yoce Aliah. 2009. Analisis Wacana Kritis. Bandung: Yrama Widya. Fairclough, Norman. 1992. Discourse and Social Change. Cambridge: Polity Press. Hayashi, T. dan Hayashi, R. 1997. “Ideology and Power of English in Japanese Text”. Abstract Fourth International Conference on World Englishes: Language, Educational, and Power. Departement of English Language and Literature, National University of Singapore for IAWA. Singapore. 19–21 December. Mahsun, M.S. 2001. Metode Penelitian Bahasa (Edisi Revisi). Jakarta: Rajawali Pers. Momiyama, Yosuke. 2010. Ninchi Gengogaku Nyuumon. Tokyo: Kenkyuusha. Naoko, Chino. 1991. All About Particles. Tokyo: Kodansha International Ltd.
Daftar Kamus Kenji, Matsura. 2005. Kamus Bahasa Jepang Indonesia. Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama. Nelson, Andrew. 2006. Kamus Kanji Modern. Bekasi: PT Kesaint Blanc. 171
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178
Lampiran 1 Tabel Klasifikasi Metafora Data 1.
2.
3.
4.
5. 6.
7. 8.
172
HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...
9.
10. 11. 12.
13.
14.
15. 16.
17. 18.
19.
20. 21.
173
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178
Lampiran 2 Teks Pidato
174
HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...
175
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178
176
HADI HIDAYAT: PEMANFAATAN FITUR METAFORA DALAM TEKS PIDATO ...
177
Metalingua, Vol. 12 No. 2, Desember 2014:165—178
178